Ceritasilat Novel Online

Pendekar Tanpa Bayangan 11


Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 11




   Setelah memeriksa dengan cermat dan melihat bahwa Si Dewa Obat benar-benar tewas oleh dua pukulan itu, lima orang tosu Hoa-san-pai itu lalu berpamit dari para penduduk dusun yang akan mengurus jenazah Dewa Obat yang seringkali menolong mereka itu. Ternyata Si Dewa Obat itu tinggal seorang diri di pondoknya.

   Dapat dibayangkan betapa gelisahnya hati lima orang tosu itu ketika tiba di perkampungan Hoa-san-pai melihat bahwa guru mereka belum juga siuman dari pingsannya dan tubuhnya tetap panas! Berapa lama suhu mereka akan dapat bertahan? Kembali sehari semalam lima orang tosu itu tidak dapat tidur nyenyak dan mereka selalu merasa gelisah. Karena tidak mengenal ilmu pukulan beracun yang diderita guru mereka, mereka tetap tidak berani meminumkan obat karena kalau salah obat keadaan guru mereka akan menjadi lebih parah. Mereka hanya mencoba untuk memberi obat luar di dada yang dicap lima jari menghitam itu.

   Pada keesokan harinya, ketika lima orang tosu itu menjaga guru mereka yang belum juga siuman, seorang murid dengan napas memburu datang melapor bahwa di luar perkampungan ada seorang pemuda yang dikeroyok para murid Hoa-san-pai.

   "Sikapnya mencurigakan, agaknya dia minta bertemu dengan pimpinan Hoa-san-pai. Karena mencurigakan, para suheng (kakak seperguruan) minta agar dia meninggalkan pedangnya sebelum memasuki perkampungan, akan tetapi dia menolak. Karena para suheng menjadi semakin curiga maka kami berusaha menangkapnya, akan tetapi dia lihai sekali."

   Lima orang tosu itu segera berlompatan keluar dan benar saja, mereka melihat seorang pemuda dikeroyok oleh duapuluh lebih murid Hoa-san-pai. Sebagian besar para pengeroyok itu adalah murid tingkat dua dan tiga yang ilmu silatnya sudah lumayan, akan tetapi senjata mereka berupa pedang, golok, dan tombak sama sekali tidak dapat menyentuh tubuh pemuda yang bergerak sedemikian cepatnya sehingga para murid itu seolah menyerang bayangan saja!

   "Kalian semua mundur!" teriak Thian Huo Tosu melihat betapa banyak murid sudah roboh terkena tamparan pemuda itu, walaupun yang tertampar itu tidak luka parah dan hanya senjata mereka yang terlempar dan tubuh mereka terpelanting.

   Pemuda itu bukan lain adalah Pouw Cun Giok!

   Seperti kita ketahui, Cun Giok berpisah dari Ceng Ceng. Gadis itu menuju ke lereng timur untuk menemui gurunya sedangkan dia sendiri pergi ke lereng barat untuk mengunjungi Goat-liang Sanjin ketua Hoa-san-pai yang menjadi sahabat baik Pak-kong Lojin, kakek gurunya. Ketika dia tiba di depan gapura perkampungan Hoa-san-pai di lereng sebelah barat Hoa-san, dia segera dihadang oleh belasan orang yang tampak bengis dan penuh curiga memandangnya.

   "Hei, berhenti dulu! Siapa engkau berkeliaran di sini dan apa keperluanmu?" seorang dari mereka bertanya dengan suara membentak.

   Cun Giok tersenyum dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.

   "Maafkan kalau aku mengganggu. Aku datang berkunjung untuk bertemu dengan ketua Hoa-san-pai."

   "Ketua Hoa-san-pai tidak menerima tamu, sedang sibuk. Hayo engkau mengaku lebih dulu siapa engkau dan apa keperluanmu!"

   "Kalau ketua Hoa-san-pai tidak dapat menemui aku, maka aku ingin bicara dengan para pimpinan Hoa-san-pai," kata Cun Giok yang tidak mau mengakui nama dan keperluannya karena dia melihat sikap mereka yang penuh curiga dan tidak ramah.

   "Dia tentu penjahat itu!" tiba-tiba terdengar suara dan seolah-olah seruan ini merupakan komando karena tiba-tiba saja mereka semua menyerbu dan menyerang Cun Giok. Tentu saja Cun Giok tidak tinggal diam. Dia menggunakan gin-kangnya yang istimewa untuk berkelebatan menghindar dari semua serangan, membagi-bagi tamparan yang hanya dibatasi untuk membuat para pengeroyok melepaskan senjata dan terpelanting.

   Pada saat itu, muncul lima orang tosu pimpinan itu. Begitu Thian Huo Tosu membentak dan menyuruh semua murid mundur, para anggauta Hoa-san-pai itu serentak mundur dan mengepung dengan lingkaran besar. Mereka hanya menonton dan siap dengan senjata di tangan.

   Sementara itu, Thian Huo Tosu memberi isyarat kepada adik-adik seperguruannya dan mereka berlima sudah mencabut pedang dan mengepung Cun Giok. Melihat betapa pemuda itu dapat bergerak sedemikian cepatnya, mereka berlima yakin bahwa tentu pemuda ini yang malam tadi menyerang dan melukai guru mereka dan pagi tadi membunuh Im Yang Yok-sian. Maka, tanpa banyak cakap lagi mereka berlima bergerak dan menyerang Cun Giok dengan pedang mereka.

   Dengan bentakan nyaring lima orang yang membentuk Barisan Pedang Lima Unsur itu menyerang sambung menyambung. Cun Giok terkejut bukan main! Kalau saja dia tidak mempunyai gin-kang yang luar biasa, akan sukarlah menyelamatkan diri dari serangan pedang bertubi-tubi yang saling mendukung sehingga sulitlah untuk mengelak. Hanya berkat gerakannya yang luar biasa cepatnya sehingga dia seolah-olah menghilang dan berkelebat tanpa ada bayangan yang jelas, dia dapat
menghindarkan diri. Akan tetapi permainan pedang Barisan Ngo-heng itu memang hebat sekali. Gerakan mereka susul menyusul dengan rapinya, bukan saja saling mendukung dan saling melindungi, melainkan juga memiliki kecepatan tinggi karena serangan itu susul menyusul tiada hentinya.

   Cun Giok menjadi bingung juga. Tentu saja dia tidak ingin melukai seorang dari mereka. Dia tahu bahwa mereka itu menyerangnya membabi-buta tentu ada sebab tertentu dan serangan mereka ini hanya merupakan suatu kesalah-pahaman. Dia pun mengenal ilmu pedang Ngo-heng Kiam-sut karena dia mendapat pelajaran dari mendiang gurunya kemudian diperdalam oleh kakek gurunya. Akan tetapi, Ngo-heng Kiam-sut yang dilakukan lima orang dan membentuk Ngo-heng Kiam-tin ini sungguh amat dahsyat.

   "Tunggu dulu! Saya tidak ingin berkelahi dengan Ngo-wi Totiang (Lima Bapak Pendeta)!" Serunya sambil melompat ke belakang.

   Akan tetapi lima orang tosu yang kini merasa yakin bahwa pemuda ini yang melukai guru mereka karena pemuda itu amat lihai dan mampu menghindarkan semua serangan mereka, menjadi semakin marah dan mereka tidak mempedulikan seruan Cun Giok. Mereka bahkan menyerang semakin hebat!

   Karena dia mulai terdesak, terpaksa Cun Giok mencabut pedangnya. Sinar keemasan berkelebat ketika dia mencabut Kim-kong-kiam (Pedang Sinar Emas) dan ketika dia mainkan pedangnya yang bergulung-gulung membuat perisai keemasan melindungi tubuhnya, lima orang tosu itu terkejut bukan main. Cun Giok memang sengaja memainkan ilmu pedang Ngo-heng untuk mengimbangi serangan mereka. Dan setiap kali pedangnya bertemu dengan pedang lima orang tosu itu, para murid tingkat pertama Hoa-san-pai itu merasa betapa lengan mereka tergetar hebat!

   Akan tetapi karena Cun Giok tidak ingin melukai mereka, juga dia menjaga agar jangan sampai pedang pusakanya merusak pedang mereka dan dia hanya bertahan saja, maka perkelahian itu berlangsung seru.

   Setelah mereka mengepung dan menyerang sampai tigapuluh jurus lebih dan belum juga seorang di antara mereka dapat melukai pemuda itu, lima orang tosu Hoa-san-pai itu menjadi semakin penasaran. Pemuda itu tidak pernah balas menyerang dan hal ini mendatangkan dua dugaan di hati mereka. Pertama, pemuda itu repot melindungi diri sehingga tidak sempat balas menyerang, atau pemuda itu sedemikian lihainya sehingga ingin mempermainkan mereka. Dan gerakan pedang pemuda itu selalu menggunakan Ngo-heng Kiam-sut yang demikian hebatnya!

   Pada saat itu, sesosok bayangan putih memasuki lingkaran dengan melompati para murid yang membuat lingkaran itu dari luar.

   "Tahan senjata! Hentikan perkelahian!"

   Lima orang tosu itu mendengar suara wanita ini segera berloncatan mundur dan mereka melihat seorang gadis cantik berpakaian putih berdiri di dekat pemuda itu, berhadapan dengan mereka.

   "Siancai! Bukankah engkau Nona Ceng Ceng murid Im Yang Yok-sian?" kata Thian Huo Tosu dan mendengar ucapan orang pertama dari Ngo-heng Kiam-tin itu para sutenya juga segera teringat dan mengenal Ceng Ceng.

   "Mengapa engkau menghentikan perkelahian kami?

   "Totiang, pemuda ini bukan musuh......."

   "Siapa bilang? Nona Ceng Ceng, dialah yang melukai guru kami dan dia pula yang telah membunuh gurumu, Im Yang Yok-sian! Hayo kau bantu kami membunuh penjahat kejam ini!" kata Thian Huo Tosu.

   "Bukan! Ngo-wi Totiang keliru menuduh orang! Dia bukan pembunuh Susiok Im Yang Yok-sian! Ketahuilah bahwa dia ini baru datang pagi hari ini bersama aku mendaki Hoa-san. Berminggu-minggu dia melakukan perjalanan menuju Hoa-san ini bersamaku. Totiang, tadi aku berpisah di kaki bukit dengan dia, dan aku langsung menuju ke pondok Susiok Im Yang Yok-sian. Di sana kulihat Susiok telah tewas dibunuh orang dan menurut para penduduk dusun yang mengurus jenazah Susiok, katanya Totiang berlima telah datang ke sana. Karena mengira bahwa Ngo-wi Totiang tentu mengetahui siapa pembunuh Susiok, maka aku segera lari ke sini dan melihat Ngo-wi (Kalian Berlima) berkelahi dengan sahabatku ini."

   "Siancai......: Kalau begitu kami salah sangka? Sicu (orang gagah), siapakah Sicu dan apa maksud Sicu berkunjung ke sini?" tanya Thian Huo Tosu.

   "Totiang, tadi saya hendak memberi penjelasan akan tetapi Totiang berlima tidak memberi kesempatan kepada saya. Nama saya Pouw Cun Giok dan saya diberitahu oleh Sukong Pak-kong Lojin bahwa Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin adalah sahabat baik Sukong. Maka setelah berada di kaki bukit, saya ingin berkunjung dan memberi hormat kepada beliau."

   "Siancai......! Sungguh kami telah terburu nafsu. Kami menyangka bahwa engkau adalah musuh yang telah melukai Suhu dan membunuh Im Yang Yok-sian, maka kami lalu menyerangmu! Kiranya engkau adalah cucu murid Lo-cianpwe Pak-kong Lojin! Maafkan kami, Sicu. Karena kita semua ini orang-orang sendiri, mari kalian masuk dan kita bicara di dalam."

   "Ah, jadi Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin terluka oleh orang yang membunuh Susiok?" Ceng Ceng bertanya, kaget dan semakin penasaran.

   "Mari kita bicara di dalam," ajak Thian Huo Tosu dan mereka bertujuh lalu memasuki perkampungan dan duduk di ruangan depan rumah induk Hoa-san-pai.

   Thian Huo Tosu lalu menceritakan peristiwa yang terjadi.

   "Kemarin malam, selagi Suhu duduk bersamadhi, tiba-tiba Beliau diserang orang. Kami mendengar dan segera memasuki kamar Suhu, akan tetapi penyerang itu dapat melarikan diri. Gerakannya amat cepat dan kami hanya melihat bahwa dia seorang laki-laki muda tanpa kami dapat melihat jelas mukanya. Ketika kami memeriksa Suhu, ternyata Suhu pingsan dan terluka hebat. Pukulan beracun yang meninggalkan tanda hitam di dadanya amat parah. Kami berusaha mengobati, namun gagal. Kami lalu teringat kepada Im Yang Yok-sian dan kami pada keesokan harinya pergi ke sana untuk mohon pertolongannya mengobati Suhu. Akan tetapi setelah tiba di sana, orang-orang dusun sudah berada di sana dan ternyata Beliau telah tewas terbunuh orang. Ketika kami memeriksa, ternyata Beliau tewas karena pukulan yang sama seperti diderita Suhu. Hanya bedanya, Suhu belum tewas karena pembunuh itu hanya sempat memukulnya satu kali di dada dan keburu kami datang. Sedangkan Im Yang Yok-sian menerima pukulan dua kali sehingga tewas. Demikianlah, ketika Pouw Sicu ini muncul, kami yang sedang bingung dan penasaran, melihat dia begitu lihai, lalu menduga bahwa tentu dia pembunuhnya dan kami mengeroyoknya."

   "Suhu tewas karena pukulan yang kalau aku tidak salah disebut Hek-tok Tong-sim-ciang (Tangan Racun Hitam Getarkan Jantung). Pukulan itu amat jahat dan biarpun aku sudah mempelajari ilmu pengobatan dari Susiok, namun luka akibat pukulan itu sukar disembuhkan."

   "Kalau begitu, tolonglah, Nona. Tolong engkau periksa keadaan Suhu. Siapa tahu engkau akan dapat mengobatinya." Lima orang tosu itu bangkit dan serentak memberi hormat kepada Ceng Ceng.

   "Baiklah, akan kuperiksa. Akan tetapi aku tidak yakin apakah aku akan mampu mengobatinya."

   Mereka lalu memasuki kamar Goat-liang Sanjin. Tiga orang murid yang menjaga di dalam kamar itu lalu disuruh keluar oleh Thian Huo Tosu.

   Ceng Ceng menghampiri pembaringan dan mulai memeriksa keadaan Goat-liang Sanjin yang masih juga belum sadar. Setelah memeriksa denyut jantung dan keadaan peredaran darahnya, gadis itu menghela napas panjang.

   "Bagaimana, Nona?" tanya Thian Huo Tosu dengan gelisah.

   "Totiang, luka yang diderita Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin amat parah. Hawa beracun pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang itu bukan hanya menggetarkan jantung, akan tetapi juga meracuni darah dan mengacaukan peredaran darah. Mendiang Susiok pernah memberitahu kepadaku tentang beberapa pukulan yang hanya dapat disembuhkan oleh pemukulnya dan Hek-tok Tong-sim-ciang ini salah satu di antaranya. Mungkin aku hanya dapat membantu meringankan penderitaannya saja, akan tetapi untuk dapat menyembuhkannya, aku harus dapat mencari pemukulnya."

   "Kalau begitu tolonglah semampu Nona, pinto sekalian para murid Hoa-san-pai akan berterima kasih sekali."

   Ceng Ceng menoleh kepada Cun Giok.

   "Giok-ko, maukah engkau menolongku? Aku membutuhkan bantuan sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat dan kukira engkau yang memiliki itu."

   "Tentu saja, Ceng-moi. Aku siap membantumu!" kata Cun Giok dan lima orang tosu itu mengangguk-angguk girang dan juga merasa malu karena tadi mereka mengeroyok dan berniat membunuh pemuda ini yang ternyata cucu murid Pak-kong Lojin yang mereka hormati dan kini pemuda itu masih hendak membantu Ceng Ceng menolong guru mereka!

   Ceng Ceng minta kepada Thian Huo Tosu untuk membantu Goat-liang Sanjin yang, masih pingsan agar dapat duduk bersila dan tosu itu bersila di depan Goat-liang Sanjin sambil menahan kedua pundak kakek itu agar dapat duduk dan tidak terguling.

   "Tahan saja agar jangan terguling, Totiang, dan jangan menggunakan tenaga dalam karena hal itu akan membahayakan Totiang sendiri," kata Ceng Ceng. Kemudian ia menyuruh Cun Giok naik ke pembaringan dan duduk bersila di belakangnya sedangkan ia sendiri juga duduk bersila di belakang tubuh Goat-liang Sanjin yang sudah didudukkan dan kedua pundaknya ditahan Thian Huo Tosu dari depan.

   "Giok-ko, kau kerahkan tenaga sakti Im yang dingin dan salurkan melalui punggungku untuk membantuku. Kita menggabungkan tenaga Im dan aku akan meneruskan tenaga itu ke dalam tubuh Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin untuk menahan tekanan hawa beracun yang amat panas itu. Pergunakan tenaga sakti sedang-sedang saja dan kurangi atau tambah menurut permintaanku nanti."

   "Baik, Ceng-moi," kata Cun Giok dengan kagum kini dia melihat kelebihan yang lain lagi pada diri gadis yang dikaguminya itu.

   Setelah memusatkan seluruh perhatiannya kepada kakek yang hendak ia obati, Ceng Ceng mulai menotok, menekan dan mengurut di sekitar punggung. Jari-jari tangannya terasa panas sekali seolah-olah hawa dalam tubuh kakek itu melawannya. Namun dengan tenaga sakti Im gabungan dengan Cun Giok, maka ia dapat mengalahkan rasa panas itu.

   Sampai tidak kurang dari dua jam ia melakukan pengobatan. Thian Huo Tosu yang hanya menahan kedua pundak gurunya tanpa mengerahkan tenaga dalam, akhirnya terpengaruh juga oleh hawa dingin yang disalurkan Ceng Ceng sehingga dia mulai menggigil kedinginan! Untung baginya sebelum keadaannya lebih parah lagi, Goat-liang Sanjin mengeluh lalu terbatuk-batuk! Kakek itu telah sadar dari pingsannya.

   Ceng Ceng menghentikan pengobatannya. Dengan girang Thian Huo Tosu membantu gurunya rebah telentang. Goat-liang Sanjin yang telentang itu membuka matanya dan dia melihat lima orang muridnya berada di dalam kamarnya bersama seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan.

   "Di mana penyerang gelap itu?" Goat-liang Sanjin bertanya kepada para muridnya.

   "Apakah kalian berhasil menangkapnya?"

   Lima orang tosu itu menjatuhkan diri berlutut di atas lantai.

   "Hukumlah teecu berlima yang tidak berguna, Suhu. Teecu (murid) berlima gagal menangkapnya dan dia melarikan diri."

   Goat-liang Sanjin menghela napas panjang berkali-kali untuk mengurangi rasa nyeri di dadanya, lalu berkata dengan suara lirih.

   "Kalian tidak salah...... orang itu memang lihai sekali......" Ketika dia melihat Cun Giok dan Ceng Ceng, dia melebarkan matanya.

   "Siapa...... siapakah...... mereka ini?"

   Ceng Ceng makIum bahwa kakek itu telah lupa kepadanya, maka ia cepat berkata.

   "Lo-cianpwe mungkin sudah lupa kepada saya. Saya adalah murid dari mendiang Susiok Im Yang Yok-sian."

   Kakek itu mencoba bangkit saking kagetnya mendengar ini, akan tetapi Ceng Ceng cepat mencegahnya agar jangan bangkit dulu.

   "Kau bilang...... mendiang.......?"

   Thian Huo Tosu lalu menerangkan.

   "Suhu, ketika teecu berlima melihat Suhu terluka parah, teecu segera pergi kepada Im Yang Yok-sian untuk mohon pertolongannya. Akan tetapi ketika teecu berlima tiba di sana, ternyata Beliau sudah tewas, terbunuh orang dengan pukulan yang sama dengan yang melukai Suhu."

   "Siancai......!" Kakek itu tampak lemas dan dia mengerutkan alisnya.

   "Suhu, melihat Suhu pingsan selama dua hari, teecu sekalian menjadi bingung. Akan tetapi kemudian datang Nona Ceng Ceng dan ia bersama Pouw-sicu ini telah berhasil membuat Suhu siuman kembali."

   Goat-liang Sanjin kembali membuka matanya yang tadi terpejam, lalu dia memandang kepada Cun Giok. Melihat betapa mata kakek itu memandang penuh pertanyaan, Cun Giok tidak membiarkan kakek itu bicara lagi yang agaknya memeras tenaganya. Dia memberi hormat dan berkata.

   "Lo-cianpwe, saya bernama Pouw Cun Giok, cucu murid Sukong Pak-kong Lojin di Ta-pie-san. Sukong pernah bercerita bahwa Lo-cianpwe adalah sahabat baiknya, maka ketika saya lewat di sini, saya ingin berkunjung dan bertemu Lo-cianpwe. Sungguh saya ikut bersedih melihat Lo-cianpwe berada dalam keadaan sakit."

   "Giok-ko dan Ngo-wi Totiang, saya kira lebih baik kalau kita biarkan Lo-cianpwe mengaso dan jangan dulu diajak banyak bicara. Sebaiknya Totiang buatkan bubur cair untuk memulihkan daya tahan tubuhnya."

   Semua orang setuju, apalagi melihat kakek itu mulai memejamkan mata seperti hendak tidur. Thian Bhok yang berwajah lucu bertubuh gemuk pendek itu yang segera membuatkan bubur untuk gurunya. Dia memang terkenal ahli masak dan dia yang menyuapi gurunya makan bubur cair.

   Mereka bercakap-cakap di ruangan dalam.

   "Nona Ceng, bagaimana menurut pendapat Nona? Suhu kini tampak lebih sehat. Apakah Beliau akan dapat sembuh?" tanya Thian Huo Tosu.

   Ceng Ceng menghela napas panjang.

   "Sulit mengatakan bahwa Beliau akan dapat sembuh, Totiang. Usahaku hanya dapat membuat panasnya menurun dan mengurangi rasa nyeri. Akan tetapi racun dari Hek-tok Tong-sim-ciang itu masih ada dan mengancam keselamatannya. Kalau daya tahan tubuhnya kuat, mungkin dia masih akan dapat bertahan selama seratus hari, akan tetapi melihat betapa Lo-cianpwe sudah tua, belum tentu Beliau akan dapat bertahan sampai tiga bulan."

   "Siancai......! Lalu, apakah ada obatnya yang dapat menyembuhkannya?" tanya Thian Kim Tosu yang tampan.

   Ceng Ceng menggelengkan kepalanya.

   "Seperti telah kukatakan tadi, pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang ini hanya dapat disembuhkan oleh orang yang memiliki ilmu itu."

   "Jadi kalau kami ingin melihat Suhu sembuh, kami harus dapat menemukan dan menangkap pembunuh itu?"

   "Kiranya hanya begitulah, Totiang. Aku akan pergi mencarinya dan minta pertanggungan jawabnya, baik untuk pembunuhan yang dia lakukan terhadap Susiok Im Yang Yok-sian maupun untuk penyerangan yang dilakukan terhadap guru kalian."

   "Akan tetapi ini kewajiban kami, Nona Ceng Ceng! Kami yang akan mencarinya!" kata Thian Tho si muka hitam. Empat orang tosu yang lain membenarkan.

   "Hemm, tahukah kalian siapa pembunuh itu dan di mana dapat menemukan dia."

   Lima orang tosu itu saling pandang dan mengangkat pundak.

   "Nah, kalau kalian tidak tahu siapa dia dan di mana dia berada, bagaimana kalian akan dapat menemukannya?"

   "Baiklah, Nona. Kami mengaku bodoh dan tidak mampu mencarinya. Akan tetapi apakah Nona mengetahuinya dan bagaimana kalau kami membantumu?" tanya Thian Huo Tosu.

   "Aku belum yakin betul. Akan tetapi akan kucari dia sampai dapat. Mudah-mudahan sebelum seratus hari aku sudah bisa mendapatkan obat untuk guru kalian. Ingat, orang itu telah membunuh Susiok Im Yang Yok-sian. Aku harus menemukannya!"

   Ceng Ceng dan Cun Giok lalu meninggalkan Hoa-san-pai dan mereka berdua kembali ke tempat tinggal mendiang Im Yang Yok-sian untuk melakukan upacara pemakaman jenazah Im Yang Yok-sian.

   Setelah pemakaman selesai, pada keesokan harinya Ceng Ceng dan Cun Giok meninggalkan Bukit Hoa-san. Setibanya di kaki bukit, Ceng Ceng berhenti.

   "Giok-ko, di sini kita harus berpisah. Aku akan pergi mencari pembunuh Susiok Im Yang Yok-sian dan juga mencarikan obat untuk Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin."

   "Ceng-moi, melihat susiokmu dibunuh orang tanpa alasan dan ketua Hoa-san-pai dilukai berat, aku merasa berkewajiban untuk membantumu mencari pembunuh itu! Aku akan merasa bersalah dan tidak mengenal budi kalau sekarang aku tidak membantumu, Ceng-moi."

   Ceng Ceng merasa suka kepada pemuda ini. Setelah melakukan perjalanan jauh dan ketika menghadapi musuh gerombolan penjahat, pemuda ini telah memperlihatkan kegagahannya. Juga sikapnya sopan dan bijaksana sehingga ia sama sekali tidak merasa canggung melakukan perjalanan berdua dengannya. Mendengar pernyataan Cun Giok yang hendak membantunya, sebenarnya hatinya merasa girang sekali.

   "Ah, Giok-ko. Aku hanya akan membuat engkau repot saja, padahal urusan ini tidak ada hubungannya denganmu."

   "Tentu saja ada hubungannya, Ceng-moi. Andaikata yang dibunuh secara pengecut dan kejam itu bukan susiokmu, apakah kiranya engkau dan aku akan tinggal diam dan tidak mencari pembunuh laknat itu? Nah, kalau engkau ingin mencari pembunuh itu dan mencarikan obat guna menyembuhkan Goat-liang Sanjin, tentu saja aku juga mau membantu. Ketua Hoa-san-pai itu adalah sahabat baik kakek guruku. Beliau akan senang kalau mendengar aku membantu pencarian obat untuk kakek yang terancam maut itu."

   Akhirnya Ceng Ceng tersenyum.

   "Apakah tidak akan mengganggu perjalananmu, Giok-ko?"

   "Aku tidak mempunyai urusan pribadi apa pun. Engkau sudah tahu bahwa aku hidup sebatang kara dan tidak mempunyai tempat tinggal. Bagaimana dapat terganggu?"

   "Baiklah kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan."

   "Nanti dulu, Ceng-moi. Aku ingin sekali mengetahui, apakah engkau sudah tahu siapa yang melakukan pembunuhan terhadap susiokmu dan ketua Hoa-san-pai itu?"

   Ceng Ceng menggelengkan kepala.

   "Kalau begitu, ke mana kita akan mencarinya?"

   "Giok-ko, Susiok Im Yang Yok-sian pernah bercerita kepadaku tentang ilmu pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang itu. Menurut Beliau, yang menguasai ilmu-ilmu pukulan berbisa yang amat hebat, termasuk Hek-tok Tong-sim-ciang adalah seorang datuk sesat yang amat terkenal puluhan tahun yang lalu. Nama julukannya adalah Ban-tok Kui-bo (Biang Iblis Selaksa Racun) dan datuk wanita itu menjadi Majikan Pulau Ular di Lautan Po-hai. Aku yakin bahwa andaikata pembunuh Susiok Im Yang Yok-sian bukan datuk itu, ia pasti memiliki obat penawar hawa beracun pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang. Yang terpenting adalah mencarikan obat untuk ketua Hoa-san-pai, setelah itu barulah aku akan mencari pembunuh paman guruku."

   "Memang, pembunuh Lo-cianpwe Im Yang Yok-sian itu kejam sekali. Sudah sewajarnya kalau engkau hendak membalas dendam, Ceng-moi." Akan tetapi pemuda itu merasa heran melihat Ceng Ceng menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, Giok-ko, bukan membalas dendam kematian paman guruku. Balas dendam hanya akan memperpanjang mata rantai Karma sehingga akan terjadi balas membalas yang tidak pernah ada akhirnya. Kalau aku mencari pembunuh itu untuk membalas dendam dan aku berhasil membunuhnya karena dendam, tentu akan menimbulkan dendam pada pihaknya. Entah anggauta keluarganya atau muridnya akan membalas dendam kepadaku, dan mungkin kalau aku terbunuh, orang yang dekat denganku akan menaruh dendam pula. Demikian seterusnya, rantai Karma itu takkan pernah putus. Dendam kebencian, balas membalas kini sudah menjadi watak manusia di dunia. Apakah engkau tidak melihat betapa salahnya hal itu?"

   Cun Giok tertegun. Baru sekarang dia mendengar ada orang mencela balas dendam dan mengatakan bahwa hal itu salah. Dia teringat akan diri sendiri. Dia membalas dendam atas kematian orang tuanya dan berhasil membunuh Panglima Kong Tek Kok, dan kini dia teringat kepada Kong Sek, murid Bu-tek Sin-liong Cu Liong itu. Kakak seperguruan Cu Ai Yin! Tentu Kong Sek juga mendendam kepadanya dan hendak membalaskan kematian ayahnya! Dia dapat melihat kebenaran dalam ucapan Ceng Ceng tadi.

   "Akan tetapi, kalau engkau tidak ingin membalas dendam atas kematian paman gurumu yang dibunuh orang, lalu untuk apa engkau hendak mencari pembunuh itu, Ceng-moi?"

   "Aku memang akan mencari pembunuh itu, Giok-ko, bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk bertanya mengapa dia membunuh Susiok dan untuk melihat apakah dia orang yang suka melakukan kejahatan. Yang kutentang bukan orangnya, yang aku benci bukan orangnya, melainkan kejahatan. Aku menentang kejahatan, tidak peduli dilakukan oleh siapapun juga. Kejahatan harus ditentang dan dihentikan kalau kita menghendaki kehidupan ini aman tenteram dan untuk itulah kita belajar ilmu silat, bukan? Dengan demikian sedikit banyak kita sudah ikut menyejahterakan kehidupan di dunia."

   Cun Giok mendengarkan dengan heran dan kagum. Gadis yang luar biasa! Maka tanpa ragu lagi dia mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat dan berkata.

   "Ceng-moi, engkau hebat! Aku kagum sekali kepadamu. Engkau memiliki kesempatan banyak untuk menjadi Dewi Kebajikan! Engkau dapat menentang kejahatan dengan ilmu silatmu dan engkau juga dapat menolong orang memerangi penyakit dengan ilmu pengobatanmu!"

   "Aih, jangan terlalu memuji, Giok-ko. Pujian bahkan dapat menjerumuskan orang ke dalam jurang kesombongan. Setiap orang hidup dituntut untuk dapat bermanfaat bagi manusia dan dunia, dengan bakat, kemampuan, dan kepandaian masing-masing sehingga tidak sia-sialah hidup sebagai manusia di dunia ini. Ah, sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan ini!"

   Mereka melanjutkan perjalanan, mempergunakan ilmu berlari cepat dengan tujuan ke timur, ke arah Lautan Po-hai di sebelah timur daratan Cina.

   Siapakah Ban-tok Kui-bo (Biang Iblis Selaksa Racun) yang disebut oleh Ceng Ceng dan kini hendak dicari Ceng Ceng bersama Cun Giok itu?

   Ban-tok Kui-bo tinggal di sebuah pulau kecil di Lautan Po-hai, sebuah pulau yang dinamakan Coa-to (Pulau Ular) karena memang dahulu pulau itu merupakan hutan lebat yang dihuni ratusan, bahkan ribuan ekor ular dari segala jenis yang beracun. Akan tetapi setelah Ban-tok Kui-bo tinggal di situ, ular-ular itu telah ditundukkannya dan bahkan menjadi peliharaannya karena wanita itu memang antara lain memiliki ilmu pawang ular.

   Kini Kui-bo tinggal di pulau itu dan ia menguasai pulau kosong itu sebagai miliknya. Ia menjadi majikan pulau itu dan kini pulau yang menjadi perkampungan itu dihuni Si Biang Iblis bersama kurang lebih limapuluh keluarga yang jumlahnya sekitar seratus limapuluh orang. Para kepala keluarga itu menjadi anak buah Pulau Ular dan menerima pelajaran ilmu silat dari Ban-tok Kui-bo. Rumah-rumah didirikan dan sebagai tempat tinggal Kui-bo, dibangun rumah yang cukup besar dan perabotan rumahnya cukup mewah. Sebelum menempati pulau kosong ini, Ban-tok Kui-bo telah mengumpulkan banyak harta benda sehingga ia mampu mengembangkan pulau itu dan kini anak buahnya bekerja sebagai nelayan dan juga ada yang bertani di pulau itu.

   Ban-tok Kui-bo tinggal di rumah induk bersama seorang gadis yang menjadi murid utamanya. Berbeda dengan para anak buah yang hanya menerima pelajaran silat sekadarnya ditambah pengertian tentang penggunaan racun, gadis ini hampir mewarisi seluruh ilmu kepandaian Ban-tok Kui-bo. Mereka berdua tinggal di rumah induk, dilayani oleh beberapa orang pelayan.

   Ban-tok Kui-bo berusia sekitar empatpuluh lima tahun. Ia memiliki tubuh yang langsing padat seperti tubuh seorang gadis remaja. Hal ini adalah karena ia memang belum pernah menikah dan selalu berlatih ilmu silat tinggi. Kulitnya putih bersih dan wajahnya sebetulnya cantik, akan tetapi kecantikannya itu menjadi pudar karena adanya codet (bekas luka) memanjang di pipi kirinya. Wajah yang sebetulnya cantik itu kini tampak aneh dan bahkan menyeramkan.

   Dahulu, ketika masih gadis, ia belum diberi julukan Ban-tok Kui-bo. Ketika masih gadis ia bernama Gak Li dan biasa disebut Lili. Ia seorang gadis cantik jelita dan ketika itu belum ada cacat di wajahnya yang cantik. Lili tidak saja cantik, akan tetapi ia juga memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi. Maka tidak aneh kalau banyak pemuda, terutama para pendekar, tergila-gila kepadanya. Akan tetapi Lili telah menjatuhkan pilihannya kepada seorang pendekar muda bernama Tan Kun Tek.

   Mereka berdua terkenal sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Akan tetapi, hati Lili menjadi pedih ketika ia mendapat kenyataan bahwa diam-diam Tan Kun Tek telah bertunangan dengan seorang gadis puteri seorang bangsawan. Kehancuran hatinya membuat wataknya berubah. Timbul perasaan bencinya kepada gadis tunangan kekasihnya itu dan pada suatu malam ia mendatangi rumah keluarga gadis itu dengan maksud hendak membunuhnya.

   Akan tetapi sebelum ia turun tangan, muncul seorang tosu (pendeta To) yang menghalanginya dan dalam perkelahian yang seru, Lili akhirnya terluka dan kalah. Ia terpaksa melarikan diri, membawa luka goresan panjang di pipi kirinya dan setelah sembuh, luka itu masih membekas menjadi codet memanjang.

   Semenjak itu Lili menghilang. Ia merasa malu untuk bertemu dengan Tan Kun Tek walaupun ia tahu bahwa sesungguhnya Tan Kun Tek juga cinta padanya, hanya saja pemuda itu sudah terikat perjodohan dengan gadis lain. Ia merasa rendah diri karena codetnya.

   Peristiwa itu sama sekali mengubah watak Lili. Ia memperdalam ilmunya, bahkan tidak segan mempelajari ilmu dari para datuk sesat dan menguasai banyak ilmu sesat, di antaranya ilmu penggunaan racun-racun yang paling jahat sehingga setelah ia muncul di dunia kang-ouw lagi, kekejamannya menggunakan racun membunuh lawan membuat ia diberi julukan Ban-tok Kui-bo!

   Lili tidak peduli, bahkan ia tidak pernah lagi menggunakan nama aselinya dan lebih suka dikenal sebagai Ban-tok Kui-bo. Setelah malang-melintang di dunia persilatan, mengalahkan banyak tokoh, ia lalu mengunjungi Hoa-san-pai hendak melampiaskan dendamnya kepada Goat-liang Sanjin, yaitu tosu yang menghalangi ia membunuh gadis tunangan Tan Kun Tek dan yang telah membuat mukanya terluka dan kini meninggalkan bekas codet! Di Hoa-san-pai ia dikeroyok para tokoh Hoa-san-pai, namun ia berhasil merobohkan dan membunuh banyak murid Hoa-san-pai dengan ilmunya yang keji. Akan tetapi ketika Goat-liang Sanjin muncul, ia masih kalah dan terpaksa melarikan diri karena tidak mampu menandingi ketua Hoa-san-pai itu.

   
Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sejak itu, Lili yang telah dikenal sebagai Ban-tok Kui-bo menghilang lagi. Ternyata ia telah menemukan Pulau Ular dan menjadi majikan pulau itu dan membangun sebuah perkampungan di situ, mempunyai anak buah yang ia beri pelajaran ilmu silat.

   Ketika Ban-tok Kui-bo berusia duapuluh tujuh tahun, ia sudah memperdalam lagi ilmu-ilmunya sehingga matang betul. Ia bahkan melatih diri dengan ilmu-ilmu pukulan dahsyat dan keji, pukulan yang mengandung racun-racun ular yang terdapat banyak di pulaunya.

   Mulai timbullah rasa rindu yang amat hebat dalam hatinya kepada Tan Kun Tek, kekasihnya dahulu. Ia mencoba untuk menekan perasaan rindunya, namun tidak berhasil, bahkan rasa rindu itu menjadi semakin hebat. Ia harus menemui kekasihnya itu dan melihat bagaimana sikap laki-laki itu terhadap dirinya. Masih adakah cinta di hati Tan Kun Tek kepadanya? Ia tidak dapat menyalahkan kekasihnya itu yang telah ditunangkan dengan gadis lain oleh orang tuanya sebelum pemuda itu bertemu dengannya.

   Akhirnya karena tidak tahan lagi, pergilah ia mencari bekas kekasihnya itu. Ia mendengar bahwa Tan Kun Tek kini tinggal di kota Seng-hai-lian dan menjadi pedagang, hidup bahagia bersama isterinya. Ketika ia mengintai dan melihat bekas kekasihnya yang hidup bahagia dengan isterinya dan seorang anak perempuan yang ketika itu berusia dua tahun, ia tidak tega untuk mengganggu bekas kekasihnya. Tan Kun Tek tidak bersalah kepadanya. Pria itu masih mencintanya dan ia sendirilah yang meninggalkannya karena tidak berani berjumpa setelah mukanya cacat.

   Ia melihat kebahagiaan Tan Kun Tek menjadi iri. Ia sendiri menderita dan kekasihnya itu hidup berbahagia. Lalu timbul niatnya untuk "menghukum" Tan Kun Tek dan isterinya agar merasakan penderitaan seperti dirinya. Diam-diam ia mencari kesempatan dan akhirnya berhasil menculik puteri mereka yang berusia dua tahun itu. Ia tidak meninggalkan jejak dan membawa Tan Li Hong, anak itu, ke Pulau Ular!

   Setelah selama beberapa tahun melampiaskan kekecewaan dan sakit hatinya terhadap kaum pria, bersikap kejam sekali kepada laki-laki yang menjadi lawannya sehingga ia dijuluki Ban-tok Kui-bo, ia hidup bersama Tan Li Hong di pulau itu. Ia menurunkan semua ilmu kepandaiannya kepada anak itu.

   Kini Tan Li Hong telah menjadi seorang gadis berusia sembilanbelas tahun. Agaknya semua usaha ayah bundanya untuk mencarinya sia-sia belaka. Tak seorang pun menduga bahwa ia berada di Pulau Ular. Tan Li Hong kini menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan lihai bukan main. Akan tetapi wataknya lincah, manja, licik dan aneh karena ia dididik oleh Ban-tok Kui-bo yang juga berwatak aneh. Hanya saja, masih ada watak gagah dan baik dalam lubuk hati gadis itu. Selain ilmu silat dan ilmu tentang racun, juga Li Hong diberi pelajaran ilmu membaca menulis, walaupun tidak terlalu mendalam, cukup untuk dapat membaca dan menulis.

   Setelah ia mulai dewasa, Li Hong seringkali bertanya kepada gurunya, siapakah orang tuanya, siapa ayah dan ibunya. Ban-tok Kui-bo selalu menjawab bahwa saatnya belum tiba baginya untuk mengetahui orang tuanya.

   "Ayahmu bermarga Tan dan sekarang masih hidup bersama ibumu, akan tetapi belum saatnya engkau mengetahui, Li Hong," katanya.

   "Akan tetapi mengapa, Subo (Ibu Guru)? Kenapa aku tidak boleh mengetahui siapa ayah ibuku?"

   "Bukan tidak boleh, melainkan hanya belum tiba waktunya. Apakah engkau kekurangan cinta kasih dariku sebagai pengganti ayah ibumu?"

   Li Hong yang biasa manja kepada gurunya, memeluk gurunya sambil berkata.

   "Ah, tentu saja kasih sayang Subo sudah cukup dan aku berbahagia sekali. Aku juga amat mencinta Subo, bahkan andaikata aku menemukan orang tuaku, belum tentu aku akan dapat mencinta mereka yang selama ini tidak kukenal itu sebesar cintaku terhadap Subo."

   Ban-tok Kui-bo merangkul dan mencium Li Hong yang ia anggap seperti anaknya sendiri. Ia dahulu menculik Li Hong bukan dengan niat jahat, melainkan sekadar menghukum bekas kekasihnya yang hidup bahagia sedangkan ia sendiri menderita. Setelah Li Hong hidup bersamanya, timbul kasih sayangnya yang besar sehingga rasa cintanya kepada Tan Kun Tek ia limpahkan semua kepada muridnya yang ia anggap anaknya sendiri itu.

   "Li Hong, Anakku dan juga muridku tersayang, percayalah, akan datang waktunya aku memberitahu kepadamu siapa orang tuamu. Akan tetapi sebelum itu, maukah engkau membalas semua kasih sayang yang telah kucurahkan kepadamu selama ini? Aku merawat dan mendidikmu sejak engkau berusia dua tahun sampai kini berusia sembilanbelas tahun. Apakah engkau juga amat cinta padaku dan suka membelaku, menuruti semua permintaanku?"

   "Aih, tentu saja, Subo! Budi yang Subo limpahkan kepadaku teramat besar! Aku akan membelamu sampai mati dan apa pun yang Subo perintahkan, akan kukerjakan dengan hati senang!"

   "Nah, sekarang kau lihat wajah gurumu ini baik-baik! Lihat dan perhatikan! Bagaimana menurut pendapatmu wajahku ini?"

   Li Hong menatap wajah gurunya.

   "Kenapa Subo menanyakan itu? Wajah Subo cantik, kulit Subo putih mulus, badan Subo juga langsing padat. Subo cantik sekali!" kata Li Hong dengan sungguh-sungguh.

   "Hemm, pujianmu bahkan menyakiti hatiku, Li Hong, seolah engkau mengejekku."

   "Subo......!" Gadis itu merangkul dan mencium pipi gurunya.

   "Mengapa Subo berkata begitu? Aku sama sekali tidak mengejek dan kalau ada orang berani mengejek Subo, pasti akan kupukul hancur mulutnya!"

   "Li Hong, apa engkau tidak melihat ini?" Ban-tok Kui-bo meraba codet di pipi kirinya.

   "Bukankah wajahku menjadi buruk dan menyeramkan dengan adanya cacat ini?"

   "Ah, bagiku sama sekali tidak, Subo. Aku sudah terbiasa melihatnya dan cacat itu tidak mengurangi kecantikanmu."

   "Hemm, itu adalah pandanganmu karena engkau mencintaku, Li Hong. Akan tetapi orang lain merasa takut dan jijik melihat mukaku. Aku dulu cantik seperti engkau, akan tetapi ada orang kejam yang melukai mukaku sehingga cacat."

   "Ah, siapakah orang kejam itu, Subo? Aku yang akan membalaskan sakit hati Subo!" kata Li Hong penuh semangat.

   "Memang aku ingin sekali engkau membalaskan dendamku. Akan tetapi sebaiknya engkau dengar dulu ceritaku, baru memutuskan apakah engkau berani membalaskan sakit hatiku. Dengarlah! Dulu, ketika aku seusiamu sekarang, aku adalah seorang gadis pendekar yang cantik dan banyak pemuda jatuh cinta padaku. Akan tetapi aku memilih seorang pemuda dan menolak mereka yang hendak melamarku. Akan tetapi, pemuda kekasihku itu telah ditunangkan dengan gadis lain! Ketika aku hendak mencari keputusan dari kekasihku itu, tiba-tiba muncul orang ini yang menyerangku. Kami bertanding dan aku terluka pada pipiku ini. Nah, sejak itu, aku tidak berani bertemu kekasihku itu, aku malu karena mukaku telah cacat. Aku mengasingkan diri di sini memperdalam ilmu-ilmuku. Kini semua ilmuku telah kuturunkan padamu, Li Hong, dengan harapan engkau akan mau mewakili aku membalas dendamku kepada orang itu."

   "Tentu saja, aku siap, Subo. Katakan siapa orangnya dan di mana tempat tinggalnya. Aku akan pergi ke sana sekarang juga!"

   "Engkau tidak takut, Li Hong? Ingat, orang itu lihai bukan main, dan di sana terdapat pula banyak muridnya yang lihai. Engkau mempertaruhkan nyawamu kalau hendak membalaskan dendamku ini."

   "Aku tidak takut, Subo. Tidak percuma Subo mengajarkan semua ilmu dan juga kecerdikan menggunakan siasat kepadaku selama ini. Aku pasti akan dapat membunuh orang itu dan aku siap mempertaruhkan keselamatan nyawaku!"

   "Bagus! Aku yakin engkau akan dapat membunuhnya. Orang kejam itu bernama Goat-liang Sanjin, ketua Hoa-san-pai yang terletak di Bukit Hoa-san. Kini usianya tentu sudah sekitar delapanpuluh tahun. Akan tetapi banyak muridnya yang masih muda dan tangguh."

   "Baik, sekarang juga aku akan membuat persiapan dan akan berangkat, Subo," kata Tan Li Hong penuh semangat.

   "Bagus, melihat kesanggupan dan semangatmu ini saja aku sudah merasa gembira sekali, Li Hong. Tidak percuma rasanya aku mencintamu dan merawat serta mendidikmu sejak engkau berusia dua tahun. Bersiaplah, muridku dan aku berjanji, setelah engkau melaksanakan tugas ini, engkau pulang ke sini dan aku akan memberitahu kepadamu siapa dan di mana adanya orang tuamu."

   "Terima kasih, Subo!" Dengan gembira Li Hong lalu berlari ke kamarnya dan berkemas. Ia membawa buntalan berisi pakaian dan beberapa petong uang emas dan perak, tidak lupa membawa pedangnya dan semua perlengkapan berupa macam-macam racun dan obat penawarnya. Setelah berpamit kepada gurunya, Li Hong lalu berangkat dengan perahu yang didayung seorang anak buah Pulau Ular dan berangkatlah ia menuju Hoa-san-pai.

   Seperti kita ketahui, gadis yang lincah, lihai dan cerdik ini berhasil menyusup ke Hoa-san-pai tanpa ada yang mengetahui, kemudian ia berhasil menyerang Goat-liang Sanjin dengan satu pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang, akan tetapi hanya sempat satu kali saja memukul karena Hoa-san Ngo-heng-tin muncul. Li Hong maklum bahwa kalau ia nekat, tentu segera semua murid Hoa-san-pai akan datang dan akan sukarlah baginya untuk dapat meloloskan diri. Maka dia melarikan diri, akan tetapi dasar ia cerdik, ia tidak lari jauh dan masih bersembunyi di perkampungan Hoa-san-pai. Gerakannya yang amat gesit membuat ia mudah bersembunyi dan para murid Hoa-san-pai sama sekali tidak mengira bahwa penyerang ketua mereka itu masih berada di perkampungan mereka.

   Karena masih berada di Hoa-san-pai, Li Hong dapat mendengar rencana Hoa-san Ngo-heng-tin untuk minta bantuan Im Yang Yok-sian yang berada tidak jauh dari situ.

   Li Hong terkejut. Ia sudah mendengar dari gurunya bahwa satu-satunya orang yang mungkin dapat mengobati pukulan beracun yang amat ampuh itu adalah seorang ahli pengobatan bernama Im Yang Yok-sian. Li Hong khawatir sekali. Kalau Im Yang Yok-sian menolong ketua Hoa-san-pai, mungkin Si Dewa Obat itu akan dapat menyembuhkannya dan ini berarti bahwa tugasnya telah gagal.

   Untuk mengulang penyerangannya terhadap ketua Hoa-san-pai rasanya tidak mungkin karena para murid kini menjaganya dengan ketat. Ia harus dapat menggagalkan usaha para murid Hoa-san-pai untuk minta bantuan Im Yang Yok-sian. Maka, ketika mendapat kesempatan, ia langsung melarikan diri dari Hoa-san-pai dan mencari Im Yang Yok-sian. Tidak sukar baginya untuk menemukan tempat pertapaan Si Dewa Obat dan dengan mudah ia menyelinap masuk pondok. Keadaannya menguntungkan baginya karena Si Dewa Obat itu ternyata hidup seorang diri di dalam pondoknya.

   Pada saat itu, seperti juga Goat-liang Sanjin, Im Yang Yok-sian sedang bersamadhi. Maka, ketika Li Hong menyerangnya dengan tiba-tiba, dia tidak dapat menghindarkan diri dengan cepat. Apalagi memang Im Yang Yok-sian lebih dalam kepandaiannya mengobati daripada ilmu silatnya. Dia sudah mencoba untuk menghindarkan diri, namun tetap saja dia terkena dua kali pukulan Li Hong sehingga dia roboh dan tewas.

   Setelah melihat bahwa Im Yang Yok-sian tewas, Li Hong lalu melarikan diri. Kini ia merasa yakin bahwa Goat-liang Sanjin pasti akan tewas. Ini berarti tugasnya berhasil baik dan ia akan segera mengetahui siapa ayah bundanya, dapat mencari dan bertemu dengan mereka! Maka ia pun bergegas pulang ke Pulau Ular.

   Ban-tok Kui-bo tersenyum girang mendengar laporan Li Hong.

   "Akan tetapi terpaksa aku membunuh Im Yang Yok-sian karena aku mendengar para murid Hoa-san-pai hendak minta pertolongan Dewa Obat itu untuk menyembuhkan ketua Hoa-san-pai, Subo. Aku tidak ingin tugasku gagal!"

   Ban-tok Kui-bo merangkul muridnya dan menciumnya.

   "Ah, sekarang aku memetik dan menikmati buah dari tanaman yang kurawat selama belasan tahun. Engkau telah dapat membalaskan sakit hatiku. Tidak apalah kalau engkau terpaksa membunuh Si Dewa Obat karena orang itu dapat merupakan ancaman bagiku. Dengan kepandaiannya yang luar biasa mengobati semua penyakit, semua ilmu pukulan beracunku tidak ada artinya lagi dan aku tidak akan disegani lagi oleh seluruh orang dunia kang-ouw! He-he-heh! Aku senang sekali, Li Hong!"

   "Syukurlah kalau Subo cukup senang dan puas. Akan tetapi aku belum, Subo!"

   "He-he-heh!" Ban-tok Kui-bo terkekeh.

   "Katakan saja engkau menagih janji! Aku amat sayang padamu, Li Hong, dan tidak akan menipumu, tidak akan melanggar janji. Nah, sekarang engkau berhak mengetahui siapa ayahmu. Dia bernama Tan Kun Tek dan dahulu dia tinggal di kota Seng-hai-lian. Ayahmu itu seorang pendekar murid Bu-tong-pai, tubuhnya sedang, wajahnya tampan dan sikapnya gagah!"

   Melihat betapa gurunya memandang kosong seperti melamun dan pujiannya terhadap Tan Kun Tek itu diucapkan dengan suara tergetar, Li Hong memegang tangan gurunya.

   "Subo, dia itukah kekasih Subo yang menikah dengan wanita lain? Kemudian karena Subo mendendam, maka Subo menculik aku dari tangan mereka?"

   Ban-tok Kui-bo merangkul leher muridnya dan mendekap kepala gadis itu ke dadanya.

   "Benar, Li Hong. Akan tetapi aku sayang padamu dan engkau kuanggap anakku sendiri karena engkau keturunan Tan Kun Tek. Kalau aku tidak dapat hidup bersama dia, engkau sebagai penggantinya dan aku hanya ingin merasakan bagaimana sengsaranya ditinggal orang yang dicintanya. Sekarang, karena semua ilmu sudah kuturunkan kepadamu, dan tentu penderitaan Tan Kun Tek sudah cukup lama, aku membolehkan engkau kembali kepada orang tuamu." Suara Ban-tok Kui-bo terdengar sedih.

   "Akan tetapi, aku minta kepadamu, jangan engkau membenci aku karena perbuatanku itu dan jangan...... jangan lupakan aku, Li Hong!"

   Li Hong amat menyayang gurunya yang selama belasan tahun ini menjadi pengganti orang tuanya. Biarpun ia terkejut dan penasaran mendengar bahwa gurunya menculiknya ketika ia berusia dua tahun, namun karena ia belum tahu apa-apa ketika itu dan sekarang ia sudah lupa bagaimana rupa ayah ibunya, maka tentu saja perasaannya lebih dekat dengan gurunya daripada dengan orang tuanya.

   "Tidak, Subo. Aku dapat mengerti perasaan hatimu yang sakit karena ayahku yang menikah dengan wanita lain bahkan sampai sekarang Subo tidak mau menikah. Aku akan mencari ayahku dan akan kutegur dia, kuterangkan betapa ayah telah membuat Subo menderita sampai sekarang. Aku akan berangkat sekarang mencari orang tuaku di Seng-hai-lian, Subo."

   "Pergilah dan kembalilah kepada mereka. Hanya kuminta, jangan engkau melupakan aku, Li Hong, dan kalau ada waktu, jenguklah gurumu ini."

   Li Hong berkemas membawa pakaiannya dan Ban-tok Kui-bo memberi sekantung kecil emas dan permata, juga ia memberikan pedangnya yang amat ampuh, yang diberi nama Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun), sebatang pedang pendek tipis dan ringan, kalau dimainkan berubah menjadi sinar kehijauan. Setelah berangkulan dan berciuman dengan gurunya, Li Hong lalu meninggalkan Pulau Ular, diantar dengan perahu oleh seorang anak buah. Seperti biasa, ia berpakaian sebagai pria.

   Pouw Cun Giok dan Liu Ceng Ceng tiba di pantai Teluk Po-hai. Mereka memandang ke arah timur dan laut membentang luas. Mereka lalu menghampiri beberapa orang nelayan yang sedang membetulkan jala yang koyak, ada pula yang menambal kebocoran perahunya. Mereka adalah para nelayan yang miskin, dan penghasilan mereka hanya menggantungkan nasib ketika menjala ikan. Me!ihat seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik menghampiri mereka, belasan orang nelayan itu memandang heran. Mereka adalah orang-orang kasar yang setiap hari berjuang dengan kehidupan yang sukar dan keras sehingga wajah mereka yang kehitaman dibakar sinar matahari setiap hari itu tampak kaku dan bengis.

   Setelah berhadapan dengan mereka, Cun Giok berkata dengan ramah.

   "Sobat-sobat, kami berdua ingin menyewa perahu. Apakah ada di antara kalian yang mau menyewakan perahu kepada kami dan mengantarkan kami ke sebuah tempat di sana?" Cun Giok menuding ke arah laut.

   "Mengantar ke mana? Kalian hendak ke mana?" Belasan orang itu menghentikan pekerjaan mereka dan semua kini berkumpul menghadapi Cun Giok dan Ceng Ceng.

   "Antarkan kami ke Pulau Ular," kata Cun Giok.

   Tiba-tiba belasan orang itu terbelalak dan mereka mundur-mundur ketakutan memandang kepada pemuda dan gadis itu.

   Melihat mereka ketakutan, Cun Giok bertanya.

   "Kenapa? Ada apa dengan kalian ini?"

   Seorang di antara mereka paling tua, bertanya dengan suara gemetar.

   "Apa...... apakah (Anda Berdua) ......anggauta keluarga .......Pulau Ular.......?"

   Cun Giok menggelengkan kepalanya.

   "Bukan, Paman. Kami hanya pelancong yang ingin melihat Pulau Ular."

   Kini belasan orang itu tampak lega, bahkan beberapa orang di antara mereka tertawa. Seorang dari mereka, yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, agaknya menjadi pemimpin mereka, melangkah maju menghampiri Cun Giok dan Ceng Ceng. Pandang matanya kini ditujukan kepada Ceng Ceng sehingga gadis itu mengerutkan alisnya merasa seolah-olah pandang mata orang itu meraba dan membelai seluruh tubuhnya!

   "Ha-ha-ha, melancong ke Pulau Ular? Melancong ke sana berarti melancong ke alam baka, tidak akan dapat kembali karena kalian akan mati secara mengerikan. Ha-ha-ha!"

   "Kami akan membayar mahal jika ada yang berani mengantar kami ke pulau Ular!" kata Ceng Ceng.

   Nelayan yang paling tua tadi berkata dengan nada mengandung rasa takut.

   "Aih, Nona, andaikan Nona membayar dengan sebukit emas, apa artinya bagiku kalau aku mati? Tak seorang pun dapat mendekati pulau itu dan pulang dengan selamat, apalagi sampai berkunjung ke sana!"

   "Hua-ha-ha!" Laki-laki tinggi besar tadi tertawa dan mendekati Ceng Ceng.

   "Nona manis, sungguh sayang kalau Nona yang masih muda dan begini cantik jelita, mati di sana. Lebih baik hidup dan bersenang-senang dengan aku!"

   Mendengar ini, Cun Giok melangkah hendak menghajar nelayan muda yang kurang ajar itu. Akan tetapi Ceng Ceng memegang lengannya dan memberi isyarat agar pemuda itu bersabar. Gadis itu lalu memandang kepada nelayan tua tadi dan berkata dengan lembut dan ramah.

   "Paman, maukah Paman menerangkan"" apa sih bahayanya pergi ke Pulau Ular? Harap Paman jelaskan agar kami yang belum mengenal pulau itu dapat mengerti."

   "Ah, agaknya Nona belum mendengar tentang pulau itu. Baru mendekat saja, perahu akan dapat pecah terdampar karena pulau itu dikelilingi batu-batu karang yang bersembunyi di bawah permukaan air, setiap saat siap untuk memecahkan perahu yang lewat di atasnya. Hanya orang Pulau Ular saja yang mampu mengemudikan perahu mencari permukaan air yang aman. Bahkan andaikata berhasil melewati batu-batu karang itu, di perairan antara batu-batu karang yang mengelilingi pulau itu, terdapat ratusan ekor ikan hiu yang amat ganas. Nah, hanya itu yang kudengar, namun kabarnya keadaan di pulau itu sendiri jauh lebih berbahaya daripada ancaman di air sekeliling pulau."

   "Sudahlah, Nona, daripada mencari mati di sana, mari kita bersenang-senang. Engkau berlayar dengan aku di perahuku, pasti senang. Akan tetapi kawanmu itu tidak boleh ikut. Hanya engkau sendiri dengan aku. Marilah!"

   Setelah berkata demikian, nelayan muda yang tinggi besar itu menangkap pergelangan tangan kiri Ceng Ceng dan ditariknya, akan tetapi gadis itu cepat mengelak dan melangkah mundur.

   Cun Giok melangkah maju dan Ceng Ceng memperingatkan.

   "Giok-ko, jangan terlalu keras terhadap orang kasar dan bodoh ini!"

   Cun Giok mengangguk dan menghadapi orang tinggi besar yang kasar itu.

   "Sobat, mulutmu mengeluarkan kata-kata tidak sopan. Hayo engkau minta maaf kepada Nona ini!"

   "Minta maaf? Ha-ha-ha, aku berkata benar. Nona manis ini lebih pantas menjadi isteriku karena aku masih belum menikah. Aku dapat melindunginya, tidak seperti engkau yang kecil lemah. Mari, Nona, mari bersenang-senang dan jangan pedulikan pemuda lemah seperti kelenci ini!"

   Tanpa mempedulikan Cun Giok, laki-laki itu menjulurkan lengannya yang panjang hendak menangkap lengan Ceng Ceng. Akan tetapi Cun Giok menghalanginya. Orang itu marah dan melayangkan tangan kanannya yang panjang dan besar ke arah muka Cun Giok. Akan tetapi Cun Giok mengelak dan berkata.

   "Mulutmu yang kurang ajar patut dihajar!" Tangan kirinya menyambar dan menampar.

   "Plakk!" Laki-laki tinggi besar itu mengaduh dan terhuyung ke belakang, meraba-raba mulutnya yang berdarah karena bibirnya pecah terkena tamparan Cun Giok. Dia menjadi marah sekali dan kini dia menerjang dan memukul dengan membabi-buta.

   "Tanganmu jahat, patut dihajar!" kata Cun Giok sambil menangkis dan terdengar suara tulang patah ketika lengan yang besar itu bertemu dengan lengan Cun Giok.

   "Aduhh......!" Kini nelayan muda yang kasar itu meringis dan mengaduh-aduh karena lengan kirinya terasa nyeri bukan main karena tulang lengan itu patah!

   Para nelayan terkejut dan kini baru mereka tahu bahwa pemuda yang tampak lemah itu ternyata lihai! Nelayan tua itu segera memberi hormat kepada Cun Giok.

   "Kongcu (Tuan Muda), maafkanlah keponakanku ini."

   "Tidak mengapa, Paman. Mudah-mudahan sedikit hajaran tadi membuat dia jera untuk bersikap kurang ajar terhadap seorang wanita. Sekarang kami minta petunjuk dari Paman, bagaimana caranya agar kami dapat berkunjung ke Pulau Ular?"

   Kakek itu menghela napas panjang.

   "Seperti saya katakan tadi, hal itu sulit sekali, bahkan tidak mungkin, Kongcu."

   "Paman, mengapa agaknya Paman takut? Bukankah di sana tinggal Ban-tok Kui-bo dan anak buahnya?"

   "Sssst...... jangan keras-keras, Nona. Menyebutkan namanya saja sudah amat berbahaya."

   "Kenapa? Apakah orang-orang Pulau Ular itu suka mengganggu para nelayan,"

   "Tidak, mereka tidak mengganggu, akan tetapi mereka juga tidak mau diganggu. Kami semua sudah mendapat peringatan bahwa tidak ada yang boleh ke pulau itu, bahkan memasuki wilayah perairannya pun dilarang. Pernah ada dahulu beberapa kali pencari ikan melanggar dan mereka semua mati secara mengerikan, menjadi santapan ikan-ikan hiu!"

   "Apakah sama sekali tidak ada seorang pun yang dapat mengantar kami ke pulau itu, Paman?" tanya Cun Giok.

   Kakek itu menggelengkan kepalanya, akan tetapi lalu berkata.

   "Pernah setahun yang lalu, ketika seorang nona penghuni pulau itu tidak dijemput dan terpaksa menyewa perahu, seorang nelayan di antara kami ada yang mengantarnya sampai ke pulau. Dialah yang tahu jalan masuk bagi perahu agar tidak menabrak batu karang."

   "Ah, di mana dia, Paman? Aku ingin menyewa perahunya!"

   Dengan bayaran besar, lima kali lebih besar dari pada kalau menyewa biasa, akhirnya seorang nelayan berusia sekitar empatpuluh tahun yang dipanggil Acong bersedia mengantarkan dengan perahunya. Akan tetapi Cun Giok dan Ceng Ceng harus nienjamin keselamatannya dan setelah tiba di tepi daratan pulau, nelayan itu akan meninggalkan mereka. Tanpa syarat ini, dia tidak mau walau dibayar berapa banyak pun.

   Setelah mendayung perahunya ke tengah lautan beberapa lamanya, Acong menunjuk ke depan sambil berkata lirih.

   "Itu Pulau Ular!"

   Cun Giok dan Ceng Ceng memandang. Benar saja, ada sebuah pulau di sana, pulau yang seolah dipenuhi hutan dan sama sekali tidak tampak seperti ular!

   

Naga Beracun Eps 18 Pedang Naga Hitam Eps 13 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 26

Cari Blog Ini