Ceritasilat Novel Online

Pendekar Super Sakti 41


Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 41



Seperti kilat menyambar, Han Han sudah meloncat dari tempat persembunyiannya dan dengan tiga kali berjungkir-balik di udara tubuhnya langsung menukik ke bawah dan menerobos memasuki perkemahan yang terkoyak oleh putaran tongkatnya. Dari atas tubuh Han Han menyambar ke bawah, matanya tajam mencari dan siap untuk langsung menolong Lulu, akan tetapi di sebelah dalam kemah itu kosong. Ketika kaki tunggalnya turun ke atas lantai, tiba-tiba lantai itu amblas ke bawah membuat tubuhnya ikut terjeblos ke bawah dengan cepat sekali. Han Han terkejut, maklum bahwa dia memasuki perangkap yang memang sengaja diatur dan dipasang lawan. Cepat ia mengerahkan tenaga pada kaki tunggal dan tongkatnya, tubuhnya siap mencelat ke atas. Akan tetapi pada saat itu, sebongkah batu besar sekali telah jatuh menimpa ke dalam lubang jebakan, dengan kekuatan ribuan kati menimpa ke arah tubuhnya.

   "Celaka....."

   Han Han maklum bahwa untuk meloncat ke luar tidak mungkin lagi, maka ia sudah siap dengan kedua tangannya untuk menerima batu besar yang menimpanya. Pada saat itu, ia masih dapat melihat berkelebatnya dua bayangan di luar lubang, hanya sekilas pandang saja ia mengenal mereka sebagai Lauw Sin Lian dan Tan Hian Ceng. Bahkan terdengar suara jeritan Sin Lian.

   "Han Han...., Awas....."

   Akan tetapi bayangan itu segera lenyap tertutup batu yang sudah menimpanya, batu yang besarnya persis memenuhi lubang di mana ia terjeblos.

   Sambil mengerahkan sin-kang kepada sepasang lengannya, Han Han mengangkat kedua tangan ke atas setelah menggigit tongkatnya, dengan telapak tangan menghadap ke atas, lalu menerima batu yang berat itu, membiarkan tubuhnya agak merendah lalu mengayun tubuh dan kedua lengan ke atas. Ia harus mengerahkan seluruh tenaga karena tidak ada ruang lagi untuk mengayun batu itu agar daya luncurnya tersalur kembali ke atas. Dadanya terasa sesak dan tahulah ia bahwa tak mungkin ia bertahan terus dalam keadaan seperti itu, menyangga batu yang luar biasa beratnya. Kalau kedua lengannya dan sebuah kakinya tidak kuat, ia akan terhimpit dan tubuhnya akan hancur tertimpa batu. Bahaya yang mengancam keselamatannya sendiri tidaklah begitu menyiksa baginya kalau dibandingkan kekhawatirannya akan keselamatan Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng di atas sana.

   Bukankah tadi terdengar Lulu menjerit begitu mengerikan? Dan Sin Lian bersama Hian Ceng tentu akan terancam musuh yang keji dan kuat. Ia narus dapat cepat menyelamatkan diri sendiri terlebih dulu, kalau tidak, tentu tiga orang gadis itu terancam bahaya hebat. Mulailah Han Han mencurahkan pikiran kepada diri sendiri. Bagaimana ia dapat membebaskan diri dari tindihan batu berat itu? Ia berusaha mendorong batu ke pinggir dan merasa betapa dinding sebelah kiri hanya tanah biasa, namun tentu saja tidak mungkin mendorong batu sebesar itu ke dalam tanah padat. Tenaganya mulai berkurang dan dadanya terasa makin sesak. Jalan satu-satunya adalah menghindarkan diri tertimpa batu dan membiarkan batu itu turun ke dasar lubang. Akan tetapi dia harus dapat mencari ruangan untuk tubuhnya agar tidak terhimpit.

   Setelah berpikir dan memperhitungkan masak-masak, Han Han hanya tahu akan sebuah cara yang harus ditempuhnya. Kalau berhasil, ada harapan selamat, kalau gagal, paling-paling hanya tewas. Akan tetapi kalau dia tewas, bagaimana dengan Lulu, Sin Lian, dan Hian Ceng? Tidak. Dia tidak boleh tewas dalam saat seperti itu karena dia dibutuhkan tiga orang gadis yang terancam bahaya. Han Han mengerahkan seluruh tenaga, mendorong batu dari bawah sehingga batu itu mepet di dinding, kemudian ia menggeser kedua tangannya yang menyangga itu ke pinggir batu sampai tubuhnya mengenai dinding. Jauh lebih berat mendorong batu mepet pada dinding dan menahannya agar tidak jatuh daripada ketika menyangga tadi. Sampai berbunyi tulang-tulang tubuhnya dan dia hampir tidak kuat lagi.

   Han Han memejamkan mata, memanggil semua daya kemauannya, mengumpulkan seluruh tenaga sin-kangnya, kemudian ia menggunakan tubuh belakangnya mendesak dinding sambil tetap mempertahankan batu agar tidak menimpanya. Tanah dinding itu mulai melesak dan tubuhnya mulai amblas di dinding. Sekali lagi ia mendorong sekuat tenaga dan kini tubuhnya sudah sama sekali melesak ke dalam tanah dinding dan batu itu meluncur jatuh ke dasar lubang. Tubuh pemuda itu telah terhindar dari bahaya terhimpit, akan tetapi ia masih belum bebas dari ancaman maut karena kini tubuhnya melesak ke dinding tanah dan karena batu itu lebih tinggi dari tubuhnya, dia tertutup dan tidak ada hawa udara untuk bernapas. Selain ini, juga Han Han muntahkan darah segar akibat pengerahan tenaga yang berlebihan ketika ia menggunakan tenaga untuk memaksa tubuhnya memasuki dinding tanah tadi.

   Pemuda ini cepat menggerakkan tongkatnya menggali ke atas, terpaksa menahan napasnya dan hal ini membutuhkan pengerah sin-kang sehingga dari kedua ujung bibirnya menetes-netes darah segar. Betapapun juga, Han Han yang ingin cepat-cepat bebas untuk menolong Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng, tidak mau menyerah kalah dan berusaha terus menggali tanah di atasnya, dekat batu. Ia menggali sambil menundukkan muka menahan napas karena kalau ia menengadah, tentu matanya akan terserang tanah yang berguguran dihujam tongkatnya. Mengapa Lauw Sin Lian dan Tan Hian Ceng dapat berada di perkemahan itu? Seperti diketahui, dua orang dara perkasa ini adalah dua orang pejuang yang gigih menentang pemerintah Mancu semenjak dahulu dan mereka menggabungkan diri dengan kekuatan penentang penjajah yang berpusat di Se-cuan.

   Setelah penyerbuan tentara Mancu berkurang, bahkan hampir terhenti sama sekali, Hian Ceng yang tadinya berjuang di perbatasan timur dan selatan, mengunjungi Cung-king dan bertemu dengan Sin Lian untuk menanyakan perihal Han Han yang selalu menjadi kenangan. Kedua orang gadis ini bercakap-cakap, saling menceritakan pengalamannya, akan tetapi tentu saja menyembunyikan perasaan hati masing-masing terhadap Han Han. Ketika Hian Ceng bertanya tentang Han Han, dengan hati sedih Sin Lian menceritakan bahwa Han Han telah mengundurkan diri dan pergi dari Se-cuan untuk mencari adiknya. Hian Ceng juga menyatakan penyesalannya betapa usahanya mencari Lulu sia-sia, dan diam-diam Hian Ceng memaki-maki Lulu yang dianggapnya seorang adik yang tak tahu diri dan hanya menyusahkan saja. Akan tetapi karena ia kini tahu bahwa Lulu adik angkat Sin Lian, tentu saja dia tidak berani mengeluarkan makiannya dengan kata-kata.

   Seperti para pejuang suka rela yang lain, yang datang jauh-jauh ke Se-cuan untuk membantu perjuangan, berperang menentang pasukan Mancu kedua orang perkasa ini pun menjadi kesal hatinya ketika pihak musuh menghentikan serbuan dan jarang sekali terjadi pertempuran. Mereka menganggur dan kesal, maka seperti para pejuang lainnya, mereka juga lalu pergi menjelajah seluruh Se-cuan, dan dengan Hian Ceng sebagai petunjuk jalan, Sin Lian terhibur hatinya melakukan perjalanan di sepanjang perbatasan Se-cuan dengan propinsi-propinsi lain yang telah dikuasai musuh. Ketika sedang melakukan perjalanan inilah kedua orang dara perkasa itu mendengar tentang sepak-terjang Ouwyang Seng bersama pasukan istimewanya. Sin Lian menjadi marah sekali mendengar penuturan para pengungsi yang menceritakan segala kekejaman Ouwyang Seng dan pasukannya.

   "Si bedebah, Semenjak kecil dia memang sudah jahat. Orang macam itu harus dienyahkan dari muka bumi."

   Sin Lian berkata sambil mengepal tinjunya.

   "Siapakah panglima musuh kejam yang bernama Ouwyang Seng itu, Enci Lian?"

   Tanya Hian Ceng heran melihat sikap Sin Lian yang seolah-olah sudah mengenal panglima yang dikabarkan kejam oleh para pengungsi itu.

   "Dia adalah putera Pangeran Ouwyang Cin Kok, murid Setan Botak Gak Liat dan dia...."

   Wajah Hian Ceng berubah merah sekali, matanya bersinar-sinar.

   "Aihhh, Kiranya si keparat laknat itukah? Mari kita berangkat mencarinya dan aku ingin menyayat-nyayat tubuhnya dengan pedangku, Enci Lian."

   Kini Sin Lian yang memandang terbelalak.

   "Mengapa engkau membenci dia pula, Adik Ceng?"

   Hian Ceng cemberut dan matanya menyinarkan kemarahan,

   "Kalau tidak ada Han-twako yang menolongku, tentu aku sudah menjadi korban kebiadaban Kongcu hidung babi itu."

   "Lho, kau maksudkan hidung belang, bukan?"

   "Hidung belang saja masih mending, dia hidung babi dan belang pula."

   Hian Ceng bersungut-sungut lalu menceritakan pengalamannya ketika ia ditawan Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan, betapa ia hampir saja diperkosa oleh Ouwyang Seng kalau saja tidak muncul Han Han yang menolongnya. Demikianlah setelah kedua orang gadis itu membicarakan Ouwyang Seng dengan hati penuh kebencian mereka berdua lalu menyelidiki perkemahan pasukan istimewa yang dipimpin Ouwyang Seng.

   Kebetulan sekali bahwa pada malam hari mereka menyelundup ke daerah perkemahan, Ouwyang Seng bersama dua orang pembantunya yang lihai, yaitu Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo, telah mengatur jebakan bagi Han Han sehingga daerah itu sengaja tidak dijaga ketat dan dengan kepandaian mereka, dua orang gadis itu berhasil menyelinap masuk dan melakukan pengintaian di dekat kamar besar yang berwarna kuning. Dari tempat persembunyian mereka, mereka melihat kesibukan Ouwyang Seng dan dua orang datuk kaum sesat sedang mengatur jebakan di dalam kemah. Melihat Ouwyang Seng, naik darah Hian Ceng dan gadis ini sudah ingin menyerbu dengan nekat. Akan tetapi Sin Lian memegang lengannya dan memberi isyarat supaya temannya itu tidak terburu nafsu.

   "Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo itu lihai sekali,"

   Bisiknya.

   "Tak mungkin kita dapat mengalahkan mereka. Kita menanti kesempatan baik...."

   Akan tetapi, sampai malam berganti pagi, pemuda bangsawan yang mereka incar itu selalu bersama nenek dan kakek sakti itu sehingga mereka berdua tidak berani turun tangan. Akan tetapi Sin Lian curiga menyaksikan gerak-gerik mereka, bahkan menjadi heran melihat munculnya seorang gadis yang gerak-geriknya gesit akan tetapi yang melihat pakaian dan tata rambutnya mengingatkan ia akan adik angkatnya, Lulu. Gadis itu jelas bukan Lulu, akan tetapi mengapa gadis itu seolah-olah menjadi saudara kembar Lulu dengan pakaian, tata rambut, dan gerak-gerik yang serupa benar?

   Dalam keheranannya, Sin Lian menjadi makin curiga dan mengambil keputusan untuk menanti dan mengintai terus. Dia dan Hian Ceng sama sekali tidak tahu bahwa pagi hari itu Han Han telah muncul pula dalam penyelidikannya, mengintai tak jauh dari semak-semak di mana mereka bersembunyi. Mereka hanya melihat gadis yang seperti Lulu itu tiba-tiba tampak berkelebat di depan kemah, lalu meloncat ke dalam kemah disusul suara jeritan nyaring. Peristiwa ini masih membuat mereka berdua terheran-heran, akan tetapi ketika mereka melihat Han Han meloncat dan berjungkir-balik di udara, kemudian menyerbu ke dalam kemah barulah mereka terkejut dan Sin Lian yang cerdik lantas dapat menduga bahwa mereka semua itu telah mengatur jebakan untuk Han Han.

   "Han-twako....."

   Hian Ceng berbisik ketika ia mengenal tubuh yang meloncat tinggi itu.

   "Celaka, dia terjebak. Mari....."

   Sin Lian sudah mendahului Hian Ceng dan kedua orang gadis itu cepat meloncat dan lari ke tenda kuning, menguakkan pintu tenda. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka bahwa kemah itu kosong dan kini terdapat lubang besar. Han Han berada di dasar lubang dan sebongkah batu besar menimpa turun. Mereka hanya dapat berteriak tak mampu menolong dan dalam beberapa detik saja batu itu telah menutupi lubang dan mereka tidak tahu apa yang terjadi dengar Han Han.

   "Ha-ha-ha-ha"

   Memasang perangkap untuk seekor harimau ganas, yang didapat bukan hanya harimau, akan tetapi juga dua ekor domba yang berdaging lunak. Ini namanya untung besar, ha-ha-ha."

   Sin Lian dan Hian Ceng mencebut pedang dan meloncat keluar dari dalam kemah itu. Kiranya Ouwyang Seng yang mengejek mereka telah berdiri di situ bersama Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo. Hian Ceng adalah seorang gadis yang memiliki keberanian luar biasa. Biarpun ia maklum bahwa kepandaian Ouwyang Seng amat hebat, namun melihat pemuda bangsawan yang dibencinva ini, dia sudah tidak dapat menahan sabar lagi dan sambil memaki ia sudah menerjang dengan tusukan pedangnya. Ouwyang Seng tertawa mengejek. Betapapun cepat gerakan Hian Ceng, namun dia lebih cepat lagi mengelak sambil tertawa-tawa mengejek. Hian Ceng menjadi makin marah dan terus menyerang secara bertubi-tubi yang selalu mengenai tempat kosong, bahkan dia mendesak dan mengejar terus ketika Ouwyang Seng sambil melompat memancing gadis itu menjauhi kawannya.

   Adapun Sin Lian yang tahu bahwa kakek dan nenek yang berdiri tenang itu jauh lebih berbahaya dan lihai, membiarkan Hian Ceng menyerang Ouwyang Seng, sedangkan dia tanpa banyak cakap lagi lalu menggerakkan pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang hebat, menyerang Ma-bin Lo-mo. Kakek ini mendengus dan tentu saja dia dapat menghindarkan serangan Sin Lian hanya dengan mengibaskan ujung lengan bajunya yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat membuat pedang yang menyerang itu menyeleweng. Namun Sin Lian tidak menjadi gentar dan terus melanjutkan penyerangannya dengan gerakan cepat sekali, mainkan jurus-jurus dari Chit-seng-sin-kiam sehingga pedangnya berubah menjadi gulungan sinar terang dan mengeluarkan bunyi berdesing-desing.

   "Hemmm, kiam-sut (ilmu pedang) yang bagus."

   Ma-bin Lo-mo memuji sambil mengelak, dan dia tidak ingin cepat-cepat merobohkan gadis ini karena dia tertarik oleh pedang itu, hendak menyaksikannya lebih dulu.

   "Hi-hik, ilmu pedang yang dasarnya adalah Ilmu Silat Siauw-lim-pai. Tentu inilah Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang terkenal itu, ciptaan Siauw-lim Chit-kiam. Si Setan Botak Gak Liat pernah memuji-muji ilmu pedang ini kepadaku."

   Kata Toat-beng Ciu-sian-li sambil minum arak dari gucinya, matanya menyipit memperhatikan gerakan ilmu pedang yang dimainkan Sin Lian. Sin Liat menjadi terkejut sekali, akan tetapi ia hanya dapat memperhebat serangannya secara nekat. Kecemasannya memuncak ketika ia mendengar Hian Ceng mengeluh dan dengan kerling matanya ia melihat Hian Ceng sudah ditawan oleh Ouwyang Seng, dipegang kedua pergelangan tangannya dan dipanggul oleh Ouwyang Seng yang membawanya memasuki sebuah kemah sambil tertawa-tawa. Kedua kaki Hian Ceng menendang-nendang dan mulutnya memaki-maki, akan tetapi ia tidak dapat terlepas.

   Kemarahan membuat Sin Lian makin nekat dan penyerangannya makin hebat. Akan tetapi makin hebat dia menyerang, hal ini agaknya membuat Ma-bin Lo-mo yang selalu mengelak atau menangkis dan nenek yang menonton sambil minum arak itu makin gembira. Betapapun Hian Ceng meronta-ronta dan memaki-maki, dia tidak berdaya menghadapi Ouwyang Seng yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padanya. Akhirnya dara yang biasanya riang gembira ini tertotok dan hanya dapat mengeluh dan menangisi nasibnya yang malang. Di dalam tenda itu terjadilah perkosaan yang keji, perbuatan kejam dan ganas yang hanya akan dapat dilakukan oleh seorang manusia yang sudah menjadi buta oleh nafsu dan sudah bukan manusia lagi, melainkan iblis sendiri yang menguasainya.

   "Ha-ha-ha-ha, dahulu engkau terlepas dari tanganku, sekarang akhirnya engkau menyerah dan menjadi milikku. Siapa yang akan menolongmu, manis?"

   Ouwyang Seng manusia biadab itu mengejek sambil tertawa memandang korbannya yang terengah-engah seperti hendak pecah dadanya, air matanya bercucuran dan keadaannya amat mengenaskan.

   "Ha-ha, aku takkan membunuhmu, manis. Sayang kalau dibunuh, aku belum bosan padamu. Nanti kutemani lagi, aku hendak melihat temanmu itu dan...."

   "Ouwyang Seng manusia binatang."

   Tiba-tiba Ouwyang Seng terbelalak kaget ketika tiba-tiba muncul Han Han di depannya. Bagaimanakah pemuda buntung yang sudah terjebak dan terhimpit batu besar itu tiba-tiba bisa muncul di depannya? Setannyakah ini?

   Tentu saja bukan. Yang muncul itu adalah Han Han. Setelah dengan susah payah menggali dinding tanah di atasnya, akhirnya Han Han berhasil membuka lubang di sebelah atas batu yang menutup setengah lubang sumur itu dan ia cepat meloncat ke atas. Terlalu lama ia tertutup tadi dan ia sungguh cemas akan nasib Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng. Ia mengharap mudah-mudahan tidak terlambat, maka cepat ia meloncat keluar dari kemah palsu itu, tidak mempedulikan rasa sesak dan sakit di dalam dadanya. Ketika ia tiba di luar kemah, ia melihat Sin Lian menyerang Ma-bin Lo-mo dengan pedangnya. Kakek itu seperti seekor kucing mempermainkan tikus, tidak membalas, hanya menangkis dan mengelak sambil berulang-ulang memuji keindahan ilmu pedang yang dimainkan Sin Lian. Adapun Sin Lian yang melihat munculnya Han Han, cepat menjerit,

   "Han Han, Cepat kau tolong Hian Ceng di kemah itu."

   Han Han melihat keadaan Sin Lian memang belum terancam, maka ia berkelebat cepat ke arah kemah dan mendengar suara ketawa Ouwyang Seng. Begitu ia menerobos memasuki tenda dan melihat keadaan Hian Ceng, hatinya seperti diremas rasanya. Dia telah terlambat. Sekali lirik saja Hian Ceng, maka kemarahannya membuat wajah Han Han menjadi beringas, sepasang matanya terbelalak seperti mengeluarkan api ketika ia menatap wajah Ouwyang Seng. Apalagi darah yang tadi keluar dari ujung-ujung bibirnya masih belum dibersihkan, rambutnya masih kotor dengan tanah dan riap-riapan, wajah Han Han pada saat itu seperti wajah maut sendiri. Ouwyang Seng gemetar. Wajahnya pucat dan ia terbelalak, meraba gagang pedang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya masih berusaha mengancingkan bajunya yang baru saja ia pakai kembali.

   "Ouwyang Seng.... kau bukan manusia.... kau.... iblis.... tidak berhak hidup lagi setelah apa yang kau lakukan terhadap Hian Ceng....."

   Han Han bicara dengan bisik-bisik parau, akan tetapi bagi telinga Ouwyang Seng terdengar makin menyeramkan dan lebih menakutkan daripada kalau pemuda buntung itu berteriak-teriak. Namun pemuda bangsawan ini teringat bahwa di luar terdapat dua orang pembantunya yang sakti, maka hatinya menjadi besar dan ia berseru,

   "Ji-wi Locianpwe lekas ke sini, Si Buntung di sini."

   Akan tetapi ia cepat mengelebatkan pedangnya ketika melihat tubuh Han Han bergerak ke depan menerjangnya.

   Cepat bukan main gerakan Han Han yang sedang marah ini sehingga Ouwyang Seng secara ngawur saja menyambut berkelebatnya tubuh Han Han itu dengan sabetan pedangnya. Pemuda bangsawan ini mengeluarkan jerit kesakitan, pedangnya terlepas jatuh ke atas lantai karena pergelangan tangan kanannya patah tulangnya ketika bertemu dengan tongkat, kemudian ia terbanting roboh kena disambar tamparan telapak tangan kiri Han Han yang amat kuat. Pemuda itu mengerang kesakitan, berusaha bangkit akan tetapi roboh lagi karena tamparan itu membuat dua buah tulang iganya remuk. Sambil menahan sedu-sedan yang naik ke lehernya dari dalam dada menyaksikan keadaan tubuh Hian Ceng yang masih telanjang bulat, Han Han cepat menggunakan jari tangan kanannya membebaskan totokan Hian Ceng.

   Gadis itu menjerit dan menangis sedih, meloncat bangun, terhuyung dan menyambar pedang Ouwyang Seng yang terlepas tadi. Han Han hanya dapat memandang dengan hati hancur, kemudian malah menundukkan mukanya, tidak kuat lebih lagi memandang tubuh yang masih telanjang bulat itu. Hian Ceng mengeluarkan pekik mengerikan, pedang di tangannya berkelebat dan putuslah leher Ouwyang Seng disambar pedangnya sendiri. Gadis itu masih terus membacoki mayat Ouwyang Seng sampai menjadi puluhan potong, darah berhamburan memenuhi ruangan dan lantai, kemudian Hian Ceng menggerakkan tangan yang memegang pedang ke arah lehernya sendiri. Seperti digerakkan sesuatu yang aneh, Han Han mengangkat muka memandang dan wajahnya menjadi pucat, mulutnya berseru,

   "Ceng-moi....."

   Ia menubruk maju, namun kembali untuk kedua kalinya ia terlambat. Pedang itu telah menyambar leher sampai hampir putus. Han Han terisak merangkul Hian Ceng, lalu berlutut menyangga punggung dan leher yang terluka hebat. Hian Ceng membuka matanya yang masih berlinangan air mata akan tetapi bibirnya tersenyum. Han Han merasa seperti jantungnya ditarik-tarik, sakit sekali rasanya menyaksikan betapa sinar mata gadis itu sama benar dengan sinar mata mendiang Soan Li ketika berangkat mati dalam pelukannya.

   "Ceng-moi.... Ceng-moi....."

   Han Han berbisik dan mendekap tubuh itu, tidak peduli betapa darah gadis itu yang mengucur keluar dari leher membasahi seluruh bajunya. Air matanya sendiri menetes-netes ke muka Hian Ceng yang kini memperlebar senyumnya dan makin memucat wajahnya. Beberapa detik kemudian Hian Ceng tewas dalam pelukan Han Han dengan mulut masih setengah terbuka, tersenyum"

   Kekejangan terakhir yang disusul kelemasan tubuh yang dipeluknya, membuat Han Han merintih, lalu perlahan-lahan ia merebahkan tubuh Hian Ceng ke atas lantai, menarik selimut yang berada di atas pembaringan, menutup jenazah itu dengan selimut, kemudian ia terisak dan meloncat keluar karena teringat akan keselamatan Sin Lian yang menghadapi lawan tangguh.

   "Sin Lian....."

   Lengking ini hebat sekali keluar dari mulut Han Han ketika tubuhnya mencelat jauh ke depan, ke arah pertandingan itu.

   Lengking yang keluar mengandung kemarahan memuncak, kecemasan mendalam dan kedukaan yang mengguncang seluruh perasaan hati Han Han. Dapat dibayangkan betapa marah dan kaget
(Lanjut ke Jilid 39)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 39
hatinya ketika ia melihat Ma-bin Lo-mo berhasil melibat ujung pedang Sin Lian dengan ujung lengan bajunya, dan dengan pengerahan Swat-im Sin-ciang yang amat kuat, Iblis Muka Kuda ini dengan tiba-tiba membalikkan pedang itu dengan kuatnya sehingga pedang di tangan Sin Lian itu membalik dan menusuk dada dara itu sampai tembus. Sin Lian terhuyung-huyung dan matanya terbelalak memandang gagang pedangnya sendiri di depan dada. Han Han yang mencelat dengan kecepatan seperti sinar menyambar itu telah menukik ke arah Ma-bin Lo-mo dan menggerakkan tongkatnya menusuk dada kakek itu, sedang tangannya ia pukulkan ke arah kepala Toat-beng Ciu-sian-li.

   "Prakkk, Desss....."

   Tongkat di tangan Han Han patah-patah bertemu dengan golok melengkung di tangan Ma-bin Lo-mo, tangan kanannya terbentur dengan lengan Toat-beng Ciu-sian-li yang menangkis pukulannya tadi.

   Kakek dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget dan muka mereka menjadi pucat ketika tubuh mereka terlempar ke belakang dan terbanting ke tanah, akan tetapi mereka bergulingan dan sudah meloncat bangun kembali. Han Han yang sudah terluka sebelah dalamnya ketika ia menghabiskan tenaga mengangkat batu, kini menggunakan serangan dahsyat yang bertemu dengan sin-kang kedua lawannya yang kuat pula, maka tongkatnya patah-patah dan biarpun ia tidak terlempar, namun ujung mulutnya kembali mengucurkan darah segar. Han Han tidak mempedulikan dirinya sendiri dan berloncatan ke dekat Sin Lian. Gadis itu masih berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang dan kini ia mengeluh.

   "Han Han.... ohhhhh, Han Han...."

   Gadis itu juga mengucurkan darah dari mulutnya dan tubuhnya tentu roboh kalau Han Han tidak cepat menyambarnya, memeluk dan memondongnya lalu dibawa berloncatan ke bawah pohon. Dengan menyandarkan punggung di pohon dan memondong tubuh Sin Lian, Han Han menangis.

   "Sin Lian... aduh Sin Lian... kau... kau ampunkan aku, Sin Lian..., Aku terlambat menyelamatkanmu""

   Akan tetapi Sin Lian tersenyum sehingga tampak aneh sekali. Dalam keadaan seperti itu, dengan wajah yang makin pucat sehingga darah yang mengalir ke pipinya kelihatan amat merah, pedangnya menancap di ulu hati, gadis ini masih dapat tersenyum. Perlahan-lahan lengan kiri Sin Lian yang tergantung itu diangkat dengan lemah, kemudian jari-jari tangan gadis itu mengusap air mata Han Han mengusap darah di pinggir mulut, membelai rambut yang riap-riapan itu dan dibereskannya ke belakang, mulutnya berbisik-bisik.

   "Han Han.... ohhh, Han Han.... aku rela.... aku senang mati.... dalam pelukanmu...., Han Han.... kau.... kau menangisi aku....?"

   Han Han merasa jantungnya seperti diremas-remas. Baru saja menghadapi kematian Hian Ceng yang masih melukai hatinya, kini ia memeluk tubuh Sin Lian yang sedang menghadapi kematian pula. Kepalanya menjadi pening, air matanya menetes-netes dan melihat betapa sepasang mata itu memandangnya penuh harap, naik sedu-sedan di kerongkongannya dan tak kuasa ia mengeluarkan suara, maka ia hanya mengangguk-angguk dan terisak membenamkan mukanya di leher yang berkulit putih halus itu. Ia merasa betapa leher itu berdenyut-denyut dan merasa betapa jari-jari tangan halus itu membelai rambutnya, dengan mesra mendorong mukanya sehingga terpaksa ia mengangkat muka memandang wajah yang makin layu.

   "Han.... Han.... aku.... cinta padamu...., aku rela mati.... kau tolong Hian Ceng.... dia.... gadis baik yang mencintamu pula.... selamat tinggal...."

   Kepala Sin Lian terkulai ke belakang.

   "Sin Lian.... aduhhh, Sin Lian....."

   Han Han tak kuasa menahan kesedihannya yang datang bertumpuk-tumpuk, pukulan batin yang datang bertubi-tubi dan ia menangis, mengguguk dan kalau dia tidak bersandar pada batang pohon, tentu ia sudah roboh karena seluruh tubuhnya menggigil. Melihat keadaan pemuda yang menangis dan agaknya tidak ingat apa-apa lagi itu, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li melihat kesempatan baik. Mereka memang merasa jerih menghadapi pemuda buntung yang amat sakti itu, akan tetapi kini mereka melihat kesempatan untuk menerjangnya. Akan tetapi tiba-tiba Toat-beng Ciu-sian-li berbisik,

   "Celaka.... bocah pengacau itu datang....."

   Telunjuknya menuding dan Ma-bin Lo-mo yang memegang golok menoleh.

   "Kak Han Han....."

   Lulu datang berlari seperti terbang cepatnya. Dari jauh ia sudah melihat keadaan Han Han yang memondong mayat seorang gadis yang belum ia kenal siapa.

   "Han-twako....."

   Ia menjerit lagi melihat Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng mempercepat larinya, bahkan kini berloncatan jauh sehingga tiba di depan Han Han. Han Han tersentak kaget. Seperti baru bangun dari mimpi ia teringat dan sedetik hatinya lega dan girang mendapat kenyataan bahwa adiknya selamat, akan tetapi segera timbul kemarahan dan penyesalannya. Ia memandang Lulu melalui air matanya, mukanya pucat seperti mayat. Kini Lulu membelalakkan mata memandang mayat gadis yang masih dipondong kakaknya itu, lalu menjerit,

   "Enci Lian....! Dia kenapa....?"

   Ia merenggut tubuh itu dari kedua lengan Han Han, diletakkannya di atas tanah, diguncang-guncangnya pundak Sin Lian.

   "Enci Lian....! Ooohhhh, dia.... dia.... kenapa....? Mati...., Enci Lian mati....."

   Lulu memeluk mayat itu dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia mengangkat muka memandang Han Han yang masih berdiri bersandar pada batang pohon, melihat muka yang pucat dan basah air mata itu, melihat pakaian di bagian dada dan perut penuh darah, melihat darah di ujung mulut, segera ia meloncat bangun memeluk kakaknya.

   "Han-koko....! Kau.... kau kenapa....? Kau terluka....?"

   Hatinya penuh kekhawatiran, suaranya menggetar.

   "Ah, Lulu anak nakal....."

   Han Han merangkul adiknya.

   "Ke mana saja engkau pergi? Sungguh mendatangkan banyak kedukaan di hatiku. Lulu, aku girang melihat engkau selamat dan sehat. Sekarang pergilah, adikku. Pergilah tinggalkan aku, jangan dekat-dekat di sini, berbahaya sekali. Pergilah cari Sin Kiat, dia seorang yang baik sekali dan amat cinta kepadamu. Pergilah tinggalkan aku bersama mayat Sin Lian....."

   "Koko! Apa kau bilang? Aku tidak mau meninggalkan kau lagi, kau sendiri mau apa?"

   "Aku akan mengadu nyawa dengan dua iblis itu."

   "Tapi engkau terluka, Jangan khawatir, ada Lulu di sini. Tidak ada seorang pun iblis yang akan berani mengganggumu."

   "Lulu, adikku sayang, satu-satunya orang yang kukasihi di dunia ini.... Adikku, pergilah, aku rela mati asal engkau selamat dan bahagia. Sin Lian.... dia.... demi cintanya kepadaku.... dia telah berkorban untuk kakakmu ini.... dia berkorban nyawa dalam usahanya menolongku. Tidak bolehkah aku menemaninya mati untuk membalas budinya?"

   "Tidak."

   Dan tiba-tiba Lulu membalikkan tubuh menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li lalu menundingkan telunjuknya.

   "Hemmm, kalian dua orang tua bangka yang melukai kakakku dan membunuh enciku, ya? Aku tidak akan mengampunimu."

   "Lulu, jangan...., Jangan mencampuri urusan ini."

   Han Han yang mengkhawatirkan keselamatan Lulu, cepat menubruk dan menyambar lengan adiknya, ditarik ke belakang.

   "Akulah lawan mereka....."

   Han Han hendak menyerbu, akan tetapi begitu ia mengerahkan sin-kang untuk meloncat, ia mengeluh dan tubuhnya roboh terguling, pingsan di samping mayat Sin Lian.

   "Koko...., Han-koko...., Jangan kau mati.... jangan tinggalkan aku."

   Lulu menjadi bingung dan menangis sambil memeluki dada Han Han, mengguncang-guncang pundaknya, tidak peduli lagi akan keadaan sekitarnya. Akan tetapi Han Han tidak bergerak, mukanya pucat seperti mayat. Baru Lulu sadar ketika sebuah tangan halus namun kuat memegang dan mengguncangkan pundaknya. Ia mengangkat mukanya dari dada Han Han, menoleh dan melihat Nirahai telah berdiri di situ, dengan wajah lembut akan tetapi angkuh, sedangkan tempat itu telah dikurung oleh banyak pasukan Mancu. Lulu meloncat bangun, mencabut pedangnya dan melintangkan pedang di depan dada sambil berkata,

   "Suci! Aku bersumpah, disaksikan bumi dan langit bahwa kalau engkau datang hendak mencelakai Han-koko, aku tidak sudi menjadi sumoimu lagi dan aku akan melawanmu sampai mati di depan kakimu."

   Nirahai tersenyum, kagum menyaksikan kesetiaan dan cinta kasih sumoinya terhadap Han Han. Dia datang dan sudah mendengar akan semua yang terjadi di situ, melihat tubuh Ouwyang Seng yang hancur lebur di dalam kemah di samping jenazah Hian Ceng yang masih telanjang, ia dapat menduga apa yang terjadi, mendengar pula betapa Han Han berhasil lolos dari himpitan batu besar yang membuatnya kagum bukan main. Kini melihat sumoinya, ia diam-diam menjadi kagum dan terharu. Ketika melihat sikap Lulu, ia tersenyum menggeleng kepala dan berkata,

   "Sumoi, simpanlah pedangmu. Aku tidak akan membunuh kakakmu. Pula, kalau engkau melawan aku, apakah kau kira dengan cara itu engkau akan dapat melindungi kakakmu? Sama dengan membunuh diri."

   "Aku tidak takut mati. Aku bangga mati membela Han-koko, aku bahagia kalau mati bersama kakakku."

   Nirahai memperlebar senyumnya.

   "Mengapa bicara tentang mati kalau masih hidup? Aku tidak akan membunuh kalian, akan tetapi karena dia membunuh Ouwyang-kongcu, aku harus menawannya. Engkau boleh ikut dan merawatnya. Lihat, dia terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya, kalau tidak mendapat perawatanmu, dia bisa mati."

   Mendengar ini, Lulu menyimpan pedangnya dan menubruk Han Han lagi, penuh kekhawatiran.

   "Biarlah dia digotong ke dalam dan kau boleh merawatnya, akan tetapi kalian adalah orang-orang tawananku,"

   Kata Nirahai dan terpaksa Lulu menyerah karena memang ia tidak ingin nekat membiarkan kakaknya mati dan dia sendiri melawan sampai mati kalau memang masih ada jalan untuk menghindari kematian. Dia sudah mengenal Nirahai dan tahu sedalam-dalamnya bahwa sucinya itu pada hakekatnya bukan seorang kejam, malah sebaliknya. Nirahai adalah seorang dara yang berbudi mulia dan lemah lembut, hanya terlalu "matang"

   Mengurus tugas dan membantu pemerintah. Han Han dan Lulu dimasukkan dalam tahanan yang khusus dibuat di daerah perbatasan. Dalam sebuah kamar yang cukup kuat dan besar, dengan dua pembaringan yang baik dan perlengkapan secukupnya,

   Akan tetapi kamar itu terbuat dari tembok tebal dengan pintu bertirai besi yang masih dijaga oleh para penjaga di luar pintu. Lulu dibiarkan merawat Han Han, bahkan Nirahai mengirim obat-obatan yang dimasak sendiri oleh Lulu di dalam kamar, juga apa saja yang dibutuhkan Lulu dapat diminta melalui penjaga. Namanya saja mereka menjadi tahanan, akan tetapi mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu agung. Sampai sebulan lamanya Han Han berada di dalam kamar tahanan bersama adiknya. Ia telah sehat kembali dan diam-diam mereka berdua berterima kasih kepada Nirahai, terutama sekali ketika mereka bertanya tentang kedua jenazah Hian Ceng dan Sin Lian, dijawab bahwa jenazah kedua orang gadis itu telah dimakamkan sepantasnya oleh Nirahai, bukan disia-siakan seperti mayat-mayat musuh.

   "Kini pemerintah tidak lagi memusuhi para orang gagah. Dua orang dara perkasa itu adalah orang-orang gagah yang patut dihormati. Makam mereka terawat baik dan diberi nisan sehingga akan dapat dicari dan dikenal semua orang, terutama keluarga mereka."

   Demikian Nirahai menyampaikan pesan melalui seorang perwira. Anehnya, semenjak kedua orang kakak beradik itu ditahan, Nirahai tidak pernah menengok.

   "Lulu, kini aku telah sehat kembali. Kita masing-masing telah mendengar semua pengalaman dan menurut pendapatku, kita berdua telah salah jalan yang biang keladinya ditimbulkan oleh perpisahan kita. Kalau kita dahulu tidak berpisah, tak mungkin engkau sampai terlibat dalam urusan perang, demikian pula aku. Semenjak kecil kita sudah sadar bahwa permusuhan tak boleh dibesar-besarkan. Engkau keturunan Mancu, dan aku seorang pribumi, namun kita telah menjadi kakak beradik. Engkau kehilangan orang tua yang dibunuh para pejuang, aku kehilangan orang tua yang dibunuh perwira-perwira Mancu, namun kau tidak mendendam kepada bangsaku dan aku tidak mendendam kepada bangsamu. Mengapa kita sampai terlibat sehingga kita menjadi bentrok sendiri? Ahhh, adikku sayang, aku telah bersikap terlalu kepadamu, maukah engkau memaafkan aku, Lulu?"

   Lulu menangis lalu berlutut di depan Han Han yang duduk di atas pembaringannya, menangisi kaki yang buntung.

   
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ahh, Han-koko, jangan kau bicara begitu. Akulah yang mohon ampun kepadamu, Koko. Aku adikmu yang nakal, yang selalu tidak menurut kata-katamu, menimbulkan banyak kesengsaraan padamu. Kakimu.... ah, kakimu sampai buntung sebelah.... Koko.... aku akan rela kalau boleh mengganti kakimu yang buntung....."

   Lulu memeluk kaki buntung yang tinggal paha saja itu, dan menangis terisak-isak. Tiba-tiba Han Han tertawa.

   "Ha-ha-ha, bocah lucu."

   Ia mengangkat tubuh Lulu sehingga gadis itu bangkit berdiri di depan Han Han yang masih duduk dan memeluk pinggang adiknya dengan kedua lengan, sedangkan kedua lengan Lulu merangkul pundak kakaknya. Lulu juga tertawa, apalagi ketika Han Han berkata,

   "Bocah lucu, Aneh sekali. Andaikata engkau bisa memberikan kakimu dan dapat dipasang di tubuhku, tentu kaki darimu lebih pendek, kakiku pendek sebelah, malah buruk sekali, kalau jalan terpincang-pincang.... ha-ha-ha."

   Keduanya tertawa akan tetapi Lulu melihat betapa kakaknya itu biarpun mulutnya tertawa, matanya menitikkan air mata. Tahulah ia bahwa kakaknya itu terharu dan hanya memaksa diri tertawa untuk menghiburnya, maka ia merangkul leher dan menangis juga. Keduanya lalu bertangisan.

   "Han-koko.... dadamu berdebar-debar kencang....."

   Tiba-tiba Lulu berkata sambil melepaskan rangkulannya. Han Han terpaksa tersenyum. Adiknya ini tetap nakal seperti dulu, jujur polos blak-blakan tanpa tedeng aling-aling kalau bicara. Tanpa disadari, ucapan Lulu menikam ulu hatinya dan membuatnya sadar. Ketika berpelukan tadi, rasa haru yang aneh, rasa bahagia yang luar biasa seolah-olah ia memeluk surga dan membuat jantungnya berdebar keras. Wajahnya menjadi merah sekali dan cepat ia berkata.

   "Lulu adikku, engkau tahu betapa kasih sayangku kepadamu. Kebahagiaanku bersembunyi di balik kebahagiaanmu, Aku baru akan merasa lega dan senang kalau engkau sudah ada yang melindungi, ada yang mencintamu sampai selama hidupmu. Karena itu, engkau harus mentaati kehendakku, Lulu. Engkau akan kubawa pergi mencari Sin Kiat, karena aku hendak menjodohkan engkau dengan dia. Sin Kiat adalah seorang pemuda yang baik, tampan, gagah perkasa, dan dia amat mencintamu."

   Lulu mengerutkan keningnya dan tidak menjawab sampai lama. Kemudian ia menarik napas panjang, mengangkat muka yang tadi ditundukkan, memandang wajah kakaknya dan berkata,

   "Aku sudah tahu bahwa dia mencintaku Koko, dan aku tahu pula bahwa dia seorang yang amat baik dan gagah perkasa."

   "Ha..... Kalau begitu kiranya diam-diam engkau telah jatuh cinta kepadanya, bukan?"

   Akan tetapi Lulu tidak tertawa atau tersenyum malu, bahkan masih cemberut dan alisnya berkerut. Ia menggeleng kepala dan menghela napas panjang sebelum menjawab lirih,

   "Aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, Koko. Memang aku suka kepadanya dan kagum, akan tetapi cinta? Ah, aku tidak tahu...."

   Koko, aku.... aku tidak mau dikawinkan dengan siapa pun juga."

   Han Han melengak kaget,

   "Eh, Mengapa? Apakah engkau sudah mempunyai pilihan lain? Bocah nakal, kalau memang engkau mencinta seorang pemuda lain, asal dia itu benar orang baik-baik, kakakmu tidak akan memutuskan cintamu."

   Lulu menggelengkan kepalanya pula.

   "Pendeknya aku tidak mau menikah, Koko."

   "Engkau harus mau."

   "Tidak mau."

   Kembali kakak beradik ini beradu pandang, sama-sama membelalak lebar penuh kekerasan hati, Han Han yang lebih dulu menghalau kemarahannya dan ia menarik napas panjang.

   "Ah, sungguh aku yang tidak tahu diri. Ada hak apakah aku hendak memaksamu? Aku hanya seorang kakak angkat. Maafkanlah, Lulu, aku selalu lupa bahwa aku tidak berhak atas dirimu, akan tetapi semua itu kulakukan di luar kesadaranku, seolah-olah engkau adalah adik kandungku, aku.... aku hanya ingin melihat engkau bahagia.... hatiku selalu akan menjadi risau dan sengsara, selalu cemas memikirkan engkau kalau engkau belum menjadi isteri seorang yang dapat kupercaya penuh."

   Kekerasan Lulu pun luluh dan ia merangkul kakaknya.

   "Koko bukan...., bukan seperti yang kau sangka, bukan sekali-kali aku hendak merendahkan permintaanmu dan tidak suka mematuhi perintahmu. Tidak, Koko. Engkau pun merupakan pengganti orang tuaku, dan aku telah berkali-kali membikin susah hatimu, Koko, aku ingin sekali dapat menyenangkan hatimu, aku amat kasihan kepadamu dan aku.... aku...."

   Lulu terisak menangis. Besar sekali rasa hati Han Han ketika ia mengelus-elus rambut panjang hitam dan berbau harum itu.

   "Lulu, adikku yang manis, yang cantik jelita...."

   Tiba-tiba Lulu melepaskan rangkulannya, menatap tajam dan bertanya,

   "Han-koko, benarkah engkau menganggap aku manis dan cantik jelita?"

   Han Han tersenyum, memandang wajah adiknya itu. Setelah lama tidak berkumpul, kini melihat wajah itu begitu dekatnya, makin nyatalah kecantikan adiknya, kecantikan Nirahai, dengan bentuk-bentuk yang sama, terutama sekali sepasang matanya.

   "Engkau cantik manis, adikku. Terutama sekali sepasang matamu, seperti sepasang bintang di angkasa bercahaya, seperti sepasang mata seekor burung hong, dan.... dan.... juga mulutmu...."

   Ia terhenti, merasa terlanjur dalam pujiannya.

   "Aaahhhhh, lanjutkan, Koko, bagaimana dengan mulutku?"

   Lulu bertanya, cemberut dan timbul kembali sifat manjanya seperti ketika ia berada di Pulau Es dahulu. Terpaksa Han Han melanjutkan sambil memandang mulut adiknya, sepasang bibir yang garis pinggirnya jelas seperti dilukis, yang berkulit tipis merah dan selalu basah, berdaging penuh, kalau tersenyum terbuka sedikit tampak ujung gigi seperti mutiara berbaris rapi menyembunyikan lidah kecil merah yang selalu bergerak-gerak dalam gua kemerahan itu.

   "Mulutmu.... hemmm.... seperti telaga madu, menjadi sumber kemanisan yang tiada habisnya."

   Mata yang lebar itu berseri-seri dan Lulu kembali merangkul lalu mencium pipi kakaknya seperti dulu sering kali dilakukannya ketika mereka berdua masih tinggal di Pulau Es.

   "Terima kasih, Koko, terima kasih. Engkau semulia-mulianya manusia bagiku, engkau satu-satunya manusia yang paling kucinta di dunia ini."

   Han Han kembali menggunakan kemauannya untuk menekan debaran aneh pada jantungnya, lalu ia memegang kedua pundak Lulu, didorongkan dan dipandangnya wajah adiknya.

   "Lulu, aku hanya mempunyai satu tujuan, yaitu melihat engkau bahagia. Karena itu, engkau hendak kuajak mencari Sin Kiat. Kenapa engkau menolak?"

   "Koko, kalau aku dijodohkan dengan orang lain, apakah aku harus ikut dengan suamiku?"

   "Tentu saja."

   "Dan engkau akan meninggalkan aku?"

   "Hemmm.... sudah semestinya begitu, adikku."

   "Kalau begitu aku tidak mau, Aku tidak mau."

   Lulu menangis lagi. Han Han memejamkan mata, menguatkan hatinya dan bertanya dengan suara tegas,

   "Kenapa, Lulu?"

   "Karena aku tidak mau berpisah lagi darimu, Koko. Aku selamanya tidak mau berpisah dari sampingmu."

   Tangisnya mengguguk. Kembali perasaan aneh sekali menikam hati Han Han, perasaan bahagia dan senang luar biasa.

   "Tidak, Ini gila. Dia harus melawan perasaan ini. Dia ini adikku"

   Adikku, pikirnya.
Ia memaksa diri tertawa.

   "Ha-ha, engkau bocah nakal. Masa engkau akan ikut kakakmu ini sampai kita menjadi kakek dan nenek?"

   "Biar. Aku akan senang sekali, Koko. Biar aku tidak pernah kawin, aku akan ikut denganmu sampai mati."

   Han Han mengeraskan hatinya, mendorong tubuh Lulu dan memandang tajam wajah yang basah air mata itu.

   "Lulu, tidak boleh. Apakah engkau akan membikin hati kakakmu ini sengsara selamanya? Engkau adikku, dan seorang adik yang baik akan mentaati kakaknya. Adikku Lulu, tidak maukah engkau menyenangkan hati kakakmu dengan mentaati permintaanku? Engkau akan hidup bahagia bersama Sin Kiat, aku yakin akan hal ini. Dia seorang yang amat baik. Lulu, sekali lagi kuminta, penuhilah permintaanku ini."

   Sampai lama mereka saling pandang, dan akhirnya, dengan suara berat Lulu berkata lirih,

   "Han-koko.... kalau hal itu berarti kebahagiaanmu.... aku.... baiklah, aku menurut."

   Dia lalu membenamkan muka di dada Han Han sambil menangis. Han Han mendiamkan saja, membiarkan adiknya menangis. Setelah tangis adiknya mereda, ia lalu berkata,

   "Marilah kita menemui Nirahai. Kita minta dibebaskan, kalau dia berkemauan baik, tentu permintaan kita dia penuhi. Kalau tidak, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan."

   Tanpa menanti jawaban adiknya, Han Han menggandeng tangan Lulu, diajak meloncat ke pintu yang tertutup dengan terali besi. Dia sudah mempunyai sebatang tongkat kayu yang diberikan oleh penjaga atas permintaan Lulu.

   "Koko, pintunya kuat sekali dan di luar ada penjaga-penjaga....."

   "Ssstttt, kau ikutlah saja,"

   Kata Han Han yang menggunakan tongkatnya mengetuk-ngetuk pintu dan ketika para penjaga yang enam orang jumlahnya itu menengok, ia berkata,

   "Harap kalian suka membuka pintu ini, kami hendak menghadap Puteri Nirahai."

   "Ah, kami tidak berani. Kami diharuskan menjaga di sini dan tidak membolehkan kalian berdua keluar dari pintu."

   Komandan jaga membantah dan enam orang itu sudah meraba gagang senjata golok mereka untuk menjaga segala kemungkinan. Han Han tersenyum.

   "Kalau begitu, aku akan keluar sendiri."

   Katanya dan sekali tangan kanannya bergerak, terdengar suara keras dan pintu kamar itu jebol berikut jeruji-jeruji besinya, terlepas dari tembok. Enam orang penjaga itu menerjang maju, akan tetapi Han Han mengelebatkan tongkatnya dan robohlah mereka dalam keadaan lemas tertotok. Sambil menggandeng tangan adiknya, tenang-tenang saja Han Han meninggalkan tempat itu, keluar dari rumah tahanan untuk mencari Nirahai. Para penjaga yang berada di luar menjadi kaget sekali dan mengurung. Han Han dan Lulu berdiri tegak, kemudian gadis itu berseru,

   "Apakah kalian sudah bosan hidup hendak menghalangi aku? Aku hendak mencari Suci Nirahai, kalian mau apa?"

   Para perajurit Mancu sudah tahu bahwa gadis ini adalah adik seperguruan Puteri Nirahai, maka mereka tidak berani turun tangan mengganggu.

   Apalagi, di sudut hati mereka, para perajurit yang sudah mendengar akan kesaktian Han Han yang dijuluki Pendekar Super Sakti, merasa jerih terhadap pemuda berkaki satu itu. Kini mereka hanya dapat memandang, kemudian mengikuti dari belakang ketika Han Han dan Lulu berjalan menuju ke sebuah kemah besar yang berwarna merah, kemah yang ditinggali Puteri Nirahai. Berbeda dengan perkemahan yang dijadikan tempat tinggal para pahglima dan perwira yang selalu dijaga perajurit, di depan kemah merah ini tidak nampak penjaga. Nirahai memang seorang puteri yang tidak mau bersikap sebagai seorang pembesar tinggi yang gila hormat, ia tetap sederhana dan dia lebih condong hidup dan bersikap sebagai seorang kang-ouw yang mengandalkan diri sendiri dan hidup bebas tidak terikat banyak peraturan yang membosankan.

   Di depan kemah merah itu, para perajurit bergerombol dan hanya memandang ketika melihat Han Han dan Lulu dengan tenangnya memasuki kemah. Selain para perajurit ini tidak berani mengganggu Lulu dan jerih terhadap Han Han, juga mereka telah mendapat peringatan keras dari Puteri Nirahai untuk tidak melakukan pertempuran selama sang puteri menjalankan siasat perdamaian dengan para pejuang, bahkan tidak boleh menyerbu ke Se-cuan melewati perbatasan sebelum ada perintah. Sisa pasukan istimewa yang tadinya dipimpin Ouwyang Seng, oleh sang puteri telah disuruh tangkap semua dan dikirim ke penjara besar untuk menerima hukuman. Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu ruangan dalam, Han Han dan Lulu berhenti karena mendengar suara lantang dari Nirahai yang terdengar marah.

   "Tidak bisa. Biarpun Ouwyang-kongcu telah terbunuh, akan tetapi Pangeran Ouwyang Cin Kok masih tidak berhak untuk memerintahkan kepadaku mengirim kepala pembunuhnya. Dia kira siapakah dia itu yang bisa menjatuhkan perintah seperti itu kepadaku? Di daerah perang, di perbatasan ini, akulah yang berkuasa. Aku yang mewakili Ayahanda Kaisar dan semua orang tawanan adalah tanggung jawabku dan hanya aku seorang yang dapat menjatuhkan keputusan hukumannya. Tidak, aku tidak akan dan belum menjatuhkan hukuman mati kepada Suma Han dan aku tidak akan mengirimkan kepalanya kepada Pangeran Ouwyang Cin Kok seperti dimintanya. Ji-wi Locianpwe tahu bahwa kita sedang menjalankan politik perdamaian dengan kaum pejuang, sedangkan Suma Han tidak melakukan pelanggaran apa-apa. Pembunuhan yang dilakukannya terhadap Ouwyang-kongcu adalah urusan pribadi dan ji-wi cukup maklum apa yang menjadi sebabnya."

   Han Han dan Lulu mendengarkan dengan hati berdebar. Kemudian mereka mendengar suara Ma-bin Lo-mo penuh desakan dan penyesalan,

   "Mengapa Paduka menolak permintaan Pangeran Ouwyang Cin Kok? Bukankah pemuda buntung itu telah menimbulkan banyak kekacauan? Dan apakah Paduka lupa bahwa dahulu Paduka telah direncanakan untuk menjadi jodoh mendiang Ouwyang-kongcu. Dengan demikian, Ouwyang-kongcu menjadi tunangan Paduka. Setelah tunangan Paduka terbunuh secara keji, apakah Paduka tidak merasa terhina dan merasa sakit hati terhadap pemuda buntung itu?"

   "Hi-hi-hik, Ma-bin Lo-mo, engkau ini sudah tua namun masih bodoh."

   Terdengar suara Toat-beng Ciu-sian-li diseling suara berkerincingnya rantai gelang penghias kedua telinganya.

   "Apakah tidak depat menjenguk isi hati orang muda? Biarpun kakinya buntung sebelah, hati wanita muda yang manakah tidak akan tertarik? Dan kalau mau bicara tentang hati wanita, dari puteri sampai gembel pun tiada bedanya. Hi-hik."

   Tiba-tiba terdengar suara Nirahai penuh kemarahan,

   "Ji-wi adalah orang tua yang selalu membawa kotoran dalam hati dan pikiran ji-wi. Lekas ji-wi pergi dari sini, karena aku dapat melupakan bahwa ji-wi pernah membantu kami dan kalau aku turun tangan, apakah ji-wi kira aku tidak mampu membunuh kalian?"

   "Puteri Nirahai, akulah musuh dan lawan mereka. Haiii, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li, aku Suma Ham menantang kalian dan kutunggu di depan kemah, keluarlah kalau kalian berani."

   Han Han berseru keras, menggandeng tangan adiknya dan keluar dari dalam kemah itu. Para perajurit memandang mereka ini dengan mata terbelalak. Mereka semua tidak tahu harus berbuat apa, maka hanya mengurung tempat itu sambil menanti perintah Puteri Nirahai. Tak lama kemudian muncullah Nirahai, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li dari dalam kemah. Melihat para perajurit, Nirahai lalu melambaikan tangan dan berkata, suaranya berwibawa,

   "Semua perajurit mundur, boleh menonton dalam lingkaran yang lebar, paling dekat sepuluh meter."

   Para perajurit lalu mundur dan karena semua ingin menonton dan mendengar, mereka lalu membentuk lingkaran mengelilingi tempat itu. Bahkan para perajurit lainnya yang mendengar lalu berdatangan sehingga tempat itu penuh oleh lingkaran perajurit-perajurit Mancu.

   "Siapa yang mengeluarkan kalian?"

   Puteri Nirahai bertanya dengan keren sambil memandang Lulu.

   "Suci, akulah yang memaksa keluar,"

   Kata Lulu.

   "Bukan. Akulah yang menjebol pintu karena para perjaga tidak mau membukanya. Kami hendak bicara denganmu, Puteri Nirahai. Akan tetapi mendengar suara dua orang tua bangka jahat ini, biarlah kutunda dulu pembicaraan kita dan sekarang aku menantang Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li untuk bertanding denganku."

   "Hemmm.... di puncak Tai-hang-san sudah kuputuskan bahwa kini kami mengadakan perdamaian dengan orang-orang kang-ouw. Apakah engkau menjadi wakil pemberontak Bu Sam Kwi dan menantang pembantu-pembantu pemerintah?"

   Nirahai bertanya. Han Han menjawab tegas.

   "Sama sekali bukan. Aku dan adikku Lulu sekarang tidak sudi mencampuri perang. Aku menantang Ma-bin Lo-mo karena urusan pribadi, karena ingin membalaskan dendam puluhan orang anak murid In-kok-san yang orang tuanya telah dibunuhnya semua oleh Iblis Muka Kuda ini dan untuk membalaskan dendam terhadap kematian Lauw Sin Lian. Aku pun menantang Toat-beng Ciu-sian-li, karena berkali-kali dia hendak membunuhku, bahkan yang terakhir aku tentu telah mati dibunuhnya kalau tidak muncul Kim Cu sehingga hanya sebelah kakiku yang buntung. Aku tantang mereka berdua sebagai musuh pribadi."

   Di dalam lubuk hatinya, semenjak dua orang iblis tua itu muncul sebagai utusan Pangeran Ouwyang Cin Kok untuk minta kepala Han Han sebagai hukuman atas kematian Ouwyang Seng, Nirahai sudah mengambil keputusan untuk mengenyahkan dua orang itu. Dan ketika Han Han datang bersama Lulu, dia pun sudah tahu maka dia sengaja bicara keras. Kemudian, tantangan Han Han terhadap dua orang itu menggirangkan hatinya, maka puteri cerdik ini tidak mengusir para perajurit, bahkan memperkenankan mereka menonton agar mereka mendengar dan menjadi saksi atas pertandingan yang memang ia harapkan ini. Ia tahu bahwa Han Han telah sembuh dan bahwa pemuda itu amat sakti, tentu sanggup menandingi mereka berdua. Maka kini dengan aksi mengangkat pundak ia berkata.

   "Pemerintah tidak akan mencampuri urusan dendam pribadi, bahkan selalu akan menjadi saksi. Terserah tanggapan Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li atas tantangan Suma Han, kami tidak mencampurinya, hanya ingin melihat pertandingan yang adil dan sah."

   Dua orang datuk kaum sesat itu diam-diam merasa jerih terhadap Han Han, akan tetapi untuk menolak tantangan, tentu saja mereka merasa malu. Pula, mereka adalah dua orang tokoh besar, masa harus melarikan diri terhadap tantangan seorang pemuda yang buntung sebelah kakinya? Biarpun kini tidak ada tokoh kang-ouw yang menyaksikan, bahkan kedua orang pendeta yang menjadi utusan Pangeran Kiu juga telah kembali ke Se-cuan, namun ada ratusan orang perajurit Mancu menjadi penonton. Akan tetapi, Toat-beng Ciu-sian-li masih berusaha untuk menghindarkan pertandingan dan berkata.

   "Suma Han, engkau sekarang mengakui sebagai keturunan Suma. Jai-hwa-sian Suma Hoat adalah Kakekmu. Lupakah engkau bahwa aku adalah isteri Kakek Buyutmu Suma Kiat? Aku adalah Nenek Buyutmu sendiri. Hayo berlutut memberi hormat atas kekurangajaranmu menantangku."

   Akan tetapi Han Han tertawa mengejek.

   "Tidak kusangkal bahwa aku menyesal sekali, adalah keturunan keluarga Suma yang jahat seperti keluarga iblis itu. Engkau adalah seorang di antara selir-selir Suma Kiat yang tentu banyak jumlahnya, entah selir yang syah ataukah selir gelap-gelapan. Akan tetapi aku tidak akan mengakuimu, bahkan andaikata Kakekku yang berjuluk Jai-hwa-sian itu masih hidup, kalau mengingat akan kejahatannya, dia akan kutantang pula. Toat-beng Ciu-sian-li, aku ulangi lagi tantanganku kepadamu, bukan sekali-kali sebagai nenek buyut, melainkan sebagai seorang datuk kaum sesat yang telah menumpuk dosa. Ataukah kau tidak berani melawan bekas muridmu sendiri yang telah kau buntungi kakinya? Dan engkau, Ma-bin Lo-mo, apakah engkau telah berubah menjadi pengecut, lebih pengecut daripada perbuatanmu membunuhi keluarga para murid In-kok-san?"

   Kemarahan dua orang tokoh tua itu memuncak dan biarpun mereka maklum akan kesaktian Han Han, namun keduanya juga memiliki kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya. Toat-beng Ciu-sian-li memekik dan begitu tangannya bergerak, tiga sinar terang menyambar ke arah dahi, dada dan pusar Han Han. Itulah senjata gelap gelang yang ia lolos dari rantai gelang di telinganya.

   "Lulu, mundur."

   Han Han berteriak. Lulu meloncat ke dekat Nirahai dan Han Han menggerakkan tangannya, dengan hawa pukulan sin-kang yang kuat sekali ia membuat tiga buah gelang itu menyeleweng dan menghilang ke dalam tanah di depan kakinya"

   "Wuuuttt, tring-tring-tranggggg....."

   Toat-beng Ciu-sian-li sudah menerjang maju dan sekaligus kedua anting-anting rantai gelang rambutnya yang panjang dan kedua tangannya sudah bergerak melakukan penyerangan secara berbareng.

   "Singgg.... ngiuuukkkkk....."

   

Kisah Pendekar Bongkok Eps 10 Kisah Pendekar Bongkok Eps 5 Istana Pulau Es Eps 6

Cari Blog Ini