Ceritasilat Novel Online

Asmara Si Pedang Tumpul 5


Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 5




   Sudah sejak jatuhnya Kerajaan Mongol, Pangeran Yaluta atau yang kini dikenal sebagai Ya-kongcu itu, berusaha keras untuk merampas kembali tahta kerajaan yang telah terjatuh ke tangan orang-orang Han sendiri yang kini mendirikan Kerajaan Beng yang baru. Namun, usahanya mempergunakan kekerasan selalu gagal, selalu pasukannya dipukul hancur oleh pasukan Beng yang kuat. Oleh karena itu, selama beberapa tahun ini. Ya-kongcu mempergunakan siasat lain.

   Dia tidak lagi mempergunakan kekuatan pasukan untuk mencoba menyerang ke selatan, melainkan mempergunakan siasat halus. Dia mengirim para pembantunya yang lihai dan cerdik, menyebar banyak sekali mata-mata ke selatan. Bahkan orang-orangnya sudah beberapa kali berusaha untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan rahasia terhadap orang-orang penting dari pemerintah Kerajaan Beng, ada yang berhasil ada pula yang gagal. Kemudian dia memberi perintah baru kepada orang-orang yang merupakan jaringan mata-mata di Kerajaan Beng. Usaha kekerasan agar dihentikan, dan dia menggunakan siasat lain.

   Kedudukan bengcu dari dunia persilatan harus dikuasai oleh orang yang dapat mereka pengaruhi, dan persaingan di antara pangeran Kerajaan Beng harus dimanfaatkan untuk menimbulkan pertikaian di antara mereka dan memperlemah kedudukan Kerajaan Beng. Untuk tugas yang penting ini, Ya-kongcu bertekad untuk turun tangan sendiri, memimpin langsung di tempat lawan, yaitu di kota raja!

   0leh seorang ahli pengobatan di negerinya, dia telah membiarkan wajahnya diubah dengan pembedahan dan pengobatan sehingga bentuk mata, hidung dan mulutnya berubah. Tidak akan ada seorangpun di kota raja yang akan mengenal wajahnya sepagai wajah pangeran Mongol yang terkenal. Di kota raja sendiri dia sudah mempunyai wakil atau tangan kanan yang selama ini memimpin jaringan mata-mata, orang yang memegang kedudukan penting di Kerajaan Beng, yang sudah dapat dia pengaruhi dan dia manfaatkan tenaganya.

   Demi tercapainya cita-citanya itulah Ya-kongcu bersikap ramah terhadap Lili, setelah diketahui bahwa gadis itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, apalagi setelah mereka berkenalan dan dia tahu bahwa gadis itu adalah murid See-thian Coa-ong. Dia harus dapat merangkul orang-orang yang pandai, apalagi datuk-datuk yang selain lihai juga memiliki kekuasaan besar, mempunyai banyak pengikut. Kalau kelak bengcu menjadi sekutunya, dan dia dapat merangkul banyak perkumpulan besar, mempengaruhi pejabat-pejabat tinggi, kiranya cita-citanya bukan merupakan mimpi belaka.

   Ya-kongcu selalu menerima laporan dari kaki tangannya maka bekas pangeran ini mengetahui dengan baik segala peristiwa yang terjadi di Kota raja, bahkan dia mengenal nama mereka yang memiliki kedudukan penting, mana yang dianggap berbahaya bagi pergerakannya, dan pejabat mana yang kiranya dapat ditarik menjadi sekutu. Oleh karena itu, keterangannya tentang Bhok Cun Ki kepada Lili, bukanlah keterangan bohong.

   Bhok Cun Ki memang kini menjadi seorang jenderal yang dipercaya di kota raja. Sejak terjadinya perjuangan menumbangkan kekuasaan Mongol yang dipimpin oleh Chu Goan Ciang yang kemudian menjadi Kaisar Thai-cu, kaisar pertama Kerajaan Beng (1368-1398), Bhok Cun Ki sudah ikut dalam perjuangan sebagai seorang toKoh pemimpin yang gagah perkasa. Dia memang seorang pendekar, murid Butong-pai yang lihai sekali. Oleh karena itu, setelah perjuangan berhasil dan Chu Goan Ciang menjadi kaisar, maka pemimpin pejuang ini tidak melupakan rekan-rekannya.

   Selain dua orang panglima besar seperti Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti yang memperoleh kedudukan panglima pertama dan kedua, banyak tokoh pejuang yang menerima kedudukan sesuai dengan kecakapan dan kemampuan mereka. Di antaranya adalah Bhok Cun Ki yang diberi kedudukan jenderal dan merupakan seorang di antara para pembantu Jenderal Shu Ta.

   Sedikit saja kekeliruan keterangan yang diberikan Ya-kongcu kepada Lili, yaitu mengenai tempat tinggal Bhok-Goanswe (Jenderal Bhok). Dia dan keluarganya tidak tinggal di dalam benteng, melainkan di sebuah gedung yang cukup besar dan megah. Sebagai seorang Panglima, tentu saja rumahnya itu siang malam dijaga pengawal yang biarpun hanya belasan orang banyaknya, namun mereka merupakan perajurit-perajurit kepercayaan Jenderal Bhok dan merupakan orang-orang pilihan yang selain setia juga memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.

   Di dalam gedungnya, Bhok Cun Ki tinggal bersama keluarganya. Dia kini berusia empatpuluh lima tahun, dan dalam usia setengah tua ini dia masih nampak gagah perkasa, berwajah ganteng dengan kumis dan jenggot tipis, matanya lebar berwibawa, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan kelembutan hati walaupun dagunya milik orang yang keras dan teguh hati.

   Sebelum menjadi panglima dia sudah terkenal di dunia persilatan dengan julukan Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti) karena dengan ilmu pedang dari Butong-pai yang indah dan cepat, dia memang merupakan seorang ahli pedang yang sukar dicari bandingnya. Bhok Cun Ki telah menikah sebelum Kerajaan Mongol jatuh, dengan seorang wanita yang masih berdarah bangsawan karena isterinya itu puteri seorang pembesar bagian kebudayaan, seorang Han yang ketika terjadi perjuangan, juga berpihak kepada pejuang, meninggalkan kedudukannya dan meninggalkan kota raja bersama keluarganya.

   Bersama isterinya dia mempunyai dua orang anak, seorang pemuda yang kini sudah berusia duapuluh tahun dan seorang gadis yang kini berusia delapanbelas tahun. Pemuda itu bernama Bhok Ci Han, tampan dan tegap, pendiam dan gagah perkasa, sedangkan adiknya bernama Bhok Ci Hwa, cantik manis, lincah jenaka tidak seperti kakaknya yang pendiam. Kedua Kakak beradik ini sejak kecil sudah digembleng oleh ayahnya sendiri sehingga setelah kini mereka dewasa, keduanya selain memiliki ilmu sastera yang cukup baik, juga mereka mewarisi ilmu silat Butong-pai yang tangguh. Biarpun diluarnya mereka kelihatan seperti seorang kongcu (tuan muda) dan seorang siocia (nona) yang lemah lembut, pandai membaca kitab, pandai bersajak dan kesenian lain, namun sebenarnya mereka berdua adalah pendekar-pendekar Butong-pai yang lihai.

   Bhok Cun Ki tinggal bersama isteri dan dua orang anaknya di gedung yang selalu terjaga perajurit pengawal. Gardu penjagaan berada di dekat pintu gerbang, akan tetapi seringkali, terutama di waktu malam, serombongan pengawal melakukan perondaan mengelilingi gedung, bahkan ada pula yang memeriksa keamanan dari atap gedung.

   Pada suatu sore, Panglima Bhok menerima undangan yang bersifat panggilan dari atasannya, yaitu Jenderal Shu Ta yang menjadi panglima besar kepercayaan kaisar yang utama. Tentu saja Bhok Cun Ki merasa heran karena biasanya atasannya tidak akan memanggilnya di waktu hari telah sore. Kalau hal ini terjadi, berarti atasannya itu memiliki alasan yang kuat dan tentu ada urusan yang teramat penting sehingga Jenderal Shu Ta tidak segan-segan mengganggu waktunya beristirahat. Dia segera berangkat, naik kereta dan dikawal selusin orang perajurit pengawal, menuju ke perbentengan karena dia dipanggil menghadap ke sana.

   Setelah tiba di dalam benteng dan dipersilakan memasuki ruangan yang biasa dipergunakan untuk rapat, di situ telah menanti Jenderal Shu Ta dan pembantu utamanya, yaitu Jenderal Yauw Ti, dan beberapa orang panglima muda lain, juga seorang pemuda berpakaian sederhana, pakaian rakyat biasa. Kiranya atasannya mengadakan rapat yang lengkap dengan para panglima, pikir Bhok Cun Ki dan diapun memandang sejenak kepada pemuda tinggi tegap berkulit gelap itu.

   Jenderal Shu Ta berusia kurang lebih limapuluh tiga tahun, tubuhnya agak gemuk namun kokoh kuat, mukanya kemerahan dan sikapnya tegas berwibawa. Adapun wakil atau pembantu utamanya, Jenderal Yauw Ti, bertubuh tinggi besar dengan pinggang ramping, usianya sekitar limapuluh tahun akan tetapi dia masih nampak muda dan tegap.

   Selain menjadi pembantu utama panglima besar, Jenderal Yauw Ti ini juga menjadi penasihat kaisar di bagian kemiliteran dan karena dia terkenal pandai dalam ilmu silat dan ilmu perang, diapun dijadikan guru bagi para panglima muda dalam hal ilmu perang. Kedua orang jenderal ini sudah banyak jasanya di waktu perjuangan, maka mereka merupakan dua orang yang paling tinggi kedudukannya di bagian kemiliteran, walaupun Jenderal Yauw Ti lebih dipercaya dan lebih dekat dengan kaisar yang merupakan sahabat karibnya di waktu perjuangan dan mereka masih menjadi pemuda-pemuda dari kalangan rakyat kecil biasa.

   Sebaliknya, Jenderal Yauw Ti sejak muda sudah menjadi seorang perwira walaupun dahulu dia seorang perwira pasukan Mongol. Ketika terjadi pemberontakan rakyat, diapun meninggalkan pasukannya dan berpihak kepada rakyat, maka jasanya besar dan kini dia memperoleh kedudukan tinggi yang hanya kalah oleh Jenderal Shu Ta saja.

   Para panglima yang hadir, ada belasan orang banyaknya, merupakan orang-orang yang menduduki jabatan penting di bagian ketentaraan dan keamanan. Maka, tentu saja mengherankan hati Bhok Cun Ki melihat adanya seorang pemuda asing, bukan anggauta pasukan, apalagi panglima atau perwira, hadir pula di situ.

   "Bhok-ciangkun telah datang, kini lengkap sudah, kita boleh mulai bicara," kata Jenderal Shu Ta yang memimpin pertemuan itu.

   "Pertama-tama, kami perkenalkan kepada ciangkun (perwira tinggi) sekalian, saudara ini adalah murid yang mewakili locianpwe Ciu-sian (Dewa Arak) Tong Kui. Namanya adalah Sin Wan dan dia datang sebagai utusan dan wakil dari locianpwe Ciu-sian."

   Bhok Cun Ki mengamati pemuda yang berdiri dan memberi hormat ke sekeliling itu dengan hormat. Nampaknya tidak mengesankan namun dia dapat menduga bahwa murid Ciu-sian tentulah lihai, apalagi sudah menjadi wakil tokoh besar dunia persilatan itu. Dan kalau dalam sikap yang sopan dan pendiam itu tidak dapat dilihat kelihaiannya namun sinar matanya yang bersinar-sinar itu menunjukkan bahwa dia bukan pemuda sembarangan.

   "Maaf, Shu-goanswe (jenderal Shu), saya mengenal locianpwe Ciu-sian, akan tetapi bagaimana kita dapat yakin bahwa pemuda ini murid dan datang mewakilinya? Kita harus yakin benar akan hal ini, mengingat akan bahayanya kalau ada orang luar yang tidak berhak menyelundup," kata Bhok Cun Ki dan para rekannya mengangguk setuju.

   Jenderal Shu Ta tersenyum senang dan menoleh kepada Sin Wan setelah mempersilakan pemuda itu duduk kembali.

   "Nah, engkau dapat mendengar dan melihat sendiri, taihiap, betapa teliti dan berhati-hati para rekan panglima di sini. Tentu engkau maklum betapa besar bahayanya kalau sampai ada mata-mata musuh datang menyusup. Rahasia kami akan diketahui musuh dan hal itu amat berbahaya. Karena itu, maafkan sikap mereka kalau meragukan keaselianmu sebagai murid dan wakil locianpwe Ciu-sian."

   Sin Wan mengangguk.

   "Tidak ada yang perlu dimaafkan, bahkan saya merasa kagum sekali. Nah, sebaliknya kalau cu-wi ciangkun (para panglima sekalian) memeriksa tanda kuasa yang diberikan suhu kepada saya ini, dan juga surat keterangan yang ditulis suhu seperti yang tadi telah saya perlihatkan kepada Shu-goanswe."

   Sin Wan mengeluarkan sehelai leng-ki, yaitu sebuah bendera kecil sebagai tanda bahwa pemegangnya adalah utusan kaisar yang akan menerima sambutan penghormatan dan bantuan dari setiap orang pejabat, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi kedudukannya. Kaisar telah memanggil Ciu-sian dan kaisar sendiri yang menyerahkan sehelai leng-ki kepada Ciu-sian dan memberi tugas kepada Dewa Arak itu untuk membantu pemerintah, melakukan penyelidikan dan menentang jaringan mata-mata Mongol yang berbahaya bagi keamanan negara. Di samping leng-ki itu, juga Sin Wan mengeluarKan segulung surat tulisan, Dewa Arak yang menerangkan bahwa karena dia sudah terlalu tua, maka dia menyerahkan tugas dari kaisar kepada muridnya bernama Sin Wan yang akan bertindaK mewakilinya dalam segala hal, dan bahwa sepak terjang Sin Wan dialah yang bertanggung jawab.

   Membaca surat keterangan itu dan leng-ki, belasan orang panglima itu segera memberi hormat secara militer, berdiri tegak, lalu berlutut sebelah kaki. Bendera kecil (leng-ki) adalah tanda kuasa dari kaisar yang diberikan kepada seorang utusan, maka bukan utusan itu yang dihormati, melainkan leng-ki yang merupakan lambang kehadiran kaisar.

   "Hari ini Sin Wan taihiap (pendekar besar) datang berkunjung, dengan maksud untuk minta keterangan dan penjelasan tentang jaringan mata-mata musuh seperti yang kita ketahui, agar dia dapat memulai dengan penyelidikannya. Karena melihat pentingnya tugas yang dilakukannya, dan kita semua mengharapkan bantuannya, maka kami mengundang cu-wi (anda sekalian) untuk membicarakan urusan ini."

   "Nanti dulu, tai-ciangkun," kata Jenderal Yauw Ti.

   "Kita semua sejak dulu telah bekerja untuk menentang musuh, dan kita selalu menyelidiki jaringan mata-mata Mongol. Akan tetapi, kita tidak pernah menemukan jaringan mata-mata itu, kecuali ditangkapnya beberapa orang yang kita curigai. Itupun tidak ada hasilnya karena tidak ada yang mengaku, dan mungkin mereka itu hanya terkena fitnah belaka. Kita, dengan kekuatan pasukan kita, dapat menanggulangi segala ancaman musuh. Lalu apa artinya Saudara Sin Wan yang hanya seorang diri ini untuk menghadapi jaringan mata-mata, kalau memang ada?"

   Mendengar ini, beberapa orang panglima mengangguk menyetujui. Bagaimanapun juga, mereka merasa diremehkan. Mereka adalah panglima-panglima yang memimpin pasukan dan selama ini mereka berhasil menghalau semua musuh Kerajaan Beng. Kalau sekarang ada seorang pemuda yang hendak bertugas menyelidiki jaringan mata-mata, bukankah hal itu sama saja dengan meremehkan kekuatan dan kemampuan mereka? Apa sih artinya seorang pemuda saja, betapapun pandainya?

   Jenderal Shu Ta yang dahulunya juga seorang rakyat biasa, namun sudah sejak muda berkecimpung di dunia kangouw, mengerutkan alisnya.

   "Harap cu-wi tidak berpendapat sepicik itu. Cu-wi agaknya lupa bahwa orang-orang dunia persilatan seperti locianpwe Ciu-sian atau muridnya ini, dapat bergerak lebih bebas dari pada kita. Mereka akan dapat menghubungi orang-orang kangouw dan mereka dapat melakukan penyelidikan tanpa diketahui pihak lawan. Kita sudah dikenal, dan kalau kita bergerak, tentu musuh sudah mengetahuinya. Kalau musuh yang datang itu pasukan yang menyerang dengan berterang, tentu saja kita dengan pasukan kita yang maju, bukan perorangan seperti taihiap ini. Akan tetapi pihak lawan bergerak dengan sembunyi, maka kitapun harus mempercayakan kepada para pendekar seperti taihiap ini. Lupakah cu-wi ketika benda-benda pusaka milik Sribaginda dicuri orang? Kita sudah mengerahkan pasukan untuk mencari, hasilnya sia-sia belaka. Kemudian, setelah Sribaginda mengutus Sam-sian untuk mencarinya, maka para locianpwe itu berhasil membawa kembali benda-benda pusaka. Nah, apa yang dapat cu-wi katakan lagi?"

   Jenderal Yauw Ti mengangguk-angguk.

   "Kini kami mengerti dan kami menanti perintah ciangkun," katanya mengalah.

   Jenderal Shu Ta lalu menceritakan keadaan keamanan pada waktu itu, terutama sekali kepada Sin Wan, dan juga berita baru tentang perubahan gerakan orang-orang Mongol.

   "Kami menerima laporan dari para komandan pasukan, juga dari Raja Muda Yung Lo bahwa kini orang-orang Mongol mengundurkan diri, tidak lagi melakukan tekanan di perbatasan. Belum diketahui dengan pasti sebab-sebabnya mengapa mereka tiba-tiba saja mengendurkan tekanan dan jarang ada serangan terhadap para penjaga di perbatasan. Hal ini hanya ada dua kemungkinan. Pertama, mereka sengaja mundur untuk membuat kita lengah, sementara mereka memperkuat kedudukan dan memperbesar pasukan. Kemungkinan kedua, mereka melihat bahwa penyerangan mereka untuk menembus perbatasan selalu gagal dan tidak mungkin dilanjutkan, maka mereka mungkin akan menyerang dari jurusan lain, bisa dari barat dan mungkin juga membonceng keadaan yang dibikin kacau oleh para bajak, menyerang dari timur menggunakan perahu, walaupun kemungkinan ini kecil sekali. Betapapun juga, kita harus memperkuat penjagaan di barat, dan mengamati dengan ketat pantai timur." Jenderal Shu Ta berhenti sebentar dan memandang kepada semua pembantunya.

   "Bagaimana pendapat cuwi?"

   "Ciangkun, saya melihat kemungkinan lain," tiba-tiba Bhok Cun Ki berkata.

   Semua orang memandang kepada panglima yang tampan dan gagah itu.

   "Bhok-ciangkun, katakan apa pendapatmu."

   "Berulang-kali orang-orang Mongol kita pukul mundur. Bahkan sejak Shu-goanswe memimpin pasukan besar ke utara belasan tahun yang lalu, kita menyeberangi gurun Gobi, kita menggempur dan membakar kota lama Karakorum dari bangsa Mongol, bahkan terus ke utara sampai ke Pegunungan Yablonoi dan menghancurkan setiap pasukan Mongol. Sejak itu boleh dibilang kekuatan pasukan Mongol sudah hancur dan agaknya tidak mungkin bagi mereka untuk bangkit kembali. Kalau kini mereka menghentikan penyerangan, hal itu wajar saja dan ada kemungkinan yang cukup membahayakan kita, yaitu bahwa mungkin mereka akan mengganti siasat, tidak menyerang dengan kekerasan lagi."

   "Tidak menyerang dengan kekerasan? Kalau begitu, kenapa kaukatakan berbahaya, Bhok-ciangkun?" tanya Jenderal Shu Ta. Memang dahulu, ketika dia memimpin pasukan besar mengejar bangsa Mongol sampai jauh ke utara, Bhok Cun Ki merupakan seorang di antara pembantunya yang gagah perkasa dan berjasa besar.

   "MUNGKIN mereka akan menggunakan siasat halus, antara lain penyebaran mata-mata yang lebih tekun, memasang jaringan mata-mata untuk mendatangkan kekacauan di kota raja dan kota-kata besar lainnya. Mungkin mereka akan merangkul dan mempengaruhi para pejabat yang memang tidak suka kepada Kerajaan Beng, atau mereka itu bersekutu dengan para pengkhianat, memanfaatkan perkumpulan-perkumpulan golongan sesat untuk membuat kekacauan agar kehidupan rakyat menjadi tidak aman. Bisa saja mereka melakukan usaha pembunuhan terhadap tokoh-tokoh penting pemerintahan kita."

   Suasana menjadi hening setelah Bhok Cun Ki bicara karena semua orang tenggelam dalam lamunan masing-masing, membayangkan kemungkinan itu dengan hati merasa ngeri. Bagi orang-orang yang biasa menghadapi pertempuran ini, mereka merasa ngeri menghadapi musuh yang dilakukan secara sembunyi. Melakukan kekacauan dengan cara apa saja, cara yang bagi mereka amatlah hina dan curang, dan mereka tidak biasa menghadapi cara-cara seperti itu.

   "Benar apa yang diucapkan Bhok-ciangkun," kata Jenderal Shu Ta.

   "Oleh karena itulah maka usaha menanggulangi jaringan mata-mata ini perlu digalakkan, dan lebih-lebih kita amat membutuhkan bantuan para pendekar. Dalam hal inilah tenaga para pendekar seperti Sin Wan taihiap ini amat kita butuhkan. Nah, siapa lagi yang mempunyai pendapat yang kiranya berguna bagi kita untuk kita bicarakan?"

   Seorang panglima yang bertubuh tinggi kurus berkata dengan suaranya yang lantang dan mantap.

   "Shu-goanswe, saya tadi teringat akan keterangan Bhok-ciangkun bahwa mungkin sekali pihak musuh akan mendekati dan memanfaatkan perkumpulan golongan sesat. Saya setuju sekali, dan saya teringat bahwa beberapa bulan lagi akan diadakan pemilihan bengcu di dunia persilatan. Kalau sampai kedudukan bengcu itu berada di tangan seorang datuk sesat, kemudian bengcu itu dapat dipengaruhi oleh orang Mongol dan dijadikan sekutu, maka hal itu akan berbahaya sekali. Maka, sebaiknya kalau kita memperhatikan pemilihan bengcu itu."

   "Benar sekali!" kata Jenderal Shu Ta.

   "Memang hal itu kami bicarakan dengan Sin Wan taihiap ketika dia datang kepada kami, bahkan kami sudah merencanakan pembagian tugas dan sebaiknya kalau Sin Wan taihiap yang bertugas untuk mengamati pemilihan bengcu itu dan sedapat mungkin mencegah agar kedudukan bengcu jangan sampai terjatuh ke tangan orang sesat. Dalam hal ini, kami menunjuk Bhok-ciangkun untuk bekerja sama dengan Sin Wan taihiap, mengingat bahwa Bhok-ciangkun mempunyai hubungan yang luas dengan para tokoh dunia kang-ouw."

   Semua panglima setuju dan Bhok Cun Ki mengangguk-angguk. Memang sebaiknya begitu, pikirnya. Dia belum tahu sampai di mana kemampuan pemuda itu. Akan berbahayalah kalau tugas sepenting itu diserahkan kepada pemuda itu seorang. Kalau bekerja sama dengan dia, maka dia akan dapat menguji pemuda itu, dan dia sendiri yang akan turun tangan kalau dalam pemilihan itu pihak golongan sesat akan menguasainya.

   "Maaf, Shu tai-ciangkun!" kata Jenderal Yauw Ti.

   "Kami mempunyai pendapat yang penting, akan tetapi agar dimaafkan kalau menyinggung, karena pendapat ini hanya terdorong oleh keinginan menjaga keamanan bagi pihak kita sendiri."

   "Bicaralah, Yauw-ciangkun," kata Jenderal Shu Ta. Semua orang memandang kepada Jenderal yang bertubuh tinggi besar dan ramping itu.

   "Sekali lagi saya minta maaf kalau pendapat saya ini menyinggung, terutama kepada taihiap Sin Wan. Memang taihiap ini telah membawa leng-ki dan surat kuasa dari locianpwe Ciu-sian, akan tetapi terus terang saja, kita sama sekali belum pernah mengenalnya. Dan kalau mata saya yang tua ini belum berkurang kemampuannya, saya lihat bahwa taihiap ini seperti bukan orang Han! Dan siapakah keturunannya? Kenapa namanya Sin Wan begitu saja tanpa nama keluarga?"

   Semua orang terdiam dan kini mereka memandang kepada Sin Wan, diam-diam mereka terkejut akan keberanian Jenderal Yauw Ti, karena bagaimanapun juga, ucapannya itu amat menyinggung dan jelas membayangkan ketidak kepercayaannya. Pada hal pemuda itu membawa surat kuasa Ciu-sian dan bahkan membawa leng-ki dari kaisar.

   Juga jenderal Shu Ta terkejut, dan kini dia memandang kepada Sin Wan. Memang sebetulnya, dalam hati kecilnya juga ada pertanyaan ini, akan tetapi dia tidak berani mengeluarkannya karena dia melihat leng-ki dan surat Ciu-sian. Kini, ada yang berani menanyakan, hal itu sungguh baik sekali dan dia mengharapkan jawaban sejujurnya dari Sin Wan.

   Akan tetapi, kekhawatiran para panglima itu sia-sia saja. Pemuda itu sama sekali tidak nampak tersinggung. Memang Sin Wan tidak merasa tersinggung, dan diapun hanya tersenyum. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan orang-orang peperangan yang wataknya terbuka, keras dan jujur. Kalau pertanyaan tadi diajukan oleh Jenderal Yauw Ti, jelas bahwa pertanyaan itu keluar dari hati yang jujur dan sama sekali tidak berniat menyinggung atau menghina. Dan memang dia tidak malu untuk mengakui keadaannya.

   Dia menyapu wajah para panglima itu dengan pandang matanya. Dia melihat wajah-wajah yang gagah, sinar mata yang tajam berwibawa dan membayangkan kekerasan dan ketegasan.

   "Saya tidak merasa tersinggung sedikitpun, karena pertanyaan itu memang sudah sewajarnya. Memang sebaiknya kalau cu-wi (anda sekalian) mengenal siapa sesungguhnya saya. Nama saya Sin Wan, tanpa nama keluarga dan saya memang bukan orang Han. Ayah dan ibu saya telah meninggal dunia dan mereka berdua adalah orang-orang yang bersuku bangsa Uighur. Akan tetapi sejak kecil saya terdidik sebagai orang Han, dan menjadi murid ketiga suhu Sam-sian, maka saya merasa diri saya tidak berbeda dengan orang-orang Han yang merupakan pribumi aseli."

   "Suku bangsa Uighur?" Terdengar Jenderal Yauw Ti berseru dan matanya terbuka lebar, lalu alisnya berkerut dan matanya mengamati wajah Sin Wan dengan penuh selidik.

   "Akan tetapi banyak orang Uighur yang berpihak kepada Mongol!!"

   Suasana menjadi hening dan banyak mata memandang kepada Sin Wan penuh selidik. Suasana yang tegang itu dipecahkan oleh suara tawa Jenderal Shu Ta.

   "Ha..ha..ha, tidak ada jeleknya kalau Yauw-ciangkun bersikap hati-hati. Akan tetapi ketahuilah bahwa kita sama sekali tidak curiga kepada taihiap ini. Tidak semua orang Uighur berpihak kepada Mongol, dan selain taihiap ini murid Sam-sian, sudah dipercaya oleh locianpwe Ciu-sian yang memberikan leng-ki kepadanya dan mengangkatnya sebagai wakilnya melaksanakan perintah Sribaginda, juga taihiap Sin Wan ini pernah bersama Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki diundang sebagai tamu oleh Pangeran Yen atau Raja Muda Yung Lo, dan dijamu oleh beliau. Bukan itu saja, bahkan taihiap ini akan diangkat menjadi panglima oleh beliau akan tetapi taihiap Sin Wan menolaknya."

   "Ehh? Kenapa menolak anugerah pangkat panglima yang akan diberikan Pangeran Yen?" tanya Jenderal Yauw penasaran.

   Sin Wan tersenyum. Tentu saja dia tidak dapat mengatakan bahwa dia tidak menerima kedudukan itu karena di sana ada Lim Kui Siang, sumoinya yang dari cinta berbalik benci kepadanya.

   "Saya tidak dapat menerima anugerah itu karena terus terang saja, saya tidak betah tinggal di utara yang dingin. Saya lebih senang tinggal di selatan."

   Alasan ini memang masuk diakal. Bagi orang yang biasa hidup di selatan, tinggal di utara memang tidak menyenangkan. Apalagi kalau tiba musim salju, dinginnya bukan main.

   "Nah, sekarang kita kembali kepada pembagian tugas. Bhok-ciangkun kami tugaskan untuk menjaga agar kedudukan bengcu tidak sampai terjatuh ke tangan datuk sesat yang dapat dimanfaatkan oleh orang Mongol, sedangkan taihiap Sin Wan membantunya dalam pelaksanaan tugas itu. Sementara itu, engkaupun dapat melakukan penyelidikan di kota raja, taihiap, sebelum waktu pemilihan bengcu tiba. Dan untuk ini, engkau boleh bekerja sama dengan Bhok-ciangkun, dan tentu akan kami bantu kalau sewaktu-waktu membutuhkan."

   "Terima kasih, mudah-mudahan saya dapat melaksanakan tugas dengan baik. Saya kira keadaan akan menjadi baik kalau Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki yang kelak menjadi bengcu. Dia seorang datuk besar yang tentu akan membawa semua orang kang-ouw mendukung pemerintah. Kalau dunia kang-ouw sudah bersikap demikian, menentang para pemberontak, maka tugas pemerintah akan lebih ringan. Menurut suhu Ciu-sian, yang paling berbahaya datang dari utara, dari orang-orang Mongol. Selain mereka mempunyai banyak orang pandai, juga mengenal baik seluruh keadaan di semua kota, juga di kota raja, terutama sekali mereka itu tentu berusaha mati-matian untuk dapat mendirikan kembali kerajaan mereka yang telah hancur, atau setidaknya akan berusaha membikin kacau.

   Jenderal Shu Ta mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya yang pendek dan rapi.

   "Engkau benar, taihiap. Orang-orang Mongol itu agaknya sudah maklum bahwa mereka tidak mungkin membangun kembali kerajaan mereka melalui kekerasan, karena setiap kali bergerak, pasukan mereka dapat kita hancurkan. Mereka tentu akan mempergunakan siasat busuk, oleh karena itu, senang dan legalah hati kami kalau kini Bhok-ciangkun dapat memperoleh bantuanmu. Kami yakin bahwa kalian berdua akan mampu menghancurkan setiap usaha jaringan mata-mata yang berbahaya, dimulai dari pemilihan Bengcu. Nah, kami semua mengharapkan kalian akan dapat melaksanakan tugas dengan baik, Bhok-ciangkun dan Sin Wan taihiap!" Jenderal itu mengangkat cawan arak yang disambut dengan gembira oleh Sin Wan dan Bhok Cun Ki. Juga Jenderal Yauw Ti mengucapkan selamat dan menyampaikan harapan baiknya dengan secawan arak.

   Setelah pertemuan rahasia antara para panglima itu dibubarkan, panglima Bhok Cun Ki segera mengajak Sin Wan bersamanya. Karena pemuda itu sudah ditunjuk sebagai pembantunya, bekerja sama dengan dia, maka tentu saja mulai saat itu pendekar muda itu harus selalu dekat dengannya dan dia mengusulkan agar Sin Wan tinggal saja di rumahnya sehingga mereka dapat bekerja sama lebih baik. Sin Wan rnenerima tawaran ini dan diapun segera mengikuti Bhok Cun Ki ketika panglima itu mengajaknya pulang untuk membuat persiapan dan perundingan lebih lanjut mengenai tugas mereka berdua.

   Dua orang muda itu sedang berlatih silat, saling serang dengan gerakan cepat dan kuat. Dari gerakan tangan mereka terdengar angin menyambar-nyambar, tanda bahwa mereka bukanlah ahli-ahli silat biasa, melainkan sudah memiliki tingkat kepandaian yang hebat. Sambaran angin yang mengiuk-ngiuk itu saja membuktikan bahwa mereka berdua telah memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang kuat.

   Mereka adalah seorang pemuda berusia duapuluh tahun dan seorang gadis berusia delapanbelas tahun. Mereka kakak beradik, putera dan puteri Bhok Cun Ki. Pemuda itu, anak pertama, bernama Bhok Ci Han, bertubuh sedang tegap dan wajahnya tampan dan gagah seperti ayahnya. Gadis itu adiknya bernama Bhok Ci Hwa, cantik jelita, lincah jenaka, bertubuh ramping. Sebagai putera puteri panglima Bhok, tentu saja sejak kecil mereka digembleng ayah mereka sendiri sehingga kini mereka telah menjadi dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi.

   Biasanya, kalau mereka berlatih silat di sore hari, ayahnya selalu mengamati latihan mereka. Akan tetapi sore ini mereka berdua berlatih tanpa pengamatan ayahnya, bermain silat di kebun mereka yang luas, di dalam lingkungan pagar tembok yang tinggi. Sore ini ayah mereka menerima panggilan dari atasannya, yaitu Jenderal Shu Ta, maka dua orang kakak beradik itu berlatih berdua saja. Ayah mereka, Bhok Cun Ki adalah seorang pendekar Butong-pai dan pernah membuat nama besar di dunia kang-ouw sampai dia menjabat pangkat panglima setelah kerajaan Beng menggantikan kerajaan Mongol. Ibu mereka adalah seorang wanita cantik berdarah bangsawan yang lemah lembut dan ahli seni dan sastra, tentu saja sama sekali tidak pandai silat. Dari ibu mereka, dua orang muda inipun mewarisi kelembutan dan kepandaian dalam hal seni dan sastra.

   Ketika mereka berdua sedang berlatih dan gerakan mereka semakin cepat sehingga mata biasa akan sukar mengikuti gerakan mereka bahkan tubuh mereka hanya kelihatan seperti dua sosok bayangan yang berkelebatan, tiba-tiba muncul seorang perajurit yang biasa berjaga di pintu gerbang depan.

   "Kongcu (tuan muda) dan Siocia (nona muda), harap berhenti dulu!" teriak perajurit itu.

   Kakak beradik itu menghentikan latihan mereka. Dengan leher dan muka berkeringat mereka memandang kepada perajurit itu. Bhok Ci Hwa menghapus keringat di lehernya dengan sehelai kain handuk, dan mengomel.

   "Ada apa sih? Engkau mengganggu latihan kami!"

   Perajurit itu memberi hormat.

   "Maafkan saya. Akan tetapi di luar terdapat seorang tamu yang bersikeras ingin bertemu dengan Bhok-ciangkun. Ketika saya beritahu bahwa ciangkun tidak berada di rumah, ia berkeras mengatakan hendak bertemu dengan keluarganya."

   "Berkeras? Hemm, kenapa tidak kaukatakan saja bahwa ia boleh kembali lagi kalau ayah sudah pulang?" tegur Bhok Ci Han yang juga merasa tidak senang dengan gangguan itu.

   "Maaf, kongcu. Saya dan kawan-kawan sudah mengatakan demikian, akan tetapi ia berkeras hendak bertemu dengan Bhok-ciangkun atau dengan keluarganya."
"Siapa sih orang itu? Dan apa keperluannya? Ci Hwa menjadi tertarik.

   "Ia seorang gadis yang cantik dan galak, Siocia. Dan ketika kami bertanya tentang keperluannya, ia mengatakan bahwa ia membawa berita yang teramat penting bagi Bhok-ciangkun atau keluarganya."

   "Apakah ia tidak memberitahu siapa namanya dan dari mana ia datang?" tanya Ci Han.

   "Kami sudah tanyakan, akan tetapi ia tidak mau mengaku....."

   "Namaku Lili!"

   Ci Han dan Ci Hwa, juga perajurit itu terkejut. Mereka memutar tubuh dan di situ telah berdiri seorang gadis yang cantik manis telah berdiri di situ, matanya mencorong tajam dan bibirnya yang manis itu tersenyum sinis.

   "Itu..... itu ia orangnya, kongcu........." kata perajurit itu, lalu melangkah maju dengan sikap galak.

   "Heii, nona. Kenapa engkau lancang masuk ke sini tanpa ijin? Bukankah tadi sudah ku suruh menanti di luar sementara aku melapor kedalam?" Perajurit itu mengambil sikap hendak menyerang, dan Lili hanya berdiri santai sambil tersenyum mengejek.

   Bhok Ci Han menyentuh lengan perajurit itu dan berkata,

   "Keluarlah, biar kami bicara dengan nona ini!"

   Perajurit itu memberi hormat, lalu keluar dari dalam taman itu dengan langkah lebar dan bersungut-sungut. Agaknya dia masih penasaran bagaimana tamu itu tahu-tahu sudah berada di taman. Bukankah di luar masih ada lima orang kawannya? Bagaimana mereka membiarkan gadis lancang itu masuk begitu saja? Dia akan menegur lima orang kawan itu. Akan tetapi ketika dia tiba di gardu penjagaan pintu gerbang depan, dia disambut oleh lima orang kawannya yang babak belur dan matang biru karena dihajar oleh gadis tamu itu ketika mereka berlima hendak menghalanginya memasuki pekarangan!

   Sementara itu, Lili sudah berdiri saling pandang dengan dua putera dan puteri Bhok Cun Ki. Melihat kakak beradik itu mengenakan pakaian ringkas dan mereka berkeringat karena habis latihan, dan di situ terdapat sebuah rak senjata yang lengkap dengan bermacam senjata, Lili tersenyum. lapun teringat akan pesan gurunya agar ia berhati-hati melawan Bhok Cun Ki karena pendekar Butong-pai itu lihai sekali. Subonya sendiri diwaktu mudanya kalah oleh Bhok Cun Ki, membuktikan bahwa pendekar itu memang lihai. Kalau ayahnya lihai, tentu anak-anaknya juga berkepandaian tinggi.

   "Apakah kalian ini anak-anak dari Bhok Cun Ki?" tanya Lili dengan sikap sambil lalu, seolah pertanyaan itu tidak penting baginya.

   "Benar, panglima Bhok Cun Ki adalah ayah kami. Ada keperluan apakah nona mencari ayah kami?" tanya Ci Han, sedangkan Ci Hwa memandang dengan alis berkerut. Gadis yang berdiri di depannya memang cantik manis, senyum sinis yang dihias lesung pipinya itu amat elok, juga cuping hidung yang agak kembang kempis itu nampak lucu, akan tetapi pandang mata itu dingin dan galak bukan main. Walaupun suara gadis itu lembut berbisik, namun mengandung ejekan, dan terutama pandang mata dan senyum itu jelas memandang rendah orang lain.

   "Kalau kalian ini anak-anaknya, kalian boleh mengetahui bahwa aku datang mencari Bhok Cun Ki untuk membunuhnya."

   Pemuda dan gadis itu terbelalak dan muka mereka berubah merah. Ci Hwa tidak dapat menahan kemarahannya lagi.

   "Keparat busuk yang sombong! Sebelum engkau bertemu dengan ayah, engkau akan lebih dulu kuhajar!" Sambil berteriak nyaring gadis ini sudah menerjang Lili dengan pukulan dahsyat ke arah muka gadis yang mengancam hendak membunuh ayahnya itu.

   "Bagus!" kata Lili sambil mengelak dan meloncat ke belakang.

   "Dari kepandaian kalian aku dapat mengukur sampai di mana kelihatan ayah kalian."

   Ci Hwa tidak perduli lagi. Begitu pukulannya luput, ia sudah melanjutkan dengan serangan bertubi yang ganas. Namun, Lili beberapa kali mengelak dan ketika ia menyambut sebuah tamparan dengan lengan kirinya, dua buah lengan yang sama-sama mungil berkulit halus bertemu dengan kuatnya.

   "Dukk!" Tubuh Ci Hwa terhuyung. Hal ini bukan saja mengejutkan Ci Hwa, akan tetapi juga membuat Ci Han khawatir sekali akan keselamatan adiknya, maka diapun meloncat dan melindungi adiknya dengan sebuah dorongan tangan ke arah pundak Lili.

   "Plakk!" Lili menangkis dengan lengan melingkar, dan kini Ci Han yang hampir terpelanting! Tentu saja dia terkejut dan tahu bahwa gadis manis itu tidak membual atau menyombong ketika mengeluarkan ucapan mengancam ayahnya, karena memang ia lihai bukan main. Dia dan adiknya lalu mengeroyok Lili dan terjadilah perkelahian yang seru. Namun segera ternyata bahwa Lili memang memiliki tingkat kepandaian silat yang lebih tinggi dari pada kakak beradik itu.

   Setelah lewat tigapuluh jurus, mulailah Lili mendesak mereka dengan ilmu silatnya yang aneh. Tubuhnya begitu lentur dan berlenggang-lenggok seperti tubuh seekor ular saja. Memang ilmu silatnya adalah ilmu silat yang dasarnya meniru gerakan seekor ular. Bukan hanya tubuh yang meliuk-liuk seperti tubuh ular, juga kedua lengannya ketika menangkis dan menyerang seolah gerakan dua ekor ular yang gesit kuat dan cepat sekali.

   Lili hanya dipesan subonya untuk membunuh Bhok Cun Ki. Oleh karena itu, ketika menghadapi dua orang putera dan puteri musuh besar subonya itu, ia sama sekali tidak mempunyai niat untuk mencelakai atau membunuh mereka. Karena itulah maka Lili tidak mengerahkan tenaga yang mengandung racun. Bahkan ketika ia memperoleh kesempatan, ia hanya merobohkan Ci Hwa dengan totokan dengan ujung kaki pada belakang lutut Ci Hwa dilanjutkan dorongan kakinya membuat Ci Hwa terjengkang, dan ketika Ci Han memukul ke arah dadanya, ia mengelak, tangan kirinya menangkap dan lengannya, seperti seekor ular, telah membelit lengan pemuda itu! Ci Han terkejut, dan kesempatan ini dipergunakan Lili untuk membantingnya ke samping dan pemuda itupun terpelanting.

   Ci Hwa yang merasa penasaran sudah meloncat ke arah rak senjata untuk mengambil pedangnya yang tadi ia taruh di situ ketika latihan, diikuti kakaknya. Akan tetapi ketika ia menyambar pedangnya, lengannya dipegang oleh Ci Han. Ia menengok dan kakaknya menggeleng kepala sambil memandang kepadanya.

   "Jangan, moi-moi (adik), tidak perlu kita menggunakan senjata."

   Melihat itu, Lili tertawa walaupun di dalam hatinya, ia merasa suka kepada kakak beradik itu. Tadi, kakak beradik itu melawannya berdua tanpa menimbulkan keributan, ini saja menunjukkan bahwa mereka memang memiliki wajah yang gagah. Kalau tidak demikian, apa sukarnya bagi mereka untuk berteriak atau memberi tanda agar para pasukan pengawal datang mengeroyoknya? Dan sekarang, si kakak itu melarang adiknya menggunakan senjata, inipun merupakan bukti bahwa mereka, biarpun putera dan puteri seorang panglima, namun agaknya tidak biasa membonceng kedudukan ayah untuk bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain.

   "Kakakmu itu benar, tidak perlu kita menggunakan senjata, sudah cukup bagiku menguji kepandaian kalian. Aku tidak bermaksud membunuh kalian atau siapa saja, kecuali Bhok Cun Ki!"

   "Kalau engkau tidak bermaksud mengganggu keluarga ayah kami, kenapa tadi engkau mencari keluarga ayah?" Ci Han bertanya sedangkan Ci Hwa memandang dengan mata melotot marah.

   "Ketika penjaga di luar mengatakan bahwa Bhok Cun Ki tidak ada, aku tidak percaya dan aku ingin bertemu dengan keluarganya, hanya untuk bertanya di mana adanya Bhok Cun Ki. Aku tadipun tidak bermaksud untuk mengajak kalian berkelahi."

   "Ayah memang tidak berada di rumah."

   "Ke mana dia pergi?" Sepasang mata yang amat tajam itu seperti hendak menembus dan menjeguk isi hati Ci Han melalui matanya.

   "Kami tidak tahu benar. Ayah kami sedang melaksanakan tugas dan hal itu tidak dapat dibicarakan dengan siapapun juga."

   "Hemm, aku percaya padamu. Sinar mata dan suaramu tidak membohong. Akan tetapi, kapan dia pulang?" tanya pula Lili.

   "Itupun kami tidak tahu dengan pasti. Mungkin malam nanti, mungkin juga besok pagi. Akan tetapi, kenapa engkau hendak membunuh ayah kami? Siapakah engkau dan dari mana engkau datang?"

   Lili tersenyum.

   "Tidak perlu kujelaskan, akan tetapi kalau ayah kalian pulang, katakan saja kepadanya bahwa aku menantangnya untuk mengadu nyawa pada besok sore di puncak bukit Bambu Naga. Katakan saja bahwa aku membawa benda ini untuk memcabut nyawanya!" Berkata demikian, tangan kanannya bergerak, nampak sinar putih berkelebat dan tahu-tahu ia sudah memegang sebatang pedang yang bentuknya seperti seekor ular putih. Hanya sebentar saja kakak beradik itu melihat pedang itu, karena dengan gerakan secepat kilat, pedang itu telah kembali masuk ke dalam sarungnya dan Lili meninggalkan tempat itu dengan melompat dan tubuhnya lenyap menjadi bayangan berkelebat.

   Kakak beradik itu saling pandang dan merasa kagum, juga khawatir sekali. Gadis tadi harus mereka akui amat lihai. Walaupun mereka yakin bahwa ayahnya juga amat lihai, namun mereka tetap khawatir karena selain gadis itu akan merupakan lawan tangguh ayahnya, juga mereka mengenal watak ayah mereka. Biarpun dia sudah menjadi seorang panglima, namun tetap saja ayah mereka itu berwatak pendekar. Sebagai seorang laki-laki jantan, apalagi yang berkedudukan tinggi di dunia persilatan, bagaimana ayahnya akan suka melawan seorang gadis muda yang menantangnya?

   Dengan hati merasa penasaran, kakak beradik itu lalu pergi ke luar untuk menegur para penjaga mengapa mereka membolehkan gadis tadi masuk dan di tempat itu baru mereka mengerti betapa gadis itupun telah menghajar lima orang yang bertugas jaga di luar ketika mereka hendak mencegah ia memasuki pekarangan!

   
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalian berenam tidak perlu bicara kepada siapapun mengenai kunjungan gadis tadi, biar kami yang akan melapor kepada ayah. Awas, kalau ada di antara kalian yang membocorkan berita tentang peristiwa tadi, kalian akan dihukum berat!" kata Ci Han kepada mereka.

   Enam orang perajurit itu memberi hormat.

   "Baik, kongcu. Kami tidak akan bicara kepada siapapun tanpa ijin kongcu dan siocia."

   Setelah menyuruh seorang penjaga mengambil rak senjata dari taman, kakak beradik itu lalu memasuki rumah. Kepada ibu merekapun mereka tidak bercerita tentang peristiwa tadi. Ibu mereka adalah seorang wanita yang lemah dan halus perasaannya. Mereka tidak ingin melihat ibu mereka menjadi gelisah kalau mendengar ancaman dari gadis tadi. Mereka akan menanti sampai ayah mereka pulang.

   Tidak mengherankan kalau Lili dapat menemukan rumah Bhok Cun Ki sedemikian mudahnya. Gadis ini telah bertemu dan bersahabat dengan Pangeran Yaluta yang dikenalnya sebagai Ya Lu Ta atau Ya-kongcu. Karena pangeran yang dianggapnya seorang pemuda yang kaya raya dan ramah tamah itu bersikap baik, bahkan menghukum anak buahnya sendiri yang kurang ajar kepadanya, kemudian Ya-kongcu menjanjikan untuk mendukung See-thian Coa-ong Cu Kiat menjadi bengcu dalam pemilihan di Thai-san tahun depan, bahkan berjanji akan membantunya mencarikan Bhok Cun Ki, maka Lili mau menjadi sahabatnya. Ia mau pula diajak melakukan perjalanan bersama ke kota raja. Di sepanjang perjalanan sikap Ya-kongcu amat baik, ramah dan penuh hormat kepadanya. Lili yang belum banyak mengenal dunia ramai, dengan mudah saja tunduk dan menganggap Ya-kongcu sebagai seorang yang baik dan patut dijadikan sahabat.

   Di Nan-king, Lili tidak perlu repot-repot. Anak buah Ya-kongcu sudah menyediakan sebuah kamar di hotel terbesar, dan beberapa hari kemudian ia bahkan memperoleh petunjuk di mana adanya musuh besar bekas gurunya yang kini menjadi sucinya itu. Bhok Cun Ki telah menjadi seorang panglima dan tinggal di sebuah gedung besar, tidak tinggal di dalam benteng. Begitu mudahnya! Oleh karena itu, ia segera pada sore hari itu datang berkunjung seorang diri karena ia menolak tawaran Ya-kongcu untuk mengirim pembantu menemaninya

   "Terima kasih, Ya-kongcu," katanya menolak halus.

   "Bantuanmu menemukan tempat tinggal Bhok Cun Ki saja sudah merupakan budi besar, dan urusanku dengan Bhok Cun Ki adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain. Aku akan mengunjunginya seorang diri saja."

   Demikianlah, sore itu ia datang berkunjung ke rumah keluarga Bhok, bahkan sempat menguji kepandaian putera dan puteri musuh besar sucinya itu dan merasa puas. Ia telah meninggalkan pesan untuk Bhok Cun Ki, dan pada besok sore ia tentu akan dapat menyelesaikan tugas yang diserahkan sucinya kepadanya.

   Malam hari itu, Ya-kongcu dan dua orang pengawalnya datang berkunjung ke tempat penginapan Lili dan membawa hidangan makan malam yang dipesannya dari restoran terbesar dan termewah. Hidangan itu diantar dengan kereta oleh pegawai restoran. Lili terkejut akan tetapi tentu saja tidak berani menolak, dan mereka berdua makan minum di dalam ruangan yang khusus disediakan untuk keperluan tamu dalam hotel yang mewah itu. Ketika mereka makan minum, Lili melihat betapa dua orang laki-laki setengah tua yang datang bersama Ya-kongcu hanya berdiri di dekat pintu ruangan.

   "Siapakah teman kongcu itu? Kenapa tidak di suruh makan sekalian dengan kita?"

   "Ah, mereka adalah dua orang pengawalku. Di kota raja ini banyak terdapat orang jahat, maka lebih aman kalau aku pergi disertai dua orang pengawal. Mereka bertugas melindungiku, maka tidak semestinya kalau mereka ikut makan bersama kita. Sudahlah, jangan pikirkan mereka dan mari kita makan sambil aku mendengarkan ceritamu tentang kunjunganmu kepada keluarga Bhok Cun Ki itu."

   Mereka makan minum dengan gembira dan Lili lalu menceritakan dengan singkat namun jelas hasil kunjungannya kepada Bhok Cun Ki, betapa ia tidak berhasil bertemu dengan Bhok Cun Ki karena panglima itu tidak berada di rumah, akan tetapi ia sudah bertemu dengan putera dan puterinya dan meninggalkan pesan tantangan kepada Bhok Cun Ki agar besok sore mereka mengadu kepandaian di puncak Bukit Bambu di luar kota raja.

   Ya-kongcu mendengarkan dan nampak kagum sekali.

   "Engkau sungguh gagah perkasa dan pemberani, nona Lili. Akan tetapi kalau engkau hendak membunuh panglima Bhok Cun Ki, setelah tiba di rumahnya dan bertemu dengan dua orang anaknya, kenapa engkau tidak membunuh mereka?"

   Lili menunda makannya, memandang wajah pemuda itu dan mengerutkan alisnya,

   "Kenapa aku harus membunuh mereka, kongcu? Urusanku ini hanya menyangkut diri pribadi Bhok Cun Ki, tidak ada hubungannya dengan keluarganya. Tidak, aku tidak mau membunuh orang lain, kecuali Bhok Cun Ki seorang!"

   Melihat sikap Lili, Ya-kongcu mengangguk-angguk, di dalam hati mencatat watak dan pendirian Lili. Gadis ini tidak dapat disamakan dengan tokoh-tokoh dunia hitam yang lain. Walaupun datang dari lingkungan datuk sesat, murid dari datuk See-thian Coa-ong, namun watak gadis ini lebih mendekati watak seorang pendekar. Dia harus berhati-hati menghadapi seorang seperti ini. Kalau Lili seorang tokoh sesat, amat mudahlah menanganinya. Cukup dengan pemberian hadiah-hadiah berharga, dia akan dapat mempergunakan tenaga seorang datuk sesat sekalipun. Akan tetapi gadis ini lain! Karena itu, ia menolak ketika hendak dibantu menghadapi Bhok Cun Ki.

   "Akan tetapi, nona. Aku tahu bahwa nona lihai sekali, hanya aku mendengar dari para pembantuku bahwa Bhok Cun Ki adalah seorang ahli pedang yang amat tangguh. Dia adalah seorang murid Butong-pai yang sukar dikalahkan. Aku khawatir kalau besok sore engkau melawannya......."

   Lili tersenyum dan Ya-kongcu terpesona. Dia bukan seorang pemuda hijau, sama sekali tidak. Usianya sudah tigapuluh lima tahun dan dia sudah mempunyai banyak pengalaman hidup, juga dengan wanita. Dia pernah bergaul dengan wanita yang bagaimanapun juga. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan gadis seperti ini, dan senyumnya demikian menawan, membuat jantungnya berdebar penuh gairah. Bagaimanapun, belum pernah dia mempunyai kekasih seorang gadis perkasa dan aneh seperti Lili!

   "Engkau mengkhawatirkan aku kalau kalah melawan Bhok Cun Ki, kongcu? Aihh, apa yang harus dikhawatirkan? Kalah menang dalam pertandingan adalah hal yang lumrah dan biasa saja. Kalau tidak menang tentu kalah dan kalau tidak kalah ya menang! Apa bedanya? Yang terpenting bagiku adalah memenuhi tugas ini. Kalau aku sudah berhadapan dan bertanding dengan dia, cukuplah. Menang kalahnya terserah keadaan nanti, akan tetapi tentu saja aku akan mengerahkan seluruh kemampuanku dan untuk itu aku sudah membuat persiapan matang."

   "Aku yakin engkau akan menang, nona. Dan untuk itu, aku ikut mendoakan dengan tiga cawan anggur!" Dia mengangkat cawan anggurnya, disambut oleh Lili dan mereka minum beruntun sampai tiga kali.

   Sementara itu, di rumah keluarga Bhok, panglima Bhok Cun Ki malam itu pulang bersama Sin Wan. Dalam perjalanan pulang ke gedung keluarga Bhok ini, Sin Wan bercakap-cakap dengan panglima itu dan diam-diam dia kagum. Panglima ini seorang yang cerdik dan berpemandangan luas, juga berwatak pendekar, rendah hati dan mengenal dunia kang-ouw secara luas. Oleh karena itu, dia merasa girang sekali bahwa Jenderal Shu Ta telah memberi tugas kepadanya agar bekerja sama dan membantu panglima ini.

   Mula-mula dia merasa ragu apakah panglima ini memiliki pandangan yang sama dengan Jenderal Shu Ta bahwa dia seorang keturunan asing, bukan orang Han aseli, melainkan keturunan Uighur. Jangan-jangan panglima ini mempunyai pandangan yang dangkal seperti yang dikemukakan Jenderal Yauw Ti tadi, yang menaruh curiga kepada orang yang bukan aseli dan menganggap bahwa dalam hati seorang keturunan Uighur tidak mempunyai kesetiaan terhadap pemerintah Han! Dia sengaja memancing, dalam perjalanan itu dia bertanya kepada Bhok-ciangkun tentang hal itu.

   "Ciangkun, bagaimana pendapat ciangkun tentang ucapan Jenderal Yauw Ti tadi, mengenai kenyataan bahwa aku bukanlah seorang pribumi, bukan orang Han melainkan keturunan Uighur, keturunan asing? Agaknya Jenderal Yauw Ti meragukan kesetiaanku terhadap negara."

   Bhok Cun Ki tersenyum.

   "Kesetiaan seseorang, bahkan lebih luas lagi, baik buruknya seseorang sama sekali tidak ditentukan oleh kebangsaan, keturunan atau keadaan lahiriyahnya, taihiap. Dalam setiap kelompok, keturunan, suku atau bangsa, bahkan kelompok agama sekalipun, di situ pasti terdapat orang yang baik dan orang yang tidak baik, seperti adanya orang yang sehat dan orang yang sakit. Karena itu, menilai seseorang dari keadaan lahiriahnya saja merupakan penilaian yang salah sama sekali. Dan khususnya mengenai keturunan, aseli dan tidak aseli, bagaimana ukurannya? Aku sendiri tidak tahu nenek moyangku ini keturunan apa dan dari mana. Aku tidak tahu apakah darahku ini dari satu keturunan yang aseli ataukah sudah campuran. Apa bedanya? Seseorang hanya dapat dinilai dari perbuatannya, sepak terjangnya dalam hidup. Itu saja! Kalau menilai dari segi lain, bahkan dari sikapnya atau kata-katanya sekalipun, hal itu masih belum meyakinkan, karena sikap dan kata-kata dapat saja dibuat-buat. Akan tetapi perbuatan dan sepak terjang yang berkelanjutan dalam hidup, merupakan kenyataan yang tidak bisa dibuat-buat."

   "Kalau begitu, di dalam hati ciangkun tidak mempunyai perasaan tidak senang dan berprasangka buruk terhadap diriku dan orang-orang bukan pribumi Han?"

   Panglima itu menggeleng kepala.

   "Sudah kukatakan, aku memandang seseorang dari perbuatannya pribadi, bukan dari golongan dan kebangsaannya. Tentu saja ini merupakan pandangan pribadiku. Dalam pandanganku sebagai seorang panglima, tentu saja jalan pikiranku lain lagi, harus disesuaikan dengan kepentingan negara. Kalau ada kelompok yang memusuhi pemerintah, tentu saja mereka akan kuhadapi sebagai musuh, lepas dari pada permusuhan antara pribadi. Mengertikah engkau, taihiap?"

   Sin Wan mengangguk dan pandang matanya mencorong penuh kekaguman.

   "Ciangkun adalah seorang bijaksana, aku merasa gembira sekali dapat bekerja sama denganmu."

   Panglima itu tertawa.

   "Ha..ha..ha, sudah lama aku mengagumi Sam-sian, dan sekarang dapat bekerja sama dengan murid mereka, tentu saja hal itu merupakan suatu kebanggaan bagiku."

   Akan tetapi ketika mereka tiba di rumah keluarga Bhok, mereka disambut dengan wajah berkerut penuh ketegangan oleh Bhok Ci Han dan Bhok Ci Hwa. Sejak tadi pemuda dan gadis itu menanti pulangnya ayah mereka untuk melaporkan peristiwa yang amat menggelisahkan hati mereka itu, namun melihat ayah mereka pulang bersama seorang pemuda asing, mereka memandang dengan penuh perhatian dan tidak berani segera menceritakan di depan pemuda asing itu.

   "Ayah, siapakah saudara ini?" Ci Han bertanya. Adiknya, Ci Hwa, juga memandang penuh perhatian kepada pemuda itu.

   "Taihiap, perkenalkan, ini adalah putera dan puteriku, Bhok Ci Han dan Bhok Ci Hwa. Kalian ketahuilah bahwa ini adalah murid Sam-sian, bernama Sin Wan, oleh Jenderal Shu Ta dia diangkat menjadi pembantuku dalam sebuah tugas penting."

   Pemuda dan gadis itu memandang penuh perhatian. Pemuda yang diangkat menjadi pembantu ayahnya ini sama sekali tidak mengesankan, tidak nampak sebagai seorang perajurit, apalagi pendekar, walaupun ayah mereka memperkenalkannya sebagai murid Sam-sian. Tubuhnya tinggi tegap, kulitnya agak gelap, tidak seperti kulit pemuda Han biasa, dan ketampanan wajahnya juga lain, agak asing. Dahinya lebar, alisnya tebal berbentuk golok dan mata yang lebar bersinar itu terlalu hitam, hidungnya juga terlalu tinggi dan agak besar. Namun Ci Hwa mengakui dalam hatinya bahwa pemuda ini memang memiliki kejantanan walaupun lembut, seperti seekor harimau jantan yang sudah jinak. Dan melihat Sin Wan merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat, Ci Han dan Ci Hwa cepat membalas penghormatan itu.

   "Mana ibu kalian? Kenapa tidak berada dengan kalian menanti pulangku di sini?" tanya Bhok-ciangkun yang merasa heran karena biasanya, isterinya tentu bersama dua orang anaknya itu menanti kepulangannya di serambi depan.

   "Tidak, ayah. Ibu berada di dalam dan memang kami sengaja menanti ayah berdua saja karena kami mempunyai berita yang teramat penting." kata Ci Han.

   "Hemm, berita apa yang begitu penting sehingga ibumu tidak dibawa serta mendengarnya?" tanya ayah mereka sambil tersenyum.

   "Ayah......," Ci Hwa berkata dan matanya melirik ke arah Sin Wan. Mengertilah Bhok-ciangkun, dan dia tertawa.

   "Ha..ha..ha, jangan khawatir. Kalau ada berita penting bagaimanapun, katakan saja. Sin Wan Taihiap adalah seorang kepercayaan Sribaginda Kaisar sendiri, mewakili gurunya, maka tidak ada rahasia baginya. Katakanlah, apa yang telah terjadi? Tidak seperti biasa, malam ini kalian kelihatan begini tegang. Ada apa?"

   "Ayah, sore tadi kami kedatangan seorang tamu. Tadinya ia ingin bertemu denganmu, akan tetapi ketika diberitahu bahwa ayah tidak berada di rumah, ia memaksa hendak bertemu dengan keluarga ayah. Bahkan ia memaksa masuk ke pekarangan dan lima orang penjaga yang hendak mencegahnya, dipukulnya roboh. Lalu tamu itu menemui kami berdua yang sedang berlatih silat di taman."

   Bhok-ciangkun mengerutkan alisnya.

   "Begitu beraninya? Siapakah tamu itu?"

   "Ia seorang gadis cantik, usianya sekitar duapuluhtiga tahun....."

   "Lalu bagaimana? Teruskan!" Bhok-ciangkun merasa tertarik dan juga heran sekali. Ada seorang gadis cantik yang memaksa memasuki tempat tinggalnya! Sungguh aneh dan betapa beraninya.

   "Setelah bertemu kami, kami bertanya apa maksudnya mencari ayah dan ia menjawab bahwa ia.... ia......" Ci Han tergagap.

   "Ia ingin membunuhmu ayah." Ci Hwa melanjutkan. Bhok-ciangkun membelalakkan matanya. Kalau dia mendengar ada orang-orang hendak membunuhnya, hal itu memang tidak aneh karena tentu banyak orang memusuhinya, baik sebagai seorang pendekar Butong-pai yang sudah banyak membasmi kawanan penjahat, maupun sebagai panglima yang sering memimpin pasukan bertempur. Akan tetapi seorang gadis muda mencarinya dan hendak membunuhnya? Luar biasa!

   

Pedang Sinar Emas Eps 49 Pedang Sinar Emas Eps 32 Si Pedang Tumpul Eps 10

Cari Blog Ini