Suling Naga 15
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
Semua orang yang masih menonton di luar mengangguk-angguk. Tak dapat mereka sangkal bahwa memang Phoa Wan-gwe seorang dermawan bagi mereka. Kalau terjadi keributan tadi, hanya karena kelemahannya, yaitu mudah tergila-gila perempuan cantik! Kini merekapun mengerti akan sikap Lo Cin yang melindungi hartawan itu dari hajaran dan hukuman dari pendekar muda itu. Orang yang merasa paling terpukul batinnya adalah Phoa Wan-gwe sendiri. Tak disangkanya sama sekali bahwa yang menyelamatkannya atau berusaha menyelamatkannya adalah justeru Lo Cin! Dia merasa terharu sekali dan sadarlah dia akan kelemahannya dan kesalahannya.
"Paman Lo Cin, aku minta maaf kepadamu, kepada keluargamu.... biarlah hutang-hutang itu dihabiskan saja sampai di sini dan semua urusan dihabiskan, aku memang bersalah,"
Katanya. Mendengar ini, Kun Tek semakin terheran-heran. Benarkah hartawan ini orang baik-baik, ataukah penindas rakyat miskin? Melihat betapa di luar banyak terdapat orang dusun yang kini nonton keributan itu, dengan suara lantang dia berteriak.
"Saudara-saudara penduduk dusun ini, dengarlah! Karena melihat tindakan sewenang-wenang, aku turun tangan menghajar jagoan-jagoan ini dan menangkap hartawan ini. Akan tetapi, keluarga pengantin malah mintakan ampun. Bagaimana, apakah aku harus melepaskan hartawan ini, ataukah dia harus dihajar sampai tulangnya patah-patah agar dia lain kali tidak akan mengulangi perbuatannya?"
Dan Kun Tek melihat hal yang dianggapnya aneh. Sebagian dari orang-orang itu menjatuhkan diri berlutut pula dan berseru kepadanya dari jauh,
"Taihiap, harap suka melepaskan Phoa Wan-gwe. Dia dermawan penolong kami."
Kun Tek mengerutkan alisnya dan memandang kepada hartawan itu.
"Sungguh aku tidak mengerti. Engkau tadi jelas mengerahkan anjing-anjing ini untuk melakukan penganiayaan dan ancaman, akan tetapi mengapa orang-orang dusun ini membelamu? Hayo katakan, sebenarnya apa yang telah kau lakukan untuk menguasai mereka?"
Hartawan Phoa bangkit duduk dan memberi hormat.
"Terus terang saja, taihiap. Selamanya saya bersahabat dengan penduduk dusun, membantu mereka dan kami bekerja sama dengan baik selama puluhan tahun, semenjak saya masih kecil dan ayah yang berkuasa di sini. Akan tetapi terus terang saja, saya telah bersalah, terlalu menurutkan nafsu dan mudah tergiur oleh kecantikan wanita. Pengalaman hari ini akan menjadi peringatan bagi saya dan mudah-mudahan Tuhan akan membantu saya dan memberi kekuatan untuk melawan godaan setan."
Hartawan itu lalu berkata kepada Lo Cin,
"Paman Lo Cin, mari kita lanjutkan pesta ini. Biarlah aku yang membeayai, tambah lagi masakan dan saudara-saudara yang berada di luar, mari kita rayakan pernikahan puteri dari paman Lo Cin!"
Tentu saja sikap dan ucapan hartawan Phoa itu disambut sorakan gembira dari para penduduk dusun karena mereka kini mengenal lagi hartawan itu seperti biasanya kalau sedang memberi pertolongan dan derma kepada para penduduk dusun yang miskin.
Para tukang pukul itu disuruh pulang oleh Phoa Wan-gwe untuk berobat dan merawat luka-luka mereka. Ketika Lo Cin sekeluarga yang merasa gembira sekali itu hendak mengundang pemuda perkasa tadi untuk menjadi tamu kehormatan, ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ dan agaknya telah pergi tanpa pamit, menyelinap di antara orang banyak. Hal ini diketahui oleh Bi Lan dan Hong Beng dan mereka kagum bukan main, kemudian merekapun diam-diam pergi dari tempat itu. Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan dusun itu dan di sepanjang perjalanan, mereka berdua bercakap-cakap, membicarakan peristiwa yang baru mereka lihat di dusun tadi.
"Pemuda itu tadi luar biasa, bagaimana pendapatmu tentang dia, Hong Beng?"
Bi Lan bertanya. Sambil melangkah dengan tegap di samping gadis itu, Hong Beng memandang ke atas, melihat awan bergerak di hari yang cerah itu.
"Dia? Wah, dia memang hebat. Kalau saja ada kesempatan, aku ingin sekali mencoba mengadu kepandaian dengan dia."
"Ehh....?"
Bi Lan terkejut dan menahan langkahnya sehingga Hong Beng terpaksa berhenti juga. Dengan alis berkerut gadis itu menatap wajah temannya dan bertanya,
"Kenapa engkau mempunyai pikiran seaneh itu, seolah-olah engkau ingin memusuhinya?"
Ditegur demikian, barulah Hong Beng merasa terkejut dan mukanya berubah kemerahan. Tanpa disadarinya, dia tadi telah mengeluarkan ucapan yang nadanya keras dan bermusuh terhadap pemuda perkasa yang tak dikenalnya itu!
"Tidak apa-apa, maksudku.... aku kagum sekali dan ingin berkenalan dengan dia dan di kalangan kita yang suka akan ilmu silat, perkenalan akan lebih akrab kalau diawali dengan adu kepandaian silat."
"Hemm, dia merupakan lawan yang tidak ringan untuk dilawan, Hong Beng. Aku tidak yakin apakah engkau akan dapat mengalahkan dia,"
Kata Bi Lan sambil melanjutkan perjalanan itu dengan langkah seenaknya. Hong Beng melirik ke kiri. Akan tetapi wajah gadis itu tidak membayangkan sesuatu dan pemuda itu menekan perasaannya yang tidak enak. Alisnya berkerut. Gadis ini agaknya sudah tertarik sekali kepada pemuda tinggi besar itu, pikirnya tak senang.
"Akan tetapi aku yakin akan dapat mengatasinya. Biarpun tidak kusangkal bahwa dia lihai, akan tetapi ilmunya masih belum matang. Buktinya tadi dia membiarkan beberapa pukulan mengenai tubuhnya ketika dia menghadapi pengeroyokan itu."
"Akan tetapi pukulan-pukulan itu sama sekali tidak membuatnya tergoyah, sama sekali tidak dirasakannya!"
"Memang agaknya begitu. Akan tetapi engkau sendiri tentu tahu bahwa membiarkan tubuh terpukul lawan dengan melindungi tubuh menggunakan kekebalan bukanlah cara yang baik untuk membela diri. Mengapa dia tidak menggunakan kelincahan dan kecepatan gerakan untuk menghindarkan pukulan-pukulan itu? Hal itu hanya membuktikan bahwa dalam hal kecepatan gerak tubuh, dia belum berapa hebat. Karena itulah aku merasa yakin akan dapat mengalahkannya."
"Hong Beng, dia jelas seorang pendekar budiman yang gagah perkasa, bagaimana engkau berani memandang rendah kepadanya, bahkan ingin mencoba kepandaiannya? Apakah engkau ingin bermusuhan dengan seorang pendekar?"
"Akan tetapi dia agak sombong...."
"Kau keliru! Dia sama sekali tidak sombong, bahkan memperkenalkan namapun tidak. Dia tegas dan gagah perkasa."
Hong Beng merasa betapa perutnya menjadi semakin panas mendengar gadis itu memuji-muji pemuda tinggi besar itu setinggi langit. Akan tetapi dia menekan perasaannya dan berkata,
"Sudahlah, kita tidak perlu membicarakan dia lagi. Kau tahu bahwa aku tidak ingin memusuhi orang. Yang lebih mengagumkan aku adalah sikap sepasang mempelai itu. Mereka berani menentang maut, menghadapi ancaman hartawan dan anak buahnya itu dengan gagah berani, padahal mereka berdua adalah orang-orang biasa yang lemah dan tidak berdaya melawan."
"Jangan bilang mereka itu lemah Hong Beng. Mereka berdua itu kuat sekali, lebih kuat dari pada maut...."
"Eh maksudmu"
Hong Beng terkejut dan heran sampai menghentikan langkahnya, memandang gadis itu dengan mata terbelalak. Bi Lan tersenyum.
"Jangan pandang aku seperti orang melihat setan!"
Katanya.
"Aku katakan bahwa mereka itu tidak lemah, karena mereka saling memiliki, mereka saling mencinta. Cinta itulah yang membuat mereka kuat dan berani menghadapi ancaman maut."
Pandang mata Hong Beng menjadi lunak dan sayu ketika dia mendengar ucapan ini, jantungnya berdebar.
"Bi Lan.... bagaimana kau tahu tentang semua itu?"
"Tentu saja. Siapapun dapat melihat bahwa sepasang pengantin itu saling mencinta, dan dengan bersenjatakan cinta kasih, keduanya berani menentang maut. Lihat betapa pengantin pria yang lemah itu berani melindungi calon isterinya, dan lihat betapa pengantin wanita itu menyandarkan keselamatannya kepadanya, nampak dalam pandang mata mereka, sikap mereka."
"Bukan itu, maksudku, bagaimana engkau tahu tentang cinta kasih? Kau mengatakan bahwa cinta kasih membuat mereka kuat dan berani. Apakah.... pernahkah.... kau mengalaminya sendiri?"
Wajah gadis yang biasanya polos dan tidak pemalu itu kini berubah agak merah dan matanya memandang marah.
"Iihh, prasangkamu buruk! Kau kira aku ini wanita macam apa? Aku tidak pernah jatuh cinta dan takkan pernah!"
Kemudian sambungnya lirih,
"Laginya, siapa sih yang bisa jatuh cinta kepada orang macam aku ini?"
Hong Beng merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Dengan muka agak pucat kini dia memandang gadis yang berdiri di depannya itu. Sinar matanya seperti hendak menembus dan menjenguk isi hati Bi Lan. Dia merasa betapa kedua kakinya gemetar. Hatinya gentar untuk bicara, akan tetapi ada dorongan kuat sekali yang memaksanya membuka mulut dan suaranya terdengar aneh dan ringan, seperti suara lain datang dari jauh ketika akhirnya dia berkata,
"Bi Lan.... dengarlah aku...."
Bi Lan membelalakkan matanya. Ia melihat wajah pemuda itu menjadi aneh, begitu pucat dan sinar matanya begitu sayu akan tetapi juga ada sinarnya yang tajam penuh selidik, dan yang paling mengherankan hatinya adalah kata-kata itu, dan suaranya yang demikian lembut dan penuh getaran.
"Hong Beng, ada apakah? Sejak tadi aku mendengarkanmu,"
Katanya mengomel karena ia sendiri merasakan sesuatu yang aneh dan membingungkan dari sikap pemuda itu.
"Bi Lan.... tahukah engkau.... bahwa ada seorang yang jatuh cinta kepadamu sejak pertama kali melihatmu?"
Sepasang mata yang jernih itu terbelalak. Bi Lan benar-benar tidak dapat menangkap apa yang dimaksudkan pemuda itu.
"Hong Beng, engkau ini bicara apakah? Jangan main gila kau, siapa yang kau maksudkan itu?"
"Aku....!"
Hong Beng mengaku dan hatinya lega setelah dengan nekat akhirnya dia mampu juga membuat pengakuan yang menggelisahkan dan menegang-kan hatinya itu.
"Aku telah jatuh cinta padamu sejak pertama kali melihatmu, maka jangan mengira bahwa tidak ada orang yang bisa jatuh cinta padamu."
Bi Lan merasa betapa jantungnya berdebar dengan kacau. Ia tidak tahu apakah ia harus marah atau bagaimana. Ia merasa canggung, tidak malu, hanya canggung dan tidak enak.
Ia merasa dibawa ke suatu daerah yang sama sekali asing baginya, diseret ke dalam keadaan yang menggelisahkan karena sama sekali tidak dikenal dan diketahuinya. Ia tidak tahu sama sekali tentang cinta kasih, walaupun tadi dengan mudah saja ia dapat bicara tentang cinta yang nampak antara sepasang mempelai di dusun itu. Setelah kini ada orang mengaku cinta kepadanya, ia menjadi bingung! Apa lagi yang membuat pengakuan ini adalah Gu Hong Beng, satu-satunya pria yang selama ini dekat dengannya, yang dianggapnya sebagai seorang sahabat baru yang amat baik. Akhirnya, keadaan yang menegangkan dan membingungkan hatinya itu menimbulkan kemarahan! Terlalu sekali pe-muda ini, merusak suasana yang begitu baik! Mendatangkan kecanggungan dan perasaan tidak enak saja. Setelah mendengar pengakuan pemuda itu, mana mungkin ia dapat berada di dekat pemuda ini selanjutnya?
"Bi Lan, maafkan kalau keterusteranganku tadi menyinggung perasaan hatimu,"
Kata Hong Beng dengan halus ketika dia melihat betapa wajah gadis itu menjadi sebentar pucat dan sebentar merah, dan terbayang kemarahan pada sinar matanya.
"Maaf? Enak saja kau bicara!"
Bi Lan mengomel, sengaja bersikap biasa untuk mengusir perasaan tidak enak di hatinya dan membuyarkan suasana tegang yang mencekam di antara mereka.
"Kau sudah merusak suasana dan aku tidak mungkin lagi melakukan perjalanan bersamamu."
"Bi Lan....!"
"Biarlah kita kelak berjumpa lagi kalau ada kesempatan, akan tetapi aku tidak mau lagi melakukan perjalanan bersamamu."
Gadis itu lalu meloncat.
"Bi Lan, tunggu....! "
"Mau apa lagi?"
Dengan satu kali loncatan, Hong Beng sudah berada di depan gadis itu, wajahnya pucat dan membayangkan kegelisahan dan kekecewaan.
"Bi Lan, apakah pernyataan cintaku tadi menyakiti hatimu, menyinggung perasaanmu?"
"Tidak menyakiti, akan tetapi tentu saja menyinggung! Aku tidak suka bicara tentang itu!"
"Akan tetapi apakah kau.... menolak cintaku? Bi Lan, berterusteranglah saja agar aku tidak tenggelam ke dalam keraguan dan kegelisahan. Apakah tidak ada cinta di hatimu terhadap diriku? Apakah engkau membenciku?"
Bi Lan membanting kakinya dengan gemas.
"Aku tidak suka bicara dengan itu, engkau malah menghujani aku dengan urusan cinta! Huh, aku tidak mencinta siapa-siapa, dan tidak membenci siapa-siapa. Sudahlah, selamat tinggal!"
Dan iapun melarikan diri dengan cepatnya meninggalkan pemuda itu. Hong Beng berdiri bengong dengan muka pucat. Ingin dia mengejar dan dia yakin akan dapat menyusul gadis itu kalau mengejarnya, akan tetapi dia tidak mau membikin marah gadis itu dengan desakannya. Dia hanya berdiri sambil mengepal tinju, diam-diam merasa menyesal kepada diri sendiri yang telah tergesa-gesa menyatakan cinta kasihnya. Tadinya memang dia tidak berniat untuk menyatakan cintanya, walaupun sejak pertemuan pertama dia sudah jatuh hati. Bukan hanya perasaan kagum yang terasa olehnya terhadap gadis itu, melainkan perasaan cinta. Hal ini dia rasakan benar walaupun dia juga belum berpengalaman dalam hal itu.
Tadinya dia hanya akan merahasiakannya saja sambil menanti kesempatan baik untuk kelak mengakui cintanya. Akan tetapi, perjumpaan mereka dengan sepasang mempelai yang saling mencinta itu, kemudian membicarakan cinta kasih sepasang mempelai itu, ditambah lagi ucapan Bi Lan yang merasa bahwa tidak ada orang yang bisa jatuh cinta kepadanya, semua itu mendorongnya dan pernyataan cinta itupun meluncur keluar dari mulutnya sebelum dia sempat menahannya lagi. Dan kini semua itu telah terjadi. Dia sudah terlanjur menyatakan cinta dan gadis itu menolaknya, bahkan kini meninggalkannya! Meninggalkannya begitu saja! Hong Beng merasa betapa keadaan sekelilingnya tiba-tiba saja menjadi amat sunyi, dia merasa ditinggalkan seorang diri, merasa disia-siakan, merasa tidak ada gunanya lagi.
Pemuda itu lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan menutupkan kedua tangan di depan mukanya sambil memejamkan kedua matanya. Dia merasa terpukul dan terhimpit batinnya untuk ke dua kalinya selama hidupnya yang delapan belas tahun ini. Pertama kali ketika dia kehilangan ayah bundanya. Dan kedua kalinya sekarang Ketika dia ditinggalkan Bi tan. Perasaannya menjadi terapung, hatinya kosong, kedukaan menyelimutinya, seperti gelombang besar menerkamnya, menenggelamkannya. Betapa hebatnya cinta asmara antara pria dan wanita, terutama sekali antara muda mudi, mencengkeram dan mempermainkan manusia seperti badai mempermainkan daun-daun kering yang tak berdaya. Kalau hati sudah dilanda asmara, maka hati itu berarti sudah siap untuk timbul atau tenggelam, siap untuk menikmati kesenangan yang sebesar-besarnya atau menderita kesusahan yang sedalam-dalamnya.
Tidak ada kesenangan yang lebih besar dari bersatunya dua hati yang dilanda asmara, akan tetapi juga tidak ada kedukaan yang lebih mendalam dari pada pecahnya dan putusnya pertalian antara dua hati itu. Tidak ada keresahan dan kesepian yang lebih mencekik daripada ditinggal pergi kekasih hati dan tidak ada keputusasaan yang demikian ringkih dari pada orang yang dikasihi tidak membalas cintanya. Haruskah demikian? Haruskah seseorang yang gagal dalam cintanya menjadi putus asa dan membiarkan diri dibenamkan duka nestapa? Cinta asmara antara pria dan wanita hanya dapat terjadi dan berhasil kalau keduanya menyambutnya. Cinta asmara tidak mungkin terjadi hanya dari satu pihak saja. Bodohlah orang yang membiarkan batin menderita karena orang yang dicintanya tidak menyambut atau membalas cintanya itu.
Cinta tidak mungkin dapat dipaksakan pada seseorang. Cinta adalah urusan hati yang amat pribadi. Cinta kasih yang sejati tidak akan mendatangkan duka. Cinta kasih kepada seseorang berarti rasa belas kasih dan kasih sayang kepada orang itu, dan yang ada hanya keinginan untuk membahagiakan orang itu, atau melihat orang itu berbahagia, baik orang itu menjadi miliknya atau tidak, dekat atau jauh darinya. Cinta kasih tidak mengenal kepuasan diri sendiri. Yang mengharapkan kepuasan diri sendiri, yang mengejar kesenangan hati sendiri, yang ingin memiliki, ingin menguasai, bukanlah cinta kasih, melainkan nafsu berahi. Bukan berarti bahwa cinta kasih tidak seharusnya mengandung berahi. Cinta kasih mengandung semuanya, kecuali keinginan menyenangkan diri sendiri walaupun cinta kasih dapat mendatangkan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan.
Cinta kasih adalah keadaan suatu hati yang penuh dengan sinar Illahi, sedangkan berahi adalah keadaan suatu tubuh yang normal dan wajar, menurutkan naluri badaniah. Bagi hati yang penuh dengan sinar cinta kasih, berahi merupakan sesuatu yang indah dan suci, suatu kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam badan dan batin, suatu gejolak yang digerakkan oleh daya tarik-menarik dari Im dan Yang, suatu sarana untuk penciptaan yang agung karena tanpa itu, tanpa adanya daya tarik Im dan Yang sehingga keduanya saling mendorong, maka alam ini akan berhenti bergerak. Sebaliknya, kalau hati kosong dari cinta, berahi hanya merupakan suatu permainan belaka, kadang-kadang amat kotor dan hanya menjadi sarana untuk memuaskan nafsu di hati. Hong Beng bukanlah seorang pemuda yang menjadi hamba nafsu-nafsunya.
Tidak, bahkan selamanya dia belum pernah berhubungan dengan wanita. Akan tetapi dia belum sadar akan cinta sejati dan sebagai seorang pemuda biasa, dia tunduk kepada keadaan batinnya yang masih dapat menjadi permainan akunya sendiri, di mana nafsu selalu berkuasa dan keadaan hati ditentukan oleh berhasil atau gagalnya nafsu. Diombang-ambingkan antara puas kecewa, harapan dan keputusasaan, senang dan susah. Biarpun dia memperoleh gemblengan yang keras dari gurunya, namun gemblengan itu hanya memperkuat badannya, belum mampu mendatangkan kesadaran kepada batinnya. Karena itu, badannya mungkin tahan pukulan, namun batinnya masih lemah dan mudah terguncang oleh kegagalan dan kekecewaan yang menimbulkan perasaan sesal dan iba diri yang menyengsarakan.
Bi Lan melarikan diri dengan cepat. Gadis ini bagaikan seekor burung yang nyaris kena sambaran anak panah. Terkejut, ngeri dan ketakutan. Ia seorang gadis yang masih hijau dalam hal urusan antara pria dan wanita. Yang ia pernah alami mengenai hal itu hanyalah yang buruk-buruk saja. Pernah ia hampir diperkosa oleh tiga orang gurunya setelah hampir menjadi korban penganiayaan dan perkosaan sekelompok orang buas. Kemudian ia bertemu dengan Bhok Gun dan ia melihat sikap yang sama dari Bhok Gun. Sikap laki-laki yang haus dan yang menganggap wanita sebagai barang permainan saja. Dan diam-diam timbul kemuakan dalam hatinya, membuat ia tidak percaya akan kejujuran pria dalam urusan kasih sayang. Yang pernah dialami dan dilihatnya hanyalah kebengisan nafsu berahi yang diperlihatkan pria terhadap wanita.
Karena itu ia kagum melihat kemesraan dan kesetiaan antara sepasang mempelai itu. Akan tetapi ketika urusan cinta itu menyerang dirinya sendiri, dilontarkan oleh mulut Hong Beng satu-satunya pria yang mendatangkan kagum dan kepercayaan dalam dirinya, ia menjadi terkejut, ngeri dan ketakutan. Maka iapun melarikan diri, bukan takut terhadap Hong Beng, melainkan takut akan sikap pemuda itu, takut akan dirinya sendiri yang merasa ngeri dan asing dengan urusan hati itu. Setelah berlari cepat sampai setengah hari lamanya, Bi Lan tiba di sebuah hutan di kaki gunung. Hutan yang penuh dengan pohon cemara, tempat yang indah. Ia merasa lelah dan duduklah ia di bawah sebatang pohon besar yang rindang daunnya. Angin bersilir membuat ia mengantuk dan iapun duduk melamun, memikirkan Hong Beng dari sikap pemuda itu siang tadi.
Matahari kini sudah condong ke barat, namun sinarnya yang kemerahan masih menerobos antara celah-celah daun pohon. Hong Beng seorang pemuda yang amat baik, hal itu tidak diragukannya lagi. Seorang pemuda yang bermuka bersih dan cerah, berkulit kuning dan tampan. Sikapnya sederhana dan sopan, sinar matanya juga bersih dan jernih, tidak mengandung kekurangajaran seperti pada sinar mata Bhok Gun atau pria-pria lain yang pernah dijumpainya di dalam perjalanan. Juga ilmu silatnya hebat, apa lagi kalau diingat bahwa pemuda itu adalah murid keluarga Pulau Es! Selain ilmu silatnya tinggi, juga berwatak pendekar, gagah berani dan baik budi. Tak salah lagi, Gu Hong Beng adalah seorang pemuda yang baik, seorang pemuda pilihan! Akan tetapi, apakah ia cinta kepada pemuda itu? Ia tidak tahu!
"Aku suka padanya...."
Demikian ia mengeluh. Memang ia mengakui bahwa ia suka kepada pemuda itu, suka melakukan perjalanan bersamanya. Suka bercakap-cakap dengannya, suka bersahabat dengannya. Hong Beng merupakan kawan seperjalanan yang tidak membosankan, tidak banyak cakap, suka mengalah dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, sopan dan ramah. Ia suka menjadi sahabat Hong Beng karena selain menyenangkan, juga Hong Beng merupakan seorang sahabat yang boleh diandalkan. Ia merasa aman dan tenang dekat pemuda itu dan seolah-olah pemuda itu memulihkan kembali kepercayaannya kepada pria pada umumnya. Akan tetapi cinta? Ia tidak tahu. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana cinta itu. Apakah sama dengan suka?
Akan tetapi, kalau cinta itu seperti sepasang mempelai yang dijumpainya di dusun itu, ia menjadi ragu-ragu. Tidak ada keinginan di hatinya untuk bermesra-mesraan walaupun ia merasa senang berdekatan dengan pemuda itu. Hanya rasa suka bersahabat, suka berdekatan. Apakah itu cinta? Kiranya bukan! Cinta tentu lebih mendalam lagi, bantahnya dan ia akhirnya menjadi bingung sendiri dengan perbantahan yang berkecamuk di dalam batinnya. Ia sendiri tidak yakin apakah benar Hong Beng mencintanya seperti yang diakui pemuda itu. Mencintanya? Bagaimana sih rasanya dicinta seorang pria? Tiga orang gurunya, Sam Kwi, jelas amat sayang kepadanya, pernah menyelamatkannya ketika ia masih kecil, kemudian mendidiknya melalui sucinya dengan penuh ketekunan.
Kalau tidak sayang kepadanya, tak mungkin tiga orang aneh yang kadang-kadang kejam seperti iblis itu mau memperdulikan dirinya yang yatim piatu. Kemudian, ketika ia dewasa dan hendak berpisah dari tiga orang suhunya, mereka berusaha memperkosanya! Itukah cinta? Jelas bukan. Ia masih merasa heran mengapa tiga orang suhunya yang sudah bersusah-payah mendidiknya, setelah ia dewasa begitu tega untuk memperkosanya setelah melolohnya dengan arak sampai ia mabok. Ia sukar membayangkan apa yang akan dipikirkannya dan bagaimana keadaannya sekarang andaikata Sam Kwi berhasil memperkosanya, andaikata tidak ada sucinya yang menolongnya. Ia dapat menduga bahwa Sam Kwi melakukan hal itu, bukan semata-mata karena ingin memiliki tubuhnya, melainkan lebih condong kepada ingin menguasainya dan memperoleh keyakinan akan kesetiaannya.
Ia hendak dijadikan sebagai Bi-kwi ke dua oleh Sam Kwi. Bukan, itu bukan cinta seperti yang dimaksudkan Hong Beng. Juga sikap Bhok Gun itupun amat meragukan untuk dinamakan cinta. Dan bagaimana dengan cinta Hong Beng? Be-narkah pemuda itu mencintanya? Akan tetapi ia tidak merasakan apa-apa, hanya merasa kasihan kepada Hong Beng karena ia tidak dapat menerima cintanya, Juga marah karena pemuda itu telah merusak hubungan baik antara mereka. Ia masih ingin sekali melakukan perjalanan dengan pemuda itu, akan tetapi pengakuan cinta itu membuat ia tidak mungkin lagi dapat mendekati Hong Beng. Bi Lan bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya karena matahari sudah makin condong ke barat. Ia tidak ingin kemalaman di hutan itu.
Perutnya terasa lapar dan di dalam buntalan pakaiannya hanya tinggal beberapa potong roti kering dan daging kering saja. Biasanya, Hong Beng yang membawa minuman dan kini setelah ia terpisah dari pemuda itu, ia tidak berani makan roti dan daging yang serba kering itu tanpa ada air di dekatnya. Sialan! Baru berpisah sebentar saja sudah terasa kebutuhannya akan bantuan pemuda itu! Ia harus dapat tiba di sebuah dusun sebelum malam tiba karena selain kebutuhan makan minum, iapun ingin mengaso di dalam rumah, biarpun gubuk kecil sekalipun, agar aman dan tidak terganggu hawa dingin, hujan atau nyamuk. Ketika keluar dari hutan kecil itu, Bi Lan naik ke atas bukit dan dari situ memandang ke bawah. Hati-nya girang melihat dari jauh beberapa buah rumah dengan genteng berwarna merah, tanda bahwa genteng itu masih belum begitu lama.
Tentu sebuah dusun kecil, pikirnya dan iapun cepat berlari menuruni bukit itu menuju ke arah rumah-rumah bergenteng merah. Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, ada beberapa pasang mata mengamatinya dan beberapa bayangan orang berkelebatan turun dari bukit lebih dahulu sebelum ia menuju ke dusun itu. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa di tempat sunyi itu ada bahaya besar menantinya. Dengan tenang ia memasuki perkampungan kecil dengan rumah-rumah yang masih agak baru itu, dan melihat betapa daun-daun pintu dan jendela rumah-rumah itu tertutup, ia lalu mengetuk pintu sebuah rumah terbesar. Seorang kakek berambut putih dengan jenggot dan kumis panjang membuka pintu. Melihat bahwa penghuni rumah itu seorang kakek yang nampaknya di dalam keremangan senja itu sudah amat tua, Bi Lan segera memberi hormat.
"Maafkan aku, kek. Aku adalah seorang pejalan kaki yang kemalaman dan membutuhkan tempat untuk mengaso dan melewatkan malam ini. Dapatkah engkau menunjukkan apakah di kampung ini ada tempat penginapan, atau rumah kosong atau orang yang sekiranya mau menolong dan menampungku untuk semalam ini saja?"
Kakek itu tertawa.
"Heh-heh, di tempat sunyi ini siapa mau membuka penginapan, nona? Kebetulan aku hanya tinggal seorang diri di rumah ini, kalau engkau suka, silahkan masuk. Ada kamar kosong untukmu di dalam rumahku."
Bukan main lega dan girang rasa hati Bi Lan. Penghuni rumah ini hanya seorang saja, biarpun laki-laki akan tetapi sudah amat tua sehingga ia tidak akan merasa terganggu. Ia memasuki rumah itu dan hidungnya mencium bau masakan yang masih panas dan sedap. Tentu saja ia merasa heran sekali. Kakek ini sendirian dalam rumah itu, akan tetapi ia mempunyai masakan yang demikian sedap baunya. Agak-nya dia seorang ahli masak, pikirnya. Kakek itu agaknya dapat menangkap keheranan pada wajah Bi Lan yang tertimpa sinar lampu yang tergantung di tembok.
"Heh-heh, jangan heran kalau aku mempunyai banyak masakan yang masih panas, nona. Sore tadi anakku dari kota datang memberi masakan-masakan itu yang dibelinya dari restoran, dan baru saja aku memanaskan masakan-masakan untuk makan malam. Dan engkau datang. Ha-ha, bukankah ini berarti jodoh? Masakan itu terlalu banyak untuk aku sendiri."
"Mari, nona, mari kita makan malam, baru nanti kuantar ke kamarmu."
"Bukankah engkau hanya sendirian katamu tadi, kek?"
"Ooh? Kau maksudkan anakku? Dia sudah pulang sore tadi."
Bi Lan mengikuti kakek itu tanpa curiga sedikitpun menuju ke ruangan dalam di mana terdapat sebuah meja dan empat kursinya dan di atas meja itulah berderet mangkok-mangkok besar berisi masakan yang masih mengepulkan uap yang sedap, juga terdapat seguci arak berikut cawan-cawan kosong bertumpuk.
"Silahkan duduk, nona, silahkan makan. Heh-heh, sungguh girang sekali hatiku mendapatkan seo-rang tamu dan teman makan untuk menghabiskan hidangan yang terlalu banyak untukku ini."
Bi Lan tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Ia melepaskan buntalan dari punggungnya dan meletakkannya di atas sebuah kursi kosong, kemudian iapun duduk di atas kursi sebelahnya. Kakek itu sudah duduk di depannya dan mendorong sebuah mangkok kosong ke depan Bi Lan, juga sebuah cawan kosong. Melihat kakek itu membuka tutup guci arak, Bi Lan segera berkata,
"Maaf, kek, aku tidak suka minum arak. Kalau ada teh atau air putih sekalipun untuk menghilangkan haus, aku akan berterima kasih sekali."
"Heh-heh, mana bisa begitu, nona? Mana di dunia ini ada aturan seperti itu? Kalau aku sebagai tuan rumah menyuguhkan teh atau air saja kepada tamuku sedangkan aku sendiri minum arak, wah, aku akan dimaki orang paling tak tahu aturan oleh dunia! Ha-ha, nona, engkau tentu tidak akan mau mengecewakan seorang tua renta seperti aku, bukan? Nah, terimalah secawan arak dariku sebagai ucapan selamat datang di gubukku yang buruk ini!"
Kakek itu sudah menuangkan secawan arak penuh dan bau arak yang harum itu sudah membuat Bi Lan merasa muak. Akan tetapi, bagaimana ia dapat menolak desakan kakek itu? Kalau ia menolak, ialah yang akan dimaki dunia sebagai seorang muda yang menjadi tamu dan yang tidak tahu aturan sama sekali. Ia merasa kasihan kepada kakek itu dan iapun menerima cawan itu. Sebelum meminumnya, ia berkata,
"Baiklah, kuterima suguhan arakmu, kek. Akan tetapi, ingat, hanya satu cawan ini saja. Kalau engkau kau memaksakan cawan ke dua, biarlah aku tidak minum ini dan aku pergi saja dari rumah ini dan tidur di bawah pohon."
"Heh-heh, engkau lucu sekali, nona,"
Kata kakek itu dan dia melihat betapa Bi Lan tersedak ketika minum arak itu. Namun, gadis itu tetap menghabiskan araknya dan kakek itu sudah siap lagi dengan gucinya untuk memenuhi cawan arak Bi Lan.
"Tidak, sudah kukatakan hanya secawan, kakek yang baik!"
Kata Bi Lan menolak. Ketika Bi Lan menggerakkan sumpitnya untuk mengambil masakan ke dalam mangkoknya, kebetul-an ia mengangkat muka dan terkejutlah ia ketika melihat betapa sepasang mata kakek itu mencorong dan mengeluarkan sinar yang aneh. Akan tetapi hanya sebentar karena kakek itu sudah menunduk-kan pandang matanya dan terkekeh seperti tadi.
"Silahkan, silahkan...."
Katanya. Kakek ini masih sehat dan segar sekali, pikir Bi Lan sambil memasukkan beberapa macam sayur dan daging ke dalam mangkoknya. Sikap dan kata-katannya seperti orang muda saja. Apakah barangkali kakek ini diam-diam memiliki kepandaian tinggi? Jantungnya berdebar ketika berpikir demikian dan iapun waspada kembali, berhati-hati. Bau arak itu masih membuat ia merasa muak dan dari leher ke perut terasa panas. Ia lalu menjepit sepotong sayur dengan sumpitnya dan membawa potongan sayur itu ke mulutnya.
"Ihhhh....!"
Bi Lan meloncat dan menyemburkan potongan sayur itu dari mulutnya. Perlu diketahui bahwa gadis ini pernah menjadi murid nenek Wan Ceng atau yang juga bernama Candra Dewi, isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu!
Dari nenek Wan Ceng, yang pernah menjadi murid ahli racun Ban-tok Mo-li, selain menerima pinjaman pedang Ban-tok-kiam, juga gadis ini diberi pelajaran tentang racun. Memang tidak banyak yang dapat dipelajarinya dari nenek ahli racun itu dalam waktu setengah tahun, akan tetapi terutama sekali ia telah mewarisi kepandaian mengenal segala macam racun melalui mulut dan hidungnya. Dengan kepandaiannya itu, sukarlah meracuni nona ini tanpa ia mengetahuinya. Tadi, ketika ia menyuapkan potongan sayur ke mulutnya, cepat sekali mulut dan hidungnya bekerja dan ia telah tahu dengan pasti bahwa sayur itu mengandung racun pembius yang amat kuat! Karena terkejut mendapatkan kenyataan yang sama sekali tidak disangkanya ini, Bi Lan menyemburkan sayur itu dan meloncat berdiri.
"Siapakah engkau?"
Bentaknya sambil menyambar buntalan pakaiannya, diikatkannya kembali buntalan itu di punggungnya tanpa mengalihkan pandang matanya kepada kakek itu sekejap matapun. Kakek itu tersenyum lebar dan kini nampaklah oleh Bi Lan bahwa kakek yang rambutnya sudah pu-tih semua, mukanya yang bagian bawahnya tertutup kumis dan jenggot, mempunyai gigi yang berderet rapi dan putih, gigi orang yang masih muda. Kakek itu bangkit berdiri dan tangan kanannya meraih ke mukanya sendiri. Ketika dia menurunkan tangan, tanggallah rambut putih, kumis dan jenggot dari kepalanya dan nampaklah wajah seorang laki-laki muda yang tampan dan yang tersenyum menyeringai kepada Bi Lan.
"Kau....! Keparat busuk!"
Bi Lan sudah memak, menyambar sebuah mangkok berisi sayur dan melemparkannya ke arah muka laki-laki yang bukan lain adalah Bhok Gun itu! Laki-laki ini cepat mengelak, akan tetapi kuah sayur itu masih ada yang terpercik mengenai mukanya. Bhok Gun tidak marah dan menghapus kuah itu dengan saputangannya.
"Tenanglah, sumoi...."
"Cih! Aku bukan sumoimu!"
Bi Lan membentak, masih marah sekali karena orang yang tadi berhasil memaksanya minum secawan arak kemudian berusaha meracuninya bukan lain adalah Bhok Gun yang amat dibencinya itu. Tenanglah, nona, tenanglah Bi Lan. Kenapa mesti marah-marah? Aku sengaja menaruh racun dalam sayur itu bukan dengan niat buruk, melainkan hendak menguji kepandaianmu karena menurut keterangan sucimu, Bi-kwi, engkau ahli dan lihai sekali mengenal segala macam racun. Racun yang kupergunakan ini hanya untuk mencoba, sama sekali tidak berbahaya. Buktinya aku sendiripun makan...."
"Cukup! Aku tidak sudi lagi mendengar ocehanmu!"
"Bi Lan, pertemuan ini merupakan jodoh dan agaknya sudah diatur oleh Tuhan. Pertemuan ini mengguncangkan hatiku, Bi Lan, karena terus terang saja, sejak pertemuan kita itu, siang macam aku selalu teringat kepadamu, makan tak lezat tidur tak nyenyak, kalau tidur selalu penuh dengan mimpi tentang dirimu. Aku cinta padamu, Bi Lan, sungguh mati, belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti kepada dirimu...."
"Tutup mulutmu!"
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bentak Bi Lan dan iapun menendang kursi yang menghalang di depannya lalu melompat keluar dari ruangan itu, mengambil keputusan untuk pergi saja meninggalkan manusia berbahaya dan jahat ini. Akan tetapi, ketika dara ini tiba di luar pintu rumah itu, di luar telah menanti belasan orang berpakaian seragam merah dengan senjata di tangan, yaitu anak buah perkumpulan Ang-i Mo-pang! Dan Bhok Gun juga mengejar dari luar sehingga kini Bi Lan telah terkurung di pekarangan depan rumah itu. Orang-orang Ang-i Mo-pang itu menyalakan obor dan keadaan menjadi terang sekali. Dengan matanya Bi Lan menaksir bahwa pengepungnya tidak kurang dari dua puluh orang, semuanya bersenjata lengkap! Dengan marah ia membalikkan tubuhnya.
"Bhok Gun, kau mau apa? Jangan ganggu aku kalau engkau tidak mau cari penyakit!"
Bhok Gun tersenyum.
"Nona manis, kalau marah menjadi semakin cantik! Terus terang kuajak engkau untuk bekerja sama, menjadi isteriku tercinta dan sama-sama mencari kemuliaan di kota raja, akan tetapi engkau menolak. Nah, sekarang kau serahkan pedang pusakamu itu kepadaku...."
"Bhok Gun manusia laknat! Sekali ini kau akan mampus di tanganku!"
Bentak Bi Lan yang sudah siap hendak menyerang. Akan tetapi para anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang bersama sambil mengepungnya sehingga terpaksa Bi Lan menghadapi penyerangan mereka. Dengan gerakan amat lincah, Bi Lan mengelak sambil berloncatan ke sana-sini dari sambaran senjata golok, ruyung, tombak dan lain-lain yang datang bagaikan hujan.
Karena marah sekali kepada Bhok Gun, Bi Lan bukan hanya mengelak saja melainkan terus membalas. dengan serangan kedua tangannya. Akibatnya hebat. Para pengeroyok itu seperti dilanda badai dan empat orang sudah jatuh tersungkur. Dalam kemarahannya, Bi Lan tidak berlaku sungkan lagi, begitu membalas serangan ia telah memainkan Ilmu Silat Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun) yang amat ganas. Ilmu ini dipelajarinya dari nenek Wan Ceng. Tenaga sin-kang yang mendorong serangannya amat ganas dan mengandung hawa beracun sehingga para anggauta Ang-i Mo-pang yang terpelanting itu roboh dengan mata mendelik dan bagian yang terkena pukulan menjadi hijau menghitam! Melihat ini, Bhok Gun segera berteriak,
"Kalian semua mundur, kepung saja, jangan ikut menyerang!"
Dia tahu bahwa anak buahnya itu sama sekali bukan lawan Bi Lan dan kalau dibiarkan maju, mungkin mereka semua akan tewas di tangan Bi Lan.
Mendengar seruan ini, para anggauta Ang-i Mo-pang yang memang sudah gentar menghadapi gadis itu, cepat menahan senjata mereka dan berlompatan mundur, mengepung pekarangan itu dengan senjata di tangan, akan tetapi tidak ada yang berani mencoba untuk menyerang Bi Lan. Gadis ini berdiri tegak di tengah kepungan, sepasang matanya saja yang bergerak ke kanan kiri sedangkan seluruh tubuhnya diam tak bergerak seperti patung, namun setiap jalur urat syarafnya menegang dan dalam keadaan siap siaga. Melihat gadis ini berdiri dengan kedua tangan telanjang, sama sekali tidak memegang senjata dan juga tidak nampak adanya pedang pusaka mengerikan yang amat diinginkannya itu, Bhok Gun memandung heran. Dia merasa yakin benar bahwa Bi Lan tidak membawa pedang itu, tidak berada di pinggang, punggung, juga tidak berada di dalam buntalan pakaian itu.
"Bi Lan sumoi, di mana pedangmu itu? Keluarkan pedangmu dan lawanlah aku!"
Katanya menantang, tentu saja dengan maksud agar nona itu mengeluarkan pedang pusaka yang pernah membuatnya terkejut dan gentar itu.
"Manusia jahanam tanpa senjatapun aku masih sanggup mengirimmu ke neraka!"
Bi Lan membentak sambil terus menyerang dengan dahsyatnya. Gadis ini tetap mempergunakan Ilmu Ban-tok Ciang-hoat yang amat dahsyat itu. Melihat gerakan tangan yang mendatangkan hawa yang panas ini, Bhok Gun yang lihai cepat melompat kesamping dan dia sudah mencabut sehelai sapu tangan berwarna merah, lalu mengebutkan saputangan itu ke arah muka lawan. Debu berwarna merah halus menyambar ke arah muka Bi Lan. Akan tetapi Bi Lan hanya meniup pergi debu itu dan membiarkan sebagian kecil mengenai mukanya.
Dan kembali Bhok Gun terperanjat. Jelas bahwa ada debu yang mengenai muka gadis itu dan tentu telah tersedot, namun gadis itu sama sekali tidak terpengaruh! Padahal, debu pembius yang berada di saputangannya itu amat keras dan ampuh, sedikit saja tersedot, orang akan jatuh pingsan. Dia tidak tahu bahwa Bi Lan adalah cucu murid Ban-tok Mo-li dan biarpun dara ini hanya setengah tahun mempelajari ilmu dari nenek Wan Ceng, ia sudah memperoleh ilmu tentang racun dan cara untuk menjaga diri dari serangan racun. Karena terkejut dan heran, hampir saja Bhok Gun menjadi korban tamparan tangan kiri Bi Lan yang menyambar ganas. Tangan itu menyambar dengan amat cepatnya dan hanya dengan melempar diri ke kiri saja Bhok Gun dapat menghindarkan diri, akan tetapi ketika tangan yang mengandung hawa pukulan panas itu lewat,
Dia terkejut dan maklum bahwa tangan itu mengandung hawa pukulan beracun! Guru pemuda ini juga seorang ahli racun maka tahulah dia akan bahayanya tangan beracun dari Bi Lan itu dan diam-diam diapun terheran-heran mengapa gadis ini dapat memiliki ilmu aneh dan ganas itu, padahal dia tahu benar bahwa Bi-kwi tidak memiliki ilmu semacam itu. Teringatlah dia akan cerita Bi-kwi bahwa Bi Lan pernah digembleng selama beberapa bulan oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang juga amat lihai. Dari mereka itukah gadis ini mempelajari ilmu pukulan beracun? Bi Lan juga merasa lega karena ia tidak melihat munculnya Bi-kwi, sucinya yang lihai itu. Kalau sucinya muncul dan ia dikeroyok dua, rasanya sukar baginya untuk dapat menyelamatkan diri, apa lagi tanpa adanya Ban-tok-kiam di tangannya.
Akan tetapi, sucinya tidak juga muncul maka jalan terbaik adalah cepat-cepat merobohkan dulu Bhok Gun. Kalau tidak dikeroyok, ia tidak gentar menghadapi Bhok Gun maupun sucinya. Maka iapun cepat menyerang dengan pukulan-pukulan gencar dan untuk mendesak lawan, ia mengubah gerakannya dan kini ia mainkan Sam Kwi Cap-sha-kun yang lebih ganas lagi itu! Ia tahu bahwa pada dasarnya, mereka berdua memiliki sumber ilmu silat yang sama dan untuk mengeluarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari sucinya atau Sam Kwi, tidak akan banyak gunanya menghadapi Bhok Gun. Akan tetapi Sam Kwi Cap-sha-kun adalah ilmu ciptaan baru dari Sam Kwi dan kiranya sucinya juga masih merahasiakan ilmu ini terhadap siapapun.
Dugaannya benar karena Bhok Gun terkejut bukan main menghadapi desakannya dan pemuda itu terserempet tamparan pada pundaknya, membuat dia terhuyung ke belakang. Tangan kiri Bhok Gun bergerak dan sinar-sinar kecil menyambar ke depan. Bi Lan memiliki penglihatan tajam sekali dan ia pun dapat bergerak lincah. Begitu ada sinar menyambar, ia sudah dengan cepatnya meloncat ke kiri, tangan kanannya menyampok dan runtuhlah tiga batang paku hitam yang beracun! Kalau ia tidak cepat mengelak dan menyampok, paku-paku itu dapat mendatangkan bahaya maut! Biarpun senjata rahasianya dapat dihindarkan lawan, akan tetapi setidaknya serangan gelap itu dapat memberi kesempatan kepada Bhok Gun untuk memperbaiki posisinya yang tadi terhuyung oleh serangan Bi Lan. Dia lalu berteriak ke arah rumah ke dua,
"Para ciangkun harap suka keluar dan membantu kami menghadapi musuh!"
Terdengar teriakan jawaban dari rumah kedua itu, daun pintunya terbuka dan lima sosok bayangan orang berloncatan keluar dari rumah itu. Kiranya mereka adalah lima orang laki-laki bertubuh gagah yang memakai pakaian perwira kerajaan dan begitu mereka mengepung dan menggerakkan pedang mereka menyerang, Bi Lan terkejut karena ia memperoleh kenyataan bahwa lima orang ini memiliki ilmu pedang yang kuat dan cepat, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan para anggauta Ang-i Mo-pang. Maka iapun mempercepat gerakannya, menubruk ke samping dan dengan sebuah tendangan dan sambaran tangan,
Ia berhasil merobohkan seorang anggauta Ang-i Mo-pang dan merampas pedangnya. Dengan pedang ini ia lalu menghadapi pengeroyokan lima orang perwira dan Bhok Gun! Gadis ini memang hebat sekali. Semangatnya besar, memiliki keberanian dan ketenangan sehingga biarpun dikeroyok enam orang yang lihai, tetap saja ia dapat mengamuk seperti seekor naga betina. Pedangnya berubah menjadi sinar ketika ia mainkan Ilmu Pedang Ban-tok Kiam-sut. Terdengar suara nyaring berdencingan ketika pedangnya itu menangkis serangan para pengeroyoknya dan lewat tiga puluh jurus, pedangnya berhasil melukai dua orang perwira, akan tetapi pada saat itu, pedang di tangan Bhok Gun yang datang dengan amat kuatnya telah berhasil mematahkan pedang rampasan di tangan Bi Lan.
"Krakkk....!"
Pedang itu patah menjadi dua dan pada saat itu, dua orang perwira datang menyerang dengan pedang mereka.
"Haiiiittt!"
Bi Lan mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya menyambar ke depan seperti terbang, dengan tubuh direndahkan seperti menyeruduk ke depan. Itulah satu di antara jurus Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang dipelajarinya dari Koa Kok Cu! Dan kembali dua orang perwira rebah dan pedang mereka terlempar jauh, tidak tahan mereka menghadapi jurus dari Sin-liong Ciang-hoat yang aneh dan hebat itu. Akan tetapi, dari samping Bhok Gun sudah menggunakkan kakinya pada saat Bi Lan melancarkan serangan tadi.
"Desss....!"
Pinggang Bi Lan terkena tendangan sehingga tubuhnya terpelanting dan terguling-guling! Sementara itu, empat orang perwira yang roboh, sudah bangkit kembali dan Bi Lan terkepung kembali ketika ia akhirnya dapat pula meloncat bangun. Pinggangnya terasa nyeri dan kepalanya agak pening. Kembali dara itu berdiri tegak dan tak bergerak seperti patung, melirik ke kanan kiri, ke arah enam orang yang kembali sudah mengepungnya dengan wajah beringas karena mereka kini menjadi marah sekali. Lima orang perwira itu adalah utusan rahasia dari pembesar Hou Seng di kota raja, yang diutus oleh pembesar itu yang sudah berhubungan dengan guru Bhok Gun untuk mengundang Bhok Gun dan para anggauta Ang-i Mo-pang untuk memperkuat kedudukan guru itu menjadi kaki tangan dan orang kepercayaan Hou Seng!
Kini bukan hanya lima orang perwira dan Bhok Gun yang mengepung di sebelah dalam, akan tetapi di bagian luarpun belasan orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah mulai bergerak lagi atas perintah Bhok Gun, bahkan di antara mereka ada yang sudah mengambil senjata berupa jaring-jaring lebar yang dipegang oleh tiga orang. Melihat ini, Bi Lan maklum bahwa ia terancam bahaya, apa lagi tendangan Bhok Gun masih terasa bekasnya, pinggangnya masih nyeri dan membuat sebelah kakinya tidak dapat bergerak selincah kaki yang lain. Akan tetapi, ia mengambil keputusan nekat untuk membela diri sampai titik darah terakhir dan tidak akan sudi menyerah! Pada saat itu, ketika Bi Lan berada dalam keadaan terancam dan gawat, muncullah seorang pemuda perkasa. Pemuda ini muncul sambil membentak,
"Sekumpulan laki-laki mengeroyok seorang wanita muda, sungguh memalukan sekali. Hanya laki-laki berwatak pengecut saja yang sudi melakukan hal seperti ini!"
Bhok Gun terkejut dan cepat memandang.
Juga Bi Lan mengerling ke arah orang yang baru muncul itu dan jantungnya berdebar ketika ia mengenal pemuda tinggi besar itu. Pemuda itu bukan lain adalah pemuda perkasa yang pernah mengagumkan hatinya ketika pemuda itu menolong keluarga sepasang mempelai dari Phoa Wan-gwe dan para tukang pukulnya. Dan kini pemuda perkasa itu tiba-tiba saja muncul untuk menolongnya! Beberapa orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang maju untuk merobohkan pemuda yang dianggap lancang itu. Akan tetapi, segera terdengar teriakan-teriakan kaget ketika pemuda itu dengan mudahnya menendangi dan menangkapi orang-orang itu dan melempar-lemparkan mereka seperti orang melemparkan kayu bakar saja.
"Keparat, berani kau mencampuri urusan kami?"
Bhok Gun marah sekali dan menerjang ke arah pemuda itu, menggunakan tangan kanan memukul ke arah kepala. Serangannya ini selain cepat, juga kuat sekali karena dalam kemarahannya Bhok Gun sudah mengerahkan tenaga yang besar. Pemuda itu mengenal serangan ampuh, maka diapun memasang kuda-kuda dan mengangkat lengan kanan menangkis.
"Dukkk....!"
Dua tenaga besar bertemu dan akibatnya amat mengejutkan hati Bhok Gun karena dia terdorong dan terlempar ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat!
Tentu saja dia tidak tahu bahwa lawannya itu telah mewarisi tenaga raksasa dari ayah kandungnya, yaitu Cu Kang Bu yang berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati). Pemuda itu adalah Cu Kun Tek, jago muda dari Lembah Naga Siluman itu. Sebetulnya, kalau diukur ilmu silat di antara mereka, tingkat Bhok Gun masih lebih tinggi dari pada tingkat yang dikuasai Kun Tek. Akan tetapi, tadi Bhok Gun mengadu tenaga dan akibatnya dia kalah kuat sehingga dia merasa gentar, mengira bahwa pemuda tinggi besar ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada tingkat-nya. Melihat pemuda tinggi besar itu sudah bertanding melawan Bhok Gun, Bi Lan mempergunakan kesempatan baik ini untuk bergerak menyerang para pengepungnya, yaitu lima orang perwira tadi. Lima orang yang pernah merasakan kehebatan tangan Bi Lan, menjadi gentar dan menjauhkan diri.
"Nona, mari kita pergi!"
Kun Tek berseru nyaring sambil merobohkan dua orang pengepung dengan tendangan-tendangannya. Kegagahan Kun Tek tidak saja membuat gentar hati Bhok Gun, akan tetapi juga para pengepung menjadi ketakutan.
Baru menghadapi nona itu saja mereka tadi merasa kewalahan untuk mengalahkannya, apa lagi sekarang muncul seorang pemuda tinggi besar yang demikian gagah perkasa. Karena merasa gentar, mereka tidak banyak bergerak untuk menghalangi ketika Bi Lan dan Kun Tek berlompatan keluar dari pekarangan itu. Bhok Gun serdiri tidak melakukan pengejaran. Pertama adalah karena dia sendiri meragukan apakah dia akan dapat menang menghadapi Bi Lan dan pemuda tinggi besar itu walaupun dia dibantu oleh para perwira dah anggauta Ang-i Mo-pang, dan ke dua karena dia tidak melihat pedang pusaka di tangan Bi Lan, diapun tidak terlalu bernafsu untuk melakukan pengejaran. Dia memang jatuh hati kepada Bi Lan yang dianggapnya amat manis menggiurkan.
Terutama sekali karena gadis itu tidak mau menyerah dan tidak semudah wanita lain untuk ditundukkan, maka justeru sikap inilah yang menambah daya tarik pada diri Bi Lan baginya. Andaikata Bi Lan mau, agaknya dia akan suka mempunyai seorang kawan hidup tetap, seorang isteri, seperti gadis itu. Wanita-wanita seperti Bi-kwi hanyalah menjadi teman bermain-main dan mencari kepuasan nafsu belaka, bukan untuk menjadi isteri dan ibu anak-anaknya. Akan tetapi Bi Lan menolaknya, bahkan nampak benci kepadanya. Sementara itu, Bi Lan terus melarikan diri bersama pemuda tinggi besar itu. Tidak tahu siapa di antara mereka yang memilih jalan, karena keduanya hanya menurutkan jalan kecil yang menuju ke utara itu saja. Akan tetapi setelah mereka merasa yakin bahwa pihak musuh tidak melakukan pengejaran,
Terpaksa mereka mengurangi kecepatan lari mereka dan hanya melanjutkan dengan jalan kaki biasa karena cuaca malam itu cukup gelap. Hanya bintang-bintang saja di langit yang menurunkan sinar penerangan remang-remang. Keduanya tidak banyak cakap dan melanjutkan perjalanan sampai akhirnya Bi Lan berhenti. Pemuda itupun ikut berhenti. Mereka berada di sebuah jalan kecil yang membelah persawahan yang luas. Sunyi sekali di situ. Tidak nampak dusun di sekitar tempat itu. Kalau ada, tentu nampak lampu-lampu penerangan rumah-rumah mereka. Sunyi sepi dan tidak ada sedikitpun angin sehingga batang-batang gandum di kanan kiri jalan itu tidak-ada yang bergerak. Tidak ada apapun yang bergerak kecuali berkelap-kelipnya laksaan bintang di langit dan suara yang terdengar hanya jengkerik dan bunyi katak yang saling bersahutan.
"Engkau siapakah?"
Bi Lan bertanya, merasa agak tidak enak karena sejak tadi pemuda itu diam saja membisu, padahal ia tahu benar bahwa pemuda itu tidak gagu.
"Namaku Cu Kun Tek,"
Jawab Kun Tek sambil menatap wajah yang biarpun hanya nampak remang-remang namun tetap saja mudah dilihat kecantikannya. Garis-garis dan lengkung lekuk wajah itu jelas membayangkan kemanisan dan sepasang mata yang jeli itu masih nampak memantulkan sinar bintang-bintang yang redup. Jawaban yang singkat inipun membuat Bi Lan mengerutkan alisnya. Sikap pemuda yang pendiam ini seolah-olah menunjukkan rasa tidak suka kepadanya. Sama sekali tidak ramah. Kalau begitu, kalau memang tidak menyukainya, kenapa tadi menolongnya?
"Kenapa kau membantuku?"
Pertanyaan dalam hati itu keluar melalui mulutnya, seperti orang menuntut.
"Engkau seorang gadis muda, dikeroyok banyak pria, tentu saja aku membantumu."
Jawaban inipun singkat saja. Suasana menjadi kaku dan Bi Lan ingin meninggalkan pemuda itu, Akan tetapi bagaimana bagaimanapun juga, pemuda itu mendatangkan rasa kagum di hatinya dan sudah menolongnya, rasanya tidak pantas kalau ia pergi begitu saja tanpa memperkenalkan diri. Akan tetapi pemuda itu tidak bertanya, agaknya tidak ingin mengenalnya!
"Apa kau tidak tanya namaku?"
Barulah pemuda itu kelihatan bergerak seperti orang gelisah atau orang yang merasa canggung dan malu-malu.
"Eh, siapakah namamu? Engkau masih begini muda akan tetapi ilmu silatmu sudah begitu hebat, sanggup menghadapi pengeroyokan banyak orang lihai."
"Namaku Can Bi Lan. Eh, kau ini sombong amat, menyebutku gadis yang masih muda sekali. Apakah engkau ini sudah kakek-kakek? Kukira aku lebih tua darimu!"
Kata Bi Lan yang merasa mendongkol juga mendengar kata-kata pemuda itu.
"Tidak mungkin!"
Kun Tek membantah.
"Berapakah usiamu? Aku berani bertaruh bahwa aku jauh lebih tua."
"Hemm, kiranya engkau hanya seorang penjudi! Sampai-sampai urusan usia saja kau pertaruhkan."
"Aku tidak pernah berjudi selama hidupku!"
Kun Tek. membantah, mendongkol juga melihat sikap gadis yang ditolongnya ini demikian galak.
"Memang tak mungkin engkau bisa berjudi, engkau masih seperti kanak-kanak. Kutaksir usiamu paling banyak lima belas tahun, jadi aku masih lebih tua dua tahun."
Tentu saja Bi Lan hanya sengaja menggoda karena dongkol hatinya, tidak sungguh-sungguh mengira usia pemuda itu limabelas tahun. Kun Tek balas menggoda.
"Aha, kiranya baru tujuh belas tahun! Masih amat muda, hampir kanak kanak. Aku sendiri sudah berusia sembilanbelas tahun."
Keduanya berdiam kembali dan keadaan menjadi amat sunyi. Suara jengkerik kembali terdengar nyaring diselingi suara katak. Bi Lan tak dapat menahan lagi perasaan tidak enaknya.
"Jadi engkau membantuku hanya karena melihat aku seorang perempuan muda, setengah kanak-kanak, dikeroyok banyak pria?"
"Bukan anak kecil, melainkan masih amat muda akan tetapi sudah amat lihai!"
Kun Tek berkata cepat.
"Baiklah, seorang perempuan muda dan perempuan muda ini mengucapkan terima kasih atas bantuanmu, walaupun sesungguhnya aku sama sekali tidak mengharapkan dan tidak membutuhkan bantuanmu. Nah, selamat tinggal!"
Dengan marah Bi Lan lalu meloncat dan lari dari tempat itu. Ia meloncat ke depan, dan terdengarlah suara keras ketika ia terperosok ke dalam lubang yang besar di tepi jalan itu. Lubang itu penuh dengan tanah lumpur, sehingga tentu saja pakaian dan badannya penuh lumpur dan ia terkejut bukan main.
"Aduhh....!"
Dengan sekali loncatan saja Kun Tek telah berada di tepi lubang dan mengulurkan tangan, memegang pergelangan tangan Bi Lan dan menariknya keluar. Melihat betapa seluruh pakaian Bi Lan kotor dan gadis itu menahan rasa nyeri pada tumitnya yang agaknya terkilir, Kun Tek menjadi khawatir sekali.
"Ah, kenapa tidak hati-hati? Gelap begini mana bisa melihat jalan? Apanya yang sakit? Kakimu? Mungkin terkilir, mana kubetulkan letak ototnya kembali."
Tanpa banyak cakap lagi Kun Tek lalu memegang kaki kiri Bi Lan, mengurut bagian pergelangan kaki dan memang jari-jari tangannya cekatan sekali dan penuh tenaga. Pemuda ini telah mempelajari ilmu pengobatan dari ayahnya, terutama sekali penyambungan tulang dan ilmu pijat otot. Biarpun pijatan-pijatan itu menimbulkan rasa nyeri, Bi Lan hanya menggigit bibir dan merintih lirih sampai akhirnya otot-ototnya pulih kembali dan rasa nyeri itupun menghilang.
Suling Emas Naga Siluman Eps 45 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 24 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 34