Kisah Si Naga Langit 17
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
Mereka berlima itu memiliki mata yang tampak cerdik, bersinar tajam dan dari sikap mereka mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh. Mereka berlima memiliki sebatang pedang samurai. Koi Cu dan Hayasi yang bertubuh pendek membawa pedang samurai mereka di punggung, akan tetapi tiga orang yang lain menggantung pedang samurai mereka di pinggang.
"Paduka memanggil kami menghadap, ada tugas apakah yang harus kami laksanakan, Pangeran?" tanya Con Gu, orang tertua yang agaknya juga menjadi juru bicara mereka berlima.
"Ada tugas penting sekali untuk kalian berlima. Tugas itu sebetulnya sudah kami serahkan kepada Cia-sicu, akan tetapi karena tugas itu berbahaya dan akan menghadapi lawan yang amat kuat, maka kami membutuhkan bantuanmu yang akan memimpin dua losin perajurit pilihan untuk membantu tugas Cia-sicu," kata Pangeran Hiu Kit Bong.
"Bolehkah kami mengetahui, tugas apa yang harus kami lakukan, Pangeran?" tanya Con Gu.
"Kalian berlima dan pasukan yang kalian pimpin harus membantu Cia-sicu untuk menangkap seseorang."
"Menangkap seorang saja mengapa harus memakai begitu banyak orang?" Hayasi bertanya dan logat bicaranya jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang berbangsa Jepang.
"Yang harus ditangkap adalah Puteri Moguhai yang di luar istana terkenal sebagai Pek Hong Nio-cu!" kata Pangeran Hiu Kit Bong.
Lima orang itu terkejut sekali.
"Oh......! Sang Puteri Moguhai.......?" kata Con Gu, lalu dia mengangguk-angguk.
"Pangeran, kami tahu bahwa Puteri Moguhai memang memiliki kepandaian tinggi dan lihai sekali. Memang harus hamba akui kalau kami berlima maju satu-satu, agaknya masih akan sukarlah menangkapnya. Akan tetapi kalau kami berlima maju, agaknya sudah pasti kami dapat menangkapnya. Mengapa harus menyusahkan Cia-sicu dan bahkan ditambah dua losin perajurit lagi?"
"Wah, tidak semudah itu, Con Gu!" kata Pangeran Hiu Kit Bong.
"Ketahuilah bahwa selain Puteri Moguhai sendiri seorang yang tangguh, ia ditemani oleh seorang pemuda yang namanya....... eh, siapa tadi namanya, Cia-sicu?"
"Namanya Souw Thian Liong, Pangeran."
"Ya, temannya itu bernama Souw Thian Liong dan menurut keterangan Cia-sicu, pemuda itu lihai sekali karena dia adalah murid Tiong Lee Cin-jin."
Lima orang jagoan itu saling pandang dan dari sinar mata mereka Cia Song tahu bahwa mereka terkejut dan gentar mendengar nama Tiong Lee Cin-jin yang dikenal sebagai seorang manusia setengah dewa itu!
"Kami akan membantu Cia-sicu sekuat tenaga kami!" kata Con Gu.
"Karena menghadapi pekerjaan penting, Cia-sicu masih ragu apakah bantuan kalian berlima berikut dua losin perajurit pilihan sudah cukup. Oleh karena itu, untuk menyakinkan hatinya, dia minta agar diperbolehkan menguji ketangguhan kalian berlima."
Mendengar ucapan pangeran itu, kelima orang jagoan mernandang kepada Cia Song dengan sinar mata tajam.
"Bagaimana, sobat-sobat? Apakah kalian tidak keberatan kalau aku hendak menguji ilmu silat kalian?" tanya Cia Song.
Lima orang itu menggeleng kepala dan Con Gu berkata sambil tersenyum.
"Tentu saja tidak, Cia-sicu. Kami siap untuk diuji sewaktu-waktu."
Pangeran Hiu Kit Bong tertawa.
"Ha-ha, bagus. Waktunya sekarang saja dan ruangan ini kiranya cukup luas untuk dipakai sebagai tempat ujian bertanding. Bagaimana pendapatmu, Cia-sicu?"
Cia Song bangkit berdiri.
"Memang cukup luas, Pangeran. Marilah, sobat-sobat, kita mulai saja." Dia lalu melangkah ke tengah ruangan yang luas.
Con Gu juga bangkit dan setelah membungkuk di depan sang pangeran, diapun melangkah lebar menghampiri Cia Song, setelah berhadapan lalu berkata,
"Cia-sicu, kami telah siap. Biarlah saya yang maju pertama untuk menerima ujian."
"Bukan satu-satu, maksudku kalian berlima maju berbareng. Aku ingin melihat apakah kalau kalian maju berbareng cukup kuat untuk melawan musuh yang tangguh."
"Kami berlima maju berbareng? Mengeroyokmu, sicu? Ah, jangan bergurau!" kata Con Gu sambil tertawa dan empat orang rekannya juga tertawa lirih karena mereka berada di depan Pangeran.
"Aku sama sekali tidak bergurau. Ketahuilah bahwa lawan-lawan yang akan kita hadapi sungguh tangguh dan lihai sekali, maka aku harus yakin bahwa kalian cukup kuat untuk menandingi seorang di antara mereka. Nah, marilah, kalian berlima maju berbareng dan jangan sungkan mengeroyok aku, keluarkan semua kemampuan kalian agar aku dapat merasa yakin sehingga tugas kita akan dapat terlaksana dengan hasil baik."
"Hayolah, kalian berlima jangan ragu. Turuti perintah Cia-sicu. Dalam tugas dia adalah pemimpin kalian!" kata Pangeran Hiu Kit Bong.
Mendengar perintah pangeran, tentu saja lima orang itu tidak berani membantah lagi dan empat orang jagoan yang lain segera bangkit berdiri dan menghampiri Cia Song. Mereka berlima berdiri berjajar menghadapi Cia Song dengan sikap masih ragu-ragu. Mereka adalah jagoan-jagoan pilihan, bahkan pernah menjadi pengawal pribadi Raja Kin yang jarang menemui tanding. Bagaimana sekarang mereka berlima disuruh mengeroyok seorang lawan saja? Bagi mereka, hal ini memalukan sekali. Andaikata mereka menang sekalipun, tidak dapat dibanggakan. Akan tetapi karena pangeran yang memerintah dan Cia Song juga hanya bermaksud untuk menguji, maka mereka berlima siap.
Melihat mereka berdiri berjajar, bukan mengepung seperti lima orang yang hendak mengeroyok, Cia Song maklum bahwa mereka masih merasa sungkan. Dan dia maklum akan perasaan mereka. Mereka adalah jagoan-jagoan istana Kin dan usia mereka juga lebih tua daripada dia, maka tentu saja mereka sungkan untuk melakukan pengeroyokan.
"Sekarang begini saja," katanya,
"agar kalian tidak merasa sungkan, biarlah kalau sampai robek sedikit pakaianku terkena ujung pedang kalian, kuanggap kalian sudah lulus ujian dan dapat mengalahkan aku. Nah, sekarang aku hendak bertanya dan kuharap kalian menjawab sejujurnya. Aku ingin agar kalian mengeluarkan ilmu kalian yang paling ampuh. Kalau kalian maju berlima, kalian hendak mempergunakan ilmu pedang apakah yang kalian anggap paling ampuh?"
"Sesungguhnya, Cia-sicu. Kami berlima malu untuk maju berbareng dan mengeroyokmu. Akan tetapi karena Pangeran telah memerintahkan dan sicu hanya ingin menguji, maka apa boleh buat, kami akan menaati perintah. Kami masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri, akan tetapi kalau kami maju bersama, kami telah menciptakan permainan pedang gabungan yang kami namakan Ngo heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima Unsur). Dengan memainkan Ngo-heng Kiam tin, kami berlima belum pernah terkalahkan."
"Bagus! Aku menghendaki agar kalian berlima mengeroyok aku dengan Ngo heng Kiam-tin itu dan jangan sungkan. Serang aku sekuat kalian dan kalahkan aku secepat mungkin. Aku percaya bahwa ahli-ahli pedang seperti kalian tentu tidak akan salah tangan, tidak akan melukai tubuhku, cukup dengan merobek pakaianku saja." Cia Song bicara sambil tersenyum ramah, sama sekali tidak terkandung nada atau sikap mengejek.
"Baiklah, Cia-sicu. Maafkan kami." Con Gu memandang kepada empat orang rekannya dan mereka berlima lalu menggerakkan tangan kanan. Tampak kilatan lima sinar ketika mereka telah mencabut pedang samurai mereka masing masing. Lima batang pedang panjang yang agak melengkung itu berkilauan dan ini menunjukkan bahwa pedang-pedang itu amat tajam. Ketika dicabut dengan amat cepatnya, terdengar suara berdesing yang menandakan bahwa lima orang itu memiliki tenaga yang kuat. Setelah mencabut pedang samurai masing-masing, lima orang itu lalu mulai melangkah dengan geseran-geseran kaki dan mereka telah mengepung Cia Song dari lima penjuru.
"Bersiaplah, Cia-sicu!" kata Con Gu yang memberi kesempatan kepada Cia Song untuk mengeluarkan senjatanya.
Dari gerakan mereka saja Cia Song maklum bahwa akan sukar menandingi mereka berlima kalau dia bertangan kosong. Maka diapun segera mencabut pedang yang berada di punggungnya, sebatang pedang beronce merah. Dia mencabutnya dengan perlahan lalu melintangkan pedangnya di depan dada. Biarpun dia tidak memasang kuda-kuda secara khusus, namun Cia Song bersikap hati-hati dan waspada karena dia maklum bahwa lima orang lawannya ini benar-benar tangguh. Dia harus menjaga agar dia jangan sampai kalah atau kalau dikalahkan juga dia harus dapat melakukan perlawanan yang cukup kuat dan seimbang.
Setelah melihat Cia Song mencabut pedang, Con Gu mewakili rekan-rekannya bertanya,
"Cia-sicu, apakah kami sudah boleh mulai menyerang?"
"Boleh, silakan, aku sudah siap!" kata Cia Song.
"Sambut serangan Unsur Swee (Air)!" bentak Con Gu dan dia menyerang dari depan Cia Song. Pedang samurainya menyambar dan gerakannya bergelombang seperti ombak sehingga cocok sekali kalau Con Gu memperkenalkan dirinya sebagai pemain Unsur Air dalam Ngo-heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima Unsur) itu. Cia Song sengaja menggunakan pedangnya menangkis dengan pengerahan tenaga karena dia hendak mengukur tenaga Con Gu melalui serangan pedang samurainya itu.
"Tranggg!!" Pedang samurai itu tergetar dan Con Gu melangkah ke belakang lima kali. Cia Song juga merasakan pedangnya tergetar dan tahulah dia bahwa tenaga Con Gu cukup kuat walaupun masih jauh kalau dibandingkan dengan sin kang (tenaga sakti) yang dikuasainya.
"Cia-sicu, sambut serangan Unsur Hwe (Api)!" teriak Koi Cu yang berkepala botak dan bertubuh pendek gendut dari sebelah kanan Cia Song. Pedang Samurai yang terlalu panjang bagi tubuh yang pendek itu menyambar lurus, dari bawah ke atas seperti berkobarnya api dan gerakannya dahsyat sekali. Cia Song sudah mengukur kekuatan Con Gu dan dia menduga bahwa tentu tenaga orang pertama itu yang paling kuat di antara mereka berlima. Maka dia menghadapi serangan Unsur Api ini dengan mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya. Dia mengelak sehingga pedang Koi Cu menyambar di samping tubuhnya.
"Sambut serangan Unsur Bhok (Kayu)!" teriak Jiu Hon yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok. Orang ketiga ini menyerang dari belakang, maka Cia Song memutar tubuhnya, menggeser kakinya dan melihat pedang samurai Jiu Hon menusuk ke arah lambungnya. Cia Song memiringkan tubuhnya dan menggunakan pedangnya untuk menangkis dari samping sehingga serangan Jiu Hon gagal, pedang samurainya terpental.
"Awas serangan Unsur Kim (Emas, logam)!" bentak Kian Su, orang keempat yang berwajah tampan. Pedangnya meluncur dan menyerang dari sebelah kiri tubuh Cia Song. Kembali Cia Song mengelak dengan mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi tingkatnya.
"Sambut serangan Unsur Tho (Tanah)!" bentak Hayasi. Orang yang paling pendek ini menyerang dan pedangnya berputar menyerang ke arah kedua kaki Cia Song. Serangannya tidak kalah dahsyat dibandingkan empat orang rekannya. Cia Song dengan tenang namun cepat meloncat untuk menghindarkan serangan itu.
Setelah lima orang itu masing-masing mengeluarkan jurus serangannya secara bergiliran dan semua serangan itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Cia Song mereka berlima maklum bahwa Cia Song benar-benar lihai, maka mereka tidak merasa ragu lagi untuk mengeroyok. Con Gu memberi isyarat kepada empat orang rekannya dan mulailah mereka berlima menyerang dari lima penjuru dengan berbareng! Serangan mereka datang bergelombang dan bertubi-tubi, dan hebatnya serangan mereka itu saling menunjang, saling melengkapi sesuai dengan watak ngo-heng (lima unsur) sehingga serangan beruntun yang saling menunjang dan saling melengkapi akan tetapi yang sifatnya juga saling berlawanan itu menjadi membingungkan, aneh dan dahsyat sekali!
Diam-diam Cia Song terkejut. Dia tahu bahwa kalau mereka itu maju satu demi satu, tidak begitu sukar baginya untuk mengalahkan mereka. Akan tetapi, dengan maju bersama membentuk Barisan Pedang Lima Unsur, mereka sungguh merupakan lawan yang tangguh dan amat berbahaya. Untuk dapat melakukan perlawanan yang kuat, Cia Song segera memainkan ilmu silat gabungan, yaitu pada dasarnya merupakan ilmu silat pedang aliran Siauw-lim-pai, akan tetapi dia memasukkan unsur ilmu yang dipelajarinya dari Ali Ahmed, datuk suku bangsa Hui itu. Ilmu pedang menjadi aneh namun kuat sekali. Tubuh Cia Song lenyap dibungkus sinar pedangnya yang bergulung-gulung dan berkelebatan, bukan hanya sinar pedang itu menangkis lima batang pedang samurai yang mengancamnya dari lima jurusan yang kadang berputaran, namun juga mengirim serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya!
Pangeran Hiu Kit Bong yang hanya menguasai ilmu silat yang rendah, tidak dapat mengikuti jalannya pertandingan. Gerakan enam orang itu terlampau cepat baginya sehingga pandang matanya menjadi kabur. Kilatan sinar pedang yang mencuat ke sana-sini, kadang bergulung gulung, diseling suara berdentangan nyaring membuat dia hanya dapat memandang kagum.
"Bagaimana pendapatmu, ciangkun?"
Dia bertanya kepada Panglima Kiat Kon yang juga menonton pertandingan itu dengan tertarik sekali. Tingkat kepandaian silat panglima ini juga sudah cukup tinggi, seimbang dibandingkan tingkat masing-masing anggauta Ngo-heng Kiam-tin itu, maka dia dapat mengikuti pertandingan itu dan menjadi amat kagum melihat betapa Cia Song dapat mempertahankan diri bahkan mengimbangi serangan gabungan yang dahsyat itu. Dia sendiri akan kalah dalam waktu pendek kalau harus menandingi pengeroyokan Ngo-heng Kiam-tin itu.
"Hebat, Pangeran. Ngo-heng Kiam-tin memang dahsyat sekali, akan tetapi kepandaian Cia-sicu juga luar biasa sehingga dia mampu mengimbangi pengeroyokan itu," katanya sambil mengangguk angguk dengan hati kagum.
Pertandingan itu memang hebat bukan main. Semua serangan dari barisan pedang lima orang itu dapat dihindarkan dengan baik oleh Cia Song, biarpun serangan itu datang bergelombang dan bertubi-tubi. Akan tetapi serangan balasan dari Cia Song juga selalu dapat ditangkis. Kalau Cia Song hendak mengandalkan kelebihan tenaganya, diapun gagal karena yang menangkis pedangnya tentu sedikitnya dua orang, bahkan kadang tiga-empat pedang samurai sekaligus menyambut pedangnya sehingga kelebihan tenaganya diimbangi tenaga gabungan para pengeroyok. Sampai seratus jurus mereka bertanding dan belum tampak siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Cia Song merasa sudah cukup menguji jagoan itu dan dia merasa girang. Ternyata Ngo-heng Kiam-tin memang tangguh dan boleh diandalkan. Dibantu lima orang seperti ini, apalagi yang memimpin dua losin perajurit pilihan, dia akan merasa kuat menghadapi Pek Hong Nio-cu dan Souw Thian Liong. Maka dia ingin menyudahi ujian itu. Akan tetapi dasar dia memiliki watak yang sombong, walaupun disembunyikan di balik sikapnya yang halus dan sopan, maka dia tidak akan merasa puas kalau tidak lebih dulu mengalahkan mereka agar dia memperoleh kesan yang baik dan agar lima orang itu tunduk kepadanya sehingga dapat menjadi pembantu-pembantu yang taat kepadanya.
Diam-diam Cia Song mengerahkan tenaga saktinya dan mempergunakan ilmu pukulan jarak jauh bercampur kekuatan sihir yang dipelajarinya dari Ali Ahmed.
"Hyaaaattt....... ahhhh!" Tangan kirinya mendorong ke depan dan tubuhnya berputar sehingga sasaran pukulan jarak jauh itu diarahkan kepada lima orang pengeroyok yang mengepungnya. Dari telapak tangan kirinya keluar asap hitam yang menyambar ke arah lima orang itu. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan lima orang itu satu demi satu terhuyung ke belakang. Cia Song bergerak cepat sekali. Pedangnya menyambar-nyambar dan ketika dia melompat agak ke belakang menjauhi mereka, lima orang itu melihat betapa ujung baju mereka telah terbabat putus oleh sinar pedang Cia Song selagi mereka terhuyung tadi!
Lima orang itu membungkuk sampai dalam dan Con Gu mewakili para rekanrrya berkata,
"ilmu pedang Cia-sicu hebat bukan main! Kami mengaku kalah!"
Cia Song menyimpan kembali pedangnya dan berkata,
"Ngo-heng Kiam-tin amat tangguh. Aku girang sekali mendapatkan pembantu seperti kalian berlima!"
Mendengar ini, Pangeran Hiu Kit Bong dan Panglima Kiat Kon bertepuk tangan.
"Kami girang sekali bahwa mereka berlima lulus ujian, Cia-sicu. Bagaimana pendapat sicu? Apakah ditemani mereka yang akan memimpin dua losin perajurit pilihan dianggap cukup kuat?"
"Lebih dari cukup, Pangeran. Dengan bantuan mereka dan dua losin perajurit pilihan, hamba yakin kami dapat menangkap Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong."
"Bagus! Duduklah kalian berenam!" kata Pangeran Hiu Kit Bong.
"Akan tetapi kalau Puteri Moguhai jangan dibunuh, sebaliknya pemuda lihai yang menjadi temannya itu harus dibunuh karena dia membahayakan kita."
"Tidak, Pangeran. Souw Thian Liong juga akan hamba tangkap karena dia harus memperhitungkan dosa-dosanya kepada Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai. Dia harus menerima hukumannya," kata Cia Song.
"Hemm, apa sih yang dilakukannya? Ah, sudahlah, bukan urusan kami. Terserah kepadamu kalau engkau hendak menangkap pemuda itu, Cia-sicu. Yang terpenting bagi kami adalah menawan Puteri Moguhai untuk dijadikan sandera," kata Pangeran Hiu Kit Bong.
Setelah mengadakan perundingan matang dan membuat persiapan, berangkatlah Cia Song bersama kelima Ngo-heng Kiam-tin, memimpin dua losin perajurit yang terlatih baik dan rata-rata pandai ilmu silat melakukan pengejaran kepada Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong yang menuju ke barat. Mereka menunggang kuda-kuda pilihan sehingga dapat melakukan perjalanan cepat.
Souw Thian Liong mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hatinya. Setelah melakukan perjalanan dengan Pek Hong Nio-cu selama hampir sebulan lamanya, dia mendapat kenyataan betapa amat menggembirakan perjalanan itu.
Pek Hong Nio-cu ternyata merupakan teman seperjalanan yang amat baik. Wataknya gembira, pandai bicara dan di mana saja pendekar wanita yang sesungguhnya puteri raja ini memperlihatkan watak aselinya yang mengagumkan. Ia ramah terhadap rakyat jelata, murah hati dan siap menolong rakyat yang hidup sengsara. Ringan tangan menghajar orang orang yang mengandalkan kekerasan dan kekuasaan untuk menindas rakyat. Terutama sekali ia amat keras terhadap para pembesar kecil yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Dan di mana saja, para pembesar itu selalu mati kutu dan ketakutan setelah memperlihatkan pedang bengkok dari emas yang menjadi lambang kekuasaan Kaisar kerajaan Kin. Puteri raja ini selain cantik jelita dan menarik hati, juga gagah perkasa dan memiliki watak yang budiman.
Di lain pihak, diam-diam Pek Hong Nio-cu juga kagum bukan main kepada Thian Liong. Pemuda itu selalu sopan dan penuh perhatian. Tidak pernah sedikitpun mernperlihatkan watak mata keranjang, tidak pernah mencoba untuk merayunya seperti yang banyak ditemui pada diri para pria kalau bertemu dengannya. Sungguh seorang pemuda yang hebat, berjiwa pendekar dan juga pandai bicara dan suka berkelakar dengan sopan.
Seperti kita ketahui, ketika mereka berdua tiba di kota Kiang-cu dan bermalam di sebuah rumah penginapan, Cia Song menemui Thian Liong dan membujuk agar Thian Liong segera meninggalkan kota itu karena Kim Lan dan Ai Yin mencarinya untuk memaksa Thian Liong menikahi Kim Lan atau kalau tidak mau, dua orang gadis itu hendak membunuhnya.
Setelah Cia Song pergi, Pek Hong Nio-cu mendengar dari Thian Liong tentang gadis murid Kun-lun-pai yang hendak memaksa dia mengawini dengan alasan bahwa gadis itu sudah bersumpah akan berjodoh dengan pria yang dapat mengalahkannya. Kalau dia tidak mau, Thian Liong akan dibunuhnya! Mendengar ini, Pek Hong Nio-cu marah sekali.
Malam itu, tanpa setahu Thian Liong, Pek Hong Nio-cu pergi mengunjungi rumah penginapan di mana Kim Lan dan Ai Yin bermalam. Ia melemparkan surat celaannya yang disambitkan ke atas meja dengan sebuah pisau lalu meninggalkan atap rumah penginapan itu karena ia melihat bayangan orang. Dan pada keesokan harinya, Thian Liong mengajaknya segera pergi meninggalkan kota Kiang-cu.
Pemuda ini ingin menghindarkan diri dari kejaran dua orang gadis Kun-lun-pai itu. Pek Hong Nio-cu juga tidak pernah bicara tentang dua orang gadis itu juga tidak pernah menceritakan tentang perbuatannya mengirim surat teguran yang isinya rnencela murid wanita Kun-lun-pai sebagai wanita yang tidak tahu malu hendak memaksa seorang pria menjadi suaminya!
Matahari telah naik tinggi dan udara lumayan panasnya. Mereka berdua menjalankan kuda mereka perlahan-lahan, menyusuri sepanjang tepi Sungai Han, yaitu sungai yang menjadi cabang Sungai Yang-ce yang besar. Pemandangan alamnya di lembah sungai itu amat indah. Daerah ini termasuk daerah yang kecil jumlah penduduknya sehingga tempat yang mereka lalui itu sunyi. Thian Liong menjalankan kudanya di sebelah kiri kuda yang ditunggangi Pek Hong Nio-cu. Dua ekor kuda itu berjalan seenaknya karena dua orang penunggangnya tidak ingin memaksa binatang yang juga sudah tampak kelelahan itu. Thian Liong melamun.
Dia melamun tentang keadaan dirinya. Sungguh tak pernah disangkanya sama sekali bahwa dia akan melakukan perjalanan berdua saja dengan puteri Raja Kin! Dan perjalanan bersama itu sudah dilakukan selama kurang lebih satu bulan! Sungguh amat mengherankan dan tentu banyak yang tidak percaya kalau dia bercerita kepada orang lain. Dia disambut oleh pejabat-pejabat pemerintah Kin di sepanjang jalan dengan sikap hormat sekali karena dia diperkenalkan oleh Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu sebagai sahabatnya. Dan puteri itu begitu manis, begitu ramah dan akrab dengan dia. Akan tetapi yang menunggang kuda di sisinya ini adalah seorang puteri bangsawan tinggi, Puteri Raja Kin sedangkan dia apa? Seorang pemuda yatim piatu yang bodoh dan miskin, rumahpun tidak punya! Akan tetapi Thian Liong tidak merasa rendah diri. Mengapa rendah diri?
Dia tidak mempunyai pamrih apapun dalam persahabatannya dengan Pek Hong Nio-cu. Memang harus dia akui bahwa dia amat tertarik, kagum dan suka sekali kepada gadis bangsawan ini. Sungguh jauh bedanya gadis ini dibandingkan gadis-gadis yang pernah dia jumpai. Berpikir sampai di sini, terbayang olehnya wajah seorang gadis yang manis. Wajahnya bulat telur, rambutnya hitam panjang dengan anak rambut melingkar di dahi dan pelipis. Dahinya halus dan putih sekali, dengan alis hitam kecil panjang dan tebal, matanya seperti sepasang bintang, bersinar tajam dan penuh gairah hidup, hidungnya mancung dan mulutnya amat menggairahkan, dengan bibir merah basah dan lesung pipit menghias kanan kiri mulut itu. Dagunya runcing dan kulitnya putih mulus. Tubuhnya padat ranum dengan pinggang ramping.
Gadis yang lincah dan liar, galak penuh semangat, berpakaian merah muda. Gadis yang telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun hoat dari buntalan pakaiannya, kitab yang seharusnya dia serahkan kepada para ketua Kun-lun-pai seperti yang dipesan gurunya. Gadis cantik jelita dan juga gagah perkasa. Akan tetapi sayang, ia mencuri kitab, dan lebih sayang lagi, dia tidak tahu siapa nama gadis itu dan di mana tempat tinggalnya. Perjalanannya ke barat inipun untuk mencari gadis pencuri itu. Dia hanya menduga bahwa gadis itu tentu berada di daerah barat mengingat bahwa ilmu silatnya seperti ilmu silat aliran Tibet.
Kalau dibuat perbandingan antara gadis baju merah itu dengan Pek Hon g Nio-cu, alangkah jauh bedanya. Memang mereka berdua sama sama cantik menarik, sama-sama gagah perkasa, bahkan sama-sama lincah, agak liar dan galak bersemangat. Akan tetapi gadis baju merah yang liar itu adalah seorang gadis kang-ouw tulen dan seorang pencuri, sebaliknya Pek Hong Nio-cu adalah seorang puteri raja yang baik hati. Akan tetapi aneh, dia sukar dapat melupakan gadis baju merah itu dan kalau teringat padanya, jantungnya berdebar dan wajahnya berseri. Padahal, dia berjanji kalau dapat menemukan gadis baju merah itu, akan direbahkan gadis itu menelungkup di atas kedua pahanya lalu akan ditamparnya pinggul gadis itu seputuh kali seperti orang mengajar anaknya yang nakal!
Kemudian, bayangan wajah gadis baju merah yang mencuri kitab milik Kun-lun pai itu terganti wajah seorang gadis lain. Wajah yang setelah kini terbayang olehnya, makin tampak betapa wajah itu tidak ada bedanya dengan wajah Pek Hong Nio-cu! Dia mencoba untuk mencari perbedaan antara dua wajah itu. Namun, seingatnya, tidak ada bedanya sama sekali! Wajah Thio Siang In yang berjuluk Ang-hwa Sian-li, gadis yang suka memakai pakaian serba hijau itu.
Ada bunga mawar merah di rambutnya. Cantik jelita dan cerdik sekali. Juga amat lihai ilmu silatnya. Hebatnya, seingatnya Thio Siang In juga mempunyai setitik tahi lalat di dekat mulutnya, di ujung bibir, sama dengan Puteri Moguhai! Kedua wajah itu serupa benar. Kalau ada perbedaan yang sangat mencolok adalah warna dan bentuk pakaian mereka. Pek Hong Nio-cu berpakaian serba putih dan Ang-hwa Sian-li berpakalan serba hijau. Akan tetapi, walaupun tidak sampai mencuri seperti yang dilakukan gadis baju merah, Thio Siang In itupun seorang gadis yang ugal-ugalan. Hendak meminjam kitab Sam-jong-cin-keng milik Siauw-lim-pai dengan paksa! Ketika dia tidak mau menyerahkan kitab itu, Ang-hwa Sian-li Thio Siang In marah dan mengajak bertanding! Sayang sekali, padahal gadis itu gagah perkasa dan tadinya sudah menjadi teman akrab dengannya. Seperti juga bayangan gadis baju merah, bayangan Ang-hwa Sian-li ini selalu muncul dalam ingatannya.
Kemudian teringat dia akan wajah Kim Lan, murid Kun-lun-pai itu, bersama su-moinya (adik seperguruannya) yang bernama Ai Yin. Mereka juga gadis-gadis manis, cantik menarik, gagah perkasa dan sebagai murid-murid Kun-lun-pai, tentu saja kepandaian mereka tinggi dan watak mereka seperti pendekar. Akan tetapi sayang, terutama sekali Kim Lan, gadis cantik itu diikat sumpah yang aneh sehingga ketika kalah bertanding melawannya, kini mengejarnya untuk memaksa dia mengawininya dan kalau dia menolak, dia akan dibunuhnya!
Thian Liong menghela napas panjang. Aneh-aneh saja pengalamannya dengan gadis-gadis itu! Dan biarpun mereka, yang tiga orang itu, gadis baju merah, Ang-hwa Sian-li, dan Kim Lan tidak dapat disamakan dengan Pek Hong Nio-cu yang anggun, bangsawan tinggi dan tidak ada kesalahan kepadanya, namun tetap saja ada rasa suka pula dalam hatinya terhadap mereka. Dan wajah mereka selalu bermunculan dalam kenangannya.
"Souw Thian Liong, kenapa engkau menghela napas panjang setelah sejak tadi melamun seorang diri?" tiba-tiba suara Pek Hong Nio-cu menyadarkan dan seolah menyeret dia kembali ke alam sadar.
"Eh? Apa maksud paduka, Puteri?" tanya Thian Liong gagap, seperti orang baru bangun tidur.
"Hushh! Berapa kali aku memperingatkan agar engkau jangan menyebut aku paduka dan puteri, kecuali kalau berhadapan dengan para pembesar dan dalam suasana resmi!" tegur Pek Hong Nio-cu dengan alis berkerut.
"Dalam percakapan pribadi, aku ini bukan lain adalah Pek Hong Nio-cu, seorang sahabat yang sederajat denganmu."
"Ah, maafkan, Nio-cu. Aku memang pelupa, akan tetapi apa yang kau maksudkan dengan pertanyaanmu tadi?"
"Hemm, bagaimana sih pertanyaanku tadi, Thian Liong?"
Thian Liong menggeleng kepalanya.
"Aku tidak tahu, tidak ingat lagi."
"Nah, itu tandanya bahwa engkau tenggelam ke dalam lamunanmu," kata Pek Hong Nio-cu sambil menahan dan menghentikan kudanya. Melihat ini, Thian Liong juga menghentikan kudanya.
"Thian Liong, sejak tadi aku melihat engkau melamun dengan pandang mata kosong, kadang tersenyum-senyum dan kemudian engkau menghela napas panjang. Nah, tadi aku bertanya mengapa engkau melamun terus dan menghela napas panjang?"
Ah, itukah yang kautanyakan? Nio-cu, marilah kita mengaso dan berteduh di bawah pohon itu," kata Thian Liong.
"Baiklah, memang sinar matahari panas bukan main dan kuda kita juga sudah lelah," kata Pek Hong Nio-cu.
Mereka menuju ke sebuah pohon besar yang tumbuh di tepi Sungai Han, turun dari kuda dan menambatkan kuda di batang pohon kecil tak jauh dari situ.
"Kota Yun-sian berada tidak jauh lagi di depan. Sebelum sore kita sudah dapat memasuki kota itu."
"Nio-cu, agaknya engkau mengenal betul daerah ini," kata Thian Liong.
"Tentu saja, sudah beberapa kali aku mengunjungi Paman Kuang yang memimpin pasukan menjaga perbatasan. Tapi, engkau belum menjawab pertanyaan tadi, Thian Liong."
Pemuda itu duduk di atas batu di bawah pohon yang teduh itu dan Pek Hong Nio-cu juga duduk di atas batu di depannya. Pemandangan di situ amat indah. Di dekat mereka, hanya empat meter jauhnya, tampak Sungai Han mengalirkan airnya yang masih jernih dengan tenang.
Di tepi sungai, kanan kiri, tumbuh subur segala macam pohon dan semak. Sebuah perahu terapung di tepi sungai tak jauh dari tempat mereka duduk. Seorang pengail duduk di atas perahu itu, duduk seperti patung, memegangi tangkai pancingnya, bahkan menengokpun tidak ketika Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berhenti di bawah pohon. Dia tenggelam ke dalam keasyikan memancing ikan.
Pengail itu memakai caping lebar akan tetapi sedikit bagian mukanya kelihatan dan ternyata dia adalah seorang laki laki yang sudah tua. Thian Liong, dan Pek Hong Nio-cu tidak memperdulikan kakek itu yang dari bentuk capingnya dapat diduga bahwa dia tentu seorang bersuku bangsa Hui.
"Aku harus menjawab bagaimana, Pek Hong Nio-cu? Aku tadi memang sedang melamun. Panasnya sinar matahari dan kuda kita yang berjalan perlahan membuat aku mengantuk lalu melamun."
"Hemm, melamun sambil cengar-cengir, tersenyum dan menghela napas. Apa saja sih yang kaulamunkan?"
Tentu saja Thian Liong merasa malu untuk menceritakan bahwa tadi dia melamun, membayangkan gadis-gadis yang pernah berurusan dengannya! "Ah, aku melamun tentang masa laluku sampai saat ini."
"Kenapa senyum-senyum dan menghela napas segala? Seperti orang bergembira kemudian bersedih!" desak puteri itu.
"Aku bergembira ketika teringat ketika aku masih kanak-kanak lalu bersedih kalau mengingat keadaanku sekarang, mengejar pencuri kitab yang tidak kuketahui namanya dan kuketahui tempat tinggalnya. Kitab itu harus kudapatkan kembali untuk kuserahkan kepada yang berhak di Kun-lun-pai, kalau tidak berarti aku gagal melaksanakan perintah suhu."
Pek Hong Nio-cu menatap wajah pemuda itu penuh perhatian. Agaknya hatinya tertarik sekali.
"Souw Thian Liong, maukah engkau menceritakan rlwayatmu ketika engkau masih kecil, tentang orang tuamu, tentang gurumu? Aku sudah lama mendengar tentang Tiong Lee Cin-jin yang sangat terkenal sebagai seorang yang sakti berilmu tinggi, juga yang dikenal sebagai Tabib Dewa, suka menolong siapa saja tanpa pilih bulu. Bahkan semua keluarga ayahku di istana mengenal nama itu dan merasa kagum."
"Tidak ada apa-apa yang menarik tentang diriku, Nio-cu. Aku seorang anak desa yang tlnggal di sebuah dusun kecil di lereng Mao-mao-san. Ketika berusia lima tahun, ayah ibuku meninggal dunia karena wabah penyakit perut yang mengamuk di dusun kami."
"Aduh, kasihan sekali engkau, Thian Liong. Dalam usia lima tahun sudah piatu, ditinggal mati ayah ibu," kata Pek Hong Nio-cu sambil memandang wajah Thian Liong dengan iba.
"Aku hidup berdua dengan nenekku dan setelah berusia sepuluh tahun aku bekerja kepada Lurah Coa di dusun kami. Pekerjaanku menggembala kerbau."
Pek Hong Nio-cu tersenyum lebar.
"Ah, aku teringat akan dongeng Ibuku. Ketika aku masih kecil ibu mendongeng tentang seorang pemuda penggembala kerbau yang dengan tiupan sulingnya menarik perhatian seorang bidadari sehingga bidadari turun dari langit kemudian menjadi isteri si penggembala kerbau."
Thian Liong tertawa.
"Ha-ha, kalau meniup suling akupun bisa, akan tetapi mana mungkin ada bidadari memperhatikan aku?"
"Hemm, siapa tahu? Engkau juga seorang penggembala kerbau yang istimewa, Thian Liong. Lanjutkan ceritamu yang menarik sekali itu."
Thian. Liong merasa heran. Bagaimana kisah tentang seorang penggembala kerbau saja menarik hati gadis ini? Akan tetapi segera dia teringat bahwa gadis ini adalah seorang puteri raja, tentu saja tertarik mendengar akan kehidupan seorang penggembala seperti juga seorang penggembala akan tertarik mendengar akan kehidupan seorang puteri raja. Setiap orang selalu tertarik akan hal yang baru, akan hal yang tak pernah dialaminya atau keadaan yang berlawanan dengan keadaannya sendiri.
"Ketika aku berusia sepuluh tahun, pada suatu hari aku menggembala kerbau dan kebetulan aku bertemu dengan suhu Tiong Lee Cin-jin. Nenekku yang sudah berusia delapanpuluh tahun, meninggal dunia dan aku lalu ikut dan menjadi murid suhu. Selama sepuluh tahun aku mempelajari ilmu dari suhu. Kemudian, setahun lebih yang lalu, suhu menyuruh aku turun gunung dan aku diberi tugas untuk menyerahkan kitab-kitab kepada Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai. Sayang sekali, kitab untuk Kun-lun-pai itu dicuri gadis baju merah yang kini sedang kucari itu. Nah, itulah riwayatku, Nio-cu. Sekarang akupun ingin mendengar riwayat seorang puteri raja, kalau saja engkau tidak keberatan untuk menceritakan kepada seorang penggembala kerbau."
Pek Hong Nio-cu tertawa.
"Heh-heh, engkau membalas atau menagih? Riwayatku ketika masih kecil lebih tidak menarik lagi. Aku hidup di dalam istana, serba tertutup, tidak bebas seperti engkau. Ke mana-mana dikawal, sungguh menyebalkan. Akan tetapi untung bagiku, ayahku memberi kebebasan kepadaku setelah aku remaja, bahkan mengijinkan aku mempelajari segala macam ketangkasan. Menunggang kuda sudah bisa kulakukan sejak aku berusia lima tahun. Akan tetapi masih kalah olehmu. Engkau berani menunggang kerbau sejak kecil, sedangkan aku, sampai sekarangpun nanti dulu kalau disuruh menunggang kerbau!"
"Siapakah yang mengajarimu ilmu silat sehingga engkau kini memiliki kepandaian yang tinggi?"
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Guruku banyak sekali. Jagoan istana yang mana saja tentu akan mengajarkan ilmu silatnya kepadaku kalau aku memberitahu ayah. Ayah yang memerintahkan mereka untuk mengajariku dengan baik."
"Wah, agaknya engkau seorang anak yang manja dan nakal!" kata Thian Liong sambil tertawa.
Pek Hong Nio-cu juga tertawa dan bukan main manisnya kalau puteri ini tertawa. Tawanya bebas sehingga tampak deretan giginya yang putih rapi seperti mutiara dan lidahnya yang kecil merah sehat.
"Memang aku dimanja olah ayahku akan tetapi aku tidak nakal!" katanya.
"Dan guruku yang terakhir malah belum pernah berhadapan muka dan belum pernah bicara dengan aku, sungguhpun aku pernah melihatnya satu kali."
"Lho, bagaimana mungkin? Lalu bagaimana dia kauanggap sebagai gurumu dan bagaimana pula caramu mempelajari ilmunya?" tanya Thian Liong heran.
"Begini ceritanya. Pada suatu waktu, aku melihat ibu....... bicara dengan seorang laki-laki dalam taman. Aku tidak berani mengganggu dan ketika aku bertanya kepada ibu, ibu hanya menceritakan bahwa laki-laki itu adalah seorang sahabat lama dan aku disuruh menyebutnya paman Sie. Paman Sie itu menurut ibuku, menjadi guruku juga karena dia telah memberikan tiga buah kitab pelajaran silat seperti yang pernah kuperlihatkan padamu dan sebuah perhiasan rambut yang kupakai ini." Pek Hong Nio-cu meraba perhiasan rambut berbentuk burung Hong yang berada di kepalanya.
"Hemm, jadi karena engkau memakai perhiasan itu maka engkau mendapat julukan Pek Hong Nio-cu (Nona Burung Hong Putih?"
"Kira-kira begitulah, akan tetapi ibuku memesan agar aku merahasiakan dari siapa juga tentang kunjungan Paman Sie itu. Bahkan kepada ayahpun aku tidak menceritakannya."
"Akan tetapi kenapa kepadaku engkau menceritakan?"
"Ah, entahlah. Aku percaya padamu, Thian Liong. Dan pula, aku kira ibuku melarang aku bercerita karena ibuku adalah seorang wanita berbangsa Han dan agaknya Paman Sie itu juga berbangsa Han. Aku tidak menceritakan kepada seorangpun dari bangsa Nuchen (Kin) dan aku hanya bercerita kepadamu karena engkau adalah seorang pemuda Han juga dan aku percaya sepenuhnya kepadamu."
"Terima kasih, Nio-cu. Apakah semenjak itu engkau tidak pernah bertemu atau melihat Paman Sie itu?"
"Tidak pernah. Aku amat berterima kasih kepadanya karena setelah aku mempelajari ilmu-ilmu dari kitabnya, aku memperoleh kemajuan pesat. Aku ingin sekali bertemu dan menghaturkan terima kasih kepadanya, akan tetapi aku tidak tahu di mana dia. Bahkan ketika aku bertanya kepada ibu, Ibu juga tidak mengetahuinya dan hanya mengatakan bahwa Paman Sie adalah seorang perantau besar."
"Tiga buah kitab pelajaran ilmu silat itu memang mengandung pelajaran ilmu silat yang amat hebat, Nio-cu. Paman Sie itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Oya, kalau Ibumu seorang wanita Han, siapakah namanya?"
"Namanya Tan Siang Lin. Nama yang bagus, bukan? Dan engkau nanti setelah berhasil menemukan gadis pencuri kitab dan merampasnya lalu mengembalikan kepada Kun-lun-pai, lalu apa selanjutnya yang akan kaulakukan, Thian Liong?"
"Suhuku masih memberi sebuah tugas lain yang tidak kalah pentingnya. Aku harus membantu para pendekar yang berusaha menyelamatkan Kerajaan Sung dari cengkeraman kekuasaan Perdana Menteri Chin Kui."
Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya.
"Ah, aku tahu siapa itu Perdana Menteri Chin Kui. Dia banyak membantu Kerajaan Kin, akan tetapi ibuku seringkali bilang bahwa Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan Sung itu adalah seorang pengkhianat besar dan seorang jahat. Bahkan akhir-akhir ini ayahku, Raja Kerajaan Kin, juga mengecamnya dan pernah bilang kepadaku bahwa Chin Kui adalah seekor ular kepala dua yang berbahaya dan tidak boleh dipercaya. Sebagai perantara hubungan Kerajaan Kin dan Kerajaan Sung, Chin Kui itu sering kali menjegal dan telah ketahuan bahwa dia juga mencuri sebagian dari hadiah-hadiah yang dikirimkan oleh Raja Sung untuk Raja Kin. Maka, sekarang ayahku mulai tidak percaya dan merenggangkan hubungannya dengan pembesar Chin Kui itu."
"Wah, agaknya engkau mengerti banyak tentang keadaan politik kerajaan Kin, Nio-cu!" kata Thian Liong sambil memandang kagum. Ternyata gadis ini memiliki banyak kemampuan dan pengetahuan yang mengejutkan. Biasanya wanita jarang ada yang mau tahu tentang pemerintahan.
"Tentu saja, Thian Liong. Akupun bertanggung jawab atas keselamatan pemerintahan Kerajaan Kin yang dipimpin ayah, bukan? Malah diam-diam akupun melakukan penyelidikan dan selalu menentang dan memberantas para pembesar Kin yang lalim, tidak jujur dan tidak setia. Aku tahu pula bahwa diam-diam ada persekutuan di kota raja dan aku mendengar bahwa persekutuan untuk memberontak itu dibantu pula oleh pembesar Chin Kui dari Kerajaan Sung."
"Ah, begitukah?"
"Karena itulah aku sekarang pergi ke barat untuk mengunjungi Paman Pangeran Kuang yang menjadi panglima yang memimpin bala tentara yang menjaga perbatasan. Aku akan menceritakan semua itu kepada Paman Pangeran Kuang karena dia adalah seorang ahli yang setia kepada ayah dan menjadi komandan pasukan besar dan kuat. Dia tentu akan datang ke kota raja membawa pasukannya untuk menghancurkan komplotan pemberontak itu."
"Siapakah yang memimpin persekutuan untuk memberontak, Nio-cu?" Thian Liong merasa heran. Ternyata Kerajaan Kin yang merupakan kerajaan bangsa Nu-chen yang menjajah dan terkenal kuat itupun keadaannya sama saja dengan kerajaan Sung yang karena penyerangan bangsa Nuchen terpaksa pindah ke sebelah selatan Sungai Yang-ce, yaitu ada saja orang-orang yang berkhianat.
"Atau, barangkali aku tidak boleh mengetahui?"
"Ah, aku percaya padamu, Thian Liong. Engkaupun tadi sudah bicara blak blakan tentang Perdana Menteri Chin Kui kepadaku. Penggerak persekutuan pemberontak itu adalah seorang pangeran juga, jadi masih pamanku sendiri, paman tiri. Dia bernama Pangeran Hiu Kit Bong. Akan tetapi karena belum mendapatkan bukti bahwa dia akan memberontak dan menyusun kekuatan secara diam-diam, bahkan mungkin sekali mengadakan persekutuan dengan Chin Kui, maka aku tidak dapat berbuat sesuatu. Melapor kepada ayahpun pasti tidak akan dipercaya kalau tidak ada buktinya. Karena itu, jalan satu-satunya adalah menceritakan kepada Paman Pangeran Kuang yang tentu akan dapat membasmi para pemberontak."
"Hemm, kalau ada kesempatan, aku siap untuk membantumu, Nio-cu," kata Thian Liong.
Pek Hong Nio-cu menatap wajah Thian Liong, seolah ingin menjenguk isi hati pemuda itu.
"Akan tetapi, Thian Liong, engkau seorang pemuda berbangsa Han!"
"Hemm, kalau begitu, kenapa Nio-cu?"
"Bagaimana engkau akan membela kepentingan kerajaan Kin? Bukankah kerajaan Kin telah menyebabkan kerajaan Sung mengungsi ke selatan? Apakah engkau tidak mendendam kepada bangsa Nuchen yang mendirikan kerajaan Kin yang menjajah tanah airmu?"
Thian Liong merasa heran. Bagaimana puteri raja Kin dapat berkata begitu ke-padanya? Ini tentu pengaruh ibu puteri itu, yang juga seorang wanita berbangsa pribumi Han.
"Suhu mengajarkan kepadaku agar aku tidak mencampuri urusan antara kerajaan Kin dan kerajaan Sung. Menurut suhu, yang terpenting adalah menyejahterakan kehidupan rakyat, melenyapkan kejahatan dan kebodohan. Karena kalau rakyat hidup sejahtera dan kejahatan dapat dlbasmi atau setidaknya dikurangi, maka negara akan menjadi kuat. Kalau para pejabat melakukan tugasnya dengan jujur dan setia, mementingkan kebutuhan rakyat jelata, maka rakyat pasti akan mendukung pemerintah dan pemerintah menjadi kuat. Kalau terjadi sebaliknya, yaitu kalau para pejabat saling berebutan kekuasaan dan harta benda, tanpa memperdulikan rakyat bahkan menindas rakyat, pasti pemerintah yang tidak didukung rakyat akan menjadi lemah dan mudah dikalahkan musuh, seperti halnya kerajaan Sung dahulu. Mengingat akan ajaran suhu itu, aku tidak mau mendendam kepada kerajaan Kin, bahkan aku siap membantu selama kerajaan Kin mempunyai pemeritahan yang baik dan yang memperhatikan kepentingan rakyat jelata."
"Bagus! Akupun berpendirian seperti engkau, Thian Liong. Apalagi aku mempunyai darah campuran, ayahku orang Nuchen dan ibuku orang Han. Kalau engkau mau membantu aku menentang pemberontak di kerajaan Kin, kelak aku pasti akan membantumu untuk menentang kekuasaan Chin Kui yang berkhianat terhadap kerajaan Sung."
Tiba-tiba terdengar suara derap kaki banyak kuda. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu duduk dengan tetap tenang dan memandang ke arah rombongan berkuda yang mengakibatkan debu mengepul itu. Akan tetapi ketika rombongan itu tiba di dekat mereka, terdengar seruan nyaring.
"Berhenti......!!"
Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong masih duduk dengan tenang walaupun kini mereka memandang kepada rombongan itu dengan penuh perhatian. Mereka melihat bahwa mereka semua terdiri dari sekitar tigapuluh orang akan tetapi tidak dapat dilihat jelas wajah mereka karena debu mengepul dan banyak di antara mereka yang wajahnya tertutup debu seperti dibedaki.
Akan tetapi melihat pakaian seragam pasukan itu, Pek Hong Nio-cu mengenal mereka sebagai pasukan kerajaan Kin. Maka ia cepat bangkit dan melangkah maju menghadapi mereka.
Kembali terdengar aba-aba dan semua perajurit berlompatan turun dari atas kuda mereka. Beberapa orang di antara mereka yang bertugas mengatur kuda segera mengumpulkan kuda-kuda itu agak menjauh dan menambatkannya pada pohon pohon.
Lima orang jagoan yang memimpin pasukan itu cepat maju dan berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu. Tentu saja puteri ini segera mengenal mereka karena dahulu, ketika ia masih remaja dan lima orang itu masih menjadi pengawal-pengawal pribadi Raja Kin, ia pernah juga menerima pelajaran silat dari mereka. Akan tetapi kemudian lima orang ini melakukan pelanggaran dan dikeluarkan dari istana. Maka, tentu saja Pek Hong Nio-cu tidak lagi menganggap mereka sebagai guru, bahkan memandang mereka sebagai orang-orang yang jahat dan khianat.
Dengan alis berkerut Pek Hong Nio-cu memandang lima orang yang berdiri dengan sikap sungkan itu, lalu ia menegur mereka.
"Mau apa kalian datang ke sini? Hayo pergi dan jangan mengganggu aku!"
Bagaimanapun juga, Puteri Moguhai amat terkenal dan disegani segenap orang di kerajaan Kin. Ia memiliki wibawa yang amat kuat sehingga ketika puteri itu membentak mereka, lima orang jagoan itu menjadi gentar dan mereka saling pandang, menjadi salah tingkah.
Con Gu mewakili rekan-rekannya berkata kepada Pek Hong Nio-cu setelah membungkuk dalam-dalam.
"Harap paduka maafkan kami kalau kami mengganggu. Kami melaksanakan perintah Sri baginda Kaisar untuk mengajak paduka pulang ke kotaraja."
Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya.
"Kenapa aku harus pulang? Apa yang terjadi di istana?" terkandung kekhawatiran dalam suaranya.
"Kami tidak tahu, tugas kami hanya mengajak paduka segera kembali ke kota raja," kata Con Gu.
Pek Hong Nio-cu adalah seorang gadis yang cerdik. Ia berpikir, kalau ayahnya memanggilnya puIang, tidak mungkin ayahnya mengutus lima orang ini. Apa lagi pasukan itu bukan pasukan pengawal istana karena ia tidak mengenal mereka. Ada sesuatu yang ganjil di sini, sesuatu yang agaknya tidak beres.
"Kalau Sribaginda memanggil aku pulang dan memerintahkan kalian menjemputku, perlihatkan padaku surat perintahnya!" katanya sambil menatap tajam wajah Con Gu.
Con Gu menjadi salah tingkah dan kembali dia saling pandang dengan empat orang rekannya dan tampak bingung.
"Akan tetapi......" Dia berkata gagap.
"Tidak ada tapi, cepat keluarkan surat perintah Sribaginda Kaisar!" bentak Pek Hong Nio-cu sambil menghunus pedang bengkok dari emas yang menjadi tanda kekuasaannya sebagai wakil Kaisar itu.
Con Gu menjadi semakin bingung. Akan tetapi tiba-tiba Koi Cu, orang kedua dari lima jagoan itu, yang lebih tabah, berkata,
"Surat perintahnya berada di tangan Pangeran Hiu Kit Bong dan kami menerima perintah dari beliau. Harap paduka menurut dan ikut saja dengan kami!"
Wajah Pek Hong Nio-cu yang putih itu kini berubah kemerahan, sinar matanya menyambar penuh kemarahan.
"Keparat! Kalian tidak melihat pedang kekuasaan ini? Aku tidak mau pulang bersama kalian, habis kalian mau apa?"
Melihat keberanian Koi Cu tadi, kini Con Gu pulih kembali ketabahannya dan dia berkata,
"Kalau paduka menolak, terpaksa kami menggunakan kekerasan."
"Berani kalian melawan aku yang membawa pedang kekuasaan ini? Berarti kalian berani melawan Sribaginda Kaisar, berarti kalian pengkhianat dan pemberontak!"
"Kami hanya melaksanakan perintah Pangeran Hiu Kit Bong!" kata Con Gu.
"Kalau begitu paman Pangeran Hiu Kit Bong itu yang hendak memberontak! Aku tetap tidak mau ikut kalian pulang. Hendak kulihat kalian dapat berbuat apa terhadapku!" Pek Hong Nio-cu membentak marah.
"Kalau begitu, terpaksa kami akan menangkap paduka!" Con Gu berkata dan dia memberi isyarat.
Dua losin perajurit itu lalu bergerak mengepung kanan kiri dan depan Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong yang masih duduk. Di belakang kedua orang muda ini adalah sungai sehingga mereka tidak mendapatkan jalan keluar, sudah terkepung rapat. Thian Liong lalu melompat dan berdiri di sisi Pek Hong Nio-cu. Tadi dia diam saja karena tidak ingin mencampuri Pek Hong Nio-cu yang bicara dengan pimpinan pasukan kerajaan Kin dan dia merupakan orang luar. Akan tetapi melihat perkembangannya, mau tidak mau harus mencampurinya.
"Hei, apakah kalian berlima ini tidak malu? Yang hendak kalian lawan ini adalah puteri Sri Baginda Kaisar kerajaan Kin, junjungan kalian sendiri! Berarti kalian ini terang-terangan menjadi pengkhianat dan pemberontak!" kata Thian Liong sambil memandang tajam mereka berlima.
Tiba-tiba dari belakang pasukan itu menerobos seorang pemuda yang pakaiannya menunjukkan bahwa dia bukan anggauta pasukan.
"Souw Thian Liong, engkau harus kutangkap untuk menerima pengadilan di depan para ketua Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai!" bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Cia Song yang tadi memang bersembunyi di belakang pasukan.
Melihat pemuda itu, Thian Liong terbelalak kaget dan heran bukan main.
"Cia-suheng (kakak seperguruan Cia)! Engkau di sini, bersama pasukan pengkhianat ini? Apa artinya ini, suheng?"
"Tak usah engkau mengurus hal itu. Menyerahlah engkau untuk kubawa menghadap para ketua Siauw-lim-pai dan Kun lun-pai untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!"
"Perbuatan apakah itu, Cia-suheng?" Thian Liong bertanya, heran dan penasaran.
"Jangan pura-pura bertanya! Menyerah saja dan engkau akan diadili!"
Pek Hong Nio-cu berseru keras,
"Ah, sekarang aku tahu, Thian Liong. Orang yang kausebut suhengmu ini tentulah utusan Perdana Menteri Chin Kui untuk menghubungi pengkhianat Pangeran Hiu Kit Bong itu!"
Thian Liong terbelalak memandang kepada Cia Song.
"Ah! Benarkah engkau menjadi anak buah Perdana Menteri Chin Kui dan bersekutu dengan pangeran yang memberontak di kerajaan Kin? Cia-suheng, bagaimana engkau bisa......."
"Tangkap mereka! Keroyok pemuda itu, biar aku yang menangkap Pek Hong Nio-cu!" kata Cia Song dan dia sudah menerjang maju, menyerang Pek Hong Nio-cu dengan pedang beronce merah yang dia cabut dari punggungnya.
"Tranggg......!" Pek Hong Nio-cu menangkis dan keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar, menunjukkan bahwa mereka memiliki tenaga sin-kang yang tidak berselisih jauh kekuatannya.
Sementara itu, lima orang jagoan Kin itu sudah membentuk Ngo-heng Kiam-tin mengeroyok Thian Liong. Melihat hebatnya barisan pedang itu, yang masing masing anggautanya menggerakkan pedang samurai dengan dahsyat sekali, Thian Liong juga mencabut Thian-liong-kiam dan memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan yang datangnya bertubi-tubi dari lima jurusan itu.
Thian Liong maklum bahwa dia menghadapi orang-orangnya para pengkhianat, baik pengkhianat kerajaan Sung maupun pengkhianat kerajaan Kin dan pasti mereka itu tidak mempunyai niat baik terhadap Pek Hong Nio-cu. Akan tetapi dia merasa heran sekali mengapa Cia Song yang sama sekali tidak diduganya telah menjadi antek Chin Kui dan bersekongkol dangan pengkhianat kerajaan Kin kini hendak menangkapnya untuk dihadapkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai untuk diadili! Apa yang terjadi? Dia tidak melakukan sesuatu kesalahan terhadap dua perkumpulan besar itu! Karena merasa penasaran, Thian Liong lalu mengamuk.
Thian-liong-kiam di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung sehingga Ngo-heng Kiam tin itupun tidak mampu mendesaknya dan serangan mereka selalu terpental apabila bertemu dengan sinar pedang itu. Akan tetapi Thian Liong juga mendapat kenyataan bahwa barisan pedang yang terdiri dari lima orang itu tak boleh dipandang ringan. Kerja sama mereka rapi sekali, saling melindungi dan saling memperkuat daya serang sehingga dia harus berhati-hati.
Sementara itu, Pek Hong Nio-cu menjadi marah sekali ketika Cia Song berkata dengan suara merayu,
"Ah, puteri jelita, sebaiknya engkau menyerah saja daripada kulitmu yang putih mulus itu menjadi lecet. Sayang kalau engkau sampai terluka, manis."
"Singgg......!" Itulah jawaban Pek Hong Nio-cu. Pedangnya menyambar dahsyat sehingga Cia Song menjadi terkejut sekali dan dia harus cepat mengelak sambil menggerakkan pedangnya menangkis.
"Cringgg......!" Akan tetapi begitu tertangkis, pedang di tangan Pek Hong Nio cu itu telah menyambar lagi, sekali ini dengan babatan seperti kilat menyambar ke arah leher lawan!
Cia Song kembali harus melompat ke belakang untuk menghindarkan diri, kemudian mau tidak mau dia membalas dengan serangannya karena tak mungkin melawan gadis ini hanya dengan bertahan saja. Pek Hong Nio-cu terlalu tangguh untuk dilawan dengan seenaknya. Dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya untuk dapat mengimbangi gadis bangsawan itu. Bahkan ketika dia mencoba untuk mempergunakan ilmu sihirnya, mengeluarkan bentakan dengan suara yang mengandung sihir dan dayanya melumpuhkan, Pek Hong Nio-cu sama sekali tidak terpengaruh. Hal ini adalah karena dara itu juga telah menghimpun tenaga sakti yang kuat sehingga dapat menolak pengaruh sihir lawan.
Melihat betapa tidak mudah baginya untuk mengalahkan Pek Hong Nio-cu, apalagi menangkapnya, dan melihat pula sekelebatan betapa keadaan Ngo-heng Kiam-tin juga tidak lebih baik karena mereka itu agaknya bahkan kewalahan menghadapi gulungan sinar pedang Thian Liong, Cia Song lalu berseru kepada pasukan yang terdiri dari dua losin perajurit itu.
"Pasukan bergerak, serbu......!!"
Dua losin perajurit itu bergerak, terpecah menjadi dua bagian. Selosin perajurit mengeroyok Thian Liong dan yang selosin lagi mengeroyok Pek Hong Nio-cu.
Pek Hong Nio-cu yang mendapatkan lawan seimbang, bahkan merasa betapa Cia Song merupakan lawan yang amat tangguh, menjadi marah sekali ketika selosin orang perajurit itu membantu Cia Song mengeroyoknya. Ia berseru melengking dan pedangnya yang membentuk sinar keemasan itu menyambar-nyambar.
Dua orang perajurit mengaduh dan terpelanting roboh. Melihat ini, Cia Song memperhebat desakannya dan para perajurit yang mengeroyok mulai khawatir. Mereka adalah perajurit pilihan, namun dalam beberapa jurus saja gadis itu telah mampu merobohkan dua orang!
Thian Liong juga mempercepat gerakan pedangnya setelah selosin orang perajurit ikut mengeroyok. Menghadapi Ngo heng Kiam-tin dia masih dapat mengatasi mereka, akan tetapi sebelum dapat merobohkan lima orang samurai itu, kini maju selosin perajurit mengeroyoknya. Maka dia segera menerjang dan tiga orang perajurit roboh oleh sambaran sinar pedangnya.
Tiba-tiba Cia Song mengeluarkan aba aba. Memang dialah sebenarnya yang menjadi pemimpin pasukan itu dan Ngo heng Kiam-tin hanya menjadi pembantu-pembantunya. Setelah dia mengeluarkan aba-aba, sisa perajurit yang masih sembilanbelas orang itu segera mengeluarkan jaring yang memang sudah dlpersiapkan dan mereka adalah perajurit-perajurit yang terlatih menggunakan senjata istimewa ini. Begitu mereka menyerang maka jaring-jaring ditebarkan ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu! Dua orang muda itu mengelak ke sana-sini dan menggunakan pedang untuk menangkis dan merobek jaring yang menyambar. Akan tetapi mereka terkejut karena ternyata jaring-jaring itu terbuat dari tali istimewa yang tidak mudah dirusak senjata tajam!
Kisah Sepasang Naga Eps 2 Kasih Diantara Remaja Eps 12