Harta Karun Kerajaan Sung 10
Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
"Siluman jahat, jangan ganggu isteriku!" Dan dia lalu menerjang dan menyerang Kui Lan!
Akan tetapi serangan itu tidak ada artinya bagi Kui Lan karena hanya serangan seorang laki-laki biasa tanpa didukung ilmu silat dan tenaga dalam. Dengan mudah Kui Lan mengelak dan sebelum laki-laki itu menyerang lagi, Kui Lin telah mendorongnya dari samping sehingga tubuh laki-laki itu terpelanting dan terguling-guling.
Biarpun tubuhnya nyeri karena terbanting-banting, laki-laki itu bangkit kembali dan dengan nekat menyerang sambil memaki.
"Siluman jahat, kembalikan anakku dan jangan ganggu isteriku!" Dia maju lagi menerjang dan memukul. Akan tetapi Kui Lan cepat bergerak menotoknya sehingga dia roboh terkulai lemas, tak mampu menggerakkan kaki tangan lagi. Wanita yang tadi lari menangis itu kini menjatuhkan diri berlutut di depan Kui Lan dan Kui Lin.
"Ampunkan suami saya...... ampunkan kami...... mohon dikembalikan anak kami......" Wanita itu meratap.
"Hei, kalian ini apakah sudah gila?" Kui Lin membentak.
"Masa kami dituduh menjadi siluman jahat yang menculik anak kalian!"
Kui Lan berkata kepada suami isteri itu yang kini keduanya berlutut sambil menangis.
"Kalian tenanglah dan hentikan tangismu. Sebetulnya apakah yang telah terjadi? Kami berdua hanya kebetulan lewat saja di dusun ini, mengapa kalian menganggap kami menculik anak kalian?"
Agaknya suami isteri itu baru menyadari bahwa mereka salah sangka, maka wanita itu berkata,
"Ah, ji-wi Li-hiap, maafkan kami yang salah sangka...... tolonglah kami, Li-hiap, selamatkan kami......" Wanita itu menangis.
"Apa yang terjadi? Hayo katakan, apa yang terjadi?" Kui Lin bertanya tak sabar.
Kini suami itu berkata,
"Harap Ji-wi memasuki rumah kami, di dalam saja kita bicara dan kami akan menceritakan semua. Kalau di luar sini berbahaya sekali......"
"Hemm, berbahaya apa? Siapa yang mengancam kalian? Biar kuhancurkan kepalanya!" teriak Kui Lin.
Kui Lan mengangkat bangun suami isteri itu.
"Marilah kita bicara di dalam rumah kalian."
Mereka berempat lalu memasuki rumah. Daun pintu segera ditutup oleh si Suami. Cuaca di Iuar masih terang, akan tetapi karena semua jendela dan pintu ditutup, cuaca dalam rumah itu agak gelap.
"Nyalakan lampu!" kata Kui Lin.
"Kami takut......!"
"Tidak perlu takut. Siapa mengganggu kalian, akan kami hajar!" kata Kui Lin. Biarpun takut dan gugup, suami itu menyalakan sebuah lampu meja dan cuaca menjadi lebih terang.
"Nah, ceritakan, apa yang terjadi di dusun ini dan mengapa semua orang menutup pintu?" tanya Kui Lan.
Biarpun masih tampak pucat, namun kehadiran dua orang gadis cantik jelita yang tampak pemberani itu membuat suami isteri itu agak tenang. Si Suami kini menceritakan dengan suara lirih seperti takut kalau terdengar orang luar rumah.
"Ketahuilah, Ji-wi Li-hiap (Pendekar Wanita Berdua) bahwa sekitar lima hari yang lalu, dusun kami kedatangan siluman yang suka menculik anak-anak bayi. Sudah dua orang bayi yang ia culik, dan yang terakhir anak kami yang baru berusia tiga bulan diculiknya."
"Huh, macam apa siluman itu?" tanya Kui Lin.
"Kami sedusun tidak ada yang pernah melihatnya, Li-hiap. Pertama-tama, lima hari yang lalu, pada malam itu hanya terdengar suara wanita seperti menangis atau tertawa, aneh sekali dan menyeramkan. Lalu terdengar suaranya yang serak dan menakutkan. Ia minta agar disediakan seorang bayi. Tentu saja kami menjadi marah dan belasan orang laki-laki tua muda di dusun ini keluar untuk melawan siluman itu. Akan tetapi kami tidak melihat adanya orang, hanya suara tawa setengah tangis itu dan tiba-tiba ada angin menyambar-nyambar dan kami roboh berpelantingan. Kemudian, seorang anak bayi yang baru sebulan usianya, terdengar menangis dan ketika keluarga dalam rumah itu memasuki kamar, anak bayi itu telah lenyap!"
"Siluman keparat!" Kui Lin memaki marah.
"Selanjutnya bagaimana?" tanya Kui Lan.
"Selama tiga hari, siluman itu tidak muncul, kemudian kemarin malam, siluman itu muncul, atau lebih tepat, suaranya muncul minta seorang bayi. Semua laki-laki dalam dusun kami, dipimpin oleh kepala dusun, berjumlah limapuluh orang, keluar untuk melawan. Akan tetapi kemudian tampak sesosok wanita baju putih, gerakannya demikian cepat sehingga kami tidak dapat melihat jelas wajahnya, berkelebatan dan kami semua roboh. Untung bahwa kami hanya menderita luka tidak parah, akan tetapi anak kami yang berusia tiga bulan telah hilang setelah kami mendengar bunyi tangisnya."
Kini Si Isteri itu menangis terisak-isak, teringat akan anak bayinya yang diculik siluman.
"Lanjutkan ceritamu!" kata Kui Lan.
Suami itu melanjutkan dengan wajah sedih dan takut.
"Sejak kemarin malam, kami seluruh penduduk dusun ketakutan, apalagi ketika terdengar suara siluman itu bahwa malam ini kami harus menyediakan seorang bayi yang usianya kurang dari tiga bulan. Kalau kami tidak menyediakan bayi itu, dusun ini akan dibakar dan penduduknya akan dibasmi. Karena itu, kami ketakutan dan tidak berani membuka pintu dan jendela."
"Siluman keparat! Aku akan membunuhnya!" Kui Lin sudah bangkit berdiri dan mengamangkan tinju ke arah pintu.
Akan tetapi Kui Lan memberi tanda kepada adiknya agar diam, lalu bertanya kepada tuan rumah.
"Apakah permintaannya itu malam ini dipenuhi?"
"Aih, Li-hiap, orang tua mana yang merelakan anak bayinya dibawa siluman itu? Tentu saja tidak ada yang mau memberikan anaknya walaupun di dusun ini terdapat beberapa orang anak bayi di bawah tiga tahun."
"Kalau begitu, sekarang juga bawalah kami kepada orang tua yang mempunyai anak bayi kurang dari tiga bulan itu. Kami akan minta kepadanya untuk menyerahkan anak mereka. Apakah siluman itu mengatakan di mana anak itu harus diserahkan?"
"Ia hanya mengatakan agar anak itu diletakkan di halaman rumah dan ia akan mengambilnya. Akan tetapi, Li-hiap, kami yakin bahwa orang tua itu tidak akan memperbolehkan anak mereka diserahkan kepada siluman!"
"Maksudku bukan diserahkan, hanya untuk memancing agar siluman itu datang. Kalau ia datang, kami berdua yang akan menghadapinya dan anak itu kami jamin selamat," kata Kui Lan dengan suara meyakinkan.
Suami isteri itu lalu mengantarkan Kui Lan dan Kui Lin ke sebuah rumah tak jauh dari situ. Setelah mengetuk pintu dan suami itu memperkenalkan diri, daun pintu dibuka. Mereka berempat masuk dan di sini pun Kui Lin minta agar lampu dinyalakan.
"Kami tidak berani......!" kata Ibu si anak.
"Jangan takut, ada kami di sini. Kalau ada siluman atau iblis muncul, kami yang akan menghancurkan kepalanya!" kata Kui Lin galak.
Tiba-tiba anak kecil itu menangis dan cepat-cepat ibunya menghentikan suaranya dengan memasukkan payudaranya ke dalam mulut bayi itu. Sekarang suaminya berkata kepada Kui Lin dengan nada suara ragu dan penasaran.
"Nona, bagaimana kami akan dapat mempercayai kesanggupanmu untuk melindungi anak kami dan melawan siluman itu? Apakah yang Nona andalkan untuk mengalahkannya?"
Kui Lin hendak membentaknya akan tetapi didahului Kui Lan yang berkata.
"Kapankah siluman itu minta agar anak bayi itu dikeluarkan di halaman rumah?"
"Mintanya...... eh, setelah matahari terbenam......"
"Hemm, kalau begitu sekarang?" tanya Kui Lan sambil membuka daun jendela sehingga tampak keadaan di luar. Memang pada saat itu, senja telah tiba dan cuaca di luar mulai remang-remang.
Tuan rumah dan penduduk yang membawa dua orang gadis kembar itu ke situ mengangguk dengan wajah ketakutan. Sementara itu, ibu si anak mendekap anaknya dan menggeleng-geleng kepala.
"Tidak boleh! Anakku tidak boleh dipakai umpan......"
Kui Lan memandang adiknya, pandang mata yang mengandung isyarat dan biasanya di antara kedua orang gadis ini memang ada hubungan batin yang peka sekali sehingga apa yang dimaksudkan seorang dari mereka dapat ditangkap oleh yang lain hanya dengan pandang mata saja. Lalu Kui Lan mendekati ayah si anak tadi sambil berkata.
"Engkau menghendaki bukti bahwa kami dapat melawan siluman itu?"
"Yang penting dapat melindungi anak kami!" kata tuan rumah. Tiba-tiba dia terkulai roboh, disusul isterinya. Suami isteri itu tertotok roboh oleh Kui Lan dan Kui Lin secepat kilat telah mengambil bayi itu dari pondongan ibunya.
Suami isteri yang membawa dua orang gadis itu ke situ, hanya memandang dengan terbelalak dan mereka berdua merasa bingung dan curiga. Mereka sama sekali tidak mengenal siapa dua orang gadis yang segala-galanya sama itu. Jangan-jangan siluman itu adalah mereka ini! Akan tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu, hanya memandang kepada ayah dan ibu bayi itu yang rebah di atas lantai tanpa dapat bergerak.
Kui Lan memberi isyarat kepada adiknya dan Kui Lin segera membawa bayi itu dengan selimutnya keluar rumah. Ia membentangkan selimut itu di atas pekarangan rumah, lalu menggunakan sebagian selimut itu untuk menyelimuti bayi yang kini menangis lagi. Kui Lan dan Kui Lin berjongkok di belakang semak-semak yang tumbuh di halaman itu, menanti dengan penuh kewaspadaan. Kui Lan sudah mencabut pedangnya, sedangkan Kui Lin memegang dua buah batu sebesar kepalan tangan di kedua tangannya. Mereka siap siaga untuk menyerang siluman yang akan muncul dan akan mengambil bayi yang menangis itu.
Suami isteri pertama yang kini mengintai di balik jendela gemetar seluruh tubuh mereka, dan suami isteri yang tertotok tadi biarpun tidak mampu bergerak, namun mereka mampu mendengar. Mendengar tangis bayi mereka, dapat dibayangkan betapa risau, khawatir dan sedih rasa hati mereka. Juga kini semua penduduk mendengarkan dengan ketakutan. Mereka mendengar tangis bayi itu dan tidak dapat melihat apa yang terjadi. Mereka membayangkan hal yang ngeri-ngeri.
Kui Lan dan Kui Lin tidak harus menanti terlalu lama. Agaknya tangis bayi itu menarik siluman itu datang lebih cepat. Tiba-tiba angin bertiup, menggerakkan daun-daun pohon di pekarangan itu. Lalu terdengar suara tawa bercampur tangis dan sesosok bayangan putih berkelebat memasuki halaman. Inilah saat yang dinanti-nanti Kui Lan dan Kui Lin. Kui Lin segera menyambitkan dua buah batu itu dengan pengerahan tenaga sinkang ke arah bayangan putih itu, lalu bersama Kui Lan ia melompat keluar dari balik semak-semak, lari menghampiri bayangan itu.
"Iihhhh......!!" Bayangan putih itu mengeluarkan jeritan marah dan tubuhnya mengelak dari sambaran batu pertama lalu tangan kirinya menangkis batu kedua sehingga batu itu pecah berantakan!
Akan tetapi Kui Lan dan Kui Lin sudah berdiri di depannya membelakangi bayi sehingga mereka berdua menghadang bayangan itu. Dalam keremangan cuaca mereka masih dapat melihat bahwa bayangan itu ternyata adalah seorang nenek kurus agak bongkok, mukanya putih pucat seperti mayat dan bajunya serba putih terbuat dari kain mori kasar seperti yang biasa dipakai orang yang sedang berkabung. Sepatunya kulit hitam berlapis besi dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat hitam.
Biarpun Kui Lan dan Kui Lin belum pernah melihat nenek yang usianya tentu lebih dari enampuluh tahun itu, namun mereka sudah mendengar dari ibu mereka tentang para datuk persilatan, baik dari golongan hitam sesat maupun golongan putih berjiwa pendekar. Maka, melihat nenek yang pucat seperti mayat dan mengenakan pakaian berkabung itu, Kui Lan langsung berkata.
"Kiranya yang membuat kekacauan di dusun ini adalah Song-bun Mo-li (Iblis Betina Berkabung)!"
"Nenek siluman jahat! Untuk apa engkau menculik anak-anak bayi?" Kui Lin membentak marah. Mereka berdua sudah mendengar dari ibu mereka betapa lihainya nenek ini, namun mereka terutama Kui Lin sama sekali tidak merasa gentar.
Nenek itu mengeluarkan suara gerengan seperti tawa bercampur tangis. Tadinya ia marah sekali ketika ada dua buah batu menyambar dan ketika ia menangkis satu di antaranya, terasa betapa lemparan batu itu dilakukan orang dengan tenaga lemparan yang amat kuat. Akan tetapi ketika berhadapan dengan dua orang gadis kembar dan ternyata dua orang gadis itu mengenalnya, ia merasa heran. Biasanya, yang mengenal ia adalah para datuk dan tokoh besar persilatan. Akan tetapi kini, dua orang gadis muda, tampaknya kembar, mengenalnya, bahkan berani menghinanya dengan makian! Tentu saja ia menjadi marah sekali dan ia ingin tahu lebih dulu siapa mereka sebelum ia membunuh mereka.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Song-bun Mo-li dan Cui-beng Kui-ong, kakak beradik seperguruan ini tadinya membantu murid mereka, Kim Bayan ketika Kim Bayan berusaha mendapatkan harta karun Kerajaan Sung. Kemudian setelah tempat itu ditemukan menurut petunjuk peta yang mereka rampas dari Ceng Ceng, ternyata peti harta karun itu kosong dan yang ada hanya tulisan THAI SAN. Kim Bayan khawatir kalau-kalau harta karun itu akan dimiliki kedua orang gurunya, maka dia sengaja memisahkan diri, kemudian dia memimpin pasukan yang cukup besar untuk mencari sendiri ke Thai-san.
Adapun sepasang Iblis Tua itu, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li, diajak oleh Kong Sek dan mereka bertiga juga pergi ke Thai-san. Setelah tiba di kaki pegunungan, Song-bun Mo-li kumat kesukaannya untuk menghisap darah bayi! Dahulu, hal ini dilakukan untuk memperkuat daya rendah yang kotor guna mempelajari ilmu sesat yang dapat membuat nenek ini melakukan sihir. Akan tetapi kemudian ia merasa kecanduan dan satu dua tahun sekali ia kumat dan baru puas kalau sudah menghisap darah beberapa orang bayi. Di tempat itu ia lalu mencari bayi-bayi dan kebetulan dusun di lereng itulah yang menjadi korban.
"Hu-hu-heh-heh-heh, kalian berdua ini bocah-bocah bosan hidup sudah mengenal aku. Hayo katakan siapa kalian sebelum aku membunuhmu dan jangan mati tanpa nama!"
Kui Lin yang marah mendahului encinya.
"Huh, nenek siluman yang jahat! Sebentar lagi engkau akan berkabung untuk kematianmu sendiri! Bukalah telingamu dan dengarlah bahwa kami berdua adalah penghuni Lembah Seribu Bunga!"
Song-bun Mo-li terkejut juga mendengar disebutnya Lembah Seribu Bunga yang amat terkenal di dunia persilatan, terutama bagi para datuk.
"Lembah Seribu Bunga? Apakah kalian murid-murid The Toanio, majikan Lembah Seribu Bunga?" tanyanya.
"Kami puterinya!" jawab Kui Lan.
"Ah, kiranya puteri Majikan Lembah Seribu Bunga. Pantas saja kalian berani menentang Song-bun Mo-li! Mengingat ibu kalian, biarlah aku mengampuni kalian, akan tetapi jangan mencampuri urusanku. Pergilah dan jangan menggangguku atau aku akan lupa bahwa kalian adalah puteri-puteri The Toanio Majikan Lembah Seribu Bunga!"
"Huh, enak saja menyuruh kami pergi!" Kui Lin berseru marah.
"Song-bun Mo-li, dosamu sudah bertumpuk-tumpuk dan sore ini bersiaplah untuk mampus tangan kami."
Marahlah Song-bun Mo-li, apalagi melihat Kui Lan sekarang mengambil bayi yang menangis itu, memondong dan membawanya masuk ke dalam rumah, menyerahkannya ke dalam pondongan ibu anak itu yang sudah terbebas dari totokan oleh Kui Lan sebelum menyerahkan anak itu. Kini dengan cepat Kui Lan sudah berdiri di samping adiknya lagi.
"Bocah-bocah kurang ajar! Sekarang aku tidak peduli lagi kalian anak dewa ataupun anak setan! Kalian terimalah ini!"
Setelah berkata demikian, nenek itu melompat ke depan dan tongkatnya menyambar bagaikan kilat secara bertubi kepada dua orang gadis kembar itu. Tongkat yang menjadi gulungan sinar hitam itu mula-mula menyambar ke arah dada Kui Lan dan ketika Kui Lan mengelak, tongkat itu langsung menyambar ke arah leher Kui Lin! Gerakannya selain amat cepat, juga ganas dan kuat sekali sehingga setiap serangan merupakan jangkauan maut!
Namun dua orang gadis kembar itu dapat menghindar dengan cepatnya, bahkan Kui Lan segera membalas dengan sambaran pedangnya, sedangkan Kui Lin menyerang dengan pukulan tangan kanannya. Kui Lin memang merupakan ahli ilmu silat tangan kosong tidak seperti kakaknya yang ahli silat pedang, maka biarpun ia menyerang dengan tangan kosong, serangannya itu berbahaya sekali. Pukulannya selain cepat juga didorong sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat sehingga didahului angin pukulan yang mengandung hawa panas!
"Trang! Plakk! Trangg...... plakk!" Dua kali tongkat hitam Song-bun Mo-li menangkis pedang Kui Lan dan dua kali pula tangan kirinya menangkis pukulan Kui Lin. Pertemuan tenaga antara Song-bun Mo-li dengan kedua orang gadis kembar itu membuat Kui Lan dan Kui Lin terhuyung, akan tetapi Song-bun Mo-li juga merasa tergetar lengannya. Hal ini menandakan bahwa biarpun nenek itu masih lebih kuat, namun selisihnya tidak banyak.
Song-bun Mo-li merasa penasaran. Masa ia tidak mampu mengalahkan dua orang gadis muda itu, sungguhpun mereka puteri The Toanio dari Lembah Seribu Bunga? Tingkat kepandaiannya kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian The Toanio mungkin seimbang, maka memalukan kalau ia sampai tidak mampu mengalahkan dua orang puteri atau muridnya itu! Ia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tongkatnya digerakkan semakin cepat sehingga berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung yang menyambar ke arah Kui Lan dan Kui Lin menjadi serangan maut yang amat berbahaya.
Kui Lan dan Kui Lin maklum bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang amat lihai, maka mereka bergerak dengan hati-hati sekali. Sepasang saudara kembar ini tentu saja memiliki kepekaan yang luar biasa antara satu sama lain sehingga ketika bertanding, mereka pun menggunakan penggabungan ilmu silat mereka. Pedang Kui Lan menjadi pertahanan dan tongkat hitam nenek itu selalu tertangkis pedang, sedangkan Kui Lin yang memiliki gerakan cepat itu melancarkan serangan bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan kedua tangannya dan tendangan kedua kaki berganti-ganti.
Dengan kerja sama yang amat kompak ini, biarpun tingkat kepandaian mereka masih di bawah tingkat Song-bun Mo-li, sepasang gadis kembar itu dapat mendesak nenek yang lihai itu. Song-bun Mo-li menjadi marah sekali. Ia maklum bahwa kalau hanya mengandalkan ilmu silatnya, akhirnya ia sendiri yang akan terancam bahaya. Sepasang gadis kembar itu memiliki gerakan gesit sekali dan kerja sama mereka amat kompak yang melipatgandakan kekuatan mereka.
Tiba-tiba Song-bun Mo-li mengeluarkan suara tangis yang menggetarkan jantung Kui Lan dan Kui Lin. Suara tangis itu demikian kuat pengaruhnya sehingga kedua orang gadis itu tidak kuat bertahan dan ikut menangis! Mereka mempertahankan agar tidak terisak-isak, akan tetapi mata mereka mengeluarkan air mata yang menetes-netes membasahi pipi mereka. Akan tetapi dengan tekad yang amat kuat keduanya masih terus mendesak Song-bun Mo-li.
Nenek itu melompat ke belakang, melempar tongkat hitamnya ke atas dan tongkat itu meluncur ke depan, menyerang sepasang gadis kembar itu bagaikan seekor ular hidup yang dapat terbang! Kui Lan dan Kui Lin terkejut sekali. Mereka berdua mengelak dan menangkis. Kui Lan mencoba untuk mematahkan tongkat hidup itu dengan pedangnya, namun sia-sia. Tongkat hidup itu menyambar-nyambar cepat dan kini dua orang gadis kembar itulah yang kewalahan. Apalagi kini terdengar teriakan melengking-lengking dari mulut Song-bun Mo-li dan teriakan ini membuat Kui Lan dan Kui Lin semakin terdesak. Lengking itu seolah menembus gendang telinga mereka dan menusuk jantung! Kini keadaan mereka berbahaya sekali, dan agaknya tidak lama lagi mereka berdua akan menjadi korban kekejaman Iblis Betina itu.
Selagi keadaan Kui Lan dan Kui Lin berada dalam ancaman bahaya dan gawat sekali, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Nenek iblis keji! Engkau tidak layak dibiarkan hidup!" Dan tampak dua sosok bayangan yang langsung menerjang Song-bun Mo-li.
Mereka adalah dua orang pemuda yang menyerang Song-bun Mo-li dengan pedang mereka. Gerakan mereka kuat dan cepat, dan permainan pedang mereka lihai sekali. Song-bun Mo-li yang sedang mengerahkan kekuatan sihirnya untuk membuat tongkatnya menyambar-nyambar dua orang gadis kembar, tentu saja menjadi terkejut sekali. Cepat ia melompat ke belakang menghindarkan sambaran dua batang pedang itu dan menarik tongkatnya yang kembali terbang ke arahnya. Ia menyambut tongkat hitamnya dan pada saat itu, dua orang muda sudah menyerangnya lagi.
"Trang-trangg......!" Tongkat hitam nenek itu menangkis, membuat dua batang pedang itu terpental, akan tetapi ia pun terkejut karena merasa lengannya tergetar. Dua orang muda itu memiliki tenaga sin-kang yang tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan sepasang gadis kembar! Baru menghadapi dua orang gadis kembar dari Lembah Seribu Bunga itu saja sudah amat sukar untuk menang, apalagi kini ditambah dua orang pemuda yang sama tangguhnya. Kalau harus menghadapi pengeroyokan empat orang muda itu, pasti ia akan terancam maut. Maka, sambil mengeluarkan teriakan setengah tangis setengah tawa, nenek itu melompat jauh dan menghilang di balik pohon-pohon dan tertelan cuaca yang sudah mulai gelap.
Kui Lin yang masih merasa marah dan penasaran berseru,
"Nenek siluman, jangan lari!" Ia lalu bergerak hendak mengejar. Akan tetapi seorang di antara dua pemuda itu, yang bertubuh tinggi besar, berseru dan suaranya mengandung wibawa kuat.
"Jangan kejar, Nona. Nenek itu jahat dan licik, engkau akan terjebak!"
Mendengar seruan yang penuh wibawa itu, Kui Lin menghentikan langkahnya dan memandang pemuda yang tinggi besar itu. Kui Lan sendiri heran melihat betapa adiknya yang biasanya, bandel itu, kini agaknya menuruti nasihat pemuda tinggi besar berpakaian biru itu. Ia memandang pemuda yang lain.
Pemuda ini tubuhnya sedang, tidak tinggi besar seperti temannya, wajahnya tampan dan berseri, mulutnya tersenyum, matanya bersinar-sinar. Teringat bahwa dua orang pemuda itu telah membantu dan menyelamatkan mereka yang tadi dalam keadaan gawat sekali, Kui Lan lalu merangkap kedua tangan depan dada, memberi hormat dan berkata lembut.
"Ji-wi Eng-hiong (Pendekar Berdua) telah membantu kami. Kami mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan Ji-wi (Anda Berdua)."
Pemuda baju kuning yang berwajah gembira itu membalas penghormatan sepasang gadis kembar, diikuti oleh pemuda baju biru yang tinggi besar,
"Aih, Ji-wi Siocia (Nona Berdua) jangan berterima kasih kepada kami. Kami memang sedang mencari siluman itu setelah mendengar berita dari dusun-dusun bahwa ada nenek siluman yang menculik anak-anak. Setelah kami kebetulan lewat dan melihat ia bertanding melawan Nona berdua, tentu saja kami turun tangan melawannya. Kami kira semua orang yang berjiwa pendekar pasti akan menentang nenek iblis itu!"
"Suheng berkata benar! Nenek iblis itu adalah Song-bun Mo-li yang jahat, harus dibasmi!" kata pemuda tinggi besar dengan singkat, dan sikapnya juga serius, tidak tersenyum-senyum dan banyak bicara seperti pemuda pertama yang dia sebut suheng (kakak seperguruan).
"Hemm, memang Song-bun Mo-li harus dibasmi!" kata Kui Lin agak marah.
"Akan tetapi mengapa engkau melarang aku ketika hendak melakukan pengejaran agar aku dapat membunuh nenek iblis itu?"
"Maaf, aku tadi sama sekali tidak melarang, Nona. Aku hanya memperingatkan karena mengejar Mo-li (Iblis Betina) dalam kegelapan sungguh berbahaya sekali bagimu," kata pemuda tinggi besar itu dengan suaranya yang tenang.
"Lin-moi, Eng-hiong (Pendekar) ini benar, kalau engkau tadi mengejar, mungkin engkau akan terperangkap. Song-bun Mo-li berbahaya sekali," kata Kui Lan mencela adiknya yang marah-marah.
"Aku tidak takut!" Kui Lin yang masih mendongkol berseru sambil memandang pemuda tinggi besar itu.
"Ha-ha-ha, Sute (Adik Seperguruan), sekarang engkau tersandung batu karang! Maka jangan sembarangan bertindak. Nona-nona ini adalah pendekar-pendekar wanita yang gagah perkasa dan pemberani, maka cegahanmu untuk tidak mengejar tadi tentu saja membuat orang marah. Coba engkau membiarkan mereka tadi mengejar, mungkin sekarang Iblis Betina Berkabung itu akan berkabung untuk kematiannya sendiri!" kata pemuda baju kuning sambil menertawakan sutenya.
Pada saat itu, terdengar suara riuh dan ketika empat orang muda itu memandang, ternyata semua penduduk dusun itu membuka pintu rumah dan berbondong keluar dari rumah mereka. Banyak yang membawa obor sehingga keadaan menjadi terang. Dipimpin oleh seorang laki-laki berusia enampuluh tahun, mereka semua lalu menghampiri empat orang muda itu dan mereka lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Eng-hiong (Pendekar) berempat telah menyelamatkan kami dari ancaman siluman, kami menghaturkan banyak terima kasih!" kata kepala dusun yang memimpin mereka itu dan mereka semua memberi hormat dan riuh rendah suara mereka mengucapkan terima kasih. Akan tetapi terdengar dua orang wanita menangis menjerit-jerit.
"Kembalikan anakku...... kembalikan anakku""!" Dua orang wanita itu menangis.
Kui Lan melihat bahwa seorang dari mereka adalah wanita yang pertama kali ia lihat lari keluar dari rumahnya. Ia dapat menduga bahwa wanita yang kedua tentulah ibu dari anak yang pertama diculik siluman. Ia sudah mendengar bahwa iblis betina itu telah dua kali menculik bayi.
"Kami akan mencoba untuk menolong dua orang bayi itu. Akan tetapi ke mana kami harus mencari? Kami tidak tahu di mana iblis betina itu berada," katanya dengan lembut dan penuh rasa iba.
Seorang laki-laki muda berkata lantang.
"Saya tahu tempatnya! Siang tadi ketika saya berburu binatang di hutan sebelah selatan itu, saya melihat nenek berpakaian putih duduk bersila di bawah sebatang pohon besar. Karena saya takut, saya tidak berani mendekat dan melarikan diri secepatnya."
"Bagus! Kalau begitu mari kita ke sana! Siapa tahu kita masih akan dapat menolong dua orang bayi itu dan membunuh iblis betina keparat itu!" seru Kui Lan dan para penduduk dusun yang kini berbesar hati dengan adanya empat orang pendekar yang mampu mengalahkan dan mengusir siluman itu, lalu siap ikut dengan membawa obor.
Beramai-ramai hampir semua laki-laki penduduk dusun itu mengikuti empat orang pendekar menuju ke hutan seperti yang ditunjukkan oleh pembicara tadi. Tak lama kemudian mereka tiba di bawah pohon besar itu. Akan tetapi Song-bun Mo-li tidak berada di situ dah ketika mereka mencari-cari, terdengar jerit memilukan dari dua orang ayah yang menemukan mayat anak-anak bayi mereka. Dua mayat itu tergeletak di atas rumput dalam keadaan mengerikan. Tubuh mereka telah kering kerontang tinggal kulit membungkus tulang, seperti serangga yang telah dihisap semua cairan dari tubuhnya.
Mereka lalu membawa pulang dua mayat itu, disambut tangis riuh oleh para wanita di dusun. Kepala dusun mempersilakan empat orang pendekar itu untuk mengaso dan memberi dua buah kamar yang cukup besar untuk mereka berempat. Kemudian, empat orang itu ditinggalkan sendiri dan kepala dusun sibuk mengurus perkabungan dan persiapan penguburan dua orang bayi itu untuk dimakamkan esok hari.
Kesempatan itu dipergunakan oleh empat orang muda itu untuk bicara dan saling memperkenalkan diri. Mereka duduk berhadapan di sekeliling meja.
Pemuda baju kuning yang berwajah gembira itu memandang kepada sepasang gadis di depannya dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia melihat betapa kedua orang gadis itu persis sama dan dia merasa dapat menduga bahwa mereka tentulah gadis kembar. Juga pemuda tinggi besar berpakaian biru, dia juga menatap wajah kedua orang gadis dengan heran dan kagum.
"Ih, mengapa kalian berdua memandang kami seperti orang melihat hantu?" Kui Lin membentak dan bibirnya cemberut.
Pemuda yang berbaju kuning tertawa.
"Heh-heh-heh, sama sekali bukan seperti hantu, Nona, melainkan seperti bidadari! Sepasang bidadari dari sorga!"
Kui Lin memandang marah dan bibirnya cemberut.
"Eh, kalian mau kurang ajar, ya?"
"Lin-moi......!" Kui Lan menegur adiknya yang hendak marah. Ia sendiri menganggap pemuda baju kuning itu tidak kurang ajar karena ucapan itu dilakukan dengan sikap berkelakar dan pandang matanya juga tidak kurang ajar.
"Suheng, harap engkau hentikan main-main itu agar orang tidak salah menilai kepada kita!" pemuda baju biru juga menegur suhengnya.
Pemuda baju kuning itu masih tersenyum, akan tetapi dia cepat bangkit dan menjura kepada dua orang gadis itu dan berkata, sekarang bersungguh-sungguh walaupun suaranya masih mengandung kegembiraan.
"Nona berdua, maaf kalau tadi aku berkelakar sehingga dianggap kurang ajar. Sesungguhnya kami berdua merasa kagum, terkejut dan heran setelah sekarang dalam keadaan terang kami melihat betapa kalian berdua begitu serupa, sukar dibedakan satu dengan yang lain. Tentu kalian adalah saudara kembar. Perkenalkanlah, kami berdua adalah murid-murid Bu-tong-pai yang diutus ketua kami untuk mewakili Bu-tong-pai datang ke Thai-san melihat keramaian orang-orang mencari harta karun Kerajaan Sung. Namaku adalah Liong Kun dan ini suteku bernama Thio Kui."
Karena tidak ingin adiknya kembali memperlihatkan kegalakannya, Kui Lan berkata,
Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kiranya Ji-wi Eng-hiong adalah murid-murid Bu-tong-pai. Perkenalkan, aku bernama The Kui Lan dan ini adik kembarku bernama The Kui Lin. Kami berdua adalah puteri majikan Lembah Seribu Bunga."
"Ah, pantas kalian memiliki ilmu silat yang hebat! Kiranya datang dari Lembah Seribu Bunga yang terkenal!" kata Liong Kun kagum.
"Apakah Nona berdua juga hendak memperebutkan harta karun itu?"
Kembali Kui Lin berkata dengan nada mengejek.
"Siapa datang ke Thai-san hanya untuk nonton keramaian? Ucapan seperti itu bohong! Semua yang datang ke sini sudah pasti mempunyai keinginan untuk memperebutkan harta karun itu. Bu-tong-pai tentu tidak terkecuali!"
Thio Ki yang berwatak penyabar, pendiam namun berwibawa itu tidak ingin kalau suhengnya bertengkar dengan Kui Lin karena kedua orang itu agaknya memiliki watak yang sama, yaitu lincah, jenaka, namun keras dan pemberani. Maka dia cepat mendahului suhengnya.
"Sesungguhnya benar seperti yang engkau katakan, Nona The Kui Lin. Kami mendapat tugas dari ketua kami untuk meninjau keadaan di sini dan membantu pihak yang benar dalam perebutan itu."
"Hemm, siapakah pihak yang benar itu?" Kui Lin bertanya sambil menatap wajah Thio Kui yang gagah dengan tubuhnya yang tinggi besar dan tegap.
"Ketua kami mengatakan bahwa harta pusaka itu milik Kerajaan Sung, maka harus dijaga agar jangan terjatuh ke tangan Kerajaan Mongol," kata Thio Kui pula.
Liong Kun yang lincah melanjutkan.
"Benar, Nona-nona, kami mendengar bahwa harta karun Kerajaan Sung itu dahulunya ditemukan oleh mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng, seorang panglima Sung yang setia, juga seorang pendekar yang gagah perkasa. Maka kami diutus untuk membantu pihak yang benar untuk menentang mereka yang ingin memiliki harta karun itu untuk kepentingan sendiri atau untuk diserahkan kepada Pemerintah Mongol."
"Itu baik sekali," kata Kui Lan sambil mengangguk.
"Kami berdua juga ingin membantu puteri dari mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng untuk mendapatkan harta karun itu. Nona Liu Ceng Ceng dan para pendekar sahabatnya bermaksud untuk menyerahkan harta karun itu kepada para pendekar patriot yang memperjuangkan pembebasan tanah air dan bangsa dari penjajah Mongol."
"Hebat!" Liong Kun berseru dengan gembira sekali.
"Kami mendukung sepenuhnya dan akan membantu kalian berdua sekuat tenaga kami! Bukankah begitu, Sute?"
Thio Kui mengangguk.
"Apa yang dikatakan Suheng tadi memang benar. Kami dari Bu-tong-pai akan membantu sekuat tenaga agar harta karun itu dapat diserahkan kepada para pendekar patriot untuk menentang penjajah Mongol."
Karena satu tujuan, mereka menjadi akrab dan sepasang gadis kembar itu lalu menceritakan bahwa mereka tadinya melakukan penyelidikan bersama Pouw Cun Giok Si Pendekar Tanpa Bayangan dan kini mereka mencari secara berpisah untuk sebulan kemudian bertemu di Thai-san-pai.
"Pendekar Tanpa Bayangan? Bukankah dia itu yang pernah menggegerkan kota raja karena membunuh Panglima Besar Kong Tek Kok, Panglima Mongol itu dan para perajurit yang mengeroyoknya?"
"Benar, dan masih ada lagi pendekar-pendekar muda yang tadinya bersama Giok-ko, yaitu Liu Ceng Ceng puteri mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng, dan adik angkatnya bernama Tan Li Hong, puteri dari Ban-tok Kui-bo dari Pulau Ular," Kui Lin menerangkan.
"Wah, bagus sekali kalau begitu!" kata Liong Kun.
"Memang kita golongan bersih perlu bersatu karena kita pasti akan berhadapan dengan golongan sesat yang amat kuat. Tadi saja, baru muncul seorang nenek iblis itu sudah demikian lihai."
"Memang kami juga berpikir demikian," kata Kui Lan.
"Masih banyak pihak yang sependapat dengan kita, yaitu membantu agar harta itu tidak terjatuh ke tangan orang-orang sesat dan penjajah Mongol. Thai-san-pai sudah menyatakan akan membantu. Memang, hanya dengan bersatu dengan para pendekar kita akan dapat menentang golongan sesat sehingga harta karun itu akan dapat diserahkan kepada yang berhak, yaitu Liu Ceng Ceng yang menerima warisan dari ayahnya, mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng. Kita membantu Pek-eng Sianli Liu Ceng Ceng karena ia bermaksud menyerahkan harta karun itu kepada para pejuang yang akan menentang penjajah."
"Kami siap!" kata Liong Kun penuh semangat.
"Kalau begitu, sebaiknya kita berempat pergi ke Thai-san-pai untuk bertemu kembali dengan Giok-ko, kemudian kita bersama mengadakan hubungan dengan mereka yang sehaluan," kata Kui Lin.
Demikianlah, mereka berempat setuju untuk pergi ke Thai-san-pai. Setelah melewatkan malam di dusun itu, pada keesokan harinya mereka meninggalkan dusun dan pergi ke Thai-san-pai. Hubungan antara mereka berempat menjadi semakin akrab sehingga kini dua orang murid Bu-tong-pai itu menyebut moi-moi (adik) kepada Kui Lan dan Kui Lin, sedangkan kedua orang gadis kembar itu menyebut "twako" (kakak).
Berita yang tersebar cepat di dunia kang-ouw tentang harta karun Kerajaan Sung itu membikin geger. Karena berita itu hanya mengatakan bahwa harta karun yang amat besar jumlahnya itu dicuri orang yang tinggal di Thai-san, maka banyak tokoh kang-ouw mendatangi Thai-san. Akan tetapi karena berita itu tidak menyebutkan siapa pencurinya, maka semua orang menjadi bingung dan hanya menduga-duga sehingga timbul saling tuduh dan pertikaian di mana-mana!
Rombongan pertama yang tiba di Thai-san adalah Panglima Besar Kim Bayan dengan pasukannya. Karena dia sudah memisahkan diri dari guru-gurunya, yaitu Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang dianggap hendak menguasai sendiri harta karun yang diperebutkan, maka Kim Bayan membawa pasukan besar berjumlah duaratus orang lebih ke Thai-san. Sebelum rombongan dan orang-orang lain datang, dia sudah menyebar orang-orangnya yang menyamar dengan pakaian preman untuk melakukan penyelidikan, mencari siapa yang patut dicurigai mencuri harta karun Kerajaan Sung yang tadinya berada di Bukit Sorga tempat tinggal Cui-beng Kui-ong.
Namun, setelah berminggu-minggu dia menyebar para perajuritnya dan tidak juga mendapatkan keterangan yang jelas, Kim Bayan mulai mencari akal. Dia memang seorang panglima ahli perang dan juga amat cerdik, maka dia lalu mengatur muslihat bersama para perwira pembantunya. Dia ingin mengetahui siapa saja yang datang ke Thai-san untuk memperebutkan harta karun karena dari para anak buahnya dia mendengar bahwa ada beberapa rombongan orang dan perorangan kang-ouw datang ke pegunungan itu.
Lebih baik mereka itu diadu domba, pikirnya, selain untuk melemahkan mereka, juga untuk memancing keluar pencuri harta karun. Maka dia lalu menyuruh anak buahnya yang diharuskan mengganti pakaian seragam dengan pakaian sipil biasa, berpencar ke seluruh bagian pegunungan itu dan menyebar berita bahwa harta karun itu berada di tangan perkumpulan Thai-san-pai!
Berita itu cepat tersiar dan didengar oleh para pendatang. Mendengar bahwa harta karun yang dicari-cari itu berada pada Thai-san-pai, tentu saja mereka semua berbondong-bondong datang ke perkumpulan itu.
Akan tetapi, sebelum ada yang tiba di Thai-san-pai, lebih dulu The Kui Lan dan The Kui Lin bersama Liong Kun dan Thio Kui dua orang murid Bu-tong-pai, tiba di situ. Mereka disambut Thai-san Sianjin Thio Kong, ketua Thai-san-pai. Ketika sepasang gadis kembar itu memperkenalkan bahwa dua orang pemuda itu murid Bu-tong-pai, maka ketua itu menyambut mereka dengan gembira. Apalagi ketika dia mendengar bahwa Thio Kui, murid Bu-tong-pai yang tinggi besar gagah itu masih satu marga dengan dia, yaitu marga Thio. Kakek ini semakin senang hatinya mendengar dari sepasang gadis kembar bahwa dua orang murid Bu-tong-pai itu siap membantu pihak yang berniat mendapatkan harta karun Kerajaan Sung untuk diserahkan kepada para patriot pejuang.
"Lo-cianpwe, apakah Twako Pouw Cun Giok belum kembali ke sini?" tanya Kui Lin setelah mereka semua duduk di ruangan dalam.
"Belum," jawab Ketua Thai-san-pai.
"Sebetulnya pinto juga mengharapkan kedatangannya karena ada berita yang gawat dan mengancam Thai-san-pai."
"Ah, berita apakah itu, Lo-cianpwe?" tanya Kui Lan sambil menatap wajah kakek itu.
Thai-san Sianjin menghela napas panjang.
"Entah siapa yang menyebar berita, akan tetapi agaknya di mana-mana terdapat berita bahwa harta karun Kerajaan Sung itu berada di sini seolah kami Thai-san-pai yang mencurinya."
"Keparat! Ini mestinya fitnah yang disebarkan Hek Pek Mo-ko yang kita curigai, untuk mengalihkan perhatian!" kata Kui Lin marah.
"Atau oleh Huo Lo-sian yang dulu pun telah mencurigai bahwa yang mengambil harta karun itu adalah Thai-san-pai," kata Kui Lan.
"Jangan khawatir, Lo-cianpwe. Kalau ada yang datang menuduh Thai-san-pai, aku dan Enci Lan yang akan menghajar mereka!" kata Kui Lin galak.
"Lo-cianpwe, kami berdua juga siap untuk membantu Thai-san-pai!" kata Thio Kui.
Ketua itu mengangguk-angguk.
"Terima kasih atas janji bantuan kalian berempat. Akan lebih besar hati kami kalau Pouw-sicu datang membantu."
Untuk menjaga segala kemungkinan dengan tersiarnya berita itu, Ketua Thai-san-pai lalu memanggil semua murid Thai-san-pai yang berjumlah seratus orang lebih dan menyuruh mereka semua waspada dan menghentikan penyelidikan, berkumpul ke perkampungan mereka dan melakukan penjagaan ketat siang malam. Pada keesokan harinya para murid Thai-san-pai melaporkan kepada ketua mereka bahwa di luar perkampungan mulai berdatangan orang-orang kang-ouw. Akan tetapi mereka itu agaknya masih hendak melihat perkembangan dan belum ada yang mencoba untuk memasuki perkampungan Thai-san-pai. Mungkin mereka merasa gentar juga karena Thai-san-pai merupakan sebuah partai persilatan besar yang cukup disegani.
Biarpun mereka tertarik oleh berita yang mendorong mereka untuk mendatangi Thai-san-pai, namun hati mereka masih diliputi keraguan. Rasanya sulit diterima bahwa Thai-san-pai, perkumpulan yang selain mempelajari ilmu silat, juga mempelajari Agama To itu melakukan pencurian harta karun. Mereka saling menanti munculnya satu pihak yang mulai menuntut atau menentang Thai-san-pai.
Para murid Thai-san-pai memberi laporan kepada ketua mereka bahwa yang telah tampak berkumpul di sekeliling perkampungan mereka adalah rombongan anggauta Ang-tung Kai-pang berjumlah tigapuluh orang yang dipimpin sendiri oleh ketuanya, Kui Tung Sin-kai dan bersama mereka tampak pula beberapa orang wanita murid Go-bi-pai. Juga tampak lima orang tokoh Hoa-san-pai, yaitu yang dikenal dengan julukan Hoa-san Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur Hoa-san).
Pada hari-hari berikutnya, muncul Huo Lo-sian bersama Bu-tek Sin-liong dan puterinya, Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin. Juga muncul Kong Sek yang datang bersama Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-Ii. Kim Bayan yang sengaja menyebar berita itu tidak tampak karena dia hanya ingin melihat perkembangannya setelah dia menyebar berita itu. Banyak anak buahnya yang menyamar sebagai orang biasa melakukan pengintaian untuk melihat apa yang terjadi. Selain rombongan tokoh-tokoh dan datuk-datuk itu, terdapat belasan orang kang-ouw yang datang secara pribadi untuk mengadu untung mencari harta karun Kerajaan Sung.
Liu Ceng Ceng dan enam orang murid Go-bi-pai, satu di antaranya Thian-li Niocu, sudah berkunjung ke Ang-tung Kai-pang. Ia disambut Ketua Kai-pang itu dan ketika Ceng Ceng memperkenalkan Thian-li Niocu sebagai tokoh Go-bi-pai bersama lima orang muridnya, Kui-tung Sin-kai menyambut dengan hormat dan gembira. Apalagi ketika mendengar bahwa Go-bi-pai dan Ang-tung Kai-pang sehaluan, yaitu membantu Ceng Ceng menemukan harta karun Kerajaan Sung untuk diserahkan kepada para patriot pejuang, mereka menjadi lebih akrab.
Kedatangan rombongan Ang-tung Kai-pang yang disertai Ceng Ceng itu menarik perhatian Hoa-san Ngo-heng-tin. Thian-huo Tosu, orang pertama dari lima saudara seperguruan itu, segera menghampiri Ceng Ceng dan memberi hormat.
"Siancai! Nona Liu Ceng Ceng juga berada di sini?"
Ceng Ceng tersenyum dan membalas penghormatan Thian-huo Tosu.
"Totiang, sayalah orang pertama yang berhak mengurus tentang harta karun itu karena mendiang ayah saya telah mewariskannya kepada saya. Apakah Totiang berlima juga hendak ikut memperebutkan harta karun itu?"
Wajah Thian-huo Tosu berubah merah. Kalau bukan Ceng Ceng yang bertanya demikian, dia tentu sudah marah.
"Siancai! Nona seperti tidak mengenal kami dari Hoa-san-pai saja! Kami tidak murka akan harta benda. Kami diutus oleh Suheng, Ketua Hoa-san-pai untuk melihat keadaan setelah mendengar tentang harta karun itu. Bukan untuk ikut berebut. Bahkan kami sudah mendengar bahwa harta karun itu merupakan peninggalan mendiang Pendekar Liu Bok Eng kepadamu. Suheng berpesan kepada kami untuk bertanya kepadamu, apakah Nona menginginkan harta karun itu untuk diri Nona sendiri?"
Ceng Ceng tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya.
"Untuk apa aku harta karun sebanyak itu? Tidak, Totiang. Biarpun mendiang Ayah mewariskan peta harta karun itu kepada saya, namun kalau saya berhasil menemukannya, akan saya serahkan kepada para patriot pejuang untuk mengusir penjajah!"
"Siancai! Bagus sekali, sungguh kami merasa kagum! Akan tetapi mengapa Nona datang bersama rombongan Ang-tung Kai-pang dan kalau tidak salah, bukankah para wanita itu murid-murid Go-bi-pai. Bagaimana kalian dapat datang bersama?"
"Totiang, ketahuilah, Ang-tung Kai-pang dan Go-bi-pai juga mendukung saya untuk mendapatkan harta karun dan diserahkan kepada para patriot pejuang. Karena sepaham dan sehaluan, maka kami datang bersama."
(Lanjut ke Jilid 11)
Harta Karun Kerajaan Sung (Seri ke 02 - Pendekar Tanpa Bayangan)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
"Bagus! Sungguh kami berbahagia mendengarnya. Kalau begitu, engkau boleh memasukkan kami ke dalam barisan para pendukungmu, Nona Liu! Kami berlima akan siap siaga di sini untuk sewaktu-waktu membantumu jika diperlukan. Akan tetapi engkau sekarang datang di sini, apakah berita bahwa Thai-san-pai yang mengambil harta karun itu benar, Nona?"
"Saya kira berita itu bohong, Totiang. Tentu Totiang sendiri tidak percaya kebenaran berita itu. Kita mengenal nama besar Thai-san-pai, bahkan saya mengenal nama besar Thai-san Sianjin. Tidak mungkin mereka yang mengambil harta itu. Biarlah malam nanti saya akan menyelinap ke dalam dan menemui Thai-san Sianjin."
"Baik sekali kalau begitu, Nona. Pinto sendiri juga sulit untuk percaya bahwa Thai-san-pai murka akan harta benda."
Pihak Ang-tung Kai-pang dan Go-bi-pai juga merasa girang mendengar bahwa Hoa-san-pai juga berdiri di pihak mereka, dengan demikian maka kedudukan mereka yang ingin menyumbangkan harta karun itu untuk keperluan perjuangan membebaskan tanah air dan bangsa dari belenggu penjajahan bangsa Mongol, menjadi semakin kuat.
Malam itu langit gelap oleh mendung. Sesosok bayangan putih berkelebat cepat sekali, sukar diikuti pandang mata dan bayangan yang bukan lain adalah Ceng Ceng itu, dapat melompati pagar tembok yang mengelilingi perkampungan Thai-san-pai dengan mudah. Tidak ada murid Thai-san-pai yang melakukan penjagaan ketat melihat berkelebatnya bayangan putih itu.
Setelah melewati kebun belakang tanpa terlihat dan tiba di rumah induk yang merupakan kuil Agama To yang cukup besar dan berada di tengah perkampungan, Ceng Ceng menyelinap masuk setelah melompati dinding belakang. Kuil merangkap rumah tinggal Thai-san Sianjin itu besar dan saat itu tampak sunyi.
Hal ini adalah karena para murid semua berada di luar, melakukan penjagaan secara bergilir dengan ketat agar jangan sampai perkampungan mereka kebobolan.
Ketika ia melompat ke dalam sebuah ruangan yang luas di tengah kuil itu, dalam cuaca remang-remang karena ruangan yang luas itu hanya diterangi dua batang lilin besar yang bernyala, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Penjahat dari mana berani masuk ke sini?" Bentakan itu ditutup dengan serangan pukulan yang amat kuat dan cepat, dilakukan oleh Kui Lin yang Iebih dulu melihat Ceng Ceng karena ia kebetulan hendak keluar dari dalam kamarnya mencari angin di tempat terbuka.
Serangan Kui Lin itu dahsyat sekali. Gadis ini memang seorang ahli silat tangan kosong yang pandai dan telah memiliki tenaga sakti yang cukup kuat. Mendapatkan serangan ini, Ceng Ceng berkelebat mengelak. Kui Lin terkejut melihat betapa gadis berpakaian putih yang diserangnya itu dapat mengelak sedemikian ringan dan cepatnya.
"Tangkap penjahat!" Tiba-tiba terdengar bentakan dan Thio Kui sudah muncul, menyerang Ceng Ceng dengan pedangnya.
Kembali Ceng Ceng terkejut karena serangan pemuda tinggi besar berbaju biru itu pun dahsyat sekali. Ia terpaksa mengerahkan gin-kangnya berkelebat cepat untuk mengelak. Akan tetapi kini dua orang penyerangnya itu mengejar dan menyerangnya secara bertubi-tubi. Kui Lin dan Thio Kui terkejut dan kagum melihat betapa bayangan gadis berpakaian putih itu berkelebatan amat cepatnya sehingga sampai beberapa jurus, serangan mereka selalu hanya mengenai tempat kosong.
"Tahan, sobat! Kalian berdua salah sangka, aku bukan penjahat!" kata Ceng Ceng lembut sambil berkelebat menjauh.
Kui Lin hendak melanjutkan serangan, akan tetapi Thio Kui berkata kepadanya.
"Lin-moi, biar kita mendengar dulu keterangannya!"
Heran sekali. Biasanya Kui Lin yang galak itu sukar menerima nasihat orang, akan tetapi sekali ini suara Thio Kui baginya demikian berwibawa sehingga ia menahan diri lalu memandang kepada Ceng Ceng dergan sinar mata penuh curiga.
"Nah, katakan siapa engkau dan mau apa engkau malam-malam masuk ke sini seperti pencuri!" katanya galak.
"Hei, ada apakah?" terdengar seruan kaget dan muncullah Kui Lan dan Liong Kun yang terbangun mendengar ribut-ribut itu. Mereka kini berdiri dekat Kui Lin dan Thio Kui dan memandang kepada Ceng Ceng dengan heran. Bagaimanakah tahu-tahu ada gadis cantik berpakaian putih berada di ruangan tengah itu, padahal di luar kuil dan di perkampungan itu terjaga ketat oleh para murid Thai-san-pai?
Melihat munculnya dua orang muda lagi dan gadis yang baru muncul itu serupa benar dengan gadis pertama, Ceng Ceng dapat menduga bahwa mereka tentu saudara kembar. Bukan hanya wajah mereka yang serupa, akan tetapi bentuk badan dan pakaian serta tata rambut mereka persis sama. Ia yakin bahwa mereka yang tinggal di kuil Thai-san-pai ini pasti orang-orang muda yang berjiwa pendekar. Tadi pun ia sudah merasakan betapa dahsyatnya serangan pemuda tinggi besar dan gadis cantik itu. Ia lalu mengangkat kedua tangan di depan dadanya lalu berkata dengan lembut dan ramah.
"Kumohon maaf kepada kalian berempat dan kepada semua warga Thai-san-pai atas kelancanganku memasuki kuil ini malam-malam dan tanpa ijin. Hal ini terpaksa kulakukan melihat keadaan yang mengancam Thai-san-pai. Aku bukan penjahat dan bukan lawan, melainkan kawan. Aku sengaja menyelundup ke sini dengan niat untuk menghadap Thai-san Sianjin dan membicarakan hal yang amat penting mengenai harta karun Kerajaan Sung."
Melihat gadis yang amat cantik dan sikapnya amat lembut itu, kecurigaan empat orang muda itu berkurang dan Kui Lan bertanya halus.
"Sobat, katakan dulu siapakah engkau?"
"Namaku Liu Ceng Ceng......"
"Aih, engkau puteri mendiang Panglima Kerajaan Sung yang terkenal bernama Liu Bok Eng itu?" kata Kui Lan.
"Benar, mendiang Liu Bok Eng adalah Ayahku."
"Wah, kami sudah mendengar banyak sekali tentang engkau dari Twako Pouw Cun Giok!" seru Kui Lin.
"Apakah Giok-ko berada di sini?" Ceng Ceng bertanya dan jantungnya terasa berdebar.
"Tadinya dia bersama kami berkunjung ke Thai-san-pai ini, akan tetapi kini dia melakukan penyelidikan terpisah dan belum kembali ke sini."
Terdengar suara banyak orang memasuki ruangan itu. Ternyata Thai-san Sianjin sendiri bersama belasan orang muridnya datang ke ruangan itu, siap dengan senjata di tangan.
"Apa yang terjadi? Siapakah Nona ini?" tanya Thai-san Sianjin dengan heran.
"Lo-cianpwe, Nona ini adalah Nona Liu Ceng Ceng......"
"Ah, puteri mendiang Panglima Liu Bok Eng, pewaris peta harta karun itu? Nona, kami sudah mendengar tentang Nona dari Sicu Pouw Cun Giok. Akan tetapi...... malam-malam begini Nona datang, ada keperluan apakah?"
"Maafkan saya, Lo-cianpwe. Sesungguhnya saya bermaksud menghadap dan bicara denganmu, dan karena di luar perkampungan terdapat banyak orang kang-ouw, saya tidak ingin diketahui orang dan menyelinap masuk ke sini."
"Tidak mengapa, Nona. Mari kita bicara di ruangan dalam!" kata Ketua Thai-san-pai itu. Dia menyuruh para muridnya untuk keluar lagi melakukan penjagaan, kemudian dia mengajak Ceng Ceng, kedua gadis kembar dan dua orang saudara seperguruan Bu-tong-pai itu memasuki sebuah ruangan lain.
Setelah mereka duduk mengelilingi meja besar, Ceng Ceng berkata.
"Lo-cianpwe, saya mendengar berita yang mengatakan bahwa harta karun itu berada di sini......"
"Nanti dulu, Nona Liu. Sebaiknya Nona mengenal dulu tamu-tamu kami ini. Dua orang nona ini adalah The Kui Lan dan The Kui Lin, sepasang gadis kembar puteri majikan Lembah Seribu Bunga. Adapun dua orang pemuda ini adalah Liong Kun dan Thio Kui, dua orang murid perguruan Bu-tong-pai. Nah, sekarang lanjutkan ceritamu."
"Seperti saya katakan tadi, saya mendengar berita tentang harta karun Kerajaan Sung yang dikabarkan berada di sini......"
"Kabar itu bohong, fitnah belaka!" kata Kui Lin.
"Lin-moi, biarkan Enci Ceng Ceng melanjutkan ceritanya," kata Kui Lan.
Ceng Ceng tersenyum. Di bawah sinar lampu yang terang, ia segera dapat membedakan mana Kui Lan dan mana Kui Lin. Ia melihat persamaan watak antara Kui Lin dan Li Hong, lincah, bersemangat, dan galak! Sedangkan Kui Lan berwatak tenang dan serius.
"Lo-cianpwe, mungkin semua orang sudah mendengar bahwa mula-mula mendiang Ayah saya mewariskan peta harta karun kepada saya. Kemudian peta dirampas Panglima Kim Bayan dan saya dipaksa untuk membantunya mencari harta karun. Akan tetapi setelah tempat harta karun ditemukan, hanya ada peti kosong yang terdapat tulisan huruf THAI SAN. Maka banyak orang kang-ouw berdatangan ke sini. Saya sendiri juga menyelidiki ke sini dan saya bertemu dengan Thian-li Niocu dari Go-bi-pai bersama lima orang muridnya. Ternyata mereka dari Go-bi-pai mendukung dan hendak membantu saya menemukan harta karun itu. Kemudian saya mendengar bahwa harta karun itu berada di Thai-san-pai. Saya dan Thian-li Niocu tentu saja tidak mempercayai berita itu. Melihat betapa perkampungan Thai-san-pai telah dikepung banyak orang yang tentu berniat merebut harta karun yang dikabarkan berada di sini, maka saya diam-diam lalu menyelundup ke sini untuk bertemu dan bicara dengan Lo-cianpwe."
Thai-san Sianjin menghela napas panjang.
"Siancai! entah siapa yang menyebar berita bohong itu dan entah apa maksudnya mengabarkan bahwa harta karun itu berada di sini. Akan tetapi kami siap menghadapi segala kemungkinan. Tentu saja kami akan menyangkal dan membela diri. Kebetulan sekali kedua Nona The datang bersama dua orang gagah murid Bu-tong-pai ini yang siap membela kami."
"Harap Lo-cianpwe tidak khawatir. Untuk mendapatkan kembali harta karun agar saya dapat memenuhi pesan mendiang Ayah, yaitu menyerahkan harta karun itu kepada para patriot pejuang, saya didukung banyak pihak. Bukan saja Go-bi-pai yang mendukung, melainkan juga Hoa-san-pai dan Ang-tung Kai-pang yang kini telah berada pula di luar perkampungan ini."
"Siancai! Itu bagus sekali!" kata Thai-san Sianjin.
"Karena itu, Lo-cianpwe, apabila terjadi sesuatu yang buruk menimpa Thai-san-pai, kami sudah siap untuk membantu. Dan saya kira, hanya mereka dari golongan sesat saja yang mempunyai niat buruk terhadap Thai-san-pai. Mereka yang terdiri dari golongan bersih atau para pendekar pasti tidak mau memusuhi Thai-san-pai tanpa alasan yang kuat dan hanya karena desas-desus itu saja," kata Ceng Ceng.
"Akan tetapi, kami merasa dikepung tanpa mengetahui apa yang mereka kehendaki, tidak tahu pula apa yang akan mereka lakukan terhadap Thai-san-pai. Hal ini sungguh membuat hati kami merasa tidak tenang. Apa yang sebaiknya kami lakukan dalam keadaan seperti ini?" kata Ketua Thai-san-pai sambil memandang kepada lima orang muda itu.
Naga Beracun Eps 18 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12 Naga Beracun Eps 20