Si Bangau Merah 26
Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 26
Ki Bok memandang heran.
"Engkau begitu mencintaiku dan sudah kau buktikan dengan pertolongan ini, akan tetapi aku....aku tidak dapat membalas cintamu. Maafkan aku, Ki Bok."
Cu Ki Bok tertawa, namun suara ketawanya sumbang,
"Sudah nasibku Sian Li, cinta tak dapat bertepuk sebelah tangan. Engkau tidak bersalah. Cinta tidak dapat dipaksakan, hanya aku yang tidak tahu diri. Nah, pergilah dan jangan pikirkan aku lagi...."
Tiba-tiba mereka melihat beberapa bayangan berkelebat dan Ki Bok terbelalak ketika melihat bahwa gurunya, Lulung Lama, ketiga Pek-Lian Sam-li dan belasan orang pembantu mereka telah mengepung tempat itu!
"Omitohud, tidak kusangka bahwa muridku yang paling kupercaya, sekarang bahkan meng-khianatiku! Sungguh seperti memelihara anak harimau, ketika kecil dan lemah dirawat dan dipelihara, setelah besar dan kuat hendak menubruk pemeliharanya sendiri. Engkau murid murtad!"
"Suhu, teecu hendak membebaskan Nona Tan Sian Li karena ia tidak bersalah, dan karena teecu tidak tega melihat ia celaka. Suhu, ia bukan musuh kita, dan membebaskannya tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan perjuangan kita. Bagaimana Suhu dapat mengatakan bahwa teecu murtad dan pengkhianat? Suhu, kalau Suhu menghendaki agar perjuangan kita mendapat dukungan para pendekar di dunia kang-ouw, sebaiknya Suhu membebaskan Nona ini."
Terdengar suara tawa merdu, disambung suara Ji Kim, orang ke tiga Pek-lian Sam-liyang cantik manis dan lincah.
"Hi-hik, apakah Losuhu masih belum mengerti? Muridmu itu telah tergila-gila kepada gadis ini, dan orang yang tergila-gila seperti dia itu mau berbuat apa saja untuk orang yang dicintainya. Kalau perlu melawan guru sendiri demi membela wanita yang dicintainya, heh-heh!"
"Benar sekali, Losuhu. Muridmu ini tidak ada harganya sama sekali, bahkan berbahaya karena sewaktu-waktu dia dapat mengkhianati kita,"
Kata Ji Kui. Cu Ki Bok marah sekali dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka tiga orang wanita itu.
"Pek-Lian Sam-li, kalian ini hanya tamu akan tetapi tidak tahu diri! Aku tahu mengapa kalian membenciku, karena aku tidak sudi melayani rayuan kalian, bukan? Kalian sungguh menjemukan, kalian perempuan-perempuan hina yang berkedok pejuang!"
"Ki Bok tutup mulutmu!"
Lulung Lama membentak. Sian Li yang sejak tadi mendengarkan saja, kini melangkah maju dan ia pun berseru nyaring.
"Ucapan Ki Bok benar! Tiga orang wanita jalang ini tak tahu malu! Ki bok seribu kali lebih berharga daripada mereka ini, Losuhu."
"Hi-hik, engkau sudah mau mampus masih banyak lagak!"
Bentak Ji kui, dan bersama adiknya ia sudah menyerang ke arah Sian Li. Gadis berpakaian merah ini, bergerak cepat, mengelak dan biarpun ia ber-tangan kosong, ia membalas dengan serangan yang dahsyat.
"Ki Bok, pinceng tidak mungkin dapat membiarkan engkau kelak mengkhianatiku. Nah, terimalah hukumanku ini!"
Pendeta Lama itu mener-jang kedepan dan menghantam dengan tangan kanan ke arah kepala murid sendiri.
"Suhu....!"
Ki Bok berseru dan cepat melempar tubuhnya ke belakang. Biarpun dia sudah mengelak cepat, namun angin pukulan itu masih menyambar dahsyat dan tubuhnya terjengkang dan terguling-guling sampai lima meter lebih.
"Ki Bok....! Losuhu engkau tidak boleh membunuhnya!"
Sian Li berteriak, akan tetapi tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu sudah menyerangnya dari tiga penjuru dan biarpun ia dapat menangkis dan mengelak, tetap saja ia terhuyung ke belakang. Seorang penjaga yang memegang pedang menyam-butnya dengann tusukan pedangnya, Sian Li adalah seorang gadis gemblengan. Biarpun ia kurang pengalaman dan ilmu-ilmunya belum masak benar, namun ia telah mewarisi ilmu-ilmu hebat. Ketika ada angin tusukan pedang menyambar tubuh bagian iga dari samping,
Ia masih dapat menekuk tubuhnya sehingga pedang lewat dekat iganya, dan kakinya menendang, pergelangan tangan yang memegang pedang itu terkena sambaran ujung kakinya. Tangannya juga cepat merenggut dan pedang itu sudah berpindah ke tangannya! Begitu memegang pedang, senjata menyambar dan penyerangnya tadi pun roboh oleh pedangnya sendiri. Dengan pedang di tangan, Sian Li mengamuk, memainkan Liong-siauw Kiam-sut dengan pedang rampasan itu. Namun Pek-lian Sam-li yang juga sudah menggunakan pedang, mengepung dan megeroyoknya, membuat Sian Li tak mungkin lagi dapat mendekati Ki Bok lagi. Pemuda itu bangkit berdiri setelah tadi terguling-guling, hanya untuk melihat suhunya sudah berdiri di depannya, kini dengan sepasang senjata gelang roda besar di kedua tangan, matanya mencorong marah, penuh nafsu membunuh.
"Suhu, ampunkan teecu...."
Cu Ki Bok meratap. Dia tidak takut mati konyol di tangan gurunya sendiri, hanya untuk kesalahan sekecil itu. Kalau diingat betapa sejak kecil dia diperlakukan dengan baik oleh Lulung Ma, sungguh penasaran kalau sekarang terancam maut di tangan orang yang selama ini dianggap sebagai pengganti orang tuanya, yang menyayang dan disayangnya. Agaknya Lulung Lama juga tidak tega untuk membunuh pemuda yang selama ini menjadi tumpuan harapan dan yang disayangnya, selama ini setia kepadanya itu, maka dia nampak ragu-ragu.
"Losuhu, ingat, dia agaknya pun berbaik dengan Sin-ciang Tai-hiap. Dia berbahaya, seperti musuh dalam selimut!"
Teriak Ji Kim yang merasa kecewa dan sakit hati karena selamanya baru sekali ia dan encinya ditolak pria, yaitu ketika mereka gagal merayu Ki Bok. Mendengar teriakan ini bangkit kembali kemarahan Lulung Lama. Memang muridnya ini yang menerima Yo Han.
"Mampuslah....!"
Bentaknya dan dia pun menye-rang dengan sepasang rodanya. Ki Bok terkejut bukan main, berusaha untuk mengelak. Dia tetap tidak mau melawan gurunya dan hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari cengkeraman maut. Namun, tingkat kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan gurunya, maka sebuah tendangan kaki Lulung Lama mencium lutut kanannya dan dia pun terpelanting.
"Sian Li, larilah... cepat....!"
Dia masih sempat berteriak sebelum sebuah roda di tangan kiri Lulung Lama menghantam kepalanya dan pemuda itu tewas seketika. Lulung Lama berdiri seperti patung, memandang ke arah pemuda yang kepalanya retak dan tewas itu, dan baru dia merasa menyesal bukan main.
"Ki Bok.... omitohud.... apa yang kulakukan ini? Ki Bok...."
Dia mengeluh. Seolah menjawab kata-katanya, terdengar sorak-sorai riuh sekali dan nampak obor-obor dinyalakan di luar pagar bambu kemudian terdengar suara hiruk pikuk ketika pagar bambu yang mengelilingi perkampungan itu dijebol orang dari luar. Perkampungan itu diserbu orang dari luar. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Lulung Lama ketika pagar itu jebol, dia melihat banyak pendeta Lama diantara para penyerbu yang terdiri dari pasukan Tibet!
"Celaka....!"
Serunya, maklum bahwa sarangnya diserbu oleh pasukan pemerintah Tibet bersama anak buah Dalai Lama. Dia pun cepat lari ke bangunan induk untuk memimpin anak buahnya mengadakan perlawanan. Akan tetapi, dengan kaget Lulung Lama melihat bahwa para penyerbu bukan hanya pasukan Tibet dan para pendeta Lama saja yang menyerbu, melainkan juga puluhan orang Kang-ouw.
Orang-orang kang-ouw itu kini membantu Yo Han yang dikeroyok dan yang tadi mengamuk. Maklumlah Lulung Lama bahwa dia harus melawan mati-matian, maka sambil mengeluarkan teriakan menantang, dia sudah menyerbu ke arah Yo Han yang kini dia ketahui adalah Sin-ciang Tai-hiap sendiri. Yo Han menyambut senjata roda di tangan Lulung Lama dan terjadilah perkelahian hebat diantara mereka. Sementara itu, ketika melihat serbuan pasukan Tibet dan para pendeta Lama, juga orang-orang kang-ouw, Sian Li menjadi girang sekali dan ia tidak jadi melarikan diri. Bahkan ia lalu menggunakan suling emasnya yang tadi ia terima kembali dari Cu Ki Bok untuk membantu para penyerbu, mengamuk dan mencari-cari Pangeran Gulam Sing yang amat dibencinya untuk membalas kematian suhengnya. Gadis ini menerima sebuah suling berselaput emas dari Kam Bi Eng,
Nenek yang menggemblengnya dan biarpun ia juga pandai memainkan pedang namun ia lebih suka kalau memegang suling ini sebagai senjatanya. Akhirnya Sian Li menemukan orang yang dicari-carinya. Ternyata Pangeran Gulam Sing yang tinggi besar brewok dan gagah perkasa itu, dengan senjata yang mengerikan, yaitu golok melengkung yang amat tajam, sedang bertanding malawan Gak Ciang Hun dan ibunya. Pangeran Nepal itu memang tangguh, dan terutama sekali dia memiliki tenaga raksasa yang membuat Ciang Hun dan ibunya kewalahan. Setiap kali senjata ibu dan anak itu bertemu dengan golok melengkung, tentu pedang mereka terpental. Hanya setelah Ciang Hun mengerahkan tenaga Sin-kangnya, barulah dia berani beradu senjata, akan tetapi ibunya tidak berani mengadu senjata secara langsung, hanya mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengeroyok.
"Pangeran jahanam!"
Sian Li berseru dan sekali lompat, tubuhnya menjadi bayangan merah dan suling emasnya mengeluarkan bunyi melengking ketika ia menotok ke arah leher pangeran yang tinggi besar itu.
"Ha-ha-ha, Si Bangau Merah datang. Bagus, mari kita main-main sebentar, nona manis!"
Kata pangeran itu dalam bahasa yang patah-patah.
Goloknya digerakkan dengan pengerahan tenaga, dihantamkan ke arah suling emas yang menusuk lehernya, dengan maksud agar senjata di tangan nona pakaian merah itu terpental dan lepas. Akan tetapi Sian Li bukan seorang gadis bodohh. Ia sudah tahu bahwa lawannya ini memiliki tenaga yang amat besar, maka ia menarik kembali sulingnya dan secepat kilat, sulingnya yang lepas dari tangkisan lawan itu sudah menotok ke arah ulu hati lawan! Pada saat yang bersamaan, Gak Ciang Hun dan ibunya, Souw Hui Lian atau Nyonya Gak, telah menyerang pula dengana pedang mereka dari kanan kiri. Melihat dirinya diserang ole tiga orang lawan yang tidak boleh dipandang ringan, Pangeran Gulam Sing mengeluarkan bentakan nyaring, bentakan yang mengandung kekuatan sihir dan tiga orang lawan itu tergetar seperti kehilangan tenaga dan di lain saat,
Kaki Pangeran Nepal itu sudah merobohkan Nyonya Gak dengan tedangannya yang mengenai paha. Goloknya menyambar ke arah Gak Ciang Hun yang masih sempat melempar diri ke belakang sehingga serangan itu luput, dan tangan kiri pangeran Nepal itu mencengkeram ke arah kepala Sian Li! Gadis ini terkejut. Tadi ketika Pangeran Nepal itu mengeluarkan bentakan, ia pun tergetar dan seperti kehilangan tenaga sehingga tusukan sulingnya gagal, dan kini tiba-tiba lengan yang panjang itu telah terjulur cepat dan tangan yang besar itu sudah mencengkeram ke arah kepalanya! Sian Li cepat miringkan kepala mengelak, dan tangan itu terus menyambar dan mencengkeram ke arah pundak kirinya dan terdengar pangeran itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, Nona merah, akhirnya engkau jatuh juga ke tanganku....eh....!"
Dia terkejut karena tiba-tiba saja cengkeraman tangannya itu tertolak ke belakang oleh tenaga dahsyat dari sinar emas yang menyambar ke arah tangannya itu. Dia cepat meloncat ke belakang dan ketika dia mengangkat muka,dia melihat bahwa di situ telah berdiri seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, berpakaian sederhana. Melihat pria ini sama sekali tidak mengesankan, akan tetapi sepasang matanya mencorong penuh wibawa. Pria itu memandang kepada Sian Li yang tadi terkejut dan juga lega bahwa ada orang yang menyelamatkannya dan terdengar dia berkata,
"Nona, biarlah aku yang menghadapi orang Nepal ini."
Pangeran Gulam Sing yang menjadi marah tidak memberi kesempatan kepada lawan yang tangguh itu untuk banyak bicara. Dengan geram dia sudah mengeluarkan bentakan nyaring disertai kekuatan sihirnya sambil menggerakkan golok melengkung untuk menyerang. Akan tetapi pria itu bersikap tenang saja, agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh bentakan itu dan dia sudah mencabut kembali sebatang suling dari ikat pinggangnya.
Suling itu terbuat dari kayu, akan tetapi mengkilap sepeti emas, dan ketika dia gerakkan, maka terdengar suara melengking seolah suling itu ditiup orang. Dan golok melengkung itu tertolak keras ketika bertemu suling, membuat Pangeran Gulam Sing menjadi terkejut. Dia pun mengamuk dan menyerang membabi buta, dilayani oleh pria yang sederhana itu. Sian Li, Nyonya Gak,dan Ciang Hun memandang kagum. Terutama sekali Sian Li yang kini melongo dan terheran-heran. Ia dapat melihat dengan jelas bahwa suling itu dimainkan oleh Si Pria tiada bedanya sama sekali dengan permainannya sendiri, itulah Liong-siauw-kiam-sut (ilmu Pedang Suling Naga)! Dimainkan dengan perlahan saja, akan tetapi anehnya, golok melengkung itu sama sekali tidak mampu banyak berlagak lagi setelah berhadapan dengan permainan suling pria itu!
Sian Li teringat akan neneknya, yaitu Kam Bi Eng, istri kakek Suma Ceng Liong. Seperti itulah kalau Nenek Kam Bi Eng memainkan sulingnya! Dan biarpun ia sendiri telah digembleng nenek itu dan telah menguasai Liong-siauw-kiam-sut, namun tentu saja tingkatnya masih jauh. Mungkin ia telah menguasai gerakannya, namun "isinya"
Belum matang sehingga tenaga yang dikandung dalam gerakannya masih belum begitu kuat. Akan tetapi, Sian Li tak sempat banyak melamun kaarena seperti juga Ciang Hun dan ibunya, ia sudah harus berkelahi lagi dengan anak buah Pangeran Gulam Sing, yatu orang-orang Nepal yang juga terpaksa harus menggerak-kan senjata menyambut para penyerbu. Terjadilah pertempuran hebat di malam itu. Pria yang baru tiba itu memang hebat. Pangeran Gulam Sing yang gagah perkasa itu pun tidak mampu menandinginya.
Belum juga lima puluh jurus, setelah Pangeran Nepal itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, dia sudah terdesak dan terhimpit oleh gulungan sinar suling di tangan orang itu. Maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawan ini, tiba-tiba Pangeran Gulam Sing mengelu-arkan teriakan nyaring dan kakinya yang panjang dan besar itu melakukan tendangan-tendangannya yang ampuh sekali. Kedua kaki itu bertubi-tubi melakukan tendangan, menyambar dari bawah ke atas, dari kanan kiri dan mendatangkan angin yang menyambar-nyambar. Namun, lawannya agaknya tidak menjadi terkejut melihat ilmu tendangan yang amat dahsyat itu. Tubuhnya mencelat ke atas dan setelah berjungkir balik, dia pun meluncur turun dan didahului oleh sinar sulingnya, menyambut tendangan kaki Gulam Sing!
"Tukk! Tukk!"
Gulam Sing terjengkang, kedua kakinya roboh. Saat itu dipergunakan oleh Sian Li yang sejak tadi mengamati jalannya perkelahian itu sambil menjaga diri dari serangan anak buah Gulam Sing, untuk meloncat ke dekat Gulam Sing. Sulingnya menyambar dan sebelum Pangeran Nepal itu sempat mengelak, suling di tangan Sian Li telah menotok tengkuknya dari samping dan pangeran Nepal itu pun terkulai.
"Awaaas....!"
Pria itu cepat menyambar lengan Sian Li dan ditariknya. Untung dia bertindak cepat karena saat itu, dalam keadaan sekarat Gulam Sing masih mampu melontarkan goloknya ke arah Sian Li. Demikian kuat dan cepatnya lemparan golok itu sehingga andaikata Sian Li tidak ditarik orang tadi, tentu dara ini akan menjadi korban sambaran golok. Melihat robohnya Gulam Sing. Anak buahnya menjadi panik dan mereka lari cerai berai, disambut oleh pasukan Tibet.
"Gak-twako dan Bibi, mari kita bantu Han-ko!"
Kata Sian Li dan ia pun menghadapi pria itu sambil memberi hormat.
"Paman yang gagah perkasa, terima kasih atas pertolonganmu. Kalau Paman suka, kami harap Paman suka membantu kami sampai selesai!"
"Pria itu tersenyum.
"Aku hanya kebetulan lewat dan mendengar keributan disini, aku datang dan melihat engkau tadi terancam, Nona. Mari, aku ikut di belakang kalian."
Sian Li, Ciang Hun, Nyonya Gak dan diikuti pria itu lalu mencari Yo Han.
Sementara itu, Yo Han yang tadi bertanding melawan Lulung Lama, tidak menggunakan waktu terlalu lama. Biarpun Lulung Lama dibantu oleh Pek-lian Sam-li namun Yo Han dapat mendesak mereka dengan gerakan yang aneh. Dia menggunakan ilmu Bu-kek-hoat-keng dan begitu empat orang lawannya menyerangnya, mereka itu bahkan terjengkang sendiri. Makin hebat mereka menyerang, semakin kuat pula mereka tertolak dan terbanting! Memang ilmu yang diwarisi oleh Yo Han dari mendiang Kekek Ciu Lam Hok ini merupakan ilmu yang luar biasa. Ilmu ini dapat menghimpun tenaga sakti yang mengandung daya tolak luar biasa sehingga setiap orang penyerang apalagi kalau hatinya dibakar kebencian dan kemarahan,
Tentu akan terpukul sendiri oleh serangannya yang membalik. Pada saat itu, para pendeta Lama telah berdatangan dan melihat Lulung Lama terjengkang berkali-kali setiap menyerang Yo Han, para pendeta Lama itu lalu menubruk dan meringkus pemberontak itu. Akan tetapi terhadap Pek-lian Sam-li, baru pendeta Lama dan pasukan tidak memberi ampun. Tiga orang wanita ini dikeroyok dan di bawah hujan senjata, mereka pun tewas. Demikian pula dua orang pembantu Gulam Sing, yaitu Badhu dan Sagha, juga para tosu Pek-lian-lauw yang menjadi kawan-kawan Pek-lian Sam-li semua tewas. Ketika Yo Han melihat Sian Li, Ciang Hun dan Nyonya Gak, juga seorang pria sederhana datang hendak membantunya, dia yang sedang meneriaki para orang kang-ouw untuk menghentikan pertempuran, segera berkata kepada mereka.
"Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita tidak perlu mencampuri pertempuran antara pasukan Tibet yang menangkapi para pemberontak."
Orang-orang kang-ouw itu lalu meninggalkan tempat itu, lari cerai berai setelah mendengar perintah dari Sin-ciang Tai-hiap yang mereka taati. Adapun Sian Li, Ciang Hun dan ibunya, juga pria itu, segera mengikuti Yo Han melarikan diri keluar dari kancah pertempuran itu dan mereka menuruni bukit itu. Setelah mereka tiba di kaki bukit, malam mulai berganti pagi dan mereka berhenti di tempat sunyi untuk istirahat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Li untuk sekali lagi menghaturkan terima kasih kepada pria yang telah menolongnya.
"Paman, terima kasih atas bantuan Paman. Kalau tidak ada Paman, mungkin aku telah menjadi korban golok Pangeran Gulam Sing yang lihai."
Ia mengamati wajah pria itu dengan kagum dan heran sekali, permainan senjata suling dari Paman sedemikian hebatnya, padahal gerakannya serupa benar dengan permainanku.
"Kalau boleh aku mengetahui, siapa nama Paman yang terhormat?"
Tiba-tiba Nyonya Gak berkata,
"Sian Li, apakah engkau tidak pernah mendengar tentang pendekar sakti yang berjuluk Suling Naga? Aku berani bertaruh bahwa kita semua kini berhadapan dengan pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw. Benarkah dugaanku itu, saudara yang gagah perkasa?"
Mendengar itu, pria yang sederhana itu lalu mengangkat ke dua tangan depan dada memberi hormat kepada Souw Hui Lian atau Nyonya Gak.
"Toanio mempunyai penglihatan tajam dan pandangan luas. Saya yang rendah memang bernama Sim Houw. Kalau boleh saya mengenal, siapakah Toanio dan siapa pula orang-orang muda yang gagah perkasa ini?"
Mendengar bahwa pria itu bernama Sim Houw yang berjuluk Pendekar Suling Naga, Sian Li mengeluarkan seruan girang dan cepat ia lalu memberi hormat.
"Aihhh, kiranya Locianpwe yang nama besarnya sudah sering kudengar dari Bibi Nenek Kam Bi Eng!"
Kini Sim Houw tersenyum lebar.
"Aha, kiranya engkau menguasai Liong-siauw-kiam-sut dari Sumoi Kam Bi Eng! Nona baju merah, siapakah engkau dan siapa pula orang tuamu?"
Sim Houw memandang dengan wajah berseri karena hatinya girang bukan main.
"Locianpwe, kita semua berada diantara orang sendiri. Mungkin Locianpwe tidak mengenal Ayahku. Ayahku bernama Tan Sin Hong....!"
"Ayahnya berjuluk Pek-ho-eng (Pendekar Bangau Putih), murid Istana Gurun Pasir!"
Kata nyonya Gak gembira.
"Hebat!"
Sim Houw berseru girang,
"Kiranya ayahmu pendekar yang namanya terkenal itu. Sungguh girang sekali aku dapat bertemu denganmu, Nona baju merah!"
"Locianpwe, namaku Sian Li. Tan Sian Li. Adapun ibuku bernama Kao Hong Li...."
"She Kao....? Apa hubungannya dengan bekas Panglima Kao Cin Liong di Pao-teng?"
"Dia adalah Kakekku!"
Sian Li berseru gembira. Sim Houw tertawa bergelak, bukan main girang rasa hatinya. Tiba-tiba dia mengambil sulingnya dan meniup suling kayu berbentuk naga itu dan terdengarlah suara suling yang melengking-lengking, merdu dan halus, akan tetapi mengandung getaran yang amat kuat sehingga menimbulkan gelombang suara yang mencapai tempat jauh. Dan tiba-tiba terdengar suara suling yang lebih lembut dan melengking tinggi, walaupun tidak sekuat suara suling yang ditiup oleh Sim Houw, namun cukup jelas terdengar dari tempat itu. Suara suling yang menjawab itu dengan cepat terdengar semakin dekat dan tak lama kemudian, muncullah seorang wanita cantik. Wanita itu berusia empat puluh tahun, namun nampak manis dan jauh lebih muda, matanya membayangkan kelincahan dan kejenakaan, juga kecerdikan.
"Aih, aku sudah mulai tidak sabar menunggumu dan disini ternyata terdapat banyak orang. Siapakah mereka ini?"
Tanya wanita itu sambil memandang kepada semua orang satu demi satu.
"Lihatlah, Nona baju merah ini adalah puteri dari Pendekar Bangau Putih, dan ibunya adalah puteri bekas panglima Cin Liong. Juga, ia telah menguasai Liong-siauw-kiam-sut yang dipelajarinya dari Sumoi Kam Bi Eng. Hebat tidak?"
Kata Sim Houw kepada wanita itu yang bukan lain adalah isterinya yang bernama Can Bi Lan. Can Bi Lan yang berwatak jenaka dan gembira itu segera maju dan memegang lengan Sian Li.
"Aih, betapa gagahnya kau! Siapa namamu, Nona merah?"
Gembira sekali hati Sian Li bertemu dengan suami isteri yang namanya pernah ia dengar dari Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng itu.
"Bibi yang gagah dan cantik. Namaku Tan Sian Li dan orang memberi julukan kepadaku Si Bangau Merah!"
"Si Bangau Merah? Puteri Pendekar Bangau Putih? Heh-heh, sungguh tepat sekali, Sian Li, siapakah orang-orang yang lain ini? Perkenalkan mereka kepadaku."
"Aku sendiri pun belum sempat berkenalan dengan yang lain,"
Kata Sim Houw kepada isterinya. Pertama-tama saya harap Toanio suka memperkenalkan diri. Agaknya Toanio mengenal keadaan keluarga kami, akan tetapi kami tidak tahu siapa Toanio."
"Kukira Paman dan Bibi tentu mengenal Bibi Gak. Suaminya adalah mendiang Beng-san Sian-eng. Dan ini adalah puteranya Gak Ciang Hun."
"Aih, kiranya isterinya sepasang Locianpwe kembar, Sepasang Garuda dari Beng-san?"
Seru Sim Houw,
"Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat."
Juga Can Bi Lan mem-beri hormat kepada Nyonya Gak yang cepat membalas penghormatan itu, diturut oleh puteranya.
"Dan siapakah pemuda ini? Sepintas lalu tadi aku melihat betapa hebatnya dia ketika melawan pengeroyokan lawan yang lihai. Aku yakin dia ini pun bukan orang sembarangan!"
Kata Sim Houw sambil memandang kepada Yo Han yang sejak tadi diam saja. Akan tetapi diam-diam Yo Han mengamati wajah Can Bi Lan. Pernah dia mendengar cerita mendiang ibunya ketika dia masih kecil tentang seorang Sumoi dari ibunya yang berjuluk Siauw Kwi (Setan Cilik). Mendiang ibunya sendiri pernah manjadi seorang tokoh sesat berjuluk Bi Kwi (Setan Cantik), dan Sumoi dari ibunya itu kalau tidak salah ingat bernama Can Bi Lan. Wanita ini adalah Sumoi dari mendiang ibunya! Sian Li yang merasa bangga dan suka pamer segera memperkenalkan Yo Han
"Pernahkah Paman dan Bibi dalam perantauan kalian mendengar nama besar Sin-ciang Tai-hiap di daerah ini? Nah, inilah orangnya. Namanya Yo Han!"
"Tentu saja kami pernah mendengarnya!"
Kata Can Bi Lan kagum.
"Seorang pendekar yang tidak pernah membunuh, seorang pendekar budiman yang menalukkan orang-orang jahat dan menyadarkan mereka. Masih begini muda? Sungguh tak kusangka!"
"Sin-ciang Tai-hiap, engkau masih begini muda sudah membuat nama besar. Tentu gurumu seorang yang sakti dan terkenal sekali!"
Kata Sim Houw.
"Dan ayah ibumu tentu juga tokoh-tokoh dunia persilatan!"
Sambung Can Bi Lan. Yo Han memberi hormat kepada suami isteri itu dan kemudian berkata kepada Can Bi Lan,
"Bibi Guru, teecu Yo Han menghaturkan hormat. Mendiang Ibu adalah Ciong Siu Kwi...."
"Aihhh....!"
Bi Lan berseru dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda itu.
"Suci....? Aku mendengar bahwa Suci menikah dengan seorang pemuda sederhana she Yo.... dan mereka tewas sebagai orang-orang gagah di tangan para pemberontak. Kiranya engkau.... ah, engkau keponakanku....!"
Bi Lan maju dan memegang kedua tangan pemuda itu, penuh rasa kagum dan juga bangga.
"Sukurlah, akhirnya Suci meninggalkan seorang keturunan yang begini gagah perkasa dan berjiwa pendekar! Aku ikut merasa bangga, Yo Han!"
Rombongan itu lalu duduk di atas akar dan batu, bercakap-cakap dengan gembira, saling menceritakan pengalaman masing-masing. Karena mereka adalah orang-orang segolongan, bahkan diantara mereka masih ada hubungan, baik kekeluargaan maupun perguruan, maka tentu saja suasana menjadi akrab sekali. Nyonya Gak atau Souw Hui Lin menceritakan betapa kedua orang suaminya, Si kembar Gak jit Kong dan Gak Goat Kong yang dikenal dengan julukan Beng-san Sian-eng, telah meninggal dunia dan ia hidup berdua dengan putera tunggalnya yaitu Gak Ciang Hun yang ini sudah berusia dua puluh delapan tahun.
"Pertemuan dengan kalian semua membuat aku terkenang kembali ke kampung halaman,"
Kata Nyonya Gak sambil menghela mapas panjang.
"Semenjak kematian suamiku, aku mengajak Ciang Hun merantau, karena aku merasa hidupku kosong. Ternyata aku hanya mengejar bayangan belaka. Kelahiran dan kematian merupakan kodrat Tuhan yang tidak dapat dimengerti oleh kita. Kita hanya menerima dan menjalani saja, tidak kuasa mengatur, maka kematian merupakan hal wajar yang tidak perlu disedihkan terus menerus. Aku sudah mengambil keputusan untuk pulang ke Beng-san."
Gak Ciang Hun memandang kepada ibunya dengan mata bersinar dan wajah berseri. Selama ini dia menghibur hati ibunya yang menjadi berduka sekali karena kematian kedua orang ayahnya, namun betapa pun dia membujuk, ibunya tidak mau kembali ke Beng-san yang katanya hanya akan membuat ia berduka dan teringat kepada ayah-ayahnya. Akan tetapi sekarang, ibunya sudah menyadari dan bahkan ingin kembali. Tentu saja Ciang Hun menjadi girang bukan main. Kalau ibunya sudah mau kembali ke Beng-san, tentu dia dapat memikirkan untuk berumah tangga, tidak seperti sekarang ini, selama hampir dua tahun hanya merantau ke sana sini tanpa tempat tinggal yang tetap.
"Bagaimana dengan engkau, Sian Li?"
Tanya Can Bi Lan kepada gadis itu. Sian Li bercerita tentang pengalamannya, betapa ia bersama mendiang Sian Lun yang menjadi suhengnya meninggalkan rumah Suma Ceng Liong untuk pergi ber-kunjung ke Bhutan bersama Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Betapa kemudian ia dan suhengnya bertemu dengan Lulung Lama sehingga mengalami banyak hal yang hebat.
Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan di mana sekarang suhengmu itu?"
Tanya Sim Houw. Sian Li mengerutkan alisnya dan memandang kepada Yo Han. Berat rasa hatinya untuk menceritakan penyelewengan yang dilakukan suhengnya itu, apalagi mengingat bahwa dalam saat terakhir hidupnya, Sian Lun telah menyadari kesesatannya dan bahkan mengorban-kan nyawa untuknya. Melihat gadis itu memandang kepadanya seperti orang minta bantuan, Yo Han lalu menjawab untuknya.
"Sayang sekali, dalam pertentangan menghadapi persekutuan pemberontak itu, Liem Sian Lun telah tewas di tangan para pimpinan penjahat yang lihai."
Gak Ciang Hun dan ibunya menunduk. Mereka dapat menduga bahwa suheng dari Si Bangau Merah itu telah menyeleweng, namun mereka tidak ingin mencampuri urusan itu dan diam saja. Sim Houw menghela napas panjang.
"Memang demikianlah resiko menjadi seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan. Kalau pihak penjahat lebih kuat, mungkin saja seorang pendekar akan mengorbankan nyawanya, mati muda. Akan tetapi kematian seperti itu tidaklah sia-sia, karena dia mati dalam membela kebenaran, dia seorang pahlawan kemanu-siaan."
"Lalu sekarang engkau hendak pergi ke mana Sian Li?"
Tanya Can Bi Lan yang kelihatan amat sayang kepada gadis berpakaian merah itu.
"Aku ingin segera pulang ke rumah Paman Suma Ceng Liong, Bibi, karena sudah lama meninggalkan dusun Hong-cun. Ayah dan Ibu tentu akan merasa khawatir kalau mereka datang menjemputku dan aku belum pulang. Dan Han-ko akan ikut denganku karena dia pun sudah merasa rindu kepada Ayah Ibuku."
Mereka semua memandang kepada Yo Han dan pemuda ini mengangguk membenarkan.
"Kasihan kalau adik Sian Li harus pulang seorang diri, padahal ketika pergi ia bersama mendiang suhengnya. Selain itu, saya ingin bertemu dengan ayah ibunya, yaitu guru-guru saya yang pertama."
"Paman dan Bibi sendiri hendak pergi ke manakah?"
Sian Li bertanya kepada suami isteri itu. Dan mereka semua merasa heran karena pertanyaan itu agaknya membuat suami isteri itu seperti termenung, bahkan ada bayangan kesedihan meliputi wajah mereka. Akan tetapi Can Bi Lan memiliki dasar watak yang lincah dan gembira, maka ia tidak membiarkan wajahnya muram terlalu lama. Segera ia tersenyum lagi dan setelah menghela napas panjang, ia lalu berkata,
"Biarlah kami ceritakan keadaan kami karena kalian bukan orang luar, melainkan masih terhitung anggauta keluarga sendiri. Mungkin kalian sudah mendengar tentang nama kami, akan tetapi tentu merasa heran mengapa selama ini kami berdua tidak pernah memperlihatkan diri, bahkan seperti mengasingkan diri dari dunia persilatan. Sesunguhnya ada musibah besar menimpa keluarga kami. Terjadinya kurang lebih dua puluh tahun lalu. Ketika itu, anak tunggal kami, seorang anak perempuan yang baru berusia tiga tahun, telah lenyap dari rumah kami."
"Ahhh....!"
Mereka yang mendengarkan cerita itu berseru kaget.
"Apakah sampai sekarang belum juga dapat ditemukan, Bibi?"
Tanya Sian Li. Can Bi Lan menggeleng kepala sambil menghela napas.
"Adik Bi Lan, bagaimana mungkin peristiwa seperti itu dapat menimpa suami isteri yang sakti seperti kalian? Apa yang telah terjadi dengan puterimu?"
Tanya Nyonya Gak dengan terkejut, penasaran dan heran. Sukar membayangkan ada orang berani menculik puteri dari suami isteri Pendekar Suling Naga! Bi Lan kembal menghela napas.
"Ketika itu, anak kami Sim Hui Eng yang baru berusia tiga tahun diasuh oleh seorang pelayan di taman belakang rumah dan tiba-tiba kami mendengar jeritan pelayan kami di taman belakang. Kami cepat lari ke sana dan mendapatkan pelayan kami telah tewas tanpa luka. Setelah kami memeriksa dengan teliti, ternyata ia telah tewas oleh tepukan pada ubun-ubun kepalanya yang merusak isi kepala tanpa menimbulkan luka, dan anak kami lenyap tanpa bekas. Di atas tanah terdapat tulisan yang mungkin sudah ditulis lebih dahulu, yang menyatakan bahwa kalau kami melakukan pengejaran, anak kami akan dibunuhnya seperti orang itu membunuh pelayan kami."
Bi Lan menghentikan ceritanya dan memejamkan mata, agaknya masih ngeri membayangkan apa yang terjadi pada diri anaknya.
"Terkutuk! Bibi, siapakah pelaku yang jahat itu?"
Gak Ciang Hun berseru marah. Kini Sim Houw yang menjawab, suaranya tetap tenang walaupun terdengar jelas bahwa pendekar ini pun menahan kesedihan hatinya.
"Kami sampai sekarang belum dapat menduga siapa pelakunya. Kami berdua dengan sangat hati-hati melakukan pencarian, takut kalau ancamannya itu dilaksanakan penculik itu. Namun, ternyata orang itu memang lihai bukan main karena sampai sekarang, dua puluh tahun telah lewat dan kami berdua belum juga berhasil menemukan Hui Eng. Kami tidak tahu pria atau wanita yang menculik anak kami itu, apa lagi namanya. Semua masih gelap bagi kami. Namun kami menduga bahwa perbuatan ini tentu merupakan balas dendam. Di waktu muda kami banyak menentang para tokoh sesat dan tentu mereka itu ada diantaranya yang mendendam kepada kami. Akan tetapi karena banyak sekali tokoh sesat yang pernah kami tentang, kami tidak tahu benar siapa penculik itu. Kami sudah menyelidiki di seluruh penjuru, sampai ke tempat ini, namun tidak pernah berhasil."
Suami isteri itu menunduk dan jelas bahwa mereka menderita tekanan batin yang amat hebat.
"Luar biasa!"
Sian Li berseru.
"Kenapa sama benar dengan yang telah terjadi padaku?"
"Paman dan Bibi, ketika aku masih kecil, berusia empat tahun, aku pun diculik orang dari taman! Akan tetapi untung ada Han-ko ini, kalau tidak, mungkin nasibku sama dengan puteri Paman dan Bibi, sampai sekarang tidak dapat bertemu lagi dengan orang tuaku!"
Sim Houw dan Bi Lan memandang kaget dan heran.
"Siapa yang menculikmu ketika itu?"
Tanya mereka hampir berbareng karena tentu saja mereka merasa tertarik mendengar terjadinya peristiwa yang serupa dengan apa yang terjadi pada diri anak mereka.
"Yang menculik aku adalah Ang I Moli Tee Kui Cu, puteri dari mendiang Tee Kok dari Yunan, ketua Ang I Mo-pang. Akan tetapi Ang I Moli juga menjadi tokoh Pek-lian-kauw dan sekarang ia telah mati dihukum pemerintah karena bersekutu dengan pemberontak. Nah, ketika aku diculik, Han-koko
(Lanjut ke Jilid 25 - Tamat)
Si Bangau Merah (Seri ke 15 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 25 (Tamat)
masih tinggal bersama orang tuaku dan dia inilah yang membebaskan aku dari tangan Ang I Moli dengan menggantikan aku dengan dirinya sendiri."
"Aih, Li-moi. Ketika engkau diculik, engkau sedang bermain-main denganku, maka aku merasa bertanggungjawab,"
Kata Yo Han ketika semua mata memandang kepadanya dengan kagum. Cerita Sian Li itu membuat suami isteri itu saling pandang dan berpikir.
"Hemmm, kami kira memang ada persamaannya. Tentu penculik itu juga mendendam kepada orang tuamu,"
Kata Sim Houw.
"Akan tetapi, kami tidak berhasil menemukan kembali anak kami, padahal kini ia tentu telah berusia dua puluh tiga tahun dan kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengannya."
"Yang membuat hatiku terasa hancur kalau membayangkan adalah keadaannya yang tidak menentu itu. Kami akan merasa lebih bersedih kalau ia sampai dibawa sesat oleh penculiknya, lebih sedih daripada kalau andaikata ia sudah terbunuh,"
Kata Bi Lan dan nyonya ini nampak berduka sekali. Yo Han yang sejak tadi mendengarkan merasa iba sekali.
"Maaf, Paman dan Bibi, peristiwa itu telah berlalu selama dua puluh tahun. Kini puteri Jiwi (Kalian) tentu sudah merupakan seorang gadis dewasa berusia dua puluh tiga tahun. Namanya pun mungkin sudah diganti nama baru oleh penculiknya. Bagaimana Paman dan Bibi akan dapat mengenalnya andaikata bertemu dengannya, apalagi kalau ia menggunakan nama baru?"
Bi Lan memandang kepada pemuda itu.
"Kami pun sudah berpikir demikian. Nama memang bisa saja diganti, akan tetapi ada dua buah tanda pada tubuh anak kami itu yang tidak mungkin dipunya oleh anak lain. Di pundak kirinya terdapat sebuah tahi lalat hitam yang jelas dan di telapak kaki kanannya terdapat tanda noda merah sebesar ibu jari kaki. Dengan adanya dua tanda itu, kami tentu akan dapat mengenal anak kami."
Tanpa mengelurkan sepatah pun kata Yo Han mencatat semua itu di dalam hatinya. Dia akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menemukan Sim Hui Eng untuk suami isteri yang sudah menderita duka selama dua puluh tahun itu. Tak lama kemudian, mereka terpecah menjadi tiga rombongan. Sim Houw dan Can Bi Lan meninggalkan tempat itu, untuk kembali ke Lok-yang, tempat tinggal mereka,
Karena sudah terlalu lama mereka meningalkan rumah dalam perantauan mereka mencari anak mereka dan juga untuk menghibur diri. Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, juga pergi kembali ke Beng-san di mana mereka masih mempunyai sebuah rumah peninggalan Beng-san Siang-eng yang makamnya juga berada di puncak gunung itu. Adapun Sian Li diantar Yo Han melakukan perjalanan pulang ke dusun Hong-cun di luar kota Cin-an. Sore itu, seperti yang mereka lakukan selama beberapa hari ini, Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, duduk di serambi luar dan bercakap-cakap, sambil kadang-kadang mereka melayangkan pandang mata ke jalan di depan rumah mereka. Mereka setiap hari menanti dengan hati mengharap-harap kembalinya murid-murid mereka, yaitu Liem Sian Lun dan Tan Sian Li.
"Kenapa mereka belum juga pulang?"
Gumam Suma Ceng Liong.
"Dalam waktu sebulan lagi, tahun baru tiba dan tentu Sin Hong dan Hong Li akan datang berkunjung untuk menjemput puteri mereka. Sungguh tidak enak kalau mereka datang, Sian Li belum juga pulang."
"Kenapa mesti merasa tidak enak?"
Bantah isterinya.
"Sian Li bukan pergi sendiri, melainkan diajak oleh Kakak Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Pula, ada Sian Lun yang menemaninya agar ia tidak pulang seorang diri. Andaikata mereka terlambat dan ayah ibu Sian Li yang datang lebih dahulu, mereka tentu akan dapat mengerti."
"Engkau benar. Sin Hong dan Hong Li adalah orang-orang bijaksana. Buktinya biarpun mereka berdua sendiri memiliki kepandaian tinggi, mereka tidak menolak permintaan kita untuk mendidik anak mereka selama lima tahun. Bahkan sebelum anak dan mantu kita datang, aku akan minta bantuan mereka untuk menyusun daftar nama dari mereka yang hendak kuundang dalam perayaan ulang tahun ke enam puluh yang akan kupergunakan untuk suatu pertemuan besar berikut keluarga mereka semua."
Isterinya memandang dengan wajah berseri.
"Jadikah rencanamu untuk mengumpulkan demikian banyaknya keluarga dari tiga perguruan besar itu?"
"Kenapa tidak? Kalau tidak dikumpulkan agar mereka saling berkenalan, tentu anak cucu mereka tidak akan saling mengenal dan hubungan baik antara ketiga keluarga besar itu akan terputus. Sayang sekali, bukan? Sejak dahulu, nama besar dari keluarga Istana Pulau Es, keluarga Istana Gurun Pasir, dan keluarga Lembah Gunung Naga telah dikenal diseluruh dunia persilatan. Kini keturunan mereka cerai berai, padahal diantara ketiga perguruan besar itu telah terjalin hubungan kekeluargaan yang amat erat."
Isterinya mengangguk setuju. Mereka sendiri adalah gabungan dari dua keluarga besar. Suma Ceng Liong adalah cucu dalam dari Pendekar Pulau Es, putera dari Pendekar Siluman Kecil. Sedangkan Kam Bi Eng adalah puteri dari Kam Hong Si Pendekar Suling Emas dan Bu Ci Sian yang terhitung murid ayah mertuanya pula.
"Pasti akan menggembirakan sekali dan merupakan peristiwa besar kalau cita-citamu itu sampai terlaksana,"
Katanya.
"Kenapa tidak?"
Tentu Suma Lian dan suaminya, Gu Hong Beng, sudah menerima suratku dan tak lama lagi mereka tentu akan tiba di sini. Hubungan kekeluargaan harus diperbaiki, tidak seperti sekarang ini. Bertahun-tahun di antara keluarga tidak sempat bertemu karena terpisah jauh. Ingat saja kematian ayahmu. Sampai-sampai kita sendiri tidak mengetahui! Orang tentu akan menganggap aku seorang mantu yang sama sekali tidak berbakti, ayah mertua meninggal sampai dikebumi-kan tidak tahu sama sekali. Isterinya menyentuh lengan suaminya.
"Sudahlah, tidak perlu lagi disesalkan hal itu. Ibu sendiri mengatakan bahwa memang sengaja Ibu tidak mengabarkan tentang kematian Ayah, sesuai dengan pesan terakhir dari Ayah. Dan aku mengenal watak Ayah. Dahulu Ayah seringkali bicara tentang kematian sebagai perjalanan pulang kampung! Ayah tidak setuju kalau orang meninggal ditangisi dan dikabungi, yang dikatakan semua itu hanya upacara pura-pura dan palsu belaka. Sepatut-nya keluarga bersukur kalau ada orang yang dikasihinya "pulang kampung"
Karena terbebas dari siksa dunia."
"Yah, Ayah memang aneh dan kukira setiap orang berilmu tinggi di dalam ini mempunyai keanehan masing-masing yang tidak mereka sadari bahwa mereka berbeda dengan orang-orang awam."
"Engkau benar, isteriku. Aku tidak menyesali peristiwa itu, hanya alangkah baiknya kalau sebelum mati, kita selalu memiliki hubungan yang akrab dengan keluarga besar kita."
Percakapan mereka terhenti seketika karena karena pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor kuda menuju ke rumah itu. Ketika nampak dua ekor yang ditunggangi Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, suami itu cepat bangkit berdiri dengan wajah berseri. Mereka memang sedang menanti-nanti kedatangan mereka. Setiap tahun sekali, sejak Sian Li berada di situ, Sin Hong dan Hong Li pasti datang berkunjung, yaitu menjelang hari raya sin-cia (tahun baru), dan kunjungan mereka sekali ini adalah untuk menjemput kembali puteri mereka yag sudah tiba waktunya untuk pulang setelah berada di bawah bimbingan kakek dan nenek itu selama lima tahun.
Tan Sin Hong yang kini sudah berusia empat puluh tahun itu masih nampak gagah dengan pakaian yang sederhana berwarna serba putih, yang membuat dia dijuluki Pendekar Bangau Putih di dunia persilatan. Sedangkan isterinya, Kao Hong Li yang berusia tiga puluh sembilan tahun itu masih nampak muda, cantik, lincah dan gagah. Dengan sigapnya mereka berdua meloncat turun dari atas punggung kuda, dan dua orang pelayan yang mengenal kewajiban dan mengenal pula dua orang tamu itu sudah berlari-lari menyambut dan mereka segera mengurus dua ekor kuda itu. Sin Hong dan Hong Li cepat maju memberi hormat kepada tuan dan nyonya rumah, yang disambut dengan ramah dan gembira.
"Aha, kami memang sudah menanti-nanti kalian!"
Kata Suma Ceng Liong sambil membalas penghormatan mereka.
"Mari silakan duduk di dalam." "Harap kalian jangan kecewa, Sian Li tidak turut menyambut karena ia masih belum pulang,"
Kata Kam Bi Eng sambil tersenyum melihat suami isteri itu melihat-lihat ke sekeliling, mencari-cari.
"Bibi, ia pergi kemanakah?"
Tanya Hong Li heran.
"Duduklah dan nanti kita bicara,"
Kata Suma Ceng Liong yang mengajak dua orang tamunya duduk di ruangan sebelah dalam. Setelah mereka semua duduk, berceritalah kakek dan nenek itu tentang kunjungan Suma Cian Bun dan Gangga Dewi dan betapa Sian Lun ikut kedua orang itu berpesiar ke Bhutan.
"Ke Bhutan?"
Kao Hong Li berseru kaget.
"Akan tetapi tempat itu jauh dan perjalanannya amat berbahaya!"
Juga suaminya terkejut mendengar bahwa puteri mereka pergi ke Bhutan melalui pegunungan dan gurun yang berbahaya.
"Sian Li mendesak dan kami tidak dapat mencegahnya. Apalagi ia pergi bersama Kakak Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan ia pun ditemani suhengnya, Liem Sian Lun. Kami pikir, mereka berdua sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup dapat menjaga diri. Pula, bukankah amat penting bagi mereka untuk meluaskan pengalaman mereka!"
Kata Suma Ceng Liong. Mendengar penjelasan itu, Sin Hong dan Hong Li dapat menerimanya dan mereka pun menjadi tenang kembali. Bagaimanapun juga, mereka berdua dahulu pun merupakan petualang-petualang yang malang-melintang di dunia kang-ouw. Hanya pengalaman di dunia kang-ouw saja yang membuat seseorang menjadi matang, pikir mereka dan mereka pun menghilangkan kekhawatiran mereka.
"Akan tetapi, menurut perhitungan kami, dalam hari-hari mendatang ini ia dan Sian Lun tentu akan segera datang, kata Kam Bi Eng.
"Kalau begitu, biarlah kami menunggu kedatangan di sini, Bibi!"
Kata Hong Li. Suma Ceng Liong tersenyum.
"Itulah yang kuharapkan karena aku ingin minta bantuan kalian berdua untuk melengkapi catatan daftar keluarga yang akan kami kumpulkan pada hari ulang tahunku yang ke enam puluh. Aku ingin agar tidak ada anggauta keluarga yang terlewat. Yang kumaksudkan dengan keluarga adalah keluarga tiga perguruan besar, yaitu keluarga Istana Pulau Es, keluarga Istana Gurun Pasir, keluarga Lembah Gunung Naga, dan sekalian murid-murid mereka."
Sin Hong dan Hong Li ikut gembira mendengar niat ini. Sebuah niat yang baik sekali dan pasti pesta pertemuan yang amat menggembirakan. Membayangkan saja akan bertemu muka dengan seluruh keluarga tiga perguruan itu sudah membuat mereka merasa tegang dan gembira. Selama beberapa hari menanti datangnya Sian Li, dan Sian Lun, suami isteri itu membantu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyusun daftar para anggauta keluarga. Tentu saja hanya yang mereka ingat dan kenal. Keluarga dari tiga perguruan itu telah menjadi amat luas dan banyak sehingga untuk dapat mengetahui seluruh anggauta keluarga dengan lengkap memakan waktu lama dan harus bertanya-tanya kepada anggauta keluarga lain.
"Kita mulai dari keluarga Istana Pulau Es,"
Kata Suma Ceng Liong dengan sikap gembira. Di depan empat orang itu, di atas meja, telah dipersiapkan sebuah buku daftar untuk mencatat nama dan alamat keluarga yang akan diundang.
"Sebaiknya kita susun dari anggauta keluarga paling tua berikut keluarga masing-masing,"
Usul isterinya.
"Benar sekali,"
Kata Suma Ceng Liong sambil mengingat-ingat.
"Sekarang ini anggauta keluarga Istana Pulau Es yang paling tua tentulah Enci Suma Hui."
Hong Li mengangguk senang.
"Memang agaknya Ibuku yang paling tua diantara keluarga Suma."
"Nah, kita mulai dengan nama Enci Suma Hui, dan suaminya juga kebetulan merupakan anggauta tertua dari keluarga Istana Gurun Pasir,"
Kata Suma Ceng Liong.
"Kita mulai dengan keluarga mereka di tempat teratas, dan tentu saja anak cucu dan para murid mereka."
Dengan bantuan isterinya dan dua orang tamunya, Suma Ceng Liong mulai menyusun daftar keluarga yang dikirim undangan untuk pertemuan besar itu. Setelah bekerja beberapa hari lamanya, tersusunlah daftar sementara seperti berikut. Keluarga Istana Pulau Es terdiri dari. Suma Hui dan suaminya, Kao Cin Liong, yang tinggal di kota Pao-teng dan anak mereka Kao Hong Li yang bersama suaminya,
Tan Sin Hong tinggal di kota Ta-tung bersama puteri mereka, Tan Sian Li. Suma Ciang Bun bersama isterinya, Gangga Dewi kini tinggal di istana Kerajaan Bhutan, yaitu kota raja Thim-phu. Tidak diketahui apakah keduanya mempunyai murid ataukah tidak. Kemudian Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng yang tinggal di dusun Hong-cun luar kota Cin-an, bersama seorang murid mereka bernama Liem Sian Lun. Puteri mereka, Suma Lian bersama suaminya, Gu Hong Beng, tinggal di kota Ping-san, di selatan Pao-teng tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai murid pula. Nyonya Gak dapat dibilang masih keluarga Istana Pulau Es, karena ia adalah isteri dari dua saudara kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yaitu putera dari mendiang Gak Bun Beng dan Puteri Milana, yaitu masih puteri Pendekar Super Sakti.
Maka Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, juga masuk dalam daftar undangan. Kini ibu dan anak itu tinggal di puncak Beng-san. Adapun keluarga Istana Gurun Pasir yang tertua adalah Kao Cin Liong, suami Suma Hui yang sudah masuk urutan pertama dari daftar itu. Ayah Kao Cin Liong, mendiang Kao Kok Cu mempunyai murid, yaitu Can Bi Lan yang kini bersama suaminya, Sim Houw, tinggal di Lok-yang, dan ada puteri mereka, Sim Hui Eng, yang kabarnya lenyap ketika berusia tiga tahun, demikian yang diketahui Suma Ceng Liong. Sepanjang yang diketahuinya, Sim Houw dan Can Bi Lanmempunyai seorang putera pertama Sim Hok Bu, namun anak itu meninggal dalam usia delapan tahun karena penyakit. Kalau pun masih ada murid-murid dari keluarga Istana Gurun Pasir,
Hal itu tidak diketahui sama sekali oleh mereka berempat dan harus mereka selidiki dulu dengan menanyakan kepada anggauta keluarga lain. Keluarga lain yang mereka catat adalah keluarga dari Lembah Gunung Naga, atau keturunan dari perguruan Suling Emas. Setelah Kam Hong meninggal dunia, maka yang tertua tentu saja adalah Bu Ci Sian ibu Kam Bi Eng, nenek yang kini tinggal seorang diri di puncak Bukit Nelayan menunggui makam suaminya. Tidak diketahui jelas siapa murid mereka bahkan Kam Bi Eng sendiri juga tidak tahu karena ibunya tdak pernah memberitahu. Kemudian ada Cu Kun Tek yang bersama isterinya, Pouw Li Sian murid Gak Bun Beng, tinggal di Lembah Gunung Naga sebagai pewaris keluarga Cu.Tidak diketahui dengan pasti keadaan mereka dan siapa saja yang masih terhitung murid atau keluarga perguruan Suling Emas dan Naga Siluman ini.
"Jangan dilupakan nama Yo Han,"
Sin Hong mengingatkan.
"Biarpun dia putera Yo Jin dan Ciong Siu Kwi yang tidak ada sangkut pautnya dengan ketiga perguruan, namun Yo Han pernah menjadi murid kami berdua, dan dia bahkan pernah kami anggap seperti anak sendiri."
Suma Ceng Liong mengangguk dan dia pun mencatat nama Yo Han. Masih jauh daripada lengkap daftar itu, hanya mereka catat nama-nama yang mereka kenal saja. Pada hari kelima, muncullah Tan Sian Li bersama Yo Han. Pagi hari itu, Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Tan SinHong dan Kao Hong Li sedang duduk diserambi depan. Mereka berempat menengok dan begitu melihat Sian Li, mereka melompat bangun dan memandang dengan wajah berseri.
"Ibu....! Ayah....!"
Sian Li berteriak begitu melihat ayah ibunya, lalu berlari menghampiri mereka dan di lain saat ia sudah berpelukan dengan ibunya. Mereka gembira bukan main sampai melupakan Yo Han yang berdiri termangu, hatinya diliputi keharuan ketika dia melihat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li. Karena mereka semua sedang asyik dan sibuk, diapun tidak berani mengganggu dan hanya berdiri di bawah, di luar serambi sambil memandang. Setelah Sian Li memberi hormat kepada ayah ibunya dan kepada Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, barulah dua orang tua ini berseru heran, dan memandang kepada Yo Han.
"Sian Li, mana Sian Lun? Dan dia itu.... siapa dia yang datang bersamamu?"
Tanya Suma Ceng Liong dengan suara heran. Kao Hong Li yang masih merangkul puterinya juga memandang kepada Yo Han dan bertanya,
"Sian Li, engkau datang bersama siapakah?"
Dalam perjalanan mereka, Yo Han pernah menasihatkan Sian Li untuk melapor kepada Suma Ceng Liong dan isterinya bahwa suhengnya itu tewas sebagai seorang pendekar dan tidak bercerita tentang penyelewengannya. Kini Sian Li, yang tidak biasa berbohong, dengan muka ditundukkan lalu berkata, suaranya lirih.
"Ayah Ibu, Kakek dan Nenek, dengan menyesal sekali aku harus mengabarkan bahwa Suheng Liem Sian Lun telah.... tewas...."
Tentu saja empat orang itu terkejut mendengar ini. terutama sekali Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Mendengar betapa murid mereka tewas, keduanya saling pandang, lalu mengamati wajah Sian Li dan Kam Bi Eng bertanya.
"Tewas? Sian Lun.... tewas? Apa yang terjadi? Siapa yang telah berani membunuhnya?"
"Panjang ceritanya."
Sian Li mengeluh kemudian ia menceritakan betapa dalam perjalanan ke Bhutan itu mereka bertemu dengan Lulung Lama dan kemudian, ketika mereka pulang dari Bhutan, mereka bahkan terlibat dan bentrok dengan persekutuan pemberontak yang terdiri dari para Lama Jubah Hitam, Pangeran Gulam Sing dari Nepal, para pengemis Tongkat Hitam, dan orang-orang Pek-lian-kauw.
"Kami terlibat dengan mereka, terjadi bentrokan, bahkan aku sendiri pernah tertawan oleh mereka. Dan dalam pertempuran itu, Suheng tewas di tangan Pangeran Gulam Sing dari Nepal. Kami dibantu oleh pasukan Tibet dan para orang kang-ouw, dan bahkan kami mendapat bantuan dari Bibi Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun. Bahkan di sana kami bertemu dan dibantu oleh Paman Sim Houw, Pendekar Suling Naga."
Dengan panjang lebar Sian Li menceritakan tentang pertempuran yang akhirnya dapat membasmi para pemberontak itu.
"Beberapa kali aku terancam behaya maut dan tentu aku sudah tewas pula seperti Suheng kalau saja tidak dibantu olehnya,"
Katanya sebagai penutup sambil menuding ke arah Yo Han yang masih berdiri di luar sambil mendengarkan dan menundukkan mukanya.
"Sian Li, siapakah dia?"
Kao Hong Li bertanya kepada puterinya sambil mengamati wajah yang menunduk itu.
"Ayah dan Ibu, benarkah kalian tidak mengenalnya?"
Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya Sian Li sambil tertawa. Karena Sin Hong dan Hong Li kini mengamati wajahnya, Yo Han segera menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat kepada mereka, berkata dengan suara terharu.
"Suhu dan Subo, harap maafkan teecu...."
"Yo Han....!"
Suami isteri itu berteriak. Jadi mereka sama sekali tidak mengira bahwa pemuda itu adalah Yo Han walaupun mereka merasa bahwa wajah pemuda itu tidak asing bagi mereka. Kini, mereka segera mengenalnya dan keduanya cepat keluar dari serambi dan Sin Hong dengan girang menarik tangan Yo Han dan disuruhnya bangkit berdiri.
"Yo Han, terima kasih kepada Tuhan bahwa engkau dalam keadaan sehat dan baik!"
Seru Sin Hong, wajahnya berseri karena gembira melihat pemuda itu yang pernah membuat dia merasa prihatin sekali karena kepergiannya. Dia kadang merasa berdosa kepada Yo Jin dan BiKwi, ayah ibu pemuda itu yang telah mempercayakan Yo Han kepadanya.
"Yo Han, engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa!"
Seru Hong Li yang sebenarnya juga merasa sayang kepada murid yang pandai membawa diri ini.
"Ayah, ibu, kalian tidak tahu bahwa Han-ko sekarang telah menjadi Sin-ciang Tai-hiap yang memiliki kesaktian hebat! Kalau tidak ada dia, tentu aku tidak akan dapat pulang hari ini!"
Sian Li memuji, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.
"Benarkah? Luar biasa sekali! Bukankah sejak kecil engkau tidak suka mempelajari ilmu silat, Yo Han?"
Tegur Sin Hong. Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang masih tertegun mendengar kematian murid mereka, segera mengajak mereka semua untuk masuk dan bicara di dalam. Setelah semua duduk di ruangan dalam, barulah Yo Han menceritakan pengalamannya sejak dia dibawa pergi Ang I Moli sebagai penukaran atau tebusan atas diri Sian Li yang dibebaskan oleh iblis betina itu. Betapa dia kemudian menyadari akan perlunya membekali diri dengan ilmu kepandaian agar dapat menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menyadarkan mereka yang mengambil jalan sesat.
Kisah Si Bangau Putih Eps 19 Suling Naga Eps 39 Suling Naga Eps 40