Siluman Gua Tengkorak 2
Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Paman Kwee, kita hendak pergi ke mana?"
Tanya Cia Liong yang matanya masih merah sambil merangkul adiknya ketika mereka dibangunkan dari tidur di pagi buta dan diajak pergi oleh Kwee siu.
Dua orang anak ini sudah tahu bahwa ayah mereka tewas dan ibu mereka dilarikan penjahat. Tentu saja mereka berdua menangis dan selain merasa berduka juga merasa ketakutan. Akan tetapi kedukaan hati seorang anak berbeda dengan kedukaan hati seorang tua. Anak-anak tidak menyimpan dendam yang berlarut-larut, tidak me-nyimpan duka sampai menembus batin. Batin kanak-kanak masih bersih dan wajar, masih kuat seperti puncak cemara sehingga biarpun digerakkkan angin ribut ke arah manapun juga, setelah angin lewat akan tegak kembali, tidak mudah patah. Tangis bagi anak-anak merupakan obat penenang yang mengusir kedukaan dari dalam batin, sebaliknya orang tua bahkan menggunakan tangis untuk memperhebat luka di hati dengan rasa iba diri yang
berlebihan.
"Kita pergi ke tempat kakek gurumu, ke Kuil Thian-hong-bio. Ayahmu berpesan agar aku mengantar kalian ke sana dan untuk sementara kalian tinggal di sana bersama sukong kalian..."
"Aku tidak mau..."
Tiba-tiba Cia Ling berkata merengek.
"Aku mau tinggal di rumah bersama ibu!"
Kwee Siu merangkul anak perempuan berusia tujuh tahun itu, menghiburnya.
"Tentu saja, kalau ibumu sudah pulang, engkau akan tinggal di rumah bersama ibumu. Sementara kami mencari ibumu, engkau tinggal dulu bersama kakek gurumu. Ayahmu berpesan demikian, kalian harus menurut pesan ayah kalian."
Akhirya dua orang itu dapat dibujuk dan dengan membawa pakaian dan barang berharga yang terdapat dalam rumah itu, Kwe Siu lalu mengantar dua orang anak itu pagi-pagi buta berangkat meninggalkan Tai-goan menuju ke kuil yang letaknya di luar kota, kira-kira tiga puluh li dari kota Tai-goan. Setelah meninggalkan kota sejauh kurang lebih sepuluh li, terpaksa Kwee Siu memperlambat jalannya kereta karena jalan itu mulai memasuki hutan dan menjadi buruk, tidak rata dan becek. Pagi itu sunyi sekali, dalam arti kata tidak ada seorangpun manusia nampak di sekeliling tempat itu.
Akan tetapi suara burung-burung hutan menyambut pagi mengusir kesunyian dan mendatangkan suasana yang cerah gembira, walaupun kegembiraan itu sama sekali tidak dapat menyentuh hati Kwee Siu yang sedang dirundung kedukaan dan juga dendam membara. Diapun seorang murid Hong-kiam-pai, oleh karena itu, malapetaka yang menimpa diri Cia Kok Heng itu sungguh terasa olehnya sebagai dendam pribadi. Apalagi, seluruh saudaranya, enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas dalam keadaan mengenaskan. Jenazah Louw Ciang Supun telah ditemukan dan dibawa dari tepi jalan itu ke rumahnya. Jenazah enam orang pendekar itu kini telah berada di dalam peti, di rumah masing-masing dan ditangisi keluarga masing-masing, kecuali jenazah Cia Kok Heng karena isteri dan anak-anaknya tidak ada di dekat peti mati.
"Aku harus membalas dendam ini!"
Kwee Siu memegang cambuknya erat-erat dan sinar matanya berkilat. Dia akan mohon bantuan gurunya, ketua Hong-kiam-pai. Kalau para tokoh Hong-kiam-pai mendengar akan hal ini, tentu mereka takkan tinggal diam saja. Tiba-tiba Kwee Siu mengerutkan alisnya. Teringat dia akan bisikan-bisikan yang didengarnya sebagai pesan terakhir Cia Kok Heng dan hatinya menjadi bimbang dan bingung.
Jalan itu makin buruk dan masuk ke bagian hutan yang makin lebat, makin gelap karena sinar matahari pagi tidak dapat menembus sepenuhnya. Tiba-tiba dua ekor kuda itu meringkik-ringkik dan nampak panik. Kwee Siu memegang kendali kuda erat-erat untuk menguasainya Kuda, seperti juga binatang-binatang lain memiliki naluri yang amat kuat. Kepekaan ini terdapat dalam diri semua makhluk hidup, sebagai pelengkap bawaan untuk memiliki kepekaan ini, namun sayang, oleh nafsu-nafsu mengejar kesenangan, oleh kesenangan-kesenangan itu sendiri yang tak pernah memuaskan hati dan selalu kurang, manusia telah merusak kepekaan diri sendiri lahir batin. Kesenangan-kesenangan untuk memenuhi nafsu keinginan sebagian besar merusak kepekaan diri lahir batin dan hal ini tidak diperdulikan manusia.
Makanan-makanan yang tidak baik bagi kesehatan badanpun dimakan saja karena enak. Kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya merusak diri dilakukan saja karena enak dan menyenangkan. Hukum-hukum kesehatan lahir batin dilanggar demi memperoleh kepuasan nafsu keinginan. Tidak mengherankan apabila manusia kehilangan kepekaan nalurinya. Badan dan batin menjadi bebal dan dungu, hanya menjadi alat pemuas nafsu belaka. Kwee Siu masih belum curiga, hanya mengira bahwa hutan itu mungkin menakutkan dua ekor kudanya dan mungkin saja kudanya mencium bau binatang buas. Tentu saja dia tidak merasa takut dan dengan hati-hati dia mengendarai kereta itu dan menahan kendali untuk menguasai dua ekor kudanya. Tiba-tiba kedua ekor kuda itu meringkik lagi bahkan mereka mencoba mengangkat kaki depan.
Kwee Siu menarik kendali kuda dan tiba-tiba seekor di antara kuda itu mengeluarkan suara memekik dan roboh. Di lehernya menancap sebatang tombak sampai menembus dan kedua kuda itu tewas seketika, berkelojotan sebentar saja. Barulah Kwee Siu terkejut dan dengan cekatan diapun meloncat turun sambil mencabut pedangnya. Matanya menatap ke depan dan bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat sesosok tubuh melangkah perlahan-lahan menghampirinya dari depan. Seorang laki-laki jangkung yang berpakaian jubah putih dengan gambar tengkorak darah di dadanya, juga mukanya tertutup topeng tengkorak! Siluman Guha Tengkorak! Rasa takutnya lenyap ketika dia membayangkan kematian enam orang saudaranya. Dengan suara penuh dendam Kwee Siu melangkah maju menyambut siluman itu sambil memutar pedangnya.
"Siluman keparat, sekarang aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Dan Kwee Siu lalu menerjang ke depan, menyerang dengan pedangnya. Siluman itu mengeluarkan suara ketawa panjang dan segera menyambut serangan itu dengan gerakan-gerakannya yang lincah dan aneh. Namun, Kwe Siu yang dikuasai dendam dan kemarahan, menerjang dengan dahsyat dan mati-matian. Sementara itu, Cia Liong dan Cia Ling, yang berada di dalam kereta, terkejut ketika kereta berhenti dan kuda meringkik-ringkik. Mereka membuka tirai dan melihat ke depan. Melihat Kwee Siu berkelahi dengan seorang berjubah putih yang mukanya menakutkan, Cia Ling menangis. Akan tetapi Cia Liong merangkulnya dan mendekap mulut adiknya.
"Diam... jangan menangis, kita harus pergi dari sini..."
Bisik anak laki-laki itu dan mereka berdua lalu diam-diam keluar dari dalam kereta itu, berindap-indap mereka menyelinap ke belakang sambil memandang ke arah Kwee Siu yang masih berkelahi didesak hebat oleh orang bertopeng tengkorak. Kwee Siu melawan mati-matian, namun siluman itu sungguh amat lihai, terlalu lihai baginya. Apa lagi karena semua serangannya agaknya telah dikenal baik oleh lawan sehingga lawan dapat menghindarkan semua serangannya itu dengan amat mudahnya dan balasan serangan lawan itu membuat Kwee Siu terdesak dan kewalahan.
Bagaimanapun juga, pendekar yang merasa dendam, marah dan penasaran ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk melawan dengan tekad bulat melawan sampai mati. Sementara itu, di lain bagian dari hutan itu, hanya dua tiga li dari tempat itu, terdapat dua orang yang sedang berburu kelinci dengan naik kuda. Mereka berdua itu nampak gembira sekali, berburu kelinci sambil bersendau gurau dengan sikap amat mesra. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis, dan melihat sikap mereka, senyum mereka, pandang mata dan kata-kata diketahui bahwa mereka adalah sepasang orang muda yang saling mencinta. Dan mereka merupakan pasangan yang amat setimpal, yang pria masih muda, antara dua puluh satu atau dua puluh dua tahun,
Berwajah tampan sekali, ganteng dan gagah, pakaiannya rapi, indah mewah walaupun dia bukan seorang pesolek tanpa merias muka, akan tetapi mukanya terawat baik-baik, sisiran rambutnya rapi, gelung rambutnya dihias dengan hiasan rambut terbuat dari batu kemala, pakaiannya terbuat dari pada sutera halus, sepatunya masih baru. Pendeknya, dia seorang pemuda yang amat ganteng dan gagah, pantasnya seorang pemuda terpelajar yang kaya, dan melihat cara dia menunggang kuda mengejar kelinci, dapat pula diketahui bahwa dia adalah seorang ahli menunggang kuda. Seorang pemuda yang akan membuat setiap orang gadis yang bersua dengannya menengok sampai beberapa kali dengan pandang mata kagum! Akan tetapi, temannya yang gadis, juga merupakan seorang wanita pilihan.
Usianya sebaya dengan pemuda itu, wajahnya sungguh amat cantik jelita dan gagah perkasa dengan raut muka sempurna, dengan kulit halus kemerahan tanda sehat, dengan mata yang indah berkilauan seperti mata burung hong keramat, senyumnya yang semanis madu dan suaranya yang (Lanjut ke Jilid 02)
Siluman Gua Tengkorak (Seri ke 07 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
bening merdu. Juga gadis ini memakai pakaian sutera halus yang indah, gerakannya ketika mengejar kelinci juga amat cekatan dan gagah. Seorang gadis yang cantik jelita dan gagah pula! Sungguh merupakan pasangan yang amat setimpal dan seimbang. Kalau orang mengenal siapa kedua orang muda ini, dia tentu takkan heran melihat kegagahan mereka dan mungkin orang itu akan memandang kagum atau juga mungkin lari menyembunyikan diri. Pemuda yang bertubuh tegap sedang dan berwajah tampan ini bukan lain adalah seorang pendekar yang namanya pernah menggemparkan kota raja,
Bahkan pernah menggegerkan seluruh dunia persilatan. Dia adalah Pendekar Sadis! Dia adalah seorang pemuda berdarah bangsawan, karena ayah kandungnya adalah seorang pangeran. Pendekar Sadis ini bernama Ceng Thian Sin, putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Ayahnya itu adalah putera kandung dari mendiang Kaisar Ceng Tung dan ibunya adalah Puteri Khamila isteri Raja Sabutai. Ayahnya itu, selain pangeran, juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang pernah menggegerkan dunia persilatan dengan usahanya untuk menjadi Jagoan No-mor Satu Di Dunia. Yang sudah mengenal Pendekar Sadis tentu telah mengetahui bahwa dalam hal ilmu silat Ceng Thian Sin si Pendekar Sadis ini tidak kalah lihai dibandingkan mendiang ayahnya.
Semenjak kecil dia telah digembleng oleh ayah kandungnya sendiri, bahkan kemudian dia digembleng oleh ketua Cin-ling-pai, mewarisi ilmu silat yang hebat dari Cin-ling-pai. Bukan hanya itu, dia malah mewarisi pula ilmu-ilmu mujijat dari pendekar-pendekar sakti yang masih keluarga dari Cin-ling-pai, yaitu dari pendekar sakti Yap Kun Liong dan isterinya, yaitu Cia Giok Keng. Kakek dan nenek ini menurunkan ilmu mereka kepadanya. Juga Pendekar Lem-bah Naga berkenan menurunkan ilmu-ilmu mujijat kepadanya. Di samping itu, dia masih mewarisi ilmu-ilmu peninggalan ayahnya, ilmu-ilmu aneh peninggalan Bu Beng Hud-couw. Pendeknya, Ceng Thian Sin merupakan seorang pemuda gemblengan yang sukar dicari tandingannya untuk masa itu. Temannya itu, dara yang cantik jelita dan gagah itu, bukan pula seorang wanita sembarangan.
Jauh daripada itu! Ia bahkan memiliki tingkat yang tidak jauh bedanya dengan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin. Wanita ini bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena ia adalah puteri kandung dari mendiang Pangeran Toan Su Ong, seorang pangeran pemberontak yang memiliki ilmu silat yang tinggi, dan ibunya adalah seorang wanita yang telah mewarisi ilmu peninggalan Menteri Sakti The Hoo, yang bernama Ouwyang Ci. Dengan ilmu kepandaian warisan ayah bundanya yang tinggi, Toan Kim Hong pernah menjagoi dunia selatan, bahkan gadis ini menyamar sebagai seorang nenek tua, menaklukkan semua tokoh kang-ouw dan lioklim, kemudian ia sebagai seorang nenek tua diangkat dan diakui oleh semua tokoh dunia persilatan sebagai seorang datuk selatan yang disebut Lam-sin (Malaikat Selatan).
Ilmu silatnya amat hebat dan ketika ia untuk pertama kalinya bertemu dengan Pendekar Sadis, mereka mengadu ilmu dan terjadi pertandingan yang luar biasa hebatnya. Hanya dengan amat susah payah sajalah Pendekar Sadis mampu mengalahkan "nenek"
Itu yang kemudian menanggalkan penyamarannya, berubah menjadi seorang dara yang amat cantik jelita. Karena sumpahnya bahwa ia akan menyerahkan dirinya kepada pria yang dapat mengalahkannya, juga karena merasa saling tertarik, Kim Hong menyerahkan diri kepada Thian Sin. Keduanya semenjak itu lalu hidup bersama, merantau ke mana-mana, hidup sebagai suami istri tanpa pernikahan yang sah. Keduanya memang tidak mau saling mengikat, namun di dalam hati mereka itu terdapat ikatan cinta kasih yang amat mendalam.
Dua orang ini pernah ditentang oleh para pendekar, bahkan oleh keluarga Cin-ling-pai karena sepak terjang Thian Sin yang terkenal sebagai Pendekar Sadis. Sepak terjangnya dianggap terlalu kejam dan para pendekar menentangnya. Karena berhadapan dengan keluarga Cin-lingpai, terutama sekali dengan ayah angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, maka Thian Sin mengalah dan tidak berani melawan. Akhirnya dia dan kekasihnya diampuni dan diapun berjanji akan membuang jauh-jauh sifatnya yang kejam terhadap para penjahat itu dan mereka berdua lalu pergi ke tempat yang terasing, yaitu di Pulau Teratai Merah. Tempat ini adalah tempat di mana dahulu mendiang Pangeran Toan Su Ong, ayah kandung Kim Hong, hidup bersama anak isterinya ketika dia menjadi buronan pemerintah karena sikapnya yang suka memberontak dan menentang kaisar.
Demikianlah perkenalan kita secara singkat dengan sepasang muda-mudi yang hebat ini. Pada waktu-waktu tertentu kedua orang ini sering kali meninggalkan pulau mereka dan melakukan perjalanan di daratan besar, merantau dan melakukan petualangan bersama-sama, menikmati hidup dan bersama-sama menghadapi segala peristiwa dengan sikap sebagai sepasang pendekar yang menentang kejahatan. Pada hari itu, kebetulan sekali mereka yang hendak melakukan pejalanan pesiar ke kota Taigoan, pada waktu melewati hutan itu, timbul kegembiraan mereka untuk menangkap kelinci ketika mereka melihat beberapa ekor kelinci yang gemuk dan sehat.
"Lihat kelinci di sana itu!"
Mula-mula Kim Hong berseru sambil menunjuk ke depan dan mereka melihat seekor kelinci putih yang muda dan gemuk muncul dari semak-semak.
"Gemuknya! Ihh, basah mulutku membayangkan dagingnya dipanggang. Tentu lezat dan sedaaappp!"
Thian Sin tertawa. Mendengar suara ketawa yang tidak wajar itu, Kim Hong yang sudah menghentikan kudanya menengok dan menatap wajah kekasihnya dengan sinar mata menyelidik dan menuntut.
"Kenapa kau ketawa seperti itu? Menertawakan aku?"
Thian Sin tertawa makin geli.
"Kim Hong, membayangkan dagingnya yang putih mulus dipanggang, menimbulkan selera seperti kalau membayangkan tubuhmu... aih, seperti ada persamaannya membayangkan antara kalian berdua..."
"Tarrr...!"
Pecut kuda di tangan Kim Hong meledak di dekat kepala kuda yang ditunggangi Thian Sin, membuat kuda itu meringkik kaget dan mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi. Kalau bukan Pendekar Sadis yang berada di punggungnya, tentu gerakan tiba-tiba ini akan membuat penunggangnya terlempar dari atas punggung kuda!
"Porno kau! Cabul kau!"
Kim Hong memaki akan tetapi Tian Sin hanya tertawa. Mereka lalu berlumba untuk berburu kelinci.
"Yang dapat lebih dulu bagian makan, yang lain bagian membersihkan dan memanggang dagingnya!"
Kata Kim Hong akan tetapi sambil berkata demikian, kudanya sudah meloncat ke depan dan ia sudah mengejar seekor kelinci putih yang berlari-larian ketakutan setengah mati dikejar kuda besar. Thian Sin tertawa dan tidak mau kalah. Lalu diapun membedal kudanya mengejar kelinci. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, bahkan dapat dinamakan orang-orang sakti, akan tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka kadang-kadang bersikap seperti kanak-kanak dan juga mereka bersikap jujur sekali. Kalau mereka menghendaki, dengan sekali gerakan tangan saja, tentu mereka akan merobohkan seekor kelinci.
Akan tetapi, pikiran ini sama sekali jauh meninggalkan benak mereka yang sedang bergembira dan begurau itu dan mereka kini sungguh-sungguh mempergunakan kelincahan kuda mereka untuk berburu kelinci dan berlomba secara wajar dan jujur, sama sekali tidak berniat untuk mempergunakan ilmu kepandaian mereka. Justru di sinilah letak kegembiraannya. Mempergunakan kelincahan kuda saja berburu kelinci tanpa mengandalkan senjata atau kepandaian, sungguh bukan merupakan hal yang mudah. Kelinci-kelinci itu terlampau gesit untuk kuda yang bertubuh besar dan beberapa kali kelinci-kelinci itu menyelinap dan lenyap di dalam semak-semak atau lenyap di dalam lubang. Mereka tertawa-tawa, berebut hendak menangkap kelinci sampai mereka tidak tahu kemana kuda mereka menuju. Tiba-tiba mereka mendengar suara anak menahan tangis. Keduanya terkejut, menghentikan kuda mereka dan melihat ke depan.
Di situ, seorang anak laki-laki sedang merangkul seorang anak perempuan dan berusaha mendekap mulut anak perempuan itu agar jangan menjerit atau terisak. Akan tetapi, dua pasang mata mereka itu menatap kepada dua orang penunggang kuda dengan terbelalak dan penuh rasa takut. Mereka itu adalah Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak yang melarikan diri dari dalam kereta yang dihadang oleh siluman itu. Ketika mereka tiba di situ dan mendengar suara dua orang penunggang kuda yang tertawa-tawa dan mengejar-ngejar kelinci, kemudian melihat mereka muncul, dua orang anak itu menjadi ketakutan, mengira bahwa yang muncul itu tentulah orang-orang jahat pula. Cia Ling sudah hampir menjerit dan menangis, akan tetapi mulutnya didekap oleh kakaknya dan kini mereka berdiri terbelalak memandang kepada dua orang penunggang kuda itu dengan ketakutan.
Melihat dua orang anak kecil yang ketakutan di dalam hutan ini, sekali melompat Kim Hong sudah berada di depan mereka. Loncatannya itu memang luar biasa dan akan membuat seorang ahli silat dan seorang ahli gin-kang melongo dan kagum disertai ketakjuban. Tidak mudah meloncat dari atas punggung kuda seperti itu, tanpa membuat kuda itu terkejut, dan di udara membuat pok-sai (salto) sampai dua kali dan tahu-tahu meluncur turun di dekat dua orang anak itu. Seperti seekor burung terbang saja. Dan ini memang merupakan satu di antara keistimewaan gadis itu, yakni gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat. Kim Hong sudah berjongkok di depan dua orang anak itu, tersenyum dan memandang manis agar mereka tidak menjadi ketakutan.
"Eh, siapakah kalian adik-adik kecil ini? Dan kenapa berdua saja di dalam hutan dan kelihatan ketakutan? Jangan takut kepadaku, aku akan menolong kalian!"
Dalam keadaan seperti itu, batin anak-anak kecil lebih peka dari pada orang tua. Cia Ling memandang wajah yang cantik kemudian tiba-tiba merangkul dan menangis di atas pundak Kim Hong yang lalu memondongnya,
"Ceritakan, apa yang telah terjadi? Kami akan menolongmu,"
Kata Thian Sin yang juga sudah turun dari atas kudanya dan menghampiri dua orang anak itu. Agaknya Cia Liong juga sudah dapat mempercayai kedua orang ini yang sama sekali tidak kelihatan seperti orang-orang jahat,
"Ayah kami dibunuh siluman..."
"Apa...?"
Thian Sin terkejut sekali dan berseru keras, membuat Cia Liong terkejut. Kim Hong mengerutkan alisnya dan merengut.
"Kasarmu ini!"
Celanya dan iapun mendekati anak laki-laki itu,
"Kenapa ayahmu dibunuh siluman dan di mana? Ceritakan, jangan takut. Kami akan melawan siluman itu!"
Katanya.
"Ayah kami dibunuh malam tadi... dan ibu kami diculik siluman..."
"Ahh...!"
Kim Hong juga terkejut "Dan bagaimana kalian bisa berada di sini?"
"Kami dibawa lari oleh paman Kwee Siu, naik kereta akan tetapi di jalan... di jalan... siluman itu menghadang dan sekarang berkelahi dengan paman Kwee Siu... dan kami melarikan diri..."
"Di mana pamanmu itu sekarang?"
Thian Sin bertanya.
"Di sana..."
Cia Liong menuding ke belakang.
"Kim Hong, bawa mereka, aku akan ke sana!"
Belum habis kata-katanya, orangnya sudah lenyap ketika Thian Sin melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap. Kim Hong menuntun dua ekor kuda dan mendudukkan dua orang anak itu di atas punggung kuda, dan iapun menyusul ke arah larinya Thian Sin. Ketika Kim Hong tiba di tempat perkelahian itu, ia melihat Thian Sin sedang berjongkok di dekat sesosok tubuh yang nampaknya sudah menjadi mayat. Thian Sin sedang berusaha membuat orang yang belum tewas benar itu memperoleh kekuatan dengan jalan menotok sana-sini. Iapun menurunkan dua orang anak itu dan cepat menghampiri.
"Paman Kwee..."
Dua orang anak itu menangis dan mengertilah Thian Sin dan Kim Hong bahwa korban ini adalah paman yang melarikan dua orang anak itu, agaknya hendak menyelamatkan mereka dan melarikan dari bahaya, namun tetap saja bahaya maut itu datang menjemput. Akhirnya usaha Thian Sin berhasil. Orang yang dadanya luka oleh tusukan pedangnya sendiri dan pelipisnya retak karena pukulan itu menggerakkan mata dan bibirnya, kemudian dia mengeluh panjang, lalu terdengar suaranya berbisik lemah.
"Si... siluman... guha... tengkorak... ahhhh... tewas semua...su... susiok..."
Kwee Siu tak mampu melanjutkan kata-katanya karena lehernya terkulai dan nyawanya melayang.
"Paman...!"
Dua orang anak itu yang dapat menduga apa yang telah terjadi, menangis. Akan tetapi Kim Hong dapat membujuk dan menghibur mereka, membawa mereka ke dalam kereta. Ke-mudian wanita perkasa ini membantu Thian Sin untuk mengubur jenazah Kwee Siu di dalam hutan itu. Mereka berdua maklum bahwa di balik semua ini tentu terdapat rahasia, dan mereka dapat merasakan bahaya maut mengancam dua orang anak itu. Oleh karena itulah maka mereka tidak mau ribut-ribut, melainkan diam-diam mengubur jenazah Kwee Siu dan mengambil keputusan untuk menyelidiki urusan ini dan selain menghukum penjahat--penjahatnya, juga berusaha menolong ibu anak-anak itu yang katanya diculik "siluman". Apa lagi mereka mendengar pesan terakhir paman dua orang anak itu tentang Siluman Guha Tengkorak! Mereka belum pernah mendengar nama ini namun mudah diduga bahwa penjahat-penjahat itu tentulah yang memakai nama Siluman Guha Tengkorak. Setelah selesai mengubur jenazah itu secara sederhana, mereka lalu menghampiri Cia Liong dan Cia Ling yang masih terisak-isak dan nampak bingung.
"Anak-anak, jangan kalian khawatir. Kami akan mencari ibu kalian kami akan melindungi kalian. Sebaiknya sekarang ceritakan semuanya agar kami tahu ke mana kami harus mencari ibumu itu,"
Kata Kim Hong dengan suara membujuk.
"Sebaiknya katakan dulu, siapakah nama kalian dan siapa ayah kalian?"
Thian Sin ikut bertanya sambil mengelus rambut kepala Cia Ling. Cia Liong mengusap air matanya dengan punggung tangannya.
"Nama saya Cia Liong dan adik saya ini Cia Ling, ayah kami bernama Cia Kok Heng..."
"She Cia...?"
Thian Sin membelalak dan di dalam hatinya timbul perasaan mesra terhadap mereka. Hal ini tidaklah mengherankan. Nama keturunan Cia merupakan nama keturunan yang amat dekat di hatinya. Orang-orang she Cia dari keluarga Cia, yaitu keluarga Cia Sin Liong Pendekar Lembah Naga merupakan orang-orang yang paling dicintainya di dalam dunia semenjak dia masih kecil. Oleh karena itu, begitu mendengar bahwa dua orang anak inipun she Cia, timbul perasaan mesra terhadap mereka,
Walaupun dia tahu bahwa belum tentu persamaan she itu menunjukkan bahwa mereka berdua itu masih keluarga dekat dengan Pendekar Lembah Naga. Apa yang dirasakan oleh Pendekar Sadis Ceng Thian Sin ini juga dirasakan oleh kebanyakan dari kita. Timbulnya karena pengembangan dari si aku. Pementingan diri atau perhatian yang dipusatkan kepada si aku inilah yang menimbulkan rasa suka tidak suka. Si aku tidak hanya terbatas kepada pribadi belaka, melainkan dapat berkembang dan meluas menjadi keluargaku, milikku, sahabatku, golonganku, bangsaku, agamaku dan sebagainya. Jadi, sesungguhnya, si akulah yang dipentingkan atau apapun juga yang menguntungkan atau merugikan aku. Kedua orang anak kecil itupun sudah mempunyai arti yang lain bagi Thian Sin begitu dia mengetahui bahwa mereka itu bermarga Cia!
Tentu sikap dan perlakuannya akan jauh berbeda andaikata mereka itu tidak bermarga Cia. Di sini sudah timbul penilaian yang membedakan, timbul pilih kasih, timbul ketidakadilan. Dan segala seuatu yang bersumber kepada pementingan si aku, baik aku sebagai diri pribadi maupun si aku yang telah berkembang, sudah pasti menimbulkan konflik dengan akunya orang lain pula. Biarpun dia sendiri tidak mengetahui dengan jelas duduk persoalannya, namun Cia Liong dapat menceritakan dengan cukup jelas. Bahwa ayahnya menerima ancaman gambar dari Siluman Guha Tengkorak di dinding luar rumah mereka, kemudian ayahnya dan lima orang sahabat ayahnya tewas oleh penyerbuan siluman itu. Kemudian bahwa mereka dibawa lari oleh Kwee Siu akan tetapi di dalam hutan itu dihadang oleh siluman.
"Jadi ibumu diculik penjahat malam tadi?"
Tanya Kim Hong sambil mengerutkan alisnya. Sayang, anak ini tidak tahu mengapa penjahat yang disebut Siluman Guha Tengkorak itu melakukan perbuatan yang demikian kejamnya. Ia tidak tahu apakah ia menghadapi peristiwa kejahatan biasa ataukah ada sebab-sebab permusuhan di antara si penjahat dan orang tua anak-anak ini.
"Ibu dan kami dibawa terbang oleh siluman ke atas genteng, dan kami berdua lalu dilempar ke bawah, untung ada paman-paman yang menyelamatkan kami. Akan tetapi ibu dilarikan entah ke mana,"
Kata Cia Liong. Anak inipun menceritakan bahwa ayahnya dan enam orang paman itu adalah Tujuh Pendekar Tai-goan.
"Kim Hong, kita membagi tugas sekarang. kau bawalah mereka ini pergi dari sini, sebaiknya kau titipkan kepada keluarga yang boleh dipercaya di luar kota Tai-goan saja. Aku sendiri akan mencoba untuk mencari jejak penjahat itu, siapa tahu dia belum pergi jauh."
Kim Hong mengangguk.
"Baik, aku akan memakai kereta ini. Dan di mana kita akan bertemu dan kapan?"
"Lewat tengah hari di tempat ini. Kita saling menanti sampai sore."
Kim Hong mengangguk. Dua orang yang tadinya bersendau-gurau seperti kanak-kanak itu kini sama sekali telah merubah sikap. Mereka bicara singkat, bersungguh-sungguh dan agaknya hanya dengan gerak-gerik dan pandang mata saja, mereka telah mampu untuk saling mengerti. Memang, kedua orang yang saling mencinta ini selain perasaan cinta kasih yang mendalam satu sama lain,
Juga memiliki pengertian yang mendalam pula, yang membuat mereka dapat bekerja sama dengan baik dan kadang-kadang bahkan mereka merasa seolah--olah mereka terdiri dari dua badan namun satu perasaan. Kim Hong lalu mengikat kudanya di belakang kereta, kemudian membawa dua orang anak itu pergi meninggalkan hutan, menuju ke kota Tai-goan dengan maksud untuk mencari dusun di luar kota untuk memilih keluarga yang hendak dititipi dua orang anak itu untuk sementara. Sedangkan Thian Sin juga lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan mencari-cari jejak di sekeliling tempat itu. Kadang-kadang dia meloncat dari atas kudanya, memeriksa tanah dan rumput dan akhirnya dia menemukan jejak kaki, yaitu ujung sepatu yang menginjak tanah meningalkan bekas atau jejak yang ringan sekali.
Dia tahu bahwa pemakai sepatu itu adalah seorang yang memiliki gin-kang yang amat tinggi, walaupun tidak sehebat gin-kang yang dikuasai Kim Hong, namun cukup jelas menyatakan bahwa orang ini merupakan lawan yang tangguh. Maka diapun berhati-hati dan mulai mengikuti jejak itu. Sementara itu, Kim Hong telah menemukan keluarga yang dianggapnya cukup dapat dipercaya untuk dititipi dua orang anak itu. Keluarga petani itu sendiri mempunyai seorang anak kecil berusia lima tahun dan di dusun itu dia dianggap sebagai orang yang dihormati karena dia cukup pandai menulis dan terkenal sebagai orang yang jujur. Kim Hong memberinya uang, bahkan menyerahkan kereta berikut kudanya kepada petani itu dan menitipkan dua orang anak she Cia untuk selama beberapa pekan lamanya.
"Jaga mereka baik-baik dan jangan biarkan mereka bermain terlalu jauh, sebaiknya bermain di dalam rumah saja. Setelah urusanku selesai, aku akan datang menjemput mereka,"
Katanya dan kepada dua orang anak itu, Kim Hong berpesan agar mereka itu menutup mulut dan jangan menceritakan kepada siapa juga tentang urusan mereka.
"Aku akan mencari ibu kalian sampai dapat."
Demikian ia menjanjikan. Tentu saja dua orang anak itu merasa girang dan terhibur.
Menanti merupakan pekerjaan yang paling mengesalkan hati dan juga melelahkan. Waktu rasanya berhenti berjalan atau berjalan juga dengan merayap perlahan seperti gerak maju seekor siput. Apalagi kalau di balik penantian itu terdapat urusan yang menggelisahkan hati seperti halnya Kim Hong ketika ia menanti datangnya Thian Sin di dalam hutan, di tempat yang telah dijanjikan tadi. Kim Hong membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri duduk di atas batu besar di tepi jalan. Kadang-kadang matanya ditujukan ke arah gundukan tanah yang menjadi kuburan Kwee Siu, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan. Berada seorang diri di dekat kuburan baru itu menimbulkan rasa kesepian yang mencekam, menimbulkan bayangan pikiran yang bukan-bukan. Orang yang dikubur itu adalah seorang pendekar, yang agaknya tewas dalam tugasnya sebagai seorang pendekar, dalam usahanya menyelamatkan dua orang anak itu. Begitukah saat terakhir seorang pendekar?
Tewas di tempat sunyi, tanpa ada yang mengetahui, bahkan mungkin orang she Kwee ini meninggalkan keluarga yang masih belum tahu akan kematiannya. Betapa menyedihkan! Akan seperti itu jugakah nasibnya? Nasib Thian Sin? Betapa menyedihkan. Tiba-tiba gadis itu menepuk mati seekor semut yang merayap dan menggigit punggung tangannya. Ah, kenapa ia tiba-tiba menjadi selemah itu? Kalau perlu, mati seperti yang dialami oleh orang she Kwee itu boleh saja! Kematian takkan mungkin dapat dihindarkan oleh siapapun juga, soal kapan waktunya merupakan rahasia yang tak terpecahkan dari manusia. Dan mati seperti yang dialami oleh orang she Kwe ini cukup terhormat! Sebagai seorang pendekar yang sedang melaksanakan tugasnya sebagai pendekar, yaitu menolong orang lain, melindungi yang lemah tertindas dan menentang yang kuat menindas.
Kalah atau menang dengan akibat mati atau hidup hanyalah akibat dari pada perjuangan dan bukankah hidup ini perjuangan juga? Bukankah kematian mengelilingi kita setiap saat? Bukan kematian yang penting untuk direnungkan, melainkan cara dari kematian itu. Mati dalam kebenaran, mati sebagai seorang pendekar perkasa penentang kejahatan seperti orang she Kwee itu adalah kematian yang patut dibanggakan dan dikagumi orang. Kematian itu sendiri bukan soal, melainkan suatu kewajaran. Akan tetapi dalam keadaan bagaimana seseorang mati, itulah yang penting. Andai kata yang menanti datangnya Thian Sin di tempat seperti itu bukan seorang wanita seperti Kim Hong, tentu hati wanita itu sudah menjadi kesal bukan main dan tentu akan marah-marah kepada orang yang dinanti-nantinya. Akan tetapi Kim Hong bukanlah seorang wanita cengeng.
Sama sekali bukan, bahkan sebaliknya dari pada itu ia seorang pendekar wanita yang gagah perkasa yang biasa mempergunakan akal budinya dan sama sekali tidak menuruti perasaannya dalam menghadapi urusan penting dan gawat. Maka, biarpun ia telah menanti sampai matahari condong ke barat dan Thian Sin belum muncul, ia sama sekali tidak pernah mempunyai perasaan menyalahkan pemuda itu. Kepercayaannya terhadap Thian Sin sudah penuh dan tidak dapat diragukan lagi seperti juga kepercayaan pemuda itu terhadap dirinya. Ia merasa yakin bahwa kalau Thian Sin belum muncul, hal itu hanya berarti bahwa pemuda itu memang belum sempat dapat datang, dan ini berarti bahwa kekasihnya itu telah menemukan sesuatu dalam penyelidikannya! Dan, biarpun kecil sekali kemungkinannya karena ia tahu dan mengenal benar orang macam apa adanya Thian Sin, bisa saja terjadi bahwa kekasihnya itu mendapatkan halangan!
Hal inilah yang dipikirkan dan setelah hari mulai gelap, kekhawatiran mulai menyelubungi hatinya. Satu-satunya jalan baginya hanya menyelidiki dan menyusul! Akan tetapi, menyelidiki jejak kaki kuda yang ditunggangi Thian Sin tidak mungkin dilakukan di malam hari, maka tidak ada jalan baginya kecuali menanti sampai terlewatnya malam itu. Malam yang tidak menyedapkan hati! Malam sunyi sepi, di dekat kuburan baru, menanti datangnya orang yang tak kunjung muncul. Untung masih ada kudanya, setidaknya merupakan makhluk yang membuktikan adanya kehidupan yang dapat bergerak, Kim Hong membuat api unggun, mencoba untuk tidur akan tetapi bayangan tentang Thian Sin tertimpa bencana menggoda pikirannya sehingga harapan satu-satunya hanyalah agar malam itu cepat berlalu dan ia dapat segera mulai menyusul kekasihnya.
Malam seperti itu tentu menjadi malam yang menyeramkan dan menakutkan bagi orang lain, apalagi bagi seorang wanita yang berada di tempat sunyi seorang diri saja. Orang mudah dihinggapi rasa takut di tempat sunyi, apalagi di malam hari yang amat gelap seperti itu, lebih-lebih pula kalau di situ terdapat sebuah kuburan yang baru siang tadi diisi jenazah yang mandi darah, pula kalau diketahui bahwa ada musuh yang amat tangguh dan berbahaya yang mungkin saja mengancam diri. Namun, seorang pendekar seperti Toan Kim Hong sudah dapat mengatasi rasa takut ini. Seperti para pendekar lainnya, dara ini sudah maklum apa yang menimbulkan rasa takut, maka iapun dapat meniadakan sebab timbulnya rasa takut ini. Setiap orang biar yang tidak memiliki ilmu silat seperti Kim Hong, tidak memiliki andalan untuk melindungi diri sebaiknya,
Dapat saja menjadi orang yang memiliki ketabahan dan ketenangan hati seperti Kim Hong! Yang perlu diselidiki adalah rasa takut itu sendiri. Apakah rasa takut itu? Dan dari mana timbulnya? Rasa takut tidak terpisah dari pada batin, karena rasa takut adalah keadaan batin itu sendiri pada saat itu. Rasa takut timbul karena ingatan membayangkan sesuatu yang akan amat tidak menyenangkan diri. Rasa takut tidak pernah terpisah dari bayangan yang diciptakan oleh pikiran yang mengingat-ingat hal-hal yang lalu dan bayangkan hal-hal yang mungkin terjadi di masa depan. Rasa takut sudah pasti merupakan pengintaian atau penjengukan masa depan yang dibayangkan itu, atau rasa takut itu tentu takut akan sesuatu yang tidak ada atau belum ada! Yang takut akan setan belum melihat setan itu sendiri, takutnya timbul karena pikiran membayangkan kemungkinan munculnya setan.
Demikian pula yang takut akan bencana tentu belum tertimpa bencana itu, takut akan kematian tentu karena hal yang ditakutkan itu belum ada maka timbullah bayangan-bayangan yang mengerikan. Orang yang tidak membayangkan setan tak mungkin takut akan setan, yang tidak membayangkan kematian tak mungkin takut kematian dan sebagainya. Hal ini merupakan kenyatan yang dapat kita selidiki sendiri. Jadi jelaslah bahwa rasa takut adalah bayangan pikiran yang dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain, kemudian pikiran menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang tidak menguntungkan diri. Timbullah rasa takut. Dan rasa takut ini sama sekali tidak ada manfaatnya bagi hidup. Bahkan rasa takut ini membuat kita kehilangan kewaspadaan, segala tindakan kita terpengaruh olehnya.
Biasanya kita menghadapi rasa takut sebagai sesuatu yang terpisah dari pada batin kita. Kita ingin menghindari rasa takut, maka muncullah hiburan-hiburan untuk melupakan hal-hal yang mendatangkan rasa takut itu. Akan tetapi hal ini hanya merupakan pelarian yang sia-sia belaka. Rasa takut akan setan umpamanya, tidak mungkin lenyap hanya dengan melarikan diri dari rasa takut, dengan jalan menghiburnya, mencari teman, pergi ke tempat ramai dan sebagainya. Lain saat rasa takut itu akan muncul lagi setiap kali pikiran kita membayangkan tentang kengerian-kengerian bertemu setan. Mengapa tidak kita hadapi saja rasa takut itu? Kita amati saja kalau rasa takut itu sewaktu-waktu muncul dan ini merupakan sesuatu yang teramat menarik dan teramat berharga untuk diselami dan dihayati sendiri.
Kalau rasa takut muncul, baik rasa takut akan setan, rasa takut akan bencana, malapetaka, maupun rasa takut akan kematian, mengapa tidak kita hadapi saja rasa takut itu tanpa ingin melarikan diri darinya? Hadapi saja, amati saja penuh perhatian sehingga kita dapat melihat dengan sepenuhnya, dapat mengerti sepenuhnya, apa sesungguhnya rasa takut itu sehingga bukan kita yang menghindarkan diri dari rasa takut melainkan rasa takut itu sendiri yang lenyap dari lubuk hati kita? Mengapa kita tidak membebaskan diri saja dari rasa takut yang dapat menimbulkan berbagai macam akibat dalam sikap dan tindakan dalam hidup kita? Semalam suntuk Kim Hong hanya duduk bersila di dekat api unggun, tak pernah bergerak seperti patung. Hanya kadang-kadang saja kalau harus menambah kayu bakar, ia bergerak sebentar kemudian duduk lagi.
Suara api membakar kayu menimbulkan suara dan menarik perhatiannya sehingga tidak mendengar suara lain dan tidak tahu bahwa ada sosok tubuh orang menyelinap di antara pohon-pohon di sekelilingnya dan ada sepasang mata mengintainya sejak tadi. Ketika itu, malam telah hampir habis dan fajar telah menyingsing di ufuk timur. Akan tetapi karena nyamuk masih belum meninggalkan tempat yang masih gelap itu, Kim Hong masih terus menyalakan api unggun dan duduk dengan tenangnya, hatinya mulai gembira melihat bahwa di sebelah timur telah mulai nampak sinar kemerahan. Ringkik kudanya yang mula-mula membuatnya waspada. Cepat ia mencurahkan perhatiannya ke sekeliling dan pandang matanya yang tajam itu menangkap berkelebatnya bayangan di balik pohon di sebelah kirinya. Kudanya mendengus-dengus dan Kim Hong mengambil sikap tenang, pura-pura tidak tahu bahwa waktu itu ada orang yang mengintainya.
Mengapa orang itu mengintai saja dan tidak turun tangan sejak tadi, pikirnya. Apakah munculnya orang ini ada hubungannya dengan penjahat yang menculik ibu dua orang anak itu? Ataukah ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin? Kalau orang itu adalah si penjahat yang suka menculik wanita, mungkin sekali dia mengintaiku untuk kemudian turun tangan menangkap dan menculikku. Akan tetapi kalau ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin, kalau orang itu sudah tahu akan kelihaian Thian Sin, mungkin sekali diapun berhati-hati kepadanya. Sungguh tidak enak menanti dan menduga-duga seperti ini. Lebih baik memberi kesempatan dan memancing agar orang itu bergerak turun tangan. Api unggun mulai padam, sengaja dibiarkan saja oleh Kim Hong dan dalam duduknya, dara itu kelihatan melenggut.
Kemudian ia membiarkan dirinya, diserang hawa dingin pagi, menggigil sedikit lalu menguap, menutupkan punggung tangan depan mulut, lalu merebahkan dirinya bersandar pada batang pohon dan tidur. Sikap dan gerakannya demikian wajar sehingga siapapun juga tentu akan menduga bahwa gadis ini merasa kedinginan dan mengantuk dan dengan mudahnya jatuh pulas ketika merebahkan diri dan bersandar pada batang pohon itu. Dan agaknya, orang yang mengintainya dari balik batang pohon itupun menduga demikian. Dia membiarkan sampai gadis itu tertidur selama setengah jam, barulah dengan gerakan kaki yang amat ringan dia keluar dari balik pohon dan menghampiri. Sejenak dia berdiri memandang wajah dan tubuh yang terlentang di depannya itu dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar kagum.
Memang, melihat Kim Hong rebah terlentang setengah duduk bersandar batang pohon di pagi hari itu merupakan pemandangan yang indah menarik. Hati siapa takkan tergerak melihat tubuh yang padat dan matang itu setengah terlentang, dan melihat wajah yang luar biasa cantiknya itu, sedikit tertutup uraian rambut, dengan mata terpejam dilindungi bulu mata yang lentik, bibirnya kemerahan mengulum senyum, lehernya yang panjang itu nampak terbuka sehingga kulit leher putih mulus itu menantang pandang mata? Adapun Kim Hong sejak tadi sudah melihat orang dan jantungnya berdebar tegang. Orang itu adalah seorang laki-laki yang memakai sutera putih dan di dadanya terdapat lukisan tengkorak dari tinta merah atau darah, dan muka orang itu memakai topeng tengkorak pula!
Sungguh mengerikan dan tentu akan menakutkan orang melihat siluman ini muncul di pagi hari buta dan di tempat sunyi seperti itu. Akan tetapi, di dalam hatinya, Kim Hong memasa geli, akan tetapi juga marah. Inikah orangnya yang telah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan, dan sudah menculik ibu dua orang anak itu? Apakah dia ini berhasil menghindarkan diri dari pencarian Thian Sin, kemudian malah datang ke sini untuk menculiknya? Orang bertopeng itu agaknya puas memandang Kim Hong dan diapun mengangguk-angguk, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dari dalam saku bajunya. Dia melangkah dekat, lalu kertas dari dalam itu dibukanya dan begitu dia mengebutkan kertas itu, bubukan berwarna merah berhamburan ke arah muka Kim Hong! Akan tetapi, pada saat itu, Kim Hong sudah bergerak dengan amat cepatnya, meloncat dan menggunakan kakinya untuk menendang.
"Wuuuttt...! Dukkk!"
Tubuh orang bertopeng itu terpelanting dan terlempar ke belakang. Tentu saja siluman itu terkejut setengah mati. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa dara yang cantik jelita itu, yang nampak tidur pulas, tahu-tahu dapat mengirim tendangan yang demikian cepat dan hebatnya. Dia tadi masih mampu menangkis, akan tetapi karena kurang cepat dan kurang mengerahkan tenaga, tendangan yang luar biasa kuatnya itu membuat tubuhnya terpelanting bahkan terlempar ke belakang.
Akan tetapi, begitu tubuhnya terbanting, cepat orang itu sudah mampu meloncat bangun kembali! Dan dia menjadi semakin heran melihat betapa gadis itu tidak terpengaruh oleh bubuk obat biusnya! Padahal bubuk obat bius merah itu amat kuat dan sukar dilawan oleh orang yang pandai sekalipun. Dia tadi tidak melihat betapa dengan sehelai saputangan, Kim Houg mengebut bubuk merah itu dengan pengerahan sin-kang sehingga bubuk merah itu tertiup pergi dan tidak ada yang mengenai mukanya. Karena kecelik, siluman itu agaknya merasa penasaran sekali. Dia mengeluarkan gerengan marah dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan dan diapun sudah menyerang Kim Hong dengan dahsyat. Tangan kananya meraih ke arah leher seperti hendak mencengkeram, sedangkan jari tangan kirinya meluncur dan menotok ke arah jalan darah di pundak.
Totokan ke arah pundak inilah yang bahaya karena selain "tertutup"
Oleh cengkeraman tangan kanan, juga yang diarah itu jalan darah yang penting dan yang akan membuat orang yang kena ditotoknya menjadi lemas takkan mampu bergerak lagi! Akan tetapi, tentu saja serangan macam itu bukan apa-apa bagi Kim Hong. Gadis ini sudah dapat mengukur dalam tendangannya tadi bahwa walaupun siluman ini memiliki kepandaian lumayan dan lebih dari pada penjahat-penjahat biasa, yang memiliki tubuh yang kuat, namun bukan merupakan lawan yang terlalu tangguh baginya. Oleh karena itu, Kim Hong menjadi marah dan ingin mempermainkan lawan, ingin menghajarnya, baru kemudian ia akan melucuti kedoknya dan akan memaksanya mengaku tentang peran Siluman Guha Tengkorak dan ibu anak-anak yang telah diculiknya itu.
Maka, begitu serangan itu datang, ia menyambutnya dengan mudah sekali tanpa mengerahkan banyak tenaga dan kecepatan, ia telah dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu. Ia sengaja tidak mau membalas dan membiarkan siluman itu menyerangnya secara bertubi-tubi untuk mengukur sampai di mana tingkat kepandaian lawan. Setelah ia membiarkan lawannya menyerangnya sampai belasan jurus, iapun mengerti bahwa lawan ini memiliki dasar ilmu silat campuran dan tidak dapat digolongkan sebagai seorang ahli yang sudah matang. Maka, iapun ingin menghentikan perkelahian itu dan ketika orang itu menyerangnya lagi dengan tangan kanan mencengkeram ke arah dada, serangan yang sungguh tak tahu malu dari seorang lawan pria terhadap seorang wanita, Kim Hong sudah menyelinap ke samping dan begitu kakinya melayang, ia telah menendang perut orang itu dengan keras.
"Desss...!"
Tubuh orang itu melayang untuk kedua kalinya, sekali ini melayang jauh dan terbanting jatuh dekat dengan kuda tunggangan Kim Hong yang menjadi kaget dan meringkik. Tendangan tadi amat keras dan biarpun Kim Hong tidak bermaksud membunuhnya, atau belum lagi, namun tendangan itu cukup hebat untuk membuat orang itu memuntahkan darah segar dari mulutnya. Akan tetapi, memang orang itu memiliki tubuh yang kuat dan tahan uji, karena begitu terbanting jatuh, dengan mulut mengeluarkan darah, dia sudah meloncat dan tahu-tahu dia sudah berada di atas punggung kuda tunggangan Kim Hong. Kuda itu-pun dibedalkannya dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu.
"Hei, badut keparat! Hendak lari ke mana engkau?"
Kim Hong terkejut dan marah sekali, lalu menggerakkan kedua kakinya mengejar. Dara ini seorang ahli gin-kang dan gerakannya luar biasa cepatnya, larinya tidak kalah oleh larinya kuda. Akan tetapi karena siluman itu nampaknya jerih sekali dan tidak mau tersusul, kuda itu dibalapkannya dan dipukulinya dengan tangan terbuka sehingga kuda itu berlari amat cepat. Kim Hong terus mengejar, bukan saja hendak menangkap si penjahat melainkan juga untuk mendapatkan kembali kudanya. Kini kuda itu meninggalkan jalan dan memasuki hutan. Kim Hong tetap mengejarnya sampai si penunggang kuda itu tiba di tepi jurang, jurang yang menganga lebar dan dalam, selebar kurang lebih empat tombak. Dan Kim Hong melihat siluman itu terus saja membedalkan kudanya, bahkan membawa kudanya meloncati jurang!
"Heii, jangan...!"
Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kim Hong berteriak karena dari jauh saja ia sudah melihat bahwa perbuatan itu merupakan tindakan nekat dan mempertaruhkan nyawa dengan sia-sia. Jurang itu terlalu lebar untuk dapat diloncati oleh kudanya. Kuda itu kini "terbang"
Di atas jurang dan dengan mata terbelalak Kim Hong berhenti dan memandang, melihat betapa kaki depan kuda itu memang telah mencapai tepi jurang di seberang, akan tetapi karena sebagian besar badannya yang belakang belum sampai, maka kuda itu terjengkang dan bersama dengan penunggangnya meluncur jatuh ke dalam jurang yang amat dalam itu! Kim Hong mengepal tinju dan lari ke tepi jurang, menjenguk ke bawah dan ia melihat betapa kuda dan penunggangnya terbanting-banting ke lereng bukit yang berbatu-batu, kemudian berhenti dan tidak bergerak--gerak lagi.
"Keparat!"
Kim Hong mendesis dan ia merasa kecewa sekali dan menyesal mengapa tidak dari tadi ia merobohkan saja orang itu agar dapat dikorek keterangan darinya. Sekarang, bukan saja penjahat itu telah mati dan tidak ada gunanya lagi, juga kudanya ikut mati. Terpaksa ia kembali ke tempat tadi dan mulailah ia mencari jejak kuda yang ditunggangi Thian Sin kemarin siang. Tidak mudah mencari jejak kuda yang sudah lewat sehari semalam. Rumput yang diinjak kuda sudah berdiri lagi dan menutupi jejak pada tanah. Untung baginya, tanah di hutan itu lembab dan hal ini membuat jejak kaki kuda itu agak tahan lama.
Dengan hati-hati ia mencari, menemukan jejak kaki kuda itu dan mengikutinya dengan jalan kaki. Ia harus menemukan Thian Sin. Ia tidak percaya bahwa riwayat Siluman Guha Tongkorak akan habis begitu saja bersama jatuhnya orang tadi dengan kudanya ke dalam jurang. Kalau siluman atau penjahat itu hanya seorang seperti itu kepandaiannya, tidak mungkin orang-orang yang sudah dijuluki Tujuh Pendekar Tai-goan begitu mudah dibunuhnya. Apa lagi, tidak mungkin kalau Thian Sin sampai tidak mampu menemukannya setelah pemuda itu mencari selama sehari semalam. Tentu ada apa-apa di balik semua ini, ada kekuatan yang jauh lebih hebat dari pada sekedar penjahat bertopeng tengkorak tadi. Tanpa setahu Kim Hong, jejak kuda yang ditunggangi Thian Sin itu membawanya kepada daerah Guha Tongkorak! Ia tidak menyadari hal ini karena memang ia tidak mengenal daerah itu.
Tidak ada kesempatan baginya dan juga bagi Thian Sin untuk menyelidiki keadaan Siluman Guha Tengkorak yang baru pertama kali mereka dengar dari mulut Kwee Siu ketika pendekar itu dalam keadaan sekarat. Peristiwa demi peristiwa terjadi susul menyusul demikian cepatnya. Mula-mula pertemuan mereka dengan dua orang anak-anak yang mengatakan bahwa ayah dan paman-paman mereka terbunuh siluman dan bahwa ibu mereka terculik. Kemudian pertemuan mereka dengan Kwee Siu yang menghadapi maut. Lalu menghilangnya Thian Sin yang mengikuti jejak siluman dan tak kunjung kembali ke dalam hutan seperti yang telah mereka janjikan. Dan munculnya siluman yang mencoba untuk membiusnya, kemudian berakhir dengan kematian mengerikan bagi siluman itu sebelum Kim Hong sempat membuka rahasianya. Semua itu terjadi dalam waktu semalam saja dan kini ia telah mengikuti jejak kekasihnya.
Melihat keadaan yang liar dan sunyi dari tempat ke mana jejak itu membawanya, Kim Hong mulai merasa khawatir. Agaknya ia dibawa ke tempat yang berbahaya, karena makin lama tempat itu semakin sunyi. Tak nampak ada seorangpun manusia dan ketika jejak itu tiba di tepi Sungai Fen-ho yang berbatu-batu karang, jejak itupun lenyap. Tentu Thian Sin melanjutkannya dengan jalan kaki, pikirnya. Jalan itu mendaki tebing dan amat sukar dilalui manusia, apalagi kuda. Kim Hong tidak melanjutkan perjalanannya. Ia meragu, karena tidak tahu ke mana ia harus melanjutkan perjalanan. Yang berada di depannya itu merupakan jalan pendakian ke sebuah tebing yang curam dan ia tidak tahu ada apa di balik tebing atau di sebelah atas itu. Ia tidak tahu ke mana Thian Sin melanjutkan perjalanannya dan tidak dapat menduga apa yang telah terjadi setelah kekasihnya itu tiba di tempat ini.
Tiba-tiba ketika ia memeriksa keadaan sekeliling dan melihat-lihat, di atas bukit kecil di sebelah kiri terdapat sebuah bangunan kuil kecil kuno yang berdiri terpencil. Agaknya sebuah kuil yang tidak dipergunakan lagi, dan mungkin saja untuk tempat tinggal seorang pertapa atau bukan tidak mungkin tempat terpencil itu menjadi tempat persembunyian penjahat! Timbul semangatnya karena ia berpendapat bahwa kalau Thian Sin tiba di sini dan melihat kuil itu tentu kekasihnya itupun akan mengunjungi dan memeriksa tempat itu sebagai langkah pertama dalam penyelidikan mengenai Siluman Guha Tengkorak itu. Kim Hong lalu mulai mendaki tebing yang amat sukar itu. Akan tetapi karena ia memiliki gin-kang yang amat hebat, ia dapat mendaki tempat itu dengan cepat dan tak lama kemudian, tanpa banyak kesukaran ia telah tiba di pekarangan kuil kuno.
Akan tetapi, pekarangan itu ada bersih ada bekas sapuan di situ. Hal ini menandakan bahwa tempat itu berpenghuni! Siapa tahu penghuninya adalah penjahat yang dicari-carinya. Pikiran ini membuat Kim Hong bersikap hati-hati dan iapun menyelinap dan menghampiri kuil kuno itu dari belakang. Ketika ia melihat seekor kuda ditambatkan di bagian belakang dari kuil itu, jantungnya berdebar tegang dan girang. Ia mengenal kuda itu, kuda tunggangan Thian Sin! Dihampirinya kuda itu dan ditepuk-tepuk punggungnya. Kuda itupun mengenal Kim Hong dan membelai tangan dara itu dengan mukanya. Ah, kalau saja kuda ini mampu bicara, tentu banyak yang diceritakannya dan ia tidak perlu bingung-bingung mencari tahu apa yang telah terjadi dengan Thian Sin sehingga pemuda itu tidak kembali ke hutan.
Pendekar Lembah Naga Eps 58 Pendekar Sadis Eps 30 Pendekar Sadis Eps 39