Ceritasilat Novel Online

Pendekar Super Sakti 31


Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 31



Sin Lian mengangguk-angguk.

   "Saya telah menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai dan ternyata beliau semua telah mendengar dari keterangan Han Han sendiri yang datang ke sana. Apalagi setelah saya mendengar penuturan sumoi, semua permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai telah terhapus dengan sendirinya dan kini kami hanya ingin membalas kematian kedua orang suhu saya itu kepada pihak Mancu."

   Lauw-pangcu menghela napas.

   "Memang perang adalah peristiwa yang menjijikkan dan menyedihkan. Dan orang-orang Mancu telah menggunakan siasat yang amat busuk. Nah, sekarang biarlah aku menuturkan tentang adikmu, Han Han. Ketahuilah bahwa adikmu Lulu telah menjadi anak angkatku, dan menjadi adik angkat Sin Lian."

   "Aaahhh....!"

   Han Han membelalakkan matanya dan menjadi bengong. Mana mungkin bisa terjadi hal ini? Bukankah Lauw-pangcu adalah musuh besar Lulu? Bukankah keluarga perwira Mancu, ayah Lulu, telah terbasmi oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya? Dia sejak dahulu mengkhawatirkan pertemuan antara Lulu dengan Lauw-pangcu, akan tetapi ternyata kini adiknya itu malah menjadi anak angkat musuh besarnya!

   "Aku mengerti, tentu engkau bingung dan heran. Semestinya Lulu datang dan membunuh aku untuk membalas dendam atas kematian keluarganya, bukan? Akan tetapi, ah.... adikmu itu adalah seorang manusia yang benar-benar memiliki watak murni dan bersih, dan aku merasa bahagia sekali bisa menjadi ayah angkatnya."

   Lauw-pangcu lalu menuturkan semua pengalaman Lulu semenjak bertemu dengannya sampai menjadi anak angkatnya dan betapa sampai setahun Lulu memperdalam ilmu silatnya di lembah Huang-ho itu.

   "Enam bulan yang lalu dia berangkat meninggalkan tempat ini untuk mencarimu, bahkan telah berjanji untuk datang pada saat perayaan ulang tahun Ayah, berjanji untuk datang bersamamu. Akan tetapi mengapa engkau datang sendiri? Mana Lulu?"

   Sin Lian menutup cerita ayahnya yang didengar oleh Han Han dengan muka terheran-heran dan hati terharu, juga girang. Akan tetapi pertanyaan Sin Lian membuat wajahnya muram kembali dan ia menghela napas panjang.

   "Aku mencarinya ke kota raja tanpa hasil...."

   Melihat kesedihan Han Han dan karena tertarik dan kagum mendengar penuturan Lauw-pangcu sehingga hatinya yang dahulu sudah terpikat oleh Lulu itu kini menjadi makin kagum, Sin Kiat segera berkata.

   "Han Han, jangan khawatir. Aku akan membantumu mencari Nona Lulu sampai dapat."

   Han Han tersenyum mendengar janji yang dikeluarkan dengan suara sungguh-sungguh ini. Dia memandang wajah Sin Kiat, dapat melihat sinar penuh kasih dari mata pemuda gagah itu. Diam-diam ia merasa senang sekali kalau adiknya yang nakal itu kelak dapat berjodoh dengan pemuda ini.

   "Terima kasih, Sin Kiat. Aku hanya khawatir kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa diri adikku. Dia itu terlalu berani dan sembrono...."

   "Han Han, engkau tidak tahu bahwa semenjak berlatih di sini selama satu tahun, Lulu bukanlah Lulu yang dahulu lagi. Ilmu kepandaiannya melonjak secara hebat sehingga Ayah sendiri dan aku, kiranya bukan tandingannya lagi."

   Kata Sin Lian tentu saja ia melebihkan, karena dalam hal kematangan ilmu silat, tentu saja Lulu tidak dapat menandinginya.

   "Sekarang tiba giliranmu, Han Han. Ketika engkau muncul tadi, kau katakan bahwa engkau datang membawa berita penting. Akan tetapi sebelum kau ceritakan itu, aku ingin sekali mendengar mengapa.... kakimu sampai buntung, Han Han."

   Han Han tersenyum pahit dan memandang ke arah kakinya yang buntung, menghela napas panjang dan kemudian berkata,

   "Urusan kecil.... salahku sendiri dan sudah semestinya buntung. Kakiku buntung akibat hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li...."

   "Iblis betina yang kejam....."

   Sin Lian berteriak marah, seperti mengeluarkan api.

   "Dan.... Lulu-moi belum tahu akan hal itu?"

   Han Han menggeleng kepala dan memandang. Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat mata Sin Lian merah seperti hendak menahan tangis.

   "Hemmm, aku sudah mendengar dari suhu akan kekejaman iblis betina itu. Sungguh keji sekali. Han-twako, kenapa dia melakukan hal sekejam itu?"

   Han Han menoleh kepada Soan Li yang wajahnya menjadi pucat. Ia tersenyum.

   "Tidak kejam, melainkan sudah menjadi peraturan di In-kok-san begitu. Murid yang melarikan diri akan dihukum buntung kakinya. Dan aku pernah menjadi muridnya, kemudian aku melarikan diri. Ketika akhir-akhir ini tertangkap, kakiku dibuntungi sebelah. Sudahlah, hal ini sudah terjadi, tidak ada gunanya dibicarakan lagi,"

   Ia terpaksa mengeluarkan ucapan hiburan ini karena melihat betapa Sin Lian dan Soan Li ketihatan marah dan kebencian hebat terpancar keluar dari mata mereka terhadap Toat-beng Ciu-sian-li.

   "Yang penting adalah keperluan yang membawaku datang ke sini. Lauw-pangcu, saya merampas sebuah surat dari tangan utusan-utusan Mancu yang ditujukan kepada Su-ciangkun komandan pasukan Mancu yang bertugas melakukan pembersihan. Inilah suratnya, harap Lauw-pangcu dan cu-wi sekalian membaca agar dapat diatur bagaimana baiknya."

   Mata Lauw-pangcu terbelalak ketika ia membaca surat perintah rahasia dari Puteri Nirahai itu dan ketika ia memberikan surat itu kepada Sin Lian, kemudian dibaca pula oleh Sin Kiat dan Soan Li, Sin Kiat berseru,

   "Ahhh! Puteri Nirahai inilah orangnya yang menjadi biang keladi permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Dia kabarnya amat lihai dan amat cerdik mengatur siasat-siasat licik. Lauw-pangcu, kalau begitu, keadaan pangcu di sini berbahaya, harus cepat-cepat pindah....."

   Lauw-pangcu tetap tenang dan menggeleng kepala.

   "Wan-sicu lupa bahwa pasukan Mancu belum menerima surat perintah ini."

   Tiba-tiba kakek itu memukul telapak tangan kirinya dengan kepalan kanannya, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh semangat. Biarpun sudah lama sekali ia tidak lagi aktif dalam perjuangan karena selain merasa tua juga setelah menjadi ayah angkat Lulu hatinya menjadi hambar terhadap perjuangan, kini agaknya timbul kembali jiwa kepahlawanannya.

   "Ah, ini kesempatan bagus sekali untuk menghancurkan mereka. Surat ini harus disampaikan kepada Su-ciangkun, biarkan mereka melakukan penyerangan ke sini. Kita mengatur barisan pendam, menjebak mereka dan dengan mudah kita akan dapat membasmi mereka. Akan tetapi surat perintah ini harus disampaikan kepada mereka."

   Han Han menerima kembali surat itu dan menyimpannya dalam sampul lalu mengantonginya.

   "Tepat seperti dugaan saya bahwa pangcu akan mengambil keputusan seperti itu, karena itulah maka saya lebih dahulu datang ke sini. Biarlah saya menyerahkan urusan memasang barisan pendam itu kepada pangcu, dan saya akan melanjutkan perjalanan saya mengunjungi Su-ciangkun untuk menyerahkan surat ini."

   "Heeiii....! Ah, itu berbahaya sekali. Han Han, biarlah surat itu diserahkan oleh anak buah Pek-lian Kai-pang."

   "Lauw-pangcu, apakah kalau yang menyerahkan anak buahmu tidak berbahaya?"

   "Memang berbahaya, akan tetapi andaikata anak buahku sampai mati sekalipun dia akan mati dengan rela, mati sebagai gugurnya seorang pejuang."

   "Hemmm, pangcu. Apakah saya takut mati? Tidak, saya sendiri yang harus menyerahkan surat ini, bukan sekali-kali untuk membantu perjuangan karena saya masih belum bisa mengikatkan diri dengan perang, melainkan karena alasanku pribadi. Nah, selamat tinggal, aku harus pergi sekarang. Kalau terlalu lama, khawatir kalau-kalau pihak Mancu tahu bahwa utusan mereka telah kubunuh dan pembawa surat ini bukan utusan mereka, melainkan palsu."

   Setelah berkata demikian, Han Han menjura dan cepat ia terpincang-pincang keluar dari pondok itu. Setibanya di ruangan depan, para tamu memandangnya dengan penuh perhatian, akan tetapi Han Han tidak mengacuhkan mereka dan terus keluar dari tempat itu, menuruni puncak. Setelah tiba di lereng puncak itu di mana tidak ada orang lain lagi yang akan melihatnya, Han Han lalu meloncat dan mengerahkan ilmu kepandaiannya yang mukjizat, yaitu gerakan-gerakan kilat yang membuat ia dapat bergerak secara luar biasa, berloncatan seperti terbang.

   "Han Han....."

   Teriakan ini membuat Han Han cepat membuang ilmunya, mematahkan daya dorongan hebat yang membuat tubuhnya seperti dapat terbang, cepat ia melayang turun ke atas tanah. Kiranya di situ berdiri Sin Lian yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh kekaguman.

   "Han Han.... kau.... kau ah, betapa hebat gerakanmu tadi....."

   Wajah Han Han menjadi merah. Ia merasa jengah karena ilmunya terlihat oleh Sin Lian.

   "Ah, kau terlalu memuji, Si Lian. Ada urusan apakah engkau menyusulku?"

   Sin Lian menundukkan muka untuk menghindarkan pertemuan pandang, akan tetapi justeru karena menunduk, ia melihat kaki buntung itu dan seperti diingatkan ia merasa kasihan dan terharu sekali. Kini, di luar tahunya orang lain, ia tidak memaksa diri mempertahankan air matanya dan dua butir air mata menitik turun ke atas sepasang pipinya.

   "Eh, Sin Lian.... kau menangis? Kenapa?"

   Sin Lian menggigit bibir. Sukar sekali untuk bicara. Akhirnya setelah menghapus dua butir air mata dari pipinya tanpa disadarinya bahwa ada dua butir lagi menggantikan yang ia hapus, ia dapat berkata lirih.

   "Aku.... aku kasihan melihatmu.... ngeri hatiku membayangkan betapa kakimu dipotong...."

   Han Han tersenyum.

   "Ah, semenjak kecil engkau adalah seorang gadis yang amat baik hati, Sin Lian. Berkali-kali engkau membelaku dan sampai sekarang pun engkau masih menaruh kasihan kepadaku. Terima kasih, Sin Lian, engkau benar-benar seorang gadis yang amat berbudi. Aku girang bahwa Lulu telah menjadi adik angkatmu."

   "Han Han, harap kau maafkan aku...."

   "Ehhh? Maafkan? Kenapa?"

   "Dahulu, aku telah salah sangka, mengira engkau membantu orang-orang Hoa-san-pai untuk memusuhi Siauw-lim-pai sehingga aku menghinamu, menyerangmu."

   Han Han menarik nafas panjang.

   "Akulah yang harus minta maaf kepadamu, Sin Lian. Aku menganggap saudara-saudaramu orang-orang Siauw-lim-pai sebagai perampok. Ahhhhh, sudahlah, semua adalah akibat siasat busuk Puteri Nirahai. Percayalah kalau aku dapat bertemu dengan dia, akan kuberi hajaran puteri yang jahat itu. Nah, sekarang aku harap kau suka pulang, aku hendak melanjutkan perjalananku."

   Pemuda buntung itu sudah membalikkan tubuh ketika ia mendengar suara Sin Lian memanggil,

   "Han Han....."

   Ia memutar tubuh. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat, terpesona dan Han Han terkejut bukan main melihat betapa sepasang mata Sin Lian itu mengeluarkan sinar yang sama benar dengan sepasang mata Kim Cu.

   Salahkah penglihatannya? Ataukah.... ah, mungkinkah seorang dara seperti Sin Lian ini mempunyai rasa kasih sayang kepada dia seorang buntung? Tentu ia salah menyangka. Hemmm, tak tahu diri, celanya kepada hatinya sendiri sambil cepat mengalihkan pandang, menunduk. Tak tahu diri, seorang pemuda buntung macammu ini mana mungkin menarik kasih sayang seorang dara seperti Sin Lian? Kalau Kim Cu memang benar mencintanya, akan tetapi cinta kasih Kim Cu terhadapnya timbul sebelum kakinya buntung. Hanya Kim Cu-lah satu-satunya gadis di dunia ini yang dapat mencintanya, tentu saja di samping Lulu, adiknya yang ia tahu merupakan satu-satunya manusia yang ia cinta dan yang mencintanya sepenuh jiwa. Sin Lian mencintanya? Tak mungkin. Hanya dugaan yang timbul dari rasa iba diri.

   "Ada apakah, Sin Lian?"

   Tanyanya dan ia berani lagi mengangkat muka memandang setelah berhasil menguasai hatinya. Kini ia tidak melihat lagi sinar aneh dari mata Sin Lian dan diam-diam ia mentertawakan dirinya sendiri yang ternyata telah salah menduga.

   "Han Han, biarkan aku pergi menemanimu mengantar surat itu ke markas pasukan Mancu. Aku sudah bilang kepada Ayah."

   Han Han terkejut.

   "Ahhh, tidak mungkin"

   Semua orang tentu mengenal engkau sebagai puteri Lauw-pangcu dan hal itu amat berbahaya."

   "Apakah kalau engkau yang pergi ke sana tidak berbahaya? Kalau memang akan menghadapi bahaya, biarlah kita hadapi bersama. Aku tidak takut."

   Han Han tersenyum di dalam hatinya. Kalau sudah berkeras kepala begini, Sin Lian seperti masih kanak-kanak, tidak ada perubahan sama sekali sejak dahulu. Akan tetapi ia segera berkata dengan halus.

   "Sin Lian, bukan demikian maksudku. Tentu saja engkau pun tidak takut akan bahaya, dan tentu saja kalau ada engkau, kita berdua akan dapat menghadapi musuh lebih kuat lagi. Akan tetapi, kalau engkau ikut, tentu rusak rencana kita semua. Mana mungkin orang-orang Mancu itu percaya akan surat yang kubawa ini? Mereka tentu akan curiga dan semua siasat yang diatur Ayahmu akan gagal. Percayalah, kalau aku sendiri yang ke sana dan mengaku sebagai kepercayaan Puteri Nirahai, tentu mereka akan percaya dan akan dapat terjebak oleh barisan pendam Ayahmu. Selain itu, ada lagi alasan pribadi mengapa aku sendiri harus menghadap perwira she Su itu, Sin Lian."

   "Akan tetapi...."

   "Tidak ada tapi, Sin Lian. Engkau tinggallah di sini, dan Ayahmu amat memerlukan bantuanmu untuk menghadapi para penyerbu nanti."

   Ketika melihat betapa sinar mata gadis itu masih berkeras, Han Han cepat menyambung.

   "Sudahlah, Sin Lian, kalau sudah selesai tugas kita, kelak kita bicara lagi sepuasnya. Selamat berpisah."

   Setelah berkata demikian, Han Han berkelebat dan terkejutlah Sin Lian karena tiba-tiba pemuda buntung itu sudah lenyap dari depannya. Ia mengangkat muka, melihat bayangan pemuda itu mencelat ke atas dan terus berloncatan amat cepatnya seperti terbang saja. Sebentar saja bayangan pemuda itu hanya tampak seperti sebuah titik hitam yang bergerak-gerak seperti seekor belalang berloncatan.

   "Han Han....."

   Ia mengeluh, penuh kagum, penuh iba melihat kaki buntungnya dan penuh.... perasaan aneh di hatinya. Sejenak Sin Lian memandang sampai bayangan itu lenyap, lalu ia termenung, dan menundukkan mukanya, teringat ia akan ucapan Lulu tentang Han Han itu. Betapa secara berkelakar Lulu ingin menjodohkan dia dengan Han Han, betapa Lulu itu secara tepat mengatakan bahwa dia mencinta Han Han. Sin Lian yang berdiri seorang diri itu tersenyum-senyum malu dengan kedua pipi berubah merah sekali, matanya berseri dan sampai lama ia berdiri melamun lupa akan segala. Dia menjadi amat heran akan sikapnya sendiri, heran akan isi hatinya. Betapapun tampannya, betapapun gagahnya, Han Han adalah seorang pemuda cacat, seorang buntung.

   Mengapa hatinya begini tertarik, lebih tertarik dan suka daripada dahulu ketika mereka berdua masih kanak-kanak, bahkan lebih tertarik ketika ia mendengar cerita Lulu, padahal ketika itu ia membayangkan Han Han seorang pemuda tanpa cacat? Mengapa tidak ada sedikit pun perasaan kecewa atau terhina melihat pemuda buntung itu, membayangkannya berada di sampingnya sebagai teman hidup? Bahkan ada rasa bangga di hatinya, bangga bahwa biarpun kakinya buntung sebelah, namun Han Han memiliki kepandaian yang amat luar biasa, dan hal itu terbukti dari gerakan pemuda itu yang benar-benar belum pernah ia lihat pada orang lain. Bangga bahwa sebagai seorang buntung kakinya, seorang penderita cacat, Han Han memiliki kelebihan yang banyak sekali kalau dibandingkan dengan orang yang utuh badannya.

   Sin Lian sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya dia seorang yang mengenang dan memikirkan pemuda buntung itu. Juga Lu Soan Li, gadis tokoh Hoa-san itu, yang semenjak pertemuan pertamanya dengan Han Han ketika masih belum buntung kakinya dahulu telah jatuh hati, kini setelah bertemu lagi dengan Han Han yang telah buntung kakinya, merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk penuh rasa iba dan haru melihat pemuda itu. Dia merasa heran mengapa hatinya seperti itu, ingin ia menghibur pemuda buntung itu, ingin membela, ingin membahagiakan hidupnya dan mengusir awan kesengsaraan yang seolah-olah menyelimuti wajah tampan yang berambut panjang itu.

   "Suheng, aku merasa khawatir sekali kalau-kalau dia akan menemui bencana di markas pasukan Mancu. Dia seorang diri saja dan.... kakinya sudah buntung. Ah, suheng, mengapa kau tadi tidak mencegahnya pergi? Bukankah lebih baik suheng atau aku yang pergi mewakilinya? Sungguh kita keterlaluan sekali, membiarkan seorang buntung menempuh bahaya di sarang harimau."

   "Engkau maksudkan Han Han?"

   Sin Kiat bertanya, kemudian ia mengangguk.

   "Memang berbahaya sekali. Habis, kalau menurut pendapatmu, bagaimana baiknya, sumoi?"

   "Suheng, biarlah secara diam-diam aku membayanginya. Dia berjuang untuk perjuangan bersama, kalau sampai gagal, bukan hanya dia akan celaka, akan tetapi kita di sini semua pun akan mengalami malapetaka. Akan tetapi hal ini lebih baik dirahasiakan, suheng. Suheng membantu persiapan di sini, membantu Lauw-pangcu yang akan mengatur barisan pendam untuk menjebak pasukan Mancu, sedangkan aku membantu Han-twako...."

   Sin Kiat memandang wajah sumoinya dengan tajam, kemudian menghela napas dan berkata, suaranya tegas mengandung pertanyaan yang menuntut jawaban sejujurnya.

   "Sumoi, engkau jatuh cinta kepada Han Han, bukan?"

   Sunyi sejenak. Soan Li menundukkan mukanya dengan kedua pipi merah sekali, tak berani menentang pandang mata suhengnya yang penuh selidik, kemudian sambil menunduk ia menjawab, suaranya juga penuh tuntutan yang membela diri.

   "Suheng, agaknya tidak banyak bedanya dengan perasaan hati suheng terhadap Lulu."

   Sin Kiat menarik napas panjang, lalu memegang pundak sumoinya, memaksa tubuh sumoinya menjadi tegak untuk memandang wajah sumoinya.

   "Soan Li, sumoiku yang manis. Engkau tahu bahwa aku adalah sebagai kakakmu sendiri. Aku tidak akan menyalahkan perasaan hatimu, tidak pula hendak menekan kebebasan hatimu. Bahkan aku tidak akan mencela kalau engkau jatuh cinta kepada Han Han, karena memang dia seorang pemuda yang hebat. Aku sendiri amat kagum kepadanya. Dan aku tidak akan menyangkal lagi bahwa aku jatuh cinta kepada Lulu, maka akan amat picik dan liciklah kalau aku mencela sumoi jatuh cinta kepada Han Han. Akan tetapi, keadaanmu berbeda dengan keadaanku, sumoi. Engkau telah ditunangkan dengan Tan-siucai (Sastrawan Tan) oleh suhu. Engkau tidak bebas lagi, menjadi calon isteri orang lain. Karena itu, sebagai wakil suhu, aku peringatkan kepadamu, sumoi, agar engkau selalu ingat akan kenyataan itu dan jangan menurutkan perasaan hati yang akan menyeretmu ke jalan sesat."

   Tiba-tiba Soan Li bangkit berdiri dan memandang suhengnya dengan mata penuh kemarahan.

   "Suheng, apakah suheng menilai saya serendah itu?"

   "Eh, sumoi, apa maksudmu?"

   Sin Kiat juga bangkit berdiri, alisnya berkerut.

   "Suheng sendiri mengerti bahwa saya ditunangkan oleh suhu dan sebagai murid yang tidak mempunyai orang tua lagi, saya harus mentaati kehendak suhu. Saya belum pernah melihat wajah tunanganku, dan tentu saja saya tidak mencintanya. Kalau sekarang saya mencinta orang lain, adakah itu merupakan pelanggaran? Adakah itu merupakan perbuatan atau perasaan sesat? Aku mencinta Han Han, akan tetapi hal ini hanya merupakan perasaan hati saja. Jangan suheng mengira bahwa saya akan melupakan kesusilaan, akan melakukan hal-hal yang rendah dan hina, akan mengkhianati ikatan jodoh yang sudah dilakukan suhu. Jangan sekali-kali suheng mengira bahwa dengan cinta kasihku ini aku lalu akan melakukan hal-hal yang sesat."

   Melihat sumoinya berdiri dengan muka kemerahan saking marah dan penasaran, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan dua butir air mata seperti dua butir mutiara yang perlahan-lahan menetes turun ke atas kedua pipinya yang kemerahan menandakan bahwa hatinya terluka dan berduka, Sin Kiat lalu memegang kedua lengan sumoinya dan berkata.

   "Maafkan aku.... maafkan aku.... sumoi. Sungguh tidak patut aku mencurigai sumoiku yang bijaksana. Ahh, sumoi, kalau memang sedemikian kuat pendirianmu, aku pun tidak akan ragu-ragu lagi. Memang sebaiknya kalau Han Han dibantu, karena tugasnya amat penting. Silakan, akan tetapi, hati-hatilah, sumoi."

   Soan Li terisak, saking girangnya dan saking terharu hatinya. Ia menghapus air matanya dan mencengkeram lengan suhengnya.

   "Suheng,"

   Katanya gemetar.

   "terima kasih, suheng. Akan tetapi berjanjilah jangan sampai rahasia hatiku ini terdengar oleh siapa pun juga.... akan kusimpan sebagai rahasia.... kubawa mati...."

   Melihat sumoinya berkelebat hendak pergi, Sin Kiat memanggil.

   "Sumoi."

   Sumoinya menahan kakinya, menengok.

   "Sumoi, hati-hatilah, sumoi....."

   Soan Li tersenyum manis kepada kakaknya, senyum mulutnya akan tetapi berlinangan air matanya. Setelah sumoinya pergi, Sin Kiat termenung. Takkan terlupakan selamanya bayangan wajah sumoinya ketika menengok tadi, wajah yang tersenyum manis akan tetapi yang diliputi kedukaan besar, kedukaan yang timbul karena kekecewaan hati,

   Cinta kasih yang takkan dapat tersampaikan karena gadis itu telah terikat oleh jodoh yang ditentukan oleh suhu mereka. Wajah yang manis, akan tetapi betapa menyedihkan senyum di antara linangan air mata. Berulang kali Sin Kiat menarik napas panjang dan diam-diam ia menyesal mengapa suhunya menentukan jodoh bagi sumoinya. Ia merasa yakin bahwa calon suami yang dipilihkan suhunya itu tentulah seorang yang benar-benar baik, akan tetapi apakah artinya kebaikan seseorang sebagai calon suami tanpa disertai rasa cinta dari pihak calon isteri? Sin Kiat mencoba melupakan rasa duka di hatinya itu dengan menyibukkan dirinya membantu Lauw-pangcu yang mulai mengumpulkan anak buahnya bahkan dibantu oleh para tamu mengatur jebakan untuk menyambut serbuan pasukan Mancu.

   Tidaklah terlalu sukar bagi Han Han untuk mendapatkan markas pasukan Mancu yang dicarinya. Markas itu berada di tepi sungai, sebuah dusun yang penduduknya telah diusir dan kini dusun itu diubah menjadi sebuah markas yang terjaga kuat. Ketika ia berjalan terpincang-pincang dan berhadapan dengan puluhan orang tentara penjaga yang segera mengurungnya dengan todongan golok dan tombak, diam-diam Han Han merasa beruntung bahwa dia membawa surat perintah rahasia itu untuk dapat bertemu dengan Su-ciangkun. Tanpa surat itu, biarpun ia sanggup menerobos memasuki markas, namun hal itu tentu saja akan amat berbahaya mengingat betapa ketatnya penjagaan dan bahwa markas itu tentu dihuni oleh ribuan orang tentara yang tak mungkin akan dapat dilawannya sendirian saja.

   "Berhenti! Siapa engkau dan mau apa mendekati benteng penjagaan?"

   Bentak seorang pemimpin regu yang mengurungnya sambil menodongkan ujung goloknya di leher Han han. Han Han bersikap angkuh dan ia menjawab,

   "Jangan bersikap kurang ajar kalau kalian tidak ingin dihukum oleh Su-ciangkun. Aku adalah utusan pribadi Puteri Nirahai dari kota raja, membawa surat pribadi beliau untuk disampaikan kepada Su-ciangkun."

   Ujung golok itu agak menjauhi lehernya, namun pengurungan masih ketat. Suara kepala regu itupun tidaklah galak lagi ketika bertanya.

   "Hemmm, bagaimana kami dapat tahu bahwa engkau adalah utusan dari kota raja? Masa kota raja mengutus seorang.... eh, pincang.... dan apa tandanya bahwa engkau adalah utusan kota raja?"

   Han Han tersenyum di dalam hatinya. Biarpun masih memperlihatkan keraguan, setidaknya kepala regu ini sudah berhati-hati sehingga tidak berani menyebutnya buntung, melainkan pincang sungguhpun ia tidak dapat membeda kan mana yang lebih merendahkan antara sebutan pincang dan buntung,

   "Hemmm, beranikah engkau meragukan utusan Sang Puteri Nirahai? Tidak tahukah engkau, apa pura-pura tidak tahu bahwa Puteri Nirahai terkenal mempunyai banyak pembantu orang-orang kang-ouw sebagai pengawal-pengawal pribadi dan pengawal-pengawal rahasia? Karena sekali ini Puteri Nirahai mengirim perintah rahasia dan pribadi kepada Su-ciangkun, tentu saja mengutus seorang di antara pembantu-pembantu pribadinya, dan tidak mengutus utusan resmi. Mengerti.?"

   Tentu saja para penjaga itu mengenal atau setidaknya sudah mendengar akan kekuasaan Puteri Nirahai, karena pemimpin pasukan-pasukan yang bermarkas di situ, Su-ciangkun, adalah anak buah puteri yang amat mereka kagumi dan hormati itu. Akan tetapi karena Han Han hanya seorang pemuda buntung yang sama sekali tidak mengesankan, tentu saja mereka pun ragu-ragu apakah benar orang muda macam ini menjadi utusan pribadi Puteri Nirahai.

   "Maafkan kami kalau engkau betul utusan dari kota raja, orang muda. Akan tetapi, betapapun juga, kami sebagai petugas-petugas yang melakukan penjagan, tidak akan berani memperbolehkan orang luar lewat tanpa lebih dulu yakin bahwa engkau benar-benar utusan dari kota raja."

   "Hemmm, kalian boleh juga, tahu akan kewajiban sebagai penjaga-penjaga yang tertib. Nah, sekarang lihatlah ini, apakah engkau masih ragu-ragu melihat cap dari Sang Puteri?"

   Ia mengeluarkan surat bersampul dan memang di baglan depan sampul itu, di atas kiri terdapat cap dari puteri yang berwarna merah. Tentu saja sebagian tentara biasa, para penjaga itu selamanya belum pernah melihat cap sang puteri, hanya mereka merasa malu untuk mengakui kebodohan mereka. Kepala regu mengangguk-angguk dengan hati bingung, lalu berkata.

   "Baiklah, mari kuajak menghadap Su-ciangkun."

   Dengan hati berdebar Han Han lalu dikawal kepala regu itu memasuki benteng dan diam-diam ia terkejut melihat banyaknya tentara dengan perlengkapan yang hebat. Tidak mengherankan kalau pasukan-pasukan Mancu selalu mendapat kemenangan, kiranya selain bala tentaranya banyak, juga per lengkapan mereka cukup, dipimpin pula oleh orang-orang pandai. Dia dibawa memauki sebuah gedung besar di tengah markas dan juga di sini terdapat penjagaan yang ketat. Setelah melalui lima lapisan penjagaan yang makin lama makin kuat, akhirnya Han Han dibadapkan pada seorang perwira Mancu yang bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan alisnya tebal sekali. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang benar-benar patut menjadi seorang pembesar tentara.

   Melihat wajah perwira ini, jantung Han Han berdebar dan terbayanglah segala peristiwa yang ia lihat belasan tahun yang lalu. Tidak salah lagi, inilah wajah seorang di antara tujuh perwira, wajah yang dulu ikut tertawa-tawa ketika berpesta di dalam rumahnya, dilayani oleh ayahnya yang membongkok-bongkok dan merendahkan diri. Sungguhpun yang memperkosa encinya dan ibunya hanya dua orang perwira yang ia kenal sebagai Giam Cu yang kini menjadi cihunya, dan Giam Kok Ma yang kini ia anggap sebagai musuh nomor satu, namun lima orang perwira lain takkan pernah terlupa olehnya. Lima orang perwira lainnya itupun ikut bertanggungjawab atas terbasminya keluarga orang tuanya. Ia menekan perasaan hatinya yang menegang penuh dendam ketika tiba-tiba perwira tinggi besar itu menegurnya dengan suara parau dan penuh wibawa.

   "Heh, orang muda yang buntung. Engkau mengaku sebagai utusan Puteri Nirahai di kota raja. Kalau benar demikian, apa yang ditugaskan padamu?"

   Han Han sadar dari lamunannya dan mendengar pertanyaan ini, maklumlah ia bahwa kepala regu yang mengawalnya sudah melaporkan kepada atasannya tanpa ia ketahui karena ia tadi termenung seperti orang mimpi. Segera ia membungkuk dan menjawab.

   "Benarkah saya berhadapan dengan Su-ciangkun yang memimpin pasukan untuk melakukan pembersihan di sekitar lembah Huang-ho? Karena saya membawa perintah pribadi Sang Puteri untuk menghadap Su-ciangkun sendiri, maka saya tidak mau kalau sampai salah alamat."

   
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ha-ha-ha-ha. Bukan aku yang mencurigai engkau apakah betul-betul utusan Sang Puteri, malah engkau yang mencurigai apakah aku betul-betul Su-ciang kun. Ha-ha-ha, sungguh lucu."

   Perwira tinggi besar itu menepuk-epuk meja dan tiba-tiba mejanya amblas ke dalam lantai bersama kursi yang didudukinya dan sebelum ia lenyap ke bawah melalui lantai rahasia, terdengar suaranya,

   "Tangkap dia dan rampas suratnya."

   Han Han terkejut sekali dan ketika ia memandang, ternyata ia telah dikurung oleh sembilan orang tinggi besar yang memegang golok dan bersikap mengancam. Diam-diam ia merasa heran.

   Apakah perwira itu mengenalnya sebagai utusan palsu? Kalau benar demikian, mengapa tidak sejak tadi ia ditangkap? Dan kalau memang benar demikian, mengapa dia dipancing ke sini lebih dulu kemudian hanya dikurung oleh sembilan orang ini? Mengapa tidak dikerahkan pasukan besar untuk menangkap atau membunuhnya? Ah, tak mungkin kalau Su-ciangkun mengetahui bahwa dia adalah seorang utusan palsu. Tentu perwira yang cerdik ini hendak mengujinya karena memang sudah terkenal bahwa para pembantu Puteri Nirahai adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Teringat ia akan Setan Botak dan tokoh-tokoh aneh lain yang hadir ketika ia hendak ditangkap oleh Toat-beng Ciu-sian-li dahulu. Ia lalu tersenyum dan memandang ke sekeliling, kemudian berkata tenang.

   "Apakah kalian begini tak tahu diri hendak mengganggu utusan Puteri Nirahai? Apakah kalian ini masing-masing memiliki nyawa rangkap?"

   Sembilan orang itu saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin menjawab,

   "Kami hanya melaksanakan perintah Su-ciangkun yang bertanggung jawab dan kalau memang engkau benar-benar utusan Sang Puteri, tentu tidak akan gentar menghadapi kami."

   Han Han tertawa dengan hati lega karena yakinlah ia sekarang bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar hanya mengujinya.

   "Ha-ha-ha. Kalian kira begitu mudah akan merampas surat yang dipercayakan kepadaku? Surat ini sama dengan nyawaku, kalau kalian akan merampasnya, jangan harap sebelum dapat membunuhku."

   Tiba-tiba pemimpin itu berseru dan serentak sembilan orang itu maju menyerang Han Han. Pemuda ini maklum bahwa ia harus mengalahkan sembilan orang pengeroyoknya, akan tetapi ia tidak boleh terlalu menonjolkan kepandaiannya agar jangan mengejutkan hati perwira itu yang ia sangka tentulah mengintai dari tempat rahasia. Maka ia pun lalu mengerakkan tongkatnya sambil mengerahkan tenaga, tidak mempergunakan ilmunya gerak kilat.

   Ia memutar tongkat menghadapi golok mereka, berpusing pada satu kakinya. Tongkatnya berubah menjadi segulung sinar yang bagaikan seekor naga melingkar menangkis sembilan batang golok yang menyerangnya. Terdengar suara nyaring sekali, sembilan kali berturut-turut, disusul golok-golok itu beterbangan cepat dan robohlah sembilan orang itu seorang demi seorang karena sambungan lutut kanan mereka telah terlepas dicium ujung tongkatnya yang bergerak amat cepat sehingga tak dapat diikuti pandang mata para pengeroyoknya. Sembilan orang itu saking heran dan kagetnya tidak sempat berteriak dan hanya roboh memegangi lutut dan memandang Han Han dengan mata terbelalak. Pintu terbuka dari luar dan muncullah Su-ciangkun sambil tertawa bergelak dan mengangkat ibu jari kanannya tinggi.

   "Ha-ha-ha, bukan main. Para pembantu pribadi Sang Puteri benar-benar hebat dan sicu merupakan seorang di antara yang paling hebat. Merobohkan sembilan orang pengawalku dalam segebrakan saja. Bagaimana mungkin dapat kupercaya kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri? Hebat.... hebat....."

   Menurut keinginan hatinya, Han Han bernafsu sekali untuk bergerak membunuh musuh besarnya ini. Akan tetapi dia tidak mau sembrono. Pertama, ia tidak mau kesalahan tangan. Setelah banyak peristiwa hebat terjadi karena kesalahan sangka sehingga akibatnya ia membunuhi orang-orang Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, kini ia tidak mau bertindak sembrono lagi. Kedua, tempat itu merupakan tempat yang amat berbahaya karena kalau ia dikurung oleh ribuan orang tentara, sangatlah sukar untuk menyelaniatkan diri. Maka ia lalu menjura dan berkata sambil tersenyum.

   "Ciangkun terlalu memuji. Apakah kini ciangkun percaya bahwa saya adalah utusan pribadi Puteri Nirahai?"

   "Percaya.... percaya...."

   Hanya kepandaianmu yang membikin aku percaya, sicu. Kalau bukan pribadi, tentu membawa tanda-tanda dari pasukannya. Akan tetapi aku sudah tahu akan pembantu-pembantu pribadi Sang Puteri yang terdiri dari orang-orang aneh. Hanya di antara mereka itu belum pernah aku mendengar akan seorang pembantu yang..... eh, maaf, yang kakinya buntung seperti sicu. Aku mengenal Gak-locianpwe...."

   "Maksudmu Kang-thouw-kwi, ciangkun?"

   "Benar, dan masih ada lagi tiga orang murid beliau...."

   Perwira itu berhenti sambil memandang muka Han Han. Pemuda ini tahu bahwa perwira itu lagi-lagi mengujinya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia berkata.

   "Tentu ciangkun maksudkan Hek-giam-ong, Pek-giam-ong, dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio?"

   "Aha, kiranya sicu telah mengenal pula mereka. Tentu saja, sebagai pembantu kepercayaan Sang Puteri, sicu tentu mengenal mereka semua. Kini aku tidak ragu-ragu lagi, marilah kita bicara di dalam, sicu."

   Perwira itu lalu menggandeng tangan Han Han dan diajaknya pemuda itu memasuki sebuah kamar di dalam gedung itu.

   Han Han melihat bahwa di depan tiap pintu dan jendela kamar inipun dijaga oleh belasan orang pengawal, maka ia menjadi makin berhati-hati lagi. Kamar itu besar dan megah, di dalamnya terdapat tiga orang wanita muda yang pakaian suteranya membayatigkan tubuh-tubuh mulus tanpa pakaian dalam. Mereka itu cantik-cantik dan begitu memasuki kamar, Su-ciangkiin lalu menyuruh mereka pergi. Tiga orang wanita itu tadinya melempar pandang mata mesra kepada wajah Han Han yang tampan, akan tetapi ketika melihat ke bawah, ke arah kaki Han Han yang buntung, mereka membuang muka dan segera berjalan pergi dengan langkah-langkah lemah gemulai seperti menari, lenyap memasuki kamar lain melalui sebuah pintu yang tertutup tirai sutera merah.

   "Silakan duduk, sicu. Siapakah nama sicu?"

   "Saya she Suma, ciangkun."

   Han Han sengaja menggunakan nama Suma, nama keturunannya yang asli malah, karena ia khawatir kalau-kalau perwira ini telah mendengar nama Sie Han. Agaknya perwira itu tergesa-gesa ingin membaca surat yang dibawanya, maka tidak menanyakan namanya sehingga legalah hati Han Han yang tidak perlu membohong dan mencari nama palsu lagi. Ia lalu mengeluarkan surat bersampul itu dari sakunya, menyerahkan kepada perwira itu. Perwira itu menerima surat, mengamati tulisan dan capnya, kemudian membuka sampul dan mengeluarkan suratnya. Setelah membaca surat itu, wajah perwira itu berseri dan ia menepuk pahanya sendiri.

   "Bagus, Kiranya di sana tempat persembunyian kakek gembel yang telah lama kucari-cari itu? Hemmm, benar-benar Sang Puteri amat hebat dan cerdik, sudah dapat mengetahui tempat persembunyiannya. Sekarang ini akan dapat kuhancurkan sisa-sisa Pek-lian Kai-pang yang sudah banyak membikin pusing para petugas keamanan. Silakan Suma-sicu kembali ke kota raja dan melaporkan bahwa kami akan melaksanakan perintah Sang Puteri sebaik-baiknya. Dan sebaiknya sicu menunggang kuda, akan kuperintahkan menyediakan kuda terbaik dan bekal secukupnya."

   Akan tetapi Han Han mengangkat tangan kanannya dan berkata,

   "Tidak, ciangkun. Saya menerima tugas dari Sang Puteri untuk menyaksikan sendiri sampai perintah itu dilakukan dengan hasil baik, bahkan saya diperintahkan membantu. Setelah berhasil, baru saya akan kembali ke kota raja dan menyampaikan pelaporan kepada Sang Puteri."

   "Begitukah? Bagus sekali."

   Perwira itu menjadi girang dan wajahnya berseri.

   "Dengan bantuan sicu yang gagah perkasa, akan lebih cepat para pemberontak itu dihancurkan."

   Perwira itu lalu bertepuk tangan dua kali. Masuklah lima orang pelayan wanita yang cantik-cantik. Dengan suara keras dan singkat Su-ciangkun memberi perintah untuk mengeluarkan hidangan. Han Han merasa sungkan sekali, karena ketika perwira itu mengajaknya makan minum telah memanggil tiga orang wanita cantik setengah telanjang tadi dan menyuruh mereka melayani.

   "Ha-ha-ha, jangan sungkan-sungkan, Suma-sicu. Mereka ini adalah selir-selirku yang bertugas mengawani dan melayaniku di sini. Jangan sungkan, kalau sicu menginginkan seorang di antara mereka, tunjuk saja"

   Ha-ha-ha, aku akan merasa bangga kalau ada selirku yang memenuhi selera seorang seperti sicu."

   "Terima kasih, ciangkun. Ti.... tidak.... saya.... saya amat lelah dan setelah makan akan beristirahat. Perjalanan jauh yang saya lakukan amat melelahkan. Pula, saya rasa ciangkun akan melakukan persiapan secepatnya untuk segera menyerbu para pemberontak itu."

   "Ha-ha-ha-ha! Suma-sicu benar mengagumkan, begini penuh semangat. Baiklah, kalau sicu ingin beristirahat."

   Ia memberi tanda dengan tangan kepada seorang di antara tiga orang wanita itu.

   "Kau antarkan Suma-sicu ke kamar tamu sebelah kanan."

   Han Han menjura kepada perwira itu, menyambar tongkatnya dan terpincang-pincang mengikuti wanita yang berjalan dengan pinggul menari-nari. Wanita itu membawanya ke sebuah kamar yang indah dan terlalu bersih bagi Han Han yang semenjak meninggalkan Istana Pulau Es belum pernah memasuki kamar seindah ini.

   "Saya akan menemani taihiap semalam di sini...."

   Wanita itu tersenyum dan membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Karena ia menjatuhkan diri terlentang, sutera penutup tubuhnya yang memang tidak rapat itu tersingkap dan tampaklah oleh Han Han kulit paha dan perut yang putih kuning. Matanya menjadi "silau"

   Dan ia memejamkan kedua matanya.

   "Hi-hi-hik.... marilah taihiap.... apakah seorang gagah perkasa seperti taihiap takut kepadaku? Hi-hik....."

   Han Han merasa betapa kedua lengan wanita itu yang telah bangkit seperti dua ekor ular merayap melingkari lehernya, tubuh wanita itu menggeser-geser tubuhnya dan bau harum memasuki hidungnya. Han Han mengeraskan hati dan sekali renggut dan mendorong, tubuh wanita itu terhuyung ke belakang dan wanita itu menjerit kecil.

   "Maaf....."

   Han Han membuka matanya.

   "Aku.... aku mau tidur sendiri."

   Wanita itu tertawa.

   "Hi-hik, taihiap masih.... masih jejaka tulen?"

   Han Han memandang tajam dan berkata agak ketus,

   "Pergilah, aku mau mengaso."

   Ketika bertemu pandang dengan sinar mata pemuda itu, si wanita kaget dan seperti seekor anjing dipukul dia tergesa-gesa pergi dari kamar itu melalui pintu, lupa untuk menggoyang kibulnya seperti biasa. Hari itu juga Su-ciangkun mengadakan persiapan, memanggil semua perwira pembantunya dan mengatur rencana untuk mengirim seribu orang pasukan menyerbu tempat persembunyian Pek-lian Kai-pang di lembah Huang-ho. Han Han yang diberi kebebasan pura-pura ikut pula melakukan pemeriksaan, bahkan ia lalu membantu untuk melakukan penjagaan dengan dalih kalau-kalau ada mata-mata musuh yang menyelundup dan mengetahui persiapan mereka. Su-ciangkun yang sudah mempercayainya tidak menjadi curiga dan Han Han lalu keluar dari benteng untuk "melakukan pemeriksaan"

   Di luar daerah benteng.

   Padahal ia hendak mengenal tempat itu sehingga kalau sewaktu-waktu ia turun tangan membunuh musuhnya, ia akan mengenal jalan untuk menyelamatkan diri. Ia mengambil keputusan untuk membiarkan Su-ciangkun mengirim pasukannya untuk dibasmi oleh Lauw-pangcu yang memasang jebakan, kemudian dengan alasan ikut pula menyerbu, ia akan mempunyai banyak kesempatan "membereskan"

   Musuh besarnya itu. Hari telah menjadi malam ketika Han Han berjalan-jalan di luar benteng tanpa dicurigai para penjaga yang kini menganggapnya sebagai seorang utusan kota raja yang menjadi tamu Su-ciangkun, dan bahkan pemuda yang kabarnya amat lihai itu akan membantu pula penyerbuan sarang pemberontak.

   Tiba-tiba Han Han melihat berkelebatnya bayangan orang di antara pohon-pohon di luar benteng. Pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa bayangan itu adalah orang yang tidak ingin dilihat penjaga. Cepat ia menengok ke kanan kiri dan setelah merasa yakin tidak ada penjaga yang melihatnya, ia menggunakan kepandaiannya mencelat ke tempat itu, menyelinap di antara gerombolan pohon, mencelat ke atas dan tampaklah olehnya bayangan hitam berindap-indap di antara batang-batang pohon. Bagaikan seekor burung garuda menyambar, tubuhnya menukik ke bawah, ke arah bayangan itu. Sebatang pedang yang berkilauan sinarnya menyambut tubuhnya. Han Han cepat mengelak dan menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang sambil berbisik,

   "Sssttttt, aku Han Han, Nona Lu....."

   Lu Soan Li, bayangan itu, kaget bukan main. Kaget karena hampir saja pedangnya melukai atau membunuh orang yang hendak dilindunginya. Juga ia amat kagum, bahkan tidak mengerti bagaimana pergelangan tangannya sampai dapat ditangkap oleh orang yang diserangnya itu. Kagum betapa setelah kakinya buntung, agaknya Han Han kini malah memiliki kelihaian yang amat luar biasa.

   "Han-twako.... kau.... ahhh, betapa gelisah hatiku setengah hari lamanya, aku berkeliaran di sini, tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk mendengarkan hasil kunjunganmu ke sarang harimau itu."

   Kata Soan Li sambil menyimpan pedangnya, setelah menarik napas lega melihat bahwa orang yang dijadikan kenangan ternyata selamat.

   "Nona, kenapa engkau bisa berada di sini? Mengapa engkau.... eh, agaknya menyusulku....?"

   "Aku.... mengkhawatirkan keadaanmu, twako. Dan aku ingin.... ingin membantumu...."

   Han Han memandang muka yang ditundukkan itu. Cuaca sudah gelap, akan tetapi ia masih dapat melihat muka tunduk itu di bawah sinar bintang-bintang yang memenuhi langit biru. Heran dia mengapa nona ini susah payah hendak melindunginya? Ingin ia menegur, akan tetapi melihat gadis itu menundukkan muka dan bersikap seperti seorang anak kecil takut dimarahi, ia tidak tega untuk menegur, hanya berkata.

   "Ah, kenapa Sin Kiat membiarkan engkau menempuh bahaya ini? Kedatanganmu ini amat berbahaya, Nona."

   "Apakah kunjunganmu ke benteng itu tidak kurang berbahaya?"

   Han Han menghela napas.

   "Nona, aku telah berhasil bertemu dengan Su-ciangkun. Besok pagi-pagi pasukan terdiri dari seribu orang akan diberangkatkan ke sana untuk menyerbu. Lebih baik malam ini juga Nona kembali ke sana memberi kabar kepada Lauw-pangcu. Aku akan pura-pura ikut menyerbu. Kembalilah...."

   "Akan tetapi.... apakah.... apakah amat yakin hatimu bahwa engkau tidak.... tidak akan terancam bahaya di sana....?"

   Bertanya demikian, saking khawatirnya, Soan Li sampai lupa diri dan kedua tangannya memegang lengan Han Han. Han Han merasa betapa dari jari-jari tangan itu tersalur getaran-getaran aneh. Jantungnya berdebar. Apa pula ini? Mengapa gadis ini begini mengkhawatirkan keselamatannya sehingga melupakan keselamatan diri sendiri? Apakah yang terjadi dalam hati nona ini? Seperti mimpi, tanpa ia sadari, mulutnya mengeluarkan bisikan hatinya yang penuh dugaan dan pertanyaan.

   "Lu-siocia, mengapa tanganmu gemetar....?"

   Soan Li yang mendengar ini seperti didongkel isi
(Lanjut ke Jilid 30)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 30
hatinya, jari-jari tangannya malah mencengkeram lengan Han Han dan suaranya terdengar penuh perasaan dan gemetar"

   "Twako.... Han-twako, aku.... amat khawatir kalau-kalau engkau akan celaka...."

   Han Han tertawa. Teringat ia akan adiknya, Lulu. Dalam keadiaan gelap, ia merasa seolah-olah gadis ini adalah Lulu. Bentuk tubuhnya hampir sama, dan harum rambutnya sama dengan harum rambut Lulu, suaranya juga hampir sama menggetarkan kekhawatiran dengan perhatian sepenuhnya atas keselamatan dirinya. Karena teringat kepada Lulu, Han Han merasa terharu sekali dan mengangkat kedua tangan, ditaruhnya kedua tangan ke atas pundak Soan Li dan berkata dengan suara halus.

   "Adikku yang baik, jangan engkau mengkhawatirkan aku....."

   Han Han terkejut sekali karena tiba-tiba gadis itu terisak dan ia merasa betapa muka itu menimpa dadanya, dan bajunya menjadi basah oleh air mata yang menembus ke kulit dadanya. Sejenak ia tertegun, terharu dan tangannya mengusap rambut yang halus itu. Kemudian ia teringat bahwa bukan Lulu yang dielus rambutnya, melainkan Lu Soan Li, Hoa-san Kiam-li. Ia menurunkan tangannya dan bertanya.

   "Nona Lu.... mengapa kau....?"

   Soan Li menahan napas, menahan tangis, kemudian merenggangkan tubuhnya.

   "Twako.... aku.... aku.... akan merasa sengsara sekali kalau kau sampai celaka.... hati-hatilah, twako....."

   Tubuhnya lalu berkelebat dalam gelap dan ia lenyap dari depan Han Han ditelan kegelapan malam.

   Sampai lama Han Han berdiri termenung di tempat itu, mengerutkan keningnya dan tiada habisnya mengherankan sikap gadis itu. Karena ia benar-benar tidak mengerti dan tidak dapat menduga apa yang menyebabkan Soan Li berhal seperti itu, menangis di dadanya dan mengucapkan kata-kata seperti itu, ia menggaruk-garuk rambut kepalanya. Mimpikah dia? Dirabanya bajunya. Masih basah oleh air mata gadis itu. Soan Li telah menangis karena mengkhawatirkan keselamatannya. Betapa mungkin ini? Terbayanglah ia akan wajah Sin Lian. Tak salah lagi, Sin Lian mencintanya, Seperti Kim Cu. Ahhh, Kim Cu, Sin Lian, dan Soan Li. Tiga wajah gadis jelita itu berganti-ganti terbayang di depan matanya, membuat Han Han menjadi bingung dan pandang matanya kabur, kepalanya pening.

   Ia cepat-cepat membalikkan tubuhnya kembali ke benteng. Lebih baik menghilangkan kebingungan ini dengan tidur nyenyak, untuk menghadapi peristiwa besok pagi. Besok ia akan membunuh Su-ciangkun, akan tetapi ia harus mendapat kepastian lebih dulu bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar seorang di antara tujuh orang perwira yang menjadi musuh besarnya. Soan Li berlari di malam gelap sambil masih terisak-isak. Hatinya penuh dengan dua macam perasaan, bahagia dan juga berduka. Han Han mencintanya. Terasa oleh hatinya, ketika tangan pemuda itu terletak di atas kedua pundaknya, ketika jari-jari tangan itu mengelus rambutnya. Dan dia, biarpun tanpa kata-kata, telah memperlihatkan rasa cintanya terhadap pemuda itu. Matanya terasa panas ketika ia teringat akan hal ini. Ia merasa malu sekali.

   "Ah, malu apa? Biarlah. Memang demikian kenyataan hatinya. Dia mencinta Han Han"

   Biarpun takkan mungkin dia menyambung cinta kasihnya dengan perjodohan, biarpun dia akan menjadi isteri orang lain, hanya tubuhnya saja yang terpaksa ia serahkan kepada suami pilihan gurunya. Akan tetapi hati dan kasih sayangnya telah ia serahkan kepada Han Han.

   Soan Li menjatuhkan diri di bawah pohon. Duduk bersandar pohon, mengenang semua peristiwa tadi. Peristiwa yang takkan ia lupakan selama hidupnya. Biarlah, selagi masih jelas terukir di lubuk hatinya, selagi sentuhan tangan Han Han pada pundak dan rambutnya masih terasa hangat, selagi air matanya yang tadi membasahi dada pemuda itu kini masih ada sisanya, biarlah ia mengenangkan saat-saat bahagia itu. Gadis itu tersenyum penuh kebahagiaan, akan tetapi air matanya terus mengalir. Tak lama kemudian ia meloncat bangun dan melanjutkan perjalanannya. Ia teringat akan tugasnya. Dia harus segera melapor kepada Lauw-pangcu agar dapat melakukan persiapan sebaiknya. Musuh akan menyerbu, berangkat besok pagi. Seribu orang banyaknya.

   Karena malam gelap dan perjalanan itu melalui hutan-hutan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho, Soan Li tidak dapat mempergunakan lari cepatnya. Ia berjalan dengan cepat menyusuri sungai. Baru nanti menjelang pagi ia akan tiba di sarang Pek-lian Kai-pang. Namun belum terlambat. Pasukan musuh baru akan berangkat besok pagi, tentu akan menyerbu besok sore. Lewat tengah malam, selagi gadis ini berjalan dekat sungai, tiba-tiba ia melihat dua buah perahu mendarat. Ia menjadi curiga, apalagi ketika melihat betapa orang-orang yang berloncatan keluar dari dua buah perahu itu amat gesit dan ringan tubuhnya. Cepat ia menyelinap di antara pohon dan mendekati mereka. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat orang terakhir yang keluar dari perahu adalah Ma-bin Lo-mo. Ouw Kian si Muka Bopeng juga berada di situ, bersama seorang yang mukanya seperti tengkorak dan seorang hwesio bertubuh gemuk.

   Dia menduga-duga. Apakah Ma-bin Lo-mo dan pembantu-pembantunya itu akan menyerbu pula ke benteng.? Biarpun Ma-bin Lo-mo terkenal seorang pejuang pula, akan tetapi teringat akan sikapnya ketika menghadiri perayaan ulang tahun Lauw-pangcu, Soan Li menganggapnya sebagai musuh dan ia merasa lega bahwa kakek lihai itu muncul terakhir sehingga kehadirannya di situ tidak diketahui orang. Kalau Ma-bin Lo-mo yang meloncat ke darat lebih dulu, besar bahayanya kedatangannya mendekat akan diketahui oleh tokoh In-kok-san itu. Dari perahu ke dua muncul belasan orang berpakaian.... pengawal Mancu. Soan Li memandang dengan jantung berdebar. Apa artinya ini? Ma-bin Lo-mo datang bersama belasan pengawal Mancu? Sungguh aneh dan mencurigakan.

   "Siangkoan-locianpwe, ada keperluan apakah locianpwe memanggil saya dan Kek Bu Hwesio di tengah malam begini dan ke mana kita hendak pergi?"

   Si Muka Tengkorak bertanya kepada Ma-bin Lo-mo.

   "Dan mereka itu.... kenapa berada di sini bersama locianpwe?"

   Tanya pula hwesio gemuk.

   "Hemmm.... kalian belum mengerti. Telah terjadi perubahan hebat sekali di kalangan para pejuang. Mereka itu telah menyeleweng dan malah membantu si pengkhianat Bu Sam Kwi. Aku melihat perubahan besar. Kekuasaan Mancu seperti munculnya matahari yang tak terkalahkan, dan sebaliknya pertahanan Bu Sam Kwi memperpanjang perang dan menyusahkan banyak rakyat. Sudah tiba waktunya kita berganti haluan dan berlaku cerdik. Aku menerima tawaran Kang-thouw-kwi dan Toat-beng Ciu-sian-li untuk membantu pemerintah menghancurkan Se-cuan."

   "Omitohud....."

   Hwesio itu berkata lirih.

   "Apa.? Siapa tidak setuju dan siapa tidak suka membantuku?"

   "Ohhh, tidak.... tidak.... pinceng setuju dan suka membantu."

   "Saya pun akan membantu dan selalu siap mengikuti jejak locianpwe,"

   Kata Si Muka Tengkorak.

   "Nah, dengarlah baik-baik. Pasukan ini membawa pesan dari Su-ciangkun, yaitu komandan yang bertugas di daerah ini, untuk memanggil aku karena di markas itu muncul seorang mata-mata musuh."

   "Siapa....?"

   Tanya Si Hwesio Gemuk.

   "Bocah buntung terkutuk itu. Han Han."

   "Eh, bukankah dia dahulu yang kita bakar di kapal....?"

   Si Muka Tengkorak bertanya.

   "Tidak ada waktu untuk bercerita panjang. Bocah itu telah menyelundup ke dalam benteng dan mengingat bahwa dia kini lihai bukan main, kita harus menyergapnya, dan menurut perintah Su-ciangkun, harus dapat kita tangkap hidup-hidup untuk memaksa pihak pemberontak agar suka menakluk. Hayo kita berangkat."

   Dapat dibayangkan betapa kaget hati Soan Li yang mendengarkan semua ini. Tanpa berpikir panjang lagi gadis itu lalu melesat pergi untuk cepat-cepat kembali ke benteng. Dia harus memberi tahu Han Han. Dengan cara apa pun juga. Ternyata, entah bagaimana caranya, rahasia Han Han telah diketahui musuh. Betapa lihainya musuh.

   "Heiii.... siapa itu? Kejar."

   Ma-bin Lo-mo yang berpendengaran tajam dan bermata jauh lebih awas daripada yang lain, sudah melihat berkelebatnya bayangan Soan Li dan langkah kaki gadis itu. Dia cepat mengejar, diikuti oleh tiga orang pembantunya dan para pengawal pasukan yang sudah mendaratkan kuda mereka.

   Empat ekor kuda disediakan untuk Ma-bin Lo-mo dan para pembantunya. Terdengarlah derap kaki belasan ekor kuda yang melakukan pengejaran. Soan Li juga mendengar derap kaki kuda yang makin lama makin jelas. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan berlari secepat mungkin. Dia harus mendahului mereka tiba di benteng. Dia akan mengamuk sehingga Han Han yang mendengar amukannya akan keluar dan akan mendengar peringatannya. Han Han harus diselamatkan. Kalau ia terlambat, celakalah pemuda itu. Betapapun lihainya Han Han, tidak mungkin dapat melawan Ma-bin Lo-mo, apalagi masih ada empat orang pembantunya dan para pengawal, ditambah ribuan orang tentara di dalam benteng. Dia harus berlari cepat. Nyawa pemuda yang dicintanya itu tergantung pada kekuatan kedua kakinya berlari.

   Di dalam tubuh setiap orang manusia memang terdapat kekuatan yang maha dahsyat, yang gaib dan sukar diukur oleh akal manusia. Kekuatan maha dahsyat ini kadang-kadang timbul di luar kesadaran, agaknya selalu bersembunyi di bawah sadar. Timbul apabila si manusia berada dalam keadaan tak sadar oleh perasaan yang menghimpitnya. Orang yang berduka hebat kadang-kadang dapat bertahan untuk berpuasa sampai berbulan-bulan yang takkan mungkin dapat tertahan tubuh seorang manusia dalam keadaan biasa. Seorang yang sedang ketakutan hebat kadang-kadang dapat melakukan hal-hal yang ajaib seperti mengangkat benda yang beberapa kali lipat lebih daripada daya kekuatan tubuhnya, dapat melompat jauh lebih tinggi daripada kemampuannya dalam keadaan biasa.

   Demikian pula dengan Soan Li. Gadis ini sebagai murid Im-yang Seng-cu, memang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, memiliki sin-kang kuat dan gin-kang yang hebat sehingga memungkinkan dia lari cepat sekali. Akan tetapi, dalam keadaan penuh kekhawatiran, ketegangan seperti saat itu, kekuatan maha dahsyat yang mukjizat itu timbul di luar kesadarannya sehingga membuat kecepatan larinya menjadi berlipat ganda apabila dibandingkan dengan kemampuannya yang biasa. Bahkan kejaran kuda yang dibalapkan itu masih tidak mampu menyusulnya. Setelah malam terganti pagi, sinar matahari mulai muncul mendahului mataharinya sendiri, Soan Li telah lari mendekati benteng. Peluhnya membasahi seluruh pakaiannya, napasnya terengah-engah dan kini Ma-bin Lo-mo bersama tiga orang pembantunya yang sudah meninggalkan kuda, sudah amat dekat di belakangnya.

   "Berhenti....."

   Ma-bin Lo-mo berteriak.

   "Kau adalah gadis yang kemarin dulu berada di rumah Lauw-pangcu"

   Soan Li maklum bahwa kalau ia sampai tersusul, ia akan celaka. Akan tetapi hal ini sama sekali tidak menggelisahkan hatinya. Yang amat menggelisahkan hatinya adalah bahwa kalau dia terpegang oleh Ma-bin Lo-mo, berarti Han Han akan celaka. Maka ia lalu mengerahkan tenaganya dan melompat jauh ke depan. Biarpun Ma-bin Lo-mo suaranya terdengar dekat, namun sebenarnya masih agak jauh.

   

Kisah Pendekar Bongkok Eps 16 Kisah Pendekar Bongkok Eps 24 Kisah Pendekar Bongkok Eps 9

Cari Blog Ini