Ceritasilat Novel Online

Pendekar Super Sakti 43


Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 43



"Memalukan."

   Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan tampak dua bayangan berkelebat cepat sekali ke arah dua orang muda itu. Nirahai dan Han Han tiba-tiba merasa tubuh mereka terlempar ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat.

   "Subo....."

   Nirahai berseru dan menghampiri Nenek Maya, dua titik air mata menetes di pipinya dan mukanya menjadi merah sekali.

   "Subo....."

   Han Han berlutut di depan Nenek Khu Siauw Bwee. Akan tetapi kedua orang nenek itu tidak mempedulikan murid mereka, melainkan berdiri tegak saling pandang dengan mata yang sukar dilukiskan. Ada rasa haru, rasa sayang, rasa dendam dan penasaran bercampur aduk menjadi satu pada sinar mata kedua orang nenek sakti itu.

   "Suci....."

   Akhirnya Nenek Khu Siauw Bwee menegur, suaranya halus dan anehnya, ada rasa iba terkandung di dalam suaranya ini.

   
"Sumoi...., Syukur.... engkau masih hidup....."

   Nenek Maya berkata, suaranya dingin sehingga sukar diduga perasaan apa yang tersembunyi di balik kata-katanya. an Han dan Nirahai hanya memandang dengan hati tegang menyaksikan pertemuan antara kedua orang nenek sakti itu.

   "Sumoi, jangan kira bahwa muridmu telah dapat menangkan muridku. Jelas kulihat tadi bahwa Nirahai tidak bersungguh-sungguh, kalau dia bersungguh-sungguh, tentu dia sudah dapat membunuh muridmu."

   Nenek Khu Siauw Bwee tersenyum dan dengan suara tenang menjawab,

   "Suci, tidak terbalikkah wawasanmu itu? Kulihat, Han Han yang mengalah tadi."

   "Tidak bisa. Muridku masih lebih lihai daripada muridmu."

   Bentak Nenek Maya tidak mau kalah. Nenek Khu Siauw Bwee yang jelas memiliki watak lebih sabar dan halus, menoleh ke arah Han Han dan bertanya, suaranya keren,

   "Han Han, mengapa engkau tadi tidak menggunakan seluruh tenagamu di saat terakhir? Mengapa engkau mengalah?"

   Han Han tidak mau menyinggung hati Nirahai, maka sambil menundukkan muka ia berkata,

   "Dia terlampau sakti, subo. Teecu memang kalah."

   Wajah Nirahai menjadi makin merah mendengar ini dan ia pun menunduk, tidak berani menentang pandang mata Han Han.

   "Nirahai, ketika kalian berdua berdiri mengadu tenaga tadi, ada kesempatan baik bagimu. Sekali menendang dengan tendangan sakti ke arah bawah pusarnya, bukankah lawanmu akan kehilangan nyawanya? Mengapa engkau mengalah?"

   Nenek Maya menegur muridnya pula, suaranya galak.

   "Maaf, subo. Teecu.... teecu tidak mampu mengalahkannya. Dia terlalu lihai dan teecu memang kalah."

   Han Han mengangkat muka. Nirahai mengangkat muka. Dua pasang sinar mata bertemu pandang, sejenak bertaut, penuh perasaan dan seolah-olah dalam persilangan sinar mata itu terjadi pencurahan seribu kata-kata yang tak terucapkan, membuat keduanya segera menunduk kembali dengan jantung berdebar.

   "Hemmm.... bocah-bocah ini saling mengalah, mana bisa diukur siapa di antara ilmu kita yang lebih tinggi? Sumoi, marilah kita lanjutkan sendiri."

   Nenek Khu Siauw Bwee tersenyum mengejek.

   "Kita lanjutkan pertandingan puluhan tahun yang lalu, suci? Baiklah, tapi ingat, sekarang aku tidak akan suka mengalah lagi kepadamu, suci."

   Nenek Maya tertawa dan Han Han harus mengakui bahwa biarpun usianya sudah amat tua, akan tetapi ketika tertawa nenek itu masih mempunyai daya tarik yang luar biasa.

   "Sumoi, sekarang pun engkau masih takkan dapat mengalahkan aku."

   "Bagus. Kau kira setelah kakiku buntung satu, engkau dapat memandang rendah kepadaku?"

   Nenek Khu Siauw Bwee berkata marah.

   "Majulah, Khu Siauw Bwee."

   Nenek Khu Siauw Bwee mengeluarkan suara bentakan halus dan tubuhnya lalu lenyap karena dia sudah mencelat cepat sekali, gerakannya lebih cepat dari Han Han dan bagaikan kilat menyambar, dia sudah menyerang Nenek Maya. Akan tetapi Nenek Maya sudah menggerakkan kedua tangan ke atas dan menyambut serangan sumoinya. Dua lengan bertemu dan Nenek Khu Siauw Bwee mencelat ke atas lagi, terus menyambar-nyambar dari atas dengan hebatnya. Di lain pihak, Nenek Maya yang sudah siap menciptakan ilmu yang khusus untuk menghadapi ilmu nenek kaki tunggal ini, tetap berdiri tegak, hanya memutar tubuh menghadapi ke arah menyambarnya tubuh sumoinya dan selalu dapat menangkis sambil balas memukul. Pertandingan hebat sekali terjadi.

   Han Han dan Nirahai yang masih berlutut memandang bengong. Cemas sekali hati mereka, akan tetapi mereka tidak berani mencampuri urusan antara guru-guru mereka yang masih ada hubungan dekat itu, suci dan sumoi. Mereka melihat pertandingan yang lebih hebat daripada pertandingan mereka tadi. Melihat betapa tubuh Nenek Khu Siauw Swee menyambar-nyambar seperti seekor burung garuda, sedangkan Nenek Maya tegak seperti seekor harimau yang siap mencakar di saat sang garuda menyambar ke bawah. Tiba-tiba Nenek Khu Siauw Bwee yang masih berjungkir-balik di udara cepat sekali itu mengeluarkan lengking nyaring, tubuhnya menerjang dan menukik ke bawah, tangan kirinya mencengkeram ke ubun-ubun Nenek Maya. Nenek Maya menangkap tangan sumoinya itu dan tangan kedua orang nenek yang tidak saling mencengkeram itu bergerak cepat memukul.

   "Plak, Plak."

   "Celaka....."

   Han Han dan Nirahai berseru hampir berbareng dan dengan muka pucat mereka berdua memandang betapa guru masing-masing terhuyung ke belakang dan muntah darah lalu roboh terguling. Akan tetapi keduanya dapat merangkak bangun, saling pandang dan tiba-tiba Nenek Khu Siauw Bwee berkata lemah.

   "Suci, engkau memang hebat."

   "Sumoi, engkau lihai. Pukulanmu mendatangkan maut....."

   "Aku pun takkan dapat hidup lagi, suci. Pukulanmu meremukkan isi dada...."

   "Ah, sumoi.... Siauw Bwee.... aku telah berdosa besar padamu. Kasihan sekali engkau, sumoi.... puluhan tahun hidup menderita karena setelah kakimu kubikin buntung.... kau maafkan aku sumoi...."

   "Tidak, Suci Maya.... akulah yang menaruh kasihan kepadamu.... penderitaanku hanya penderitaan lahir, akan tetapi kau.... ah, suheng ternyata mencinta aku seorang dan kau.... kau menderita batin yang hebat...."

   "Sumoi....."

   "Suci....."

   Kedua orang nenek itu merangkul saling menghampiri, lalu saling rangkul sambil menangis. Han Han memandang dengan muka pucat, sedangkan Nirahai memandang dengan air mata bercucuran. Terharu hati Han Han melihat puteri itu menangis. Tadinya, sukar baginya membayangkan Puteri seangkuh dan sekeras itu hatinya mengucurkan air mata. Setelah bertangis-tangisan dalam menghadapi maut itu, Khu Siauw Bwee berkata,

   "Suci, apakah engkau melihat apa yang kulihat?"

   "Maksudmu?"

   "Murid-murid kita....."

   Khu Siauw Bwee berkata. Maya tersenyum menyeringai menahan rasa sakit di dadanya oleh tamparan tangan sumoinya di punggungnya tadi. Ia mengangguk. Khu Siauw Bwee menekan dadanya yang tadi terpukul sucinya.

   "Suci...., kita sudah saling memaafkan.... biarlah kita akhiri pertentangan ini dengan persatuan. Aku mewakili muridku, suci.... mengajukan lamaran kepadamu agar muridmu menjadi jodoh muridku...."

   Nenek Maya tertawa terkekeh-kekeh girang akan tetapi ia berhenti tertawa karena dadanya menjadi makin sesak.

   "Baik.... kuterima pinanganmu.... hi-hi-hik, bagus sekali, memang pantas.... Nirahai menjadi isteri Suma Han...., Eh, sumoi, sayang kita tak dapat menyaksikan...."

   "Han Han, engkau mendengar sendiri suci telah menerima pinanganku. Engkau tentu suka menjadi suami Nirahai, bukan?"

   Jantung Han Han memukul keras, seolah-olah akan pecah dadanya. Ia menoleh ke arah Nirahai yang mukanya juga menjadi pucat.

   "Subo, teecu.... teecu mana berharga untuk....?"

   "Jangan bicara tentang berharga atau tidak. Pendeknya, engkau mau atau tidak? Jawab."

   Nenek Khu Siauw Bwee berkata sambil menekan dadanya. Han Han mengangguk dan tidak berani melirik ke arah Nirahai.

   "Tentu saja...., teecu akan merasa bahagia dan terhormat sekali, teecu mau, subo."

   "Hi-hi-hik, itulah jawaban laki-laki. Eh, Nirahai, bagaimana dengan engkau? Maukah engkau menjadi isteri pemuda kaki buntung ini? Engkau pernah mengatakan bahwa engkau hanya mau menjadi isteri seorang pemuda yang dapat mengalahkan engkau. Dan jelas bahwa engkau takkan dapat menangkan Suma Han. Bagaimana?"

   Nirahai yang biasanya tabah itu, kini menundukkan mukanya yang menjadi merah kembali, jawabnya lirih,

   "Teccu.... menurut perintah subo."

   "Eh, bukan jawaban gagah itu. Engkau mau atau tidak? Jawab."

   Sikap Nenek Maya persis seperti sikap Nenek Khu Siauw Bwee tadi. Nirahai menunduk makin dalam.

   "Teecu.... teecu mau...."

   Dua orang nenek itu tertawa, tertawa bergelak-gelak sambil saling rangkul, dengan dua pasang mata tua mengeluarkan air mata.

   "Subo....."

   "Subo....."

   Seperti berlumba cepat Han Han dan Nirahai sudah menubruk guru masing-masing dan ternyata bahwa dua orang nenek itu telah tewas sambil berpelukan. Mereka dahulu bermusuhan, akan tetapi dalam ambang maut mereka saling peluk dan tertawa, juga menangis. Nirahai terisak menangis. Han Han berlutut sambil menunduk duka. Setelah reda tangis Nirahai dan gadis itu dengan mata merah menoleh kepadanya, mereka saling pandang dan Han Han berkata halus lirih.

   "Lebih baik kita mengubur jenazah mereka. Di mana sebaiknya dimakamkan?"

   Nirahai mengangguk, juga menjawab lirih,

   "Sebaiknya di sini saja. Tempat ini amat baik, bersih dan sunyi."

   "Tepat sekali. Memang tempat ini amat baik, bahkan merupakan tempat keramat bagi kita."

   Nirahai memandang wajah pemuda itu.

   "Mengapa begitu?"

   "Bukankah tempat ini yang mempertemukan kita, bahkan.... yang menjadi saksi perjodohan kita?"

   Nirahai menjadi merah mukanya. Mereka saling berpandangan, kemudian dara itu berbisik,

   "Marilah kita menggali tanah untuk makam mereka...."

   Han Han meloncat bangun dan pemuda ini merasakan kegembiraan yang luar biasa sekali, yang membuat tangannya terasa ringan ketika ia menggunakan tongkatnya untuk menggali tanah di bawah pohon di pinggir padang rumput.

   Nirahai mengambil pedang payungnya yang sudah patah, lalu menggunakan ujung payung yang runcing itu untuk menggali sebuah lubang di pinggir lubang yang digali Han Han. Mereka berdua seperti berlumba dan Han Han sengaja mengurangi tenaganya sehingga lubang yang dua buah itu selesai digali dalam waktu berbareng. Karena keduanya merupakan orang-orang yang memiliki tenaga sakti, dalam waktu pendek saja dua buah lubang yang cukup dalam telah tergali. Dengan penuh khidmat dan tanpa berbicara, mereka lalu mengubur kedua jenazah itu berdampingan, lalu menutup lubang itu dengan tanah galian. Ketika melakukan ini, Nirahai menangis dan Han Han menghiburnya dengan kata-kata halus. Setelah selesai Han Han mencari dua buah batu besar dan kedua orang muda itu kembali seperti berlumba, mengukir permukaan batu nisan dengan ujung tongkat dan ujung payung.

   Han Han mengukir huruf-huruf yang berbunyi :

   MAKAM NENEK KHU SIAUW BWEE, SUMOI TERCINTA DARI NENEK MAYA.

   Adapun ukiran Nirahai berbunyi sebaliknya:

   MAKAM NENEK MAYA, SUCI TERCINTA DARI NENEK KHU SIAUW BWEE.

   Ukiran Han Han lebih dalam, tanda bahwa tenaganya lebih kuat, akan tetapi ukiran yang dibuat Nirahai lebih halus tulisannya. Kini tanpa bicara kedua orang itu memperbaiki ukiran masing-masing, Nirahai memperhalus ukiran Han Han sebaliknya pemuda itu memperdalam ukiran Nirahai. Setelah selesai, mereka lalu berlutut di depan kedua nisan yang dipasang di depan makam kedua orang nenek sakti itu. Hari telah menjadi malam dan kedua orang itu masih berlutut di depan makam. Untuk mengusir hawa dingin, Han Han membuat api unggun kemudian duduk menghadapi api unggun, duduk di atas rumput dekat dengan Nirahai. Keduanya merasa canggung, akan tetapi kemudian Han Han menghela napas panjang dan berkata.

   "Nirahai, aku merasa seperti mimpi dan masih belum percaya benar bahwa semua ini dapat terjadi. Seorang puteri kaisar seperti engkau, berkedudukan tinggi dan mulia, cantik jelita, berilmu tinggi, mau menjadi calon isteri seorang seperti aku.... yang...."

   "Ssttttt, jangan lanjutkan, Han Han. Aku yang merasa heran mengapa engkau mau dijodohkan dengan aku?"

   Mereka saling pandang dan kini sinar mata mereka saling berusaha menembus dan menjenguk isi hati masing-masing. Sinar api unggun yang bermain di wajah mereka membuat wajah mereka kemerahan dan menyembunyikan warna kedua pipi mereka yang merah sekali.

   "Telah lama sekali aku aku jatuh cinta kepadamu, Nirahai. Semenjak aku datang ke Pulau Es...."

   "Heee....? Menurut keterangan Lulu, engkau masih kecil, baru berusia belasan tahun ketika kalian datang ke pulau itu...., Betapa mungkin?"

   "Benar, dan di sanalah, di dalam Istana Pulau Es itu, pertarna kali aku melihatmu, Nirahai, dan sekaligus hatiku telah terpikat.... dan aku telah jatuh cinta."

   Percakapan itu mengusir rasa canggung kedua pihak dan Nirahai tertawa geli.

   "Ihhh, kiranya engkau seperti Lulu pula, suka bergurau. Kita baru saling jumpa pertama kali di istana ketika kau datang menyerbu, dan selama hidupku aku tidak pernah datang ke Pulau Es."

   "Memang bukan engkau, Nirahai, melainkan sebuah arca yang amat indah buatannya, seolah-olah hidup. Di sana terdapat tiga buah arca, yang sebuah adalah arca Koai-lojin, yang ke dua arca Subo Khu Siauw Bwee dan yang ke tiga adalah arca Subo Maya, yaitu ketika mereka masih muda. Arca Subo Maya itu serupa benar dengan engkau, Nirahai. Karena itu, begitu aku bertemu denganmu, tentu saja bagiku sama halnya dengan bertemu orang yang arcanya membuat aku tergila-gila itu. Herankah engkau betapa bahagia dan gembiranya rasa hatiku ketika subo menjodohkan aku dengan engkau? Serasa kejatuhan bulan purnama....."

   Pada saat itu, bulan purnama mulai muncul dan otomatis Nirahai memandang bulan. Sinar bulan yang kuning emas membuat wajah dara ini tampak nyata dan amat cantik jelita, sehingga Han Han menahan napas saking kagumnya, kemudian ia memberanikan hati memegang tangan dara itu yang duduk di sampingnya.

   "Nirahai.... betapa cantik jelita engkau...."

   Tangan Nirahai menggigil, akan tetapi dia tidak melepaskan genggaman Han Han, dan ketika ia menoleh, ia tersenyum. Wanita manakah yang takkan berbesar hati penuh kebanggaan kalau dipuji cantik? Apalagi yang memuji adalah seorang pria yang menjadi pilihan hatinya.

   "Aku girang sekali mendengar pernyataan isi hatimu, Han Han. Ketahuilah bahwa aku pun merasa beruntung sekali bahwa engkau telah berhasil mengalahkan aku dalam pibu...."

   "Engkau tidak kalah, Dan mengapa engkau merasa beruntung kalau kukalahkan?"

   "Engkau sudah mendengar sendiri kata-kata subo tadi. Memang aku telah bersumpah bahwa aku hanya mau menjadi isteri seorang pria yang mampu mengalahkann aku. Dan aku semenjak mendengar obrolan Lulu tentang dirimu, bahkan bocah nakal itu hendak menjodohkan aku denganmu, semenjak itu, kemudian setelah bertemu, melihatmu dan melihat kegagahanmu, hemmm.... aku akan merasa menyesal sekali andaikata engkau kalah olehku."

   Bukan main besar hati Han Han mendengar ini dan kegirangan yang meluap membuat ia menarik lengan dara itu. Nirahai seperti lemas tubuhnya dan membiarkan kepalanya rebah di dada Han Han. Sejenak mereka berdua tidak bergerak, bermandi cahaya bulan yang tersenyum-senyum menyaksikan ulah tingkah dua insan yang mabuk asmara ini. Han Han membelai-belai rambut yang halus dan hitam itu dan Nirahai memejamkan mata, mendengarkan debar jantung di dada Han Han yang baginya seperti bunyi musik yang amat merdu dan indah. Kemudian ia membuka matanya, dan mengangkat pandang matanya ke atas untuk menatap wajah di atasnya itu sehingga sepasang mata itu menjadi lebar sekali dan amat indah seperti mata Lulu.

   "Han Han, katakanlah. Mengapa engkau jatuh cinta kepada arca subo di waktu muda yang kau katakan serupa benar dengan aku itu? Mengapa engkau jatuh cinta kepadaku?"

   Sampai lama Han Han tidak dapat menjawab, menatap wajah yang tengadah itu seolah-olah hendak mencari jawabnya dari wajah yang jelita itu. Mata itu, Mulut itu. Dan ia teringat akan perasaannya di waktu ia memandang arca di dalam Istana Pulau Es, kemudian seperti menemukan jawabannya, lalu berkata girang.

   "Aku tahu. Aku tergila-gila kepadamu, Nirahai, karena pertama-tama karena matamu."

   Nirahai terkekeh dan mendekap mulutnya sendiri dengan tangan, matanya terbelalak lebar,

   "Karena mataku? Hi-hik"

   Mataku kenapa?"

   "Matamu begini indah.... seperti sepasang bintang di langit.... kulihat laut yang bening dalam di situ, menghanyutkan...."

   Jawab Han Han sambil memandang sepasang mata yang amat indah itu, seperti mata Lulu.

   "Ihhh, seperti laut yang menghanyutkan? Mengerikan."

   "Tidak, Sama sekali tidak. Aku akan rela dan bahagia sekali kalau mati hanyut di situ, tenggelam dalam lautan kenikmatan yang membayang di dalam matamu. Matamu seperti.... seperti.... bulan kembar....."

   "Hi-hik, kau aneh...."

   Nirahai memejamkan matanya sehingga "bulan kembar"

   Itu bersembunyi di balik pelupuk dan dilindungi bulu mata yang kini menjadi tebal dan panjang, mendatangkan bayangan-bayangan menggairahkan diatas pipi, membuat Han Han makin terpesona. Kalau terbuka mata itu mempesona, kalau tertutup malah menggairahkan. Bukan main.

   "Kau bilang tadi, pertama-tama karena mataku. Adakah yang ke dua?"

   Tanya Nirahai tanpa membuka matanya.

   "Memang ada, dan aku tidak tahu yang mana yang lebih menarik dan membuat aku tergila-gila. Yang ke dua adalah.... mulutmu, Nirahai."

   Mata itu terbuka kembali, terbelalak dan mengandung senyum terheran-heran.

   "Mulutku....? Ada apa dengan mulutku....?"

   Suaranya penuh dengan hati yang riang gembira, bangga dan juga geli dan heran.

   "Mulutmu.... bibirmu...."

   Han Han berbisik dan suaranya gemetar, pandang matanya tak pernah dapat melepaskan sepasang bibir yang lunak halus kemerahan itu, yang kini bergerak-gerak seperti menggigil seolah-olah bisikan Han Han merupakan penggeli yang membuat bibir itu tak dapat diam,

   "Entah mengapa, Nirahai.... melihat mulutmu.... bagiku seolah-olah ketika aku kelaparan dahulu melibat buah apel yang masak...., Aku.... aku...."

   Han Han tidak melanjutkan kata-katanya karena desakan rasa kasih bercampur berahi membuat ia tak kuasa menahan hasrat hatinya, membuat ia seperti tak sadar lagi menunduk, mencium bibir itu, mencium mata itu, lalu mencium bibir kembali, sepenuh rasa kasihnya, semesra-mesranya.

   Mula-mula Nirahai tersentak seolah-olah tubuhnya menjadi kaku menegang, kemudian ia menjadi lemas, naik sedu-sedan dari rongga dadanya dan seperti dalam mimpi ia pun tidak sadar bahwa dia telah membalas ciuman pemuda yang sudah menjatuhkan cinta kasihnya itu. Sampai lama mereka saling mendekap berciuman, lupa akan segala. Kemudian, kesadaran datang memasuki pikiran mereka, hampir berbareng dan kedua orang muda yang sejak kecil sudah tergembleng batinnya ini segera sadar dan dapat menguasai rangsangan hati masing-masing lalu menghentikan ciuman dan Nirahai terlena di atas dada yang bidang itu, kedua matanya terpejam, dua titik air mata membasahi bulu matanya yang panjang.

   "Ahhh, maafkan aku....."

   Han Han berbisik, sekuatnya menahan gelora hatinya yang membuat seluruh tubuh terasa panas menggigil.

   "Bukan.... bukan salahmu, Han Han...."

   Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Nirahai berbisik dan keduanya terdiam sampai berjam-jam. Han Han yang tiada bosannya menatap wajah di atas dadanya itu mengira Nirahai tertidur maka dia pun tidak bergerak, bersandar pada batang pohon tidak mau mengganggu kekasihnya yang disangkanya pulas. Akan tetapi tiba-tiba Nirahai membuka mata. Mereka berpandangan dan keduanya tersenyum, merasa lega bahwa masing-masing dapat menguasai gelora hati sehingga tidak sampai terjadi yang lebih daripada yang telah mereka lakukan dalam keadaan mabuk dibuai gelora hati muda.

   "Nirahai, kekasih pujaan hatiku.... terima kasih...."

   Nirahai bangkit dan duduk bersila. Mereka berhadapan, kedua tangan mereka saling berpegangan.

   "Mengapa, Han Han? Mengapa berterima kasih?"

   "Engkau seperti membangkitkan kembali aku dari timbunan duka nestapa, seperti hawa murni yang mengembalikan semua kelelahan hidupku, memberi makan kepada jiwa yang kelaparan, seperti tetesan embun segar pada tunas melayu di bumi mengering.... engkau yang begini cantik jelita sudi menyambut cintaku. Nirahai, katakanlah, mengapa engkau yang begini mulia bisa jatuh cinta kepada seorang seperti aku yang bunt...."

   Nirahai cepat menggerakkan tangannya dan jari tangan yang halus kecil meruncing itu menutup bibir Han Han, mencegah pemuda itu melanjutkan kata-katanya.

   "Aku cinta padamu karena engkau memang tampan dan gagah perkasa, terutama sekali karena engkau dapat mengalahkan aku, dan karena engkau adalah seorang laki-laki yang rendah hati, sederhana, akan tetapi memiliki harga diri yang tinggi, engkau kuat, engkau tahan menderita, engkau tidak pendendam, engkau pandai mengalah dan sabar."

   "Terima kasih, Nirahai. Terima kasih."

   Han Han memeluknya dan memberi sebuah ciuman lembut di dahi Nirahai. Sentuhan cluman ini terasa menyentuh jantung, tidak merangsang seperti tadi, akan tetapi terasa demikian lembut dan mendalam seolah-olah dua hati mereka melekat menjadi satu. Malam terlewat amat cepat bagi kedua orang yang sedang berbahagia ini. Tahu-tahu pagi telah tiba. Nirahai bangkit melepaskan diri dari pelukan Han Han. Sambil tersenyum seperti sang matahari pagi sendiri dia berkata.

   "Han Han, sekarang aku harus meninggalkanmu, kalau tidak tentu akan ada pasukan yang mencariku, khawatir kalau-kalau aku tewas dalam pibu melawanmu."

   "Engkau dan aku tidak tewas dalam pibu, akan tetapi sama-sama jatuh, jatuh cinta."

   Han Han menggoda.

   "Wah, entah Lulu yang mencontohmu ataukah engkau yang ketularan."

   Nirahai berkata sambil membantu Han Han bangkit berdiri. Akan tetapi ia segera berkata dengan sungguh-sungguh.

   "Aku harus menyelesaikan tugasku lebih dulu, kemudian aku akan pulang ke kota raja. Urusan jodoh di antara kita yang ditetapkan oleh kedua orang guru dan sudah kita setujui, tak mungkin dapat dilaksanakan tanpa pengetahuan Ayahanda Kaisar. Aku akan menyampaikan urusan kita ini kepada Kaisar. Maka engkau pergilah ke kota raja dalam waktu sebulan ini, menyusulku ke sana."

   Kekhawatiran muncul di hati Han Han. Semalam ia lupa sama sekali bahwa dara jelita yang dipeluknya, yang dianggapnya sebagai calon jodohnya, calon isterinya, adalah puteri kaisar. Maka kini, ia melihat nama kaisar sebagai sebuah jurang yang amat lebar, yang mengancam putusnya ikatan di antara mereka.

   "Nirahai....."

   Katanya, suaranya gemetar penuh kegelisahan.

   "Bagaimana.... kalau.... kalau Kaisar menolak?"

   Nirahai menggeleng kepala.

   "Jangan khawatir, jasaku sudah terlalu banyak dan tentu Ayahanda Kaisar tidak akan menghalangi. Andaikata demikian pun, di dalam hatiku engkau adalah suamiku dan tak seorang pun di dunia ini
(Lanjut ke Jilid 41)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 41
akan dapat menghalangiku."

   "Nirahai....."

   Han Han memeluknya dan sejenak mereka berpelukan. Akhirnya Nirahai melepaskan dirinya. Setelah mengusap dagu Han Han dengan kedua tangannya, ia berkata,

   "Sudahlah, Han Han. Aku pergi dan kunanti engkau di istana. Sebulan lagi kita bertemu kembali."

   Setelah berkata demikian, dara itu meloncat jauh akan tetapi sebelum lari, ia membalikkan tubuh, melambaikan tangan dan tersenyum manis sekali. Han Han berdiri seperti arca, terpesona dan memandang dara itu berlari sampai lenyap dari pandang matanya. Hatinya penuh rasa suka, penuh harap, akan tetapi juga penuh kekhawatiran. Dia akan menjadi suami Puteri Nirahai. Dia akan menjadi putera mantu Kaisar Mancu. Siapa dapat percaya? Ia merasa seperti dalam mimpi dan tak terasa lagi ia berloncatan mengejar Nirahai.

   Setelah tampak olehnya bayangan Nirahai yang sudah jauh, barulah ia merasa yakin bahwa dia tidaklah mimpi. Semua peristiwa tadi malam adalah kenyataan, bukan mimpi. Dan masih ada buktinya lagi, yaitu dua buah makam. Dia harus melihat lagi kedua makam itu untuk meyakinkan hatinya bahwa dia tidaklah mimpi. Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh hendak kembali ke makam, ia terbelalak kaget dan heran melihat seorang kakek tua renta berdiri seperti arca, tegak dengan kedua tangan bersedakap, kepala menunduk, di depan dua makam baru itu. Kakek itu sudah tua sekali, rambutnya yang riap-riapan, jenggotnya yang panjang, kumisnya yang menjuntai ke bawah, alisnya yang panjang sampai ke pipi telah putih semua, tidak ada yang hitam selembar pun.

   Akan tetapi, kakek tua renta ini tubuhnya masih tegak, tinggi besar dan nampak sehat kuat. Pakaiannya hitam dari kain kasar dengan potongan sederhana sekali, lengan baju pendek di atas siku, kaki celana pendek di bawah lutut dan kedua kakinya telanjang. Kulit lengan dan kakinya putih bersih dan tidak tampak keriput. Tiba-tiba kakek itu menoleh ke arah Han Han dan pemuda yang tadinya berniat menghampiri kakek itu tersentak kaget dan terpukau di tempatnya. Sinar mata kakek itu mencorong seperti mata harimau di waktu malam dan mengandung pengaruh mukjizat yang membuat Han Han merasa kakinya seperti lumpuh. Akan tetapi kakek itu segera membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari depan makam, tidak menengok lagi kepada Han Han.

   "Locianpwe, harap berhenti dulu....."

   Han Han berteriak dan meloncat melakukan pengejaran. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mempedulikan, menengok pun tidak dan terus melangkah maju dengan enaknya, akan tetapi, ternyata demikian cepatnya sehingga Han Han yang berloncatan itu tidak mampu mengejarnya.

   "Locianpwe, tunggu....."

   Han Han berteriak lagi dan kini ia mengerahkan gin-kangnya, mempergunakan ilmunya berlari cepat berdasarkan Ilmu Soan-hong-lui-kun sehingga tubuhnya seolah-olah terbang, berloncatan dengan kecepatan laksana kilat menyambar. Akan tetapi mengejar sampai hari menjadi sore dan akhirnya kakek itu lenyap di antara bangunan-bangunan mungil di dekat sebuah telaga.

   Timbul keinginan hati Han Han untuk menyelidiki siapa gerangan kakek yang memiliki kepandaian luar biasa itu, maka dia lalu menghampiri dua buah bangunan kecil yang berdiri di kanan kiri telaga. Hari telah senja dan suasana di sekitar telaga itu sunyi bukan main. Han Han menghampiri bangunan dan ternyata bangunan itu kosong. Ia menyelinap ke samping bangunan, berloncatan perlahan dibantu tongkat yang ia pegang dengan tangan kiri dan ketika ia tiba di pinggir telaga, ia berdiri tertegun melihat kakek yang tadi dikejar-kejarnya itu sedang duduk berjongkok di atas sebuah batu besar di pinggir telaga, tangan kiri memegang lutut, tangan kanan memegang sebatang tangkai pancing dan matanya termenung memandang ke air telaga. Kakek itu ternyata sedang enak-enak memancing.

   "Locianpwe....."

   Han Han memanggil. Sungguh aneh sekali, kakek itu tetap berjalan seenaknya, kelihatan perlahan saja, dengan tubuh tegak dan kedua kaki melangkah panjang-panjang, akan tetapi jarak antara dia dan Han Han tidak pernah berubah, masih sejauh tadi. Han Han merasa seolah-olah dalam mimpi. Ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Masa dia tidak mampu mengejar kakek yang hanya berjalan biasa itu? Kalau kakek itu berlari cepat, dia masih tidak penasaran. Akan tetapi kakek itu hanya berjalan biasa, namun tetap saja ia tidak mampu menyusul.

   "Locianpwe, teecu hendak bicara, harap suka menunggu dulu."

   Untuk ketiga kalinya Han Han berseru keras. Kakek itu menengok sekali lalu berkelebat cepat bukan main, sebentar saja sudah amat jauh dan hanya tampak sebuah titik hitam. Han Han terkejut. Maklumlah ia bahwa kakek itu adalah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa. Dia mengejar terus ke arah titik hitam yang masih tampak bergerak maju. Sehari penuh ia sambil berloncatan mendekat. Kakek itu menengok dan kembali Han Han terkejut ketika bertemu pandang dengan mata kakek itu. Kakek itu pun menatap wajah Han Han dengan tajam, penuh selidik, kemudian berkata dengan ramah dan wajahnya yang membayangkan ketenangan dan kesabaran luar biasa itu berseri,

   "Orang muda, mengapa engkau mengejar-ngejar aku?"

   Han Han berdiri dengan penuh hormat di dekat kakek itu, mengamati wajah itu yang seperti pernah dikenalnya. Kemudian dengan sikap hormat dan suara halus ia berkata.

   "Teecu mohon maaf sebanyaknya kalau teecu mengganggu locianpwe dan lancang datang ke tempat ini."

   "Tidak mengapa, orang muda. Aku tadi segan menghadapimu karena memang sudah terlalu lama aku mengasingkan diri, menjauhkan diri dari dunia ramai."

   Tiba-tiba Han Han teringat dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

   "Ah, sekarang teecu ingat. Mohon locianpwe memaafkan. Kiranya locianpwe adalah Koai-lojin....."

   Han Han berkata dengan seruan girang.

   "Locianpwe yang telah menolong teecu ketika teecu hendak dibunuh oleh Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi.... dan.... dan locianpwe adalah Kam Han Ki Locianpwe atau yang terkenal dengan julukan Koai-lojin, penghuni Pulau Es."

   Kakek itu menarik napas panjang.

   "Bangunlah, Suma Han, dan duduklah di atas batu ini agar kita dapat bicara dengan leluasa."

   Girang bukan main hati Han Han. Bertemu dengan kakek ini baginya seperti bertemu dengan seorang guru besarnya sendiri, seperti bertemu dengan dewa. Ia lalu bangkit berdiri dan duduk di dekat kakek yang sedang memancing itu.

   "Dugaanmu memang benar, akulah yang disebut Koai-lojin, dahulu penghuni Pulau Es bersama dua orang sumoiku yang telah kau rawat dan makamkan jenazahnya secara baik. Aku bersyukur melihat kebaikanmu, Suma Han."

   Han Han kagum sekali mendapat kenyataan bahwa kakek ini sudah mengenal namanya, mengenal nama keturunannya. Akan tetapi kakek yang amat sakti ini tentu saja mengetahui segala hal.

   "Sungguh berbahagia sekali teecu dapat berjumpa dengan suhu."

   Han Han menyebut suhu karena bukankah dia murid Pulau Es, berarti murid kakek ini dan murid kedua orang nenek yang telah tewas"

   Kakek itu tersenyum tanpa mengalihkan pandang matanya dari ujung tali pancing yang tenggelam di permukaan air telaga, kemudian ia mengangguk.

   "Yah, boleh juga engkau menyebut aku suhu setelah engkau mempelajari ilmu-ilmu dari Pulau Es. Dan aku girang sekali melihat sepak terjangmu selama ini. Engkau keturunan keluarga Suma yang banyak melakukan penyelewengan dalam hidup mereka. Dari kakek buyutmu Suma Boan, sampai kakek buyutmu Suma Kiat, dan kakekmu Suma Hoat. Aku gembira melihat sepak terjangmu tidak seperti mereka dan agaknya engkau mewarisi watak yang baik dari kakak nenek buyutmu, yaitu pendekar sakti Suling Emas. Dan aku girang sekali melihat kakimu yang kiri buntung."

   Di dalam hatinya, Han Han merasa heran dan tercengang mendengar ini, dan ia teringat akan nasihat hwesio tua renta di Siauw-lim-si, Kian Ti Hosiang yang menasihatkan agar dia membuntungi kaki kirinya. Rasa penasaran agaknya terbayang di wajahnya karena kakek itu tertawa dan menoleh kepadanya sambil berkata.

   "Suma Han. Perlu diketahui agar engkau tidak penasaran. Andaikata tidak terjadi seperti sekarang, andaikata kaki kirimu tidak dibuntung orang, agaknya sekarang ini engkau sudah mati."

   "Ahhhhh....."

   Han Han terkejut bukan main dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak, tidak percaya.

   "Suhu, mohon petunjuk mengapa begitu? Dahulu pernah Kian Ti Hosiang dari Siauw-lim-si menasihatkan teecu agar teecu membuntungi kaki kiri teecu."

   Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Kian Ti Hosiang kiranya masih berpandangan luas, sungguh mengagumkan. Ketahuilah, Suma Han, entah bagaimana asal mulanya aku sendiri tidak tahu, akan tetapi berbareng dengan hawa mukjizat yang terpancar keluar dari pandang matamu itu, ada sebuah penyakit yang amat jahat mengeram di dalam tubuhmu, yaitu di kakimu yang kiri. Penyakit itu timbul di dalam daging betismu dan menanam akar-akarnya pada urat-urat halus dan jalan darahmu. Tidak ada obat di dunia ini yang dapat membasmi penyakit itu dan jalan satu-satunya hanyalah membuntungi kaki yang dihinggapi penyakit itu. Kalau tidak dibuntungi, akar penyakit itu akan menjalar terus, makin lama makin meluas, dari kakimu akan naik ke perut, kemudian kalau sudah mencapai jantungmu, darahmu akan habis dihisapnya dan engkau akan mati. Maka sungguh untung sekali bahwa kakimu dibuntungi orang sebelum akar penyakit naik ke perutmu sehingga bersama dengan kakimu yang buntung itu, penyakitnya ikut pula terbuang."

   Han Han bergidik ngeri. Kiranya begitukah? Bagaimana timbulnya penyakit itu? Apakah sejak.... sejak ia melihat ibu dan encinya diperkosa orang kemudian ia dibanting ke dinding oleh perwira Mancu?

   "Terima kasih atas keterangan suhu. Sungguhpun teecu tak dapat mengerti bagaimana dapat terjadi hal yang seaneh itu, akan tetapi teecu percaya dan setelah kini secara kebetulan Thian memberi berkah kepada teecu dapat berjumpa dengan suhu, teecu mohon petunjuk-petunjuk suhu."

   "Hemmm.... petunjuk apalagi yang dapat kuberikan kepadamu? Ilmu kepandaianmu telah cukup setelah engkau menerima warisan Ilmu Song-hong-lui-kun dari Sumoi Khu Siauw Bwee. Hemmm.... dua buah bangunan ini kubuat di sini untuk mereka, kedua orang sumoiku, siapa kira mereka telah mendahuluiku meninggalkan dunia yang keruh oleh perbuatan manusia ini. Tidak ada lagi yang dapat kuberikan kepadamu, Suma Han, hanya obrolan-obrolan kosong yang kiranya ada gunanya kalau engkau mampu menangkap inti sarinya. Aku sudah bosan akan keramaian dunia, sudah makin terhimpit perasaanku menyaksikan ulah manusia di dunia ramai. Engkau sudah datang ke sini, segala pertanyaanmu akan kujawab. Aku sudah menjauhkan diri daripada perbuatan-perbuatan yang hanya akan menambah keruhnya dunia. Aku lebih senang hidup bebas lepas, menyatukan diri dengan alam semesta dan melihat segala kewajaran terjadi demikian indah dan gaibnya, tiada terganggu oleh manusia yang penuh kepalsuan nafsu-nafsunya, semua berjalan lancar seperti gerakan awan, matahari, bulan dan bintang."

   Han Han adalah seorang pemuda yang amat peka perasaannya terhadap filsafat, dan dia jujur, kritis dan berani menyatakan suara hatinya. Mendengar ucapan kakek yang dianggap gurunya sendiri itu, dia lalu berkata.

   "Harap suhu maafkan pertanyaan teecu yang lancang. Suhu tadi menyatakan tidak suka akan ulah manusia yang dipalsukan oleh nafsu, dan suhu lebih senang hidup menyatukan diri dengan alam bebas, akan tetapi.... maaf, suhu, mengapa suhu masih suka memancing ikan? Bukankah perbuatan ini berarti membahayakan kebebasan hidup ikan-ikan di telaga ini?"

   "Ha-ha-ha"

   Bagus sekali. Aku sudah khawatir kalau-kalau engkau hanya tunduk secara membuta saja, muridku yang baik. Pertanyaanmu itu membuktikan bahwa engkau pandai mempergunakan akal budi dan kesadaranmu sendiri, tidak hanya ikut-ikutan dan tidak menganut pelajaran secara membuta tanpa mengadakan wawasan dan mempergunakan nalar (logika). Engkau heran melihat aku memegang tangkai pancing? Nah, lihatlah."

   Kakek itu mengangkat tangkai pancingnya dan Han Han terbelalak heran. Di ujung tali pancingnya, hanya tali biasa saja yang dipasangi sepotong kerikil.

   "Ah, maaf, suhu. Teecu berani menduga yang bukan-bukan, akan tetapi.... apakah gunanya suhu memancing tanpa umpan, melainkan memakai batu? Mengapa suhu.... eh, bermain-main seperti anak kecil?"

   "Ha-ha-ha, tepat sekali. Anak-anak kecil yang masih gemar bermain-main itulah manusia-manusia yang wajar dan murni, muridku. Betapa bahagianya kalau seorang kakek-kakek dapat kembali wajar seperti kanak-kanak. Aku memang bermain-main, muridku, bermain dengan apa yang disebut manusia dengan kata-kata nasib, yaitu nasib ikan."

   Han Han tidak mengerti dan memandang kakek itu dengan sinar mata penuh pertanyaan. Koai-lojin tertawa lagi dan berkata,

   "Banyak ikan di telaga ini, akan tetapi kenapa kebetulan ikan ini dan ikan itu yang mendekat pancing dan menyentuh batu dengan mulutnya? Kalau pancing ini pancing benar-benar, bukankah ikan itu akan terkait pancing dan mati? Aku senang bermain-main dengan ini melihat-lihat dan menduga-duga ikan mana gerangan yang akan berjodoh, menyentuh umpan batu ini, ha-ha."

   Han Han ikut tertawa dan diam-diam ia menggeleng kepala. Betapa aneh selera kakek ini dalam mencari kesenangan bermain-main. Apa sih senangnya dengan permainan seperti itu? Namun permainan ini saja sudah membuktikan betapa tajam pandang mata kakek itu sehingga dapat melihat ikan di dalam air. Kalau tidak dapat melihat tentu tidak akan senang, karena tidak melihat ikan yang menyentuh umpannya.

   "Marilah ikut ke dalam pondok, Suma Han. Perutku sudah lapar, dan engkau tentu suka menemani aku minum sambil bercakap-cakap, bukan?"

   Girang hati Han Han, akan tetapi menjadi makin heran melihat sikap kakek ini yang biasa saja, tidak sedikit pun memperiihatkan keanehan seperti orang-orang sakti lainnya. Ia lalu mengikuti kakek itu yang memanggul tangkai pancingnya dan berjalan melenggang seenaknya dengan wajah gembira seperti wajah seorang tukang pancing yang memperoleh banyak hasil. Ketika memasuki pondok kecil mungil yang berada di sebelah kanan, Han Han melihat makanan sudah tersedia di atas meja yang serba lengkap. Sayur-sayuran dimasak tidak kurang dari lima macam, ada buah-buahan yang masak dan bermacam-macam, bahkan tersedia arak wangi. Pemuda ini makin terheran-heran memandang semua itu.

   "Duduklah, Suma Han. Makanan ini aku sendiri yang memasaknya, buah-buahan itu pun aku sendiri yang mencari di hutan, dan arak ini.... ha-ha, kubeli dari warung arak di dusun sebelah utara. Marilah kita makan nasi ditemani sayur dan minum arak."

   Bagaikan seorang petani tua yang ramah sedang menjamu tamunya, Koai-lojin mengajak Han Han makan bersama, sikapnya biasa saja seperti seorang petani sederhana sungguhpun masakan-masakan itu ternyata enak juga, agaknya memakai bumbu yang cukup dan araknya pun amat baik. Han Han tidak berani bertanya lagi dan makan tanpa berkata apa-apa. Setelah mereka menghabiskan nasi dan sayur, makan buah-buahan dan minum arak, kakek itu menarik napas penuh kepuasan lalu berkata.

   "Suma Han, mengapa engkau menyimpan keherananmu di dalam hati? Kalau engkau terheran menyaksikan sikap dan perbuatanku, tanyalah. Hanya dengan bertanya orang dapat mengerti, dan bertanya adalah senjata seorang yang rendah hati, sedangkan hanya orang rendah hati saja yang akan mendapatkan kemajuan dalam perjalanan hidupnya."

   Kembali Han Han terkejut. Kakek ini kelihatannya biasa sederhana dan wajar tidak membayangkan keanehan dan tidak bersikap sebagai orang sakti, namun mengapa dapat mengetahui isi hatinya?

   "Suhu, kenikmatan dan kegunaan apakah yang suhu dapat peroleh dari pengasingan diri dari dunia ramai ini?"

   "Aku hidup di alam bebas dan menikmati keindahan dan keagungan alam yang sudah tak dapat tampak lagi oleh mata manusia yang hampir buta oleh kesenangan duniawi, melihat cahaya keemasan matahari, menikmati keharuman bunga-bunga, mendengarkan dendang merdu anak sungai mengalir dan bisikan-bisikan angin pada daun-daun pohon. Aku mengagumi kekuasaan Thian yang tampak nyata di mana-mana, dan aku berusaha untuk menyatukan diri dengan segala keindahan alam ini, sesuai dengan kekuasaan Thian."

   Demikianlah, dengan filsafat yang gamblang, yang tidak berliku-liku, Han Han menerima gemblengan batin dari kakek itu selama belasan hari di pinggir telaga. Pada hari ke lima belas, kakek itu berkata setelah mereka sarapan pagi,

   "Hari ini kita berpisah, muridku. Aku akan pergi dari tempat ini."

   "Suhu hendak pergi ke manakah dan kapan teecu diperkenankan menghadap suhu lagi?"

   Kakek itu tertawa dan mengelus jenggotnya.

   "Entahlah, aku ingin mengikuti jejak angin dan awan. Dan apabila Tuhan menghendaki, tentu kita dapat saling berjumpa lagi."

   Han Han lalu menjatuhkan diri berlutut.

   "Suhu, sebelum suhu meninggalkan teecu, teecu mohon petunjuk suhu dan sudilah memberi tambahan ilmu untuk teecu pergunakan dalam tugas teecu membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan kejahatan."

   "Ha-ha-ha, Memang amat merdu dan indah bunyinya. Membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan kejahatan. Betapa merdu dan indah bunyinya, akan tetapi betapa lucu kenyataannya, seperti judul adegan panggung serombongan badut. Karena itu, kuperingatkan kepadamu, Suma Han, jangan engkau menjadi seorang di antara badut-badut yang tidak lucu itu. Membela kebenaran dan keadilan siapa? Kebenaran dan keadilan untuk siapa? Kalau hanya benar dan adil untukmu sendiri, jangan disebut-sebut lagi karena semua itu palsu. Menentang kelaliman dan kejahatan yang mana? Hati-hatilah menentukan ini, Suma Han, dan yang terpenting adalah mengalahkan kelaliman dan kejahatan yang merajalela di dalam hati sendiri, dibangkitkan oleh nafsu kesenangan pribadi. Yang baik itu belum tentu baik, sedangkan yang buruk juga belum tentu buruk. Dan jangan sekali-kali engkau memandang rendah yang buruk karena sudah jelas bahwa hanya karena adanya buruk maka ada baik, karena ada kedosaan maka manusia mengejar kesucian. Karena adanya Neraka maka ada Sorga. Tanpa ada keburukan mana mungkin ada kebaikan? Karena itu, pengejaran kebaikan itu pertama-tama dicetuskan oleh keburukan. Kepandaianmu sudah cukup, engkau minta ilmu apa lagi? Di samping ilmu-ilmu silatmu yang tinggi, tenaga sin-kangmu yang sukar dilawan, gin-kangmu yang luar biasa dengan ilmu Soan-hong-lui-kun, engkau masih memiliki kekuatan dahsyat yang mukjizat, yang masih terpendam. Tanpa kau sadari, mungkin timbul berbareng dengan penyakitmu yang aneh itu, engkau telah memiliki tenaga i-hun-to-hoat yang amat kuat dan dengan kekuatan batin yang dahsyat ini, siapakah yang akan dapat mengalahkanmu?"

   Han Han teringat akan ilmu mukjizat yang sering kali timbul dalam dirinya, teringat akan pengalaman-pengalamannya yang lalu di mana tanpa disadarinya ia dapat menundukkan lawan hanya dengan kekuatan kemauannya menguasai kemauan orang lain. Akan tetapi ia pun terkejut mendengar disebutnya ilmu itu, dan teringat pula betapa dahulu ketika ia masih kecil, ia dituduh memiliki ilmu I-hun-to-hoat oleh mendiang Lauw-pangcu. Setelah ia dewasa dan banyak mengenal tokoh-tokoh kang-ouw, ia tahu bahwa I-hun-to-hoat adalah semacam ilmu sihir yang dimiliki oleh Thai Li Lama. Maka ia terkejut dan cepat berkata.

   "Suhu, teecu tidak pernah mempelajari I-hun-to-hoat. Bukankah ilmu itu semacam ilmu sihir yang berbahaya dan jahat?"

   "Ilmu tetap ilmu, baik atau jahatnya tergantung si pemakai. Akan tetapi memang benar bahwa makin tinggi ilmu itu, makin berbahaya karena besarnya kegunaan ilmu yang tinggi membuat manusia lupa diri dan mempergunakannya untuk mengejar kesenangan pribadi dengan merugikan orang lain. I-hun-to-hoat adalah ilmu untuk menguasai pikiran dan kemauan orang. Eng kau sudah memiliki tenaga yang amet kuat, yang timbul secara aneh melalui pandang matamu. Hanya tinggal kau menguasainya saja, sehingga mampu mempergunakannya. Aku percaya bahwa engkau akan dapat memanfaatkan ilmu itu sebaik-baiknya. Caranya hanya melalui siulian dan pemusatan kekuatan yang kemudian diluncurkan keluar melalui pandang mata dan suara."

   Dengan jelas Koai-lojin memberi petunjuk kepada Han Han sampai dua jam lebih. Akhirnya Han Han dapat mengerti jelas dan sebelum pergi, kakek itu berpesan.

   "Engkau harus berhati-hati benar dengan ilmu ini, Suma Han. Dengan ilmu ini, yang kutahu amat kuat berada dalam dirimu, engkau akan menjadi seorang yang sukar terkalahkan dan dengan ilmu itu engkau dapat melakukan apa saja sehingga akan mudah menyeretmu sendiri ke jurang kehancuran. Selamat tinggal."

   Koai-lojin berkelebat pergi meninggalkan muridnya yang masih berlutut. Hati Han Han menjadi makin kuat karena kepercayaan kepada diri sendiri makin kokoh. Ilmu baru yang dimilikinya membuat ia menjadi makin tenang, akan tetapi juga makin hati-hati mengendalikan perasaan dan hatinya, karena ia tahu bahwa dengan ilmunya ini ia akan dapat menguasai manusia lain yang tentu saja tidak memiliki kekuatan batin yang amat kuat.

   Karena waktu yang dijanjikan oleh Puteri Nirahai tinggal beberapa hari lagi maka Han Han lalu mempergunakan gerak kilatnya untuk berloncatan cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke kota raja. Biarpun ia menghadapi saat yang amat menenangkan, yaitu perjumpaannya kembali dengan puteri itu, namun hatinya tetap diliputi kekhawatiran kalau-kalau akan muncul penghalang besar bagi kebahagiaannya bersama Nirahai. Han Han tiba di kota raja tepat pada hari yang dijanjikan, yaitu sebulan setelah berpisah dengan Nirahai. Pagi hari itu, dengan tenang ia berjalan memasuki kota raja dan langsung ia menuju ke istana. Akan tetapi jauh sebelum ia tiba di pintu gerbang istana, seorang perwira muda tinggi besar memanggilnya.

   "Suma-taihiap....."

   Han Han menoleh dan memandang perwira muda itu dengan heran. Dia tidak mengenal perwira itu memanggilnya, karena kini perwira itu dengan langkah lebar menghampirinya, menoleh ke kanan kiri dan berkata perlahan.

   "Harap taihiap suka mengikuti saya. Ada pesan penting dari Puteri Nirahai untuk taihiap"

   Han Han mengangguk dan keningnya berkerut, hatinya tidak enak rasanya ketika ia terpincang-pincang mengikuti perwira itu yang berjalan menuju ke tempat sepi di jembatan sebelah barat. Di tempat sepi ini ia berhenti dan mengajak Han Han menyeberangi jembatan. Kemudian ia berkata.

   "Saya diberi tugas oleh Sang Puteri untuk menghadang taihiap dan menyerahkan surat ini. Maaf, saya tidak dapat menemani taihiap lebih lama lagi karena kalau sampai ketahuan, tentu saya akan ditangkap. Dan sebaiknya kalau taihiap lekas keluar dari kota raja karena taihiap dianggap sebagai seorang pelarian yang harus ditangkap."

   Setelah berkata demikian, perwira muda itu cepat pergi meninggalkan Han Han.

   Makin tidak enak rasa hati Han Han, akan tetapi ia menekan perasaannya dan tetap bersikap tenang. Dibukanya sampul surat itu dan dikeluarkannya sehelai kertas yang penuh dengan tulisan indah dan halus, tulisan Nirahai yang sudah dikenalnya ketika mereka bersama mengukir batu nisan untuk makam kedua orang nenek di puncak Bukit Cengger Ayam. Han Han mulai membaca dan kerut di antara alisnya makin mendalam, sinar matanya menjadi tajam berapi membayangkan kemarahan. Apakah isi surat kekasihnya itu? Kabar buruk. Terlampau buruk bagi Han Han yang datang dengan hati penuh harapan dan kegembiraan,

   Sungguhpun kabar buruk seperti yang dibayangkan dari tulisan Nirahai ini memang sudah dikhawatirkannya. Di dalam surat itu Nirahai menceritakan betapa kaisar menjadi marah sekali ketika Nirahai menceritakan tentang perjodohan itu dan mohon ijin. Kaisar marah-marah dan memakinya sebagai anak yang tak tahu malu, mencemarkan nama besar Kerajaan Mancu. Masa puteri Kaisar Mancu yang mulia, puteri yang terkenal sebagai seorang panglima besar akan menikah dengan seorang bekas pemberontak, seorang yang telah membunuh Ouwyang Seng yang tadinya direncanakan hendak dijadikan suami Nirahai, bahkan seorang yang buntung sebelah kakinya"

   Kemarahan kaisar amat hebat sehingga kaisar memerintahkan para pengawal untuk menangkap Nirahai dan memasukkan puterinya sendiri itu ke dalam penjara istana.

   "Aku ditahan di dalam kamarku sendiri di istana,"

   Demikian Nirahai menutup suratnya.

   "dilayani seperti biasa akan tetapi dikurung pasukan pengawal dan tidak boleh keluar dari kamar. Aku bingung dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Han Han, aku cinta padamu akan tetapi aku pun berat kepada keluarga dan kerajaanku. Biarlah kuanggap hal ini sebagai ujian, ujian bagi cinta kita, terutama ujian bagi cintamu. Terserah kepadamu apa yang akan kau lakukan kini untuk mencari jalan keluar."

   Dengan sinar mata berapi Han Han membaca kalimat-kalimat terakhir,

   "Aku tahu bahwa Ayahanda Kaisar telah terkena hasutan Pangeran Ouwyang Cin Kok sehingga membencimu dan menyatakan bahwa aku lebih baik mati daripada menjadi isterimu."

   Han Han membaca sekali lagi isi surat itu dari awal sampai akhir, kemudian ia meremas hancur kertas itu. Nirahai menantangnya. Menantangnya untuk mengambil keputusan, untuk bertindak demi cinta kasihnya. Dan Pangeran Ouwyang Cin Kok adalah biang keladi dari kegagalan ini. Timbul niatnya untuk mendatangi istana pangeran itu dan hendak mengamuk untuk kedua kalinya, membunuh pangeran tua itu. Akan tetapi, teringat akan wejangan Koai-lojin, ia cepat menarik kembali dan menekan nafsu amarahnya, menghapus dendamnya dengan kesadaran bahwa Pangeran Ouwyang Cin Kok bersikap seperti itu tentu ada sebabnya. Dan sebabnya adalah kematian putera tunggalnya, yaitu ouwyang Seng.

   Ayah manakah yang tidak akan menjadi marah, sakit hati, dan bertekad untuk membalas dendam atas kematian puteranya yang dibunuh orang? Han Han menghela napas dan mengusir pergi bayangan Pangeran Ouwyang Cin Kok, bahkan lalu memusatkan pikirannya untuk menyelundup ke istana dan bagaimana untuk dapat membebaskan Nirahai. Ia harus membebas kan Nirahai dari tahanan dan membawanya lari. Jelas bahwa kekasihnya itu menantangnya untuk bertindak. Ia tahu bahwa dengan ilmu kepandaiannya dan pengaruhnya, tentu saja Nirahai dapat membebaskan diri sendiri tanpa ada pengawal yang berani menghalanginya, akan tetapi puteri itu agaknya tidak suka memberontak terhadap keputusan ayahnya. Maka puteri itu menantangnya untuk bertindak, karena kalau Han Han yang turun tangan membebaskannya, hal itu tidak dapat dianggap sang puteri memberontak.

   Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Han Han untuk meloncat ke atas benteng yang mengelilingi istana, kemudian cepat sekali, dilindungi oleh kegelapan malam, pemuda ini meloncat turun ke dalam taman istana. Dengan mudah ia dapat menemukan kamar Puteri Nirahai karena kamar ini merupakan sebuah bangunan mungil dan mewah tak jauh dari taman, dan bangunan ini dijaga oleh kepungan pasukan pengawal yang jumlahnya seratus orang lebih. Tidak mungkin memasuki bangunan itu tanpa diketahui mereka karena sekeliling bangunan kecil itu dikepung ketat. Kebetulan sekali Han Han melihat empat orang wanita-wanita muda yang cantik-cantik, berpakaian sebagai pelayan-pelayan istana jalan beriringan datang menuju ke bangunan itu sambil membawa baki-baki yang tertutup kain, agaknya hidangan untuk sang puteri. Han Han cepat mengerahkan kekuatan batinnya dan meloncat ke depan, muncul dari balik pohon dan berkata.

   "Adik-adik yang manis, aku adalah rekan kalian. Aku pelayan dari istana Ibunda Sang Puteri, diperintahkan oleh beliau untuk menjenguk keadaan puterinya."

   Empat orang wanita pelayan itu tertegun melihat berkelebatnya bayangan, akan tetapi hati mereka lega ketika melihat seorang wanita cantik yang berpakaian seperti mereka. Mereka adalah pelayan-pelayan Puteri Nirahai dan biarpun belum pernah melihat "gadis pelayan"

   Yang muncul ini, akan tetapi mereka percaya bahwa tentu ini pelayan dari ibunda sang puteri, kalau tidak siapa lagi berani menyamar di tempat itu?

   "Kalau begitu, marilah ikut bersama kami, Cici. Kami pun hendak mengantar hidangan malam Sang Puteri,"

   Jawab seorang diantara mereka.

   Han Han yang sudah berhasil menguasai empat orang wanita pelayan itu menggunakan kekuatan gaib yang memancar keluar dengan pengaruh mukjizat sehingga mereka melihat dia sebagai seorang pelayan cantik, lalu berjalan perlahan di belakang empat orang pelayan itu. Mereka mengambil jalan memutar dan menghampiri pintu samping yang terjaga oleh lima orang pengawal. Melihat datangnya empat pelayan Sang Puteri Nirahai, lima orang pengawal itu segera mengenal mereka dan tidak berani main-main karena pelayan-pelayan Puteri Nirahai ini selain memiliki ilmu silat yang tak boleh dipandang ringan, juga para pelayan Nirahai terkenal galak-galak dan tidak boleh diganggu.

   Han Han sudah menggunakan kekuatan matanya sehingga lima orang pengawal itupun melihatnya sebagai seorang gadis pelayan dan membiarkan Han Han lewat bersama empat pelayan lain. Begitu memasuki sebuah kamar besar yang berbau harum dan indah, empat orang pelayan itu sudah mengatur isi baki di atas meja dan Han Han yang melihat Puteri Nirahai duduk termenung di dekat pembaringan, di atas sebuah bangku menghadapi meja bundar, cepat menghampiri dengan jantung berdebar saking terharu dan girangnya. Karena para pelayan masih berada di ruangan kamar itu, terpaksa Han Han lalu menggunakan kekuatan matanya, sambil beriutut ia berkata,

   "Puteri, hamba datang menghadap...."

   Nirahai membalikkan mukanya memandang dan dara ini bangkit berdiri. Sejenak matanya seperti orang bingung, dikejap-kejap beberapa kali dan terpaksa Han Han harus mengerahkan pandang matanya dengan tenaga mukjizatnya sambil berkata lagi untuk memperkuat pengaruhnya,

   
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hamba adalah seorang pelayan Ibu Paduka."

   Biarpun Nirahai juga memiliki kekuatan batin yang besar serta kemauan yang keras tidak mudah dipengaruhi orang lain, namun setelah kelihatan bingung sejenak, akhirnya ia terpengaruh juga dan berkata dengan lesu,

   "Mau apa kau?"

   "Hamba akan menyampaikan sesuatu yang amat rahasia kepada Paduka, di bawah empat mata saja."

   Nirahai yang sedang kesal hatinya itu hampir marah, akan tetapi mengingat bahwa pelayan ini adalah utusan ibunya, ia lalu menoleh kepada empat orang pelayannya dan berkata,

   "Kalian keluarlah dulu dari kamar ini."

   Empat orang pelayan yang sedang mengatur hidangan itu, sejenak menengok ke arah Han Han, kemudian mereka keluar dari kamar dan menunggu di luar kamar, di ruangan depan sambil berbisik-bisik, hati mereka merasa iri dan tak senang karena belum pernah Puteri Nirahai mengusir mereka hanya karena hendak bicara dengan seorang pelayan lain. Setelah empat orang itu keluar dari kamar dan pintunya ditutup perlahan, Han Han bangkit berdiri dan berkata halus penuh rasa haru,

   

Istana Pulau Es Eps 35 Istana Pulau Es Eps 14 Kisah Pendekar Bongkok Eps 20

Cari Blog Ini