Pendekar Mata Keranjang 6
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Kembali gurunya mengangguk-angguk.
"Engkau benar, dan memang kami perlu kadang-kadang keluar. Anak kami itu, seorang anak perempuan, tentu saja tidak boleh tinggal di sini dan kami menyerahkannya kepada suami isteri petani she Cu di kaki gunung untuk dirawat. Mereka tidak mempunyai anak maka mereka menerima dengan senang hati. Nah, kami kadang-kadang pergi menjenguk anak kami dan ada urusan-urusan lain yang penting yang memaksa kami kadang-kadang meninggalkan kamar. Akan tetapi, kami akan tetap memenuhi masa hukuman kami, karena sebagai orang-orang gagah kami harus memenuhi janji. Hal inilah yang merisaukan kami, Han Siong, yaitu bahwa sejak setahun ini, anak perempuan kami itu telah lenyap."
"Lenyap...?"
Han Siong terbelalak memandang kepada wajah suhunya.
"Bagaimana bisa lenyap, Suhu? Apa yang telah terjadi?"
Ci Kang menarik napas panjang, lalu melanjutkan ceritanya. Setelah dia dan Hui Cu menjalani hukuman, keduanya di waktu malam seringkali keluar dari tempat tahanan itu secara diam-diam untuk pergi mengunjungi dan menengok puteri mereka yang mereka beri nama Siangkoan Bi Lan, di rumah keluarga petani Cu Pak Sun di kaki pegunungan, di sebuah desa yang amat kecil sederhana. Tentu saja semenjak mereka tahu bahwa Hui Cu mengandung, mereka melanjutkan hubungan mereka sebagai suami isteri tanpa penyesalan lagi,
Apalagi setelah mereka tidak menjadi hwesio dan nikouw, melainkan orang-orang biasa yang sedang melaksanakan hukuman di Kamar Renungan Dosa. Sejak dihukum, ketua kuil tidak lagi menganggap mereka sebagai anggauta Siauw-lim-pai. Mereka berdua bukan saja menengok anak mereka secara teratur, sedikitnya sepekan sekali, akan tetapi mereka juga mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada Bi Lan, sejak anak itu berusia enam tahun. Dan secara kebetulan sekali, ketika dia sedang memeriksa keadaan kamar di mana dia ditahan, di bawah lantai, Siangkoan Ci Kang menemukan sebuah peti hitam yang berisi dua buah kitab pelajaran ilmu silat. Yang sebuah adalah ilmu silat pedang dan yang lain ilmu silat tangan kosong. Tidak ada nama pada kulit kitab-kitab itu, hanya peti hitamnya terukir gambar Dewi Kwan Im.
Setelah mendapat kenyataan bahwa ilmu-ilmu silat di dalam dua buah kitab itu ternyata merupakan ilmu-ilmu yang aneh dan hebat, Ci Kang girang sekali dan bersama-sama Hui Cu dia lalu mempelajari isi kitab. Ternyata, ilmu-ilmu silat itu amat aneh dan sukar untuk dipelajari. Akan tetapi, setelah mereka mempelajari selama sepuluh tahun, mereka sudah mulai dapat menguasai. Dapat dibayangkan betapa sukarnya mempelajari ilmu-ilmu itu kalau dua orang berkepandaian tinggi seperti mereka berdua saja baru dapat menguasai ilmu-ilmu itu setelah belajar selama sepuluh tahun! Karena kedua ilmu itu tidak ada namanya, mengingat akan gambar Dewi Kwan Im pada petinya, Ci Kang dan Hui Cu lalu memberi nama Kwan-im-kiam-sut (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im) dan Kwan-im Sin-kun (Silat Sakti Dewi Kwan Im) kepada dua ilmu itu.
Dan ternyata bahwa Kwan-im Sin-kun telah berhasil mereka pergunakan dan dapat mengalahkan Lam-hai Giam-lo. Demikianlah, dengan adanya Bi Lan yang cerdik dan lincah jenaka dan dengan adanya dua buah kitab pelajaran ilmu silat itu, Ci Kang dan Hui Cu tidak terlalu berat menjalani hukuman yang dijatuhkan kepada mereka. Apalagi mereka saling memiliki dan mereka saling mencinta. Hari demi hari mereka lewatkan dengan tenang, memperdalam ilmu silat dan memperkuat sinkang dengan jalan bersamadhi. Akan tetapi, kurang lebih setahun yang lalu, ketika pada suatu malam mereka pergi berkunjung ke dusun untuk menengok puteri mereka, mereka melihat dusun itu porak-poranda dan rusak binasa. Mereka terkejut sekali dan dari beberapa orang yang selamat dari kebinasaan, mereka mendengar berita yang amat mengejutkan,
Yaitu bahwa dusun itu kedatangan iblis-iblis yang mengamuk dan saling berkelahi dengan hebat. Banyak di antara penghuni dusun yang tewas karena amukan yang membabi buta, dan di antara mereka yang tewas adalah Cu Pak Sun dan isterinya. Sementara itu, Bi Lan lenyap tanpa meninggalkan bekas! Tentu saja Ci Kang dan Hui Cu cepat melakukan penyelidikan dan mereka terkejut melihat betapa mayat-mayat yang masih berada di dalam peti mati, karena peristiwa itu baru terjadi kemarin, ternyata menunjukkan bahwa mereka tewas oleh Pukulan-Pukulan sakti! Mereka berusaha mencari ke sana-sini namun tanpa hasil. Anak mereka lenyap tanpa meninggalkan bekas, tidak tahu pergi ke mana atau dibawa oleh siapa! Hui Cu menangis dan tentu akan nekat meninggalkan tempat hukuman kalau tidak dihibur dan dibujuk oleh Ci Kang.
"Tidak ada gunanya."
Demikian antara lain Ci Kang menghibur.
"Kita tidak tahu ke mana perginya Bi Lan dan tidak tahu pula siapa yang membawanya pergi. Ke mana kita harus mencari? Dan tidak mungkin meninggalkan hukuman yang sudah kita lalui setengahnya. Ingat, bukankah sejak dulu kita memang sengaja hendak menebus dosa orang tua kita? Percayalah, keprihatinan kita selama ini bukan tidak ada gunanya dan Bi Lan tentu akan selamat dan kelak dapat berjumpa kembali dengan kita. Anak itu tidak dibunuh orang, melainkan mungkin melarikan diri atau diculik. Dan kalau diculik, berarti penculiknya bukan bermaksud membunuhnya."
Akhirnya Hui Cu dapat dihibur dan ia semakin giat berlatih sampai perhatian mereka tertarik kepada Han Siong. Anak itu setiap hari menyapu di depan kamar tahanan dan mereka berdua melihat bahwa anak itu memiliki bakat yang amat baik! Dan usianya sebaya atau sedikit saja lebih tua dari Bi Lan. Timbul niat di hati mereka untuk mengambil Han Siong sebagai murid. Mereka lalu melayangkan surat kepada ketua kuil, mempergunakan kepandaian mereka di waktu malam. Ketua kuil menerima surat itu dan karena itulah dia menyuruh Han Siong memanggil dua orang tahanan itu untuk menghadap dan itulah pertama kalinya Han Siong bertemu muka dengan mereka.
"Demikianlah, muridku. Kami kehilangan anak kami yang tercinta dan permintaan kami untuk mengambil engkau sebagai murid ditolak. Kemudian terjadilah peristiwa dengan Lam-hai Giam-lo sehingga akhirnya engkau dapat juga menjadi murid kami walaupun engkau harus pula meninggalkan jubah hwesio. Dan dapatkah engkau menduga, apa sebabnya kami, selain melihat engkau berbakat, ingin sekali mengangkatmu menjadi murld kami?"
Han Siong adalah seorang anak yang amat cerdik. Mendengar penuturan suhunya dia dapat menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab,
"Setelah memperoleh ilmu dari Suhu dan Subo sehingga teecu cukup kuat, teecu akan pergi mencari Adik Bi Lan sampai dapat!"
Mendengar ucapan ini, Ci Kang tersenyum dan merangkul pundak muridnya yang duduk di depannya. Dia merasa girang, juga bangga dan kagum.
"Ah, sudah kuduga bahwa engkau memang cerdik sekali, Han Siong. Memang itulah yang kami harapkan! Setelah kami menganggap engkau cukup kuat, kami minta agar engkau pergi mencari Bi Lan sampai dapat, dan menyerahkan dua buah kitab pusaka kami kepadanya, juga membimbingnya untuk mempelajari kitab-kitab Dewi Kwan Im itu. Kami sendiri dengan susah payah mempelajarinya karena kami belajar tanpa pembimbing. Kalau dibimbing, tentu orang dapat menguasainya lebih cepat lagi."
Demikianlah, mulai hari itu, Han Siong membiarkan rambut di kepalanya tumbuh, mengenakan pakaian biasa, akan tetapi masih bekerja biasa. Hanya sekarang dia tidak diperbolehkan membersihkan bagian yang dianggap suci dan hanya menyapu di pekarangan dan kebun, memikul air dan pekerjaan lain.
Tidak lagi mempelajari kitab-kitab agama walaupun dia masih boleh membaca kitab-kitab kuno yang berisi cerita dan filsafat dari ruang perpustakaan. Dan di waktu malam, dia berlatih ilmu silat di bawah pengawasan suhu dan subonya dan dia berlatih dengan amat giatnya. Kedua orang gurunya dengan penuh semangat melatihnya karena dua orang ini mengharapkan agar Han Siong cepat menguasai ilmu silat yang tinggi agar dapat diharapkan untuk mencari dan menemukan puteri mereka yang hilang. Tentu saja Ci Kang dan Hui Cu tidak secara langsung mengajarkan ilmu silat dari dua kitab Kwan Im, karena masih terlalu tinggi bagi Han Siong. Pemuda ini dilatih dengan ilmu-ilmu silat mereka yang juga amat tinggi sebagai dasar untuk kelak dapat menerima kedua ilmu silat yang luar biasa itu.
Kakek itu sudah tua sekali, usianya tentu sudah mendekati delapan puluh tahun. Seorang kakek raksasa yang tubuhnya amat tinggi besar, kepalanya gundul, jubahnya kotak-kotak berwarna merah dan kuning, tangan kirinya memegang tasbeh yang seolah-olah sudah menjadi bagian dari tangannya karena tak pernah dilepasnya. Biarpun dia sudah tua sekali, namun pada wajahnya nampak kesegaran usia muda, bahkan sepasang matanya masih memiliki sinar yang gembira dan cerah. Sejak tadi, kakek itu duduk bersila di atas batu besar di bawah pohon raksasa, tubuhnya tak bergerak dan tegak, hanya jari-jari tangan kiri saja yang memutar-mutar tasbehnya. Agaknya dia sedang berdoa. Setelah selesai berdoa, kakek pendeta gundul itu membuka kedua matanya kemudian memandang ke kanan kiri seperti mencari-cari.
Karena tidak melihat yang dicarinya, dia lalu turun dari tempat dia bersila, dan dengan langkah lembut dia lalu mencari ke arah anak sungai yang mengalir tak jauh dari situ. Anak itu suka sekali bermain di tepi sungai, pikirnya sambil menahan senyum. Akhirnya, dia melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih dua belas tahun sedang duduk termenung di tepi sungai yang airnya amat jernih itu. Kakek pendeta itu mengintai dari balik semak-semak. Anak laki-laki itu berwajah tampan dan cerah, sepasang matanya tajam bersinar-sinar, bibirnya selalu menyungging senyum dan wajahnya berseri gembira. Pada saat itu, dia berdongak memandang ke arah pohon tak jauh dari situ, di antara daun-daun yang lebat dan seperti terpesona.
Kakek itu menjadi tertarik dan ikut memandang, mencari-cari dengan pandang matanya dan ketika dia melihat apa yang sedang dipandang oleh anak itu, dia tersenyum lebar, akan tetapi wajahnya seperti tersipu malu. Kiranya yang dipandang oleh anak laki-laki itu adalah sepasang burung yang sedang berkasih-kasihan dan bermain cinta. Paruh mereka saling bersentuhan seperti orang bercumbu dan berciuman dan berulang-ulang burung gereja jantan itu naik ke atas punggung burung betina yang mendekam pasrah. Dan agaknya anak itu demikian terpesona, mengikuti setiap gerakan kedua ekor burung itu. Akhirnya sepasang burung gereja itu terbang pergi dan barulah anak itu seperti sadar dari dalam pesona yang amat menarik hatinya.
Alam menjadi guru, demikian kakek itu berpikir. Selagi dia hendak menegur, tiba-tiba anak itu memandang ke arah tepi sungai dan dia sendiri pun tertarik. Kebetulan sekali, pada saat itu muncul sepasang kijang mendekati tepi sungai, jelas bahwa sepasang kijang itu hendak minum air yang jernih. Mereka minum dengan lahap, kemudian si Jantan timbul gairah dan mereka pun berkejaran sebentar di tepi sungai. Yang betina nampaknya saja melarikan diri, akan tetapi hanya berputaran di sekitar tepi sungai itu, di mana tumbuh rumput hijau yang gemuk dan sikapnya seperti mempermainkan si Jantan. Akhirnya ia pun menyerah dan mereka berdua bermain cinta di tepi sungai.
Kakek tua renta itu melihat betapa anak laki-laki itu kini bangkit, memandang dengan muka menjadi kemerahan dan mulut agak terbuka, napasnya agak terengah-engah. Dia pun mengerti bahwa alam telah memperlihatkan kekuasaannya. Tanda-tanda peralihan dari masa kanak-kanak menjadi remaja mendekati dewasa mulai nampak pada diri anak laki-laki itu. Kakek itu pun tidak mau mengganggu. Biarkan anak itu mempelajari kenyataan hidup dari alam sekitarnya, pikirnya. Dia sendiri lalu duduk bersila, memejamkan kedua matanya dan semua penglihatan itu lenyap dari bayangan dalam benaknya. Akhirnya sepasang kijang itu pun pergi dari situ dan anak itu pun kini duduk kembali dan nampak dahi dan lehernya basah oleh keringat. Dia masih tenggelam ke dalam renungan, membayangkan kembali segala yang dilihatnya tadi ketika suara halus memanggilnya.
"Hay Hay...!"
Anak itu terkejut karena seperti terseret keluar dari alam lamunannya, akan tetapi hanya sebentar saja karena wajahnya segera berubah cerah ketika dia menoleh dan melihat kakek itu berdiri tak jauh di belakangnya.
"Suhu!"
Serunya gembira dan dia cepat meloncat bangun dan lari menghampiri kakek itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Sepagi ini Suhu sudah berada di sini!"
Biasanya, kakek itu tentu masih duduk bersamadhi di depan pondok sambil mandi cahaya matahari. Setiap pagi kakek itu bersila dengan dada telanjang menghadap matahari, maka kehadiran gurunya di tepi anak sungai itu mengherankan hatinya. Anak itu adalah Hay Hay yang tadinya menjadi anak angkat Lam-hai Siang-mo. Seperti telah diceritakan di bagian depan.
Hay Hay akhirnya tahu akan rahasia kedua orang tua yang tadinya dianggap sebagai orang tua kandung itu, tahu bahwa mereka itu sebetulnya adalah penjahat-penjahat besar yang menculiknya dari tangan kedua orang tuanya yang aseli, yaitu keluarga Pek. Akan tetapi hal ini pun masih meragukan karena setelah dia menjadi murid See-thian Lama, kakek gundul itu dan dibawa ke Pegunungan Himalaya, dia mendengar dari gurunya bahwa yang dimaksudkan dengan sebutan Sin-tong adalah putera keluarga Pek dari Pek-sim-pang, yaitu anak yang terlahir dengan tanda merah di punggung. Akan tetapi, dia tidak mempunyai tanda merah itu, maka biarpun Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, yaitu suami isteri Lam-hai Siang-mo sudah mengaku bahwa mereka menculiknya dan menukar dengan anak mereka sendiri dari keluarga Pek, masih diragukan apakah dia benar-benar putera keluarga Pek.
"Karena itulah, Hay Hay, pinceng nasihatkan agar engkau jangan tergesa-gesa mempergunakan nama keturunan Pek. Kelak kalau engkau sudah besar dan berkepandaian, engkau boleh menyelidiki sendiri tentang asal-usulmu itu."
Selama lima tahun, Hay Hay diajak bertapa oleh See-thian lama, dibawa ke tempat sunyi di tepi sungai kecil yang airnya jernih itu, di tengah hutan di kaki Pegunungan Himalaya. Setiap hari, kakek itu menggemblengnya, mengajarkan dasar-dasar ilmu silat dan juga mengajarkan ilmu baca tulis.
Karena kakek itu merupakan seorang di antara Pat-sian (Delapan Dewa) yang berilmu tinggi, maka tentu saja di bawah bimbingannya, Hay Hay menjadi seorang anak yang luar biasa. Ditambah lagi bakat yang amat baik pada dirinya, maka biarpun usianya baru dua belas tahun dan dia baru mempelajari ilmu silat selama lima tahun, kepandaiannya sudah amat hebat, jauh melampaui tingkat orang-orang dewasa yang belajar ilmu silat selama belasan tahun. Akan tetapi, waktu yang lima tahun itu sebagian dihabiskan untuk latihan-latihan dasar, sehingga tidaklah mungkin bagi Hay Hay untuk mempelajari semua ilmu silat tinggi dari See-thian Lama. Oleh karena itu, See-thian Lama hanya mengajarkan teori-teori gerakan ilmu-ilmu silat yang pilihan, untuk dihafal di luar kepala oleh Hay Hay.
"Ilmu-ilmu ini membutuhkan latihan yang masak Hay Hay. Akan tetapi, pinceng kalah cerdik oleh Ciu-sian Sin-kai. Pinceng melatihmu lebih dulu, sama saja dengan memberimu dasar-dasar yang kuat sehingga lima tahun berikutnya, Si Jembel itu akan menerimamu dalam keadaan siap menerima segala macam ilmu silat tinggi. Sedangkan sekarang, engkau hanya dapat menghapal ilmu-ilmu silat dariku. Akan tetapi, kelak, kalau tubuhmu sudah kuat, engkau akan dapat melatih ilmu-ilmu yang sekarang kau hapal di luar kepala ini."
Hay Hay dapat mengerti apa yang dikemukakan suhunya, maka dia pun mentaatinya dan menghapalkan ilmu-ilmu itu dengan sungguh-sungguh. Dari See-thian Lama, terutama sekali dia mendapatkan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sekali, yaitu Yan-cu Coan-in (Burung Walet Menembus Awan) dan ilmu langkah yang luar biasa bernama Jiauw-pouw-poan-soan (Langkah Ajaib Berputar-putar). Ketika See-thian Lama, mendengar ucapan muridnya yang merasa heran mengapa sepagi itu dia sudah menyusul muridnya di tepi anak sungai, dia tertawa.
"Omitohud, betapa cepatnya sang waktu berjalan, Hay Hay. Kalau kita mengenangkan masa-masa lalu kita, seolah-olah baru terjadi kemarin saja. Pinceng pun kini sudah begini tua tanpa pinceng rasakan! Dan tahukah engkau bahwa kita telah berada di sini selama hampir lima tahun?"
Hay Hay dapat menyembunyikan kagetnya mendengar ucapan itu.
"Tapi...tapi... teecu masih ingin belajar terus dari Suhu!"
Kakek itu tertawa. Anak ini memang cerdik sekali, kalau bicara langsung saja kepada sasarannya.
"Hay Hay, satu di antara nilai seorang manusia yang perlu dijaga adalah mulut yang harus dapat dipercaya. Sekali berjanji, seorang gagah akan memenuhinya dan mempertahankannya dengan taruhan apa pun juga. Pinceng telah berjanji dengan Ciu-sian Sin-kai bahwa pinceng akan mendidikmu selama lima tahun, kemudian akan menyerahkan engkau kepadanya untuk dididik lima tahun lamanya."
Hay Hay bukan tidak suka berguru kepada Ciu-sian Sin-kai, kakek pengemis yang juga amat lihai itu, akan tetapi dia belum merasa puas berguru kepada pendeta Lama ini. Namun dia tahu pula bahwa orang-orang seperti gurunya ini tentu tidak akan mau melanggar janjinya, maka membantah pun tidak akan ada gunanya.
"Akan tetapi, Suhu. Di manakah tempat tinggal Suhu Ciu-sian Sin-kai itu? Ke mana kita harus mencarinya?"
"Ha-ha-ha, kau kira dia seorang jembel miskin yang berkeliaran ke mana-mana mencari sisa nasi? Ha-ha, jangan salah sangka, muridku. Sin-kai adalah seorang yang kaya-raya, dia majikan Pulau Hiu yang selain kaya-raya, memiliki pula banyak anak buah dan hidup sebagai raja di pulau itu. Dalam beberapa hari ini dia pasti akan muncul untuk menjemputmu."
Diam-diam Hay Hay merasa terkejut juga. Hal ini sungguh tak pernah disangkanya. Orang-orang yang menjadi guru-gurunya ini memang aneh. See-thian Lama yang menjadi pendeta Lama, sepatutnya hidup di dalam biara yang besar di Tibet, atau setidaknya tentu memiliki kuil yang besar di mana dia menjadi ketuanya. Akan tetapi kenyataannya sama sekali tidak demikian. Pendeta ini membawanya ke tempat sunyi itu dan mereka hanya tinggal di sebuah pondok darurat yang mereka bangun. Sebaliknya, orang berpakaian tambal-tambalan seperti pengemis itu, Ciu-sian Sin-kai, malah hidup sebagai raja yang kaya-raya di sebuah pulau. Akan tetapi sebelum dia mengeluarkan suara, tiba-tiba See-thian Lama memegang lengannya dan berbisik.
"Ada orang-orang datang ke sini!"
Baru saja dia bicara, nampak berkelebat tiga bayangan orang dan tahu-tahu di situ sudah muncul tiga orang pendeta Lama. Sikap mereka keren akan tetapi mereka tetap menghormati See-thian Lama, bahkan mereka sudah merangkap kedua tangannya di depan dada sebagai penghormatan dan ketiganya menyebut,
"Susiok!"
See-thian Lama menatap wajah ketiga orang pendeta Lama itu. Mereka itu rata-rata berusia lima puluh sampai enam puluh tahun, dan dari sikap dan bentuk tubuh mereka, dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. See-thian lama tidak mengenal semua pendeta Lama, akan tetapi dari sebutan mereka, dia tahu bahwa mereka ini adalah pendeta-pendeta tingkat dua di Tibet, satu generasi lebih muda darinya.
"Kalian berlima darimanakah dan ada keperluan apa datang berkunjung ke sini?"
Tanya See-thian Lama dengan sikap dan suara yang lembut. Seorang di antara tiga pendeta lama itu, yang bertubuh jangkung kurus berjenggot panjang, melangkah maju mewakili dua orang temannya. Pendeta ini bersikap halus, akan tetapi suaranya terdengar tegas dan keras.
"Susiok, maafkan kalau kami bertiga mengganggu Susiok. Akan tetapi kami mendukung tugas yang diberikan oleh para Suhu di Tibet untuk mencari Sin-tong."
Dia menghentikan kata-katanya dan mengerling ke arah Hay Hay yang mendengarkan dengan hati tertarik, apalagi ketika pendeta itu menyebut Sin-tong yang mempunyai hubungan erat dengan dirinya. See-thian Lama tetap tersenyum walaupun sinar matanya menjadi berkilat.
"Mencari Sin-tong kenapa datang ke sini?"
"Karena kami merasa yakin bahwa anak yang berada bersama Susiok ini adalah Sin-tong dan kami harus mengajaknya kembali ke Tibet."
"Hemmm, apa alasanmu bahwa muridku ini Sin-tong?"
"Kami merasa yakin, Susiok, berdasarkan penyelidikan kami yang bertahun-tahun lamanya. Mula-mula Lam-hai Siang-mo datang ke Tibet dan memberi tahu kepada para Suhu bahwa Sin-tong telah terampas dari tangan mereka oleh Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang di antara Empat Setan. Para Suhu mengutus kami bertiga untuk pergi mencari kedua orang tokoh iblis itu. Bertahun-tahun kami merantau dengan susah payah dan setelah kami berhasil menemukan dua orang itu, mereka mengatakan bahwa Sin-tong telah terampas pula dari tangan mereka oleh Susiok dan Ciu-sian Sin-kai. Oleh karena itu, kami segera mencari Susiok di sini dan melihat anak ini.."
See-thian Lama tersenyum. Kiranya dua pasang iblis itu telah mencari cara lain untuk membalas kekalahan mereka, yaitu dengan melapor kepada para pendeta Lama di Tibet!
"Akan tetapi, muridku ini sama sekali bukan Sin-tong!"
Katanya.
"Maaf, Susiok. Bukankah anak ini yang diperebutkan di antara Lam-hai Siang-mo, Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi? Bukankah anak ini yang tadinya telah dibawa oleh sepasang suami isteri itu untuk diserahkan ke Tibet?"
See-thian Lama mengerti bahwa tentu saja suami isteri iblis itu berbohong dan memutarbalikkan kenyataan tentang diri Hay Hay, mengatakan bahwa mereka berdua tadinya berniat menyerahkan Hay Hay ke Tibet! Akan tetapi, memang Hay Hay yang diperebutkan itu maka dia pun mengangguk.
"Benar, memang anak ini yang diperebutkan, akan tetapi dia bukan Sin-tong."
Tiga orang pendeta Lama itu saling pandang, kemudian Si Jangkung berjenggot itu berkata,
"Harap Susiok maafkan. Bukan maksud kami ingin berbantah dengan Susiok, akan tetapi sudah bertahun-tahun kami mencari dengan susah payah dan setelah sekarang bertemu, terpaksa kami tidak akan membiarkannya terlepas begitu saja."
"Maksud kalian?"
"Dengan atau tanpa perkenan Susiok, kami harus membawa anak itu ke Tibet dan menghaturkannya kepada Suhu di Tibet"
See-thian Lama tertawa,
"Omitohud, kau mendengar itu, Hay Hay? Nah, sekarang tiba saatnya pinceng menguji latihan-latihanmu selama ini. Coba pinceng ingin melihat apakah selama sepuluh jurus engkau mampu menghindarkan diri dari tangkapan tiga orang pendeta Lama ini!"
Kepada tiga orang murid keponakan itu, dia pun berkata.
"Nah, kalian kuberi kesempatan untuk menangkapnya, selama sepuluh jurus."
Tiga orang pendeta itu kembali saling pandang. Mereka sudah tahu akan kelihaian See-thian Lama yang amat terkenal di Tibet, maka mereka memperlihatkan sikap jerih. Akan tetapi, tentu saja mereka memandang ringan bocah yang usianya baru dua belas tahun itu. Mereka bertiga menangkap selama sepuluh jurus? Satu dua jurus saja tentu seorang di antara mereka akan berhasil menangkapnya, apalagi maju bertiga!
"Baik, Susiok, kami akan mencobanya!"
Dan mereka bertiga lalu menghampiri Hay Hay yang tidak beranjak dari tempatnya. Anak ini memang cerdik. Melihat betapa di kanan kirinya terdapat banyak pohon-pohon besar, dia menganggap bahwa tempat itu amat baik untuk dipakai kucing-kucingan dan menghindarkan diri dari penangkapan tiga orang pendeta itu. Biarpun dia sudah menguasai Jiauw-pouw-poan-soan dan Yan-cu Coan-in, akan tetapi di tempat terbuka, disergap tiga orang pendeta yang tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, sungguh berbahaya.
Kalau berada di antara pohon-pohon, dia dapat memanfaatkan batang-batang pohon itu untuk membantunya. Tiga orang pendeta Lama itu kini sudah tiba dekat dan tiba-tiba saja Si Jangkung berjenggot menubruk ke arah Hay Hay tanpa banyak cakap lagi. Tangan kirinya menyambar ke arah tengkuk dan tangan kanan menyambar lengan kiri Hay Hay. Sambarannya itu amat cepatnya akan tetapi bagi Hay Hay nampak lambat sehingga dengan mudah saja dia mendahului mengelak dengan lompatan ke belakang dan miringkan tubuhnya. Melihat ini, dua orang pendeta lainnya menyergapnya dari kanan kiri. Gerakan mereka juga cepat sekali dan bagaikan dua ekor biruang mereka menubruk dengan kedua lengan terpentang lebar, kedua tangan membentuk cakar untuk mencengkeram.
Namun, dengan menggerakkan kedua kakinya secara aneh dan lincah sekali, miringkan tubuh ke sana-sini, Hay Hay sudah menyelinap di antara batang-batang pohon dan tubrukan dua orang pendeta itu pun luput!! Tiga orang pendeta Lama itu terkejut. Sungguh tak mereka sangka bahwa anak itu dapat menghindarkan diri sedemikian mudahnya dari tubrukan-tubrukan mereka. Padahal mereka adalah pendeta-pendeta Tibet tingkat dua yang tentu saja sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, tenaga sinkang dan khikang yang kuat, juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah hebat. Mereka tentu saja merasa penasaran dan mulailah mereka melakukan penyergapan dari kanan kiri, mengejar ke mana saja anak itu bergerak dan mengelak. Namun, untuk kesekian kalinya mereka hanya menangkap angin dan menubruk tempat kosong saja.
Makin cepat mereka bergerak, makin cepat pula Hay Hay mengelak sambil menyelinap di antara pohon-pohon sehingga ketika hwesio Lama, yang agak gendut menubruknya terlalu cepat dan sudah yakin akan berhasil, tahu-tahu yang ditangkapnya adalah sebatang pohon sehingga hidungnya membentur batang pohon dan berdarah! Kini barulah tiga orang pendeta itu sadar bahwa anak itu benar-benar tak boleh dipandang ringan! Sudah lima jurus mereka berusaha menangkap, tanpa hasil sedikitpun juga. Jangankan menangkap, bahkan menyentuh lengan atau baju anak itu pun tak pernah dapat mereka lakukan! See-thian Lama melihat betapa muridnya main kucing-kucingan di antara pohon-pohon besar, merasa tidak puas. Dia ingin menguji kepandaian muridnya, bukan akal dan kecerdikannya. Masih ada lima jurus lagi untuk mengujinya.
"Hay Hay, engkau bukan kucing. Keluarlah di tempat terbuka!"
Teriaknya dan Hay Hay terkejut. Suhunya malah menyuruh dia keluar di tempat terbuka, padahal dia tahu benar betapa lihainya tiga orang itu. Gerakan mereka cepat dan dari gerakan tangan mereka itu keluar angin yang amat kuat.
Bagaimana kalau mereka menyerangnya dan dia roboh terluka? Tentu akan mudah dapat tertangkap. Akan tetapi dia tidak berani membantah perintah suhunya dan sekali meloncat, tubuhnya mencelat keluar dari balik pohon dan kini dia berdiri di tengah-tengah bagian yang terbuka, di atas padang rumput dan berdiri tegak, siap untuk memainkan Jiauw-pouw-poan-soan karena itulah satu-satunya ilmu yang dapat dipergunakannya untuk mengelak dari semua usaha penangkapan. Juga dia mengerahkan ilmu meringankan tubuh Yan-cu Coan-in agar mudah meloncat dengan ringan kalau-kalau terancam oleh tangan tiga orang itu. Melihat betapa anak itu kini berdiri di tempat terbuka, tiga orang pendeta itu menjadi girang sekali. Kini kesempatan bagi mereka terbuka untuk dapat menyergap dan menangkap anak itu.
Mereka lalu berloncatan mengepung anak itu di tempat terbuka. Kini tidak terdapat batang pohon di mana anak itu menyelinap dan berlindung dari penyergapan. Hampir saja mereka tertawa saking girang rasa hati mereka. Bertahun-tahun mereka melakukan perjalanan yang amat jauh dan sukar,
(Lanjut ke Jilid 06)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
dan baru sekarang mereka diberi harapan besar untuk akhirnya berhasil membawa Sin-tong ke Tibet dan menerima berkah dan anugerah dari para Dalai Lama di Tibet. Hay Hay segera menggerakkan kakinya, digeser sedikit demi sedikit mengikuti gerakan tiga orang pengepungnya, mencari posisi yang baik dan menguntungkan sesuai dengan ilmu langkah Jiauw-pouw-poan-soan. Tubuhnya ikut terbawa gerakan kaki, berputaran perlahan dan seluruh urat syaraf di tubuhnya dalam keadaan siap siaga.
Tiba-tiba pendeta Lama jangkung berjenggot mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah menubruk ke depan, disusul dua orang temannya yang menubruk pula dari kanan kiri. Tidak ada tempat bagi Hay Hay untuk mengelak, demikian perkiraan tiga orang pendeta itu. Akan tetapi, sungguh luar biasa sekali. Tubuh anak itu bergerak ke sana-sini, dekat sekali dengan jangkauan tangan mereka, akan tetapi buktinya, tubrukan mereka itu sedikit pun tidak berhasil! Sambaran tangan mereka hanya meluncur di dekat tubuh anak itu! Nampaknya seolah-olah gerakan tangan mereka yang mendorong tubuh anak itu, seperti orang hendak menangkap bulu sutera halus yang amat ringan. Tentu saja mereka hampir tidak dapat percaya akan apa yang mereka alami. Dengan penasaran mereka berusaha menangkap lagi dan memperketat pengepungan. Melihat ini, Hay Hay maklum bahwa mengandalkan Jiauw-pouw-poan-soan saja amat berbahaya,
Maka dia pun mulai menambah langkah-langkah ajaibnya dengan loncatan-loncatan dengan menggunakan ilmu Yan-cu Coan-in. Ilmu ini meniru gerakan burung walet yang amat gesit, yang dalam keadaan terbang dapat membalik ke sana-sini, bahkan dalam keadaan terbang berkelompok dan bersimpang-siur, mereka tidak pernah saling bertabrakan. Dan kini, tiga orang pendeta Lama itu kembali dibikin tertegun karena ke mana pun mereka menubruk dan mengulur tangan, sama sekali mereka tidak mampu menyentuh tubuh Hay Hay. Tanpa terasa, sepuluh jurus telah lewat. Mereka tidak menghitung jurus lagi dan kini dengan penasaran, mereka mulai menyerang dengan tamparan-tamparan karena mereka memperhitungkan bahwa sekali anak itu roboh tertampar, biarpun dalam keadaan terluka, tentu akan dapat mereka tangkap dan mereka bawa ke Tibet.
"Omitohud, kalian tidak boleh bertindak curang!"
Tiba-tiba See-thian Lama berkelebat dan tahu-tahu tiga orang pendeta itu merasa tubuh mereka lemas ketika ada bayangan berkelebatan di atas kepala mereka. Kiranya dengan ujung jubahnya yang panjang dan lebar, See-thian Lama telah berhasil menotok jalan darah di pundak mereka, tidak terlalu keras untuk merobohkan mereka, namun cukup untuk membuat mereka lemmas dan terpaksa mereka melangkah mundur menghentikan serangan mereka terhadap Hay Hay.
"Susiok, kami adalah utusan dari Tibet! Apakah Susiok bermaksud untuk mengkhianati Tibet dan para Suhu di sana?"
Pendeta jangkung berjenggot kini bertanya, suaranya tegas dan penuh teguran.
"Omitohud, percuma saja kalian berlatih puluhan tahun lamanya kalau tidak mampu menguasai perasaan sendiri. Pinceng tidak ingin berbantahan dengan kalian, akan tetapi kalau para pimpinan dari Tibet datang sendiri, baru pinceng akan membuktikan bahwa murid pinceng ini bukan Sin-tong!"
Melihat sikap See-thian Lama dan mendengar ucapan itu, tiga orang pendeta Lama saling pandang dengan kecewa sekali. Segala susah payah mereka selama bertahun-tahun ini hanya akan membawa hasil laporan bahwa mereka menemukan Sin-tong akan tetapi tidak mampu membawanya ke Tibet! Akan tetapi karena maklum bahwa menghadapi See-thian Lama, tidak ada gunanya mempergunakan kekerasan karena mereka akan kalah, tiga orang pendeta itu terpaksa memberi hormat dan Si Jangkung berjenggot lalu berkata, nada suaranya mengandung rasa penasaran dan ancaman.
"Apa yang terjadi pagi ini di sini tentu akan kami laporkan kepada para suhu!"
Setelah berkata demikian, tiga orang itu menjura dan membalikkan tubuh dan berjalan pergi dari situ tanpa menoleh lagi. setelah mereka pergi jauh, see-thian Lama menarik napas panjang.
"Omitohud, dirimu dikepung rahasia dan berbahaya, Hay Hay. Pinceng tidak dapat membayangkan apa yang telah terjadi dengan sin-tong yang sesungguhnya dan di mana kini dia berada. Atau....benar engkau ini putera keluarga Pek akan tetapi terlahir tanpa tanda merah di punggung sehingga ramalan para Dalai Lama itu sekali ini meleset?"
Akan tetapi Hay Hay tidak mempedulikan semua itu. Dia masih merasa tegang dan gembira karena tadi memperoleh kesempatan untuk memainkan ilmu yang selama ini dilatihnya dengan tekun.
"Suhu, bagaimana dengan gerakan teecu tadi? Apakah masih ada yang keliru dan mengecewakan?"
See-thian lama tersenyum.
"Sudah cukup baik, akan tetapi kalau besok atau lusa datang rombongan Lama yang lain, engkau sama sekali tidak boleh lagi memperlihatkan kepandaianmu itu. Yang akan datang ke sini adalah orang-orang yang amat lihai, dan biarkan pinceng yang akan menghadapi mereka."
"Suhu, siapakah yang akan datang lagi ke sini?"
Tanya Hay Hay, terkejut juga mendengar bahwa akan datang lagi rombongan Lama yang lebih lihai.
"Guru-guru mereka atau pimpinan Dalai Lama yang tingkatnya sama dengan pinceng."
"Akan tetapi bukankah mereka berada di Tibet? Jaraknya tentu jauh dan bagaimana mereka akan dapat datang demikian cepat, besok atau lusa?"
"Heh-heh, engkau masih belum tahu, Hay Hay. Para pendeta Lama memiliki ilmu yang luar biasa, bukan hanya ilmu silat dan ilmu sihir. Mereka juga dapat melakukan hubungan batin dari jarak jauh. Tiga orang pendeta tadi akan mampu mengundang guru-guru mereka melalui kekuatan batin saja sehingga yang berada di Tibet akan mengetahui dan cepat datang ke sini. Dan mereka yang akan datang itu, rata-rata memiliki ilmu berlari cepat yang hebat, biarpun mungkin belum dapat menandingi Yan-cu Coan-in, akan tetapi sudah amat cepat sehingga dalam waktu satu dua hari saja akan dapat tiba di sini."
Hay Hay tertegun. Demikian banyaknya orang sakti di dunia ini, pikirnya. Hal ini menebalkan keyakinannya bahwa dia harus belajar penuh semangat, dan sama sekali tidak boleh menilai kepandaian sendiri terlalu tinggi sehingga menjadi besar kepala dan tinggi hati karena di dunia ini banyak sekali orang pandai yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi darinya. Apa yang dikatakan See-thian Lama memang terbukti. Dua hari kemudian, pada suatu pagi, selagi Hay Hay dan See-thian Lama berlatih samadhi di dalam pondok seperti yang diajarkan oleh pendeta itu, terdengar suara di luar pondok itu.
"See-thian Lama, keluarlah, kami ingin bicara!"
See-thian Lama membuka matanya dan berkata kepada Hay Hay.
"Nah, mereka sudah tiba. Mari kita keluar, Hay Hay dan jangan kau melakukan sesuatu, serahkan saja kepada pinceng."
Dia pun turun dan menggandeng tangan Hay Hay diajak keluar dari pondok. Ketika mereka tiba di luar pondok, di situ sudah berdiri dua orang pendeta Lama yang sudah amat tua. Usia mereka sebaya dengan See-thian Lama, yang seorang bertubuh pendek kecil akan tetapi sinar matanya mencorong penuh wibawa, sedangkan orang ke dua gemuk dan gendut seperti Ji-lai-hud dan mulutnya selalu tersenyum lebar. Melihat bahwa yang muncul adalah seorang Dalai Lama yang cukup besar kekuasaannya di Tibet, yaitu Bai Long Lama yang masih terhitung suhengnya sendiri, pendeta yang kecil pendek itu, dan Bai Hang Lama yang terhitung sutenya, Si Gendut itu, maka See-thian Lama cepat-cepat maju dan memberi hormat.
"Selamat datang di gubukku, Suheng dan Sute!"
Katanya.
"Omitohud...engkau masih belum menghilangkan kesukaanmu menyendiri dan menyepi, Sute."
Kata Bai Long Lama, cukup lembut dan ramah, akan tetapi pandang matanya tetap saja keren berwibawa. Sebaliknya, Bi Hang Lama yang memang selalu tersenyum lebar itu kini tertawa.
"Ha-ha-ha, engkau kelihatan semakin sehat saja, Suheng!"
"Terima kasih,.. Sute. Engkau pun semakin gendut."
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Si Gendut itu tertawa bergelak dan perutnya yang penuh gajih itu bergoyang-goyang seperti hidup.
"Suheng dan Sute, kalian berdua ini datang untuk berkunjung saja ataukah ada keperluan lain yang penting?"
See-thian Lama bertanya, sementara itu, dua orang pendeta Lama sudah menatap wajah Hay Hay dengan penuh perhatian.
"Sute See-thian Lama, perlukah engkau berpura-pura lagi? Kami datang untuk mengambil anak ini!"
Tiba-tiba suara pendeta Lama yang pendek kecil itu penuh wibawa dan ketegasan, bahkan sinar matanya yang mencorong itu mengandung tantangan. See-thian Lama tentu saja sudah tahu akan maksud kedatangan mereka dan dia pun tersenyum ramah penuh kesabaran.
"Suheng, dengan alasan apakah Suheng hendak mengambil anak yang menjadi muridku ini?"
"Karena dia Sin-tong! Engkau pun tahu sendiri bahwa calon Dalai Lama harus berada di biara untuk dididik."
Kata pula Bai Long Lama.
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau dia Sin-tong, memang benar apa yang kau katakan itu, Suheng. Akan tetapi bagaimana kalau dia bukan Sin-tong? Dan pinceng dapat memastikan bahwa dia ini hanyalah muridku, sama sekali bukan Sin-tong."
"Hemmm, hal itu harus kami selidiki dulu. Apa buktinya bahwa anak ini bukan Sin-tong? Bukankah engkau merampasnya dari Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi yang merampas anak ini dari Lam-hai Siang-mo?"
"Benar, akan tetapi Lam-hai Siang-mo mungkin juga tidak tahu bahwa anak ini bukan Sin-tong. Lihatlah baik-baik, Suheng dan Sute!"
Berkata demikian, See-thian Lama lalu menarik baju Hay Hay sehingga merosot turun dan memperlihatkan punggungnya yang putih bersih, sedikit pun tidak ada tanda merah di situ.
"Bukankah Sin-tong sudah diramalkan memiliki tanda merah di punggungnya? Anak ini tidak mempunyai tanda merah. Kalau dia mempunyai tanda itu tentu sudah dulu-dulu kubawa ke Tibet untuk diserahkan kepada para pimpinan Lama, Suheng."
Melihat punggung yang kulitnya putih halus dan sama sekali tidak nampak ada tanda merahnya itu. Bai Long Lama dan Bai Hang Lama saling pandang dan merasa terkejut, juga terheran-heran. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya semula. Mereka masih merasa penasaran karena mereka tahu bahwa See-thian Lama adalah seorang pandai luar biasa. Bukan tidak mungkin dengan satu dan lain cara, See-thian Lama. sudah berhasil menghapus tanda merah itu dari punggung Sin-tong!
"Omitohud... pinceng benar-benar merasa heran melihat kenyataan ini, Sute See-thian Lama. Akan tetapi pinceng tidak dapat memberi keputusan begitu saja, anak ini harus dibawa ke Tibet untuk dilakukan pemeriksaan dengan teliti apakah dia benar Sin-tong yang kami cari ataukah bukan."
Terkejutlah hati See-thian Lama mendengar ucapan ini. Disangkanya bahwa kenyataan akan tidak adanya tanda merah di punggung Hay Hay akan cukup membuktikan bahwa anak itu bukan Sin-tong. Pada saat itu terdengar suara ketawa bergelak yang datangnya dari jauh sehingga terdengar sayup sampai saja, akan tetapi semakin lama, suara ketawa itu menjadi semakin keras dan jelas. Semua orang terkejut karena maklum bahwa suara ketawa itu adalah suara yang mengandung tenaga khikang yang amat kuat. Akan tetapi See-thian Lama mengenal suara itu setelah terdengar dekat dan dia pun mengerahkan khikangnya sambil berkata.
"Omitohud, Ciu-sian Sin-kai, jangan kau main-main seperti ini! Tidak tahukah dengan siapa pinceng bercakap-cakap?"
Kembali terdengar suara ketawa dan tiba-tiba muncullah seorang kakek yang masih tertawa bergelak. Kakek ini usianya juga sebaya dengan mereka, mendekati delapan puluh tahun. Tubuhnya agak kurus, pakaiannya penuh dengan tambal-tambalan berkembang akan tetapi bersih, sepatunya butut berlubang, rambut, kumis dan jenggotnya yang sudah banyak putihnya itu kusut akan tetapi juga bersih, sepasang matanya tajam dan bergerak-gerak cepat membayangkan kecerdikan. Di pinggangnya terselip sebatang suling yang tiga kaki panjangnya.
"Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali. Justeru karena yang bercakap-cakap adalah tiga orang pendeta Lama tingkat tertinggi, maka terdengar amat lucu sekali. Ha-ha-ha!"
Mendengar ucapan ini dan melihat sikap kakek jembel itu, Bai Long Lama menjadi marah atau setidaknya hatinya merasa tidak senang karena dia merasa dipermainkan dan ditertawakan. Dia pun mengenal siapa adanya kakek jembel itu, seorang di antara Delapan Dewa, rekan dari sutenya, See-thian Lama.
"Siancai... Ciu-sian Sin-kai majikan Pulau Hui, sungguh tidak memandang sebelah mata kepada orang-orang Tibet. Sin-kai, kami yang tadi bercakap-cakap, kalau kau anggap lucu menggelikan, apanya yang lucu?"
Biarpun suaranya masih lunak, namun mengandung kekerasan dan tantangan.
"Ha-ha-ha-ha!"
Kembali kakek pengemis itu tertawa dan seperti bicara kepada diri sendiri dia berkata.
"Sama-sama menggerakkan mulut dan mengeluarkan suara, jauh lebih sehat ketawa dari pada menangis, bergembira daripada berduka! Para Lama yang mulia, sebelum aku menjawab, aku ingin bertanya lebih dulu. Apakah ucapan Dalai Lama yang terkenal angker dan mengandung kebenaran, pernah salah? Apakah ramalan yang keluar dari kamar suci para Dalai Lama di Tibet, pernah bohong dan tidak cocok dengan kenyataan?"
"Tentu saja belum pernah!"
Kata Bai Long Lama dengan marah.
"Heh-heh-heh, pinceng juga senang ketawa seperti engkau, jembel tua. Akan tetapi pinceng tidak berani main-main dengan kesucian Dalai Lama. Tentu saja segala ucapan yang keluar dari kamar suci, yang diramalkan dari sana, semua tentu benar dan sama sekali tidak pernah bohong!"
Sambung Bai Hang Lama yang gendut.
"Nah, nah, itulah yang lucu!"
Kakek jembel itu kembali tertawa.
"Aku sendiri mendengar berita itu di dunia kang-ouw bahwa calon Dalai Lama yang baru adalah seorang anak laki-laki yang terlahir dengan tanda warna merah di kulit punggungnya! Dan anak bernama Hay Hay ini kulit punggungnya putih bersih, sedikitpun tidak ada merahnya. Akan tetapi tetap saja kalian tidak percaya! Bukankah ini lucu sekali? Dua orang Lama tingkat tinggi tidak mempercayai ramalan dari kamar suci Dalai Lama. Aneh dan lucu!"
Wajah kedua orang pendeta Lama itu menjadi agak merah.
"Bukan tidak percaya, engkau salah sangka, Sin-kai. Calon itu sudah pasti punggungnya ada tanda merahnya. Yang kami kurang percaya bahwa, Sin-tong ini memang tidak memiliki tanda itu. Siapa tahu tanda itu hilang atau sengaja dihilangkan. Karena itu, kami akan membawanya ke Tibet agar para pimpinan mengadakan pemeriksaan dan menentukan benar tidaknya dia Sin-tong yang kami cari!"
"Ha-ha-ha, itu lebih lucu lagi namanya! Siapa tidak mengenal See-thian Lama seorang di antara Delapan Dewa? Pernahkah ada tokoh Delapan Dewa berbohong? Dan siapa pula tidak mengenal Ciu-sian Sin-kai? Biar pengemis, aku selamanya tidak pernah mau berbohong. Kami berdua yang menemukan anak ini, kami berdua yang memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa anak ini sama sekali bukan Sin-tong seperti yang dikabarkan orang. Kalau dia Sin-tong, untuk apa kami mengambilnya sebagai murid? Tentu sudah kami kembalikan ke Tibet. Hemm, aku menjadi curiga. Pernah aku mendengar kabar angin bahwa karena sejak kecil tidak boleh berdekatan dengan wanita, banyak kaum pendeta yang memelihara remaja-remaja pria! Benarkah itu? Jangan-jangan murid kita akan dijadikan peliharaan semacam itu, See-thian Lama!"
Ucapan terakhir ini benar-benar menyentuh kelemahan para pendeta Lama itu. Muka mereka menjadi merah. Harus diakui bahwa mereka berdua bukan termasuk para pendeta yang suka menyembunyikan anak laki-laki yang menjadi kekasih mereka dengan berkedok menjadi kacung, akan tetapi mereka melihat kenyataan yang amat memalukan seperti itu.
"Sudahlah, mungkin pinceng yang keliru. Kalau engkau juga menjadi saksi bahwa anak ini memang tidak memiliki tanda merah di punggung sebelumnya, berarti dia bukan Sin-tong, kami percaya. Biarlah kami akan kembali ke Tibet untuk melaporkan hal ini kepada para pimpinan, terserah kebijaksanaan mereka nanti. Sute, selamat tinggal."
Kata pendeta Lama yang kecil pendek itu.
"Suheng, selamat tinggal. Mari, Sinkai!"
Kata pendeta ke dua, Bai Hang Lama yang gendut dan suka ketawa.
"Selamat jalan, Suheng dan Sute."
Kata See-thian Lama.
"Terima kasih, kalian ternyata Lama-Lama yang mau mengerti dan bijaksana, ha-ha-ha!"
Ciu-sian Sin-kai juga berkata. Dua orang pendeta Lama itu lalu pergi dan cara mereka pergi juga mengejutkan hati dan mengagumkan hati Hay Hay karena begitu berkelebatan mereka telah nampak jauh sekali dan sebentar saja mereka hanya nampak seperti titik-titik hitam yang cepat sekali menghilang. Setelah mereka pergi, Ciu-sian Sin-kai lalu memandang kepada Hay Hay dan tersenyum simpul.
"Wah, engkau sudah besar sekarang, Hay Hay. Nah, cepat kau menyerang aku untuk dapat kulihat sampai di mana kemampuanmu setelah lima tahun digembleng oleh Lama pemakan rumput ini!"
Ciu-sian Sin-kai memang selalu mengejek kaum pendeta yang tidak suka makan barang berjiwa sebagai "pemakan rumput".
Bukan mengejek untuk mencemooh atau mencela, bahkan dia merasa kagum sekali dan membenarkan mereka karena pernah dikatakannya bahwa pemakan rumput adalah mahluk-mahluk yang paling besar dan kuat di dunia ini. Lihat saja, katanya, binatang-binatang pemakan rumput adalah yang terkuat, di antaranya gajah, onta, kuda, sapi, kerbau dan lain-lainnya. Sedangkan binatang pemakan bangkai hanya menjadi ganas saja, seperti harimau, serigala dan sebagainya. Tentu saja Hay Hay meragu ketika disuruh menyerang kakek berpakaian pengemis itu. Dia memang masih ingat kepada Ciu-sian Sin-kai, akan tetapi karena sudah lima tahun tidak jumpa, tentu saja dia sungkan kalau datang-datang disuruh menyerangnya! Akan tetapi See-thian Lama tertawa dan berkedip kepadanya.
"Hay Hay, Gurumu Ciu-sian Sin-kai sudah mulai hendak memberi petunjuk, kenapa engkau malu dan sungkan? Seranglah dan habiskan kepandaianmu!"
Mendengar perintah ini, baru Hay Hay teringat bahwa watak kakek pengemis tua itu tidak kalah anehnya dibandingkan dengan See-thian Lama, maka dia pun cepat meloncat ke depan kakek itu. Sejenak mereka saling pandang dan Sin-kai girang melihat remaja yang wajahnya cerah dan sepasang matanya yang mengandung kecerdikan itu. Sebaliknya, Hay Hay juga senang melihat wajah kakek jembel itu yang membayangkan gairah dan kebahagiaan hidup, selalu gembira, berbeda dengan sikap See-thian Lama yang selalu lembut dan tenang seperti air danau yang dalam. Sebaliknya sikap kakek jembel ini seperti anak sungai yang airnya berdendang dan gemericik terus-menerus, mengalir cepat di antara batu-batu sungai. Timbullah niatnya untuk menguji, siapa yang lebih unggul antara kedua orang kakek itu dan dia sudah memperoleh cara untuk melakukannya.
"Suhu Ciu-sian Sin-kai, teecu mulai menyerang. Awas!"
Bentaknya dan dia pun segera menerjang dengan Pukulan keras sambil memainkan langkah-langkah ajaibnya, yaitu Jiauw-pouw-poan-soan dan menggunakan ginkang Yan-cu Coan-in yang membuat tubuhnya ringan dan gerakannya cepat bukan main. Kakek jembel itu terkekeh ketika melihat betapa anak itu bergerak luar biasa cepatnya. Pukulan ke arah perutnya itu dielakkan dan dari samping dia mengulur tangan hendak menangkap pundak Hay Hay. Akan tetapi tiba-tiba saja tangkapannya mengenai angin kosong karena pada saat yang tepat, pundak itu lenyap ketika Hay Hay kembali menyerang, sekali ini menotok ke arah punggung.
"Ehhh...?"
Ciu-sian Sin-kai berseru kagum, cepat meloncat ke depan dan membalikkan tubuhnya dan tanpa ragu-ragu lagi dia pun melayangkan kakinya menendang ke arah kedua lutut Hay Hay. Gerakan kaki kiri kakek ini hebat sekali karena sekali bergerak, ujung kaki kirinya sudah membuat gerakan menendang dua kali mengarah kedua lutut. Cepat sekali. Akan tetapi, dengan langkah ajaibnya kembali Hay Hay dapat menghindarkan kedua lututnya dari serangan kakek itu.
"Bagus! Engkau sudah menguasai Jiauw-pouw-poan-soan dengan baik!"
Sin-kai memuji dan terus menghujani anak itu dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan dari segala pihak. Namun, memang dalam hal mempergunakan langkah-langkah ajaib, anak ini telah digembleng oleh See-thian Lama sehingga telah menguasainya. Dengan langkah-langkahnya itu, dia malah dapat menghindarkan diri dari sergapan tiga orang pendeta Lama.
"Suhu, coba hendak teecu lihat bagaimana Suhu akan mampu merobohkan teecu kalau teecu menggunakan Jiauw-pouw-poan-soan dan Yan-cu Coan-in!"
Tiba-tiba Hay Hay berseru gembira. Hampir saja See-thian Lama menegur muridnya karena ucapan itu dianggapnya takabur sekali. Juga Cui-sian Sin-kai mengerutkan alisnya.
"Kau kira aku tidak mampu?"
Berkata demikian tiba-tiba saja kakek itu merendahkan tubuhnya dan kedua kakinya membuat gerakan menyapu dari kanan kiri secara bergantian. Dibabat dari kanan kiri seperti itu, langkah-langkah kaki Hay Hay menjadi agak kacau dan ketika anak itu mengerahkan ilmu ginkang Yan-cu-coan-in untuk berlompatan menghindar, tiba-tiba saja ujung kaki Sin-kai telah mencium belakang lutut kirinya sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Hay Hay terjatuh berlutut! Hay Hay memang sengaja memancing agar dirobohkan kakek jembel itu. Begitu roboh, dia segera menghadap See-thian Lama..
"Harap suhu ampunkan teecu kalau teecu kurang pandai memainkan ilmu Suhu, ataukah memang ilmu Suhu Ciu-sian Sin-kai yang lebih lihai maka teecu mudah saja dijatuhkan?"
"Hushhh..."
Hay Hay, jangan bicara bergitu!"
Ciu-sian Sin-kai berseru kaget. Akan tetapi terlambat. Api yang disulutkan oleh Hay Hay itu telah membakar dan menyentuh harga diri See-thian Lama.
"Hay Hay, engkau tadi roboh karena salahmu sendiri. Kalau engkau sudah mahir benar, menghadapi segala macam serampangan seperti tadi, tentu engkau berbalik akan berada di pihak pemenang, dan tidak mungkin dapat dirobohkan."
Hay Hay merasa mendapatkan jalan dengan kata-kata itu. Dia lalu berkata kepada Ciu-sian Sin-kai,
"Suhu, teecu ingin sekali mempelajari ilmu membabat dengan kedua kaki tadi, yang telah dapat merobohkan teecu dan membuat langkah ajaib teecu tidak berdaya."
Ciu-sian Sin-kai tertawa.
"Ha-ha, boleh saja, muridku. Ilmu itu hanya sebagian kecil saja dari apa yang akan kuajarkan kepadamu. Nah, perhatikan baik-baik. Jurus ini adalah jurus Kaki Gunting dari Ilmu Tendang Soan-hong-twi (Tendangan Berantai). Lihat bagaimana engkau menggerakkan tubuh dan kedua kakimu."
Kakek itu memberi petunjuk dan karena Hay Hay memang berbakat dan pula sudah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi, maka dilatih sebentar saja dia sudah mampu memainkan tendangan jurus Kaki Gunting itu.
"Nah, Suhu, marilah kita berlatih. Suhu mempergunakan Jiauw-pouw-poan-soan dan teecu akan mencoba jurus Kaki Gunting ini!"
Kata Hay Hay dengan gembira sekali sambil menghampiri See-thian Lama. Kakek ini tersenyum dengan pandang mata mengejek.
"Hemm, jurus kaki gunting tumpul seperti itu saja, apa artinya? Nah, kau boleh menyerangku!"
Karena memang ini yang dikehendaki Hay Hay, dia lalu memainkan jurus tendangannya itu dengan sungguh-sungguh sambil mengerahkan tenaga. Dia menerjang ke depan, merendahkan tubuhnya dan kedua kakinya membuat gerakan menyapu seperti menggunting dari kanan kiri dengan cepat, kadang-kadang bergantian, kadang-kadang berbareng dengan menahan tubuh menggunakan kedua tangan.
Akan tetapi, See-thian Lama sambil tersenyum-senyum, melakukan langkah-langkah mundur dan kedua tangannya bergerak-gerak melakukan totokan-totokan atau tamparan-tamparan ke arah kepala Hay Hay. Karena kedua kaki pendeta itu selalu melangkah mundur, tentu saja sabetan kedua kaki dari kanan kiri itu tak pernah mengenai sasaran, sebaliknya, serangan ke arah bagian atas tubuh itu mernbuat Hay Hay kerepotan. Dia mencoba menangkis, akan tetapi sukar untuk mengelak karena kedua kakinya dipergunakan untuk melakukan tendangan bertubi-tubi sehingga akhirnya, pundaknya terkena totokan. Biarpun See-thian Lama tidak menggunakan tenaga besar, namun tetap saja Hay Hay terduduk lemas untuk beberapa detik lamanya.
"Suhu belum pernah mengajarkan jurus itu kepada teecu!"
Kata Hay Hay kepada See-thian Lama setelah dia dapat bangkit berdiri.
"Itulah Jurus Burung Mematuk Ular untuk menghadapi Kaki Gunting tadi."
"Harap Suhu suka rnengajarkan kepada teecu."
Tentu saja See-thian Lama yang sedikit banyak merasa bangga karena sudah dapat membalas Ciu-sian Sin-kai secara tidak langsung itu, mengalahkan jurus Kaki Gunting, dengan senang hati mengajarkan jurus Burung Mematuk Ular kepada muridnya. Sebentar saja Hay Hay sudah dapat memainkan jurus itu dengan baik, menggunakan langkah Jiauw-pouw-poan-soan dengan mundur sambil kedua tangannya mematuk-matuk ke depan dari atas. Setelah dia menguasai jurus itu, dia pun menghadap Ciu-sian Sin-kai.
"Suhu, sekarang teecu sudah dapat mengalahkan jurus Kaki Gunting."
"Ha-ha-ha, akan tetapi jurus Burung Mematuk Ular itu pun mudah pula dipunahkan."
Kata Ciursian Sin-kai. Kakek ini lalu mengajarkan jurus baru untuk mengatasi dan mengalahkan jurus Burung Mematuk Ular itu. Setelah menguasai jurus itu, Hay Hay lalu diberi pelajaran jurus baru dari See-thian Lama untuk mengalahkan jurus dari Cui-sian Sin-kai. Demikianlah, dengan cerdiknya, Hay Hay berhasil "mengadu"
Kedua orang gurunya itu. Dua orang kakek sakti itu "saling menyerang dan saling mengalahkan jurus lawan"
Secara tidak langsung, melainkan melalui murid mereka. Dan karena ingin saling mengalahkan, tentu saja makin lama mereka mengeluarkan jurus-jurus yang semakin tinggi dan pilihan! Dan semakin sukarlah bagi Hay Hay untuk mempelajari setiap jurus baru yang semakin rumit. Karena itu adu ilmu secara tidak langsung ini terjadi lebih dari tiga bulan!
Nampaknya saja keduanya melatih Hay Hay dengan jurus-jurus ampuh dan pilihan, akan tetapi sesungguhnya, keduanya saling tidak mau mengalah untuk menonjolkan kehebatan ilmu masing-masing. Tentu saja yang untung adalah Hay Hay. Biarpun tentu saja dia tidak atau belum dapat menguasai semua jurus itu dengan sempurna karena kurang latihan, namun setidaknya dia telah mengenal dan menguasai teorinya sehingga kelak tinggal mematangkan saja dengan latihan. Lambat laun, kedua kakek itu pun maklum bahwa mereka berdua telah diadu oleh murid mereka. Diam-diam mereka merasa geli akan kebodohan diri sendiri dan kagum akan kecerdikan murid mereka, akan tetapi mereka maklum betapa pentingnya cara mengajarkan ilmu seperti itu kepada Hay Hay, mereka melanjutkan "adu ilmu"
Harta Karun Jenghis Khan Eps 3 Asmara Berdarah Eps 37 Asmara Berdarah Eps 14