Pendekar Mata Keranjang 24
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 24
Dan mungkin juga kalah tenaga mengingat pula akan hebatnya tenaga gadis itu, dia memilih menggunakan senjata pedangnya yang diandalkan. Dengan senjatanya ini, dia akan dapat menghadapi kecepatan dan tenaga lawan. Akan tetapi tak disangkanya bahwa laki-laki berlengan buntung sebelah itu menolak mempergunakan senjata. Tentu saja dia merasa serba salah. Menggunakan tangan kosong, dia jerih. Menggunakan senjata, apakah tidak memalukan, dia yang menjadi pimpinan Hek-houw Bu-koan, dan biarpun jauh lebih tua namun tubuhnya masih lengkap, kini melawan seorang penderita cacat yang bertangan kosong dengan mempergunakan pedang? Selagi dia meragu, Su Kiat yang dapat melihat sikap orang dan hal ini saja sudah membuat dia merasa suka kepada ketua ini, berkata dengan suara halus.
"Pakailah pedangmu, Bouw-kauwsu. Ketahuilah bahwa senjataku adalah sebuah tangan, dua buah kaki, dan ujung lengan kiriku ini."
"Sebetulnya aku merasa sungkan, akan tetapi karena engkau berkata demikian, Ciang-sicu, baiklah aku menerima alasanmu. Nah, mari kita main-main sebentar!"
Berkata demikian, Ketua Hek-houw Bu-koan ini sudah memutar pedang pendeknya dan pedang itu pun lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hijau yang menyilaukan mata. Tak mungkin dia dapat menandingi kecepatan pedangku, pikirnya dan dengan bentakan nyaring sebagai tanda dia membuka serangan, dia menubruk ke depan dengan sinar pedangnya menyambar dari kanan ke kiri, membabat ke arah pinggang lawan. Su Kiat dapat mengetahui apa yang dipikirkan lawan.
Tentu saja dia tidak merasa gentar karena seperti juga Hui Lian, pria yang buntung lengan kirinya ini yakin benar akan kemampuannya bergerak cepat. Gerakan cepat dengan ginkang yang luar biasa darinya itu bukan semata-mata karena latihan ilmu yang ampuh, melainkan terutama sekali mereka berdua mendapatkannya karena selama bertahun-tahun tubuh mereka kemasukan makanan yang luar biasa, bukan makanan lumrah manusia. Makanan berupa jamur dan sarang burung, juga daging burung yang mereka makan selama bertahun-tahun karena terpaksa oleh keadaan itu, ternyata membuat tubuh mereka memiliki tenaga ginkang yang istimewa, dan ditambah dengan latihan ilmu yang mereka dapatkan di dalam guha rahasia, maka kini mereka memiliki kecepatan gerakan yang sukar dilawan oleh siapapun juga di dunia persilatan.
Dan Su Kiat kini menghadapi lawan yang berpedang itu dengan mengandalkan kehebatan gin-kangnya. Seperti juga yang dilakukan Hui Lian tadi, berkali-kali tubuhnya berkelebat cepat dan menghilang dari depan mata lawan. Hal ini membuat Bouw Kwa Teng terkejut dan bingung, namun guru silat ini yang sejak tadi sudah menduga akan kehebatan ginkang lawan, cepat memutar pedangnya, selain melindungi seluruh tubuhnya, juga menyerang lawan secara ngawur, terutama sekali ditujukannya ke atas. Tadi, ketika Hui Lian dikeroyok oleh Kong-goan Siang-houw, tubuh gadis itu dapat melesat ke udara dengan cepat, lalu menyerang dari atas yang membuat kedua orang muridnya itu kerepotan. Kini dia pun menduga bahwa tubuh yang lenyap dari Su Kiat tentu karena meloncat ke atas. Dugaannya memang mendekati kenyataan.
Baik Hui Lian maupun Su Kiat telah melakukan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun, satu di antara ilmu yang mereka dapatkan di dalam guha, peninggalan dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara delapan dewa yang mati di guha itu. Sesuai dengan nama ilmu itu, ialah Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa), maka ilmu silat ini mengandalkan gin-kang yang hebat sekali dan banyak melakukan penyerangan dari udara. Akan tetapi karena semua serangannya banyak ngawur, maka sejak tadi pedangnya tidak pernah mampu menyentuh ujung baju lawan, apalagi tubuhnya. Di luar dugaannya, ternyata lawan itu mampu mengatasi serangan pedangnya hanya dengan menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya. Bukan main! Sampai tiga puluh jurus pedangnya menyerang menggunakan jurus-jurus pilihan darinya, namun tak pernah berhasil.
"Ciang-sicu, balaslah seranganku!"
Dia membentak dengan penasaran sekali, karena dia merasa seperti dipermainkan. Lawan hanya main kucing-kucingan, mengelak terus tanpa balas menyerang.
"Baiklah, Bouw-kauwsu!"
Bayangan yang tidak jelas mukanya bergerak cepat itu menjawab dan tiba-tiba ada benda yang menangkis pedang di tangannya.
"Trakkk!"
Dan pedang di tangannya terdorong ke belakang. Bouw Kwa Teng mengeluarkan seruan kaget karena dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya itu adalah ujung lengan baju kosong dari lengan kiri yang buntung itu. Tahulah dia kini bahwa lawannya tadi tidak membual ketika mengatakan bahwa ujung lengan bajunya yang kiri merupakan senjatanya. Senjata yang istimewa karena kain lengan baju itu ternyata mampu menggetarkan tangannya yang memegang pedang ketika menangkis.
"Sambutlah seranganku, Bouw-kauwsu!"
Terdengar Su Kiat berkata lagi dan tiba-tiba saja pandang mata guru silat itu menjadi berkunang dan kabur karena dia melihat banyak sekali ujung lengan baju yang menyambar-nyambar ke arah seluruh tubuhnya, menusuk, menotok, membacok, seolah-olah dia berhadapan dengan puluhan orang yang menyerangnya dengan ujung lengan baju itu. Inilah Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut, ilmu peninggalan In Liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa. Kalau Hui Lian mewarisi ilmu ini berikut pedangnya, yaitu pedang Kiok-hwa-kiam, maka Su Kiat dapat mempergunakan ujung lengan baju sebelah kiri menjadi seperti sebatang pedang yang luar biasa ampuhnya pula! Bouw Kwa Teng berusaha memutar pedangnya melindungi dirinya, namun dia merasa ada sesuatu menyentuh leher dan dadanya, dan lenyaplah bayangan puluhan ujung lengan baju itu karena Su Kiat telah meloncat jauh ke belakang dan menjura sambil berkata,
"Maafkan aku dan terima kasih atas petunjuk Bouw-kauwsu!"
Dari ujung lengan baju kiri yang kini tergantung ke bawah itu, jatuhlah dua buah kancing tulang. Bouw Kwa Teng cepat memandang ke arah dadanya dan meraba ke arah lehernya. Seketika mukanya yang berkulit hitam itu menjadi agak berkurang hitamnya dan dia pun menarik napas panjang.
"Aih, aku mempunyai mata akan tetapi telah menjadi buta saja!"
Katanya seperti mencela diri sendiri ketika mendapat kenyataan betapa kancing bajunya di leher dan dada telah lenyap. Dia maklum bahwa kalau lawan menghendaki, betapa mudahnya lawan membunuhnya atau setidaknya melukai dengan berat.
"Ciang-taihiap, maafkan kami dan tentu saja seorang dengan tingkat kepandaian seperti yang dimiliki oleh Taihiapi dan Lihiap, berhak membuka perguruan silat di manapun juga."
Melihat sikap guru mereka, dan mendengar guru mereka menyebut Taihiap (Pendekar Besar) dan Lihiap (Pendekar Wanita) kepada suheng dan sumoi itu, juga mendengar ucapan suhu mereka, dua orang murid kepala itu menjadi bengong. Akan tetapi mereka melihat dua buah kancing yang tanggal dari baju guru mereka, maka sebagai orang yang sudah memiliki kepandaian cukup, mereka pun maklum betapa lihainya pria yang berlengan satu ini.
Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian keluar dari perguruan Hek-houw Bu-koan dengan diantar oleh mereka bertiga, dan sikap mereka amat menghormat sehingga para murid lain pun menjadi heran dan mengerti bahwa dua orang itu telah diterima oleh guru mereka. Demikianlah, berita bahwa suheng dan sumoi yang aneh itu telah keluar dari perguruan Hek-houw Bu-koan dengan selamat, bahkan dihormati oleh pimpinan Bu-koan terbesar itu, banyak orang muda mendaftarkan diri sebagai calon murid Cia-ling Bu-koan di dusun Hek-bun dan ramailah perguruan itu. Suheng dan sumoi itu mulai bekerja dan tentu saja mereka berdua hanya mengajarkan dasar-dasar ilmu silat dan beberapa jenis Pukulan yang kiranya cukup untuk menjadi bekal membela diri.
"Sumoi, percayalah bahwa aku bermaksud baik. Usiamu sudah dua puluh tiga tahun dan masih menanti apa lagi? Ingatlah, Sumoi, bahwa harga diri setiap orang wanita dalam kehidupan ini adalah kalau ia sudah berumah tangga, menjadi isteri dan kemudian menjadi ibu."
Pada suatu senja, ketika mereka berdua duduk di serambi depan tanpa ada orang lain karena para murid dan pelayan berada di bagian belakahg rumah mereka yang kini menjadi besar karena ditambah bangunan, Su Kiat berkata kepada sumoinya dengan sikap serius.
Hui Lian yang duduk berhadapan dengan suhengnya, menunduk, dengan muka kemerahan. Percakapan mengenai perjodohannya membuat jantungnya berdebar dan ia merasa malu dan canggung sekali. Betapapun juga, urusan perjodohan itu merupakan hal yang asing baginya. Ia pun mengerti bahwa pada jamannya itu, setiap orang gadis menikah dalam usia belasan tahun, bahkan gadis-gadis kang-ouw pun menikah dalam usia paling banyak dua puluh tahun. Dan ia sudah berusia dua puluh tiga tahun, maka sewajarnyalah kalau suhengnya, yang juga menjadi pengganti guru dan orang tuanya, mendesak dan menganjurkannya untuk segera memilih seorang di antara banyak pemuda yang telah berdatangan meminangnya. Setiap kali ada pemuda meminangnya, ia selalu menolak dengan halus.
"Tapi, Suheng, aku sama sekali belum mempunyai keinginan untuk menikah dan mengikatkan diri selamanya kepada seorang suami."
"Aku mengerti perasaanmu, Sumoi. Akan tetapi pendirian seperti itu tidak benar. Jangan meniru aku, karena aku adalah seorang laki-laki dan tidak ada celanya bagi seorang pria kalau dia tidak berumah tangga, berbeda dengan seorang wanita. Aku adalah Suhengmu, dan karena engkau hidup sebatang kara, maka aku adalah pengganti orang tuamu. Kakakmu dan akulah yang akan dicela orang kalau mendiamkan saja engkau hidup seorang diri seperti ini. Demi nama baikmu, dan nama baikku. Kuharap engkau tidak berkeras Sumoi. Sampai bosan aku menolak pinangan demikian banyaknya orang muda yang baik-baik, dari dusun ini mau pun yang datang dari kota Kong-goan. Jatuhkanlah pilihanmu, Sumoi. Rasanya tidak enak juga kalau harus menolak terus pinangan yang membanjir itu, seolah-olah aku yang tidak setuju kalau engkau berumah tangga."
Mendengar suara suhengnya yang bersungguh-sungguh, dan sikapnya yang serius itu, Hui Lian mengusap dua tetes air mata yang keluar dari sepasang matanya. Melihat ini, Su Kiat cepat menghiburnya.
"Sumoi, mengapa engkau berduka? Urusan ini adalah urusan yang menggembirakan. Ketahuilah bahwa selama hidup ini, hanya ada tiga kali peristiwa kita alami, tiga peristiwa terpenting dalam kehldupan. Pertama adalah peristiwa kelahiran, ke dua peristiwa pernikahan dan ke tiga peristiwa kematian. Bagi kaum wanita masih ditambah satu lagi yang amat penting, yaitu peristiwa melahirkan. Engkau menghadapi peristiwa pernikahan, rnengapa harus berduka? Apalagi kalau pernikahan ini bukan rnerupakan pernaksaan, dan engkau berhak memilih sendiri calon suamimu."
"Tidak, Suheng, aku tidak dapat memilih. Terserah saja kepadamu, karena aku yakin bahwa pilihanmu adalah yang terbaik."
Wajah Su Kiat berseri.
"Ah, jadi engkau sudah setuju, Sumoi? Banyak pemuda yang baik yang telah meminangmu, akan tetapi, bagiku yang paling baik adalah Tee Sun, putera kepala dusun Hek-bun itu. Usianya sudah dua puluh lima tahun, wajahnya cukup tampan dan wataknya baik sekali, halus dan sopan. Juga dia telah lulus ujian di kota raja, seorang terpelajar. Aku yakin engkau tentu akan berbahagia menjadi isterinya. Bagaimana pendapatmu, Sumoi?"
Di lubuk hatinya, Hui Lian agak kecewa karena pemuda yang dimaksudkan itu tidak pandai ilmu silat, seorang pemuda yang lemah walaupun harus diakuinya bahwa pemuda itu memang tampan, terpelajar dan sopan, tidak seperti kebanyakan pemuda yang ceriwis dan genit. Juga, sebagaI putera kepala dusun keadaannya cukup mampu.
"Terserah kepadamu, Suheng, aku hanya menurut saja kalau memang hal Itu kau kehendaki."
"Akan tetapi ini bukan paksaan dariku, Sumoi."
"Aku mengerti, Suheng. Engkau aturlah saja, dan aku akan mentaati karena kuyakin bahwa segala yang kaukehendaki itu memang benar dan tepat."
Setelah berkata demikian, Hui Lian meninggalkan suhengnya, kemudian memasuki kamarnya untuk menyembunyikan tangisnya.
Su Kiat mengikuti kepergian sumolnya dengan wajah berseri, mengira bahwa sumoinya sebagai seorang gadis, tentu malu membicarakan urusan perjodohan itu. Demikianlah, tanpa ragu-ragu lagi Su Kiat lalu membicarakan urusan perjodohan itu dengan keluarga Tee, yaitu keluarga kepala dusun Hek-bun yang menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Hui Lian merupakan gadis yang dikagumi, karena bukan saja ia dikenal sebagai seorang yang memiliki ilmu silat amat tinggi, akan tetapi juga karena sikapnya ramah dan halus, dan juga gagah perkasa sehingga selama suheng dan sumoi itu tinggal di Hek-bun, tidak pernah lagi terjadi kejahatan. Orang-orang jahat menjauhkan diri dari perguruan silat Cia-ling Bu-koan itu.
Dua bulan kemudlan setelah Su Kiat membicarakan urusan perjodohan, dilangsungkanlah pernikahan yang sederhana namun cukup meriah di dusun Hek-bun, antara Kok Hui Lian yang berusia dua puluh tiga tahun dengan Tee Sun, putera lurah yang berusia dua puluh lima tahun. Pernikahan itu cukup rukun dan Hui Lian berusaha untuk mencinta suaminya, walaupun ia menjadi isteri tanpa cinta kasih suaminya yang pernah lulus di kota raja itu suka bertani dan sering kali Hui Lian mengirim makan minum kepada suaminya yang bekerja di sawah ladang. Kehidupan mereka nampak rukun dan bahagia, walaupun sampai tiga tahun lamanya Hui Lian juga belum dikaruniai keturunan. Akan tetapi, apa yang nampak indah dari luar, belum tentu demikian keadaan di sebelah dalamnya.
Terdapat perbedaan cara dan selera kehidupan antara Hui Lian dan Tee Sun. Sebagai seorang gadis yang sejak kecil ikut Su Kiat dan mempelajari ilmu silat Hui Lian sudah terbiasa oleh kekerasan dan kehidupan yang penuh tantangan, sebaliknya Tee Sun suka akan kehidupan yang tenang dan amman. Perbedaan selera hidup inilah yang mulai menjauhkan kedua suami isteri itu, menimbulkan celah atau jarak antara keduanya. Sebagai seorang wanita yang gagah perkasa dan suka akan tantangan hidup penuh kekerasan, Hui Lian sering kali ikut pergi berburu bintang buas di hutan-hutan bersama para pemburu. Memburu binatang buas di hutan penuh tantangan, penuh kesukaran dan kekerasan dan kadang-kadang Hui Lian rindu akan keadaan hidup seperti ini. Makin sering ia ikut pergi berburu, makin tak senanglah rasa hati Tee Sun.
Pada dasamya, Tee Sun memang penuh dengan cemburu terhadap isterinya. Dia merasa bahwa isterinya itu sesungguhnya tidak mencintanya, tidak ada kemesraan mendalam dirasainya dari isterinya. Isterinya demikian cantik jelita, tubuhnya mengeluarkan keringat yang berbau harum, dan dia tahu betapa banyaknya pria di dusun Hek-bun maupun di kota Kong-goan yang jatuh cinta kepada Hul Lian. Rasa cemburu ini sekarang memperoleh jalan keluar. Dia semakin cemburu ketika melihat betapa seorang di antara para pemburu, seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun, jelas memperlihatkan sikap mencinta isterinya! Pemburu muda ini bertubuh tinggi dan gagah, juga wajahnya ganteng walaupun agak kurus dan jalannya agak pincang sedikit karena pernah kakinya terluka oleh terkaman harimau buas.
Pemburu tinggi kurus yang pincang ini bernama Su Ta Touw, dan memang dia telah tergila-gila kepada Hui Lian. Dia sendiri seorang pemburu yang gagah berani, namun melihat kelihaian Hui Lian, juga kegagahan dan kecantikannya, dia telah jatuh cinta. Tanpa mempedulikan bahwa Kok Hui Lian telah bersuami, Su Ta Touw mulai merayu wanita itu. Dia memang pandai merayu dan Hui Lian adalah seorang wanita yang sama sekali belum berpengalaman. Ia menikah dengan Tee Sun tanpa cinta, dan kini, ia melihat seorang pria yang merayunya dengan kata-kata manis, dengan sumpah, bahkan dengan air mata! Su Ta Touw yang tinggi kurus itu tidak segan-segan untuk mengeluarkan air mata dan menangis ketika memperoleh kesempatan menyatakan cintanya kepada Hui Lian!
Tentu saja mula-mula Hui Lian menolak, bahkan marah-marah dan menegur teman seperburuan itu, mengingatkannya bahwa ia telah mempunyai suami. Akan tetapi Su Ta Touw yang belum mempunyai isteri itu membujuk rayu terus, tidak mengenal malu, tidak takut ditegur dan dimarahi sehingga lama-kelamaan Hui Lian merasa kasihan kepadanya. Wanita ini mengira bahwa Su Ta Touw benar-benar cinta kepadanya, cinta yang mati-matian, cinta yang tulus ikhlas dan sepenuhnya, bukan seperti cinta suaminya yang dianggapnya tidak mendalam benar. Namun ia tetap menjaga diri dan tidak melayani rayuan Su Ta Touw. Akan tetapi berita tentang usaha Su Ta Touw merayu isterinya itu akhirnya sampai juga ke telinga Tee Sun dan marahlah suami ini.
"Begitukah kelakuanmu ketika engkau jauh dariku, dan ikut bersama para pemburu kasar itu? Engkau telah berpacaran dengan pemburu yang kurus tinggi dan pincang itu!"
Hui Lian memandang suaminya dengan alis berkerut dan mata bersinar. Kalau ia tidak ingat bahwa penuduhnya itu suaminya dan suaminya itu bertubuh lemah, tentu sudah ditamparnya Tee Sun.
"Laki-laki bodoh dan buta! Engkau menuduh orang secara membabi-buta! Dialah yang merayuku, bukan aku yang tergila-gila. Kalau engkau memang laki-laki jantan, datangi dia dan hajar dia yang berani merayu isterimu!"
Hui Lian berkata ketus sambil pergi meninggalkan suaminya. Akan tetapi, tentu saja Tee Sun tidak berani kalau harus menegur apalagi menghajar Su Ta Touw, pemburu yang tentu saia lebih kuat dari padanya itu. Akan tetapi sikapnya terhadap Hui Lian menjadi semakin hambar dan uring-uringan, bahkan dia lalu pergi ke rumah Su Kiat di perguruan Cia-ling Bu-koan, mengadukan isterinya kepada Su Kiat! Ciang Su Kiat mendengarkan dengan alis berkerut. Dia tidak percaya bahwa sumoinya dapat melakukan perbuatan serendah itu. Berjina dengan pria lain!
"Tee Sun, apakah ada buktinya bahwa Sumoi berjina dengan orang lain?"
Dia bertanya sambil menatap waiah tampan suami dari sumoinya itu. Tee Sun menarik napas panjang, wajahnya penuh dengan kekesalan dan kemarahan.
"Memang belum ada buktinya, akan tetapi banyak pemburu yang menceritakan betapa orang she Su itu selalu merayunya dan betapa akrab hubungan antara mereka. Orang she Su itu terang-terangan mengatakan kepada siapa saja bahwa dia tergila-gila dan jatuh cinta kepada Hui Lian! Bukankah itu sudah merupakan bukti cukup kuat? Tidak, aku tidak percaya lagi dan aku akan ceraikan ia!"
"Bagus!"
Tiba-tiba muncul Hui Lian yang agaknya sejak tadi sudah mengikuti dan mendengarkan ketika suaminya mengadu kepada suhengnya.
"Engkau hendak menceraikan aku? Baik, sekarang juga! Kau kira aku kesenangan menjadi isteri seorang pencemburu macam kau? Ceraikan aku. Sekarang juga!"
"Bolehl Aku pun tidak tahan lagi!"
Tee Sun juga berteriak. Su Kiat berusaha melerai dan mendamaikan, namun sia-sia saja. Keduanya sudah merasa panas dan percekcokan itu pun berakhir dengan perceraian. Atas desakan sumoinya, terpaksa Su Kiat pergi mengunjungi keluarga Tee untuk membicarakan urusan perceraian itu.
"Sumoi, apakah tidak ada jalan lain?"
Su Kiat masih membujuknya.
"Tidak, Suheng. Apakah engkau ingin aku hidup dalam kesengsaraan, di samping suami pencemburu yang setiap saat marah-marah dan menduga yang bukan-bukan? Dilanjutkan hanya akan menjadi siksaan saja bagiku, juga bagi dia, maka perceraianlah jalan terbaik."
Akhirnya bercerailah Hui Lian dari Tee Sun. Hui Lian kembali tinggal bersama suhengnya, membantu suhengnya melatih murid-murid Cia-ling Bu-koan. Sementara itu, melihat betapa Hui Lian kini telah menjanda, Su Ta Touw menjadi semakin berani, mendapat hati dan dengan nekat dia pun melakukan pendekatan dan melimpahkan rayuan-rayuan mautnya. Hui Lian yang masih hijau itu semakin terharu dan hanyut. Ia tidak cinta kepada Su Ta Touw, seperti juga ia tidak pernah mencinta Tee Sun, akan tetapi ia merasa iba sekali melihat laki-laki itu seakan-akan menyembah-nyembahnya, berlutut dan menangis mohon agar cintanya diterima. Ia mengira bahwa sekali ini benar-benar ia bertemu dengan pria yang mencintanya dengan tulus ikhlas, dengan murni. Maka, ia pun menerima ketika Su Ta Touw meminangnya! Ketika ia minta persetujuan suhengnya, Su Kiat memandang kepada sumoinya dengan alis berkerut.
"Dia? Ah, Sumoi, sudah kau pikir baik-baikkah kalau engkau menerima pinangan Su Ta Touw? Ingatlah bahwa dia yang menjadi gara-gara sehingga rusak rumah tanggamu, sehingga engkau bercerai dari suamimu! Apakah kelak engkau tidak akan menyesal? Kulihat Su Ta Touw tidaklah lebih baik daripada Tee Sun, karena dia demikian kasar dan terlalu pandai bermanis muka."
"Tidak, Suheng. Justru karena aku bercerai karena dia, maka sebaiknya kalau kini aku menjadi isterinya. Tidak kepalang tanggung. Dulu, aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Su Ta Touw, kecuali teman berburu, akan tetapi aku disangka berpacaran dengan dia. Karena itu, melihat kesungguhan hatinya, biarlah aku menerima pinangannya untuk menghentikan desas-desus orang, dan pula sekali ini aku percaya bahwa dia sungguh-sungguh mencintaku, Suheng."
Su Kiat hanya menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang.
"Aih, engkau tahu apa tentang cinta, Sumoi?"
Akan tetapi dia tidak membantah atau mencegah sumoinya menikah lagi, sekali ini dengan Su Ta Touw. Karena suaminya yang baru ini tinggal di sebuah dusun di sebelah selatan Kong-goan, kurang lebih tiga puluh li jauhnya dari Hek-bun, maka Hui Lian mengikuti suaminya dan kini tempat tinggalnya agak jauh dari tempat tinggal suhengnya. Pada bulan-bulan pertama, Hui Lian merasa berbahagia karena suaminya yang baru ini selalu berusaha menyenangkan hatinya dan agaknya memang benar mencintanya. Akan tetapi setelah setahun mereka menjadi suami isteri, nampaklah perubahan pada sikap Su Ta Touw! Baru nampak belangnya sekarang.
Kiranya Su Ta Touw termasuk seorang hamba nafsu dan kalau dia dahulu begitu merendahkan diri, menangis dan merayu, adalah karena tergoda oleh nafsu berahi yang membadai. Kini, setelah Hui Lian menjadi isterin.ya, maka muncullah kembali sifatnya yang aseli, yaitu pembosan! Laki-laki macam ini tak pernah dapat sungguh-sungguh mencinta wanita. Nampaknya saja mencinta mati-matian kalau belum terdapat, akan tetapi mudah merasa bosan. Mulailah berubah sikap Su Ta Touw dan mulailah nampak oleh Hui Lian betapa suaminya ini seorang laki-Iaki hidung belang yang selalu mengejar wanita muda dan cantik. Hui Lian merasa hatinya seperti disayat-sayat. Ia mempertahankan kedudukannya karena merasa malu kalau harus bercerai lagi. Terutama sekali malu terhadap suhengnya. Betapa tepat peringatan suhengnya dahulu. Akan tetapi, segalanya telah terlanjur. Ia berusaha memperbaiki rumah tangganya, memperingatkan Su Ta Touw.
Namun Su Ta Touw hanya nampak menurut dan jinak kalau berada di dekatnya, karena takut. Kalau sudah berada di luar rumah, suaminya itu berubah menjadi binal dan bermain-main dengan wanita lain, tak terhitung banyaknya. Hui Lian mempertahankan rumah tangganya sampai setahun lagi. Sudah dua tahun ia menjadi isteri Su Ta Touw dan ketika ia mendengar bahwa suaminya itu main gila dengan seorang wanita tetangganya lagi, dan wanita yang sudah mempunyai tiga orang anak! Ketegangan memuncak ketika ia mendengar keributan antara suami isteri tetangga itu, di mana sang suaminya marah-marah, menuduh bahwa isterinya yang sedang mengandung lagi itu telah berjina dengan Su Ta Touw, karena suaminya sudah berbulan-bulan tidak mendekatinya. Suami itu menuduh bahwa isterinya mengandung sebagai hasil perjinaannya dengan Su Ta Touw!
"Benarkah semua keributan di sebelah itu."
Ia bertanya kepada suaminya. Su Ta Touw bersumpah-sumpah menyangkal. Seperti juga dahulu ketika merayunya, dia bersumpah-sumpah.
"Biar selama hidupku aku menderita susah dan sukar mencari makan, biar aku, mampus disambar geledek kalau aku melakukan hal itu!"
Katanya. Karena suaminya bersumpah seberat itu, Hui Lian diam saja. Akan tetapi diam-diam ia memperhatikan gerak-gerik suaminya, bahkan membayangi di luar tahu suaminya. Pada suatu malam, di waktu hujan, ia membayangi suaminya yang pergi berkunjung ke tetangga sebelah, memasuki kamar nyonya tetangga itu melalui jendela yang dibuka dari dalam! Hampir meledak rasa hati Hui Lian saking panasnya melihat kelakuan suaminya itu. Ia membiarkan sampai beberapa lama, kemudian secara tiba-tiba ia membuka daun jendela dari luar dan melompat ke dalam kamar.
"Jahanam busuk!"
Bentaknya dan bergidik ia menyaksikan perbuatan suaminya dan nyonya tetangga itu. Su Ta Touw terkejut dan ketakutan, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa kemudian hendak berlari keluar. Akan tetapi sekali menggerakkan kakinya, Hui Lian sudah menendangnya, sedemikian keras tendangan itu sehingga tubuh suaminya terlempar keluar jendela! Hui Lian mengejar keluar, dan menyeret rambut suaminya, ditariknya kembali ke rumah mereka, tidak peduli akan hujan yang turun mengguyur tubuh mereka.
"Ampun.. ampunkan aku... ah, ampunkann.."
Su Ta Touw menggigil ketakutan ketika isterinya melempar tubuhnya ke atas tanah di pekarangan depan rumah mereka.
"Bangunlah dan pertahankan dirimu, karena kalau tidak, demi Tuhan, aku akan membunuhmu begitu saja!"
"Tidak... tidak... ah, ampunkan aku..."
Su Ta Touw yang ditantang isterinya itu berlutut dan menyembah-nyembah sambil menangis. Tentu saja dia tidak berani melawan Hui Lian, maklum bahwa tingkat kepandaian silatnya masih jauh sekali di bawah sehingga dalam segebrakan saja isterinya akan mampu merobohkannya, bahkan membunuhnya.
"Desss!"
Kembali sebuah tendangan membuat tubuh Su Ta Touw terjengkang dan bergulingan. Dia mengaduh-aduh, bangkit dan berlutut lagi. Mulutnya berdarah dan seluruh tubuhnya basah oleh lumpur.
"Ampunkan aku... aku bersumpah tidak akan berani lagi... aku bersumpah... ah, ampunkan aku."
"Jahanam keparat! Sumpah yang keluar dari mulutmu hina dan busuk!"
Kembali kaki Hui Lian menendang dan tubuh itu pun terpelanting keras. Ia menendang untuk melampiaskan kemarahannya, hanya mempergunakan tenaga otot biasa. Kalau ia menendang dengan pengerahan sinkang, satu kali saja tentu akan putus nyawa laki-laki itu.
"Tidak, sekali ini aku taubat benar-benar, aku bersumpah... demi nenek moyangku, demi.. nama dan kehormatanku.. aku.."
"Cukup!"
Hui Lian membentak marah.
"Bangkitlah dan lawan aku sebagai seorang laki-laki! Pertahankanlah nyawamu!"
Melihat kemarahan isterinya yang amat ditakuti itu, Su Ta Touw menjadi semakin ketakutan dan dia menangis tanpa bangkit dari atas tanah di mana dia berlutut! Melihat ini, Hui Lian menjadi semakin marah,
"Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus!"
Bentaknya dan ia sudah melangkah maju untuk mengirim tendangan maut.
"Sumoi, tahan...!"
Tiba-tiba terdengar suara orang. Hui Lian terkejut, membalikkan tubuhnya dan melihat bahwa seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya sudah berdiri disitu.
"Sumoi, apalagi yang kau lakukan ini?"
Kembali laki-laki menegurnya dengan suara keras penuh teguran.
"Suheng..!"
Hui Lian berlari menghampiri dan menubruk laki-laki itu, menangis sejadi-jadinya di pundak Su Kiat, Su Kiat menarik napas panjang dan mendengarkan dengan sabar ketika Hui Lian menceritakan dengan suara terisak-isak akan semua perbuatan suaminya yang sudah semenjak setahun yang lalu berubah sikapnya, menjadi laki-laki hidung belang. Kemudian diceritakannya pula peristiwa perjinaan suaminya dengan nyonya tetangga yang sudah bersuami dan beranak tiga, bahkan perjinaan itu kini menumbuhkan kandungan dalam perut nyonya itu. Su Kiat menggeleng-gelengkan kepala, memandang kepada Su Ta Touw yang masih berlutut di atas tanah yang becek. Bagaimana seorang laki-laki dapat terperosok sedemikian dalamnya, melakukan hal yang amat memalukan hanya karena terdorong nafsu berahi?
"Suheng, sebelum engkau datang, aku tadinya hendak membunuhnya sebelum aku bunuh diri. Malu aku hidup di dunia ramai ini..."
Su Kiat terkejut. Dia maklum akan kekerasan hati sumoinya, dan dia khawatir kalau-kalau sumoinya akan benar-benar membunuh diri.
"Sumoi, pikiranmu itu keliru. Agaknya memang sudah menjadi nasibmu, dua kali menikah dengan laki-laki yang tidak benar. Akan tetapi, membunuhnya lalu membunuh diri bukan merupakan jalan keluar yang baik. Bunuh diri hanya dapat dilakukan oleh pengecut yang sudah tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Mari kita selesaikan urusan ini sebaiknya, Sumoi. Engkau bercerai saja lagi dari keparat ini, kemudian mari kembali membantuku, membina Cia-ling Bu-koan kita. Bukankah sebelum semua ini terjadi, kita hidup cukup bahagia?"
Diam-diam Hui Lian menyalahkan suhengnya yang dulu membujuknya agar menikah, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya. Suhengnya demikian baik, dan siapa lagi orang di dunia ini kecuali suhengnya yang dapat ditangisinya di waktu ia menghadapi masalah yang demikian menyedihkan hatinya?
"Mari kita pulang ke Hek-bun, dan besok aku yang akan membereskan urusan perceraianmu dengan jahanam ini, menemui orang tuanya."
Tanpa pamit lagi, Hui Lian dan Su Kiat mempergunakan ilmu lari cepat meninggalkan tempat itu setelah Hui Lian membawa pakaian dan barang-barangnya yang dianggap perlu.
Pada keesokan harinya, Su Kiat menjumpai Su Ta Touw dan orang tuanya. Su Ta Touw tidak berani banyak cakap lagi karena dia memang merasa bersalah. Juga ayah ibunya tidak berani banyak cakap, maklum akan watak putera mereka yang gila perempuan dan tidak bertanggung jawab itu. Demikianlah, untuk kedua kalinya, dalam waktu lima tahun, Hui Lian kembali menjadi janda. Ia merasa malu sekali tinggal di Hek-bun. Seluruh penduduk Hek-bun tahu belaka bahwa ia adalah wanita yang dalam waktu beberapa tahun saja sudah menjanda sampai dua kali! Karena itu, biarpun tidak ada orang berani mengejeknya atau bicara tentang dirinya, Hui Lian merasa malu sendiri dan ia pun berpamit kepada suhengnya.
"Suheng, perkenankanlah aku pergi dari dusun ini,"
Katanya pada suatu senja. Su Kiat terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan melihat betapa sumoinya telah mengenakan pakaian pria yang agaknya sudah lama dipersiapkannya. Juga sumoinya itu mengatur rambutnya seperti seorang pria, menyamar sebagai pria. Sudah berbulan-bulan sumoinya tinggal lagi di situ bersama dia setelah bercerai dari Su Ta Touw dan baru terasa olehnya perubahan yang terjadi dalam kehidupannya. Sebelum sumoinya menikah untuk pertama kali, dia merasa hidupnya berbahagia bersama sumoinya. Ketika sumoinya menikah dengan Tee Sun dan pindah, dia merasa kesepian, bahkan berduka.
Namun, perasaan ini di lawannnya dengan keyakinan bahwa sumoinya pergi untuk menempuh hidup baru yang berbahagia dan sepatutnya kalau dia merasa ikut berbahagia pula. Kemudian, sumoinya bercerai dan menikah lagi. Kini, setelah sumoinya bercerai untuk kedua kalinya dan tinggal lagi bersamanya dalam satu rumah, membantunya, baik untuk melatih para murid maupun untuk urusan rumah tangga, dia merasa seolah-olah matahari bertambah cerah dan kicau burung bertambah merdu. Kehidupan menjadi amat berbahagia baginya, seolah-olah dia menemukan kembali dirinya dan kebahagiaan yang tadinya sedikit demi sedikit menghialng bersama dengan perginya Hui Lian dari sampingnya. Karena itu, mendengar sumoinya berpamit, dia terkejut bukan main sampai berubah air mukanya.
"Kau.. kau hendak pergi kemanakah, Sumoi?"
Tanyanya gagap.
"Aku... aku hendak pergi merantau, ke mana saja, Suheng."
"Ah, apa artinya ini, Sumoi? Kenapa engkau sekarang tidak suka tinggal bersamaku, membantuku? Apakah kita.. tidak dapat kembali hidup seperti dulu, Sumoi, dimana kita mengalami segala hal berdua, pahit maupun manis? Kenapa engkau tiba-tiba hendak meninggalkan aku? Dan aku khawatir sekali karena engkau pergi tanpa tujuan."
"Aku mau mencari pengalaman, Suheng, dan aku.. aku berusaha melupakan segala yang pernah terjadi denganku di sini, juga agar semua orang melupakan semua itu.. aku mungkin akan mencari keluarga orang tuaku di San-hai-koan."
"Bukankah aku pengganti keluargamu, Sumoi?"
"Benar, benar sekali, Suheng!"
Hui Lian memegang tangan suhengnya yang terletak di atas meja.
"Engkau keluargaku, engkau pengganti orang tua dan Kakakku juga Guruku dan sahabatku. Ahh.. betapa aku telah bersikap tak mengenal budi, akan tetapi.. aku ingin pergi, Suheng. Aku ingin menghirup udara bebas setelah bertahun-tahun mengalami penderitaan batin yang tak mungkin dapat kuceritakan kepadamu. Perkenankanlah aku pergi, Suheng. Untuk setahun, dua tahun.. Tanpa ijinmu aku tidak berani pergi. Tapi, kasihanilah aku, Suheng.."
Su Kiat memejamkan kedua matanya. Aih, sumoi, tidakkah seharusnya engkau yang mengasihani diriku, bisik hatinya. Akan tetapi dia menahan gejolak hatinya dan membuka mata, memandang wajah sumoinya penuh haru, penuh rasa sayang.
"Baiklah, Sumoi. Aku tidak mungkin dapat mencegah kehendakmu. Aku hanya mendoakan semoga engkau akan menemukan kebahagiaan.."
"Aih, Suheng! Engkau seperti dapat menjenguk dan membaca isi hatiku! Benar sekali, aku rindu akan kebahagiaan, Suheng! Selama ini hanya kebahagiaan palsu yang kuraih, dan aku rindu sekali. Aku akan pergi untuk mencari kebahagiaan, Suheng."
Su Kiat tidak menjawab dan dia masih duduk termenung setelah lama sekali Hui Lian meninggalkan tempat itu, meninggalkannya. Ingin dia pun pergi mencari kebahagiaan, akan tetapi hal itu tidaklah mungkin. Bagaimana mungkin dia mencari kebahagiaan kalau baru saja kebahagiaan sendiri meninggalkannya? Dia sekarang tahu benar. Hui Lianlah sumber kebahagiaannya! Dan kini Hui Lian telah pergi, membawa kebahagiaan menjauhi hatinya yang menjadi penuh dengan kesepian, penuh kekosongan dan kerinduan.
Sungai Yuan yang airnya jernih itu mengalir ke timur menuju ke Telaga Tung-ting yang terletak diperbatasan Propinsi Hu-nan dan Hu-pai. Ketika sungai itu melewati pegunungan yang penuh dengan hutan cemara, airnya mengambil jalan berkelok-kelok dan dari tempat ketinggian itu nampak seperti seekor ular perak yang amat panjang. Pemuda itu mengagumi pemandangan alam yang amat indah ini, samabil duduk di atas padang rumput di puncak bukit yang datar itu dan memberi kesempatan pada tubuhnya untuk beristirahat. Dari tempat dia duduk nampak di kejauhan Danau Tung-ting yang luar biasa luasnya itu, seperti lautan. Danau inilah yang memberi nama kepada dua propinsi, yaitu Propinsi Hu-nan (sebelah selatan danau) dan Propinsi Hu-pai (sebelah utara danau).
Danau atau Telaga Tung-ting ini di sebelah selatan menampung air dari sungai-sungai Yuan, Siang, Ce, dan Li dan menghubungkan air danau dengan Sungai Yang-ce-kiang yang amat besar itu. danau itu menjadi semacam waduk alam yang amat besar, yang mengatur pasang-surutnya air Sungai Yang-ce. Di pagi hari menjelang siang itu, pemuda tadi duduk mengaso dan termenung. Alangkah jauhnya sudah dia menjelajahi bumi. Telaga atau Danau Tung-ting yang nampak dikejauhan seperti laut membentang luas itu juga dikunjunginya beberapa hari yang lalu, sempat berperahu dan mengail ikan disana. Alangkah jauh dan lama dia menjelajah. Dia tidaklah terlalu muda lagi. Usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya serba putih dari kain kasar yang kuat dan bersih. Hanya pita rambut dan ikat pinggangnya yang berwarna biru. Dia sesungguhnya bukanlah seorang pemuda, melainkan seorang wanita, yaitu Kok Hui Lian!
Kita tahu bahwa wanita ini meninggalkan Hek-bun, dusun tempat tinggalnya, meninggalkan suhengnya, untuk melakukan perantauan, untuk menghibur hatinya yang penuh dengan kekecewaan dan kedukaan. Sekali merantau, ia menemukan hiburan di dalam kehidupan baru ini, sehingga ia lupa akan janjinya untuk pulang ke tempat tinggal suhengnya. Sudah dua tahun ia merantau dan sudah jauh tempat yang dijelajahinya. Bahkan sudah pula ia mengunjungi San-hai-koan di mana mendiang ayahnya pernah tinggal dan bahkan menjabat sebagai gubernur. Namun, ketika ia melakukan penyelidikan, ternyata ayah dan ibunya, juga seisi rumah, telah menjadi korban perang, semua telah tewas, kecuali ia seorang yang diselamatkan seorang pendekar yang menurut cerita suhengnya kemudian, bernama Cia Hui Song, putera dari Ketua Cin-ling-pai.
(Lanjut ke Jilid 23)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 23
Ia berhasil menemui seorang paman, yaitu adik misan ayahnya yang menjadi seorang pembesar di San-hai-koan. Akan tetapi ternyata paman itu bersikap congkak dan tinggi hati, membuat ia merasa sungkan untuk mengenalkan dirinya dan akhirnya ia meninggalkan San-hai-koan dan menganggap bahwa orang tuanya tidak meninggalkan anggauta keluarga lain kecuali dirinya sendiri. Ia berkunjung ke makam ayah ibunya dan bersembahyang. Kini ia telah tiba di tempat sunyi yang indah itu, dan duduk mengagumi keindahan pemandangan alam sambil melamun. Ia teringat akan masa lalunya, teringat kepada Ciang Su Kiat, orang yang tadinya menjadi gurunya, menjadi pengganti orang tuanya, sahabatnya, dan kemudian menjadi suhengnya. Dan ia menjadi terharu.
Setiap kali termenung dan terkenang kepada suhengnya, makin jelas teringat olehnya betapa baiknya suhengnya itu terhadap dirinya. Dan betapa malang nasib suhengnya. Pernah suhengnya bercerita tentang lengannya yang buntung. Lengan kiri itu dibuntungi sendiri sebagai pernyataan bersalah terhadap Cin-ling-pai! Di depan ketua Cin-ling-pai, ayah dari Pendekar Cia Hui Song yang menyelamatkannya, suhengnya itu membuntungi lengan kirinya sendiri, sebagai penebusan dosa dan sebagai protes pula atas peraturan yang amat keras dan bengis dari Cin-ling-pai.
"Dosa! suhengnya itu adalah karena Su Kiat membunuh seorang tihu untuk membalas dendam atas kematian ayahnya yang disiksa sampai mati oleh tihu itu karena ayahnya mencuri perhiasan untuk membiayai pengobatan anak bungsunya
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kasihan sekali suhengnya! Dan keterlaluan sekali Ketua Cin-ling-pai itu. Apakah ketua itu tidak melihat bahwa suhengnya tidak melakukan kejahatan, melainkan hendak membalaskan kematian dan sakit hati ayah kandungnya? Biarpun suhengnya melupakan urusan itu, namun kini perasaan penasaran membuat Hui Lian mengambil keputusan untuk mengunjungi Cin-ling-pai dan setidaknya ia akan menegur Ketua Cin-ling-pai atas kebengisan dan kekejamannya itu! Tiba-tiba Hui Lian tersentak dari lamunannya ketika ada suara melengking merdu, naik turun dengan lembutnya, memasuki pendengarannya. Ia segera memperhatikan dan itu adalah suara suling yang ditiup secara aneh. Suara itu demikian lembut, naik turun dengan halusnya, dalam lagu yang selamanya belum pernah ia mendengarnya. Akan tetapi hanya sebentar saja suara itu terdengar, karena segera menjauh dengan amat cepatnya, seolah-olah suling itu dibawa terbang lalu saja.
Hui Lian bangkit berdiri, memandang ke sekeliling untuk mencari peniup suling, akan tetapi tidak nampak sesuatu dan kini suara suling itu telah makin sayup-sayup kemudian menghilang di kejauhan. Ketika ia memandang ke bawah, di sebuah lereng yang penuh rumput hijau gemuk, ia melihat puluhan ekor domba digembala oleh seorang anak laki-laki yang usianya belasan tahun. Anak itukah Si Peniup Suling, pikirnya. Karena ingin tahu sekali, masih tertarik oleh suara yang aneh tadi, Hui Lian meninggalkan puncak bukit itu dan menuruni bukit menuju ke lereng bukit dimana anak laki-laki itu sedang menggembala dombanya. Ketika mengerahkan ilmunya berlari cepat, dalam waktu singkat saja Hui Lian telah tiba di lereng bukit itu. Akan tetapi ketika ia tiba di tempat di mana anak laki-laki berusia belasan tahun itu menggembala tiga puluh ekor dombanya, ia terkejut dan cepat menyelinap dibalik batang pohon sambil mengintai ke depan.
Tak jauh dari situ, ia melihat empat orang yang mengerikan. Mereka itu dua orang pria dan dua orang wanita, keempatnya sudah berusia enam puluh tahun lebih. Agaknya mereka adalah dua pasang suami isteri. Yang sepasang merupakan kakek dan nenek biasa saja, bahkan kakek tinggi besar itu nampak gagah dan isterinya, nenek yang tubuhnya masih ramping itu memperlihatkan bekas kecantikannya. Namun, pasangan ke dua amat mengerikan. Yang pria tinggi kurus dengan muka yang cukup tampan akan tetapi seperti topeng saja, karena tidak nampak pergerakan pada kulit muka itu! dan isterinya, yang juga berpakaian hitam-hitam seperti suaminya, dapat dibilang cantik akan tetapi mukanya pucat seperti mayat dan membayangkan kekejaman. Dari sikap mereka saja mudah diduga bahwa empat orang itu bukanlah kakek dan nenek sembarangan.
Dugaannya memang tidak keliru. Dua pasang suami isteri tua itu bukan lain adalah Lam-hai Saing-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) dan suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan. Seperti telah kita ketahui dari bagian depan kisah ini, dua pasang suami isteri sesat ini pernah saling bermusuhan ketika mereka saling memperebutkan Sin-tong (Anak Ajaib) belasan tahun yang lalu. Kemudian, karena dari permusuhan itu mereka sama-sama tidak memperoleh keuntungan, mereka lalu bersekutu dan akhirnya mereka bertemu dengan tokoh datu sesat Lam-hai Giam-lo yang amat sakti dan menjadi sekutu atau anak buahnya. Lam-hai Giam-lo telah mendapatkan seorang murid yang kaya raya dan kini datuk ini tinggal bersama muridnya, mempunyai banyak anak buah yang terdiri dari tokoh-tokoh sesat yang pandai seperti dua pasang suami isteri itu.
"Aahh, kebetulan sekali. Perut kita lapar dan lihat domba-domba yang muda dan gemuk itu!"
Terdengar Ma Kim Li, nenek isteri Siangkoan Leng yang menjadi Sepasang Iblis Laut Selatan itu berkata sambil menunjuk ke arah sekumpulan domba yang makan rumput dan berkeliaran di situ. Anak penggembala itu duduk di bawah pohon, kadang-kadang meneriaki domba yang berkeliaran telampau jauh. Melihat pakaiannya yang terbuat dari kain Liu-jang, yaitu kain yang terbuat dari bahan rami yang terkenal di daerah Hu-nan, mudah di duga bahwa anak ini adalah suku bangsa Miao, suku bangsa yang banyak terdapat di daerah itu.
"Benar sekali! Daging domba muda dan gemuk itu dibakar setengaj matang, diberi garam saja sudah lezat bukan main,"
Kata suaminya.
"Aku masih menyimpan sisa garam dan bumbunya,"
Kata Tong Ci Ki yang mukanya pucat seperti mayat.
"Aku lebih suka mengganyang otak domba itu mentah-mentah, segar dan memperkuat tulang!"
Kata suaminya yang bernama Kwee Siong.
"Mari kita tangkap, seorang seekor dan boleh makan menurut selera masing-masing,"
Kata Siangkoan Leng, suami dari Ma Kim Li. Mereka serentak muncul dari balik semak-semak dan menghampiri sekumpulan domba itu. Melihat ada empat orang kakek dan nenek menghampiri domba-dombanya yang menjadi gelisah, ana penggembala berusia sekitar tiga belas tahun itu pun cepat bangkit dan lari menghampiri. Ketika anak itu melihat betapa empat orang kakek dan nenek itu masing-masing menangkap seekor domba muda, dia terkejut sekali dan dalam bahasanya sendiri, bahasa suku bangsa Miao, dia berteriak,
"Lepaskan domba-dombaku, jangan tangkap mereka!"
Anak itu berusaha untuk mengambil kembali domba-dombanya dari tangan empat orang kakek dan nenek yang menangkapnya, akan tetapi Ma Kim Li yang berdiri paling dekat, mendorongkan tangan kirinya dan tubuh anak itu pun terdorong ke belakang, terjengkang dan terguling-guling, di atas rumput. Sambil tertawa-tawa empat orang kakek dan nenek sesat itu hendak pergi dari situ membawa empat ekor domba muda yang kini mengembik ketakutan. Anak laki-laki itu terkejut sekali, akan tetapi dia tidak menangis, bahkan cepat dia bangkit lagi dan lari mengejar.
"Kembalikan domba-dombaku! Kembalikan, kalian pencuri-pencuri busuk!"
Mendengar mereka di maki pencuri busuk, Kwee Siong yang berjuluk Si Tangan Maut, berhenti dan membalikkan tubuhnya. Wajahnya yang seperti topeng itu sama sekali tidak menunjukkan apa-apa, namun sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.
"Hemm, besar juga nyali anak ini. Tentu otaknya lebih segar dan menguatkan tulang daripada otak domba. Nak, mari ikut bersamaku!"
Katanya dan Kwee Siong sudah melemparkan domba yang tadi dipegangnya ke atas tanah, lalu tangannya menjangkau untuk menangkap leher anak laki-laki itu.
"Tua bangka busuk, jangan ganggu anak itu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan tiba-tiba saja tubuh anak itu tertarik ke belakang sehingga terluput dari cengkeraman tangan Kwee Siong. Kakek itu terkejut dan cepat mengangkat muka memandang. Kiranya seorang dengan pakaian serba putih telah berdiri di depannya. Dia seorang laki-laki muda, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya serba putih kasar namun bersih, dengan ikat rambut dan ikat pinggang berwarna biru. Wajahnya yang tampan sekali itu membayangkan kemarahan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong. Empat orang tua itu kini menghadapi pemuda yang bukan lain adalah Hui Lian itu, dan mereka semua memandang marah.
"Eh, pemuda liar dari mana berani mencampuri urusan kami?"
Bentak Siangkoan Leng sambil melangkah maju, tubuhnya yang tinggi besar itu nampak mengancam dan wajahnya beringas. Dengan suara lantang dan ketus Hui lian berkata,
"Melihat sikap kalian, kalian adalah empat orang tua bangka yang tidak miskin, juga bukan orang sembarangan. Tidak malukah kalian mengganggu seorang anak penggembala domba dan merampas domba-dombanya? Kembalikan domba-domba itu!"
"Wah, bocah itu sudah bosan hidup!"
Bentak Kwee Siong yang tadi sudah melempar dombanya karena hendak menangkap anak penggembala. Sambil membentak, dia sudah menerjang maju dan mengirim tamparan kedua tangannya bergantian ke arah kepala Hui Lian. Tamparan ini bukan sembarangan tamparan, melainkan tamparan yang mengandung tenaga kuat sekali, merupakan serangan maut. Jangankan kepala orang, batu karang pun akan remuk terlanda tamparan kedua tangan yang amat kuat itu. Dengan tenang Hui Lian mengangkat kedua lengannya ke kanan kiri. Ketika dua pasang lengan itu bertemu, kedua lengan Kwee Siong terpental dan kesempatan ini dipergunakan Hui Lian untuk melanjutkan kedua tangannya yang menangkis itu untuk mendorong ke depan, ke arah dada lawan.
Kwee Siong terkejut dan mengelak ke belakang, namun hawa dorongan yang kuat masih menerjangnya dan membuat tubuhnya terjengkang keras! Hanya dengan berjungkir balik sajalah dia terhindar dari bantingan keras. Tentu saja hal ini mengejutkan empat orang itu. Pemuda berpakaian putih itu bukan saja mampu menangkis tamparan kedua tangan Kwee Siong Si Tangan Maut, bahkan mampu membalas menyerang yang nyaris membuat Kwee Siong terbanting roboh! Isteri Kwee Siong, Tong Ci Ki, menjadi marah. Ia pun melempar dombanya dan begitu kedua tangannya bergerak, nampak sinar hitam kecil-kecil beterbangan menyambar ke arah tubuh Hui Lian. Gadis yang menyamar sebagai seorang pemuda ini maklum bahwa ia diserang jarum-jarum halus yang mungkin sekali mengandung racun. Namun, sebagai seorang ahli silat yang berilmu tinggi,
Hui Lian tidak menjadi gugup dengan datangnya serangan dengan senjata gelap ini. Sekali berkelebat, tubuhnya sudah lenyap dari depan empat orang lawan karena tubuh itu, dengan ginkang yang luar biasa, telah mencelat ke atas sehingga jarum-jarum itu lewat di bawah kakinya. Hui Lian tidak hanya mengelak, akan tetapi ketika tubuhnya turun, tubuh itu menyambar ke arah Tong Ci Ki yang tadi menyerangnya dengan jarum. Tentu saja Tong Ci Ki yang berjuluk Si Jarum Sakti, terkejut sekali melihat lawan yang diserang jarum-jarum halus itu secara tiba-tiba lenyap, dan ia menjadi semakin kaget ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari atas dan ketika ia menengadah, ia melihat lawannya tadi telah meluncur turun dan menyerangnya dengan cengkeraman ke arah ubun-ubun kepalanya!
Datangnya serangan ini demikian tiba-tiba dan cepat sehingga satu-satunya jalan bagi nenek iblis itu untuk menyelamatkan diri hanyalah dengan cara membuang tubuhnya ke samping, ke arah yang berlawanan dengan datangnya serangan, terus menjatuhkan diri ke bawah. Akan tetapi, gerakannya masih belum cukup cepat karena pita rambut bersama sebagian rambut, segumpal rambut bercampur uban, telah kena dicengkeram dan rontok dari kepalanya! Tong Ci Ki bergulingan dan melompat bangun dengan muka yang sudah pucat itu menjadi kehijauan, dan tengkuk meremang saking ngerinya. Nyaris ia tewas dalam segebrakan saja! Dua pasang suami isteri yang terkenal sebagai tokoh-tokoh sesat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu hampir tidak dapat mempercayai mata mereka sendiri melihat betapa ada seorang pemuda yang sama sekali tidak terkenal,
Dengan beberapa gebrakan saja membuat suami isteri iblis dari Guha Pantai Selatan itu hampir roboh! Siangkoan Leng dan isterinya tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendekar yang lihai, maka tanpa banyak cakap lagi mereka pun melempar domba yang mereka tangkap tadi dan keduanya sudah menerjang maju membantu kawan-kawan mereka. Siangkoan Leng meloncat ke atas dan menubruk dengan kedua tangannya membentuk cakar, seperti serangan seekor singa kelaparan. Hui Lian menghindar dengan kecepatan kilat ke samping lalu kakinya bergerak menendang ke arah lambung penyerangnya. Siangkoan Leng menangkis tendangan itu dengan tangannya, bermaksud menangkap kaki lawan, akan tetapi akibatnya, lengannya tertendang dan dia pun terhuyung!
Pada saat itu, Ma Kim Li sudah menubruk dengan serangan kilat, memukul ke arah dada, disusul dengan serangan yang dilakukan oleh Tong Ci Ki dan Kwee Siong. Karena mereka bertiga memiliki ilmu silat yang tinggi, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya serangan mereka bertiga yang dilakukan hampir berbareng itu. Namun, Hui Lian juga maklum bahwa para lawannya bukanlah orang lemah, dan melihat cara mereka menyerang itu mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang dari golongan hitam, cepat mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya dan tubuh itu pun berkelebatan ke sana-sini, di antara tangan dan kaki lawan yang menyerang. Hui Lian di kepung dan dikeroyok dari empat penjuru, namun, tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan putih yang sukar sekali disentuh,
Apalagi dipukul. Lebih mudah menangkap seekor burung walet dariapda menyentuh bayangan putih yang berkelebatan dengan amat cepatnya itu. Empat orang tokoh sesat itu menjadi semakin terkejut. Tak mereka sangka bahwa di daerah sunyi ini mereka akan bertemu dengan seorang lawan yang sakti, padahal lawan itu masih demikian muda dan tidak terkenal sama sekali! Hui Lian tahu bahwa empat orang ini bukan orang baik-baik, tentu golongan hitam yang suka bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi karena ia tidak mengenal mereka dan tidak bermusuhan dengan mereka, sedangkan kesalahan mereka hanyalah mencuri domba-domba, maka ia pun tidak bermaksud untuk membunuh mereka. Kalau hal itu dikehendakinya, biarpun tidak begitu mudah karena dikeroyok empat,
Ia tentu akan dapat merobohkan mereka satu demi satu. Kini ia membalas dengan kecepatan gerak tangan dan kakinya, dan biarpun empat orang lawan ini pun dapat menghindarkan diri dengan saling bantu, namun permainan silat mereka menjadi kacau saking cepatnya gerakan Hui Lian, dan mereka pun merasa jerih. Mereka sedang melaksanakan tugas, tidak menguntungkan kalau melibatkan diri dalam perkelahian melawan orang yang amat lihai ini, apalagi hanya untuk urusan yang sepele. Siangkoan Leng memberi isyarat kepada tiga orang lainnya untuk melarikan diri sedangkan dia mendahului menarik tangan isterinya diajak meloncat ke laur kalangan perkelahian. Suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan juga berloncatan menjauh, kemudian tanpa menoleh lagi, keempatnya sudah melarikan diri secepatnya meninggalkan lereng itu.
Hui Lian tidak mengejarnya, karena ia mengenal bahayanya melakukan pengejaran terhadap orang-orang golongan sesat yang suka mempergunakan segala macam kecurangan. Apalagi memang tidak ada apa-apa antara mereka dan dirinya. Ketika dia menoleh dan mencari, ternyata sekumpulan domba itu telah lenyap dari situ dan ketika ia mencari-cari dengan pandang matanya, domba-domba itu telah jauh berada di kaki bukit, digembala oleh anak tadi yang kini berjalan bersama seorang dewasa yang tidak dikenalnya, seorang laki-laki yang mengenakan sebuah caping lebar yang menutupi seluruh kepala dan mukanya. Caping seperti itu memang dapat dipergunakan untuk melindungi tubuh, baik dari panas maupun dari curahan air hujan. Hui Lian tersenyum. Anak itu terlepas dari bahaya tanpa mengucapkan terima kasih sediki pun kepadanya.
Hal ini tidak mengapa, apalagi anak itu tidak dikenalnya dan secara kebetulan saja mereka bertemu, juga anak itu tidak minta tolong kepadanya. Akan tetapi betapa melihat anak itu kini berjalan bersama seorang dewasa, hatinya merasa tidak enak dan ia menjadi curiga. Siapa tahu kalau orang bercaping lebar itu juga seorang penjahat yang menipu anak itu dan hendak merampas domba-dombanya! Maka, ia pun cepat berlari turun dari lereng itu melakukan pengejaran. Ketika ia sudah dapat menyusul, Hui Lian mencoba untuk memperhatikan muka orang dewasa yang berjalan bersama dengan anak itu. Mereka berjalan berdampingan, akan tetapi agaknya tidak pernah bicara. Anak itu pun melihatnya, dan nampaknya bingung dan juga khawatir, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata, hanya berjalan lebih merapat kepada orang dewaasa itu.
Ketika Hui Lian mendahului untuk dapat melihat wajah orang, orang itu agak menundukkan mukanya sehingga caping lebar itu kini menutupi mukanya sama sekali dari arah samping dan depan! Hui Lian yang melirik tidak melihat apa-apa kecuali sebuah caping yang dicat kuning itu. Orang itu mengenakan pakaian berwarna biru muda dengan garis-garis di pinggirnya. Beberapa kali Hui Lian berjalan di dekat mereka, baik dari belakang maupun dari depan. Sambil melirik. Namun selalu hanya caping yang dilihatnya karena dari manapun ia memandang, muka itu selalu terlindung caping. Ia menjadi penasaran dan semakin curiga. Jangan-jangan orang ini memang sengaja menyembunyikan mukanya, pikirnya mendongkol, merasa di permainkan. Karena itu, dengan langkah lebar ia pun menghampiri mereka.
Asmara Berdarah Eps 13 Siluman Gua Tengkorak Eps 5 Asmara Berdarah Eps 14