Jodoh Si Naga Langit 2
Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Nah, engkau anak Ibu yang u-hou dan baik sekali, Cun Ki!" ibunya berseru girang.
"Akan tetapi apa, Cun Ki?" tanya Sang Ayah sambil memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh selidik.
Sambil menundukkan muka Cun Ki berkata, suaranya berat.
"Kalau aku tidak boleh berjodoh dengan Han Bi Lan, selama hidup aku tidak ingin menikah!" Setelah berkata demikian, dia bangkit dan berkata, "Maaf, Ayah dan Ibu, aku ingin beristirahat dalam kamarku." Pemuda itu lalu melangkah pergi memasuki kamarnya dan menutup pintu kamar.
Panglima Kwee dan isterinya saling pandang. Sejenak mereka tertegun mendengar ucapan Cun Ki, anak tunggal mereka tadi. Kwee-ciangkun menghela napas panjang.
"Tidak kusangka anak itu agaknya sudah jatuh cinta betul kepada Han Bi Lan."
Sementara itu, Nyonya Kwee yang amat menyayang puteranya, menjadi pucat wajahnya.
"Ah, kalau dipikir, betul juga omongan Cun Ki. Bi Lan anak orang baik-baik, tentu ia bisa dididik agar menjadi mantu yang baik. Kalau dia kukuh tidak mau menikah, celakalah kita. Siapa yang akan menyambung keturunan kita? Dia anak kita satu-satunya. Biar kubujuk dia dan aku setuju dia berjodoh dengan Han Bi Lan!" Setelah berkata demikian, Nyonya Kwee bangkit dan bergegas menuju ke kamar puteranya.
Panglima Kwee hanya menggeleng-geleng kepala dan tersenyum kecil. Dia sendiri memang tidak keberatan mempunyai mantu Bi Lan. Yang tidak setuju adalah isterinya. Dan sekarang setelah Cun Ki ngambek dan mengancam tidak akan menikah, ibunya itu menjadi khawatir sendiri dan tentu sekarang sedang membujuk-bujuk anaknya yang ngambek itu!
Nyonya Kwee memasuki kamar Cun Ki yang tidak terkunci. Ia melihat puteranya rebah telentang dengan muka merah dan dia tidak perduli mendengar ibunya masuk, seolah tidak melihatnya. Nyonya Kwee lalu duduk di tepi pembaringan.
"Cun Ki anakku, jangan engkau lalu marah begini. Tegakah engkau menyakiti hati Ibumu dengan marah-marah?"
"Ibu sendiri tega menolak permintaanku, padahal aku sudah jatuh cinta kepada Han Bi Lan!"
"Kalau ada persoalan, dapat kita rundingkan dulu, anakku. Kalau memang sudah tidak dapat diubah lagi pilihanmu, baiklah, Ibumu mau mengalah, demi kebahagiaanmu, akan tetapi dengan syarat bahwa kelak engkau harus mampu mendidik Bi Lan agar menjadi mantu yang dapat menyenangkan hatiku dengan pelayanan yang lembut sebagaimana lajimnya seorang mantu perempuan terhadap mertua perempuannya."
Bagaikan mendapat semangat baru, Cun Ki serentak bangkit duduk dan merangkul ibunya.
"Terima kasih, Ibu. Tentu saja, aku akan membimbing Bi Lan agar dapat menjadi mantu yang menyenangkan hati Ibu!"
Panglima Kwee dan isterinya lalu merencanakan mengirim seorang comblang (perantara pernikahan) ke dusun Kian-cung dekat Telaga Barat. Mereka memilih-milih comblang mana yang pantas mewakili mereka dan yang pandai bicara. Mereka tidak mau mengirim seorang comblang biasa saja karena mereka ingin membuat Han Si Tiong merasa terhormat menerima comblang yang pandai bicara dan tentu saja yang akan membawa berbagai hadiah.
Pada suatu pagi, seorang wanita yang berpakaian bangsawan berkunjung ke rumah Panglima Kwee dengan naik sebuah kereta yang indah. Ketika pengawal memberi tahu ke dalam bahwa Nyonya Ciang Kui datang berkunjung, Nyonya Kwee bergegas keluar menyambut tamunya.
Tamu itu seorang wanita yang usianya sebaya dengan nyonya Kwee, sekitar empatpuluh lima tahun, berpakaian bangsawan indah, dan wajahnya juga cantik. Ia adalah isteri dari Ciang-taijin (Pembesar Ciang) yang menjabat pegawai tinggi bagian perpajakan dan sudah lama menjadi kenalan baik Nyonya Kwee. Antara suami mereka juga ada hubungan antara pejabat tinggi walaupun Panglima Kwee adalah seorang tentara dan Pembesar Ciang seorang pegawai sipil.
"Aih, Nyonya Ciang! Selamat datang, angin apa yang meniup Anda ke sini?" sambut Nyonya Kwee dan segera mempersilakan tamunya duduk di ruangan tamu yang luas dan indah.
"Baik, Nyonya Kwee, keadaan kami baik semua. Suamiku sehat dan pekerjaannya pun lancar, anak tunggalku Bi Hiang juga baik-baik saja, setiap hari rajin menyulam dan mengatur para pelayan menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Eh, bagaimana kabarnya dengan puteramu, Kwee-kongcu?"
"Kami semua juga baik-baik saja. Juga Cun Ki dalam keadaan sehat dan baik, Nyonya Ciang. Apakah ada keperluan khusus yang membawamu datang berkunjung?"
"Ah, aku datang hanya untuk melepas rindu. Sudah lama kita tidak saling berjumpa. Padahal, sudah lama kita bersahabat, juga suamiku adalah sahabat baik suamimu. Apakah kedatanganku ini mengganggu kesibukanmu?"
"Sama sekali tidak! Aku malah senang sekali menerima kedatanganmu, Nyonya Ciang! Memang sudah lama kita tidak bercakap-cakap."
Pelayan datang menghidangkan minuman dan makanan kecil. Kedua orang nyonya bangsawan itu mengobrol, dengan asyiknya karena Nyonya Ciang adalah seorang wanita yang pandai dan banyak bicara, dapat menceritakan semua kabar tentang apa saja yang terjadi di antara para bangsawan, terutama isteri-isteri mereka. Ia suka sekali menceritakan kabar burung tentang hal-hal rahasia yang terjadi dalam rumah tangga para bangsawan, tentang percekcokan antara suami isteri bangsawan anu, tentang bangsawan ini mengambil selir baru, tentang isteri bangsawan itu yang dicurigai ada main dengan seorang pemuda pegawai suaminya, dan lain-lain. Nyonya Kwee hanya mendengarkan saja dan seperti lajimnya para wanita, biarpun ia tidak menanggapi, namun berita-berita macam itu amat menarik hatinya, seolah mendengarkan bunyi nyanyian merdu!
Sebetulnya kunjungan Nyonya Ciang ini mempunyai maksud tertentu. Sudah lama ia mencari-cari seorang pemuda yang kiranya pantas untuk menjadi jodoh puterinya, yaitu Ciang Bi Hiang yang sudah berusia sembilanbelas tahun, dan pilihannya jatuh kepada Kwee Cun Ki. Ia sudah merundingkan niatnya itu dengan suaminya, Pembesar Ciang Kui yang juga menyetujui, karena Panglima Kwee terkenal sebagai pembesar militer yang terhormat, setia kepada Kaisar, dan disuka para pembesar lainnya. Akan tetapi, sebelum Nyonya Ciang sempat membicarakan hal ini kepada nyonya Kwee yang telah lama dikenalnya dengan baik, pada suatu hari ia mendengar berita yang mengejutkan.
Nyonya Ciang mempunyai banyak kaki tangan yang suka mencari berita yang aneh-aneh untuk menjadi bahan percakapan dan pergunjingan. Ia mendengar dari seorang pembantunya bahwa keluarga Kwee sedang mencari-cari seorang comblang yang baik untuk mengajukan pinangan kepada Han Bi Lan, puteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang tinggal di Telaga Barat, untuk dijodohkan dengan Kwee Cun Ki! Tentu saja ia terkejut dan khawatir, lalu cepat ia merundingkan hal ini dengan suaminya.
Pembesar Ciang Kui juga terkejut dan heran mendengar bahwa Kwee-ciangkun hendak melamar Han Bi Lan puteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi untuk puteranya. Dia lalu bercerita kepada isterinya bahwa Han Bi Lan itulah yang telah membunuh saudara sepupunya, yaitu Ciang-goanswe (Jenderal Ciang) dan puteranya, Ciang Ban. Juga dia menceritakan bahwa Liang Hong Yi dahulu adalah seorang pelacur kelas tinggi di kota Cin-koan, bahkan dialah yang ketika itu masih tinggal di Cin-koan dan belum menjadi pimpinan yang kini tinggal di kota raja, pernah memberi surat kepada Liang Hong Yi untuk diserahkan kepada Jenderal Ciang Sun Bo agar Liang Hong Yi yang baru menikah dengan Han Si Tiong diberi pekerjaan.
Demikianlah dengan bekal keterangan ini, Nyonya Ciang bergegas naik kereta mengunjungi Nyonya Kwee.
"Nyonya Kwee, kalau aku boleh bertanya, berapa sih usia puteramu sekarang?"
"Ah, kau maksudkan Cun Ki? Tahun ini dia berusia duapuluh empat tahun."
"Puteriku Bi Hiang sudah berusia sembilanbelas tahun. Ah, Nyonya Kwee, apakah kaupikir usia sebegitu belum cukup untuk menikah? Kalau saja puteramu dapat dijodohkan dengan puteriku, alangkah baiknya. Hubungan kita yang tadinya sahabat dapat dipererat menjadi keluarga! Bukankah hal itu baik sekali?"
Wajah Nyonya Kwee yang tadinya cerah karena gembira bercakap-cakap dengan Nyonya Ciang yang pandai mengobrol itu, tiba-tiba berubah keruh mendengar usul ini. Tentu saja ia akan menyambut baik uluran tangan ini, kalau saja Cun Ki tidak rewel dan berkeras ingin menikah dengan Han Bi Lan! Tentu seratus kali ia akan memilih Ciang Bi Hiang, seorang gadis bangsawan aseli, pandai dan halus budi, seorang mantu yang pasti akan memuaskan hatinya dibandingkan dengan Han Bi Lan yang pandai bermain pedang dan suka membunuh orang! Akan tetapi ia tidak dapat mengubah keinginan puteranya itu.
"Ah, sayang sekali, Nyonya Ciang. Walaupun aku setuju sekali dengan usulmu itu, namun keinginan kita tidak mungkin terlaksana karena kami telah mendapatkan seorang jodoh untuk Cun Ki, bahkan kini kami sedang mencari seorang comblang yang baik untuk mengajukan pinangan kepada orang tua gadis itu."
"Aduh-aduh......, sungguh kami tidak beruntung karena terlambat. Akan tetapi tidak mengapalah, Nyonya Kwee, kalau memang keluargamu sudah menentukan pilihan. Barangkali memang puteramu bukan jodoh puteriku. Bolehkah aku mengetanui, siapakah gadis yang beruntung akan menjadi mantu perempuanmu itu? Ia puteri bangsawan manakah? Tentu ia cantik sekali. Siapa namanya?"
Wajah Nyonya Kwee berubah agak kemerahan.
"Ayahnya dahulu bekas seorang perwira kerajaan, akan tetapi sekarang telah mengundurkan diri dan tinggal di dekat Telaga Barat. Gadis pilihan puteraku itu bernama Han Bi Lan."
"Gadis she (bermarga) Han......? Han Bi Lan...... rasanya aku sudah mendengar nama itu! Oh, ya...... ya......, bukankah Han Bi Lan itu yang dulu menjadi buruan pemerintah karena ia dengan kejam telah membunuh Jenderal Ciang Sun Bo yang masih kakak sepupu suamiku? Juga puteranya, Ciang Ban, telah dibunuhnya! Gadis itukah yang kaumaksudkan, Nyonya Kwee?"
Nyonya Kwee tersipu, akan tetapi demi puteranya, ia harus membela apa yang telah diperbuat Han Bi Lan itu.
"Memang ialah gadis itu, Nyonya Ciang. Akan tetapi kini ia bukan lagi seorang buruan pemerintah dan perbuatannya itu tidak disalahkan karena selain Jenderal Ciang dan puteranya itu berniat mencelakakannya, juga akhirnya diketahui bahwa Jenderal Ciang itu adalah seorang di antara sekutu pemberontak Chin Kui."
Nyonya Ciang mengangguk-angguk.
"Aku juga mengerti akan hal itu, Nyonya Kwee, akan tetapi kiranya engkau tidak dapat menyangkal bahwa gadis itu adalah seorang pembunuh berdarah dingin! Hih, ngeri aku membayangkan hidup dekat seorang gadis liar seperti itu!"
"Nyonya Ciang, engkau tidak boleh menghina gadis yang akan menjadi mantuku. Bagaimanapun juga, gadis itu adalah pilihan puteraku!" kata Nyonya Kwee agak tersinggung.
"Baiklah, baiklah, harap engkau bersabar! Akan tetapi, apakah engkau sudah mengenal orang tuanya?"
"Tentu saja! Ayahnya adalah Han Si Tiong dan siapa tidak mengenal namanya? Dia pernah menjadi pemimpin Pasukan Halilintar yang tersohor itu!"
"Maksudku, ibunya, Nyonya Kwee."
"Ibunya juga seorang wanita gagah yang membantu suaminya dalam perang. Ia adalah Liang Hong Yi."
"Apakah engkau mengenal baik siapakah Liang Hong Yi itu, Nyonya Kwee?"
"Tentu saja! Ia seorang wanita yang gagah perkasa, baik budi dan terhormat!"
"Terhormat? Aku sangsikan hal itu, Nyonya Kwee!"
"Apa maksudmu?"
"Aku mendengar dari suamiku bahwa Liang Hong Yi itu sebelum menjadi isteri Han Si Tiong adalah seorang gadis yang tinggal di kota Cin-koan, ikut bibinya, yaitu Lu-ma yang menjadi mucikari, mendirikan rumah pelesir Bunga Seruni dan Liang Hong Yi merupakan seorang kembangnya yang paling terkenal di antara para pelacur itu......"
"Nyonya Ciang!" Nyonya Kwee berseru memotong ucapan tamunya dan bangkit berdiri dengan marah, mukanya berubah merah.
"Aku tidak berbohong, Nyonya Kwee. Suamiku dulu adalah seorang di antara para langganan Liang Hong Yi."
"Fitnah yang keji! Pergilah dari sini, Nyonya Ciang, sebelum kuusir seperti anjing!"
Nyonya Ciang bangkit berdiri dan tersenyum mengejek.
"Kawinkan saja puteramu dengan puteri pelacur itu dan seluruh kota raja akan membicarakannya sambil tertawa geli!" Setelah berkata demikian, Nyonya Ciang cepat keluar dari ruangan tamu itu, terus keluar dan cepat memasuki kereta yang dijalankan pulang oleh kusirnya.
Nyonya Kwee terkulai lemas di atas kursinya, wajahnya sebentar merah sebentar pucat. ia marah sekali, akan tetapi juga gelisah bukan main. Bagaimana kalau cerita nyonya bawel tadi ternyata benar? Puteranya, anak satu-satunya, akan menjadi mantu seorang pelacur? Ya ampun......, Nyonya Kwee tidak dapat menahan air matanya dan sambil menangis ia memasuki ruangan di mana suaminya sedang duduk melaksanakan pekerjaannya mencatat dalam bukunya.
Nyonya Kwee memasuki kamar kerja suaminya sambil menangis tersedu-sedu. Tentu saja Panglima Kwee terkejut bukan main. Dia bangkit dan menyambut isterinya, merangkulnya karena tubuh isterinya terhuyung seperti akan roboh, dan membawanya duduk di atas kursi.
"Tenanglah, isteriku. Mengapa engkau menangis seperti ini? Bukankah tadi engkau menerima tamu, kalau tidak salah Nyonya Ciang? Di mana ia sekarang?"
Sampai lama Nyonya Kwee tidak mampu bicara, hanya menangis. Setelah tangisnya reda, ia bicara dengan suara gemetar.
"Ia sudah pergi...... ah, ia menceritakan hal yang amat mengejutkan, yang membuat hatiku hancur......" Ia sesenggukan lagi.
"Ada apakah? Apa yang ia ceritakan?"
"Kalau ia mengatakan bahwa Han Bi Lan adalah seorang yang telah membunuh Jenderal Ciang Sun Bo dan puteranya, hal itu masih dapat kuterima karena memang kenyataannya demikian, akan tetapi ia bilang...... ia bilang......"
"Ia bilang apa?"
"Ia mengatakan bahwa dahulu di kota Cin-koan, di rumah pelesir Bunga Seruni yang dikelola oleh Lu-ma, Liang Hong Yi sebagai keponakan Lu-ma adalah seorang pelacur!"
"Fitnah keji!!" Panglima Kwee berseru marah.
"Katanya, suaminya dulu adalah langganan Liang Hong Yi."
"Jahanam, aku tidak bisa menerima begitu saja penghinaan ini. Ini fitnah keji! Kalau Ciang Kui dan isterinya tidak dapat membuktikan fitnah itu, mereka akan kutuntut di depan pengadilan!"
"Nanti dulu, suamiku. Engkau sebagai seorang laki-laki, tentu tahu apakah benar di Cin-koan ada rumah pelesir itu dan apakah benar Liang Hong Yi......"
"Kau tahu bahwa aku seorang pria yang tidak suka keluyuran ke rumah pelacuran seperti Ciang Kui! Akan kucari dia!"
"Jangan keburu nafsu dulu, suamiku. Carilah dulu keterangan apakah kata-katanya itu benar, baru bertindak kalau itu hanya fitnah kosong."
"Baik, akan kuurus sekarang juga. Aku tidak terima! Selain kita berniat mengambil Han Bi Lan sebagai mantu, juga Han Si Tiong dan Liang Hong Yi adalah sahabat baikku. Aku pergi dulu!"
Panglima Kwee Gi keluar dari rumahnya dengan muka merah. Belum lama dia keluar, Kwee Cun Ki memasuki kamar kerja ayahnya itu dan mendapatkan ibunya menangis di situ.
"Ibu, apakah yang telah terjadi? Aku melihat Ayah keluar dan tampaknya marah sekali."
Nyonya Kwee merangkul puteranya.
"Aduh, Cun Ki, sekali ini celaka kita. Nama keluarga kita akan hancur!"
"Eh? Ada apakah, Ibu?"
"Tadi Nyonya Ciang Kui datang bertamu dan ia menceritakan hal yang memalukan sekali, yang kalau terdengar orang akan mencemarkan nama baik dan kehormatan kita!"
"Hal apa yang ia ceritakan, Ibu?"
"Bahwa ibu Han Bi Lan, calon ibu mertuamu Liang Hong Yi itu, dahulu di waktu gadisnya adalah seorang...... pelacur terkenal di kota Cin-koan."
"Itu fitnah keji sekali, Ibu! Nyonya Ciang yang mengatakan begitu?"
"Ia mendengar dari suaminya, Pembesar Ciang Kui yang katanya dulu adalah seorang di antara langganan Liang Hong Yi."
"Keparat busuk! Dan tadi Ibu mengatakannya kepada Ayah?"
"Ya, ayahmu sekarang hendak mencari Pembesar Ciang untuk minta penjelasan."
"Baik, aku akan menyusul ke sana. Ciang Kui itu harus mempertanggung-jawabkan fitnah keji itu!" Setelah berkata demikian, Cun Ki berlari keluar.
Dengan langkah lebar Panglima Kwee memasuki pekarangan gedung pembesar Ciang Kui. Para pengawal sudah mengenalnya dan memberi hormat kepada panglima ini.
"Katakan kepada Pembesar Ciang bahwa aku, Panglima Kwee, minta bertemu sekarang juga. Cepat laksanakan!" Perintahnya kepada kepala regu penjaga.
Pengawal itu masuk ke dalam dan tak lama kemudian dia keluar lagi menemui Panglima Kwee.
"Ciang-taijin mempersilakan Ciang-kun masuk, ditunggu di kamar tamu."
Tiba-tiba terdengar seruan dari luar.
"Ayah, tunggu!" Panglima Kwee menoleh dan melihat Cun Ki datang berlari-lari.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Panglima Kwee ketus karena kalau saja puteranya itu tidak rewel minta dijodohkan dengan Bi Lan, berita tentang Liang Hong Yi tentu tidak menimbulkan geger dalam keluarganya seperti ini.
"Ayah, aku sudah mendengar dari ibu. Ciang-taijin harus mempertanggung-jawabkan fitnahnya itu! Aku ikut menemuinya, Ayah!"
Panglima Kwee dapat memaklumi betapa remuk hati puteranya mendengar berita itu, maka dia mengangguk dan mengajak puteranya masuk.
"Di depan Ciang-taijin nanti jangan bicara apa-apa. Biar aku saja yang bicara dengannya."
Cun Ki mengangguk.
Pembesar Ciang sudah mendengar dari isterinya bahwa isterinya telah membongkar rahasia Liang Hong Yi itu kepada Nyonya Kwee, maka kedatangan Panglima Kwee dan puteranya itu tidak mengejutkan hatinya. Dia bangkit dan tersenyum ramah ketika Panglima Kwee dan Cun Ki memasuki ruangan tamu.
"Ah, Kwee-ciangkun dan Kwee-kongcu (Tuan Muda Kwee)! Silakan duduk." Dia mempersilakan.
Dua orang tamu itu sambil menahan kesabaran mereka duduk berhadapan dengan tuan rumah.
"Ciang-taijin, kami tidak berpanjang kata. Kedatangan kami ini ingin minta pertanggungan-jawabmu atas apa yang diceritakan isteri Anda kepada isteriku!"
Ciang Kui tersenyum dan meraba kumisnya yang tipis. Dia adalah seorang pria yang dalam usianya yang sudah limapuluh tahun itu masih tampak tampan.
"Tenanglah, Kwee-ciangkun. Cerita isteriku yang manakah yang kauminta pertanggungan-jawabku?"
"Cerita tentang Liang Hong Yi, bahwa ia dahulu adalah seorang pelacur di Cin-koan dan Anda adalah seorang di antara para langganannya!" kata Kwee-ciangkun dengan muka merah dan nada suaranya marah.
"Oh, itu? Aih, mulut wanita memang jauh jangkauannya. Berita itu hanya membuat aku malu saja, Kwee-ciangkun. Akan tetapi mengapa engkau tanyakan hal itu kepadaku? Kalau aku yang mengatakan, mungkin engkau tidak akan percaya dan menuduh aku menyebar fitnah. Mengapa engkau dan puteramu tidak langsung saja pergi ke Cin-koan dan mencari keterangan di sana betul tidak dahulu ada Rumah Pelesir Bunga Seruni yang diasuh oleh Lu-ma dan bahwa Liang Hong Yi adalah kembangnya rumah pelesir itu? Kalau engkau sudah menyelidiki di sana dan ternyata bahwa omonganku bohong, barulah engkau ke sini minta pertanggungan-jawabku. Bukankah itu adil, daripada belum apa-apa engkau sudah marah-marah?"
Kwee-ciangkun bangkit berdiri, diikuti oleh Cun Ki. Dia mengangguk dan menjawab.
"Baik, dan kalau ternyata Anda bohong, aku pasti akan menuntutmu, Ciang-taijin!"
"Aku siap dituntut kalau omonganku, tidak benar, Kwee-ciangkun."
Panglima Kwee dan Cun Ki segera pulang. Nyonya Kwee menyambut mereka dengan wajah masih gelisah dan kedua pipi masih basah air mata.
"Bagaimana""?" tanyanya.
"Kami pulang untuk mengambil kuda, Ibu. Ayah dan aku akan menyelidiki apakah itu fitnah ataukah benar di kota Cin-koan!" kata Cun Ki kepada ibunya.
"Yang celaka sekali kalau berita itu benar adalah""" kata Kwee-ciangkun.
"Ada apa, suamiku?"
"Aku sudah mendapatkan seorang comblang dan kemarin dia sudah kusuruh berangkat ke dusun Kian-cung di dekat Telaga Barat mengajukan pinangan itu!"
"Wah, celaka""!" kata Nyonya Kwee.
"Jangan khawatir. Andaikata mereka menerima, masih belum terlambat untuk membatalkan ikatan perjodohan yang belum resmi itu!" kata Kwee-ciangkun sambil menoleh kepada puteranya.
"Tentu engkau setuju, bukan?"
Cun Ki menunduk.
"Aku menurut bagaimana keputusan Ayah saja."
Pikirannya sendiri sedang kalut. Kalau benar Ibu Bi Lan dahulunya seorang pelacur, ke mana dia harus menyembunyikan mukanya kalau semua orang mencemoohkannya bahwa ibu mertuanya seorang bekas pelacur? Maka dia tidak dapat mengambil keputusan dan menyerahkan saja kepada orang tuanya.
Panglima Kwee dan puteranya segera membalapkan kuda menuju ke kota Cin-koan.
Nyonya Kwee menanti dengan hati berdebar-debar. Berbagai perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa marah, malu, gelisah, akan tetapi di balik semua perasaan tidak enak ini, sembunyi rasa senang yang penuh harapan.
Memang pada dasarnya ia tidak senang mempunyai menantu seorang gadis liar pendekar pedang seperti Bi Lan, dan ia hanya mengalah karena tidak ingin melihat puteranya mogok tidak mau menikah. Kini timbul harapan baru di hatinya. Kalau berita itu benar, sudah pasti Cun Ki tidak akan sudi memperisteri anak seorang bekas pelacur! Akan tetapi diam-diam ia pun merasa kasihan juga kepada Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang telah dikenalnya. dengan baik sejak mereka berdua masih tinggal di kota raja. Ia merasa sulit membayangkan apakah ia dan suaminya dapat menjadi sahabat baik suami isteri itu kalau mendengar akan masa lalu Liang Hong Yi.
Maka, terjadi kebimbangan dalam hati Nyonya Kwee. Kalau berita itu tidak benar, maka tentu suaminya akan menuntut Pembesar Ciang dan terjadi permusuhan atau setidaknya perasaan tidak enak di antara kedua keluarga itu. Padahal, ia akan merasa senang sekali kalau Cun Ki dapat menjadi suami Ciang Bi Hiang yang sudah dikenalnya sebagai seorang gadis yang cantik dan lemah lembut.
Baru menjelang sore Panglima Kwee dan Cun Ki pulang. Pelayan menyambut dan mengurus kuda mereka dan keduanya lalu memasuki gedung, disambut oleh Nyonya Kwee di pendapa karena sejak tadi nyonya ini sudah menanti dengan tidak sabar. Ia melihat suami dan puteranya tampak lesu.
"Bagaimana""?" tanya Nyonya Kwee kepada suami dan puteranya.
"Kita bicara di dalam!" kata Panglima Kwee dengan ketus, tanda bahwa dia dalam keadaan marah.
Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka bertiga masuk ke dalam ruangan keluarga di mana para pelayan tidak ada yang berani masuk kalau tidak dipanggil. Mereka duduk mengelilingi meja setelah Cun Ki menutup daun pintu dan jendela.
"Nah, ceritakan, bagaimana hasilnya?" tanya Nyonya Kwee.
Panglima Kwee menghela napas panjang.
"Sungguh tidak pernah kusangka""! Siapa yang mengira, siapa yang dapat percaya bahwa seorang wanita yang begitu gagah perkasa, setia kepada suami dan kepada negara, yang begitu pandai membawa diri""?"
"Jadi benarkah apa yang dikatakan Nyonya Ciang itu?" tanya isterinya.
Panglima Kwee mengangguk.
"Sudah kami selidiki di kota Cin-koan dan hampir semua penduduk kota itu yang usianya sudah empatpuluh tahun ke atas, tahu belaka akan kenyataan itu. Memang benar Lu-ma mempunyai sebuah rumah pelesir yang disebut Bunga Seruni dan Liang Hong Yi adalah keponakannya dan dan biarpun ia hanya mau menerima langganan para bangsawan dari Cin-koan atau kota raja, namun jelas bahwa ia di waktu gadis menjadi seorang....... pelacur. Setelah ia menikah dengan Han Si Tiong, mereka berdua lalu meninggalkan Cin-koan"""
"Ahhh! Kalau begitu, tidak mungkin Cun Ki menjadi calon Han Bi Lan! Mana mungkin kita berbesan dengan seorang bekas pelacur? Dan alangkah rendah dan hinanya dalam pandangan semua orang kalau Cun Ki menjadi mantu pelacur. Bukankah begitu, Cun Ki?" kata Nyonya Kwee sambil menatap wajah puteranya.
Cun Ki menundukkan mukanya dan menghela napas berulang kali.
"Ibu, pikiranku kalut dan bingung, hatiku tertekan dan terpukul hebat oleh kenyataan pahit ini, maka tentang perjodohan terserah saja kepada Ayah dan Ibu. Aku menurut saja"", aku bingung, aku ingin tidur""!" Cun Ki lalu meninggalkan orang tuanya dan memasuki kamar, terus merebahkan diri tidur!
Suami isteri itu masih duduk berhadapan dan saling pandang dengan alis berkerut.
"Hemm, bagaimana sekarang? Mungkin comblang yang kusuruh itu sudah tiba di sana sekarang, mengajukan pinangannya."
Isterinya mengerutkan alis.
"Mengapa engkau begitu tergesa-gesa dan tidak membicarakannya dulu dengan aku dan langsung mengirim comblang ke sana?" Suara Nyonya Kwee mengandung teguran.
"Sudahlah, hal itu sudah terlanjur, tidak perlu dibicarakan lagi. Yang penting sekarang membicarakan hal yang akan datang. Aku sudah mengirim comblang untuk menyampaikan pinangan secara resmi. Masih baik kalau pinangan itu ditolak"""
"Huh, pinangan kita ditolak? Tidak mungkin sama sekali! Dulu pun ketika mereka berdua berada di sini, mereka menyatakan setuju kalau puteri mereka menjadi mantu kita. Aku yakin mereka berdua pasti menerima pinangan kita itu dengan hati senang dan bangga, merasa terangkat derajatnya. Huh!"
"Mungkin Han Si Tiong dan isterinya menerima dan menyetujui, akan tetapi bisa juga Han Bi Lan yang menolak lamaran itu."
"Gadis itu berani menolak pinangan kita untuk dijodohkan dengan anak kita? Hemm, memangnya siapa ia? Anak siapa? Mana mungkin menolak untuk menjadi isteri putera kita!" kata Nyonya Kwee, gemas.
"Jangan begitu. Bagaimanapun juga, yang pernah melakukan kesalahan adalah ibunya. Gadis itu sama sekali tidak berdosa."
"Tidak berdosa? Ia anak pelacur, dan ia seorang pembunuh kejam!"
"Sudahlah, tak baik membiarkan kebencian seperti itu. Mereka kan tidak pernah mengganggu atau merugikan kita, kenapa engkau menjadi begitu benci?"
"Mereka merupakan ancaman untuk nama baik dan kehormatan keluarga kita," Nyonya Kwee berseru marah.
"Sekarang kita bicarakan hal yang lebih penting. Tadi kukatakan andaikata pinangan itu ditolak, maka tidak ada masalah lagi. Yang kupikirkan, bagaimana kalau mereka menerima pinangan kita itu? Apa yang harus kukatakan kepada Han Si Tiong untuk membatalkannya? Kita baru saja meminang, masa dibatalkan begitu saja?"
"Katakan saja terus terang bahwa kita tidak sudi berbesan dengan seorang bekas pelacur, habis perkara! Mereka harus tahu diri, dong! Masa bekas pelacur mau berbesan dengan keluarga Panglima?"
"Hushh, jangan begitu. Rendam saja kemarahanmu dan mari kita bicara dengan kepala dingin. Biarpun bagaimana juga, kita sudah terlanjur meminang! Dan ini harus kita pertanggung-jawabkan. Bagaimana mungkin kita lalu tidak mengacuhkan mereka?"
"Kenapa pusing-pusing? Batalkan saja!"
"Kalau Han Si Tiong dan isterinya bertanya mengapa kita yang meminang lalu kita pula yang membatalkan? Apa alasan kita?"
"Bilang saja terus terang bahwa kita telah mendengar akan masa lalunya Liang Hong Yi dan kita tidak mau berbesan dengan seorang bekas pelacur!"
"Itu bukan pemecahan yang baik! Alasan seperti itu hanya memancing permusuhan. Ingat, Han Si Tiong adalah orang yang sudah berjasa terhadap kerajaan. Biarpun dia tidak mau memangku jabatan, namun Sribaginda sendiri tentu akan marah kalau mendengar dia diperlakukan sewenang-wenang. Dan kalau suami isteri itu marah, apalagi dibantu anak mereka yang amat lihai, sungguh keselamatan kita akan terancam. Kita harus mencari jalan yang baik agar urusan ini dapat diselesaikan dengan damai dan baik."
Suami isteri itu lalu berdiam diri, agaknya memutar otak mencari jalan keluar terbaik menghadapi persoalan itu. Nyonya Kwee mencari jalan terbaik, bukan saja yang terbaik bagi ia dan suaminya, akan tetapi terutama sekali untuk puteranya karena tadi ia melihat bahwa biarpun puteranya menyerahkan keputusannya kepada mereka berdua, tetap saja ia mengetahui bahwa puteranya itu mengalami patah hati dan menjadi sedih sekali.
Tiba-tiba wajahnya yang tadinya muram dan alisnya berkerut karena merasa bingung dan khawatir menghadapi urusan itu, kini menjadi cerah. Bibirnya tersenyum merekah dan sepasang matanya berbinar-binar.
"Hai, aku sudah mendapat akal! Akal yang baik sekali, suamiku!" serunya gembira.
Kwee-ciangkun memandang isterinya, alisnya masih berkerut karena dia tidak mengerti apa yang membuat isterinya bergembira menghadapi keadaan yang serba sulit itu.
"Hemm, akal bagaimanakah yang kau dapatkan?"
"Kita bukan saja harus mengatasi semua persoalan ini tanpa mendatangkan akibat buruk kepada kita, akan tetapi juga menjaga agar anak kita tidak mengalami patah hati dan bersedih karena tampaknya dia sudah benar-benar jatuh cinta kepada Han Bi Lan."
"Engkau benar, akan tetapi apa yang dapat kita lakukan selain menjodohkannya dengan gadis itu?"
"Ingat, suamiku yang baik. Sudah menjadi pendapat umum bahwa seorang laki-laki bangsawan dapat mengambil selir dari golongan apa pun juga. Lihat para pangeran itu. Ada di antara mereka yang mempunyai selir bekas pelacur! Nah, masih baik dan terhormat bagi Cun Ki kalau mengambil Han Bi Lan sebagai selirnya! Tidak akan ada orang mencela dan meremehkan nama dan kehormatan kita. Han Si Tiong dan isterinya juga tidak merasa ditolak atau dibatalkan ikatan perjodohan antara puterinya dan anak kita. Dan, yang penting sekali, anak kita tidak akan putus cinta, tidak akan patah hati karena dia bisa mendapatkan Han Bi Lan, biarpun hanya sebagai selirnya. Bagaimana pendapatmu?"
Wajah Kwee-ciangkun kini juga berseri dan dia memandang isterinya dengan kagum. Timbul kembali harapannya.
"Wah, engkau hebat, isteriku! Akalmu itu benar-benar cerdik dan sekaligus dapat membereskan semua persoalan! Benar sekali itu! Mari kita beritahu anak kita. Panggil dia ke sini!"
Nyionya Kwee segera pergi ke kamar puteranya. Ia mendapatkan pemuda itu tidur pulas.
"Ih, anak ini! Orang tuanya pusing mencari jalan keluar yang baik, dia malah ngorok! Hei, Cun Ki, bangun, Ayahmu ingin bicara denganmu!" Nyonya Kwee mengguncang pundak Cun Ki dan pemuda itu terbangun.
"Ada apakah, Ibu?"
"Mari ikut, Ayahmu menantimu, ingin bicara soal penting padamu."
Cun Ki mengikuti ibunya ke ruangan di mana ayahnya menunggu. Setelah puteranya duduki Panglima Kwee lalu berkata, "Cun Ki, Ayah dan Ibu telah menemukan cara yang tepat dan terbaik untuk mengatasi urusan perjodohanmu dengan Han Bi Lan."
Pemuda itu memandang wajah ayahnya dengan sinar mata penuh selidik.
"Dengan Han Bi Lan, Ayah? Apa yang Ayah maksudkan?"
"Begini, Cun Ki. Engkau tentu mengerti dengan jelas bahwa tidak mungkin engkau melanjutkan perjodohanmu dengan Bi Lan setelah engkau mendengar sendiri kenyataan tentang riwayat Ibunya."
Cun Ki mengerutkan alisnya: "Aku mengerti, Ayah dan kiranya tidak ada gunanya lagi membicarakan itu lebih lanjut, hanya akan mendatangkan kekecewaan saja."
"Akan tetapi kami telah menemukan jalan terbaik, Cun Ki. Engkau masih dapat menikah dengan Bi Lan, maksudku bukan menikah secara resmi, akan tetapi engkau dapat hidup bersama Bi Lan sebagai suami isteri."
"Maksud Ayah?"
"Begini, Cun Ki. Pinangan terhadap Bi Lan telah kita lakukan, dan kita tidak akan mencabut kembali pinangan itu, hanya saja pelaksanaannya yang diubah."
"Diubah bagaimana, Ayah?"
"Diubah agar Bi Lan tetap menjadi isterimu akan tetapi nama dan kehormatan keluarga kami tidak sampai tercemar karenanya. Yaitu, Bi Lan akan menjadi selirmu. Jadi tetap ia menjadi isterimu, akan tetapi bukan isteri yang sah atau isteri pertama. Karena itu, tidak perlu dirayakan dengan pernikahan. Kelak engkau akan kami pilihkan seorang gadis dari keluarga terhormat untuk menjadi isterimu, dan Bi Lan tetap menjadi selirmu. Nah, bukankah itu bagus sekali? Pertama, kita tidak perlu membatalkan pinangan kita sehingga tidak akan menyinggung perasaan Han Si Tiong, kedua, engkau akan tetap memiliki Bi Lan yang kaucinta, dan ketiga, perjodohanmu itu tidak akan mencemarkan nama dan kehormatan keluarga kita. Banyak pangeran dan bangsawan tinggi yang mengambil selir dari wanita golongan apapun juga, bahkan ada yang menjadikan seorang pelacur sebagai selirnya. Dan Bi Lan hanya anak bekas pelacur. Jadi segalanya dapat diatasi tanpa ada kekecewaan, kemarahan, permusuhan atau kedukaan. Bagaimana pendapatmu?"
Wajah pemuda itu juga berseri mendengar ucapan ayahnya.
"Wah, itu baik sekali, Ayah! Akan tetapi, bagaimana kalau Bi Lan tidak mau dijadikan selir?"
"Kalau ia menolak, berarti bahwa penolakan datang dari pihak mereka sehingga mereka tidak akan merasa ditolak dan tidak tersinggung. Siasat ini memang baik sekali, hasil pemikiran Ibumu. Jadi atau tidaknya engkau berjodoh dengan Han Bi Lan, tidak akan ada yang tersinggung. Mengertikah engkau maksud kami, Cun Ki?"
Pemuda itu mengangguk-angguk.
"Akan tetapi, untuk menyampaikan kepada mereka bahwa perjodohan ini berarti bahwa Bi Lan akan menjadi selirku, walaupun pertama kali aku kawin, kuserahkan kepada Ayah dan Ibu. Aku sendiri tidak berani menyampaikan."
"Serahkan saja kepadaku, Cun Ki! Aku yang akan bicara baik-baik kepada mereka, dan kalau mereka itu bijaksana, tentu mereka akan dapat menerima dengan senang hati," kata Nyonya Kwee.
Demikianlah, keputusan itu membuat keluarga Kwee menjadi tenang kembali dan mereka kini hanya menanti kembalinya comblang yang diutus Kwee-ciangkun melamar Han Bi Lan ke dusun Kian-cung di Telaga Barat.
Akan tetapi pada keesokan harinya, Keluarga Kwee mendapat kejutan besar. Mereka menanti-nanti kembalinya comblang yang diutus meminang Han Bi Lan akan tetapi pada siang hari keesokan harinya itu yang muncul bukan si comblang, melainkan Liang Hong Yi dan Han Bi Lan!
Tergopoh-gopoh Panglima Kwee, Nyonya Kwee, dan Kwee Cun Ki keluar menyambut dua orang tamu itu.
"Eh, kalian datang?" seru Nyonya Kwee dengan heran karena tidak menyangka sama sekali ibu dan anak itu datang, padahal si comblang belum kembali.
"Mana Adik Han Si Tiong? Mengapa tidak ikut datang?" tanya Panglima Kwee. Sedangkan Cun Ki hanya memandang saja kepada Bi Lan dan menurut penglihatannya, gadis itu semakin cantik menarik saja! Akan tetapi Bi Lan tidak memperhatikan pemuda itu karena ia sibuk merangkul ibunya yang sudah langsung menangis tersedu-sedu ketika Panglima Kwee menanyakan suaminya.
"Aih, mengapa engkau menangis? Apakah yang telah terjadi, Adik Liang Hong Yi?" tanya Nyonya Kwee.
Akan tetapi tangis Liang Hong Yi semakin mengguguk sehingga Panglima Kwee dan isterinya saling pandang dengan heran.
Cun Ki segera bertanya kepada Bi Lan.
"Lan-moi, ceritakanlah kepada kami, apa yang terjadi sehingga Ibumu menangis seperti ini?"
Bi Lan masih merangkul ibunya yang duduk di atas kursi dan mendengar itu, ia menjawab.
"Ayah telah tewas dibunuh orang."
Tentu saja keluarga Kwee terkejut sekali mendengar berita ini. Akan tetapi di balik kekagetan dan rasa iba ini terselip sedikit kelegaan hati Kwee-ciangkun, isteri dan puteranya karena dengan matinya Han Si Tiong, maka urusan yang mereka hadapi akan lebih ringan dan tidak lagi menyinggung perasaan Han Si Tiong yang menjadi sahabat baik Kwee-ciangkun.
"Ah, bagaimana hal itu dapat terjadi? Apakah pembunuhnya demikian saktinya sehingga engkau tidak mampu mencegahnya, Lan-moi?" tanya Cun Ki.
Setelah ibunya berhenti menangis, Bi Lan bercerita dengan singkat.
"Ketika aku datang, pembunuh-pembunuh itu telah pergi. Aku datang terlambat."
Kini Liang Hong Yi yang menjawab.
"Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis bernama Bouw Kiang dan Bong Siu Lan yang diutus oleh guru mereka Ouw Kan untuk membunuh kami. Suamiku tewas dan aku terluka di pundak."
"Jahanam Ouw Kan!" Panglima Kwee Gi mengumpat karena dia mengetahui bahwa yang dulu menculik Bi Lan adalah Ouw Kan juga.
"Paman Kwee berdua dan Kakak Cun Ki, aku harus mencari para pembunuh ayahku dan jahanam Ouw Kan itu, akan kubasmi mereka untuk membalas kematian ayah. Karena itu, aku mohon kepada Kalian agar Ibu untuk sementara tinggal di sini agar ia tidak sendirian," kata Bi Lan.
"Akan tetapi...... hal itu......"
"Ah, boleh saja ibumu untuk sementara tinggal di sini, Bi Lan!" Panglima Kwee memotong kata-kata isterinya tadi.
"Kwee-ciangkun dan Kwee-hujin (Nyonya Kwee), perkara itu dapat dibicarakan nanti. Sekarang yang terpenting, yang mendorong aku pergi ke kota raja ini, selain untuk menghibur diri, juga sengaja kami berkunjung ke sini untuk menentukan ikatan perjodohan anak-anak kita seperti yang ciang-kun berdua usulkan dahulu ketika aku dan suamiku berada di sini."
Kwee-ciangkun dan isterinya saling pandang. Ah, tentu pinangan itu sudah mereka terima, pikir mereka. Seperti sudah dijanjikan, yang hendak menyampaikan usul baru itu Nyonya Kwee, maka Kwee-ciangkun memberi isyarat kepada isterinya. Nyonya Kwee yang biasanya bersikap lembut, kini demi menjaga nama dan kehormatan keluarganya, memberanikan diri berkata dengan suara tegas.
"Adik Liang Hong Yi, kita sudah menyetujui akan perjodohan itu, akan tetapi terpaksa kami harus berterus terang bahwa kita tidak dapat merayakan pernikahan secara sah karena anakmu itu kami terima bukan sebagai isteri yang sah dari anak kami, melainkan sebagai seorang selir......"
"Ohhh""!" Liang Hong Yi terkejut sekali mendengar ini.
Sementara itu, Bi Lan yang sejak tadi mendengarkan dengan heran dan bingung, kini tidak dapat menahan lagi gejolak hatinya.
"Ibu, apa artinya semua ini? Siapa yang akan dijodohkan?!"
"Kwee-hujin mengapa begini?" teriak Liang Hong Yi tanpa menjawab pertanyaan anaknya karena hatinya sudah panas oleh ucapan Nyonya Kwee bahwa puterinya hanya akan dijadikan selir!
"Dengarlah dulu dengan hati tenang, Adik Liang Hong Yi," kata Nyonya Kwee dan Bi Lan terpaksa menahan gejolak hatinya dan ikut mendengarkan dengan hati penasaran.
"Memang ada sedikit kesalahan ketika kami mengirim comblang, yaitu kami tidak menjelaskam sifat perjodohan itu. Yang kami kehendaki adalah melamar Bi Lan untuk menjadi selir anak kami, bukan sebagai isteri yang sah."
"Gila! Ibu, apa-apaan ini?" Kembali Bi Lan berseru. Akan tetapi ibunya memandang kepadanya dengan muka merah karena Liang Hong Yi juga sudah menjadi marah dan penasaran.
"Tunggu dulu, Bi Lan!" katanya kepada puterinya, lalu ia menghadap Panglima Kwee dan isterinya dan suaranya terdengar lantang dan ketus.
"Kwee-ciangkun, dan Hujin, apa artinya penghinaan ini? Jelaskan mengapa memandang kami serendah itu!"
"Adik, Liang Hong Yi, tenanglah. Kami sama sekali tidak memandang rendah, akan tetapi ketentuan ini adalah demi kebaikan kita bersama. Terus terang saja, kami sudah mendengar tentang riwayat masa lalumu di Cin-koan, di rumah pelesir Bunga Seruni......"
"Ahhh......!" Wajah Liang Hong Yi menjadi pucat sekali dan ia terkulai, agaknya akan terjatuh dari kursinya kalau saja Bi Lan tidak segera merangkulnya.
"Maafkan kami, Adik Liang Hong Yi. Dengan adanya kenyataan itu, tentu engkau maklum bahwa tidak mungkin putera kami menjadi mantu yang sah darimu. Kita tidak mungkin berbesan. Akan tetapi kalau puterimu menjadi selir anak kami, hal itu lain lagi, tidak akan mencemarkan nama dan kehormatan keluarga kami dan anak kita tetap dapat hidup bersama......"
Tiba-tiba Liang Hong Yi menangis tersedu-sedu.
Bi Lan tak dapat menahan kemarahannya.
"Aku baru tahu sekarang! Paman Kwee dan Bibi maksudkan bahwa kalian melamar aku untuk dijadikan selir Kakak Kwee Cun Ki? Dan kalian berani menghina ibu seperti itu? Keparat! Apa dikira aku sudi menjadi selirnya? Menjadi isterinya pun aku tidak sudi! Dan belum apa-apa kalian telah menghina ibuku. Kalian sekeluarga tidak pantas menjadi sahabat baik, patutnya menjadi musuh-musuh kami! Hayo kalian cepat minta maaf kepada ibuku atau aku harus menggunakan kekerasan?"
Bi Lan menjulurkan tangannya dan sekali tangannya memegang kursi dan meremasnya, terdengar suara berdetakan dan kursi itu patah-patah, kini ia memegang sebatang kaki kursi untuk dijadikan senjata, matanya berapi-api penuh ancaman!
Kwee-ciangkun dan Kwee Cun Ki sudah bangkit dan mereka mencabut pedang untuk membela diri kalau Bi Lan menyerang.
"Bi Lan, jangan......!" Tiba-tiba Liang Hong Yi menjerit dan menubruk puterinya.
"Akan tetapi, Ibu! Mereka ini keterlaluan sekali menghina Ibu! Merendahkan kita seperti itu. Mereka harus minta maaf kepada Ibu, atau kalau tidak aku akan mengamuk!"
"Jangan......! Jangan, anakku...... mereka ...... mereka itu benar, aku...... aku...... memang tidak pantas berbesan dengan mereka. Bi Lan anakku, mari kita pergi, marilah, anakku......!" Liang Hong Yi menarik-narik tangan puterinya.
Dengan hati penuh kemarahan dan penasaran, Bi Lan terpaksa menaati ibunya. Ia melontarkan kaki kursi itu ke arah dinding dan dengan suara nyaring kaki kursi dari kayu itu menancap pada dinding seperti sebatang anak panah! Lalu ia membiarkan dirinya digandeng dan ditarik ibunya keluar dari gedung itu.
Setelah ibu dan anak itu pergi, Panglima Kwee, isteri dan puteranya duduk tertegun. Wajah mereka agak pucat karena tadi mereka merasa khawatir sekali. Tidak mereka sangka akan begini akibatnya.
Panglima Kwee menghela napas panjang.
"Aduh, aku merasa menyesal sekali bahwa persahabatanku, dengan Han Si Tiong akan menjadi putus seperti ini. Aku merasa menyesal sekali mendengar berita tentang masa lalunya Liang Hong Yi yang memaksa kita mengambil keputusan seperti ini......"
"Aku pun menyesal, suamiku. Akan tetapi bukan berita itu yang patut kita sesalkan, melainkan masa lalu Liang Hong Yi itu sendiri. Bagaimanapun juga sakit dan tidak enaknya, sekarang kita telah bebas dari ikatan perjodohan yang tidak kita sukai itu."
"Cun Ki, kami harap engkau tidak akan menjadi kecewa dan bersedih dengan terputusnya ikatan perjodohan ini," kata Panglima Kwee sambil menatap wajah puteranya yang masih agak pucat.
Kwee Cun Ki menghela napas panjang.
"Ayah dan Ibu, tidak dapat kusangkal bahwa aku tadinya amat kagum dan mencinta Han Bi Lan. Akan tetapi melihat sikapnya tadi, baru aku melihat betapa betul kata-kata Ibu bahwa ia tidak pantas menjadi mantu Ibu karena ia begitu kasar dan liar. Selain itu, aku sudah mendengar sendiri bahwa ia tidak sudi menikah denganku, maka aku tidak kecewa dan tidak bersedih. Di dunia ini bukan ia satu-satunya wanita."
Dalam hatinya, pemuda ini merasa mendongkol dan sakit juga mendengar betapa tadi Bi Lan menyatakan bahwa ia tidak sudi menjadi isterinya, apalagi selirnya.
Nyonya Kwee kini dapat tersenyum.
"Jangan khawatir, anakku. Aku akan mencarikan gadis yang lebih cantik, lebih terpelajar dan lebih lembut, lebih menghormat orang tua dan lebih dapat mencintamu, daripada gadis-gadis binal itu." Dalam benak Nyonya Kwee terbayang wajah Ciang Bi Hiang, puteri Pembesar Ciang Kui!
Demikianlah, biarpun Panglima Kwee merasa menyesal sekali karena terpaksa dia harus memutuskan hubungan yang tadinya erat sekali dengan keluarga mendiang Han Si Tiong, namun bagaimana juga dia merasa lega bahwa urusan perjodohan yang ruwet itu kini sudah lewat.
Liang Hong Yi menangis terisak-isak di dalam kamar losmen itu, duduk di tepi pembaringan, dirangkul oleh Bi Lan yang mencoba untuk menghiburnya. Nyonya itu merasa hancur hatinya dan kedukaan hatinya karena kehilangan suaminya masih belum reda, kini ia ditimpa lagi kedukaan yang lebih menghancurkan hatinya karena ia melihat betapa kebahagiaan puterinya hilang terkena kecemaran namanya. Baru sekarang ia merasa menyesal setengah mati bahwa dulu, ketika masih gadis, ia telah begitu rendah untuk mau menjual tubuhnya kepada para pemuda bangsawan demi membalas budi Lu-ma! Ah, ia menyesal sekali!
Di dunia ini, hanya Han Si Tiong seorang yang tidak memandang rendah dirinya yang pernah menjadi pelacur! Dan satu-satunya orang itu kini telah tiada! Semua orang tentu tidak akan jauh bedanya dari sikap keluarga Kwee memandang dirinya. Seorang bekas pelacur! Seorang sampah masyarakat, wanita yang sehina-hinanya! Dan bukan ia seorang yang harus memetik buah pahit sebagai akibatnya, melainkan kini puterinya, anak satu-satunya yang tersayang, harus pula merasakan buah akibat yang amat pahit itu!
"Aduh...... Thian...... sudikah Engkau mengampuni hambamu yang hina ini......?" Ia merintih dalam tangisnya.
"Ibu......, Ibu......! Mengapa Ibu menangis seperti ini? Ibu, apakah artinya semua ini? Tuduhan Nyonya Kwee tadi, masa lalu Ibu di kota Cin-koan, apa artinya itu? Bagaimana sih masa lalu Ibu ketika tinggal di Cin-koan sehingga mereka berani menghina Ibu seperti itu? Semestinya Ibu tidak mencegah aku membasmi orang-orang yang berani menghina lbu seperti itu!"
"Aih, jangan...... anakku. Mereka tidak bersalah...... mereka adalah orang-orang terhormat, orang-orang baik, sedangkan aku...... Ibumu ini...... ah, seorang wanita hina yang sudah cemar namanya......"
"Ibu, ceritakanlah semua ini! Ibu membuat aku menjadi penasaran!"
Liang Hong Yi menyusut air matanya. Dengan sepasang mata merah dan wajah agak pucat, jantungnya berdebar tegang membayangkan bagaimana nanti sikap anak tunggalnya kalau mendengar riwayatnya yang hitam, lalu berkata lirih, lambat-lambat, sambil memegangi kedua tangan anaknya, takut kalau ditinggal.
"Baiklah anakku. Dengarlah baik-baik, Ibumu akan menceritakan. Dahulu kurang lebih duapuluh tahun yang lalu, ada seorang gadis berusia delapan belas tahun yang tinggal bersama bibinya. Gadis itu adalah seorang anak yatim-piatu sejak kecil sekali. Ia tentu sudah terlantar dan mungkin mati kelaparan kalau saja ketika baru berusia tiga tahun itu ia tidak diambil dan dirawat bibinya sehingga menjadi dewasa. Bibinya amat sayang kepadanya, ia diajar segala macam kepandaian yang patut dipelajari seorang anak perempuan. Gadis itu berhutang budi besar sekali kepada bibinya. Akan tetapi bibinya itu seorang janda dan untuk membiayai hidupnya dan keponakannya, ia mempunyai pekerjaan yang tidak terhormat, yaitu membuka sebuah rumah pelesir yang menampung beberapa orang pelacur. Gadis itu sejak anak-anak sudah hidup di lingkungan para pelacur. Setelah ia berusia tujuhbelas tahun, para tamu banyak yang menginginkan dirinya. Akan tetapi bibinya mempertahankan. Setelah para pemuda bangsawan tinggi yang menginginkannya, bibinya itu membujuknya agar mau melayani pemuda bangsawan karena bibinya mulai diperas pembesar pemungut pajak sehingga kekurangan uang. Gadis itu merasa berhutang budi kepada bibinya dan tidak tahu cara lain untuk dapat membalas budinya. Maka ia lalu menyerah, menuruti keinginan bibinya, mulailah melayani para tamu bangsawan yang menginginkannya dengan harga tinggi. Ia menjadi pelacur tingkat tinggi dan para langganannya hanya pemuda-pemuda bangsawan pilihan bibinya yang sebetulnya amat sayang kepada keponakannya itu. Setelah setahun lamanya, menjadi pelacur, gadis itu bertemu dengan seorang pemuda dan saling jatuh cinta. Pemuda itu walaupun mengetahui bahwa gadis itu menjadi pelacur, tetap mau mengawininya. Mereka menikah dan pindah ke kota raja di mana mereka mendapatkan pekerjaan yang cukup terhormat. Kemudian, gadis yang menjadi isteri pemuda itu, melahirkan seorang anak. Engkaulah anak itu, Bi Lan. Gadis yang pernah menjadi pelacur di Cin-koan itu adalah...... aku, Ibumu ini......" Liang Hong Yi menundukkan mukanya, tidak berani memandang wajah anaknya.
Bi Lan merasa seolah disambar petir dan tubuhnya seperti kemasukan hawa panas dan dingin silih berganti, membuat wajahnya sebentar merah sebentar pucat. Kemudian meledaklah perasaan hatinya yang ditahan-tahan.
"Keparat! Jahanam Bibi yang menjerumuskan Ibu itu! Akan kubunuh ia!" Suaranya gemetar saking marahnya.
"Bibiku itu telah tewas terbunuh, Bi Lan. Ia adalah Lu-ma yang mengasuhmu sejak engkau lahir"""
Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seketika lemas tubuh Bi Lan dan air matanya jatuh berderai, mulutnya merintih, "Ayah......!"
"Ayahmu seorang budiman. Dialah satu-satunya manusia yang tidak memandang hina padaku...... dan kuharap, kumohon...... engkau menjadi orang kedua yang tidak memandang hina......"
Akan tetapi Bi Lan sudah melompat dari tempat tidur, cepat ia membongkar buntalan pakaian, memisahkan dari pakaian ibunya, lalu mengambil pula sekantung uang bekal perjalanan mereka, meninggalkan pakaian ibunya dan bekal uang itu di atas meja, lalu membungkus pakaiannya sendiri. Wajahnya pucat sekali dan alisnya berkerut-kerut, kedua matanya basah, bibir bawahnya digigitnya sendiri.
Liang Hong Yi memandang dengan mata terbelalak, tubuhnya terasa lemah lunglai dan suaranya lirih gemetar, "Apa...... apa...... yang hendak...... kaulakukan,...... anakku......?"
"Aku tidak memandang hina kepada Ibu, akan tetapi aku tidak dapat tinggal bersama Ibu, aku harus pergi membalas kematian Ayah. Ibu, aku pergi!" Setelah berkata demikian, tubuh Han Bi Lan berkelebat keluar dari kamar losmen itu.
"Bi Lan...... anakku...... Bi Lan...... oohhhh......!" Liang Hong Yi berdiri, hendak mengejar, akan tetapi tubuhnya terkulai lemas dan ia roboh pingsan di atas lantai!
Akan tetapi Bi Lan tidak tahu apa yang terjadi dengan ibunya. Ia berlari cepat meninggalkan losmen itu dengan air mata bercucuran. Telinganya seolah mendengar ejekan dan cemooh dengan suara menertawakan.
"Engkau anak pelacur...... anak pelacur...... anak pelacur......!" Bi Lan mencoba menutupi kedua telinganya, namun suara itu masih terdengar terus, mengejar ke mana pun ia pergi. Ia menujukan langkahnya ke arah kota Cin-koan!
Sampai cukup lama Liang Hong Yi rebah telentang di atas lantai kamar losmen itu. Seorang pelayan wanita setengah tua membawa poci air teh dan cangkirnya memasuki kamar itu tanpa mengetuk karena ia mendapatkan daun pintu kamar itu sudah terbuka. Ketika ia melihat tubuh wanita yang menggeletak di atas lantai, ia terkejut sekali. Cepat ia menaruh poci dan cangkir ke atas meja lalu membungkuk dan mengguncang pundak Liang Hong Yi yang seperti tertidur itu.
"Toanio (Nyonya)......, Toanio......, bangunlah......! Aih, mengapa engkau tidur di bawah?"
Pelayan itu terus mengguncang pundak Liang Hong Yi, mengira bahwa tamu itu ketiduran di bawah! Ia memang belum pernah melihat orang pingsan sehingga tidak dapat membedakan antara orang pingsan dan orang tidur! Akan tetapi karena Liang Hong Yi memang sudah cukup lama jatuh pingsan dan memang sudah waktunya siuman, maka ketika pundaknya diguncang-guncang, ia membuka matanya. Ia segera teringat kepada puterinya, akan tetapi ketika membuka mata melihat wanita setengah tua, pelayan losmen itu, ia mengeluh lalu bangkit duduk. Baru ia menyadari bahwa tadi ia rebah di atas lantai.
"Aih, Toanio, mengapa Toanio tertidur di atas lantai?" pelayan itu bertanya sambil menyeringai, merasa lucu dan terheran.
Liang Hong Yi mencari-cari dengan pandang matanya, akan tetapi tidak melihat Bi Lan dan teringatlah ia betapa puterinya itu telah melarikan diri, meninggalkannya. Ia memandang ke arah meja dan di situ terdapat tumpukan pakaiannya dan kantung uang.
"Enci pelayan, apakah engkau tadi melihat puteriku pergi dari sini?" tanyanya kepada pelayan itu walaupun ia sudah tahu bahwa anaknya pergi meninggalkannya.
"Ya, saya melihatnya, Toanio. Bukankah puteri Toanio gadis cantik berpakaian serba merah muda? Tadi saya melihat ia pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan losmen."
"Enci, saya juga mau pergi. Berapa saya harus membayar sewa kamarnya?"
Pelayan itu memandangnya dengan bengong.
"Toanio tidak jadi menginap di sini?"
"Tidak, aku ada urusan penting dan harus pergi sekarang juga," kata Liang Hong Yi sambil membungkus pakaian dan kantung uang itu.
"Karena Toanio belum bermalam dan hendak pergi sekarang, maka tidak usah Toanio membayar sewanya. Nanti akan saya laporkan kepada pengurus losmen."
Liang Hong Yi mengambil beberapa potong uang dan memberikannya kepada pelayan itu.
"Ambillah uang ini untuk membayar kerugian losmen dan selebihnya untukmu."
"Terima kasih, Toanio, terima kasih," pelayan wanita itu membungkuk-bungkuk senang karena uang itu lebih dari cukup untuk membayar sewa kamar satu malam dan kalau pengurus membolehkan tamu ini tidak membayar apa-apa karena belum menginap, berarti semua uang itu untuknya!
Liang Hong Yi membawa buntalan pakaiannya dan keluar dari losmen itu. Setelah keluar dari losmen, barulah ka membiarkan air matanya turun berderai membasahi pipinya. Ia tidak perduli kepada orang-orang yang berpapasan dengannya di jalan raya memandangnya dengan heran. Ia juga tidak tahu ke mana ia akan pergi. Ia tidak mampu memikirkan apa-apa lagi. Puterinya telah pergi meninggalkannya! Suaminya sudah lebih dulu meninggalkannya. Tiba-tiba terasa betapa amat sangat ia merindukan suaaminya. Ia seperti orang meraba-raba dalam kegelapan, ditinggalkan, kesepian, sendirian, hampa dan perasaan hatinya terasa pedih dan hancur.
"Kanda Han Si Tiong"", Tiong-ko suamiku"" kenapa engkau meninggalkan aku.......? Bawalah aku serta, suamiku......!" Ia tersedu dan melangkah tersaruk-saruk keluar dari kota raja. Para perajurit penjaga pintu gerbang kota raja juga merasa heran melihat ia menangis sambil melangkah terhuyung-huyung, akan tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Hatinya perih, tubuhnya lunglai dan pikirannya kosong. Liang Hong Yi berjalan terus di bawah sinar matahari sampai menjelang senja. Kedua kakinya sudah lemas. Air matanya sudah kering. Mata yang membengkak dan merah karena tangis itu memandang ke depan dengan kosong, seperti mayat hidup karena mukanya pucat. Ia tidak memperdulikan lagi perutnya yang perih dan lapar, kerongkongannya yang haus dan kering. Ia hanya tahu bahwa ia harus berjalan, entah ke mana. Ia seperti sudah mati walaupun anggauta tubuhnya masih bergerak. Bibirnya yang kering itu tiada hentinya menyebut nama suaminya.
"Tiong-ko"" Tiong-ko"" Tiong-ko......!"
Tanpa ia sadari, ketika senja tiba, ia telah mendaki sebuah bukit dan tertatih-tatih melangkah sampai ke depan sebuah kuil. Pandang matanya kabur dan ia hanya samar-samar melihat kuil itu, lalu tubuhnya terguling roboh di atas tanah depan kuil. Pingsan!
Ketika Liang Hong Yi siuman dari pingsannya, pertama-tama hidungnya mencium bau sedap. Biasanya obat-obatan yang terdiri dari akar-akar, daun-daunan, dan rempa-rempa yang mengeluarkan bau sedap yang khas ini. Lalu ia membuka matanya. Segera ia bangkit duduk ketika melihat bahwa ia tadi rebah di atas sebuah dipan sederhana, dalam sebuah kamar yang kecil dan sederhana pula. Ia melihat buntalan pakaiannya di sudut kamar itu. Kamar itu gundul tanpa hiasan apa pun. Tubuhnya terasa ringan dan hangat, juga perutnya terasa hangat. Mulutnya juga merasakan kepahitan jamu yang mungkin telah diminumkan orang selagi ia pingsan.
Kasih Diantara Remaja Eps 26 Pedang Pusaka Naga Putih Eps 4 Pedang Pusaka Naga Putih Eps 9