Kemelut Kerajaan Mancu 14
Kemelut Kerajaan Mancu Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
"Ah, Ibu tentu ingin mengetahui keadaan Ayah!" kata Thian Hwa.
Im-yang Sian-kouw tersenyum dan kedua pipinya yang masih halus itu menjadi kemerahan.
"Yah, bagaimanapun sakit hatiku, dia itu ayahmu, Thian Hwa dan aku juga menyadari bahwa dia tidak bersalah. Akan tetapi begitu tiba di sini, terjadi pertempuran itu. Aku bertanya-tanya dan mendengar tentang namamu yang dipuji-puji orang sebagai pendukung kerajaan dan engkau menentang pemberontak. Ketika aku melihat engkau bertanding melawan Lam-hai Cin-jin, tidak sukar bagiku untuk memihakmu. Aku mengenal Lam-hai Cin-jin sebagai seorang pengikut Jenderal Wu Sam Kwi, dan di selatan dia merupakan seorang datuk yang terkadang melakukan perbuatan sesat. Maka aku segera turun tangan membantumu."
Semua orang bernapas lega. Kini mereka semua sudah mengetahui riwayat masing-masing selama keluarga itu cerai-berai. Kini keluarga itu telah berkumpul dan bersatu kembali. Mereka seolah-olah mengalami kehidupan baru yang menjanjikan masa depan yang penuh kebahagiaan.
***
Bouw Hujin atau Sin-hong-cu Souw Lan Hui mengerahkan seluruh gin-kangnya dan ia berhasil menyusul Ngo-beng Kui-ong yang melarikan diri dari medan pertempuran sambil menculik Pangeran Bouw Hun Ki. Mereka sudah tiba di luar kota raja, di jalan yang sepi.
"Keparat jahanam, Ngo-beng Kui-ong, kiranya nama besarmu itu kosong belaka! Engkau tidak lebih hanya seorang tua bangka mau mampus yang pengecut dan penakut!" demikian Bouw Hujin berteriak setelah ia berkelebatan melampaui lawan dan kini berhadapan dengan Ngo-beng Kui-ong dengan sepasang pedang di tangan.
Melihat bahwa pengejarnya hanya seorang saja, Ngo-beng Kui-ong tertawa mengejek. Tentu saja dia tidak takut kepada nyonya itu. Tadi, dalam pertempuran, dia sudah mengenal ilmu silat nyonya ini dan walaupun harus dia akui bahwa wanita cantik ini memiliki ilmu pedang Bu-tong-pai yang amat dahsyat, namun kalau hanya bertempur satu lawan satu, dia merasa yakin akan mampu mengalahkannya. Kini di tempat sunyi itu, tentu saja hatinya menjadi besar. Dia melemparkan tubuh Pangeran Bouw Hun Ki yang lemas tertotok ke atas tanah sehingga tubuh itu bergulingan. Hati Nyonya Bouw tenang melihat keadaan suaminya tidak terluka dan tidak terancam bahaya, maka tanpa membuang waktu lagi ia sudah memutar sepasang pedangnya dan menyerang dengan ganas dan sangat dahsyat.
"Haiiittt...!" Pedang kiri wanita itu menusuk ke arah muka di tengah-tengah antara kedua mata Ngo-beng Kui-ong dengan jurus Hui-in-ci-tian (Awan Mengeluarkan Kilat) disambung dengan pedang kanan menyambar dari samping, melengkung menebas pinggang lawan dengan jurus Giok-tai-wi-yau (Sabuk Kemala Melingkari Pinggang). Dua serangan beruntun ini berbahaya bukan main karena serangan pertama ke arah tengah-tengah antara sepasang mata itu membuat lawan silau dan terkejut, pandangannya tercurah kepada sinar mencorong yang meluncur ke tengah dahi itu sehingga perhatiannya terhadap pedang kanan yang menyambar pinggang agak kurang. Akan tetapi Ngo-beng Kui-ong adalah seorang ahli silat yang selain kuat juga sudah banyak sekali pengalamannya berkelahi, maka biarpun dia agak terkejut, tetap saja dia dapat menggerakkan tongkat ularnya ke sebelah kiri tubuhnya untuk menangkis babatan pedang kanan Nyonya Bouw.
"Singg... trangggg!" Bunga api berpijar menyilaukan mata dan di lain saat Ngo-beng Kui-ong sudah membalas dengan serangan kilat yang amat hebat. Dia bukan hanya menggerakkan tongkatnya, melainkan menggerakkan tubuhnya yang berputaran seperti gasing dan tongkatnya mencuat dan menyambar dari pusingan badannya yang tidak dapat dilihat jelas itu. Tentu saja menghadapi serangan aneh ini, Bouw Hujin terkejut, akan tetapi wanita itu memiliki gin-kang yang tinggi, membuat tubuhnya dapat berkelebatan seperti seekor burung walet yang selalu dapat menghindarkan diri dari serangan tongkat yang tiba-tiba dari tubuh lawan yang berpusing itu.
Perkelahian di tempat sunyi itu semakin seru. Ngo-beng Kui-ong bersilat dengan ilmu tongkat Pat-hong-tung (Tongkat Delapan Penjuru) yang amat dahsyat sehingga tubuhnya berputar seperti gasing. Untuk menghadapi ilmu tongkat yang amat hebat ini, Bouw Hujin (Nyonya Bouw) mainkan siang-kiam (sepasang pedang) dengan ilmu pedang Siang-liong-hui-thian (Sepasang Naga Terbang ke Langit) sebuah ilmu pedang dari Bu-tong Kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai). Karena Nyonya ini telah memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat baik, maka tubuhnya seperti berkelebatan terbang saja.
Akan tetapi, bagaimanapun juga, Sin-hong-cu Souw Lan Hui atau Nyonya Bouw yang lihai itu masih kalah pengalaman bertanding dibandingkan lawannya yang sudah berusia delapan puluh tahun. Kakek tua renta ini banyak sekali ilmunya yang aneh-aneh, bukan hanya gerakan silat yang aneh dan lihai, akan tetapi juga dia memiliki tenaga sihir yang kuat sehingga terkadang, kalau dia membentak sambil mengerahkan tenaga sihirnya, Bouw Hujin merasa betapa tubuhnya terguncang hebat yang membuat gerakannya agak kacau dan berkurang kecepatannya. Ngo-beng Kui-ong merasa girang. Kini dia tahu bahwa inilah kemenangannya dan dia pun semakin sering menyerang dengan pengerahan tenaga sihir. Dan tidak dapat disangkal lagi bahwa Nyonya Bouw kini mulai terdesak hebat.
Melihat dari tempat dia rebah terguling dan telentang, Pangeran Bouw Hun Ki merasa khawatir sekali. Dia melihat betapa isterinya mulai terdesak oleh kakek tua renta yang amat sakti itu. Dia tidak mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri, akan tetapi dia amat mengkhawatirkan isterinya. Andaikata dia tidak berada dalam keadaan tertotok, tetap saja dia tidak mampu membantu isterinya. Tingkat kepandaian silatnya masih terlalu jauh di bawah tingkat mereka sehingga bantuannya bukan menolong bahkan selain mengacaukan permainan silat isterinya, juga dalam beberapa gebrakan saja dia akan roboh dan tewas.
Kalau mungkin dia ingin berteriak kepada kakek itu yang dia tahu bernama Ngo-beng Kui-ong agar kakek itu melepaskan isterinya dan membawa dia ke mana pun dikehendakinya. Dia siap dan rela mengorbankan nyawa asalkan isterinya selamat. Namun dia tidak mungkin meneriakkan keinginannya dan permintaannya itu. Dia mengenal baik isterinya, seorang pendekar wanita yang lebih menghargai nama dan kehormatan daripada nyawa. Maka, dia mulai memandang dengan muka pucat melihat isterinya kini repot sekali, hanya dapat menggunakan sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya saja tanpa mampu balas menyerang.
Bahkan sudah dua kali Nyonya Bouw terhuyung ke belakang dan hampir terpelanting saking kuatnya hawa pukulan yang mengandung tenaga sihir itu melandanya. Ngo-beng Kui-ong semakin ganas dan kini dia mendesak dengan tongkatnya yang amat berbahaya karena selain tongkat ular itu mengandung racun, juga tamparan tangan kirinya merupakan serangan yang lebih ganas dibandingkan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin, murid keponakannya itu!
Pada saat yang amat gawat itu, tiba-tiba terdengar seruan lembut.
"Siancai! Ngo-beng Kui-ong yang sudah amat tua masih saja belum mampu menahan nafsunya yang suka membunuh. Sayang sekali!"
Ngo-beng Kui-ong terkejut sekali ketika tiba-tiba ada hawa dorongan yang amat kuat membuat tubuhnya yang berputar itu kehilangan keseimbangan sehingga dia menghentikan jurus silat berpusing itu dan memandang dengan penuh perhatian.
Dia melihat seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu dari kain putih, mukanya bersih tanpa kumis atau jenggot dan sikapnya tenang sekali, usianya sekitar enam puluh tahun.
"Thian Bong Sianjin!" serunya kaget. Sebaliknya, Pangeran Bouw Hun Ki, terutama sekali Nyonya Bouw, girang bukan main melihat munculnya Thian Bong Sianjin dalam keadaan yang amat gawat bagi suami isteri itu.
Watak Ngo-beng Kui-ong sejak dulu memang licik. Dia cerdik sekali dan tidak segan menggunakan cara apa pun demi keuntungannya. Melihat munculnya Thian Bong Sianjin, dia maklum bahwa melawan Thian Bong Sianjin berdua Sin-hong-cu Souw Lan Hui, dia tidak akan menang bahkan dia berada dalam keadaan gawat dan berbahaya sekali. Maka cepat dia menudingkan tongkatnya ke arah tubuh Pangeran Bouw Hun Ki yang masih rebah telentang di atas tanah, dan sinar hitam meluncur dari ujung tongkat ke arah Pangeran Bouw Hun Ki.
Melihat ini, Thian Bong Sianjin yang berdirinya lebih dekat dengan pangeran itu, melompat dengan gerakan kilat. Paku hitam yang meluncur dari ujung tongkat itu mengenai pundaknya ketika tubuhnya menjadi perisai bagi Pangeran Bouw Hun Ki.
"Manusia curang!" Thian Bong Sianjin berseru.
Melihat Thian Bong Sianjin tidak roboh biarpun terkena pakunya yang beracun, Ngo-beng Kui-ong menjadi semakin ketakutan dan dia pun lalu melompat dan melarikan diri. Setelah kakek itu pergi, tubuh Thian Bong Sianjin terkulai roboh.
Nyonya Bouw tidak melakukan pengejaran karena perhatiannya lebih tercurah kepada suaminya dan kepada Thian Bong Sianjin. Ia meloncat dekat suaminya, membebaskan totokan sehingga Pangeran Bouw Hun Ki mampu bergerak lagi, lalu keduanya memeriksa keadaan Thian Bong Sianjin yang tergeletak dalam keadaan pingsan. Tanpa ragu Nyonya Bouw membuka kancing baju sehingga tampak dada Thian Bong Sianjin. Ia mengerutkan alisnya ketika melihat sebatang paku hitam telah menancap di pundak kanan bekas kekasih atau sahabat baiknya itu.
"Bagaimana keadaannya? Parahkah?" Pangeran Bouw Hun Ki bertanya dengan khawatir.
Nyonya Bouw mengangguk.
"Ia terkena senjata rahasia Toat-beng-hek-ting (Paku Hitam Pencabut Nyawa) yang mengandung racun amat berbahaya, sama bahayanya dengan akibat pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam)."
"Ah, celaka! Lalu bagaimana? Engkau harus dapat menyembuhkannya. Ingat, dia terluka karena melindungi diriku, kalau dia tidak menghadang, tentu aku yang terkena senjata rahasia ini dan sudah mati!" kata Pangeran Bouw kepada isterinya.
"Aku mengerti," Nyonya Bouw mengangguk, dalam hatinya merasa bersukur bahwa suaminya demikian bijaksana, sama sekali tidak merasa cemburu walaupun sudah mengetahui bahwa dahulu di waktu ia belum menjadi isteri pangeran itu, hubungannya dengan Thian Bong Sianjin amat akrab.
"Satu-satunya obat penawar yang dapat menyelamatkan nyawanya hanyalah jamur salju putih, atau bubuk racun ular laut. Kukira di ruangan obat istana terdapat obat-obat penawar itu. Mari kita cepat bawa dia ke sana," Nyonya Bouw Hun Ki lalu mencabut paku hitam, menggunakan sin-kangnya untuk menyedot darah yang keracunan walaupun yang keluar tidak cukup banyak. Lalu ia menotok jalan darah di sekitar pundak untuk mencegah menjalarnya racun hitam itu. Kemudian mereka membawa Thian Bong Sianjin yang masih pingsan kembali ke kota raja dan langsung saja ke istana.
Benar saja dugaan Nyonya Bouw, di ruangan penyimpanan obat-obatan langka di istana terdapat obat penawar racun ular laut. Setelah diobati dengan racun ular laut untuk menangkal racun dari Hek-tok-ting, ternyata obat itu manjur sekali. Thian Bong Sianjin siuman dari pingsannya dan terbebas dari ancaman maut. Hanya saja dia masih agak lemah dan perlu beristirahat beberapa hari. Begitu bangkit duduk dan melihat Pangeran Bouw Hun Ki dan Nyonya Bouw, dia segera mengucapkan terima kasih.
"Ji-wi (Kalian Berdua) telah menyelamatkan nyawa pinto (aku). Kalau tidak ada Pangeran Bouw dan Bouw Hujin yang menolong, kiranya hari ini pinto sudah tidak berada di dunia lagi."
"Wah, Totiang (sebutan pendeta), ucapan apakah yang kaukatakan ini? Ini terbalik sama sekali!" kata Pangeran Bouw Hun Ki.
"Saya diculik Ngo-beng Kui-ong, kemudian isteriku mengejar dan bertanding melawan dia. Akan tetapi, Ngo-beng Kui-ong amat lihai dan agaknya isteriku dan aku pasti akan binasa kalau saja tidak ada Totiang yang menolong kami berdua. Bahkan Totiang menghadang paku terbang untuk melindungiku sehingga Totiang sendiri yang terluka. Siapakah yang menolong dan siapa yang ditolong dalam hal ini?"
Thian Bong Sianjin tersenyum.
"Siancai! Kita saling tolong, semua terjadi secara kebetulan. Nah, yang kebetulan inilah yang telah menolong, karena kebetulan tidak dapat kita buat. Hanya Yang Maha Kuasa sajalah yang menciptakan kebetulan sehingga kita diberi kesempatan untuk saling bantu. Sesungguhnya, Yang Maha Kuasa yang menolong kita semua, dengan cara melalui orang lain yang dipergunakanNya pada saat itu."
"Benar sekali apa yang dikatakan Thian Bong Sianjin tadi. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa sajalah yang dapat menolong manusia kalau hal itu dikehendakiNya. Karena itu, segala puji dan rasa syukur tidak sepatutnya ditujukan kepada manusia lain, kecuali hanya kepada Tuhan. Kita semua seyogianya berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Pengasih!" kata Nyonya Bouw dengan girang.
"Aih, ucapan isteriku ini mengingatkan aku kepada cara orang-orang berterima kasih kepada Tuhan. Biarpun setiap saat mengucapkan terima kasih dengan suara lantang, biarpun setiap hari menyalakan dupa berlutut di depan meja sembahyang dan memberi korban yang serba mewah untuk menyembah Tuhan, seperti yang dilakukan setiap orang untuk menyatakan terima kasih mereka kepada Tuhan, apakah hal ini sudah tepat dan benar? Mengapa kita selalu bersukur, berterima kasih dan berdoa sukur kepada Tuhan setiap kali kita menerima anugerah, menerima berkat yang berlimpah, menerima hal-hal yang kita anggap menguntungkan dan menyenangkan? Mengapa kita bersungut-sungut dan tidak mengucap sukur kepada Tuhan yang kita anggap tidak memberkati kita kalau kita mengalami hal yang kita anggap merugikan dan tidak menyenangkan? Totiang, mohon penjelasan akan semua ini dan mohon petunjuk, apa yang sepatutnya kita sebagai manusia bertindak untuk menyatakan rasa sukur dan terima kasih kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa."
Thian Bong Sianjin tertawa.
"Pangeran, untuk menyelidiki hal ini jangan kita hanya menerima pendapat seseorang karena kalau pendapat itu keliru, kita semua ikut keliru. Hidup ini adalah pengalaman kita semua, maka untuk menyadari akan kebenaran, kita dapat belajar dengan membuka mata melihat kehidupan itu sendiri, tanpa menilai, tanpa pendapat, hanya melihat dan merasakan. Mari kita menyelidiki bersama tentang apa yang engkau katakan tadi. Segala macam perbuatan kalau mengandung pamrih bagi diri sendiri, sudah pasti perbuatan itu palsu adanya dan hanya merupakan cara untuk mendapatkan pamrihnya itu.
Ada pamrih yang terkandung dalam perbuatan yang disebut baik, seperti ingin dipuji, ingin mendapatkan imbalan jasa, ingin dibalas, dan masih banyak lagi keinginan yang tersembunyi di balik perbuatan itu, semua bermaksud untuk menguntungkan dan menyenangkan dirinya sendiri. Jelas bahwa perbuatan pamrih itu tidak benar. Perbuatan tanpa pamrih adalah perbuatan yang spontan, akan tetapi perbuatan ini pun ada dua macam. Perbuatan spontan yang didasari rasa benci, sudah pasti tidak benar karena mengandung kekejaman dan permusuhan. Sebaliknya, segala macam perbuatan yang didasari Kasih sudah pasti baik dan benar!
Nah, Kasih dari Tuhan yang kita terima berlimpah setiap saat, apakah kita hanya menjadi manusia-manusia yang hanya bisa minta dan menerima saja, tanpa pernah memberi? Lalu kalau Kasih dari Tuhan diujudkan dengan berkat-berkat yang berlimpahan, apakah yang dapat kita lakukan untuk menyatakan bahwa kita benar-benar berterima kasih kepadaNya? Tuhan Maha Kuasa, tentu saja tidak membutuhkan pemberian apa pun dari siapa juga, akan tetapi sebagai rasa sukur dan terima kasih kita, kita dapat membantu Tuhan dengan menyalurkan berkat-berkatnya yang diberikan kepada kita kepada orang lain! Kita diberkati kekuatan yang lebih, mari kita salurkan berkat itu kepada orang lain, untuk menolong orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan.
Kita diberkati harta benda yang lebih, mari kita salurkan itu kepada orang lain, menolong orang yang membutuhkan karena miskin. Kita diberkati pengetahuan dan pengertian, mari kita salurkan berkat itu kepada orang lain yang tidak mengetahui dan kurang mengerti. Kita diberkati kedudukan dan kekuasaan tinggi, mari kita salurkan berkat itu untuk melindungi rakyat yang tidak berkedudukan yang tidak memiliki kekuasaan. Dengan demikian, tidak sia-sialah semua berkat berlimpahan yang kita terima dari Tuhan dan berbahagialah orang yang menjadi alat Tuhan, yang dipakai oleh Tuhan untuk menyalurkan berkat-berkatnya. Lihatlah, semua mahluk di dunia ini, baik bergerak maupun yang tidak bergerak, semua merupakan penyalur berkat Tuhan. Pohon-pohon memberikan bunga, buah, daun, bahkan kayunya untuk manusia dan binatang.
Binatang-binatang juga menyalurkan berkat Tuhan dengan memberikan segala yang ada padanya demi kesejahteraan manusia. Lihat angin, air, api, bahkan matahari dan bulan, mereka semua itu menjadi penyalur berkat Tuhan yang mutlak pentingnya bagi manusia. Lalu sekarang pertanyaannya yang harus kita tujukan kepada hati kita masing-masing, kita yang telah menerima sekian banyaknya berkat dari Tuhan secara berlimpah melalui segala benda dan mahluk ciptaanNya di muka bumi ini, apakah yang telah kita lakukan untuk menyatakan terima kasih kita kepada Tuhan dengan jalan menyalurkan berkatnya yang berlimpahan itu kepada pihak lain? Berkat dari Tuhan kita terima melalui manusia, hewan maupun tanaman. Tidakkah sudah sepatutnya kalau kita menyatakan terima kasih dan puji sukur kita juga melalui uluran kasih kepada sesama manusia, hewan, dan tanaman?"
Suasana menjadi sunyi sekali setelah Thian Bong Sianjin berhenti bicara. Pangeran Bouw Hun Ki dan Nyonya Bouw dapat merasakan denyut jantung mereka sendiri dengan jelas. Semua kata-kata itu meresap sampai ke sanubari mereka masing-masing.
Justru dalam keadaan hening itu, di mana pikiran tidak berkeliaran dan hati tidak disibukkan perasaan apa pun, mereka dapat menerima semua ucapan tadi yang membangkitkan kesadaran mereka akan kebenaran yang hakiki.
Pada saat itu terdengar langkah orang yang memecahkan keheningan itu. Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, dan Gui Siang Lin memasuki ruangan itu. Dua pasang orang muda ini sudah mendengar dari Nyonya Bouw bahwa Thian Bong Sianjin yang menyelamatkan Pangeran Bouw Hun Ki dan isterinya adalah guru Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. Maka mereka datang berkunjung untuk menengok keadaan kakek itu yang sudah mulai sembuh.
Nyonya Bouw memperkenalkan mereka kepada Thian Bong Sianjin yang ikut merasa gembira bahwa Nyonya Bouw atau Souw Lan Hui yang dulu pernah menjadi sahabat baiknya itu kini hidup bahagia dengan seorang suami yang bijaksana dan dua orang anak laki dan wanita yang gagah perkasa, bahkan agaknya telah menemukan calon dua orang mantu murid Siauw-lim-pai yang gagah dan baik pula! Diam-diam dia bersukur karena seandainya Souw Lan Hui menjadi isterinya, belum tentu keadaannya akan sebaik dan sebahagia sekarang!
Mereka bercakap-cakap dengan gembira dan dalam kesempatan itu, empat orang muda itu mendapatkan banyak petunjuk tentang kehidupan dari Thian Bong Sianjin.
***
Ang-mo Niocu Yi Hong berhasil melarikan diri dan ia merasa girang bahwa tidak ada yang mengejarnya. Biarpun sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi ia harus membawa kabar yang tidak menggembirakan karena usaha pemberontakan Pangeran Cu Kiong yang didukungnya telah gagal, namun ia berhasil membawa Tek-pai yang oleh Pangeran Cu Kiong diserahkan atau dititipkan kepadanya. Jenderal Wu Sam Kwi pasti akan girang sekali bisa mendapatkan Tek-pai itu karena sebuah Tek-pai dari Kaisar bagaimanapun juga memiliki kekuasaan yang disegani dan dihormati kalangan atas kerajaan.
Setelah melakukan perjalanan yang cepat, menggunakan kuda yang selalu ditukar dengan yang baru setelah kuda itu kelelahan, akhirnya Ang-mo Niocu Yi Hong tiba di perbatasan Yunnan-hu yang menjadi daerah kekuasaan Jenderal Wu Sam Kwi.
Ia berhenti di kota Mayong yang berada di dekat perbatasan dan termasuk daerah Yunnan-hu. Karena merasa sudah berada di daerah sendiri, Ang-mo Niocu yang merasa lega dan aman lalu beristirahat dalam sebuah kamar di rumah penginapan. Ia telah melakukan perjalanan yang jauh dan berat sehingga tubuhnya terasa lelah sekali. Sampai dua hari dua malam ia melepaskan lelah, menghabiskan waktu itu untuk makan dan tidur saja. Setelah menginap dua malam, pada hari yang ke tiga, ia melanjutkan perjalanan menuju ke ibu kota Yunnan-hu yang letaknya masih sekitar seratus li (mil) dari kota Mayong kini ia tidak tergesa-gesa dan telah menjual kudanya dan melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki.
Siang hari itu panas sekali dan seperti biasa ia mengembangkan payungnya untuk melindungi mukanya dari sengatan sinar matahari. Tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat melaluinya dan ketika bayangan itu berhenti dan berbalik sehingga mereka saling berhadapan, Ang-mo Niocu melihat seorang pemuda tampan berpakaian putih menghadangnya sambil tersenyum lebar. Pemuda itu bukan lain adalah Si Han Bu yang memang melakukan pengejaran terhadap Ang-mo Niocu setelah ia mendengar dari Huang-ho Sian-li bahwa Tek-pai dari Kaisar yang diberikan kepada gadis itu telah dirampas Pangeran Cu Kiong dan kemudian oleh pangeran itu diserahkan kepada Ang-mo Niocu yang kini membawa Tek-pai itu kabur menuju ke Yunnan-hu di selatan
"Hai, Nona berpayung merah yang cantik, engkau tergesa-gesa hendak ke manakah?" kata Han Bu sambil tersenyum.
Ang-mo Niocu terbelalak memandang pemuda itu. Tadinya ia merasa tidak mengenal pemuda yang tampan dan tampak ramah ini, akan tetapi ia segera teringat bahwa ini adalah pemuda yang pernah ditawan dalam kamar tahanan di istana Pangeran Cu Kiong. Padahal Pangeran Cu Kiong sudah mengatakan bahwa kalau perjuangannya memberontak gagal, para prajurit yang menjaga tawanan itu diperintahkan untuk menghujaninya dengan anak panah sampai mati. Bagaimana sekarang tahu-tahu pemuda itu telah bebas dan berada di depannya? Akan tetapi gadis yang sudah banyak pengalaman ini dapat menenangkan hatinya kembali karena ia pun maklum bahwa tidak mungkin pemuda ini sengaja mengejarnya. Untuk apa mengejarnya? Pemuda ini tidak mempunyai alasan untuk mengejarnya.
Dalam pemberontakan Pangeran Cu Kiong itu ia hanya seorang pembantu yang tidak begitu penting. Dan tidak ada seorang pun mengetahui kecuali dia dan Pangeran Cu Kiong sendiri bahwa Tek-pai dari Kaisar itu kini berada padanya. Pula, Ang-mo Niocu memang amat tertarik kepada Si Han Bu, pemuda yang tinggi besar dan jantan gagah berwajah tampan ini. Apalagi ia tahu bahwa ilmu silat pemuda ini cukup tangguh, dan sikapnya yang agak ugal-ugalan menambah daya tariknya sebagai seorang pemuda. Lumayan untuk teman bersenang-senang setelah sekian lamanya melakukan pelarian yang melelahkan tanpa teman! Maka, ia tersenyum manis sekali ketika Han Bu menegurnya sambil tersenyum itu. Tanpa banyak berpura-pura lagi ia pun menjawab.
"Aih, engkau sudah dapat membebaskan diri dari tawanan Pangeran Cu Kiong yang brengsek itu? Aku memang tergesa-gesa pergi meninggalkannya. Untuk apa aku membela pangeran yang gagal segala-galanya itu? Aku tahu bahwa dia pasti akan gagal segala-galanya, maka aku pun tidak sungguh-sungguh membantunya. Eh, siapa pula namamu? Si Han Bu, bukan? Hei, anak manis, sejak engkau ditawan sebetulnya aku ingin sekali menolongmu namun tidak mendapatkan kesempatan."
"Ah, aku memang tahu bahwa engkau adalah seorang yang baik hati, Ang-mo Niocu!" kata Han Bu, diam-diam dia mengagumi kecantikan gadis itu. Bukan hanya wajahnya yang cantik manis, akan tetapi juga bentuk tubuhnya menggairahkan. Seorang gadis yang amat menarik hati, memiliki daya tarik yang luar biasa, terutama kerling mata dan senyum bibirnya yang menantang itu. Akan tetapi dia pun sudah mengetahui bahwa gadis yang menarik ini amat lihai dan berbahaya, juga sudah mendengar betapa gadis ini merupakan seorang iblis betina yang suka menggoda laki-laki untuk kemudian dibunuhnya! Benar-benar seorang iblis betina yang amat cantik!
"Tentu saja aku tidak mungkin bersikap tidak baik terhadap seorang pendekar muda yang gagah perkasa seperti engkau ini, Si Han Bu. Sekarang katakan, mengapa engkau menyusul aku? Dan bagaimana engkau dapat menyusulku sejauh ini?"
Han Bu tetap tersenyum.
"Aku meniru perbuatanmu, Niocu. Aku juga menunggang kuda yang kutukar dan ganti dengan kuda lain setiap kudaku sudah kelelahan. Akhirnya aku dapat mengejarmu di sini."
"Hemm, dan apa yang dapat kulakukan untukmu, pemuda gagah?"
"Ang-mo Niocu, perang pemberontakan Pangeran Cu Kiong telah usai, pemberontakan telah dapat dihancurkan dan kini tidak ada lagi permusuhan antara engkau dan aku membela pihak masing-masing. Karena itu, apabila engkau benar-benar hendak berbaik hati kepadaku, aku harap engkau suka menyerahkan Tek-pai yang kauterima dari Pangeran Cu Kiong kepadaku."
Bibir yang berbentuk indah menantang itu bergerak-gerak mengarah senyum simpul yang nakal.
"Tek-pai? Mengapa aku harus menyerahkan Tek-pai kepadamu, pendekar tampan?"
"Niocu, Tek-pai itu oleh mendiang Kaisar Shun Chi telah diberikan sebagai tanda kekuasaan kepada Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa puteri Pangeran Ciu Wan Kong. Pangeran Cu Kiong yang memberontak merampas Tek-pai itu dari tangan Huang-ho Sian-li ketika gadis itu tertawan. Kemudian Pangeran Cu Kiong menyerahkan Tek-pai itu kepadamu, Niocu. Nah, karena Tek-pai itu bukan hak milikmu, maka sudah sepatutnya kalau kaukembalikan kepadaku agar dapat kuserahkan kepada yang berhak, yaitu Huang-ho Sian-li."
"Bagaimana kalau Tek-pai itu tidak ada padaku, Han Bu?"
"Bohong! Pangeran Cu Kiong sendiri yang mengaku bahwa Tek-pai itu dia serahkan kepadamu." bentak Han Bu.
"Sudahlah, jangan mempermainkan aku, Niocu. Serahkan Tek-pai itu padaku dan tidak ada urusan lagi di antara kita, tidak ada permusuhan lagi."
"Kau tidak percaya dan mengira aku berbohong? Nah, silakan menggeledahku, Han Bu. Mari, di sini sepi tidak ada orang lain. Geledahlah aku!" Gadis itu lalu menghampiri sebatang pohon besar di tepi jalan. Tempat itu teduh dan ia menurunkan payungnya, lalu menghampiri Han Bu dan berdiri dengan sikap menantang, membusungkan dadanya dan mengangkat kedua lengannya ke atas, memberikan tubuhnya untuk digeledah!
Mendapatkan tantangan ini, Han Bu tersenyum malu-malu dengan muka berubah kemerahan. Bagaimana mungkin dia menggeledah dan menggerayangi tubuh Ang-mo Niocu untuk mencari Tek-pai yang mungkin disembunyikan di balik pakaiannya?
"Aih, bagaimana ini, Niocu. Aku suka menggeledahmu, akan tetapi menggerayangi tubuhmu? Aku tidak mau bertindak tidak sopan dan kurang ajar terhadap wanita."
"Ah, tidak apa-apa. Aku senang kalau engkau mau menggeledah dan mencari Tek-pai itu agar engkau yakin bahwa aku tidak berbohong kepadamu. Tek-pai itu memang tidak berada padaku, Han Bu."
Si Han Bu merasa serba salah. Tidak mungkin dia mau menggerayangi tubuh gadis itu untuk menggeledah. Bagaimana kalau gadis itu berbohong? Akan tetapi mungkin saja gadis itu memang tidak membawa Tek-pai karena memang sudah ia sembunyikan sebelumnya? Dia mencari akal, lalu berkata.
"Ang-mo Niocu, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang wanita yang gagah perkasa dan sebagai seorang wanita gagah perkasa engkau tentu tidak mau berbohong. Benarkah itu?"
"Tentu saja benar!" kata Ang-mo Niocu sambil tersenyum manis dan hatinya merasa senang.
"Kalau begitu, cobalah engkau membuat ikrar dengan mengikuti kata-kataku. Beranikah engkau? Tentu berani karena seorang gagah tidak takut akan apa pun, bukan?"
"Ya, tentu saja aku berani!"
"Nah, ikuti kata-kata dan tirukan. Tek-pai itu tidak ada padaku."
"Tek-pai itu tidak ada padaku!" kata Ang-mo Niocu dengan tegas dan seperti main-main.
"Kalau aku berbohong...."
"Kalau aku berbohong...." gadis itu menirukan.
"Aku menjadi gadis yang paling jelek, paling tidak menarik, paling menjemukan di dunia ini!"
"Aku menjadi gadis...." Ang-mo Niocu tidak melanjutkan. Gadis mana mau disebut paling jelek, paling tidak menarik, dan paling menjemukan di dunia ini?
"Ha, ternyata engkau seorang gadis yang benar-benar gagah sehingga engkau tidak mau berbohong. Sekarang katakan, di manakah Tek-pai itu, Ang-mo Niocu?"
"Hemm, Tek-pai ada padaku, lalu apa yang akan kaulakukan kalau Tek-pai tidak kuserahkan kepadamu, Han Bu?"
"Terpaksa akan kupergunakan kekerasan karena aku sudah berjanji kepada guruku untuk mendapatkan Tek-pai itu kembali."
"Hi-hik, andaikata engkau dapat mengalahkan aku, lalu bagaimana engkau dapat mengambil Tek-pai dariku, pemuda ganteng?"
"Kalau engkau dapat kukalahkan dan menjadi tidak berdaya, tentu aku dapat mengambil Tek-pai itu dengan mudah darimu."
"Betulkah itu? Memangnya engkau sudah tahu di mana Tek-pai itu kusimpan, Han Bu?"
Han Bu tertegun.
"Memangnya disimpan di mana?" Mata pemuda itu memandang dengan sinar mencari-cari di seluruh tubuh gadis itu.
"Engkau mau tahu?" Ang-mo Niocu mengerling genit dan tersenyum lebar penuh arti.
"Tek-pai itu kusimpan di balik celanaku, di dekat pusar. Nah, beranikah engkau mengambilnya? Kalau berani, tidak usah kita bertanding. Aku tidak ingin kaupukul roboh, dan aku pun tidak ingin memukulmu. Silakan kauambil saja dari balik celanaku dan aku tidak akan mencegahnya. Mari, ambillah, Si Han Bu!" Kembali gadis itu memajukan dada dan perutnya ke arah Han Bu sambil melangkah mendekati.
Han Bu terpaksa mundur-mundur! Sialan, pikirnya. Pengakuan gadis itu bahwa Tek-pai itu disimpan di balik celana, membuat dia kehilangan akal. Apalagi gadis itu berada dalam keadaan sadar, bahkan andaikata gadis itu pingsan sekalipun, bagaimana mungkin dia dapat mengambil Tek-pai di tempat tersembunyi seperti itu?
"Hayo, Han Bu. Mengapa mundur-mundur? Ke sinilah, ambillah Tek-pai itu, mari!" Ang-mo Niocu dengan gembira menggoda dan ia merasa senang karena keraguan dan keengganan Han Bu itu jelas merupakan pertanda bahwa pemuda ini adalah seorang perjaka tulen yang belum pernah berdekatan apalagi bergaul akrab dengan wanita!
"Aku... aku tidak mau mengambilnya darimu...."
"KENAPA? Bukankah engkau sudah berjanji kepada gurumu untuk mengambilnya dariku dan menyerahkannya kepada yang berhak? Aih, engkau sungkan dan malu, ya? Karena kita belum saling mengenal? Sekarang begini saja, Han Bu. Kita bersahabat dan kalau engkau mau bersikap manis dan baik kepadaku, mau menjadi kekasihku, aku akan menyerahkan Tek-pai itu padamu. Bagaimana, mudah, bukan?"
Wajah pemuda itu berubah merah sekali seperti udang direbus dan dia hanya menggelengkan kepalanya kuat-kuat tanpa dapat mengeluarkan suara.
Pada saat itu terdengar derap kaki kuda dan muncul dua orang penunggang kuda yang segera menghentikan kuda mereka setelah tiba di dekat Ang-mo Niocu dan Si Han Bu. Pemuda ini tentu saja terkejut bukan main ketika mengenal bahwa seorang di antara dua orang penunggang kuda itu adalah Lam-hai Cin-jin yang amat lihai. Orang ke dua adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh enam tahun yang tampan gagah berpakaian indah dan pesolek. Dia itu bukan lain adalah Wu Kongcu (Tuan Muda Wu) yang bernama Wu Kan, putera dari Jenderal Wu Sam Kwi yang kini menjadi raja kecil di Yunnan-hu dan menguasai sebagian daerah Se-cuan.
Melihat mereka, Ang-mo Niocu segera memberi hormat kepada Lam-hai Cin-jin dan Wu Kan yang sudah melompat turun dari atas kuda mereka.
"Suhu...!"
Si Han Bu semakin kaget. Kiranya Lam-hai Cin-jin adalah guru dari Ang-mo Niocu. Kalau muridnya saja sudah amat lihai, apalagi gurunya!
"Yi Hong, apa hasilmu diutus Ayah pergi ke utara? Engkau tidak membawa hasil apa pun dan kudengar engkau hanya berfoya-foya, bermain gila dengan banyak laki-laki!" Wu Kan berkata dengan ketus, dengan suara mengandung kecemburuan karena memang sebelum pergi ke utara, Ang-mo Niocu telah menjadi kekasihnya.
Mendengar ucapan itu, wajah Ang-mo Niocu menjadi merah, bukan karena malu melainkan karena penasaran dan marah.
"Wu Kongcu, enak saja engkau bicara. Aku yang bersusah payah, terkadang terancam bahaya maut, dan engkau yang hanya enak-enakan tinggal di rumah malah menuduh yang bukan-bukan!"
"Yi Hong, jangan kurang ajar terhadap Wu Kongcu!" bentak Lam-hai Cin-jin kepada muridnya. Ang-mo Niocu tidak berani membantah namun jelas ia merasa penasaran dan marah kepada Wu Kan.
"Bagus, bocah setan ini sudah muncul di sini. Yi Hong, kenapa engkau tidak cepat menangkap atau membunuhnya?" Lam-hai Cin-jin menegur ketika dia melihat dan mengenal Si Han Bu.
"Suhu, saya sedang membujuk agar dia suka ikut ke Yunnan-hu," jawab Ang-mo Niocu Yi Hong.
"Hemm, agaknya pemuda ini juga seorang kekasihmu! Hayo mengaku saja! Dia harus mampus!" bentak Wu Kan marah dan pemuda ini sudah mencabut pedangnya dan menyerang Han Bu dengan tusukan yang dilakukan dengan marah.
Akan tetapi putera Jenderal Wu Sam Kwi ini hanya lagaknya saja yang hebat, namun sesungguhnya tingkat ilmu silatnya belum berapa tinggi, ditambah tubuhnya juga lemah karena dia terlalu banyak pelesir dan kerjanya hanya berfoya-foya. Maka, dengan mudah Han Bu miringkan tubuh mengelak, lalu tangan kirinya menepuk pundak pemuda pesolek itu.
"Plakk!" Tubuh Wu Kan terputar dan terhuyung, tentu akan terbanting roboh kalau tidak cepat dipegang Lam-hai Cin-jin. Kakek pendek gendut ini marah sekali.
"Berani engkau menyerang Wu Kongcu?"
Dia lalu menggerakkan tangan kirinya, diputarnya dan telapak tangan kiri itu berubah kehitaman lalu dia memukulkan telapak tangannya itu dengan dorongan yang mendatangkan angin dahsyat ke arah Han Bu. Si Han Bu adalah murid terkasih dari Im-yang Sian-kouw yang selain tinggi ilmu silatnya juga memiliki keahlian ilmu pengobatan. Maka sekali pandang saja maklumlah Han Bu bahwa lawan menggunakan pukulan beracun. Dia telah mempelajari dari gurunya cara menghadapi pukulan beracun, maka dia cepat menelan sebutir pel merah sambil melompat ke kiri untuk menghindar. Ketika kakek itu mengejar dan memukul lagi dengan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam), kini dia yang sudah menelan obat penguat atau penawar terhadap pukulan beracun, berani menyambut dengan dorongan kedua tangannya.
"Wuuutt... dess...!" Tubuh Han Bu terpental karena dia kalah kuat, akan tetapi dia tidak sampai terluka. Dia bangkit lagi, menyambut pukulan susulan sehingga terpental lagi. Hal ini terjadi berulang-ulang sampai lima kali. Biarpun dia tidak menderita luka dalam, namun tetap saja Han Bu merasa nyeri terbanting sampai lima kali.
Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan.
"Dorrr...!" Untung bagi Han Bu tembakan yang dilepas Wu Kan itu meleset. Kiranya pemuda putera Jenderal Wu Sam Kwi itu memiliki sebuah senapan kuno yang dia beli dari pedagang senjata api yang mulai beredar di sebelah selatan daratan Cina, kebanyakan dibawa oleh bangsa Portugis.
"Jangan bunuh dia!" Ang-mo Niocu berteriak. Karena sikap Wu Kan menimbulkan kebenciannya, maka ia semakin tertarik dan condong membela Si Han Bu. Setelah berkata demikian, ia melompat dan bermaksud merampas senjata api itu dari tangan Wu Kan. Akan tetapi senapan itu dapat diisi dua buah peluru. Melihat Ang-mo Niocu membela Han Bu, hati Wu Kan menjadi semakin panas dan dia mengarahkan moncong senapannya kepada gadis itu dan menarik pelatuknya.
"Dorrr...!" Tubuh Ang-mo Niocu terpental ke belakang dan roboh terkapar. Pada saat itu kembali tubuh Han Bu nyaris menjadi korban pukulan Hek-tok-ciang. Pemuda itu cepat melompat untuk mengelak.
Sementara itu, Wu Kan kini mulai mengisi senapannya kembali dengan dua butir peluru. Setelah diisi peluru dan dikokang, dia hendak menembak Han Bu.
Akan tetapi pada saat itu, berkelebat dua sosok bayangan orang. Muncullah Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui. Seperti kita ketahui, setelah berhasil mendapatkan obat untuk menyembuhkan Nyonya Wan Cun, Yan Bun dilatih ilmu silat oleh Wan Cun yang amat lihai. Karena Yan Bun sudah memiliki dasar yang kuat, maka hanya beberapa bulan saja dia sudah memperoleh kemajuan pesat hasil penggemblengan datuk itu. Wan Cun menyatakan bahwa yang diajarkan itu sudah cukup, maka Yan Bun lalu berpamit untuk pulang ke rumah ayahnya, yaitu Ui Houw yang tinggal di Lembah Sungai Kuning.
Ketika pemuda itu hendak berangkat, Wan Kim Hui rewel ingin ikut. Ia ingin sekali mengembara dan kebetulan ada Yan Bun yang dianggap sebagai kakaknya sendiri. Semula ayah ibunya melarang karena mereka maklum akan kekerasan hati dan kebinalan watak puterinya, akan tetapi Kim Hui nekat dan menangis. Akhirnya orang tuanya mengijinkan karena di sana ada Ui Yan Bun yang mereka percaya akan dapat mengawasi puteri mereka. Kim Hui hanya diperbolehkan merantau selama dua tahun dan paling lama dua tahun ia harus kembali ke Bukit Siluman di dekat kota Lam-hu.
Demikianlah, karena ingin melihat-lihat pemandangan, dua orang muda ini mengambil jalan memutar dan pada siang hari itu kebetulan mereka melihat Ang-mo Niocu ditembak jatuh dan Han Bu sedang diancam bahaya.
"Itu Han Bu...!" Kim Hui berseru dan gadis ini sudah memungut sebuah batu sebesar kepalan tangannya dan sambil berlari cepat ia menghampiri tempat itu dan melontarkan batu itu ke arah Wu Kan yang amat dibencinya.
Kemelut Kerajaan Mancu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tepat sekali batu itu mengenai kepala Wu Kan pada saat Wu Kan menarik pelatuk senapannya hendak menembak Han Bu.
"Dorrr...!" Tembakan itu ke atas dan tubuh Wu Kan terpelanting roboh. Dia jatuh pingsan karena pelipisnya dihantam batu yang dilontarkan Kim Hui.
Lam-hai Cin-jin marah sekali. Kakek gendut ini menggerakkan ruyungnya yang berduri, menyerang Kim Hui. Melihat ini, Ui Yan Bun cepat mencabut pedangnya dan meloncat menghadang lalu menangkis serangan ruyung yang ditujukan kepada Kim Hui itu.
"Tranggg...!" Benturan ruyung dengan pedang membuat pedang Yan Bun terpental. Melihat bahwa kakek yang dikenalnya dengan baik itu kini bertanding dengan Yan Bun, Kim Hui cepat membantu Yan Bun dan mengeroyok Lam-hai Cin-jin dengan pedangnya.
"Lam-hai Cin-jin kakek tua bangka jahat mau mampus! Aku harus membalaskan ibuku yang pernah kaupukul dengan curang!" Gadis itu masih merasa dendam mengingat ibunya, Nyonya Wan Cun, pernah dilukai Lam-hai Cin-jin dengan pukulan Hek-tok-ciang yang hampir saja merenggut nyawa ibunya. Untung Yan Bun dapat mencarikan obat penawarnya dari Im-yang Sian-kouw.
Melihat ada seorang pemuda dan seorang gadis datang menolongnya dan kini mengeroyok Lam-hai Cin-jin, Han Bu yang melihat Ang-mo Niocu roboh mandi darah, segera melompat dan berjongkok menghampiri gadis itu. Bagaimanapun juga gadis yang dikenal sebagai iblis betina itu tadi telah membelanya, bahkan menyelamatkan nyawanya.
"Bagaimana keadaanmu...?" tanya Han Bu dengan khawatir melihat gadis itu rebah dengan napas terengah-engah dan muka pucat sekali. Aneh, dalam keadaan sekarat dan kesakitan seperti itu, melihat Han Bu berjongkok dan menanyakan keadaannya, Ang-mo Niocu tersenyum, walaupun senyumnya tampak aneh karena ia pun menahan rasa nyeri yang hebat. Bibirnya bergerak dan terdengar ia berkata lirih dan terputus-putus.
"Si Han Bu... terima kasih.... yang kau.... cari itu.... kusembunyikan... di kuil tua... belasan li... di sebelah utara dari.... sini...." Setelah berkata demikian, ia terkulai dan tewas.
Mendengar ini, Han Bu percaya dan girang karena dia tidak harus menggeledah tubuh mayat gadis itu untuk mencari Tek-pai. Dia menengok dan melihat betapa dua orang penolongnya masih bertanding seru melawan Lam-hai Cin-jin. Pada saat itu barulah dia memandang mereka dengan jelas dan hampir dia bersorak karena dia segera mengenal Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui yang dulu pernah datang di Bukit Kera untuk mintakan obat bagi Nyonya Wan Cun kepada gurunya, Im Yang Sian-kouw! Tadi dia tidak mengenal mereka karena dia masih terkejut mendapat serangan tembakan dari Wu Kan kemudian melihat betapa Ang-mo Niocu roboh tertembak. Kini, melihat bahwa yang menolongnya adalah mereka, dia cepat meloncat dan menyerang dengan sepasang senjatanya, yaitu pedang Im-yang-kiam yang hitam putih di tangan kanan dan Im-yang-po-san, kipas sakti di tangan kiri.
"Ha-ha, Saudara Ui Yan Bun dan Nona Wan Kim Hui yang baik, mari kita hajar kakek yang jahat ini!" katanya dan serangannya amat dahsyat membuat Lam-hai Cin-jin yang sudah merasa kewalahan dikeroyok Yan Bun dan Kim Hui, menjadi semakin repot. Apalagi melihat Wu Kan menggeletak tak bergerak, hatinya merasa khawatir bukan main. Putera Jenderal atau Raja Muda Wu Sam Kwi itu pergi berdua dengan dia maka dialah yang bertanggung jawab atas keselamatannya. Lam-hai Cin-jin adalah seorang datuk selatan yang amat setia kepada Wu Sam Kwi yang dia anggap sebagai seorang patriot pahlawan bangsa yang patut dihormati. Maka dia pun menjadi Koksu (Guru Negara) di Yunnan-hu, menjadi penasihat Jenderal Wu Sam Kwi. Kini melihat keadaan Wu Kan, baginya yang terpenting adalah menyelamatkan putera raja muda itu. Tiba-tiba ruyungnya diputar cepat sehingga tiga orang muda yang mengeroyoknya menghindar ke belakang dan pada saat itu, tangan kirinya membanting bahan peledak.
"Darr...!" Benda itu meledak dan asap hitam mengepul dibarengi bau yang menyengat hidung.
"Awas asap beracun!" kata Han Bu yang mengenal asap semacam itu. Ketiganya cepat melompat ke belakang menjauhi asap. Kesempatan itu dipergunakan Lam-hai Cin-jin untuk melompat ke arah menggeletaknya Wu Kan, menyambar tubuh pemuda itu, memanggulnya dan membawanya lari terlindung asap hitam beracun.
Setelah asap membuyar, tiga orang muda itu sudah kehilangan Lam-hai Cin-jin dan Wu Kan.
Wan Kim Hui membanting-banting kakinya ke atas tanah.
"Sialan! Aku belum dapat membunuh si jahanam Wu Kan dan kakek iblis Lam-hai Cin-jin!"
"Ah, agaknya engkau mengenal mereka itu, Nona Wan?" tanya Han Bu.
"Tentu saja aku mengenal mereka! Juga aku mengenal iblis betina Ang-mo Niocu Yi Hong itu. Anehnya, engkau ternyata sahabat baik iblis betina itu!" Wan Kim Hui berkata dengan sikap galak.
"Eh, aku sama sekali bukan sahabatnya!"
"Hemm, kalau bukan sahabatnya kenapa tadi engkau dibelanya dan engkau menghampirinya?"
Mendengar suara gadis ini, diam-diam Han Bu merasakan sesuatu kegembiraan aneh dalam hatinya. Benarkah pendengarannya bahwa Wan Kim Hui cemburu?
"Aku justru mengejar dan mencarinya untuk merampas kembali Tek-pai milik Huang-ho Sian-li pemberian dari mendiang Kaisar."
"Huang-ho Sian-li?" Ui Yan Bun berseru kaget akan tetapi juga girang. Lalu dia menahan diri dan berkata, "Harap kalian berdua tunda dulu pembicaraan. Di sana ada sebuah mayat yang harus kita kubur sebagaimana layaknya, baru nanti kita bicara agar jangan simpang siur."
"Aku setuju dengan pendapat Saudara Ui Yan Bun," kata Han Bu.
Wan Kim Hui cemberut.
"Aku heran sekali melihat kalian. Apakah semua laki-laki begitu? Kalau melihat gadis cantik lalu jalan pikirannya menjadi ngawur?"
"Eh, engkau yang ngawur, Nona. Kenapa kaukatakan bahwa jalan pikiran kami ngawur?"
"Itu sudah jelas. Ang-mo Niocu Yi Hong adalah seorang iblis betina jahat dan cabul, jelas merupakan musuh. Mengapa kalian kini hendak merawat mayatnya? Apakah karena ia cantik?"
"Kim Hui, jangan menuduh sembarangan!" Yan Bun berkata dengan suara mengandung teguran.
"Yang jahat adalah perbuatannya ketika ia masih hidup. Sekarang yang menggeletak itu adalah jenazah seorang manusia. Sudah menjadi kewajiban kita sesama manusia untuk mengurus penguburannya dengan semestinya. Kalau kita membiarkan jenazah itu begitu saja dan membiarkannya membusuk atau dimakan binatang buas, maka kita kehilangan prikemanusiaan kita."
Mendengar ucapan Yan Bun, Kim Hui diam saja, tidak berani membantah. Memang terhadap Ui Yan Bun yang sopan, serius dan pendiam, Kim Hui tidak berani banyak membantah, apalagi karena orang tuanya telah menyerahkannya kepada Yan Bun untuk diawasi, dan dengan sungguh-sungguh ayahnya telah memesan kepadanya agar dalam segala hal suka menurut dan tunduk kepada Yan Bun. Ia hanya duduk di bawah pohon dengan muka cemberut, menonton ketika Yan Bun dan Han Bu menghampiri mayat Ang-mo Niocu lalu mereka berdua menggali lubang. Akan tetapi setelah lubang digali cukup dalam dan Yan Bun memberi tanda agar mereka berdua mengangkat mayat itu untuk dimasukkan lubang galian, Han Bu berkata, "Nanti dulu, Saudara Yan Bun."
Han Bu lalu menghampiri Kim Hui yang masih duduk di bawah pohon. Sambil tersenyum Han Bu memandang wajah manis yang cemberut menjadi semakin manis itu, dan sebelum dia mengeluarkan kata-kata, Kim Hui sudah menegurnya.
"Mau apa kau?"
Han Bu berkata, "Nona Wan Kim Hui, aku ingin minta pertolonganmu, harap engkau tidak menolak."
Kim Hui mengerutkan alisnya. Ia mengerling ke arah Yan Bun dan melihat betapa Yan Bun berdiri dan memandang ke arah mereka, agaknya ikut mendengarkan.
"Hemm, minta pertolongan kepadaku? Pertolongan apa? Aku tidak mau kalau disuruh bantu menguburkan mayat itu!"
"Ah, bukan, Nona. Saudara Ui Yan Bun dan aku yang akan menguburnya. Aku hanya minta sukalah engkau menggeledah pakaian jenazah itu untuk mencari kalau-kalau Tek-pai yang harus kutemukan itu disimpannya dalam pakaiannya."
"Menggeledah mayat? Huh, kenapa engkau menyuruh aku? Mengapa tidak kaugeledah saja sendiri?"
Wajah Han Bu berubah merah.
"Aih, bagaimana aku dapat melakukan hal itu, Nona Wan? Itu adalah mayat seorang wanita, dan aku seorang laki-laki, sungguh tidak pantas kalau aku yang menggeledah. Aku tidak berani. Mungkin saja Tek-pai itu ia simpan di balik pakaiannya."
Kim Hui masih hendak "jual mahal", akan tetapi Yan Bun berkata kepadanya.
"Kim Hui, apa yang dikatakan Han Bu itu benar. Tidak pantas kalau engkau menolak permintaan bantuan yang begitu ringan. Lakukanlah penggeledahan seperti yang dimintanya."
Tentu saja Yan Bun mendesak Kim Hui karena selain apa yang diucapkan pemuda tinggi besar tampan dan gagah itu benar, juga dia ingin sekali Tek-pai itu dapat ditemukan karena menurut Han Bu tadi, Tek-pai itu milik Huang-ho Sian-li. Milik Thian Hwa! Terbayanglah wajah gadis yang sejak dulu dicintanya, satu-satunya wanita yang pernah dan masih dicintanya!
Dengan bersungut-sungut Kim Hui bangkit berdiri lalu menghampiri jenazah Ang-mo Niocu Yi Hong yang tampak seperti orang tidur dan wajahnya tampak cantik. Kemudian ia melakukan penggeledahan, memeriksa semua bagian pakaian, meraba-raba seluruh tubuh jenazah itu. Apa yang ditemukannya dari kantung dan balik pakaian, ia keluarkan dan ternyata pada jenazah itu hanya ditemukan beberapa potong emas, perhiasan wanita, dan beberapa macam obat luka seperti yang biasa dibawa orang-orang kang-ouw yang melakukan perjalanan. Tek-pai itu tidak ditemukan. Akan tetapi Han Bu tidak kecewa, bahkan diam-diam dia merasa terharu karena Ang-mo Niocu ternyata tidak berbohong kepadanya. Dia semakin percaya bahwa Tek-pai itu pasti akan ditemukan di kuil tua yang letaknya belasan li di sebelah utara tempat itu.
Dia minta kepada Kim Hui untuk mengembalikan semua benda itu ke dalam saku baju mayat itu, kemudian bersama Yan Bun mengubur mayat Ang-mo Niocu. Setelah lubang itu ditimbuni tanah, Yan Bun bertanya.
"Saudara Han Bu, engkau tidak berhasil mendapatkan kembali Tek-pai itu?"
Han Bu tersenyum.
"Aku yakin akan bisa mendapatkan kembali, karena sebelum ia meninggal tadi, Ang-mo Niocu sudah mengaku bahwa ia menyembunyikan Tek-pai itu di sebuah kuil tua, belasan li di sebelah utara...."
"Kalau begitu mengapa engkau masih minta aku untuk menggeledah mayat itu?!" Kim Hui menegur marah.
"Maaf, Nona. Tadi aku masih belum percaya akan keterangan Ang-mo Niocu, aku khawatir ia berbohong dan menyembunyikan Tek-pai itu di tubuhnya," kata Han Bu sambil menjura di depan Kim Hui. Aneh, gadis itu hilang marahnya, bahkan kini tersenyum kecil.
"Hemm, jadi engkau juga tahu bahwa ia jahat dan tidak percaya padanya?" katanya.
"Han Bu, Kim Hui, mari kita cepat mencari kuil itu. Tek-pai itu penting sekali, kita harus segera menemukannya. Setelah itu baru kita bicara!"
Mereka lalu mengerahkan gin-kang dan berlari seperti terbang cepatnya menuju ke utara. Menjelang senja, mereka dapat menemukan sebuah kuil tua yang tidak dipakai lagi dan keadaannya sudah banyak rusak, di dalam hutan tepi jalan umum. Segera mereka bertiga melakukan pemeriksaan dan pencarian. Akhirnya, di balik sebuah arca Jilai-hud yang sudah berlumut, Kim Hui menemukannya.
"Inikah Tek-pai itu?" tanyanya sambil mengacungkan sepotong bambu kecil yang ada tulisan dan cap Kaisar.
"Benar, kalau tidak salah itulah Tek-pai!" kata Han Bu gembira.
"Uuhh, kalau tidak tahu bilang saja tidak tahu! Bilang benar, akan tetapi kalau tidak salah! Benar atau salah? Apakah engkau pernah melihatnya?" Kim Hui menegur galak.
Han Bu tersenyum.
"Terus terang saja, aku baru kali ini melihatnya. Akan tetapi kalau itu bukan Bambu Tanda Kuasa (Tek-pai), lalu apa?"
Yan Bun menghampiri dan mengambil benda itu dari tangan Kim Hui, lalu memeriksa dan membaca tulisannya.
"Tidak salah, inilah Tek-pai yang kaucari, Han Bu. Sekarang mari kita bicara. Kita mengaso dan melewatkan malam di sini. Nah, ceritakanlah apa yang telah terjadi dan yang kaualami, Han Bu."
Mereka duduk di bagian belakang kuil itu, satu-satunya bagian yang masih ada atapnya di situ sehingga lantainya juga bersih setelah mereka menggunakan sapu tua untuk menyingkirkan debu. Mereka duduk di atas lantai batu, saling berhadapan dan Han Bu mulai menceritakan semua pengalamannya. Dia bercerita pula tentang pemberontakan yang dilakukan Pangeran Cu Kiong yang dibantu banyak datuk kang-ouw, di antaranya yang terpenting adalah Lam-hai Cin-jin dan susioknya (paman gurunya) yang bernama Ngo-beng Kui-ong dan amat sakti. Betapa dia ditawan setelah berhasil membebaskan Huang-ho Sian-li dari tahanan Pangeran Cu Kiong. Kemudian betapa pertempuran terjadi dan akhirnya para pemberontak dapat dihancurkan, Pangeran Cu Kiong dapat ditawan. Dia sendiri dibebaskan dari penjara oleh gurunya, Im-yang Sian-kouw dan Huang-ho Sian-li.
"Masih untung engkau tidak dibunuh, Han Bu," kata Yan Bun.
"Ah, tidak. Kakek Ngo-beng Kui-ong itu yang mempertahankan agar aku tidak dibunuh karena dia ingin menyandera aku agar guruku, Im-yang Sian-kouw mau dibujuk olehnya untuk membantu Jenderal Wu Sam Kwi."
"Lalu bagaimana engkau dapat bertemu dengan Ang-mo Niocu, Lam-hai Cin-jin dan Wu Kan itu?" tanya Wan Kim Hui yang merasa tertarik juga mendengar cerita pemuda itu.
"Ketika aku mendengar pengakuan Pangeran Cu Kiong bahwa Tek-pai yang dia rampas dari Huang-ho Sian-li ketika gadis itu dia tawan bahwa dia telah menyerahkan Tek-pai kepada Ang-mo Niocu dan dibawa ke selatan untuk diserahkan kepada Jenderal Wu Sam Kwi di Yunnan-hu, aku segera melakukan pengejaran. Sampai lama aku mengikuti jejaknya dan berganti-ganti kuda. Akhirnya aku dapat menyusulnya sampai di sini. Aku minta Tek-pai itu darinya dan ketika kami bersitegang, muncullah kakek dan pemuda yang membawa senapan tadi."
"Lam-hai Cin-jin adalah Koksu dari Yunnan-hu dan merupakan seorang yang setia kepada Wu Sam Kwi dan pemuda itu adalah Wu Kan, putera Wu Sam Kwi. Dia pemuda brengsek tak tahu malu!"
"Teruskan ceritamu, Han Bu."
"Lam-hai Cin-jin, seperti juga Ang-mo Niocu, sudah pernah melihat aku ketika aku ditawan mereka setelah aku berhasil membebaskan Huang-ho Sian-li. Maka dia lalu menyerangku. Aku melawan dan terus terang saja, he-he, aku tidak mampu menandingi kakek itu. Aku terdesak dan tiba-tiba pemuda itu, Wu Kan namanya? Dia menembakku dengan senjata api, untung luput. Lalu terdengar tembakan kedua kalinya dan... Ang-mo Niocu yang ditembaknya karena gadis itu menghalanginya membunuhku."
"Wah, musuh malah membelamu, ya? Bagus, senang ya dibela seorang gadis cantik dan genit?" kata Kim Hui mengejek.
Wajah Han Bu berubah kemerahan dan dia tersenyum masam.
"Ah, aku sendiri tidak tahu mengapa ia membelaku. Mungkin ia mulai menyadari akan ketersesatannya."
"Sadar? Ang-mo Niocu menyadari kesesatannya? Ih, engkau tidak mengenal siapa perempuan itu! Ia iblis betina yang keji sekali!"
"Hui-moi, biarkan Han Bu melanjutkan ceritanya," Yan Bun menegur dan Kim Hui terdiam.
"Pada saat itu, kalian muncul dan aku berterima kasih sekali kepada kalian. Kalau kalian tidak muncul, aku tentu sudah mati."
"Han Bu, ceritamu menarik sekali. Sukurlah kalau pemberontakan itu sudah dapat dihancurkan. Sekarang Tek-pai sudah dapat kautemukan, apakah engkau akan memberikannya kepada Huang-ho Sian-li?"
"Tentu saja, aku akan segera kembali ke kota raja dan menyerahkan Tek-pai ini kepadanya."
"Wah, engkau tentu amat mencinta wanita yang berjuluk Huang-ho Sian-li itu! Baru julukannya saja Sian-li (Dewi atau Bidadari), tentu orangnya cantik sekali. Engkau telah membebaskannya, rela ditawan untuknya, dan sekarang bersusah payah mencari Tek-pai untuknya!" kata Kim Hui dan kembali Han Bu merasa senang karena suara gadis itu mengandung kecemburuan!
"Kim Hui, engkau tidak boleh bicara seperti itu!" Yan Bun menegur.
"Tidak mengapa, Yan Bun. Dugaannya salah, aku kagum kepada Huang-ho Sian-li yang gagah perkasa dan dipercaya oleh mendiang Kaisar, itu bukan berarti bahwa aku mencintanya," kata Han Bu.
Kisah Si Naga Langit Eps 10 Kisah Si Pedang Kilat Eps 21 Kisah Si Naga Langit Eps 24