Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 22


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



Dia seolah-olah telah berobah menjadi patung orang menyuling! Setelah melihat lawannya tertidur, barulah Kam Hong menghentikan tiupan sulingnya. Wajahnya agak pucat dan seluruh tubuhnya basah oleh peluh! Kiranya dia pun telah mengerahkan banyak tenaga tadi dan baru setelah dia mengeluarkan semua tenaganya dia dapat menyelamatkan Ci Sian dan sekaligus membuat tidur semua orang, termasuk lawannya yang kuat itu. Dia menyimpan sulingnya lalu menggunakan saputangan untuk menyusuti peluhnya. Setelah kini suara suling terhenti dan getaran suara yang amat kuat itu lenyap, berturut-turut terjagalah mereka semua yang tertidur pulas itu. Pertama-tama adalah Cu Han Bu dan dua orang adiknya yang terjaga.

   "Ahhhh....!"

   Cu Han Bu mengeluh dan terbelalak, lalu teringat akan segala yang telah terjadi, maka dia pun meloncat bangun lalu cepat-cepat dia menjura ke arah Kam Hong yang juga telah bangkit dengan tenang.

   "Saudara Kam Hong, sungguh engkau luar biasa sekali dan aku Cu Han Bu benar-benar mengakui keunggulanmu, baik dalam hal ilmu silat maupun dalam hal ilmu meniup suling. Engkau memang berhak memakai julukan Suling Emas!"

   Juga Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu tidak ragu-ragu lagi untuk memberi hormat kepada pendekar yang jelas memiliki tingkat kepandaian di atas mereka itu. Kam Hong cepat-cepat membalas penghormatan mereka dan dia pun berkata,

   "Harap Sam-wi tidak merendahkan diri karena terus terang saja, baru sekaranglah saya menemukan keluarga yang memiliki kepandaian sehebat yang dimiliki Sam-wi. Saya percaya bahwa tentu ada hubungannya antara Sam-wi dengan Suling Emas."

   Pada saat itu, tiga orang dara juga telah terjaga dan mereka mula-mula merasa bingung dan terheran-heran, akan tetapi setelah teringat dan melihat betapa sikap tiga orang she Cu itu amat menghormat Kam Hong, mereka maklum bahwa Kam Hong telah menangkan pertandingan aneh itu. Yu Hwi memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan, akan tetapi dia telah bangkit dan menghampiri Cu Kang Bu, kekasihnya. Sedangkan Ci Sian lari menghampiri Kam Hong.

   "Paman, engkau telah menang?"

   Kam Hong hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Tentu saja Ci Sian me-rasa penasaran dan dia lalu menoleh kearah Cu Han Bu, dan bertanya dengan lantang,

   "Paman Cu Han Bu, apakah engkau mau bersikap jantan mengakui bahwa Paman Kam Hong telah memperoleh kemenangan dalam pertandingan ini?"

   Cu Han Bu menarik napas panjang. Dara itu sudah berkali-kali membikin sakit perasaan, akan tetapi dia tidak dapat mengelak lagi.

   "Benar, Saudara Kam Hong telah mengalahkan kami."

   "Nah, apa kubilang? Dialah Pendekar Suling Emas yang sejati!"

   "Sssst, Ci Sian, menyombongkan diri di atas kemenangan adalah perbuatan yang bodoh."

   Kam Hong mencela dan Ci Sian mengerutkan alisnya, bersungut-sungut dan tidak banyak cakap lagi. Dia seringkali ditegur Kam Hong dan setiap kali ditegur, dia merasa tidak senang, apalagi kini ditegur di depan banyak orang, di depan Yu Hwi terutama sekali. Dia ingin marah, akan tetapi tidak berani karena dia tahu bahwa kalau dia marah terhadap Kam Hong di depan banyak orang, hal itu akan merendahkan nama Kam Hong yang baru saja keluar sebagai pemenang. Maka dia pun lalu duduk diam saja di dekat Kam Hong, bibirnya yang merah mungil itu agak meruncing.

   "Saudara Cu, kiranya sudah sepatutnya kalau sekarang Sam-wi menceritakan kepadaku tentang keluarga Cu yang tinggal di Lembah Suling Emas ini...."

   Kam Hong berkata kepada Cu Han Bu karena memang dia ingin sekali mendengar riwayat keluarga yang amat lihai ini dan ingin tahu apa hubungan mereka dengan Suling Emas.

   "Setelah itu, baru saya akan menceritakan tentang keluarga Pendekar Suling Emas."

   Cu Han Bu mengangguk, lalu dia memandang ke arah Yu Hwi dan Ci Sian.

   "Riwayat keluarga kami adalah rahasia kami, tidak boleh didengar oleh orang lain. Engkaulah orang pertama yang akan mendengarnya, Saudara Kam Hong, Yu Hwi, biarpun engkau seorang luar, namun mengingat akan hubunganmu dengan Kang-te, berarti engkau merupakan calon keluarga juga, maka engkau boleh mendengarnya. Hanya Nona ini...."

   Dia memandang Ci Sian dengan ragu-ragu.

   "Dia adalah keponakanku dan juga boleh dianggap adik seperguruanku, maka kalau aku boleh mendengar, dia pun berhak mendengar pula."

   Kam Hong berkata cepat-cepat karena dia tahu bahwa kalau sampai dara ini dilarang ikut mendengar, Ci Sian tentu akan marah dan entah apa yang akan dilakukan kalau dia marah. Dalam tempat seperti itu, dia tidak ingin membiarkan Ci Sian berpisah dari sampingnya, karena hal itu akan amat membahayakan keselamatannya. Mendengar ini, lenyaplah sama sekali rasa tidak senang dari hati Ci Sian oleh teguran Kam Hong tadi. Dia tersenyum dan memandang kepada pihak tuan rumah dengan sinar mata menantang! Cu Han Bu menarik napas panjang.

   "Kalau begitu baiklah, karena dia Saudara Kam Hong yang menanggung. Nah, dengarkanlah cerita singkat dari keadaan keluarga kami, terutama yang bersangkutan dengan Suling Emas."

   Mulailah pendekar yang menyembunyikan diri di lembah itu bercerita tentang keluarganya. Menurut cerita turun-temurun dalam keluarga itu, Cu Han Bu dan keluarganya mendengar bahwa seorang di antara nenek moyang mereka pada seribu tahun lebih yang lalu adalah seorang pangeran bernama Cu Keng Ong yang melarikan diri dari kota raja karena berselisih dengan kaisar. Cu Keng Ong ini mengasingkan diri ke lembah Kongmaa La di Pegunungan Himalaya itu bersama keluarganya dan hidup sebagai pertapa dan petani di tempat ini. Cu Keng Ong adalah seorang pangeran yang berilmu tinggi, selain pandai ilmu silat juga ahli dalam hal kerajinan tangan, terutama mengukir dan membuat benda-benda dari pada emas.

   Ketika berada dalam pengasingan ini, Cu Keng Ong bahkan memperdalam ilmu-ilmunya dari para pertapa di Himalaya sehingga akhirnya dia menjadi seorang manusia yang amat lihai, akan tetapi yang selalu menyembunyikan diri dan hidup tenteram dalam lembah itu. Karena kehidupan di lembah itu sama sekali tidak memerlukan emas, maka Cu Keng Ong lalu mengumpulkan semua emas yang mereka bawa sebagai bekal, kemudian dia melebur emas itu dan dibuatlah sebatang suling emas yang amat baik, bukan saja indah bentuknya akan tetapi terutama sekali dengan ukuran-ukuran sempurna sehingga akan mengeluarkan bunyi yang amat indah kalau dimainkan. Karena Cu Keng Ong seringkali bertiup suling di lembah itu, dengan suling emasnya, dan suara sulingnya terdengar sampai jauh ke luar lembah, maka mulailah lembah itu diberi nama Lembah Suling Emas!

   "Demikianlah asal-usul nama lembah ini menurut dongeng keluarga kami."

   Cu Han Bu melanjutkan.

   "Akan tetapi sayang, menurut dongeng keluarga turun-temurun itu, tidak ada lanjutan tentang nenek moyang kami yang bernama Cu Keng Ong itu dan suling emas itu pun tidak ada pada keluarga kami lagi. Yang ada hanyalah suling emas ini yang dibuat oleh seorang nenek moyang kami kemudian yang bernama Cu Hak dan yang juga ahli dalam pembuatan benda-benda dari emas dan baja. Kakek buyut Cu Hak itu kabarnya hanya membuat suling ini disesuaikan dengan cerita keluarga itu tentang bentuk suling emas aseli buatan Cu Keng Ong. Dan di samping suling ini, juga keluarga kami mewarisi ilmu silat yang menjadi pasangan dari suling ini, yaitu ilmu silat yang disebut Kim-siauw Kiam-sut dan yang telah kumainkan dengan sabuk emas karena saya lebih biasa berlatih dengan sabuk emas itu. Akan tetapi ternyata Saudara Kam Hong juga mainkan ilmu itu dengan suling emasnya, bahkan lebih sempurna daripada saya!"

   Han Bu menarik napas panjang.

   Diam-diam Kam Hong terkejut sekali dan saling lirik dengan Ci Sian. Kedua orang ini setelah mendengar riwayat keluarga Cu, dapat menduga bahwa kakek kuno yang jenazahnya mereka temukan itu tak salah lagi tentulah Cu Keng Ong adanya! Akan tetapi mereka diam saja dan mendengarkan terus. Cu Han Bu melanjutkan ceritanya. Nenek moyang yang bernama Cu Keng Ong itu menurut berita keluarganya telah lenyap, dan ada berita bahwa kakek itu mengawetkan jenazahnya dan jenazah itu mengandung rahasia ilmu keluarga mereka yang paling tinggi. Sejak turun-temurun, keluarga Cu berusaha mencari jenazah kakek Cu Keng Ong ini, akan tetapi tanpa hasil. Juga suling emas buatan Pangeran Cu Keng Ong itu lenyap dari keluarga Cu. Hanya bentuk-bentuk suling dan warisan turun-temurun sampai tiga orang kakak beradik Cu ini.

   "Karena merasa khawatir bahwa suling pusaka itu akhirnya lenyap sama sekali, kami pernah melakukan penyeli-dikan. Dan kami mendengar bahwa suling itu terjatuh ke tangan Pendekar Suling Emas beberapa ratus tahun yang lalu. Kami berusaha untuk mendapatkan keturunannya, namun usaha kami sia-sia saja, seolah-olah keluarga Suling Emas itu sudah musnah dan bersama namanya terbawa lenyap pula, agaknya Saudara Kam Hong telah mempelajari ilmu-ilmu keluarga kami dengan lebih sempurna daripada yang kami warisi sendiri!"

   Ucapan terakhir itu keluar dengan nada penuh rasa penasaran. Kam Hong dapat merasakan ini dan dapat mengerti mengapa pihak tuan rumah merasa penasaran dan diam-diam dia pun merasa kasihan. Kini mengertilah dia mengapa keluarga Cu ingin sekali mengalahkan dia dan merasa amat penasaran ketika tidak berhasil, karena itu berarti bahwa keluarga itu dikalahkan orang dengan mempergunakan senjata pusaka dan ilmu pusaka keluarga mereka sendiri! Biarpun dia tahu bahwa hal itu bukan kesalahannya, namun dia merasa sedikit bahwa dia seolah-olah menjadi pencuri pusaka dan ilmu keluarga Cu.

   "Nah, demikianlah riwayat keluarga kami yang berhubungan dengan suling emas, Saudara Kam. Sekarang harap Saudara ceritakan tentang keluarga Saudara yang mempergunakan nama Suling Emas, agar kami mengerti bagaimana duduk perkaranya."

   Kata Han Bu. Kam Hong menghela napas. Dia harus menceritakan semuanya agar mereka ini tidak merasa penasaran dan menganggap bahwa keluarganya adalah pencuri-pencuri pusaka dan ilmu! Setelah memandang ke arah wajah tiga orang kakak beradik she Cu yang duduk dihadapannya itu, Kam Hong lalu berkata,

   "Julukan Suling Emas dipakai oleh nenek moyangku yang bernama Kam Bu Song dan beliau pulalah yang pertama-tama memiliki suling emas ini yang menurut cerita keluarga kami diterimanya dari sastrawan besar Ciu Bun di Pulau Pek-coa-tho (Pulau Ular Putih). Kemudian suling emas ini secara turun-temurun dimiliki oleh keluarga Kam dan memang pada akhir-akhir beberapa keturunan ini sampai kepada saya, keluarga kami menyembunyikan diri. Demikianlah riwayat suling emas ini dan dapat kujelaskan bahwa suling emas ini kumiliki dari warisan nenek moyang yang sudah tujuh ratus tahunan lamanya, dan kakek besar Kam Bu Song itu pun menerima dari pemberian yang syah, bukan mencuri. Dan sekarang tentang ilmu yang baru saja kupergunakan untuk menghadapi Saudara Cu Han Bu."

   Tiga orang kakak beradik itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka dapat percaya keterangan itu dan mereka menduga bahwa tentu suling yang hilang itu akhirnya, entah secara bagaimana tak ada seorang pun mengetahui, terjatuh ke tangan sastrawan Ciu Bun itu dan diberikan kepada Pendekar Suling Emas. Dengan demikian, keluarga pendekar itu memang berhak memilikinya. Kini mereka ingin sekali mendengar bagaimana Kam Hong dapat mainkan Ilmu Silat Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup yang merupakan ilmu pusaka keluarga mereka dengan demikian baiknya, lebih baik daripada yang mereka miliki.

   "Tadinya saya hanya mewarisi ilmu-ilmu pusaka keluarga kami yang tidak Sam-wi kenal, yaitu ilmu-ilmu yang saya pakai ketika menghadapi Saudara Cu Kang Bu tadi. Sedangkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut yang saya mainkan dengan suling ketika menghadapi Saudara Cu Han Bu tadi, juga ilmu meniup suling baru saja saya pelajari selama kurang lebih empat tahun baru-baru ini, yaitu kupelajari dari catatan terdapat pada jenazah kuno yang kami temukan...."

   "Ahhhh....!"

   Tiga orang gagah itu bangkit berdiri dan muka mereka pucat, mata mereka terbelalak karena kaget.

   "Jadi engkau malah yang telah menemukan jenazah Kakek Cu Keng Ong leluhur kami itu....?"

   Cu Kang Bu bertanya dengan suara yang mirip bentakan. Kam Hong mengangguk tenang.

   "Munkin saja jenazah itu jenazah Cu Keng Ong seperti yang kalian ceritakan tadi. Saya tidak tahu benar, hanya saya tahu dari catatan di tubuhnya bahwa dia adalah pembuat suling emas dan siapa yang dapat menemukan jenazahnya dianggap berjodoh untuk mewarisi ilmunya...."

   "Celaka....!"

   Cu Seng Bu berseru nyaring dan penuh dengan penyesalan, dan dia sudah meloncat ke depan. Akan tetapi Cu Han Bu cepat memegang lengannya dan memandang adiknya dengan sinar mata tajam penuh teguran.

   "Seng-te, bukan demikian sifat keluarga kita! Kita harus dapat mengendalikan diri dan tidak memalukan leluhur kita!"

   Kemudian Cu Han Bu menoleh kepada Kam Hong sambil berkata.

   "Sungguh aneh sekali mengapa suling pusaka dan ilmu pusaka keluarga kami dapat terjatuh semuanya kepadamu, Saudara Kam Hong. Maukah kau menceritakan tentang jenazah leluhur kami itu?"

   "Terjadinya secara kebetulan. Saya dan Ci Sian diserang gunung salju longsor sehingga kami hampir saja tewas. Di antara gumpalan-gumpalan salju longsor itu, kami menemukan jenazah kuno itu dan setelah kami selidiki, jenazah mengandung tulisan-tulisan yang mewariskan ilmu-ilmu itu kepada kami. Karena kami dianggap sebagai jodoh yang berhak mewarisi Ilmu, dan karena di situ tidak disebut-sebut tentang keluarga di sini, maka tentu saja saya mempelajari ilmu-ilmu itu dan saya tidak merasa bersalah sedikit pun. Apalagi diingat bahwa suling emas buatan kakek itu juga telah menjadi milik keluarga sejak ratusan tahun! Nah, kupelajari ilmu-ilmu itu selama hampir lima tahun, dan sekarang saya ketahui siapa guru saya yang ternyata bernama Cu Keng Ong dan menjadi leluhur penghuni lembah ini...."

   "Dan kau pergunakan pusaka dan ilmu itu untuk mengalahkan kami!"

   Cu Kang Bu berteriak lalu menutupi muka dengan kedua tangan. Pendekar tinggi besar yang gagah perkasa ini menangis tanpa bersuara! Yu Hwi yang duduk di sampingnya lalu memegang tangannya dari kedua tangan mereka saling genggam. Melihat ini, diam-diam Kam Hong merasa terharu juga dan dia merasa terheran-heran mengapa sebelum dia bertemu dengan Yu Hwi, seringkali dia amat merindukan dara itu, seringkali membayangkan wajahnya yang manis dan membayangkan kemesraan bersama calon isterinya itu! Akan tetapi sekarang, setelah bertemu dengan Yu Hwi, melihat Yu Hwi bermesraan dengan pria lain, dia tidak merasa cemburu atau sakit, walaupun pada pertama kalinya dia merasa penasaran dan marah.

   Apakah yang menyebabkan kedinginan terhadap Yu Hwi itu, dan perbedaan yang amat jauh antara dahulu ketika dia masih merindukan Yu Hwi dan sekarang? Tiba-tiba dia merasa ada tangan halus menyentuh lengannya. Dia menoleh dan memandang wajah Ci Sian yang jelita dan pada saat dua pasang mata mereka saling bertemu sinar pandangan, Kam Hong melihat kenyataan yang amat mengejutkan hatinya. Bayangan Yu Hwi itu kiranya telah lama lenyap dari lubuk hatinya, terganti sepenuhnya oleh bayangan Ci Sian! Dia telah jatuh cinta kepada Ci Sian semenjak lama, semenjak Ci Sian masih merupakan seorang dara tanggung empat tahun yang lalu! Dan kini, Ci Sian telah menjadi seorang dara cantik jelita berusia tujuh belas tahun! Kenyataan yang nampak jelas olehnya itu membuat jantungnya berdebar tegang.

   "Paman, mari kita pergi dari sini...."

   Ci Sian berkata halus dan ucapannya itu membuyarkan dunia mimpi aneh dan Kam Hong yang tadi seperti terpesona oleh kenyataan itu.

   "Baik, mari kita pergi...."

   Kata Kam Hong yang memegang tangan Ci Sian dan bangkit berdiri. Sejenak Kam Hong memandang ke arah Yu Hwi, lalu berkata,

   "Nona Yu, demi untuk kebaikan namamu sendiri, seyogianya kalau engkau pulang dan menerangkan kepada Suhu Yu Kong Tek akan keputusan yang kau ambil agar pertalian jodoh antara kita itu dapat dibatalkan atau diputuskan secara resmi."

   Yu Hwi membalas pandang mata Kam Hong, lalu menoleh kepada kekasihnya yang masih menunduk, kemudian dia berkata dengan suara lembut kepada Kam Hong, tidak berani lagi memandang rendah bekas tunangan itu yang ternyata telah menjadi seorang yang memiliki kesaktian hebat.

   "Baiklah, sekali waktu aku akan mengunjungi Kong-kong."

   Setelah menerima janji ini, Kam Hong lalu menarik tangan Ci Sian diajak keluar dari gedung itu. Tidak ada seorang pun yang bergerak menghalangi, dan dengan langkah-langkah tenang mereka keluar dari dalam gedung. Akan tetapi ketika mereka tiba di pintu gerbang depan, nampak bayangan tiga orang berkelebat dan ternyata tiga orang kakak beradik she Cu itu telah berdiri di depan mereka, wajah mereka pucat.

   "Hemm, apa lagi yang kalian kehendaki?"

   Kam Hong bertanya dengan berkerut, siap untuk menghadapi mereka kalau saja mereka hendak menggunakan kekerasan. Cu Han Bu melangkah maju dan menjura sambil berkata.

   "Saudara Kam Hong, kami hanya hendak bertanya di mana kau temukan jenazah nenek moyang kami itu. Kiranya itu adalah hak kami untuk menanyakan di mana adanya jenazah leluhur kami."

   "Tentu saja, akan tetapi sayang sekali, jenazah kuno itu telah kubakar...."

   "Dibakar....?"

   Terdengar Seng Bu dan Kang Bu berteriak.

   "Benar, sesuai dengan tulisan pesanan terakhir pada tubuh beliau. Jenazah itu telah kubakar menjadi abu dan kukubur di tempat itu."

   "Ahhhh....!"

   Tiga orang itu saling pandang dengan muka putus asa. Tadinya mereka mempunyai harapan untuk menemukan jenazah leluhur itu untuk dapat mempelajari ilmu pusaka keluarga mereka, akan tetapi harapannya itu hancur sama sekali mendengar betapa jenazah itu telah dibakar oleh Kam Hong. Dengan hati duka penuh kekecewaan Cu Han Bu mengepal tinjunya, lalu berkata dengan suara mengandung geram kekecewaan dan kemarahan.

   "Nenek moyang kami Cu Keng Ong itu telah mewariskan suling emas dan ilmu pusakanya kepadamu. Baiklah, mulai sekarang kami tidak akan memakai lagi nama Lembah Gunung Suling Emas, melainkan kami ganti menjadi Lembah Gunung Naga Siluman! Dan kau tunggulah, Kam Hong, biarpun engkau telah mewarisi ilmu yang tadinya menjadi milik keluarga kami, akan tetapi kami masih mempunyai ilmu pusaka yang lain, yang diciptakan oleh Toa-pek kami sendiri. Kelak akan tiba saatnya bahwa Ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu akan dikalahkan oleh ilmu keluarga kami, yaitu Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman)!"

   Kam Hong menarik napas panjang dan menjura.

   "Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Perkenankanlah kami pergi dari sini."

   Cu Han Bu dapat mengatasi kekecewaannya. Melihat sikap tamunya yang cukup hormat dan tidak merasa tinggi hati oleh kemenangannya itu, dia pun menarik napas panjang dan balas menjura,

   "Saudara Kam Hong, maafkan sikap kami yang kecewa karena nasib telah mempermainkan kami yang kehilangan benda pusaka dan ilmu pusaka ini. Mari kuantar kalian sampai ke jembatan tambang."

   Setelah berkata demikian, Cu Han Bu seorang diri saja lalu menemani Kam Hong dan Ci Sian menuju ke tepi jurang yang amat curam itu. Ketika mereka tiba di tepi jurang, Cu Han Bu memandang ke arah para penjaga jembatan itu dan bertanya dengan tegas.

   "Apakah kalian tadi melihat Nona di sini?"

   Para penjaga nampak ketakutan mendengar pertanyaan itu. Seorang di antara mereka, kepala jaga, lalu memberi hormat dan menjawab,

   "Harap ampunkan kami.... tadi Cu-siocia (Nona Cu) memaksa kami untuk memasang tambang dan dia telah menyeberang. Kami tidak berani menolak permintaannya."

   Dalam keadaan biasa, tentu Cu Han Bu akan menjadi marah dan melakukan mengejaran kepada puterinya. Akan tetapi saat itu hatinya sedang kesal dan murung, maka dia pun tidak peduli lalu memberi tanda agar jembatan tambang itu diangkat dan membiarkan dua orang tamunya menyeberang.

   "Silakan, Saudara Kam Hong."

   Cu Han Bu mempersilakan ketika jembatan tambang itu sudah diangkat dan membentang lurus menyebe-rang jurang. Melihat tambang itu dan membayangkan betapa dia dan Kam Hong berdua harus menyeberang meninggalkan tuan rumah yang berada dalam keadaan marah, kecewa dan penasaran itu, hati Ci Sian tentu saja merasa ngeri sekali.

   "Nanti dulu, Paman Kam Hong"

   Katanya menahan lengan pendekar itu yang sudah siap menyeberang.

   "Berbeda dengan ketika kita datang sebagai tamu, kini kita pergi sebagai orang-orang yang dimusuhi dan tidak disukai, dan kalau ketika datang kita menyeberang bersama mereka, kini kita harus menyeberang berdua saja. Bagaimana kalau selagi tiba di tengah-tengah jembatan, tambang ini lalu dibikin putus olehnya?"

   Kam Hong terkejut sekali mendengar kelancangan ucapan Ci Sian ini, akan tetapi tiba-tiba Cu Han Bu sudah mengeluarkan teriakan nyaring dan pendekar itu mengangkat tangan kanan ke atas. Kam Hong sudah siap untuk melindungi Ci Sian, akan tetapi pria yang kini matanya melotot dan mukanya menjadi merah itu menurunkan tangan kanannya dan mencengkeram jari kelingking tangan kirinya sendiri. Terdengar bunyi tulang patah dan darah mengucur ketika jari kelingking tangan kirinya sendiri itu telah remuk dan lenyap setengahnya! Ci Sian terbelalak memandang dengan muka pucat.

   "Nona.... kau.... kau sudah berkali-kali terlalu menghina kami!"

   Cu Han Bu berkata, matanya masih melotot dan napasnya agak terengah menahan marah.

   "Kalau tidak melihat muka Saudara Kam Hong, aku tentu sudah membunuhmu! Akan tetapi kalau lain kali kita bertemu kembali, aku takkan dapat mengampunimu lagi!"

   Ci Sian merasa ngeri, bukan hanya melihat sikap orang itu, akan tetapi juga melihat jari kelingking yang hancur dan masih meneteskan darah segar itu. Akan tetapi pada saat itu, Kam Hong sudah menarik tangannya dan mengajaknya meloncat ke atas tambang dan dengan cepat berlari ke seberang. Setelah mereka dengan selamat meloncat ke daratan di seberang, tambang itu lalu diturunkan kembali dan lenyap di dalam kabut. Legalah rasa hati Ci Sian setelah mereka selamat sampai ke darat.

   "Ci Sian, mengapa engkau begitu lancang mulut sehingga membikin marah Cu Han Bu seperti itu? Lain kali engkau harus berhati-hati kalau bicara, jangan menurutkan hati dan pergunakan kebijaksanaan."

   Ci Sian kaget, sejenak dia menatap wajah Kam Hong karena suara teguran itu benar benar dirasakan amat pedas dan menusuk, dan tiba-tiba dia menangis. Bukan menangis manja, melainkan menangis sedih sekali. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi, ayahnya yang diharapkannya itu ternyata mengecewakan hatinya dan dia tidak mungkin hidup di samping ayahnya yang telah mempunyai isteri begitu banyak. Kini tinggal Kam Hong seoranglah yang dianggapnya sebagai pelindung dan orang terdekat, dan sekarang.... Kam Hong agaknya marah-marah dan tidak senang kepadanya. Karena sedih, maka dia menangis. Melihat Ci Sian menangis, Kam Hong menggeleng-geleng kepala, lalu menghampiri dan memegang pundaknya.

   "Sudahlah, kenapa kau malah menangis?"

   Akan tetapi Ci Sian menarik pundaknya dari sentuhan Kam Hong, lalu di antara isaknya dia berkata.

   "Dia orang jahat.... hu-huuh, dia mengancam untuk membunuhku, kau.... kau peduli apa? Aku.... aku hanya membikin susah padamu saja...."

   Kam Hong menyambar lengan dara itu dan menariknya dekat,

   "Kau marah oleh teguranku tadi? Ci Sian, ingatlah, aku menegur demi kebaikanmu! Dan selama ada aku di sampingmu, takkan ada seorang pun yang boleh mengganggumu! Akan tetapi.... ada waktunya berkumpul tentu akan datang saatnya berpisah, dan karena itu engkau harus mempelajari ilmu yang kita temukan itu dengan tekun agar kelak engkau akan mampu menjaga diri sendiri kalau terancam oleh lawan yang lihai."

   Ci Sian mengangkat muka memandang wajah itu.

   "Kau.... kau tidak marah kepadaku, Paman?"

   Terpaksa Kam Hong tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Aku tidak marah, aku menegur agar engkau sadar bahwa hal itu berbahaya bagimu sendiri."

   Ci Sian merangkul pundak dan menyembunyikan mukanya di dada Kam Hong.

   "Paman.....aku tidak punya siapa-siapa lagi kecuali engkau, maka janganlah kau marah padaku...."

   Kam Hong mendekap dan sejenak hatinya merasa amat terharu, kemudian berdebar aneh ketika menyadari betapa dia mendekap dara remaja itu. Teringat akan ini cepat-cepat dia dengan halus melepaskan dekapannya dan mendorong tubuh dara itu menjauh sambil berkata,
(Lanjut ke Jilid 21)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21
"Sudahlah, mari kita mulai berlatih. Engkau telah mulai maju dalam latihan gin-kang menurut ilmu penghimpunan khi-kang dari tiupan suling, maka mari kita lanjutkan latihan gin-kang itu. Mari kita lari ke puncak bukit di depan itu dan pergunakan semua tenagamu."

   "Baik, Paman, mari kita berlumba!"

   Ci Sian sudah melupakan kesedihannya. Air matanya masih belum kering, kedua pipinya masih basah, akan tetapi bibirnya yang manis itu telah tersenyum lagi ketika dia mulai meloncat dan lari ke depan dengan cepat seperti seekor kijang betina muda yang bahagia. Kam Hong tersenyum dan dia pun mengejar, maka berlarianlah dua orang itu menuju ke puncak bukit di depan. Ketika dia berlari-lari di samping Ci Sian, Kam Hong seolah-olah mendengar suara nyanyian yang timbul dari perasaan hatinya sendiri, yang membuat dia merasa demikian senang. Dia sendiri merasa heran sekali dan dia masih dalam keadaan meraba-raba dan menduga-duga apakah ini yang dinamakan cinta asmara? Benarkah dia jatuh cinta kepada Ci Sian? Pertanyaan ini selama ini selalu berbisik di dalam hatinya dan dia belum berani menentukannya.

   Dahulu, sebelum dia bertemu dengan Ci Sian, dia selalu menganggap bahwa dia mencinta calon isterinya, Yu Hwi, sungguhpun antara dia dan Yu Hwi belum pernah terjadi perhubungan yang akrab, bahkan ketika Yu Hwi mendengar akan pertunangan itu, Yu Hwi lalu melarikan diri, hal itu juga membuktikan bahwa Yu Hwi tidak setuju dengan perjodohan itu dan berarti pula tidak cinta kepadanya. Akan tetapi, karena adanya ikatan jodoh itu membuat dia selalu mengenangkan Yu Hwi, kenangan yang luar biasa karena dia mula-mula mengenal Yu Hwi sebagai seorang pemuda bernama Kang Swi Hwa (baca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI), dan dialah yang membuka rahasia Kang Swi Hwa itu sebagai seorang gadis ketika dia hendak mengobati "pemuda"

   Itu dan melihat bahwa pemuda itu mempunyai dada seorang dara!

   Kenangan inilah yang mengingatkan dia akan Yu Hwi sebagai seorang wanita, lebih lagi sebagai seorang calon isterinya, kenangan yang lucu, mesra dan aneh. Ini pula agaknya yang membuat dia merasa selalu rindu kepada Yu Hwi dan ini pula yang membuat dia mengira bahwa dia mencinta Yu Hwi. Akan tetapi, semenjak dia bertemu dengan Ci Sian beberapa tahun yang lalu, sejak Ci Sian hanya seorang dara cantik berusia tiga belas tahunan, ada sesuatu di dalam hatinya yang melekat kepada dara ini. Kini, setelah berjumpai kembali dengan Ci Sian sebagai seorang dara yang sudah dewasa, dia merasa seolah-olah Yu Hwi hanya merupakan bayangan mati dan kini terganti oleh seorang dara yang benar-benar hidup dan yang membutuhkan perlindungannya! Apalagi setelah dia berjumpa sendiri dengan Yu Hwi dan menyaksikan sikap calon isterinya itu, bayangan lama tentang Yu Hwi itu seketika lenyap sama sekali dan dia merasa gembira!

   Kalau dulu dia tidak berani memikirkan bahwa dia tertarik kepada Ci Sian karena dia selalu ingat bahwa dia adalah seorang pria yang sudah mempunyai calon isteri, jodoh yang sudah ditentukan sehingga haram baginya untuk menoleh kepada wanita lain, kini dia merasa seolah-olah dia telah terbebas dari belenggu ikatan itu. Dia telah bebas, sama bebasnya dengan Ci Sian. Inilah agaknya yang mendatangkan rasa senang sekali di saat dia lari di samping Ci Sian itu. Benarkah dia telah jatuh cinta kepada dara ini? Dara yang memanggilnya paman, yang memang sepatutnya menjadi keponakannya? Dia tahu bahwa usia Ci Sian kurang lebih baru tujuh belas tahun, sedangkan dia sendiri sudah berusia dua puluh tujuh tahun! Pantaskah kalau dia jatuh cinta kepada dara remaja ini? Akan tetapi, pada saat itu keraguan kecil ini segera lenyap seperti awan tipis terhembus angin.

   Dia merasa gembira, bahkan dia ingin berloncatan dan bermain-main seperti kembali menjadi anak-anak, atau setidaknya kembali menjadi semuda Ci Sian. Cinta asmara memang sesuatu pengalaman hidup yang amat luar biasa bagi setiap orang manusia. Segala macam perasaan tercakup di dalamnya. Ada dorongan-dorongan yang timbul dari dalam, bukan dari pikiran, yaitu membuat kita merasa amat mesra, ingin selalu berdekatan, ingin selalu memandang, ingin selalu menyenangkan hatinya, ingin selalu mendengar suaranya. Ada sesuatu yang sukar diselidiki, yang timbul di luar kesadaran kita, sesuatu yang amat mengharukan, yang mendorong hati kita untuk condong bersatu dengan dia, takkan terpisah lagi, ada sesuatu yang lebih daripada sekedar kegembiraan, sekedar dorongan berahi belaka.

   Akan tetapi, kalau kita tidak berhati-hati, pikiran yang selalu ingin mengejar kesenangan pribadi, baik kesenangan jasmani atau rohani, pikiran dapat menimbulkan bayangan-bayangan kenikmatan nafsu yang menjurus kepada nafsu berahi dan sekali nafsu menguasai batin, menjadi yang terpenting, maka akan cemarlah yang dinamakan cinta itu. Berahi adalah soal yang wajar, tuntutan jasmani, daya tarik antara pria dan wanita, yang alamiah karena dari daya inilah lahirnya keinginan untuk bersatu dan dari sinilah pula datangnya rahasia perkembangbiakan manusia, anak beranak. Daya tarik ini merupakan sesuatu yang wajar, tanpa ada unsur kesengajaan, karenanya alamiah dan gaib, dan hal itu tercakup pula dalam cinta.

   Akan tetapi, begitu nafsu berahi dipupuk oleh pikiran dengan dasar mencari kepuasan atau kenikmatan, akan rusaklah segala-galanya dan cinta menjadi sesuatu yang mungkin saja menimbulkan segala macam kerusakan, kekerasan, konfllk dan kesengsaraan. Cinta yang sudah dicengkeram dan dikuasai oleh nafsu berahi itu, yang pada hakekatnya adalah nafsu keinginan menyenangkan dirl sendiri belaka, akan menimbulkan cemburu, ingin menguasai, bahkan dapat berbalik menjadi benci kalau keinginan menyenangkan dirinya sendiri itu terhalang. Akan tetapi, kalau pikiran membentuk nafsu keinginan menyenangkan diri sendiri itu tidak mencampuri, tidak mengotori, yang tinggal hanyalah kewajaran cinta yang amat indah, cinta yang sinarnya memenuhi seluruh jagat dan menembus ke lubuk hati setiap orang manusia, yang getarannya menghidupkan segala sesuatu yang nampak maupun yang tidak nampak.

   Kalau sudah ada sinar dan getaran cinta itu, maka tidak ada lagi persoalan, segala sesuatu menjadi indah dan suci, bahkan berahi pun menjadi sesuatu yang indah dan suci, cinta asmara antara seorang pria dan seorang wanita pun menjadi sesuatu yang indah dalam sinar cinta kasih. Pada saat Kam Hong berlari-larian dengan Ci Sian itu, sinar cinta kasih menerangi hatinya, mendatangkan perasaan yang amat luar biasa, kebahagiaan yang tidak terpisah dari alam, dari segala-galanya yang nampak, batinnya begitu penuh dengan kebebasan dan keheningan, yang ada hanya rasa bahagia itu saja, yang lain-lain tidak ada lagi! Kiranya setiap orang pernah merasakan hal ini, namun sayang, hanya sekilas saja karena batin sudah diserbu lagi oleh keinginan-keinginan memuaskan diri dengan kesenangan-kesenangan.

   Bahkan rasa bahagia itu pun lalu berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar! Sayang! Ketika mereka tiba di puncak bukit, tiba-tiba Ci Sian yang agak terengah-engah karena memang tenaganya belum kuat benar dan dia tadi telah mengerahkan terlalu banyak tenaga, berhenti berlari dan menuding ke depan. Keringat halus memenuhi leher dan dahinya. Kam Hong ikut memandang ke depan dan nampaklah olehnya seorang pemuda di atas lereng bukit di depan, lalu pemuda itu berhenti dan muncul dua orang kakek. Agaknya terjadi percekcokan dan pemuda itu berkelahi dengan dua orang kakek. Akan tetapi hanya dalam waktu singkat, pemuda itu kena ditawan, agaknya pingsan lalu dipanggul oleh seorang di antara dua kakek itu dan dibawa pergi.

   "Dia itu Cu Pek In....!"

   Kata Kam Hong.

   "Ci Sian, kau tunggu saja di sini, aku harus mengejar mereka dan menolong Nona Cu!"

   Setelah berkata demikian, sekali berkelebat saja Kam Hong telah pergi dan lenyap dari situ, mengejar ke depan, turun dari puncak bukit itu. Ci Sian juga mengenal bahwa pemuda yang ditawan oleh dua orang kakek itu adalah Cu Pek In, gadis puteri majikan Lembah Suling Emas atau yang kini dirobah namanya menjadi Lembah Naga Siluman, merasa tidak enak ditinggal sendirian saja di puncak bukit yang sunyi itu. Maka dia pun lalu mengerahkan tenaganya ikut lari mengejar turun dari puncak itu. Akan tetapi, ternyata dua orang kakek itu sudah tidak nampak lagi bayangan mereka dan juga Kam Hong sudah lenyap sehingga Ci Sian menjadi bingung,

   Akan tetapi dia masih terus mengejar, lari turun bukit menuju ke bukit di mana tadi Pek In dan dua orang kakek itu nampak. Dengan napas terengah-engah dan tubuh basah oleh keringat akhirnya Ci Sian terpaksa berhenti di lereng bukit itu karena dia merasa bingung. Dia tidak tahu ke mana larinya dua orang kakek yang menawan Cu Pek In tadi, juga tidak lagi melihat bayangan Kam Hong yang mengejar mereka. Dia juga tidak tahu apakah dia tidak tersesat jalan. Dia merasa bingung dan khawatir. Membayangkan bahwa dia akan terpisah selamanya dari Kam Hong, ingin rasanya dia menangis dan ingin dia berteriak-teriak memanggil nama Kam Hong. Akan tetapi dia menahan diri. Dia merasa malu kalau harus berteriak-teriak memanggil, apalagi baru saja Kam Hong telah menegurnya.

   Dia tidak akan sembarangan lagi membuka mulut. Pula, Kam Hong adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian hebat, apa sukarnya bagi pendekar itu untuk mencari dan menemukannya? Dia harus bersikap tenang, seperti Kam Hong. Bukankah dia juga diakui sebagai adik seperguruan? Masa adik seperguruan Pendekar Suling Emas yang perkasa itu harus menjadi seorang gadis cengeng dan penakut? Dengan pikiran itu yang merupakan hiburan baginya, pulih kemball semangat dan keberaniannya dan mulailah dia berjalan menuruni bukit itu dengan hati-hati sambil memasang mata, tidak lagi lari seperti tadi. Hari telah makin menua, matahari mulai kebarat, dan biarpun dia mulai merasa khawatir lagi, namun diberani-beranikan hatinya dan dia melangkah terus. Dia mendaki bukit penuh salju di depan karena dia melihat tapak kaki di atas salju tebal.

   Ketika dia tiba di lereng bukit itu, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan memasang telinga dengan penuh perhatian. Ada suara berdengung-dengung atau mengaung-aung dari arah kiri. Tadinya dia mengira bahwa itu suara suling dari Kam Hong, akan tetapi ternyata bukan, suara suling tidak seperti itu, mengaung dan kadang-kadang berdesing tajam itu lebih mirip suara gerakan pedang yang luar biasa sekali, akan tetapi dia pun meragu karena mana mungkin gerakan pedang biasa berdengung seperti itu, seperti berirama dan menyanyikan lagu aneh! Betapapun juga, dia merasa yakin bahwa itu pasti bukan suara angin bertiup melalui lubang atau mempermainkan pohon karena di bukit itu semua pohon gundul tertutup salju. Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa suara itu tentu ditimbulkan oleh manusia, dan siapa pun adanya manusia itu,

   Harus dia temui untuk ditanya kalau-kalau tadi melihat Kam Hong. Dan siapa pun dia, lebih baik bertemu manusia lain daripada berkeliaran seorang diri saja di tempat yang lengang itu. Dengan hati tabah dia lalu melanjutkan langkahnya, kini dengan langkah lebar menuju ke kiri, melalui bagian yang banyak batunya dan akhirnya dia tiba di depan sebuah batu besar sekali dan berhenti, memandang dengan bengong dan mau tidak mau bulu tengkuknya meremang karena kini jelas olehnya bahwa suara mengaung-aung itu keluar dari dalam batu besar itu! Hampir dia tidak percaya! Akan tetapi tak salah lagi, suara itu keluar dari dalam batu besar. Dia menempelkan telinganya pada batu itu dan suara itu makin jelas, dan kini dia tidak salah lagi, suara itu pasti suara gerakan pedang yang memang amat luar biasa sekali.

   Akan tetapi, mana mungkin pedang digerakkan orang di dalam sebuah batu yang amat besar, sebesar pondok? Mulailah dia membayangkan siluman atau iblis penghuni batu besar itu. Akan tetapi, selama hidupnya, biarpun dia seringkali mendengar dongeng tentang setan dan iblis, dia belum pernah bertemu dengan iblis! Maka dia lalu mengambil sebuah batu dan mengetuk-ngetuk batu besar itu beberapa kali. Dan tiba-tiba suara mengaung-aung itu pun berhenti! Suasana menjadi sunyi sekali setelah suara itu berhenti, sunyi yang terasa amat tidak enak bagi Ci Sian. Suara itu setidaknya meyakinkan dia bahwa dia tidak seorang diri saja di tempat yang lengang itu. Dan menghilangnya suara itu membuat dia merasa ditinggalkan sendirian lagi. Maka dia mengetuk-ngetuk lagi pada batu besar dan kini disusul teriakannya,

   
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Haiii! Adakah orang di dalam batu ini?"

   Karena ketegangan hatinya takut di tinggalkan orang, Ci Sian sampai tidak sadar betapa lucunya pertanyaan yang dikeluarkannya itu. Biasanya, kalau orang bertanya, tentu bertanya apakah ada orang di dalam rumah, tapi kini dia bertanya apakah ada orang di dalam batu! Mana mungkin ada orang di dalam batu? "Haiii! Siapakah yang berada di dalam batu?"

   Kembali dia berteriak dan memukul-mukulkan batu yang dipegangnya itu pada batu besar. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam batu! Suara itu terdengar aneh, seperti mulut tersumbat, akan tetapi cukup dapat didengarnya,

   "Sumoi, engkaukah itu?"

   Bukan main girangnya hatinya. Tentu Kam Hong itu! Siapa lagi yang menyebutnya sumoi kalau bukan Kam Hong? Biarpun biasanya Kam Hong menyebutnya Ci Sian, akan tetapi bukankah pendekar itu sudah mengakui dia sebagai sumoinya? Dan kalau suara Kam Hong seperti itu, tidak aneh karena pendekar itu berada di dalam batu! Tentu suaranya seperti tersumbat. Dan di dunia ini mana ada manusia lain kecuali Kam Hong yang memiliki cukup kesaktian untuk masuk ke dalam batu besar?

   "Benar, Suheng, ini aku!"

   Teriaknya dengan nyaring. Karena Kam Hong me-nyebutnya sumoi, mengapa dia tidak menyebutnya suheng? Masa kalau dia dipanggil sumoi (adik seperguruan), lalu dia menjawabnya dengan sebutan paman? Dan lagi, kalau diingat-ingat, dia memang jauh lebih senang menyebut suheng daripada menyebut paman kepada Kam Hong.

   "Mau apa engkau datang menyusulku, Sumoi?"

   Kembali terdengar suara itu, suara aneh karena tentu saja tidak leluasa keluarnya dari dalam batu itu.

   "Mau apa menyusulmu?"

   Ci Sian mulai terheran dan mendongkol! Jangan-jangan Kam Hong telah menjadi miring otaknya, kalau tidak masa menyembunyikan diri di dalam batu besar seperti itu dan masih bertanya lagi kepadanya mengapa dia datang menyusul?

   "Bukalah aku mau bicara!"

   Katanya dengan nyaring karena tidak enak kalau berbantahan dari luar dan dalam batu!

   "Tunggu sebentar....!"

   Ci Sian melangkah mundur. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana Kam Hong akan keluar dari dalam batu itu.

   Jangan-jangan batu itu akan meledak dari dalam. Yang lebih mengherankan lagi, bagaimana masuknya? Dia menyabarkan diri karena kalau sudah keluar, tentu Kam Hong akan dapat menjawab semua keheranannya. Tiba-tiba batu besar itu bergerak ke kanan! Dalam keheranannya, Ci Sian hendak menegur, akan tetapi dia menahan diri ketika melihat betapa di balik itu kelihatan lubang hitam yang makin lama makin melebar. Setelah lebarnya cukup, batu itu berhenti dan dari dalam guha yang tersembunyi di balik batu besar itu muncullah seorang pemuda yang langsung meloncat keluar. Ci Sian terkejut, pemuda itu pun terkejut ketika mereka saling pandang. Kemudian wajah mereka nampak berseri ketika mereka saling mengenal.

   "Engkau....?"

   "Engkau....?"

   Pemuda itu pun berseru hampir berbareng.

   "Bukankah engkau eh...., Siauw Goat dan kita pernah berjumpa lima tahun yang lalu?"

   Suaranya penuh keraguan karena ketika dia bertemu dengan dara ini, belumlah sebesar ini, masih merupakan seorang gadis cilik, bukan seorang dara remaja yang cantik jelita seperti ini.

   "Dan engkau tentu Sim Hong Bu, pemuda pemburu itu, bukan?"

   Ci Sian menjawab.

   "Kau tadi kusangka Sumoi...."

   "Dan engkau kusangka Suheng...."

   Keduanya diam dan segera keduanya tertawa karena baru terasa oleh mereka betapa pertemuan itu membuat mereka terkejut, heran dan juga girang sehingga mereka mengeluarkan kata-kata yang hampir berbareng dan bersamaan artinya, sehingga tidak terjadi tanya jawab se-bagaimana mestinya dan percakapan itu menjadi kacau!

   "Hong Bu, ketika kita saling jumpa, kita masih belum dewasa, masih kecil. Akan tetapi engkau dapat mengenalku dengan seketika, apakah aku masih sama saja dengan ketika masih kecil dahulu?"

   Hong Bu yang sejak tadi memandang dengan bengong seperti orang penuh pesona, penuh kagum, mendengar pertanyaan yang jujur itu, lalu menjawab sejujurnya pula.

   "Memang tidak ada bedanya dalam pandang matamu yang tajam, senyummu yang khas, akan tetapi engkau.... engkau sekarang, hemmm, cantik jelita sekali, Siauw Goat!"

   Tiba-tiba wajah dara itu berubah merah, bukan merah karena marah melainkan karena malu, dan untuk menyembunyikan rasa malu ini dia cepat berkata,

   "Jangan sebut aku Siauw Goat lagi, Aku bukan anak kecil lagi maka namaku bukanlah Bulan Kecil lagi, melainkan Ci Sian, Bu Ci Sian. Hong Bu, siapakah adanya Sumoimu yang kau sebut-sebut tadi?"

   "Bu Ci Sian....? Sungguh nama yang indah sekali... tapi mengapa dulu namamu Siauw Goat....?"

   Mendengar pujian ini dan betapa Hong Bu tidak menjawab pernyataannya bahkan bertanya tentang namanya, Ci Sian cemberut, akan tetapi menjawab juga.

   "Siauw Goat hanya nama julukan yang diberikan orang kepadaku di waktu aku masih kecil saja, namaku yang sebenarnya adalah Bu Ci Sian, akan tetapi nama itu sama sekali tidaklah indah...."

   "Siapa bilang tidak indah? Nama itu bagus sekali, Siauw.... eh, Ci Sian!"

   "Sudahlah, sekarang jawab pertanyaanku, siapakah Sumoimu itu?"

   "Sumoiku? Ah, Sumoiku bernama Cu Pek In...."

   Hong Bu terhenti karena melihat betapa dara itu menjadi terkejut sekali dan wajah dara yang jelita itu berobah, alisnya berkerut dan pandang matanya tak senang. Kemudian, semakin terkejutlah hati Hong Bu ketika dia melihat dara itu mengepal tinjunya dan melangkah maju mendekatinya dengan sikap mengancam.

   "Bagus, jadi engkau adalah murid keluarga Cu yang jahat itu, ya? Engkau murid keluarga siluman itu? Nah, suatu kesempatan bagiku untuk membasmi muridnya lebih dulu sebelum membasmi guru-gurunya!"

   Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali Ci Sian lalu menerjang ke depan dan menyerang dada Hong Bu!

   "Eh, Ci Sian.... eh, ada apa ini....?"

   Hong Bu terkejut akan tetapi dia hanya mengelak ke kanan kiri ketika dara itu menyerangnya secara bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga yang cukup dahsyat. Akan tetapi Ci Sian tidak bicara lagi melainkan menyerang semakin ganas. Harus diketahui bahwa pada waktu itu, tingkat kepandaian Sim Hong Bu telah mengalami perubahan yang amat hebat. Selama hampir lima tahun dia telah digembleng oleh tiga orang kakak beradik Cu yang melatihnya dengan tekun dan keras, sesuai dengan pesan mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti. Dan karena Hong Bu memang seorang anak kecil yang amat berbakat, ditambah lagi semangatnya yang besar, maka dalam waktu empat tahun saja dia telah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi keluarga itu dengan baiknya,

   Bahkan dalam hal penghimpunan tenaga sin-kang dan kematangan ilmu silat, dia telah jauh melampaui Cu Pek In, dan bahkan sudah mendekati tingkat Cu Kang Bu ataupun Cu Seng Bu. Kini, dia mulai disuruh oleh guru-gurunya untuk mengasingkan diri di dalam guha di mana dia pernah diajak oleh Yeti, dan disuruh mematangkan ilmu-ilmunya yang telah dipelajarinya selama ini dan juga untuk mulai melatih diri dengan ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang Kwan terutama sekali Ilmu Pedang Koai-liong-kiam itu. Oleh karena itu, kini menghadapi Ci Sian, kalau dia mau melawan, tentu tidak sukar baginya untuk merobohkan dara ini yang belum benar-benar menerima pelajaran Ilmu silat dari Kam Hong. Akan tetapi, Sim Hong Bu sama sekali tidak tidak mau melawan.

   Begitu berjumpa dengan Ci Sian, terjadi sesuatu yang aneh dalam hatinya. Dia terpesona dan kagum, tertarik sekali kepada dara yang pernah dijumpainya lima tahun yang lalu itu, dan kini menghadapi serangan-serangan ganas dari Ci Sian, dia hanya merasa terkejut dan terheran-heran saja. Sedikit pun dia tidak bermaksud untuk melawan, hanya mengelak terus dan kadang-kadang saja menangkis tanpa menggunakan terlalu banyak tenaga karena dia tidak ingin menyakiti lengan Ci Sian. Akan tetapi, hal itu malah menambah kemarahan dan rasa penasaran di dalam hati Ci Sian. Melihat betapa Hong Bu hanya selalu mengelak dan menangkis tanpa membalas sedikit pun, sedangkan dia sudah mengeluarkan semua kepandaian untuk menyerang dan semua tidak ada hasilnya sama sekali membuat dia penasaran dan hampir menangis.

   "Balaslah! Hayo balaslah, kau pengecut, murid keluarga iblis!"

   Bentaknya berkali-kali sambil terus menyerang. Hong Bu yang merasa terkejut dan terheran-heran itu mengerti bahwa sikapnya yang tidak melawan itu agaknya malah menyinggung hati Ci Sian. Dia tidak mengerti akan watak yang dianggapnya aneh dan lucu itu, akan tetapi dia pun merasa kasihan ketika mendengar betapa di dalam suara dara itu terkandung isak tertahan. Maka ketika Ci Sian memukul lagi ke dadanya, dia sengaja berlaku lambat ketika mengelak.

   "Dukkkk....!"

   Tubuhnya terlempar ke belakang dan terpelanting. Begitu melihat pukulannya mengenai sasaran, Ci Sian merasa girang akan tetapi juga berbareng merasa kaget bukan main. Akan tetapi hatinya lega melihat Hong Bu tidak mati dan dia malah menjadi ragu-ragu untuk menyerang lebih lanjut ketika melihat Hong Bu bangkit kembali dengan wajah memperlihatkan rasa penasaran dan juga kedukaan itu.

   "Ci Sian, harap kau bersabar.... mengapa engkau marah-marah dan benci kepadaku, menyerang tanpa alasan?"

   Hong Bu bertanya sambil mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor oleh debu ketika dia terjatuh tadi. Tentu saja pukulan yang sengaja diterimanya dengan dada tadi sama sekali tidak melukainya dan tidak terasa nyeri karena dia sudah melindungi dadanya dengan sin-kang yang lemas sehingga dara itu pun tidak sampai terluka tangannya. Ci Sian memandang ke arah dada kiri pemuda yang terpukul olehnya tadi. Dia tadi mengerahkan tenaganya dan pukulannya tadi keras sekali, cukup keras untuk membunuh orang!

   "Tidak.... tidak sakitkah dadamu yang kupukul?"

   Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Hong Bu tertawa. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk menahan rasa geli di hatinya itu dan juga dia merasa amat girang. Kiranya Ci Sian bukanlah seorang dara kejam, buktinya begitu dia kena terpukul, gadis itu bertanya dengan nada suara penuh kekhawatiran! Maka dia cepat-cepat meringis dan mengusap-usap dadanya yang tadi terpukul.

   "Bukan main nyerinya.... pukulanmu kuat dan dahsyat sekali.... akan tetapi.... tidak mengapalah, biarlah sebagai hukumanku kalau aku memang bersalah. Akan tetapi, bersalahkah aku kepadamu, Ci Sian? Dan kalau ada salah, apakah kesalahanku itu maka engkau menjadi begitu marah dan memukulku?"

   Setelah dia berhasil memukul dada Hong Bu, sudah lenyaplah rasa penasaran dan kemarahan dari hati Ci Sian dan timbul rasa kasihan kepada pemuda itu. Bagaimanapun juga, pemuda itu sama sekali tidak mempunyai kesalahan apa pun terhadap dia. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mengakui hal ini dan dengan muka tetap cemberut, biarpun suaranya tidak sekeras tadi dia berkata,

   "Keluarga Cu itu gurumu, bukan? Benar, keluarga penghuni Kim-siauw San-kok (Lembah Gunung Suling Emas ) karena mulai sekarang mereka tidak berhak memakai lagi nama julukan Suling Emas. Mereka itu telah kalah oleh Suhengku dan sudah berjanji takkan lagi memakai nama Suling Emas."

   "Eh, apakah yang telah terjadi, Ci Sian? Aku tidak mengerti apa yang kau katakan itu, juga aku sama sekali tidak tahu mengapa engkau memusuhi keluarga Cu sehingga engkau marah-marah kepada aku yang menjadi murid mereka. Marilah, kita duduk dan bicara dengan tenang."

   Mereka lalu duduk di depan batu besar yang menutupi guha itu. Ci Sian sudah tidak marah lagi sungguhpun ada rasa kecewa dalam hatinya bahwa pemuda yang menyenangkan ini ternyata adalah murid dari musuh-musuhnya yang dibencinya. Ya, dia membenci keluarga Cu, karena bukankah keluarga itu hendak membunuhnya, bahkan pada menjelang perpisahan, Cu Han Bu masih juga mengeluarkan ancamannya?

   "Nah, sekarang ceritakanlah kepadanya apa artinya semua ini, Ci Sian?"

   "Ceritakan dulu bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi murid mereka."

   Kata Ci Sian. Hong Bu tersenyum lalu menarik napas panjang. Dara ini sungguh amat memikat hatinya, dan biarpun dara ini sedang berada dalam keadaan marah, namun tidak mengurangi daya tariknya yang amat kuat. Dan dia merasa yakin bahwa kemarahan dara itu kepadanya secara tiba-tiba bukannya tidak ada alasannya yang kuat, oleh karena itu biarpun belum mendengarkan alasan itu pun dia sudah dengan rela memaafkan gadis itu!

   "Aku menjadi murid mereka secara kebetulan saja."

   Dia mulai menceritakan keadaan dirinya. Dia harus merahasiakan tentang mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti.

   "Secara kebetulan aku terbawa oleh rombongan orang-orang kang-ouw menjadi tamu di Lembah Suling.... eh, di lembah keluarga Cu itu dan karena ternyata bahwa pedang Koai-liong-kiam berada di tanganku, maka aku ditetapkan menjadi ahli waris pedang itu dan ilmunya, dan karena pedang itu berasal dari keluarga Cu, maka dengan sendirinya aku menjadi murid mereka. Selama hampir lima tahun aku belajar ilmu dari mereka, yaitu ketiga orang Suhuku she Cu itu. Nah, demikianlah pengalamanku mengapa aku menjadi murid mereka, Ci Sian. Dan sekarang, ceritakanlah mengapa engkau membenci mereka....?"

   "Kalau engkau murid mereka, mengapa engkau sekarang berada di sini sehingga engkau tidak tahu apa yang terjadi di lembah?"

   Ci Sian masih merasa tidak puas.

   "Sejak tiga bulan yang lalu aku tidak pernah keluar dari dalam guha di balik batu ini, Ci Sian. Karena sudah tiba saatnya bagiku untuk mempelajari ilmu pedang yang diwariskan kepadaku. Kalau tidak engkau mengetuk-ngetuk pada batu tadi, sampai sekarang pun aku belum keluar dari dalam guha itu."

   "Dan kau sangka.... aku.... Sumoimu.... hemm.... gadis yang berpakaian pria itu?"

   "Ya, benar. Kau sudah mengenal Sumoi Cu Pek In?"

   "Tentu saja, aku sudah bertemu dengan banci itu!"

   "Banci?"

   Sepasang mata Hong Bu terbelalak heran.

   "Ya, banci. Seorang dara yang selalu mengenakan pakaian pria, apalagi kalau bukan banci namanya?"

   Hong Bu tertawa geli dan Ci Sian memandang marah.

   "Kenapa kau tertawa?"

   "Karena kau lucu, Ci Sian. Dia bukan banci. Dia berpakaian pria semenjak kecil, karena dahulu, mendiang ibunya ingin sekali mempunyai seorang anak laki-laki. Maka dia menjadi terbiasa dan sampai sekarang suka sekali berpakaian pria. Mendengar bahwa ibu dari Pek In sudah tidak ada, diam-diam Ci Sian merasa berkurang bencinya kepada dara yang senasib dengan dia itu.

   "Apakah yang telah terjadi di lembah dan mengapa engkau dapat datang ke tempat ini, Ci Sian?"

   "Aku dan Suheng, kau tahu siapa Suheng, dia adalah Pendekar Suling Emas tulen Kam Hong, datang...."

   "Ahhh.... ! Pendekar perkasa yang dulu pernah menolong kita itu? Yang mempergunakan suling emas dan kipas?"

   "Benar, dialah orangnya!"

   Kata Ci Sian bangga.

   "Karena Suheng merasa penasaran dengan julukan Lembah Suling Emas yang menyamai julukannya, maka kami datang ke lembah dan di sana, untuk menentukan siapa yang lebih berhak memakai nama Suling Emas, Suheng mengalahkan tiga orang she Cu itu...."

   "Ahh....!"

   Hong Bu terkejut, di dalam hatinya hampir tidak dapat percaya bahwa ketiga orang gurunya dapat dikalahkan orang.

   "Apa ahhh?"

   Ci Sian menatap tajam.

   "Tidak apa-apa, hanya aku teringat bahwa menurut penuturan para suhu, memang pusaka suling emas itu buatan nenek moyang keluarga Cu, seperti juga pedang Koai-liong-kiam. Oleh karena itulah maka lembah itu dinamakan Lembah Gunung Suling Emas."

   "Andaikata benar begitu, suling itu telah ratusan tahun menjadi milik keluarga Suheng Kam Hong, dan secara gaib Ilmu Kim-siauw Kiam-sut juga oleh pencipta suling itu diwariskan kepada kami, maka Suhenglah yang berhak menyebut diri Suling Emas yang aseli.

   "Lalu bagaimana, Ci Sian? Apakah dalam adu ilmu itu juga ada yang terluka atau tewas?"

   Tanya Hong Bu dengan hati khawatir sekali. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dan diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cu.

   "Hemm, kalau Suheng tidak memberi ampun, apa sukarnya bagi Suheng untuk membasmi mereka yang sombong itu? Suheng hanya mengalahkan mereka dan memenangkan hak memakai nama Suling Emas. Kami lalu meninggalkan lembah...."

   "Kalau begitu, mana Suhengmu itu? Dan mengapa engkau datang sendirian di sini? Jadi kau kira tadi aku Suhengmu itukah?"

   "Ya, aku sedang menyusul Suheng, maka kukira tadi engkaulah Suheng Kam Hong. Semua adalah gara-gara Si Banci.... eh, Cu Pek In itulah."

   "Gara-gara Sumoi? Mengapa? Apa yang terjadi?"

   "Aku dan Suheng sedang meninggalkan lembah, setelah menyeberangi tambang. Ketika kami tiba di puncak bukit, kami melihat Cu Pek In berjalan seorang diri dan dari tempat jauh itu kami melihat betapa dia diserang dan ditawan oleh dua orang kakek...."

   

Jodoh Rajawali Eps 24 Jodoh Rajawali Eps 31 Jodoh Rajawali Eps 22

Cari Blog Ini