Ceritasilat Novel Online

Pendekar Super Sakti 13


Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



".. Suci..."

   "Engkau..? Engkau... Han Han..? Dan engkau membantu Hoa-san-pai, menjadi anjing penjajah Mancu..?"

   "Suci.., sama sekali tidak.."

   "Kau bukan Suteku lagi, Kau musuh yang harus mati di tanganku"

   Gadis itu menyerang dengan dahsyat sekali. Biarpun dia menyerang dengan pukulan tangan ke arah dada Han Han, namun tangan kosong gadis cantik ini jauh lebih berbahaya daripada serangan senjata para murid Siauw-lim-pai tadi. Datangnya antep, cepat dan mengandung tenaga sinkang yang kuat.

   "Dukkkkk.."

   Han Han yang tidak menangkis itu terpukul dadanya, terhuyung mundur dua langkah. Akan tetapi gadis itu sendiri terbanting roboh. Gadis itu yang sesungguhnya adalah Lauw Sin Lian, terkejut dan meloncat bangun. Tangan kanannya yang memukul itu menjadi kebiruan dan tubuhnya menggigil kedinginan. Cepat-cepat ia menahan napas dan mengerahkan hawa dari pusarnya sehingga rasa dingin itu dapat diusir. Ia memandang kepada Han Han dengan mata terbelalak, kemudian ia menoleh kepada dua orang murid keponakannya sambil berkata, suaranya mengandung isak tertahan.

   "Naikkan jenazah para Sute itu ke atas kereta."

   Dua orang murid Siauw-lim-pai itu segera melaksanakan perintah ini dengan air mata bercucuran. Lauw Sin Lian meloncat ke atas kereta, diikuti dua orang murid keponakannya, kemudian setelah sekali lagi menoleh ke arah Han Han dengan pandang mata penuh kebencian, ia lalu memekik nyaring dan menarik kendali kuda. Empat ekor kuda itu meringkik dan meloncat ke depan, lalu membalap. Para piauwsu tidak ada yang berani berkutik. Mereka masih terkejut dan bingung menyaksikan kenyataan yang amat mengerikan tadi.

   "Suci...."

   Han Han mengeluh perlahan, kemudian ia membalikkan tubuhnya perlahan-lahan, menghadapi anak murid Hoa-san-pai yang masih berdiri pucat. Pandang mata Han Han mengandung sesuatu yang membuat dua orang ini bergidik.

   "Kalian.. Kalian.. manusia-manusia iblis. Kiranya kalianlah yang jahat, dan kalian membuat aku membunuh mereka yang tak berdosa..."

   Suara Han Han perlahan seperti mendesis, namun hal ini bahkan menambah keseramannya. Dua orang murid Hoa-san-pai itu menggeleng kepala.

   "Tidak.. tidak...."

   Akan tetapi kedua tangan Han Han sudah menyambar, melakukan gerakan menampar ke depan. Jarak antara mereka masih jauh, ada dua meter, namun tamparan ini mengandung hawa sinkang yang hebat, mengandung hawa pukulan yang biasa ia latih di Pulau Es, pukulan-pukulan yang dapat membuat air membeku menjadi bongkah-bongkah es sebesar anak lembu. Dua orang murid Hoa-san-pai itu roboh tanpa dapat bersambat lagi, roboh dengan tubuh kaku membeku dan tewas seketika. Para anak buah piauwsu menjadi putat sekali, akan tetapi Han Han sudah menghadapi mereka dan berkata.

   "Kalian hanya anak buah, tidak tahu apa-apa..."

   Tanpa berkata apa-apa lagi Han Han lalu menyambar tangan adiknya dan ditariknya lalu diajak pergi cepat-cepat dari tempat itu. Sebentar saja kedua orang muda ini lenyap dari tempat itu dan barulah para anggauta piauwkiok itu sibuk mengurus jenazah kedua orang pimpinan mereka dan empat orang jenazah itu, dengan penuh duka dan masih menggigil kalau teringat kepada pemuda yang mereka anggap iblis itu, mereka kembali ke Kwan-teng untuk melaporkan peristiwa itu kepada ketua mereka.

   "Eh-eh, berhenti dulu, Han-ko..."

   Lulu merenggut tangannya dan terpaksa Han Han berhenti. Wajah pemuda ini keruh tanda bahwa pikirannya kalut dan hatinya terganggu oleh peristiwa dalam hutan tadi.

   "Han-ko, semua peristiwa tadi amatlah mengherankan hatiku. Siapakah gadis cantik yang kau sebut Suci tadi? Benarkah dia itu Kakak Seperguruanmu?"

   Han Han yang masih kalut pikirannya itu mengangguk.

   "Dia Suciku, dia Puteri guruku yang pertama. Dia puteri Lauw-pangcu."

   Baru Han Han teringat dan kalau bisa ia hendak menelan kembali semua kata-kata yang sudah dikeluarkan. Namun terlambat karena Lulu sudah mendengar semua dan gadis itu tiba-tiba menjerit, lalu membalikkan tubuh dan lari secepatnya.

   "Eh, Moi-moi.., tunggu dulu..."

   Han Han meloncat dan cepat mengejar. Sebentar saja ia dapat menyusul dan memegang tangan Lulu. Akan tetapi Lulu merenggutkan tangannya dan dengan cemberut memandang Han Han dengan muka merah dan air mata membasahi pipinya.

   "Jangan dekat-dekat! Jangan pegang-pegang, Kau kiranya murid musuh besarku. Apakah kau hendak membelanya? Mulai sekarang aku tidak sudi berdekatan denganmu."

   "Eh, Lulu jangan begitu. Aku tetap Kakakmu, dan aku tidak akan membela siapapun juga kecuali engkau Adikku.."

   "Bohong! Mana mungkin membelaku kalau musuh besarku adalah Gurumu sendiri? Kakek jahat she Lauw itu adalah Gurumu, baru puterinya saja sudah kau bela tadi. Sudahlah, karena kau murid musuh besarku, berarti engkau musuhku juga. Nah, kau lekas serang dan bunuh aku.., lekas bunuh aku... tak mungkin aku dapat membalas kematian keluargaku karena engkau murid musuhku. Bunuh aku, engkau murid musuh besarku."

   Saking berduka dan marah, omongan Lulu menjadi kacau-balau tidak karuan dan bercampur dengan isak yang ditahan-tahannya. Sepasang matanya yang lebar dan yang biasanya bersinar seperti sepasang matahari kembar itu kini menyuram, dan dua butir air mata jernih seperti mutiara menggantung di bulu matanya yang lentik. Han Han melangkah maju dan memegang kedua pundak Lulu, tersenyum duka dan berkata,

   "Baiklah, lulu. Engkau menganggap aku musuhmu, nah, ini dadaku sudah terbuka di depanmu. Kau hantamlah aku sampai mati, kalau kau menganggap aku musuhmu."

   Sepasang mata yang lebar indah itu memandang ke arah dada Han Han, dada kakaknya yang selama ini menjadi tempat ia bersandar, dan ia bergidik, akan tetapi mulutnya masih mencela.

   "Kau mengejek. Kau tahu bahwa betapapun keras aku memukul, takkan melukai dadamu..."

   "Adikku yang manis. Sekali ini aku tidak akan melawan, dan aku akan senang mati di tanganmu, kalau hal itu memang kau kehendaki dan akan menyenangkan hatimu. Apakah kau akan senang hatimu kalau kau dapat memukul mati Kakakmu ini, Moi-moi?"

   Lulu menengadahkan mukanya, mereka berpandangan dan Lulu terisak menangis sambil menubruk kakaknya, menyembunyikan mukanya di dada yang ditawarkan untuk ia pukul itu. Air matanya membasahi baju dan dada Han Han yang mengelus-elus kepala adiknya penuh kasih sayang.

   "Lulu, sudahlah jangan menangis. Aku bukan musuhmu melainkan Kakakmu."

   "Akan tetapi kau murid Lauw-pangcu musuh besarku."

   "Sekarang tidak lagi, Lulu. Itu dahulu ketika aku masih kecil. Engkau mendengar sendiri betapa puterinya tadi mengatakan demikian pula, bahwa dia bukan Suciku dan aku bukan Sutenya. Puterinya itu pun kini telah menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang hebat..."

   Lulu mengangkat mukanya memandang. Mukanya masih agak basah, kulit muka yang halus itu kemerahan dan kemarahan sudah menghilang dari pandang matanya yang kini menatap wajah kakaknya penuh selidik dan juga penuh kekhawatiran.

   "Koko, engkau... mencinta dia.?"

   "Siapa?"

   "Dia, puteri musuh besarku itu.."

   "Aha! Kau maksudkan Lauw Sin Lian tadi? Dia bekas Suciku, ahhh... tidak, aku tidak tahu tentang cinta, jangan bertanya yang bukan-bukan."

   "Syukurlah, aku akan bingung sekali kalau sampai engkau mencinta puteri musuh besarku. Akan bagaimanakah sikapku? Dia puteri musuh besarku akan tetapi juga... eh calon So-so (Kakak Ipar), kan merepotkan hati namanya."

   "Hussh, kau memang nakaI, Moi-moi. Apakah lupa baru saja kau mengamuk dan menangis? Sekarang sudah menggoda orang."

   Lulu tersenyum, giginya yang rapi dan putih berkilat di balik kemerahan bibirnya.

   "Tapi aku girang, tak mungkin kau menikah dengan Lauw Sin Lian. Dia sudah marah dan benci kepadamu karena kau telah membunuh murid-murid keponakannya."

   Han Han menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya.

   "Lulu, jangan menganggap hal itu seperti main-main"

   Aku tadi telah salah membunuh orang. Kusangka tadinya orang-orang Siauw-lim-pai itu yang jahat dan menjadi perampok, kiranya piauwsu-piauwsu anak murid Hoa-san-pai itu yang jahat, menyembunyikan dua orang tokoh Siauw-lim-pai yang mereka bunuh di dalam peti-peti itu."

   Seketika wajah Lulu menjadi serius dan membayangkan kekhawatiran.

   "Wah, kalau begitu engkau akan dimusuhi oleh Siauw-lim-pai, Koko?"

   Han Han tersenyum dan pandang matanya membayangkan ejekan.

   "Aku tidak takut, Mengapa mesti takut karena memang aku membunuh mereka karena salah sangka? Juga sikap mereka itu sendiri yang mendorongku membunuh mereka. Bahkan aku akan pergi ke Siauw-lim-pai, mencari Sin Lian untuk menjelaskan peristiwa itu."

   "Bagus sekali. Mari kita ke sana, Koko. Engkau ingin memberi penjelasan kepada Sin Lian dan aku akan bertanya di mana adanya Ayahnya agaraku dapat membalas dendam. Engkau tentu akan membantuku membunuh Lauw-pangcu, bukan?"

   Han Han merasa serba salah, akan tetapi dengan sungguh-sungguh ia berkata,

   "Kurasa sekarang engkau telah cukup lihai untuk mengalahkan Lauw-pangcu, Lulu. Bagaimana mungkin aku dapat turun tangan terhadap dia yang dahulu amat baik kepadaku? Aku hanya berjanji akan melindungimu jika kau sekiranya kalah, akan tetapi untuk membantumu membunuhnya..., wah, berat juga."

   "Tidak apalah tidak kau bantu juga. Kalau aku kalah, aku dapat belajar lagi darimu dan lain kali kucari lagi dia. Mari kita ke Siauw-lim-pai mencari Sin Lian, Koko."

   Akan tetapi Han Han menggeleng kepala.

   "Tidak sekarang, Moi-moi. Aku akan pergi dulu mencari pusat Pek-eng-piauwkiok itu. Aku telah kesalahan tangan membunuh murid Siauw-lim-pai dan semua itu hanya karena kejahatan dan kepalsuan orang-orang Pek-eng-piauwkiok. Mungkin dua orang piauwsu yang mengawal dua peti terisi mayat dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam itu pun hanya petugas saja. Tentu ketua piauwkiok itu yang menjadi biang keladi dan yang bertanggung jawab. Dia yang harus menebus semua kesalahan ini. Setelah aku menghukum orang yang menjadi biang keladi peristiwa di hutan itu, yang menjadi pembunuh dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, barulah aku akan mengajakmu pergi ke Slauw-lim-pai."

   'Tapi, ke mana kau akan mencari Pek-eng-piauwkiok, Koko? Kita tidak mengenal mereka..."

   "Wah, kau bodoh sekali. Lulu, Kita pergi saja ke jurusan dari mana mereka datang, kemudian kita bertanya-tanya orang, apa sukarnya?"

   Tanpa memberi kesempatan kepada adiknya yang cerewet itu membantah lagi, Han Han menyambar tangan Lulu dan digandengnya, kemudian mengajak dara itu pergi meninggalkan tempat itu. Biarpun lama berada di Putau Es, namun Han Han masih belum kehilangan kecerdikannya kalau tak dapat dikatakan dia makin cerdik karena ada sesuatu yang aneh dalam dirinya, yang membuat otaknya dapat bekerja, lebih cepat. Tepat seperti yang diduganya, dengan mudah mereka dapat mencari keterangan tentang Pek-eng-piauwkiok. Piauwkiok yang besar dan terkenal ini berada di kota Kwan-teng, dan dua orang muda itu segera pergi ke kota Kwan-teng, tidak peduli akan tatapan pandang mata keheranan dan kagum dari orang-orang yang berjumpa dengan mereka.

   Heran melihat Han Han yang aneh dan rambutnya riap-riapan, kagum menyaksikan Lulu yang cantik jelita. Pandang mata heran dan kagum ini lama-lama terbiasa bagi mereka. Di dalam hatinya, Han Han mengambil keputusan untuk menebus semua pembunuhan. yang ia lakukan di hutan tadi, pembunuhan-pembunuhan yang ia lakukan seakan-akan di luar kesadarannya. Entah bagaimana, sekali bertemu tanding, ia mendapat perasaan gembira dan senang sekali merobohkan para lawannya tanpa dasar apa-apa. Dan begitu keluar pulau, dia telah melakukan pembunuhan terhadap orang-rang Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, dua partai persilatan yang besar"

   Karena itu, dia harus membereskan urusan ini, mencari siapa yang bersalah dan siapa yang menjadi biang keladinya.

   Memang tidak salah pendapat Han Han bahwa Hoa-san-pai adalah sebuah partai persilatan yang besar dan terkenal, sungguhpun tidaklah sebesar partai Siauw-lim-pai yang seolah-olah menjadi sumber partai persilatan di Tiongkok. Hoa-san-pai yang berpusat di puncak Gunung Hoa-san itu mempunyai banyak sekali anak murid yang pandai-pandai dan dapat dikatakan bahwa hampir seluruh anak murid Hoa-san-pai adalah tokoh-tokoh persilatan yang gagah perkasa dan terkenal sebagai pendekar-pendekar pembela keadilan. Pek-eng-piauwkiok dipimpin oleh Hoa-san Pek-eng Tan Bu Kong, seorang tokoh Hoa-san-pai yang tinggi ilmu silatnya. Di dalam anak tangga tingkat Hoa-san-pai, Tan Bu Kong menduduki tingkat lima.

   Di samping para sutenya yang tentu saja lebih rendah tingkatnya, dia telah berhasil membuat nama besar, tidak hanya mengakibatkan kemajuan dan keuntungan piauwkiok yang ia pegang, akan tetapi juga sekaligus mengangkat nama besar Hoa-san-pai. Apalagi karena di samping perusahaannya ini diam-diam Pek-eng-piauwkiok menjadi tempat pertemuan tersembunyi di antara para patriot yang melakukan gerakan menentang pemerintah penjajah Mancu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Pek-eng-piauwkiok didatangi seorang gadis Mancu yang cantik jelita dan juga aneh, yang mengirimkan dua buah peti panjang dengan biaya amat mahal itu. Setelah dua buah peti itu diberangkatkan, hati Tan Bu Kong yang menjaga di rumah menjadi amat tidak enak dan selalu gelisah.

   Dia memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat dan hatinya makin tidak enak ketika sampai sore sutenya yang ia suruh mengikuti dan menyelidiki gadis Mancu itu belum juga kembali. Sutenya itu, Teng Lok, memiliki kepandaian yang boleh diandalkan dan terutama sekali ginkangnya amat tinggi, tidak kalah oleh dia sendiri. Mengapa sampai sore belum juga sutenya itu kembali? Menjelang malam, Tan-piauwsu mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia, meloncat dan berlari keluar dengan jantung berdebar, siap menghadapi segala kemungkinan karena agaknya para anak buahnya ribut-ribut oleh sesuatu yang tentunya tidak beres. Ketika ia tiba di luar dan memandang, wajahnya menjadi pucat dan cepat ia menyongsong ke depan dan berseru.

   "Teng-sute...."

   Adik seperguruannya itu sedang digotong oleh anak buahnya dan agaknya begitu tiba di depan gedung piauwkiok, adik seperguruannya itu roboh pingsan. Tidak aneh kalau melihat keadaannya yang demikian mengerikan. Lengan kanannya buntung sebatas siku dan lehernya terluka mengeluarkan darah. Cepat orang she Teng ini digotong masuk direbahkan di atas dipan dalam kamar. Setelah menerima perawatan, akhirnya dia mengerang dan siuman. Luka di lehernya tidak membahayakan, hanya lengannya yang buntung itu benar-benar mengerikan. Ketika ia menengok dan memandang suhengnya duduk di situ menjaganya, ia mengeluh.

   "Ahhh, Suheng... untung siauwte masih hidup... dan dapat bercerita kepada Suheng.."

   Tan Bu Kong menekan pundak sutenya dan dengan terharu berkata,

   "Tenanglah, Sute dan ceritakan perlahan-lahan dan seenaknya, engkau masih amat menderita.."

   "Tidak, harus sekarang juga Suheng dengar. Gadis Mancu itu bukan manusia. Dia seperti iblis, Ketika aku mengikuti keretanya, kusangka tidak ada yang tahu dan aku terus membayanginya sampai kereta itu berhenti di luar kota raja di mana terdapat sebuah gedung peristirahatan yang mewah, entah punya siapa, yang jelas tentu milik seorang pembesar Mancu. Diam-diam aku lalu menyelidik dan akhirnya aku dapat membekuk seorang pelayan, kuseret keluar dan di bawah ancaman, dia mengaku bahwa gedung itu tempat peristirahatan Puteri Nirahai yang katanya adalah puteri Kaisar Mancu dari selir. Akan tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dan gadis Mancu itu telah berada di situ tanpa kuketahui sama sekali. Dia menyindir bahwa aku sejak tadi membayangi keretanya dan untuk kelancangan itu aku harus dihukum. Aku menyatakan bahwa sebagai pimpinan piauwkiok, aku wajib mengetahui alamat pengirim barang. Dia tidak peduli dan minta supaya aku membuntungi lengan kananku dengan pedang sendiri."

   "Ah..., terang dia bersikap tidak baik terhadap kita."

   Kat a Tan Bu Kong marah.

   "Bukan hanya tidak baik, bahkan telah direncanakannya, Suheng. Aku tentu saja tidak mau dan hendak pergi, akan tetapi aku selalu terguling roboh setiap kali tangannya bergerak mendorongku. Agaknya dia memiliki sinkang yang luar biasa dan dengan pukulan jarak jauh selalu merobohkan aku setiap aku hendak pergi. Aku menjadi marah, mencabut pedang dan menyerang gadis penjajah laknat itu."

   Muka Teng Lok menjadi merah karena ia masih penasaran dan marah terhadap gadis bangsa Mancu itu.

   "Lalu bagaimana, Sute?"

   "Dia lihai sekali. Entah bagaimana aku sendiri tidak tahu, tiba-tiba pedangku telah dirampasnya dan di lain saat, lenganku telah terbabat buntung dan leherku terluka. Hanya dengan mengandalkan ginkang saja aku dapat melarikan diri untuk melapor kepadamu, Suheng."

   Pucat wajah Tan Bu Kong, pucat karena kaget dan marah. Dia maklum akan gawatnya persoalan. Andaikata gadis itu bukan puteri Mancu, apalagi puteri kaisar sendiri, tentu dia akan mengerahkan tenaga untuk mendatangi dan membalas semua ini. Akan tetapi gadis itu adalah puteri Mancu, kalau diganggu, tentu berarti merupakan perang terbuka menentang Pemerintah Mancu dan hal ini akan menyeret pula Hoa-san-pai.

   "Itu belum semua, Suheng,"

   Kata pula Teng Lok sambil memandang wajah suhengnya yang berkerut.

   "Ketika aku lari, aku tahu bahwa jika dia menghendaki, tentu dia akan dapat mengejar dan membunuhku. Akan tetapi dia hanya tertawa dan mengatakan bahwa kita harus bersiap-siap menanti serbuan orang-orang Siauw-lim-pai. Entah apa maksudnya, akan tetapi aku khawatir sekali, Suheng. Gadis itu seperti iblis betina yang entah pekerjaan terkutuk apa yang sedang dia lakukan..."

   "Hemmm..., tentu ada hubungannya dengan peti-peti itu. Baik kita tunggu saja dan engkau beristirahatlah, Sute sambil merawat diri. Kelak, karena lengan buntung, tentu Suhu akan dapat memberi ilmu yang khusus untukmu. Sementara ini, aku akan memperkuat penjagaan, bersiap menanti datangnya bahaya yang terasa benar olehku sedang mengancam kita."

   Semenjak sore hari itu, sampai tiga hari tiga malam lamanya, Tan Bu Kong makin gelisah, duduk salah berdiri pun tak enak, makan tak sedap tidur tak nyenyak, dan selalu menanti-nanti kembalinya rombongan sutenya yang pergi mengawal dua buah peti itu ke selatan. Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika pada suatu sore, sepekan kemudian, rombongan anak buahnya berlari-lari datang dengan wajah kusut, tanpa membawa kereta piauwkiok dan tanpa dipimpin oleh dua orang sutenya yang bertugas mengantar dua buah peti itu.

   Tan-piauwsu membentak para anak buahnya yang bercerita simpang-siur dan amat gaduh, lalu memerintahkan seorang di antara mereka, yang tertua, menceritakan semua pengalamannya. Piauwsu tua itu bercerita sambil mencucurkan air mata, menceritakan semua peristiwa yang terjadi, betapa kereta mereka dihadang oleh serombongan anak murid Siauw-lim-pai yang hendak memaksa membuka dua buah peti itu, kemudian betapa mereka bertanding meJawan anak-anak murid Siauw-lim-pai dan munculnya seorang pemuda aneh yang rambutnya riap-riapan bersama seorang dara remaja jelita yang secara mengerikan telah merobohkan dan menewaskan tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai, kemudian betapa muncul seorang gadis anak murid Siauw-lim-pai yang lihai dan yang membuka dua buah peti dengan secara paksa.

   "Dibuka? Apa isinya...?"

   Tan-piauwsu bertanya dengan suara keras saking tegang hatinya.

   "Isinya adalah dua mayat manusia, mayat dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam.."

   "Hayaaa...."

   Tan Bu Kong mencelat bangun dari kursinya dengan muka pucat sekali.

   "Celaka..."

   Piauwsu itu lalu melanjutkan ceritanya. Betapa gadis murid Siauw-lim-pai itu menyerang Si Pemuda aneh namun dapat dikalahkan dan kemudian gadis itu membawa pergi jenazah-jenazah dalam peti dan jenazah para anak murid Siauw-lim-pai. Kemudian, dengan suara terengah-engah dia menceritakan betapa pemuda aneh itu menjadi marah kepada para piauwsu, dan dengan sekali gerakan telah membunuh Lie Cit San dan Ok Sun.

   "Ahhh. Siapakah pemuda yang ganas dan kejam itu?"

   Tan-piauwsu berseru dengan alis berdiri.

   "Entahlah, hanya kami mendengar gadis murid Siauw-lim-pai yang lihai itu mengenalnya dan pemuda itu malah menyebut Suci kepada murid Siauw-lim-pai itu, dan gadis itu menyebut namanya Han Han..."

   Akan tetapi, biarpun kedua orang sutenya tewas, hal ini tidak mengurangi kekhawatiran hati Tan-piauwsu dan kemarahannya terhadap Si Puteri Mancu. Sebagai seorang yang berpengalaman, tahulah dia bahwa pihaknya, yaitu Pek-eng-piauwkiok yang tentu saja dapat juga dianggap mewakili Hoa-san-pai, telah diadu domba secara licin dan keji sekali oleh Puteri Mancu yang lihai itu. Pantas saja puteri itu menyindir kepada sutenya, Teng Lok bahwa Hoa-san-pai harus bersiap-siap untuk menghadapi penyerbuan Siauw-Hm-pai"

   Kini jelaslah sudah bahwa dua orang tokoh Siauw-Hm-pai itu, kedua orang dari Siauw-lim Chit-kiam, telah dibunuh oleh puteri Mancu yang kemudian memasukkan dua jenazah itu ke dalam peti dan sengaja menyuruh Pek-eng-piauwkiok mengawalnya ke selatan. Dan ia dapat menduga pula bahwa tentu pihak Siauw-lim-pai secara diam-diam diberi tahu oleh puteri iblis itu sehingga mereka menghadang kereta dan minta lihat isi peti.

   Hal ini kalau dipikirkan amat sederhana, sebuah tipu muslihat yang mudah, akan tetapi betapa kejinya. Tentu saja pihak Siauw-lim-pai berkeyakinan bahwa dua orang tokoh mereka itu terbunuh oleh Hoa-san-pai dan tentu akan timbul dendam dan bentrokan hebat antara kedua partai besar ini. Tan-piauwsu termenung. Si pembuat urusan ini adalah puteri Mancu itu, tak salah lagi, sungguhpun ia bergidik kalau mengingat betapa dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam sampai dapat terbunuh. Padahal dia tahu bahwa Siauw-lim Chit-kiam adalah tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang sakti, yang memiliki tingkat ilmu kepandaian amat hebatnya, masing-masing merupakan tokoh Siauw-lim-pai tingkat tiga. Kalau biang keladinya adalah puteri Mancu, dan yang menjadi korban adalah Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, dua buah partai yang menentang Mancu, maka mudah saja diduga sebabnya.

   Tentu pihak Pemerintah Mancu sengaja mengadu domba Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai agar dua partai yang me musuhi Mancu ini menjadi lemah dan saling gempur sendiri. Dan hal ini amatlah berbahaya. Malam hari itu juga Tan Bu Kong menyuruh seorang sutenya untuk pergi keHoa-san, miengabarkan peristiwa hebat ini kepada pimpinan Hoa-san-pai agar dapat mengambil langkah-langkah seperlunya untuk-mencegah terjadinya pertentangan hebat antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang akan timbul sebagai akibat taktik adu domba yang amat keji itu. Juga mengundang tokoh-tokoh sakti Hoa-san-pai untuk diajak mengambil tindakan terhadap puteri Mancu yang amat sakti dan aneh itu,

   Karena dia maklum bahwa dia sendiri takkan mungkin dapat mengalahkan puteri Mancu yang telah berhasil membunuh dua orang sakti seperti dua di antara Siauw-lim Chit-kiam. Atau, andaikata bukan puteri itu yang membunuh, karena dia masih tidak percaya seorang puteri remaja seperti itu akan sanggup membunuh dua di antara Siauw-lim Chit-kiam, tentu ada orang sakti di belakang puteri itu yang tentu akan melindungi Sang Puteri. Pada keesokan harinya, tanpa. disangka-sangka muncullah seorang pemuda tinggi besar yang gagah dan tampan bersama seorang gadis baju kuning yang cantik manis. Kedatangan dua orang in sedikit menghibur hati Tan Bu Kong karena mereka itu, biarpun terhitung sute dan sumoinya, namun murid-murid dari supeknya ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampauinya.

   Sutenya itu adalah seorang pemuda yang tampan dan tinggi besar, usianya dua puluh tahun lebih, gerak-geriknya halus, wajahnya periang dan peramah, namun sesungguhnya dia inilah pendekar muda Hoa-san-pai yang berjuluk Hoa-san Gi-hiap (Pendekar Budiman dari Hoa-san)"

   Adapun gadis cantik manis berusia antara delapan belas tahun itu pun bukan sembarang orang karena dialah tokoh kang-ouw yang amat terkenal yang berjuluk Hoa-san Kiam-li (Dewi Pedang Hoa-san)"

   Biarpun masih muda, dua orang pendekar Hoa-san ini telah membuat nama besar dengan perbuatan-perbuatan mereka yang menggemparkan dalam membela kebenaran dan keadilan. Ketika melihat wajah suheng mereka yang keruh, pemuda dan dara ini cepat bertanya apa yang terjadi sehingga menyusahkan hati Tan-piauwsu.

   "Kami berdua menerima pesan Suhu untuk datang membantu usaha Suheng menghimpun orang-orang gagah yang bergerak menentang kekuasaan penjajah Mancu,"

   Kata pemuda tampan itu.

   "Mengapa Suheng kelihatan tidak bersemangat dan berduka?"

   Dapat dibayangkan betapa kaget hati dua orang muda perkasa itu ketika tiba-tiba Tan-piauwsu mengeluh, menarik napas panjang dan matanya menjadi basah dengan air mata. Suheng mereka, yang gagah perkasa dan banyak penga.laman di dunia kang-ouw itu, menangis. Tentu terjadi sesuatu yang amat hebat.

   "Sute dan Sumoi, kedatangan kalian ini merupakan cahaya penerang bagi hatiku yang sedang gelap, akan tetapi aku membutuhkan bantuan para Lo-cian-pwe, para Susiok dan Suhu kita di Hoa-san-pai karena tanpa mereka, kiranya sukar untuk membikin terang perkara yang amat gelap in."

   Tan Bu Kong lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi semenjak puteri Mancu itu menitipkan dua buah peti untuk dikirim ke selatan. Mendengar semua itu, Hoa-san Gihiap mengepalkan tinjunya.

   "Ah, jelas. Puteri Mancu itulah yang mengatur semua rencana terkutuk itu, Biarlah aku akan pergi menangkapnya, kemudian menyeretnya ke Siauw-lim-pai, memaksanya mengaku akan semua perbuatannya. Hanya dengan jalan itu, semua perkara dapat dlbereskan, Suheng."

   "Betul pendapat Wan-suheng."

   Kata Hoa-san Kiam-li penuh semangat.

   "Biar aku membantu Wan-suheng menangkap iblis betina itu."

   Tan Bu Kong mengangkat tangan dan menggeleng kepala.

   "Bukan aku kurang percaya akan kesanggupan Sute dan Sumoi, akan tetapi sungguh sembrono sekali kalau hal itu dilakukan. Pertama, ada kemungkinan puteri itu memiliki kelihaian yang amat luar biasa kalau benar dia yang membunuh dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam. Kelihaiannya telah dirasakan oleh Suheng kalian Teng Lok, akan tetapi akan lebih hebat lagi kalau dia dapat membunuh dua orang Locian-pwe dari Siauw-lim-pai itu. Selain itu, mungkin dia mempunyai kaw an-kawan yang berilmu tinggi dan hal ini tidak mengherankan kalau diingat betapa datuk-datuk besar golongan hitam banyak yang menghambakan diri kepada penjajah Mancu. Hal itu saja sudah menjadi sebab yang harus kita perhatikan dan sama sekali tidak boleh dianggap ringan. Ada lagi hal yang harus dipikirkan masak-masak sebelum kalian mengambil keputusan untuk menangkap puteri itu. Dia adalah puteri dari Kaisar Mancu sendiri, sungguhpun puteri selir namun kedudukannya amat tinggi sehingga kalau sampai dia kita tawan, tentu akan timbul geger dan Hoa-san-pai tentu akan diserang secara terang-terangan oleh bala tentara Mancu. Dalam hal ilmu kepandaian, tentu Sute dan Sumoi jauh melampaui aku, namun dalam hal pengalaman, aku jauh lebih tua dan lebih banyak mengalami hal-hal yang sulit. Sebaiknya, Sute dan Sumoi secara diam-diam melakukan penyelidikan terhadap Puteri itu. Tentu saja kalian harus berhati-hati, jangan sampai terjadi hal yang menimpa diri Sute Teng Lok. Cukup kalau Sute dan Sumoi mengetahui latar belakang puteri itu, apakah ada orang-orang sakti di sana, dan siapa sesungguhnya puteri yang aneh dan lihai itu."

   Mau tidak mau kedua orang muda perkasa itu harus tunduk dan merasa kagum akan pandangan yang luas dari suheng mereka itu. Mereka menyanggupi dan pertemuan antara murid-murid seperguruan itu dilanjutkan dengan makan minum dalam suasana prihatin.

   "Sebaiknya Sute dan Sumoi melakukan penyelidlkan di waktu siang saja agar tidak berbahaya. Kita menanti kembalinya utusanku ke Hoa-san, dan setelah para Locianpwe dari Hoa-san tiba, barulah kita mengambil keputusan berdasarkan pendapat beliau-beliau itu, agar sepak terjang kita tidak simpang-siur."

   Demikian pesan Tan Bu Kong yang dipatuhi oleh dua orang adik seperguruannya.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dua orang muda perkasa itu sudah meninngalkan piauwkiok dan melakukan penyelidikan ke tempat yang ditunjuk oleh teng Lok, yaitu di luar kota raja yang tidak begitu jauh dari situ, hanya dalam jarak perjalanan seperempat hari saja. Pada sore harinya menjelang senja, selagi Tan-piauwsu dan para anak buahnya duduk menanti kedua orang sutenya itu, juga menanti berita dari Hoa-san, tiba-tiba muncul dua orang muda di depan pintu gerbang piauwkiok. Melihat mereka ini, para pengawal yang tempo hari ikut mengawal dua peti jenazah, menjadi pucat dan gugup. Ada yang berbisik-bisik.

   "Dia datang. Dia datang..."

   Ketika Tan Bu Kong menengok dan melihat seorang pemuda yang berambut panjang riap-riapan, berwajah tampan dan aneh,

   Sinar matanya tajam sekali dengan sikap tenang muncul di depan pintu menggandeng tangan seorang dara remaja yang cantik jelita, kemudian mendengar suara orang-orangnya, hatinya berdebar dan ia dapat menduga bahwa tentu inilah pemuda aneh yang telah membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai dan membunuh pula dua orang sutenya, yaitu Lie Cit San dan Ok Sun. Sejenak Tan-piauwsu terbelalak keheranan, sama sekali tidak mengira bahwa orang yang dikabarkan amat aneh dan amat lihai itu hanyalah seorang pemuda remaja yang kelihatannya terlalu tenang dan terlalu lemah, bahkan terlalu sederhana mendekati tidak normal. Yang membiarkan rambutnya terurai seperti itu biasanya hanyalah kaum pertapa yang tidak peduli lagi akan keadaan dirinya.

   "Apakah di sini Pek-eng-piauwkiok?"

   Han Han, pemuda itu, bertanya sambil memandang ke arah Tan-piauwsu yang baru muncul dari dalam dengan langkah lebar. Tan Bu Kong mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan sambil menjawab,

   "Benar, di sini adalah kantor Peng-eng-piauwkiok. Kalau Siauw-enghiong (Pemuda Gagah) ada keperluan, silakan masuk, kita bicara di dalam."

   
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Betapapun juga, Han Han yang sudah mengerti akan sopan santun dan belajar tentang kebudayaan dan kesusastraan semenjak kecil, menjadi kikuk juga dan terpaksa ia pun membalas dengan mengangkat kedua tangan depan dada sambil melangkah masuk, diantar oleh tuan rumah memasuki ruangan dalam yang luas. Di belakang Tan-piauwsu, para pengawal mengikuti dengan wajah tegang. Teng Lok masih beristirahat di dalam kamarnya dan di situ hanya terdapat empat orang sute Tan-piauwsu yang tingkat kepandaiannya belum dapat diandalkan, sungguhpun tentu saja sebagai murid-murid Hoa-san-pai jauh lebih lihai daripada semua pengawal yang bekerja di Pek-eng-piauwkiok.

   "Siauw-enghiong dan Lihiap, silakan duduk,"

   Kata Tan-piauwsu. Akan tetapi Han Han tetap berdiri dan Lulu juga berdiri karena melihat kokonya tidak duduk. Gadis ini hanya memandang ke kanan kiri, mengagumi perabot rumah yang biarpun tidak seindah perabot di Istana Pulau Es, namun jauh berbeda. Han Han berkata dengan kening dikerutkan.

   "Harap tidak usah repot-repot karena saya datang untuk mencari pemimpin Pek-eng-piauwkiok."

   Tan-piauwsu memandang tajam, lalu menjawab,

   "Saya Tan Bu Kong adalah pemimpin Pek-eng-piauwkiok. Enghiong siapakah dan ada keperluan apa mencari saya?"

   Sebagai seorang yang berpengalaman, piauwsu ini tidak langsung menyatakan mengenai pemuda ini, melainkan pura-pura bertanya akan maksud kedatangan pemuda itu yang, memang belum dapat ia menduganya.

   "Bagus sekali! Jadi engkau pemimpin piauwkiok ini? Tan-piauwsu, tidak perlu main sandiwara lagi. Tentu orang-orangmu telah menceritakan betapa aku telah membunuh kedua orang pembantumu. Engkau tentu yang bertanggung jawab tentang pengiriman dan pembunuhan dua orang tokoh Siauw-lim-pai, dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Karena itu, aku datang untuk membunuhmu sebagai tebusan kejahatanmu. Bersiaplah."

   Han Han sudah bergerak hendak memukul.

   "Nanti dulu, Siauw-enghiong. Yang kau bunuh itu adalah dua orang Suteku, justeru aku ingin bertanya mengapa engkau membunuh mereka? Dan mengapa pula engkau hendak membunuhku?"

   "Sudah jelas, kalian telah membunuh dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam dan memasukkan jenazah mereka dalam peti. Karena salah sangka, aku membantu orang-orangmu dan kesalahan tangan membunuh orang-orang Siauw-lim-pai. Engkaulah yang bertanggung jawab. Aku bukan algojo, tukang bunuh orang tanpa sebab, maka engkau yang menjadi biang keladinya harus menebus dosa."

   Setelah berkata demikian, Han Han menggerakkan tangan kirinya melakukan pukulan dengan jari tangan terbuka.

   "Wesssss..."

   Angin pukulan yang amat dingin menyambar. Tan-piauwsu mengenal tenaga sakti yang menyambar ganas. Ia berseru kaget dan cepat ia meloncat ke kanan untuk mengelak. Sebuah meja yang berdiri dua meter dibelakangnya menggantikannya kena sambaran tenaga pukulan itu dan pecah berantakan, terlempar sapai jauh. Tan Bu Kong merasa ngeri, dan cepat ia melompat mundur sambil berseru,

   "Nanti dulu, Siauw-enghiong. Aku sama sekali tidak mengerti tentang jenazah-jenazah itu. Bukan kami yang bertanggung jawab, kami pun terperosok dalam perangkap musuh.."

   "Sudah ada bukti hendak menyangkal lagi? Koko, orang ini pintar mainkan lidah, jangan kena dibohongi. Sikat saja."

   Kata Lulu yang ingin agar urusan ini cepat selesai sehingga ia dapat mengajak kakaknya mencari lauw Sin Lian agar dapat ia bertanya tentang musuh besarnya, ayah dari gadis itu. Han Han juga berpendapat seperti Lulu. Sudah jelas buktinya bahwa peti-peti yang berisi jenazah itu diangkut oleh Pek-eng-piauwkiok, dan jelas pula bahwa ketika orang-orang Siauw-lim-pai minta supaya peti-peti itu dibuka, para pengawal Pek-eng-piauwkiok rnencegahnya mati-matian. Andaikata bukan orang Siauw-lim Chit-kiam, setidaknya Pek-eng-piauwkiok tentu bersekutu untuk rahasiakannya.

   "Tidak perlu banyak cakap lagi."

   Katanya karena hatinya amat kesal kalau ia teringat betapa ia telah membunuh tujuh orang Siauw-lim-pai yang tidak berdosa dan karenanya Sin Lian, gadis yang dahulu amat baik terhadap dirinya, yang telah berkali-kali menolongnya,

   Dan yang dengan rajin sekali memberi petunjuk-petunjuk kepadanya ketika ia mula-mula berlatih silat, menjadi marah-marah dan membenci kepadanya. Ia memukul lagi dengan tangan kirinya. Akan tetapi Tan-piauwsu yang sudah siap sedia dan yang melihat gerakan pemuda aneh itu maklum betapa pemuda itu gerakannya kaku namun memiliki hawa sakti yang menggiriskan, telah berkelebat cepat, mempergunakan ginkangnya meloncat tinggi dan melewati tubuh Han Han sambil mengayun tangan menotok pundak pemuda itu. Tan Bu Kong berjuluk Hoa-san Pek-eng (Garuda Putih dari Hoa-san), dan julukan ini saja menunjukkan bahwa dia dapat bergerak tangkas dan cepat seperti seekor burung garuda putih. Kecepatannya yang luar biasa ini membuat Han Han tak dapat menghindarkan totokan sehingga dua jari tangan piauwsu itu dengan keras menotok pundaknya.

   "Dukkk."

   "Aduhhhhh..."

   Bukan Han Han yang mengaduh, melainkan Tan-piauwsu sendiri karena tulang kedua jari tangannya hampir patah ketika ia menotok pundak yang keras dan panas seperti besi membara. Han Han menjadi marah, lalu memutar tubuhnya sehingga kedua kakinya bersilang, tangan kanan diayun ke depan mendorong ke arah tubuh Tan-piauwsu yang baru saja turun ke atas lantai.

   "Aihhh..."

   Tan Bu Kong cepat meloncat lagi ke atas.

   "Byarrr..."

   Pukulan tangan kanan Han Han mengandung tenaga sakti Yang-kang dan karena pukulannya dielakkan, maka hawa pukulannya terdorong terus menghantam tiang balok besar. Separuh dari tiang kayu itu rontok dan mengepulkan asap, sebagian besar gosong seperti terbakar api. Tan-piauwsu dan para sutenya yang menyaksikan kehebatan pukulan ini, menahan napas dan mereka telah bersiap-siap untuk mengeroyok. Namun Han Han tidak mempedulikan mereka, terus mengejar Tan-piauwsu yang mempergunakan gerakan-gerakan ginkang untuk menghindarkan diri dari setiap pukulan jarak jauh.

   Betapapun cepat gerakan Tan-piauwsu, ternyata gerakan Han Han yang memiliki tingkat sinkang jauh lebih kuat masih menang cepat. Pemuda ini mulai meloncat-loncat pula sehingga dalam belasan kali serangan saja, Tan-piauwsu telah kehilangan lubang untuk mengelak, sehingga ketika ia untuk ke sekian kalinya meloncat ke atas untuk menghindarkan diri, ia kurang cepat dan pun dak kirinya masih terkena sambaran hawa sakti dari dorongan tangan kiri Han Han. Biarpun tidak tepat kenanya, hanya diserempet saja, namun tubuh Tan-piauwsu terguling dan dia menggigil karena kedinginan. Namun, piauwsu yang sudah banyak pengalaman ini masih sempat mencegah sute-sutenya dengan teriakan,

   "Sute, mundur semua."

   Dan ia sendiri lalu meloncat ke atas karena dorongan tangan kanan Han Han telah menyusulnya.

   "Desssss."

   Lantai menjadi berlubang dan mengepulkan asap ketika terkena sambaran hawa yang keluar dari tangon kanan pemuda sakti itu. Ia mulai merasa penasaran dan ketika ia hendak menerjang tubuh Tan-piauwsu yang masih melambung itu tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang cepat sekali gerakannya, kemudian tahu-tahu tubuh Tan-piauwsu telah disambar orang itu sehingga kembali pukulan Han Han luput. Ternyata yang datang dan sempat menolong Tan-piauwsu dari bahaya maut itu adalah seorang pemuda tampan sekali, bertubuh tinggi besar dan di belakangnya berdiri seorang gadis cantik yang sudah mencabut pedang dan sikap keren berdiri memandang Han
(Lanjut ke Jilid 13)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13
Han.

   Pemuda itu adalah Hoa-san Gi-hiap dan gadis itu bukan lain adalah sumoinya, Hoa-san Kiam-li. Mereka berdua baru saja pulang dari penyelidikan mereka ke gedung tempat tinggal puteri Mancu. Ketika mereka memasuki piauw-kiok, mereka melihat pertandingan itu dan terkejut sekali mereka menyaksikan suheng mereka terancam bahaya. Hoa-san Gi-hiap yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada Tan-piauwsu, sekali pandang saja maklum bahwa pemuda rambut panjang itu memiliki sinking yang luar biasa sekali dan bahwa untuk menolong suhengnya, jalan satu-satunya hanya menyambar tubuhnya dan membawanya pergi. Maka ia cepat meloncat, menggunakan ginkangnya dan untung ia tidak terlambat sehingga Tan-piauwsu terhindar dari bencana maut.

   "Siapakah engkau yang datang membikin kacau di sini?"

   Hoa-san Gi-hiap menegur setelah ia menurunkan tubuh Tan Bu Kong yang segera bersila di lantai sambil mengatur napas untuk melawan hawa dingin yang menerobos masuk melalui pundaknya.

   "Hemmm, dan kau sendiri siapa berani berlancang tangan mencampuri urusan orang lain?"

   Han Han juga menegur. Dua orang muda itu berhadapan, saling memandang dengan sinar mata tajam.

   Mereka sama tinggi, hanya Han Han kalah gemuk karena dia memang agak kurus, sama tampan dan usia mereka pun agaknya sebaya. Para murid Hoa-san-pai dan para pengawal memandang dengan hati tegang. Pemuda rambut riap-riapan itu lihai sekali, akan tetapi mereka pun maklum bahwa pemuda tokoh Hoa-san-pai itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampaui tingkat Tan-piawsu sendiri. Juga Hoa-san Kiam-li amat lihai sehingga dengan adanya dua orang muda itu, hati mereka menjadi lega. Han Han dan jago muda Hoa-san-pai itu masih saling berpandangan, tidak menjawab pertanyaan masing-masing yang sama maksudnya. Akan tetapi pandang mata mereka kini berubah, tidak lagi penuh penasaran dan kemarahan seperti tadi, melainkan penuh keheranan, keraguan dan menduga-duga.

   "Ya Tuhan..! Bukankah kau... kau Sie Han? Yang dahulu disebut Han Han, gembel baik budi yang membagi-bagi roti?"

   Hoa-san Gi-hiap berseru penuh keheranan.

   "Dan kau..., gembel cilik nakal, kau Wan Sin Kiat yang dahulu kepingin menjadi perwira. Benarkah?"

   Teriak Han Han. Dua orang muda itu saling pandang, kemudian tertawa bergelak lalu saling tubruk, saling rangkul sambil tertawa-tawa. Semua orang yang berada di situ memandang dengan mata terbelalak, mereka tertegun dan hanya dapat mernandang dua orang muda yang tadinya diharapkan akan bertanding dengan hebat kini malah berpelukan dan tertawa-tawa itu.

   "Koko, siapakah dia ini? Gembel cilik nakal? Kawan gembelmu di waktu kecil? Wah, ketika aku dahulu menjadi gembel cilik, aku tidak punya sahabat baik."

   Kata Lulu yang menghampiri mereka. Han Han masih tertawa-tawa ketika ia melepaskan rangkulannya dari pundak Sin Kiat atau Hoa-san Gi-hiap itu. Ia lalu menoleh kepada adiknya.

   "Lulu, dia ini bernama Wan Sin Kiat, sahabat baikku, seorang jantan tulen. Sin Kiat, ini Adikku yang manis, namanya Lulu"

   Sin Kiat yang tentu saja tidak biasa dengan sikap tulus wajar seperti itu, menjura kepada Lulu dengan muka merah. Jantungnya terasa seperti copot tersendal keluar oleh sinar mata yang menyorot dari sepasang mata yang seperti bintang kembar itu. Ia menahan napas karena harus ia akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan seorang dara sejelita ini. Dan dara ini adik Han Han. Setelah menjura dengan hormat tanpa dibalas oleh Lulu yang hanya memandang kagum melihat wajah tampan dan sikap halus ramah itu, Sin Kiat menoleh kepada sumoinya yang juga sudah menghampiri mereka.

   "Han Han, dia adalah Sumoiku, namanya Lu Soan Li. Sumoi, inilah Sie Han, sahabat baikku di waktu kecil."

   Han Han masih ingat untuk melakukan penghormatan dengan merangkap kedua tangan di depan dada, akan tetapi mulutnya langsung menyatakan isi hatinya tanpa disadarinya,

   "Nona cantik sekali."

   Lu Soan Li menjadi merah mukanya, semerah udang direbus dan semua orang mendengarkan sambil menahan napas. Akan tetapi Soan Li tidak marah, hanya tersenyum dan membalas penghormatan Han Han.

   "Sute! Apa artinya ini? Dia.. dia sahabatmu?"

   Tiba-tiba Tan Bu Kong menegur dan piauwsu ini sudah dapat berdiri, memandang dengan mata terbelalak penuh rasa heran dan penasaran. Sin Kiat teringat akan suhengnya.

   "Suheng, dia ini Sie Han, sahabatku. Han Han, dia ini Tan-suheng. Eh, mengapa kau tadi bertempur melawan Suheng? Kau hebat bukan main, untung aku keburu datang. Kenapakah kau memusuhi Suhengku yang baik hati ini?"

   Alis Han Han berkerut.

   "Ah, dia Suhengmu, Sin Kiat? Hemmm sungguh tidak menyenangkan sekali. Harap kau ingat akan persahabatan kita dan jangan mencampuri urusan ini. Aku datang hendak membunuh orang jahat ini."

   "Eh, apa artinya ini? Han Han, mengapa begitu?"

   "Sute, mengapa engkau begini lemah? Biarpun di waktu kecil sahabat, akan tetapi sekarang dia musuh besar kita. Dia seorang kejam yang telah membunuh kedua Suhengmu Lie Cit San dan Ok Sun."

   Sin Kiat dan Soan Li melangkah mundur sampai tiga tindak dengan muka pucat. Apalagi Sin Kiat, dia terheran-heran dan sejenak menjadi bingung mendengar keterangan yang baginya seperti halilintar menyambar ini.

   "Han Han, Benarkah itu? Engkau yang membunuh dua orang Suhengku yang mengawal kereta?"

   Han Han mengangguk.

   "Benar, Sin Kiat. Dan aku akan membunuh Tan-piauwsu ini pula, harap engkau jangan mencampurinya."

   Dengan wajah pucat Sin Kiat memandang sahabatnya di waktu kecil itu.

   "Han Han, benarkah engkau menjadi begini kejam sekarang? Ceritakan mengapa engkau membunuh dua orang Suhengku yang mengawal kereta dan mengapa pula kau hendak membunuh Tan-suheng. Aku sudah mendengar penuturan para pengawal Pek-eng-piauwkiok, akan tetapi sepak terjangmu sungguh membuat aku tidak mengerti."

   "Sin Kiat, bukan urusanmu. Minggirlah."

   "Tidak! Kalau kau tidak mau memberi penjelasan, lebih baik kau membunuh aku pula, dan tentu akan kucoba melawanmu sekuatku."

   Mereka berpandangan pula. Han Han menghela napas.

   "Engkau keras kepala seperti dulu. Aku membunuh dua orang piauwsu itu karena mereka jahat, mereka menyembunyikan jenazah dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam dalam kereta, melarang orang-orang Siauw-lim-pai melihat jenazah, sehingga aku menjadi tertipu pula, membantu mereka dan kesalahan tangan membunuh tujuh murid Siauw-lim-pai yang tidak berdosa. Karena itu aku membunuh dua orang piauwsu itu dan kini aku akan membunuh pula Tan-piauwsu yang sebagai pemimpin menjadi biang keladi utama."

   Sin Kiat mengangkat tangannya.

   "Wah, semua adalah kesalah-pahaman yang amat besar. Semua adalah sahabat-sahabat, baik antara Siauw-lim-pai dengan Hoa-san-pai, maupun antara engkau pribadi dengan kami. Kita semua telah menjadi korban perbuatan terkutuk, korban tipu muslihat yang dipasang oleh puteri Mancu yang lihai itu, Tan-suneng, Han Han tidak dapat dipersalahkan telah membunuh Lie-suheng dan Ok-suheng setelah dia membantu mereka menghadapi orang-orang Siauw-lim-pai, Han Han, akulah yang menanggung bahwa kami semua, terutama Tan-suheng, sama sekali tidak bersalah dalam urusan dua jenazah dalam peti. Mari kita bicara dan dengarlah penuturanku."

   Sin Kiat menggandeng tangan Han Han, menariknya duduk menghadapi meja besar di ruangan itu. Lulu mengikuti kakaknya, dan Soan Li juga mengikuti suhengnya, kedua orang gadis ini tidak ikut bicara karena maklum betapa tegangnya urusan antara mereka itu. Setelah mereka mengambil tempat duduk, Wan Sin Kiat menceritakan semua peristiwa yang terjadi dari semula ketika gadis Mancu, yang ternyata adalah Puteri, Nirahai seperti ia ketahui dari hasil penyelidikannya hari itu, mendatangi Pek-eng-piauwkiok mengirimkan dua buah peti dengan biaya mahal namun dengan janji takkan dibuka dan apabila tidak sampai di tempatnya, Pek-eng-piauwkiok akan dibasmi dan dianggap pemberontak.

   "Kami tidak mungkin dapat menolak permintaannya yang luar biasa itu, Sie-enghiong,"

   Tan-piauwsu memotong cerita sutenya.

   "karena mengingat bahwa dia itu adalah seorang puteri Kaisar sehingga apabila kami menolak, tentu kami akan dicap menentang pemerintah. Dan sebagai ksatria yang memegang teguh janji, tentu saja para pembantuku tidak mau membuka peti-peti itu, biarpun dengan taruhan nyawa karena hal itu telah menjadi tugas mereka. Kalau saja kami tahu bahwa isi dua buah peti adalah jenazah manusia, apalagi jenazah kedua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam yang terkenal, biar dihukum mati sekalipun tentu saja kami tidak sudi menerima permintaan puteri iblis itu."

   Wan Sin Kiat lalu melanjutkan ceritanya, selain tentang pengawal kereta yang dihadang oleh anak-anak murid Siauw-lim-pai, juga tentang suhengnya, Teng Lok yang membayangi Puteri Nirahai dan kemudian terbuntung lengannya. Ia menutup penuturannya dengan kata-kata,

   "Nah, kau kini mengerti Han Han, bahwa peristiwa ini sama sekali bukanlah kesalahan fihak kami, juga terutama sekali bukan kesalahan Tan-piauwsu. Semua ini tentu telah diatur oleh puteri iblis itu yang sengaja hendak mengadu domba antara fihak Hoa-san-pai dan fihak Siauw-lim-pai. Siasat kejinya itu pasti akan berhasil baik dan kedua fihak tentu melakukan pertandingan saling membunuh dalam hutan itu kalau saja tidak muncul engkau yang mengacaukan semua rencana keji itu, akan tetapi biarpun mengacau, tetap saja merugikan kedua fihak karena engkau yang masuk pula dalam perangkap telah membunuh tujuh anak murid Siauw-lim-pai dan dua orang murid Hoa-san-pai. Keadaan ini gawat sekali, Han Han. Betapapun juga, fihak Siauw-lim-pai tentu tidak mau menerima kematian tujuh orang murid mereka sebagai tambahan kematian dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Bagi mereka hal itu merupakan malapetaka hebat dan tentu saja semua kesalahan ditimpakan kepada Hoa-san-pai karena engkau sendiri pun tentu dianggap seorang dari Hoa-san-pai, atau setidaknya menjadi pembantu Hoa-san-pai."

   Han Han bukan seorang bodoh. Ia segera dapat melihat, mengerti setelah mendengar penuturan itu. Mudah saja diperkirakan bagaimana jalannya tipu muslihat yang licin itu. Hatinya merasa menyesal dan kecewa sekali. Nasibnya benar-benar amat buruk. Dia telah membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai yang tidak berdosa karena salah sangka. Kemudian, dalam marahnya oleh kesalahan tangan itu ia membunuh pula dua orang murid Hoa-san-pai yang ternyata kemudian tidak berdosa pula! Han Han mengerutkan keningnya, menggeleng kepala dan berkata.

   "Aahhh.. kalau begitu semua kesalahan tertimpa di pundakku, Baik Siauw-lim-pai maupun Hoa-san-pai tentu menyalahkan aku karena aku telah membunuh anak murid mereka. Tan-piauwsu, harap kau maafkan kekasaranku tadi."

   Ia bangkit menjura kepada Tan-piauwsu yang cepat membalas. Piauwsu ini memandang kagum dan menghela napas karena selama hidupnya baru sekali ini ia bertemu seorang pemuda yang demikian anehnya dan demikian kuat sinkangnya.

   "Engkau juga tidak boleh terlalu disalahkan, Sie-enghiong. Andaikata engkau tidak turun tangan dan terlibat dalam urusan ini, kurasa antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai tetap saja akan terjadi pertentangan yang mungkin membawa akibat lebih parah dan lebih berlarut-larut lagi."

   Sejenak keadaan menjadi sunyi, semua orang tenggelam dalam lamunan masing-masing menghadapi urusan yang amat tidak menyenangkan hati itu. Tiba-tiba terdengar suara Lulu.

   "Wah, sialan benar, Koko. Kau membantu rombongan piauwsu ternyata salah tangan membunuh murid-murid Siauw-lim-pai yang tak berdosa,"

   Kemudian kau membunuh dua orang piauwsu untuk membela kematian murid-murid Siauw-lim-pai dan ternyata yang kau bunuh itu juga tidak bersalah. Itulah kalau kau terlalu bernafsu untuk menolong orang, Koko! Sekarang semua kesalahan ditimpakan kepadamu."

   Semua orang tertegun. Dara remaja yang cantik jelita ini bicaranya amat kasar, jujur dan tanpa sungkan-sungkan lagi. Akan tetapi Sin Kiat memandang dengan mata kagum. Semenjak tadi, tiap kali ia memandang Lulu, jantungnya berdebar tidak karuan dan setiapgerak-gerik Lulu selalu menarik hatinya, bahkan ketika Lulu mencela Han Han, ia tersenyum dan di dalam hati membenarkan dara ini seribu prosen. Memang demikianlah kalau cinta kasih telah menceng keram hati seorang pemuda. Apa pun yang dilakukan, diucapkan dan dipikir dara yang dicintanya, selalu benar dan menarik hati. Tanpa disadarinya sendiri, sekali bertemu dengan Lulu, Wan Sin Kiat pendekar muda Hoa-san-pai ini telah bertekuk lutut, hatinya jungkir-balik dalam cengkeraman asmara.

   "Menurut pendapat saya, Saudara Sie tidaklah salah. Dia melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dalam pertempuran dan dengan dasar hendak berbuat baik. Pembunuhan atas diri tujuh orang murid Siauw-lim-pai terjadi karena Saudara Sie mengira mereka itu perampok yang hendak mengganggu rombongan pengawal Pek-eng-piauwkiok. Kemudian, pembunuhan yang dia lakukan atas diri kedua orang Suheng kami pun didasari pendapat bahwa mereka berdua itu amat jahat terhadap orang-orang Siauw-lim-pai. Hanya sayang sekali bahwa Saudara Sie terlalu terburu nafsu, seandainya tidak terburu nafsu dan agak sabar sambil meneliti keadaan, belum tentu terjadi hal yang amat menyedihkan ini."

   Ucapan yang keluar dari mulut Lu Soan Li terdengar sungguh-sungguh, dan pandang matanya yang ditujukan kepada Han Han penuh simpati dan pembelaan. Hal ini terasa pula oleh Han Han sehingga ia bangkit menjura kepada nona itu sambil berkata.

   "Nona Lu benar-benar amat adil dan aku mengucapkan terima kasih, juga aku harus mengakui semua kelancanganku yang telah mengakibatkan bencana ini. Biarlah akan kuhadapi semua akibatnya, bahkan aku akan menghadap Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai untuk menerima hukuman kalau perlu."

   Jawaban ini memancing keluar sinar mata yang penuh kekaguman dari pandang mata Lu Soan Li. Seperti halnya suhengnya yang sekaligus tergila-gila kepada Lulu, gadis pendekar Hoa-san-pai ini pun amat tertarik akan pribadi Han Han yang aneh dan penuh dengan sifat-sifat liar ganas namun gagah perkasa.

   "Ah, engkau tidak boleh dipersalahkan, Han Han."

   Tiba-tiba Wan Sin Kiat berkata.

   "Yang bersalah adalah Puteri Nirahai yang seperti iblis betina itu, Aku bersama Sumoi sehari tadi pergi menyelidik dan mendapat kabar bahwa dia itu adalah puteri selir Kaisar Mancu bernama Nirahai dan bahwa kini dia sedang pergi ke kota raja. Agaknya untuk melaporkan hasil muslihatnya kepada Kaisar. Terkutuk benar puteri Mancu itu. Dan orang-orang Mancu memang amat jahat, penjajah laknat yang sepatutnya dibasmi dari muka Bumi ini."

   Dalam kemarahan terhadap penjajah Mancu, Sin Kiat bangkit dari kursinya. Memang semua anak murid Hoa-san-pai adalah patriot-patriot yang merasa marah melihat tanah air dijajah bangsa Mancu, sehingga menimbulkan rasa benci kepada bangsa Mancu. Tiba-tiba semua orang, terutama sekali Sin Kiat sendiri, dikejutkan oleh bentakan Lulu yang sudah bangkit berdiri pula lalu bertolak pinggang, matanya yang lebar memancarkan kemarahan, sepasang pipinya menjadi merah sekali, mulutnya yang kecil cemberut, kepalanya bergerak-gerak sehingga rambut yang dikepang dua itu bergoyang, satu di depan dada, yang lain di belakang punggung. Manis bukan main dalam pandangan Sin Kiat, akan tetapi pada saat itu pemuda ini memandang terbelalak dengan kaget mendengar bentakan Lulu.

   "Eihhh.. eihhhhh..., seenaknya saja membuka mulut, ya?."

   Telunjuk tangan kirinya diangkat menuding ke arah hidung Sin Kiat, sedangkan tangan kanannya masih bertolak pinggang.

   "Wan Sin Kiat, apakah engkau hendak menyamakan satu bangsa manusia dengan seladang gandum saja?"

   Sin Kiat terbelalak heran.

   "Apa... apa... maksudmu, Nona..?"

   Baru sekali ini selama hidupnya, pendekar muda yang biasanya lincah, ramah, tabah dan pandai bicara itu kehilangan akal dan menjadi gugup. Lulu memandang tajam dengan sepasang matanya yang lebar dan indah sehingga Sin Kiat menjadi makin bingung dan gugup, seolah-olah menjadi seorang pesakitan yang menghadapi jaksa penuntut.

   

Istana Pulau Es Eps 36 Kisah Pendekar Bongkok Eps 20 Istana Pulau Es Eps 23

Cari Blog Ini