Ceritasilat Novel Online

Pendekar Super Sakti 27


Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 27



"Kraaaaakkkkk.... bruuuuukkk....."

   Pohon itu tumbang terjebol dengan akar-akarnya.

   "Sin-coa-kun....."

   Si Kakek Bongkok memandang terbelalak. Nirahai tertawa.

   "Kakek tua yang keras kepala, engkau tentu tidak akan merasa yakin benar kalau tidak mengujinya sendiri. Hayo, keluarkan suling emas dan kipas peninggalan pendekar sakti Suling Emas yang kaupergunakan untuk membunuh Sepasang Anjing Hitam tadi, dan hadapi payungku."

   Setelah berkata demikian, Nirahai sudah menerjang maju dengan payungnya yang berujung runcing. Ujung payung yang seruncing ujung pedang itu tahu-tahu sudah berubah menjadi sinar menyilaukan yang menusuk ke arah leher kakek bongkok. Kakek itu mengeluarkan suara,

   "Hemmm....."

   Dan dengan mudahnya miringkan tubuh ke kiri mengelak, akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba payung itu terbuka dan jari-jari payung yang terbuat daripada baja itu menyerangnya didahului sambaran angin yang meniup ketika payung terbuka tiba-tiba. Inilah serangan yang hebat. Kakek itu biarpun sudah tua dan bongkok, ternyata masih mampu bergerak cepat dan ia sudah menggulingkan tubuh ke atas tanah sehingga terbebas dari sambaran jari-jari payung.

   "Lihat senjata rahasia....."

   Nirahai berseru, tangan kirinya bergerak.

   "Wir-wir-wir.... ciat-ciat-ciat....."

   Kakek itu terpaksa bergulingan ke kanan kiri untuk mengelak sambaran sinar hijau dari jarum-jarum yang menyambar susul-menyusul itu. Ketika melihat sinar hijau dan mencium bau harum, ia meloncat bangun sambil berseru,

   "Siang-tok-ciam....."

   Nirahai tersenyum ketika melihat kakek itu sudah meloncat sambil mencabut sepasang senjata pusaka peninggalan Suling Emas itu, yaitu sebuah kipas dipegang di tangan kanan sedangkan sebatang suling emas dipegang di tangan kiri. Gadis ini sambil tersenyum memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, lututnya ditekuk sedikit, tubuhnya miring menghadapi kakek itu, mengeriing ke kanan, mulut tersenyum, tangan kanannya yang memegang gagang payung bengkok itu menodongkan payung ke depan dada, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka miring berada di depan muka, ibu jarinya hampir menyentuh hidung. Dilihat begitu saja, kuda-kuda dara ini seperti orang yang sedang mengejek dan mempermainkan lawan, akan tetapi kakek bongkok itu mengenal kuda-kuda dari Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dan diam-diam ia mengkirik.

   Ilmu Pedang Delapan Iblis ini adalah ilmu pedang yang amat hebat dan ganas, dan dahulu menjadi ilmu dari seorang tokoh sakti wanita yang menggemparkan dunia persilatan yang hanya didengar oleh kakek bongkok itu dari dongeng, yaitu wanita sakti yang berjuluk Tok-siauw-kwi. Setan Cilik Beracun (Tok-siauw-kwi) ini bukan lain adalah ibu kandung Suling Emas (baca cerita Suling Emas) yang amat lihai ilmunya dan amat ganas sepak terjangnya. Dan kini ternyata ilmu yang hebat ini telah terjatuh ke tangan gadis puteri Kaisar Mancu yang mengaku masih berdarah Khitan ini. Memang hatinya sudah mulai percaya, keraguannya menipis, apalagi ketika ia tadi menyaksikan ilmu pukulan tangan kosong Sin-coa-kun-hoat (Ilmu Silat Ular Sakti) dan senjata rahasia Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Wangi). Betapapun juga, kalau belum mengujinya, kakek ini masih belum yakin.

   "Marilah, Kakek yang keras kepala. Engkau hendak menguji apakah benar-benar ilmu yang kau lihat tadi berisi, dan aku pun ingin melihat apakah sepasang senjata yang kau keluarkan itu benar-benar aseli."

   Setelah berkata demikian, Nirahai sudah menerjang maju dengan payungnya. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga sin-kang yang kuat sekali.

   "Wuuuttttt, singgggg....."

   Pedang yang berbentuk payung itu menusuk.

   "Cringgggg....."

   Suling di tangan kiri kakek itu menangkis ujung pedang payung dan tampak bunga api berpijar. Keduanya tergetar ke belakang. Nirahai memeriksa ujung payungnya dan terkejut melihat ujung payung yang terbuat dari baja pilihan itu agak lecet"

   Diam-diam ia memuji suling emas itu yang ternyata benar-benar sebuah senjata pusaka yang amat ampuh, sesuai dengan nama pemiliknya dahulu, yaitu Pendekar Suling Emas. Sudah menjadi watak kebanyakan ahli silat kalau bertemu lawan tangguh timbul kegembiraannya. Demikian pula dengan Nirahai. Sudah lama dia tidak bertemu lawan yang tangguh dan kini bertemu kakek penjaga kuburan keluarga Suling Emas yang lihai, ia menjadi gembira, dan cepat ia melanjutkan serangannya dengan tusukan bertubi-tubi, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya.

   Kakek bongkok ini dahulunya adalah bekas kacung dari keluarga putera Suling Emas yang bernama Kam Liong, kakak tiri Mutiara Hitam. Kam Liong inilah yang mewarisi senjata kipas dan suling ayahnya. Kacung keluarga Kam Liong ini mengabdi sampai tua dan setelah kuburan keluarga Suling Emas tidak dijaga lagi oleh pengawal-pengawal Kerajaan Khitan yang sudah runtuh, dia lalu turun gunung di mana ia bertapa melewatkan hari tuanya, dan menjaga tanah kuburan itu dengan penuh kesetiaan. Nama bekas kacungnya yang kini menjadi kakek bongkok itu adalah Gu Toan. Dia seorang buta huruf akan tetapi berkat kesetiaannya mengabdi keluarga Suling Emas, keluarga itu menyayanginya dan melatihnya dengan ilmu-ilmu silat keluarga pendekar besar itu.

   Gu Toan amat rajin dan tekun. Sungguhpun ia buta huruf dan terhitung golongan orang yang kurang cerdas otaknya, namun ketekunannya membuat ia dapat menguasai semua ilmu silat keluarga itu. Akan tetapi tentu saja latihannya tidak sempurna benar. Betapapun juga, kalau menghadapi lawan dari luar, kakek ini sukar dicari tandingnya. Kini bertemu dengan Nirahai yang mewarisi ilmu keluarga Suling Emas dan telah melatihnya dengan sempurna, tentu saja kakek itu terdesak hebat. Ia mengenal Pat-mo Kiam-hoat yang dimainkan dengan pedang payung, mengenal pula pukulan Sin-coa-kun yang dilakukan sebagai selingan alam penyerangan Nirahai, akan tetapi karena dia tidak pernah melatih ilmu-ilmu itu secara mendalam, menghadapi terjangan Nirahai itu ia menjadi repot sekali.

   "Nona, hentikanlah....."

   Tiba-tiba kakek itu mencelat ke belakang dan memandang kagum.

   "Paduka benar-benar puteri Kaisar yang amat lihai, dan saya mengakui bahwa Paduka telah mewarisi ilmu dari Keluarga Suling Emas. Paduka berhak untuk berziarah dan bersembahyang di kuburan ini. Silakan."

   Nirahai memanggul senjatanya yang kini hanyalah sebuah payung biasa, sama sekali tidak tampak seperti sebuah senjata yang ampuh, dan memandang kakek bongkok itu. Mulutnya yang selalu tersenyum itu kini kelihatan ditarik keras sehingga wajahnya yang manis nampak sungguh-sungguh.

   "Sebetulnya, siapakah engkau ini, Kakek yang lihai?"

   "Nama saya Gu Toan dan dahulu saya adalah kacung dari putera Suling Emas. Hanya itu yang dapat saya ceritakan. Silakan kalau hendak bersembahyang, Nona."

   "Begini, Kakek Gu. Selain hendak berziarah dan memberi hormat kepada kuburan keluarga besar ini, aku pun hendak mengajukan sebuah permintaan kepadamu."

   Kakek itu yang masih berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan tubuh membungkuk, kedua tangan tergantung di kanan kiri pinggang setelah menyimpan kembali sepasang senjatanya, kini mengangkat muka memandang wajah cantik itu penuh selidik dan bertanya.

   "Permintaan apakah itu, Nona? Apakah yang dapat saya lakukan untuk Paduka?"

   "Engkau tentu telah tahu bahwa Kerajaan Mancu berhasil menguasai semua daratan di selatan. Akan tetapi, masih ada daerah di barat yang belum mau tunduk, yaitu daerah Se-cuan yang dikuasai oleh Bu Sam Kwi. Kedudukan musuh ini amat kuat dan hal ini terutama sekali ditimbulkan oleh bantuan orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi. Kami mengalami kemacetan dan kesulitan untuk menaklukkan daerah itu, yang merupakan daerah terakhir. Kalau Se-cuan sudah takluk, berarti seluruh daratan Tiongkok berada di kekuasaan Kerajaan Ceng kita...."

   "Bukan kerajaan kita, Nona. Ingat, saya adalah seorang bangsa Han...."

   Nirahai mengerutkan keningnya.

   "Hemmm...., apakah engkau anti Mancu dan pro kepada Bu Sam Kwi?"

   Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng kepala.

   "Saya tidak mengenal Bu Sam Kwi, dan saya tidak peduli akan urusan negara, saya hanya bertugas menjaga kuburan suci ini. Dahulu, mendiang pendekar sakti Suling Emas menghilangan semua bentuk permusuhan antar suku bangsa, bahkan Kerajaan Khitan berdarah Han pula. Akan tetapi sekarang.... ah, saya tidak tahu tentang urusan kerajaan. Teruskan, apakah yang Paduka kehendaki?"

   "Kami ingin menaklukkan Se-cuan tanpa menimbulkan banyak korban di pihak orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Kaisar kami membutuhkan tenaga orang-orang pandai itu, maka kami ingin menaklukkan mereka tanpa membunuh, bahkan kalau bisa hendak menarik mereka untuk bekerja sama demi negara dan bangsa seluruhnya. Karena itu, kedatanganku ke sini untuk minta pinjam senjata pusaka dari mendiang Suling Emas. Dengan suling sakti milik Suling Emas, kiranya aku akan dapat mempengaruhi para orang gagah itu untuk menakluk dengan damai. Berikanlah suling emas itu padaku, Kakek Gu, untuk kupinjam beberapa lamanya. Kalau sudah selesai tugasku dengan hasil baik, aku bersumpah untuk mengembalikannya kepadamu."

   "Tidak mungkin."

   Kakek itu berseru.

   "Pusaka-pusaka itu adalah benda keramat, yang tidak boleh dibawa pergi oleh siapapun juga dari sini. Nona sudah menyaksikan sendiri terpaksa saya membunuh Sepasang Anjing Hitam tadi yang hendak merampas pusaka. Dan entah sudah berapa banyak orang-orang yang tewas di tangan saya karena menghendaki pusaka-pusaka itu. Harap Nona membuang jauh keinginan itu dan meninggalkan tempat ini dengan selamat."

   "Kakek yang keras kepala, Apakah kau ingin aku menggunakan kekerasan? Engkau tahu sendiri betapa lihainya Pat-mo Kiam-hoatku yang tidak akan dapat kaulawan."

   Nirahai sudah menggerakkan payungnya.

   "Srettt."

   Payung yang tadi dipanggulnya itu kini telah menodong dari depan dadanya ke arah kakek itu.

   "Wuuuttttt.... singgggg."

   Kipas dan suling emas sudah tercabut keluar oleh kakek itu sambil berkata.

   "Nona, memang Pat-mo Kiam-hoat amat hebat. Di dunia ini terdapat dua ilmu mukjizat yang dimiliki mendiang pendekar sakti Suling Emas, yaitu Lo-hai San-hoat (Ilmu Silat Kipas Pengacau Lautan) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa). Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dahulu diciptakan untuk mengatasi Pat-sian Kiam-hoat, akan tetapi betapapun juga, ilmu yang bersih tak mungkin dapat dikalahkan ilmu yang sesat. Dewa yang suci takkan dapat dikalahkan Iblis yang jahat. Saya tidak akan dapat menyerahkan suling ini selama nyawaku masih berada di tubuh ini."

   "Bagus! Engkau memang keras kepala."

   Nirahai berseru marah dan payungnya sudah menerjang hebat. Akan tetapi kini kakek itu mainkan Pat-sian Kiam-hoat dengan suling emasnya, dan kipasnya mainkan ilmu Silat Lo-hai San-hoat yang dahsyat. Angin keras bertiup dari kebutan kipas, menyambar-nyambar muka Nirahai dan setiap kali gadis ini terpaksa miringkan muka atau mengelak oleh sambaran kipas, sinar kuning emas dari suling sudah meluncur, mengarah bagian tubuh berbahaya, disusul dengan totokan-totokan gagang kipas.

   "Aiiih....."

   Nirahai menggunakan gin-kangnya, tubuhnya melesat ke atas dalam usahanya untuk menghindarkan diri.

   Keringat dingin keluar dari jidatnya dan gadis ini harus mengakui bahwa kakek bongkok itu benar-benar lihai sekali. Ia bersilat dengan hati-hati, menggunakan payungnya sebagai senjata pedang yang menyerang, juga sebagai senjata perisai yang melindungi tubuh. Pertandingan berlangsung seru sekali. Kakek itu menang pengalaman dan juga menang ilmu silat, akan tetapi kalah lincah dan kalah dalam hal perkembangan, taktik dan kecerdikan. Pertandingan berlangsung seratus jurus lebih dan diam-diam Nirahai harus mengakui bahwa Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat memang kalah hebat oleh Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat. Kalau saja kakek itu menguasai ilmunya dengan sempurna, kiranya tadi-tadi ia sudah dirobohkan lawan.

   "Ser-ser-serrr....."

   Nirahai tiba-tiba menyambit dengan jarum-jarumnya. Karena jarak di antara mereka dekat, kakek itu terkejut, memutar kipas dan mengebut jarum-jarum runtuh ke tanah. Kesempatan ini dipergunakan oleh Nirahai untuk mengirim tusukan kilat dengan ujung payungnya. Kipas itu terbuka, menangkis dan tiba-tiba tertutup, kedua gagang kipas menjepit ujung pedang. Nirahai kaget sekali karena tiba-tiba payungnya tak dapat digerakkan dan tampak sinar kuning emas berkelebat depan matanya. Tahulah puteri ini bahwa nyawanya terancam suling yang ampuh itu.

   "Plak-plak....."

   Tubuh Nirahai dan tubuh kakek bongkok itu terlempar ke belakang oleh dorongan telapak tangan yang memiliki tenaga hebat tak tertahankan. Mereka cepat meloncat untuk mematahkan tenaga dorongan yang membuat mereka terhuyung dan memandang ke depan. Nirahai terbelalak heran melihat bahwa di situ telah berdiri seorang nenek yang masih memiliki wajah cantik sekali, pakaiannya pun indah dan bersih berdiri dengan sikap agung melebihi keagungan permaisuri kaisar sendiri.

   "Ya Tuhan.... be.... benarkah Paduka ini....?"

   Kakek bongkok bergoyang-goyang tubuhnya, matanya terbelalak, wajahnya pucat seolah-olah ia melihat setan di tengah hari.

   "Gu Toan, apakah matamu telah menjadi lamur karena usia tua dan tidak mengenal aku?"

   Wanita itu berkata, suaranya dingin melebihi salju.

   "Benarkah.... benarkah Paduka ini.... Maya-siocia (Nona Maya)....?"

   Nenek itu tersenyum, bukan dengan mulutnya melainkan dengan matanya. Mata yang amat indah dan sama sekali tidak membayangkan usia tua.

   "Gu Toan, biar sudah menjadi kakek tua, engkau masih bodoh. Masa aku yang sudah jadi nenek-nenek kau sebut siocia? Sungguhpun aku selamanya tidak pernah menikah dan masih seorang Nona, akan tetapi Nona tua...."

   Ucapan terakhir ini terdengar bernada duka sehingga Nirahai menjadi heran.

   "Ahhh.... ampunkan hamba...."

   Kakek itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.

   "Hamba kira.... hamba dengar bahwa Paduka...."

   Ia tidak berani melanjutkan.

   "Kau kira aku sudah mati?"

   Nenek itu melanjutkan dan melihat kakek bongkok yang berlutut itu mengangguk, ia menghela napas panjang.

   "Memang sudah mati...., apakah bedanya dengan mati kalau batin ini sudah kosong dan semangat ini sudah padam? Hanya tubuh yang tak tahu diri, yang masih belum juga mau mati...."

   Ucapan ini terdengar perlahan kemudian tiba-tiba ia sadar dan melanjutkan dengan suara halus namun amat dingin dan penuh wibawa,

   "Eh, Gu Toan, aku melihat engkau sampai menggunakan sepasang pusaka keramat dan mainkan ilmu simpanan melawan gadis ini. Siapakah dia?"

   Ia bertanya kepada Gu Toan akan tetapi menoleh kepada Nirahai dan sejenak ia terpesona melihat wajah Nirahai, karena ia seakan-akan melihat bayangannya sendiri dalam air yang jernih.

   "Kau.... kau seorang gadis Khitan....?"

   Nirahai yang sejak tadi masih memandang dengan hati tegang dan heran, menggangguk tanpa mengalihkan pandang matanya. Ia dapat mengenal orang sakti, yang sekali bergerak dapat membuat dia dan kakek bongkok terpental ke belakang.

   "Saya seorang dara Mancu yang berdarah Khitan pula."

   "Dia adalah puteri Kaisar Kang Hsi dari Kerajaan Mancu,"

   Kakek bongkok itu menerangkan.

   "akan tetapi berdarah Khitan dan telah mewarisi Pat-mo Kiam-hoat, Sin-coa-kun-hoat dan Siang-tok-ciam. Datang ke sini untuk meminjam suling emas guna menaklukkan tokoh-tokoh kang-ouw yang membantu Bu Sam Kwi yang belum mau takluk kepada Kerajaan Ceng. Terpaksa hamba menolak dan kami bertempur...."

   Nenek itu masih memandang Nirahai penuh selidik. Tiba-tiba tangan kanannya bergerak ke depan. Nirahai tidak tahu bagaimana caranya, akan tetapi ia terkejut sekali karena tahu-tahu tangan itu telah meraih ke arah payung yang dipegangnya. Tentu saja ia cepat menggerakkan payungnya untuk mengelak, akan tetapi payungnya itu tiba-tiba saja terlepas dari tangannya, seolah-olah payungnya berubah menjadi seekor burung yang amat kuat dan yang terbang melepaskan diri dari tangannya. Ketika ia memandang, ternyata nenek itu telah memegang payungnya dan memeriksanya, membuka menutup dan mencobanya dengan beberapa gerakan menusuk. Nenek itu mengangguk-angguk dan berkata.

   "Lumayan juga senjata ini. Sudah memiliki senjata seperti ini, sudah memiliki ilmu-ilmu ampuh peninggalan Keluarga Suling Emas, mengapa masih ingin meminjam suling emas?"

   Pertanyaan ini bagaikan ujung pedang ditodongkan di depan dada Nirahai yang masih belum kehilangan kaget dan herannya menyaksikan betapa dengan mudahnya nehek itu merampas senjatanya. Karena maklum bahwa nenek ini amat sakti, dan tahu pula bahwa kalau ia salah jawab dan nenek itu menghendaki, sekali pukul saja ia akan tewas dan ia tidak akan dapat melindungi dirinya dari tangan nenek yang luar biasa ini. Maka Nirahai yang cerdik dan juga yang merasa amat kagum segera menjatuhkan diri beriutut di depan nenek itu, seperti kakek bongkok, dan berkata.

   "Mohon maaf sebanyaknya kepada locianpwe kalau teecu bersalah dalam halini. Sesungguhnya teecu secara terpaksa sekali mohon pinjam suling emas itu, karena tugas teecu sebagai pimpinan pasukan pengawal yang bertugas menandingi tokoh-tokoh kang-ouw yang menentang pemerintah Kerajaan Ceng dan membantu pemberontak Bu Sam Kwi. Kerajaan Ceng menghendaki agar orang-orang gagah itu ditaklukkan dengan jalan damai, karena untuk membangun negara yang banyak menderita karena perang, pemerintah membutuhkan bantuan orang-orang gagah itu."

   "Maka sedapat mungkin, penaklukan Se-cuan akan dilakukan tanpa menimbulkan banyak korban di antara orang-orang gagah yang membelanya. Untuk keperluan itulah maka teecu terpaksa mohon pinjam suling keramat, karena senjata pusaka itu amat besar pengaruhnya terhadap para tokoh kang-ouw yang tentu akan menjunjungi tinggi senjata peninggalan Pendekar Suling Emas dan akan suka berdamai dan menakluk. Bukan sekali-kali teecu hendak memusuhi Kakek Gu, akan tetapi karena dia kukuh tidak mau memberikan, dan teecu terpaksa didorong tugas, maka terjadilah bentrokan tadi.... baiknya locianpwe melerai, karena kalau tidak tentu teecu sudah menjadi korban kekerasan Kakek itu."

   "Hemmm.... hemmm...."

   Beberapa kali nenek itu menggumam dan memandang lebih teliti, kini matanya yang indah menyinarkan rasa kagum dan suka, akan tetapi mulutnya yang dulu di waktu mudanya tentu menggairahkan itu masih saja membayangkan sifat dingin mengejek dan memandang rendah dunia ini.

   "Engkau masih mudai, cantik membayangkan darah Khitan, Ilmu kepandaianmu sudah lumayan dan kiranya di dunia ramai agak sukar mencari tandingan, senjatamu pun baik, tanda bahwa engkau dapat menyelami kitab-kitab peninggalan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam dengan sempurna. Bicaramu lancar dan dapat melihat gelagat, tanda bahwa engkau pun memiliki kecerdikan yang mengagumkan. Eh, Puteri, siapakah namamu?"

   Hati Nirahai girang sekali mendengar suara nenek itu dan besar kemungkinan ia akan berhasil meminjam suling emas.

   "Nama teecu Nirahai, locianpwe."

   "Engkau puteri Kaisar Mancu yang sekarang?"

   Ia berhenti sebentar lalu menyambung,

   "Apa hubunganmu dengan Pangeran Dorgan?"

   "Benar, locianpwe, teecu puteri Kaisar yang terlahir dari selir. Ibuku adalah Puteri Khitan, masih gadis telah menjadi selir Pangeran yang sekarang menjadi kaisar. Mendiang Pangeran Dorgan adalah Paman Kakekku. Karena itu, biarpun sudah amat jauh, darah Ibuku sedikitnya masih ada keturunan dari Kerajaan Khitan, dan pendekar sakti Mutiara Hitam masih Nenek Buyutku...."

   "Hemmm, semua manusia di dunia ini kalau ditelusur, tentu masih ada hubungan keluarga. Tahukah engkau bahwa Mutiara Hitam itu adalah Bibiku sendiri, Bibi Luar? Saudara kembarnya yang menjadi Kaisar Khitan adalah Paman Luarku...."

   "Ohhh.... harap maafkan, locianpwe, karena teecu tidak tahu maka bersikap kurang hormat."

   "Sudahlah, tak perlu banyak peradatan, kita tidak dapat membanggakan keturunan Khitan yang sudah ambruk. Engkau masih lebih beruntung karena keturunan Kaisar Mancu yang kini berkembang dan mulai jaya. Sekarang ceritakan keadaan kerajaan dan gerakannya ke selatan. Aku sudah mendengar hal itu dan karena tertarik melihat kejayaan Mancu, aku sampai keluar dari tempat pertapanku. Kebetulan bertemu dengan engkau seorang puteri Kaisar sendiri yang memimpin pasukan pengawal. Nah, ceritakan."

   Nirahai girang bukan main. Dengan gaya bicaranya yang lancar ia lalu menceritakan keadaan pemerintah Mancu yang dapat menaklukkan daerah selatan dengan mudah, akan tetapi kini menghadapi kesulitan karena Se-cuan yang dipimpin Bu Sam Kwi masih belum dapat ditaklukkan.

   "Akan tetapi teecu percaya,"

   Nirahai menutup penuturannya.

   "kalau teecu diperbolehkan meminjam suling emas, teecu akan dapat mempengaruhi para tokoh kang-ouw yang membela Bu Sam Kwi. Teecu kira, partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai, Kun-lun-pai dan yang lain-lain, yang sekarang belum mau membantu Ceng, tentu akan tunduk kalau melihat bahwa teecu mendapat kehormatan memiliki suling keramat peninggalan Suling Emas yang mereka junjung tinggi."

   Nenek itu mengangguk-angguk, dan tiba-tiba ia bertanya kepada kakek bongkok,

   "Eh, Gu Toan, kau lihat baik-baik bocah ini dan katakan, wajah dan bentuk tubuhnya seperti siapakah enam puluhan tahun yang lalu?"

   Kakek itu memandang Nirahai dan berkata,

   "Tadi pun ketika pertama kali dia muncul, hamba sudah kaget dan teringat betapa serupa puteri ini dengan Paduka dahulu. Seperti buah pinang dibelah dua."

   Nenek itu menghela napas.

   "Benar, akan tetapi betapa buruk nasibku. Ahhh, kuharap saja engkau yang memiliki wajah dan bentuk tubuh seperti aku, tidak akan mengalami nasib seburuk nasibku, Puteri."

   Ketika Nirahai memandang, nenek itu sejenak kehilangan sifat dingin yang membayang di wajahnya, terganti sinar kedukaan yang mendalam. Memang nenek itu sedang mengenangkan semua pengalamannya puluhan tahun yang lalu, di waktu ia masih muda, semuda Nirahai (baca cerita ISTANA PULAU ES).

   "Gu Toan, Kau boleh meminjamkan suling itu kepada gadis ini untuk selama tiga tahun. Akulah yang kelak bertanggung jawab kalau dia tidak mengembalikannya dalam waktu tiga tahun."

   "Kalau Paduka yang memerintah, hamba tidak akan membantah,"

   Jawab Kakek itu, yang mengeluarkan suling emas dan menyerahkannya kepada Nirahai. Puteri ini girang sekali, menerima suling lalu berlutut di depan nenek itu.

   "Teecu menghaturkan terima kasih, locianpwe. Dan teecu bersumpah untuk mengembalikan pusaka ini selambat-lambatnya tiga tahun. Kakek Gu, terima kasih dan maafkan kekasaranku tadi."

   Kakek itu hanya mengangguk-angguk tanpa menjawab.

   "Teecu mohon diri, hendak kembali ke selatan,"

   Nirahai berkata.

   "Nanti dulu, Nirahai, aku masih sangsi apakah suling itu akan membawa hasil. Orang-orang kang-ouw mempunyai watak yang aneh. Sekali mereka itu mengambil keputusan untuk berjuang, mereka melupakan apa saja dan kiranya belum tentu mereka mau memandang suling itu untuk menghentikan perjuangan mereka. Sebaiknya kalau di samping mencari jalan damai, engkau pundapat menundukkan mereka dengan kepandaian. Apakah engkau akan mampu mempergunakan suling itu untuk menundukkan mereka dengan ilmu silatmu? Dapatkah engkau mainkan suling itu?"

   Wajah Nirahai menjadi merah.

   "Teecu seorang bodoh, dan jika teecu mainkan suling pusaka ini dengan Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat, kiranya tidak lebih hebat daripada kalau teecu menggunakan pedang payung."

   "Hemmm tidak baik kalau begitu. Eh, Nirahai, bagaimana kalau engkau menjadi muridku?"

   Tawaran ini tentu saja diterima dengan hati girang luar biasa oleh Nirahai.

   "Teecu akan merasa bahagia sekali dapat menerima petunjuk locianpwe."

   "Bagus! Engkau kuambil murid, Nirahai. Dan tempat di sini cukup baik bagiku untuk menggemblengmu beberapa lama agar engkau dapat menggunakan suling itu tidak saja untuk mempengaruhi mereka, akan tetapi kalau perlu untuk mengalahkan dan menaklukkan mereka."

   Kening Nirahai berkerut.

   
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Teecu akan suka sekali tinggal di sini mempelajari ilmu dari locianpwe, berapa lama pun. Akan tetapi, pada waktu ini teecu mempunyai tugas. Sebagai puteri Kaisar, bagaimana teecu dapat lari dari tugas? Selama pemerintah masih membutuhkan tenaga teecu, tak mungkin teecu meninggalkan kerajaan untuk waktu lama. Kalau locianpwe sudi, bagaimana kalau locianpwe saja yang ikut bersama teecu ke kota raja dan mengajar teecu di sana? Teecu percaya bahwa Ayahanda Kaisar akan menerima locianpwe dengan segala kehormatan dan rasa bangga di hati."

   Nenek itu mengangguk-angguk dan mempertimbangkan kata-kata muridnya.

   "Dahulu Pangeran Dorgan pernah bertemu denganku. Ayahmu tentu hanya mendengar saja namaku, akan tetapi belum pernah bertemu denganku. Baiklah, aku pun ingin sekali menyaksikan dari dekat kemajuan usaha bangsa Mancu yang mengagumkan itu, yang tak pernah dicapai oleh bangsa Khitan. Mari kita berangkat, muridku."

   Nirahai girang sekali.

   "Harap subo sudi menunggang joli, biar teecu yang mengiringkan."

   Nirahai bertepuk tangan tiga kali dan muncullah dua orang pemikul joli berlarian ke tempat itu. Tanpa sungkan-sungkan lagi nenek itu yang dahulu terkenal sebagai Puteri Maya, masuk ke dalam joli yang segera digotong oleh dua pemikulnya atas perintah Nirahai. Dua orang itu merasa heran bukan main mengapa nenek itu amat ringan, seolah-olah joli itu kosong saja. Nirahai lalu menjura kepada kakek bongkok sebagai penghormatan perpisahan, kemudian mengikuti joli yang diduduki gurunya dengan hati girang bukan main. Suling emas ia selipkan di pinggang, di sebelah dalam bajunya.

   Sungguh ia amat beruntung, pikirnya. Tidak saja dapat meminjam suling emas itu, bahkan ia telah bertemu dengan seorang nenek sakti luar biasa yang menjadi gurunya. Setelah melalui perbatasan utara dan bertemu dengan dusun, Nirahai membeli seekor kuda. Kini ia mengikuti joli gurunya yang telah diganti orang lain pemikulnya, yaitu diambil dari dua orang penjaga perbatasan yang kuat, dengan menunggang kuda. Gurunya itu amat pendiam, kalau sudah duduk di dalam joli bersila seperti arca, tidak pernah bicara, tidak pernah menjenguk keluar sehingga diam-diam Nirahai merasa kasihan. Untuk menyenangkan hati gurunya, sepanjang jalan Nirahai berusaha untuk menghidangkan masakan-masakan lezat dan menyediakan segala kebutuhan nenek itu. Akan tetapi nenek itu menerima itu dengan sikap dingin.

   Pada suatu pagi mereka tiba di luar kota raja. Tembok kota raja sudah tampak dari tempat yang agak tinggi sebelah utara itu dan hati menjadi girang sekali. Sudah beberapa lamanya ia meninggalkan kota raja, akan tetapi perjalanannya yang memakan waktu lama dan amat jauh itu ternyata tidak sia-sia belaka, bahkan hasilnya boleh dibilang melampaui semua harapannya. Ketika kudanya berjalan perlahan mengiringkan joli yang dipikul oleh dua orang pemikulnya yang semenjak meninggalkan kuburan keluarga Suling Emas telah berganti sampai sepuluh kali itu, tiba-tiba ia melihat seorang wanita muda berjalan tergesa-gesa dari depan, agaknya baru saja wanita itu meninggalkan gerbang pintu kota raja sebelah utara. Gadis itu amat cantik, terutama sekali sepasang matanya yang lebar dan tajam sinarnya, juga wajah yang lonjong dengan dagu meruncing ini menarik sekali perhatian Nirahai.

   Sepintas lalu saja ia tahu bahwa gadis itu tentulah mempunyai darah Mancu dan betapa besar persamaan gadis cantik itu dengan dia sendiri. Mungkin dia lebih jangkung sedikit, akan tetapi perawakan gadis itu pun ramping, dan wajahnya yang manis itu hampir sama dengan wajahnya sendiri. Gadis itu pun berdiri sambil memandangnya dengan sinar mata tajam menyelidik. Agaknya gadis itu heran melihat dia memanggul sebuah payung, bahkan ketika rombongannya yang terdiri dari dua orang pemikul joli dan kuda yang ditungganginya lewat, gadis itu menghentikan langkah kakinya dan berdiri di pinggir jalan memandang bengong. Nirahai tidak mempedulikannya lagi saking girang hatinya sudah hampir tiba di kota raja. Akan tetapi mendadak ia mendengar bentakan nyaring,

   "Heiii, berhenti dulu....."

   Nirahai menahan kudanya dan menoleh. Kiranya gadis manis tadi kini datang berlari-lari dan meloncat ke depan kudanya, seolah-olah hendak menghadangnya. Nirahai tersenyum, kagum setelah kini dekat melihat betapa gadis ini benar-benar cantik jelita, dengan kulit muka yang halus dan berwarna putih kemerahan, sepasang mata yang begitu indah seperti bintang pagi.

   "Eh, ada keperluan apakah engkau menghentikan aku?"

   Nirahai tidak menjadi marah. Biarpun dia seorang puteri kaisar, namun sama sekali Nirahai tidak gila hormat. Apalagi ia maklum bahwa gadis ini tentu belum mengenalnya, maka sikapnya yang kasar itu pun boleh dimaafkan. Sifat ini mungkin terpengaruh oleh kebiasaannya merantau di dunia kang-ouw sehingga sifatnya terlepas dan ia tidak begitu mementingkan kedudukan dan kehormatan sebagai seorang puteri bangsawan tinggi.

   Gadis itu bukan lain adalah Lulu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lulu meninggalkan lembah Sungai Huang-ho di mana selama setahun ia melatih diri dengan ilmu silatnya, di bawah petunjuk Lauw-pangcu dan terutama sekali Sin Lian yang telah menjadi kakak angkatnya. Dia pergi menuju ke kota raja dan karena ia maklum bahwa keadaannya di kota raja berbahaya, biarpun di situ ia menyamar sebagai pria, dan ketika ia tidak berhasil mendapatkan jejak kakaknya, ia lalu keluar dari kota raja melalui pintu gerbang utara. Dia baru saja datang dari selatan dan tidak pernah mendengar tentang Han Han, maka sebaiknya kini melanjutkan usahanya mencari jejak Han Han ke hutan.

   Akan tetapi baru saja keluar dari pintu gerbang, ia bertemu dengan Nirahai yang menunggang kuda. Melihat Puteri Mancu yang cantik jelita dan gagah perkasa ini, Lulu tertarik sekali maka ia memandang penuh perhatian. Akan tetapi ketika ia melihat payung yang dipegang Nirahai, ia teringat akan cerita para tokoh Hoa-san-pai di Pek-eng-piauwkiok tentang seorang Puteri Mancu amat lihai bernama Puteri Nirahai yang bersenjata payung, teringat akan cerita tentang Teng Lok tokoh Hoa-san-pai yang dalam penyelidikannya bertemu dengan puteri Kaisar Mancu bersenjata payung yang telah membuntungi lengan orang she Teng itu. Puteri Mancu bernama Nirahai yang telah mengadu domba tokoh Hoa-san-pai dengan tokoh Siauw-lim-pai sehingga akibatnya, Han Han yang difitnah dan menjadi korban, dimusuhi kedua pihak.

   "Apakah namamu Nirahai?"

   Nirahai membelalakkan matanya dan hampir saja ia tertawa bergelak. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba, begitu sederhana dan diajukan tanpa dibuat-buat, pertanyaan dengan sikap paling kurang ajar yang pernah ia alami selama hidupnya. Ia tidak marah, bahkan tersenyum memandang gadis yang bermata lebar itu. Ia mengangguk, ingin mendergar lebih banyak. Suara gadis itu merdu dan nyaring, dan setiap gerakannya membayangkan kejujuran dan kepolosan yang mengharukan.

   "Jadi engkaulah yang bernama Nirahai puteri kaisar, gadis yang mengadu domba tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai? Tentu engkau pula yang telah membunuh dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, bukan?"

   Kalau ia menghadapi pertanyaan seperti itu dari seorang tokoh kang-ouw, tentu Nirahai akan menjadi terkejut dan berhati-hati, akan tetapi menerima pertanyaan begitu langsung dari mulut yang manis dan mata yang lebar itu, sukar bagi Nirahai untuk membohong lagi.

   "Bagaimanna engkau bisa tahu?"

   "Hemmm, payungmu itu adalah senjatamu yang ampuh, bukan? Kau jahat sekali.... jahat sekali dan aku harus membunuhmu."

   Kembali hati Nirahai merasa geli sekali. Ucapan seperti itu agaknya hanya patut diucapkan oleh seorang tokoh besar, seperti gurunya. Enak saja gadis ini mengatakan hendak membunuhnya.

   "Eh, sabar dulu. kau ini siapa?"

   "Aku Lulu. Perbuatanmu yang curang itu telah membuat Kakakku Han Han banyak menderita. Engkau cantik sekali, sayang.... akan tetapi aku harus membunuhmu karena engkau jahat."

   "Nirahai, siapakah bocah ini?"

   Nenek itu telah berdiri di luar joli, padahal kedua pemikul joli masih menggotongnya dan kini kedua orang itu terkejut dan berdiri seperti patung. Mereka tidak merasa joli menjadi ringan, tidak melihat nenek itu turun, akan tetapi mengapa tahu-tahu telah berada di luar joli? Seorang di antara mereka menyingkap tirai joli dan memang benar, joli itu kosong. Terpaksa mereka menurunkan joli dan keduanya berjongkok di dekat joli. Lulu menengok, memandang nenek itu dan ia terkejut. Cepat ia membalikkan tubuh pula memandang Nirahai yang kini telah meloncat turun dari kuda.

   "Ah, aku pernah bertemu denganmu...., Engkau penghuni Pulau Es.... ya benar....."

   Lulu menudingkan telunjuknya ke arah Nirahai.

   "Apa? Pulau Es....? Kau gila agaknya....."

   Nirahai menjawab, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara angin dan Lulu berteriak kaget karena pundaknya sudah dicengkeram oleh nenek itu yang membalikkan tubuh Lulu menghadapinya sambil membentak.

   "Apa maksudmu? Penghuni Pulau Es? Hayo katakan apa maksudmu."

   "Lepaskan tanganmu, Jangan cengkeram pundakku. Nenek jahat ....."

   Lulu berteriak meronta-ronta, akan tetapi percuma saja, jari tangan nenek itu seolah-olah telah melekat di pundaknya.

   "Lepaskan....! Kalau tidak...."

   "Hem, bocah liar. Kalau tidak engkau mau apa?"

   Nenek itu berkata.

   "Kupukul mampus kau."

   Diam-diam nenek itu kagum sekali melihat keberanian Lulu, maka ia
(Lanjut ke Jilid 26)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 26
menjawab,

   "Mau pukul? Boleh, pukullah."

   Karena Lulu dapat menduga bahwa nenek ini tentulah kaki tangan Puteri Nirahai dan jahat, terpaksa harus ia lenyapkan dulu sebelum ia menghadapi Nirahai yang ia tahu amat lihai. Ia lalu menggerakkan kedua tangannya, memukul secara bertubi ke arah perut dan dada nenek itu. Ia menggunakan jurus pukulan ilmu silatnya yang sudah ia latih dan sempurnakan di lembah Huang-ho, dan mengerahkan sin-kangnya yang ia dapat ketika berlatih di Pulau Es.

   "Desss, Desssss."

   Lulu menjerit kesakitan karena kedua tangannya yang memukul itu seperti memukul air, akan tetapi akibatnya kedua tangan itu terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk dengan seribu batang jarum. Nenek itu pun kaget dan melepaskan pundak Lulu, matanya terbelalak memandang Lulu dan mulutnya berkata dengan suara menggetar.

   "Itulah Hong-in-bun-hoat...., Dari mana engkau mempelajarinya? Dan sin-kangmu itu.... apakah Swat-im Sin-ciang?"

   Lulu masih meringis kesakitan, akan tetapi ia cemberut menghadapi pertanyaan itu.

   "Ternyata engkau memiliki ilmu siluman dan pertanyaanmu ngawur tidak karuan. Apa itu Hong-in-bun-hoat? Apa itu Swat-im Sin-ciang? Kalau Kakakku mungkin tahu ilmu-ilmu itu. Aku hanya belajar sedikit di Pulau Es. Eh, yang manakah di antara kalian ini yang kulihat patungnya di Pulau Es? Seperti dia...."

   Ia menuding Nirahai.

   "Akan tetapi matanya seperti matamu."

   Ia melihat nenek itu.

   "Akan tetapi yang mana pun juga di antara kalian, semuanya jahat, memang di antara mereka bertiga di Pulau Es itu, yang satu itu paling jahat....."

   "Apa kau bilang....? Apa kau bilang....?"

   Nenek itu berkata dengan suara gemetar, tubuhnya terhuyung.

   "Subo....."

   Nirahai meloncat, mendekati nenek itu.

   Akan tetapi dengan tangan nya nenek itu menolak Nirahai yang hendak menolongnya, kemudian setelah menghela napas tiga kali ia dapat menguasai hatinya. Sekali melangkah ia telah menggerakkan tangan menangkap tangan Lulu tanpa gadis ini dapat mengelak sedikit pun. Gerakan nenek itu cepat luar biasa dan tidak dapat ia ikuti dengan pandangan matanya. Ia hendak meronta, akan tetapi membatalkan niatnya ketika nenek itu memijat-mijat kedua tangannya yang membengkak merah. Lulu juga seorang yang cerdik dan ia mengerti bahwa nenek inilah sebetulnya orang yang patungnya ia lihat di Pulau Es. Ketika ia tadi melihat wajah dan mata nenek ini, teringatlah ia akan patung itu, hanya karena patung itu cantik dan muda seperti Nirahai, maka ia mengira bahwa Nirahailah orangnya yang patungnya ia lihat di sana.

   Kini ia mengerti bahwa biarpun ada persamaan dengan patung itu dan Nirahai, akan tetapi sebetulnya patung itu adalah patung Si Nenek lihai ini di waktu muda. Dan ia pun dapat menduga bahwa disebutnya patung itu di Pulau Es mendatangkan keharuan besar di hati nenek ini. Tentu nenek ini ingin mendengar banyak-banyak tentang Pulau Es dari dia, maka kini nenek itu bersikap baik, mengobati kedua tangannya yang membengkak karena memukul tubuh Si Nenek. Kalau tidak mempunyai maksud demikian, kiranya nenek yang seperti iblis ini akan membunuhnya. Ia harus bersikap cerdik, pikirnya. Lulu membiarkan kedua tangannya ditekan dan ditotok dan memang hebat sekali, dalam sekejap mata saja sudah sembuh, akan tetapi dia sudah memutar otak mencari akal.

   "Siapakah namamu?"

   Nenek itu bertanya sambil melangkah mundur dua langkah dan memandang tajam.

   "Namaku Lulu."

   "Engkau gadis Mancu?"

   Kini nenek itu bertanya dalam bahasa Mancu. Lulu menjawab dalam bahasa Han,

   "Aku memang gadis Mancu, akan tetapi lebih suka berbahasa Han."

   Nenek itu mengerutkan alisnya,

   "Hemmm, sesukamulah. Sekarang ceritakan bagaimana kau bisa bicara tentang Pulau Es."

   "Aku tidak mau bicara."

   Nenek itu membelalakkan matanya dan dari mata yang lebar itu memancar kebengisan yang membuat bulu tengkuk Lulu bangun satu-satu. Akan tetapi dia seorang gadis yang memiliki keberanian luar biasa, maka ia menentang pandang mata itu tanpa berkedip. Matanya jauh lebih lebar dari mata nenek itu dan sinar matanya pun tajam, bening dan polos.

   "Kalau aku paksa padamu, kupatahkan satu-satu tangan kakimu, apakah engkau juga tidak mau bercerita?"

   Tiba-tiba Lulu tertawa, suara ketawanya yang dimaksudkan agar berbunyi mengejek itu malah terdengar merdu nyaring dan menular sehingga Si Nenek terpaksa ikut tersenyum, bahkan Nirahai juga tersenyum lebar.

   "Heh-heh, kiranya engkau adalah Lulu bocah Mancu yang diambil Adik angkat oleh tokoh muda aneh bernama Han Han itu. Sudah lama kau kami cari-cari, siapa sangka akan bertemu di sini."

   "Hemmm, jadi Ouwyang Seng manusia tak bermalu itu engkau yang suruh? Pantas, engkau jahat, kaki tanganmu pun jahat. Tentu iblis-iblis tua yang mengeroyok kakakku, Si Setan Botak dan Si Iblis Muka Kuda itu pun kaki tanganmu, bukan? Hemmm.... cocok sekali."

   Nirahai terkejut.

   "Aihhh, engkau tahu....?"

   "Tentu tahu. Malah aku telah ditawan dan dibawa ke istana, oleh Kaisar sendiri aku dijadikan pelayan istana. Akan tetapi aku lari dari istana...."

   Nirahai tertawa lagi. Tak dapat ia menahan geli hatinya. Anak ini polos dan nakal, akan tetapi wajahnya begitu manis dan cerah sehingga sukarlah untuk marah kepadanya.

   "Engkau aneh. Bukankah senang sekali menjadi pelayan istana? Engkau gadis Mancu, menjadi pelayan di istana Kaisar sendiri bukankah amat terhormat? Mengapa engkau melarikan diri?"

   "Aku tidak kerasan, Aku akan mencari kakakku, kalau ia belum dibunuh oleh kaki tanganmu yang jahat."

   Nirahai mengerutkan keningnya. Diam-diam timbul rasa ingin sekali bertemu dengan kakak gadis ini, yang bernama Han Han. Kalau adiknya begini aneh, tentu kakaknya lebih aneh lagi.

   "Lulu, lekas kau bercerita tentang Pulau Es, kalau engkau tidak mau, kupatah-patahkan seluruh tulang di tubuhmu."

   Kembali Nenek Maya menghardik. Nirahai maklum akan kebengisan seorang berwatak aneh seperti gurunya. Kalau gurunya mau, sekali turun tangan tentu ancamannya itu akan dilaksanakan tanpa ada yang mampu menghalanginya.

   "Lulu, anak baik, engkau mengakulah saja."

   Akan tetapi Lulu yang sudah mengatur siasat itu menjawab,

   "Aku tidak peduli apakah tulang-tulangku akan dipatahkan ataukah tubuhku akan dihancurkan oleh dia itu. Aku tidak takut mati. Memang aku tahu bahwa di antara ketiga patung itu, wanita cantik bengis itu yang berhati jahat. Aku baru mau bercerita kalau syaratku dipenuhi."

   Nirahai memang tidak ingin mencelakai bangsa sendiri. Dan begitu bertemu dengan Lulu, ia sudah merasa suka dan sayang kepada anak yang keras hati dan berwatak kukoai (ganjil) ini.

   "Apakah syaratnya?"

   "Pertama, kalau aku dibawa ke istana, kau harus menjamin agar aku tidak dihukum karena melarikan diri."

   Nirahai tersenyum.

   "Baiklah. Kaisar adalah Ayahku sendiri, aku dapat mintakan ampun untukmu."

   "Kedua, kalau kakakku tidak terbunuh, kau harus menyuruh kaki tanganmu mencarikan dia untukku. Akan tetapi kalau sudah terbunuh, engkau harus membiarkan aku membalas dendam kepada pembunuhnya."

   Lulu mengepal kedua tinjunya, matanya memancarkan kemarahan. Nirahai mengangguk.

   "Baik-baik, itu pun adil."

   Diam-diam ia merasa bahwa kalau benar Han Han sudah terbunuh, tentu pembunuhnya itu amat lihai dan bagaimana gadis ini akan dapat membalas dendam?

   "Lekas ceritakan tentang Pulau Es."

   Nenek itu kini membentak, kehilangan sabar dan sudah melangkah maju setindak ke dekat Lulu. Melihat ini, Nirahai yang merasa sayang kepada Lulu cepat berkata.

   "Lulu, syarat-syaratmu telah dipenuhi, lekas engkau bercerita."

   "Masih ada lagi syaratku, yaitu karena aku sudah tinggal di Pulau Es sampai bertahun-tahun dan locianpwe ini adalah seorang di antara penghuni Pulau Es, maka kalau locianpwe suka mengambil aku sebagai murid, baru aku mau menceritakannya."

   "Wirrr....."

   Tangan nenek itu bergerak dan biarpun Lulu hendak mengelak, percuma lagi karena rambutnya sudah disambar dan sekali nenek itu mengangkat tangan, tubuh Lulu tergantung pada rambutnya yang dicengkeram. Lulu merasa nyeri, akan tetapi ia tidak mengeluh dan hanya membelalakkan mata dan dia sungguh-sungguh kelihatan seperti seekor kelinci dipegang kedua telinganya dengan matanya yang lebar itu.

   "Bocah setan! Mengapa harus mengambilmu sebagai murid?"

   Bentak nenek itu.

   Diam-diam Lulu ngeri juga. Di tangan nenek ini ia seperti sebuah boneka yang tidak berdaya. Otaknya bekerja cepat. Tadi ia sengaja minta menjadi murid karena kini ia telah cukup tahu betapa pentingnya memiliki ilmu kepandalan tinggi. Dengan ilmu kepandaian tinggi dia tidak akan mudah dihina orang seperti berkali-kali ia dan kakaknya mengalaminya dan ia mengenal orang sakti maka kalau ia bisa menjadi murid nenek ini tentu ia akan menjadi amat lihai. Ia pun tahu bahwa ia boleh agak "menjual mahal"

   Karena tahu akan kegairahan hati nenek ini ingin mendengar tentang Pulau Es, akan tetapi kalau ia agak keterlaluan menjual mahal dan menahan harga, sekali nenek itu turun tangan ia takkan bemyawa lagi. Cepat ia menjawab.

   "Locianpwe, peristiwa di Pulau Es merupakan rahasia pribadi, dan keadaan Pulau Es pun tidak boleh diceritakan pada lain orang, demikian pesan kakakku yang mentaati pesan tertulis para locianpwe penghuni pulau itu. Kami berdua telah bersumpah takkan membuka rahasia Pulau Es. Kalau saya tidak menjadi murid locianpwe, berarti locianpwe saya anggap orang luar. Bagaimana saya akan dapat menceritakan tentang pulau rahasia itu? Biar dibunuh sekalipun, kalau locianpwe tidak menjadi guru saya, mana saya berani membuka rahasia?"

   Cekalan rambutnya mengendur dan tubuh Lulu dilepaskan kembali. Nenek itu mengangguk.

   "Engkau sudah sampai di sana, berarti engkau telah menjadi murid kami bertiga. Baiklah, engkau menjadi muridku bersama Nirahai."

   "Terima kasih, subo."

   Lulu dengan girang menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu. Nirahai juga girang sekali, berlutut pula di samping Lulu, merangkul pundaknya dan berkata,

   "Sumoi Lulu."

   Akan tetapi Lulu melotot kepadanya.

   "Suci, awas kalau sampai Han-koko kau bunuh, biar engkau menjadi suciku, engkau akan kubunuh pula."

   "Bocah kurang ajar, lekas ceritakan."

   Kembali nenek itu membentak.

   "Subo, urusan rahasia yang sedemikian gawatnya masa boleh diceritakan di tengah jalan seperti ini? Lebih baik di dalam kamar, di istana.... kalau Subo hendak ke sana."

   Saking inginnya segera mendengar cerita itu, Nenek Maya menyambar tubuh Lulu dan sekali berkelebat ia lenyap. Hanya terdengar suaranya,

   "Nirahai, kami menantimu di dalam istana."

   Nirahai memandang bengong dan menghela napas panjang. Ia kagum sekali akan keberanian Lulu dan diam-diam ia menduga bahwa kelak Lulu akan menjadi seorang yang hebat. Dia tidak akan heran kalau subonya akan lebih sayang kepada bocah itu. Maka ia lalu memasuki joli dan memerintahkan dua orang pemanggulnya yang berjongkok dan bengong menyaksikan tingkah orang-orang aneh itu untuk memanggul joli melanjutkan perjalanan ke kota raja.

   Di luar kota Tai-goan terdapat sebuah dusun yang cukup ramai. Dusun itu bernama Leng-chun, letaknya di sebelah selatan kota Tai-goan dan di tepi Sungai Fen-ho yang mengalir ke selatan dari kota Tai-goan. Karena Sungai Fen-ho ini terus mengalir ke selatan sampai bergabung dengan Sungai Huang-ho yang mengalir ke timur dan sampai ke Terusan Besar, maka sungai ini merupakan sungai yang "hidup", yaitu dimanfaatkan oleh rakyat sebagai jalan umum untuk mengangkut barang dan penumpang.

   Selain lebih aman dan murah, juga tidak melelahkan daripada kalau melakukan perjalanan melalui daratan yang banyak diganggu rampok dan melalui gunung-gunung yang sukar dilewati. Karena ramainya sungai ini, maka dusun Leng-chun merupakan dusun yang makmur pula, banyak dilewati kaum pedagang dan banyak pula barang-barang hasil bumi diangkut ke timur meialui dusun ini. Banyaknya kaum pedagang dan pelancong membuat dusun ini ramai dan banyak dibuka rumah-rumah makan dan rumah-rumah penginapan, yang sungguhpun kecil-kecil dan sederhana namun cukup memenuhi kebutuhan para saudagar dan pelancong. Dusun kecil ini dengan sendirinya menjadi pusat pertemuan orang-orang dari luar kota sehingga banyak terdapat orang asing yang bicara dengan bermacam dialek.

   Pada suatu hari, seorang laki-laki yang aneh memasuki sebuah rumah makan di dusun Leng-chun. Laki-laki ini masih muda, wajahya tampan sekali, sinar matanya aneh dan tajam, namun di antara kedua alisnya banyak guratan yang menjadi tanda bahwa semenjak kecil pemuda ini sudah mengalami banyak penderitaan hidup. Pakaiannya sederhana, serba putih dengan garis-garis biru tua. Yang amat menarik perhatian orang bukanlah pakaiannya karena pakaian itu sederhana, bahkan orang-orang kang-ouw yang suka lewat di tempat ini dengan pakaian mereka yang aneh-aneh pun sudah dianggap biasa oleh penduduk di situ. Rambut itu hitam panjang dibiarkan terurai ke atas pundak dan punggung, sama sekali tidak diikat atau digelung seperti biasa.

   Bahkan semenjak keluar peraturan dari pemerintah Kerajaan Ceng yang mengharuskan penduduk pribumi menguncir rambut mereka, banyak penduduk menguncir rambut lalu menyembunyikan kuncir di bawah topi agar tidak tampak. Akan tetapi pemuda ini membiarkan rambutnya terurai, dikuncir pun tidak. Juga kakinya amat menarik perhatian karena kaki itu tinggal sebuah. Kaki kirinya buntung. Pemuda itu berjalan dibantu tongkatnya, sebatang tongkat kayu yang butut, yang dipegang dengan tangan kiri dan dipergunakan sebagai pengganti kakinya. Pemuda itu berjalan perlahan-lahan dan agaknya dia sudah mahir menggunakan tongkat, buktinya ia tidak kelihatan pincang, biarpun ia hanya berjalan dengan sebelah kaki. Pemuda tampan berkaki buntung dan berambut panjang terurai ini bukan lain adalah Han Han.

   Setelah gurunya yang baru, Nenek Khu Siauw Bwee yang buntung pula kakinya, menggemblengnya secara tekun dan sudah memperbolehkah dia keluar dari daerah tersembunyi itu, Han Han lalu muncul pula di dunia ramai dan pertama-tama yang ia kerjakan adalah mencari adiknya. Pada pagi hari itu ia tiba di Leng-chun, dalam perjalanannya mencari Lulu yang ia mulai dari tempat di mana Lulu diculik Ouwyang Seng, yaitu ke kota raja. Ia dapat menduga bahwa Lulu setelah ditawan oleh pemuda bangsawan itu tentu dibawa ke kota raja, maka ke sanalah ia menuju dan pagi hari itu selagi melewati Leng-chun, perutnya merasa lapar dan ia lalu memasuki sebuah rumah makan. Dia tidak mempunyai uang sekeping pun, akan tetapi perutnya amat lapar dan ia bersedia menukarkan tenaganya untuk beberapa potong bakpauw atau sepiring nasi, semangkok arak.

   "Lopek, maukah lopek memberi aku beberapa potong bakpauw itu? Perutku lapar sekali."

   Ucapan Han Han ini nyaring, tidak malu-malu sungguhpun di situ banyak duduk para tamu menghadapi meja dan ada beberapa orang tamu sudah menoleh ke arahnya ketika mendengar ini. Beberapa orang sudah mengomel,

   "Hemmm.... di mana-mana ada saja pengemis, seperti lalat saja."

   Han Han mendengar dengan jelas omelan ini, akan tetapi ia tidak peduli, tidak pula marah atau merasa terhina, bahkan menoleh pun tidak ke arah orang-orang yang mengomel itu.

   Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia hanya menghadapi koki rumah makan yang gendut, memakai topi bundar dengan kain lap di pundak dan yang sedang memanaskan bakpauw di sudut rumah makan. Tiap kali koki ini membuka penutup tumpukan bakpauw yang dimasak, bau sedap menyengat hidung, membuat Han Han menelan ludah. Sudah lama dia tidak makan masakan enak, apalagi bakpauw. Di sepanjang jalan ia hanya makan buah-buah, daun-daun muda, dan minum air gunung. Koki gemuk itu menoleh dan mengernyitkan hidung ketika melihat Han Han. Akan tetapi ketika bertemu dengan pandang mata yang halus namun tajam menusuk itu ia menelan kembali makian yang sudah keluar ke ujung lidah. Sambil menggerakkan kedua tangan untuk menyatakan bahwa ia tidak berdaya dalam hal itu, ia berkata.

   "Wah, mana bisa, orang muda? Aku bekerja di sini untuk menjualkan bakpauw ini, kalau diminta begitu saja dan kuberi, bisa-bisa gajiku akan dipotong habis oleh majikan. Bakpauw ini bukan untuk disedekahkan kepada orang yang minta."

   Dia tidak berani menyebut pengemis, karena koki ini maklum bahwa banyak orang kang-ouw berkeliaran di tempat itu dan melihat pandang mata pemuda ini, benar-benar menimbulkan rasa serem di hati. Han Han tersenyum ramah. Koki itu makin heran dan curiga. Kalau pengemis mengapa begini tampan dan giginya begitu putih bersih dan berderet rapi, serta kelihatan kuat.

   "Ucapanmu tepat sekali, Lopek. Aku pun bukan sembarangan mengemis atau minta dengan percuma. Tolong sampaikan kepada majikanmu bahwa karena perutku lapar, aku minta dan setelah kenyang, aku akan membayar makananku dengan tenaga, boleh disuruh bekerja apa saja untuk membayar makananku."

   Wah, pemuda ini ternyara benar-benar bukan pengemis, pikir si koki dengan hati lega. Ia merasa bangga akan wawasannya tadi sehingga ia tidak terburu nafsu memaki dan mengusir pemuda ini sebagai pengemis.

   "Ah, kalau begitu, tunggulah sebentar."

   Dengan gerak langkah kaki lucu, pantatnya yang membusung kebanyakan daging itu megal-megol seperti larinya seekor bebek, koki itu lari masuk ke dalam dan bicara kepada seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai majikan dan yang kepalanya botak.

   Si botak itu menghentikan pekerjaannya menghitung-hitung dengan swipoa, lalu miringkan kepala untuk memandang ke arah pemuda kaki buntung yang berdiri di depan pintu. Matanya agak lamur dan juling sehingga kalau melihat orang di tempat agak jauh ia harus miringkan kepalanya, baru kelihatan agak jelas. Kemudian ia bangkit berdiri malas-malasan, berjalan keluar diikuti koki yang megal-megol. Sejenak majikan restoran itu memandang Han Han dari kepala sampai ke kaki, terutama pada kaki buntung itu, lalu bertanya,

   "Orang muda, kau bisa kerja apa?"

   "Apa saja, asal aku mendapat makan,"

   Jawab Han Han sederhana sambil memandang ke arah tumpukan bakpauw yang ditutup.

   "Hemmm.... dengan.... eh, maaf.... kakimu yang buntung sebelah, engkau dapat bekerja apa?"

   Majikan restoran itu mengurut-urut dagunya, berpikir-pikir. Dia mau menolong pemuda ini, akan tetapi dia pun tidak mau rugi. Segala sesuatu bagi majikan ini harus ia perhitungkan dengan swipoa, jangan sampai rugi"

   "Loya, pagi ini kebetulan sekali A-ji mangkir, kabarnya sakit. Bagaimana kalau dia ini membantu melayani tamu?"

   Pandang mata majikannya itu menimbang-nimbang. Biarpun kaki kirinya buntung, akan tetapi pemuda ini bersih dan menyenangkan, tidak menjijikkan. Apalagi kakinya yang buntung itu pun tertutup celana buntung sehingga tidak kelihatan. Juga berdirinya dengan kaki satu dibantu tongkat tegak.

   "Baiklah, pagi ini engkau boleh makan bakpauw sekenyangmu, siang dan malam nanti makan nasi. Akan tetapi engkau harus membantu kami menjadi pelayan selama sehari semalam. Bagaimana?"

   Sebetulnya Han Han merasa keberatan di dalam hatinya. Dia hanya ingin makan pagi itu kemudian melanjutkan perjalanannya ke kota raja. Akan tetapi ketika ia melirik ke arah para tamu, ia melihat seorang laki-laki muda bertubuh tegap berwajah gagah duduk bersama seorang temannya yang juga tegap dan gagah. Dan di meja lain tampak empat orang mengelilingi meja dan tertawa-tawa sambil mengobrol, akan tetapi sikap empat orang ini seperti mengejek dua orang itu. Mereka mengobrol sambil memandang-mandang kedua orang itu, tertawa-tawa dan pandang mata mereka menantang sekali. Hatinya tertarik. Agaknya di tempat ini banyak orang kang-ouw bertemu dan agaknya ia akan melihat banyak dan mendengar banyak. Ia lalu mengangguk. Tidak mengapalah perjalanannya terlambat sehari di tempat ini.

   "Baiklah, aku terima syarat itu."

   Setelah majikan itu kembali ke mejanya, melanjutkan pekerjaannya mainkan swipoa sehingga terdengar ketrokan swipoa ramai, koki itu tersenyum lebar dan berkata,

   "Aku senang sekali mendapat bantuanmu. Nah, makanlah bakpauw ini."

   Koki itu mengambil dua butir bakpauw dengan sumpitnya yang panjang dan meletakkannya di atas piring. Han Han menyambar bakpauw itu dan makan dengan lahapnya. Ia makan sampai habis lima butir, barulah perutnya kenyang dan seleranya terpuaskan. Setelah minum air teh panas, tiba-tiba terdengar suara laki-laki muda bertubuh tegap memanggil.

   

Kisah Pendekar Bongkok Eps 15 Istana Pulau Es Eps 35 Istana Pulau Es Eps 38

Cari Blog Ini