Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 53


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 53




   "Kurang ajar!" saking jengkelnya pemuda itu memaki, "Kenapa kau tidak mau mengatakan juga? Ayoh, lekas katakan! Di mana ruang di bawah tanah itu?" Sambil membentak Chin Yang Kun menarik tubuh perempuan cantik itu dan bermaksud untuk menyeretnya ke tempat yang ditunjuk oleh perempuan tersebut. Tapi tidak terduga, saking takutnya perempuan itu meronta sehingga pegangan tangan Chin Yang Kun terlepas. Secara otomatis tangan Chin Yang Kun yamg lain segera menyambar tubuh perempuan tersebut. Tetapi...

   "Aaauuuuu...!!" Pek-pi Siau-kwi menjerit keras sekali. Ternyata karena terburu-buru, tangan Chin Yang Kun tadi telah mencengkeram persis pada buah dada Pek-pi Siau-kwi yang sebelah kanan. Tentu saja hal itu juga sangat mengejutkan Chin Yang Kun sendiri. Bagai disengat lebah pemuda itu cepat-cepat melepaskan "benda lunak" yang selalu dirahasiakan oleh pemiliknya itu. Pemuda itu mukanya merah padam, tubuhnya gemetar, dan tiba-tiba saja bayangan si Wanita Genit isteri pemilik penginapan itu kembali terbayang di depan matanya.

   "Oohhh...!" Chin Yang Kun berdesah sambil memejamkan matanya. Tapi wajah genit yang menggairahkan itu tetap saja menggoda hatinya. Berahinya timbul pula perlahan-lahan...

   "Ahhh...!" berkaIi-kali pemuda itu mencoba membuang bayangan-bayangan kotor itu dari kepalanya dengan mengibas-ngibaskan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Tapi tetap tak berhasil juga. Kemudian pemuda yang telah sadar akan bahaya yang hendak menimpa dirinya itu segera menggeram dengan hebat.

   "Cepat...! Sebutkan tempat itu, sebelum kau mendapatkan perlakuan yang lebih buruk dariku!"

   Celakanya, Pek-pi Siau-kwi justru semakin ketakutan melihat perubahan wajah Chin Yang Kun yang menakutkan itu. Mulutnya tak kuasa menjawab. Sehingga akhirnya, karena sangat jengkel pemuda itu segera menyambar rambutnya dan membawanya ke ruang yang ditunjuk oleh perempuan itu. Chin Yang Kun memasuki ruangan itu dan segera melihat sebuah lobang terbuka di atas lantai.

   "Hmmm... itukah pintunya?" Chin Yang Kun bertanya seraya menggerakkan kepalanya ke arah lobang itu.

   "Be-be-be... benar!" dengan suara gugup dan wajah yang semakin ketakutan perempuan cantik ini menjawab.

   "Sungguh? Hmm... kalau begitu mari kita memasukinya! Awas... kalau engkau berbohong, kupatahkan lehermu... lehermu yang bagus itu!" Chin Yang Kun yang sudah mulai terpengaruh oleh kecantikan perempuan cantik itu membentak.

   "Ohh, jaangannn...! Aku... aku tidak mau!" pek-pi Siau-kwi yang takut kepada perangkap yang telah dibuatnya sendiri itu menjerit dan meronta-ronta.

   "Hei? Kenapa tidak mau? Apakah...? Ohh... bagus... bagus! Aku tahu sekarang! Tentu ada apa-apa di dalam lobang itu, dan... kau tidak mau mengatakannya kepadaku! Baik! Sekarang kau akan kubawa saja bersama-sama, sehingga kau akan mengalami hal yang sama denganku apabila terjadi apa-apa nanti..."

   "Jahanam...! Jangannn...!" Tapi Chin Yang Kun sudah tidak peduli lagi. Perempuan itu ditotoknya lemas. Kemudian diseretnya memasuki lobang masuk ke ruang di bawah tanah tersebut. Tapi begitu kaki pemuda itu menginjak anak tangga yang ke tujuh, tiba-tiba terjadi ledakan hebat yang menggoncangkan seluruh bangunan rumah tersebut!

   "Bhhlaaaaaarr...!!!"

   Bagaikan gunung meletus atap rumah besar itu tercampak berhamburan ke udara! Suaranya menggelegar mengagetkan seisi dusun itu. Pecahan-pecahan genting, kayu dan lain-lainnya, terlempar jauh ke pekarangan-pekarangan di sebelahnya. Tiba-tiba saja semua orang keluar dari rumah-rumah mereka yang tadi tertutup rapat itu. Mereka berlarian kesana kemari dengan wajah ngeri dan ketakutan! Dan sekejap saja dusun yang semula sepi itu menjadi ribut dan gempar luar biasa! Terdengar jerit dan tangis anak-anak serta wanita dimana-mana! Semua orang menyangka telah timbul bencana alam seperti dulu lagi. Tetapi beberapa orang yang tergabung dengan Ko Tiang dan Jiu Kok, yang melihat dengan jelas apa yang telah terjadi, segera keluar dari persembunyian mereka dan berusaha untuk menenangkan penduduk yang panik.

   Mereka mengatakan kepada semua orang, apa yang telah terjadi di rumah Yung Ci Pao. Dan kemudian mereka mengajak para penduduk untuk melihat rumah itu. Akhirnya kegemparan tersebut menjadi reda juga. Kini semua orang berbondong-bondong ingin melihat ke rumah Yung Ci Pao, untuk mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi di tempat itu. Tetapi orang-orang itu hanya bisa melihat puing-puing bekas rumah Yung Ci Pao saja sekarang. Rumah yang dulu sangat besar dan megah itu kini telah hancur dan hampir rata dengan tanah. Asap masih tampak mengepul di sana-sini. Mendadak seorang pemuda berlari mendatangi, dan kemudian menyibakkan kerumunan orang yang berjubel di sekitar tempat itu. Wajahnya yang biru memar bekas disiksa orang itu tampak pucat pias! Matanya melotot mengawasi rumah yang telah hancur berantakan itu!

   "Rumahku...! Ohhh... rumahku! Wi Yan Cuuuuu...! Wi Yannn Cuuuu...! Dimanakah engkauuuu...???" pemuda yang tidak lain adalah si Bopeng Yung Ci Pao itu menjerit-jerit seperti orang gila. Beberapa orang tetangga Yung Ci Pao berusaha membujuk pemuda itu, termasuk pula Ko Tiang dan Jiu Kok. Tetapi cobaan yang datang bertubi-tubi itu tampaknya benar-benar sangat memukul batin dan jiwa Yang Ci Pao sehingga sulit sekali bagi mereka untuk menyadarkan atau menenangkannya. Seperti orang gila pemuda itu menjerit-jerit memanggil nama isterinya, meronta-ronta dan setelah terlepas dari pegangan orang-orang itu lalu berlarian sambil menjambaki rambutnya sendiri.

   "Rumahkuuuu...! Rumahkuuu... ohh!... Yan Cu! Yan Cu! Yan Cuuuu...! Huhu-uh-huuuuu...!" Akhirnya semua orang membiarkan saja pemuda itu meratapi nasibnya.

   "Kasihan anak itu. Habis sudah semua yang dikejarnya dan dikuasainya dengan cara yang kurang terpuji itu sekarang..." seorang tetangganya yang telah berusia lanjut berdesah perlahan.

   "Benar. Tampaknya pemuda itu telah mulai memetik hasil perbuatannya sendiri." Isterinya yang juga telah tua menyahut pula. Sementara itu Ko Tiang dan Jiu Kok rupanya telah membagi tugas. Ko Tiang dengan kawan-kawannya, dibantu oleh pemuda-pemuda desa itu berusaha menyingkirkan puing puing reruntuhan itu. Mereka mencari kalau-kalau di bawah reruntuhan itu masih ada sesuatu yang perlu mereka selamatkan.

   Siapa tahu Chin Yang Kun, Wi Yan Cu atau teman gadis mereka yang juga dipaksa untuk melayani ketiga penjahat itu masih hidup pula? Sedangkan Jiu Kok dengan tergesa-jesa mengajak dua orang temannya berlari ke desa In-ki-cung untuk melaporkan hal itu kepada kepala desa mereka. Seorang kepala desa yang telah lima puluhan tahun mengabdikan dirinya, yaitu semenjak pemerintahan Kaisar lama. Tetapi meskipun telah lanjut usia, kepala desa itu benar-benar sangat disegani dan dihormati oleh penduduknya. Sebab, selain orang tua itu adalah keturunan dari cikal-bakal desa tersebut, ia juga seorang yang sangat bijaksana serta berwibawa. Apalagi salah seorang puterinya pernah diambil isteri seorang pangeran dari Kotaraja pula.

   "Jadi ada penjahat yang telah mengacau desa Hoa-ki-cung? Hmm...kalau begitu marilah kita ke sana! Ah... Ci Pao... Ci Pao! Sudah kuperingatkan sejak dahulu..." kepala desa itu berbisik dengan muka muram. Dengan mengajak beberapa orang pembantunya, kepala desa itu mengikuti Jiu Kok ke desa Hoa-ki-cung. Wajah kakek itu tampak muram dan gelisah, sebab bagaimanapun juga Yung Ci Pao masih termasuk cucu luarnya sendiri.

   "ln-cungcu (Kepala Desa she In)..." di tengah jalan Jiu Kok mencoba mengajak berbicara dengan kepala desanya itu.

   "Ada apa Jiu Kok?"

   "Selain Ci Pao di sana juga ada cucu In-cungcu yang lain..."

   "Hmmh... siapa?" kakek itu menyahut hampir tidak peduli. Apa anehnya kalau di tempat itu ada cucunya yang lain? Kakek itu hampir mempunyai seratus cucu di desa In-ki-cung dan Hoa-ki-cung. Dan dengan terjadinya musibah di rumah Yung Ci Pao itu tentu saja semua sanak-familinya berkumpul disana.

   "Tapi cucu ln-cungcu yang seorang ini tidak tinggal di desa kita ini..." Jiu Kok yang ingin memberi kejutan kepada kakek itu cepat-cepat berkata.

   "Cucuku yang tidak tinggal di desa kita? Huh... apa maksudmu?" kakek itu menoleh dan bertanya, sama sekali belum menangkap maksud dari perkataan Jiu Kok.

   "Ahh... bukankah In-cungcu masih mempunyai cucu yang lain? Cucu kesayangan yang hampir sepuluh tahun tak pernah datang mengunjungi In cungcu lagi...?" Jiu Kok masih tetap jual mahal dan tidak lekas-lekas mengatakan apa yang dimaksudkannya. Benar juga. Mendengar ucapan Jiu Kok yang terakhir itu tiba-tiba In-cungcu berhenti. Dengan suara gemetar kakek itu menghardik,

   "Jiu Kok! Katakan cepat! Jangan berputar-putar! Apakah yang kau maksudkan itu...,cucuku yang tinggal di Kotaraja?"

   "Be-ben... eh... benar!" Jui Kok menjawab dengan suara gemetar pula melihat kemarahan kepala kampungnya.

   "Siapa? Chin Yang Kun...?" In-cungcu mendesak. Jiu Kok yang sedianya mau membuat kejutan itu mengangguk.

   "Heh? Benarkah...? Apa-apa...oh apakah engkau tidak salah lihat?" kakek itu mendadak menyambar leher baju Jiu Kok dan berteriak dengan suara parau. Jiu Kok malah tidak bisa menjawab lagi. Pemuda itu Cuma mengangguk dan menggeleng-geleng saja. Tapi sikap itu sudah merupakan jawaban yang jelas bagi In-cungcu.

   "Ooohh...!" Kakek itu tiba-tiba berbalik, lalu dengan tergesa-gesa berlari ke rumah Yung Ci Pao di desa Hoa-ki-cung! Pembantunya, Jiu Kok dan teman-temannya hanya saling pandang, kemudian juga berlari mengikuti kakek itu pula. Kedatangan In-cungcu di Hoa-ki-cung disambut dengan ratap tangis oleh anak cucunya yang tinggal di desa itu. Mereka segera melaporkan apa yang telah terjadi di rumah Yung Ci Pao, yang juga masih keluarga mereka sendiri itu.

   "Di manakah Ci Pao sekarang?"

   "Itu dia...!" salah seorang dari sanak keluarganya itu mengacungkan jari telunjuknya ke arah Yung Ci Pao, yang duduk bengong termangu-mangu sendiri di bawah pohon di pojok halaman rumahnya.

   "Lalu... di mana... eh, di manakah...?" In-cungcu masih juga bertanya seraya menoleh kesana kemari, seolah-olah ada yang ia cari lagi selain Yung Ci Pao. Dan ketika kakek itu tidak juga dapat menemukan orang yang dimaksudkannya, ia lalu menoleh ke arah Jiu Kok.

   "Hei, Jiu Kok...! Di manakah dia?" teriaknya tak sabar. Jiu Kok cepat berlari datang.

   "Ada apa Cungcu?" tanyanya setelah berada di depan kakek itu.

   "Kau katakan bahwa dia berada di sini. Apakah engkau mau mempermainkan aku? Di manakah dia... hei?" Tentu saja orang-orang yang berada di tempat itu menjadi heran melihat kelakuan kepala desa mereka. Mereka menatap In-cungcu dan Jiu Kok berganti-ganti.

   "Eh... anu! Chin Yang Kun berada di rumah ini ketika rumah ini meledak dan roboh! Mungkin... mungkin dia tertimbun pula di dalam reruntuhan itu bersama tiga orang penjahat itu." dengan hati-hati Jiu Kok memberi keterangan. Lalu secara singkat pemuda itu menceritakan apa yang telah terjadi di desa itu sebelum semua peristiwa tersebut terjadi.

   "Hai... kalau begitu cepatlah semua orang menyingkirkan reruntuhan itu! Ayoooooh!" kakek itu berteriak keras sekali. Demikianlah, semua orang yang berada di tempat tersebut lalu bekerja keras menyingkirkan puing-puing rumah Yung Ci Pao yang roboh tersebut. Dan beberapa waktu kemudian, yaitu bersamaan dengan saat matahari berada di atas kepala mereka, mereka menemukan mayat Pendekar Li dan Jai-hwa Toat-beng-kwi di bawah reruntuhan itu. Tubuh kedua penjahat itu hampir tak bisa dikenali lagi bentuknya. Keduanya tergencet oleh balok balok kayu besar penyangga rumah. Penemuan itu sungguh mengejutkan In Cungcu yang sedang mengkhawatirkan Chin Yang Kun. Serta-merta kakek itu meloncat menghampiri.

   "Ma-mayat si... siapa itu?" teriaknya hampir menjerit.

   "Ah, bukan dia In-cungcu...! Bukan dia! Kedua sosok mayat ini adalah mayat penjahat-penjahat itu." Jiu Kok cepat-cepat memberi keterangan.

   "Ouohh...!" kakek itu bernapas lega.

   "Kalau begitu... ayolah kalian teruskan pekerjaan kalian ini!" Tapi sampai matahari condong ke barat dan akhirnya malah tenggelam di balik pegunungan, para penduduk itu tidak juga menemukan mayat-mayat yang lain lagi. Padahal mereka telah menyingkirkan seluruh reruntuhan rumah itu.

   "Hei, kemanakah mayat-mayat mereka? Bukankah di rumah ini ada penjahat wanita, Wi Yan Cu dan Chin Yang Kun pula? Apakah mereka bertiga bisa meloloskan diri dari bencana itu? Tetapi...mustahil! Kalau mereka lolos, mereka tentu datang menemui kita..." Ko Tiang berkata seraya memandang Jiu Kok dan yang lain-lain.

   "Kau benar! Lalu ke mana mereka itu?" Jiu Kok menyahut pula.

   "Ayoh... coba terus! Kalian singkirkan reruntuhan itu sampai kelihatan lantainya! Siapa tahu kita bisa menemukan mereka di bawah reruntuhan pasir dan tembok itu." In cungcu dengan suara tegang dan gelisah memberi perintah lagi. Beberapa orang penduduk yang lain segera menyiapkan obor untuk penerangan. Tapi belum juga mereka meneruskan pekerjaan mereka itu, tiba-tiba seorang pembantu In-cungcu datang tergopoh-gopoh mendapatkan kepala desanya itu.

   "Cungcu, kau... kau diharapkan pulang sekarang juga!" Begitu datang orang itu langsung mengatakan maksudnya.

   "Heh? Ada apa di rumah?" In-cungcu tersentak kaget.

   "Anu... anu... Baginda... Baginda Kaisar telah berkenan datang di desa kita! Sekarang, beliau berada di Kuil Ban-lok-si di pinggir desa itu."

   "Apa...??? Hongsiang berkunjung ke desa kita?" kakek itu berseru dan wajahnya mendadak menjadi pucat pasi. Rasa gentar dan takut yang luar biasa tampak membayangi wajah yang biasanya sangat berwibawa itu. Selanjutnya kakek itu tampak gelisah dan bingung sekali. Keringat dingin kelihatan membasahi pakaiannya, sementara dengan sangat tergesa-gesa kakinya melangkah meninggalkan rumah Yung Ci Pao yang sedang tertimpa malapetaka itu. Begitu risaunya hati orang tua itu sehingga beberapa kali tubuhnya melanggar orang yang menghalangi jalannya.

   "Matilah sudah aku sekali ini! Ohhh...Leng Hoan...Leng Hoan, apa yang akan kau andalkan lagi sekarang? Dia telah menjadi Kaisar junjunganmu! Dan engkau takkan bisa mengelak lagi kalau dia mau membalas dendam atas perlakuanmu dahulu... ohhh!" kakek itu komat-kamit menyalahkan dirinya sendiri.

   Tentu saja semua orang heran sekali melihat kelakuan orang tua itu. Bukankah kakek itu seharusnya bergembira menerima kunjungan rajanya? Tidak semua orang bisa memperoleh kesempatan baik seperti itu. Tapi bagi orang-orang tua yang seangkatan dengan kakek itu, yang selama ini selalu tinggal di desa In-ki-cung dan Hoa-ki-cung, sikap yang aneh dari In-cungcu tersebut sama sekali tidak mengherankan mereka. Semuanya masih ingat dengan jelas pada peristiwa dua puluh tahun yang lalu, ketika In cungcu itu hendak mengawinkan salah seorang puterinya yang bernama In Soh Hwa. Gadis yang menjadi bunga desa ln-ki-cung itu ternyata menjadi rebutan para pemuda yang ingin memperisterikannya, sehingga akhirnya mengakibatkan keributan dan kegemparan di desa tersebut.

   Dan keributan itu baru dapat menjadi reda setelah secara kebetulan ada seorang pangeran dari Kotaraja yang lewat dan berhenti di desa mereka. Tapi kedatangan si pangeran tersebut ternyata berbuntut panjang. Sebab pangeran yang masih berusia muda dan belum beristeri itu akhirnya juga menghendaki ln Soh Hwa pula. Tentu saja pemuda-pemuda desa itu menjadi segan dan takut untuk bersaing dengan pangeran yang kaya dan mempunyai kekuasaan besar itu. Satu persatu mereka mundur dari arena persaingan, apalagi ketika mereka mengetahui bahwa si pangeran itu masih putera dari Kaisar mereka sendiri. Meskipun demikian, ternyata masih ada juga yang nekad dan tidak mau mengalah.

   Pemuda tersebut adalah Liu Pang, putera seorang petani melarat di desa itu juga. Memang sudah lama pemuda itu menjalin cinta dengan In Soh Hwa, biarpun ayah gadis itu atau In-cungcu tidak menyukai hubungan mereka itu. Dan puncak dari kenekadan pemuda Liu Pang tersebut adalah ketika dia dengan berani mengambil In Soh Hwa serta melarikan gadis tersebut ke daerah perbukitan. Tentu saja perbuatan pemuda itu mengundang kemarahan si pangeran dan keluarga In Soh Hwa sendiri. ln Leng Hoan atau In cungcu segera mengerahkan para pembantunya untuk mengejar Liu Pang, sementara pangeran itu juga mengerahkan perajurit yang dibawanya dari Kotaraja untuk merampas kembali calon isterinya. Demikianlah, selama dua hari dua malam pasukan besar itu mengobrak-abrik tempat persembunyian Liu Pang.

   Dan pada hari ke tiga, barulah sepasang kekasih itu mereka ketemukan. Maka penyiksaan atas diri pemuda nekad itupun terjadilah! Sayang, pada saat pangeran itu memberi perintah untuk membunuh Liu Pang, seorang pendekar tak dikenal telah datang dan menyelamatkan nyawa pemuda itu. Dan selanjutnya tak seorangpun tahu bagaimana nasib Liu Pang itu. Tapi belasan tahun kemudian, orang-orang dari desa ln-kicung itu dikejutkan oleh berita tentang munculnya Liu Pang, yang memimpin ribuan orang petani dan pendekar-pendekar persilatan untuk menumbangkan kekuasaan Kaisar Chin Si di Kotaraja. Tampaknya dendam pemuda itu terhadap si Pangeran Chin, yang telah merebut kekasihnya itu telah menyalakan semangat pemuda tersebut untuk membalas dendam.

   Dan dendam itu akhirnya ternyata terlaksana juga. Kaisar Chin Si dan bala tentaranya menyerah. Liu Pang menjadi Kaisar yang baru, bergelar Kaisar Han. Sayang di dalam kemenangannya itu Kaisar Han tak pernah bisa menemukan kekasih yang dicintainya, yaitu In Soh Hwa! Dan tampaknya setelah bertahun-tahun tak bisa menemukan juga kekasihnya itu, kini Liu Pang kembali ke desanya. Anak petani melarat itu sekarang datang dengan segala kebesarannya, kereta-kereta perang dan ribuan orang perajuritnya! Bagaimana seorang kepala desa kecil seperti ln Leng Hoan tidak menjadi gemetar ketakutan melihatnya? Di dalam perjalanan kembali ke rumahnya, In Leng Hoan terus saja mendesak kepada pembantunya.

   "Lo Kwang, apa... apakah Hongsiang membawa banyak pengawal?"

   "Pengawal...? Ah, Cungcu ini aneh benar! Masakan Hongsiang hanya diikuti oleh beberapa orang pengawal? Hmm... tentu saja Hongsiang membawa pasukan yang lengkap. Lengkap sekali...!" Lo Kwang menjawab pertanyaan kepala desanya dengan wajah terheran-heran.

   "Lengkap sekali?" ln Leng Hoan mengulangi seolah tak percaya.

   "Ya! Cungcu ingat padang rumput di lereng bukit di sebelah selatan desa kita itu? Nah, tempat itu kini penuh dengan perajurit dari Kotaraja!"

   "Hah? Padang rumput yang luar biasa luasnya itu?" sekali lagi In Leng Hoan mengulangi kata-kata pembantunya, "Ohhh mati aku!!!"

   '"Hei, Cungcu... kau kenapa?" Lo Kwang berteriak kaget. Tapi ln Leng Hoan cepat-cepat menggeleng.

   "Tidak apa-apa! Tidak apa-apa..." desah kakek itu dengan suara putus-asa. Tentu saja kegelisahan kepala desanya itu sangat mengherankan Lo Kwang. Pembantu kepala desa yang masih berusia muda dan belum lama tinggal di In-ki-cung tersebut tentu saja tak tahu menahu sama sekali peristiwa yang terjadi pada dua puluhan tahun berselang. Demikianlah, dengan pikiran kacau ln Leng Hoan sampai di rumahnya. Kedatangannya telah dinantikan oleh isteri dan anak-anaknya, yang sengaja berkumpul di rumah itu. Anakanaknya yang tua, yaitu kakak-kakak ln Soh Hwa, segera menyongsong dia dan mengelilinginya.

   "A-ayah... dia telah datang kemari! Apa... apa yang harus kita perbuat?" puteranya yang tertua, yang rambutnya juga telah mulai memutih, bertanya dengan suara khawatir.

   "Benar, yah...! Tampaknya dia hendak...hendak membalas dendam atas perlakuan kita dahulu." puteranya yang ke dua, yang dahulu ikut menyiksa Liu pang, berkata pula dengan bibir bergetar. Wajah In Leng Hoan semakin tampak pucat tak berdarah. Perasaan takut, cemas dan ngeri membuat kakek itu seolah olah sudah tidak mempunyai pengharapan untuk hidup lagi. Kedatangan Kaisar Han beserta pasukannya itu seakan-akan ia rasakan sebagai malaikat elmaut yang hendak mencabut nyawanya. Melihat itu isterinya menjadi tidak tega. Betapapun dirinya juga takut luar biasa, tapi memandang suaminya seperti itu hatinya menjadi kasihan dan tidak rela.

   "Sudahlah! kau tak perlu takut dan bersedih hati! Kita berdua sudah tua-renta. Tanpa mereka bunuhpun kita juga akan segera meninggalkan semua ini. Apa bedanya mati sekarang atau besok bagi kita? Sudah cukup rasanya kita berdua mengasuh anak cucu selama ini..."

   "Ahhh...!" In Leng Hoan berdesah dan tiba-tiba wajahnya tampak berseri-seri memandang isterinya. Kedua lengannya terulur ke depan dan di lain saat sepasang kakek-nenek itu lalu saling berangkulan tanpa mempedulikan anak anak mereka.

   "Kau benar, isteriku... Ah, aku sekarang sudah tidak takut lagi. Biar sampai lumat dengan tanahpun kita berdua akan selalu bersama-sama. Bukan begitu?" Nenek itu tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa butir air mata kelihatan meloncat dari pelupuk matanya dan membasahi pipinya yang keriput.

   "Ehh...tetapi bagaimana dengan anak-cucu kita nanti? Bagaimanakah kalau Kaisar itu juga memusuhi mereka pula?" In Leng Hoan berbisik perlahan ke telinga isterinya.

   "Ah, tidak mungkin! Perbuatan itu hanya akan merugikan nama baiknya di mata para perajuritnya. Pembunuhan yang membabi-buta terhadap rakyat kecil seperti kita justeru akan menimbulkan pengaruh yang tidak baik terhadap kewibawaannya," isterinya cepat-cepat menyahut.

   "Klinting... klinting... klinting!"

   "Ohh...itu suara kelintingan kuda! Utusan yang hendak menjemput ayah telah datang," putera In Leng Hoan yang tertua berbisik gelisah. Tapi dengan bibir tersenyum In Leng Hoan menepuk-nepuk pundak puteranya, kemudian seraya menggandeng lengan isterinya kakek itu melangkah ke ruang pendapa. Dan benar saja di halaman depan telah terlihat seregu perajurit berkuda mendatangi. Seorang perwira berpakaian gemerlapan tampak memimpin pasukan itu. ln Leng Hoan bergegas mengajak isterinya turun ke halaman, menyongsong kedatangan perwira itu. Dengan sangat hormat sekali kakek itu membungkuk di hadapan perwira tersebut.

   "Selamat datang di rumah kami, Ciangkun...!" Perwira itu melambaikan tangannya ke belakang, menyuruh anak buahnya berhenti. Lalu tanpa beranjak dari punggung kudanya perwira itu mengangguk.

   "Terima kasih! Apakah kamu yang bernama In Leng Hoan dan menjabat sebagai kepala desa
di dusun In-ki-cung ini?" katanya singkat tanpa berbelit-belit.

   "Betul, Ciangkun! Aku memang In Leng Hoan, kepala desa di tempat ini. Bolehkah saya bertanya, siapakah Ciangkun ini?"

   "Aku adalah utusan Hongsiang yang saat ini sedang berada di Kuil Ban-lok-si, di luar desamu ini. Hongsiang berkenan untuk memanggilmu ke sana sekarang juga! Oleh karena itu engkau bersiaplah untuk kami bawa ke hadapan beliau!" perwira itu berkata lagi, halus namun tegas.

   "Ba-baik...! Tapi silakanlah Ciangkun singgah dulu sebentar di pendapa! Aku akan berbenah dahulu di dalam..." In Leng Hoan yang sudah tidak merasa ketakutan lagi itu menjawab tenang.

   "Terima kasih! Tidak usah...! Aku akan menunggu saja di halaman ini. Nah, lekaslah kau bersiap-siap...!" Demikianlah, setelah berpamitan dengan anak-isterinya In Leng Hoan lalu pergi mengikuti perwira itu. Semula isteri dan anaknya hendak ikut, tetapi dengan keras kakek itu melarangnya. Kakek itu menyuruh mereka supaya menunggu saja di rumah. Mereka baru diperbolehkan menyusul kalau ada berita darinya. Bagaimanapun juga hati kakek itu menjadi ciut pula melihat penjagaan yang begitu rapat di sekeliling Kuil Ban-lok-si itu. Berpuluh-puluh orang perajurit bersenjata lengkap tampak mondar-mandir di sepanjang jalan dan halaman kuil tersebut. Mereka tampak bersiap siaga sepenuhnya!

   "Ah, perajurit-perajurit ini cuma sebagian saja dari kekuatan yang dibawa oleb Liu Pang itu. Yang lain mereka tempatkan di lereng bukit itu..." In Leng Hoan bergumam di dalam hati.

   "Utusan Hongsiang telah tiba...!" tiba-tiba perajurit yang berdinas jaga di pintu halaman kuil berteriak ke dalam. Lalu terjadilah kesibukan yang luar biasa di dalam kuil itu. Beberapa orang perwira tampak keluar dari dalam kuil. Di belakang mereka tampak belasan perajurit pengawal mengiringkan mereka. Bergegas para perwira itu menyongsong perwira yang membawa In Leng Hoan tadi. Dan perwira yang membawa In Leng Hoan itu cepat meloncat turun dari atas punggung kudanya.

   Sambil memberi hormat perwira itu melaporkan tugas yang telah diselesaikannya. Salah seorang perwira yang keluar dari dalam kuil itu mengangguk, lalu mengajak In Leng Hoan ke dalam. Para perwira yang lain segera mengikuti mereka dari belakang. belasan orang anggota Sha-cap mi-wi, dengan pakaian seragam kebesarannya yang gemerlapan, tampak berdiri berderet di kanan kiri jalan yang mereka lalui menuju ke pintu ruang dalam. Jagoan jagoan pengawal rahasia kerajaan itu tampak gagah-gagah, berwibawa dan garang-garang! Kepandaian mereka yang rata-rata sangat tinggi itu membuat sikap dan pembawaan mereka sangat tenang dan yakin pada diri mereka sendiri. Dan semua itu membuat hati In Leng Hoan semakin menjadi lebih menciut lagi. Apalagi ketika kakek kepala desa itu sampai di dalam.

   Para perwira tinggi dan panglima-panglima kerajaan yang saat itu dibawa oleh Yap Tai-Ciangkun dalam perlawatannya ke Pantai Karang, tampak duduk berderet-deret di sekitar altar pemujaan, di mana kursi Baginda Kaisar Han diletakkan. Lampu-lampu besar dan bau dupa wangi yang tersebar di ruangan dalam yang luas itu membuat suasana menjadi kelihatan agung dan menggetarkan hati. Kursi itu masih kosong. Hongsiang belum berkenan duduk di tempat itu. Tampaknya Baginda ingin menunggu kedatangan utusannya lebih dahulu. In Leng Hoan diperintahkan duduk di atas lantai di depan altar, sambil menunggu kedatangan Baginda Kaisar Han. Dan kakek itu hampir tak berani menengadahkan mukanya. Perwira-perwira tinggi dengan seragamnya yang indah gemerlapan itu seakan-akan menyilaukan matanya dan menyita seluruh keberaniannya.

   Sementara itu udara di luar kuil benar-benar telah menjadi gelap. Malam telah datang menyelimuti bumi. Para perajurit juga telah memasang obor penerangan di mana-mana, sehingga suasana di sekitar tempat itupun telah menjadi terang benderang bagaikan siang hari saja. Demikian pula yang terjadi di rumah Yung Ci Pao di Hoa-kicung. Penduduk di sana juga sudah memasang obor sebanyak-banyaknya untuk membantu kawan-kawan mereka yang sedang sibuk membongkar puing-puing reruntuhan rumah itu. Sesuai dengan perintah kepala desa mereka, mereka melanjutkan usaha mereka untuk menemukan mayat Wi Yan Cu dan Chin Yang Kun. Tetapi sampat habis reruntuhan rumah itu mereka singkirkan, mayat kedua orang itu tetap juga tak mereka ketemukan.

   Tentu saja hal itu sangat mengherankan orang-orang itu. Mereka lalu bertanya-tanya di dalam hati, kemanakah gerangan mayat kedua orang itu? Masakan cuma mayat kedua orang penjahat itu saja yang dapat mereka ketemukan? Lalu kemanakah mayat penjahat wanita itu? Dan ke mana pula mayat Wi Yan Cu dan Chin Yang Kun, yang saat itu juga berada di rumah tersebut? Tak seorang pun penduduk desa itu yang tahu tentang ruang di bawah tanah itu. Selama hidupnya keluarga Wi Yan Cu selalu merahasiakan ruang di bawah tanah tersebut. Hanya keluarga terdekat saja yang diberitahu tentang hal itu, termasuk pula Wi Yan Cu dan Yung Ci Pao. Tetapi di bawah ancaman Pendekar Li dan kawan-kawannya, ternyata Wi Yan Cu juga telah memberitahukan pula tempat tersebut kepada penjahat-penjahat itu.

   Dan sekarang ruang rahasia itu telah dipergunakan oleh Pek-pi Siau-kwi untuk menjebak Chin Yang Kun. Lalu apa yang terjadi dengan Chin Yang Kun setelah ledakan dahsyat tersebut? Ternyata ledakan hebat yang menggoncangkan seluruh bangunan rumah besar itu benar-benar sangat mengagetkan Chin Yang Kun pula. Pemuda itu terlempar ke bawah bersama-sama dengan tubuh Pek-pi Siau-kwi dan untuk beberapa saat lamanya mereka seperti orang yang tidak sadarkan diri. Dan ketika keduanya sudah siuman kembali, mereka mendapatkan diri mereka di dalam sebuah ruangan yang pengap dan gelap. Hanya ada sebatang lilin besar menyala di pojok ruangan di mana sinarnya tak mampu menerangi seluruh ruangan yang luas itu.

   "Uh-huuu...uh!" mendadak mereka mendengar suara tangis perempuan di arah sebelah kiri mereka. Chin Yang Kun cepat menoleh. Di dalam keremangan cahaya lilin matanya melihat sesosok tubuh wanita tertelungkup di atas pembaringan.

   "Ah, Wi Yan Cu...!" pemuda itu berbisik perlahan, lalu bergegas bangkit dari tempatnya. Pek-pi Siau-kwi yang merasa seram melihat suasana di dalam kamar itu cepat-cepat berdiri pula di belakang Chin Yang Kun. Tetapi belum juga kakinya dapat berdiri tegak, iblis cantik itu buru-buru mendekam kembali. Dari mulutnya terdengar suara jeritannya yang khas!

   "Aiiih...!" Dengan sigap Chin Yang Kun membalikkan tubuhnya. Rasa kaget membuat pemuda itu segera bersiap siaga sepenuhnya. Tapi dengan perasaan kaget pula pemuda itu cepat-cepat membuang mukanya! Pipinya merah seketika! Sekejap matanya melihat Pek-pi Siau-kwi sedang "sibuk" dan repot menutupi tubuhnya yang "nyaris" telanjang!

   "Wahh...!" pemuda itu berdesah, kemudian menunduk untuk menenteramkan hatinya yang tiba-tiba berguncang. Tapi sekali lagi pemuda itu terkejut! Ternyata seperti halnya Pek-pi Siau-kwi, pakaian yang melekat pada tubuhnyapun juga kedodoran serta compang-camping pula. Malah apabila diperbandingkan dengan Pek-pi Siau-kwi, keadaannya justru lebih parah lagi malah! Tubuhnya yang kurus itu rasa-rasanya sudah tidak tertutup pakaian lagi!

   "Wah, ini...ini? Bagaimana ini...?" Chin Yang Kun gugup dan tiba-tiba tangannya ikut-ikutan menjadi sibuk pula. Sementara itu suara jeritan Pek-pi Siau-kwi tadi ternyata sangat mengejutkan Wi Yan Cu pula. Wanita yang berada di atas pembaringan itu segera meloncat turun dan berlari menjauhi mereka.

   "Jangan! Jangan sentuh aku...!" wanita itu berteriak ketakutan seraya bersandar di dinding ruangan. Sambil menutupi anggauta tubuhnya yang terbuka Chin Yang Kun menjadi bingung, gelisah dan serba salah! Berkali-kali matanya tak dapat ia cegah untuk melirik ke arah Pek-pi Siau-kwi yang "mendekam" di dekatnya. Wanita cantik itu hampir tidak berpakaian sama sekali, sehingga tubuhnya yang mulus itu tampak dengan jelas lekuk-likunya.

   "Aaaah...!" Chin Yang Kun berdesah dengan napas memburu. Badannya menjadi panas dingin serta gemetar. Dan tiba-tiba saja seperti ada "sesuatu" yang bergerak di dalam tubuhnya!

   "Ini... ini, oh... gila! Hmmmh!" pemuda itu menggeram dan berusaha dengan sekuat tenaganya untuk menahan gejolak nafsu yang hendak membakar dirinya. Sebenarnya Chin Yang Kun telah sadar akan bahaya yang hendak menyerang dirinya. Tapi seperti yang pernah dikatakan oleh Chu Seng Kun, bahwa nafsu setan ini tak mungkin bisa ditahan lagi bila datang, maka usahanya sia-sia belaka. Detik demi detik nafsu iblis itu menggelegak semakin ganas dan beberapa saat saja pemuda itu sudah menjadi kewalahan untuk mencegahnya! Akhirnya pemuda itu sudah tidak kuasa membendung nafsu berahinya! Perlahan-lahan lengannya terulur ke depan untuk meraih tubuh yang menggairahkan itu. Meskipun demikian dari mulut pemuda itu masih terdengar juga kata-kata yang menunjukkan sedikit kesadarannya.

   "Ce-cepaat... kau pergilah. Se-sebelum... ouhhh!" Tapi Pek-pi Siau-kwi sudah terlanjur ketakutan terhadap Chin Yang Kun. Sikap Chin Yang Kun yang sangat mengerikan itu justru dianggapnya sebagai pertanda bahwa pemuda itu telah mengetahui perangkap yang dipasangnya, dan kini pemuda itu menjadi berang dan mau membunuhnya!

   "Jangan... oh... jangan kau bunuh aku! A-aku menyerah...!" iblis cantik itu meratap seraya menubruk kaki Chin Yang Kun. Beberapa helai dari sisa pakaian yang tadi masih melekat di tubuhnya tampak terlepas pula, sehingga tubuhnya yang memang sangat bagus itu nyaris tak mempunyai penutup lagi.

   "Gila! Pergiii... oh... pergilah kau!" dengan sisa-sisa kesadaran yang masih dipunyainya Chin Yang Kun berteriak. Tapi Pek-pi Siau-kwi tetap tak mau melepaskan pelukannya. Iblis cantik itu justru bangkit berdiri dan memeluk lebih erat, sehingga Chin Yang Kun semakin "kebakaran"!

   "Ooh... ampunilah aku! kau berbuatlah sesuka hatimu, tapi... jangan bunuh aku...!" Pek-pi Siau-kwi meratap. Gejolak nafsu iblis yang membakar tubuh pemuda itu benar-benar telah menggelegak sampai di puncaknya. Pemuda itu benar-benar telah kehilangan seluruh kesadarannya! Perempuan telanjang yang berada di dalam pelukannya itu segera ia lemparkan ke atas pembaringan dan... kemudian semuanya berlangsung tanpa ada yang mencegah lagi!

   "Ooooooh...!" Wi Yan Cu yang menyaksikan dengan jelas semua kejadian itu menjerit ngeri dan pingsan.

   Demikianlah, kejadian yang sebenarnya sangat tidak diinginkan oleh Chin Yang Kun sendiri itu, berlangsung dengan cepat dan tidak bisa dihindarkan lagi. Semula Pek-pi Siau-kwi memang meronta dan hendak melawan, tapi dengan kepandaiannya yang berselisih jauh itu, mana mampu ia melawan Chin Yang Kun? Sekali gebrak saja wanita cantik itu segera menggelepar tak berdaya. Dan selanjutnya peristiwa mengerikan seperti yang pernah terjadi di rumah penginapan dulu itu terulang kembali di tempat tersebut, Pek-pi Siau-kwi mengerang dan menggelepar kesakitan sebelum akhirnya mati keracunan! Dan begitu sudah selesai dan sadar kembali Chin Yang Kun menangis sedih. Kembali seorang wanita telah menjadi korban keganasan "penyakitnya."

   "Ohh... sungguh malang benar nasibku! Sampai kapankah aku harus menderita penyakit seperti ini? Dan sampai kapan pula aku harus mencelakakan orang-orang yang tidak berdosa di dunia ini?"

   Chin Yang Kun meratap pula semakin sedih, apalagi ketika matanya melihat mayat Pek-pi Siau-kwi yang rusak kehitam-hitaman itu. Hatinya semakin sedih dan pilu. Sambil menjambaki rambutnya sendiri pemuda itu meratap dan mengeluh panjang pendek. Begitu besar rasa penyesalan Chin Yang Kun sehingga untuk sementara pemuda itu sampai melupakan keadaan sekelilingnya. Dia tidak menduga sama sekali kalau Wi Yan Cu telah siuman kembali, dan kini wanita itu justru sedang mengamat-amati atau memperhatikan semua tingkah lakunya yang aneh itu. Dan wanita itu tampak benar kalau menjadi heran serta bingung menyaksikan ulah tingkah Chin Yang Kun, pemuda yang semula kelihatan sangat ganas dan mengerikan itu. Wanita itu tidak habis mengerti, mengapa pemuda keji itu mendadak menangis sedih, begitu selesai melakukan perbuatan terkutuknya.

   "Yang Kun... Yang Kun! Oh! Tampaknya di kehidupanmu yang silam kau adalah orang yang penuh dosa, sehingga dalam penitisanmu yang sekarang kau harus membayarnya dengan kesengsaraan dan penderitaan." Chin Yang Kun meratapi nasibnya.

   "Yang Kun...?" mendengar keluh kesah itu tiba-tiba Wi Yan Cu berteriak di hatinya. Dengan perasaan ragu-ragu dan kurang percaya wanita itu bangkit berdiri. Matanya menatap Chin Yang Kun dengan tajamnya, seolah-olah ingin memastikan, apakah pemuda berwatak keji yang tiba-tiba merasa menyesal setelah melakukan perbuatan terkutuknya itu benar-benar Chin Yang Kun, temannya semasa kanak-kanak dulu?

   "Ah... tentu bukan dia! Chin Yang Kun adalah putera seorang pangeran. Wataknya halus, pendiam dan baik hati. Orang ini kejam, ganas, kasar dan keji! Tak mungkin dia!" Wi Yan Cu bergumam dan menduga-duga di dalam hati. Memang tidak mengherankan kalau Wi Yan Cu merasa terkejut mendengar keluh kesah Chin Yang Kun tadi. Sebab bagaimanapun juga nama itu sangat dikenal dan tak mungkin dilupakan oleh Wi Yan Cu. Sejak kanak-kanak nama itu amat dikenalnya serta amat dekat dengan dirinya. Nama itu menjadi pujaan dan idaman dari gadis-gadis keciI sebayanya, karena nama itu adalah nama seorang pemuda yang amat tampan, perangainya halus, baik budi dan kaya-raya. Dan yang tak mungkin dapat dilupakannya adalah pemuda itu sering melindunginya dari kenakalan teman-teman sekampungnya.

   "lih...!" tiba-tiba Wi Yan Cu terpekik perlahan ketika mendadak Chin Yang Kun mengangkat kepala dan menoleh ke arahnya. Sekejap wanita itu gemetar dan ketakutan bagaikan seekor kelinci yang tiba-tiba saja berhadapan dengan seekor singa yang hendak memangsanya. Dan rasa takut itu secara serentak juga berbaur dengan rasa kaget dan ragu di dalam benaknya! Wajah pemuda ini persis dengan wajah teman semasa kanak-kanaknya itu!

   "Ohh??" sekali lagi Wi Yan Cu menjerit seraya menutupi muIutnya. Matanya melotot Iebar, seakan-akan melihat hantu dari temannya itu. Sebaliknya Chin Yang Kun tampak tersenyum sedih melihat kekagetan wanita yang telah menjadi isteri Yung Ci Pao itu.

   "Wi Yan Cu tentu kaget sekali melihat perbuatanku tadi." pemuda itu berkata di dalam hatinya. Dan tiba-tiba saja Chin Yang Kun merasa dirinya sangat rendah dan kotor sekali.

   "Wi Yan Cu... maafkanlah aku bila aku mengagetkanmu!" Chin Yang Kun membuka mulutnya.

   "Ooh? kau mengenalku...? kau... kau benar-benar Chin Yang Kun temanku itu? Oooooh...!" Wi Yan Cu menjerit Iemas, tak menyangka kalau pemuda di hadapannya itu betul-betul Chin Yang Kun.

   "Ah...!" Chin Yang Kun berdesah semakin sedih. Mukanya tertunduk dalam-dalam.

   "Yang... Yang Kun, oh... mengapa kau sekarang berubah sekali? Mengapa kau... kau berbuat se-seperti itu?" Wi Yan Cu mendadak mempunyai keberanian kembali, dan menegur teman yang dulu pernah dikaguminya itu.

   "Ahh! Nasibku memang buruk. Aku memang sudah ditakdirkan untuk menderita..." Chin Yang Kun menjawab perlahan.

   "Ditakdirkan untuk menderita? Apa maksudmu?" Wi Yan Cu bertanya tak mengerti. "Bukankah kau selalu bergelimang kekayaan? Bukankah kau tak pernah merasa kecewa di dalam hidupmu? Bukankah kau selalu memperoleh apa yang kau inginkan?" Chin Yang Kun menarik napas dalam-dalam.

   "Kau belum tahu hal yang sebenarnya..." pemuda itu berdesah panjang, kemudian menutupi mukanya dengan kedua belah telapak tangannya. Tampak benar betapa sedihnya hatinya. Untuk beberapa saat lamanya mereka lalu berdiam diri, yang terdengar hanya tarikan napas dan keluhan Chin Yang Kun saja. Pemuda itu sungguh-sungguh kelihatan bersedih sekali, sehingga akhirnya Wi Yan Cu menjadi tertarik dan merasa penasaran sekali untuk mengetahui apa yang disedihkan oleh temannya tersebut. Perlahan-lahan wanita itu mendekati Chin Yang Kun. Entah mengapa melihat kesungguhan pemuda itu, hatinya merasa tersentuh. Hilang perasaan takutnya. Yang ada di dalam hatinya kini hanya perasaan tertarik dan ingin tahu masalah yang sedang disedihkan oleh pemuda yang dulu pernah dikaguminya itu.

   "Yang Kun... Apa sebenarnya yang kau sedihkan? Mengapa kau merasa amat menderita? Itukah... itukah yang menyebabkan sehingga kau menjadi berubah seperti ini?" Chin Yang Kun tersentak kaget. Tahu-tahu Wi Yan Cu telah memegang pundaknya dan berbisik di telinganya.

   "Yan Cu... kau? kau...?" Chin Yang Kun tergagap bingung menyaksikan tingkah Wi Yan Cu.

   "Sudahlah, kau jangan bersedih! kau tidak sendirian di dunia ini. Tidak hanya engkau saja yang merasa sengsara serta dirundung kesedihan di dalam hidup ini. Malah banyak orang lain yang lebih menderita dari pada dirimu..."

   "Aaa-apa maksudmu?" Chin Yang Kun terpekik, dan tanpa terasa pemuda itu mencengkeram tangan Wi Yan Cu.

   "Hidupkupun tidak bahagia pula." Wi Yan Cu menjawab pendek dengan wajah berubah merah. Chin Yang Kun menarik lengan yang halus itu lebih dekat lagi. Matanya menatap wajah yang pernah dikenalnya itu lekat-lekat, sehingga si pemilik wajah itu menjadi tersipu-sipu malu.

   "Kau tidak berbahagia? Apa maksudmu? Bukankah Yung Ci Pao sangat... sangat mencintaimu? Dia sedang kebingungan mencarimu."

   "Huh! Persetan dengan lelaki bangsat itu! Karena dia aku menderita seperti ini!" tiba-tiba Wi Yan Cu berteriak geram. Lalu menangis tersedu-sedu. Chin Yang Kun semakin tak mengerti akan sikap Wi Yan Cu.

   "Ah, engkau tak berubah sama sekali. Sejak dulu kau selalu menangis bila sedang merasa kesal. Hanya bedanya kini engkau telah menjadi dewasa dan telah menjadi isteri orang pula. Hemm, apa sebenarnya kekuranganmu?" Tiba-tiba Chin Yang Kun menjadi malu sendiri. Hampir saja pemuda itu memuji kecantikan Wi Yan Cu dan menyebut tentang keberuntungan Yung Ci Pao, yang bisa mempersunting bunga desa ln-ki-cung itu. Untunglah dengan cepat pemuda itu bisa membelokkan perkataannya dan hanya bertanya tentang kekurangan yang diderita oleh wanita itu, sehingga ia tidak semakin malu di depan Wi Yan Cu. Tapi di dalam hati Chin Yang Kun merasa kesal terhadap dirinya sendiri.

   "Huh, kenapa sekarang aku menjadi romantis sekali?" kutuknya di dalam hati. Sementara itu Wi Yan Cu semakin menundukkan kepalanya. Berulang kali tangannya mengusap air mata yang mengalir di atas pipinya.

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Yan Cu, katakanlah kepadaku! Mengapa engkau tampaknya sangat membenci Yung Ci Pao, suamimu? Bukankah dia sangat baik kepadamu?" Tangis yang sudah hampir mereda itu kembali naik pula, sehingga pundak wanita itu sampai turun naik dengan kuatnya. Chin Yang Kun mengerutkan keningnya, tapi ia tak berbuat apa-apa. Dibiarkannya saja wanita itu menangis sepuas-puasnya agar supaya lapang hatinya.

   "Sa-sangat baik...? Huh! Musang berbulu ayam! Serigala berkulit domba! Kelihatannya saja baik, tapi sebenarnya hatinya culas, kejam dan jahat! Kalau tidak dengan muslihatnya yang kotor dan keji, tak mungkin dia bisa memperisterikan aku!" dengan suara lantang dan disertai isak tangisnya yang masih berjejalan di tenggorokannya Wi Yan Cu menggeram penuh kemarahan.

   "Hah? Apa katamu?" Chin Yang Kun berseru kaget.

   "Lelaki bangsat itu! Kalau tidak karena memperkosa aku lebih dahulu, sehingga aku hamiI, tak mungkin bangsat itu mendapatkan aku."

   "Memperkosamu? Yung Ci Pao memperkosa engkau?" Chin Yang Kun berteriak tak percaya.

   "Ya! Karena ulahnya itu ayah ibuku yang biasa dihormati orang itu menjadi malu dan makan hati. Malah karena tak tahan menanggung semua itu ayahku lantas jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Melihat kematian ayah, ibuku yang biasanya tabah itu juga tak kuasa menahan pula. Beliau juga jatuh sakit, dan akhirnya pergi pula meninggalkan aku seorang diri di dunia ini. Tampaknya selain tak kuat menahan beban batin yang ditanggungnya, ibuku juga tak tahan melihat penderitaanku setiap harinya," Wi Yan Cu menjawab dengan suara berapi-api.

   "Kurang ajar!" Chin Yang Kun menggeram dan ikut menjadi marah pula mendengar ceritera Wi Yan Cu tersebut.

   "Tapi kalau memang demikian halnya, mengapa engkau mau juga kawin dengan Yung Ci Pao itu?" Tiba-tiba mata Wi Yan Cu menjadi berkaca-kaca kembali,

   "itulah kelemahanku! Sebenarnya aku bermaksud bunuh diri pada waktu itu. Tapi niat itu lalu kuurungkan, karena aku kasihan kepada ibu dan ayahku. Beliau akan semakin terpukul batinnya bila aku mengakhiri hidupku sendiri. Apalagi aku menjadi hamil karena perbuatan keji itu."

   "Huh! Sungguh kurang ajar benar si Bopeng Ci Pao itu! Tapi kau pun sebenarnya juga salah! Tak Seharusnya kau diam saja menerima semua itu. Seharusnya kau melapor untuk minta keadilan."

   "Melapor? Kepada siapa? Kepada kepala kampung maksudmu? Hmm, apakah engkau sudah lupa, siapa Yung Ci Pao itu? Apa gunanya kami melaporkan kejahatan itu kepada In-cungcu yang masih kakek Yung Ci Pao sendiri itu? Adakah laporan kami tersebut akan mereka perhatikan?"

   "Ahhh...!" Chin Yang Kun berdesah dengan muka merah, sebab sebagai cucu In Leng Hoan dia pun merasa ikut terkena pula sindiran Wi Yan Cu tersebut. Dan untuk beberapa saat lamanya mereka lalu berdiam diri, masing-masing berusaha mengenangkan kembali semua peristiwa yang telah lampau itu. Chin Yang Kun, yang kini sudah mengetahui duduk persoalannya itu, mulai bersimpati kepada Wi Yan Cu.

   "Lalu... dimanakah anakmu itu sekarang?" Pemuda itu mencoba untuk mencocokkan cerita Yung Ci Pao dengan cerita wanita ini.

   "Anak haram itu? Uh! Kenapa anak itu harus lahir? Dia mati sebelum waktunya. Dan aku gembira sekali malah!" Wi Yan Cu menjawab dengan berapi-api kembali.

   "Tapi... bukankah anak itu tidak berdosa sama sekali?" Wi Yan Cu terdiam tak menjawab. Sekilas tampak matanya berkaca-kaca lagi. Agaknya diam-diam wanita itu tersentuh juga rasa keibuannya. Namun dengan kekerasan hatinya wanita itu berusaha untuk menindasnya.

   "Ya... dia memang tidak bersalah! Tapi dia akan lebih menderita apabiIa terlahir nanti." Chin Yang Kun mengangguk-angguk, mencoba untuk mengerti perasaan Wi Yan Cu. Demikianlah mereka berdua lalu terdiam pula kembali.Tetapi beberapa waktu kemudian Wi Yan Cu tampak gelisah duduknya. Beberapa kali matanya melirik ke arah Chin Yang Kun, tampaknya ada sesuatu yang hendak dia katakan.

   "Yang Kun..."

   "Hah? Ada apa...?"

   "Mengapa... mengapa kau dan keluargamu tak pernah berkunjung ke In-ki-cung lagi setelah peperangan besar itu berakhir? Apakah... apakah keluargamu menjadi... menjadi korban dari peperangan itu?" Tiba-tiba Chin Yang Kun mengerutkan keningnya.Kemudian sambil menarik napas panjang sekali pemuda itu menundukkan kepalanya. Lama sekali baru ia menjawab pertanyaan wanita itu.

   "Keluargaku memang tidak menjadi korban pasukan pemberontak yang masuk ke Kotaraja, karena ayahku telah lebih dahulu mengungsikan kami semua. Namun demikian nasib keluargaku selanjutnya ternyata juga tidak lebih baik dari pada jatuh ke tangan para pemberontak itu. Sebab ternyata kami hanya bisa bersembunyi selama beberapa tahun saja di tempat persembunyiannya atau tempat pengungsian kami itu. Setahun yang lalu beberapa kelompok musuh telah mendatangi tempat kami. Karena kalah banyak, maka kami sekeluarga segera pergi meloloskan diri. Tapi...ternyata satu-persatu keluargaku mati terbunuh di perjalanan!"

   "Dan... kini kau sebatang kara?" Chin Yang Kun mengangguk.

   "Ah... jadi nasibmu sama dengan aku sekarang." Wi Yan Cu berdesah dan tiba-tiba timbul sebuah perasaan kecewa di hati wanita itu, mengapa perjumpaan itu datang terlambat. Chin Yang Kun menatap wajah Wi Yan Cu, kemudian bibirnya yang pucat itu tersenyum hampa, seolah-olah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh wanita tersebut.

   "Ya, kita memang senasib. Sama-sama sebatang kara. Tapi kesendirianku ini sebenarnya tak begitu kusedihkan. Aku lebih merasa sedih kepada nasib buruk yang selalu menimpa diriku. Setelah aku hidup sebatang kara itu..."

   "Nasib buruk?" Wi Yan Cu bertanya dengan kening berkerut.

   "Ya!" Lalu Chin Yang Kun menceritakan semua riwayat buruknya setelah ia ditinggalkan oleh ayah, ibu dan paman-pamannya. Bagaimana ia terkena racun yang membuat tubuh dan darahnya menjadi beracun semua, sehingga dirinya menjadi sangat berbahaya bagi orang lain. Dan semua itu juga belum seberapa jika dibandingkan dengan "penyakit aneh" yang akhir-akhir ini menyerangnya. Yaitu penyakit yang membuat dirinya tiba-tiba berubah menjadi manusia yang haus akan nafsu berahi. Dan celakanya "penyakit" itu tak bisa ia cegah apabila datang. Padahal dengan keadaan tubuhnya yang beracun itu, semua orang akan mati bila berhubungan dengannya. Seperti yang telah terjadi pada Pek-pi Siau-kwi tadi.

   "Ohhh!" Wi Yan Cu menjerit kecil seraya menutupi mulutnya.

   "Nah, itulah yang menjadikan aku sangat sedih sekali..." Chin Yang Kun menundukkan mukanya.

   Matanya sayu. Tampak benar kalau hatinya sangat sedih. Wi Yan Cu lantas teringat pada saat-saat ketika pemuda itu tadi hendak memperkosa Pek pi Siau-kwi. Bagaimana pemuda itu tampak gelisah sekali, seolah-olah sedang bergelut atau bertahan terhadap rasa sakit yang menyerang di bagian dalam tubuhnya. Bagaimana pemuda itu kemudian seakan akan tak kuasa mengatasi rasa sakit tersebut. Dan selanjutnya bagaimana pemuda itu lalu memperkosa Pek-pi Siau-kwi untuk menghilangkan rasa sakit yang melilit-lilit itu. Dan yang terakhir, Wi Yan Cu juga teringat, bagaimana pemuda itu sangat menyesali perbuatannya yang keji itu. Semuanya itu terbayang kembali di dalam pikiran Wi Yan Cu. Dan tiba-tiba wanita itu seperti dapat melihat juga kemelut yang ada di dalam tubuh Chin Yang Kun.

   "Ah... kasihan benar dia. Racun itu tampaknya benar-benar telah merusak seluruh jaringan tubuhnya..." Wanita itu lalu beringsut mendekati Chin Yang Kun. Perlahan-lahan jari-jarinya menyentuh lengan pemuda itu.

   "Dug! Dug! Dugg...I" Tiba-tiba atap kamar itu seolah-olah bergetar dihantam palu. Pasir berhamburan ke bawah, mengagetkan Wi Yan Cu dan Chin Yang Kun. Chin Yang Kun cepat melenting berdiri, kemudian menyambar pinggang Wi Yan Cu, dibawa ke pinggir. Pemuda itu tak memikirkan lagi keadaan tubuhnya yang hampir telanjang.

   "Apa... apakah itu?" Wi Yan Cu berseru dengan suara serak.

   "Ahh...!" mendadak Chin Yang Kun berdesah lega.

   "Tampaknya ada orang yang hendak menolong kita."

   "Oh, benar...! Kelihatannya ada orang yang sedang menggali ke arah ruangan ini." Wi Yan Cu berseru gembira, dan untuk sesaat wajahnya tampak cantik bukan main.

   "Oh...!" Mereka saling berpandangan dan... tiba-tiba saja mereka lalu melepaskan pelukan mereka. Keduanya tampak merah padam mukanya.

   "Maaf...! Maafkanlah aku!" Chin Yang Kun bergumam dengan suara yang hampir tidak bisa didengar oleh siapapun juga.

   "Dug! Dug! Brug...! Brolll...!"

   "Hei! Di sini tanahnya berlubang!" tiba-tiba terdengar suara orang berteriak di atas mereka.

   "Benar...! Eh... hei? Di bawah ada sinar lampu...??!" terdengar suara yang lain pula. Dan sesaat kemudian suara palu itu semakin gencar menghantam atap ruangan tersebut. Debu dan pasirpun berhamburan pula semakin deras ke bawah, sehingga Chin Yang Kun dan Wi Yan Cu rasanya hampir tak bisa melihat atau bernapas lagi. Tapi lobang di atas itu menganga pula semakin lebar.

   "Huk! Huk! Huk...!" Wi Yan Cu terbatuk-batuk.

   "Hei... berhenti semua! Aku seperti mendengar suara orang di bawah lobang ini...!" Suara palu itupun lantas berhenti.

   "Huk! Huk...!"

   "Nah, kalian dengar itu... Hei?! Siapa di dalam?" Hening sejenak. Semua orang memasang telinga mereka baik-baik.

   "Hmh! Aku,...! Chin Yang Kun dan Wi Yan Cu!" Chin Yang Kun menjawab.

   "Hah... itu dia! Mereka masih hidup! Eee... apakah kalian bisa naik bila kami berikan seutas tali?"

   "Tak usah! Kalian menyingkir saja dari lobang itu! Kami akan meloncat keluar...!" Chin Yang Kun cepat menjawab. Tapi sebelum pemuda itu membawa Wi Yan Cu keluar, tiba-tiba terjadi keributan di luar lobang tersebut, dan sebentar kemudian sebuah kepala melongok ke bawah.

   "Yang Kun, cucuku... kau kah itu?" teriak orang itu dengan suara tegang. Chin Yang Kun tergagap kaget. Meskipun sudah sangat lama tidak pernah mendengar suara itu, tapi pemuda itu tetap mengenalnya.

   "Kong-kong..." Seru pemuda itu serak.

   "Ya, Thian...! kau benar-benar Chin Yang Kun, cucuku! Ouuh...!" orang tua yang tidak lain adalah In Leng Hoan itu berdesah gembira.

   "Yang Kun...!" tiba-tiba sebuah kepala lagi dengan hiasan rambut yang gemerlapan, melongok pula di samping kepala kampung itu. Chin Yang Kun terperanjat.

   "Liu-Twa.. ohh! Baginda...?!?" desahnya tak percaya.

   "Yaa... selamat bertemu kembali, Yang Kun. kau naiklah!" Kaisar Han mengangguk seraya menjawab.

   Yang Kun? Chin Yang Kun bertanya-tanya di dalam hati. Mengapa sekarang Liu-Twako-nya itu memanggil namanya begitu saja? Mengapa tidak dengan sebutan "adik Yang" seperti biasanya itu? Apakah...? Ah, benar! Semuanya sudah tersingkap sekarang. Tiada rahasia lagi. Dan tentu saja sebagai seorang Kaisar atau raja besar Liu-Twakonya itu berhak untuk memanggil apa saja terhadap rakyatnya. Berpikir sampai di situ Chin Yang Kun lantas menghela napas panjang.

   "Baiklah, Hongsiang... hamba akan naik. Tapi... eh, anu... bolehkah hamba meminta seperangkat pakaian buat mengganti pakaian hamba yang hancur akibat ledakan itu?"

   "Pakaian? Oh... baiklah! Hei, perajurit! Bawa seperangkat pakaian yang bersih kemari! Cepat!"

   "Hamba, Hongsiang...!" Sebentar kemudian perajurit itu telah kembali lagi dengan membawa setumpuk pakaian bagus-bagus. Dan oleh Kaisar Han pakaian itu segera dilemparkan ke dalam lobang. Chin Yang Kun segera berganti pakaian pula.

   "Nah, Wi Yan Cu... sekarang mari kau kubawa naik ke atas!" setelah selesai berganti pakaian Chin Yang Kun menoleh ke arah Wi Yan Cu. Tapi Wi Yan Cu tampak pucat ketakutan.

   "Hei, kau kenapakah...?" Chin Yang Kun bertanya kaget.

   "Be-benarkah... orang... orang yang berada di atas itu Baginda Kaisar Han?" wanita itu bertanya gagap.

   "Ohh... itukah yang membuat kau gemetar? Benar, memang beliau adalah Kaisar Han. Marilah kita naik!" Chin Yang Kun tersenyum, sehingga dengan pakaiannya yang indah ini dia tampak tampan sekali. Sekali sambar kemudian terus menjejakkan kakinya di atas lantai, Chin Yang Kun dengan cepat telah membawa tubuh Wi Yan Cu keluar dari lobang itu. Kedatangannya segera disambut dengan hangat oleh kakeknya dan Kaisar Han.

   "Yang Kun, cucuku... Aku sungguh tak menyangka bisa bertemu lagi denganmu. Sudah sekian lamanya kau tak mengunjungi aku dan nenekmu, dimanakah ibu dan adik-adikmu sekarang?" ln Leng Hoan memeluk serta menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan.

   "Tenanglah, kek...! Nanti aku akan menceritakan semuanya kepadamu. Sekarang marilah kita mencari tempat yang baik dahulu!" Chin Yang Kun berkata sambil melepaskan diri dari pelukan kakeknya.

   "Yang Kun...! kau... kau... eh, hmm... In-cungcu, benarkah pemuda ini putera Soh Hwa itu?" tiba-tiba Kaisar Han maju dan menyela di antara mereka. Wajah Kaisar itu kelihatan pucat dan tegang ketika memandang ke arah Chin Yang Kun.

   

Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12 Darah Pendekar Eps 22 Darah Pendekar Eps 14

Cari Blog Ini