Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 14


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 14




   "Ah, pemuda itu masih saja belum dapat memanfaatkan ilmunya!"

   Memang. Apa yang dikatakan oleh pendekar sakti itu memang benar. Dalam dunia persilatan orang yang mempunyai tingkat kepandaian seperti Chin Yang Kun memang sulit dicari. Tapi pengalaman bertempurpun sangat diperlukan dalam ilmu silat. Sebab dengan pengalaman orang akan bisa mengenal dan mengetrapkan ilmunya baik-baik. Meskipun demikian karena ilmu yang dipelajari itu memang bukan ilmu sembarangan, apalagi dipelajari oleh seorang pemuda yang bertulang baik seperti Chin Yang Kun, maka perbawanya juga tetap menggiriskan lawan. Hal itu dapat dibuktikan di dalam pertempuran yang berat sebelah itu. Biarpun lawan mampu mendesaknya sedemikian rupa, tapi mereka toh tetap tidak dapat menyentuh dia barang sekalipun. Akhirnya hati sang pangeran itu menjadi penasaran sekali.

   Tanpa mempedulikan lagi akibatnya, pangeran itu mengerahkan Iweekangnya yang ampuh. Sehingga tidak lama kemudian, diantara ayunan busur dan gerakan tangannya, tersebar hawa panas yang makin lama terasa membakar tubuh mereka semua. Termasuk Yang Kun dan keempat orang pengawal itu! Pada mulanya Yang Kun merasakan pula pengaruh hawa panas itu, tapi serentak dia meningkatkan tenaga sakti Liong-cu i-kangnya, maka pengaruh hawa panas itu segera lenyap! Tapi tidak demikian halnya dengan keempat pengawal yang berada di sekitarnya. Karena tenaga dalam mereka terbatas maka justru merekalah yang menderita tekanan hawa aneh tersebut. Sehingga saking tak tahan mereka saling berloncatan mundur menyelamatkan diri. Akibatnya tinggal pangeran itu sendiri yang bertempur melawan Chin Yang Kun.

   "Hmm, pangeran itu agaknya telah mengeluarkan lagi Iwee kangnya yang berhawa panas. Tadi aku-pun hampir terjebak dengan keanehannya itu..." Chu Seng Kun berbisik kepada Hong-gi-hiap.

   "Tidak aneh..." Hong gi hiap menukas. "Ilmu hanya berpengaruh terhadap lawan yang mempunyai Iweekang lebih rendah. Jika berhadapan dengan lawan yang mempunyai sinkang lebih tinggi, keanehan tersebut sudah tidak ada gunanya lagi. Yang lebih berbahaya dari pangeran itu justru ilmu silatnya, yaitu ilmu Silat Angin Puyuh..."

   "Hah?!? Ilmu Silat Angin Puyuh?" Chu Seng-Kun terbelalak.

   "Bukankah ilmu itu kepunyaan Yap Lo-Cianpwe sebagai keturunan dari Sin-kun Bu tek? Ohh... makanya aku seperti mengenalnya tadi..."

   "Benar! Pangeran itu adalah murid dari Yap Lo-Cianpwe."

   "Murid Yap Lo-Cianpwe??" tabib muda itu semakin kaget. Dipandangnya lelaki gagah di sampingnya. Hatinya merasa ragu ragu, tapi tak mungkin rasanya sahabat itu berbohong kepadanya. Tapi untuk percaya begitu saja, rasa-rasanya juga berat pula. Bukannya ia tak percaya kepada sahabat itu, tapi baginya kata-kata tersebut benar-benar sukar dipercaya. Khabarnya, Yap Cu Kiat atau lebih terkenal dengan sebutan Yap Lo-Cianpwe itu adalah keturunan langsung dari salah seorang Datuk Besar Persilatan yang hidup pada zaman seratus tahun yang lalu. Datuk yang bergelar Sin kun bu-tek (Kepalan Sakti Tanpa Tanding) itulah yang menciptakan Ilmu Silat Angin Puyuh tersebut. Ilmu itu hanya diberikan kepada keluarga terdekat saja, tak mungkin diberikan kepada orang lain.

   Maka tak mungkin rasanya kalau ilmu tersebut sampai diberikan oleh Yap Cu Kiat kepada pangeran itu. Apalagi pangeran itu ternyata adalah seorang pemberontak yang ingin menumbangkan kekuasaan Kaisar Han! Biarpun Yap Cu Kiat adalah seorang tokoh besar persilatan, tapi selama ini ia tidak pernah turut campur dalam soal pemerintahan. Baik pada zaman Kaisar lama maupun pada zaman Kaisar sekarang! Jadi tak mungkin rasanya kalau pendekar tua sampai mendidik seseorang untuk memberontak kepada Kaisar Han. Apalagi kedua orang putera pendekar itu sendiri, yaitu Hong-Iui-kun Yap Kiong Lee dan adiknya Yap Kim (Yap Tai-Ciangkun), adalah pembantu-pembantu utama dari Kaisar tersebut. Agaknya Hong-gi-hiap Souw Thian Hai merasakan keragu-raguan sahabatnya itu.

   "Sebenarnyalah apa yang kukatakan itu, saudara Chu. Sudah beberapa saat lamanya aku hidup bersama rombongan mereka. Malah bukan hanya Yap Lo-Cianpwe saja guru dari pangeran itu. Masih ada yang lain, di antaranya adalah Beng Tian Lo-Cianpwe dan Siang houw Nio nio..."

   "Hah? Gila? Benarkah...?" Chu Seng Kun melonjak saking kagetnya. Hong-gi-hiap tersenyum.

   "Nanti aku ceriterakan..." katanya. Chu Seng Kun termangu-mangu. Beng Tian Lo-Cianpwe! Tak seorangpun yang akan melupakan nama besar itu. Nama seorang jenderal besar pada zaman Kaisar Chin Si beberapa tahun yang lalu. Jenderal besar yang selalu setia kepada tugasnya! Jujur dan berwibawa!

   Kepandaiannyapun sangat tinggi. Tak salah lagi, sinkang berhawa panas itu tentu Hwi-hiat Yang kang dari jenderal besar tersebut" Seng Kun berpikir di dalam hati. Dan Siang-houw Nio nio juga bukan tokoh sembarangan. Setahun yang lalu khabarnya dapat menyusup ke istana dan hampir saja bisa membunuh Kaisar Han. Pendekar wanita ini meskipun isteri dari Yap Cu Kiat, tapi karena masih ada hubungan keluarga dengan Kaisar lama, maka sangat membenci Kaisar Han. Begitu bencinya wanita itu kepada Kaisar Han, yang dia anggap menjadi sebab runtuhnya Dinasti Chin, sehingga ia rela bermusuhan dengan putera kandungnya sendiri. Chu Seng Kun menoleh ke arah Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, tapi melihat sahabat itu sedang memusatkan perhatiannya ke arah gelanggang, ia tak jadi bertanya lebih lanjut.

   Dengan menghela napas iapun memandang ke arena. Tampak kedua jago itu telah berlaga kembali. Masing masing bertempur tanpa menggunakan senjata. Agaknya busur yang dibawa oleh pangeran tadi juga telah dibuangnya, sehingga sekarang mereka berkelahi dengan tangan kosong. Meski dengan tangan kosong ternyata pertempuran itu justru kelihatan lebih dahsyat dari pada perkelahian mereka tadi. Kalau tadi semua orang hanya menyaksikan ketangkasan, kecepatan dan kekuatan ilmu silat masing-masing, sekarang semua orang dibuat kagum oleh kedahsyatan dan keanehan ilmu mereka yang tinggi. Begitu hebat dan tinggi ilmu kedua orang itu sehingga pengaruhnya terasa pula oleh para penonton yang berada jauh di sekitar mereka.

   Hawa panas dan dingin silih berganti mempengaruhi udara di sekitar tempat berlangsungnya pertandingan. Kalau pangeran itu sedang berada di atas angin, udara terasa berubah menjadi pengap dan panas, sehingga mereka semua seperti berada di dalam tungku perapian yang menyala. Sebaliknya kalau Yang Kun yang berada di atas angin udara segera berubah menjadi dingin menggigilkan, sehingga semua yang berada di tempat itu merasa seperti diselimuti oleh kabut es yang membekukan. Tapi suasana aneh seperti di atas tidak berlangsung lama. Bagaimanapun hebatnya ilmu silat Angin Puyuh dari pangeran tersebut ternyata tidak dapat juga mengatasi Hok te Ciang hoat Chin Yang Kun! Apalagi selama mereka bertempur sang pangeran tidak berani beradu tangan maupun kepalan barang sekalipun.

   Mungkin pangeran itu telah merasa bahwa dirinya belum cukup kuat untuk menahan pukulan beracun dari lawannya. Akhirnya pangeran itu menjadi sadar pula bahwa bagaimanapun juga ia takkan mampu memenangkan pertempuran tersebut. Maka sambil berteriak nyaring ia mencabut pedang yang berada di pinggangnya. Mendengar aba-aba itu empat pengawal yang sedari tadi menonton di pinggir segera meloncat kembali ke tengah arena. Dengan cepat mereka memotong gerakan Chin Yang Kun, sehingga desakan yang dilancarkan kepada pangeran itu menjadi terputus di tengah jalan. Tentu saja Yang Kun menjadi marah sekali. Dengan berdiri tegak pemuda itu mengerahkan Liong-cu i-kang sepenuh penuhnya! Sementara itu Hong-gi-hiap tampak menghela napas lega. Otot badannya yang sudah menegang itu mengendor pula kembali.

   "Nah, begitulah seharusnya. Pemuda itu terang masih terlalu kuat baginya. Tanpa bantuan pengawal tak mungkin ia bisa menahan serangan yang hebat itu." Tapi Chu Seng Kun segera menyentuh lengan Hong-gi-hiap.

   "Jangan keburu lega dulu. Lihatlah gerakan kawanku itu! Kalau saudara Souw tidak lekas-lekas menyelamatkan pangeran itu, sebentar lagi saudara Souw akan menyesal seumur hidup. Sungguh!!"

   "Hah? Apa? Ohh...!" Tiba-tiba pendekar sakti itu meleset bagai kilat ke tengah arena. Orang yang harus ia lindungi keselamatannya sedang dalam bahaya! Dan bersamaan dengan saat itu pula di luar dusun terdengar suara terompet dan sorak sorai yang gegap-gempita seakan mau merobohkan desa tersebut!

   "Siauw-ongya! Siauw-ongya! Pasukan pemerintah telah datang!" para penjaga yang berjaga-jaga di mulut jalan tampak berlarian datang. Suasana menjadi gempar. Tapi yang sedang berada di tengah tengah gelanggang hampir tidak mendengar keributan itu. Keadaan pertempuran mereka sendiri juga telah mencapai titik gawat. Yang Kun pada saat terakhir telah melontarkan pukulan udara kosongnya ke arah Siauw-ongya!

   Sebuah pukulan yang penuh berisi tenaga sakti liong-cu i-kang! Perbawanya sungguh sangat menggiriskan hati, hingga sulit rasanya pangeran itu untuk meloloskan diri. Dengan semangat yang hampir putus-asa pangeran itu berusaha menghindar. Kedua kakinya menjejak tanah sekeras kerasnya sehingga tubuhnya terlontar tinggi ke udara, meskipun demikian usaha itu ternyata tidak seratus persen berhasil. Mula-mula empat orang pengawal yang berusaha menolong tuannya tampak terpental ke kanan dan ke kiri. Perisai yang mereka gunakan untuk menahan pukulan Yang Kun terhantam pecah berantakan. Sementara tubuh mereka yang kekar-kekar itu terhempas keras ke tanah dengan kulit berubah kehitam hitaman. Beberapa saat lamanya mereka menggelepar seperti ikan di dalam jaring dan selanjutnya mati dengan wajah mengerikan.

   Sedikit hambatan dari empat orang pengawal ternyata tidak mempengaruhi maksud Yang Kun dalam menghajar Iawan pokoknya. Bersama dengan hancurnya perisai pengawal tadi Yang Kun menghentikan aliran Iwee kangnya sesaat. Dan dalam waktu yang sesaat itu terjadilah suatu pemandangan yang mendirikan bulu roma! Tampak tangan Yang Kun yang terulur itu memanjang dengan cepat, mengejar tubuh Siauw-ongya yang berada di udara. Begitu panjangnya lengan itu sehingga hampir mencapai dua kali lipat lengan biasa. Oleh karena itu dengan mudahnya lengan tersebut menjangkau tubuh Siauw-ongya. Tapi pada saat yang sangat gawat bagi pangeran itu, tiba-tiba datang segulung asap tipis berwarna putih dan merah, menerjang ke arah lengan Yang Kun yang memanjang tersebut. Lalu terdengar suara ledakan kecil, seperti suara cambuk yang meletup!

   "Taasss!" Dan lengan yang panjang itu mengkerut kembali dengan cepat! Tampak oleh Chu Seng Kun, Yang Kun terhuyung huyung mundur dengan wajah pucat. Dari sudut bibirnya menetes darah yang kehitam-hitaman, darah yang khas dari pemuda tersebut. Sedangkan di hadapannya berdiri tegak Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, memanggul Siauw-ongya yang pingsan. Pendekar itu tampak kesakitan pula. Telunjuk kirinya sibuk menotok di beberapa bagian lengan kanannya yang kehitam-hitaman. Kemudian dengan tergesa gesa pendekar sakti itu meloncat menghindar dari tempat yang hingar-bingar tersebut.

   "Saudara Chu, bawa kawanmu yang terluka itu keluar dari tempat ini! Sebentar lagi akan terjadi perang besar di dusun ini!" teriaknya sebelum hilang dari pandang mata.

   "Pengecut! Jangan lari"!" Yang Kun yang terluka itu berteriak marah. Dengan agak sempoyongan pemuda itu berlari mengejar Hong-gi-hiap. Chu Seng Kun terkejut, apalagi ketika dijalan sudah terdengar sorak-sorak perajurit yang bertempur. Pendudukpun sudah terlihat berlarian kesana kemari mencari tempat perlindungan. Wanita dan anak-anak tampak menjerit-jerit ketakutan mencari suami dan ayah mereka.

   "Yang-hiante, tunggu!" Chu Seng Kun berlari pula dari tempat itu.

   * * *

   Perang! Bagaimanapun macam dan bentuknya perang adalah tragedi yang paling buruk dalam hidup kebudayaan manusia. Dari dulu hingga sekarang perang adalah sama saja, semuanya tak ada keuntungannya, yang ada hanya kerugian, kerusakan dan kehancuran! Kehancuran dalam bidang apa saja, baik bidang kejiwaan maupun bidang kebendaan! Maka tak seorangpun di dunia ini yang suka akan perang.

   Perang hanya akan merampas kebebasan hidup mereka! Perang hanya akan memunahkan hasil kerja yang telah mereka timba dengan darah dan keringat mereka. Perang hanya akan menjauhkan ketenteraman hidup mereka. Pendeknya, perang hanya berarti penderitaan dan kesengsaraan! Meski begitu, perang ternyata selalu berulang, dari zaman ke zaman. Seakan-akan perang itu memang sebagian dari kegiatan hidup manusia. Seakan akan semua masalah dalam kehidupan ini akan dapat diselesaikan dengan perang. Sehingga bagaimanapun juga perang akan selalu ada. Mungkin semuanya itu akan berhenti kalau kehidupan juga telah tiada! Pasukan Yap Tai-Ciangkun yang diperkirakan tengah hari baru akan tiba itu ternyata sudah muncul bersamaan dengan terbitnya matahari di ufuk timur.

   Biarpun pasukan itu jumlahnya lebih sedikit, tetapi karena datang secara mendadak, apalagi pihak lawan belum bersiap sama sekali, maka dengan mudah dapat menguasai medan pertempuran. Sementara itu, Yang Kun yang berusaha mengejar Hong gi hiap Souw Thian Hai ternyata mengalami banyak hambatan di jalan. Pemuda itu tidak menyangka bahwa Hong-gi-hiap bisa melontarkan pukulan sedemikian dahsyatnya, sehingga bisa melukai bagian dalam tubuhnya. Semakin kuat ia mengerahkan tenaganya semakin terasa pula sakit di dalam dadanya. Beberapa kali pemuda itu harus berhenti berlari untuk mengambil napas! Dan rasa sesak itu semakin mengganggu ketika beberapa kali pula ia harus meloloskan diri dari kepungan Yap Tai-Ciangkun yang datang.

   Apalagi kalau ia harus menghadapi perwira-perwira yang punya kepandaian lumayan. Rasanya luka itu semakin menganga saja di dalam rongga dadanya. Lambat laun Yang Kun makin sukar mengerahkan tenaga saktinya. Oleh karena itu ketika berhadapan dengan beberapa orang perwira Kepercayaan Yap Tai-Ciangkun, Yang Kun mulai mendapatkan luka luka pada tubuhnya. Dan biarpun beberapa orang diantara lawannya menjadi korban pula dari pukulan dan darahnya yang beracun, tetapi kalau diteruskan pemuda itupun takkan bisa bertahan lebih lama lagi. Celakanya, karena suasana di tempat itu memang kelewat ribut, maka sudah sekian lamanya pula Chu Seng Kun belum juga muncul. Untunglah pada saat yang gawat itu datang juga sebuah pertolongan yang tak disangka sangka!

   "Lojin-ong... oh... Lojin-ong!" Dari dalam gelap tiba-tiba muncul kakek tua anggota Im-yang-kauw itu. Dengan berlari lari kecil orang tua itu menghambur ke arah pertempuran.

   "Lojin-ong! Jangan takut, hambamu datang membantu," serunya lantang. Kedatangan kakek itu justru membuat Yang Kun menjadi kelabakan. Dia sendiri dalam keadaan repot, kalau harus melindungi pula orang tua tersebut keadaan mereka tentu akan semakin runyam. Benarlah, begitu bergerak kakek itu nyelonong begitu saja di antara berkelebatnya senjata. Yang Kun terbelalak, ingin ia menolong tapi dadanya seperti terbakar secara mendadak dan badannya justru terbanting ke atas tanah.

   "Lojin-ong..." Yang Kun tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Matanya menjadi gelap, lalu ia tak ingat apa-apa lagi. Pemuda itu tak tahu pula berapa lama ia pingsan. Hanya ia menjadi heran ketika siuman kembali tubuhnya justru telah berada di atas gendongan kakek sinting itu. Sepatunya terasa basah dan telinganya seperti mendengar gemericiknya air mengalir. Dan dikejauhan masih terdengar pula suara pertempuran yang riuh. Agaknya kakek itu tahu juga kalau Yang Kun sudah sadar.

   "Lojin-ong, parit yang dalam inilah satu-satunya jalan paling aman untuk menghindar dari mereka," katanya gembira biarpun napasnya kelihatan tersengal.

   "Kek, lepaskan tanganku! Biarkan aku turun dan berjalan sendiri...!" Yang Kun berkata dengan perasaan tak enak.

   "Ah, tak apalah! Lojin-Ong tak perlu sungkan kepadaku. Lojin-ong masih sakit," kakek itu menolak. Yang Kun akan memaksa turun juga, tetapi tiba-tiba lukanya terasa menyengat lagi sehingga niat itu cepat ia urungkan.

   "Kek, ke mana kita akan pergi...?" pemuda itu bertanya sekedar untuk menutupi rasa rikuhnya.

   "Hmm, ke mana lagi? Tentu saja ke kuil kita sendiri yang ada di belakang bukit itu. Di sanalah hambamu selama ini bertapa...!" Mereka menyusuri parit itu sampai ke pinggang bukit. Dan di tempat yang landai tersebut mereka naik ke daratan. Kakek yang sudah tua itu tampak semakin tersengal-sengal. Meski begitu wajahnya selalu ramai dengan senyuman. Kelihatan sekali kalau hatinya gembira bukan main dapat menolong Chin Yang Kun.

   "Lojin-ong, tempat ini sangat aman sekali... Bolehkah hambamu ini beristirahat sebentar untuk melepaskan lelah di sini? Nanti kalau sudah terang tanah kita dapat melanjutkan perjalanan melalui punggung bukit itu... heh-heh!"

   "Silahkan, kek... silahkan!" Yang Kun menjawab cepat.

   "Engkau tentu lelah sekali."

   "Wah, memang benar... habis badan sudah tua...k epandaian silatpun tiada punya." orang tua itu mengeluh sambil menurunkan tubuh Yang Kun ke atas tanah. "Coba hamba mempunyai kepandaian seperti Lojin-ong atau Tai si-ong, sepuluh orangpun akan mampu hamba panggul naik ke puncak bukit itu tanpa berhenti." Kakek itu menyandarkan tubuhnya ke sebuah batu, lalu mengipas-ngipaskan tangan ke arah leher untuk mengusir keringat yang meleleh. Tampak benar kalau dia baru saja mengerahkan tenaganya secara berlebihan.

   "Heh...heh... tak usah setinggi Lojin-ong atau Tai-si-ong, bisa sejajar dengan Pangcu-si (Pengurus Perkumpulan) atau Kauwcu-si (Pengurus Keagamaan) saja sudah senang sekali rasanya..."

   "Pangcu-si... Kauwcu-si? Maaf kek, siapakah mereka itu?" Kakek tua itu terbelalak sebentar, lalu tersenyum tersipu-sipu.

   "Ah, Lojin-ong benar-benar suka menggoda orang... Masakan dengan anak buah sendiri tidak tahu. Bukankah sampai sekarang Song Kang Cu-si dan Tong Ciak Cu-si masih memangku jabatan mereka itu?" Yang Kun menghela napas berkali-kali.

   "Itulah repotnya kalau kakek masih tetap juga tidak percaya kepadaku..." katanya kesal. "Sudah kukatakan sejak semula bahwa aku ini bukan Toat-beng-jin! Tapi kakek tidak percaya juga..." Yang Kun menatap orang tua itu lekat lekat, maksudnya agar orang itu tahu kalau dia bersungguh-sungguh dalam ucapannya. Tapi benar-benar celaka! Wajah yang semula ramai dengan senyuman itu tiba-tiba saja berubah keruh dan sedih, mata yang berkeriput itu menjadi merah berkaca kaca...

   "Maaf kek. Mungkin pengakuanku ini sangat melukai hatimu... Tapi... sebenarnyalah..." Yang Kun segera menghentikan kata-katanya. Tampak olehnya kakek tua itu mulai menyeka air mata yang bercucuran di atas pipinya. Tapi Yang Kun telah bertekad untuk menghentikan kesalahsangkaan ini. la tak ingin semuanya ini menjadi berlarut-larut, sehingga akhirnya ia sendiri pulalah yang nanti akan mendapatkan kesukaran.

   "Kakek, coba bayangkan...! Bagaimana akan repotnya nanti dan betapa akan malu ku... apabila..." Tapi belum juga kata-kata itu habis, kakek sinting yang sedari tadi sudah siap menangis itu keburu membanting tubuhnya ke atas tanah dan berguling-guling kesana kemari sambil melolong-lolong. "Lojin-onggg... ohhh... Lojin-ong, kukira Lojin-ong benar benar telah memaafkanku. Kukira Lojin-ong telah menerima aku sebagai hambamu... oh, ternyata... ternyata tidak! Lojin-ong masih tetap mau membunuhku! Oohh...!" suaranya sangat keras sehingga mengagetkan burung-burung yang mulai keluar dari sarangnya. Tentu saja Yang Kun menjadi kelabakan lagi. Matanya nyalang menoleh kesana kemari, takut kalau ada orang lewat yang mendengarnya. Siapa tahu pula di dekat mereka ada musuh atau orang jahat? Kan repot nanti!

   "Kek, lekaslah kau diam! Didengar orang bisa celaka kita!" pemuda itu berseru gugup.

   "Biarlah! Ada orang atau tidak, aku toh tetap akan dihukum mati, hoa-hoa...! Dan aku tidak mau mati sambil tertawa seperti semua kurban Toat-beng-jin selama ini! Hoa-hoaha...hoa...!" kakek itu menangis bertambah keras. Dan lagaknya pun semakin bertambah gila. Kalau semula hanya bergulingan, kini ditambah pula dengan menyobeki pakaiannya!

   "Kurang ajar! Kambing tua berotak udang...!" Yang Kun berteriak saking jengkelnya, sehingga luka di dalam dadanya terasa perih kembali. "Ohh, bangsat tua...kau benar benar menjengkelkan hatiku!" kemudian keluhnya lirih sambil mendekap dada. Sebaliknya, mendengar Yang Kun mengumpat-umpat, kakek itu justru menghentikan ulahnya yang konyol. Masih dengan terlentang di atas tanah orang tua itu menatap Yang Kun dengan ragu-ragu. Lalu perlahan-lahan wajahnya menjadi cerah kembali. Apalagi ketika dilihatnya wajah Yang Kun semakin masam dan keruh, kontan ia bangkit dan berlari menubruk kaki si pemuda.

   "'Oh, Lojin-ong... terima kasih! Hambamu tahu bahwa engkau akan mengampuni juga...! Hei?" tiba-tiba kakek sinting itu berseru kaget. Kakek itu menaruh jarinya di depan mulut lalu bergegas menyeret tubuh Yang Kun ke dalam semak.

   "Awas! Ada orang datang!" bisiknya ke telinga Yang Kun. Yang Kun diam saja. Hatinya masih merasa jengkel bukan main! Celakanya, kakek sinting itu seperti tak tahu kalau Yang Kun sedang jengkel. Enak saja dia melenggut ketiduran di dalam semak persembunyian mereka, membuat jumlah kerut merut di dahi Yang Kun semakin bertambah banyak. Apalagi ketika sekian lamanya dinanti, orang yang dimaksudkan itu belum lewat juga.

   "Hei, kambing tua...! Mana orang itu? Mengapa sudah sekian lama tidak juga terdengar langkahnya?" Yang Kun bertanya mendongkol. Benar-benar sinting! Kakek itu justru amat gembira sekali dimaki sebagai kambing tua. Dengan tersenyum simpul ia menjawab seenaknya,

   "Entahlah, mungkin masih jauh! Akupun belum mendengar langkahnya..." Ingin rasanya pemuda itu menggantung kakek konyol itu, kemudian mencabuti kumis dan jenggotnya selembar, biar sedikit tahu rasa! Tapi bila melihat kembali ke arah tubuhnya yang kurus, lemah dan kelihatan memelas itu tak tega pula hati Yang Kun untuk berbuat kasar. Apalagi mengingat bagaimana kakek tua itu telah bersusah payah menggendong dirinya sampai ke tempat tersebut, hatinya terasa menjadi dingin kembali.

   "Lalu... apa maksudmu mengatakan ada orang datang dan kemudian menyeretku ke semak-semak begini?"

   "Tidak ada maksud dari kambing tua... eh, maksud hamba...hamba tidak bermaksud apa-apa. Anu...hamba memang tidak atau mendengar suara langkahnya, tetapi... hamba merasa pasti akan ada orang yang datang sebentar lagi. Soalnya perasaan hamba telah mengatakan hal itu..." orang tua itu agak takut juga melihat sinar mata Yang Kun yang seram.

   "Perasaan...? Merasa...? Sungguh gila!" Yang Kun menggeram.

   "Eh? memangnya kenapa? Apakah hamba salah omong, Lojin-ong...?" orang tua itu heran.

   "Bukankah manusia dibekali dengan akal, budi dan perasaan oleh Thian? Nah, kalau kita mempergunakan ketiga hal itu secara bersungguh sungguh, kita tak usah terlalu mengandalkan kelima panca indera kita seperti telinga, mata dan hidung ini..." sambung kakek itu sedikit penasaran,

   "Jadi maksud kakek... oh..." Yang Kun segera menutup mulutnya. Kini telinganya benar benar mendengar langkah kaki orang yang datang ke tempat itu. Gila, benar juga kata kakek sinting ini, pemuda itu membatin. Atau hanya kebetulan saja? Yang Kun sungguh sungguh menahan napas ketika dari jauh terlihat dua orang berjalan menyusuri parit. Salah seorang diantaranya tampak memanggul sesuatu di pundak kanannya. Mereka tampak mengayun langkahnya dengan pelan, tapi sekejap kemudian ternyata mereka telah melayang tiba, sehingga tanpa berjanji Yang Kun dan kakek sinting itu saling pandang dengan sinar mata kagum. Tapi kekaguman kakek itu segera berubah menjadi kekagetan begitu tahu dengan jelas siapa yang datang!

   "Put-gi-ho (Burung Bangau Tak berbudi), kita menanti sebentar di sini! Biarlah matahari naik agak lebih tinggi. Tak enak rasanya berkunjung ke tempat orang terlalu pagi..." salah seorang diantara kedua orang itu, yaitu yang bertubuh gemuk, berkata sambil meletakkan pantatnya di atas batu yang tadi dipakai bersandar si kakek sinting.

   Temannya, yang bertubuh tinggi kurus dan dipanggil dengan nama Put-gi-ho mengangguk. Tubuh wanita yang tadi dipanggul di atas pundaknya, ia letakkan di atas rumput. "Put-chih-to (Jalan Tidak Lurus), kau benar! Kita memang harus berhati-hati! Apalagi kita membawa kawan mereka yang terluka sedang kita sendiri dengan mereka selalu berselisih.Salah-salah bisa terjadi salah paham nanti." Kalau semula kakek sinting tersebut yang kaget, kini ganti Yang Kun yang terkejut melihat tubuh wanita yang terletak di atas rumput itu.

   "Gadis buntung!" pemuda itu berseru dalam hati. "Hmm, mengapa dia sampai terluka? Bukankah kemarin pergi bersama-sama dengan kedua gadis anak buah Keh sim Siauwhiap itu? lalu kemana kedua kawannya tersebut?" Yang Kun dan kakek sinting tak terasa saling memandang lagi. Ternyata masing-masing telah mengenal salah seorang dari ketiga orang yang ada di depan mereka itu.

   "Lojin-ong mengenal gadis buntung yang terluka itu?" kakek tersebut berbisik di telinga Yang Kun.

   "Tidak!" Yang Kun berbisik pula. "Aku hanya pernah bertemu dengan dia di perkampungan pengungsi. Lalu... siapakah kedua orang yang membawanya itu? Mengapa namanya demikian aneh-aneh?" Kakek itu tersenyum lagi.

   "Ah, Lojin-ong bergurau pula.." bisiknya malu-malu. "Bukankah mereka sering berselisih dengan kaum kita? Kini...lihatlah dandanan mereka!" Yang Kun mengawasi dandanan kedua orang tersebut. Mereka tampak berdandan secara biasa cuma mereka tidak bersepatu dan rambutnya yang panjang tidak digelung seperti kebanyakan orang, tapi hanya diikat dengan tali di atas kepala. Sehingga sepintas lalu rambut tersebut menyerupai ekor kuda. Yang Kun kembali menoleh ke arah kakek sinting. La merasa tidak ada keanehan pada dandanan mereka.

   "Ah, masa Lojin-ong sudah lupa pada dandanan seperti itu? Namanya saja sudah pakai Put semua, bukankah mereka orang orang Bing-kauw (Aliran Bing)?" bisik kakek itu penasaran. Pemuda itu menatap si kakek dengan dahi berkerut. Hampir saja dia marah. Untung hati kecilnya segera sadar kembali. Memang benar. Mendiang paman bungsunya memang pernah mengatakan tentang hal itu. Di masyarakat memang banyak aliran agama atau kepercayaan yang berkembang, di antaranya adalah Bing-kauw tersebut. Tetapi karena baru kali ini ia menjumpai atau melihat mereka, maka ia tidak segera mengetahuinya. Sementara kedua orang Bing-kauw itu tampak berbicara satu sama lain.

   "Put gi-ho, mengapa tidak kita bawa saja gadis ini ke gedung pusat Im-yang-kauw sekalian? Mengapa hanya kita bawa ke kuil di belakang bukit itu? Apakah engkau takut?" Put-chih-to bertanya.

   "Hmh!" Put gi-ho mendengus. "Apakah engkau pernah mendengar kalau aku takut kepada mereka? Aku tidak pernah takut kepada siapapun, biar terhadap Tai si ong atau Toat-beng-jin mereka! Aku hanya ingin melaksanakan anjuran isteri Kauwcu (Ketua Aliran Agama) kita yang baik budi itu... Siapapun dilarang membuat kerusuhan atau memancing-mancing kerusuhan dengan aliran lain. KUIL ITU BUKAN KANDANG KUDA. SEBAB KANDANG KUDA ADA DI MULUT LETAKNYA!"

   "Benar! Maafkan aku, aku hanya ingin mengetahui pendapatmu saja," Put-chih-to berkata pula. "Aku juga sangat menghargai anjuran isteri Kauwcu tersebut. Apalagi kalau diingat bahwa pendapat orang tidak ada yang sama KUDA PUTIH ADALAH HITAM!" Yang Kun menatap kakek sinting dengan bingung. Selain nama mereka sangat aneh, ucapan ucapan yang mereka keluarkanpun aneh-aneh pula. Kuil itu bukan kandang kuda, kuda putih adalah hitam! Apakah artinya semua itu? Agaknya kakek itu melihat juga kebingungan Yang Kun. Dengan menahan ketawa ia berbisik.

   "Mereka menyebut nama Lojin-ong... Lojin-ong tidak perlu bingung! Kita tak perlu mendengarkan ucapan-ucapan mereka yang aneh, karena hal itu sudah menjadi ciri khas mereka. Ini saja belum! Kalau Lojin-ong nanti berjumpa dengan Put ceng li Lojin, wah kutanggung bisa sakit kepala nanti."

   "Put-ceng-li Lojin (Si Orang Tua Yang Tak Punya Aturan)? Siapakah dia?" Kakek sinting itu merengut dengan mendadak.

   "Lojin-ong mau menggoda aku lagi.." desahnya pelan. "Setiap orang kan tahu, kalau Put-ceng-Ii Lojin adalah ketua Bingkauw..."

   Yang Kun diam, tak ingin dia berbantah lebih lanjut dengan kakek sinting itu. la mengalihkan pandangannya ke tubuh gadis buntung yang tergeletak di atas rumput. Biarpun dalam keadaan tak sadar gadis itu tampak cantik bukan main. Di bawah sinar matahari pagi yang cerah pipi yang putih halus itu kelihatan membara kemerah-merahan seperti buah tomat yang siap untuk dipetik. Sayang mengapa lengan kiri itu mesti buntung? Ya, mengapa lengan itu mesti tidak ada? Apa yang menyebabkannya? Adakah cacat itu memang terjadi sejak kecil? Ataukah lengan itu dipatahkan orang? Yang Kun memandang tubuh indah itu sepuas-puasnya. Alangkah kasihan dia! lngin rasanya pemuda itu memberikan lengannya, agar kecantikan itu menjadi sempurna sekali...

   "Put gi ho, untung benar kita mendapatkan pimpinan seperti isteri Kauwcu itu. Sejak dia berada di Rumah Suci mendampingi Kauwcu, perkumpulan kita semakin besar dan teratur..."

   "Dan beliau demikian cantiknya. Alangkah bahagianya Kauwcu!"

   "Ssst! Matahari sudah demikian panasnya, ayoh kita berangkat!" Kedua orang Bing-kauw itu mengangkat tubuh gadis itu kembali lalu berangkat meneruskan perjalanan mereka. Sedang Yang Kun dan kakek sinting mengawasi saja langkah mereka hingga mereka tak bisa melihat lagi.

   "Kek, agaknya tujuan mereka sama dengan kita..."

   "Benar! Lojin-ong, marilah kita juga lekas-lekas pergi ke sana! Agaknya ada sesuatu yang penting..." kakek itu berkata sambil mendekati Yang Kun untuk menggendongnya kembali.

   "Biarlah aku berjalan sendiri, kek! Asal tidak terlalu cepat kukira aku bisa juga berjalan."

   "Lojin-ong..."

   "Sudahlah, kek! Marilah kita berangkat!" pemuda itu berkata sambil mengangkat tubuhnya untuk berdiri. Lalu dengan perlahan ia mulai melangkahkan kakinya. Mula mula perlahan, akhirnya dapat juga melangkah sedikit cepat. Kakek sinting itu membuntuti terus dengan perasaan khawatir, tapi ketika dilihatnya pemuda itu bisa juga berjalan sendiri, iapun lalu berjalan di sampingnya dengan perasaan lega.

   "Heran! Ada juga perwira kerajaan yang berkepandaian tinggi sehingga mampu melukai Lojin-ong," kakek itu berkata sambil mengawasi Chin Yang Kun.

   "Hmm!" Yang Kun menggeleng dengan cepat. "Bukan perwira perwira itu yang melukai aku""

   "Bukan mereka? Lalu siapa...?"

   "Hong gi hiap Souw Thian Hai!"

   "Hah??" kakek itu tersentak sehingga terbatuk batuk. Keduanya berhenti melangkah.

   "Ada apa kek? Kenapa engkau begitu kaget mendengar nama itu?" Kakek itu membersihkan mulut dan jenggotnya dengan telapak tangannya sebelum menjawab pertanyaan itu.

   "Jadi Lojin-ong telah bertempur dengan pendekar muda itu? Ah..." kakek itu menghela napas berkali-kali. Tentu saja pemuda itu semakin terheran-heran.

   "Apa sih yang aneh?" tanyanya tak mengerti. Kakek Sinting itu mengangguk-angguk dengan pandang mata jauh.

   "Ah, kalau begitu khabar yang tersebar selama ini benar juga adanya. Dia memang benar benar hebat!"

   "Kek, apa yang kau katakan?"

   "Lojin-ong, mungkin karena Lojin-ong selalu berdiam di Kuil Agung yang berada di Gedung Pusat, maka tidak pernah mendengar atau mengetahui segala sesuatu yang terjadi di luaran. Maksud hamba... yang terjadi di dunia persilatan!"

   "Hmmm... lalu?" Sambil melangkah perlahan-lahan kakek itu bercerita. Sejak Empat Datuk Besar Persilatan telah tiada, puluhan tahun lamanya dunia kang-ouw hanya dipenuhi dengan cerita tentang keganasan dan sepak terjang para tokoh dunia hitam yang bermunculan bagai jamur di musim hujan. Mereka menteror dan mengganggu penduduk tanpa rintangan. Mereka seperti mendapat kesempatan karena pemerintah sibuk dengan perang saudara dan perang perbatasan, sementara tidak seorang pendekarpun yang muncul untuk menghadapi mereka.

   Biarpun Empat Datuk Besar itu yang mempunyai keturunan dan anak murid, tapi tidak ada di antara mereka yang menonjol atau sesakti nenek moyang mereka tersebut. Malah banyak di antara mereka yang menjadi korban keganasan tokoh-tokoh hitam itu. Oleh karena itu semakin lama semakin tampak kalau dunia semakin dikuasai oleh para penjabat. Mereka malang-melintang dan meraja lela di antara penduduk dengan kejamnya. Begitu hebat kekuatan dan kekuasaan mereka sehingga dengan enaknya mereka membagi-bagi daerah Tiongkok yang luas itu menjadi beberapa daerah kekuasaan. Dan setiap daerah dikuasai oleh seorang raja tak bermahkota, seorang yang terlihai dalam daerah itu. Dan raja tak bermahkota ini selalu berganti ganti setiap waktu, sebab dalam kamus mereka siapa yang terlihai adalah yang menjadi raja.

   Akhirnya pada belasan tahun yang lalu, secara hampir berbareng, di setiap daerah itu muncul seorang tokoh hitam yang untuk waktu lama tiada punya lawan lagi. Sehingga dalam waktu bertahun-tahun mereka menjadi raja yang tak tergoyahkan di daerah masing-masing. Mereka adalah Su-go (Buaya Sakti) Mo Kai Ci, yang berkuasa di daerah perairan sungai, rawa, telaga dan tempat tempat perairan lainnya. Tokoh ini menguasai segala penjahat yang beroperasi di daerahnya, sehingga dapat dibayangkan betapa besar dan hebat kekuasaannya. Dan dapat dibayangkan pula betapa hebat ilmu kepandaiannya sehingga ia mampu menaklukkan ratusan bahkan ribuan penjahat yang malang-melintang di daerahnya yang luas. Tokoh yang kedua adalah San hek houw (Si Harimau Gunung). Tokoh ini tidak kalah lihainya dengan Sin go Mo Kai Ci, kalau tidak lebih lihai malah.

   Tokoh yang berwajah dan berwatak kasar ini menguasai dusun dusun, hutan dan gunung serta kota kota yang tidak dijaga oleh pasukan kerajaan. Tokoh ini ke mana mana selalu memakai baju kulit binatang dan membawa sepasang harimau kumbang! Tokoh yang ketiga, yaitu tokoh yang jarang sekali muncul di tempat ramai, tapi ternyata adalah tokoh yang paling lihai di antara mereka, adalah Tung-hai-tiauw (Rajawali Laut Timur). Tokoh yang berkepandaian sangat tinggi ini hampir tidak pernah terlihat di daratan Tiongkok, karena daerah kekuasaannya memang berada di Lautan Timur yang luas. Mereka bertiga sering di sebut Sam Ok (Si Tiga Jahat) oleh para penduduk. Dan memang mereka itulah yang menjadi dewanya tokoh hitam selama bertahun-tahun! Tetapi keadaan seperti itu ternyata tidak kekal pula.

   Kira-kira enam atau tujuh tahun yang lalu dari dunia hitam muncul pula seorang iblis lagi, yang kesaktiannya ternyata jauh lebih dahsyat dari pada ketiga Sam Ok tersebut. Iblis itu mengaku masih keturunan Bit-bo ong yang hidup sezaman dengan Empat Datuk Besar itu. Dan sebagai buktinya iblis tersebut mengenakan segala perlengkapan dan ciri ciri kebesaran dari Si Raja Kelelawar juga. Dengan cepat dan mudah iblis itu menaklukkan Sin-go Mo Kai Ci dau San hek-houw, kemudian mengobrak-abrik sarang Tung-hai-tiauw di Lautan Timur. Setelah ketiga Sam Ok itu dapat ditaklukkan, Bit-bo-ong tiruan itu mengangkat dirinya menjadi raja diraja dari semua tokoh golongan hitam. Tapi hal itupun ternyata belum memuaskan iblis yang serakah tersebut. Dengan mengerahkan seluruh kau mnya, iblis itu memberontak terhadap Kaisar Chin Si Hong te.

   Tentu saja hal itu membuat Kaisar Chin repot bukan main, sebab pada saat itu juga pemerintahannya sedang menghadapi rongrongan pemberontakan Chu Siang Yu dan Liu Pang. Sedangkan untuk menghadapi pemberontakan Chu Siang Yu yang dibantu oleh pasukan asing dan pemberontakan Liu Pang yang disokong oleh seluruh rakyat saja Kaisar Chin mengalami kesukaran, apa lagi harus ditambah dengan pemberontakan kaum Hitam. Maka tak heran kalau akhirnya Kaisar Chin terpaksa harus melepaskan Singgasananya. Bit -bo-ong tiruan sempat duduk di singgasana emas itu selama empat puluh hari. Tapi pada hari yang ke empat puluh satunya, kekuatan pemberontak Chu Siang Yu telah menjebol benteng Kotaraja dan mengenyahkannya. Bagaimanapun saktinya iblis itu, tapi menghadapi ribuan bahkan laksaan manusia, mana dia mampu?

   Iblis itu meloloskan diri dari Kotaraja diikuti oleh para pembantu utamanya yang terdiri dari tokoh tokoh golongan hitam. Dan istana kerajaan ganti dikuasai oleh Chu Siang Yu. Tapi keadaan itupun tak berlangsung lama, karena beberapa hari kemudian Barisan Para Pendekar yang dipimpin oleh Liu Pang telah memasuki Kotaraja pula. Perang besarpun terjadi. Keduanya sama-sama mempunyai kekuatan yang maha besar. Tapi karena pasukan Chu Siang Yu baru saja mabuk kemenangan, maka mereka menjadi lengah. Apalagi mereka juga baru saja berselisih dengan pasukan asing yang membantu mereka, maka akhirnya pasukan Chu Siang Yu tidak dapat menahan amukan pasukan Liu Pang. Dan Kotarajapun berpindah tangan lagi! Sekarang Liu Pang yang berkuasa dengan gelar Kaisar Han.

   Nah! Pada saat negara ribut seperti itulah di dunia persilatan muncul seorang pendekar muda yang mempunyai kesaktian seperti dewa. Sayang pendekar muda itu menderita sakit lupa ingatan, sehingga segala gerak geriknya amat membingungkan orang. Kadang kadang membantu pihak ke satu, kadang kadang membantu pihak yang lain, atau kadangkala justru memusuhi semua pihak! Dengan kepandaian kata-katanya, akhirnya Liu Pang bisa menarik pendekar itu menjadi pembantunya. Dan untuk selanjutnya, dalam setiap pertempuran, tak seorangpun mampu bertahan terhadap pendekar muda itu. Semua digilasnya, termasuk Bit bo ong tiruan dan kawan-kawannya yang melarikan diri itu! Kakek sinting itu mengakhiri ceriteranya dengan menghela napas berulang ulang.

   "Demikianlah Lojin-ong... Pendekar muda yang hebat itu khabarnya bernama Hong-gi-hiap Souw Thian Hai! Oleh karena itu betapa kaget hati hamba tadi mendengar Lojin-ong telah dilukai oleh pendekar itu!"

   Yang Kun hampir tidak mendengar kata kata terakhir dari kakek sinting tersebut, sebab dia sendiri sedang sibuk berpikir tentang ceritera yang menyinggung persoalan keluarganya itu. Hanya sekarang pemuda itu mendengar ceritera yang sudah sering ia dengar dari mulut pamannya itu dalam versi yang berbeda! Paman pamannya tidak pernah mengatakan bahwa sang pek hu yang bergelar Bit -bo-ong itu adalah seorang raja penjahat yang sangat dibenci orang. Paman pamannya selalu mengatakan bahwa pek hunya adalah seorang pahlawan penyelamat Dinasti Chin mereka. Pada waktu berita kematian Kaisar Chin Si Hong-te terdengar oleh keluarga dan seluruh punggawa kerajaan, semuanya menjadi bingung dan khawatir, karena pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Chu Siang Yu dan Liu pang telah berada tak jauh dari Kotaraja.

   Pada saat yang genting seperti itulah menurut penuturan pamannya sang pek hu tampil ke depan untuk mengambil alih tugas berat tersebut. Tapi karena musuh yang datang memang terlalu kuat, apalagi pada saat itu tentara kerajaan sudah terpecah belah, maka laju pasukan pemberontak sudah tak bisa dibendung lagi, Kotaraja jatuh! Pek hu serta pembantu pembantunya mati di tangan salah seorang pimpinan pasukan musuh yang bernama Hong-gi-hiap Souw Thian Hai! Souw Thian Hai! Lagi-lagi Souw Thian Hai, pemuda itu menggeretakkan giginya. Dahulu telah membunuh pek hunya, sekarang membunuh ibu dan adik-adiknya pula!

   Sungguh menyesal ketika ia dapat meringkus orang itu di tepi Sungai Huang-ho, tidak segera membunuhnya. Suatu saat aku akan membunuhnya pula, pemuda itu berkata di dalam hati. Bukan karena kematian pek-hunya, tetapi karena kematian ibu dan adik-adiknya! Soal kematian pek-hunya itu sudah lumrah dalam peperangan besar. Orang tidak bisa menyalahkan setiap pribadi yang melakukan pembunuhan dalam pertempuran. Kalau toh dia ingin mencari orang yang menjadi penyebab semua itu dan ingin membalas dendam, ia harus menimpakan semua itu kepada penanggung jawabnya, yaitu Kaisar Han. Sementara itu si kakek sinting tampak ketakutan melihat air muka Yang Kun yang menyeramkan itu. Dalam pandangannya air muka itu seperti berubah menjadi muka raksasa yang seram dan mau menelan dirinya.

   "Lojin-ong, hamba takut...! Jangan memandang hamba seperti itu!" ratapnya gelisah. Yang Kun tersentak dari lamunannya. Dengan membuang napas pemuda itu melemparkan pandangannya ke depan, ke arah kuil yang telah sayup-sayup terlihat di kejauhan sana.

   "Kek, lihat! Kedua orang itu telah kembali!" tiba-tiba pemuda itu berseru kaget.

   "Hah? Mana? Oh... benar! Marilah kita bersembunyi lagi. Lojin-ong!" kakek itu menggandeng tangan Yang Kun dengan tergesa, dan di Iain saat mereka telah bersembunyi di balik pohon-pohon yang rimbun.

   "Telah kukatakan sejak tadi, kita harus menahan diri agar tidak terjadi salah paham. Bagaimanapun juga gadis itu telah menolong kita dari cengkeraman kematian, sehingga kita harus melaksanakan kata-kata yang diucapkannya sebelum pingsan. Gadis itu menghendaki agar dia dibawa ke kuil Im yang kauw. Tapi dalam kuil itu engkau ternyata tidak bisa menahan dirimu...!" Put gi ho yang tinggi kurus itu mengomeli kawannya.

   "Habis mereka juga keterlaluan, sih.!"

   "Yaa... tapi kejadian ini tentu mengakibatkan suasana menjadi buruk, dan kemungkinan besar akan timbul penumpahan darah yang tak terelakkan!" Bayangan kedua orang Bing-kauw itu hilang di kelokan jalan.

   "Hmh, agaknya telah terjadi peristiwa besar di dalam kuil itu," Yang Kun membuka mulutnya.

   "Demikianlah agaknya..." kakek itu menjawab dengan gelisah. Mukanya yang penuh keriput tampak pucat sekali. Lalu,

   "Lojin-ong, hamba sungguh khawatir sekali. Jangan jangan telah terjadi sesuatu yang tak diinginkan di dalam kuil kita itu. Lojin-ong" mari...marilah kita cepat cepat ke sana!" Yang Kun segera menggelengkan kepalanya.

   "Kakek, kau berjalanlah lebih dahulu! Aku akan segera menyusul..." pemuda itu berkata sambil mendekap dadanya yang sakit.

   "Ba-baik, ba-baik, Lo-sin-ong! Hamba menurut...,!" orang tua itu mengangguk-angguk, lalu berlari sempoyongan menuju ke arah kuilnya. Yang Kun kemudian melangkah perlahan-lahan. Luka dalam itu terasa sangat melemahkan badannya, maka sambil berjalan seenaknya pemuda itu memandang jauh ke sekelilingnya. Siapa tahu secara tak sengaja ia dapat melihat atau memergoki kawannya yang ahli dalam pengobatan itu? Tadi malam ia merasa bahwa temannya itu berlari mengejar di belakangnya, tapi entah apa sebabnya sampai mereka berpisah jalan.

   "Untuk selanjutnya aku harus lebih berhati-hati bila berhadapan dengan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Orang itu benar-benar lihat sekali!" gumamnya lemah. Lapat lapat pemuda itu masih dapat membayangkan peristiwa itu. Saat pukulannya yang mengandung tenaga sakti Liong-cu i-kang sepenuhnya, hampir mengenai tubuh pangeran yang telah putus-asa itu. Saat itu tiba-tiba ia merasa seperti ada hawa tajam yang memotong ke arah lengannya.

   Ketika matanya melirik tampak segulung asap tipis yang terdiri dari dua warna, berhembus ke arah dirinya, sementara di belakang asap itu meluncur sesosok tubuh yang segera dikenalnya sebagai Hong-gi-hiap Souw Thian Hai! Tak ada kesempatan sama sekali baginya untuk menarik serangannya itu dan kemudian ia pergunakan untuk menyongsong serangan Hong-gi-hiap. Meskipun begitu ia percaya akan kekuatan pertahanan Liong-cu i kang yang ampuh. a benar-benar mengerahkan segala kemampuannya ketika pukulan Hong-gi-hiap tersebut membentur kedua lengannya! Tapi ternyata kali ini ia sungguh-sungguh salah perhitungan. Kekuatan Iweekang lawannya ternyata bukan main hebatnya! Liong cu-i kang yang demikian ampuh serta sudah ia kerahkan sepenuhnya, ternyata masih dapat ditembus oleh kekuatan lawan dan melukai dadanya.

   "Tapi aku berdiri di pihak yang bertahan." ia menghibur dirinya sendiri. "Coba kalau kita saling berhadapan muka, mungkin akibatnya akan lain. Aku tidak percaya kalau Iweekangnya lebih kuat dari pada Liong-cu I-kang!" Yang Kun melihat kesibukan yang luar biasa ketika ia mulai menginjakkan kakinya di halaman kuil tersebut. Beberapa orang tampak berlarian melintasi halaman samping dan tengah yang luas. Mereka seperti sedang menyiapkan sesuatu yang genting dan besar.

   Jilid 11
Yang Kun berjalan di antara arca dan patung yang banyak berdiri di kanan kiri jalan masuk tersebut, kemudian berdiri termangu-mangu di muka pintu gerbang masuk yang besar dan terbuat dari kayu tebal itu. Pemuda itu sekali lagi merasa seperti ada kesibukan besar di belakang pintu tebal di hadapannya. Seakan-akan ia merasakan seluruh penghuni kuil yang tentu berjumlah lebih dari lima puluh orang itu berlutut di halaman tengah menanti kedatangannya. Ah, sungguh sebuah pikiran gila, Yang Kun mengumpat di dalam hati. Seperti si kakek sinting saja, suka meramal! Yang Kun segera melangkah ke depan lalu mendorong pintu perlahan. Tak terduga pintu itu terbuka sendiri dengan cepat dan...

   "Selamat datang di kuil kami, Lojin-ong...!" terdengar suara gemuruh memenuhi halaman tengah kuil yang luas itu. Dan seperti yang tadi telah dibayangkan oleh Yang Kun, halaman tengah dari kuil tersebut penuh dengan para pengikut Im-yang-kauw. Semuanya berlutut ke arah pintu di mana ia sekarang sedang berdiri. Sedangkan di dekat pintu itu tampak si kakek sinting juga berlutut ke arahnya. Yang Kun berdiri mematung di tengah-tengah pintu seperti orang yang kehilangan akal. Lalu dipandangnya orang-orang yang berlutut di halaman dan si Kakek sinting berganti-ganti. Hmm, semua ini tentu ulah si kakek yang kurang ajar ini, Yang Kun menggeram di dalam hati.

   "Lojin-ong, marilah...! Semua penghuni kuil yang kupimpin ini telah lama menunggu Lojin-ong." sapa orang tua itu sambil mempersilahkannya masuk.

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Gila! Sandiwara apa pula ini? Kakek, kau jangan bergurau, di hadapan begini banyak orang. Aku akan benar-benar menjadi marah kalau begini!" Yang Kun berseru marah. Pemuda itu sungguh-sungguh berang. Mukanya menjadi merah padam, kedua buah tangannya terkepal erat-erat di samping tubuhnya.

   "Lojin-ong, mana kami berani bersandiwara maupun bergurau di hadapan Lojin-ong?" kakek sinting itu mendekat dengan suara gemetar.

   "Benar! Bagaimana kami berani berbuat begitu terhadap Lojin-ong?" puluhan orang Im-yang-kauw yang berlutut di halaman itu kembali bersuara gemuruh.

   "Hah?!?" Yang Kun terlonjak di tempatnya. "Kalian kalian... huh, gila! Kalian semua sudah gila! Sudahlah, aku mau pergi saja dari tempat ini! Aku tidak mau tinggal bersama dengan orang-orang sinting dan gila!"

   "Lojin-onggg...!" tiba-tiba kakek sinting itu menubruk kaki Yang Kun, sehingga pemuda yang sedang terluka dalam itu hampir saja terguling jatuh.

   "Lojin-ong, kau jangan pergi meninggalkan kami! Saat ini kami benar-benar sangat membutuhkan Lojin-ong...!"

   "Benar! Kami sekarang benar-benar sangat membutuhkan kehadiran Lojin-ong di sini.," sekali lagi orang orang Im-yang-kauw itu berteriak gemuruh.

   "Nah, Lojin-ong telah mendengar sendiri permintaan mereka. Oleh karena itu kabulkanlah permintaan kami ini. Lihatlah ke ruang samping itu! Salah seorang di antara kawan kita telah mati dibunuh oleh dua orang Bing-kauw itu!"

   "Benar, Lojin-ong. Kami membutuhkan nasehat Lojin-ong, apa yang mesti kami kerjakan berkenaan dengan peristiwa ini?" orang-orang itu bergemuruh pula.

   "Persetan! Aku tidak perduli!" Yang Kun berkata tegas sambil berusaha lolos dari rangkulan kakek sinting.

   "Oh, Lojin-ongggg,...!" kakek sinting itu meratap. "...Kalau Lojin-ong tetap juga mau pergi, lebih baik aku membunuh diri saja sekarang. Tak ada gunanya pula hidup, kalau Lojin-ong membenci kami!" sambungnya pula sambil mencabut sebilah pisau kecil dari pinggangnya. "Benar! Tak ada gunanya pula kami hidup kalau para pimpinan kami sendiri telah meninggalkan kami!" orang-orang Im yang kauw itu berteriak gemuruh sambil mencabut senjata mereka masing-masing, lalu secara bersama-sama mereka mengangkat senjata masing rnasing di atas kepala dan kemudian menghujamkannya ke dalam tubuh masing-masing. Mula mula Yang Kun tetap tidak peduli, ia telah benar benar marah. Tapi menyaksikan sedemikian banyak orang sungguh-sungguh mengayunkan senjatanya untuk membunuh diri, hatinya berdentang pula dengan hebatnya!

   "Hentikaann...!!" Pemuda itu berteriak sekeras-kerasnya. Tanpa sadar ia mengerahkan tenaga sakti Liong-cu I-kangnya, sehingga tanpa sadar pula ia membuat lukanya semakin bertambah parah. Huaaak! Darah hitam tampak menyembur dari mulutnya yang terbuka, lalu pemuda itu terjerembab pingsan. Beberapa orang tampak terpelanting karena terkena getaran suara Yang Kun, sementara yang lain tampak terlongong-longong dengan tangan lemas pula seakan seluruh tenaga mereka telah tersedot habis oleh getaran suara teriakan Yang Kun tadi. Tapi dengan demikian seluruhnya telah selamat dari bencana bunuh diri massal. Kakek sinting itu segera menolong Yang Kun, lalu memerintahkan beberapa orang untuk menyiapkan sebuah kamar khusus bagi pemuda tersebut, yaitu sebuah kamar kosong yang terletak di pojok belakang, di dekat ruang semadi.

   Sebuah kamar yang sepi dan tenang bebas dari kesibukan penghuni kuil yang lain. Para penganut Im-yang-kauw dan penghuni itu lalu bubar untuk kembali ke tempat masing-masing. Beberapa orang diantara mereka tampak menuju ke ruang samping di mana terdapat seorang teman mereka yang terbunuh beberapa saat yang lalu, karena berkelahi dengan dua orang tamu yang datang ke tempat mereka membawa seorang gadis cantik. Matahari merangkak semakin tinggi. Di dalam kuil Im-yang-kauw itu masih tampak kesibukan yang luar biasa. Kakek sinting itu beberapa kali memimpin upacara sembahyang, kemudian pada waktu lewat tengah hari kakek itu memanggil beberapa orang pembantunya dan orang-orang yang tadi pagi terlibat langsung dalam perkelahian melawan kedua orang Bing-kauw itu.

   Lama sekali mereka berbincang mengenai persoalan tersebut. Lalu menjelang sore hari tampak belasan anggota Im-yang-kauw pergi meninggalkan kuil itu menuju ke Gedung Pusat mereka yang berada di kota Sin-yang. Sedangkan beberapa orang yang lain tampak mempersiapkan segala sesuatu bagi keamanan kuil dan sekitarnya. Mereka tampak mengeluarkan senjata-senjata mereka yang selama ini jarang mereka pakai. Sementara itu di dalam kamar pojok belakang Yang Kun juga baru saja siuman dari pingsannya. Pemuda itu melirik ke sekelilingnya, dan ia menjadi kaget begitu sadar ia berada di tempat yang asing. Dengan tergesa pemuda itu bangkit dari tempat tidurnya, tapi...

   "Aduuuuh...!" pemuda itu terlentang kembali sambil mendekap dadanya. Dua orang penjaga melangkah masuk dengan tergopoh gopoh. Dengan pandang mata khawatir mereka berdiri di hadapan Yang Kun.

   "Lojin-ong... adakah yang perlu kami bantu? Apa... apakah luka Lojin-ong terasa sakit kembali?" Mata pemuda itu berkilat memandang kedua penjaga tersebut. Kemudian dengan sekali sambar pemuda itu telah mencengkeram leher baju mereka.

   "Kurang ajar! Kalian juga ikut ikutan memanggil aku Lojin-ong! Lojin-ong... Lojin-ongggg...! Gila! Kalian lihat mukaku! Apakah wajah ini sudah demikian tua dan keriput sehingga kalian panggil Lojin-ong? Jawabbb...!" Yang Kun berteriak sambil menuding mukanya sendiri.

   "Lojin... eh, anu... hamba mana bera...berani...!" kedua penjaga itu menjawab dengan tubuh menggigil.

   "Nah! Apa sebabnya kalian ikut ikutan pula menyangka aku sebagai Lojin-mo (OrangTua Setan)?" Yang Kun mengguncang tubuh mereka.

   "Lojin mo? Ahh mana aku berani me...menyebut begitu? K-kami m-menyebut Lojin... eh, maaf... kami menyebut Lojin... ong, bukan Lojin mo!" kedua orang itu menjawab semakin takut. Sungguh-sungguh takut sekarang!

   "Hah, siapa bilang? Bukankah baru saja kalian mengucapkannya?"

   "Tapi... t-tapi.,."

   "Bah! Awas, kalian telah menyebut Lojin-mo, bukan Lojin-ong! Akan kulaporkan kepada Lojin-ong nanti!" Yang Kun memancing.

   "Jangan! Jangan! Kami... oh!" tiba-tiba mereka menutup mulut mereka dengan telapak tangan, sadar bahwa mereka telah kelepasan omong.

   "Nah, apa kataku... kalian juga ikut bersandiwara pula! Kalian sebetulnya juga sudah tahu kalau aku bukan Lojin-ong!" Yang Kun bernapas lega seraya melepaskan tangannya dan mendorong mereka ke belakang.

   "Pergilah..!"

   "Tetapi Lojin-..."

   "Heii, kalian mau menyebut Lojin-mo lagi?"

   "Tidak! Tidak...!"

   "Nah, kalau begitu pergilah sekarang! Panggil kemari kakek sinting yang menjadi biangkeladi semua lelucon ini! Lekas! Akan ku..." Yang Kun tidak melanjutkan perkataannya. Ujung perasaannya yang terlatih tanpa sengaja itu seperti mengisyaratkan sesuatu bahwa ada orang datang mendekati tempat itu dengan jalan mengendap endap. Tapi ketika pemuda itu berusaha menangkap suara tersebut dengan telinganya, tak sesuatupun yang terdengar! Gila, perasaannya mulai meramal lagi, pemuda itu mengumpat di hati! Tapi...

   "Hihi, Lojin-ong! Maaf, hambamu datang terlambat. Habis, hamba harus mengurus kuil ini dahulu," Kakek sinting itu mendadak muncul di ambang pintu. Dengan membungkuk, ia melangkah ke tengah ruangan. Tapi serentak melihat wajah Yang Kun yang kusut itu melotot kepadanya, kakek tersebut lalu menjura berkali-kali sambil meminta maaf.

   "Maafkan hamba, Lojin-ong. Seharusnya hamba tidak boleh terlalu mengganggu Lojin-ong. Dan hamba sebenarnya sudah berusaha agar tidak menimbulkan suara tadi, tapi agaknya gelombang perasaan kita memang sama dan sejalan, sehingga perasaan Lojin-ong tersentuh juga...! Oleh karena itu hamba terpaksa muncul pula." Gelombang perasaan? Sejalan! Huh! Omong kosong apa pula itu?

   

Darah Pendekar Eps 30 Darah Pendekar Eps 7 Darah Pendekar Eps 8

Cari Blog Ini