Memburu Iblis 17
Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 17
"Lihatlah! Kalau dia itu memang bermaksud jahat, apa perlunya dia datang kesini untuk meminta maaf? padahal kalau ia mau, kalian semua ini bisa saja dibunuhnya?"
"Tapi... tapi dia hendak menggangguku!" tiba-tiba gadis cucu kepala-desa itu berteriak dari belakang punggung kakeknya.
"Oh, Ceng Ceng!" Kam Lojin berdesah dengan mulut tersenyum.
"Hal itu memang telah diakuinya pula. Tapi kau pun juga harus memakluminya. Hmm, siapakah orangnya yang bisa tahan melihat gadis secantik kau mandi di sungai? Apalagi seorang yang masih sangat muda seperti dia? Tapi yang jelas... dia belum berbuat apa-apa kepadamu, bukan?" Gadis itu tersipu-sipu malu. Mukanya bagai udang direbus.
"Ini... ini... ah... Lojin ini bisa saja." gumamnya tak jelas. Tiba-tiba Liu Yang Kun melangkah ke depan.
"Benar, Siocia (Nona)... Aku sungguh-sungguh merasa bersalah dan meminta maaf kepadamu. Kuharap Siocia mau memaafkannya..." Gadis itu semakin merasa malu sekali, la bersembunyi di belakang kakeknya dan tak berani menatap wajah Liu Yang Kun. Tiba-tiba saja gadis manis itu merasa suka terhadap sikap Liu Yang Kun yang terbuka dan ksatria itu. Sementara itu satu dua orang penduduk di sekitar Balai Desa itu mulai keluar dari rumahnya. Melihat banyak orang berkumpul di Balai Desa bersama-sama dengan Kam Lojin dan Kepala Desa mereka, mereka lalu mendekat dan ikut berkumpul pula. Sedikit demi sedikit rasa takut mereka menjadi hilang. Apalagi ketika tampak oleh mereka, pemuda yang sangat berbahaya itu tidaklah segarang atau sebuas yang mereka bayangkan.
"Cungcu, dimanakah mayat yang kita ketemukan tadi?" setelah semuanya beres Kam Lo jin lalu bertanya tentang mayat gadis muda itu.
"Dia telah kami kuburkan. Mengapa Kam Lojin?"
"Tidak apa-apa. Syukurlah kalau sudah dikuburkan. Aku merasa kasihan melihatnya. Hmm... sungguh keji penjahat itu. Sudah memperkosa masih membunuh juga." Kam Lo jin menggeram. Orang orang yang berkumpul di tempat itu pun kelihatan geram dan penasaran pula. Malah beberapa orang wanita tampak menitikkan air-mata, seakan-akan musibah tersebut datang pada diri keluarga mereka.Otomatis Liu Yang Kun merasa terpukul juga. Meskipun tidak ia kehendaki sendiri, namun ia pernah berbuat seperti itu pula. Terbayang di otaknya sekarang, betapa sedih dan pilu keluarga dari gadis-gadis yang menjadi korbannya dulu.
"Ooooh, peristiwa seperti itu tak boleh terulang kembali. Aku harus mencegahnya sekuat tenaga." pemuda itu merintih di dalam hati.
"Siau-heng, kau kenapakah? Apakah badanmu sakit?" Kam Lojin yang merasa heran menyaksikan perubahan wajah pemuda itu bertanya.
"Oh... eh... eh, tidak apa-apa. Siauwte tidak apa apa, Lo-Cianpwe."' Liu Yang Kun menjawab gugup.
"Tapi... mengapa mukamu menyeringai seperti orang menahan sakit?"
"A-a-aku ikut merasakan betapa sedihnya keluarga gadis yang mati itu.." Liu Yang Kun menjawab sekenanya. Kam Lojin mengerutkan keningnya, lalu mengangguk.
"Benar, Siau-heng. Akupun akhirnya menjadi penasaran pula. Sungguh kejam dan keji sekali penjahat itu. Ingin benar rasanya mencari dan menangkapnya. Tapi sayang aku sudah terlalu tua untuk me lakukannya. Tulangku sudah rapuh, ototku pun juga sudah kendor pula..."
"Ah... Kam Lo-Cianpwe ini suka benar merendahkan diri. Siapakah orangnya di dunia ini yang tidak mengenal Kam Song Ki, murid bungsu mendiang Bu-eng Sin-yok-ong? Dan siapa pula yang tak tahu bahwa Kam Lo-Cianpwe adalah guru dari Keh-sim Siau-hiap yang terkenal itu?" Liu Yang Kun cepat memotong. Tapi dengan cepat pula Kam Lojin menepuk pundak Liu Yang Kun. Sambil mendekatkan mulutnya orang tua itu berbisik,
"Hei... jangan sebut sebut nama itu di sini! Di dusun ini hanya seorang petani tua yang suka menolong untuk mengobati anak-anak. Lain tidak." Liu Yang Kun tertegun. Dan ketika matanya memandang ke arah orang-orang dusun itu, memang tampak benar kalau mereka itu sangat asing dengan nama-nama yang dia sebutkan tadi. Semuanya, termasuk kepala desa mereka, kelihatan bingung dan termangu-mangu mendengar perkataannya itu. Demikianlah sete lah persoalannya dengan warga dusun Kee-cung itu telah selesai, Liu Yang Kun lalu meminta diri. Namun dengan cepat Kam Lojin menahannya. Orang tua itu memintanya dengan sangat agar ia mau singgah dulu di rumahnya.
"Aku mau berbincang-bincang sedikit dengan Siau-heng." kata orang tua itu dengan wajah bersungguh-sungguh.
Liu Yang Kun menoleh, dan jantungnya berdebar-debar melihat kesungguhan Kam Lojin. Pemuda itu seperti melihat sesuatu yang gawat pula di balik ucapan orang tua tersebut. Tapi karena dia tak mempunyai rencana atau tujuan yang pasti juga, maka dia tak bisa menolak undangan itu. Begitulah dengan diantar oleh puluhan pasang mata warga dusun Kee-cung yang berkumpul di Balai Desa itu, Liu Yang Kun melangkah pergi mengikuti Kam Lojin. Walaupun kecil tapi rumah Kam Lojin sangat bersih dan teratur rapi. Di halamannya pun banyak ditumbuhi pohon-pohon penyegar, sehingga tempat itu terasa nyaman dan sejuk. Setelah menikmati makanan seadanya, mereka lalu duduk di depan untuk berbincang-bincang seperti yang diinginkan oleh Kam Lojin tadi. Percakapan mereka yang semula amat santai itu tiha-tiba berubah menjadi tegang dan bersungguh-sungguh.
"Liu Siau-heng...? Bolehkah aku bertanya tentang sesuatu hal kepadamu...?" Kam Lojin memulai pembicaraannya dengan bersungguh-sungguh.
"Ah! Silahkan, Lo-Cianpwe...!" Liu Yang Kun menjawab dengan suara bergetar. Wajahnya kelihatan tegang pula.
"Liu Siau-heng, baru dua kali ini aku bertemu denganmu. Pertama di desa Ho-ma-cun beberapa tahun yang lalu, yaitu ketika Liu Siau-heng datang mengunjungi pondokku bersama Toat-beng-jin, Tong Ciak Cu-si dan Souw Lian Cu itu. Dan yang kedua adalah sekarang ini. Tapi... aku menjadi heran mendengar namamu. Kalau tak salah dulu kau memakai she Chin (marga Chin), bukan she Liu seperti yang kau sebutkan sekarang. Eh... maaf, manakah yang benar? She Chin ataukah she Liu? Soalnya... akupun pernah mendengar pula nama Liu Yang Kun yang lain, yang memiliki riwayat amat menarik dan amat terkenal di negeri kita ini..."
Sekilas Liu Yang Kun menatap Kam Lojin. Jantungnya berdebar keras. Sementara keringat dingin seperti membanjir pula dengan tiba-tiba. Laksana seorang pesakitan yang tidak bisa mengelak lagi dari tuduhan jaksa, Liu Yang Kun termangu-mangu mendengarkan pertanyaan orang tua itu.
"Bagaimana Liu Siau-heng? Manakah yang benar? She Chin ataukah she Liu?" Kam Lojin mendesak lagi. Liu Yang Kun mengusap keringat dengan ujung lengan bajunya. Lalu dengan hati-hati ia bertanya,
"Apa saja yang telah Lo-Cianpwe dengar tentang nama Liu Yang Kun yang lain itu, Lo-Cianpwe?" Kam Lojin tersenyum penuh arti.
"Banyak. Banyak sekali, Siau-heng. Diantarannya adalah... dia itu putera Hongsiang yang bertakhta sekarang. Dan dia itu telah bertahun-tahun pergi meninggalkan istana. Entah kemana. Namun yang terang Hongsiang telah memerintahkan pembantu-pembantunya untuk mencarinya. Dan lagi, berita terakhir yang kudengar, Pangeran itu telah meninggal dunia setahun yang lalu. Tepatnya di Lembah Dalam, di dekat Kota Soh ciu, karena tertimbun oleh bukit yang longsor. Hmmm... ada apa, Siauw-heng? Apakah Siauw-heng juga sudah kenal dengan Pangeran itu? Ataukah... Ataukah... hmm?" Kam Lojin tidak meneruskan kata-katanya. Sebaliknya orang tua itu memandang Liu Yang Kun dengan tajamnya. Dan sekali lagi mulutnya tersenyum penuh arti, seakan-akan ia memang sudah tahu siapa sebenarnya Liu Yang Kun itu.
"Be-berita apa lagi... yang Lo-Cianpwe dengar tentang dia?" Liu Yang Kun masih mencoba untuk meyakinkan dirinya, meskipun tampaknya ia sudah takkan bisa menyembunyikan diri lagi.
(Lanjut ke Jilid 17)
Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono
Jilid 17
"Sudah kukatakan tadi. Banyak sekali. Di antaranya lagi ialah... berita tentang masa kecil dari Pangeran Liu Yang Kun. Menurut berita yang kudengar, sejak kecil Pangeran itu tidak mengikuti ayahnya, tapi ikut keluarga lain. Dan kalau aku tak salah dengar, keluarga yang diikuti Pangeran itu adalah keluarga bangsawan Chin..." Liu Yang Kun semakin tak berkutik. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Berkali-kali bibirnya berdesah.
"Dan setelah tumbuh dewasa, Pangeran itu ternyata memiliki kepandaian yang hebat luar biasa. Entah dari mana dia mendapatkan kesaktian itu, namun yang terang dalam usianya yang masih sangat muda itu dia telah mampu mengalahkan tokoh tokoh puncak di dunia persilatan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila namanya ikut tercantum pula di dalam Buku Rahasia yang diributkan orang itu..."
"Aaaah...?" Liu Yang Kun tersentak.
"Buku Rahasia? Buku apakah itu?" Lagi-lagi Kam Lojin tersenyum.
"Entahlah. Aku pun belum pernah melihatnya. Berita itu kudengar dari muridku, Keh-sim Siau-hiap Kwee Tiong Li. Katanya di dunia persilatan telah muncul sebuah buku, yang disebut Buku-Rahasia. Selain memuat syair-syair yang berisi ramalan dan petunjuk-petunjuk, buku itu juga mencantumkan Daftar Tokoh-tokoh Terkemuka dewasa ini."
"Daftar Tokoh-tokoh Persilatan Terkemuka dewasa ini? Ah...? Siapakah yang memiliki buku itu? Dan... siapa pula yang menulisnya?" Liu Yang Kun bertanya. Tapi Kam Lojin cepat menggoyangkan telapak tangannya.
"Eeit,nanti dulu...! Siau-heng belum menjawab pertanyaanku tadi. Lebih baik Siau-heng menjawab dulu, baru nanti bertanya lagi. Jadi percakapan kita ini menjadi enak dirasakan. Bukan hanya aku saja yang harus bercerita dan selalu menjawab pertanyaan Siau-heng..." katanya dengan tertawa.
"Oooh...!" Liu Yang Kun berdesah dan tersipu-sipu. Dan tiba-tiba keringatnya mengalir kembali dengan derasnya.
"Bagaimana, Siau-heng...?" Liu Yang Kun menatap Kam Lojin sebentar, lalu menunduk kembali. Sebelum membuka mulut ia mengambil napas dulu untuk menenangkan hatinya.
"Baiklah, Lo-Cianpwe. Siauwte akan menjawab pertanyaanmu tadi, biar perasaan Lo-Cianpwe menjadi lega. Menjadi yakin. Sebab bagaimanapun juga aku takkan dapat bersembunyi terus menerus dari kenyataan, apalagi kalau aku sudah bertemu dengan orang-orang yang telah mengenalku."
"Jadi...?" sekarang ganti Kam Lojin yang mendesak. Liu Yang Kun mengangguk.
"Dugaan Lo-Cianpwe memang benar. Siauwte memang putera Hongsiang yang bernama Liu Yang Kun itu yang telah bertahun-tahun meninggalkan istana dan yang setahun lalu telah dikhabarkan mati tertimbun bukit longsor di Kota Soh-ciu." katanya seraya menyingsingkan lengan bajunya dan memperlihatkan guratan huruf Chin Yang Kun di pangkal lengannya. Tiba-tiba Kam Lojin turun dari kursinya dan membungkuk di depan Liu Yang Kun.
"Ah, maafkanlah orang tua yang tak tahu sopan-santun ini, Pangeran..." katanya meminta maaf. Namun dengan cepat Liu Yang Kun menahannya.
"Lo-Cianpwe, kau jangan bersikap seperti itu! Sikap orang-orang Istana yang seperti itulah yang dahulu membuatku tak kerasan berada di samping Hongsiang. Aku telah terbiasa hidup di antara rakyat miskin. Bersama keluarga Chin yang mengasuh aku sejak kecil, aku selalu hidup berpindah-pindah untuk menghindari kejaran musuh. Oleh karena itu aku telah terbiasa hidup menderita. Aku muak terhadap kehidupan istana yang serba gemerlapan dan tata-cara, sementara di luar istana kehidupan rakyat banyak yang sengsara dan menderita. Maka sudah aku putuskan sejak dahulu, bahwa aku akan hidup di luar istana. Aku tak ingin bergelimang kemewahan, sementara hatiku menangis melihat rakyatku hidup di dalam kemiskinan dan penderitaan." Mendadak Kam Lojin berdiri tegak di depan Liu Yang Kun. Matanya mencorong menatap wajah pemuda itu.
"Maaf, Pangeran. Pangeran tadi mengatakan bahwa sikapku salah. Tapi ternyata sikap Pangeran itupun juga salah pula..." orang tua itu berkata tegas. Liu Yang Kun berdiri pula dengan cepat. Dengan wajah keheranan iapun menatap Kam Lojin.
"Sikapku juga salah? Bahagian manakah yang salah? Mengapa Lo-Cianpwe dapat berkata demikian?"
"Dilihat dari sudut pribadi Pangeran sendiri, sikap itu memang mulia dan baik. Dengan demikian Pangeran adalah seorang yang sederhana, berbudi luhur, jujur dan suka menolong manusia yang menderita. Tapi kalau dilihat dari kedudukan dan pangkat Pangeran sekarang, maka sikap itu bisa dikatakan terlalu mementingkan diri sendiri."
"Mementingkan diriku sendiri? Maaf, Lo-Cianpwe jangan bicara sembarangan. Mengapa Lo-Cianpwe menuduhku seperti itu? Bukankah aku malah mengorbankan segala-galanya? Kutinggalkan seluruh kemewahan. Kutinggalkan pula semua kedudukan dan semua hak-hakku di lstana. Kini aku rela hidup miskin dan menderita. Mengapa Lo-Cianpwe masih berani menuduhku terlalu mementingkan diriku sendiri?" Liu Yang Kun berseru penasaran. Lagi-lagi Kam Lojin membungkuk dengan hormatnya di depan Liu Yang Kun. Dengan suara tenang orang tua itu berkata.
"Maaf, Pangeran... Sekali lagi aku yang telah tua ini memohon maaf kepadamu bila ada kata-kataku yang salah. Tapi aku yang sudah pikun ini memang mengatakan yang sebenarnya. Cobalah Pangeran renungkan! Pangeran adalah satu-satunya putera resmi Baginda Kaisar Han, yang diakui oleh Baginda sendiri dan rakyat banyak. Bagindapun sangat sayang kepada Pangeran. Maka tidaklah mengherankan bila takhta kerajaan ini besuk akan jatuh kepada Pangeran pula."
"Aku tidak ingin menjadi Kaisar," Liu Yang Kun memotong dengan cepat.
"Nanti dulu! Harap Pangeran dengarkan dulu perkataanku ini. Dengan kedudukan Pangeran sekarang, ataupun dengan kedudukan Pangeran besuk, Pangeran bisa mendarma-baktikan kesederhanaan, keluhuran budi serta hasil-hasil pemikiran Pangeran yang mulia itu untuk rakyat banyak. Karena Pangeran telah terbiasa menderita dan merasakan kemiskinan rakyat, maka Pangeran tentu akan bisa menolong mereka pula. Karena Pangeran telah terbiasa mengalami kesengsaraan dan penderitaan, maka Pangeran tentu tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang sekiranya membuat rakyat sengsara dan menderita. Nah...bukankah dengan demikian Pangeran akan membahagiakan dan menyenangkan rakyat? Tidak cuma menyenangkan dan membahagiakan diri Pangeran sendiri? Mungkin dengan meninggalkan semua kedudukan dan kemewahan itu Pangeran menjadi lega dan bahagia. Tetapi... bukankah hal itu terlalu mementingkan diri sendiri? Padahal dengan kemampuan, kedudukan dan jabatan Pangeran itu Pangeran bisa berbuat lebih banyak untuk rakyat yang miskin dan sengsara? Apakah sikap Pangeran itu tidak sama dengan sikap seorang Panglima Perang yang meninggalkan pasukannya hanya karena tidak suka perang dan kekerasan? Apakah sikap Panglima Perang yang berbuat seperti itu justru tidak akan menjerumuskan pasukannya ke lembah kehancuran?"
"Ouooh...!" Bagaikan air es kata-kata Kam Lojin yang panjang lebar itu mendinginkan hati Liu Yang Kun. Perlahan-lahan pemuda itu duduk kembali. Wajahnya tertunduk. Tiba-tiba hatinya menjadi sadar akan kekeliruannya selama ini. Dia memang terlalu mementingkan dirinya sendiri. Dia telah menyia-nyiakan harapan rakyat. Dia juga telah menyakiti dan menyengsarakan hati ayahnya. Dia memang seperti Panglima Perang yang meninggalkan pasukannya di medan perang, hanya karena tidak menyukai peperangan dan kekerasan.
"Oh, Lo-Cianpwe... maafkanlah kebodohanku. Aku mengaku salah. Hatiku memang terlalu mementingkan diri sendiri. Jiwaku sungguh kerdil." pemuda itu merintih. Tapi dengan cepat, Kam Lojin menghiburnya. Dengan gaya seorang tua yang telah amat kenyang dengan pahit-getirnya kehidupan, Kam Lojin menepuk-nepuk pundak Liu Yang Kun.
"Maaf, Pangeran... Pangeran tidak perlu berkecil hati. Pangeran masih amat muda, maka tak mengherankan kalau hati dan pikiran belum sepenuhnya terbuka. Dalam hal lain, misalnya dalam hal ilmu silat, Pangeran memang telah cukup mendapatkan ujian dan tempaan, sehingga dalam hal ini Pangeran boleh dikatakan telah lulus dan mencapai tingkat yang tertinggi. Namun dalam hal kematangan jiwa, pikiran dan kehidupan, Pangeran masih harus belajar banyak. Semuanya itu membutuhkan waktu..." Liu Yang Kun menengadahkan mukanya. Sambil menarik nafas panjang ia bertanya:
"Lalu... apa yang harus saya kerjakan, Lo-Cianpwe?"
"Tentu saja Pangeran harus selekasnya pulang ke istana, menemui Baginda Kaisar Han, dan memohon maafnya.."
"Tapi..." Liu Yang Kun memotong, namun tak kuasa melanjutkannya.
"Tapi Pangeran belum merasa siap dan masih enggan untuk melakukannya?" Kam Lojin yang arif itu menebak hati Liu Yang Kun. Pemuda itu cepat mengangguk.
"Benar, Lo-Cianpwe. Tapi bukannya aku tak mau melakukannya. Aku hanya belum siap sekarang." Kam Lojin menghela nafas.
"Baiklah. Hal itu memang tidak dapat dipaksa. Terserah kepada Pangeran sendiri. Namun aku sangat bergembira atas kesediaan Pangeran untuk pulang itu. Terima kasih." Demikianlah, untuk beberapa waktu lamanya mereka tidak berbicara lagi. Masing-masing disibukkan oleh pikiran dan perasaan mereka sendiri. Baru beberapa waktu kemudian Liu Yang Kun seperti tersentak dari ketermenungannya.
"Eh, Lo-Cianpwe... Lo-Cianpwe tadi mengatakan bahwa di dunia persilatan telah muncul sebuah buku yang disebut orang Buku Rahasia. Malah Lo-Cianpwe tadi juga mengatakan bahwa di dalam buku tersebut juga dicantumkan nama-nama Tokoh-tokoh Persilatan Terkemuka dewasa ini... Ehm, siapakah pemilik sebenarnya dari buku itu? Dan siapakah penulisnya?"
"Haha... tampaknya Pangeran menjadi tertarik juga akan buku itu. Menurut berita yang kudengar, buku itu adalah milik Ban-hoat Sian-seng dari Puncak Gunung Hoa-san. Tapi entah bagaimana caranya, buku itu jatuh ke tangan Bok Siang Ki yang tinggal di tengah gurun Gobi. Dan entah bagaimana pula caranya, buku itu lalu muncul di dunia persilatan, sehingga banyak tokoh yang mengetahuinya. Kemudian dari mulut ke mulut isi buku itu diceritakan pula kepada orang lain, hingga sebentar saja berita itu telah membikin gusar dan penasaran banyak orang, karena di dalam salah satu bagiannya buku itu menuliskan urutan Daftar Tokoh-tokoh Persilatan Terkemuka dewasa ini. Mereka menjadi penasaran karena nama mereka tertulis pada nomer-nomer yang paling akhir, sementara pada nomer-nomer paling atas banyak tercantum nama-nama yang sama sekali belum dikenal di dunia persilatan."
"Eh, tadi Lo-Cianpwe mengatakan bahwa namaku juga ikut tertulis pula di dalam daftar itu. Apakah... apakah Lo-Cianpwe tahu nomer urutanku?" Kam Lojin tersenyum.
"Nah! Bukankah Pangeran ikut menjadi penasaran pula seperti yang lain?"
"Ah!" Liu Yang Kun berdesah dan tersipu-sipu.
"Tapi tak apa. Sudah wajar kalau Pangeran menjadi penasaran pula. Sebab bagaimanapun juga Pangeran masih sangat muda. Darah masih panas. Apalagi dalam urusan Ilmu silat seperti ini.."
"Ah, Lo-Cianpwe." Sekali lagi Kam Lojin tersenyum.
"Maaf, Pangeran... Aku sendiri juga hanya mendengar dari orang lain, sehingga aku juga tidak tahu persis urut urutannya. Menurut apa yang kudengar, pada urutan yang pertama sampai ke lima tertulis nama-nama Ban-bok-bu-giok-hong, yaitu singkatan nama dari Ban-hoat Sian-seng, Bok Siang Ki, Bu-tek Sin-tong, Giok-bin Tok-ong dan Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai. Sedangkan urutan yang keenam sampai dengan kesepuluh aku tak begitu jelas urut-urutannya. Kalau tak salah, yang berada di urutan yang keenam ada dua orang, yaitu Lo-sin-ong dan... aku. Lalu di urutan yang ketujuh juga ada dua orang, yaitu Toat-beng-jin atau Lojin-ong dari Im-Yang-kauw dan... Pangeran sendiri."
"Ohh?!"
"Kemudian di urutan yang ke delapan malah ada tiga nama, yaitu Keh-sim Siau-hiap, muridku sendiri, Pek-i Liong-ong, bekas suhengku juga, dan Put Chien-kang Cin-jin, dari aliran Bing kauw. Dan yang tertulis di urutan yang kesembilan dan kesepuluh adalah Put-ceng-li Lojin dan Tung-hai-tiauw."
"Lalu...? Urutan-urutan selanjutnya?" Liu Yang Kun bertanya pula.
"Wah... aku tak bisa menghapalnya, Pangeran. Banyak sekali. Mungkin sampai nomor yang ketiga puluh. Dan kadang-kadang setiap nomer tertulis dua nama atau lebih. Tapi... yang jelas Pangeran termasuk dalam Bu-lim Cap-hiong (Sepuluh Jago Persilatan)." Kam Lojin mengakhiri keterangannya dengan tersenyum. Liu Yang Kun ikut tersenyum pula. Sambil menghela napas pemuda itu memberi komentar,
"Ah... ada-ada saja! Enak saja menuliskan urut-urutan kesaktian orang di dalam buku. Tak heran kalau banyak yang marah dan penasaran. Hmmh...! Siauwte sendiri belum pernah berjumpa, apalagi sampai dicoba oleh penulisnya. Masakan dengan begitu ia sudah bisa mengukur kemampuanku?" Kam Lojin mengangkat pundaknya.
"Yah, setiap orang memang berkata begitu pula. Terutama yang berada di urutan belakang. Mereka menjadi marah. Apa lagi yang merasa kemampuannya tidak kalah dengan orang yang tertulis di atasnya. Perselisihan dan bentrokan pun lantas timbul di antara mereka. Dan akibatnya dunia persilatan menjadi resah dan panas. Setiap orang ingin memperbaiki kedudukannya.Mereka menantang orang-orang yang berada di urutan atasnya."
"Oh... sampai demikian hebat pengaruhnya?" Liu Yang Kun menyela. Kam Lojin mengangguk.
"Ya. Dan mereka pun lalu berlomba-lomba pula untuk meningkatkan ilmu mereka. Berbagai macam cara mereka lakukan. Ada yang menempa diri dengan lebih tekun mendalami ilmunya. Ada yang menambah ilmunya dengan mempelajari ilmu silat lain yang lebih tinggi. Dan ada pula yang mencari obat-obat atau mustika-mustika berkhasiat tinggi, yang dapat melipatgandakan kesaktian mereka."
"Mustika berkhasiat tinggi?" Liu Yang Kun yang merasa memiliki mustika racun itu menyela.
"Benar. Mungkin Pangeran telah pernah mendengar pula tentang mustika atau pusaka yang mampu menambah atau melipat-gandakan kesaktian pemiliknya seperti misalnya... darah ular-raksasa Ceng-liong-ong di danau Tai Ouw yang mampu melipat-gandakan Iwe-kang orang yang meminumnya."
"Darah ular raksasa Ceng-liong-ong?" Liu Yang Kun tersentak kaget.
"Ya! Pangeran pernah mendengarnya pula, bukan? Atau... Pangeran malah ikut memperebutkannya juga setengah bulan yang lalu?"
"Setengah bulan yang lalu? Apa maksud Lo-Cianpwe?" Kam Lojin mengerutkan dahinya.
"Ah! Apakah Pangeran tidak ikut menyaksikan keramaian di atas danau Tai Ouw pada malam bulan purnama setengah bulan yang lalu itu?" serunya heran. Liu Yang Kun cepat menggelengkan kepalanya. Dengan air muka keheranan dia memandang orang tua itu.
"Aku sama sekali tak mengetahuinya. Apakah Lo-Cianpwe juga menonton keramaian itu?" pemuda itu balik bertanya. Ternyata Kam Lojin juga menggelengkan kepalanya.
"Tidak Pangeran. Aku sudah merasa terlalu tua untuk ikut memperebutkannya. Aku hanya menyuruh Keh-sim Siau-hiap Kwee Tiong Li untuk mewakiliku. Ia masih muda, sehingga mustika itu sangat penting buat dia. Tapi katanya ular raksasa Ceng-liong-ong tidak muncul pada malam itu. Entah mengapa...?" Liu Yang Kun terhenyak untuk beberapa saat lamanya. Sadarlah ia sekarang mengapa mendadak Liong-cu i-kangnya bertambah dahsyat. Ternyata semua itu karena khasiat darah ular raksasa Ceng-liong-ong yang telah diminumnya. Dan tentu saja ular raksasa itu tak muncul di atas Danau Tai Ouw karena telah mati dibunuhnya. Malahan mustika racun ular itu telah berada di tangannya pula.
"Kalau begitu antara lorong di bawah tanah itu dengan Danau Tai Ouw memang ada hubungannya..." pemuda itu membatin. Tapi pemuda itu tidak mengatakan apa-apa. Apalagi tentang peristiwa yang dia alami di dalam lorong gua itu. la hanya mengangguk-angguk mendengar cerita orang tua itu. Setelah saling berdiam diri beberapa saat lamanya, Kam Lojin lalu buka pembicaraan lagi. Kali ini nada suaranya terdengar bersungguh-sungguh kembali.
"Maaf, Pangeran... Pangeran tadi belum bercerita tentang cara bagaimana... Pangeran menyelamatkan diri dari timbunan tanah longsor itu. Hmm, bolehkah aku mendengarnya?" Liu Yang Kun tersentak kaget dari lamunannya. Pertanyaan yang tiba-tiba tentang tanah longsor itu benar-benar membuatnya berkeringat. Beberapa saat lamanya ia berdiam diri untuk mencari jawaban yang tepat, namun tidak menyinggung keadaan atau pengalamannya di dunia bawah tanah itu.
"Ah...! Sebenarnya aku tidak tertimbun oleh bukit yang longsor itu, Lo Cianpwe. Aku masih terlindung oleh celah-celah batu di mana aku berada, sehingga aku bisa keluar melalui sela-sela atau lorong-lorong kecil yang kudapati di tempat itu."
"Begitukah? Wah, kalau begitu Thian benar-benar masih melindungimu, Pangeran." Kam Lojin berkata hampir tak percaya. Tapi Liu Yang Kun tak menyahutnya lebih lanjut. Entah mengapa pemuda itu tak ingin menceritakan pengalamannya di gua-gua di dalam tanah itu. Pemuda itu tak ingin bercerita tentang perkawinannya dengan Tui Lan dan tak ingin bercerita pula tentang buku-buku Bit-bo-ong maupun perkelahiannya dengan Ceng-liong-ong itu.
"Lalu... apa rencana Pangeran selanjutnya? Kemana sebenarnya tujuan Pangeran sekarang?" Pemuda itu menatap wajah Kam Lojin lalu menggeleng.
"Entahlah, Lo-Cianpwe. Aku sama sekali tak mempunyai tujuan yang pasti. Aku hanya ingin berjalan terus, sampai akhirnya aku menjadi bosan sendiri. Setelah itu mungkin aku akan kembali ke istana, untuk menghadap Hongsiang dan memohon maaf atas kesalahanku."
"Hmmm... Dan Pangeran benar-benar akan menempuh jalan sungai itu ke arah utara?"
"Ya!" Keduanya lalu berdiam diri kembali. Tapi kesunyian itu tidaklah lama karena dari jalan tampak seorang gadis memasuki halaman rumah Kam Lojin itu.
"Lojin...! Aku membawakan lauk kesukaanmu!" dari jauh gadis itu telah berseru sambil mengangkat tempat sayur yang dijinjingnya.
"Ah, Ceng Ceng... repot benar kau ini! Bukankah aku sudah bisa memasaknya sendiri?" Kam Lojin pura-pura menggerutu.
"Tapi kan tidak seenak masakanku..." Ceng Ceng membantah.
"Ya, tentu saja..." Kam Lojin menjawab dengan tersenyum. Lalu,
"Tapi... mengapa kau hanya sendirian saja? Dimanakah tunanganmu? Mengapa dia tidak mengantarkanmu?" Tiba-tiba wajah yang manis itu merengut. Apalagi ketika Liu Yang Kun ikut menatapnya pula, seolah-olah juga menunggu jawabannya.
"Mengapa aku harus membawanya pula. Huh! Lojin memang suka mengganggu aku. Kalau begitu aku mau pulang lagi saja." katanya kesal seraya membalikkan tubuhnya.
"Eee... eeee... nanti dulu! Kenapa menjadi marah? Bukankah aku hanya bergurau?" Kam Lojin cepat-cepat berseru pula seraya menepuk pundak gadis itu.
"Habis, Lojin juga keterlaluan..." Gadis itu berhenti dan merengut. Matanya mengerling dengan wajah dongkol. Namun kepalanya segera tertunduk begitu bertatapan dengan Liu Yang Kun. Air mukanya berubah menjadi merah. Sebaliknya Kam Lojin yang sudah tua itu segera maklum menyaksikan sikap si gadis yang kemalu-maluan itu. Dengan menghela napas panjang ia memandangi wajah Pangeran Liu Yang Kun yang tampan itu. Dan hatinya diam-diam menjadi kasihan kepada Ceng Ceng.
"Ceng Ceng, apakah pekerjaanmu sudah selesai semua? Hmm... jangan-jangan kakekmu mencarimu nanti." sambil menerima kiriman itu Kam Lojin mencoba untuk menyuruh pergi gadis itu dengan halus. Tapi tampaknya kedatangan Ceng Ceng kesitu memang ingin bertemu dengan Liu Yang Kun. Entah bagaimana terjadinya, namun panah asmara tampaknya telah mengenai cucu Kepala Desa itu.
"Ah, pekerjaanku sudah beres semuanya. Kakek takkan mencariku lagi." Gadis itu cepat mengelak.
"Aaaaa...!" Kam Lojin berdesah panjang. Sekilas wajahnya suram. Dan perasaan Liu Yang Kun yang tajam agaknya juga merasakan pula sikap kedua orang itu. Oleh karena itu untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan, ia segera mohon diri kepada Kam Lojin. Meskipun sebenarnya orang tua itu belum puas bertemu dan berbincang-bincang dengan Liu Yang Kun, tapi ia terpaksa membiarkan anak muda itu pergi meninggalkan rumahnya. Lebih baik pemuda itu pergi dari pada nanti terjadi persoalan-persoalan lain dengan gadis cucu kepala desanya itu.
Di lain pihak keberangkatan Liu Yang Kun yang mendadak dan seolah-olah menghindari dirinya itu benar-benar sangat mengecewakan dan melukai hati Ceng Ceng. Dengan cepat gadis itu melangkah keluar pula, lalu tanpa pamit kepada Kam Lojin dia pulang ke rumahnya. Kam Lo Jin menghembuskan napas dalam-dalam. Ia tak tahu harus berbuat bagaimana, karena semuanya berlangsung dengan cepat dan tak terencana. Namun demikian di dalam hati orang tua itu cukup bersyukur dengan keadaan tersebut. Hal itu akan lebih baik dari pada terjadi hal-hal yang sebaliknya karena bagaimana pun juga kedua anak muda itu tidak mungkin bisa bersatu. Liu Yang Kun adalah seorang Pangeran, putera tunggal Kaisar Han, sementara Ceng Ceng hanya seorang gadis dusun dan juga sudah bertunangan pula.
"Aaaaah...,!" Kam Lojin berdesah panjang sambil mengelus-elus jenggotnya. Matanya suram mengawasi punggung Liu Yang Kun dan Ceng Ceng yang telah jauh meninggalkan halaman rumahnya. Perlahan-lahan orang tua itu membalikkan tubuhnya, kemudian melangkah memasuki rumahnya. Tapi sebelum ia menutup pintunya kembali, dari arah kemana Ceng Ceng tadi pergi tiba-tiba terdengar suara jeritan wanita.
"Toloooooong...!"
"Perampok! Perampok...! Perampok...!"
"Penculik! Awaaas... Tangkap!" Sebentar saja dusun itu menjadi gempar luar biasa. Kam Lojin tidak jadi menutup pintunya. Sebaliknya dengan kecepatan tinggi tubuhnya melesat ke luar halaman. Tubuh yang tua dan kelihatan lemah itu mendadak berubah menjadi tangkas dan beringas bukan main.
Kakinya berloncatan ke tempat keributan dengan gesitnya, laksana seekor kijang muda mencari induknya. Dan orang tua itu segera terkesiap menyaksikan keributan yang terjadi di tengah tengah jalan desanya. Belasan orang asing bersenjata lengkap tampak bertempur dalam suasana tidak seimbang dengan penduduk desa Kee-cung itu. Bahkan pertempuran itu lebih tepat disebut pembantaian dari pada pertempuran yang sesungguhnya. Bagaikan kelompok kambing yang ketakutan di padang perburuan, penduduk desa itu tercerai-berai dan bergelimpangan diterjang oleh belasan orang asing yang kejam dan buas seperti serigala. Kemarahan Kam Lojin tak bisa dibendung lagi. Mulutnya menggeram dengan dahsyatnya. Begitu kuat getarannya, sehingga orang-orang yang berada di dalam arena itu merasa bagai diguncang isi dadanya.
Dan sebelum orang-orang asing itu menyadari apa yang telah terjadi, tubuh mereka telah jatuh tunggang-langgang pula diterjang oleh angin pukulan orang tua itu. Untunglah meskipun marah orang tua itu bukanlah manusia yang suka membunuh orang, sehingga pukulannya tidak bermaksud untuk melenyapkan jiwa lawannya. Walaupun demikian orang-orang yang bermaksud buruk di desa itu menjadi ketakutan melihat Kam Lojin. Sambil tertatih-tatih dan terpincang-pincang mereka melarikan diri dari tempat itu. Mereka berlari ke arah sungai. Kam Lojin lalu bergegas menolong penduduk yang menjadi korban. Tapi baru saja orang tua itu berjongkok, tiba-tiba datang Kepala Desa berlari-lari dari arah sungai. Orang yang umurnya juga hampir sebaya dengan Kam Lojin itu berteriak-teriak bagai orang kesurupan.
"Lojin...! Lojin...! Tolong... tolonglah, cucuku! Ceng Ceng di-diculik... pen"penjahat!"
"Apa"? Ceng Ceng diculik orang? Dia... dia tadi baru saja dari rumahku..." Kam Lojin berseru pula tak kalah kagetnya.
"Benar...! Dia... dia baru saja diculik oleh pimpinan para penjahat yang menyerbu desa kita! Dia...dia dibawa naik kuda!"
"Naik kuda? Kurang ajar...! Cung cu, kalau begitu tolong kau urus kawan kawan kita yang terluka ini! Aku akan mengejar cucumu!"
"Ba-baik, Lojin! Orang... orang itu berlari ke arah Utara!" Kepala Desa itu memberi keterangan. Tanpa menyia-nyiakan waktu lagi Kam Lojin melesat ke arah sungai. Di tempat itu Kam Lojin bertemu dengan rombongan penjahat yang lain. Dan mereka memiliki kepandaian yang lumayan juga, sehingga orang tua itu terpaksa turun tangan pula untuk menjaga agar mereka tidak mengumbar kekejamannya di kalangan penduduk.
"Dari mana sebenarnya penjahat-penjahat ini? Mengapa demikian banyak jumlah mereka?" orang tua itu membatin.
"Heiiii, awaaas! Disini ada ikan hiu besar!" salah seorang berteriak begitu menyaksikan kehebatan Kam Lojin.
"Siapkan jaring...!" yang lain menyambung. Orang-orang itu lalu bertebaran mengelilingi Kam Lojin. Masing-masing menggenggam tali panjang, yang ujungnya dikaitkan dengan sebuah jangkar kecil terbuat dari besi tajam. Mereka lalu berputaran sambil sesekali menyabitkan jangkar-jangkar kecilnya ke arah Kam Lojin.
"Hmm, agaknya mereka bajak laut dari laut timur. Tapi sungguh mengherankan sekali, bagaimana mereka bisa sampai di tempat ini? Dusun ini cukup jauh dari pantai." sambil mempersiapkan dirinya Kam Lojin berkata di dalam hati.
Demikianlah, beberapa saat kemudian orang-orang itu benar-benar menyerang Kam Lojin. Jangkar-jangkar kecil itu bertebaran bagai hujan ke tubuh orang tua itu. Namun dengan ginkangnya yang hebat tiada tara Kam Lojin mengelak, menangkis dan menyambar besi-besi berkait itu dengan amat mudahnya. Kakinya bergeser, melangkah, melompat dan melejit dengan ringannya dalam ilmu Ban-seng-po Lian-hoan (Langkah Selaksa Bintang Beralih), sebuah ilmu meringankan tubuh yang selama ini menjadi kebanggaan Kam Lojin dan muridnya, Keh-sim Siau hiap Kwee Tiong Li. Tentu saja para penjahat itu menjadi gugup dan bingung sekali. Tiba-tiba saja lawan mereka yang telah tua itu seperti lenyap terbungkus asap. Dan asap itu berkelebatan di sekitar mereka, beralih ke sana kemari, sambil membentur dan merebut senjata mereka.
"Gilaaa...!" salah seorang diantaranya mengumpat ketika jangkarnya terlepas dari tangannya, sedangkan tubuhnya terbanting di atas tanah. Dan kejatuhan orang itu segera diikuti pula oleh kawan-kawannya. Mereka bergelimpangan tanpa mengerti sebab-sebabnya. Mereka hanya melihat gulungan asap itu menerjang mereka, dan tahu-tahu mereka terdorong atau terlempar jatuh begitu saja.
"Nah, kalian mau pergi dari sini atau tidak? Kalau tidak mau, hemm...baiklah, aku akan membunuh kalian semua!" Kam Lojin dengan berdiri tegak membentak penjahat-penjahat yang sudah tidak berdaya itu.
"Badai topan! Lariii...!" salah seorang berseru kuat-kuat, kemudian lari mendahului kawan-kawannya. Dan sekejap kemudian yang lainpun segera ikut melarikan diri pula.
Dengan tangkas mereka menceburkan diri kesungai dan berenang ke arah perahu mereka yang menunggu di tengah sungai. Di sana mereka telah ditunggu pula oleh teman-teman mereka yang tadi dihajar Kam Lojin di tengah jalan desa itu.
"Sungguh mengherankan sekali. Apakah di tengah lautan sana sudah tidak ada perahu yang dapat mereka rampok lagi, sehingga mereka berkeliaran sampai di daratan terpencil seperti ini?" Kam Lojin menggerutu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah dapat mengusir para penjahat itu, Kam Lojin lalu meneruskan langkahnya untuk mengejar pemimpin penjahat yang melarikan Ceng Ceng. Karena jaraknya sudah agak lama, apalagi pemimpin penjahat itu mempergunakan kuda maka Kam Lojin mengalami kesulitan dalam melacaknya. Sampai matahari turun ke barat, Ceng Ceng serta penculiknya tidak dapat ia ketemukan.
Padahal orang tua itu sudah sampai di kota An lei pula. O leh karena itu dengan wajah lesu orang tua itu kembali ke desa kee-cung. Sementara itu desa Kee-cung seolah-olah dalam keadaan muram dan berkabung. Hampir seluruh penduduknya berkumpul di Balai Desa. Mereka membawa obor untuk menerangi halaman rumah kepala desa, yang kini diubah untuk sementara menjadi tempat menyimpan dan merawat para korban kekejaman penjahat tadi siang. Sedang kepala desa itu sendiri tampak gelisah bukan main. Bolak-balik ia mondar-mandir dari rumahnya ke jalan, untuk melihat kedatangan Kam Lojin. Wajahnya yang telah berkeriput itu tampak lesu dan kusut, sekusut pakaian yang dikenakannya. Dan hampir saja dia tak kuasa mengendalikan dirinya ketika dilihatnya orang yang ditunggunya itu kembali tanpa membawa cucunya.
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ba-bagaimana Lo...Lojin? dimanakah cucuku?" desahnya terengah engah seperti orang yang baru saja dikejar hantu. Kedua tangannya mencengkeram dan mengguncang-guncang tubuh Kam Lojin dengan kerasnya. Kam Lojin menatap kepala desanya itu dengan pandang mata kasihan dan penuh penyesalan. Kemudian dengan sangat berat ia menggelengkan kepalanya.
"Aku... aku tak bisa menemukannya, Cungcu. Maafkanlah aku..."
"Ooooooh...?!" kepala desa itu menjerit, lalu tak sadarkan diri. Seorang pemuda berkulit hitam, namun tampak gagah dan gesit, cepat datang menolong kepala kampung itu.
"Kakek...!" serunya khawatir. Dan orang-orang yang berada ditempat itupun lalu menjadi gempar dan ribut. Tapi dengan cepat Kam Lojin menenangkan hati mereka.
"Sudah! Kalian semua harap tenang! Cungcu tidak apa-apa. Dia hanya pingsan karena kaget mendengar cucunya tak bisa kuselamatkan. Sudahlah! Harap kalian duduk kembali dengan tenang. Nanti kita pikirkan lagi cara yang lain untuk mencari gadis itu." Orang tua itu berseru. Lalu katanya kepada pemuda berkulit hitam itu,"Cong Tai! Marilah kita bawa Cungcu ini ke dalam rumah. Kau pun tak perlu bersusah hati. Nanti kita cari lagi tunanganmu itu. Marilah...!"
"Ba-baik, Lojin..." pemuda itu menyahut dengan suara sedih pula. Demikianlah semua orang di Balai Desa itu dengan hati sedih membayangkan kesengsaraan yang kini tentu sedang dialami oleh Ceng Ceng. Mereka membayangkan bahwa gadis itu tentu sedang disiksa dan dihina me lampaui batas kemanusiaan oleh penjahat yang menculiknya. Atau mungkin gadis itu sudah dibunuh mati oleh penjahat itu setelah diperkosanya. Tak seorangpun dari penduduk Kee-cung itu yang membayangkan, apalagi mengetahui bahwa bayangan atau dugaan mereka tersebut adalah salah. Pada waktu itu sama sekali Ceng Ceng tidak disiksa atau diperlakukan secara tidak manusiawi oleh penculiknya, apalagi sampai menderita sengsara atau dibunuh seperti bayangan mereka itu.
Tapi sebaliknya saat itu Ceng Ceng sedang berada di puncak kebahagiaannya malah! Seperti telah diceritakan di bagian depan, gadis itu dengan perasaan malu dan tersinggung meninggalkan rumah Kam Lojin. Entah mengapa, sikap Liu Yang Kun yang tak peduli dan acuh terhadap dirinya itu membuat hatinya merasa panas dan tersinggung. Sambutan yang dingin dari pemuda yang tiba-tiba sangat menarik perhatiannya itu benar-benar jauh di luar dugaannya. Semula, menilik sikap dan kelakuan Liu Yang Kun ketika mengganggu dia di tepi sungai itu, Ceng Ceng merasa yakin bahwa pemuda itu amat tertarik kepada dirinya. Oleh karena itu ketika dia berkunjung ke rumah Kam Lojin, yang saat itu sedang menjamu Liu Yang Kun, hatinya benar-benar merasa yakin pula kalau pemuda itu tentu akan merasa sangat bergembira melihat dirinya.
Bahkan mungkin pemuda itu akan mengulangi lagi sikapnya di tepi sungai itu. Dan bila memang demikian halnya, Ceng Ceng sudah mempersiapkan pula jawabnya. Gadis itu akan bersikap jinak jinak merpati sehingga pemuda itu akan bertambah gemas dan penasaran terhadapnya. Tetapi apa yang ada didalam bayangannya itu ternyata jauh sekali bedanya dengan kenyataannya. Ternyata pemuda itu tidak menyambutnya dengan gembira seperti dugaannya. Sebaliknya pemuda itu pergi begitu saja, seakan-akan belum pernah mengenal dirinya. Begitulah, dalam keadaan kesal dan penasaran, Ceng Ceng berjalan tergesa-gesa menuju ke rumahnya. Karena kesal maka pikirannya menjadi kusut dan pepat, sehingga kewaspadaannya pun menjadi hilang pula. Dan tiba-tiba saja wajahnya menjadi pucat ketika empat orang lelaki kasar mencegat jalannya.
"Twako, lihat...! Ternyata ada juga perawan cantik di dusun terpencil ini!" salah seorang dari empat orang kasar itu berkata sambil menunjuk ke arah Ceng Ceng.
"Bagus! Kalau begitu gadis ini untukku! Akan kubawa gadis ini ke An-lei. Nah, beritahukanlah kepada teman-teman kita nanti, bahwa aku akan mendahului pergi ke An-lei! Kutunggu kalian semua di sana!" orang yang disebut Twako yang tampaknya adalah pimpinan mereka berteriak gembira.
"Twako hendak menggendong gadis ini sampai di An-lei?"
"Tentu saja tidak, goblog! Bukankah kita tadi melihat seekor kuda di rumah dekat sungai itu? Aku akan membawanya dengan kuda itu."
"Bagus, Twako! Bagus...! Silakanlah kalau begitu! Kami akan mencari mangsa juga di dusun ini, hehehe.!" Sementara itu Ceng Ceng segera sadar bahwa ia sedang menghadapi penjahat.
Cepat ia membalikkan tubuhnya, dan bermaksud kembali ke rumah Kam Lojin. Tapi penjahat yang dipanggil Twako itu ternyata lebih cepat lagi. Dengan menyeringai kotor penjahat itu menubruk Ceng Ceng. Gadis itu menjerit ketakutan, dan berusaha mengelak! Tapi apa dayanya! Menghadapi lelaki kasar itu ia tak bisa berbuat banyak. Dengan mudahnya ia diringkus. Meskipun ia berusaha meronta dan melawan dengan sekuat tenaganya, tapi penjahat itu benar-benar sangat kuat. Terlalu kuat baginya. Sehingga akhirnya ia hanya bisa menjerit-jerit dan me lolong-lolong. Tapi sebelum penduduk desa itu datang menolong dia, penjahat itu buru-buru membawanya pergi dari tempat itu. Di dekat sungai penjahat itu mencuri kuda milik seorang penduduk, kemudian dengan kuda curian tersebut penjahat itu membawanya lari meninggalkan desa Kee-cung.
"Toloooooooong...!"
"Huah-ha-ha-ha-ha...! Tak ada gunanya berteriak-teriak lagi, manis! Warga dusun itu sedang gempar dan ribut menghadapi anak-buahku, huah-ha-ha ha!" Lalu dengan tertawa puas penjahat itu memacu kuda curiannya. Dan sambil memegang kendali tak lupa ia menggerayangi tubuh korbannya. Tentu saja Ceng Ceng menjerit dan meronta-ronta semakin kuat lagi.
"Huah-ha-ha-ha-ho-ho! Kau benar benar seekor kijang yang masih segar dan lincah! Bukan main...! Sungguh gembira sekali hatiku, huah-ha-ha-ha...!" Kuda itu berlari semakin cepat menerobos semak belukar dan hutan lebat yang memadati tepian sungai itu. Untunglah biarpun cuma jalan setapak, namun ada juga jalan yang biasa dilalui orang di sepanjang sungai tersebut sehingga perjalanan mereka tidak begitu terhambat karenanya. Tetapi dengan demikian harapan Ceng Ceng untuk memperoleh pertolongan justru menjadi semakin jauh malah. Apalagi ketika akhirnya udara menjadi gelap karena matahari telah terbenam di balik gunung.
Sementara itu Liu Yang Kun yang juga berjalan menerobos hutan dalam tujuannya ke kota An-lei itu terpaksa kemalaman pula di perjalanan. Sambil menggerutu dan mengumpat-umpat di dalam hati pemuda itu lalu mencari tempat yang cocok untuk tidur. Setelah mendapatkan dahan pohon yang cocok untuk beristirahat nanti, maka ia lalu mengumpulkan ranting-ranting kering untuk mengusir nyamuk, sekalian untuk menghangatkan badannya.
"Huh, gara-gara gadis desa itu aku terpaksa tidur di hutan ini. Karena tergesa-gesa aku menjadi tak sempat un tuk mencari tumpangan perahu ke kota An-lei. Hmmmnmhh!" Setelah membakar kayu-kayu kering itu Liu Yang Kun lalu naik ke atas pohon dan mencoba untuk beristirahat. Namun pikirannya selalu resah. Bayangan wajah Ceng Ceng masih terus menggodanya juga.
"Ahh, penyakitku ternyata masih belum sembuh juga. Melihat Ceng Ceng mandi, nafsuku hampir tak bisa dibendung lagi. Untunglah semuanya belum terjadi.
"Toloooooong...! Toloongggg...!" tiba-tiba terdengar jeritan wanita.
"Huah-ha-ha-ha... diam anak manis! Kau jangan banyak bertingkah lagi Tak seorangpun yang akan mendengar suaramu di tempat sepi ini, ho-ho-ha-ha!" terdengar pula suara yang serak disertai suara ketawa jorok dan kasar.
"Uh... tolong! Penjahat! Toloong...!" Liu Yang Kun menjadi tegang luar biasa! Suara jeritan dan derap kuda itu semakin mendekati tempatnya, Dan be berapa saat kemudian terdengar pula suara gemerasak dedaunan dan ranting-ranting berpatahan ketika seekor kuda bersama dua orang penunggangnya lewat di tempat itu. Demikian cepat kuda itu melesat melewati tempat tersebut sehingga Liu Yang Kun tidak sempat memperhatikan kedua penunggangnya.
Namun yang sekilas itu sudah cukup bagi Liu Yang Kun untuk mengambil kesimpulan bahwa seorang lelaki telah membawa dengan paksa seorang wanita di atas punggung kudanya. Tanpa membuang waktu lagi Liu Yang Kun melenting ke depan dengan Bu-eng Hwe-tengnya. Tubuhnya melesat bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Begitu cepat gerakannya, sehingga sepintas lalu tubuhnya seperti terbang melayang di atas semak-semak dedaunan dan batang-batang ilalang yang banyak tumbuh di hutan itu. Bu-eng Hwe-teng (Loncat Terbang Tanpa Bayangan) warisan Bit-bo-ong memang sebuah ilmu meringankan tubuh yang hebat tiada tara, apalagi ditunjang oleh Liong-cu i-kang yang telah mencapai tingkat yang sempurna pula. Maka sungguh tidak mengherankan bila kuda yang berlari cepat itu segera bisa terlampaui dengan mudahnya!
"Berhenti!!!!" pemuda itu menghardik sambil menghadang di tengah jalan. Kedua buah tangannya siap untuk menyerang bila lawannya tidak mau menurut perintahnya.
"Bangsat keparat...! Pergi dari jalan ini!" penunggang kuda yang tidak lain adalah penjahat yang menculik Ceng Ceng itu berteriak berang seraya menghentikan kudanya.
"Tolong...! Tolooooooong!" Ceng Ceng yang berada di dalam dekapan lelaki kasar itu menjerit-jerit. Pakaian yang melekat di badannya sudah tidak karuan lagi letaknya. Liu Yang Kun terbelalak memandang gadis itu.
"K...kau...?" serunya hampir tak percaya. Sebaliknya Ceng Ceng sendiri kaget pula memandang Liu Yang Kun. Meski pun demikian hatinya lantas menjadi gembira dan penuh harapan. Ia benar-benar mengharap agar pemuda itu dapat membebaskannya dari cengkeraman penjahat yang menculiknya.
"Tuan... to-tolong... tolonglah saya!" ia merintih.
"Diam!" penjahat itu menghardik dengan bengisnya. Tak lupa tangannya yang kuat seperti capit besi itu mencengkeram lengan Ceng Ceng, sehingga gadis itu menjerit kesakitan. Liu Yang Kun terbakar hatinya.
"Kurang ajar! Lepaskan dia...!" Bentaknya menggeledek.
"Persetan! Jangan ganggu urusanku! Kubunuh kau nanti!" penjahat itu berteriak pula tak kalah berangnya.
"Kau tak mau juga melepaskan gadis itu?" Liu Yang Kun masih memberi kesempatan.
"Bangsat! Kaulah yang harus enyah dari mukaku! Jangan coba-coba mengusik kawanan bajak laut dari Lautan Timur! Huh In
"Oooooo... jadi kau ini sebagian dari kawanan bajak laut itu? Apakah kau ini juga utusan Tung-hai-tiauw? Apa hubunganmu dengan Si Gajah Laut Tiong Pan Kang itu ?" Liu Kun menyebut nama bajak laut yang berkelahi dengan utusan Mo-kauw di pantai itu. Ternyata bajak laut yang hampir tak bisa mengendalikan kemarahannya itu tertegun mendengar ucapan Liu Yang Kun. Matanya memandang curiga.
"Huh? Siapakah kau? Mengapa kau tahu tentang kami? Tahu tentang adikku Tiong Pan Kang pula?" tanyanya mulai berhati-hati dan waspada.
"Namaku Liu Yang Kun. Kau tidak perlu curiga ataupun takut, asalkan... gadis itu kau lepaskan! Aku cuma seorang pengembara yang kebetulan melihat pula tingkah-laku adikmu Si Gajah Laut Pan Kang itu. Hmm apakah kau juga mendapat tugas dari Tung-hai-tiauw untuk menculik dan menangkap orang-orang Mo-kauw?" Bajak laut itu menggeram marah. Namun ia semakin berhati-hati dan tidak berani sembrono lagi. Hatinya mulai curiga, jangan-jangan pemuda di hadapannya itu salah seorang tokoh Aliran Mo-kauw pula. Dan jangan-jangan adiknya yang mendapatkan tugas di pantai Gua Siluman itu telah gagal, dan tertangkap atau terbunuh oleh lawannya.
"Katakanlah dulu kepadaku, apakah engkau ini seorang tokoh Aliran Mo-kauw juga? Dan apa pula yang terjadi dengan adikku itu?" Liu Yang Kun tertawa dingin.
"Sudah kukatakan bahwa aku hanya seorang pengembara yang kebetulan melihat adikmu Si Gajah Laut Tiong Pan Kang itu. Lain tidak, Aku sama sekali tidak mempunyai hubungan, apalagi campur-tangan dengan urusan kalian kakak beradik." pemuda itu menjawab kaku.
"Jadi adikku itu tidak apa-apa? Lalu mengapa kau menghadang jalanku?" bajak laut itu bertanya lega. Namun sebelum pertanyaannya itu terjawab, Ceng Ceng yang berada di dalam pelukannya tiba-tiba memberontak dan mencakar mukanya. Ternyata kesempatan sedikit itu benar-benar hendak dipergunakan oleh gadis itu untuk melepaskan diri dari cengkeraman penculiknya.
"Perempuan binal, kubunuh kau..!" bajak laut yang tercakar mukanya itu menjadi marah. Jari-jarinya yang besar besar itu mencengkeram dada Ceng Ceng. Tapi Liu Yang Kun yang melihat gadis itu dalam bahaya, cepat bertindak. Tubuhnya melesat bagai kilat ke depan kemudian tangannya menyambar tubuh Ceng Ceng dengan ilmunya Kim-coa ih-hoat! Wuuut! Lengan pemuda itu bertambah panjang hampir dua kali lipat panjangnya.
"Brrrrrrrt!"
"Aaauuuuu...?!" Ceng Ceng menjerit keras ketika pakaiannya yang sudah tidak keruan letaknya itu terenggut lepas dari tubuhnya, dan ia sendiri terbanting jatuh dari punggung kuda itu. Untung dengan cepat pula Liu Yang Kun menyambar tubuhnya.
"Bangsat! Kubunuh kau!" bajak laut itu berteriak marah, lalu menjejak perut kudanya dan menerjang ke arah Liu Yang Kun. Tapi dengan Bu-eng Hwe-tengnya Liu Yang Kun segera menyelinap ke samping dengan tangkasnya. Walaupun harus menggendong Ceng Ceng, namun pemuda itu sama sekali tidak kehilangan kelincahannya. Bagaikan bayang-bayang hitam ia terus berputar pula ke belakang lawannya, kemudian tangannya yang bebas terayun ke tengkuk bajak laut itu dengan hebatnya. Bajak laut yang mendadak merasa kehilangan lawannya itu tiba-tiba terkesiap. Bergegas ia meloncat turun dari punggung kudanya. Dia merasa ada gelombang udara dingin bertiup ke arah punggungnya. Begitu dingin udara itu sehingga punggungnya terasa tebal dan kaku.
"Gila...!" bajak laut itu mengumpat seraya mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengusir serangan hawa dingin itu. Sementara itu Liu Yang Kun tidak meneruskan serangannya. Melihat lawannya meloncat turun dan membiarkan kuda tunggangannya pergi, ia tak mau mengejar lagi. Dibiarkan orang itu mengambil napas. Bahkan ia sendiri lalu menurunkan pula tubuh Ceng Ceng ke atas tanah. Entah karena takut atau kaget ketika terbanting dari punggung kuda tadi, ternyata Ceng Ceng telah pingsan dalam pondongannya.
"Ooooooh!" Sekejap Liu Yang Kun tertegun melihat tubuh Ceng Ceng yang hampir tak berpakaian sama sekali itu. Untuk sedetik darahnya bergolak, namun cepat ditahannya. Matanya segera dipejamkannya. Ia takut pemandangan itu akan menggugah penyakit lamanya. Lalu dengan terhuyung-huyung ia mundur menjauhinya.
Tapi kesempatan itu tak disia-siakan oleh lawannya. Bajak laut itu segera menarik rantai besi yang membelit pinggangnya lalu menyabetkannya ke punggung Liu Yang Kun sekuat-kuatnya. Walaupun tubuhnya tidak sebesar dan sekuat adiknya Si Gajah Laut Tiong Pan Kang, namun tenaga yang ia keluarkan ternyata sungguh mengejutkan! Kalau ayunan rantai Tiong Pan Kang menimbulkan suara gemerincing yang riuh disertai angin menderu-deru,sebaliknya ayunan rantai bajak laut itu tak menimbulkan suara apa-apa selain suara anginnya yang mencicit tajam! Namun akibat dan pengaruhnya terasa lebih berbahaya bagi lawan. Desir angin tajam yang melanda punggungnya itu cepat menyadarkan pikiran Liu Yang Kun! Bayangan dan keinginan buruk yang tadi hampir menguasai otaknya segera sirna oleh bahaya yang tiba-tiba mengancamnya!
Namun sebaliknya seperti seekor binatang buas yang kehilangan mangsanya, tiba-tiba segala kemarahannya meluap dengan hebatnya! Mata yang biasa bersinar lembut itu tiba-tiba berubah mencorong mengerikan! Dan berbareng dengan itu pula mulutnya berdesis keras seperti ular marah! Kemudian seperti hantu saja mendadak tubuh pemuda itu lenyap! Hilang dari sasaran rantai besi itu! Dan ketika bajak laut itu menjadi kebingungan mencarinya, tiba-tiba dari belakang punggungnya terdengar suara desis yang mendirikan bulu romanya. Seketika bajak laut itu menjadi gemetar ketakutan! Dalam takutnya bajak laut itu cepat membalikkan tubuh seraya menyabetkan rantainya ke belakang! Namun sekali lagi bajak laut itu membelalakkan matanya. Ayunan rantainya terhenti dengan mendadak, sehingga ujungnya menukik turun menghantam tanah.
"K-k-k-kau...? Si-si-sia...siapa?" desahnya gugup dan ketakutan. Ternyata Liu Yang Kun yang sedang marah itu telah menghentakkan seluruh kemampuannya dalam ilmu warisan Bit-bo-ong! Matanya yang mencorong itu tampak buas dan berwarna kemerahan, seperti mata iblis di dalam kegelapan! Begitu mencekam dan mengerikan, sehingga mempengaruhi jiwa dan perasaan bajak laut itu! Dan demikian tergoncangnya jiwanya, sehingga melemaskan seluruh otot dan kekuatannya! Oleh karena itu ketika tangan Liu Yang Kun yang marah itu menyambar dadanya, bajak laut itu sama sekali tak mampu bergerak untuk mengelakkannya. Dia hanya bisa mengeluh panjang ketika pukulan Liu Yang Kun itu mengenai dadanya. Dan selanjutnya tubuhnya terlempar jauh dengan isi dada yang nyaris hancur!
"Buuuuuuk!"
"Aarrrrgghhhh...!" Mata bajak laut itu mendelik. Mulutnya terbuka. Napasnya tersengal-sengal dan sebentar-sebentar menyemburkan darah dari lubang mulut dan hidungnya. Kaki dan tangannya meregang seperti ayam disembelih. Namun demikian nyawanya belum juga mau meninggalkan raganya.
Beberapa kali mata itu berkedap-kedip, seolah-olah amat penasaran, bingung dan tak mengerti, kenapa tiba-tiba dirinya menjadi lemas tak bisa bergerak, seakan-akan tercekam oleh pengaruh sihir yang maha dahsyat? Sementara itu pemandangan yang sangat mengerikan tersebut ternyata disaksikan pula oleh Ceng Ceng yang sudah siuman dari pingsannya. Dengan tubuh gemetar gadis itu menatap darah yang menyembur-nyembur dari mulut bajak laut itu. Hampir saja gadis itu menjadi pingsan kembali melihat pemandangan yang belum pernah ia saksikan selama hidupnya itu. Namun gadis itu tetap bertahan jangan sampai pingsan kembali. Ia harus cepat berlalu dari tempat berbahaya itu. Ia harus cepat pulang kembali ke desanya. Tetapi apa yang dilihatnya kemudian, benar-benar sangat menggoncangkan jiwanya, sehingga akhirnya ia tak kuasa bertahan lagi.
Pendekar Penyebar Maut Eps 53 Pendekar Penyebar Maut Eps 14 Darah Pendekar Eps 38