Panji Wulung Karya Opa Bagian 4
menganggkat tinggi tongkatnya, dan lima tongkat dari lima
utusan lalu merubah gerakannya dengan mengikuti
perubahan gerakan, sembilan suara juga berubah.
Setelah mengeluarkan suara yang lebih menyeramkan, di
atas tongkat, kini perlahan-lahan menghembuskan asap
warna-warni. Begitu asap itu timbul, bau harum menyerang hidung,
bau itu terus berputar-putaran dan mengurung diri Touw
Liong. Pelajaran ilmu membuka pukulannya yang diwariskan
oleh taysu gila, apa mau baru diwariskan delapan puluh
persen saja, justru perbedaan dua puluh persen ini, apalagi
ditambah dengan suara hantu yang sesungguhnya terlalu
ganas, maka suara itu dapat menyusup ke dalam telinga
Touw Liong, sehingga hatinya mulai terguncang.
Lo Yu Im yang mengkhawatirkan Touw Liong saat itu
matanya melirik ke arahnya, ia telah mendapat kenyataan
bahwa kedua tangan Touw Liong bergerak-gerak menolak
racun, tetapi asap warna-warni yang mengitari dirinya terus
mengurung rapat, hingga Touw Liong agaknya kepayahan,
keringatnya sudah mengucur deras, jelas bahwa ia agak
berat menghadapi serangan itu.
Saat itu Touw Liong sedang menghadapi tiga macam
tekanan: Satu ialah lima buah tongkat yang luar biasa itu, ia
harus hati-hati jangan sampai tersentuh, dua ialah dari
sembilan jenis suara yang mengacaukan pikirannya, juga
memerlukan ilmu kekuatan tenaga dalam yang tinggi untuk
melawannya, dan tiga ialah asap racun warna-warni itu,
memerlukan menggunakan seluruh kekuatan tenaganya
untuk menghadapinya.
Dengan badan yang terdiri dari darah dan daging, juga
bukan penjelmaan dari Kim Tho, tiga tekanan itu, tiada
satu yang tidak memaksa ia mengerahkan seluruh kekuatan
tenaganya, demikian juga menghamburkan tenaga tidak
sedikit. Lo Yu Im yang menyaksikan bahaya yang sudah
mengancam lalu mengeluarkan seruling batu gioknya yang
hanya lima dim panjangnnya, ia letakkan itu di bibirnya,
sesaat kemudian suara mengalun keluar dari seruling, dan
sembilan suara yang keluar dari lima tongkat tadi telah
lenyap bagaikan asap tertiup angin.
Tiga macam tekanan yang yang menekan Touw Liong,
kini telah hilang satu. Touw Liong segera merasakan
ringan, buru-buru memusatkan kekuatan tenaganya untuk
mematahkan racun asap yang warna-warni itu.
Untuk sementara, ia masih dapat bertahan. Lo Yu Im
dengan irama serulingnya telah memunahkan suara dari
lima tongkat tadi, tetapi Touw Liong kecuali
mempertahankan diri sendiri, kedua kekuatan dari
tangannya juga sudah cukup untuk menahan serangan lima
tongkat tadi. Sayang keadaan itu tidak bisa bertahan lama, asap warna
hijau nampak semakin tebal, asap itu bagaikan tumbuh
mata, hanya berpusat dan menyerang Touw Liong seorang.
Dalam pertarungan hebat itu Touw Liong mendadak
merasakan tenaganya kewalahan. Ia menarik napas
panjang, asap beracun yang mengitari sekujur dirinya
mendadak berubah bagaikan dua buah anak panah menuju
ke hidung Touw Liong.
"Adik!" demikian Lo Yu Im berseru, tetapi Touw Liong
yang agaknya sudah terancam dengan asap itu, sehingga
pikirannya mulai butek. Saat itu mendadak terbuka lebar
matanya, dengan mata seperti orang mabuk arak, sementara
itu mulutnya menunjukkan tertawa geli. Sikap itu berbeda
dengan biasanya, setelah mulutnya menyahut enci, dua
tangan yang seharusnya melakukan serangan, tiba-tiba
ditarik kembali dan kedua tangan itu terus merangkul tubuh
Lo Yu Im. Lo Yu Im ketakutan setengah mati, dengan satu tangan
memegang serulingnya, lain tangan mendorong dengan
perlahan. Di luar dugaan, dorongan yang perlahan itu telah
membuat Touw Liong terjatuh di tanah.
Terjadinya perubahan itu sangat mengejutkan Lo Yu Im,
untuk sesaat itu dalam pikirannya telah terbayang suatu
ancaman; mungkin hari itu ia bersama Touw Liong akan
mati di bawah serangan hantu itu.
Berpikir sampai di situ, air mata meleleh turun, sambil
menggertek gigi, ia menatap wajah Cui Hui yang saat itu
menyaksikan sambil tertawa dingin, ia menggunakan
tangan kanannya untuk melawan, sedang tangan kiri tetap
memegang serulingnya, untuk memunahkan serangan dari
suara hantu. Touw Liong sejak jatuh di tanah, lima tongkat itu seolaholah
tidak menghiraukannya lagi, kini digerakkan dan terus
menekan Lo Yu Im. Touw Liong benar-benar sudah
berada dalam keadaan sangat bahaya, dari dua matanya
memancarkan sinar mata aneh, sedang mulutnya
menunjukkan tertawa aneh memandang Lo Yu Im.
Lo Yu Im bergidik, diam-diam ia mengeluh,
"Ya, Tuhan! Hari ini jikalau ia tidak dapat pertahankan
dirinya, dan merintangi aku untuk menghadapi lawan,
terpaksa aku harus mati bersamanya...."
Belum lenyap pikirannya, Cui Hui tiba-tiba mengangkat
tongkatnya sambil mengeluarkan suara pekikan aneh.
Kemudian dengan nada suara dingin berkata kepada lima
utusannya, "Kalian mengaso dulu, siap-siap menonton pertunjukan
yang mengasyikkan, nanti setelah pertunjukan mereka
selesai, baru dibereskan."
Lima utusan tadi segera menarik kembali masing-masing
tongkatnya, lalu lompat mundur setengah tombak, hanya
mata mereka tetap ditujukan kepada Touw Liong dan Lo
Yu Im. Touw Liong masih tetap tertawa cengar-cengir sendiri,
kedua tangannya bergerak-gerak ke atas dan ke bawah,
kelakuannya seperti seorang kemasukan setan, untuk kedua
kalinya ia hendak menerkam Lo Yu Im.
Lo Yu Im yang menyaksikan perubahan itu dengan
suara pedih ia berkata,
"Adik ....!"
Ketika Touw Liong menerkam, ia mengelakkan diri,
kemudian jari tangannya bergerak sambil mengucurkan air
mata, dengan perlahan menepuk pinggan Touw Liong.
Touw Liong lantas jatuh tengkurap, dengan hati pedih
Lo Yu Im menanggapi tubuh Touw Liong yang hendak
jatuh tengkurap, kemudian berkata sambil mengucurkan air
mata, "Adik! Bukannya encimu tega hati untuk menurunkan
tangan keji, tetapi kalau encimu tidak bertindak demikian,
niscaya hari ini kita ...."
Cui Hui yang menyaksikan kejadian itu lalu berkata
dengan suara bengis,
"Hai, tangkap dua orang ini; untuk selanjutnya setan tua
dari gunung Kiu-hwa-san dan Kakek Seruling Perak dari
gunung Kun-lun-san tentu akan mengabdi kepada diriku,"
kemudian dengan suara bangga tertawa terbahak-bahak,
lalu melanjutkan perintahnya, "Mengapa tidak lekas turun
tangan?" Lima utusan dengan serentak mengerahkan tongkatnya,
dan mereka perdengarkan suara pekikan panjang, dengan
tongkat yang menghembuskan angin dingin mereka
menyerbu Lo Yu Im.
Lo Yu Im yang satu tangan masih memondong tubuh
Touw Liong, terpaksa dengan satu tangan membunyikan
serulingnya untuk menahan majunya lima utusan itu.
Ia harus menggunakan seluruh kekuatan tenaganya,
maka untuk sementara ia masih dapat menahan majunya
lima utusan itu.
Cui Hui kembali mengeluarkan suara teriakannya yang
aneh, dengan beruntun ia menganggkat tinggi tongkatnya,
lima utusan itu lalu mengeluarkan suara masing-masing
bagaikan suara setan, lalu memutar tongkatnya dan
menyerbu lagi. Lo Yu Im mengerti bahwa serangan lima utusan kali ini
pasti hebat sekali, ia juga mengerti bagaimana
kesudahannya pertempuran ini, rasa sedih timbul dalam
kalbunya; maka dengan diam-diam ia mengeluh.
Namun demikian, ia tidak menyerah mentah-mentah
begitu saja, dengan senajta seruling yang luar biasa, ia
menyerang lima utusan secara nekad.
Sesaat sebelum mereka mengadu kekuatan, tiba-tiba
terjadi suatu perubahan besar, salah satu utusan yang
berada paling depan, tiba-tiba jatuh rubuh di tanah, tongkat
di tangannya terlepas dari pegangannya.
Apa yang lebih mengherankan, utusan itu tidak
mengeluarkan sedikit suarapun juga dari mulutnya, begitu
jatuh di tanah, lantas binasa.
Perubahan secara tiba-tiba itu, juga mengejutkan Cui
Hui, malaikat itu dengan gusarnya mengeluarkan suara
jengkelnya, kemudian lompat melesat ke samping utusan
yang binasa, untuk memeriksa sebab-sebab kematiannya.
Empat utusan lainnya juga terheran-heran, mereka
masing-masing mundur setombak, dengan mata mendelik
menyaksikan kawannya yang sudah menjadi bangkai.
Lo Yu Im sendiri, juga tidak kalah herannya, ia berdiri
tertegun di tengah lapangan sambil memondong tubuh
Touw Liong, untuk melarikan diri.
Kejadian itu, hanya dalam waktu sesingkat saja, Cui Hui
yang berdiri sebagai penonton sudah tentu mengetahui dari
mana datangnya serangan, maka cepat ia mendongak
kepala, matanya menatap ke atas genteng, kemudian
membentak dengan suara keras,
"Bangsat kecil kau berani sekali! Kau sudah berani
menggunakan ilmu Thian-seng-jiauw untuk membinasakan
anak buahku, mengapa tidak kemari untuk unjuk diri."
Setelah itu, ia lompat melesat, hingga sebentar kemudian
orangnya sudah berada di atas genteng.
Bab 14 Lo Yu Im yang berdiri tertegun, begitu mendengar
disebutnya ilmu Thian-seng-jiauw hatinya terkejut, dengan
cepat mukanya ditujukan ke atas genteng.
Di dalam keadaan samar-samar, tampak olehnya
berkelebatnya bayangan kuning yang berlari menghilang ke
dalam kegelapan.
Sementara itu suara teriakan makin Cui Hui semakin
lama semakin jauh, dan perlahan-lahan menghilang.
Lo Yu Im alihkan pandangan matanya kepada Touw
Liong yang sudah melupakan dirinya sendiri, dengan penuh
tanda tanya ia bertanya kepada diri sendiri, "Apakah adik
seperguruanmu itu memiliki kekuatan tenaga dalam
demikian hebat, yang dapat menggunakan ilmu Thian-sengjiauw
untuk membinasakan orang?"
Jelaslah sudah bahwa bayangan kuning yang berkelebat
di atas genteng tadi, ialah gadis berbaju kuning yang pernah
dilihatnya pada waktu senja tadi, dan juga merupakan gadis
yang disebut adik seperguruannya oleh Touw Liong.
Lo Yu Im tidak habis mengerti, gadis yang usianya
masih demikian muda belia, bagaimana memiliki kekuatan
tenaga dalam demikian hebat" Ia sudah sembunyikan diri
di atas genteng, mengapa tidak lekas turun tangan
menolong Touw Liong" Dan terus menunggu hingga Touw
Liong terluka baru turun tangan" Selain daripada itu,
manusia yang berada di tangan Cui Hui merupakan orang
yang pernah berjalan bersama-sama dengannya, mengapa
orang itu bisa mati di tangan Cui Hui sedangkan ia sendiri
selamat" Masih ada satu hal yang menjadi suatu pertanyaan,
dengan maksud apa dia datang ke kuil tua ini"
Berbagai pertanyaan mengaduk dalam otaknya, tetapi
apa yang dihadapi olehnya pada saat itu, merupakan suatu
tanda tanya yang lebih besar lagi!
Sementara itu empat utusan yang kini masih berada di
dalam kuil itu, meskipun Cui Hui sudah berlalu, mereka
masih berdiri di situ, mata mereka terus menatap wajah Lo
Yu Im, agaknya tidak mau melepaskan diri wanita.
Namun mereka tidak menggerakkan senjatanya untuk
melakukan serangan, juga tak menggeserkan kakinya untuk
mengepung wanita itu, sikap itu seolah-olah menunjukkan
sikap mereka hendak membiarkan Lo Yu Im mengambil
tindakan sendiri.
Lo Yu Im tidak mengerti, ia menatap empat utusan itu
sejenak, kemudian timbullah suatu pikiran dalam otaknya,
sambil melintangkan seruling di dadanya ia memondong
Touw Liong, kemudian melompat keluar kuil.
Empat utusan itu benar saja masih berdiri tegak bagaikan
patung, sedikitpun tidak bergerak dari tempat masingmasing.
Lo Yu Im tidak akan melewatkan kesempatan untuk
melarikan diri ini; dengan memondong tubuh Touw Liong
ia kabur dari kuil Kiu-kok-si.
Dalam waktu sekejab dia sudah berjalan sepuluh pal
lebih, baru berhenti dan memandang keadaan di sekitarnya.
Ia menarik napas panjang, lalu menundukkan kepala
menatap wajah Touw Liong, tanpa dirasa air matanya
mengalir turun, dengan suara sedih ia berkata kepada diri
sendiri, "Racun yang tidak ada pemunahnya, apa mau dalam
keadaan cemas, aku sudah menotok jalan darah bagian
tulangnya, ini seperti juga menambah parah keadaannya,
sekalipun aku berhasil merampas tubuhnya dari mulut
harimau, tapi juga belum berarti sudah menolong jiwanya
.... Ai, sungguh sayang! Sayang, dalam usia yang masih
begini muda dan seorang yang begini gagah harus mati
secara mengecewakan.!"
Sangat sedih memikirkan Touw Liong yang sedang
menghadapi bahaya maut, dengan air mata berlinang-linang
matanya terus menatap Touw Liong, seolah-olah hendak
memandangnya sepuas-puasnya.
Ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata dengan
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara sedih, "Aku dapat membuka totokanmu, tetapi aku tidak
sanggup membersihkan racun dari dalam tubuhmu! Sebab
.... katanya racun semacam ini, di dalam dunia ini tidak ada
obat yang dapat memunahkan ...."
Lo Yu Im tenggelam dalam lamunannya sendiri, sesaat
kemudian, mendadak terbuka pikirannya, lalu berkata
dengan girang, "Oh .... ada!"
Dengan semangat bernyala-nyala ia bertanya kepada diri
sendiri, "Cui Hui, tadi bukankah pernah berkata hendak
menangkap kita berdua, supaya golongan Kiu-hwa dan
Kun-lun bisa berada di bawah pengaruhnya, suatu bukti
bahwa ia pasti mempunyai obat pemunahnya, jikalau tidak
mengapa ia berani menggunakan ilmu itu untuk memeras
dua golongan tersebut"
Racun tadi digunakan oleh Cui Hui, dengan sendirinya
Cui Hui mempunyai obat pemunahnya.
Ia mencari sebuah pohon besar yang rindang daunnya,
lalu melompat di atasnya, meletakkan tubuh Touw Liong
di atas pohon, kemudian memboloskan ikat pinggangnya
untuk mengikat tubuh Touw Liong supaya jangan jatuh,
setelah itu ia berkata dengan suara sedih.
"Adik, kau tunggulah dengan sabar! Encimu sekalipun
harus berkorban di bawah senjata Cui Hui juga akan paksa
ia mengeluarkan obat pemunahnya."
Setelah itu ia lompat turun dari pohon, dengan
mengikuti jalan yang tadi dilalui, ia kembali ke kuil Kuikoksi. Tiba di depan kuil, keadaan masih tetap tidak
berubah, bedanya hanya saat itu rembulan agak gelap.
Kesunyian kuil Kui-kok-si sangat mencekam hati. Ia
melangkah kaki ke ruangan satu dan kedua, seluruhnya
sunyi-sepi, kecuali empat buah peti mati yang membujur,
satu bayangan satupun tidak tertampak.
Pertempuran tadi yang terjadi di tempat itu belum lama
berselang, sedikitpun tak ada tanda-tandanya.
Begitu pula dengan empat utusannya Cui Hui sekarang
satupun tidak tampak bayangannya, sedangkan bangkainya
satu utusan yang tadi menggeletak di tengah ruangan,
sekarang juga sudah lenyap.
Dengan demikian, untuk mendapatkan obat pemunah
itu, kini merupakan suatu persoalan lagi. Jikalau empat
utusan tadi masih ada, mungkin masih dapat diminta lagi
keterangannya, dan tidak susah untuk mencari jejak Cui
Hui. Tetapi sekarang mereka sudah tidak ada semua, jejak
Cui Hui sendiri sudah tentu tidak mudah dicari, dengan
demikian obat pemunah juga tidak mungkin didapatkan.
Lo Yu Im menarik napas, ia mencari-cari seluruh kuil,
namun tidak berhasil menemukan tanda apa-apa.
Dengan perasaan sangat kecewa ia bertindak keluar dan
lari balik ke tempat di mana Touw Liong tadi diletakkan.
Dengan hati cemas dan tergesa-gesa ia kembali ke bawah
pohon besar tadi, ketika ia mendongakkan kepalanya,
bukan kepalang terkejutnya ia. Touw Liong yang tadi
diikat dengan baik di atas pohon, kini ternyata sudah
lenyap. Menyaksikan kejadian aneh itu, ia tidak bisa berbuat
lain, hanya berdiri tertegun bagaikan patung, pikirannya
kalut, ia tidak tahu bagaimana dan kemana harus mencari"
Apakah Touw Liong mendapat bahaya lagi"
Apakah Touw Liong dibawa kabur dan sudah ditolong
orang" Siapakah yang menolong"
Kim Yan kah" Atau suhunya ...."
Ataukah mungkin itu perbuatan Cui hui yang
membawanya ke gunung Kiu-hwa"
Atau mungkin juga ketemu musuh lain yang lebih kuat,
kecuali dengan musuh lain, tidak peduli ia ditolong ataukah
dibawa kabur oleh Cui hui, ia masih ada harapan hidup.
Hanya untuk sesaat itu ia tak dapat mengatakan apa
sebabnya. Lo Yu Im benar-benar mengharap bahwa orang yang
membawa kabur Touw Liong itu adalah adik
seperguruannya, seandai ia benar-benar ditemukan oleh Cui
Hui, sedikit masih banyak ada harapan hidup jiwanya.
Ia tidak dapat memikirkan siapa orangnya yang
membawa kabur Touw Liong" Ia berdiri di bawah pohon
itu dari jam empat sampai menjelang pagi, barulah dengan
pikiran kusut meninggalkan tempat itu.
Dengan tingkah yang lesu LoYu Im berjalan di pagi hari
itu menuju ke kota Tio-yang-li. Tiba di kota itu, perutnya
merasa lapar. Ia mencari-cari suatu rumah makan,
kebetulan ia dapat menemukan sebuah kedai yang menjual
susu kedele, di situ ada dua orang tua berambut putih
sedang repot memasak susunya, orang tua yang usianya
sudah enam puluh tahun lebih itu, badannya bongkok,
siapapun dapat menduga bahwa dua orang tua itu suami
isteri, dari wajah mereka yang sudah penuh keriputan,
orang dapat menduga bahwa dalam hidup mereka, telah
mengalami banyak kesulitan hidupnya.
Seorang laki-laki setengah umur, juga tampak berdiri di
kedai itu, ia minta disediakan semangkok besar susu kedele
sambil omong-omong dengan orang tua itu.
Lo Yu Im berjalan menghampiri, laki-laki setengah umur
itu berpaling, dan dengan perasaan terkejut menatapnya
sejenak, ia tidak berani memandang terlalu lama, cepat
memalingkan mukanya, dan mengalihkan pandangan
matanya ke susu kedelenya yang masih panas.
Lo Yu Im dengan langkah lebar maju menghampiri,
lebih dulu menyapa kepada dua orang tua suami isteri tadi.
Dua orang tua mengangkat muka dan memandangnya
sejenak, biji mata perempuan itu berputaran, kemudian
dikucek-kucek matanya, bibirnya bergerak-gerak, agaknya
terheran-heran hingga kipas yang berada di tangannya
hampir terlepas, dengan sikap terheran-heran, ia bertanya
kepada Lo Yu Im,
"O, begini pagi kau ....!"
Kemudian ia berhenti dan merubah nada suaranya,
"Apakah hatimu berduka?"
Lo Yu Im melengak, menggeleng-gelengkan kepala dan
menjawab dengan suara tidak tetap.
"Tidak apa-apa "."
Dengan tiba-tiba ia teringat kepada dirinya dan diri
Touw Liong, ingin mengeluarkan saputangan memesut air
matanya. Perempuan tadi menarik napas dalam-dalam, sambil
meneruskan pekerjaannya ia berkata kepada diri sendiri,
"Sang waktu berlalu dengan cepat, itu terjadi pada beberapa
puluh tahun berselang. Waktu itu aku masih semuda
seperti kau sekarang ini, ai ".! Juga seperti kau banguna
pagi-pagi dan tidur tengah malam. Semua ini hanya untuk
penghidupan "."
Untuk kedua kalinya ia menghentikan kata-katanya,
matanya kembali menatap Lo Yu Im agaknya hendak
menegasi wanita itu, ia telah mendapat kenyataan bahwa
wanita itu tidak mirip dengan seorang yang sedang repot
mencari penghidupan, maka kemudian bertanya padanya.
"Ada urusan apa yang tidak menyenangkan hatimu,
nak?" Sang suami yang sedang repot memasak susunya, ketika
mendengar si isteri itu bertanya demikian, lantas
menyetopnya sambil mengedipkan mata,
"Tua bangka tidak tahu diri, kau mau tahu saja urusan
orang lain!"
Sang isteri sangat takut kepada suaminya maka lantas
berdiam dan menundukkan kepala.
Lo Yu Im merasa tidak enak, sambil tersenyum getir ia
memberi hormat kepada si lelaki tua seraya berkata,
"Kakek jangan salahkan nenek ini, apa yang ia katakan
sedikitpun tidak salah, aku ...."
Lelaki tua itu kedip-kedipkan matanya, bertanya dengan
suara lemah lembut.
"Kau sebenarnya kenapa?"
Mata Lo Yu Im merah, ia menundukkan kepala, dengan
suara sedih menjawab, "Tidak apa-apa, hanya karena tadi
malam aku kesasar jalan, sehingga adik lelakiku telah
hilang!" Dengan keterangan itu, maksudnya supaya tidak
menimbulkan rasa curiga kepada lelaki tua itu.
Nenek itu mendadak angkat muka dan bertanya,
"Adikmu itu berapa usianya?"
"Dua puluh tahun."
Kini sang suami nampak agak tegang, segera bertanya,
"Dua puluh tahun?"
Lo Yu Im mengangguk-anggukkan kepala.
Nenek tadi berkata pula sambil menunjuk sebuah jendela
di sebuah rumah di belakang dirinya,
"Tadi pagi-pagi sekali, ketika kita bangun, aku telah
tampak seorang muda dengan keadaan sangat letih jatuh
rubuh di tengah jalan, mungkin karena kedinginan, bibirnya
tampak biru, coba nona masuk ke sana, lihatlah sendiri ...."
Lo Yu Im merasa bimbang, bibirnya bergerak-gerak,
kemudian berkata dengan suara gelagapan,
"Tentang ini ...."
Pada saat seperti itu, ia benar-benar mengharap bahwa
orang yang di dalam rumah itu adalah Touw Liong tetapi
bagaimana ia mau percaya begitu saja bahwa pemuda yang
dikatakan oleh nenek itu adalah Touw Liong"
Kakek itu tertawa dan kemudian berkata,
"Nona! Pemuda itu, agh .... rupanya mirip seperti habis
melakukan perjalanan jauh, nampaknya ia sangat letih, juga
seperti habis sakit .... Kita justru tidak mempunyai anak,
oleh karena itu kita berikan pertolongan kepadanya, dan
suruh ia beristirahat di belakang, orang susah seperti bangsa
kita, tidak bisa berbuat banyak. Dia serupa keadaannya
denganmu, pakaiannya bersih dan rapi, di punggungnya
masih ada sebilah pedang ...."
Mata Lo Yu Im terbuka lebar, ia buru-buru
menghaturkan terima kasih kepada lelaki tua itu, seraya
berkata, "Tolong kakek ajak aku kesana untuk melihat."
Si nenek tanpa menunggu perintah suaminya,
meninggalkan pekerjaannya, dan berkata kepada Lo Yu Im,
"Mari nona ikut aku!"
Dengan jalannya yang sudah tidak cepat, ia berjalan ke
rumah yang ditunjuk tadi dengan diikuti oleh Lo Yu Im.
Di belakang rumah itu, terdapat sebuah kamar, di
ruangan sempit di atas balai-balai , rebah menggeletak
seorang pemuda yang wajahnya pucat pasi, pemuda itu
agaknya sedang tidur nyenyak.
"Adik ....." demikian Lo Yu Im berseru sambil
menubruk pemuda yang masih tidur di atas balai-balai.
Si nenek tadi menyaksikan sambil mengucurkan air
mata, kemudian meninggalkan mereka berduaan.
Sambil mengerutkan alisnya, Lo Yu Im mengusap-usap
jidat pemuda itu, ia menarik napas, dengan tangan
memegang tangan pemuda tadi, pikirannya bekerja keras.
Pemuda itu bukan lain memang adalah Touw Liong,
saat itu sedang tidur nyenyak, Lo Yu Im tidak bangunkan,
tetapi ia sedikitpun tidak berdaya.
Sang waktu telah berlalu dengan pesat, perlahan-lahan
matahari mulai naik tinggi, di luar terdengar suara orang
yang banyak berbelanja, tak lama kemudian nenek tadi
datang kembali sambil membawa sedikit makanan pagi. Lo
Yu Im memikirkan kejadian aneh yang dialami tadi malam,
mana ada pikiran untuk makan-makan" Maka hanya
minum setengah cawan susu kedele.
Dalam hatinya ada beberapa pertanyaan yang tidak
terpecahkan. Menurut aturan, Touw Liong setelah terkena
racun, telah hilang semua ingatannya, dalam keadaan
demikian, tidak mungkin ia dapat memutuskan ikatannya
dan turun dari atas pohon, serta melakukan perjalanan
beberapa pal jauhnya, kecuali ada orang yang memberi obat
pemunah padanya.
Tetapi siapakah orangnya yang memberi obat itu" Ini
merupakan suatu teka-teki yang tak dapat dipecahkan
sendiri. Kalau ditinjau menurut pikiran biasa, orang itu
setelah memberikan obat pemunah padanya, tidak merawat
baik-baik, sudah tentu pada saat ia sadar kembali, lalu
meninggalkannya, hal demikian rasanya tidak mungkin.
Oleh karenanya, maka yang menjadi pertanyaan, siapakah
orang yang memberikan pertolongan itu" Jikalau ia benarbenar
menolong, tak mungkin hanya memberikan
pertolongan setengah jalan, kemudian ditinggalkan begitu
saja. Tanpa disadarinya, Lo Yu Im mengalirkan air mata,
matanya yang sayu menatap wajah Touw Liong. Lama ia
berpikir, tiba-tiba berseru kaget, sambil mendekap
mulutnya. Kemudian berkata kepada diri sendiri.
"Aku benar-benar gila .... Ia telah kutotok dengan ilmu
totokan gunung tunggal ...."
Ia lalu mengulurkan tangannya yang putih halus,
membalikkan tubuh Touw Liong yang sedang tidur
nyenyak, jari tangannya bergerak menotok beberapa bagian
jalan darah di belakang punggung Touw Liong.
Touw Liong mengeluarkan suara rintihan perlahan,
kemudian membalikkan badan dan membuka mata. Mata
itu agak sayu, berputaran sebentar menatap wajah Lo Yu
Im yang masih menangis, kemudian memanggil dengan
suara perlahan.
"Enci ...."
Lo Yu Im mengulurkan tangannya, tangan yang halus
itu mengusap-usap muka Touw Liong, kemudian menjawab
dengan suara lirih,
"Adik....."
Touw Liong dengan pikiran bingung melompat duduk,
ia menggoyang-goyangkan kepalanya, lalu mengusap-usap
jidatnya, kemudian berkata,
"Aku merasa kepalaku agak berat."
"Kecuali rasa berat kepalamu, apa kau masih merasakan
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada yang tidak enak?" tanya Lo Yu Im dengan suara lemah
lembut. "Kaki dan tanganku merasa lemas tidak bertenaga."
"Apakah kau masih ingat kejadian tadi malam"
Bagaimana kau bisa tidur di tempat ini?"
Touw Liong membuka mata memandang keadaan di
sekitarnya, kemudian menjawab sambil menggelenggelengkan
kepala, "Tidak ingat lagi! Dimana aku sebetulnya berada?"
Dengan suara lemah lembut Lo Yu Im menceritakan
padanya tentang kejadian tadi malam. Touw Liong yang
mendengarkan cerita itu membuka matanya dan
mengerutkan jidatnya, kemudian bertanya-tanya kepada
diri sendiri, "Racun itu tidak ada obat pemunahnya, tapi
siapa yang memberikan obat pemunah itu kepadaku?"
"Coba kau pikir lagi baik-baik."
JILID 6 Touw Liong lama berpikir, akhirnya dapat menemukan
sedikit ingatannya, maka ia lalu berkata,
"Selagi aku dalam keadaan tidak ingat, samar-samar aku
dibawa pergi oleh orang, melakukan perjalanan jauh."
"Itulah aku sendiri!" berkata Lo Yu Im sambil menghela
nafas. Touw Liong menggelng-gelengkan kepala dan berkata,
"Bukan! Meskipun waktu itu aku dalam keadaan tidak
sadar, tetapi sekarang kalau kuingat-ingat kembali, aku
rasanya pernah melihat orang itu sejenak, dan orang itu
ternyata bukanlah kau."
Dengan perasaan tegang, Lo Yu Im memegang tangan
Touw Liong, dan bertanya dengan suara perlahan,
"Orang itu rupanya .... bukan! Terus terang saja kau
katakan siapa orang itu."
"Pandangan mataku saat itu sudah kabur. Aku hanya
dapat mengenali orang itu adalah seorang tua yang
rambutnya sudah putih dan kulitnya banyak keriputan,
sedang badannya agak bongkok. Sayang waktu itu
kepalaku berat sekali, hanya melihatnya sejenak, sudah
tentu tidak ingat lagi." jawab Touw Liong sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Seorang tua yang rambutnya sudah putih ..."
"Benar! Tadi pagi, pagi-pagi sekali, aku juga pernah
ketemu dengan seorang tua. Waktu itu aku hanya melihat
tegas bagian belakangnya, hanya sepintas lalu saja, lantas
menghilang di antara orang banyak! Aku tidak sangka
bahwa orang yang menolong aku itu adalah orang tua itu."
Lo Yu Im tidak menanya lagi, ia hanya mendapat suatu
kesimpulan, orang tua itu tentunya bukan sembarangan
orang. Ia mengerti bahwa orang tua itu yang memberikan
obat pemunah kepada Touw Liong.
Selanjutnya ia telah memberi pertolongan kepada Touw
Liong, untuk membersihkan racun yang berada dalam
tubuhnya, kemudian memberikan obat minum kepadanya,
setelah itu ia memeriksa urat nadinya, hingga hatinya
merasa lega. Setelah mendapat kenyataan bahwa Touw Liong dalam
keadaan baik-baik, barulah memberitahukan kepadanya hal
yang lainnya, "Adik Liong, adik seperguruanmu telah menggunakan
ilmu Thian-seng-jiauw dari golongan Kiu-hoa, untuk
membunuh orang ..."
Touw Liong terkejut, ia bertanya sambil membuka lebar
matanya: "Apa katamu" Kim Yan bisa menggunakan ilmu Thiansengjiauw membunuh orang ....?"
"Ya, tadi malam aku telah menyaksikan dengan mata
kepala sendiri," berkata Lo Yu Im sambil menganggukkan
kepala. Kemudian ia menceritakan apa yang disaksikannya tadi
malam setelah Touw Liong dalam keadaan tidak ingat.
Touw Liong merasa tidak ingat, ia memandang Lo Yu
Im sejenak, pikirannya melayang kepada adik
seperguruannya. Pelahan-lahan ia menundukkan kepala,
dalam hatinya berpikir,
"Kim Yan dapat menggunakan ilmu Thian-seng-jiauw
membinasakan orang, bahkan disaksikan oleh nona Lo Yu
Im sendiri, kalau begitu Lie Hui Hong, tiga jago dari Kionglay,
Cu-lo-kian dan lain-lainnya semua terluka di bawah
tangannya ...."
Ini benar-benar suatu kejadian yang tak habis dimengerti,
hal itu membuatnya tenggelam dalam lamunannya sendiri.
Selain daripada itu, orang yang menggunakan jari tangan
menuliskan tanda Panji Wulung dan kata-kata di bawah
jembatan, mungkin juga perbuatan Kim Yan. Ada
hubungan apakah antara Kim Yan dengan Panji Wulung"
Dua hal itu kalau dibandingkan satu sama lain, bisa
menimbulkan kesan bahwa Kim Yan sudah berubah
menjadi Panji Wulung. Ini benar-benar suatu kejadian ajaib
yang tak habis dimengerti.
Sementara itu Lo Yu Im telah menghibur padanya
dengan suara lemah lembut,
"Sudahlah! Urusan yang sudah lalu jangan dipikirkan
lagi, yang penting bagi kita sekarang ialah lekas ke kota
Lam-yang untuk melakukan tugas kita."
Mereka menjumpai dua suami isteri tua itu, setelah
menyatakan terima kasih kepada mereka, lalu melanjutkan
perjalanannya ke kota Lam-yang.
Begitu tiba di kota tersebut, dalam kota telah terjadi dua
peristiwa berdarah.
Satu, ketua partai Kiong-lay-pai tadi malam kira-kira jam
empat hampir pagi telah mati terbunuh di dalam suatu
rumah penginapan, luka yang paling parah dan
mengakibatkan kematiannya ialah tanda luka dari ilmu
serangan Thian-seng-jiauw yang terdapat di depan dadanya,
di atas tanda jari tangan itu masih terdapat sebuah panji
kecil berwarna hitam.
Kedua, Thian Wan-totiang dari kuil Kian-goan-koan di
gunung Thai-san juga dalam waktu yang bersamaan
terdapat mati di dalam kota itu, keadaan kematiannya
serupa dengan ketua Kiong-lay-pai, di tempat bekas telapak
jari tangan depan dadanya, ditutupi oleh sebuah panji
warna hitam yang berlukiskan burung hong terbang di
angkasa. Dua peristiwa itu menggemparkan seluruh kota, dalam
waktu yang sangat singkat kota Lam-yang seolah-olah
diliputi oleh suasana yang mengerikan, hampir di seluruh
pelosok orang ramai membicarakan peristiwa berdarah itu.
Ketika Touw Liong yang baru tiba di kota itu mendengar
Panji Wulung kembali membawa dua tokoh kuat, diamdiam
bergidik. Ia telah memikirkan dirinya sendiri bahwa
nanti jam tiga malam adalah batas waktu yang diberikan
oleh Panji Wulung, oleh karenanya, maka sikapnya merasa
tidak tenang. Lo Yu Im yang menyaksikan keadaan
demikian menganggapnya bahw racun tadi malam belum
bersih, maka bertanya padanya sambil mengerutkan alis.
"Kau sudah sembuh seluruhnya atau belum?"
Touw Liong hanya mengangguk-anggukkan kepala,
sebetulnya karena pikirannya kalut, sedang menghadapi
banyak persoalan sulit yang mencurigakan, kecuali sudah
dapat membuktikan bahwa orang yang membunuh orangorang
itu adalah Panji Wulung dan adik seperguruannya
sendiri, sedikitpun tidak mendapatkan tanda-tanda atau
gambaran apa-apa.
Dua orang itu berjalan masuk ke sebuah toko sutera, lalu
disambut oleh pelayan toko itu. Kasir toko itu menyambut
Lo Yu Im dengan sikap menghormat sekali, ia ajak mereka
masuk ke ruangan dalam, di situ terdapat suatu lapangan
yang sangat luas.
Lo Yu Im setiba di dalam ruangan lalu mempersilahkan
Touw Liong duduk, sekarang ia telah berubah sikapnya,
dengan sikap sebagai tuan rumah bertanya kepada kasir,
"Kapan Ji si-cia pergi?"
"Pagi-pagi sekali," menjawab kasir itu dengan sikap
sangat menghormat.
Setelah itu dari dalam sakunya ia mengeluarkan sepucuk
sampul surat diberikan kepada Lo Yu Im.
Lo Yu Im membacanya sebentar, kemudian surat itu
dilipatnya, perasaan dukanya semakin bertambah, ia diam
saja tidak berkata apa-apa.
"Mengapa enci bersedih?" Tanya Touw Liong.
Lo Yu Im memerintahkan kasir itu pergi, barulah
memberitahukan kepada Touw Liong dengan suara
perlahan, "Adikku masih senang main, ia tidak pulang ke gunung
Kun-lun-san."
"Ji sio-cia mungkin akan melakukan suatu pekerjaan
besar, sehingga perlu mendapat pengalaman di dunia Kangouw."
"Ia masih terlalu muda, aku khawatir ia akan mengikuti
jejakku." "Ji sio-cia adalah orang gagah, Tuhan pasti akan
melindungi. Dengan bekal kepandaian yang tinggi seperti
dia, sudah sepantasnya kalau berkelana di kalangan Kangouw."
Selagi mereka masih berbicara, kasir tadi balik kembali
dengan tindakan sempoyongan, lengannya masih
membawa sebuah buntalan kain sutra berwarna merah.
Bab 15 Kain sutera itu diberikannya kepada Lo Yu Im. Wanita
itu dengan cepat membukannya, kedua matanya
mengawasi kasir untuk menantikan penjelasannya dari
mana asal-usulnya bungkusan kain itu dan apa yang
terdapat di dalamnya.
Kasir itu setelah memberi hormat, lalu berdiri
meluruskan tangannya, kemudian membungkuk dan
berkata, "Hamba tadi baru saja keluar, ada orang yang
mengantarkan bungkusan kain sutera ini. Orang itu
mengatakan dan suruh hamba menjelaskan kepada nona
sendiri." Wajah Lo Yu Im berubah seketika, matanya menatap
Touw Liong sejenak.
Touw Liong menganggukkan kepala, memberi isyarat
kepada Lo Yu Im supaya membuka bungkusan itu....
Dengan hati agak bimbang Lo Yu Im membuka
bungkusan tersebut.
Tak lama kemudian bungkusan itu terbuka. Dalamnya
ternyata hanya sebuah panji hitam. Dua orang itu dengan
serentak berseru kaget.
Touw Liong masukkan tangan ke dalam sakunya sendiri,
mengeluarkan panji wulung dari dalam sakunya, kemudian
diberikannya kepada Lo Yu Im untuk dibandingkan dengan
panji itu, ternyata serupa.
Dengan perasaan terheran-heran Lo Yu Im memandang
Touw Liong kemudian berkata,
"Jadi kau sendiri juga mempunyai sebuah panji ini ..."
Touw Liong menghela napas panjang dan
menganggukkan kepala,]
"Sudah berapa hari?" tanya Lo Yu Im dengan penuh
perhatian. "Tepatnya tiga hari."
"Kau pikir bagaimana hendak menghadapi Panji
Wulung ini?"
"Terserah kepada nasib, aku menantikan datangnya
kejadian itu. Manusia cepat atau lambat toh akan mati
juga." "Malam ini .... Hm, aku bersamamu akan menghadapi
bersama-sama. Biar bagaimana aku juga hanya hidup tiga
hari lagi, lebih siang beberapa hari juga sama saja, mungkin
dengan kekuatan tenaga kita berdua, kita masih dapat
melewati bencana ini."
Sementara itu dalam hati Touw Liong masih diliputi
oleh pertanyaan dan penasaran, ada hubungan apa antara
adik seperguruannya dengan Panji Wulung"
"Enci ...." Demikian Touw Liong berkata, ternyata ia
tidak menolak tawaran wanita itu. Ia merasa bahwa wanita
itu berjiwa ksatria sehingga ia diam-diam menyambut baik
maksudnya. ooooo Rembulan di musim kemarau, nampaknya bertambah
terang. Malam itu justru malam terang bulan, suasana di
panggung mementil kecapi nampak sepi sunyi.
Lo Yu Im duduk memainkan jarinya di atas senar-senar
alat musik itu, sedang Touw Liong sendiri sambil
membelakangkan kedua tangannya, kepalanya mendongak
memandang rembulan, mulutnya menyanyi.
Sudah hampir jam tiga, tetapi tampat itu masih sepi
sunyi. Lo Yu Im masih mainkan alat musiknya, sedang Touw
Liong juga masih menyanyi dengan lagu-lagu sedih. Waktu
berlalu merambat, hati dua manusia itu sama-sama tegang,
tetapi masih belum tampak Panji Wulung muncul.
Lo Yu Im tiba-tiba menghentikan tangannya, ia angkat
kepala memandang angkasa, sedang mulutnya
perdengarkan suara bentakan pelahan,
"Sahabat dari mana" Silakan kemari, jikalau tidak,
jangan sesalkan aku akan berlaku kasar!"
Sebagai reaksi, dari atas pohon cemara melayang dua
sosok bayangan orang.
Touw Liong agak terkejut, tetapi setelah melihat dua
orang yang baru turun, wajahnya menunjukkan perasaan
girang, sedang Lo Yu Im memandang dua orang itu, yang
ternyata dua wanita cantik berusia tiga puluh tahunan.
Lebih dulu Touw Liong menganggukkan kepala
memberi hormat kepada dua wanita cantik itu, kemudian
memperkenalkan kepada Lo Yu Im.
"Enci, marilah adikmu perkenalkan, dua nona ini adalah
sepasang burung Hong dari gunung Bu-san yang namanya
sangat terkenal itu. Ini adalah nona, dan ini Nona Ciauw!"
Setelah memperkenalkan dua wanita gagah itu kepada
Lo Yu Im, lalu memperkenalkan Lo Yu Im kepada
sepasang burung Hong.
Karena tiga-tiganya sama-sama wanita, juga sama-sama
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluaran dari golongan ternama, maka satu sama lain
merasa sangat cocok, setelah saling menghormat, maka Lo
Yu Im lalu menghormat kepada dua tamunya dan berkata,
"Enci berdua malam-malam begini telah datang
berkunjung, nampaknya sangat gembira sekali, panggung
mementil kecapi merupakan tempat bersejarah di kota Lanyang,
dengan adanya enci berdua yang datang kemari
sesungguhnya menambahkan kebanggaan tempat ini."
"Bagaimana kita mempunyai kegembiraan seperti itu"
Malam ini kita hanya dengar kabar, bahwa Touw tayhiap
akan mengadakan pertempuran dengan Panji Wulung, aku
berdua saudara telah mendapat perintah susiok, untuk
datang kemari memberi bantuan sekedarnya kepada Touw
tayhiap," menjawab sepasang burung Hong.
Touw Liong agak terkejut, ia tidak habis mengerti, Pek
Giok Hwa yang sudah mengandung maksud hendak
pentang sayap di daerah Tionggoan, dan ia sendiri sedang
menghadapi ancaman dari Panji Wulung, mengapa
mengutus sepasang burung Hong untuk membantu dirinya"
Karena kedatangan mereka itu dengan maksud baik,
maka ia tidak boleh tidak harus menyatakan terima kasih,
maka segera maju dan memberi hormat seraya berkata,
"Urusanku seorang diri telah mencapaikan nona-nona
berdua, lebih dulu saya haturkan banyak-banyak terima
kasih." Dia menjura dan memberi hormat, namun tidak
menanyakan bagaimana Pek Giok Hwa bisa tahu bahwa ia
juga menerima Panji Wulung.
"Sekarang sudah lewat jam tiga, masih belum tampak
bayangannya Panji Wulung, apakah ia akan membatalkan
janjinya?" bertanya sepasang burung Hong.
"Membatalkan janjinya" Ha .... ha...." Demikian
terdengar suara orang berkata berbareng dengan suara
ketawanya yang menyeramkan bulu roma, yang terdengar
dari sebuah pohon cemara terpisah kira-kira setombak dari
belakang burung Hong.
Selagi semua orang dalam keadaan terkejut, sesosok
bayangan orang telah melayang turun dari pohon dan
menuju ke tempat dekat panggung mementil kecapi.
Di antara berkibarnya rambut yang putih terdengar pula
suara orang tua yang berkata sambil tertawa,
"Panji Wulung seratus persen tulen, apa yang dikatakan
tidak akan ditarik kembali, siapa bilang aku membatalkan
janji" Adalah kalian sendiri yang salah ingat harinya,
perjanjian yang kuberikan kepada kalian adalah besok
malam!" "Besok malam?" tanya Touw Liong pada diri sendiri,
tetapi ia tidak mengambil tindakan apa-apa, sedang Lo Yu
Im dan sepasang burung Hong nampak terkejut dan marah,
bertiga seolah-olah sudah saling berjanji, secepat kilat
bergerak menuju ke depan orang itu dan membentak
berbareng. "Panji Wulung! Kalau kau masih terhitung orang,
seharusnya kau meninggalkan apa-apa baru pergi!"
Tetapi Panji Wulung tidak menghiraukan kedatangan
mereka, ia bergerak dan secepat kilat sudah menghilang dari
depan mereka. Setiap orang sudah menyaksikan dengan tegas bahwa
Panji Wulung adalah seorang tua bongkok berambut putih
dan memakai kerudung di mukanya.
Dari jauh, terdengar suara Panji Wulung yang berkata
dengan nyaring.
"Bocah yang tidak tahu diri, kalian bertiga semuanya
sudah pasti akan mati, malam ini biarlah kutitipkan kepala
kalian di badan kalian masing-masing untuk semalam,
besok pada saat seperti ini, kalian harus mengantarkan
kepadaku sendiri. Supaya aku tidak perlu turun tangan."
Touw Liong selagi dalam keadaan terkejut, empat orang
itu sudah menghilang, Touw Liong takut tiga wanita itu
akan terpedaya oleh Panji Wulung, maka secepat kilat ia
pergi menyusul sambil berseru, "Enci bertiga, harap tunggu
dulu, tidak ada gunanya kalian mengejar!!!"
Touw Liong dalam keadaan cemas lari mengejar, baru
saja melompat turun, di belakang dirinya tiba-tiba terdengar
orang memanggil.
"Suheng ...."
Suara itu baru masuk di telinganya, Touw Liong
merasakan desiran angin, sesosok bayangan orang secepat
kilat sudah melalui di samping dirinya. Kemudian
membalikkan badan dan menghadang di hadapannya.
Touw Liong merandeg, matanya menyapu, orang yang
menghadang dirinya itu ternyata adalah adik
seperguruannya sendiri, Kim Yan.
Keadaan Kim Yan ternyata masih tetap seperti sedia
kala, hanya tiga hari saja tidak bertemu nampaknya agak
kurus sedikit, sebaliknya sinar matanya nampak lebih
bercahaya dan lebih tajam dari yang sudah-sudah.
Ia kegirangan dan hampir saja berteriak. Ia maju
menyongsong lalu mengulurkan tangannya menyambar
tangan Kim Yan, dan berkata dengan suara bergetar,
"Sumoy, aku telah mencarimu sudah berhari-hari,
hingga hatiku sangat cemas."
Mata Kim Yan nampak merah, dengan suara sedih
memanggil suhengnya dan dua orang itu lantas saling
berpandangan. Ini tidak heran, karena mereka sejak kecil sudah hidup
bersama-sama, hampir setiap hati mereka main-main di atas
gunung Kiu-hwa-san, mereka sama-sama belajar dari satu
guru, dan kali ini Kiu-hwa Lojin memerintahkan Kim Yan
turun gunung, menyuruhnya menyampaikan perintah
kepada suhengnya, tapi sebetulnya memberi kesempatan
kepada Kim Yan supaya dapat bertemu dengan suhengnya.
Apa hendak dikata, kejadian di dalam dunia banyak halhal
yang terjadi di luar dugaan manusia, beberapa hari
setelah mereka bertemu, telah berpisah lagi di Ngo-liongkang,
selama itu Touw Liong terus memikirkan diri adiknya
itu, dengan susah payah dia mencarinya, tetapi bayangan
Kim Yan tetap menghilang tak karuan jejaknya, banyak
jalan yang ia lakukan untuk mencari, tapi tak ada kabar
beritanya, hal mana membuat Touw Liong hampir lupa
makan dan tidur.
Touw Liong berdiri menjublek bagaikan patung,
pikirannya kusut, banyak perkataan tersendat dalam
tenggorokannya, entah bagaimana ia harus mulai bertanya"
Dengan memandang Kim Yan yang saat itu masih
mengalirkan air mata dan tersenyum getir, kemudian ia
berkata, "Sumoy! Dua hari.... Dua hari ini kemana sebetulnya
kau pergi?"
Kim Yan tidak menjawab, hanya air matanya mengalir
deras, ia menarik napas panjang, dan kemudian menjawab
dengan ringkas,
"Aku berada di kota Lam-yang."
"Kau di kota Lam-yang?" bertanya Touw Liong sambil
mengerutkan alisnya, "Kalau begitu orang-orang yang
binasa dan terluka di bawah ilmu Thian-seng-jiauw itu
semua adalah kau...."
Kim Yan menggeleng-gelengkan kepala sebagai tanda
pernyataan bahwa kematian orang-orang itu bukanlah
akibat perbuatannya, tetapi kemudian ia memberi
keterangan, "Tadi malam adalah kekecualian, utusan memanggil
nyawa, akulah yang membunuhnya."
Touw Liong sedikit bingung, ia berkata sambil
menggeleng-gelengkan kepala,
"Aku tidak mengerti."
"Ilmu serangan Thian-seng-jiauw dari golonga kita
bukanlah suatu ilmu tunggal yang orang lain tidak dapat
mempelajarinya, lama pada seratus tahun berselang, di
dalam kitab Thay-it Cin-keng milik gereja Siao-lim-sie, di
situ terdapat tulisan tentang ilmu yang dinamakan Thay-it
Seng-jiauw. Ilmu itu serupa dengan ilmu Thian-seng-jiauw
golongan kita," berkata Kim Yan sambil menghela napas.
"Kalau begitu, jadi ilmu Thian-seng-jiauw dengan ilmu
Thay-it Seng-jiauw itu adalah serupa saja?" tanya Touw
Liong yang mulai sadar.
Kim Yan mengangguk-anggukkan kepala.
"Dewasa ini siapa yang menggunakan ilmu Thay-it
Seng-jiauw untuk membinasakan orang?"
"Panji Wulung."
"Panji Wulung?"
Touw Liong merasa agak terkejut, tetapi hal itu agaknya
juga sudah di dalam dugaannya, ia memikirkan soal yang
lainnya, memandang Kim Yan sejenak, lalu bertanya
dengan suara perlahan,
"Apakah kau sudah pernah melihat Panji Wulung?"
Kim Yan mengangguk-anggukkan kepala.
Touw Liong semakin terkejut dan terheran-heran,
tanyanya cemas.
"Apakah Panji Wulung paham ilmu Thay-it Sengjiauw?"
Kembali Kim Yan menganggukkan kepala.
"Panji Wulung ternyata demikian ganas, kalau ia
berhasil memahami seluruh ilmu yang tertera dalam kitab
itu, nampaknya rimba persilatan benar-benar akan
menghadapi hari kiamat!"
Kim Yan tidak berkata apa-apa, Touw Liong tiba-tiba
bertanya pula. "Sumoy! Kepandaian dan kekuatan tenagamu
sebetulnya sudah mencapai ke tingkat mana, bagi orang lain
sudah tentu kurang jelas, tetapi kita yang sejak kanak-kanak
berdiam di satu tempat dan bersama-sama berguru selama
beberapa puluh tahun, dalam golongan Kiu-hwa, orang
yang mampu menggunakan ilmu Thian-seng-jiauw untuk
membunuh orang hanya suhu sendiri, sedang kau dan aku
"." Tanpa menunggu Touw Liong habis perkataannya, Kim
Yan sudah menyela.
"Tahukah suheng selama dua hari ini aku mengalami
kejadian apa?"
"Ha"."!" Touw Liong mundur selangkah, matanya
menatap adiknya, kemudian melongokkan kepala dan
berkata kepada diri sendiri, "Aku tahu! Kau telah bertemu
dengan Panji Wulung, nampaknya Panji Wulung ada
maksud hendak membimbing kau, dalam dua hari ini
kekuatan tenaga dalammu telah mendapat kemajuan sangat
pesat, bukan saja kekuatan tenagamu sudah mencapai ke
taraf yang sanggup menggunakan ilmu Thian-seng-jiauw
untuk melukai orang, tetapi juga ilmu meringankan
tubuhmu sudah jauh lebih tinggi dari suhengmu sendiri."
Ia dapat kesan demikian, karena tadi sewaktu Kim Yan
menghampiri dirinya, ilmunya meringankan tubuh jauh
lebih tinggi daripada dirinya sendiri.
Kim Yan tidak menyanggah kata-kata Touw Liong, ia
hanya menganggukkan kepala, itu berarti mengakui bahwa
Panji Wulung telah membantu padanya untuk menambah
kekuatan tenaga dalamnya.
"Sumoy! Di kemudian hari bagaimana kau
mempertanggungjawabkan kepada suhu?" bertanya Touw
Liong dengan sedih.
Pertanyaan itu berarti memperingatkan kepada Kim Yan
atas sepak terjangnya yang sudah mengkhianati
perguruannya sendiri, dan malah dibimbing oleh Panji
Wulung yang sangat kejam sehingga melakukan kedosaan
besar terhadap perguruannya sendiri.
Dengan muka dan sikap yang sedih Kim Yan
menundukkan kepala kemudian menjawab,
"Suheng.... Semua ini lantaran.... lantaran....."
Touw Liong agak marah, ia mendesak,
"Lantaran siapa?"
Dengan kedua tangannya mendekap muka, Kim Yan
berkata dengan suara sedih,
"Sukakah kau jangan mendesak aku demikian rupa?"
"Ai....!" demikian Touw Liong menarik napas,
mengertilah sudah, bahwa adik seperguruannya itu berbuat
demikian sudah pasti ada sebabnya. Tetapi apakah
sebabnya itu"
Lantaran ilmu Thay-it Cin-keng"
Apakah lantaran hendak menyadarkan Panji Wulung
supaya tidak mengganas orang-orang rimba persilatan".
Apakah lantaran....
Lantaran apa sebetulnya" Touw Liong sebetulnya juga
tidak jelas. Tetapi ia masih percaya kepada sumoynya itu. Kim Yan
usianya masih terlalu muda, tetapi pandangan terhadap
urusan dunia sudah seperti orang dewasa, dengan lain
perkataan, ia berbuat demikian pasti ada sebabnya. Setelah
Touw Liong memikirkan itu, dengan perasaan duka ia maju
selangkah, tangannya memegang tangan Kim Yan dengan
suara lemah lembut ia menghiburinya,
"Sumoy, bukan suhengmu mendesakmu, sebetulnya
sejak seratus tahun kita orang-orang dari golongan Kiuhwa,
tidak peduli siapa asal satu kali ceburkan diri dalam
kalangan Kang-ouw, haruslah menunjukkan bahwa ia
adalah benar-benar seorang pendekar yang berjiwa ksatria,
aku khawatir dengan perbuatanmu seperti ini, dapat
menodakan nama baik perguruan kita."
Kim Yan mendongakkan kepala, hatinya seolah-olah
merasa terpukul, ia menangis dengan sedih, kemudian
berkata, "Suheng, meskipun aku terdesak oleh keadaan dan
dewasa ini aku harus bersama-sama dengan Panji Wulung,
tetapi aku tahu bagaimana harus sayangkan diri sendiri dan
membersihkan diriku sendiri, aku tidak akan membuat
noda nama baik suhu kita, pendek kata, aku ada
mempunyai banyak sebab, di antara banyak sebab ini, tidak
ada satu yang aku mengingini untuk memiliki ilmu Thay-it
Cin-keng."
Hati Touw Liong merasa lega, ia berkata sambil
menganggukkan kepala.
"Kuharap sumoy masih tetap seperti sedia kala, tetap
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan maksud dan tujuan kita untuk menegakkan keadilan
dan membasmi kejahatan, segala sepak terjangmu jangan
sampai menodakan nama baik golongan kita."
Kim Yan kembali menganggukkan kepala sebagai
jawaban. Touw Liong tidak menanya lebih lanjut, dengan cara
bagaimana ia dapat berkenalan dengan Panji Wulung.
Akan tetapi Kim Yan dengan ringkas membertitahukan
padanya. "Kiranya malam itu ketika Kim Yan bertempur dengan
orang-orang golongan pengemis, begitu Touw Liong pergi,
ia juga lantas meninggalkan musuh-musuhnya dan pergi
mengejar, ia selalu mengikuti jejak Touw Liong sampai ke
kota Lam-yang. Siapa tahu oleh karena Touw Liong mengejar Lie Hu
San, sehingga terjadi perselisihan jalan. Kim Yan terus
mengejarnya sampai ke bawah tembok kota Lam-yang,
namun suhengnya yang dikejar tidak kecandak, sebaliknya
telah bertemu dengan Panji Wulung, dan akhirnya dipaksa
oleh Panji Wulung untuk menjadi muridnya. Selama tiga
hari itu, satu-satunya hasil yang didapat dari Panji Wulung
ialah dengan menggunakan ilmu tunggal Panji Wulung, ia
mendapat kemajuan pesat di dalam kekuatan tenaga
dalamnya. Setelah mendengar penuturan adik seperguruannya,
Touw Liong menarik napas dan bertanya,
"Panji Wulung itu sebetulnya orang baik ataukan orang
jahat?" Kim Yan nampak ragu-ragu, lama baru menjawab,
"Sifatnya sebetulnya baik, tetapi segala sepak terjangnya
agaknya menuruti kemauan hatinya sendiri, dalam segala
hal ia selalu memainkan emosinya, kalau turun tangan ia
tidak memikirkan akibatnya, maka baik ataukah jahat, saat
ini masih belum dapat dinilai."
"Apa maksud dan tujuan Panji Wulung kali ini terjun ke
dunia Kang-ouw lagi...?"
Kim Yan menggeleng-gelengkan kepala, tetapi ia masih
mengerutkan alisnya sambil berpikir keras, akhirnya berkata
perlahan-lahan,
"Ia seolah-olah mengalami penderitaan batin atau
kepedihan yang selama itu terbenam dalam hatinya, kali ini
terjun di dunia Kang-ouw maksudnya hanya sekedar
melampiaskan dendam hatinya."
"Menilik katamu demikian, di kemudian hari entah
masih berapa banyak yang akan menjadi korban atas
perbuatannya?" berkata Touw Liong sambil menarik napas.
Ia berpikir sejenak, matanya menatap Kim Yan,
kemudian berkata pula,
"Dengan menurut perkataanmu ini, kau sebaliknya
mengharap supaya kau bisa sering atau selalu mengikuti
dirinya, agar ia tidak melakukan pembunuhan secara
serampangan."
"Itulah salah satu sebab mengapa aku rela menjadi anak
muridnya Panji Wulung."
"Bagaimana macamnya Panji Wulung itu?"
"Ia selalu menggunakan kain hitam untuk menutupi
mukanya, tidak peduli siang hari atau malam. Meskipun
aku sudah hidup bersam-sama dengannya selama tiga hari,
aku belum pernah satu kalipun melihat wajah aslinya. Dari
wajahnya yang putih dan tak ada tanda-tanda brewoknya
dan lagi ia sering menggunakan tongkat bentuk kepala
naga, Panji Wulung itu agaknya seorang nenek."
"Tongkat..."!" tanya Touw Liong, sesaat itu, Touw
Liong teringat kejadian kemarin di waktu pagi-pagi sekali,
ketika ia berada di kota Tio-yang-li, telah ditotok oleh
seorang nenek dengan kepala tongkat ..... Kalau begitu
orang itu tak salah lagi pasti adalah Panji Wulung.
Berpikir sampai di situ, ia bertanya pula,
"Kalau begitu sepasang burung Hong dari gunung Busan
bersama Lo Yu Im yang tadi mengejar, apakah tidak
akan mendapat bahaya apa-apa?"
"Tidak akan ada bahaya apa-apa, karena mereka pasti
tidak akan berhasil menyandak Panji Wulung. Dua malam
ini Panji Wulung tidak akan membunuh orang," jawab Kim
Yan sambil menggelengkan kepala.
Kemudian ia memberi keterangan tambahan,
"Besok malam ia baru akan melakukan pembunuhan."
"Besok malam siapa yang akan ia bunuh" Tanya Touw
Liong terkejut.
"Besok malam ia akan membunuh habis semua orang
yang berada di kota ini," jawab Kim Yan sambil
mengerutkan alisnya.
Touw Liong diam saja, lama baru terdengar suara helaan
napasnya, kemudian bertanya,
"Dia sudah mengambil keputusan demikian, apakah
tidak dapat dirubah?"
Kim Yan menganggukkan kepala.
"Mengapa kau tidak coba menasehati dia supaya
mengurangi niatnya melakukan pembunuhan?" berkata
Touw Liong. "Hari ini aku telah berkata banyak untuk menasehati
padanya, hampir mulutku berbusa, apa mau segala
sesuatunya yang ia sudah mengambil keputusan, agak susah
dirubah, pada akhirnya aku telah menggunakan akal, selagi
ia pergi ke panggung mementil kecapi untuk mencari siapa
orangnya yang mencatut namanya, aku ikut datang kemari,
maksudku ialah hendak memberitahukan kepada orangorang
yang besok malam datang ke sini, supaya besok
malam jangan datang ke panggung itu, dengan demikian ia
pasti akan terlepas dari bahaya maut."
Touw Liong menganggukkan kepala membenarkan
pikiran adiknya, ia memikirkan satu soak lain lagi, sejenak
pikirannya bekerja, kemudian baru angkat muka dan
berkata, "Aku sangsi, mungkin Panji Wulung itu ada dua."
"Mengapa suheng tahu?"
Touw Liong dari dalam sakunya mengeluarkan sebuah
panji kecil warna hitam, kemudian berkata,
"Panji ini sebetulnya berlatar warna hitam, tersulam
dengan awan terbang di langit, tetapi di atas itu terdapat
lukisan burung Hong terbang. Sedangkan panji yang tiga
hari berselang yang kita terima, dasarnya meskipun sama
tetapi lukisan sulaman agak berbeda, dua panji ini
meskipun sama-sama merupakan benda purbakala, sudah
ratusan tahun usianya, tetapi agak berbeda, mungkin
pemiliknya berlainan."
Kemudian ia menceritakan bagaimana panji wulung
yang diterimanya pada tiga hari berselang telah ditukar oleh
orang lain. Kim Yan mengangguk-anggukkan kepala, kemudian
baru berkata, "Tentang soal ini .... memang benar, ada kemungkinan
besar Panji Wulung itu ada dua, malam ini sebelum datang
kemari ia pernah marah-marah dan menyatakan hendak
melakukan penyelidikan, yang perlu dipecahkan, kalau ia
salah ingat harinya, atau ada orang yang main gila" Karena
aku ingat tiga hari berselang, ketika kita berada di kota
keng-siang dan menerima Panji Wulung, terang bukan ia
punya, pasti lain orang yang memberikan padamu. Aku
dapat menyetujui pikiranmu, Panji Wulung itu ada dua."
"Dua...."! Apa kau juga berpikir demikian?"
Kim Yan mengangguk-anggukan kepala, selagi Touw
Liong hendak menanya lagi, Kim Yan tiba-tiba matanya
memandang ke depan dan berkata dengan suara perlahan,
"Ingat! Besok malam kau jangan datang kemari ....."
Belum habis ucapannya Kim Yan sudah meninggalkan
suhengnya seorang diri.
"Sumoy...." demikian Touw Liong terkejut dan
memanggilnya, dua puluh tombak jauh di depan matanya
terlihat bayangan tiga sosok orang, kemudian terdengar
suara Lo Yu Im,
"Adik Liong, kita di sini!"
Sementara itu bayangan Kim Yan sudah menghilang di
belakang panggung mementil kecapi, Touw Liong seorang
diri menarik napas, tiba-tiba ingat pesan Kim Yan,
"Besok malam jangan datang kemari ....."
Ia menyambut ketiga orang itu, kemudian bertanya
kepada sepasang burung Hong, "Bagaimana, kalian berhasil
menyandaknya?"
Tiga orang itu menghela napas, mereka menjawab
dengan kata-kata yang tidak ada sangkut pautnya, hanya
memberi keterangan bahwa Panji Wulung terlalu cepat
hingga tidak berhasil menyandak.
"Panji Wulung sudah merubah tempatnya, besok malam
akan diadakan pertemuan di Tio-yang-li, harap supaya ji-wi
beritahukan kepada sancu muda," demikian Touw Liong
berkata kepada sepasang burung Hong.
Tiga orang itu melengak, memandangnya dengan
terheran-heran.
"Tadi ketika nona-nona pergi dari sini, Panji Wulung
telah mengutus seorang anak buahnya datang kemari untuk
menyampaikan berita ini!"
Berkata sampai di situ ia memberi hormat kepada Lo Yu
Im seraya berkata,
"Siaote pernah menerima baik permintaan sancu, jikalau
malam ini siaote tidak mati, besok malam akan bantu
tenaganya, tetapi besok malam siaote masih ada perjanjian
lain dengan enci, hendak pergi ke kota Tio-yang-li untuk
memenuhi janjiku."
"Besok malam kau hendak bekerja?" tanya Lo Yu Im
sambil mengerutkan alisnya.
"Sumoy, besok malam jam tiga berjanji hendak datang
kemari untuk menjumpai sioate."
BAB 16 Malam itu cuaca terang, keadaan di panggung mementil
kecapi masih tetap seperti biasa.
Di luarnya nampak tenang-tenang, akan tetapi di balik
suasana tenang itu diliputi oleh kabut dan nafsu
pembunuhan. Touw Liong dengan sikap yang tenang duduk di bangku
panggung itu, untuk menantikan kedatangan maut.
Di luarnya Touw Liong sedikitpun tidak menunjukkan
perasaan takut, akan tetapi jikalau ia ingat bahwa malam itu
adalah malam yang menentukan nasibnya, mati atau hidup,
kalau ia memikirkan bahwa ia sedang jaya dan muda
usianya, akan tetapi harus menghadapi suatu tantangan
maut yang tanpa diharapkan sama sekali, ia merasa bahwa
hal itu sesungguhnya tidak ada harganya sama sekali.
Tanpa disadari pikirannya bergolak sendiri, dalam otaknya
selalu dipenuhi oleh berbagai persoalan. Sebagai laki-laki
kalau memang harus mati, apa salahnya atau apa takutnya
kematian" Asal kematian itu pada tempatnya yang ada
harganya, tidak perlu disesalkan! Jikalau kematian
malamini, aku dapat menggunakan nyawaku yang berharga
untuk dapat ganti kepala Panji Wulung sehingga
menyingkirkan bahaya dan bencana bagi sahabat-sahabat
rimba persilatan di kemudian hari, maka kematianku ini
sesungguhnya sangat berharga, sekalipun aku harus mati,
aku juga takkan menyesal.
Jikalau malam ini aku harus diam menantikan kematian,
dengan tenang menantikan munculnya Panji Wulung, lalu
membiarkan ia menghina dan menertawakan aku, dan
kemudian mengakhiri riwayatku, ai .....! Kematian seperti
ini sungguh tidak ada harganya, juga terlalu
mengecewakan! Malam ini meskipun aku berhasil membohongi sepasang
burung Hong dari gunung Bu-san, supaya mereka jangan
turut campur tangan atau terlibat dalam bahaya maut ini,
akan tetapi setelah hari ini, apakah Panji Wulung tidak
akan mencari mereka"
Di depan mataku masih ada banyak persoalan yang
harus kuselesaikan, aku tidak boleh mati secara begini,
jikalau harus mati, aku juga perlu minta korban, setidaktidaknya
Panji Wulung juga harus mati di tanganku.
Memikir sampai di situ, Touw Liong mendadak berdiri
dari tempat duduknya, sambil menepuk kepala sendiri ia
berteriak seperti gila,
"Aku tidak boleh mati!!"
Kata-kata yang keluar dari mulutnya itu merupakan
suara hati yang membuatnya lupa akan dirinya sendiri, ini
juga merupakan suatu jeritan hati yang keluar dari suatu
perlakuan yang tidak adil, maka suara itu menggema
sampai beberapa pal jauhnya.
Ia telah menyadari bahwa ia tidak seharusnya berlaku
lemah, maka akhirnya dengan mendadak ia tidak
melanjutkan kata-katanya.
"Mana boleh tidak mati..."!" Di malam yang sunyi itu
tiba-tiba terdngar suara orang berkata, yang dibarengi oleh
suara tertawa yang nyaring, suara tertawa itu penuh rasa
bangga dan kemudian disusul suara berkatanya lagi yang
mengandung ejekan, "Jikalau raja akhirat sudah
menetapkan kau harus mati jam tiga malam, siapa yang
berani menahannya sehingga jam lima pagi?"
Kata-kata itu diakhiri dengan munculnya sesosol
bayangan orang yang memakai kerudung di mukanya,
orang itu tubuhnya kurus kering, rambut di kepalanya
berwarna putih, nampak berkibar-kibar tertiup angin, sorot
matanya demikian tajam, dan tangannya membawa tongkat
yang berlapis emas, sambil tertawa dingin berulang-ulang
orang tua itu melompat ke atas panggung mementil kecapi,
dengan sikapnya yang garang menunjukkan telunjuknya ke
arah Touw Liong, kemudian berkata,
"Bocah!! Coba kau lihat cuaca, sekarang ini tepat jam
tiga malam, kau ingin aku turun tangan sendiri, ataukah
kau tahu diri dan menyerahkan kepalamu kepadaku?"
Touw Liong terkejut, setelah ia mengetahui bahwa orang
itu adalah seorang perempuan tua, lalu bertanya sambil
menyuja, "Cianpwee dari golongan mana?"
"Panji Wulung, orang yang berhak menggunakan
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
julukan itu hanya satu, tidak ada cabangnya, aku adalah
pewaris panji wulung yang hidup pada seratus tahun
berselang, maka kau juga boleh menyebut aku sebagai Panji
Wulung saja," menjawab nenek itu dengan nada kurang
sabaran. "Panji Wulung .... Panji Wulung...." demikian Touw
Liong menyebut nama itu dengan suara perlahan.
Panji Wulung agaknya merasa terhina, sambil lompatlompatan
ia berkata dengan suara bengis.
"Kau mengoceh sendiri apa artinya" Apakah kau ingin
aku turun tangan sendiri?"
Touw Liong mengerutkan alisnya, kemudian menjawab
sambil tertawa dan menggelengkan kepala,
"Tidak perlu! Tidak perlu! Tidak perlu cianpwee turun
tangan sendiri, aku hanya memikirkan ucapan cianpwee
tadi, tentang panji wulung yang hanya seorang saja tidak
ada cabangnya, cianpwee mengaku sebagai pewaris Panji
Wulung yang hidup pada seratus tahun berselang, sayang
sekarang ini ada seorang lain yang juga mengaku sebagai
panji wulung. Jikalau cianpwee dapat memberi keterangan
tentang ini, maka aku si bocah yang tidak berguna, juga
tidak merasa sayang dengan batok kepalaku, aku rela
memberikan kepadamu ....!"
Tidak menunggu sampai habis ucapan Touw Liong,
Panji Wulung sudah memotong dengan suara yang tajam.
"Bocah, apa katamu?"
Touw Liong dengan tenang mengeluarkan sebuah panji
warna hitam dari dalam sakunya, kemudian dikibarkan dan
berkata sambil tertawa.
"Silahkan cianpwee lihat sendiri, panji ini dengan panji
cianpwee yang terlukis burung hong terbang di atas awan,
apakah ada perbedaannya?"
Panji Wulung dengan cepat merebut panji hitam dari
tangan Touw Liong, dengan sinar mata yang tajam ia
membolak-balikkan panji kecil itu untuk diperiksanya.
Sambil memeriksa, sebentar-sebentar mulutnya
mengeluarkan suara ocehan yang aneh, lama sekali ia
meremas-remas panji di tangannya dan bertanya dengan
suara bengis. "Anak busuk, dari mana kau dapatkan panji ini?"
"Empat hari berselang, ketika aku menginap di suatu
rumah penginapan di kota Keng-siang, ketika aku mendusin
di atas meja telah tertancap panji ini ...."
"Hm...!" demikian Panji Wulung memotong dengan
nada suara dingin, "Panji ini memang benar ada persamaan
dengan panji wulungku, sama-sama merupakan benda kuni
yang sudah berusia seratus tahun lebih, aku masih perlu
hendak menjernihkan urusan ini...."
Touw Liong diam saja, sementara dalam hatinya terus
dag-dig-dug, merasa sangat khawatir. Dia memandang
sinar matanya yang menembusi kerudung hitam itu,
hatinya merasa jeri.
Ia khawatir dalam keadaan demikian panji wulung nanti
akan menyerang dirinya dengan tiba-tiba, akan tetapi juga
ada kemungkinan, Panji Wulung nanti akan meninggalkan
padanya. Waktu berlalu dengan keheningan luar biasa. Touw
Liong di luarnya masih menunjukkan sikap sangat tenang,
ia berdiri tegak, agaknya acuh tak acuh, namun diam-diam
ia sudah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya
kepada dua tangannya untuk menantikan kejadian
selanjutnya. Apabila Panji Wulung bergrak, kedua tangan
Touw Liong pasti akan menyerbu lebih dulu.
Lama sekali, Panji Wulung menarik pandangan matanya
yang ditujukan ke pohon cemara, lalu dialihkan kepada
Touw Liong kemudian dengan gerakan yang sangat
perlahan ia mengembalikan panji kecil itu kepada Touw
Liong. Hati Touw Liong bergetaran, akhirnya ia maju beberapa
langkah tangannya diulurkan untuk menyambut panji dari
Panji Wulung. Tangan kanannya diulurkan, namun tangan kiri
menyalurkan seluruh tenaganya, dengan sangat hati-hati
setapk demi setapak ia maju menghadapi Panji Wulung,
matanya terus menatap wajah perempuan tua itu.
Kakinya terus berjalan mendekati, tetapi ketika ia tiba
sejarak hampir satu kaki, tiba-tiba menghentikan kakinya,
sementara dalam hatinya berpikir" Tangan Panji Wulung
memegang gagang panji, ia suruh aku yang menyambut
ujung panjinya, apabila ia mengandung maksud jahat,
tangannya yang memegangi panji bisa saja ia mengerahkan
kekuatan tenaga dalamnya, disalurkan melalui gagang
panji, dengan demikian aku nanti akan tertipu oleh akal
muslihatnya! Dalam waktu hanya sekejab saja, pikirannya telah
berubah. Panji Wulung agaknya dapat menebak apa yang
dipikir oleh Touw Liong, ia menunjukkan senyum ringan,
panjinya ditarik kembali, kemudian gagangnya dibalik
diberikan kepada Touw Liong, dan ia memegangi bagian
yang ada kainnya.
Touw Liong sebaliknya merasa tidak enak, maka lalu
menggunakan dua jarinya menjepit gagang panji itu. Di
luar dugaannya Panji Wulung tidak menunjukkan gerakan
apa-apa, ia membiarkan Touw Liong menjepit gagang
panji. Pada saat Touw Liong hendak memegang panji itu,
dengan kecepatan luar biasa, Panji Wulung mendorongkan
panji itu kepadanya, dan gagang panji yang terjepit di
antara kedua jari Touw Liong meluncur, kemudian ujunga
gagang itu menyentuh pergelangan tangannya, sehingga
lengan tangannya dirasakan kesemutan dan kedua jarinya
tak berdaya lagi, dengan demikian usahanya untuk
memegang panji telah gagal. Kejadian itu belum habis
sampai di situ saja, Touw Liong merasa bahwa rasa
kesemutan itu menjalar terus ke sekujur badannya, sehingga
bagian darah sekujur badan merasa kejang.
Ia kini mulai merasa menyesal, juga benci sekali
terhadap kelicikan dan keganasan Panji Wulung, ia
mengerti bahwa dirinya sudah tertipu olehnya, sehingga
terjatuh di tangannya.
Tangan kiri yang sudah disiapkan degnan seluruh
kekuatan tenagam oleh karena pergelangan tangan kanan
sudah tidak berdaya, maka ia tidak bisa berbuat apa-apa,
hanya dengan sinar matanya yang mengandung rasa gemas
terus memandang Panji Wulung.
Panji Wulung nampaknya sangat bangga sekali, ia
tertawa terbaha-bahak dan kemudian berkata,
"Anak busuk! Kau hanya sebutir mutiara yang tidak ada
artinya, juga hendak main gila terhadapku, jauh sekali
harapanmu untuk mencapai maksud!"
Sejenak ia berhenti, perlahan-lahan ia memasukkan panji
itu ke dalam sakunya.
Touw Liong yang pada saat itu merasakan sekujur
tubuhnya sudah merasa kejang, sehingga tidak berdaya
sama sekali, ia membiarkan panji kecil hitam itu diambil
oleh Panji Wulung.
Panji Wulung setelah merebut panji hitam itu, dengan
nada suara dingin ia berkata,
"Dengan memandang muka adik seperguruanmu, hari
ini kuberi ampun jiwamu, selain dari pada itu, dengan
meminjam mulutmu, kau sampaikan pesanku kepada
suhumu, katakan kepadanya bahwa adik seperguruanmu
sudah berguru kepadaku, aku .... akan menjadikan ia
pewaris tulen dari Panji Wulug yang akan memiliki
kepandaian ilmu silat yang tidak akan ada tandingannya di
dalam dunia."
Mulut Touw Liong tidak bisa mengeluarkan perkataan,
namun dalam hatinya ia sangat penasaran, maka ia hanya
dapat mengawasi Panji Wulung dengan penuh kebencian.
Panji Wulung berkata lagi,
"Untuk selanjutnya, kau tidak akan melihat adik
seperguruanmu lagi! Satu hari kelah jikalau kau benarbenar
berjumpa dengannya, itu bukanlah Kim Yan lagi,
mungkin raganya masih tidak berubah, tetapi pikiran dan
jiwanya, seratus persen adalah pikiran dan jiwaku, waktu
itu, ia sudah pasti tidak akan melepaskan kau, juga tidak
akan anggap kau sebagai saudara seperguruan lagi, ha ha ha
...." Kemudian ia hentikan tertawanya, dan melanjutkan
perkataannya. "Waktu sudah hampir pagi! Aku masih perlu hendak
mencari siapa yang coba-coba menyaru menjadi diriku!"
Sehabis berkata demikian, ujung tongkatnya diketukkan
ke tanah, kemudian dengan kecepatan bagaikan kilat
badannya terbang melayang, dan sebentar kemudian sudah
menghilang di dalam kegelapan.
Touw Liong masih berdiri bagaikan patung di
tempatnya, ia coba mengatur pernafasannya untuk
memulihkan kekuatan tenaganya.
Masih untung, tak lama kemudian kedua tangan dan
kakinya perlahan-lahan dapat digerakkan, setelah itu ia
berhasil mengatur kembali pernafasannya dan ternyata
tidak mendapati halangan apa-apa.
Ia mengusap keringat yang membasahi dahinya,
kemudian menarik nafas panjang dan berkata kepada diri
sendiri, "Panji Wulung ini benar-benar tidak boleh
dipandang ringan, kepandaian ilmu silatnya sungguh sulit
dijajaki."
Tak lama kemudian kentongan sudah berbunyi empat
kali, Touw Liong hanya dapat menghela nafas kalau ia
memikirkan bahaya yang dihadapinya pada setengah jam
berselang, dalam hatinya ia merasa bergidik sendiri, dengan
tindakkan lesu ia turun dari panggung mementil kecapi
hendak berlalu meninggalkan tempat itu.
Dari jauh, tampak berkelebat empat sosok bayangan
manusia, bayangan itu semakin lama semakin dekat dan
sebentar kemudian sudah tiba di jalanan batu yang menuju
ke atas panggung tempat mementil kecapi.
Touw Liong kini dapat melihat dengan tegas, siapa
adanya bayangan empat orang itu, ternyata adalah Sancu
muda dari Gunung Ci-phoa-san Pek Giok hwa, Sepasang
Burung Hong dari Gunung Bu-san, dan satu lagi adalah
LoYu Im. Touw Liong berjalan turun menyongsong kedatangan
mereka, empat wanita tadi sebetulnya menunjukkan muka
murung, ketika melihat Touw Liong masih segar bugar,
maka lantas bertanya dengan berbareng.
"Touw tayhiap, Panji Wulung sudah datang atau
belum?" Touw Liong menganggukkan kepala, hingga semua
wanita itu menjadi terkejut. Touw Liong menceritakan apa
yang telah terjadi atas dirinya, empat wanita itu menarik
nafas lega. Pek Giok Hwa lalu berkata,
"Ayah tidak keburu datang, sehingga Touw tayhiap
mengalami kekhawatiran seorang diri!"
Lo Yu Im juga menyesali Touw Liong, ia berkata,
"Adik! Selanjutnya apabila kau menjumpai urusan
semacam ini, sebaiknya jangan kau hadapi seorang diri, ada
urusan apa-apa sebaiknya kita rundingkan bersama, seperti
urusan yang kau hadapi hari ini, bagi kita semua sebetulnya
merupakan orang-orang yang bertanggung jawab, sedang
kau telah meninggalkan kita semua dan kau hadapi dengan
seorang diri, dipandang dari sudut kepahlawanan
tindakanmu ini memanglah perbuatan seorang laki-laki
jantan yang patut dipuji, tetapi kau telah mengabaikan
kenyataan, karena Panji Wulung itu bukanlah orang kangouw
biasa," Pek Giok Hwa juga berkata lagi,
"Hari ini kau bertiga sebaiknya berkunjung ke tempatku,
kau telah membicarakan soal Panji Wulung, kemudian aku
mengetahui bahwa panji wulung itu telah ditukar oleh
orang lain, setelah kupikir mungkin itu adalah kau yang
menukarnya."
Touw Liong angkat pundak sambil tersenyum getir,
kemudian berkata,
"Sesungguhnya aku merasa malu, panji itu telah diambil
kembali oleh Panji Wulung tadi!"
Touw Liong saat itu sudah merasa curiga bahwa panji
yang ditukarkan dari tangan Pek Giok Hwa kemarin dan
yang kini telah diambil oleh Panji Wulung adalah panji
yang hari itu diberikan kepadanya di dalam rumah
penginapan, tetapi entah bagaimana panji itu bisa terjatuh
di tangan Pek Giok Hwa"
Pek Giok Hwa setelah minta diri pada Touw Liong,
lantas berlalu meninggalkan panggung mementil kecapi.
Janji pertemuan dengan Panji Wulung sudah dilaksanakan,
Kim Yan juga sudah pernah dijumpainya. Touw Liong
tahu bahwa Panji Wulung tindakannya sesuai dengan katakatanya,
kemungkinan besar, selanjutnya ia tidak akan
menjumpai Kim Yan lagi, sedangkan Panji Wulung sendiri
oleh karena terdapatnya dua jenis panji, dan ia juga sudah
mengambil panji yang tadi berada di tangannya, sudah
tentu ia akan mencari tahu asal-usulnya panji itu lebih dulu,
baru unjuk muka di dunia Kang-ouw lagi.
Lima orang itu setelah meninggalkan panggung
mementil kecapi, masing-maing menetapkan tujuantujuannya
sendiri. Pek Giok Hwa dan Sepasang Burung Hong dari Gunung
Bu-san pulang ke gunung Cit-phoa-san.
Touw Liong oleh karena adik seperguruannya sudah
dirampas oleh Panji Wulung, urusan ini merupakan
persoalan terlalu besar, ia tidak berani bertindak lancang
sendiri, untuk mencari adik seperguruannya itu agaknya
lebih sulit dari pada berjalan menuju ke langit, satu-satunya
jalan baginya ialah pulang kembali ke gunung Kiu-hwa
untuk memberitahukan kepada gurunya Kiu-hwa Lojin,
minta advis-nya lebih lanjut.
Dan lagi .... batu Giok merah Khun-ngo-giok kini sudah
ketahuan di mana berada, pemilik aslinya yang kehilangan
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benda pusaka itu justru jalan bersama-sama dengannya, hal
ini juga perlu dilaporkan kepada gurunya.
Kecuali itu, masih ada urusannya dengan golongan
pengemis, Dewa Arak si Taiusu Gila, apa yang diucapkan
olehnya itu perlu sekali diberitahukan kepada gurunya.
Dengan adanya tiga alasan itu, maka Touw Liong
mengambil keputusan hendak pulang dulu ke Gunung Kiuhwa.
Ia telah memberitahukan maksudnya itu kepada Lo Yu
Im. Sudah tentu Lo Yu Im tidak pantas ikut padanya naik
ke gunung Kiu-hwa, maka dua orang itu berjanji, di tahun
depan pada musim kemarau akan bertemu lagi di rumah
makan Gak Yiang Loo di danau Tong-teng-auw. Lo Yu Im
menggunakan kesempatan itu hendak mencari jejak
adiknya dan mencari tahu dimana adanya sang kekasih
dahulu yang telah meninggalkan dirinya.
Dua orang itu berpisah dengan mengucurkan air mata.
Touw Liong mengambil jalan raya yang menuju ke propinsi
Yan-lan terus menuju ke gunung Kiu-hwa.
Dengan tidak besertanya Lo Yu Im, maka sekeluarnya
dari kota Lam-yang, Touw Liong lalu mengeluarkan surat
dari dalam sakunya yang ditinggalkan oleh si Dewa Arak
Taisu Gila. Setelah dibacanya, sekujur badannya lalu
gemetaran. Mengapa" Sebab ia telah mengetahui suatu
rahasia besar yang telah menjadi teka-teki semua orang
rimba persilatan selama seratus tahun lamanya. Tahukah
pembaca siapakah orangnya yang pada seratus tahun
berselang menggunakan benda panji kecil warna hitam
yang kemudian disebut sebagai panji wulung sebagai tanda
ancaman, lalu melakukan pembunuhan terhadap dua belas
tokoh kuat pada masa itu. Mungkin para pembaca tidak
akan percaya, bahwa orang yang melakukan perbuatan
sangat misteri itu adalah ayahnya Dewa Arak Taisu Gila itu
sendiri, juga merupakan murid tertua dari pendekar
kenamaan Liu Kiam Hiong pada masa itu.
Menurut apa yang dikatakan oleh Taisu gila dalam
suratnya, ia sendiri sebetulnya adalah pewaris generasi
kedua dari Panji Wulung, dan sekarang Touw Liong yang
sudah diangkat menjadi murid tidak resmi olehnya, dengan
sendirinya menjadi pewaris generasi ketiga dari Panji
Wulung yang tulen, bagaimanakah kalau hal itu tidak
mengejutkan dirinya"
Dengan lain perkataan, Touw Liong sendiri bukan saja
akan menjadi pewarisnya panji wulung, juga merupakan
murid keturunan keempat dari jago kenamaan Liu Kiam
Hiong. Persoalannya telah berubah demikian rupa, sesudah
ribut-ribut beberapa hari lamanya, kini Touw Liong yang
pertama-tama menerima panji wulung, dengan tidak
diduga-duga, ia diangkat menjadi pewaris Panji Wulung
sendiri! Dengan demikian, hingga hutang darah yang dilakukan
Panji Wulung pada seratus tahun berselang, kini sudah
dibebankan di atas kedua pundaknya. Di kemudian hari,
apabila keturunan dari kedua belas tokoh itu hendak
menagih hutang leluhurnya, mau tidak mau ia harus
menerima tanggung jawabnya.
Di dalam surat itu Taisu Gila berulang-ulang
menyatakan bahwa ayahnya sendiri sebetulnya tidak
berdosa, maka ia suruh Touw Liong menjelajahi seluruh
gunung Oey-san (yang dahulu merupakan tempat
berdiamnya Panji Wulung) untuk mencari bukti dan untuk
membersihkan dosa Panji Wulung tua.
Persoalan semakin meningkat demikian jauh, kini panji
wulung dari dua sudah berubah menjadi tiga!
Bahkan satu di antaranya adalah dia sendiri.
Dan apa yang lebih mengherankan ialah di kemudian
hari, adik seperguruannya sendiri, Kim Yan, juga akan
muncul di rimba persilatan dengan menggunakan Panji
Wulung lagi. Dua Panji Wulung itu ada sangkut paut apa" Dan dua
jenis panji hitam kecil itu, kedua-duanya merupakan benda
kuno yang sudah berusia lebih dari seratus tahun,
buatannya yang demikian halus, menyatakan bahwa dua
jenis panji wulung itu dibuat oleh tangan seorang,
sedangkan panji wulung tua yang pada seratus tahun
berselang melakukan pembunuhan terhadap dua belas
tokoh kuat rimba persilatan, menurut surat Taisu Gila, jelas
perbuatan itu dilakukan ayahnya, dengan demikian, Panji
wulung yang tulen adalah ayahnya. Taisu gila itu sendiri,
mengapa bisa muncul duplikat Panji Wulung yang
mengenakan kerudung muka, dan orang yang mengaku
Panji Wulung itu juga memiliki panji kecil yang sudah
ratusan tahun usianya"
Touw Liong benar-benar tidak habis mengerti, di dalam
urusan ini sebetulnya terselip peristiwa apa"
Gunung Kiu-hwa-san, terkenal dengan pemandangan
alamnya yang indak permai. Gunung Kiu-hwa-san
sebetulnya bernama Gunung Kiu Lam, oleh karena gunung
itu mempunyai sembilan puncak, dan setiap puncaknya itu
berbentuk bunga teratai, maka disebut "Kiu Lian" yang
berarti "Sembilan bunga teratai".
Di jaman dahulu, pujangga dan penyair terkenal Lie Tai
Pek, oleh karena tertarik dan kesengsem keindahan
pemandangan gunung Kiu Lian, dianggap sebagai surga di
dalam dunia, maka ia telah merubah nama gunung Kiu
Lian itu menjadi Kiu-hwa. Di sebelah barat gunung Kiuhwa,
di atas puncak gunung Cui-hoa-hong ada tiga buah
rumah atap, dalam rumah itu berdiam seorang tua yang
wajahnya merah dan rambutnya putih. Puncak gunung itu
tingginya menjulang ke langit, di puncak gunung setiap
tahun diliputi oleh salju dan kabut, bagi manusia biasa
sesungguhnya sangat sulit untuk mencapai ke tempat itu,
ditambah lagi dengan jalanannya yang sulit sekali, sehingga
tidak mudah didatangi oleh penebang kayu atau pemburu,
orang-orang yang memburu binatang buas, paling-paling
cuma mencapai ke tengahnya saja, itu sudah merupakan
suatu kelebihan kemahirannya orang tersebut.
Ada kalanya udara terang dan kabut tidak menutupi
puncak gunungitu, orang tua yang menjadi penghuni satusatunya
di atas puncak gunung itu, bisa unjukkan diri untuk
menikmati pemandangan alam di bawah kakinya, maka,
beberapa orang yang memiliki pandangan mata tajam,
kadang-kadang dapat melihat wajah orang tua itu.
Munculnya orang tua itu dari mulut ke mulut yang tersiar
luas, dan lama-lama, orang menganggap bahwa di atas
gunung ada berdiam satu dewa, maka semua orang
penghuni di kaki gunung Kiu-hwa menyebutnya orang tua
itu sebagai dewa dari gunung Kiu-hwa.
Pada suatu hari, selagi cuaca terang, penghuni di atas
puncak gunung yang dianggap penduduk di sekitar itu
sebagai dewa dari gunung Kiu-hwa, kembali tampak berdiri
di atas puncak gunung sambil melihat jauh di bawah
kakinya. Beberapa di antaranya ada yang mendongakkan
kepalanya untuk menyaksikan, ada juga yang berlutut
bersujud di hadapan kakinya.
Di bawah kaki gunung, seorang pemuda baju hijau yang
menyoren pedang di punggungnya, dengan tindakannya
yang mantap berjalan menuju ke puncak gunung.
Pemuda berbaju hijau itu adalah Touw Liong sendiri.
Touw Liong ketika mendaki sampai di tengah, ia
mendongakkan kepala, segera tampak gurunya, lalu
mengeluaran siulan nyaring dan terus mendaki ke atas
gunung. Orang itu sejenak wajahnya menunjukkan perubahan,
dari jauh ia sudah memanggil dengan ucapannya "Liongji",
Touw Liong yang mendengar itu, air matanya mengalir
keluar sambil mendongakkan kepala Ia memanggil
gurunya, kemudian kedua lengannya dipentang, dan
bagaikan burung terbang terus melayang ke atas gunung.
Tak lama kemudian ia sudah melompat ke puncak gunung,
ketika berada di hadapan gurunya, ia menjatuhkan diri dan
berlutut di hadapannya, orang tua itu dengan penuh welas
asih mengulurkan tangannya, membimbingnya bangun
kemudian bertanya padanya, "Dan, di mana adik ....
adikmu?" "Adikku ...." dengan gugup Touw Liong berlutut lagi,
suaranya agak gemetar, "Adikku" ..... Mungkin tidak akan
naik ke gunung Kiu-hwa lagi...!"
Orang tua itu terkejut dan bertanya,
"Apakah adikmu menemukan bahaya?"
Touw Liong bersujud di hadapan gurunya, ia telah
menceritakan apa yang telah terjadi atas diri adik
seperguruannya.
Orang tua itu mendongakkan kepala memandang
angkasa, kemudian menarik nafas panjang dan berkata
dengan suara sedih:
"Bangun! Mari masuk ke rumah, nanti kita bicara lebih
jauh!" Setelah itu orang tua itu memutar tubuhnya dan berjalan
masuk ke dalam rumah gubuknya.
Touw Liong mengikuti di belakangnya sambil
menundukkan kepala.
Orang tua itu duduk di atas kursi, sedang Touw Liong
berdiri sambil meluruskan kedua tangannya, guru dan
murid itu sama-sama bungkam sehingga suasana sangat
mencekam. Orang tua itu dengan tiba-tiba bertanya sambil mengurut
jenggotnya yang putih panjang:
"Muridku, suhumu dahulu mengandalkan apa sehingga
menggetarkan rimba persilatan?"
"Ilmu pedang "Kiu-hwa Sim-kiam" yang terdiri dari tujuh
puluh dua jurus dan ilmu serangan tangan "Thian-sengjiauw"
yang sangat ampuh!" menjawab Touw Liong dengan
sikap yang sangat menghormat.
"Tahukah kau ilmu pedang Kim-hwa Sim-kiam itu, siapa
yang menciptakan?"
"Suhu sendiri."
"Bukan"!" Kata orang tua itu sambil menggelengkan
kepala. Touw Liong tercengang, dengan perasaan terheran-heran
ia memandang gurunya.
Sang guru tidak memberi keterangan langsung, tetapi
mengalihkan pertanyaannya kepada lain soal:
"Seratus tahun berselang golongan Thian-san-pay
dengan ilmu pedang apa telah menjadi terkenal dalam
rimba persilatan?"
"Ban-ling-kim-hwat Kiam-gwat, ilmu pedang yang terdiri
dari tujuh puluh dua jurus."
"Benar! Ilmu pedang Kiu-hwa Sim-kiam justru keluar
dan tercipta menurut jurus-jurus dan gerak tipu ilmu pedang
Ban-ling-kiam-gwat Kiam-gwat."
Touw Liong kembali tercengang. Sementara itu orang
tua itu bertanya pula:
"Siapakah yang mendirikan golongan Kiu-hwa?"
"Suhu sendiri."
"Suhumu menjadi pewaris golongan mana?"
"Murid adalah seorang bodoh, harap suhu memberikan
keterangannya."
Sang suhu menarik nafas panjang, kemudian berkata
dengan suara sedih,
"Suhumu sebetulnya adalah murid golongan Thiansan?"
Touw Liong kini telah sadar, kiranya ilmu pedang
golongan Kiu-hwa itu ternyata berasal dari golongan Thiansan.
Orang tua itu bertanya lagi sambil menghela nafas,
"Suhumu tidak berani mewarisi kepandaian dan
menggunakan nama golongan Thian-san maka telah
mendirikan golongan lain yang suhumu namakan golongan
kiu-hwa, di dalam hal ini sebetulnya ada mengandung suatu
rahasia besar, ai "! Sungguh panjang kalau suhumu
ceritakan, sebab musababnya, boleh dikata semuanya itu
sudah digariskan oleh Tuhan yang Maha Esa, anak! Kau
beristirahatlah dulu, nanti biarlah suhumu menceritakan
kepadamu segala sesuatu yang menyangkut golongan kita."
BAB 17 Di waktu tengah malam, selagi rembulan memancarkan
sinarnya yang terang benderang, di dalam gubuk di atas
puncak gunung Kiu-hwa, duduk seorang tua dan seorang
muda, mereka itu adalah Kiu-hwa Lojin dan Touw Liong.
Kiu-hwa Lojin sambil meminum teh panas, matanya
memandang bintang-bintang di langit, agaknya terbenam
dalam kenangan-kenangan di masa yang lampau.
Lama sekali, ia mengalihkan pandangan matanya,
ditatapnya Touw Liong, kemudian bertanya,
"Apakah kau masih ingat di dalam rimba persilatan
pernah terjadi suatu peristiwa besar yang merupakan suatu
rahasia, pada seratus tahun berselang, ada seseorang yang
mendaki gunung Siauw-si-hong, orang itu berhasil
membawa kabur kitab yang sudah hampir rusak dari
ranggon menyimpan kitab gereja Siauw-lim-si?"
Dengan tanpa dipikir lagi Touw Liong lalu menjawab:
"Itu adalah kitab Thay-it Cin-keng, yang dibawa kabur
oleh murid-murid golongan Thian-san yang bergelar Ki-sie
Sim Pan ?"
Baru berkata sampai di situ, ia buru-buru menutup
mulutnya, ia merasa heran mengapa gurunya menyebut
persoalan yang menyangkut dengan kitab Thay-it Cin-keng
itu" "Itu adalah kakek cowsumu sendiri!" Berkata Kiu-hwa
Lojin tenang. Ia berhenti sejenak, kemudian berkata pula.
"Kakek couwsumu itu setelah mendapatkan kitab Thayit
Cin-keng lalu mendaki gunung Kiu-hwa," jari tangannya
menunjuk puncak gunung yang berada di ujung seberang
yang malam itu diliputi oleh kabut malam, lalu berkata lagi.
"Beliau mengasingkan diri di puncak gunung itu untuk
mempelajari ilmu silat yang tertera di dalam kitab tersebut."
"Suhu, kabarnya kitab itu seluruhnya ada dua belas jilid,
kitab itu memuat segala ilmu kepandaian yang luar biasa,
couwsu di kemudian hari pasti menjadi seorang jagoan
yang all-around dalam rimba persilatan?"
Kiu-hwa Lojin menjawab sambil menggelengkan kepala.
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak. Dengan menggunakan waktu hampir seumur
hidupnya, hanya dapat mempelajari ilmu Thay-it Sin-jiauw
saja, itu adalah ilmu Thian-seng-jiauw dari golongan kita
sekarang ini."
Touw Liong baru hendak membuka mulut hendak
bertanya, orang tua itu melambaikan tangannya untuk
mencegah, kemudian berkata lagi.
"Aku tahu, kau hendak menanya apa sebabnya Thay-it
Sin-jiauw dirubah menjadi Thian-seng-jiauw" Sebabnya
sangat sederhana sekali, ilmu Thay-it Seng-jiauw adalah
suatu ilmu sangat ampuh yang belum pernah digunakan
dalam rimba persilatan, apabila masih tetap menggunakan
nama ilmu semula, bagi orang-orang rimba persilatan yang
sangat tajam otaknya, siapapun akan dapat menduga bahwa
ilmu itu berasal dari kitab Thay-it Cin-keng, dan hal itu
akan membawa kesulitan tidak sedikit bagi perguruan kita,
maka akhirnya dirubah namanya menjadi Thian-sengjiauw."
"Dan kemudian, di manakah kitab luar biasa itu?"
"Kemudian "." Berkata orang tua itu sambil menghela
napas, "Dua belas jilid kitab itu kemungkinan besar ada
hubungannya dengan Panji Wulung, sehingga
menimbulkan huru-hara besar, juga menimbulkan bencana
bagi rimba persilatan."
Touw Liong terkejut dan berkata kepada diri sendiri,
"Ada hubungannya dengan Panji Wulung?"
"Setelah sucouwmu meninggalkan dunia, lalu diteruskan
oleh muridnya ialah yang menjadi kakek gurumu sendiri,
kecuali ilmu pedang dari golongan Thian-san, masih
memiliki duabelas jilid kitab luar biasa dan ilmu Thay-it
Sin-jiauw, tetapi beliau masih merasa kurang puas dan
meneruskan usahanya untuk mempelajari ilmu-ilmu yang
tertera di dalamnya selama sepuluh tahun, tetapi agaknya
tidak berhasil, pada suatu hari, ai .....! Juga lantaran beliau
itu seorang yang terlalu baik hati, oleh karena memikirkan
bahwa kitab-kitab luar biasa itu pada akhirnya toh akan
menjadi benda pusaka bagi rimba persilatan, ada beberapa
pelajaran yang terlalu dalam, seharusnya dipelajari oleh
seseorang yang berotak tajam dan berkepandaian tinggi
hingga baru dapat dimengerti, beliau terus menuju dan
berkunjung ke gunung Bu-tong, untuk mencari ketua Butongpay pada saat itu, ialah Giok-cin-cu, kepadanya beliau
mengutarakan maksudnya itu, untuk minta keterangan dari
Giok-cin-cu, ai .... tak disangka bahwa tindakannya itu
telah membawa akibat buruk ...."
"Giok-cin-cu yang sebagai seorang ketua salah satu
partai besar, dan memiliki kepandaian serta kecerdasan otak
luar biasa, waktu itu agaknya sangat terkejut mendengar
usul dari kakek gurumu, ketika kakek gurumu
meninggalkan gunung Bu-tong, Giok-cin-cu lalu
mengumpulkan anak murid untuk merundingkan persoalan
itu, dari situ ia mengetahui bahwa kitab itu berada di
gunung Kiu-hwa. Setelah ia mengumumkan hal itu, lalu
memerintahkan sepuluh anak muridnya, dengan
mengerahkan seluruh kekuatan golongan Bu-tong, pergi
mencari ke gunung Kiu-hwa, maksudnya untuk
mendapatkan kitab Thay-it Cin-keng itu."
"Kitab Thay-it Cin-keng, sebetulnya adalah kitab pusaka
simpanan milik leluhur golongan Bu-tong, oleh karena
pelajaran itu terlalu dalam, dan golongan Bu-tong tidak
mempunyai seorang murid yang cerdas, maka hanya
diturunkan kepada ketuanya seorang saja, akan tetapi
ketua-ketua golongan Bu-tong meskipun sudah
menggunakan seluruh kepandaian dan seluruh
kepintarannya, juga hanya dapat mengerti satu dua rupa
saja, ini sesungguhnya sangat sayang, maka pada akhirnya
kitab pusaka itu pada segan menggunakannya, sesudah tiba
di tangan ketua generasi ke delapan, kitab itu telah hilang
tanpa bekas. "Siapakah yang mencuri kitab luar biasa itu" Itu adalah
salah seorang paderi dari golongan gereja Siau-limsi pada
waktu itu. Sayang, paderi itu setelah mencuri kitab pusaka
itu, lalu dibawanya kembali ke gereja Siau-lim-si, meskipun
ia menggunakan waktu hampir seumur hidupnya, ia tidak
berhasil mempelajari ilmu yang tertera di dalam kitab
tersebut, dengan demikian ia menjadi sangat kecewa dan
marah, hingga kitab itu akhirnya disimpan di dalam
rangoon penyimpan kitab gereja tersebut, dan kemudian
telah dicuri oleh cosumu. Akan tetapi kepandaian ilmu silat
yang tertera dalam kitab itu, tiada satupun yang tersiar di
dalam rimba persilatan."
"Oo " pantas saja golongan Bu-tong mengerahkan
seluruh kekuatannya untuk mencari kitab pusaka itu!"
demikian Touw Liong berkata.
"Diantara sepuluh orang anak murid golongan Bu-tong
itu, ada seseorang yang licik dan banyak akal. Pada suatu
hari, ia berhasil menemukan goa di mana cosumu
menyimpan kitab itu, ia pikir akan mengangkangi sendiri,
timbullah pikirannya yang jahat, diam-diam ia memancing
sembilan saudara seperguruannya ke goa yang lain,
kemudian menggunakan bahan peledak yang lebih dulu
sudah disediakan, sembilan saudara seperguruannya itu
telah binasa oleh akal kejinya. Kemudian, murid dari
golongan Bu-tong itu pergi ke dalam goa, di mana kitab itu
tersimpan, lalu kitab itu dibawanya kabur "." Orang tua
itu berkata sampai di situ, berulang-ulang menghela nafas.
Touw Liong lalu berkata,
"Murid golongan Bu-tong-pay itu sesungguhnya juga
terlalu kejam."
"Akan tetapi, Tuhan itu Maha Adil, siapa yang berbuat
salah, tidak akan terlepas dosanya. Murid dari Bu-tong-pay
itu, setelah mendapatkan kitab itu, lalu membawa isteri dan
anaknya serta dua belas jilid Thay-it Cin-keng, tinggal di
tempat yang jauh dari Gunung Bu-tong, di sana ia juga
mempelajari kitab itu sehingga sepuluh tahun lamanya,
akan tetapi akhirnya ia tidak mendapat hasil apa-apa. Dan
pada waktu ia merasa kecewa, tiba-tiba di tempat
persembunyiannya itu kedatangan beberapa orang kuat dari
rimba persilatan, memaksa padanya supaya menyerahkan
kitab tersebut."
"Siapakah orang-orang kuat dari rimba persilatan itu"
Mengapa mereka berani mendesak kepada murid Bu-tongpay
agar menyerahkan kitab tersebut?" tanya Touw Liong.
"Tokoh-tokoh rimba persilatan itu semuanya merupakan
tokoh-tokoh kenamaan dari daerah Tionggoan pada masa
itu, juga mungkin adalah itu dua belas tokoh rimba
persilatan yang kemudian hari dibinasakan dan diambil
kepalanya oleh Panji Wulung."
"Aaa....!" bukan kepalang terkejutnya Touw Liong
sehingga menjerit, kemudian bertanya kepada suhunya,
"Suhu, bagaimana selanjutnya tentang kitab itu?"
JILID 7 "Orang jahat mendapat pembalasan jahat, orang baik
mendapat pembalasan dengan baik. Tokoh-tokoh rimba
persilatan itu, setelah berhasil memaksa murid golongan
Bu-tong itu menyerahkan kitabnya, mereka lalu membunuh
seluruh rumah tangganya, hanya seorang oroknya yang
masih kecil yang terhindar dari bencana itu. Anak dari
golongan Bu-tong itu, selanjutnya telah ditolong oleh anak
murid Bu-tong-pay yang pergi mencari kitab tersebut,
sementara tentang kitab itu sendiri, tak lama setelah terjatuh
di tangan tokoh-tokoh rimba persilatan, lalu berjumpa pula
dengan dua tokoh kuat sehingga kitab-kitab tersebut
menjadi rebutan dan terbagi menjadi dua, masing-masing
pihak mendapat enam jilid. Kitab itu dengan demikian
telah terpecah belah. Oleh karena kejadian itu sudah
seratus tahun lamanya, hingga orang tidak tahu, kemana
adanya sekarang" Dan terjatuh ke tangan siapa?"
Touw Liong terbenam dalam lamunannya, sementara
itu, Kiu-hwa Lojin berkata pula,
"Liong-ji, aku sudah bersumpah tidak akan turun
gunung, akan tetapi kitab dari golongan kita yang dibuat
perebutan itu, sudah seharusnya kita mencari kembali. Kau
... aku pikir jikalau aku berhasil menemukan batu giok
Khun-ngo-giok, aku akan membuatkan sebuah pedang,
jikalau pedang itu berhasil kubuat, dengan pedang Khunngogiok di tanganmu dan ilmu Thian-seng-jiauw sebagai
bekal tidak susah bagimu mencari dua belas kitab itu."
Kini mengertilah Touw Liong, apa sebab suhunya suruh
ia mencari batu Khun-ngo-giok, maka ia semakin menaruh
hormat kepada suhunya itu. Kiu-hwa Lojin berkata pula
sambil menggeleng kepala,
"Sekarang aku telah membatalkan maksud itu. Batu
giok itu sudah ada yang punya, bagaimana pun juga batu
itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, kita tidak boleh
merampas hak milik orang lain, apalagi merampas dari
seorang perempuan lemah."
Pikiran Touw Liong mulai merasa terang, tiba-tiba ia
ingat kepada diri adik seperguruannya, maka bertanya pula
kepada suhunya,
"Persoalan yang menyangkut diri sumoy, bagaimana
suhu hendak bereskan?"
Sang suhu berpikir sejenak, kemudia mengerutkan
alisnya yang panjang, ia tidak segera menjawab pertanyaan
muridnya, sebaliknya ia bertanya,
"Menurut apa yang kutahu, kali ini Panji wulung pernah
menunjukkan berapa kepandaiannya yang istimewa?"
"Pertama, Kim sumoy yang baru berpisah dengan tecu
hanya dua hari saja, sudah bisa menggunakan ilmu Thiansengjiauw melukai orang, di sini kita dapat lihat betapa
hebat kepandaian ilmu silat Panji Wulung. Kedua, sewaktu
unjukkan diri di panggung mementil kecapi, kegesitan Kim
sumoy sesungguh sangat mengejutkan, satu bukti betapa
hebat kepandaian meringankan tubuh Panji Wulung. Dan
caranya Panji Wulung membinasakan korbannya di kota
Lam-yang, semuanya hanya menggunakan ilmu Thay-itsinjiauw, kecuali itu, tecu tidak melihat ia menunjukkan
lain kepandaiannya yang luar biasa."
"Aku merasa curiga bahwa dua belas jilid kitab itu
setidak-tidaknya ada sebagian berada di tangannya, oleh
karena itu maka Kim sumoymu kalau berada di
sampingnya, rasanya tidak ada halangan. Mungkin dengan
demikian ia dapat mengusut di mana adanya kitab luar
biasa itu. Satu hal yang menjadi pikiran bagiku, ialah
tentang adanya dua orang yang mengaku diri Panji
Wulung, tidak halangan kau pergi ke gunung Oey-san
seperti apa yang dikatakan oleh Taysu Gila, siapa tahu oleh
karena petunjuknya itu kau nanti menemukan hal-hal yang
di luar dugaanmu, dengan tanpa membuat pedang Khunngogiok, kau nanti mungkin dapat menemukan dua belas
kitab yang telah hilang itu."
"Mengenai soal Taysu Gila yang suruh teecu
membersihkan golongan pengemis, bagaimana menurut
pikiran suhu?"
Orang tua itu tampak berpikir sejenak, kemudian
berkata, "Kericuhan di dalam golongan pengemis, sesungguhnya
merupakan suatu kejadian yang tidak menguntungkan bagi
rimba persilatan pada dewasa ini, jikalau kau berhasil
membersihkan golongan pengemis, itu juga merupakan
suatu pahala yang tidak kecil, ucapan Taysu Gila bukanlah
keluar dari hati dan pikirannya, ada perkataan yang boleh
didengar tetapi ada juga yang tidak usah kau hiraukan.
Umpama kata, ia suruh kau membereskan golongan
pengemis, kau boleh anggap itu suatu perbuatan untuk
kebaikan golongan pengemis itu sendiri, juga kau boleh
anggap sebagai tugas atau kewajiban sebagai orang rimba
persilatan golongan baik. Dia suruh kau meninggalkan
perguruanmu, bagi ia, sesungguhnya kurang pantas dan
tidak seharusnya ia nyatakan. Maka kau boleh tidak usah
menghiraukan, anggap saja itu sebagai perkataan mainmain."
Touw Liong menerima baik pesan suhunya, setelah
menanyakan pula beberapa persoalan yang tidak penting,
semula dijawab dengan jelas oleh suhunya.
Pada hari ke dua, Touw Liong minta diri kepada
suhunya, lalu turun gunung dan melakukan perjalanannya
menuju ke gunung Oey-san, untuk mencari tempat
mengasingkan diri Liu Kiam Hiong pada masa yang lalu.
Harapan satu-satunya ialah hendak mencari rahasia Panji
Wulung yang melakukan pembunuhan terhadap dua belas
tokoh kuat rimba persilatan, apa sebab ia melakukan
pembunuhan itu" Dengan cara bagaimana ia melakukan
pembunuhan" Dan apa maksud dan tujuan" Selain
daripada itu, ialah hendak mencari di mana tempat
disimpannya dua belas kitab Thay-it cin-keng.
ooooo Puncak tertinggi di gunung Oey-san adalah puncak
Thian-tie Hong, sedangkan tempat yang berbahaya di
puncak Thian-tie-hong adalah Ceng-liong-kang.
Hari itu, puncak Thian-tie-hong diliputi oleh kabut tebal,
di bawah sebuah pohon cemara tampak seorang pemuda
yang menyoren pedang, dengan langkah yang sangat gesit
berjalan menuju ke Ceng-liong-kang.
Sambil berjalan, pemuda itu berkata kepada diri sendiri:
"Hampir seluruh pelosok gunung Oey-san ini aku sudah
jelajahi, tetapi tidak menemukan apa-apa. Kabarnya pada
seratus tahun berselang, Liu tayhiap telah menganut agama
Budha, dia mengasingkan diri di puncak gunung Oey-san
untuk mempelajari kitab golongan Budha. Jikalau di
puncaknya yang tertinggi aku masih tidak menemukan
bekas-bekasnya, tampaknya seperti juga dengan si dewa
arak locianpwee, yang tidak ada jodoh dengan Liu
tayhiap." Di waktu biasa, jalanan yang terdapat di Ceng-liongkang
ini lebarnya hanya satu kaki lebih sedikit, panjangnya
ada beberapa puluh tombak, jalanan ini sangat berbahaya,
di ujung jalan hanya sebidang tanah yang ada batunya aneh
yang menonjol setombak lebih. Batu itu nampak menonjol
di tengah udara, sehingga merupakan puncak kecil. Oleh
karena jalanan yang berbahaya itu sangat berliku-liku dan
tajam sekali, maka orang yang berjalan di atas bagaikan
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melalui jembatan di atas udara. Maka orang-orang yang
mendaki gunung Oey-san jarang yang berani melalui
jalanan yang berbahaya itu. Justeru karena tempatnya yang
berbahaya itu, maka puncak kecil yang terdiri dari batu
aneh itu, jarang didatangi oleh manusia.
Kedatangan Touw Liong hari itu, sesungguhnya tidak
tepat waktunya, oleh karena tempat itu diliputi oleh kabut
sangat tebal. Ketika ia mengeluarkan ucapannya yang
ditujukan kepada diri sendiri tadi, di luar dugaannya dari
seberang sana, di atas puncak gunung yang menonjol itu,
tiba-tiba mendapat sahutan dari suara yang sangat nyaring:
"Jikalau menghendaki ilmu dalam, batang besi harus diasah
menjadi batang jarum. Segala barang di dalam dunia, tidak
ada satu yang didapatkan tanpa bekerja. Kita umpamakan
saja kepada keadaan kita, ada jodoh, sayang, di antara kita
berdua terpisah jurang yang dalam, kita telah dipisahkan
oleh Ceng-liong-kang."
Touw Liong terkejut, juga dengan suara nyaring ia
bertanya: "Bolehkah boanpwee ingin tahu nama cianpwee yang
mulia?" Suara nyaring itu kembali berkata:
"Kalau baru dengar namanya saja tidak apa-apa, hanya
lebih baik kita bertemu muka dulu, nanti akan kuceritakan!"
Ceng-liong-kang telah diliputi oleh kabut tebal, hingga
puncak gunung yang mencil sendirian itu seperti juga suatu
gunung yang mengambang di atas awan.
Touw Liong menengadah memandang gunung di atas
awan itu, lalu menarik napas. Sementara terdengar pula
suara nyaring dari seberang sana.
"Sayang kita tidak dapat melihat satu sama lain, kabut
dan awan sejauh sepuluh tombak telah memisahkan kita
berdua, sebetulnya dekat sekali, tetapi kini telah dipisahkan
oleh Ceng-liong-kang."
Touw Liong memandang kabut yang mengambang di
angkasa, pikirannya bergolak, hingga tidak menjawab
pertanyaan suara itu.
Suara itu kembali memperdengarkan ejekannya lagi:
"Inilah yang dinamakan jodoh, kita terpisah hanya
sepuluh tombak, tapi berarti memisahkan seorang pendekar
kenamaan di luar jodoh ...."
Touw Liong yang masih berdarah panas, ketika
mendengar ejekan itu, alisnya lalu berdiri kemudian
menjawab dengan suara nyaring.
"Harap cianpwee tunggu sebentar, boanpwee hendak
kesana untuk minta sedikit keterangan."
Sehabis berkata, ia lalu mengerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya, ilmunya yang didapatkan dari Taisu gila,
telah dikerahkan ke kedua tangannya, dan dua tangan itu ia
sodorkan, lalu mengeluarkan hembusan angin hebat.
Hembusan angin itu telah menembus kabut tebal
sehingga merupakan pancaran dan penerangan bagi
pandangan matanya setapak demi setapak ia menyusuri
jalanan yang diliputi oleh kabut tebal, menuju ke puncak
seberang. Jikalau ia salah meraba, atau kakinya menginjak tempat
kosong dan terjatuh ke jurang dalam, habislah riwayatnya.
Dengan sangat hati-hati Touw Liong meraba-raba
jalanan yang berbahaya ketika ia mencapai ke tempat yang
dituju, oleh karena menggunakan tenaga terlalu banyak,
hingga wajahnya pucat pasi, badannya sudah basah oleh
keringat, tetapi bagaimanapun juga ia sudah berhasil
mencapai tujuannya.
Ia berdiri di depan sebuah batu aneh, dengan lengan
bajunya ia memesut keringat yang membasahi dahinya,
setelah itu ia menarik napas panjang. Di belakang sebuah
batu besar yang bentuknya aneh itu, dengan tiba-tiba
muncul seorang tua yang mukanya merah dan rambutnya
putih seluruhnya.
Ditilik dari alisnya orang tua itu yang putih dan panjang,
usia orang tua itu diantara tujuh puluh tahun atau delapan
puluh tahun, Touw Lioang menyaksikan orang tua itu yang
nampaknya berwibawa, hingga ia tahu bahwa orang tua itu
pastilah seorang tokoh luar biasa yang mengasingkan diri,
maka ia buru-buru memberi hormat.
Orang tua itu mengurut-urut jenggotnya yang panjang
dan berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Jangan rendahkan diri, Touw tayhiap, kita sebetulnya
adalah kenalan lama! Bagaimana kau memakai segala
aturan seperti ini?"
"Kenalan lama ....?" berkata Touw Liong sambil
mengawasi orang tua itu dengan perasaan terheran-heran,
Duel 2 Jago Pedang 3 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Kisah Si Rase Terbang 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama