Ceritasilat Novel Online

Naga Beracun 29


Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Bagian 29




   Akan tetapi, untuk membuat itu menjadi kenyataan, satu-satunya halangan adalah Kaisar! Kakaknya yang menjadi kaisar itu haruslah disingkirkan lebih dulu, dan satu-satunya jalan hanyalah membunuhnya! Kalau kaisar sudah tidak ada dan Pangeran Li Ci menjadi kaisar, kemudian dia yang menjadi perdana ment ri, mudah saja menyingkirkan halangan-halangan lain, yaitu mereka yang tidak menyukni Pangeran Li Ci atau mereka yang setia kepada Kaisar Tang Tai Cung.

   Akan tetapi, Pangeran Li Seng Cun bukan orang yang ceroboh. Sudah belasan tahun dia memendam sakit hati, maka dia tidak akan tergesa"gesa dan ceroboh melaksanakan niatnya. Dia harus yakin akan berhasil sebelum bertindak. Dia tahu betapa lihainya kakaknya yang menjadi kaisar itu. Sukar dicari orang yang akan mampu menandingi kelihaian ilmu silat Kaisar Tang Tai Cung.

   Dahulu, ketika masih menjadi Pangeran Li Si Bin, namanya terkenal di dunia kangouw sebagai seorang pangeran yang amat lihai sehingga tidak mengherankan kalau dia berhasil meroboh kan dinasti Sui dan mendirikan dinasti Tang. Pangeran Li Seng Cun maklum bahwa untuk melakukan usaha pembunuhan itu, dia harus dapat menemukan seorang yang benar"benar sakti dan amat tinggi ilmu silatnya melebihi kelihaian kaisar se ndiri.

   Dan pada suatu hari, saat yang dinanti-nantikan Pangeran Li Seng Cun tiba. Siang hari itu, keluarga kakaknya, juga seorang pangeran yang bertugas sebagai hakim di kota Lok-yang, datang berkunjung. Begitu bertemu dengan adik iparnya, isteri Pangeran Li Tung yang menjadi hakim di Lok-yang itu, menyerahkan surat suaminya kepada Pangeran Li Seng Cun. Dalam surat itu, Pangeran Li Tung menyatakan bahwa dua orang yang mengawal keluarganya adalah orang-orang yang berilmu tinggi, yang bahkan dipuji dan dipercaya oleh Hek I Sin-kai. Keterangan ini ditambah lagi oleh Nyonya Li Tung bahwa di sepanjang perjalanan, ia sekeluarga merasa aman.

   Memang ada tiga kali gangguan, yaitu serombongan pe rampo k yang he ndak me nggan ggu, namun dalam waktu s ingkat saja, para perampok dihajar cerai berai oleh dua orang muda yang mengawalnya. Dan di dalam suratnya, Pangeran Li Tung yang menjadi hakim itu menganjurkan pada adiknya agar suka menerima dan memberi pekerjaan kepada dua orang muda itu. Tentu saja Pangeran Li Seng Cun menjadi gembira sekali dan dia cepat mengajak dua orang pengawal itu, yaitu Ouw Ling dan The Siong Ki, untuk bicara di ruangan dalam.

   Mulailah Pangeran Li Seng Cun membujuk agar mereka berdua suka membantunya, melaku kan segala perintah tanpa bertanya, dan kalau semua usahanya berhasil, mereka berdua kelak akan diberi kedudukan yang tinggi di istana.

   Ketika meninggalkan rumah gurunya, Siong Ki sama sekali tidak mempunyai niat untuk mencari kedudukan. Dia diberi tugas oleh suhu dan subonya untuk mencari Hong Lan yang dilarikan seorang wanita bernama Kwa Bi Lan.

   Akan tetapi setelah bertemu Ouw Ling, dia mendengarkan penuh gairah ketika Pangeran Li Seng Cun menjanjikan kedudukan panglima besar di istana kepadanya! Apalagi Ouw Ling serta merta menerima tugas apapun yang akan diberikan pangeran itu kepada mereka, maka tanpa ragu lagi Siong Ki juga menerima tanpa bertanya tugas apa yang harus dia lakukan.! Watak seseorang amat dipengaruhi oleh lingkungan, kemudian diperkuat oleh kebiasaan. Seseorang takkan pernah menghisap rokok kalau mula-mula ia tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Setelah dia melakukannya, maka perbuatan itu menjadi kebiasaan yang tidak dapat dilepaskan lagi.

   Sukarlah untuk mempertahankan diri tidak menjadi seorang penjudi kalau setiap hari dia bergaul akrab dengan para penjudi, seperti sukarnya seseorang menjaga agar tangannya tidak basah kalau setiap hari dia bermain-main air. Pengaruh lingkungan ini dapat disaksikan buktinya sejak kita kecil. Pertumbuhan seorang anak dipengaruhi lingkungannya dan kebiasaan-kebiasaannya timbul karena mengikuti contoh yang dilihatnya setiap hari dalam lingkungan hidupnya.

   Pangeran Li Seng Cun tadinya mengharapkan Hek I Sin-kai untuk melaksanakan tugas rahasia yang amat berbahaya itu, yaitu melakukan pembunuhan terhadap Kaisar. Akan tetapi, bahkan seorang tokoh kangouw yang lihai seperti Hek I Sin-kai pun tidak berani melaksanakan tugas itu karena dia tahu betapa lihainya Kaisar, dan bahwa di sana terdapat banyak pengawal yang lihai!

   Maka, setelah menerima surat dari saudaranya di Lok-yang, surat yang mengatakan bahwa kedua orang ini dipuji oleh Hek I Sin-kai, tentu saja dia percaya bahwa mereka berdua tentu memiliki ilmu kepandaian yang melebihi tingkat Hek I Sin-kai. Akan tetapi, dia tidak mau ceroboh. Dipanggilnya lima orang jagoan yang dia andalkan, diujinya kepandaian The Siong Ki dan Ouw Ling, akan tetapi, dalam waktu empat lima jurus lima orang jagoannya itu roboh! Bukan main girangnya hati Li Seng Cun dan diapun memperlakukan mereka berdua seperti tamu agung atau tamu yang amat dihormati.

   Beberapa hari kemudian, setelah melimpahkan segala macam kemewahan dan kesenangan kepada dua orang itu, menjamu mereka dengan pesta-pesta kehormatan, dan memberi mereka pakaian-pakaian indah dan hadiah-hadiah yang serba mahal, akhirnya Pangeran Li Seng Cun menceritakan tentang rencananya menyuruh mereka membunuh Kaisar!

   Tentu saja Siong Ki dan Ouw Ling terkejut bukan main mendengar bahwa mereka menerima tugas yang amat berat itu.

   "Tapi, tapi kenapa ?" Siong Ki berseru heran dan penasaran.

   "The-taihiap, Sribaginda ketika menduduki tahta kerajaan juga mengorbankan banyak sauda raku. Sekaranglah tiba saatnya aku membalas dendam atas kematian banyak kakakku dan pamanku. Kalau Kaisar tewas, maka penggantinya adalah Pangeran Li Ci dan aku akan dapat mintakan kedudukan yang tinggi dan mulia untuk kalian berdua."

   "Nanti dulu, Pangeran," kata Ouw Ling yang cerdik dan berpengalaman.

   "Paduka mudah saja menugaskan kami, akan tetapi pekerjaan itu teramat berbahaya! Selain Sribaginda sendiri seorang ahli silat yang tangguh, juga beliau tentu dikelilingi pengawal-pengawal pribadi yang lihai. Bagaimana mungkin kami berdua akan dapat melaksanakan tugas yang mustahil itu? Kalau kami gagal, atau kalau sampai ketahuan, tentu kami akan dikepung pasukan pengawal dan mati konyol." Mendengar ucapan kekasihnya ini, Siong Ki mengangguk-angguk.

   "Aih, Ouw-lihiap dan The-taihiap harap jangan khawatir. Kami telah mengatur segalanya. Sribaginda adalah seorang kaisar yang angkuh, tidak suka disertai pengawal karena beliau yakin akan kemampuan sendiri. Satu-satunya pengawal pribadinya adalah seorang pergawal wanita yang telah menjadi selirnya dan kini tidak lagi melakukan tugas mengawal. Kami akan memilihkan saat terbaik, dan kami yakin bahwa sekali ji-wi bertindak, dia akan dapat ditewaskan dengan mudah dalam kamar seorang di antara para selirnya. Takkan ada yang mengetahui karena sehabis melakukan tugas itu, ji-wi dapat bersembunyi di tempat tinggal kami dan tak seorangpun akan mencurigai. Tentang ilmu silat, kami sudah menguji kemampuan ji-wi dan yakin bahwa ji-wi akan mampu menewaskan Kaisar tanpa banyak kesukaran."

   Kedua orang itu diberi waktu sehari semalam. Mula-mula, Siong Ki memang tidak setuju, akan tetapi setelah dibujuk rayu oleh Ouw Ling yang melihat masa depan gemilang kalau mau menerima tugas itu, akhirnya Siong Ki hanya menyerahkan saja kepada wanita itu.

   Mereka tetap bersembunyi di dalam tempat tinggal Pangeran Li Seng Cun yang berada di lingkungan istana, tidak diperbolehkan keluar agar jangan terlihat oleh orang luar. Sementara itu, Pangeran Li Seng Cun lalu mulai melakukan penyelidikan tentang gerak-gerik kakaknya, sang kaisar. Dia sudah lama dapat mempengaruhi dan menguasai seorang thaikam gendut, yaitu Thaikam Seng Ho.

   Thaikam ini dapat disogoknya dan sudah lama diam-diam menjadi semacam mata-mata dari Pangeran Li Seng Cun, memberitahukan segala peristiwa yang terjadi di sekeliling diri Kaisar. Dan dengan perantaraan seorang di antara para dayangnya, dengan mudah dayang itu memasuki istana bagian puteri tanpa dicurigai para pengawal, dan dayang ini yang mengadakan hubungan dengan Thai-kam Seng Ho. Kedua orang ini dipilih karena selain mereka itu setia dan dapat dipercaya, juga keduanya cerdik dan pandai ilmu silat.

   Malam yang dijanjikan oleh thaikam Seng Ho dan dayang kepercayaan Pangeran Li Seng Cun itu dingin dan gelap. Dengan langkah tenang dayang itu memasuki pintu tembusan yang menuju ke istana bagian puteri. Dua orang pengawal yang menjaga pintu itu menahannya dengan tombak mereka, akan tetapi melihat dayang itu, mereka mengenalnya sebagai dayang dari istana Pangeran Li Seng Cun dan kecurigaan mereka mengendur, mereka hanya bertanya apa keperluan dayang itu malam"malam datang berkunjung.

   Dayang itu memperlihatkan keranjang berisi panci dan mengatakan bahwa ia diutus isteri pangeran untuk menghaturkan makanan itu kepada permasuri. Mendengar ini, tentu saja dayang itu diperkenankan masuk dan tak seorangpun di antara penjaga yang merasa curiga karena hal seperti itu seringkali terjadi.

   Dayang itu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak ia memasuki pintu tembusan itu sampai melangkah memasuki taman, ada sepasang mata yang terus membayanginya. Mata seorang thaikam kurus tinggi. Mudah saja baginya tiba di dalam taman istana bagian puteri itu. Taman yang amat sunyi. Malam itu demikian dingin dan gelap, siapa yang akan meninggalkan kamar hangat dan pergi ke taman itu?

   Tak lama kemudian, sosok tubuh Thaikam Seng Ho yang gendut memasuki taman dan dia bertemu dengan dayang itu di tempat yang sudah dijanjikan. Tidak banyak mereka bicara. Thaikam itu hanya berkata dengan suara lirih."Malam ini Sribaginda tidur di kamar selir ke empat. Penggantian petugas ronda diadakan tepat pada tengah malam.

   " Hanya itu kata-katanya dan merekapun berpisah. Thaikam Seng Ho berjalan menuju ke istana keputrian kembali, sedangkan dayang itu membuang isi panci ke dalam kolam ikan, lalu membawa panci kosong dalam keranjang, kembali keluar taman menuju ke pintu tembusan.

   Hong Lan mendengar semua ucapan thaikam tadi dengan jelas. Menurut keinginan hatinya, ia hendak menangkap dan menghajar thaikam itu, akan tetapi ibunya sudah memesan agar ia mengintai saja dan tidak berbuat sesuatu. Perbuatan jahat itu haruslah diketahui, kemudian dijaga agar pelakunya dapat tertangkap basah, ada buktinya. Kalau kini ia menangkap thaikam itu dan dia berkeras tidak mau mengaku, ia tidak berdaya, bahkan bisa dianggap membuat kacau dengan laporan tanpa bukti. Cepat Hong Lan pergi mencari ibunya yang diam"diam melakukan perlindungan dan penjagaan terhadap kaisar.

   Setelah mendengar laporan puterinya, Bi Lan mengerutkan alisnya. Tidak salah lagi, pasti Pangeran Li Seng Cun merencanakan sesuatu yang busuk, pikirnya. Pangeran itu ingin mengetahui di mana malam ini kaisar tidur, dan kapan dilakukan pe rtukaran pe nj aga.

   Ia tahu bahwa s aat pe rtukaran pe nj aga itulah, se mua pe nj aga be rkumpul di gardu pe nj agaan dan tidak seorangpun penjaga melakukan perondaan sampai rombongan pe tugas baru mulai de ngan pe rondaan mereka.

   Ini tentu merupakan kesempatan yang dicari bagi orang luar istana untuk menyusup masuk, dan sudah hampir dapat dipastikan, penyusup itu adalah seorang calon pembunuh yang ditugaskan untuk membunuh kaisar! Jantung dalam dada Bi Lan be rde bar te gang.

   "Lan Lan, kita harus berjaga di sini. Aku akan melakukan penjagaan di atas, dan engkau jagalah di bawah. Hati-hati, jangan lepaskan perhatianmu pada jendela kamar di mana Sribaginda bermalam," bisik Kwa Bi Lan dan puterinya mengangguk. Tanpa diberitahu panjang lebar sekalipun, Lan Lan sudah dapat menduga apa yang dikhawatirkan ibunya. Agaknya akan ada seorang dua orang atau bahkan lebih, pembunuh yang akan mencoba menbunuh kaisar.

   "Ibu, apakah tidak perlu memberitahu komandan pengawal untuk memperkuat penjagaan?" bisiknya.

   Kwa Bi Lan menggeleng kepala.

   "Kita belum pasti, kalau terlalu membuat ribut dan pihak mereka mengetahui, tentu niat itu dibatalkan. Ingat, banyak mata-mata pihak musuh. Kita harus melakukan penjagaan ini diam-diam, kita berdua saja. Dengan kekuatan kita berdua, ditambah kemampuan Sribaginda sendiri, kiraku tidak akan ada pembunuh yang akan mampu mencelakai Sribaginda."

   Hong Lan tidak dapat membantah lagi. Memang benar juga apa yang dikatakan ibunya. Mereka hanya baru menduga saja, belum ada bukti. Kalau mereka menyampaikan kepada komandan pengawal, siapa tahu di antara pengawal ada yang menjadi orangnya Pangeran Li Seng Cun dan tentu pembunuh itu tidak jadi datang, dan mereka berdua akan menjadi bahan tertawaan karena laporan mereka tidak ada buktinya. Ia mengepal tinju. Kalau si pembunuh berani muncul, ia akan menghajarnya!

   Kwa Bi Lan meloncat naik ke atas wuwungan rumah dan bersembunyi. Ia tadi, ketika menanti puterinya, melihat Bu Mei Ling, dayang yang telah menjadi kekasih kaisar, mengetuk pintu kamar selir ke empat dan mengatakan bahwa ia diutus oleh permaisuri.

   Dayang itu diperkenankan masuk dan daun pintu ditutup pula. Kwa Bi Lan menduga-duga apa yang menjadi keperluan permaisuri mengutus dayang itu menemui kaisar yang bermalam di kamar selir ke empat. Ia teringat, dayang Bu Mei Ling itu serba bisa. Mungkin ia disuruh bermain musik, atau disuruh memijati tubuh Sribaginda karena dayang ini memiliki tangan yang kuat dan ahli memijat. Ia sendiri pernah merasakan dipijat oleh dayang itu sampai tertidur pulas. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan dengan masuknya dayang itu ke kamar selir ke empat.

   Menanti merupakan pekerjaan yang amat melelahkan. Menanti sesuatu, apalagi sesuatu yang menegangkan hati, membuat waktu seolah merayap seperti siput. Detik demi detik diperhitungkan dan yang dinanti"nanti tak kunjung tiba. Akan tetapi, akhirnya, rombongan ronda terakhir lewat lorong depan kamar selir ke empat itu. Karena maklum bahwa kaisar malam itu berada di situ, para peronda tidak berani mengeluarkan suara gaduh, bahkan langkah kaki merekapun mereka atur agar mereka jangan mengeluarkan suara.

   Lan Lan dan ibunya melihat rombongan peronda terakhir ini. Setelah mereka lewat, maka saat yang menegangkan itu sebentar lagi akan tiba. Setelah melakukan perondaan itu, maka semua petugas jaga akan berkumpul di gardu penjagaan untuk diganti oleh rombongan petugas lain yang akan berjaga sampai pagi. Dan pada saat pergantian penjaga itulah, istana bagian puteri ini akan kosong dan tidak terjaga.

   Kwa Bi Lan yang lebih dahulu melihat dua sosok bayangan hitam yang berkelebatan cepat menuju ke kamar itu. Karena ia bersembunyi di wuwungan, maka ia dapat lebih dahulu melihat bayangan-bayangan itu daripada puterinya. Ia lalu menyambitkan biji jagung yang dibawanya ke arah puterinya bersembunyi dan itu merupakan isyarat bagi Lan Lan bahwa yang dinanti-nantikan sudah tiba! Bagaimana tabahpun hati Lan Lan, ia berdebar tegang juga dan ia sudah mempersiapkan pedangnya. Juga Kwan Bi Lan sudah me ncabut siang-kiam (se pas ang pedang) dan menanti datangnya musuh. Kwa Bi Lan melayang turun dengan gerakan seperti seekor burung rajawali dan ia sudah mendekam di dekat puterinya.

   Menurut perhitungannya tidak mungkin penjahat memasuki kamar dari atas, karena atas istana itu kokoh kuat tidak dapat ditembus. Mereka tentu akan mencongkel jendela atau mendobrak pintu, pikirnya, maka ia mendahului turun dan berkumpul dengan puterinya karena melihat bahwa yang datang adalah dua orang.

   Kini dua bayangan itu berkelebat dan sudah berdiri di dekat kamar. Be tapa cepat dan ringannya ge rakan mereka, pikir Kwa Bi Lan te rkej ut. Kedua orang itu memakai pakaian hitam dan muka mereka ditutup saputangan hitam, hanya mata mereka yang nampak, mata yang mencorong. Tubuh mereka sedang saja, akan tetapi ia dapat menduga bahwa mereka adalah seorang laki-laki dan seorang wanita. Mereka tidak boleh dibiarkan masuk kamar, pikirnya dan iapun menyentuh lengan puterinya lalu meloncat keluar sambil membentak.

   "Penjahat keji, menyerahlah kalian!" Melihat ibunya sudah keluar, Lan Lan juga meloncat keluar dan menodongkan pedangnya.

   Kedua orang itu adalah Ouw Ling dan The Siong Ki. Tentu saja mereka berdua terkejut bukan main. Menurut perhitungan Pangeran Li Seng Cun, pekerjaan mereka itu akan berjalan lancar. Dan memang tadi ketika mereka menyelinap masuk pada saat pergantian penjaga, mereka dapat melakukan penyusupan itu dengan amat mudah dan tak seorangpun mengetahui nya. Akan tetapi, kenapa kini tiba-tiba muncul dua orang wanita cantik dengan pedang di tangan menyambut mereka dengan sikap seolah-olah sudah mengetahui akan kedatangan mereka? Bahaya, pikir mereka dan keduanya serentak menyerang dengan pedang mereka.

   The Siong Ki menyerang Kwa Bi Lan yang memegang sepasang pedang, sedangkan Ouw Ling menyerang Lan Lan yang masih amat muda. Terdengar bunyi benturan pedang dan Lan Lan terhuyung ketika pedangnya bertemu dengan pedang Ouw Ling. Ia jauh kalah kuat. Juga Kwa Bi Lan te rkej ut bukan main ketika sepasang pedangnya me nangkis sambaran pedang lawan karena ia merasa betapa kedua tangannya tergetar hebat. Kiranya lawannya itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat!

   Sementara itu, mendapat kenyataan bahwa dua orang wanita itu tidaklah terlalu kuat, Siong Ki cepat berseru."Cepat lakukan, aku yang menahan mereka!"

   Ouw Ling mengerti. Iapun meloncat ke arah jendela sambil memutar pedangnya dan iapun menerobos masuk ke dalam kamar. Melihat ini, Bi Lan terbelalak khawatir.

   "Sribaginda!"

   Ia menjerit dan hendak mengejar ke dalam kamar melalui jendela. Karena seluruh perhatiannya ditujukan kepada keselamatan kaisar, ia sama sekali menjadi lengah terhadap diri sendiri dan saat ini dipergunakan oleh Siong Ki untuk mengelebatkan pedangnya.

   "Capp!!" Pedang itu menembus dada kanan bawah pundak Kwa Bi Lan. Melihat ini, Lan Lan menjerit dan pedangnya menyambar dahsyat ke arah lengan Siong Ki.

   Pemuda ini mengelak, akan tetapi pedang Lan Lan masih mengenai kain hitam penutup mukanya sehingga kain itu terkait dan terbuka. Lan Lan terbelalak menatap wajah pemuda yang tampan itu. Hanya sekejap saja akan tetapi wajah itu tidak akan pernah dilupakan Lan Lan, wajah orang yang telah melukai ibunya.

   Kwa Bi Lan memang seorang wanita hebat. Biarpun dadanya sudah terluka parah, namun ia masih bertahan dan meloncat masuk ke dalam kamar yang jendelanya sudah bobol itu. Ia melihat betapa orang berkedok hitam yang tadi sudah menghampiri pembaringan yang kelambunya tertutup, menggerakkan pe dangnya me mbacok.

   "Jangan!" Kwa Bi Lan mengeluh, akan tetapi terlambat. Pedang sudah dibacokkan ke arah tengah pembaringan.

   "Crokkk!" Si kedok hitam yang bukan lain adalah Ouw Ling itu terkejut dan terpekik sehingga mudah diketahui ia seorang wanita. Pembaringan itu kosong! Dan tiba-tiba saja kamar yang tadinya remang-remang itu menjadi terang benderang dan muncullah Sribaginda Kaisar Tang Tai Cung dengan pedang di tangan dan senyumnya yang mengejek. Wanita kedok hitam itu terkejut, maklum bahwa ia telah terjebak. Ia hendak meloncat keluar, akan tetapi Kwa Bi Lan menghadang dan menodongkan pe dangnya. Kaisar melihat betapa dada Kwa Bi Lan berlumuran darah. Ia terkejut dan marah sekali,

   "Pembunuh jahat!" bentaknya dan diapun menyerang. Terpaksa Ouw Ling menangkis dan kaisar terkejut karena wanita berkedok itu ternyata memang lihai sekali. Kwa Bi Lan menahan nyeri di dadanya membantu kaisar menyerang Ouw Ling.

   Sementara itu, begitu kedoknya terlepas dan gadis cantik itu menatapnya tajam, The Siong Ki terkejut. Apalagi mendengar jerit Ouw Ling di dalam kamar dan dikejar oleh wanita yang seorang lagi, bahkan kini terdengar teriakan wanita yang melengking,

   "Pembunuh! Perampok! Penjahat.. tolong, toloooooong!" Disusul pula suara kentungan, Siong Ki maklum bahwa dia dan Ouw Ling telah gagal. Dia lalu melompat ke atas wuwungan rumah. Dia harus dapat melarikan diri sebelum para pengawal datang mengeroyoknya.

   Melihat laki-laki itu meloncat ke atas wuwungan, Lan Lan tidak mengejarnya. Pertama, karena penjahat itu lihai bukan main dan ke dua, ia harus membantu ibunya yang sudah terluka dan menolong Kaisar. Iapun melompat ke dalam kamar melalui jendela yang sudah terbuka itu. Dan ia melihat wanita berkedok itu sedang berkelahi melawan kaisar yang dibantu ibunya. Ia melihat betapa dada ibunya berlumur darah, namun ibunya masih menggerakkan siang-kiam dengan dahsyat. Iapun terjun dalam pertempuran itu membantu dan mengeroyok si wanita kedok hitam.

   Ouw Ling menjadi sibuk sekali. Menghadapi kaisar saja, ternyata ia hanya mampu mengimba ngi Dan wanita cantik yang sudah terluka parah itu masih terus mendesaknya, kini ditambah lagi munculnya gadis cantik tadi yang juga lihai, juga terdengar derap kaki di luar kamar, maka tahulah ia bahwa ia tidak akan dapat lolos lagi! Ia tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan kaisar.

   Kalau ia tadi hendak membunuh kaisar, hal itu hanya karena hendak melaksanakan perintah Pangeran Li Seng Cun untuk mendapat imbalan kedudukan, maka kini melihat dirinya terancam dan usahany gagal, Ouw Ling mencari jalan hendak melarikan diri. Akan tetapi agaknya gerakannya diketahui kaisar yang cepat menusukkan pedangnya.

   "Hendak lari ke mana kau, keparat!"

   Tusukan itu kuat sekali. Ouw Ling harus mengerahkan tenaga untuk menangkisnya, akan tetapi pada saat itu, pedang di tangan Hong Lan juga sudah membacok kepalanya. Terpaksa Ouw Ling mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan dengan nekat menangkap pedang Hong Lan itu.

   Tangan kirinya berhasil mencengkeram pedang itu, sedangkan pedang di tangan kanan menempel pada pedang kaisar. Saat itu dipergunakan oleh Kwa Bi Lan yang sudah lemas untuk menubruk maju dengan pedangnya.

   "Blesss......!"

   Pedangnya menusuk dada Ouw Ling sampai tembus ke belakang! Ouw Ling mengeluarkan rintihan dan terkulai roboh. Akan tetapi, Bi Lan juga tentu roboh kalau tidak cepat dirangkul kaisar. Kini para pangawal berhamburan masuk, hanya untuk menyingkirkan mayat Ouw Ling setelah kedoknya dibuka dan semua orang tahu bahwa ia adalah tokoh kangouw yang berjuluk Bi Tok Sio-cia, puteri angkat datuk sesat Ouw Kok Sian dari Liong-san!

   Kwa Bi Lan rebah di atas pembaringan, ketika suman, ia memanggil nama anaknya lirih.

   "Lan.. Lan........"

   "Ibu, aku di sini, ibu!" kata Lan Lan yang merangkul ibunya dengan cemas sekali.

   Sedangkan kaisar duduk dengan wajah muram tak jauh dari pembaringan. Di situ nampak pula Bu Mei Ling yang berjasa besar. Ternyata thaikam kurus yang membayangi dayang itu adalah orang kepercayaan Bu Mei Ling.

   Dayang yang menjadi kekasih kaisar ini sudah curiga akan gerak-gerik dayang dari Pangeran Li Seng Cun yang sering keluar masuk istana bagian puteri tanpa alasan tertentu, maka ia menyuruh thaikam kepercayaannya untuk membayangi.

   Thaikam itu, seperti juga Hong Lan, telah mendengar percakapan antara dayang itu dan thaikam Seng Ho, maka dia cepat melapor kepada Bu Mei Ling. Wanita yang selain cantik jelita juga amat cerdas ini segera dapat menduga apa yang akan terjadi .

   Ia dapat menduga bahwa keselamatan kaisar terancam, untuk memberitahu begitu saja tentu ia tidak berani, apalagi kaisar sedang bermalam di kamar selir ke empat. Ia akan dianggap melanggar aturan, mengganggu kaisar.

   Maka, ia cepat menghubungi permaisuri yang amat baik kepadanya dan akhirnya, setelah mendengar laporannya, permaisuri mengijinkan ia menemui kaisar di kamar selir ke empat dengan membawa tanda perintahnya.

   Demikianlah, Bu Mei Ling berhasil memasuki kamar selir ke empat dan ia menceritakan semua nya kepada Kaisar Tang Tai Cung. Kaisar mula-mula tidak percaya bahwa Pangeran Li Seng Cun akan berkhianat, akan tetapi akhirnya dia mau juga pindah ke kamar sebelah dan mem biarkan kamar tidur itu kosong dengan kelambu tertutup. Kemudian, ternyata bahwa perhitu ngan Bu Mei Ling benar. Andaikata dayang ini tidak melaporkan, mungkin saja dia dan selir ke empat yang tidur di pembaringan itu telah menjadi korban pedang pembunuh.

   "Ibu.......!" Hong Lan memanggil ibunya dan menangis. Melihat luka yang diderita ibunya, gadis ini maklum bahwa tidak ada harapan lagi bagi ibunya untuk dapat hidup setelah menderita luka separah itu.

   "Lan Lan aku...... aku bukan ibumu" Lan Lan terbelalak dan merangkul ibunya. Ia mengira bahwa ibunya sudah bicara kacau karena penderitaannya.

   "Sudahlah, ibu, jangan banyak bicara, ibu harus beristirahat.........." katanya terisak.

   Wanita itu menggeleng kepalanya."Dengar, Lan Lan. aku aku bukan ibu kandungmu, engkau....kuculik ketika berusia dua tahun.."

   "Ibu....!"

   "Bi Lan!" Kaisar juga berseru dan kini dia mendekati, duduk di tepi pembaringan.

   "Sudahlah, engkau harus beristirahat, benar seperti yang dikatakan Hong Lan."

   "Sribaginda maafkan saya...saya telah membuka rahasia Hong Lan ia berhak mengetahui. maafkan saya.. saya tidak dapat melayani paduka hanya sampai di sini, harap paduka menjaga diri baik-baik harap paduka jangan mudah percaya kepada orang lain.... banyak manusia busuk di dunia ini."

   "Bi Lan!"

   "Ibu........," Hong Lan berkata dengan air mata bercucuran,

   "kenapa ibu mengingkari aku sebagai puteri ibu? Mengapa ?" Gadis itu merasa hatinya seperti ditusuk-tusuk. Tadi, ibunya mengatakan bahwa ia bukan puteri kandung kaisar yang selama ini dianggap sebagai ayahnya dan hal itu saja sudah menyakitkan hatinya, kini ditambah lagi pengakuan ibunya bahwa ia juga bukan anak kandung ibunya, bahkan ibunya ini menculiknya ketika ia berusia dua tahun! Dunia seakan kiamat rasanya ketika ia mendengar ucapan itu.

   "Lan Lan kau.. bukan anak kandungku tanyakan kepada, Sribaginda selamat tinggal......"

   "Bi Lan!!"

   "Ibuuuu .!" Hong Lan jatuh pingsan dan segera ditolong oleh Bu Mei Ling yang memanggil dayang.

   Seorang perwira menghadap kaisar dan mengabarkan bahwa istana Pangeran Li Seng Cun sudah disergap, pangeran itu beserta semua anggota keluarganya telah ditangkap. Akan tetapi pembunuh yang menjadi kaki tangan Pangeran Li Seng Cun tidak dapat ditemukan.

   "Masukkan mereka semua ke dalam penjara, dan jaga ketat! Kami sendiri yang akan mengadilinya!" kata kaisar dengan lesu karena dia merasa berduka sekali karena kematian Kwa Bi Lan.

   Setelah wanita itu tewas, barulah dia teringat betapa setianya Kwa Bi Lan, sejak menjadi pengawal pribadi sampai menjadi selirnya. Betapa wanita itu tidak pernah menuntut sesuatu, tidak berusaha menaikkan kedudukannya, bahkan hidupnya tetap sederhana. Diapun teringat betapa berbulan-bulan dia seperti melupakan selir ini, tidak pernah mendekatinya. Dia merasa menyesal sekali.

   Kaisar duduk seorang diri di dalam kamarnya. Dia menyuruh pergi semua dayang dan dia telah menyuruh Bu Mei Ling datang menghadapnya di kamarnya. Dia merasa lelah dan pusing. Terlalu banyak urusan dihadapinya dan kesemuanya tidak ada yang menyenangkan hatinya.

   Pertama-tama, kematian Kwa Bi Lan yang tadi pasti telah dimakamkan jenazahnya. Lalu dia harus mengadili adiknya sendiri, Pangeran Li Seng Cun, dan hal ini baru akan dilakukan besok. Kemudian melihat keadaan Lan Lan yang selalu mengurung diri dalam kamar dan menangis, dia tahu bukan hanya menangis karena ketian Kwa Bi Lan, melainkan juga menangis karena terbukanya rahasia dirinya, bahwa ia bukan puteri kandung kaisar, juga bukan anak kandung Kwa Bi Lan!

   Dan ada lagi urusannya dengan Bu Mei Ling, dayang yang pernah digaulinya, selir yang tidak resmi. Ucapan sahabat yang dipercayanya, yaitu Im Yang Sengcu, tosu ahli sihir dan peramal itu, tak pernah dilupakannya. Tosu itu mengatakan bahwa menurut pernitungan perbintangan. Kerajaan Tang akan terlepas dari tangan keturunan keluarga Li, dan jatuh ke tangan seorang wanita dari keluarga Bu! Hal ini sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana mungkin tahta kerajaan jatuh ke tangan seorang wanita? Kalau terampas oleh marga lain, marga Bu umpamanya, hal itu masih ada kemungkinan, karena bukankah sejak ribuan tahun yang lalu, dinasti demi dinasti bermunculan dan tidak ada keluarga yang memegang tahta kerajaan turun temurun secara abadi?

   Akan tetapi seorang wanita? Akan tetapi Im Yang Seng-cu, tosu sakti itu, merasa yakin karena sudah mengulanginya melakukan perhitungan bintang. Bahkan Im Yang Sengcu mengatakan bahwa wanita itu kini sudah berada di istana!

   Tentu saja Kaisar terkejut dan cepat menyelidiki dan ternyata, satu"satunya wanita bermarga Bu di istananya adalah Bu Mei Ling, dayang yang pernah membuatnya tergila-gila karena cantik jelita, lembut dan cerdik.

   Tentu saja kaisar tidak ingin ramalan Im Yang Sengcu akan terjadi, maka dia sudah mengambil keputusan untuk membunuh Bu Mei Ling! Daripada kelak menjadi malapetaka, atau setidak nya akan membuat dia tidak nyenyak tidur dan tidak enak makan, lebih baik wanita itu dienyahkan, dibunuh.

   Memang kejam, karena gadis itu tidak bersalah, akan tetapi demi menjaga kelangsungan keluarga Li memegang tampuk pemerintahan Kerajaan Tang, demi kelangsungan kerajaan Tang yang dengan susah payah dia bangun bersama mendiang ayahnya, tidak mengapalah mengorbankan nyawa seorang gadis dayang!

   Sedianya, pelaksanaan hukuman mati terhadap Bu Mei Ling akan dilaksanakan hari ini. Akan tetapi, semalam terjadi peristiwa yang hampir merenggut nyawanya itu! Dia terancam maut, dan penyelamatnya justru Bu Mei Ling!

   Memang, Kwa Bi Lan dan Hong Lan juga diam-diam melindunginya, akan tetapi dua orang pembunuh itu terlalu lihai dan seandainya tidak ada Bu Mei Ling yang membujuknya pindah ke lain kamar, seandainya Bu Mei Ling tidak memberitahu dan dia sudah pulas di balik kelambu itu bersama selirnya ke empat, sangat besar kemungkinan dia dan selirnya sudah tewas oleh pembunuh! Bu Mei Ling semalam telah menyelamatkan nyawanya, bagaimana mungkin hari ini dia membunuh gadis itu?

   Daun pintu terketuk perlahan.

   "Masuk!" kata kaisar.

   Daun pintu terbuka perlahan dan muncullah Bu Mei ling. Gadis ini belum dua puluh tahun usianya, namun pembawaannya sudah matang. Wajah cantik jelita dan segar, sepasang matanya jeli dan lembut seperti mata burung Hong, mulutnya yang kecil dengan bibir merah basah itu selalu terhias senyum, waj ahnya tak pernah nampak keruh, selalu ceria berse ri bagaikan setangkai bunga seruni yang segar oleh embun pagi.

   Pakaiannya sederhana, dari sutera yang tipis halus, rambutnya yang hitam panjang digelung sederhana seperti para dayang dan hal ini saja sudah membuktikan bahwa ia tidak berambisi, biarpun ia sudah menjadi selir kaisar walau belum resmi, namun tidak menonjolkan diri dan masih bersikap seperti seorang dayang.

   Dengan lembut Bu Mei Ling menutupkan kembali daun pintu, kemudian melangkah masuk, langkahnya halus gemulai, mukanya ditundukkan dan setelah berada di depan Sribaginda Kaisar yang duduk di atas pembaringan, iapun menjatuhkan diri berlutut.

   "Yang Mulia....." kata wanita itu sambil menunduk hormat, suaranya me rdu dan lembut sekali. Begitu gadis itu berlutut di depannya, kaisar mencium keharuman yang menjadi kesukaannya.

   Dia merasa segar mencium bau yang khas ini. Dia tidak tahu bahwa diam-diam Bu Mei Ling telah menyelidiki dan mempelajari semua kesukaan kaisar, makanannya, minumnya, keharuman bagaimana yang menjadi kesukaannya.

   Pendeknya, kini ia mengetahui sepenuhnya bagaimana untuk menyenangkan hati kaisar, sampai hal yang sekecil"kecilnya. Misalnya kaisar yang perkasa ini tidak suka melihat wanita yang terlalu berani, tidak suka dibantah, dan kaisar ini lemah kalau menghadapi orang yang mengalah dan menyerah.

   "Mei Ling, bangkitlah," kata kaisar sambil diam-diam mengagumi wanita ini. Dari tubuhnya keluar bau harum yang amat disukainya, dan pakaian gadis inipun sederhana, dari sutera halus dan tipis sehingga dia hampir dapat melihat garis-garis tubuhnya yang bagaikan bunga sedang mekar semerbak. Bedaknya tipis-tipis hampir tidak kentara, bibirnya juga merah alami tanpa gincu, alisnya yang hitam itu tidak dibantu penghitam, rambutnya begitu hitam dan panjang, anak rambut yang halus itu melingkar-lingkar di dahi dan pelipis.

   "Terima kasih, Yang Mulia," kata Bu Mei Ling sambil bangkit berdiri, dan gerakan bangkit dari berlutut inipun sudah ia pelajari sampai matang. Bukan sembarangan bergerak, melainkan gerakan yang lembut dan penuh kewanitaan sehingga nampak seperti tarian dan amat menarik hati. Kaisar Tang Tai Cung menghela napas panjang, dan di dalam hatinya semakin tidak percaya akan ramalan sahabatnya. Bagaimana mungkin seorang wanita selembut ini kelak akan merampas kedudukan kaisar dan menjadi penguasa? Apanya yang diandalkan?

   "Apa yang paduka kehendaki dari hamba, Yang Mulia? Hamba sudah siap melaksanakan segala perintah paduka."

   "Mei Ling, aku lupa lagi tentang asal-usulmu. Apakah engkau puteri seorang bangsawan, seorang terpelajar atau seorang ahli silat yang tangguh?"

   Senyum di bibir yang merah basah itu melebar, muka itu menunduk malu-malu dan sepasang matanya mengerling dari bawah, manis bukan main.

   "Aihhh......, paduka membuat hamba merasa malu sekali, Yang Mulia. Hamba hanyalah anak dusun, dari keluarga petani biasa dan hanya berkat budi kebaikan Yang Mulia saja maka hamba dapat memperoleh kehormatan dan kemuliaan seperti sekarang ini, menjadi hamba paduka yang setia.

   "Kaisar mengangguk-angguk dan tersenyum. Bagaimana mungkin dia membunuh seorang dayang, bahkan selir seperti ini? "Mei Ling, katakan, sampai di mana kesetiaanmu kepadaku? Aku mengerti, peristiwa semalam, ketika engkau menyelamatkan aku dari ancaman malapetaka, merupakan buah dari kesetiaanmu, akan tetapi sampai di mana batas kesetiaanmu kepadaku?"

   Wanita yang tadinya menunduk itu kini mengangkat mukanya. Kaisar tertegun. Seolah baru sekali ini dia berkenalan dengan wajah itu, padahal, pernah wajah itu membuatnya tergila-gila. Mata itu demikian indahnya, penuh kejujuran dan mulut itu, tersenyum penuh ketulusan.

   "Yang Mulia, tidak ada batasan kesetiaan hamba kepada paduka. Jiwa raga hamba ini hamba serahkan kepada paduka, Yang Mulia, mati hidup hamba berada di tangan paduka."

   Kaisar itu merasa terharu, akan tetapi dia ingin meyakinkan.

   "Bagaimana kalau aku menghendaki agar engkau mati untukku, sekarang juga?" Dia memandang tajam wajah itu untuk menyelidiki isi hatinya.

   Akan tetapi wajah itu tidak nampak terkejut, bahkan senyumnya semakin manis, mata itu memandang demikian lembut seperti mata seorang bayi.

   "Hamba siap melaksanakan perintah paduka, dengan taruhan nyawa. Hamba akan mati dengan mata terpejam dan mulut tersenyum kalau dengan itu hamba dapat membahagiakan paduka."

   Kaisar Tang Tai Cung semakin terharu, tangannya meraih dan di lain saat dia sudah menarik Mei Ling dan dipangkunya dayang itu, dirangkulnya dan diciuminya dengan penuh rasa sayang. Mei Ling hanya me mejamkan mata dan menyerah.

   "Mei Ling, apakah ada dalam lubuk hatimu keinginan untuk kelak menjadi seorang kaisar wanita?" Mei Ling membuka matanya dan terbelalak! Pandang matanya penuh keheranan dan penyangkalan.

   "Duhai, Yang Mulia, apa artinya pertanyaan paduka ini? Bagaimana hamba mempunyai keinginan gila seperti itu? Dapat melayani paduka sajalah yang merupakan idaman hati hamba, dan yang membahagiakan hati hamba tidak ada keinginan lain." Sambil mendekap tubuh yang mungil itu, Kaisar tertawa bergelak.

   "Ha"ha-ha-ha, bagaimana mungkin aku pernah mempercayai omongan yang mengatakan bahwa kelak kerajaan ini akan terjatuh ke tangan seorang seperti engkau? Ha-ha!"

   "Yang Mulia, orang yang mengeluarkan omongan seperti itu pasti adalah seorang yang berniat buruk, mungkin pengkhianat yang hendak menjatuhkan Kerajaan Tang yang jaya."

   Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ha-ha-ha, bukan, bukan pemberontak, bukan penjahat. Im Yang Seng"cu yang mengatakan itu, berdasarkan ramalan hitungan perbintangan."

   Mendengar ini, Mei Ling turun dari atas pangkuan kaisar, menjatuhkan diri ke atas lantai dan berlutut, suaranya terdengar memelas ketika ia berkata,

   "Yang Mulia, itu adalah fitnah yang teramat keji. Kalau paduka mempercayai omongan keji itu, silakan paduka membunuh hamba untuk menenangkan hati paduka......." Kaisar menarik tubuh tubuh Mei Ling kembali ke atas pangkuannya dan mengelus rambut kepalanya.

   "Sudahlah, akupun tidak percaya sepenuhnya. Buktinya sekarang aku ingin engkau melayaniku bukan? Lupakan ucapan peramal itu." Mei Ling tenggelam ke dalam dekapan Kaisar Tang Tai Cung.

   Mendengar pertanyaan itu, Si Han Beng dan Bu Giok Cu saling pandang dan Si Han Beng memberi isyarat dengan anggukan kepala kepada isterinya, tanda bahwa dia setuju kalau isterinya menceritakan tentang keadaan puteri mereka kepada Thian Ki dan Cin Cin.

   "Malapetaka telah menimpa keluarga kami, Thian Ki dan Cin Cin. Sejak anak kami berusia dua tahun, ia telah diculik orang dan sampai sekarang kami belum pernah melihat anak kami itu." Biarpun ia seorang wanita gagah perkasa, namun menceritakan tentang puterinya itu, mau tidak mau Bu Giok Cu merasa berduka dan suaranya terdengar agak gemetar.

   Mendengar itu, Cin Cin menjadi penasaran sekali."Akan tetapi bagaimana mungkin hal itu terjadi, bibi? Paman dan bibi adalah suami isteri yang berkepandaian tinggi! Siapa orangnya berani main-main seperti itu, berani menculik puteri paman dan bibi? Katakan, siapa orangnya dan aku akan membantu paman dan bibi mencari puteri bibi itu sampai dapat!"

   "Akupun siap untuk membantu paman dan bibi mencari penculik itu!" kata Thian Ki.

   "Penculiknya seorang wanita yang bernama Kwa Bi Lan," kata Si Han Beng.

   Cin Cin memandang heran."Dan selama ini paman dan bibi tidak pernah berhasil menemukan kembali puteri paman itu?"

   Bu Giok Cu yang menjawab setelah menghela napas panjang."Kami berdua memang tidak pernah mencarinya."

   "Tapi, kenapa, bibi? Dengan ilmu kepandaian bibi yang tinggi, apalagi ada paman. Apa sukarnya mencari penculik itu, membunuhnya dan merampas kembali puteri bibi? Kenapa bibi dan paman tidak pernah mencarinya?"

   Thian Ki juga ikut menatap wajah suami isteri itu bergantian dengan pandang mata penuh keheranan dan pertanyaan.

   Kembali suami isteri itu saling pandang, kemudian Bu Giok Cu menghela napas panjang, lalu berkata.

   "Baiklah, kalian berdua adalah keluarga Hek-houw-pang, bukan orang luar dan biar akan kuceritakan apa yang telah terjadi belasan tahun yang lalu dan kenapa kami tidak pernah mencari puteri kami."

   Ia lalu menceritakan tentang Kwa Bi Lan yang terhitung su-moi dari suaminya. Kemudian Kwa Bi Lan menjadi isteri gurunya sendiri, mendiang Sin-tiauw (Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki. Liu Bhok Ki marah dan penasaran kepada Si Han Beng yang mengecewakan hatinya, karena Si Han Beng yang tadinya diharapkan menikah dengan Kwa Bi Lan malah menikah dengan Bu Giok Cu tanpa memberi tahu. Liu Bhok Ki berduka dan me nj adi s akit-s akitan s ampai me ninggalnya, dan Kwa Bi Lan me ras a sakit hati kepada Si Han Beng.

   "Nah, untuk membalas sakit hatinya itulah, Kwa Bi Lan datang dan menculik Hong Lan, anak kami. Kami tidak berani mengejar, karena ia mengancam bahwa kalau kami mengejar, ia akan membunuh anak kami." Sampai di sini, nyonya itu tidak kuasa lagi mencegah menetesnya beberapa butir air mata.

   "Akan tetapi, tentu ada cara untuk merampas kembali puteri bibi." kata Thian Ki.

   "Apalagi sekarang tentu ia telah menjadi seorang gadis yang dewasa."

   "Jangan khawatir, paman dan bibi. Kalau Thian Ki sudah mendapatkan kebebasan dari hawa beracun di tubuhnya, kami berdua akan mencari puteri bibi sampai dapat dan kami tidak akan berhenti mencari sebelum kami berhasil!" kata Cin Cin penuh semangat. Thian Ki membenarkan dan diapun menyanggupi untuk mencari dan mengajak kembali Si Hong Lan kepada orang tuanya.

   "Aku khawatir ia tidak akan lagi mengenal kami," kata Bu Giok Cu.

   "Mudah-mudahan saja Kwa Bi Lan dapat menjadi pengganti ibu yang baik. Ia bukan seorang jahat, bahkan ia seorang pendekar wanita yang tangguh, murid Siauw-lim-pai...."

   "Murid Siauw-lim-pai? Seperti ayah tiriku....." kata Cin Cin.

   Si Han Beng mengangguk.

   "Memang Kwa Bi Lan adalah keponakan dari ayah tirimu yang bernama Lie Koan Tek itu, Cin Cin."

   "Ahh .!" Gadis itu berteriak kaget.

   "Kalau begitu, lebih mudah lagi! Aku akan bertanya kepada ayah tiriku, tentu dia mengetahui dimana adanya Kwa Bi Lan dan aku akan mengambil puteri bibi darinya!" Bu Giok Cu tersenyum.

   "Terima kasih, Cin Cin. Biarpun sejak lama engkau menjadi murid Tung-hai Mo-li, ternyata engkau tidak kehilangan watak pendekar dari orang tuamu. Sukurlah, karena aku sendiri dahulu juga menjadi murid seorang datuk sesat, yaitu Ban-tok Mo-li mendiang nenek Thian Ki. Akan tetapi, rasanya tidak begitu mudah bagi kami untuk mendapatkan kembali anak kami, karena sekarang tentu ia telah dewasa dan kalau ia sudah menganggap Kwa Bi Lan sebagai ibunya, ia tidak mengenal kami lagi."

   "Akan tetapi hal itu dapat dijelaskan kepadanya, bibi!" bantah Cin Cin.

   "Sudahlah," kata Si Han Beng."Hal itu tidak perlu diributkan lagi. Kami memang amat rindu kepada anak kami, akan tetapi kami sudah tidak mengharapkan ia mengenal kami sebagai orang tuanya. Kalau kami dapat melihat ia dalam keadaan sehat dan selamat, juga berbahagia, kami sudah ikut merasa berbahagia. Sekarang sebaiknya kalian berdua beristirahat. Kami berdua akan samadhi dan menghimpun tenaga sin"kang. Malam nanti baru kami akan mencoba untuk membantu Thian Ki mengusir hawa beracun dari tubuhnya. Thian Ki, engkau tinggal di kamar tamu di depan, dan Cin Cin di kamar anak kami yang sampai sekarang masih kami pelihara baik-baik dan kami persiapkan kalau-kalau anak kami itu pulang."

   Thian Ki dan Cin Cin merasa terharu sekali mendengar ucapan pendekar itu karena dalam ucapan itu terkandung harapan dan kedukaan yang mendalam, namun sengaja ditekan.

   Setelah suami isteri itu memasuki kamar mereka untuk bersamadhi, Thian Ki tinggal berdua saja dengan Cin Cin.

   "Mari kita keluar, di samping rumah melihat taman yang indah dan hawanya sejuk," kata Thian Ki.

   Tanpa menjawab Cin Cin mengikutinya. Mereka memasuki taman. Suasana sunyi dan taman itu memang menyejukkan badan dan hati. Thian Ki mengajak Cin Cin duduk di bangku dalam taman. Keduanya duduk dan berdiam diri sampai lama. Akhirnya Cin Cin yang bicara, suaranya lirih.

   "Thian Ki, kenapa engkau lakukan itu?"

   "Lakukan apa?" Thian Ki mengangkat muka menengok dan karena gadis itu pun sedang memandangnya, maka dua pasang mata bertemu dan bertaut.

   "Yang kau katakan kepada subo dan kepada paman dan bibi tadi"

   "Ya......... ?" Thian Ki mendukung.

   "......... .bahwa engkau cinta padaku dan mengharapkan akan menjadi... isterimu...." gadis itu tidak kuasa menahan debaran hatinya yang tegang dan malu, dan ia menundukkan mukanya. Padahal, Cin Cin adalah seorang gadis yang biasanya lincah jenaka, periang dan gembira lagi pandai bicara, walaupun semenjak tangan kirinya buntung, ia menjadi lebih pendiam. Namun hal ini bukan karena buntungnya tangan, melainkan karena Thian Ki yang menyebabkan buntung.

   "Cin Cin, apakah ucapanku itu menyinggung perasaan hatimu? Maafkan kalau aku menyinggungmu"

   "Bukan begitu maksudku, akan tetapi kenapa engkau lakukan itu? Kenapa engkau mengucapkan kata-kata itu?" sepasang matayang jeli dan tajam sinarnya itu menatap wajah Thian Ki penuh selidik. Akan tetapi Thian Ki menyambut tatapan mata itu dengan tenang dan jujur.

   "Kenapa, Cin Cin? Aku tidak mengerti mengapa engkau masih bertanya kenapa."

   "Thian Ki, berterus teranglah. Apakah engkau mengatakan kepada subo bahwa engkau mencintaku, hanya untuk membela daku dari kemarahan Subo? Kemudian engkau mengatakan kepada paman dan bibi bahwa engkau mengharapkan aku menjadi isterimu hanya agar mereka mau membebaskanmu dari hawa beracun?"

   Sepasang mata Thian Ki terbelalak lebar, ia terkejut bukan main karena tidak menyangka sama sekali bahwa ke sana arah pertanyaan Cin Cin tadi.

   "Cin Cin! Seperti itukah buruknya penilaianmu terhadap diriku? Engkau tidak percayakah engkau kepadaku?"

   "Thian Ki, aku hanya menghendaki kepastian. Jawablah pertanyaanku tadi."

   "Demi Tuhan, Cin Cin. Aku memang cinta padamu! Aku memang mengharapkan engkau menjadi isteriku! Atau, engkau menghendaki aku bersumpah?"

   "Thian Ki, apakah perasaan cintamu itu terdorong oleh perasaan iba dan menyesal karena engkau telah nembuntungi tangan kiriku?" Kembali sepasang mata itu memandang penuh selidik. Thian Ki merasa hatinya perih sekali.

   "Cin Cin, kenapa engkau begitu tega mengajukan pertanyaan seperti itu? Ingatan bahwa tangan kirimu buntung karena aku selama hidupku akan mendatangkan perasaan sesal di hatiku. Akan tetapi bukan karena itu aku mencintamu dan ingin berjodoh denganmu. Sebelum tangan kirimu buntungpun, ketika pertama kali kita bertemu, aku sudah jatuh cinta padamu. Justeru karena cintaku kepadamu maka aku membuntungi tangan kirimu, untuk menyelamatkan nyawamu. Setelah tanganmu buntung perasaan duka dan sesal itu bahkan memperdalam rasa cintaku. Cin Cin, kalau engkau tidak menganggap aku terlalu hina dan rendah, aku, sekali lagi kepadamu kunyatakan bahwa aku cinta padamu dan bahwa aku ingin sekali berjodoh denganmu, menjadi suamimu dan kita hidup bersama selamanya, Cin Cin."

   Sepasang mata yang jeli itu kini menjadi basah, dan ketika ia membuka mulut bicara, suaranya terdengar lirih dan gemetar.

   "Thian Ki, aku aku yang hina dan rendah, aku tidak pantas menjadi isterimu, aku aku hanya seorang gadis buntung"
(Lanjut ke Jilid 34)
Naga Beracun (Seri ke 02 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 34
"Hushhh..." Thian Ki meraih dan memegang tangan kanan gadis itu, lalu menutupkan tangan kirinya ke depan mulut Cin Cin, mencegah gadis itu bicara lebih banyak.

   "Anak bodoh, engkau adalah gadis paling hebat, paling cantik, dan paling kucinta di dunia ini."

   "Thian Ki..!" Kini Cin Cin menangis sesenggukan di atas dada Thian Ki. Akan tetapi hanya sebentar. Mereka berdua maklum bahwa di taman itu, keadaan mereka akan mudah dilihat orang lain. Juga Cin Cin menangis karena bahagia, maka ia dapat menekan perasaannya dan kini mereka duduk berdampingan.

   Tangan kiri Thian Ki tak pernah melepaskan tangan kanan gadis itu yang digenggamnya erat-erat dan telapak tangan mereka yang saling genggam itu menyalurkan getaran kasih yang hangat dan mesra, yang hanya dapat dirasakan dan dimengerti oleh mereka berdua. Mereka berdua hening sampai lama, hanya saling pandang dan saling lirik. Biarpun matanya masih basah, kini Cin Cin sudah tersenyum manis.

   "Cin Cin, engkau masih hutang kepadaku dan harus kau bayar sekarang juga, tidak boleh ditunda-tunda lagi agar hatiku tidak menjadi gelisah" Gadis itu membelalakkan matanya yang indah, yang masih basah.

   "Hutang kepadamu? Aku hutang? Hutang apa, Thian Ki?"

   Thian Ki tersenyum. Betapa indahnya mata itu, seperti telaga yang amat dalam penuh rahasia dan bibir itu, betapa manisnya kalau sedang setengah terbuka karena keheranan itu.

   "Cin Cin, aku sudah mengaku cinta dan ingin memperisterimu, akan tetapi engkau sama sekali belum menjawabku. Nah, itulah hutangmu kepadaku, bayarlah sekarang juga!"

   Wajah itu menjadi merah sekali, merah sampai kelehernya, dan mata itu nampak gugup dan salah tingkah, bibir itu gemetar seolah sukar mengeluarkan suara, dan Cin Cin yang biasanya lincah jenaka, gembira dan tabah, kini nampak seperti seorang gadis yang lemah, pemalu, dan cengeng!

   "Aku aku.... ah, Thian Ki, haruskah...aku... .? Apakah engkau tidak dapat merasakan....! ?" Ia mencoba menghindari jawaban yang dituntut Thian Ki itu.

   "Ah, tidak bisa! Engkau harus menjawab, Cin Cin. Akupun menghendaki kepastian. Bagaimana kalau engkau sebenarnya tidak cinta padaku dan tidak ingin menjadi isteriku, akan tetapi hanya karena kasihan kepadaku dan sungkan untuk menolak? Nah, kau tahu betapa pentingnya jawabanmu bagiku"

   "Jangan jangan pandang aku seperti itu, sukar bagiku untuk menjawab kalau engkau memandangku"

   Thian Ki tersenyum.

   "Aku harus memandangmu agar dapat melihat apakah jawabanmu sejujurnya atau hanya berbohong!"

   "Ihh! Engkau... kejam sekali, engkau tega membuat aku menjadi salah tingkah begini... ?"

   Thian Ki menggenggam tangan gadis itu.

   "Jawablah, Cin Cin. Aku bahkan berani mengaku cinta di depan orang-orang lain. Sekarang, hanya ada kita berdua, pengakuanmu hanya akan kudengar sendiri."

   Cin Cin menyerah. Ia menundukkan mukanya dan berkata lirih seperti hanya berbisik saja, namun terdengar amat merdunya dalam telinga Thian Ki.

   "Thian Ki, sejak pertemuan kita pertama, akupun sudah jatuh cinta padamu. Aku cinta padamu dan aku ingin menjadi isterimu"

   "Cin Cin....!"

   Kembali Thian Ki mendekapnya dan sejenak mereka tenggelam ke dalam perasaan yang menyatu. Tiba-tiba mereka saling melepaskan rangkulan karena telinga mereka yang terlatih mendengar langkah orang. Cepat mereka menengok dan mereka melihat seorang pemuda berjalan menghampiri mereka. Kalau Thian Ki memandang heran karena tidak mengenal pemuda itu. Cin Cin bangkit dengan cepat dan matanya menyinarkan kemarahan. Sebaliknya, pemuda itupun nampak terkejut bukan main ketika mengenal Cin Cin.

   "Cin Cin......!" Pemuda itu berseru kaget.

   "Bagus engkau datang, The Siong Ki. Aku memang mencarimu untuk menantangmu! Engkau telah berani melukai ibuku dan menyerang ayah tiriku. Nah, mari kita selesaikan urusan kita di sini!" Cin Cin menantang dan melangkah maju menghampiri.

   Akan tetapi pemuda itu, Siong Ki memandang bingung. Melihat di dalam taman ada seorang pemuda dan seorang gadis duduk di bangku taman dan berpelukan, dia yang baru saja datang menjadi heran dan curiga, maka segera memasuki taman untuk menegur.

   Tidak tahunya, gadis itu adalah Cin Cin! Dia tidak ingin berkelahi dengan gadis yang lihai itu, apalagi di situ terdapat suhu dan subonya. Seperti kita ketahui, The Siong Ki yang bekerja sama dengan Bi Tok Siocia Ouw Ling telah gagal ketika membantu pemberontak dan pengkhianat, yaitu Pangeran Li Seng Cun.

   Mereka bukan saja gagal membunuh kaisar, bahkan Ouw Ling tewas dalam usaha itu, dan Siong Ki berhasil lolos dari istana dan melarikan diri, kembali ke dusun Hong-cun, tempat tinggal suhu dan subonya. Sungguh tidak disangkanya sama sekali akan bertemu dengan Cin Cin di taman gurunya itu.

   "Cin Cin, maafkan aku. Memang tidak kusangkal bahwa aku pernah menyerang ibumu dan ayah tirimu. Akan tetapi semua itu terjadi karena aku salah duga. Aku mengira bahwa Lie Koan Tek itulah yang telah membunuh ayahku dalam penyerbuan ke Hek-houw-pang dahulu. Aku hanya ingin membalas dendam atas kematian ayahku. Aku sekarang menyadari bahwa bukan dia yang membunuh ayahku, dan harap engkau suka memaafkan aku."

   "Enak saja minta maaf! Engkau sudah melukai ibuku dan minta maaf begitu saja? Kalau pada waktu engkau menyerang mereka aku tidak muncul dan mencegahmu, mungkin sekarang engkau telah membunuh ibuku dan ayah tiriku!"

   "Itu hanya merupakan salah sangka. Maafkan aku, Cin Cin. Atau kalau engkau masih penasaran dan hendak membalaskan luka ibumu, nah, kauboleh lukai aku, aku tidak akan membalas. Ingat, kita masih sama"sama keluarga Hek-houw-pang dan kita sama-sama menderita karena penyerangan kepada Hek-houw-pang itu."

   Melihat kekasihnya marah-marah dan sikap pemuda itu yang kini dia kenal sebagai The Siong Ki yang pernah dikenalnya belasan tahun yang lalu ketika dia ikut ayah ibunya ke Hek-houw-pang nampak mengalah dan minta maaf, Thian Ki segera melerai.

   "Sudahlah, Cin Cin. Siong Ki benar, semua itu terjadi karena salah sangka, dan dia sudah minta maaf."

   Melihat Thian Ki yang nampak akrab dengan Cin Cin dan kini ikut pula bicara, bahkan menyebut namanya begitu saja, timbul perasaan tidak senang dalam hati Siong Ki. Timbul perasaan tinggi hatinya dan dengan ketus dia bertanya.

   "Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami?"

   Thian Ki merasa heran mendengar ucapan yang bernada tinggi hati dan angkuh itu. Sungguh tidak patut murid Naga Sakti Sungai Kuning bersikap seperti itu, akan tetapi dia tersenyum dan menghampiri Siong Ki.

   "Siong Ki, lupakah engkau kepadaku? Aku senasib dengan engkau dan Cin Cin, kehilangan ayah ketika Hek-houw-pang diserbu. Aku Coa Thian Ki!"

   Siong Ki melebarkan matanya.

   "Coa Thian Ki? Kau putera Paman Coa Siang Lee itu?" Sekarang Siong Ki bersikap ramah.

   "Siong Ki....!"

   Pemuda itu terkejut dan wajahnya berubah pucat mendengar suara suhunya. Dia menoleh dan cepat menjatuhkan diri di depan suhu dan subonya yang telah berada di situ. Suami isteri pendekar itu telah mendengar suara mereka dan keduanya memasuki taman.

   Melihat sikap Cin Cin yang marah, Si Han Beng segera menegur muridnya.

   "Siong Ki, apa yang telah kami dengar dari Cin Cin itu? Engkau telah menyerang pendekar Lie Koan Tek dan juga ibu Cin Cin, bahkan telah melukainya? Lupakah engkau lupa akan pesan kami ketika engkau pergi, tidak boleh memusuhi pendekar itu sebelum melakukan penyelidikan dengan seksama dan tidak boleh mendendam kepada siapapun?"

   "Ampun, suhu, dan subo, teecu telah melakukan kesalahan karena terburu nafsu dan diamuk duka dan dendam atas kematian ayah. Teecu telah bersalah dan teecu siap menerima hukuman dari suhu berdua." kata Siong Ki dengan nada sedih.

   Tadi ketika Thian Ki melerai, hati Cin Cin sudah mulai dingin dan ia dapat memaafkan Siong Ki. Kini, melihat kedua orang guru pemuda ini nampak marah, Cin Cin semakin merasa kasihan kepada Siong Ki. Bagaimanapun juga, yang diserang Siong Ki bukanlah ibunya, melainkan Lie Koan Tek dan ibunya membela suami, maka sampai terluka. Dan penyerangan Siong Ki terhadap Lie Koan Tek tidak dapat terlalu disalahkan karena pemuda itu mengira bahwa ayah tirinya yang membunuh ayah pemuda itu.

   "Siong Ki, kembalikan pedangku!" terdengar Bu Giok Cu berkata dan suaranya juga tidak ramah.

   Dengan muka pucat Siong Ki melepaskan tali sarung pedangnya dan menyerahkan pedang Seng-kang-kiam (Pedang Baja Bintang) kepada subonya.

   Bu Giok Cu tanpa berkata apa-apa, menerima pedang itu dan mencabutnya dari sarung, memeriksa pedang itu, kemudian memasukkannya kembali dan memasangkan di punggungnya sendiri.

   "Hemm, pedangku kupinjamkan kepadamu sebagal bekal agar engkau dapat melaksanakan tugasmu dengan baik. Lalu, apa hasilnya selama engkau pergi ini? Hanya untuk menyerang dan melukai ibu Cin Cin dan ayah tirinya? Itu saja?"

   

Sepasang Naga Lembah Iblis Eps 5 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 10 Si Bayangan Iblis Eps 10

Cari Blog Ini