Suling Emas Naga Siluman 43
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 43
"Sekarang saya hendak mainkan Lo-hon-kun!"
Kata hwesio bertubuh kecil dan dia pun cepat bergerak dan bersilat. Kembali Ciong-hwesio gembira sekali. Si Kecil ini gerakannya luar biasa gesitnya, dan pukulan-pukulannya sudah matang, padahal Lo-han-kun bukan ilmu silat yang sembarangan saja. Ternyata dua orang ini benar-benar murid Siauw-lim-pai yang tergolong baik ilmu silatnya, agaknya tidak selisih banyak dengan kepandaiannya sendiri.
"Bagus! Ji-wi memang murid-murid Siauw-lim-pai. Nah, dengarlah. Adanya kami bercuriga dan bersikap hati-hati adalah karena kita semua menghadapi urusan yang besar sekali. Mari, mari kita bicara di dalam dan pinceng mengharapkan bantuan Ji-wi untuk melakukan penjagaan."
Hwesio tua itu mengajak dua orang tamunya masuk di dalam dan memberitahukan segala urusannya dengan suara bisik-bisik. Kedua hwesio pendatang baru itu mengangguk-angguk dan nampak serius sekali. Mereka adalah musuh-musuh kerajaan, tentu saja mereka bersiap-siaga untuk membantu teman seperjuangan, apalagi mengenai urusan yang demikian pentingnya.
"Akan tetapi, Ciong-losuhu, kalau memang ada musuh-musuh Pangeran yang hendak membunuh Pangeran itu, mengapa pula pendekar yang membantu kita itu.... siapa namanya, Bu-taihiap? Kenapa dia harus menentang musuh-musuh Pangeran itu?"
Tanya hwesio kecil yang bernama Tan Tek Hosiang.
"Omitohud...., memang sebaiknya kalau pinceng beri tahu. Pertama, kalau sampai Pangeran terbunuh di sini, tentu kita semua akan celaka, apalagi kalau ketahuan bahwa pinceng adalah murid Siauw-lim-pai. Ke dua, Pangeran ini bukan orang jahat, melainkan seorang yang bijaksana sekali, walaupun dia adalah seorang Pangeran Mancu. Ke tiga, dengan adanya penyerbuan kaum sesat itu, terbuka kesempatan bagi kita untuk menculik Pangeran itu dan tuduhan tentu akan jatuh kepada kaum sesat yang melakukan penyerbuan untuk membunuh Pangeran.
"Untuk apa kita menculik Pangeran penjajah itu?"
Tanya Lim Kun Hosiang, Si Tinggi Besar muka hitam.
"Untuk membalas kematian saudara-saudara kita yang dibunuh Kaisar, kenapa kita tidak membunuh saja dia?"
"Omitohud.... semoga Sang Buddha memberi penerangan pada batinmu yang gelap oleh dendam pribadi!"
Kata hwesio tua itu dengan alis berkerut.
"Bukan urusan kita para hwesio soal bunuh-membunuh itu! Pula, kita ingin menahan Sang Pangeran sebagai sandera untuk memaksa Kaisar agar menghentikan permusuhannya kepada Siauw-lim-pai, dan agar membebaskan para pendekar yang ditahan."
Dua orang hwesio itu mengangguk-angguk.
"Baiklah, kami berdua akan membantu dan malam ini kami akan menjaga dengan penuh kewaspadaan agar jangan sampai ada yang dapat mengganggu Sang Pangeran."
Malam ini amatlah sunyi di Kuil Hok-te-kong. Nampaknya saja sunyi, akan tetapi sebetulnya, semua hwesio dikerahkan untuk melakukan penjagaan, terutama sekali di sekitar kamar di mana Pangeran tinggal. Dua orang hwesio tamu juga berjaga-jaga di sekitar kamar itu dan melihat silat kedua orang ini, Ciong-hwesio bahkan memberi tugas kepada mereka berdua untuk melakukan penculikan terhadap Sang Pangeran itu dengan dalih menyelamatkannya dan melarikannya ke luar kuil di mana sudah menanti kuda di belakang kuil, sedangkan hwesio-hwesio lain hanya membantu Bu-taihiap,
Kalau-kalau pendekar itu akan kewalahan menghadapi pihak lawan yang diperkirakan akan kuat sekali, apalagi melihat hadirnya Ngo-ok di kota itu. Anehnya, yang tidak sunyi malah di dalam kamar Pangeran Kian Liong! Pangeran ini menemukan kitab syair kuno di dalam kamar tamu itu, syair tulisan Li Po yang termasyhur. Kini dengan suara merdu, dengan penuh perasaan Pangeran muda itu
(Lanjut ke Jilid 40)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 40
membaca syair kuno dengan tenangnya, suaranya memecahkan kesunyian malam itu! Sungguh aneh, kuil yang biasanya kalau malam terdengar suara orang membaca liam-keng (nyanyi pujaan keagamaan) diiringi ketukan kayu yang nyaring kini tidak terdengar, dan sebaliknya terdengar suara orang membaca sajak. Semua orang berhati tegang, dan orang yang menjadi pusat perhatian dan ketegangan itu malah enak-enak dengan tenangnya membaca sajak!
Akan tetapi, kalau para hwesio itu sempat mengintai ke dalam kamar itu, tentu mereka akan terkejut dan terheran-heran. Mereka mendapat perintah untuk berjaga tanpa mengeluarkan suara, maka tak seorang pun di antara mereka yang berani meninggalkan pos penjagaan, apalagi untuk mengintai kamar Pangeran yang dijaga ketat itu. Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh kedua orang hwesio pendatang baru itu dan sungguh perbuatan mereka amat luar biasa! Dengan gerakan amat hati-hati, seperti dua bayangan setan saja, mereka itu menyelinap dan memasuki kamar Pangeran itu melalui atas genteng di mana mereka memang bertugas jaga. Mereka sebagai orang penting dalam urusan penculikan Pangeran ini memang berjaga di atas sedangkan semua hwesio lainnya disuruhnya berjaga di bawah.
Melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu ada dua orang memasuki kamarnya, tentu saja Sang Pangeran terkejut bukan main dan sebelum dia sempat mengeluarkan suara, orang tinggi besar itu telah menekan pundaknya, membuat tubuhnya lemas dan dia tidak mampu bersuara, sedangkan orang yang tubuhnya kecil terus menyambar kitab syair kuno itu dan melanjutkan pembacaan sajak! Pangeran Kian Liong memandang bengong. Hwesio bertubuh kecil itu dapat membaca sajak itu dengan suara yang walau tidak persis sekali, mirip sekali dengan suaranya sendiri, dan lebih lantang! Sementara itu, hwesio yang tinggi besar itu sudah mendekatkan mulutnya kepada telinganya dan berbisik, membuat Pangeran itu menjadi semakin terheran-heran.
"Tenanglah, Pangeran.... Paduka terancam bahaya maut.... kami berdua datang untuk menyelamatkan Paduka. Hwesio-hwesio itu hendak menculik Paduka, dan ada penjahat-penjahat hendak membunuh Paduka.... hamba tidak dapat bicara banyak, akan tetapi harap Paduka menurut saja. Mengertikan dan percayakah Paduka kepada kami?"
Biarpun terbelalak dan terheran-heran memandang kepada dua orang hwesio aneh ini, namun Pangeran Kian Liong yang sudah banyak mengalami hal aneh dan banyak bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang wataknya luar biasa, mengangguk. Tentu saja dia percaya, karena kalau tidak percaya, mau apa lagi? Dua orang ini kalau hendak berniat buruk, tentu tidak akan banyak bicara lagi dan tentu akan langsung saja membunuhnya. Perlu apa mereka ini membohonginya?
"Bagus,"
Kata atau bisik hwesio tinggi besar muka hitam itu dengan lirih, sedemikian lirihnya sehingga tertutup sama sekali oleh suara rekannya yang membaca sajak dengan suara Sang Pangeran dengan lantangnya itu,
"Harap Paduka dengar baik-baik. Teman hamba ini akan menyamar menjadi Paduka, dan Paduka akan dirias agar berobah menjadi dia, paduka dan dia bertukar tempat, jadi yang diculik nanti adalah dia, bukan Paduka. Mengertikah? Selanjutnya Paduka ikut dan menurut saja semua permintaan hamba."
Kembali Sang Pangeran mengangguk dan tersenyum, karena dia mulai merasa tertarik dan gembira menghadapi pengalaman baru yang aneh ini. Dan kini giliran kedua orang hwesio itulah yang terheran-heran, juga kagum. Pangeran ini, dalam keadaan bahaya, setelah diberi tahu akan keadaan-nya, malah tersenyum dan nampak gembira! Dan erjadilah kini hal yang lebih aneh lagi. Setelah menerima bisikan Si Tinggi Besar itu yang membebaskan totokannya,
Kini hwesio kecil itu menyerahkan kitab syair kepada Pangeran dan atas isyarat hwesio tinggi besar, Pangeran itu melanjutkan bacaan sajak hwesio bertubuh ramping itu dengan suara gembira dan lantang! Dan kini dia melihat hal yang aneh. Hwesio bertubuh kecil itu meraba-raba kepalanya dan.... gundulnya tanggal dan di bawah topeng gundul itu nampak rambut seorang wanita yang hitam halus! Kiranya hwesio bertubuh ramping yang pandai meniru suaranya dan pandai membaca sajak itu adalah seorang wanita yang menyamar! Pangeran ini merasa semakin heran ketika wanita itu meraba-raba mukanya yang kembali ada topeng seperti kulit yang copot dari muka itu dan.... nampaklah wajah yang kulitnya putih kemerahan, wajah seorang wanita cantik! Dan mata itu kini tidak lagi juling! Wanita itu mendekatinya sambil berbisik,
"Maaf, Pangeran!"
Dan mulailah wanita itu mendadaninya. Pangeran Kian Liong hanya mencium bau harum keluar dari rambut wanita itu ketika wanita itu memakaikan topeng kepala gundul dan wajah hwesio itu
"Sayang....,"
Kata wanita itu lirih.
"Paduka tentu tidak dapat membuat mata Paduka juling...."
Tanpa menghentikan suara bacaan sajaknya, Pangeran Kian Liong mencoba menjulingkan matanya, dan wanita cantik itu tersenyum geli, nampak giginya yang putih seperti mutiara.
"Lumayan juga,"
Katanya.
"Akan tetapi malam ini tidak perlu Paduka! menjulingkan mata, hanya kalau perlu saja. Dan ada teman hamba ini yang akan melindungi Paduka."
Tak lama kemudian, selesailah Pangeran itu didandani dan biarpun dalam keadaan tergesa-gesa itu dia tidak persis sekali, namun memang mirip dengan hwesio juling tadi!
"Sekarang maafkan hamba, terpaksa hamba harus mengganti pakaian Paduka"
Dan wanita itu pun menanggalkan jubah hwesionya yang besar dan nampaklah bahwa di bawah jubah itu ia memakai pakaian dalam wanita yang tipis sehingga nampak bentuk tubuhnya yang padat dan menggairahkan.
Pangeran Kian Liong bukan seorang yang mata keranjang, akan tetapi dia pun seorang jujur, maka dia tidak membuang muka melainkan memandang dengan sinar mata memancarkan kekaguman yang jujur tanpa ada kekurangajaran, membuat wanita itu menjadi merah kedua pipinya. Dengan cepat wanita itu lalu membantu temannya menanggalkan pakaian luar Pangeran itu, dan ia pun memakai pakaian Pangeran itu, juga topinya dan dari saku baju dalamnya dikeluarkanlah sebuah kantong terisi bermacam-macam perabot untuk menyamar. Di depan cermin yang terdapat di kamar itu, dengan cekatan sekali wanita itu melakukan sesuatu dengan mukanya, rambutnya dan.... ketika ia kemudian menghadapi Sang Pangeran, Pangeran Kian Liong hampir berseru saking kagetnya melihat wajahnya pada wanita itu. Begitu serupa! Kini mereka berdua memakaikan jubah hwesio itu pada Sang Pangeran dan kini mereka bertukar sepatu dan lengkaplah sudah pertukaran itu!
"Cepat, ada suara di luar....!"
Tiba-tiba Pangeran palsu itu berbisik. Temannya, hwesio yang tinggi besar bermuka hitam itu mengangguk.
"Jangan mengeluarkan suara, Pangeran,"
Kata Si Tinggi Besar dan tiba-tiba dia sudah mengempit tubuh Pangeran yang sudah berobah menjadi hwesio itu, dibawa melayang naik melalui genteng dan di lain saat mereka telah tiba di atas wuwungan, mendekam di balik wuwungan.Memang terdengar suara orang di bagian depan, dan semua hwesio mendengar suara orang bicara itu, tapi mereka, tanpa adanya perintah, tidak ada yang berani keluar, melainkan menanti dengan hati penuh ketegangan.
"Eh, ada suara ribut apa di luar?"
Terdengar suara "pangeran"
Itu dari dalam kamar.
Semua orang terkejut, tidak ada yang menjawabnya dan tiba-tiba lilin di dalam kamar itu dipadamkan. Mereka semua berlega hati. Agaknya Sang Pangeran merasa lelah dan hendak tidur, pikir mereka. Suara orang bicara itu datang dari ruangan tengah kuil. Terdengar suara seorang pria tertawa mengejek, suaranya lantang sekali. itulah suara Bu Seng Kin, atau Bu-taihiap yang memang telah berjaga-jaga dan begitu muncul bayangan lima orang yang berkelebat cepat, dia pun meloncat keluar dari tempat persembunyiannya bersama seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, seorang di antara isteri-isterinya yang terlihai. Memang pendekar ini yang maklum akan kehebatan lima orang Ngo-ok, telah mengajak isterinya yang dapat diandalkan ini, untuk membantunya.
"Ha-ha-ha, sekarang lengkaplah sudah! Kelima orang Ngo-ok sudah berkumpul di sini!"
Katanya sambil tertawa. Memang Bu-taihiap ini merupakan musuh lama dari Ngo-ok.
Dahulu, ketika dia merantau bersama mendiang Sim Loan Ci, yaitu isterinya atau ibu kandung dari Ci Sian, dia pernah bentrok dan dikeroyok oleh tiga orang di antara Ngo-ok, yaitu Twa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Tiga orang dari Ngo-ok itu memang lihai bukan main sehingga dalam pertempuran itu, Sim Loan Ci yang tidak sehat badannya terluka dan terpaksa Bu-taihiap membawa lari isterinya, dikejar-kejar oleh tiga orang dari Ngo-ok itu. Dan kemudian, baru-baru ini ketika Pangeran Kian Liong hen-dak dilarikan Su-ok dan Ngo-ok, dua orang terakhir dari Im-kan Ngo-ok, Bu-taihiap mempermainkan mereka berdua yang baru di jumpainya pada saat itu. Memang dahulu, ketika pertama kalinya Bu-taihiap bertanding melawan tiga orang pertama dari Im-kan Ngo-ok, dua orang terakhir ini tidak ada sehingga baru pertama kali itulah mereka saling bertemu, walaupun tentu saja mereka sudah saling mengenal nama.
"Hemm, kiranya orang she Bu masih hidup dan ikut menjaga di sini! Bagus, dengan demikian kami dapat sekali tepuk...."
"He, orang she Bu mata keranjang, engkau berganti isteri lagi?"
Su-ok mengejek,
"Ini isteri barumu, ya? Eh, engkau memang pandai pilih perempuan, hemm, cantik juga isteri barumu ini...."
"Tutup mulutmu yang busuk!"
Wanita itu membentak dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke depan dan tangannya menampar ke arah muka Su-ok. Si Gendut Pendek ini tertawa dan menangkis, memandang rendah.
"Duk! Plakk...."
Tubuhnya terpelanting dan mukanya bengkak terkena tamparan itu. Si Gendut mengaduh-aduh dan merasa terkejut bukan main.
"Hi-hi-hik, matamu sudah buta barangkali, Sute? Lihat baik-baik siapa wanita itu! Lupakah kau kepada Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu dari Lembah Suling Emas?"
Ji-ok mengejek adik angkatnya yang ke empat.
Tadinya Su-ok merasa penasara dan malu sekali bahwa sekali gebrakan saja dia telah kena ditampar oleh isteri baru Bu-taihiap itu. Kini dia memandang lebih jelas dan dia pun mengenal wanita ini yang pernah dijumpainya, maka rasa penasaran di hatinya agak berkurang, terganti oleh perasaan marah. Kalau tadi dia sampai kena ditampar adalah karena dia tidak mengenal wanita itu dalam cahaya penerangan yang tidak begitu terang dalam ruangan itu sehingga dia memandang rendah dan tidak menjaga diri baik-baik. Dia tahu bahwa ilmu kepandaian Bu-taihiap memang hebat dan dia bukan lawan pendekar itu, akan tetapi kalau hanya melawan Cui-beng Sian li ini, kiranya dia tidak akan kalah atau selisih antara tingkat mareka tidak jauh.
"Su-ko, mari kubantu engkau menangkap perempuan ini!"
Kata Ngo-ok dan Si Jangkung ini secara tiba-tiba saja sudah berkelebat di depan wanita itu. Demikian cepat gerakannya sehingga wanita dari Lembah Suling Emas itu merasa terkejut juga.
"Heh-heh, Ngo-te, kau membantuku ataukah aku yang harus membantu engkau menangkap wanita ini untuk kemudian kau perkosa?, Ha-ha!"
Kata Su-ok. Mendengar ucapan ini, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menjadi marah bukan main.
Sambil mengeluarkan teriakan nyaring ia sudah menerjang ke depan dan menyerang Su-ok dengan pukulan tangan yang mengandung sin-kang kuat sekali sehingga tangan itu mengeluarkan suara bercuitan dan menjadi kuat tidak kalah dengan senjata baja. Su-ok maklum akan kelihaian nyonya ini maka dia pun segera mengelak dan balas menyerang. Ngo-ok yang merasa yakin bahwa sekali ini dia akan memperoleh korban baru yang istimewa karena nyonya ini bukan wanita sembarangan, sudah membantu temannya. Tang Cun Ciu tidak menjadi gentar dan wanita ini sudah memainkan ilmu silat yang amat diandalkannya yaitu Pat-hong Sin-kun. Melihat betapa dua orang adik angkat mereka menyerang wanita itu, Sam-ok tertawa dan berkata dengan nada suara mengejek.
"Bu Seng Kin, sekali ini engkau tidak akan dapat lolos lagi dari tangan kami!"
"Begitukah? Boleh coba!"
Jawab Bu Seng Kin sambil tersenyum. Dia sudah sering berhadapan dengan tiga orang datuk sesat ini dan dia tahu benar betapa lihainya mereka. Bahkan belasan tahun yang lalu, dia selalu terdesak oleh mereka bertiga ini. Akan tetapi selama belasan tahun itu dia telah meningkatkan kepandaiannya dan kini dia ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa sekarang dia tidak akan kalah lagi. Hanya keadaan isterinya yang membuat dia khawatir.
Dia tahu bahwa kalau hanya menghadapi seorang lawan, isterinya masih cukup kuat, akan tetapi dikeroyok dua, berbahaya sekali. Twa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok memang amat membenci Bu Seng Kin yang me-rupakan musuh lama. Kini melihat bahwa pendekar ini menghalangi niat mereka untuk membunuh pangeran mahkota, yang kepada mereka diperintahkan oleh seorang pembesar bekas kaki tangan Sam-thai-houw, mereka menjadi marah sekali. Mereka sudah mengambil keputusan untuk sekali ini membunuh Bu Seng Kin dan mereka merasa yakin akan sanggup melakukannya. Biarpun tingkat kepandaian pendekar ini sejak dahulu sudah lebih tinggi daripada seorang di antara mereka. Hal ini sudah seringkali terjadi belasan tahun yang lalu ketika mereka bertiga mengejar-ngejar pendekar ini.
Tentu pendekar yang mereka benci ini sama sekali tidak tahu bahwa mereka bertiga pun sudah meningkatkan ilmu kepandaian mereka, bahkan jauh lebih hebat dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu. Ji-ok yang bertopeng tengkorak itu membuka serangan. Mata di balik tengkorak itu yang seperti mata setan, berkilat-kilat menakutkan, dan tiba-tiba dari balik tengkorak itu terdengar suara yang nyaring sekali, suara yang aneh karena lengking ini seperti suara orang tertawa akan tetapi juga seperti suara orang menangis, dan tiba-tiba ia sudah meloncat ke depan, kedua tangannya yang bergerak dengan aneh karena kedua jari telunjuknya menuding sedangkan jarijari lain digenggam. Akan tetapi dari gerakan jari-jari telunjuk ini menyambar hawa dingin yang kuat dan mengandung ketajaman seperti pedang.
"Srattt....! Srattt....!"
Bu-taihiap terkejut bukan main dan dia mengenal serangan maut, maka cepat dia mengelak dan balas menendang untuk menahan desakan wanita itu. Dia tidak tahu bahwa orang ke dua dari Im-kang Ngo-ok itu ternyata telah memperoleh ilmu yang dahsyat, yang baru saja dipergunakan untuk menyerangnya, yaitu ilmu Kim-ci (Jari Pedang) yang mengeluarkan hawa dingin dan amat berbahaya itu. Akan tetapi, karena tingkat kepandaiannya memang lebih tinggi daripada wanita itu, dia tidak merasa gentar dan balas menyerang dengan hebatnya, sungguhpun pukulan-pukulan berat yang mengandung sin-kang kuat sekali sehingga ketika berusaha menangkis pukulan ini, Ji-ok terdorong mundur dan terhuyung.
Sam-ok, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok akan tetapi yang paling cerdik itu, sudah cepat maju membantu temannya. Karena maklum akan kehebatan ilmu kepandaian lawan, begitu maju dia pun sudah mengeluarkan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Bumi Langit), semacam ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh berpusing. Bu Seng Kin cepat meloncat untuk menghindar dan balas menyerang dengan cepat melayani dua orang pengeroyoknya. Akan tetapi kini Toa-ok sudah terjun ke dalam arena perkelahian pula, kedua tangannya bergerak sembarangan, akan tetapi lengannya dapat mulur panjang dan cengkeraman-cengkeramannya yang dilakukan seperti serangan gorila itu amat berbahaya karena lengan itu mengandung tenaga yang dahsyat.
Maka Bu-taihiap sudah dikeroyok tiga dan terjadilah perkelahian yang amat seru di ruangan itu. Sementara itu, Su-ok dan Ngo-ok merasa penasaran sekali ketika sampai belasan jurus mereka berdua belum juga mampu menangkap wanita itu, maka Su-ok lalu mengeluarkan ilmunya yang diandalkan yaitu ilmu pukulan Katak Buduk. Dengan tubuh merendah sampai hampir berjongkok, ia mendorongkan kedua ta-ngannya dan dari tenggorokannya keluar suara berkokok aneh. Hawa yang dahsyat dan amis menyambar, membuat Tang Cun Ciu terkejut dan meloncat ke belakang, namun tetap saja ia masih terhuyung. Untuk menyelamatkan diri, wanita ini sudah mencabut pedangnya dan begitu pedang diputar dan tubuhnya menerjang ke depan, nampak gulungan sinar yang amat menyilaukan mata mengurung tubuh Su-ok.
Melihat ini, Ngo-ok menjadi marah dan dia pun sudah berjungkir-balik, lalu menyerang dengan kedua kakinya yang panjang, menendang-nendang ke arah lengan kanan lawan untuk merampas pedang. Dihadapi oleh dua orang yang mengeluarkan ilmu-ilmu aneh ini, kembali Tang Cun Ciu terdesak hebat. Keadaan Bun Seng Kin sendiri tidak lebih baik daripada wanita itu. Dia pun terdesak setelah tiga orang pengeroyoknya mengeluarkan ilmu-ilmu aneh yang hebat itu. Teringatlah dia akan tugasnya memancing para lawan ini menjauhi kuil dan memberi kesempatan kepada teman-temannya untuk melakukan siasat mereka, yaitu menggunakan kesempatan ribut-ribut itu untuk menculik Pangeran sehingga kelak akan mudah menimpahkan kesalahan kepada para penyerbu ini.
"Ciu-moi, mari ke tempat yang lebih luas!"
Teriaknya dan tiba-tiba Bu-taihiap mengeluarkan seruan nyaring, kedua tangannya menyambar-nyambar dan dia mengeluarkan ilmu pukulan aneh yang hebat. Tiga orang lawannya terkejut dan untuk menjaga diri, mereka mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh pendekar itu untuk menerjang ke arah Su-ok dan Ngo-ok yang juga mundur untuk menghindarkan serangan dahsyat itu. Dan mereka berdua, Bu-taihiap dan isterinya lalu meloncat cepat keluar, dari ruangan itu.
"Im-kan Ngo-ok, mari kita lanjutkan pertandingan di luar yang lebih luas, di mana sekali ini aku akan membasmi kalian!"
Teriak Bu Seng Kin. Im-kan Ngo-ok, yang merasa sudah hampir memperoleh kemenangan itu, tentu saja menjadi penasaran. Kalau orang she Bu ini tidak ditewaskan lebih dulu, tentu akan sukar bagi mereka untuk melaksanakan perintah untuk membunuh Pangeran. Maka dengan marah mereka pun mengejar ke depan, yaitu ke pekarangan kuil yang cukup luas, di tempat terbuka dan cuacanya remang-remang karena penerangan yang ada hanya sinar bulan ditambah lampu gantyng yang berada di depan kuil itu. Namun cukuplah bagi ahli-ahli silat itu yang dalam perkelahian tidak hanya mengandalkan pada mata melainkan juga kepada ketajaman pendengaran mereka.
Setelah Im-kan Ngo-ok tiba di pekarangan luar dari kuil itu, ternyata Bu Seng Kin sudah berdiri saling membelakangi dengan isterinya. Hal ini berarti bahwa mereka bermaksud untuk bekerja sama menghadapi lima orang lawan itu, karena dengan kedudukan saling membelakangi, berarti mereka dapat saling melindungi dan menghindarkan diri dikepung lawan. Dan selain itu, juga tempat itu sudah dikurung oleh tujuh orang hwesio yang dipimpin oleh Ciong-hwesio ketua kuil itu sendiri, dan mereka bertujuh itu sudah memegang senjata masing-masing berupa toya atau tongkat panjang. Melihat ini, Im-kan Ngo-ok tertawa semua. Bagi mereka, lebih banyak jawan yang maju berarti dapat lebih puas membabat dan membunuh lawan. Dan tentu saja, selain Bu-taihiap, mereka memandang rendah kepada yang lain-lain, apalagi hwesio-hwesio itu.
"Heh-heh-heh, biarlah aku yang membasmi kerbau-kerbau gundul itu!"
Su-ok terkekeh dan meloncat maju.
"Ihh, lupakah engkau bahwa kepalamu sendiri pun gundul dan engkau pun seorang hwesio gagal?"
Ji-ok mengejek orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok itu.
Akan tetapi Su-ok tidak peduli dan dia sudah bergerak mengamuk kalang-kabut, memukul sana-sini ke arah para hwesio itu. Ciong-hwesio yang tahu diri, tahu bahwa dia dan teman-temannya, sungguhpun telah memiliki ilmu silat yang luma-yan, namun sama sekali bukanlah lawan Im-kan Ngo-ok, segera memberi isyarat dan mereka bertujuh sudah mengeroyok Su-ok. Lumayan dapat menahan seorang di antara mereka sehingga Bu-taihiap tidak terlalu berat, pikirnya. Memang ada benarnya pendapat Ciong Hwesio itu. Akan tetapi, biarpun kini mereka dapat saling bantu, dikeroyok empat orang dari Im-kan Ngo-ok meru-pakan hal yang amat berat dan berbahaya. Bu-taihiap dan Tang Cun Ciu tetap saja sibuk sekali menghadapi serangan mereka yang bertubi-tubi dan setiap serangan amat berbahaya itu. Cun Ciu sudah berusaha agar ia menghadapi Ngo-ok saja,
Dan ia selalu memutar tubuh menghadapi lawan ini yang merupakan lawan yang paling ringan di antara tiga orang yang lain. Dan Bu-taihiap juga diam-diam harus mengakui bahwa kalau dia selama ini meningkatkan kepandaiannya, ternyata musuh-musuhnya juga demikian, bahkan kini mereka memiliki ilmu-ilmu yang aneh sekali. Cara Ngo-ok bersilat dengan jungkir balik itu membingungkan Cun Ciu sehingga ketika dia mengelak, lalu membabat dengan pedangnya ke arah kedua kaki lawan, hampir saja sebelah kaki lawan yang bergerak aneh dapat menendang pergelangan tangan. Memang pergelangan tangannya sudah kena tendang, akan tetapi pedang itu sudah dipindahkannya ke tangan kiri dan pedangnya membacok ke arah kaki. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja serangan jari tangan Kiam-ci dari Ji-ok sengaja diselewengkan ke arahnya.
Cun Ciu yang sedang sibuk menghadapi kedua kaki Ngo-ok yang lihai itu, terkejut dan mengelak, lehernya dapat diselamatkan dari sambaran tajam tangan pedang itu, akan tetapi pundaknya kena diserempet hawa yang dingin dan tajam. Dicobanya untuk menangkis dengan tangan kanan yang tidak memegang pedang, akan tetapi ia kalah cepat dan ia mengeluarkan seruan kaget, pundaknya terasa perih dan berdarah seperti terkena sambaran pedang tajam! Selagi ia terhuyung, tiba-tiba saja tangan Ngo-ok dari bawah menyambar dan hendak mencengkeram kakinya. Serangan yang amat berbahaya! Akan tetapi, Cun Ciu adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan ia pernah melakukan kegemparan besar di dunia kang-ouw dengan mencuri pedang dari istana.
Maka, biarpun pundaknya terluka dan kini tiba-tiba saja tangan Ngo-ok yang berada di bawah itu menyambar untuk menangkap pergelangan kakinya, ia masih dapat menyelamatkan dirinya dengan menarik kakinya itu, lalu langsung kakinya menendang ke arah muka Ngo-ok yang berjungkir balik itu! Ngo-ok terkejut bukan main, dengan lengannya dia menangkis, akan tetapi dari atas pedang di tangan kiri Cun Ciu menyambar dan membabat ke arah kakinya! Ngo-ok mengeluarkan teriakan keras dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang dan mukanya berobah agak pucat karena nyaris kakinya terbacok! Dia maju lagi dengan lebih hati-hati, sedangkan Bu-taihiap sendiri lega hatinya melihat isterinya, akan tetapi dari kanan kiri, Toa-ok dan Sam-ok menyambutnya. Sementara itu, Su-ok yang dikeroyok tujuh orang hwesio sambil tertawa-tawa mempermainkan tujuh orang hwesio itu.
"Heh-heh-heh, omitohud.... bagaimana kalian berani melawan sucouw kalian? Hayo berlutut dan minta ampun, ha-haha!"
Dan memang orang cebol ini telah membagi-bagi pukulan kepada tujuh orang itu tanpa mereka dapat membalas, sung-guhpun mereka telah menyerang dengan toya mereka. Semua pukulan toya luput, dan kalaupun ada yang mengenal tubuh Si Cebol, toya-toya itu membalik dan setiap kali Si Cebol berhasil menampar, tentu hwesio-hwesio itu terpelanting dan babak bundas. Tentu saja Su-ok sengaja mempermainkan mereka, karena kalau dia mempergunakan tenaga sin-kangnya ketika menampar atau memukul, tentu mereka telah tewas sejak tadi.
"Sute, kau ini sudah tua bangka seperti kanak-kanak saja. Hayo cepat bereskan mereka dan bantu kami!"
Ji-ok menegurnya ketika melihat sikap Su-ok, karena mereka berempat memang belum juga mampu merobohkan Bu-taihiap dan Cun Ciu walaupun mereka berempat sudah dapat mendesak. Pertahanan kedua orang itu cukup kuat dan sukar ditembus.
"Heh-heh-heh, bukankah katamu sendiri bahwa mereka ini adalah rekan-rekanku? Bagaimana aku dapat membunuh mereka? Aku takut dosa dan tidak dapat masuk Nirwana.... ha-ha-ha!"
"Sute, cepat bantu kami!"
Terdengar Toa-ok membentak dan barulah Su-ok tidak berani main-main lagi, maklum bahwa kalau toakonya sudah bicara, maka tentu serius dan tentu akan marah kalau dia berkelakar terus.
"Baik, Toako!"
Katanya dan tiba-tiba dia berjongkok, mengeluarkan pukulan Katak Buduknya, memukul ke arah Ciong-hwesio.
"Wuuuuttt.... dessss....!"
Dan tubuh Su-ok terpental dan terguling-guling seperti sebuah bola ditendang! Apa yang terjadi? Su-ok meloncat bangun dan matanya terbelalak memandang kepada seorang hwesio tinggi besar bermuka hitam yang tadi telah menangkisnya. Bukan main! Tangkisan itu tidak hanya mampu membuyarkan tenaga ilmu pukulan Katak Buduk, bahkan membuat dia terdorong dan terpelanting keras! Hwesio muka hitam itu lalu berkata kepada Ciong-hwesio dan yang lain-lain,
"Harap Ciong-suhu dan saudara-saudara lain mundur,"
Ciong-hwesio girang sekali dengan munculnya Lim Kun Hosiang, Hwesio tinggi besar muka hitam yang mengaku murid Siauw-lim-pai dan yang datang bersama Tan Tek Hosiang yang bertubuh kecil itu. Tak disangkanya bahwa hwesio ini sedemikian lihainya sehingga mampu menandingi Su-ok. Maka dia pun mundur bersama teman-temannya. Su-ok yang merasa penasaran sekali menjadi marah. Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau kelaparan, Si Pendek ini lalu menjatuhkan dirinya dan menggelundung ke arah hwesio muka hitam itu dan tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan yang ampuh. Akan tetapi, hwesio muka hitam itu tidak mengelak, melainkan menangkis dengan kedua kaki terpentang dan kedua tangannya mendorong ke arah lawan yang memukulnya dengan ilmu pukulan Katak Buduk itu.
"Desss....!"
Akibatnya hebat sekali. Su-ok kembali terpental dan bergulingan, dan ketika dia mencoba bangun, dia roboh kembali dan dari mulutnya mengalir darah segar. Si Pendek ini cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan karena dia telah terluka dalam! Dan hwesio muka hitam itu kini cepat melangkah ke medan pertempuran. Sejenak dia memandang kepada Bu-taihiap dan mengeluarkan suara dengusan dari hidungnya, akan tetapi ketika dia melihat Cun Ciu yang didesak oleh Ngo-ok dan kadang-kadang menerima serangan Ji-ok dengan Kiam-ci yang berbahaya itu, Si Hwesio Muka Hitam ini maju dan ketika Ji-ok menyerang lagi ke arah Cun Ciu, dia pun maju dan menangkis.
"Plakkk!"
Dan Ji-ok terpental dengan kaget sekali. Tangkisan itu kuat bukan main, bahkan jauh lebih kuat daripada tangkisan Cun Ciu dan setingkat dengan tenaga Bu-taihiap!
Pada saat itu Si Hwesio Muka Hitam sudah menendang ke arah muka Ngo-ok yang masih berjungkir balik. Ngo-ok cepat menangkis dengan lengannya dan kakinya menendang ke arah tengkuk lawan baru ini. Akan tetapi, hwesio muka hitam itu tidak mempedulikan tengkuknya ditendang. Ketika tendangannya ditangkis, Ngo-ok terkejut karena merasa lengannya nyeri dan ketika tendangannya tiba mengenai tengkuk lawan, kakinya terpental seperti membentur besi. Pada saat itu tangan hwesio tinggi besar muka hitam itu sudah menonjok ke depan, ke arah perutnya. Tentu saja Ngo-ok menjadi terkejut dan tak tahu bagaimana harus menyelamatkan diri. Untung pada saat yang amat berbahaya sudah menggerakkan kakinya menendang dan tepat mengenai punggung adiknya yang ke lima ini.
"Desss....!"
Tubuh Ngo-ok terlempar dan terbanting, akan tetapi, dia terbebas dari ancaman maut pukulan hwesio muka hitam itu.
Toa-ok maklum bahwa lawan yang baru datang ini lihai sekali, maka dia pun cepat menggunakan tangan kanannya untuk memukul dengan tangan terbuka. Di antara suadara-saudaranya, Toa-ok ini memiliki kepandaian yang paling hebat, atau setidaknya setingkat dengan kepandaian Ji-ok. Biarpun gerakan-gerakannya sederhana saja, namun dia memiliki tenaga dahsyat yang sukar untuk dapat ditandingi lawan. Maka pukulannya dengan tangan terbuka ke arah hwesio muka hitam itu pun dahsyat bukan main, sampai mengeluarkan angin bercuitan suaranya. Namun, diserang seperti itu, Si Muka Hitam tidak mengelak, melainkan menangkis dengan tangan terbuka pula. Jelasnya, Si Muka Hitam ini tidak takut untuk mengadu tenaga dengan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu.
"Plakkk!"
Dua telapak tangan bertemu dengan amat dahsyatnya dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan agak terhuyung. Terkejutlah Toa-ok. Hwesio yang tak terkenal ini memiliki tenaga yang seimbang dengan dia! Berar-ti setingkat pula dengan Bu-taihiap. Sementara itu, mendapat bantuan hwesio yang kosen itu, bangkitlah semangat Bu-taihiap dan dia sudah mendesak Sam-ok dan Ji-ok dengan pukulan-pukulan sakti. Kedua orang itu menghindarkan diri mundur.
Pada saat itu, nampak gulungan sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berdesing-desing dan ternyata hwesio muka hitam itu telah memutar sebatang cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya di balik jubah hwesio. Bukan main hebatnya senjata ini dan amat berbahaya, maka melihat ini, Toa-ok yang melihat bahwa dengan bantuan setangguh ini maka pihaknya akan mengalami banyak kerugian, lalu berteriak memberi tanda kepada adik-adiknya untuk melarikan diri. Mereka berlima pun berloncatan dan Ji-ok sudah menyambar lengan Su-ok yang terluka tadi, dibawanya lari dengan cepat sekali. Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu tadinya tidak tahu siapa adanya hwesio tinggi besar muka hitam yang amat lihai ini, akan tetapi begitu melihat gerakan silatnya dan melihat cambuk baja itu, ia berseru kaget,
"Sam-te....!"
Hwesio muka hitam itu hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata. Mendengar seruan ini, Bu-taihiap yang tadinya merasa ragu-ragu siapa adanya orang tinggi besar yang amat lihai itu terkejut pula,
"Ah, kiranya Ban-kin-sian Cu Kang Bu...."
Orang tinggi besar itu membuang muka tidak mau melayani Bu Seng Kin, bahkan lalu meloncat dan lari dari tempat itu, menghilang ke dalam gelap, meninggalkan Bu Seng Kin dan Tang Cun Ciu yang memandang bengong ke arah lenyapnya pendekar itu. Juga Ciong-hwesio menjadi terkejut dan terheran, apalagi ketika mendengar betapa Bu-taihiap dan isterinya sudah mengenal hwesio tinggi besar itu.
"Apa yang terjadi? Siapakah dia itu sebenarnya? Pinceng mengira benar-benar hwesio Siauw-lim-pai.... dan mana Tan Tek Hosiang, yang seorang lagi?"
Karena khawatir akan kegagalan siasat yang sudah mereka rencanakan, maka Ciong-hwesio lalu lari ke dalam, diikuti oleh Bu-taihiap dan Tang Cun Ciu. Akan tetapi hati mereka lega ketika mendengar betapa Sang Pangeran telah berhasil dilarikan oleh para hwesio anak buah Ciong-hwesio, melalui pintu belakang dan menunggang kuda, sesuai dengan rencana, dengan dalih menyelamatkan Pangeran itu.
"Bagus....!"
Kata Ciong-hwesio.
"Kalau begitu sekarang harus cepat-cepat menyiarkan berita bahwa Pangeran yang bermalam di kuil ini telah diculik penjahat-penjahat yang datang bersama Im-kan Ngo-ok!"
Akan tetapi, Bu Seng Kin dan Tang Cun Ciu merasa tidak enak sekali melihat munculnya Cu Kang Bu yang menyamar sebagai hwesio,
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ciong-suhu, biar kami berdua mengejar mereka dan ikut mengawal Pangeran, sedangkan urusan penyebaran berita tentang penculikan Pangeran oleh orang-orang golongan hitam terserah kepada Ciong-suhu."
Pendekar bersama isterinya ini cepat meloncat dan lenyap di dalam kegelapan malam, sedangkan Ciong-hwesio bersama para hwesio yang menjadi penghuni kuil itu segera menyiarkan bahwa pemuda yang menjadi tamu kuil itu telah diculik penjahat yang datang menyerbu kuil pada malam itu.
Dan dugaan Ciong-hwesio memang tepat sekali. Begitu berita itu disiarkan, malam itu juga, menjelang pagi, banyak bayangan berkelebat memasuki kuilnya. Bayangan beberapa orang yang jelas merupakan orang-orang kang-ouw, yang bertanya tentang peristiwa terculiknya pemuda itu. Mereka ini adalah para pendekar yang diam-diam melindungi Pangeran Kian Liong. Karena Pangeran itu bermalam di dalam kuil dan mereka semua mengira bahwa keadaan Pangeran itu aman, maka mereka menjadi lengah. Apalagi karena mereka tidak mungkin ikut-ikutan bermalam di dalam kuil. Justeru pada malam itulah, di waktu mereka lengah, penjahat datang dan Pangeran itu diculik orang! Ciong-hwesio menyambut mereka semua dengan hormat dan memperlihatkan keheranannya,
"Memang, tamu muda pinceng itu dilarikan penjahat yang malam tadi menyerbu ke kuil kami. Akan tetapi.... mengapa Cu-wi-enghiong kelihatan begini gugup? Siapakah Kongcu itu....? Pinceng hanya tahu bahwa dia menyumbang besar dan dia pandai sekali membaca sajak...."
Seorang di antara para pendekar itu memandang tajam lalu berkata, suaranya penuh peringatan,
"Losuhu, ingatlah baik-baik, pemuda itu adalah Sang Pangeran Mahkota sendiri yang menyamar!"
"Omitohud....!"
Ciong-hwesio merangkapkan kedua tangan di depan dada dan tidak bicara lagi. Dia tentu saja hanya berpura-pura, akan tetapi sebagai seorang pendeta dia tidak mau banyak membohong, maka merasa lebih baik kalau tutup mulut saja.
"Oleh karena itu, lenyapnya Sang Pangeran di kuil ini tentu merupakan bahaya juga bagi kuil ini,"
Demikian pendekar itu melanjutkan,
"Katakan, siapakah yang melakukan penculikan ini?" "Bagaimana pinceng tahu? Yang pinceng ketahui hanyalah ada lima orang penjahat yang lihai sekali menyerbu kuil. Kami berusaha untuk menghalaunya karena mengira mereka itu perampok-perarnpok biasa. Dan ketika kami sedang sibuk melawannya, pemuda itu tahu-tahu lenyap dilarikan orang. Siapa lagi kalau bukan teman-teman para penjahat itu yang melakukannya?"
"Seperti apa macamnya penjahat-penjahat yang menyerbu itu?"
"Yang lima orang itu? Wah, mereka itu lihai bukan main. Kami semua bukanlah tandingannya, akan tetapi agaknya mereka tidak ingin membunuh kami. Mereka adalah lima orang yang amat menakutkan.... seperti iblis-iblis...."
Ciong-hwesio lalu menceritakan keadaan lima orang itu, yang tentu saja sudah diketahuinya bahwa mereka adalah Im-kan Ngo-ok. Mendengar cerita kakek pendeta itu, orang-orang kang-ouw yang mendengarkan menjadi pucat wajahnya.
"Im-kan Ngo-ok....!"
Bisik beberapa orang di antara mereka dengan nada suara gentar.
"Celaka....! Kalau mereka yang menculik...."
Dan para pendekar itu dengan cepat lalu meninggalkan kuil untuk melakukan pengejaran dengan hati penuh kebimbangan dan ketakutan. Ciong-suhu menahan senyumnya. Siasatnya berhasil baik sekali.
Teman-temannya tentu telah berhasil mengamankan Pangeran itu untuk keperluan mereka, keperluan rakyat, keperluan perjuangan! Kaisar tentu akan dapat dibikin tidak berdaya kalau puteranya menjadi tawanan kaum patriot. Setidaknya, nasib mereka akan menjadi lebih baik, dan Kaisar harus memenuhi tuntutan mereka! Akan tetapi ketika kakek ini dengan hati gembira memasuki kamar samadhinya, dia terkejut bukan main melihat ada sesosok bayangan orang berdiri tegak di dalam kamar itu! Bulu tengkuknya meremang. Dia adalah seorang ahli silat yang tak dapat dibilang bertingkat rendah, penglihatan dan pendengarannya masih kuat berkat latihan bertahun-tahun. Akan tetapi, bagaimana ada orang memasuki kamarnya tanpa dia mengetahuinya, tanpa dia dapat mendengar atau melihatnya? Setankah bayangan ini. Ibliskah?
"Omitohud....!"
Dia berbisik beberapa kali, memandang dengan tajam ke arah bayangan itu. Bayangan itu yang tadinya di sudut gelap, melangkah maju dan nampaklah seorang pria muda yang sama sekali tidak menyerupai iblis atau setan. Sebaliknya malah, pria muda itu adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh empat atau tiga puluh lima tahun yang tampan dan gagah, berpakaian sederhana namun bersih dan rapi, pakaiannya tertutup jubah besar lebar. Sepasang matanya itu saja yang tidak lumrah manusia, seperti mata beberapa orang tertentu, mata Bu-taihiap misalnya, yaitu mengandung sinar mencorong dan tajam sekali. Sikap orang ini pendiam dan agak dingin, akan tetapi senyum bibir dan pandang matanya membayangkan kehalusan budi.
"Siapa.... siapakah engkau....?"
Ciong-hwesio bertanya.
"Maaf, Losuhu, tidak perlu benar diketahui siapa saya, akan tetapi saya datang untuk bertanya, benarkah Im-kan Ngo-ok menyerbu kuil ini dan menculik Pangeran Mahkota dari sini? Pertanyaan yang langsung ini berbeda dengan pertanyaan para orang kang-ouw tadi, dan pemuda ini agaknya tidak takut untuk langsung bertanya tentang Im-kan Ngo-ok, dan penglihatan Ciong-hwesio yang sudah banyak pengalaman itu segera dapat menduga bahwa orang muda ini lain daripada yang lain, dan tentu merupakan seorang pendekar tak terkenal yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
"Benar, Sicu. Mereka menyerbu dan ketika kami sibuk menghadapi mereka yang kami sangka hanyalah pengacau dan perampok biasa, tahu-tahu pemuda yang baru pinceng ketahui ternyata adalah Sang Pangeran itu lenyap diculik orang. Tentu kawan-kawan Im-kan Ngo-ok yang melakukannya."
Orang muda itu mengangguk dan memandang tajam sekali, seolah-olah sinar matanya mampu menembus dada kakek itu, membuat Ciong-hwesio merasa serem,
"Kalau Losuhu dan para hwesio kuil ini dapat menentang Im-kan Ngo-ok dan keluar dengan selamat dari pertempuran, sungguh itu hanya menandakan bahwa Losuhu dan para suhu di kuil ini memiliki kepandaian yang tak dapat diukur tingginya!"
Ciong-hwesio terkejut sekali dan merasa tersudut, maka sebagai seorang yang banyak pengalaman dan cerdik, dia cepat menggoyang tangan dan menarik napas panjang.
"Omitohud....! Orang seperti pinceng dan para teman yang lemah ini, mana mungkin dapat menandingi mereka? Untung ada Bu-taihiap dan isterinya yang membantu sehingga kami semua dapat keluar dengan selamat dari pertempuran itu."
Orang muda itu mengangguk-angguk.
"Ah, jadi Bu-taihiap dan isterinya yang menghadapi mereka? Akan tetapi, Sang Pangeran tetap saja hilang?"
Ciong Hwesio menjadi waspada. Orang muda ini tidak boleh dipandang ringan, dan memiliki kecerdikan dan ketenangan yang luar biasa. Maka dia pun menjawab dengan merangkapkan tangan di depan dadanya,
"Omitohud, beritulah yang terjadi, Sicu. Pinceng sendiri tidak tahu siapa yang menculiknya, hanya menduga siapa lagi kalau bukan teman-teman Im-kan Ngo-ok yang sengaja menyerbu dan memancing kami semua keluar dari kuil menghadapi mereka sehingga Sang Pangeran yang tadinya kami kira tamu biasa, diculik orang dengan mudahnya."
"Jadi tidak ada seorang pun suhu di kuil ini yang sempat melihat siapa penculiknya?"
Ciong-hwesio menggeleng kepalanya dan orang muda itu lalu menjura,
"Terima kasih atas semua keterangan Losuhu."
Orang muda itu berkelebat dan lenyap seperti pandai menghilang saja. Setelah orang muda itu menghilang, Ciong-hwesio menjadi gelisah. Dia tidak mengenal siapa adanya pendekar muda ini, akan tetapi dia dapat menduga bahwa orang ini lihai sekali. Celakanya, dia tidak dapat menduga di golongan mana pendekar ini berpihak. Di golongan musuh Pangeran seperti Im-kan Ngo-ok yang hendak membunuh Pangeran? Ataukah di golongan kaum patriot? Agaknya tidak mungkin kalau pemuda itu memihak kaum patriot, karena kalau demikian halnya tentu dia telah mengenalnya, dan sikapnya tidak seperti itu, seolah-olah mencurigai dan menyelidikinya. Ataukah di golongan pelindung Pangeran seperti banyak terdapat pada golongan pendekar?
Mungkin sekali. Belum lama ini pun, Siauw-lim-pai menganjurkan murid-muridnya untuk melindungi Pangeran yang dianggapnya bijaksana, tidak seperti ayahnya yang kini menjadi kaisar. Akan tetapi, semenjak Kaisar memusuhi Siauw-lim-pai, ada perintah baru dari pihak Siauw-lim-pai, dan siasat yang sekarang ini pun disetujui Siauw-lim-pai, yaitu hendak mempergunakan Pangeran sebagai sandera untuk mengekang kelaliman Kaisar. Karena sangsi dan khawatir, Ciong-hwesio lalu mengumpulkan anak buahnya dan dia sendiri lalu naik kuda dan diam-diam pada pagi hari sekali itu sudah membalapkan kudanya untuk menyusul rombongan pembantu-pembantu-nya yang melarikan Sang Pangeran. Sementara itu.
"Sang Pangeran"
Yang dilarikan oleh lima orang hwesio itu membalapkan kudanya memasuki hutan yang gelap.
Setelah tiba di tempat gelap, terpaksa kuda mereka tidak dapat dibalapkan lagi dan seorang di antara para hwesio itu menangkap kendali kuda dan menuntun kuda yang ditunggangi Sang Pangeran ini, berjalan perlahan-lahan menyusup ke dalam hutan. Setelah munculnya hwesio tinggi besar muka hitam yang ternyata telah dikenal oleh Tang Cun Ciu sebagai Cu Kang Bu, tokoh ke tiga dari penghuni Lembah Suling Emas, maka tentu mudah diduga oleh para pembaca siapa adanya hwesio bertubuh kecil ramping yang ternyata seorang wanita dan yang kini menggantikan kedudukan Sang Pangeran dengan penyamarannya yang persis itu. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Ang-siocia atau Yu Hwi yang pandai melakukan penyamaran seperti itu? isteri Cu Kang Bu ini, bekas murid Hek-sin Touw-ong, selain pandai ilmu silat yang tinggi, juga pandai sekali dalam ilmu mencopet atau mencuri dan di samping ini pandai sekali dalam ilmu menyamar.
Tentu saja nenek tua yang berjubel di antara mereka yang bersembahyang di kuil Hok-te-kong siang hari sebelumnya adalah Yu Hwi juga, yang datang sebagai nenek untuk melakukan penyelidikan dan ia telah melihat Bu-taihiap di dalam kuil. Yu Hwi dan suaminya, Cu Kang Bu, pergi meninggalkan Lembah Naga Siluman, yaitu nama sebutan baru dari Lembah Suling Emas setelah keluarga Cu dikalahkan oleh Kam Hong sebagai ahli waris Suling Emas, karena mereka berdua merasa khawatir akan keselamatan Cu Pek In, keponakan mereka. Tadinya mereka mengira bahwa Cu Pek In hanya akan pergi sebentar saja. Akan tetapi setelah ditunggu-tunggu sampai sebulan tidak juga gadis itu pulang, Cu Kang Bu merasa tidak enak sekali terhadap twakonya yang kini bersama Ji-konya ber-tapa di tempat yang terasing.
Dia merasa bertanggung jawab akan keselamatan dara itu, maka dia pun lalu meninggalkan lembah bersama isterinya untuk mencari Cu Pek In yang minggat itu dan membujuknya pulang ke lembah. Karena jejak dara itu menuju ke timur, maka mereka pun melakukan pengejaran dan akhirnya mereka tiba di kota Pao-ci di mana mereka secara kebetulan mendengar percakapan para pendekar yang melindungi Pangeran bahwa Sang Pangeran yang menyamar sebagai seorang pemuda biasa itu kini menginap di dalam kuil Hok-te-kong. Cu Kang Bu merasa tertarik, demikian pula isterinya. Sudah lama mereka berdua mendengar dalam perjalanan itu tentang keributan di istana, tentang kematian Sam-thaihouw, tentang kelaliman Kaisar yang memusuhi Siauw-lim-pai. Juga tentang Pangeran Kian Liong yang kabarnya amat bijaksana dan mencintai rakyat.
Timbul perasaan suka dan kagum dalam hati suami isteri perkasa ini. Akan tetapi ketika secara kebetulan pula mereka melihat Im-kan Ngo-ok berada di kota itu, hati mereka terkejut bukan main dan penuh kekhawatiran. Mereka bukanlah orang-orang yang semata-mata membela Pangeran karena politik, bukan pula menentang kaum patriot. Mereka ini adalah suami isteri yang tidak ingin melibatkan diri dengan semua urusan perebutan kekuasaan itu, akan tetapi mereka berpihak kepada Pangeran hanya dengan dasar bahwa menurut yang mereka dengar, Pangeran adalah seorang pemuda yang bijaksana dan mencinta rakyat. Seorang yang baik, dan kini orang yang mereka kagumi itu agaknya terancam bahaya besar dengan adanya Im-kan Ngo-ok berkeliaran di kota yang sama.
Itulah sebabnya mengapa Yu Hwi menyamar sebagai seorang nenek tua yang ingin bertemu dengan Ciong-hwesio untuk minta diberi nama kepada cucu buyutnya. Kehadiran Bu-taihiap di tempat itu membuat mereka maklum bahwa urusan ini bukan urusan kecil, melainkan urusan yang mengandung politik di mana orang-orang yang memiliki kesaktian ikut pula terlibat. Maka mereka bersikap hati-hati. Bagi mereka yang terpenting adalah menyelamatkan Pangeran Mahkota, baik dari tangan orang-orang yang hendak membunuhnya, maupun dari tangan siapapun juga, yang mempunyai iktikad buruk terhadap Pangeran itu. Demikianlah, dengan kepandaiannya dalam ilmu penyamaran, Yu Hwi berdandan dan mendandani suaminya.
Dengan topeng-topeng yang memang selalu siap dalam buntalannya, ia dan suaminya berobah menjadi hwesio-hwesio dan dengan berani mereka menemui Ciong-hwesio, berhasil mengelabuhi semua hwesio dan diterima sebagai rekan-rekan yang boleh dipercaya. Ketika mereka berdua diuji oleh Ciong-hwesio, tentu saja mereka mampu mainkan beberapa jurus ilmu silat Siauw-lim-pai yang umum. Tentu saja "Pangeran"
Yang dikawal oleh lima orang anak buah Ciong-hwesio itu adalah Yu Hwi yang menyamar. Tadinya, Cu Kang Bu dan Pangeran Kian Liong yang menyamar sebagai dua orang hwesio itu, ikut pula mengawal. Akan tetapi tak lama kemudian, sesuai dengan rencana suami isteri itu, Cu Kang Bu mengajak Sang Pangeran itu untuk kembali ke kuil dan menyuruh lima orang hwesio untuk melanjutkan pengawalan mereka.
"Pinceng berdua harus membantu Ciong-suhu menghadapi orang-orang jahat,"
Demikian Cu Kang Bu yang menyamar sebagai hwesio tinggi besar muka hitam itu memberi alasan kepada para hwesio anak buah Ciong-hwesio itu. Tentu saja mereka merasa setuju, mengingat, bahwa yang menyerbu kuil adalah tokoh-tokoh sakti seperti Im-kan Ngo-ok itu. Dan demikianlah, Cu Kang Bu mengendong Pangeran dengan cepat lari kembali ke kuil tanpa dilihat oleh para hwesio yang mengawal "Pangeran"
Itu.
Cu Kang Bu lalu menyuruh Pangeran Kian Liong yang menyamar sebagai hwesio itu menanti agak jauh dari kuil bersembunyi di dalam bagian yang gelap, sedangkan dia sendiri dengan gerakan cepat sekali lari ke kuil dan seperti telah kita ketahui, dia berhasil membantu Bu Seng Kin dan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu memukul mundur Im-kan Ngo-ok. Karena suaminya pergi bersama Sang Pangeran sesuai dengan rencana, yaitu suaminya akan membawa pergi Pangeran Kian Liong dan mengamankannya dari pengejaran semua orang yang beritikad buruk terhadap Sang Pangeran, maka Yu Hwi yang sekarang menggantikan kedudukan Pangeran itu berada sendirian saja dengan lima orang hwesio yang mengawalnya. Ia tidak segera mau bergerak, menanti sampai lama untuk memberi kesempatan kepada suaminya agar suaminya dapat membawa Sang Pangeran ke tempat yang jauh dan aman betul.
Ia tidak tahu bahwa ada sedikit perobahan, yaitu bahwa suaminya tidak langsung membawa pergi Pangeran Kian Liong, melainkan kembali ke kuil untuk membantu menghadapi Im-kang Ngo-ok. Hal ini di luar perhitungannya, menyimpang dari siasat mereka. Yu Hwi tidak tahu bahwa melihat bekas twa-so itu harus berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok yang lihai, hati suaminya tidak dapat membiarkan begitu saja tanpa membantu. Kini hati wanita yang cerdik ini menjadi tenang setelah Sang Pangeran berhasil diajak pergi oleh suaminya. Kalau ia mau, tentu pada saat itu juga dengan mudah ia akan dapat meloloskan diri dari "pengawalan"
Lima orang hwesio itu. Akan tetapi Yu Hwi tidak mau menimbulkan keributan dan membuka rahasia pada malam itu juga karena dengan demikian tentu suaminya yang membawa pergi Sang Pangeran itu belum tiba di tempat seperti yang mereka rencanakan.
Menurut rencana mereka, malam itu juga Cu Kang Bu akan membawa Sang Pangeran menuju ke kota besar Sian melalui jalan sungai dan baru pada keesokan harinya, Yu Hwi akan menyusulnya dengan jalan darat. Mereka akan saling bertemu di Sian. Dan Yu Hwi akan meninggalkan para pengawalnya tanpa mereka ketahui kalau mungkin, sehingga para pengawal itu hanya akan kehilangan "pangeran"
Dan menduga bahwa Pangeran itu tentu diculik orang tanpa setahu mereka. Dan hal ini tidak mungkin dilakukan oleh Yu Hwi selama mereka berenam masih menunggang kuda di dalam hutan itu. Dan ternyata enam orang hwesio itu membawanya berkuda terus sampai mereka keluar dari hutan itu dan tiba di luar hutan, di sebuah lereng sunyi di tepi sungai, setelah hampir pagi!
Di tempat sunyi itu telah disediakan sebuah pondok kayu sederhana dan para hwesio itu mempersilakan Sang Pangeran untuk beristirahat di dalam kamar kayu di pondok itu. Mereka sendiri lalu membuat api unggun karena hawa udara amat dinginnya, dan ada yang memasak air. Ada pula seorang di antara mereka yang beriaga di luar jendela kamar itu dengan toya di tangan. Yu Hwi merebahkan tubuhnya di atas dipan kayu yang berada dalam kamar itu. Ia merasa lelah dan mengantuk sekali. Tentu saja ia merasa lelah karena ia harus menunggang kuda hampir semalam suntuk, terutama karena kedua kakinya diganjal agar ia menjadi sejangkung Pangeran. Akan tetapi, tiba-tiba pendengarannya yang terlatih itu menangkap suara yang tidak wajar, di luar jendela kamarnya. Cepat, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, ia meloncat turun dan mengintai dari lubang celah-celah jendela.
Dan matanya terbelalak melihat sosok bayangan yang gerakannya cepat sekali, berkelebat tiba di belakang hwesio penjaga yang memegang toya itu dan sekali bayangan itu menggerakkan tangan menepuk pundak maka hwesio itu tanpa mengeluh menjadi lemas dan pingsan! Bayangan itu lalu menarik hwesio penjaga, merebahkannya dengan posisi duduk bersandar dinding pondok, toyanya bersandar dinding pula, dan nampaknya seperti penjaga itu masih berjaga namun sambil duduk karena lelah dan kantuknya! Kemudian, bayangan itu mendorong daun jendela terbuka dan meloncat masuk. Yu Hwi sudah bersiap-siap, akan tetapi ia menjadi bengong dan begitu besar keheranan dan kekejutannya sampai ia tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara apa pun. Tentu saja ia mengenal bayangan ini setelah memasuki kamar pondok, karena bayangan ini bukan lain adalah Kam Hong!
"Sssttt.... harap jangan bersuara, Pangeran,"
Bisik Kam Hong.
"Paduka berada dalam bahaya. Hwesio-hwesio itu adalah anggota kaum patriot yang menentang Kaisar. Hamba datang untuk menyelamatkan Paduka"
Dan sebelum Yu Hwi kehilangan kagetnya, tiba-tiba saja Kam Hong sudah memondongnya dan membawanya meloncat keluar dari jendela itu, terus berloncatan dengan kecepatan kilat menghilang di antara pohon-pohon dalam cuaca yang masih remang-remang itu!
Jodoh Rajawali Eps 23 Jodoh Rajawali Eps 7 Jodoh Rajawali Eps 33