Pendekar Super Sakti 34
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 34
Dia tidak takut menerima totokan jari telunjuk ini, akan tetapi kalau ia menutup jalan darah dan mempergunakan sin-kang menerima totokan, tentu gadis itu akan merasa makin tersinggung di samping telunjuknya yang kecil runcing bisa patah tulangnya. Maka Han Han lalu miringkan tubuhnya mengelak. Akan tetapi sungguh di luar dugaannya bahwa tangan yang luput menotok itu cepat sekali sudah membalik, telunjuk kiri itu kembali menotok lambung, sedangkan telunjuk kanan menotok pundak. Heran dia, gadis ini dapat bergerak cepat sekali dan caranya menotok jalan darah juga aneh, hanya dengan sebuah jari telunjuk, tidak dengan dua jari seperti yang lajim dilakukan ahli totok jalan darah.
"Plak-plak-plak....."
Han Han menangkis dengan telapak tangannya, menepuk lengan gadis itu dengan pengerahan sedikit tenaga. Gadis itu kelihatannya penasaran sekali, bergerak lebih cepat lagi dan kini totokan-totokannya mengarah jalan darah yang mematikan. Han Han tertarik dan kagum. Gerakan gadis ini benar-benar luar biasa cepatnya dan agaknya dalam hal kecepatan tidak kalah oleh Sin Liang sungguhpun keistimewaan ilmu sitatnya hanyalah totokan-totokan satu jari. Ternyata gadis ini adalah seorang ahli totok satu jari yang memiliki gin-kang cukup hebat, sungguhpun tentu saja tidak secepat Lulu gerakannya. Ia pun mengimbangi kecepatan gadis itu dan setelah Han Han mempergunakan ilmunya gerak kilat, gadis itu menjadi bingung karena berkali-kali pemuda buntung itu lenyap dari depannya.
"Eh, di mana kau....?"
Gadis itu membalik sambil menotok tubuh Han Han yang tahu-tahu berada di belakangnya, akan tetapi kembali pemuda itu lenyap.
"Eh, menghilang? Kau setankah....?"
Kembali ia menyerang kalang-kabut begitu tampak berkelebatnya tubuh Han Han. Karena gerakan-gerakannya yang cepat, gadis itu lupa bahwa pakaian luarnya masih terbuka di bagian depan. Biarpun pakaian dalamnya masih menutupi tubuh depannya, akan tetapi pakaian dalam itu tipis, tidak mampu menyembunyikan lekuk lengkung dan tonjolan-tonjolan tubuhnya. Han Han menjadi silau dan ia meloncat jauh ke belakang dan berseru.
"Stoppp....! Berhenti, Nona. Mengapa engkau menyerangku seperti itu? Aku bukan musuh dan aku tidak bermaksud menghina. Aku bermaksud menghiburmu."
Gadis itu cemberut dan teringat akan bajunya lalu menggunakan tangan kiri menutup bagian depan, telunjuk kanannya yang kecil runcing, yang dapat dipergunakan sebagai senjata penotok yang ampuh, kini menuding ke arah hidung Han Han sehingga pemuda ini merasa hidungnya gatal seperti akan ditotok.
"Kau hendak menghibur ataukah mengejek? Kalau menghibur mengapa mengatakan mayat takkan hidup lagi kalau ditangisi? Yang betul kau bicara. Apakah kalau engkau sudah menolongku tadi, pertolongan yang tak kuminta, kau lantas boleh bicara sesukamu?"
Han Han menghela napas. Kalau gadis ini tidak banyak sekali persamaan dalam wataknya dengan Lulu, tentu ia sudah pergi. Galak bukan main dan.... tidak mengenal budi.
"Maafkanlah Nona kalau kata-kataku kau anggap keliru. Nah, lanjutkantah tangismu, aku tidak akan mencegahmu. Menangislah sepuas hatimu."
"Kau mengejek, ya? Biarpun kau sepuluh kali lebih pandai, aku Tan Hian Ceng bukan gadis penakut. Mati bukan apa-apa bagi seorang gadis pejuang, tahu?"
Celaka, pikir Han Han. Bicara begini salah, begitupun tidak betul. Lebih baik tidak bicara. Dia hanya mengangkat pundak dan memandang bengong ke arah tiga mayat itu. Tentu mereka itu pejuang-pejuang atau mata-mata dari Se-cuan, pikirnya. Mereka itu tewas sebagai pejuang. Betapa bahagianya. Dan gadis ini, di samping kegalakannya yang luar biasa, juga mengagumkan. Bukan mengagumkan keindahan tubuhnya dan kecantikannya, cepat-cepat Han Han membantah pikirannya sendiri, melainkan mengagumkan kegagahan dan keberaniannya.
"Heh, jawablah. Aku tidak takut mati. Ibuku sudah tiada, kini Ayahku mati, aku tidak takut mati, kau tahu?"
Han Han memandang gadis itu dan ia terharu, merasa kasihan kepada gadis ini yang biarpun bersikap galak seperti itu, sesungguhnya gadis ini menderita duka yang hebat. Ia mengangguk.
"Jadi engkau tidak mengejek aku?"
Han Han menggeleng kepala.
"Dan engkau mengapa kembali lagi? Matamu tidak kurang ajar lagi. Engkau tidak akan kurang ajar dan mengejekku, bukan?"
Han Han menggeleng kepala.
"Kalau begitu, mengapa engkau menolongku? Engkau membenci Ouwyang Seng dan pemuda lihai yang membantunya tadi?"
Han Han mengangguk. Gadis itu bertolak pinggang dan kembali pakaian luarnya terbuka. Han Han meramkan mata dan menunduk.
"Eh, pemuda buntung yang memiliki kepandaian seperti iblis. Mengapa engkau? Tadi kau pandai bicara, kata-katamu memanaskan perut, sekarang kenapa tiba-tiba menjadi gagu?"
Han Han menarik napas panjang. Baru sekarang ia bertemu dengan gadis yang membuat dia bingung dan bohwat (kehabisan akal). Banyak bicara tidak benar, kalau didiamkan saja tentu akan marah pula. Sepasang mata yang bening dan tajam itu kini pun sudah mulai menyala. Ia tahu bahwa mata seperti ini kalau sudah berkobar karena marah, bisa repot dia.
"Nona, aku tidak gagu. Aku tidak berani bicara, karena tiap kali aku bicara, engkau salah terima dan mengira aku mengejek dan menghina."
Gadis itu memandang wajah Han Han dengan penuh perhatian, sepasang matanya tidak pernah berkedip, menjelajahi wajah Han Han terus ke bawah sampai ke kakinya yang buntung, naik lagi ke atas dan berhenti pada matanya sehingga pandang mata mereka bertaut dan melekat. Han Han merasa seolah-olah dia menjadi seekor kuda yang sedang diteliti, diperiksa dan ditaksir-taksir oleh seorang calon pembeli. Tiba-tiba sikap kaku gadis itu berubah dan dia berkata lirih,
"Maafkan aku.... maafkan bahwa aku telah salah duga.... ah, tentu In-kong menganggap aku sebagai seorang yang bocengli dan tak kenal budi. Akan tetapi tadi.... mata In-kong.... sungguh.... mengerikan hatiku...."
Gadis itu kembali berlutut di dekat jenazah ayahnya dan menangis. Biarpun hatinya amat terharu, namun ada rasa geli juga. Bocah ini benar-benar amat menarik, mengingatkan ia akan Lulu. Adiknya itu, Lulu, kadang-kadang kalau sudah kumat penyakitnya juga sifatnya aneh sekali. Gadis inipun aneh, sekejap marah-marah seperti seekor harimau betina diganggu anaknya, di lain detik sudah menjadi lembut dan lunak seperti seekor domba. Ia pun lalu berlutut dan berkata hati-hati.
"Nona, marilah kita mengubur jenazah-jenazah ini, tidak baik dibiarkan begini saja."
Tan Hian Ceng, nona itu, menoleh kepadanya dengan mata merah dan muka basah air mata, lalu mengangguk.
"Kau benar. Kita harus cepat menguburnya, kalau tidak, ada bahayanya datang pasukan Mancu.... sudikah kau membantuku mengubur Ayah dan Paman-pamanku ini?"
Han Han sebenarnya merasa geli. Dia yang mengusulkan untuk mengubur jenazah tiga orang itu, eh, kini dia dimintai tolong membantu. Akan tetapi dengan wajah serius ia menjawab,
"Tentu saja. Marilah, Nona."
Gadis itu kembali bengong terheran-heran ketika melihat betapa dengan tongkatnya, pemuda buntung itu menggali tanah dengan kecepatan yang luar biasa sehingga dalam waktu singkat tiga buah lubang yang cukup dalam telah digali berjajar di bawah pohon. Apa yang dilakukan pemuda buntung itu seperti main sulap saja dan diam-diam ia menjadi kagum bukan main. Selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian sehebat ini. Seperti bukan manusia. Tiga jenazah itu lalu dimasukkan lubang. Dengan suara penuh duka, setelah tiga jenazah dimasukkan lubang, Hian Ceng berkata sambil menunjuk jenazah-jenazah itu satu demi satu.
"Ini adalah ayahku, seorang pejuang kenamaan yang telah berjuang puluhan tahun namanya Tan Sun dan terkenal di dunia kang-ouw sebagai It-ci Sin-mo (Iblis Sakti Satu Jari)."
Han Han mengangguk-angguk. Nama ini pernah ia dengar dan kini mengertilah ia mengapa gadis ini amat pandai menggunakan satu jari untuk menotok jalan darah di tubuh lawan.
"Dia itu adalah Paman Giam Ki, seorang pejuang sahabat baik Ayah, terkenal pula dengan julukan Ban-kin Hek-gu (Kerbau Hitam Bertenaga Selaksa Kati)."
Han Han juga pernah mendengar nama ini dan diam-diam ia mengagumi kakek yang bertubuh tinggi besar itu. Tentu dahulu menjadi seorang ahli gwa-kang (tenaga kasar).
"Dan yang itu adalah seorang sahabat Ayah pula, bernama Thio Kai, seorang ahli dalam menyelundup perbatasan. Atas petunjuk dia inilah maka kami dapat melakukan tugas dengan sebaiknya, dapat memata-matai gerakan tentara Mancu dan mengumpulkan segala perlengkapan yang dibutuhkan oleh teman-teman pejuang di Se-cuan."
Han Han kagum dan terharu. Tiga orang ini adalah orang-orang gagah yang biarpun sudah tua namun masih bersemangat tinggi untuk melaksanakan tugas perjuangan sehingga kini tewas mengorbankan nyawa untuk bangsa. Ah, betapa mulia mereka ini, jauh lebih mulia dan lebih berguna daripada dia.
Akan tetapi, betapa mungkin dia memusuhi bangsa Mancu sedangkan Lulu adiknya yang tercinta itupun seorang gadis Mancu pula? Dan keluarga Lulu telah habis dibunuh Lauw-pangcu dan para pejuang, namun Lulu adiknya yang berhati mulia itu sama sekali tidak membenci bangsa Han, bahkan tidak membenci Lauw-pangcu. Sebaliknya malah. Adiknya itu menghapus dendam dan kebencian, menggantinya dengan kasih sayang sehingga ia rela menjadi anak angkat Lauw-pangcu, musuh besarnya. Betapa mulia mereka itu, tiga orang pejuang yang kini menjadi mayat ini, dan Lulu adiknya. Saking terharu dan merasa betapa dia sendiri adalah seorang yang tidak berharga, Han Han menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat kepada tiga jenazah itu dan dua titik air mata mengalir turun dari kedua matanya. Hian Ceng melongo memandang Han Han, air matanya nerocos turun mengalir di kedua pipinya.
"Engkau.... engkau mengucurkan air mata untuk Ayahku? Ah, maafkan aku,.... betapa kurang ajar sikapku terhadapmu tadi.... kiranya kau adalah seorang pendekar yang budiman...."
Han Han bangkit perlahan-lahan, bersandar pada tongkatnya.
"Nona Tan, aku hanya seorang yang rendah, seorang tak berharga. Karena kagum kepada Ayah dan kedua sahabatnya ini aku merasa betapa aku lebih rendah lagi. Marilah kita kubur mereka baik-baik."
Hian Ceng kini sudah berubah sikapnya. Amat taat dan amat menghormat. Ia pun berdiri.
"Baiklah.."
Ia lalu mengambil tanah segenggam dan menaburkan tanah itu ke dalam kuburan ayahnya dan kedua orang pamannya. Han Han lalu menggunakan sin-kangnya, mendorong ke arah tanah galian dan angin yang amat kuat menyambar, membuat tanah itu beterbangan.
Hian Ceng terpaksa meloncat mundur dan ia hanya melihat tanah berputaran seperti ada angin puyuh. Matanya berkunang menyaksikan ini dan ketika putaran tanah berdebu lenyap, ternyata lubang galian itu telah teruruk tanah yang menggunduk, merupakan tiga buah kuburan yang rapi. Hian Ceng menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan ayahnya yang berada di tengah, menangis sesenggukan. Han Han membiarkan gadis yang sedang berkabung dan berduka itu menangis. Dia lalu meloncat ke dekat batu besar yang rata permukaannya, dan berdiri di depan batu yang tingginya sama dengan dia, tongkatnya diangkat dan dengan kening berkerut tongkatnya menggurat-gurat pada permukaan batu. Dengan pengerahan tenaga sin-kang, ia telah mengukir huruf-huruf di permukaan batu itu.
"Sepanjang usia dicurahkan membela bangsa tak kunjung padam sampai nyawa meninggalkan raga Tan Sun, Giam Ki, dan Thio Kai tiga pahlawan patut dijadikan sari tauladan. Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia"
"Indah sekali.... ah, kau luar biasa....."
Suara itu membuat Han Han menengok. Kiranya Hian Ceng telah berdiri di dekatnya, membaca ukiran huruf-huruf itu dengan air mata bercucuran.
"Ah, tidak ada artinya, Nona. Hanya sekedar untuk peringatan di depan kuburan Ayahmu."
"Akan tetapi.... batu ini begini besar, tentu berat sekali. Betapa mungkin kita berdua menggesernya ke depan kuburan yang begitu jauh?"
Hian Ceng terbelalak. Ayahnya adalah seorang ahli lwee-keh, memiliki tenaga lwee-kang (tenaga dalam) yang kuat, dan dia pun telah mewarisi tenaga lwee-kang yang cukup lumayan, sudah mengimbangi ayahnya. Akan tetapi dia dan ayahnya takkan mungkin menggeser batu sebesar ini.
"Biarlah aku yang menggesernya, Nona. Harap kau suka minggir."
Hian Ceng melompat menjauhi dan memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar. Han Han lalu menggunakan tongkatnya, menusuk bawah batu besar itu, kemudian ia mengerahkan sin-kang, tongkat dipantulkan dan.... batu besar ini melayang dan jatuh menimpanya.
"Ahhhhh.... awas....!!."
Hian Ceng menjerit, akan tetapi ia segera menutup mulutnya dengan tangannya, matanya terbelalak kagum kaget dan heran melihat betapa pemuda berkaki buntung itu menerima batu dengan tangan kanannya, kemudian berloncatan dua kali membawa batu itu sampai ke depan kuburan ayahnya, lalu menurunkan batu itu perlahan-lahan ke depan ketiga buah kuburan.
"Bukan main....."
Hian Ceng berbisik, lalu melangkah perlahan menghampiri Han Han.
"kiranya kau adalah seorang taihiap yang sakti. Ah, dengan bantuan taihiap di Se-cuan, jangan harap penjajah Mancu akan dapat menaklukkan Se-cuan. Tentu kau akan ke sana, bukan?"
Akan tetapi betapa kecewa hati Hian Ceng ketika melihat pemuda itu menggeleng kepada. Han Han yang memandang wajah gadis melihat kekecewaan membayang di wajah yang cantik dan yang ia duga tentu biasanya cerah itu, cepat ia berkata.
"Tidak, Nona. Aku.... aku bukanlah seorang pejuang gagah perkasa dan mulia seperti Ayahmu dan engkau. Aku.... aku hendak mencari adikku."
Gadis itu menggeleng kepalanya.
"Sukar dapat dipercaya. Seorang gagah perkasa seperti In-kong, seorang yang memiliki kesaktian hebat.... yang budiman tidak membantu perjuangan? Ah, betapa mungkin.... dan siapakah adikmu kalau aku boleh bertanya?"
"Adikku bernama Lulu, sudah hampir dua tahun lenyap.... sampai sekarang aku mencarinya tanpa hasil...."
Mendengar suara Han Han yang penuh duka, Hian Ceng menjadi kasihan.
"Yang terakhir kalinya engkau mendengar adikmu itu berada di mana?
"Di lembah Huang-ho, bersama Lauw-pangcu...."
"Eh? Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?"
Gadis itu bertanya kaget dan heran.
"Benar, dia diambil anak angkat oleh Lauw-pangcu...."
"Ah....! Kalau adikmu itu anak angkat Lauw-pangcu, tentu mudah dicari. Aku yakin bahwa kalau dia lenyap tak dapat kau temukan jejaknya, dia pasti berada di daerah Se-cuan. Semua pejuang akhirnya pergi ke sana, Marilah kita ke Se-cuan dan aku tanggung engkau akan dapat menemuinya di sana."
"Memang tadinya aku hendak mencari di sana, menyusul sahabat baikku Wan Sin Kiat...."
"Wah, kau sahabat baik Hoa-san Gi-hiap?"
Han Han mengangguk.
"Kami, yaitu aku, dia dan Nona Lauw Sin Lian...."
"Puteri Lauw-pangcu, murid Siauw-lim Chit-kiam yang lihai?"
Gadis itu memotong lagi.
Han Han mengangguk, girang bahwa nona pejuang ini ternyata mengenal semua tokoh pejuang.
"Kami berjanji akan bertemu di Se-cuan. Sin Kiat lebih dulu, Nona Sin Lian hendak mengumpulkan sisa-sisa anggauta Pek-lian Kai-pang yang habis dibasmi oleh tentara Mancu di lembah Huang-ho...."
"Aaahhhhh....."
"Lauw-pangcu juga gugur dalam penyerbuan itu."
"Ahhhhh....."
Tiba-tiba terdengar derap banyak kuda dari jauh. Gadis itu cepat berkata,
"Mereka datang, In-kong, mari kita lari. Cepat....."
Gadis itu dalam ketegangannya agaknya lupa bahwa Han Han memiliki kepandaian hebat. Dia menyambar tangan Han Han dan diajaknya pemuda itu melarikan diri. Han Han maklum bahwa kalau pasukan Mancu yang besar jumlahnya tiba, tentu mereka berdua tidak akan mampu melawan. Dia sendiri akan dapat melarikan diri dengan mudah, akan tetapi belum tentu akan mudah bagi Hian Ceng untuk menyelamatkan diri. Maka ia tidak melepaskan tangan gadis itu yang menggandengnya, bahkan ia balas memegang dan tubuhnya lalu berloncatan cepat sekali, membawa tubuh Hian Ceng yang terbawa meloncat-lonca dan melayang-layang.
"Heiii.... eeeiiitttt.... eh, kita terbang....."
Hian Ceng menjerit kaget dan ngeri, akan tetapi tak lama kemudian ia tertawa-tawa gembira.
"Waduhhhhh.... hebat sekali.... eiiihh, ngeri.... terlalu tinggi kita meloncat.... aihhhhh."
Saking ngerinya melihat betapa tubuh mereka mencelat ke atas pohon, kemudian dengan mengenjotkan kaki satu ke ranting lalu melambung lagi, Hian Ceng memejamkan mata dan merangkul Han Han"
Han Han mendiamkannya saja, bahkan berloncatan makin cepat sehingga tidak terdengar lagi suara kaki kuda. Mereka telah berada jauh di balik sebuah bukit, dan Han Han menurunkan tubuh Hian Ceng.
"Kita sudah aman, Nona."
Hian Ceng turun dan membuka matanya. Kedua pipinya merah sekali dan ia memandang Han Han dengan sinar mata penuh kagum.
"Aku kagum sekali.... ah, betapa senangku dapat berkenalan denganmu."
Han Han memandang wajah Hian Ceng yang kedua pipinya kemerahan. Gadis ini amat cantik dan memiliki kelincahan yang sama dengan Lulu. Juga wajahnya cerah, tadi baru saja menyedihkan kematian ayahnya kini sudah dapat tersenyum amat manis.
"Nona, engkau mengingatkan aku akan adikku, Lulu."
"Ah, adikmu tentu cantik sekali ya.."
Kata
"Memang cantik sekali, Nona."
"Dan dia tentu amat lihai."
"Memang dia amat lihai."
"Dan dia tentu amat menyenangkan hati, ya."
"Memang sesungguhnyalah dia amat menyenangkan hatiku, aku amat menyayanginya."
Hian Ceng tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menoleh memandang Han Han, alisnya yang hitam kecil menjelirit itu mengerut, suaranya terdengar agak marah,
"Kalau begitu, kau membohongiku dan mempermainkan aku."
Nah-nah-nah, sudah kumat lagi, pikir Han Han.
"Mengapa, Nona? Aku tidak bohong"
Masa aku bohong kalau mengatakan bahwa adikku Lulu cantik jelita, manis, lihai dan menyenangkan hatiku?"
Dia benar-benar tidak mengerti karena biarpun Lulu kadang-kadang juga merajuk dan mengambek, akan tetapi ada sebabnya, bukan seperti nona ini yang tiada hujan tiada angin lalu menyambar-nyambar seperti kilat di siang hari.
"Kau bohong. Kalau begitu, mana bisa aku mengingatkan kau kepada adikmu itu?"
Han Han mengangkat alis membelalakkan mata dan di dalam hatinya ia tertawa bergelak, akan tetapi mulutnya menahan ketawa itu sehingga ia menyeringai seperti orang sakit gigi.
"Oohhh.... mengapa tidak? Engkau hampir sama dengan dia, juga watakmu hampir sama dengan wataknya."
"Akan tetapi dia cantik manis...."
Engkau juga.... ehhhh."
Han Han menutup mulutnya, khawatir disangka mengejek lagi. Akan tetapi melihat kini gadis itu menahan senyum dan kelihatan gembira karena wajahnya berseri, ia melanjutkan,
"Dan engkau pun lihai dan menarik, menyenangkan hati...."
Dengan muka berseri girang Hian Ceng berkata, suaranya penuh semangat,
"Aku akan mencari adikmu sampai dapat. Percayalah, kalau memang benar dia berada di daerah Se-cuan, aku pasti akan dapat menemukannya. Setelah Paman Thio Kai meninggal dunia, akulah satu-satunya orang yang paling mengenal keadaan daerah Se-cuan. Sudah kujelajahi semua daerah karena hal ini amat penting bagi tugasku sebagai penyelidik. Sssttttt.... kita sekarang harus berhati-hati, Lembah di depan itu disebut Lembah Neraka oleh kaum pejuang karena di situ musuh melakukan penjagaan yang sangat ketat."
Dari tempat yang agak tinggi itu Han Han memandang tajam ke depan.
"Akan tetapi kelihatannya sunyi saja."
Gadis itu mengangguk.
"Itulah bahayanya. Kaum pejuang yang menyeberang dan belum mengenal keadaan, akan terjebak, mengira bahwa jalan itu aman. Padahal tentara penjajah yang tidak kurang dari seribu orang jumlahnya bersembunyi di kanan kiri lembah itu, ada yang mendirikan perkemahan di dalam jurang-jurang di kedua sampingnya, dan ada yang memasang barisan di atas tebing, siap dengan anak panah mereka. Karena jalan di bagian lereng sebelah kiri itu merupakan jalan satu-satunya dan di sana terapit dinding batu gunung maka jalan itu sempit dan sekali orang lewat di situ, sukar untuk menyelamatkan diri jika diserang dari kanan kiri, atas dan kedua jalan itu ditutup oleh mereka dari depan belakang. Dahulu, setahun yang lalu, tidak kurang dari dua ratus orang pengungsi dari timur, yang hendak melarikan diri ke Se-cuan dan lewat di lorong itu, disembelih habis semua oleh mereka, laki-laki, wanita dan kanak-kanak."
Han Han bergidik, teringat akan keganasan bala tentara Mancu yang melakukan pembunuhan terhadap para pengungsi. Kalau kaum pejuang yang mereka bunuh, hal itu memang sewajarnya, sebagai musuh dalam perang. Akan tetapi tentara Mancu yang ganas itu banyak pula membunuhi rakyat yang tidak tahu apa-apa, hal ini benar-benar merupakan perbuatan kejam yang harus ditentang.
"Kalau jalan itu demikian berbahaya, bagaimana kita akan dapat lewat? Mengapa Nona tidak mengambil jalan lain yang lebih aman?"
"Jalan depan itu yang terdekat dan bagiku, yang paling aman."
"Eh, bagaimana bisa begitu? Bukankah kau katakan tadi bahwa...."
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagi yang tidak mengerti bagaimana akalnya memang berbahaya, juga bagi rombongan yang terdiri dari banyak orang. Akan tetapi biasanya kami berempat...."
Dia berhenti sebentar, teringat akan ayahnya dan dua orang pamannya yang tewas.
"kami selalu menggunakan jalan ini, lihat, pegunungan yang menjulang di sebelah kanan itu adalah Pegunungan Min-san. Dan yang menjulang tinggi di sebelah kiri itu adalah Pegunungan Ta-pa-san. Kita sekarang ini berada di Pegunungan Cin-ling-san. Dan lihatlah baik-baik di balik jurang di bawah itu."
Han Han memandang daerah yang dikelilingi pegunungan ini dan ketika ia melihat ke arah yang ditunjuk, ia melihat garis kebiruan yang panjang berliku-liku seperti tubuh seekor naga biru.
"Kau maksudkan sungai itu, Nona?"
"Benar, sungai yang mengalir ke selatan itu adalah Sungai Cia-ling dan kita akan memasuki daerah Se-cuan melalui sungai itu."
"Naik perahu?"
"Tidak mungkin naik perahu, di kedua tepi sungai itu penuh dengan perkemahan musuh dan barisan tentara sudah siap menghujani setiap perahu yang lewat dari luar perbatasan dengan panah api....."
"Habis, bagaimana?"
Han Han memandang heran. Gadis itu tersenyum manis, agaknya merasa bangga sekali bahwa dalam hal ini dia dapat mengatasi Han Han, dan dialah yang memimpin. Menghadapi pemuda buntung ini ia merasa kecil tak berarti, merasa bukan apa-apa karena kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, akan tetapi kini dialah yang menjadi "pemimpin."
"Marilah, Aku akan menunjukkan jalan dan caranya nanti."
Hian Ceng memegang tangan Han Han dan menariknya ke kanan, menuruni jalan menurun yang curam. Melihat jurang yang dituruni ini dan cara gadis itu menuruni dengan merayap seperti itu, sebetulnya Han Han tidak sabar. Kalau dia mau, dengan menggendong Hian Ceng ia dapat saja turun dengan gerak kilatnya sehingga dapat cepat tiba di Sungai Cia-ling.
Akan tetapi ia merasa betapa telapak tangan gadis yang menggandeng tangannya itu hangat sekali, tanda bahwa gadis itu gembira dan bersemangat. Ia dapat menyelami perasaan Hian Ceng yang kini merasa menjadi orang yang lebih pandai, menjadi pemimpin, maka dia tidak tega untuk menghancurkan kegembiraan dan kebanggaannya. Maka ia pun ikut merayap turun. Akhirnya mereka tiba di tepi Sungai Cia-ling. Hian Ceng mengajak Han Han bersembunyi di balik semak-semak di tepi sungai, lalu menuding ke arah selatan. Han Han memandang dan melihat sebuah perahu dengan lima orang tentara Mancu berada di pinggir. Perahu ditambatkan pada pohon dan lima orang itu mengobrol sambil makan minum perbekalan mereka.
"Kita bunuh mereka dan rampas perahunya?"
Bisik Han Han. Hian Ceng menggeleng kepala dan mendekatkan mulutnya di telinga pemuda itu, berbisik,
"Jangan, kalau kita bunuh dan akhirnya diketahui, penyeberangan perbatasan menjadi sulit. Dan perahu itupun tidak ada gunanya bagi kita."
Akan tetapi Han Han hampir tidak dapat menangkap arti ucapan gadis itu karena merasa betapa bibir itu bergerak-gerak menyentuh daun telinga, hawa yang hangat dari mulut meniup-niup telinga, hidung itu menyentuh-nyentuh pipi dan pelipis, jantungnya berdebar keras. Selama hidupnya Han Han belum pernah berdekatan dengan wanita seperti sekarang ini. Dahulu pernah dia mengalami hal luar biasa dengan Lulu ketika berada di Pulau Es, hal yang sampai sekarang kalau ia ingat membuat ia menjadi merah mukanya, akan tetapi ketika itu ia dan Lulu berada dalam keadaan tidak sadar dan diamuk gairah nafsu berahi yang dibangkitkan oleh racun ular merah.
Mereka dulu keracunan dan masih dapat melawan sehingga mereka berdua terhindar dari perbuatan yang akan membuatnya menyesal selama hidupnya. Dan selain peristiwa itu, memang ser ing kali Lulu dengan sikapnya yang manis memeluknya, mengambung pipinya, akan tetapi Lulu adalah adiknya dan perbuatan itu tidak menimbulkan sesuatu dalam batinnya. Kemudian, pernah pula berdekapan dengan Kim Cu, akan tetapi, hal itupun dia lakukan ketika ia diamuk kedukaan karena kakinya buntung dan diamuk keharuan melihat cinta kasih Kim Cu yang demikian mendalam kepada dirinya. Berbeda dengan sekarang ini. Sekarang dia berada dalam keadaan sadar dan gadis ini baru saja dia kenal.
"Lalu.... bagaimana....?"
Bisiknya.
"Kau bisa berenang....? maafkan, tentu kau tidak bisa...."
Gadis itu melirik ke arah kaki yang tinggal satu itu. Han Han menghela napas, bukan karena menyesal melihat kakinya buntung. Kebuntungan kakinya bukan apa-apa lagi baginya, akan tetapi ia menyesal bahwa kebuntungan ini selalu mendatangkan rasa kasihan dan tidak enak, canggung bagi orang lain.
"Akan tetapi memang tidak perlu berenang,"
Gadis itu cepat menyambung dengan kata-kata lirih.
"Aku memerlukan selonjor batang pohon itu ke tengah sungai dan kita bersembunyi di bawahnya, berpegang dan bergantung kepada cabangnya. Dengan demikian, tanpa susah payah kita akan dapat melewati barisan musuh dengan aman."
Han Han mengangguk-angguk. Jadi beginikah akalnya gadis cerdik ini? Cerdik dan penuh keberanian karena kalau sampai akal ini diketahui musuh, tentu dia akan menjadi seperti tikus terjebak.
"Baik sekali, Nona. Akan tetapi bagaimana kita akan bernapas dalam air?"
Gadis itu tersenyum, senyum kemenangan penuh bangga karena kembali dialah yang akan dapat mengatasi kesulitan itu. Tangan kirinya meraih ke kiri dan jari-jari tangannya yang kecil dan kuat itu telah mematahkan sebatang alang-alang, mematahkan batang itu ke mulutnya.
"Dengan dua tiga batang alang-alang di mulut, dapat kita menyedot hawa dari permukaan air."
Har Han memandang kagum. Memang cerdik sekali. Dengan pipa batang alang-alang itu memang mereka akan dapat tinggal di bawah permukaan air sampai berapa lamanya pun. Permainan yang cerdik, akan tetapi amat berbahaya. Dengan tubuh dalam air, berarti sama sekali tidak dapat melindungi tubuh terhadap bahaya dari luar. seolah-olah hanya menggantungkan nyawa kepada berhasilnya akal itu. Menggantungkan nyawa kepada batang alang-alang.
"Betapa bahayanya"
Akan tetapi, ia tidak mau mengecewakan orang dan mengangguk-angguk, bahkan ia lalu berkata.
"Aku akan mencari batang pohon itu di sana."
Sebelum Hian Ceng menjawab, tubuhnya sudah melesat dan lenyap. Gadis itu tertegun dan mengintai ke arah para tentara yang berada di perahu, akan tetapi tentu saja mereka itu tidak melihat gerakan Han Han. Sedangkan dia sendiri yang biasanya membanggakan matanya, dan yang berada dekat sekali dengan Han Han, tidak dapat melihat bagaimana pemuda buntung itu lenyap begitu saja dari depan hidungnya. Karena percaya penuh akan kelihaian Han Han, maka Hian Ceng tidak mau tinggal diam dan ia lalu mulai mencari dan mengumpulkan batang alang-alang yang cukup besar dan tua sehingga batangnya kuat, tidak mudah patah. Ia mengumpulkan sampai sepuluh batang dan tak lama kemudian Han Han kembali dan berbisik.
"Batang pohon sudah siap di sana, dekat tikungan."
Ia menuding.
"Bagus, mari kita ke sana, In-kong. Ini batang jerami alang-alang, kau pakai sebagian."
Berindap-indap mereka lalu maju ke tepi sungai di tikungan sehingga tidak tampak oleh lima orang tentara di perahu. Melihat sebatang pohon besar yang jebol bersama akar-akarnya, Hian Ceng terbelalak. Kalau keadaan tidak demikian genting, tentu ia ingin sekali tahu bagaimana caranya pemuda buntung itu menumbangkan pohon ini berikut akarnya. Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang muda itu lalu menyeret batang pohon ke sungai, menghanyutkan batang pohon itu sampai ke tengah sungai dan mereka bergantung pada dahan di bawah batang. Dan batang alang-alang menyambung mulut mereka dengan hawa di permukaan air, bersembunyi di antara daun-daun pohon sehingga mudah bagi mereka untuk bernapas. Batang pohon itu hanyut dengan cepat karena arus air kuat juga di bagian itu. Han Han bergantung pada dahan pohon dengan jantung berdebar tegang.
Bagaimana ia tidak akan merasa tegang kalau berada dalam keadaan seperti itu, sama sekali tidak dapat menjaga diri, tak dapat menggunakan kepandaiannya, tidak dapat melihat musuh dan menggantungkan keselamatan dirinya pada dua batang alang-alang? Tiba-tiba tangan Hian Ceng mencengkeram lengah Han Han. Han Han membuka matanya memandang ke arah atas yang ditunjuk gadis itu. Mula-mula hanya tampak bayangan hitam, akan tetapi lalu tampak kayu lonjong bergerak. Perahu. Han Han khawatir sekali, jelas ada perahu mendekati batang pohon. Ia lalu menyembulkan kepalanya, bersembunyi di antara daun-daun pohon itu. Benar saja, perahu dengan lima orang tentara Mancu berada dekat sekali, dan mereka semua sudah berdiri di perahu dengan tombak di tangan. Seorang di antara mereka berteriak.
"Awas kawan"
Di hawah pohon ini tentu ada ikan-ikan pemberontak, kita panggang mereka, ha-ha-ha."
Han Han terkejut sekali. Untung dia menyembulkan kepalanya, kalau tidak tentu mereka benar-benar akan disate oleh tombak-tombak itu. Mereka yang berada di perahu akan dapat melihat Han Han dan Hian Ceng, sebaliknya mereka yang berada di dalam air sukar untuk dapat melihat gerakan mereka yang di perahu.
Cepat Han Han menyelam lagi dan ketika perahu sudah cukup dekat bagian depannya. Han Han menggerakkan tongkatnya, mendorong perahu dengan gerakan tiba-tiba sehingga perahu itu terbalik dan lima orang tentara Mancu itu terlempar ke air. Han Han kagum sekali melihat betepa dengan gerakan yang cepat, Hian Ceng sudah mengerjakan jari-jari tangannya yang lihai sehingga tanpa mendapat kesempatan sama sekali, dua orang telah ditotok dan tewas seketika, rambut kepala mereka dicengkeram oleh tangan Hian Ceng. Han Han juga mengerjakan tongkatnya dan tiga orang tentara yang lain tewas tanpa dapat mengerti mengapa mereka mati dan oleh siapa. Han Han menahan mayat-mayat mereka dengen tongkat. Mereka berdua terpaksa menyembulkan kepala ke permukaan air. Untung kedua tepi sungai sunyi di saat itu sehingga peristiwa itu tidak teriihat oleh tentara lain.
"Kita harus membawa mayat mereka ke tepi, kalau terhanyut, kita celaka...."
Kata Hian Ceng yang hendak berenang minggir sambil menyeret dua mayat korbannya.
"Biarkan aku melempar mereka ke darat."
Han Han mencegah dan tongkatnya bergerak dan.... tubuh seorang tentara terlempar dan terbanting di tepi sungai. Lima kali Han Han menggerakkan tongkatnya dan lima mayat itu kini semua sudah menggeletak di pantai sungai.
Perahunya yang tersangkut pada pohon itu, oleh Han Han didorong. Kekuatan mendorongnya luar biasa sekali sehingga perahu itu terdorong bagaikan anak panah cepatnya sehingga setibanya di tepi, ujung perahu itu menancap pada tanah. Mereka cepat menyelam lagi. Tiba-tiba tangan gadis itu sekali lagi mencengkeram lengannya, Han Han membuka mata memandang gadis itu yang kelihatan lucu dan aneh sekali karena gerakan air membuat wajah gadis itu peletat-peletot dan bengkak-bengkok. Hian Ceng mengangkat tangan kanan yang dikepal jari-jarinya kecuali ibu jari yang diangkat ke atas, di depan hidung Han Han. Ah, kiranya gadis itu hanya ingin menyatakan kagumnya, hanya ingin memujinya dan karena di dalam air itu tak mungkin mengeluarkan suara, maka gadis itu mengacungkan jempolnya di depan hidung untuk memuji.
"Kita sudah masuk perbatasan daerah Se-cuan, di sini aman. Pakaian kita basah, kalau tidak dijemur dulu, bisa masuk angin."
Han Han hanya mengangguk-angguk kemudian ia membalikkan tubuhnya membiarkan gadis itu membuka dan menjemur pakaian. Ia mendengar gadis itu mandi di anak sungai yang memuntahkan airnya di Sungai Cia-ling. Benar-benar mengherankan sekali. Setengah hari lamanya sudah merendam tubuh di air, sekarang masih mandi lagi. Benar-benar wanita merupakan mahluk yang paling aneh, merupakan manusia yang wataknya kadang-kadang mengherankan sekali. Bahkan watak adiknya sendiri pun kadang-kadang membuat dia bengong dan menggeleng-geleng kepala, menggaruk-garuk belakang telinga. Kini ia pun menggeleng kepala dan menggaruk telinga tanpa disadarinya.
"Heiiiiii....!!, kenapa kau menggeleng kepala dan menggaruk belakang telinga?"
Terdengar teriakan gadis itu dari belakangnya. Bukan main. Sudah mandi, kiranya masih mencurahkan perhatian kepadanya sehingga semua gerak-geriknya diketahuinya belaka.
"Aku heran mendengar engkau mandi, Nona,"
Kata Han Han sambil membuka bajunya, memeras air dari bajunya dan menggantungkannya di tempat panas bersama pakaiannya yang hanya satu stel. Celananya tetap ia pakai dan dia pun duduk di tempat panas untuk mengeringkan celana yang dipakainya.
"Mengapa heran mendengar orang mandi? Apakah engkau belum pernah mendengar orang mandi?"
"Bukan begitu maksudku. Baru saja kita keluar dari dalam sungai di mana kita berendam sampai setengah hari. Mengapa engkau mandi lagi, Nona?"
"Mengapa tidak? Air Sungai Cia-ling kotor, dan air sungai kecil ini amat jernih."
Kini suara gadis itu terdengar dekat, agaknya sudah selesai mandi.
"Dan engkau tidak perlu lagi membelakangiku, In-kong. Aku sudah bersembunyi di balik semak-semak."
Han Han membalikkan tubuhnya, duduk menghadapi semak-semak dan sungai. Namun ia masih dapat melihat bayangan tubuh gadis yang telanjang itu di antara celah-celah daun semak-semak itu. Terpaksa ia menundukkan mukanya agar matanya jangan sampai melihat bayangan itu. Sunyi sejenak. Gadis itu memeras pakaiannya yang basah dan yang baru saja dicucinya, kemudian dari bayangan yang dikerlingnya sebentar untuk mengetahui apa yang dilakukan Hian Ceng, Han Han depat menduga bahwa gadis itu sedang menyambung bagian kain yang robek dengan benang-benang yang ia cabut dari kain pengikat kepalanya.
"Mengapa diam saja, In-kong? Apa yang kau pikirkan?"
Tiba-tiba pertanyaan ini mengejutkan Han Han dan menyadarkannya dari lamunan.
"Eh, tidak apa-apa. Akalmu tadi baik sekali, Nona."
"Uh, baik apa? Buruk sekali"
Hampir saja celaka. Akal itu sudah kuno, tidak memenuhi syarat lagi. Musuh sudah tahu, perlu diganti dengan akal yang lebih tepat."
Hian Ceng lalu bercerita panjang lebar tentang semua pengalamannya sambil menanti keringnya pakaian. Dari cerita ini tahulah Han Han bahwa gadis ini memang seorang gadis pejuang, gadis yang semenjak berusia tujuh tahun sudah ditinggal mati ibunya, kemudian ikut dengan ayahnya ke manapun It-ci Sin-mo Tan Sun yang sudah tua itu pergi. Dia diajak berjuang oleh ayahnya, tak tentu tempat tinggalnya, sebagian besar hidup di dalam hutan-hutan di atas gunung-gunung dan di tempat-tempat liar.
Mengertilah Han Han mengapa sikap gadis ini terbuka, lincah liar dan polos. Agaknya, hidupnya selama ini di tempat-tempat terbuka, bersama-sama dengan para pejuang, hidup penuh kekerasan, menghadapi banyak bahaya maut bersama pejuang yang sudah mengeras wataknya dan menjadi kasar, membuat gadis ini menjadi gadis alam. Pantas saja tidak pemalu seperti gadis-gadis kota, dan tidak merasa canggung biarpun kini ia bercakap-cakap dengan Han Han dalam keadaan telanjang, biarpun tertutup semak-semak. Setelah pakaian mereka kering dan tubuh mereka yang tadinya dingin menjadi hangat oleh sinar matahari, Hian Ceng berpakaian dan muncul dari balik semak-semak. Wajahnya segar dan bersih, rambutnya terurai lepas, pakaiannya sudah tertutup rapat dan dia memandang Han Han yang sudah sejak tadi berpakaian dengan wajah berseri.
"Marilah kuperlihatkan padamu daerah Se-cuan yang indah, kuperkenalkan daerah pejuang."
Ia lalu berlari-lari cepat. Han Han segera berloncatan mengejar gadis yang mendaki puncak itu dan kegembiraan gadis itu menular kepadanya sehingga dengan kaget dan heran akan tetapi juga senang ia sadar dan teringat betapa kini hatinya tidak begitu tertekan lagi,
Semangatnya tidak lemah lagi seperti sebelum ia bertemu dengan Hian Ceng. Ah, melihat gadis itu yang demikian lincah gembira, melihat dia hidup seperti tidak mengenal susah padahal baru saja ditinggal mati ayahnya, benar-benar menyadarkannya bahwa hidup ini sebetulnya tidaklah begitu buruk. Tak lama kemudian tiba di sebuah puncak di Pegunungan Cin-ling-san dan Hian Ceng berhenti. Han Han kagum sekali. Memang pemandangan di situ amat indahnya, sungguhpun dia harus mengakui bahwa ia lebih tertarik dan merasa lebih indah ketika memandang sepasang mata yang bersinar-sinar gembira, bibir yang tersenyum dan agak terbuka karena terengah-engah, pipi yang kemerahan dan segar, rambut yang sudah kering betul dan melambai-lambai tertiup angin seperti benang-benang sutera
"Lihatlah, Puncak-puncak Pegunungan Ta-pa-san di timur dan puncak-puncak Pegunungan Min-san dibarat tampak semua dari sini. Seperti juga di lembah Cin-ling-san ini, di lembah kedua gunung itupun terjaga oleh barisan Mancu. Berkali-kali pihak Mancu menyerang dari tiga daerah pegunungan ini, akan tetapi kami selalu dapat memukul mundur mereka. Daerah Se-cuan memang amat tepat menjadi pusat perjuangan melawan Mancu. Daerah yang dikurung gunung-gunung. Puncak yang amat tinggi dan jauh di barat itu, di balik Pegunungan Min-san, adalah Pegunungan Bayangkara. Di sebelah selatan Min-san disambung dengan Pegunungan Ciung-lai-san, dan di tapal batas sebelah selatan masih disambung lagi oleh Pegunungan Ta-liang-san. Daerah timur ditutup oleh Sungai Yang-ce-kiang dan bala tentara Bu-ongya dikerahkan untuk menjaga tapal batas di timur sepanjang Sungai Yang-ce-kiang, dan di utara di lembah-lembah Gunung Ta-pa-san dan Min-san."
Sambil memandang ke sekeliling dari tempat tinggi ini, Han Han kagum akan pengetahuan gadis itu tentang keadaan dan daerah itu.
"Pusat pemerintah di mana Bu-ongya tinggal berada di kota raja Cung-king, dan semua benteng pertahanan yang dijadikan pusat para pejuang yang membantu Bu-ongya tersebar di tiga tempat, yaitu Cung-king, Kwan-yang dan Wan-sian. Engkau sendiri harus ke Cung-king, In-kong, selain untuk bertemu dengan Bu-ongya, juga di sana tentu engkau akan bertemu dengan para pejuang lain yang sudah In-kong kenal. Mari kita turun dan melanjutkan perjalanan. Biarpun sekarang telah memasuki daerah sendiri yang aman, akan tetapi perjalanan masih harus ditempuh dua hari dua malam dan amat sukar perjalanannya, baru kita akan bertemu dengan penjaga-penjaga. Nanti aku akan menyuruh mereka mengantar In-kong ke Cung-king."
"Dan kau sendiri, Nona?"
"Aku akan pergi mencari adikmu, kumulai dengan mencarinya di Kwang-yang."
"Aku pun hendak mencari adikku. Memang untuk keperluan itulah aku memasuki Se-cuan."
"Benar, akan tetapi sebagai seorang yang baru saja memasuki Se-cuan, In-kong adalah seorang asing. Kalau tidak menghadap dulu ke Cung-king, tentu akan banyak menimbulkan kesulitan bagi In-kong sendiri yang akan dicurigai di mana-mana. Selain itu, sudah sepatutnyalah kalau orang memasuki daerah yang sedang bergolak, terlebih dahulu menghadap Bu-ongya yang dapat dikatakan sebagai tuan rumahnya."
Gadis itu pandai sekali berdebat dan Han Han terpaksa membenarkannya. Mereka lalu menuruni puncak itu dan setelah hari menjadi gelap, Hian Ceng mengajak Han Han beristirahat di sebuah lereng gunung di mana terdapat sebuah gubuk kecil di pinggir hutan, gubuk yang menurut kata Hian Ceng sengaja dibuat oleh para pejuang untuk tempat istirahat.
Hian Ceng benar-benar mengenal daerah itu. Dia pergi sebentar dan datang lagi membawa buah-buahan dan seekor ayam hutan yang gemuk. Sambil bernyanyi-nyanyi Hian Ceng membersihkan dan memanggang daging ayam itu, kemudian mereka makan dan minum air jernih. Malamnya, Hian Ceng yang sudah lelah sekali tidur di dalam gubuk, di atas dipan bambu, rebah miring. Dingin sekali malam itu. Han Han duduk tidak jauh dari tempat Hian Ceng rebah karena gubuk itu hanya sempit saja, dan biasanya, para pejuang yang kemalaman di tempat ini tidur saja di ataS dipan yang memenuhi gubuk, berderet-deret seperti ikan bandeng. Hal ini juga sudah dikatakan oleh Hian Ceng tadi ketika gadis yang sudah biasa hidup di alam liar ini hendak tidur dan merebahkan tubuhnya miring.
"Mari kita tidur. Kita harus mengaso karena perjalanan besok masih jauh."
Wajah Han Han merah sekali mendengar ajakan itu, untung bahwa sinar api unggun yang merah menyembunyikan warna mukanya.
"Tidurlah, Nona."
"Eh, masa engkau duduk saja? Tidurlah, tempat ini cukup lebar. Biasanya kami juga tidur di sini, bersama Ayah dan para Paman. Mengapa malu? Nih, di belakangku masih lega, rebahlah di sini."
Akan tetapi tentu saja Han Han hanya dapat menggeleng kepala dan pura-pura tidak memperhatikan gadis itu dengan menambah kayu pada api unggun.
Ia mengerti bahwa gadis yang biasa hidup di alam terbuka, biasa mengalami kesukaran hidup bersama para pejuang lainnya, menganggap tidur bersama seperti itu biasa saja. Bahkan bertelanjang di depannya pun tadinya dianggap bukan apa-apa. Ia baru marah karena pandang mata Han Han yang terpesona. Benar-benar gadis yang jujur, polos dan murni. Akan tetapi dia yang sudah kenyang membaca kitab-kitab, tahu akan segala peradaban, segala kesusilaan dan kesopanan, bagaimana mungkin dapat rebah di samping seorang gadis? Kalau rebah dan tidur sepembaringan dengan Lulu, hal itu sih tidak terlalu menyiksa perasaan. Akan tetapi dengan gadis yang baru dikenalnya ini? Tak mungkin. Perut yang kenyang membuat Han Han mengantuk juga. Memang tubuhnya amat lelah dan sudah beberapa malam ia tidak tidur. Sambil duduk bersandar tiang bambu gubuk itu, Han Han melenggut.
"Huhhhhh.... dinginnnnn....."
Suara Hian Ceng membangunkannya dan ia melihat api unggun hampir padam. Hawa malam itu memang dingin sekali. Bagi Han Han tentu saja tidak terasa dingin. Dibandingkan dengan hawa di Pulau Es, hawa dingin malam ini di puncak gunung bukan apa-apa. Akan tetapi ia melihat tubuh gadis yang rebah miring itu agak menggigil. Hian Ceng masih tidur dan mungkin saking dinginnya tadi sampai terucapkan mulutnya. Kedua kakinya ditekuk, kedua lengan memeluk tubuh sendiri, kepala ditundukkan sedalam mungkin sehingga tubuh itu seperti hendak melingkar macam tubuh ular. Han Han merasa kasihan, lalu menambah kayu pada api unggun. Setelah api unggun membesar, ia lalu mengeluarkan satu stel pakaiannya yang tadi sudah dikeringkan, duduknya digeser mendekati Hian Ceng dan diselimutkanlah pakaiannya itu ke atas tubuh Hian Ceng.
Hian Ceng menghela napas senang, tangannya meraih "selimut"
Ini dan tanpa disengaja jari-jari tangannya mencengkeram pula tangan Han Han. Ia menarik "selimut"
Itu makin ke atas dan memeluk pula tangan Han Han. Pemuda ini berdebar jantungnya, akan tetapi tidak berani bergerak, khawatir kalau membangunkan gadis itu sehingga Hian Ceng tentu akan menjadi malu sekali. Maka ia membiarkan saja tangannya dipeluk dan didekap ke atas dada Hian Ceng. Terasa oleh telapak tangannya betapa jantung gadis itu berdetak halus, betapa dada itu turun naik dengan halus pula, tanda bahwa gadis itu sudah pulas. Akan tetapi tangannya didekap dengan kedua tangan oleh gadis itu dan Han Han terpaksa menyandarkan lagi tubuhnya ke dinding, menekan perasaannya.
"mematikan"
Perasaan tangannya yang menumpang dada, lalu ia pun tertidur.
Paginya, kokok ayam hutan dan bau sedap menyengat hidung membuat Han Han terbangun. Ia membuka mata dan cepat menengok ke arah tangannya yang masih terulur ke kanan. Kiranya tangannya itu kini bukan terletak di atas dada Hian Ceng, melainkan di atas tumpukan pakaiannya yang semalam ia selimutkan gadis itu. Ia menengok ke arah kiri dan melihat Hian Ceng dengan wajah segar, agaknya sudah mandi sepagi itu, sedang memanggang daging, agaknya daging kelinci. Mendengar Han Han terbangun, gadis itu menengok dan berkata mencela.
"Engkau sungguh terlalu. Semalam suntuk tidur sambil duduk saja."
Han Han menjadi merah mukanya, teringat betapa semalam ia meletakkan tangan di atas dada orang, perbuatan yang sungguh tidak patut sungguhpun tidak ia sengaja.
"Nona, sepagi ini sudah memanggang daging?"
Nona itu tertawa.
"Lekaslah mencuci muka, daging sudah hampir matang."
Han Han tersenyum dan menyambar tongkatnya, berloncatan ke anak sungai yang mengalir dekat gubuk itu. Setelah mencuci muka dan mulut, ia kembali ke gubuk. Hian Ceng sudah menyiapkan panggang daging dan dua cawan besar berisi air panas. Kiranya di sudut gubuk itu memang tersedia ceret untuk memasak air dan beberapa buah cawan. tersedia ceret untuk memasak air dan beberapa buah cawan. Setelah selesai makan daging yang sedap, mereka menghirup air panas. Han Han berkata,
"Nona, mulai sekarang harap kau hilangkan saja sebutan In-kong itu. Andaikata benar aku pernah menolongmu, namun sudah terbalas impas oleh pertolonganmu yang berkali-kali terhadap aku."
"Habis, disuruh menyebut apa? Kongcu?"
"Ihhh, orang macam aku mana patut disebut Tuan Muda?"
"Ah, ya"
Semestinya aku menyebutmu taihiap."
"Jangan, sebut saja namaku, atau sebut saja twako karena aku lebih tua daripadamu, Nona."
"Ah, mana pantas? Aku menjadi tidak sopan kalau begitu."
"Nona, setelah apa yang kita bersama alami selama ini, menghadapi bahaya maut dan kita sudah seperti sahabat lama, bahkan lebih dari itu, seperti saudara, perlu lagikah kita bersopan-sopan?"
"Hemmm, kalau engkau begitu sopan terhadap aku, In-kong, bagaimana aku tidak seharusnya bersikap sopan kepadamu? Engkau menyebutku Nona, bukankah itu bersopan-sopan namanya? Kalau engkau menyebutku adik, tentu aku akan menyebutmu kakak."
Han Han tersenyum. Memang harus ia akui kalau berhadapan dengan seorang gadis yang masih asing, dia merasa likat dan janggal, malu-malu dan gugup.
"Baiklah, Moi-moi. Baikiah, Ceng-moi (Adik Ceng), dan kau sebut saja Twako kepadaku."
"Twako siapa? Engkau sudah mengetahui namaku, akan tetapi aku belum tahu siapakah sebetulnya penolong besarku ini."
Kembali Han Han tersenyum. Berdekatan dengan Hian Ceng ini benar-benar mendatangkan kegembiraan mengusir mendung kedukaan yang selama ini menyelimuti pikirannya, sejak ia kehilangan Lulu.
"Adikku yang baik, namaku Sie Han. Akan tetapi Lulu dan kawan-kawan baikku menyebutku Han Han."
"Han-twako."
Dengan sikap manja dan genit dibuat-buat sehingga tampak lucu sekali Hian Ceng lalu menjura dan bersoja kepada Han Han. Mereka melanjutkan lagi perjalanan itu, naik turun gunung dan pada keesokan harinya, setelah malam tiba, kembali mereka hermalam di puncak terakhir.
"Sekali ini terpaksa kita harus bermalam di bawah pohon, Twako."
Han Han merobohkan seekor kijang dengan batu dan malam itu perut mereka kenyang dengan daging kijang yang sedap dan gurih, akan tetapi yang dimakan setelah dipanggang tanpa bumbu. Mereka duduk berdekatan di bawah pohon, bersandar batang pohon yang amat besar itu, melepaskan lelah. Setelah kini berganti sebutan, Han Han merasa biasa dan tidak begitu likat lagi terhadap Hian Ceng, dan makin sukalah hatinya kepada gadis ini yang dapat mengobati sakit di hatinya karena rindu kepada adiknya.
"Lima tahun yang lalu, kalau tidak ada Paman Thio Kai, aku dan Ayah telah mati di sini,"
Kata Hian Ceng sambil termenung, teringat akan pengalamannya ketika melakukan perjalanan dengan ayahnya dan lewat serta bermalam di tempat itu.
"Mengapa? Apa yang terjadi?"
Han Han menoleh, melihat betapa rambut gadis itu menjadi kekuningan tertimpa sinar bulan yang telah muncul tinggi.
"Kami diserang halimun beracun...."
"Halimun beracun? Apa itu?"
"Aku sendiri tidak tahu, Twako, akan tetapi menurut keterangan Paman Thio kemudian, halimun beracun itu mengandung inti hawa yang tak mungkin tertahan oleh manusia sehingga manusia yang bertemu dengan halimun beracun di atas gunung tentu akan mati membeku kalau tidak mempunyai pengalaman dan dapat cepat menyelamatkan diri seperti yang dilakukan Paman Thio."
"Apa penolaknya?"
Han Han tertarik sekali.
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kan bisa membuat api unggun?"
"Api akan padam karena kayu bakarnya tiba-tiba menjadi dingin membasah. Untung Paman Thio yang sudah biasa menjelajahi gunung-gunung tinggi bahkan pernah mendaki Gunung Himalaya, sudah cepat menuangkan minyak di atas kayu dan membakarnya. Dengan terus menambah minyak, api unggun itu tidak menjadi padam, dan Paman Thio menyuruh kita menggali lubang secepatnya di tanah dekat api unggun. Kami semua berlindung di dalam lubang dan dihangatkan oleh api minyak. Kami selamat, akan tetapi pada keesokan paginya kami mendapatkan sebelas orang teman yang juga diserang halimun beracun itu telah mati dalam keadaan mengerikan. Mereka itu ada yang masih duduk bersila, ada yang memeluk batang pohon, akan tetapi kesemuanya sudah mati kaku dan semua darah di tubuh mereka membeku."
Han Han tertarik sekali. Ia membayangkan betapa panik dan menderitanya orang-orang yang terserang hawa dingin yang melebihi kekuatan daya tahan tubuh manusia. Orang-orang yang menjadi teman-teman seperjuangan ayah gadis ini tentulah bukan orang sembarangan dan sudah memiliki sin-kang yang kuat, namun tetap saja tidak dapat bertahan terhadap serangan hawa dingin dari halimun beracun itu.
"Twako, celaka....."
Tiba-tiba Hian Ceng berteriak kaget. Han Han cepat menoleh dan baru ia melihat betapa api unggun yang tadi bernyala besar tiba-tiba padam dan tempat itu menjadi gelap, rambut Hian Ceng tidak bersinar kuning lagi, bahkan makin lama tak tampak sedangkan hawa menjadi luar biasa dinginnya.
"Han-twako.... halim.... mun.... beracun.... kita lari saja...., akan tetapi ke mana.... yang tidak ada halimunnya....?"
Suara Hian Ceng sudah menggigil dan agaknya gadis itu takkan dapat bertahan lama. Memang terasa oleh Han Han betapa dinginnya kabut hitam yang disebut halimun beracun ini.
"Han-twako....."
"Ceng-moi, tenanglah. Ada aku di sini, jangan khawatir."
(Lanjut ke Jilid 33)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 33
"Di.... dinginnn.... tak tertahankan...."
"Menggeserlah, jangan tempelkan punggungmu ke pohon. Biar kubantu engkau melawan dingin."
Hian Ceng tadi sudah mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi percuma saja, hawa dingin makin menusuk-nusuk dan telinganya mendengar suara menderu aneh seperti banyak iblis tertawa-tawa.
Ia masih dapat mendengar perintah Han Han maka ia menggeser duduknya ke kiri, mendekati pemuda itu dan tiba-tiba ia merasa betapa sebuah telapak tangan meraba lalu menempel di punggungnya, tepat di tulang punggung. Belum lama telapak tangan pemuda itu menempel di punggungnya, tiba-tiba ia merasa ada serangkum hawa panas menyengat punggung. Ia terkejut dan merintih lirih, akan tetapi kemudian hawa panas membakar itu perlahan-lahan membuyar dan tergantilah hawa hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya dan terus hawa hangat itu berputaran dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun. Serangan hawa yang tadinya amat dingin itu kini terasa hangat dan nyaman sekali sehingga Hian Ceng menjadi mengantuk bukan main. Tanpa disengaja ia menyandarkan tubuhnya ke belakang dan kepalanya berbantal dada Han Han, matanya sukar dibuka lagi saking mengantuknya. Akan tetapi ada bisikan di dekat telinganya.
"Ceng-moi, jangan tidur.... kerahkan sin-kangmu, terima bantuan Yang-kang dariku dan salurkan ke seluruh tubuh, kalau kau tidur, berbahaya....."
Hian Ceng teringat dan menjadi terkejut. Biarpun ia masih menyandarkan kepalanya, kini ia mengerahkan sin-kangnya dan benar saja, hawa hangat itu yang tadinya berhenti kini mengalir kembali. Kurang lebih sejam kemudian, Han Han berkata,
"Sudah aman.... kabut dingin sudah lewat."
Akan tetapi begitu ia menghentikan pengerahan sin-kangnya, Hian Ceng tak dapat menahan kantuknya dan ia sudah tidur nyenyak berbantal pundak Han Han dan karena kepalanya miring maka dahinya menempel dagu Han Han. Pemuda ini menghela napas panjang, berbahaya, pikimya. Benar-benar kekuasaan alam amat dahsyat. Kalau saja ia dahulu tidak tekun berlatih di Pulau Es, agaknya sin-kangnya tidak akan mampu melawan halimun beracun itu. Suara aneh seperti banyak iblis tertawa tadi adalah suara daun-daun yang membeku dan rontok. Kini sinar bulan tampak lagi dan ia menunduk. Wajah Hian Ceng tertimpa sinar bulan, bukan main cantiknya. Jantung pemuda ini berdebar keras dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi panas.
"Alangkah cantiknya.... bibir itu.... begitu dekat, mata tertutup dihias bulu-bulu mata yang bersatu, kelihatan panjang melentik, kedua pipi yang merah, segar bagaikan buah apel.... hawa yang hangat berhembus dari hidung dan mulut yang setengah terbuka. Kalau aku menciumnya, siapa yang tahu?"
Demikian terdengar bisikan hatinya dengan suara merayu dan membujuk.
"Gila engkau."
Hardik suara lain di dasar hatinya.
"Buang jauh-jauh niat busuk, kotor dan cabul itu."
Istana Pulau Es Eps 15 Istana Pulau Es Eps 16 Istana Pulau Es Eps 8