Ceritasilat Novel Online

Pendekar Super Sakti 25


Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 25



Kembali kakek itu menarik napas panjang, kelihatan berduka sekali.

   "Locianpwe, bukan hanya engkau yang menderita, bukan hanya rakyat Tiongkok yang menderita akibat perang. Juga bangsa Mancu sendiri banyak yang menderita akibat perang ini, perang yang dicetuskan oleh para pimpinan dengan mengorbankan banyak rakyat. Rakyat Mancu yang dipaksa menjadi perajurit, mati di sini tanpa diketahui keluarganya. Betapa banyaknya pula rumah tangga para perwira yang hancur akibat perang, terbasmi oleh musuh mereka yang oleh mereka disebut dan dianggap para pemberontak."

   Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian mengangkat muka memandang.

   "Eh, Nona, bagaimana Nona bisa tahu akan keadaan bangsa Mancu?"

   Lulu memandang tajam dan menjawab tenang,

   "Tentu saja aku tahu, locianpwe, karena aku sendiri adalah seorang Mancu."

   "Ahhh....."

   Kakek itu benar-benar kaget mendengar ini dan ia memandang wajah Lulu dengan sikap tegang.

   "Aku adalah seorang gadis Mancu yang menjadi korban perang ini, locianpwe. Ayahku seorang perwira yang terbunuh bersama seluruh keluarganya oleh segerombolan pemberon.... eh, pejuang yang dipimpin oleh seorang bernama Lauw-pangcu. Hanya aku yang dibiarkan hidup, dirampas pakaianku, diberi pakaian gembel dan aku dilepas sebagai seorang anak gembel yang hidup terlantar....."

   "Ya Tuhan....."

   Kakek itu meloncat ke belakang dan berdiri tegak memandang Lulu dengan mata terbelalak. Teringatlah ia peristiwa tujuh tahun yang lalu dan ia berkata lirih penuh getaran perasaan,

   "Akulah Lauw-pangcu kini teringat olehku akulah yang memimpin teman-teman menyerbu perwira dan membunuh mereka sekeluarga. Karena engkau mengingatkan aku akan puteriku yang hampir sebaya, aku tidak membolehkan mereka membunuhmu.... ah, Nona, engkaukah kiranya anak itu? Akan tetapi mengapa engkau sekarang membantu kaum pejuang memusuhi bangsa Mancu sendiri?"

   Berubah wajah Lulu. Hemmm, jadi kakek inikah musuh besarnya yang selama ini ia cari-cari? Sejenak seluruh tubuhnya menegang dan timbul keinginannya untuk menyerang kakek itu. Akan tetapi teringat akan pembicaraan mereka tadi Lulu menarik napas panjang dan.... menangis. Sejenak Lauw-pangcu hanya memandang gadis yang menangis itu penuh keheranan dan keharuan, kemudian ia berkata.

   "Nona, aku mengerti bahwa di dalam hatimu mengandung sakit hati dan dendam yang besar kepadaku. Andaikata engkau kini menjadi pembantu pemerintah Mancu, tentu dendammu akan kau hadapi dengan kekerasan dan engkau akan kuanggap sebagai musuh. Akan tetapi karena terbukti bahwa engkau membantu pihak pejuang menentang kekejaman pasukan Mancu, hal ini membuat hatiku terasa berat dan penuh oleh dosa terhadap dirimu. Nona, aku Lauw-pangcu bukan seorang yang tidak mengenal budi dan bukan seorang yang tidak berani menanggung segala akibat perbuatanku. Aku yang membuat keluarga Nona terbasmi, yang membuat keluarga Nona terlantar, dan menyaksikan sepak terjangmu, kini aku siap menerima pembalasanmu. Engkau boleh menbunuhku untuk membalas dendam keluargamu. Silakan, aku tidak akan melawan dan menyerahkan nyawaku sebagai tebusan dosaku kepadamu."

   Lulu mengangkat mukanya yang basah air mata memandang kakek itu, kemudian ia menangis lagi, menutupi muka dengan kedua tangan dan kepalanya digeleng-gelengkan.

   "Tidak.... tidak...., setelah aku menyaksikan sepak terjangmu, setelah aku mendengar kata-katamu dan mengenal watakmu sebagai seorang gagah perkasa, seorang pendekar sejati, bagaimana aku dapat membunuhmu? Apalagi setelah menyaksikan keganasan perwira-perwira Mancu.... ah, biarlah kuanggap bahwa Ayah sekeluarga terbasmi oleh perang, bukan oleh tanganmu, Lauw-pangcu. Engkau membasmi mereka bukan karena benci pribadi, melainkan karena perjuanganmu, karena perang. Biarlah, aku akan melupakan semua itu...."

   Lauw-pangcu terbelalak, menghela napas dan mengeluh,

   "Aduh, baru sekali ini selama hidupku bertemu dengan seorang wanita semuda engkau, memiliki kebijaksanaan yang begini besar. Sikapmu merupakan tusukan pedang yang tiada bandingnya, menembus hatiku. Ah, Nona, tahukah engkau betapa sikapmu ini membuat aku jauh lebih menderita penuh penyesalan selama hidup daripada kalau engkau menusuk mati aku dengan pedangmu? Aku telah membasmi keluargamu.... dan engkau tidak mau membalas dendam. Satu-satunya jalan bagiku, biarlah aku menjadi pengganti keluargamu, menjadi Ayah Ibumu, biarlah aku mengambil engkau sebagai anakku, kalau engkau sudi...."

   Mendengar ini, Lulu terisak, menurunkan kedua tangan, memandang kakek itu dengan sepasang matanya yang lebar, kakek yang telah menyelamatkan nyawanya, kakek yang telah membasmi keluarganya, kemudian ia mengeluarkan jerit lirih menubruk maju dan berlutut di depan kakek Lauw-pancu,

   "Ayah....."

   Sepasang mata kakek tua itu menitikkan dua butir air mata dan dengan penuh keharuan ia mengangkat bangun gadis itu, memegang kedua pundaknya dan menatap wajah cantik jelita dengan sepasang mata lebar yang masih mengucurkan air mata.

   "Anakku...., engkau anakku...., siapakah namamu?"

   "Lulu...."

   "Ah, nama yang bagus. Lulu, aku akan membimbingmu, melatihmu. Engkau memiliki sin-kang yang luar biasa dan gerakanmu cepat sekali, amat mentakjubkan, hanya ilmu silatmu yang belum matang. Aku akan menurunkan semua kepandaianku dan kelak engkau menjadi orang yang lebih lihai daripada aku sendiri. Akan tetapi aku heran sekali...., siapa yang mengajarimu berlatih sehinga memiliki sin-kang begitu hebat dan.... memiliki kebijaksanaan yang belum tentu dimiliki seorang pendeta sekalipun?"

   Lulu yang merasa amat terharu dan juga berbahagia karena kini merasa mendapatkan seorang ayah, sambil bersandar di dada "ayah"

   Ini menjawab manja, seperti kalau ia bersikap manja kepada Han Han.

   "Ayah, yang mengajarku adalah Kakakku sendiri."

   Kembali Lauw-pangcu terkejut, memegang kedua pundak "anaknya"

   Itu dan memandang wajahnya dengan tajam.

   "Kakakmu? Engkau mempunyai Kakak? Bukankah kau katakan tadi bahwa.... bahwa yang hidup hanya tinggal engkau seorang?"

   Kalimat terakhir ini diucapkannya dengan pahit, mengingatkan dia bahwa dia yang membunuh semua keluarga gadis yang kini menjadi anaknya itu.

   "Kakak angkat, Ayah."

   "Ohhh.... jadi engkau mempunyai seorang kakak angkat dan kini mempunyai seorang ayah angkat, anakku? Agaknya engkau memang seorang yang amat baik budi sehingga banyak orang yang suka kepadamu. Kakakmu itu tentu lihai sekali."

   "Kakakku adalah orang yang paling hebat dan lihai di seluruh dunia ini....."

   "Ayah, bocah ini adalah teman si keparat Han Han."

   Tiba-tiba terdengar seruan nyaring disusul berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang gadis cantik gagah yang dikenal Lulu karena gadis itu bukan lain adalah Lauw Sin Lian, murid Siauw-lim Chit-kiam yang amat lihai dan yang pernah bentrok dengan Han Han ketika mereka berdua baru keluar dari Pulau Es, ketika dia dan kakaknya membantu para piauwsu Hoa-san-pai yang diserang orang-orang Siauw-lim-pai yang mereka kira perampok. Melihat Sin Lian yang bersikap kasar terhadap kakaknya namun yang ia duga mencinta kakaknya itu, Lulu tersenyum dan memandang dengan matanya yang lebar. Sebaliknya, Sin Lian memandang dengan mata penuh kebencian, bahkan lalu membentak dan melangkah maju,

   "Dia dan Han Han membantu penjahat-penjahat Hoa-san-pai dan matinya dua orang suhuku mungkin karena mereka."

   Melihat puterinya maju hendak menerjang Lulu, Lauw-pangcu cepat melompat ke depan Sin Lian, menghadang dan berseru.

   "Lian-ji, tahan dulu. Dia ini adalah Adikmu."

   Mendengar ini, Sin Lian begitu kaget dan heran sehingga ia tiba-tiba menghentikan gerakannya, berdiri seperti arca dalam keadaan masih memasang kuda-kuda siap menyerang. Matanya memandang kepada ayahnya penuh pertanyaan.

   "Apa.... apa artinya ini, Ayah?"

   "Aku telah mengangkat Lulu ini sebagai anakku, Sin Lian. Dia telah membantu para pejuang dan hampir mengorbankan nyawanya untuk perjuangan, selain itu.... dia adalah puteri keluarga Perwira Mancu yang terbasmi di tanganku.... dan.... satu-satunya jalan bagiku untuk menebus dosaku kepadanya...., yang sama sekali tidak mendendam kepadaku, mengambil dia sebagai anakku, dan aku melarang engkau mengganggu adikmu sendiri."

   Berubah wajah Sin Lian agak pucat dan ia membantah,

   "Akan tetapi dia.... dia dan Han Han bersekutu dengan Hoa-san-pai memusuhi Siauw-lim-pai....."

   "Tidak sama sekali, Enci Lian,"

   Lulu berkata dengan sikap tenang. Pandang matanya yang indah tajam, wajah cantik jelita yang tersenyum cerah, suara yang bening halus itu mengagumkan hati Sin Lian.

   "Kami sama sekali tidak pernah bersekutu dengan Hoa-san-pai, dan tidak pernah pula memusuhi Siauw-lim-pai. Semua yang dilakukan Kakakku hanyalah karena salah paham belaka."

   "Kakakmu....?"

   Sin Lian bertanya, bingung. Lulu tersenyum dan wajahnya berseri.

   "Benar, dia adalah Kakakku, Kakak angkatku. Apakah engkau kira dia itu kekasihku, Enci Lian? Memang kekasihku, karena Han-koko adalah orang yang paling kukasihi di seluruh dunia ini, kemudian tentu saja Ayahku dan engkau Ciciku."

   Pandang mata penuh kebencian itu melunak dan Sin Lian tak dapat berkata-kata. Adapun Lauw-pangcu ketika mendengar bahwa anak angkatnya ini juga adik angkat Han Han, menjadi terkejut dan berseru,

   "Ah, sungguh tak kusangka Kakak angkatmu adalah Han Han. Bocah itu. Ceritakanlah, Lulu anakku, tentu menarik ceritamu. Sin Lian, duduklah dan kita mendengarkan ceritanya agar semua persoalan menjadi terang."

   Setelah mereka bertiga duduk, Lulu menghela napas dan berkata,

   "Kasihan sekali kakakku Han Han. Karena mengira murid-murid Siauw-lim-pai hendak merampok dan menghadang para piauwsu Pek-eng-piauwkiok yang menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Kemudian melihat mayat dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, dia mengira murid-murid Hoa-san-pai yang melakukannya sehingga dalam marahnya dia membunuh beberapa orang murid Hoa-san-pai. Akibatnya, dia dimusuhi oleh Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai."

   Sin Lian yang hatinya menjadi lega mendengar bahwa gadis cantik yang kini menjadi adik angkatnya itu ternyata bukan kekasih Han Han seperti yang tadinya ia sangka, menjadi tertarik sekali dan berkata,

   "Ceritakanlah.... ceritakan apa yang telah terjadi sesungguhnya."

   Maka berceritalah Lulu tentang peristiwa yang ia alami bersama Han Han itu, mulai dari pertemuan mereka dengan para piauwsu Pek-eng-piauwkiok sampai terjadi pertempuran dengan para penghadang dan munculnya Sin Lian, kemudian betapa Han Han membunuh murid-murid Hoa-san-pai, kemudian betapa dia dan kakaknya bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai.

   "Ahhh....."

   Lauw-pangcu menepuk pahanya setelah mendengar penuturan Lulu bahwa jelas sekali kedua pihak terpancing dan menjadi korban adu domba yang diatur oleh pihak Mancu.

   "Han Han menjadi korban fitnah. Hal ini harus segera dilaporkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai, Lian-ji, agar permusuhan antara kedua partai dapat dihentikan dan juga fitnah atas diri Han Han dibersihkan."

   "Baik, Ayah. Memang semestinya begitu. Aku pun sedang menjalankan tugas yang diperintahkan ketua Siauw-lim-pai untuk pergi mencari lima orang guruku, akan tetapi sungguh heran, lima orang guruku itu tidak dapat kutemukan jejaknya. Sebaiknya aku pergi sekarang juga melaporkan hal penting itu kepada ketua Siauw-lim-pai."

   "Harap engkau tidak usah sibuk-sibuk dan capek-capek, Enciku yang baik. Para pimpinan Siauw-lim-pai sudah tahu akan hal itu karena aku dan Han-koko telah pula datang mengunjungi Siauw-lim-si untuk menghadap ketuanya."

   "Apa? Dia yang telah difitnah dan dianggap musuh oleh Siauw-lim-pai malah datang mengunjungi Siauw-lim-si? Begitu beraninya?"

   Sin Lian terbelalak saking herannya. Sungguh gadis Mancu ini membawa cerita yang makin aneh saja. Juga Lauw-pangcu menjadi terkejut dan heran.

   "Memang Han-ko adalah seorang laki-laki yang paling gagah perkasa dan paling berani di seluruh dunia ini."

   Kata Lulu dengan bangga.

   "Dia tidak akan mundur selangkah pun dalam membela kebenaran. Jangankan hanya mendatangi Siauw-lim-si menghadap ketua Siauw-lim-pai, biarpun harus meridatangi neraka menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut), jika dia benar, akan dia lakukan tanpa mengenal takut."

   Berceritalah dara yang lincah dan yang amat mencinta kakaknya ini akan sepak terjang Han Han ketika mengunjungi Siauw-lim-pai. Diceritakannya pula betapa Han Han dikeroyok oleh para tokoh Siauw-lim-pai, betapa Han Han masuk bertemu dengan Kian Ti Hosiang. Mendengar penurutan ini, makin lama Sin Lian menjadi makin terheran-heran dan diam-diam ia menjadi kagum sekali kepada Han Han yang memang amat menarik hatinya dan yang sudah ia buktikan sendiri kelihaiannya. Setelah Lulu berhenti bercerita, keadaan sunyi. Lauw-pangcu termangu penuh keheranan, sedangkan Sin Lian termenung mengenangkan keadaan pemuda itu.

   "Wah, ceritamu sungguh hebat."

   Akhirnya Lauw-pangcu berkata sambil menarik napas paniang.

   "Anakku Lulu, tahukah engkau bahwa dahulu Kakakmu itu adalah muridku? Sungguh tidak nyana dia dapat menjadi seorang yang berilmu tinggi, juga engkau dapat memiliki sin-kang dan gin-kang yang amat luar biasa. Siapakah guru kalian?"

   Biarpun Han Han pernah memesan agar dia tidak bicara tentang Pulau Es dengan siapapun juga, akan tetapi karena Lauw-pangcu telah menjadi ayahnya se dang Sin Lian menjadi cicinya, Lulu merasa tidak perlu merahasiakan hal itu dari mereka. Ia lalu menjawab.

   "Guru kami adalah pemilik Pulau Es...."

   "Heiii, Pulau Es....?"

   Lauw-pangcu dan Sin Lian makin terkejut. Benar-benar makin banyak hal tak terduga-duga dan aneh-aneh mereka dengar dari mulut Lulu.

   "Pulau Es yang semenjak puluhan tahun dicari oleh semua tokoh kang-ouw?"

   Lulu mengangguk.

   "Secara kebetulan saja kami dapat sampai di pulau itu dalam keadaan hampir mati setelah mengalami ancaman maut berkali-kali."

   Ia lalu bercerita tentang pengalamannya bersama Han Han ketika menjadi tawanan Ma-bin Lo-mo sampai terbawa badai dalam perahu rusak sehingga mereka mendarat di Pulau Es,

   Menemukan peninggalan kitab-kitab pelajaran penghuni Pulau Es dan belajar ilmu selama enam tahun di tempat itu. Betapa kemudian dengan susah payah mereka dapat meninggalkan tempat itu. Lauw-pangcu dan Sin Llan mendengarkan penuturan itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, merasa seperti mendengarkan dongeng saja. Cerita itu amat mempesona mereka, bukan hanya karena keanehan cerita itu sendiri, melainkan juga karena pandainya Lulu bercerita schingga untuk waktu yang cukup lama kedua orang ini seperti menggantungkan pandang mata mereka kepada bibir tipis merah yang bergerak-gerak manis ketika bercerita.

   "Yang berilmu tinggi-tinggi dan berusaha mati-matian mencari Pulau Es, tidak pernah berhasil, dua orang bocah yang tidak mencarinya malah mendapatkan. Ha-ha, inilah yang disebut jodoh yang terjadi atas kehendak Thian. Pantas saja engkau lihai sekali, anakku, kiranya engkau menjadi ahli waris pusaka-pusaka mukjizat yang terdapat di Pulau Es. Sungguh engkau beruntung sekali, anakku."

   "Aah, ilmu yang berhasil kumiliki dengan latihan berat tidak ada artinya, Ayah. Aku memang bodoh dan kurang tekun seperti Han-ko. Dibandingkan dengan Han-koko, ilmuku sama sekali tidak ada artinya, dia sepuluh kali lebih lihai daripada aku."

   Sin Lian makin kagum kepada Han Han dan diam-diam jantungnya berdebar. Hatinya makin tertarik.

   "Sekarang di manakah.... Han Han? Mengapa engkau berpisah darinya?"

   Pertanyaan ini biasa saja, akan tetapi begitu menyebut Han Han, muka Sin Lian menjadi merah sekali. Hal ini tidak terlepas dari pandang mata Lulu yang tajam dan pandang mata Lauw-pangcu yang berpengalaman. Akan tetapi karena Lulu diingatkan kepada kakaknya dan hatinya menjadi gelisah, dia tidak ingin menggoda enci angkatnya itu, bahkan lalu menghela napas dan mengerutkan alisnya yang hitam panjang,

   "Ah, hal inilah yang menyusahkan hatiku. Ketika kami saling berpisah, aku tertawan oleh si keparat Ouwyang Seng murid Setan Botak, sedangkan kakakku ketika itu dikeroyok dua oleh Setan Botak dan Iblis Muka Kuda."

   "Apa? Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee mengeroyok Han Han?"

   Lauw-pangcu berteriak dan Sin Lian pun menjadi pucat mukanya. Mereka mengenal siapa dua orang datuk hitam ini, tahu pula akan kehebatan ilmu kepandaian mereka. Seorang saja di antara mereka sudah merupakan lawan yang amat hebat, bahkan ke tujuh orang sakti, Siauw-lim Chit-kiam ketika menghadapi Setan Botak seorang diri saja hampir kalah. Apalagi kini dua orang datuk hitam itu maju mengeroyok.

   "Mana mungkin ia dapat menangkan dua orang datuk hitam itu."

   Suara Sin Lian ini terdengar lirih, penuh kengerian dan kekhawatiran karena sembilan bagian perasaannya mengatakan bahwa tentu Han Han tewas kalau dikeroyok dua orang datuk hitam itu, betapapun lihainya Han Han.

   "Tidak, kakakku tidak akan kalah."

   Lulu berkata.

   "Tidak mungkin Han-ko sampai kalah. Dia sakti dan cerdik, tentu dapat mengatasi dua orang kakek iblis itu. Akan tetapi, entah ke mana perginya. Aku sedang mencarinya sehingga tiba di sini dan bertemu dengan Ayah. Sekarang aku akan pergi mencarinya lagi sampai bertemu."

   "Lulu, anakku yang baik. Jangan engkau pergi dulu. Setelah aku mendapatkan seorang anak seperti engkau, mana boleh engkau lalu pergi lagi begitu saja? Engkau telah memiliki sin-kang yang luar biasa, melebihi aku sendiri, bahkan mungkin sin-kangmu lebih hebat daripada Sin Lian. Akan tetapi ilmu silatmu belum matang, dan sementara ini engkau tinggallah di sini bersamaku agar dapat kau perdalam ilmu silatmu. Aku yang akan menggemblengmu sehingga kalau ilmu silatmu sudah matang, kiranya aku sendiri sama sekali tidak akan dapat melawanmu, engkau tidak membutuhkan waktu lama untuk mematangkan ilmu silatmu. Juga Encimu dapat membantumu. Adapun tentang Han Han, aku akan mengerahkan anak buahku untuk membantumu mencari kabar tentang Kakakmu itu. Kiranya akan lebih berhasil daripada kalau engkau pergi mencari sendiri."

   "Ucapan Ayah benar sekali, Adik Lulu. Sebagai murid Siauw-lim-pai, tentu saja aku tidak boleh mengajarkan ilmu silat Siauw-lim-pai kepada orang lain bukan murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi agaknya sedikit banyak aku akan dapat membantumu untuk mematangkan ilmu silatmu sendiri yang hebat."

   Dibujuk oleh ayah dan enci angkat yang amat disukainya itu, akhirnya Lulu menurut dan demikianlah, mulai hari itu Lulu digembleng ilmu silat oleh Lauw-pangcu dan Sin Lian. Di bawah bimbingan Lauw-pangcu yang berpengalaman, benar saja Lulu dapat mematangkan ilmu silatnya dan Sin Lian sendiri terheran-heran menyaksikan kehebatan sin-kang adik angkatnya itu yang benar-benar lebih kuat dari dia sendiri, juga ilmu silat yang dimainkan Lulu selain aneh, juga indah dan amat kuat. Benar pula seperti yang diramalkan Lauw-pangcu, setelah ilmu silatnya dimatangkan di bawah petunjuk Lauw-pangcu yang berpengalaman dan Sin Lian yang berilmu tinggi, Lulu memperoleh kemajuan hebat sekali sehingga kalau menghadapi lawan, kiranya dia lebih berbahaya daripada Lauw-pangcu, bahkan lebih sukar dilawan daripada Sin Lian sendiri.

   Hal ini adalah karena ilmu silatnya tidak dikenal orang, berbeda dengan ilmu silat Sin Lian yang merupakan ilmu aseli dari Siauw-lim-pai. Semenjak pertemuannya dengan Lulu dan mengangkat Lulu sebagai anak, semangat Lauw-pangcu dalam perjuangan menentang bangsa Mancu menurun secara menyolok sekali. Biarpun ia tidak pernah melarang anak buah Pek-lian Kai-pang melanjutkan perjuangan mereka menentang pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu), namun ia sendiri tidak aktif bergerak, bahkan lalu mengundurkan diri kembali ke sarang Pek-lian Kai-pang di lembah Sungai Huang-ho sebelah selatan di mana ia bersama Sin Lian setiap hari berlatih silat dengan Lulu.

   Hubungan antara Lulu dan Sin Lian makin akrab dan mereka saling mencinta seperti adik dan kakak kandung. Lulu memang memiliki sifat periang jenaka dan lincah sehingga mendatangkan rasa suka kepada siapa saja. Juga ia jujur, polos terbuka di samping memiliki kecerdikan dan wawasan yang tajam. Pada suatu hari, beberapa bulan setelah mereka tinggal di lembah Huang-ho, Lulu dipancing dengan pertanyaan-pertanyaan oleh Sin Lian tentang diri Han Han. Diam-diam Lulu mentertawakan encinya ini, akan tetapi secara cerdik dan nakal ia malah bercerita tentang Han Han secara berlebihan. Dipuji-pujinya kakaknya itu setinggi langit, dipuji kegagahannya, ketampanannya, kebaikan budinya dan kepandaiannya.

   "Di waktu kecil dahulu, dia adalah sahabatku,"

   Kata Sin Lian perlahan dengan pandang mata melamun, terkenang akan masa lalu

   "Ya, dia pernah bercerita tentang dirimu, Enci Lian."

   "Betulkah? Apa yang ia katakan tentang aku?"

   Tanya Sin Lian, wajahnya berseri.

   Lulu tersenyum.

   "Ia pernah mengatakan bahwa engkau adalah seorang yang amat baik budinya."

   Wajah Sin Lian menjadi merah, akan tetapi matanya bersinar-sinar.

   "Ah, dahulu aku bersikap galak kepadanya, mana baik budi?"

   "Akan tetapi, dia betul-betul memujimu, agaknya dia senang akan kegalakanmu, Enci Lian. Kakakku memang sabar dan suka mengalah, hal ini di samping segala kebaikannya membuat banyak gadis jatuh hati kepadanya. Di sepanjang perjalanan kami kulihat banyak wanita jatuh cinta kepadanya."

   Sin Lian menengok dan memandang dengan gerakan cepat.

   "Hemmm, bagaimana engkau bisa tahu, Adikku?"

   "Hi-hik, Bagaimana aku tidak tahu? Pandang mata mereka itu. Pandang mata yang mereka tujukan kepada Han-ko terlalu jelas, tampak sinar-sinar cinta kasih memancar dari mata mereka dan Dewi Asmara mengintai dari balik senyum mereka."

   "Ihhh, genit kau."

   Sin Lian mencela dan mencubit lengan adiknya.

   "Aduh."

   Lulu menggosok-gosok kulit lengan yang dicubit encinya.

   "Tanganmu mencubit aku, akan tetapi pikiranmu mencubit Han-ko, bukankah begitu, Enci Lian?"

   "Idiiih. Engkau benar-benar centil, Adik Lulu"

   Sudan, jangan menggoda orang, ceritakan yang betul."

   "Aku sudah bercerita sebenarnya, masa aku membohong? Bahkan murid Im-yang Seng-cu, Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li yang cantik jelita dan gagah perkasa, juga jatuh cinta kepada Kakak Han Han. Baru berkenalan beberapa hari saja mereka sudah begitu akrab, pendekar wanita itu seperti menjadi bayangan tubuh Han-ko, tidak mau berpisah lagi, setiap gerak-geriknya jelas menunjukkan cinta kasih yang mendalam."

   Lulu menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa wajah Sin Lian yang tadinya merah itu kini berubah agak pucat dan sinar mata yang tadinya berseri itu menjadi agak muram. Ia merasa kasihan dan cepat-cepat ia menyambung.

   "Akan tetapi, Hoa-san Kiam-li itu akan kecelik kalau mengira bahwa Han-koko mudah saja terjebak panah asmara. Wah, sama sekali tidak. Han-koko terlalu murni dan bersih, tidak pernah mengingat tentang asmara, apalagi bicara tentang itu. Han-koko adalah seorang pemuda perkasa yang belum pernah diusik panah asmara, masih bersih dan mulus seperti mutiara belum digosok."

   Senang sekali hati Lulu melihat betapa kata-katanya mengembalikan warna merah di kedua pipi enci angkatnya.

   "Dan lagi Han-koko tentu akan merundingkan soal jodohnya dengan aku, kalau sudah tiba saatnya, karena di dunia ini dia tidak punya siapa-siapa kecuali aku yang menjadi adiknya. Dan aku tentu tidak akan menyetujui dia berjodoh dengan Hoa-san Kiam-li atau gadis manapun juga, biar puteri kaisar sendiri."

   Dengan wajah heran akan tetapi tidak keruh lagi pandang matanya, Sin Lian memandang Lulu dan bertanya,

   "Mengapa tidak setuju, Adikku?"

   "Karena aku telah menemukan seorang gadis yang betul-betul mencintanya dengan seluruh jiwa raganya, yang betul-betul cantik jelita, betul-betul gagah perkasa, dan betul-betul berbudi mulia sehingga cocok sekali untuk menjadi teman hidup Han-koko selamanya."

   
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kembali wajah cantik itu kehilangan sinarnya dan suara Sin Lian agak menggetar ketika bertanya,

   "Siapa.... siapa dia, Adikku?"

   Lulu menengadah, seolah-olah hendak minta nasehat dari awan dan perlahan-lahan ia menjawab,

   "Gadis itu, yang kuanggap paling cocok untuk menjadi jodoh Han-koko, dikatakan dekat amatlah jauhnya karena dia sendiri tidak tahu bahwa dialah pilihanku, dikatakan jauh amatlah dekatnya karena saat ini ia duduk di depanku...."

   "Aduuuhhhhh.... Aduuuhhhhh.... tobaaat, Enci....."

   Lulu menjerit dan meronta-ronta sehingga cubitan pada pahanya terlepas dan ia meloncat dan lari menjauhkan diri dari Sin Lian yang mukanya menjadi merah seperti udang direbus.

   "Wah, engkau terlalu. Enci Lian, Mencubit paha orang sampai lecet. Awas kau, kelak kulaporkan kepada Han-koko, biar kau dicubit sampai habis. Hi-hik."

   "Lulu....."

   Suara Sin Lian terdengar marah.

   "Engkau yang terlalu, Engkau sudah melampaui batas mempermainkan aku. Apakah engkau sengaja hendak menghina Encimu?"

   Melihat Sin Lian marah, Lulu menghampiri dan merangkulnya, mencium pipinya dan merebahkan muka di dada yang membusung itu.

   "Enci Lian, Enciku yang baik, masa engkau tega marah-marah kepada Adikmu? Aku sayang
(Lanjut ke Jilid 24)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24
kepadamu, Enci, dan biarpun aku tadi main-main, akan tetapi main-main karena ada dasarnya. Main-main yang bisa menjadi sungguhan. Atau.... engkau hendak menyangkal dan membohongi hati sendiri bahwa.... bahwa engkau mencinta Han-koko?"

   Terdengar isak tertahan di dada Sin Lian. Ia balas memeluk adiknya dan tidak menjawab. Ketika Lulu mengangkat muka memandang dan melihat Sin Lian menitikkan dua butir air mata, Lulu bertanya lirih.

   "Salahkah dugaanku, Enci? Kelirukah aku bahwa engkau mencinta Han-ko?"

   Sin Lian menggigit bibir, mengejapkan mata, kemudian.... mengangguk. Lulu tersenyum gembira lalu berloncatan menari-nari mengelilingi Sin Lian.

   "Bagus.... bagus...."

   Wah, aku girang sekali"

   Engkau Enciku menjadi Sosoku (Kakak Iparku) sama saja"

   Wah, aku bahagia sekali, Enci.... eh, calon Soso yang baik."

   Lulu merangkul dan menciumi kedua pipi Sin Lian. Mau tidak mau Sin Lian tertawa juga, mengusap air matanya dan memegang kedua pundak Lulu.

   "Lulu, adikku yang nakal. Hanya kepadamulah aku sudi membuka rahasia hatiku ini. Bahkan di depan Ayahku sekalipun aku tidak akan suka mengaku. Akan tetapi, hendaknya engkau menutup mulut dan memegang rahasia ini, Adikku. Biarpun aku mencinta orang, harus diselidiki lebih dahulu apakah orang itu akan membalas cintaku. Dan.... dan.... dia masih belum diketahui berada di mana. Karena itu, kuminta, mulai detik ini, jangan kau bicara lagi tentang dia."

   "Tak mungkin aku tidak boleh bicara tentang dia, hanya aku tidak akan menyinggung perasaanmu, Enci Lian. Dan aku berjanji kelak akan mengusahakan dia membalas cinta kasihmu."

   "Sudahlah, lebih baik mari kita berlatih lagi. Kemajuanmu sudah hebat dan beberapa bulan lagi saja aku takkan kuat menandingimu."

   Kedua orang dara jelita itu lalu berlatih silat dengan tekun. Sampai setahun lebih Lulu berada di lembah Huang-ho, berlatih silat di bawah bimbingan ayah dan enci angkatnya sehingga dia memperoleh kemajuan hebat. Kemudian timbul lagi rasa rindu dan khawatirnya terhadap Han Han, maka ia minta diri dari ayah angkatnya untuk pergi mencari kakaknya. Lauw-pangcu sebetulnya tidak rela melihat puteri angkatnya yang amat dikasihinya itu pergi, akan tetapi karena maklum bahwa hati Lulu tidak akan bahagia sebelum dapat menemukan kembali Han Han terpaksa ia berkata.

   "Aku merasa menyesal sekali bahwa usahaku menyebar anak buahku untuk mencari Kakak angkatmu itu selama ini sama sekali tidak ada hasilnya, Lulu. Tidak ada seorang pun di dunia kang-ouw mendengar atau melihat adanya Han Han. Oleh karena itu, sungguhpun hatiku tidak akan tenteram melihat engkau pergi sendiri, namun aku tidak dapat mencegahmu. Engkau hati-hatilah di dalam perjalanan, Lulu, karena sungguhpun sekarang tingkat kepandaianmu sudah melampaui aku, namun di dunia ini banyak sekali terdapat orang sakti yang menyeleweng daripada kebenaran."

   "Jangan khawatir, Ayah. Kalau aku telah bertemu dengan Han-ko, aku akan mengajak dia datang ke sini, terutama sekali untuk bertemu dengan Lian-ci...."

   Lulu melirik ke arah Sin Lian dengan pandang mata dan senyum menggoda. Wajah Sin Lian berubah merah sungguhpun hatinya merasa senang mendengar janji Lulu. Cepat-cepat ia bekata,

   "Lulu-moi, kita dapat melakukan perjalanan bersama. Aku pun hendak pergi mencari lima orang suhuku dan mengajak mereka mencari Puteri Nirahai yang menurut dugaanmu menjadi biang keladi semua permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, dan yang tentu mengetahui siapa sebenarnya yang membunuh Liok-suhu dan Chit-suhu."

   Demikianlah, dua orang dara jelita itu pergi dari lembah Huang-ho yang tersembunyi, meninggalkan Lauw-pangcu yang bersunyi diri dan yang telah mengundurkan diri dari perjuangan,

   Bahkan yang mulai menjauhkan diri dari urusan duniawi karena merasa sudah terlalu tua ditambah kesadaran bahwa ikut sertanya dalam perang sama sekali tidak akan mengubah keadaan menjadi baik, bahkan sebaliknya. Ia kini tekun bersamadhi semenjak kedua orang puterinya pergi, bahkan menyerahkan urusan Pek-lian Kai-pang kepada para pembantunya. Adapun Sin Lian dan Lulu tidak lama melakukan perjalanan bersama. Sepekan kemudian mereka terpaksa harus berpisah karena Lulu hendak mencari kakaknya di kota raja, sedangkan Sin Lian hendak pergi ke Siauw-lim-si lebih dulu untuk mendengar apakah lima orang suhunya telah kembali ke sana. Kedua orang gadis remaja ini saling berangkulan ketika hendak berpisah dan berjanji akan segera saling bertemu kembali di lembah Huang-ho.

   "Jangan lupa, Adikku. Bulan tiga tahun depan, jadi kurang enam tujuh bulan lagi adalah ulang tahun ke tujuh puluh dari Ayah kita, tepatnya jatuh pada pertengahan bulan. Aku bermaksud mengadakan sedikit pesta ulang tahun, dan engkau harus membantu dan hadir,"

   Demikian pesan Sin Lian.

   "Baik, Enci Lian. Aku pasti akan bersama kakakku."

   Sin Lian merasa betapa jantungnya berdebar dan pipinya panas, kemudian ia merangkul sekali lagi dan mencium pipi adik angkatnya, lalu berkata,

   "Selamat jalan, selamat berpisah sampai jumpa kembali, Lulu."

   Maka berpisahlah kakak dan adik angkat ini. Lulu berdiri memandang encinya yang berlari cepat ke selatan itu sambil tersenyum. Gadis yang amat baik budi, pikirnya, lagi pula gagah perkasa dan cantik jelita. Tepat menjadi isteri Han-ko. Akan tetapi di mana kakaknya? Teringat akan ini, cepat ia membalikkan tubuhnya dan lari ke utara, arah yang berlawanan dengan larinya Sin Lian. Ia harus dapat bertemu dengan kakaknya yang sudah lama dirindukannya itu. Telah lama kita meninggalkan Han Han.

   Apakah yang telah terjadi dengan Han Han setelah dalam usahanya menyelamatkan Kim Cu dia sendiri terpelanting dan terjerumus ke dalam jurang yang seolah-olah tak berdasar saking curamnya? Benarkah kekhawatiran para nikouw, Kim Cu, dan para nelayan bahwa pemuda itu tentu tewas dan hancur sehingga mayatnya pun tak dapat ditemukan? Memang, kalau menurut pengertian dan perhitungan manusia, selamatnya Kim Cu setelah terjatuh dari tempat tinggi itu merupakan hal yang ajaib dan kiranya tidak mungkin ada orang lain yang sebaik itu nasibnya. Han Han pasti hancur lebur tubuhnya. Akan tetapi pengertian manusia sesungguhnya amat tidak berarti, amat kecil dan jauh daripada cukup untuk dapat menjangkau dan menjenguk untuk mengukur kekuasaan Tuhan yang terlampau besar untuk dapat dipertimbangkan dan diukur oleh pengertian manusia. Logika atau nalar manusia amatlah kecil.

   Apalagi tentang hidup dan mati. Jika Tuhan menghendaki kematian seseorang, ke mana pun dia pergi, biarpun dia bersembunyi ke lubang semut, tidak urung maut akan datang menjemput. Jika menghendaki sebaliknya, biar selaksa macam malapetaka mengancam, dia akan lolos dari bencana. Demikianlah pula dengan Han Han. Agaknya Tuhan memang belum menghendaki pemuda ini tamat riwayat hidupnya, sungguhpun nyawanya sudah berada di ujung rambut, nyaris ia tewas. Ketika ia meluncur turun, lebih cepat daripada tubuh Kim Cu yang ringan, ia menimpa air lebih keras daripada gadis itu. Hal ini adalah karena selama melayang turun ini, pikiran Han Han penuh dengan kekhawatiran akan diri gadis itu. Dia selalu ingat akan menyelaniatkan Kim Cu, maka tubuhnya melakukan gerakan melawan sehingga tubuh itu terbanting keras ke permukaan air.

   Hebat sekali akibatnya, membuat matanya gelap dan ia tenggelam dalam keadaan setengah pinpsan. Kebetulan sekali ia jatuh di bagian yang dalam dan airnya amat deras sehingga begitu ia jatuh dan tenggelam, tubuhnya disambar dan dihanyutkan air amat cepatnya. Dalam keadaan pening dan setengah pingsan itu, Han Han menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi kakinya yang buntung terasa nyeri sekali, hampir tak tertahankan. Untung baginya bahwa dia memang telah memiliki sin-kang yang tinggi dan selama enam tahun menggembleng diri secara tekun sehingga ia telah memiliki kekuatan menahan napas. Ia membiarkan dirinya hanyut, menahan napas dan perlahan-lahan menggerakkan kedua lengan sehingga akhirnya ia dapat juga mengambang setelah terbawa hanyut amat jauh. Aliran sungai itu makin berbelak-belok dan arusnya kuat sekali.

   Tubuh Han Han terbanting-banting batu karang menonjol sehingga pakaiannya robek-robek, berikut kulit tubuhnya. Kakinya terasa makin nyeri, sampai menusuk ke jantung, membuat napasnya terengah dan pandang matanya gelap. Kalau saja Tuhan tidak menolongnya, tentu Han Han tewas dalam keadaan seperti itu. Sungguh amat kebetulan bahwa pada saat itu ia tidak sadarkan diri, pingsan benar-benar, tangannya meraih dan kebetulan lengannya dapat merangkul sebatang pohon yang hanyut. Kedua tangannya mencengkeram ranting-ranting dan daun, dan pingsanlah dia setengah bergantung pada cabang pohon, dibawa hanyut arus air yang makin kuat. Han Han sama sekali tidak tahu karena dia tidak sadar ketika cabang pohon itu dihanyutkan air yang makin kuat arusnya dan tiba di tempat yang sempit dan menurun.

   Kalau saja ia tidak memeluk kuat-kuat cabang itu di waktu hampir pingsan sehingga tubuhnya kini terbelit-belit ranting, tentu ia sudah terlepas dan tewas ditelan air. Arus air makin kuat dan tibalah di sebuah tikungan. Cabang pohon itu terhalang batu dan karena cepatnya cabang itu dihanyutkan, ketika menghantam batu karang terdorong minggir, ditangkap pusaran air dan dihanyutkan ke pinggir di mana air terpecah memasuki sebuah terowongan. Kiranya sungai di bagian ini mempunyai banyak cabang-cabang, yaitu lubang-lubang di antara batu gunung yang merupakan gua-gua atau terowongan. Cabang pohon yang membawa tubuh Han Han hanyut memasuki terowongan yang amat panjang dan gelap. Lebih dari dua kilometer panjang terowongan ini, di mana air yang masih deras mengalir di bawah gunung karang.

   Sampai setengah hari lamanya Han Han dibawa hanyut air sungai. Ketika siuman dari pingsannya, ia telah menggeletak di antara batu-batu kali yang halus dan berwarna hitam. Cabang pohon tadi hanyut oleh air terdampar ke pinggir dan terjepit di antara batu-batu. Untung bagi Han Han bahwa ia rebah terlentang sehingga hanya tubuhnya saja terendam air dangkal, mukanya terapung di permukaan air. Ia membuka mata, mengeluh perlahan karena merasa betapa seluruh tubuhnya nyeri. Akan tetapi pikirannya masih sadar dan segera ia dapat mengingat kembali keadaannya. Tahulah dia bahwa secara gaib sekali Tuhan telah menolongnya sehingga dia tidak tewas ketika terjatuh dari atas tebing yang curam itu. Sejenak ia teringat akan nasib Kim Cu dan cepat ia menggerakkan tubuh, menekankan kedua tangan pada batu hitam.

   "Kim Cu...."

   Ia berseru perlahan. Matanya memandang ke arah air sungai yang masih deras mengalir di tengah, mencari-cari penuh harapan. Kalau dia selamat, kemungkinan besar Kim Cu selamat pula.

   "Kim Cu....."

   Makin keras ia memanggil.

   "Aku selamat, tentu engkau pun selamat....."

   "Orang muda yang lancang. Boleh jadi engkau bebas dari cengkeraman air, akan tetapi jangan harap dapat terbebas dari tanganku."

   Han Han yang kuat menahan dinginnya air karena sin-kangnya, kini menggigil mendengar suara itu. Suara yang merdu dan halus sekali, akan tetapi mengandung hawa dingin yang membeku. Cepat ia memutar tubuh, berpegang kepada batu dan melihat seorang nenek berdiri tidak jauh di depannya dan ia bengong. Nenek itu hanya berkaki satu. Namun, biar kakinya hanya tinggal satu, nenek itu dapat berdiri tegak di atas batu. Kaki tunggalnya itu berada di tengah-tengah bawah tubuhnya, sukar dikatakan kaki kanan ataukah kaki kiri.

   Berdiri tegak tak bergerak seperti sebuah arca, tangan kiri memegang tongkat sehingga lengan bajunya tersingkap dan tampak sebuah tangan yang kecil dan berkulit halus putih. Wajah yang keriputan kurus itu masih membayangkan kecantikan masa muda dan tubuhnya masih kecil ramping. Akan tetapi pandang mata nenek itu membuat Han Han mengkirik. Pandang mata yang dingin sekali. Setelah kini ia membalikkan tubuh memandang ke darat, tampak olehnya jauh di belakang wanita tua itu sebuah pondok butut. Penglihatan mata Han Han amat tajam. Dia dapat mengenal orang pandai, akan tetapi pada saat itu ia bengong dan memeras otak untuk mengingat-ingat karena ia merasa yakin bahwa ia pernah bertemu dengan wanita ini"

   Akan tetapi mendengar ucapan wanita tua itu, ia terkejut dan berkata.

   "Maaf, locianpwe. Mengapa locianpwe mengatakan saya lancang?"

   "Hemmm, aku sudah bersumpah untuk membunuh setiap orang yang berani mendatangi tempat pertapaanku ini dan engkau telah lancang berani datang ke sini."

   "Tapi.... saya.... tidak sengaja datang ke tempat ini."

   Han Han memprotes.

   "Tidak peduli. Engkau telah mengotori tempat ini dan engkau harus mati."

   Tiba-tiba, sukar diketahui oleh Han Han bagaimana wanita itu bergerak, tahu-tahu tubuh wanita itu telah menyambar ke arahnya dan tongkat di tangan kiri itu menyambar ke arah kepalanya. Han Han masih berdiri di dalam air, sebatas paha. Melihat sambaran yang dahsyat luar biasa ini, Han Han cepat melempar tubuh ke belakang.

   "Byurrr....."

   Ia terluput dari maut, akan tetapi ia gelagapan dan cepat memegang batu karang, bangun berdiri lagi. Wanita itu telah berdiri di atas batu seperti tadi, pandang matanya yang dingin bersinar marah, keningnya yang tipis berkerut.

   "Hemmm, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian? Bagus, coba kau hadapi pukulan ini."

   Sebelum Han Han dapat mencegah atau membantah, Nenek itu telah mendorong dengan tangan kanannya ke depan. Serangkum hawa yang amat dingin menyambar ke arah Han Han. Cepat pemuda itu membuang diri ke kanan.

   "Pyarrrrr."

   Batu hitam besar yang berada di sebelah kiri pemuda itu pecah berantakan terkena hawa pukulan yang amat dahsyat itu.

   "Locianpwe, tahan....."

   Han Han berseru, akan tetapi pukulan ke dua sudah datang pula, lebih hebat dari tadi. Han Han kembali mengelak ke kiri.

   "Byurrrr."

   Han Han menengok dengan kaget menyaksikan betapa hawa pukulan itu membuat air di belakangnya menjadi bongkahan-bongkahan salju membeku"

   Maklumlah ia bahwa nenek itu memiliki Im-kang yang amat dahsyat dan kini teringatlah ia di mana ia telah "bertemu"

   Dengan nenek itu.

   "Locianpwe....."

   Nenek itu sudah memukul lagi, tidak ada kesempatan lagi bagi Han Han untuk mengelak. Terpaksa ia menggerakkan tangan menangkis dengan cara mendorongkan tangan kanan ke depan sambil mengerahkan tenaga sin-kang. Gerakan ini tentu saja meniru gerakan yang pernah dia pelajari dari kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, yaitu Swat-im Sin-ciang.

   "Desssss...., Aihhhhh....."

   Tubuh nerek itu bergoyang-goyang dan ia mengeluarkan seruan kaget, sedangkan tubuh Han Han terbanting ke belakang, mulutnya mengeluarkan darah segar. Keadaan pemuda ini masih belum pulih, belum sembuh benar dari penderitaan luka di kaki yang dibuntung, apalagi baru saja dia dipermainkan arus air sehingga dia amat lelah dan tenaga yang ia keluarkan tadi hanyalah sisa tenaga yang tinggal separuh. Pertemuan tenaga Im-kang dahsyat itu membuat Han Han terluka di sebelah dalam tubuhnya dan ia terhuyung, memegang batu dan jatuh di atas batu hitam.

   "Keparat! Engkau pandai Swat-im Sin-ciang? Ada hubungan apa engkau dengan Si Setan Muka Kuda Siangkoan Lee?"

   Akan teitapi pertanyaan yang terdengar merdu dan terlalu dingin itu seperti tidak terdengar oleh Han Han yang kepalanya terasa pening.

   "Locianpwe.... saya pernah bertemu dengan locianpwe.... di Istana Pulau Es...."

   Terdengar wanita tua itu mengeluarkan suara melengking dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di atas batu depan Han Han, tongkatnya sudah diangkat ke atas, siap ditusukkan ke ubun-ubuh kepala Han Han.

   "Apa kau bilang....? Pulau Es....? Orang muda, sekarang ada tiga alasan bagiku untuk membunuhmu. Pertama, engkau lancang masuk ke sini, kedua, engkau ada hubungan dengan Siangkoan Lee dan Swat-im Sin-ciang, ke tiga, engkau tahu akan Pulau Es....."

   Tongkat diangkat ke atas, ujungnya hendak ditusukkan ke kepala Han Han. Pemuda ini melihat datangnya bahaya maut, akan tetapi kepalanya terlalu pening dan pikirannya tidak karuan. Entah bagaimana, ia merasa pasti akan mati dan ia terbayang akan beruang es yang mati di Pulau Es, maka bibirnya mengeluh,

   "Beruang Es itu telah mati.... mati digigit ular merah...."

   Dan dia pun roboh pingsan, terkulai lemas.

   "Beruang.... beruang es....? Mati....?"

   Tongkat yang sudah siap menghabiskan nyawa Han Han itu perlahan-lahan turun. Nenek itu tertegun dan termenung memandang tubuh Han Han yang terkulai, kemudian tongkatnya bergerak, mencokel tubuh Han Han dan sekali digerakkan tubuh Han Han terlontar ke atas, disambut dengan lengan kanan, dikempit kemudian nenek itu meloncat-loncat dengan satu kakinya, cepat bukan main dari batu ke batu, menuju ke pondok kecil.

   "Luar biasa...., Kakinya juga buntung sebelah....."

   Gumamnya ketika tadi melihat betapa kaki pemuda itu juga buntung sebelah. Keadaan pemuda itu menarik perhatiannya, begitu tertarik sehingga ia tidak ingin lagi membunuhnya. Pertama, pemuda ini, yang keadaannya sudah lemah, sanggup menangkis pukulan Im-kangnya. Hal ini saja sudah mengejutkannya karena tadi ia merasa betapa tangkisan itu amat kuatnya. Si Muka Kuda sendiri belum tentu dapat bertahan dan menangkis sekuat itu. Ke dua, pemuda itu mengatakan pernah bertemu dengannya.

   Ketiga, pemuda itu menyebut-nyebut beruang es yang mati digigit ular merah, hal ini menguatkan bukti bahwa pemuda ini berar-benar pernah berada di Pulau Es. Dan kini ke empat, kenyataan bahwa pemuda ini seorang yang berkaki satu menambah keinginan tahunya. Ketika Han Han membuka matanya, pertama yang terasa olehnya adalah rasa pahit di mulut dan bau harum di hidung. Ia mengecap mulutnya dan tahulah ia bahwa dia telah dicekoki Obat selagi pingsan dan teringatlah ia akan semua pengalamannya tadi. Cepat ia bangkit duduk di atas pembaringan itu dan melihat nenek tadi sedang duduk di atas kursi di sudut bilik, memandangnya penuh perhatian. Melihat nenek itu, Han Han maklum bahwa biarpun tadi ia diserang sampai roboh pingsan, namun akhirnya nenek itu telah menolongnya. Ia lalu meloncat turun dari atas pembaringan, lupa akan kakinya yang buntung sehingga akibatnya ia roboh terguling.

   "Aduhhh....."

   Kakinya terasa nyeri sekali, namun ia memaksa diri merangkak dan berlutut dengan sebelah kaki di depan nenek itu.

   "Huh, canggung benar."

   Si Nenek mencela.

   "Sudah berapa lama kakimu buntung?"

   "Baru.... baru beberapa hari, locianpwe."

   Nenek itu mengangguk-angguk. Kiranya pemuda ini malah masih menderita luka pada kakinya yang buntung"

   Ia makin heran dan kagum betapa pemuda yang terluka hebat masih memiliki tenaga sedemikian kuatnya.

   "Sekarang lekas ceritakan semua, bagaimana engkau tahu tentang beruang es dan kapan pernah bertemu denganku. Kalau ada yang kau sembunyikan, aku tidak akan mengampuni nyawamu lagi."

   "Locianpwe, saya bernama Sie Han dan bukanlah seorang yang suka membohong atau menipu, apalagi lancang memasuki tempat kediaman orang-orang suci. Saya tiba di tempat ini tanpa saya sengaja, juga saya dahulu tiba di Pulau ES secara kebetulan, terbawa badai dalam perahu rusak. Sampai enam tahun lamanya, saya bersama Adik angkat saya berdiam di Pulau Es, melatih diri dengar ilmu yang terdapat di kitab-kitab milik penghuni istana di Pulau Es. Setelah beruang es mati tergigit ular merah beracun dan melihat betapa pulau itu sesungguhnya tedapat ular merah yang amat berbahaya, akhirnya saya dan Adik saya berhasil melarikan diri keluar dari pulau itu. Ketika tadi.... ataukah kemarin.... saya melihat locianpwe di pinggir sungai, segera saya mengenal locianpwe. Bukankah locianpwe ini adalah orang yang patungnya berada di Pulau Es? Saya ada melihat tiga buah patung di sana, patung seorang pria tampan gagah yang ada bekas tusukan pada dahinya, patung seorang wanita cantik yang pandang matanya menyeramkan, dan ke tiga adalah patung wanita cantik yang.... eh, seperti locianpwe...."

   "Buntung kakinya?"

   Nenek itu bertanya dan suaranya agak menggetar. Han Han mengangguk sambil menatap wajah nenek itu. Setelah kini sikap dingin nenek itu lenyap oleh perasaan terharu, tampaklah olehnya sifat lemah lembut seperti yang terdapat pada muka patung. Kiranya wanita yang pada dasarnya berwatak lembut ini sengaja menutup watak aselinya dengan muka dingin, dan hal ini hanya terjadi pada orang yang mengalami penderitaan batin yang amat hebat. Tiba-tiba nenek itu mengangkat muka dan ternyata ia telah dapat menguasai getaran perasaannya, matanya bersinar dingin kembali dan ia berkata,

   "Benar, akulah patung wanita kaki buntung itu. Dan karena engkau telah mengetahui rahasia ini, telah pula menemukan tempat persembunyianku, lebih kuat lagi alasanku untuk membunuhmu. Bersiaplah, engkau untuk mati."

   Wanita kaki buntung itu menggerakkan tangan hendak menyerang. Han Han maklum bahwa dia bukanlah lawan wanita ini, namun telah menjadi wataknya untuk tidak menyerah begitu saja kepada siapapun juga, apalagi kalau dia hendak dibunuh. Timbul rasa penasaran di hatinya dan biarpun tubuhnya lemah dan rasa nyeri di kakinya belum lenyap, ia bersikap nekat hendak melawan dan membela diri. Timbul pula rasa marah. Telah dengan susah payah ia membawa surat-surat peninggalan pria penghuni Pulau Es, dan sekarang secara kebetulan ia bertemu dengan seorang di antara tiga patung di Istana Pulau Es, akan tetapi tanpa dosa apa-apa ia akan dibunuh"

   "Nanti dulu, Locianpwe."

   Ia berseru, suaranya nyaring sekali karena ia mengerahkan khi-kang sehingga nenek itu terkejut dan menahan pukulannya.

   "Saya tidak merasa mempunyai kesalahan apa-apa, mengapa locianpwe hendak membunuh saya? Bukankah perbuatan itu kejam dan ganas sekali? Kalau locianpwe memaksa diri hendak membunuh saya, sebagai seorang manusia terpaksa saya akan melawan locianpwe. Akan tetapi, karena saya pasti akan tewas di tangan locianpwe biarlah saya menyerahkan surat-surat peninggalan penghuni Pulau Es kepada locianpwe agar tugas saya ini ada yang melanjutkan. Apalagi karena locianpwe adalah seorang anggauta keluarga penghuni Pulau Es, tentu lebih tahu kepada siapa surat-surat itu harus diserahkan."

   Sambil berkata dengan nada keras, Han Han mengeluarkan kantung yang berisi surat-surat yang ia temukan dalam laci meja di kamar pria penghuni Istana Pulau Es, kemudian dilemparkannya kantung itu kepada Si Nenek yang cepat menyambar dengan tangannya.

   "Plakkk...., Aihhhhh....."

   Tubuh nenek itu tiba-tiba lenyap dan Han Han memandang dengan mata terbelalak. Tadi ketika melontarkan kantung surat-surat itu ia sengaja mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Nenek itu menerima lontaran kantung dengan mudah dan tubuh Si Nenek seperti sehelai daun kering tertiup angin badai, melayang terbang keluar pintu dan beberapa detik kemudian sudah meluncur lagi memasuki pondok, berdiri di atas kaki tunggalnya dan memandangnya dengan terbelalak.

   Mereka sama-sama terheran karena peristiwa ini menunjukkan bahwa Si Nenek mengagumi kehebatan tenaga sin-kang Han Han, sebaliknya selama hidupnya baru sekali ini Han Han menyaksikan gin-kang yang sedemikian tingginya sehingga gerakan nenek itu seperti orang menghilang saja. Akan tetapi betapa herannya hati Han Han ketika melihat nenek itu berdiri dengan muka pucat memandang surat-surat dalam kantung yang telah dibukanya, bibir nenek itu gemetar, air mata mengalir turun dari kedua matanya, tangannya dengan jari-jari menggigil mengambil surat satu demi satu, lalu tiba-tiba ia menciumi surat-surat itu, mendekap di dadanya dan terdengar jeritnya lirih.

   "Aduh.... Suheng Han Ki Koko.... (Kanda Han Ki)....."

   Nenek itu menekuk lutut kaki tunggalnya dan mendeprok lalu menangis tersedu-sedu, amat mengenaskan. Han Han melongo, apalagi dalam tangisnya, nenek itu berkali-kali menyebut nama Han-koko, mengingatkan ia akan suara tangisan dan panggilan adiknya, Lulu.

   "Kakanda Han.... kalau memang mencinta mengapa tidak dari dahulu berterus terang....? Kalau benar engkau mencinta aku seorang.... ah, kalau aku tahu.... masa aku akan mengalah begitu saja, membiarkan suci membuntungi kakiku....? Aduh, Han-koko.... Han-suheng.... betapa kejamnya engkau....."

   Han Han tetap berdiri seperti patung memandang nenek itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga penuh keharuan. Nenek itu seperti seorang anak kecil, menangis terisak-isak dan bicara sendiri seperti orang gila.

   Satu demi satu surat yang ditulis dengan huruf-huruf indah itu dibacanya, dan tiap kali membaca sebuah surat ia menangis makin sedih. Akhirnya semua surat habis dibaca nenek itu, surat-surat itu berserakan di atas tanah lantai pondok dan Han Han melihat betapa air mata nenek itu membuat beberapa huruf hitam menjadi luntur dan kotor. Nenek itu sendiri masih terisak-isak, seolah-olah dia telah lupa kepada Han Han dan tenggelam dalam kedukaan yang amat hebat. Wajah yang kurus itu sepucat mayat, kosong tak ada gairah hidup. Sepuluh jari tangannya mencengkeram dan membuka, seperti orang sekarat, tanda bahwa jantungnya seperti diremas-remas oleh penderitaan batin. Han Han merasa kasihan sekali. Setelah menanti lebih dari dua jam dan nenek itu masih saja belum dapat menguasai kesedihannya, ia lalu menjatuhkan diri berlutut lagi sambil berkata.

   "Locianpwe, ampunkanlah saya kalau penyerahan surat-surat itu mendukakan hati locianpwe.... kalau saya tahu.... ah, lebih baik saya buang saja surat-surat itu. Saya tidak ingin melihat locianpwe berduka seperti ini...."

   Nenek itu menoleh dan memandang Han Han seperti orang bingung, seperti heran mengapa ada seorang pemuda di situ. Akan tetapi ia segera teringat kembali dan kini pandang matanya menyapu surat-surat yang berserakan di atas lantai.

   "Mengapa aku tidak berduka? Delapan puluh tahun lamanya aku berada di sini, menyiksa diri dan hati, menanam kebencian yang menjangkau langit, menyimpan sakit hati sedalam laut dan kini, surat-surat itu membuka rahasia, menyatakan bahwa semua penderitaanku selama puluhan tahun ini sesungguhnya sia-sia belaka, hanya muncul sebagai akibat salah faham. Dia mencintaku seorang...., Ha-ha-heh-heh-hi-hik. Ingin aku melihat wajah Maya Suci kalau dia membaca surat ini. Sebuah saja. Hi-hi-hik."

   Nenek itu kini tertawa-tawa dan Han Han merasa amat terharu, seperti ditusuk jantungnya karena nenek itu tertawa seperti setan menangis"

   "Ahhhhh"

   Apa artinya semua ini?"

   Tiba-tiba Si Nenek mencelat dan seketika Han Han bingung karena kembali nenek itu lenyap dari pandang matanya. Ketika ia mencari-cari dengan pandang matanya, bayangan putih berkelebat seperti kilat menyambar dan tahu-tahu nenek itu sudah berada kembali di tempat itu, tangannya memegang obor dan dibakarnyalah semua surat-surat yang berserakan di atas lantai. Ia kini tersenyum-senyum, tertawa-tawa melihat api yang membakar surat-surat itu menyala-nyala di sekelilingnya, kemudian ia melempar obor itu keluar pondok dan berkata.

   "Han-koko, biarlah rahasia ini tetap tersimpan dalam hati kita. Biarlah kelak kita bicarakan cinta kasih antara kita kalau kita saling berjumpa di akhirat."

   Dalam ucapan ini terkandung kasih sayang yang amat besar, suara nenek itu terdengar merdu dan penuh getaran kasih, membuat Han Han menjadi makin terharu hatinya. Setelah surat-surat yang terbakar itu habis menjadi abu, nenek itu mengibaskan tangannya dan abu surat itu melayang keluar pondok, sehingga lantal itu kini bersih, sedikit pun tidak ada bekas-bekas surat yang dibakar. Nenek itu lalu memandang Han Han yang masih berlutut, suaranya kembali terdengar dingin.

   "Siapa tadi namamu?"

   Han Han masih merasa tegang dan heran mendengar betapa nenek itu menyebut nama si penulis surat sebagai "Kanda Han", nama yang sama benar dengan namanya sungguhpun kemudian sebutan-sebutan lain membuat ia tahu bahwa laki-laki penulis surat itu tentulah suheng dari nenek ini yang bernama Han Ki. Maka ia lalu menjawab.

   Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Nama saya Sie Han, locianpwe."

   "Hemmm, benar namamu itu yang tadi mendatangkan rasa benci di hatiku dan membuat aku ingin membunuhmu. Akan tetapi sekarang tidak lagi, aku tidak membenci nama Han. Tidak. Eh, orang muda, sungguh keadaanmu mengherankan hatiku. Engkau sudah menemukan Pulau Es, mempelajari ilmu di sana sehingga tenaga sin-kangmu luar biasa sekali. Kemudian engkau membawa surat-surat itu yang memang ditujukan kepadaku dan.... dan kakimu juga buntung. Siapa yang membuntungi kakimu?"

   

Istana Pulau Es Eps 26 Kisah Pendekar Bongkok Eps 15 Kisah Pendekar Bongkok Eps 17

Cari Blog Ini