Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Bagian 2
Sikap Thio Siau-lim tidak berubah sedikitpun, katanya berseri tawa: "Apa Lote sedang berkelakar sama aku" Aku tidak mengerti?"
"Betul, kau tidak tahu!" jengek Leng Chiu-hun dingin. Tangan kirinya tiba-tiba menggablok meja, dua kartu yang disisihkan Thio Siau-lim ke pinggir meja itu mendadak mencelat naik dan jatuh terbalik, tergeser ke atas meja. Tampak kedua kartu sama bentuk sama nomornya. Dua-duanya As.
Mata Leng Chiu-hun setajam pisau, desisnya bengis: "Terang barusan kau menang, kenapa pura-pura kalah?"
"Mataku rada lamur, mungkin aku salah lihat.", sahut Thio Siau-lim tertawa.
"Seorang laki-laki sejati berani terus terang, saudara ada keperluan apa datang ke sini?"
bentak Leng Chiu-hun: "Lebih baik bicara terus terang.... apa sengaja kau hendak menarik hatiku"
Apa maksud tujuanmu?"
Sirna senyum tawa Thio Siau-lim, katanya dengan bada berat: "Mata Leng-heng memang tajam...ya, memang cayhe kemari memang ada maksud-maksud tertentu, tapi persoalan ini bukan saja membawa untung bagi diriku, dengan pang kalianpun....." sengaja ia unjuk tawa penuh arti, secara lihay sengaja ia hentikan kata-katanya.
Tanpa berkesip Leng Chiu-hun menatapnya, sorot matanya semakin kalem dan tangan ditarik sambil melempar pisau ke atas serta ditangkapnya pula, "srettt" ia kembalikan pisau ke dalam sarungnya, katanya pelan-pelan: "Kalau begitu, kenapa tidak secara terus terang saja kau minta bertemu dengan aku?"
Thio Siau-lim tersenyum, ujarnya: "Untuk mengerjakan urusan luar biasa, harus melalui jalan yang tidak biasa pula, jikalau aku tidak membuat sesuatu sehingga Leng-heng menaruh kesan dan perhatian kepadaku, apa yang cayhe katakan Leng-heng mau percaya?"
Leng Chiu-hun berkata tawar: "Dengan tiga puluh laksa tail untuk memberi kesan itu, apa kau tidak merasa terlalu mahal?"
"Kalau persoalan bisa sukses, tiga puluh laksa tail cuma beberapa persen saja dari seluruh peruntungan yang bisa kita capai."
Muka pucat Leng Chiu-hun seketika memancarkan sinar terang, katanya: "Pekerjaan yang melanggar hukum, Pang kami selamanya tidak mau mengerjakannya"
"Walau Cayhe miskin, sedikitnya punya kekayaan ribuan laksa tail, pekerjaaan melanggar hukum dan berbahaya sekali-kali Cayhe tidak akan sudi mengerjakannya"
Tiba-tiba Leng Chiu-hun menepuk meja pula, sentaknya beringas: "Urusan ini kalau tidak melanggar hukum dan tidak menyerempet bahaya, keuntungan bakal sedemikian besarnya, kenapa tidak cari orang lain tapi justru kau mencari Pang kita?"
"Karena pekerjaan ini harus diselesaikan oleh tampilnya salah satu tianglo Pang kalian, kalau tidak bukan saja tidak terhitung kesulitan yang harus kita hadapi, boleh dikata sulit bisa berhasil"
"Siapa yang kau maksudkan?"
"Sat-jiu-su-seng Sebun Jian!"
Leng Chiu-hun perlahan-lahan membalik badan melangkah dua tindak dengan kalem pula serta duduk pelan.
"Kalau Sebun cianpwe sudi menampilkan diri, pekerjaan ini seratus persen pasti berhasil, oleh karena itu Leng-heng harus berusaha supaya Sebun-cianpwe sudi keluar untuk merundingkan persoalan ini. Setelah mendengar penjelasan Cayhe, Sebun cianpwe sendiri pasti tidak akan menampik"
"Guruku selamanya tidak gampang mau menemui tamu, katakan saja kepadaku kan sama saja"
"Untuk soal ini aku harus bicara berhadapan dengan Sebun-cianpwe"
Leng Chiu-hun tiba-tiba putar badan, bentaknya gusar: "Memangnya sengaja kau hendak mempermainkan aku"
Thio Siau-lim tertawa gelak-gelak, serunya: "Orang yang main-main dengan uang tiga puluh laksa tail mungkin belum pernah terjadi di dunia ini?"
Dengan nanar Leng Chiu-hun menatap muka orang sekian lamanya, akhirnya berkata dengan nada berat: "Kedatanganmu tidak kebetulan, guruku sekarang tidak berada di Kilam."
"Apa benar?"
"Selamanya aku tidak pernah bohong"
Lama sekali Thio Siau-lim menepekur, lamat laun sikapnya kelihatan amat kecewa, katanya menghela napas seraya menengadah:
"Sayang! sayang! Keuntungan tiga ratus laksa tail sudah di depan mata, agaknya segala rencana bakal gagal total" segera ia bersoja terus angkat langkah keluar dengan lesu.
Lekas Leng Chiu-hun memburu maju serta menariknya, katanya: "Maksudmu tiga ratus laksa?"
"Aku ini seorang pedagang, kalau tidak mendapat keuntungan sepuluh lipat, mana aku sudi menghamurkan tiga puluh laksa?"
Tergerak hati Leng Chiu-hun, tanyanya: "Sudikah kau menunggu sampai guruku pulang?"
"Urusan sepenting dan segenting ini mana bisa diulur-ulur, kecuali...."
"Kecuali?" cepat Leng Chiu-hun menegas, "Kecuali bagaimana?"
"Kecuali sebelum pergi Sebun-cianpwe ada meninggalkan pesan apa-apa, dikatakan kemana tujuannya lalu cepat kita menyusulnya ke sana, mungkin waktunya masih keburu"
Sampai detik itu, mau tidak mau Leng Chiu-hun semakin ketarik, katanya membanting kaki:
"Setiap kali suhu keluar pintu tak pernah dia meninggalkan pesan apa-apa, cuma kali ini... setelah menerima sepucuk surat, hari kedua pagi-pagi benar lantas berangkat."
Bersinar mata Thio Siau-lim, tanyanya: "Sepucuk surat" Dimana?"
Leng Chiu-hun menariknya, katanya tergesa-gesa: "Mari ikut aku?"
"Kemana?"
"Lip-te-kui-hun-jin Nyo Siong, tentunya kau pernah mendengar namanya bukan?"
"Jadi surat itu sekarang berada di tangan di rumah Nyo cianpwe?"
"Benar, kuingat sebelum guruku pergi, pernah masukkan surat itu ke dalam sampulnya pula dan diserahkan kepada Nyo susiok untuk disimpan, jikalau bisa melihat surat itu, kukira pasti bisa tahu kemana tujuan guruku"
"Tapi, apakah Nyo-cianpwe sudi memperlihatkan surat itu kepada kita?"
"Tiga ratus laksa tail, bagi siapapun asal dia manusia, jumlah ini bukan terhitung jumlah kecil"
Mereka tidak menunggu kereta, dengan jalan cepat setelah menikung dua jalanan mereka tiba di tempat tujuan.
Pada sebuah jalanan berbatu yang bersih dan tidak begitu pendek, di sini hanya terdapat enam bangunan gedung-gedung besar. Rumah kediaman Nyo Siong adalah bangunan nomor dua dari kiri.
Tak perlu Thio siau-lim memperhatikan keadaan sekitarnya, ia cukup tahu bahwa bangunan gedung-gedung besar di sekitar ini rata-rata adalah tempat tinggal hartawan-hartawan kaya raya dari seluruh Kilam, malah celah-celah papan batu antara satu dengan yang lainnyapun disapu dengan bersih. Tapi seorang berkedudukan seperti Nyo siong ini, seharusnya mendiami sebuah bangunan tunggal yang menyendiri di luar kota.
Agaknya Leng Chiu-hun meraba jalan pikirannya, segera ia menjelaskan sambil tertawa:
"Walaupun guruku rada aneh dan suka menyendiri, tapi entah mengapa, justru berkukuh untuk tinggal dalam kota, memang beliau tidak suka bicara dengan orang, tapi malah menyukai suara percakapan orang."
"Gurumu.... bukankah ini rumah ini tempat tinggal Nyo...."
"Suhu dan Nyo susiok tinggal bersama dalam satu gedung, pintu hitam pekarangan bagian luar ternyata hanya dirapatkan saja. Leng Chiu-hun langsung mendorong pintu terus beranjak masuk, pekarangan sepi dan tak terdengar suara orang.
Pelita di dalam ruang pendopo seharusnya ditambah minyak, ruang sedemikian besar hanya disinari lampu yang remang-remang menjadikan suasana terasa seram dan mendebarkan jantung.
"Biasanya Nyo-susiok suka tidur pagi-pagi" demikian kata Leng Chiu-hun. "Begitu beliau tidur, para pembantunya segera ngeloyor keluar diam-diam, terutama bila guruku tiada di rumah, mereka semakin bertingkah."
"Pelayan atau gendak masakah juga keluyuran keluar malam hari?"
"Dalam rumah ini selamanya tiada kacung dan babu"
Mereka berputar melewati ruang pendopo langsung menuju bilangan belakang. Keadaan di sini lebih senyap, pada deretan kamar di sebelah kiri sana lapat-lapat terlihat cahaya api yang menyorot keluar. Kata Leng Chiu-hun: "Aneh, apakah Nyo susiok malam ini belum tidur?"
Baru saja kaki melangkah hendak melewati deretan pohon mangga di tengah pekarangan setetes air tiba-tiba jatuh menitik di atas pundaknya, tanpa sadar ia segera mengusap dengan tangannya, cahaya api yang menyorot keluar dari jendela kebetulan menerangi tangannya, darah segar, punggung tangannya ternyata berlepotan darah.
Dengan kaget Leng Chiu-hun angkat kepala, di atas dahan pohon mangga lapat-lapat seperti terlihat seseorang sedang menggapai kepadanya. Sebat sekali ia enjot kaki melesat naik, secepat kilat pula ia mencengkeram pergelangan tangan, namun hanya sebelah tangan orang yang dipegangnya tiada yang lainnya, hanya tangan yang berlepotan darah.
Tak tertahan Leng Chiu-hun menjerit kaget: "Susiok, Nyo susiok!" tak ada jawaban dari dalam kamar.
Seperti orang kemasukan setan segera ia lompat turun dan menerjang daun pintu menerobos masuk ke dalam. Dilihatnya Nyo Siong rebah di atas ranjang seolah-olah sedang tidur lelap, hanya batok kepalanya dan rambutnya yang ubanan yang berada di luar kemul yang menutupi seluruh badannya. Tapi keadaan dalam kamar morat-marit, setiap benda berkisar dari tempatnya semula, tiga peti kayu di pinggir ranjangpun sudah jungkir balik dan terbuka.
Tanpa banyak pikir Leng Chiu-hun memburu ke dekat ranjang dan tanganpun menyingkap kemul tebal yang terbuat dari kain kapas.
Darah, badan yang berlepotan darah tanpa terlihat kaki dan tangan.
Gemetar seluruh badan Leng Chiu-hun seperti orang kedinginan, katanya seraya gemetar:
"Ngo-kui-hun-si, beginikah Ngo-kui-hun-si itu....."
Bergegas ia putar badan dan menerjang keluar pula, sebuah tangan yang lain tergantung di atas teras, darah masih menetes, kematian Nyo siong dengan badan terpotong-potong terang berlangsung sebelum melebihi setengah jam.
Agaknya Thio Siau-lim pun amat kaget dan berdiri terlongong di tempatnya.
"Cu-soa-bun tiada dendam permusuhan dengan Ngo-kui, kenapa Hiat-sat-ngo-kui menurunkan tangan jahatnya?"
"Kau.... darimana kau tahu kalau Hiat-sat-ngo-kui yang turun tangan?" tanya Thio Siau-lim.
"Ngo-kui-hun-si (lima setan membagi mayat) merupakan lambang mereka" desis Leng Chiu-hun dengan penuh dendam dan kebencian.
"Lambang kan biasanya bisa juga dipinjam orang lain untuk melakukan kejahatan"
Agaknya Leng Chiu-hun tidak mendengar ucapan Thio Siau-lim, kini ia mulai memeriksa dan mengobrak-abrik pula semua barang-barang yang ada di dalam kamar.
"Apa pula yang kau cari" surat itu terang sudah hilang" ujar Thio Siau-lim.
Memang surat itu tiada di tempatnya, hilang tanpa bekas.
Semakin pucat raut muka Leng Chiu-hun, kelihatannya begitu menakutkan, mendadak orang menubruk tiba menjambak baju Thio Siau-lim, teriaknya beringas: "Sebetulnya apa sangkut pautmu dengan peristiwa ini?"
"Kalau ada sangkut pautnya, memangnya aku bisa berada di sini?"
Dengan melotot sekian saat Leng Chiu-hun deliki orang, pegangan tangannya semakin kendor dan akhirnya terlepas, katanya dengan suara serak berat: "Tapi bagaimana kedatanganmu bisa begini kebetulan?"
"Karena beberapa hari ini aku memang sedang sebal" sahut Thio Siau-lim tertawa getir, tiba-tiba sorot matanya berputar katanya: "Kenapa kau tidak lihat ke kamar gurumu, mungkin sesuatu dapat kau temukan di sana"
Leng Chiu-hun berpikir sebentar, pelita di angkatnya terus menuju bilik sebelah timur.
Pintunyapun tidak terkunci, tianglo Cu-soa-bun yang suka menyendiri ini ternyata tinggal di sebuah kamar serba sederhana.
Di atas dinding cuma terdapat selembar gambar lukisan, bukan gambar pemandangan atau hasil seni lukis dari karya pelukis kenamaan, namun hanya selembar gambar seorang perempuan setengah badan, sedemikian hidup dan menakjubkan lukisan gambar ini. Jaman itu sulit dicari gambar orang setengah badan. Tak terasa Thio Siau-lim meliriknya dua tiga kali ke arah gambar itu, semakin dipandang semakin terasa perempuan dalam gambar sedemikian cantik jelita, sulit dikatakan dengan kata-kata. Meskipun hanya selembar gambar lukisan saja, namun seolah-olah mempunyai daya tarik yang tak bisa dilawan.
Tak tahan Thio Siau-lim memuji sambil menghela napas gegetun: "Tak nyana Subomu ini ternyata seorang perempuan cantik luar biasa"
"Sampai sekarang guru masih jejaka" sahut Leng Chiu-hun dingin.
Thio Siau-lim tertegun: "O, kalau begitu tak heran kalau dia suka tinggal bersama Nyo cianpwe, tidak heran pula di sini tidak pakai pelayan perempuan" mulutnya bicara sementara dalam hati ia membatin: "sampai sekarang Sebun Jian masih jejaka" Kenapa pula dia menggantung gambar perempuan cantik ini di dalam kamarnya" Siapa dan pernah apa perempuan ini dengan dia?"
Mungkin gambar ini hanyalah lukisan biasa saja. Tapi lukisan biasa, kenapa pula bisa digambar setengah badan"
Kini Thio Siau-lim sudah berada dalam kamar sebuah hotel, di luar jendela tampak tujuh delapan laki-laki tinggi besar yang berikat pinggang kain merah tua sedang mondar-mandir berjaga di sekeliling kamar.
Laki-laki ini selalu merubung dan membimbingnya kembali ke dalam kamarnya seolah-olah pengawal pribadinya saja. Yang benar, mereka adalah anak buah yang diutus Leng Chiu-hun untuk mengawasi gerak-geriknya.
Leng Chiu-hun sih tidak bertujuan jahat terhadapnya, cuma saja ia tidak rela dan penasaran bila tiga ratus laksa tail itu terjatuh ketangan orang lain. Tentunya Thio Siau-lim sendiripun paham akan seluk beluk ini. Tak tertahan ia tertawa geli, tawa riang yang mengandung arti.
Kalau dia benar-benar ingin melakukan sesuatu, dalam pandangannya kedelapan laki-laki ini bolehlah dianggap delapan patung kayu belaka!
Ia padamkan pelita lalu melojoti seluruh pakaian sampai telanjang bulat terus rebah di atas ranjang. Sedapat mungkin ia kendorkan kaki tangannya, kemul kapas yang bersih terasa empuk dan kasar menggesek badan, rasanya sungguh nyaman dan nikmat sekali. Lama kelamaan seluruh badannya sudah berhenti bergerak dan dalam keadaan ketenangan cuma otaknya saja yang masih bekerja.
Mendadak genting di atas kamar berkeresek dan bergerak pelahan, cahaya rembulan yang remang-remang menyorot masuk menerangi kamar yang gelap ini. Beberapa buah genteng sudah bergeser dan dipindah dari tempatnya namun sedikipun tidak mengeluarkan suara yang mengejutkan, agaknya penyatron ini adalah seorang ahli dalam perjalanan malam, gerak-gerik kakinya cekatan dan hati-hati.
Kejap lain tampak sesosok bayangan orang selicin ikan menerobos masuk, kedua tangan bergelantungan di atap rumah, menunggu sebentar setelah tidak mendengar sesuatu suara, lalu seenteng daun ia melompat turun ke atas lantai.
Thio-Siau-lim tetap rebah tanpa bergerak, mata dipincingkan mengawasi gerak-gerik orang dalam hati ia tertawa geli, kalau orang ini maling kecil, kalau dia berani datang kemari terang bahwa kakek moyangnnya dulu memang berhutang jiwa kepada dirinya, BERSAMBUNG JILID 3
Jilid 3 Di bawah penerangan sinar rembulan yang redup, tampak orang ini mengenakan kedok hitam mengenakan pakaian hitan legam yang ketat membungkus potongan badannya yang padat dan montok serta ramping, ternyata ia seorang gadis yang berpotongan menggiurkan.
Tangannya menggenggam sebilah Liu yap-to yang pendek dan ringan, sinar golok kemilau ditimpah sinar rembulan yang remang-remang, sepasang matannya yang jeli dan menyolok antara hitam dan putihnya sedang menatap orang yang rebah diatas ranjang tanpa berkedip.
Thio-siau-lim merasa amat lucu dan menarik. Memang amat menyenangkan. Gadis montok yang menggiurkan, ternyata seorang pembunuh gelap pula. Tidak sedikit kejadian yang pernah dialami Thio-Siau-lim, tapi belum pernah ada gadis menggiurkan yang coba membunuh dirinya, baru pertama kali ini.
Kuatir membuat kaget dan takut pembunuh gelap ini, ia menggores semakin keras pura-pura tidur nyenyak. Namun perempuan pembunuh ini agaknya tak ingin membunuh dia.
Dengan berjinjit-jinjit ia maju mendekat, pakaian Thio-Sia-lim yang bertumpuk dilantai dijemputnya lalu dirogohnya kantong dan diperiksa isinya, ditimang-timangnya tumpukan lembaran uang besar itu, lalu ia jejalkan kembali kedalam sakunya.
Jadi perempuan pembunuh inipun tidak bermaksud mencuri, kalau toh tidak ingin bunuh tidah mencuri lagi, memangnya apa maksud kedatangannya"
Matanya celingukan kian kemari, dilihatnya peti kayu bercat hitam dibawah ranjang, segesit kucing ia melompat kesana, sebelah tangannya dengan cekatan membuka tutup peti kayu.
Thio-Siau-lim bergerak seperti tiba-tiba terjaga dari impiannya, gumangnya: "Eh ada orang ya"
Siapa itu?"
Perempuan itu amat kaget seperti kuatir mengejutkan orang-orang diluar jendela itu. Namun ia tidak bersuara, waktu perpaling kelihatan ia mengulum senyum geli, ternyata kedoknya sudah hilang, sinar rembulan melalui lubang gebteng diatas kebetulan menyoroti mukanya, ternyata memang cantik mempesona.
Thio-Siau-lim sengaja pentang lebar-lebar kedua matanya, dia tak bersuara.
Perempuan itu unjuk senyum lebar dan manis mesra menatapnya pula dengan pandangan menarik jari-jari tangannya yang runcing halus pelan-pelan sudah merambati kancing-kancing bajunya didepan dada, satu-persatu dia membuka pakaiannya.
"Kau.... kau ini...." Thio-Siao-lim melenggong.
Lekas perempuan itu angkat jari didepan mulutnya, menyuruhnya jangan bersuara, dengan gemulai pinggannya meliuk gontai, pakaian ketat yang membungkus tubuhnya seketika melorot jatuh kebawah. Kecuali pakaian hitam itu bagian dalamnya kosong plontos tanpa secarik benangpun jua.
Cahaya rembulan seketika menyoroti seluruh badannya yang montok telanjang laksana gading.
Serasa sesak napasnya Thio-Siau-lim, disaat ia terlongong, tiba-tiba terasa badan yang padat kenyal, licin, dingin dan lembut laksana ular tahu-tahu menyusup masuk kedalam kemulnya.
Bau badannya mambawa harum sabun cendana yang semerbak, agaknya dia baru saja mandi. Harum sabun yang wangi sedap baunya, tapi anahnya, waktu bau wangi ini terau dari badannya, cukup membuat nafsu birahi seorang laki-laki sirna tanpa diketahui kemana perginya.
Badanya yang licin dan berminyak bagai ular sudah membelit badan Thio-Siau-lim.
Thio-siau-lim menggumang melonggo: "Tengah malam buta rata, memdadak ada seorang gadis cantik, membuka polos pakaiannya, menyusup kedalam kemul, cerita macam ini mungkin seorang pengarang cerita porno yang paling brutalpun takkan bisa menuliskannya seperti ini?"
Gadis itu rebah dipinggir telingannya, katanya berbisik sambil cekikikan geli: "Seorang laki-laki ketiban rejeki sebesar ini, memangnya masih belum puas?"
"Apa kau ini siluman rase" Atau setan?"
"Ya, memang aku ini siluman rase, aku hendak mencekikmu sampai mati."
Mendadak gemetar sekujur badan Thio-Siau-lim, katanya: "Bicara terus terang, hatiku takut setengah mati!"
Gadis itu pelan-pelan mengelusnya, katanya tertawa genit: "Jangan takut, seumpama rase menjadi siluman, dia tetap mempunyai ekor, coba kau raba pinggangku, apa ada ekornya tidak" ia tarik tangan orang.....
"La.....lu, siapa kau sebenarnya?"
"Leng kongcu kuatir kau kesepian, sengaja mengutus aku kemari untuk menemani kau, sekarang kau boleh lega hatilah?"
"Leng kongcu memang baik hati, kau tidak kalah baiknya, apapun yang kau inginkan, pasti kuberikan."
"Aneh, biasanya Leng-kongcu bersikap dingin kaku, kenapa terhadap kau sebaliknya"
Memangnya....ada sesuatu permintaan apa-apa terhadapmu?"
"Em..."
Gadis itu merapatkan badannya, reaksinya sungguh amat mendebarkan jantung, katannya:
"Orang baik, katakan kepadaku apakah yang sedang kau rundingkan dengan dia?"
"Ai...."
Meliuk-liuk pinggang sigadis, katannya berbisik: "Malam ini agaknya Leng-kongcu amat sibuk, apakah terjadi sesuatu"... Tiga orang Tiang-lo yang bertempat tinggal dirumah Ciangbunjin itu kenapa tidak tampak bayangannya?"
Agaknya gadis itu jadi uring-uringan, katanya aleman sambil mendorong dada orang: "Diajak bicara diam saja, baik! aku tidak mau hiraukan kau lagi."
"Sekarang bukan saatnya untuk bicara"
"Tapi sekarang kau harus...." belum lenyap suaranya mendadak si gadis rasakan seluruh badan kejang linu, kaki tangannya tak mampu bergerak lagi. Baru sekarang dia betul-betul kaget, teriaknya tertawa: "Kau.... apa yang kau lakukan?"
Tiba-tiba Thio-Siau-lim bangun berduduk katanya sambil berseri tawa mengawasinya: "Kau beritahu aku dulu, siapa kau" Setelah itu baru kejelaskan tentang diriku."
"Bukankah tadi sudah kuberitahu, Leng kongcu yang suruh aku kemari?"
"Orang yang diutus Leng-kongcu, mana mungkin merambat turun dari atas genteng."
Biji mata yang indah itu kini menyorotkan rasa ketakutan serunya: "Kau.... jadi kau sudah melihatnya tadi?"
"Harus disayangkan, tak sengaja aku tadi melihatnya."
"Kau, kenapa tadi kau tidak bersuara?"
"Kau kan tidak suruh aku bicara" Apalagi aku hanya tidak senang rahasiaku diselidiki orang tetapi gadis jelita handak buka baju telanjang dihadapanku, memangnya amat kebetulan malah bagi aku."
"Kau...... kau bangsat bangor ini" maki si gadis mendesis gusar.
"Sekarang, tibalah saatnya kau mengaku terus terang."
Gadis itu melotot matanya, suaranya serak saking gusar" "Ingin rasanya kubunuh kau!"
"Tidak mau bicara?"
Berkeriut gigi si gadis, "Kalau tidak kau bunuh aku, kelak pasti akan menyesal"
"Baik, kau tidak mau bicara, orang lain pasti bisa memaksamu bicara" mendadak ia gulung tubuh orang dengan kemul kapas itu terus berteriak-teriak keras: "Tangkap maling...." tangkap mata-mata!"
keruan pucat pias selembar muka sigadis, sungguh mimpipun ia tidak menyangka orang tega hati, memperlakukan dirinya sekeji ini.
Sekejap saja orang diluar pintu sudah menerjang masuk, bentaknya bersama: "Dimana mata-matanya?"
Thio Siau lim menuding gadis diatas ranjang katanya: "Tuh disana, lekas bawa ketempat Leng kongcu kompes keterangan asal usulnya!"
Kaget dan girang pula para laki-laki itu, namun mereka toh menjingjing gulungan kemul kapas itu beramai-ramai.
Badan si gadis tak mampu bergerak, namun mulutnya bisa mencaci maki. "Kau binatang, kau anjing, kau.... akan modar tanpa liang kubur...."
Pelan-pelan Thio-Siau-lim menggaruk hidungnnya katanya menggumang: "Ada orang anggap aku hidung belang, aku bisa menerimanya tapi kalau ada orang hendak anggap aku ini seorang pikun, terpaksa aku harus memberi hajaran kepadannya.
Lin-yap-to itu masih menggeletak diatas lantai. Thio-Siau-lim menjemputnya dan ditimang-timang dan diawasi, katannya mengerut kening: "Jadi perempuan ini orang Thian Sing pang"
Bagaimana mungkin Thian Sing pang berada sisini." sesaat lamanya ia menerawang lalu ia kenakan pakaiannya, sedikit pundaknya terangkat, tiba-tiba badannya meluncur keluar dari lobang diatas genteng.
Sesaat lamanya ia mendekam diatas genteng, setelah meneliti keadaan sekelilingnya mulutnya menggumam sendiri: "Dia datang dari sebelah timur, jadi Thian Siang pang berdiam disebelah timur." segera ia kembangkan ilmu entengi tubuh dari wuwungan rumah kewuwungan rumah yang lain, seperti mega yang mengembang berada dibawah kakinya angin malam nan dingin menghembus lewat membasahi mukanya.
Bentuk wuwungan satu sama lain berbeda, demikian penghuni dari rumah-rumah dibawah sama juga, terdiri dari orang-orang yang berlainan pula sifat dan kesenangannya, dengan aneka ragam kehidupan juga, namun siapa pula yang dapat membandingi dirinya hidup dalam kehidupan yang aneka ragam itu.
Malam semakin berlarut sepekat tabir malam suasanapun lelap rumah-rumah itu sedang tenggelam dalam kegelapan, kadang kala terdengar jerit tangisan orok-orok yang terjaga ditengah malam atau suara senda gurau suami istri yang bermain diatas ranjang......
Kecuali suara-suara riang gembira ini, tentunya ada kalanya terdengar juga suara cacimaki dari mulut yang penasaran. Suara kecing menubruk tikus. Suara ngorok laki-laki gendut yang tidur nyenyak, serta dadu yang jatuh kedalam mangkok dengan suara ketokan yang nyaring.
Diwaktu malam berlalu diatas wuwungan rumah orang sungguh merupakan suatu kesenangan yang lain dari pada yang lain, terasa keunggulan yang tak mungkin dibandingi. Perasaan seperti inilah yang paling dia sukai.
Tiba-tiba dilihatnya cahaya lampu menyorot terang dipekarangan didepan sana namun ditempat gelap dimana sorot lampu tidak mencapainya, seakan-akan tampak kemulau sinar golok dan bayangan orang yang mendekam disana.
Tiba-tiba Thio Siau-lim hentikan luncuran badannya, gumangnya: "Mungkin disinilah tempatnya." sebat sekali ia menyembunyikan diri dibelakang wuwungan, sesaat lamanya ia meneliti keadaan sekitarnya. Dilihatnya seorang berjalan keluar dari dalam rumah, katannya setelah berludah: "Apa Sam-kohnio belum kembali?"
Laki-laki tegap ditempat gelap dipojokan sana segera menyahut: "Belum kelihatan"
Orang itu menggeliat pinggangnya, katannya ragu ragu: "aneh mungkinkah terjadi sesuatu?"
"Mengandalkan kecerdikan Sam-moay, yakin takkan terjadi apa-apa."
Mendadak Thio Siau-lim melemparkan Liu-yap-to itu kebawah seraya menbentak: "Sam-moaymu itu sudah terjatuh ke Pang kita, kalian tunggu saja akibatnya!" "Trap!" Liu-yap-to itu menancap didaun pintu!
Dari dalam rumah beruntun melesat bayangan orang laksana pedang yang disampitkan, ia mengenakan pakaian ketat warna hitam, tangannya menggenggam sebatang pesang yang kemilau memancarkan cahaya hijau.
Melihat gerakan orang, kembali Thio Siau-lam dibuat kaget. "Kepandaian orang ini agaknya lebih tinggi dari Chit-sing-toh-hun Cou Yu-cin. dari mana Thian-sing-pang mempunyai tokoh kosen tersenbunyi seperti dia ini?"
Seenteng asap cepat sekali ia melesat pergi, bayangan hitam itupun mengejar kencang dan ketat dibelakangnya. Sengaja dia memperlambat larinya sambil berpaling kebelakang.
Dibawah penerangan sinar sembulan, dilihatnya muka laki-laki ini seperti mayat hidup. Tapi sepasang matannya yang sipit laksana bintang kejora yang menyorot terang, selintas pandang lebih menakutkan dari kilauan pandangannya.
Baru saja Thio Siau lim menghentikan langkahnya, lelaki baju hitam itu sudah menerjang tiba, dimana sinar pedang menari berterbangan. "Sret, sret, sret" berputaran beberapa kali, dalam sekejap saja orang sudah menusuk tiga kali.
Ketiga tusukan pedang ini bukan saja cepat lagi tepat, sasaran yang ditusuk tak lepas dari tempat-tempat mematikan dibadan Thio Siau-lim, mungkin ilmu pedangnya belum boleh dikatakan sudah mencapai puncak kesempurnaannya, namun serangannya amat ganas dang telengas, jarang dicari tandingan sekeji seperti dia ini dalam dunia persilatan. Sorot matanya memancarkan kebencian, kekejaman dan sinar buas seperti srigala kelaparan, seakan-akan hobbynya yang terbesar selama hidup ini adalah membunuh orang, tujuan hidupnyapun demi membunuh orang.
Gaya permainan pedangnyapun amat aneh, sikutnya keatas, kelihatannya ia cuma mengandalkan kekuatan pergelangan tangan untuk menusukkan pedang. Bila saatnya tidak diperlukan, selamanya tidak pernah dia menyia-nyiakan sedikitpun tenaganya.
Melihat raut muka orang seperti mayat hidup, menyaksikan permainan dan gaya serangan pedang yang aneh dan lucu ini, mendadak tergerak hati Thio-Siau-lim, teringat olehnya akan seseorang.
Dengan lincah dan cara yang aneh sekali pergelangan tangan orang itu bergerak dengan gesit dan enteng, sinar pedang menusuk keluar dari lengan kanannya, seperti percikan kembang api layaknya, tiada seorangpun yang mendapat meneliti gerak perubahannya.
Dalam selintasan kilat beruntun ia menusuk tiga belas kali, sementara Thio-Siau-lim telah melampaui empat wuwungan rumah, sinar pedang laksana ular jahat membelit badanya, namun sejauh itu tidak berhasil menyentuh ujung bajunyapun.
Itulah gaya gerakan pedang yang lebih cepat dari sambaran kilat, namun gerakan badan yang jauh lebih cepat pula dari kilat dipamerkan oleh Thio-Siau-lim. Waktu tusukan keempat belas dilancarkan mendadak tersendat terhenti satu kaki didepan tenggorokan Thio-Siau-lim.
Gerak tusukan pedangnya boleh dikatakan teramat cepat dan deras, batang pedangnyapun amat wajar dan enteng saja, batang pedangnya bergeming seilipun tidak, gerakan badan Thio-Siau-lim yang meluncur secepat kilat itu mendadak berdiri dihadapan muka, seolah olah sama-sama membeku ditengah udara.
Terpancar sorot aneh dari biji mata dari laki baju hitam ini, katanya tegas: "Kau bukam murid Co-soa-bun, lagu suaranyapun ganjil dan lain dari pada yang lain, dingin, rendah berat, serak, pendek, kedengarannya bukan kata-kata yang keluar dari tenggorokan manusia, walaupun suaranya rendah datar, namun membawa daya kekuatan yang menusuk sanubari orang, sehingga orang sulit melupakan setiap patah kata yang pernah dia ucapkan.
Thio Siau-lim tertawa, katanya: "Darimana kau tahu kalau aku bukan murid Cu-soa-bun?"
"Murid Cu-soa-bun tiada seorangpun yang bisa meluputkan diri dari tiga belas tusukan pedangku."
"Sudah tentu kau bukan orang Thian sing-pang."
"Tidak salah!" sahut laki-laki baju hitam. Lenyap suaranya, pedangnya yang terhenti ditengah jalan mendadak menusuk datang pula. Betapa cepat tusukan ini sungguh luar biasa, begitu pedang menusuk. hakikatnya jarang dicari orang yang dapat meluputkan diri dari tusukan pedang yang hanya berjarak satu kaku saja.
Tapi hebat memang kepandaian Thio siau-lim, sebelum pedang orang bergerak, tahu-tahu ia sudah berkelebat mundur tiga kaki, walau orang hendak menusuk tenggorokan Thio Siaulim,sedikitpun ia tidak jadi marah, malah katanya tertawa: "Kalau kau toh bukam murid Thian-sing pang, akupun bukan murid Cu soa bun, kau dan aku boleh dikata selamanya tidak saling kenal, kenapa kau harus membunuh aku?"
Ucapannya belum cukup tiga puluh kata namun dilontarkan dengan cepat sekali, namun laki-laki baju hitam sudah menusukkan tiga puluh enam serangan pedangnya pula, gaya serangan yang ganas lebih keji. Biasanya dia tidak suka banyak bicara, karena sebelum ia bicara pedang ditangannya sudah memberikan jawaban yang sekak-aos. Mati! Itulah jawaban yang biasa ia berikan kepada orang.
"Ilmu pedang kilat, ilmu pedang yang ganas keji, memang tidak malu dijuluki pedang cepat nomor satu dari Tionggoan.... hebat memang pedang menyapu sukma tanpa bayangan setitik merah dari Tionggoan."
Tiada jawaban, setelah tiga puluh enam tusukan, tigapuluh enam tusukan melandai pula mengancam tenggorokannya.
Selama itu Thio Siau-lim tidak pernah balas menyerang, mukanya mengulum senyum simpul, katanya: "Kalau kau ingin pinjam tangan membunuh orang, carilah It-tiam-ang(setitik merah)....
kabar di Kangouw, masa ada yang mau mengeluarkan harga tinggi, seumpama teman baik atau darah daging sendiri, kaupun hendak membunuhnya, apa benar kabar yang kudengar ini?" habis kata katanya ini, tiga puluh tusukan pedang yang ketiga kalinya sudah dilontarkan pula.
Kata Thio Siau-lim menghela napas: "sudah tentu lama kudengar perihal sepak terjangmu, sayang kau tidak mau buka suara, sebetulnya ingin aku mengobrol dengan kau, bukankah ngobrol lebih nikmat dan aman dari pada mengayun golok mempertaruhkan jiwa menimbulkan banjil darah."
Pedang panjang It tiam-ang mendadak berhenti pula, sorot matanya yang tajam menyedot sukma orang kembali menatap Thio Siau lim, mendadak ia menyeringai tawa menunjukkan baris giginya yang putih, katanya: "Maling kampiun suka mengasih sukma, malam hari suka meninggalkan bau harum....jadi kau ini Coh Liu-hiang!"
Kali ini ganti Thio Siau lim yang melengak kaget, katanya tertawa geli: "Siapa yang kau maksud Coh Liu-hiang itu?"
"Kecuali maling kampiun Coh Liu-hiang yang meluputkan diri diri dari seratus empat puluh empat tusukan pedangku tanpa membalas, masih tetap tersenyum lagi, kukira sukar dicari keduanya dikolong langit."
"Terkaanmu memang benar" Thio Siau-lim tertawa besar. "Memang aku tidak senang menggunakan kekerasan, bunuh membunuh mengalirkan darah, merupakan perbuatan goblok mannusia yang utama."
Berkilat sorot mata It tiam-ang, tanyanya: "Selamanya kau tidak pernah membunuh orang?"
"Kau tidak percaya?"
"Kau selamanya tidak pernah membunuh orang, dari mana kau bisa tahu betapa nikmatnya membunuh orang?"
"selamanya kau belum pernah terbunuh, tentunya belum bernah merasakan betapa derita jiwa seseorang yang dibunuh, kalau seseorang membangun kesenangan hati sendiri diatas kesengsaraan orang lain, orang macam itu kukira tidak berguna lagi."
Kembali terpancar percikan api yang menyala dari biji mata It-tiam ang. Belum lagi ia bersuara, tiba-tiba terdengar seseorang membentak: "It-tiam-ang, hayo serang! Kenapa kau tidak turun tangan?"
Ternyata baru sekarang murid-murid Thian sing-pang menyusul tiba, empat lima orang berdiri diatas wuwungan empat tombak jauhnya, hanya seorang laki-laki kekar yang melompat maju berdiri lebih dekat, serunya sambil benting kaki:
"Kami keluar uang mengundang kau, bukan mengundangmu untuk putar bacot melulu."
It-tiam-ang melirikpun tidak kearah orang itu, malah Thio-Siau-lim yang unjuk senyum, katanya: "Mengandalkan ilmu pedangnya yang hebat itu, entah berapa uang yang perakmu untuk membeli sekali tusukan pedangnya?"
Laki-laki tegap berbaju sutra itu tertawa dingin, jengeknya: "Keluar dua ketip perak saja sudah terlalu banyak, orang suka mengagulkan bagaiman lihaynya It-tiam-ang, siapa tahu kiranya dia hanyalah seorang lemah yang tidak berani bertindak."
Baru saja kata kata "lemah" diucapkan, sinar pedang mendadak berkelebat, belum lagi mengutarakan jeritan suaranya. Laki-laki itu sudah terjungkal jatuh. Thian-toh-hiat ditenggorokannya berlobang dalam mengeluarkan setitik darah.
Cuma setitik darah segar.
Dibawah penerangan sinar bintang, tampak kulit daging mukanya berkerut-kerut kejang, selembar mukanya dihiasi butiran keringat sebesar biji kacang, meski sudah kerahkan setaker tenaganya, suaranya tak terdengar pula dari lehernya. namun terdengar dari napasnya yang ngos-ngosan seperti binatang hendak disembelih.
It-tiam-ang, setitik merah yang teramat lihay, sampai membunuh orangpun tak sudi mengeluarkan banyak tenaga, kebetulan telah menusuk tempat yang mematikan, sekali tusuk kebetulan menamatkan jiwa orang, setengah milipun pedang itu tidak menusuknya lebih dalam.
Pelan pelan ujung pedang It-tiam-ang terjulur kebawah. ujung pedangnyapun terdapat setitik darah, dengan sinar sorot matanya menatap titik darah itu, tanpa angkat kepala, katanya kalem:
"Orang yang hidup, tiada seorangpun yang bisa memakiku sebagai orang lemah.
Derit napas ngos ngosan lama kelamaan semakin lemah, raut muka murid Thian sing-pang itu sudah pucat tak berdarah lagi, akhirnya napaspun berhenti.
Kata Thio-Siau-lim menengadah menghela napas: "Bagus benar membunuh tanpa kelihatan darah, setitik merah diujung pedang." pelan pelan ia merogoh keluar secarik sapu tangan sutera putih, lalu ditutupkan diatas muka laki laki itu.
Baru sekarang para murid Thian sing pang berkoak mencaci maki: "It-tiam-ang, kau." biasanya mengutamakan keadilan dan kesetiaan, kenapa hari ini...."
It-tiam-ang segera menukas dengan kasar: "Aku hanya menjual pedang, bukan orang siapapun bila dia menghina aku, maka dia harus mati!"
Murid-murid Thian sing pang banting kaki dan mendamprat: "Kita sewa kau untuk membunuh orang, kenapa kau tidak berani turun tangan kepadanya?"
Sekilas It-tiam-ang melirik kepada Thio Siau-lim, katanya kalem: "Kalian minta aku untuk menghadapi Cu-soa-pang saja, orang ini sebaliknya bukan murid Cu-soa-pang" "Sret" pedang tersarung kembali kedalam serangkanya, sigap sekali ia melompat turun kebawah terus tinggal pergi.
Sungguh gusar dan kaget murid-murid Thian sing-pang, mendadak seorang membentak:
"Orang inilah yang semalam sekongkol dengan Leng Chiu-hun, orang ini pula yang tadi di cari oleh Sam kohnio"
"Benar, sahut Thio-Siau-lim. "Kalau sekarang kalian hendak memukul dia, lekas kalian susul ke Kwi-gi-tong,..." belum lenyap suaranya tiba-tiba berkelebat, waktu para murid Thian-sing-pang menubruk datang, bayanganya sudah jauh puluhan tombak.
Lima belas lentera yang terbuat dari tembaga, oleh tangan ahli disusun sedemikian rupa, menyerupai bentuk budur, sebelah atapnya ditutup oleh kap lampu yang terbuat dari tembaga bundar berlobang-lobang pula, maka sorot lampu terkumpul pada satu sasaran lobang sehingga memancarkan cahaya terang yang menyolok mata
Bentuk lampu yang aneh ini sebetulnya ditaruh diatas meja judi yang beralas kain beludru warna hijau, namun meja judi panjang lebar dan besar itu, kini digunakan sebagai tempat kompes oleh Leng Chiu-hun. Ternyata gadis yang digulung kemul kapas oleh Thio Siau-lim itu terikat kencang diatas meja kompes itu, sorot lampu yang terang itu tertuju kemukanya yang pucat dan cantik itu.
Kedua matanya melotot lebar, kelopak matanya membesar bundar, semangatnya runtuk dan loyo seolah-olah dalam keadaan tidak sadar, terdengar mulutnya sedang kumat-kamit menggumam: "Aku she Sim, bernama San-koh..., aku she Sim....bernama San-koh.... aku murid Thian sing-pang... aku murid Thian-sing-pang,..."
Leng Chiu-hun bercokol diatas kursi besar dipinggir meja judi itu mukanya kaku dan membeku, sedikitpun tidak menunjukkan perasaan, cuma sorot matanya menyurutkan senyum ejek yang keji.
Baru saja Thio Siau-lim melangkah masuk segera menggeleng kepala dan katanya menghela napas: "Serigala betina yang licik ini, agaknya berubah menjadi domba yang jinak. Apa sekarang dia sudah mau buka mulut?"
Leng Chiu-hun tertawa tawar, ujarnya "Perempuan yang lahirnya keras dan kukuh bahwasanya terkadang melempem dan tak punya pendirian, seseorang bila ingin perempuan menyingkap rahasianya, tentunya laki-laki itu seorang pikun"
"Urusan yang berbahaya seperti ini, memang tidak cocok dilaksanakan oleh kaum hawa, didalam dapur atau dipinggir ranjang barulah tempat yang cocok bagi mereka. Sayang perempuan yang pintar, justru tidak paham akan teori ini."
"Thio-heng masih ingin tanya apa kepadanya?" tanya Leng Chiu-hun tertawa sadis, matanya melirik kepada Thio Siau-lim, katanya pula: "Seumpama sekarang kau bertanya dulu dia mempunyai berapa gendak, pasti dia akan menjelaskannya."
Thio Siau-lim batuk-batuk kering, ia maju mendekat serta membungkuk mengawasi Sim-San-koh, katanya: "Apa kau masih kenal aku?"
Dengan lemah dan lesu Sim Sam koh membuka kelopak matannya, mendadak ia tertawa cekikikan, sahutnya: "Tentu aku masih kenal kau, kau adalah seorang kekasihku, yang paling memberi kenikmatan kepadaku, tapi kau adalah bajingan, seekor binatang...."
Leng-Chiu-hun tertawa terbahak-bahak, serunya: "Bisa dimaki sebagai binatang oleh perempuan seperti ini, Thio-heng tentunya kau memang seorang akhli yang jempolan dalam bidang itu. "Binatang" dimulut perempuan ada kalanya mempunyai makna yang jauh lebih berarti."
Dengan tertawa kecut Thio Siau-lim meraba hidungnya, tanyanya pula: "Kenapa kau hendak menyelidiki rahasiaku?"
Sim San-koh menjawab: "Karena gerak-gerikmu waktu mencari Leng Chiu hun amat mencurigakan, entah rahasia apa yang sedang kalian rundingkan?"
"Memangnya sepak terjangku ini ada sangkut pautnya dengan fihak Thian-sing-pang kalian?"
"Tentu ada sangkut pautnya, kali ini Thian-sing-pang meluruk ke Kilam, tujuannya memang hendak mencari Cu-soa-pang, Leng Chiu-hun, justru seorang murid Cu-soa-pang yang mempunyai kekuasaan penting."
Leng Chiu-hun terkekeh 'tawa', selanya "Cu-soa-bun biasanya tiada bermusuhan dengan Thian-sing-pang, kenapa Thian-sing-pang hendak mecari gara-gara?"
Sim-san-koh menjelaskan: "Karena Thian-sing-pang Pangcu Chit-sing-toh-hun Coa Yucin mendadak hilang, sebelum dia berangkat hendak mencari Sat-jiu-eng Se-bun Jiang dari Cu-soa-bun."
Berkilat mata Thio Siau-lim tanyanya "Tahukah kau untuk apa dia mencari Sebun Jian?"
"Tidak tahu."
"Apakah Co-yu cin biasanya ada ikatan persahabatan dengan Sebun Jian?"
"Selamanya tiada hubungan sama sekali"
"Tahukah kau bahwa Sebun Jian sekarang sudah menghilang?"
"Tidak tahu."
Semakin kencang kerut alis Thio Siau-lim, agaknya dia sedang memeras otak memikirkan persoalan pelik.
Mendadak Leng-Chiu-hun membentak bengis:
"Peristiwa ngeri yang terjadi dalam perguruan kita, apa ada sangkut pautnya dengan Thian sing-pang?"
"Peristiwa berdarah apa. Sedikitpun aku tidak tahu!"
Leng Chiu-hun mengerling kearah Thio Siau-lim. Kata Thio Siau-lim: "Sebelum Cu Yu cin keluar pintu, apakah dia pernah menerima sepucuk surat?"
Sim-San-koh berpikir sebentar, sahutnya: "Ya, tidak salah!"
Bersinar mata Thio Siau-lim, tanyanya: "Tahukah kau dimana surat itu sekarang disimpan?"
Kembali Sim Sin-koh berpikir dulu baru menjawab: "Ciangbujin menyerahkannya ke pada Ji-suheng."
"Siapa suhengmu?"
"Thian jiang sing Song Kang."
"Dimana dia sekarang?"
Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia masih di Jiciu mencari derma untuk membayar It-tiam-ang, malam ini pasti dia sudah menyusul datang."
"Tiong goan It-tiam-ang?" seru Leng Chiu-hun kaget dan tersirap darahnya. "Apakah pembunuh bayaran yang berdarah dinging itu" Kenapa Thian sing-pang sudi memberi bayaran mahal kepadanya?"
Sim-san-koh tertawa kaku, katanya: "Karena kami harus menghadapi Cu-soa-bun kalian.
Jikalau terbukti kalian ada membunuh Ciangbujin kita, maka tugasnya adalah membunuh kalian satu-persatu sampai habis!"
Raut muka Leng Chiu-hun yang pucat semakin memutih tak berdarah, jari-jari tangannya yang runcing halus, tak henti-hentinya menggosok gagang golok dipinggir pinggangnya, tanyanya:
"Berapakah upah yang kalian berikan kepadanya?"
"Satu laksa tail, setiap kepala orang yang dibunuhnya ditambah satu ribu tail bila berhasil membunuh kau Leng Chiu-hun, nilainya adalah lima ribu tail!"
Seketika Leng Chiu terloloh-loloh seperti orang sinting, katanya: "Bagus, baru sekarang aku tahu bahwa jiwaku ternyata dinilai lebih mahal dari orang lain, tetapi lima ribu tail bukan jumlah yang banyak, aku malah bisa membayar dia selaksa tail.......atau dua laksa tail."
"It-tiam-heng biasanya mengutamakan kesetiaan dan dapat dipercaya, asal dia sudah menerima kontrak kami, seumpama kau berani membayar sepuluh lipat dari upah yang kami berikan, dia tidak akan sudi menerimannya."
Tawa Leng Chiu-hun tiba-tiba terhenti, jari-jarinya menggenggam kencang gagang goloknya, matanya tertuju kelaur jendela, seakan akan takut It-tiam-ang yang serba misterius dan menakutkan itu sembarang waktu akan menyerang masuk.
Seperti orang linglung Sim San-koh tertawa memandang Thio Siau-lim, katanya: "Sebetulnya siapa namamu" Seharusnya kaulah yang menggunakan nama Thian Jiang-sing, Ji suhengku meski bergelar Thian jiang sing mana dia berbadab kekar dan kuat seperti kau?"
Thio Siau-lim ulurkan jarinya menotok Hia-to tidurnya, katanya menggumang: "Anak perempuan tidak boleh banyak bicara. Kalau berubah menjadi perempuan cerewet, mungkin kau tidak laku kawin. Perempuan yang tidak payu (laku) kawain, selamanya tidak sudi aku melihatnya dalam dunia ini jikalau tiada perempuan yang tidak payu kawain, persoalan buruk tentu takkan sebanyak ini"
o0o SIM SAN KOH akhirnya tidur dengan nyenyak.
Mata Leng Chiu-hun masih menatap keluar jendela, mulutnya komat-kamit: "Tionggoan It-tiam-ang.... sampai dimanakah kecepatan perdangnya" Benarkan dia sejahat dan keji seperti yang tersiar diluaran" Memangnya dia benar."
"Leng-heng tidak perlu banyak pikiran" tukas Thio Siau lim "Yang terang kau segera akan berhadapan dengan dia!"
Tiba-tiba Leng Chiu-hun bejingkrak bangun seperti disengat kala, teriaknya: "Segera dia akan datang?"
Kalau dia ingin datang tentunya sudah datang
Jari Leng Chiu-hun yang menggenggam gagang golok sudah memutih kencang mendadak ia menggebrak meja, serunya keras: "Baik, biar dia datang! Seumpama maling kampiun Coh Liu Hiang datang juga, belum tentu aku gentar terhadapnya memangnya kenapa aku harus jeri menghadapi Tionggoan It tiam ang?"
Thio Siau lim tersenyum simpul: "Apakah Coh Liu-hiang lebih menakutkan dari Tionggoan It-tiam-ang?"
"Dalam kolong langit ini, siapa pula yang lebih menakutkan dari Coh Liu-hiang?"
"Menrut apa yang kutahu, sedikitpun Coh Liu-hiang tidak perlu dibuat takut, bahwasanya dia seorang bijaksana, bajik dan baik hati, mungkin tiada orang yang lebih baik dalam dunia ini kecuali dia."
Sungguh menggelikan...... sungguh aku belum pernah dengar kata-kata lucu yang menggelikan seperti ini, seumpama Coh Liu-hiang sendiri mendengar ucapanmu, mingkin giginya akan protol saking geli.
Thio Siau-lim menghela napas katanya tertawa getir: "Manusia, memang amat aneh, ada kalanya dia lebih percaya obrolan orang lain yang bohong malah tidak percaya omongan jujur"
Sekonyong-konyong, genteng diatas ruang pendopo itu berderak.
Gelak tawa Leng Chiu-hun seketika sirap seluruh badannya seketika mengejang tegang laksana pelor yang dipasang busur dan dijepretkan, badanya melenting kepinggir jendela, serunya lantang: "Sahabat diluar sudah tiba Kwigi-tong, mari silahkan turut!"
Sementara Thio Siau-lim pelan-pelan membuka pintu, berjalan keluar pelan-pelan, katanya tertawa: "Kalau kalian kemari hendak bekelahi silahkan cari dia, jikalau ingin mengadu untung, Cayhe malah melayani."
Luar gelap pekat hanya disinari bintang-bintang kelap-kelip, namun kelihatan diatas atap rumah berjejer bayangan orang yang berkumpul menjadi satu, agaknya sedang merundingkan sesuatu, lalu melompat lima orang laki-laki, namun seorang lagi sedang berdiri dipinggir atap sana sambil menggendong pedang, sikapnya sangat acuh tak acuh seperti tidak terjadi apa-apa, namun sepasang matanya laksana mata srigala memancarkan sinar terang, dikegelapan malam, Thio Siau-lim melihat jelas orang yang itu adalah Tionggoan It-tiam-ang."
Salah seorang laki-laki yang turun lebih dulu berpakaian kencang, selebar mukanya jambang bauk, namun ukuran badannya yang kurus kering tidak setimpal dengan jenggot kasarnya itu, diantara kelima orang ini Gingkangnya jauh lebih tinggi dari empat yang lain, begitu menginjak bumi dengan tanjam segera ia menatap Thio Siau-lim, katanya bersoya: "Apakah tuan yang menjadi majikan rumah ini?" tampak tapak tangannya terangkap dibagian luar, pada jari tengah dan jari tak bernama masing-masing mengenakan tiga cincin baja warna emas hitam.
Thio Siau-lim tertawa, sapanya: "Apakah tuan ini Thian jing-sin Song Kang?"
"Ya" sahut laki-laki jambang bauk.
Thio Siau-lim menyingkir kesamping katannya tertawa: "Majikan dari rumah ini sudah menunggu didalam, silahkan!"
Leng Chiu-hun kembali duduk diatas kursi besar dipinggir meja judi itu. Golok panjangnya yang berkilau sudah terlolos keluar, ujungnya mengancam leher Sim San-koh, dengan dingin ia sambut kedatangan Song Kang katanya sinis: "Sungguh kebetulan kedatangan Song jisiansing, aku berhasil menangkap seorang maling perempuan, kalau Song jisiansing ada minat, silahkan tampil kedepan untuk mengompes keterangan bersama.
Song Kang berdiri membelakangi pintu, raut wajahnya yang bundar membeku besi itu kini sudah melar menjadi warna abu-abu, entah dia harus menerjang maju melabrak orang ataukah bertindak menurut gelagat. Sulit dia mengambil keputusan.
Leng Chiu-hun gelak-gelak ujarnya: "Song jisiansing apakah pakaianmu terlalu sempit, menahan napas sampai merah padam mukamu agaknya kau harus mencari tukang jahit yang lain, bolehlah Cayhe perkenalkan seorang tukang jahit yang pandai kepada Song jisiansing."
Murid-murid Thian-siang-pang berings gusar, serempak mereka menyerbu masuk. Tiba-tiba Song Kang membalikkan tapak tangan ia pukul terjungkir keluar pintu seorang yang menerjang paling depan, seperti tidak terjadi apa-apa lekas ia rangkap tangan dan berkata dengan tawa dipaksakan: "Ini...kukira terjadi salah paham."
"Salah paham?" Leng Chiu-hun angkat alinya.
"Orang yang terancam diujung golok Leng kongcu adalah Sunoyku."
"Wah, aku bertindak kurang hormat malah kalau Sumoymu suka memberi tahu asal-usulnya, mana berani Cayhe bertindak kurang ajar" Mulutnya bicara sungkan, namun ujung goloknya tetap mengancam dileher Sim San-koh, sedikitpun tiada maksud membebaskan tawanannya.
Kelihatanya betapa prihatin dan gugup pada roman muka Song Kang, katanya pula dengan tertawa dipaksakan: "Kalau saudara sudi membebaskan Sumoyku, Pang kami akan berterima kasih dan hutang budi."
"Hubungan antara laki perempuan, jikalau sampai keliwat batas, memang sukar mengelabui mata orang lain." ujar Leng Chiu-hun tertawa besar.
Akhirnya berubah juga air muka Song Kang sentaknya: "Apa katamu?"
"Aku berkata demi Sumoymu, yang romantis ini, Suheng sendiri sudah kulupakan." demikian olok Leng Chiu-hun.
Semakin merah dan padam raut muka Song Kang, katanya tersendat:
"Sumoyku........Suheng...."
Leng Chiu-hun mendadak berjingkrak berdiri, bentaknya bengis: "Seorang laki-laki bicara terus terang, biar aku jelaskan kepadamu persetan dengan mati hidup Cou Yu-cin atau kemana dia telah pergi, Cu soa-hun tidak pernah tahu menahu, tentang Sumoymu ini, kau ingin membawanya pergi, kukira tidak sedemikian gampang."
Song Kang mengepal kencang kepalannya, tangannya gemetar: "Kau........... apa keinginanmu."
"Kalau kau ingin perempuan ini pulang dengan masih hidup, segera kau harus bersumpah dan tanggung orang-orang Thian-siang-pang kalian selamanya dilarang memasuki wilayah Kilam, tentang temanmu diatas atap itu, sudah tentu kaupun harus ajak dia kembali."
Belum selesai ia bicara, tiba-tiba didengarnya kesiur angin keras menyambar, sesosok bayangan orang melesat masuk dari jendela kanan, kejadian yang berlangsung secepat kilat, terdengar "Tring" yang nyaring, hampir saja golok ditangan Leng Chiu-hun dijentik lepas oleh orang itu.
Waktu semua orang berpaling, tampak setitik merah dari Tionggoan sudah berdiri diatas atap sebelah kanan. Tanpa bersuara, tindakannya ini sudah memberi jawaban yang cekak-aos dan paling gampang dan bisa dimengerti: "Kalau aku ingin datang atau pergi, siapapun tiada yang mampu mengurusi dirinya."
Keruan berubah wajah muka Leng Chiu-hun, dasar licik, segera ia ganti sikap dan berubah mimik, katanya tertawa: "Asal saudara tidak mencampuri urusan Thian-sing-pang, sembarang waktu ingin berada di Kilam, murid-murid Cu-soa-hun kami tentu akan menyambutmu dengan pesta kebesaran."
Kini Song Kang tak tahan lagi, bentaknya: "It-tiam-ang kau sudah bunuh seorang murid kami, bukan saja aku tidak mencari perhitungan padamu, malah kumaki mereka, terhadap bapakku sendiripun Song Kang tidak pernah bertindak sesungkan ini. Tapi barusan jelas kau bisa menolong Sam-moy, namun kau tidak mau turun tangan, kau...."
Setitik merah menyahut dingin: "Selamanya aku hanya tahu membunuh orang, tidak tahu bagaimana cara menolong orang"
Sorot matanya lebih dingin dari pisau tajam, Song Kang hanya melirik sekilas saja, kata-kata selanjutnya seakan-akan disambut dimulutnya. Sesaat kemudian, baru berkata kata pula: "Kalau demikian kenapa tidak kau bunih dia?"
"Aku bunuh orang tidak pernah dengan cara membokong, kau suruh dia keluar, biar kubunuh dia untuk kau."
"Cuma sebelum Cayhe keluar, batok kepala Sumaoymu ini harus berpisah dari badan kasanya." ancam Leng Chiu-hun menyeringai sinis.
Dengan dongkol Song Kang membanting kaki, serak katanya: "Baik, kuturuti kemauanmu.
Sejak kini Thian-sing-pang tidak akan menginjak daerah Kilam." Orang seperti Song Kang memang tiada duanya kedudukan tinggi di Kang-ouw, namun dalam Pang mereka sendiri, kalau ingin hidup dan berkecimpung dikalangan Kang-ouw, setiap patah katanya sekokoh gunung, selamanya tak boleh dirobah.
Leng Chiu-hun unjuk tawa lebar, katanya: "Kalau demikian....."
Tiba-tiba didengarny seseorang menyeletuk sambil tertawa seri-seri:" Jangan kau lupa Leng-heng, akupun punya bagian atas diri nona ini!"
Sigap sekali Song Kang memalik badan, dilihatnya Thio Siau-lim yang sedang melangkah masuk sambil berseri tawa, sepasang matanya seolah olah hendak menyemburkan api, bentaknya murka: "Kau ini barang apa" Mau turut campur?"
"Aku bukan barang," ujar Thio Siau-lim tetap berseri tawa. "Aku manusia!"
Sambil menggerung Song Kang lontarkan kepalannya, cincin dijarinya seketika memancarkan sinar dingin, untuk mencabut jiwa orang segampang membalikkan tapak tangan. Namun dimana kepalanya menjotos, tahu tahu mengenai tempat kosong kerena bayangan orang didepannya tiba-tiba hilang.
Waktu ia menoleh dilihatnya Thio Siau-lim sedag cengar-cengir berdiri dibawah emperan rumah sana, katanya: "Sungguh Cayhe katankan berkelahi aku tidak suka layani."
Sungguh gusar dan kaget Song Kang dibuatnya, beruntun ia memberi tanda ulapan tangan kepada It-tiam-ang, namun It-tiam-ang seolah-olah tidak melihatnya, tak tahan terpaksa Song Kang berseru: "Ang-heng kau.... memangnya belum tiba saatnya kau membunuh orang?"
It-tiam-ang berpaling kearah Thio Siau-lim sebentar sahutnya: "Manusia dalam dunia ini dapat kubunuh semua, tetapi dia.... kau suruh orang lain saja yang lebih lihay dari aku!" dari atap rumah ia lemparkan buntalan uang perak, tanpa berpaling terus tinggal pergi.
Song Kang melongo dan menjamblek ditempatnya, sungguh mimpipun tak terpikirkan olehnya Tionggoan It-tiam-ang yang membunuh manusia seperti membabat rumput hari ini kebentur batunya, ada pula orang yang tidak mampu atau tidak mau dibunuhnya.
Thio Siau-lim berdiri diam menggendong tangan bajunya melambai tertiup angin, katanya terus tersenyum. "Sebetulnya syaratku jauh lebih gampang dari yang diajukan oleh Leng Kongcu."
Akhirnya Song Kang kewalahan dan banting-banting kaki, serunya. "Apa keinginanmu"
Katakan!" "Asal kau ke berikan surat Suhengmu yang diberikan kepadamu sebelum dia pergi, cukup hanya kubaca sebentar, bukan saja segera kuantar Sumoymu keluar, malah akan kusewa tandu, dan kubunyikan poyah renteng untuk membuang hawa sebalny.
Karena Song Kang melengak, katanya: "Jadi syaratmu hanya ingin melihat surat itu?"
"Ya, setelah kubaca segera kukembalikan."
Lama Song Kang menepekur, katanya pelan-pelan kemudian: "Surat itu sudah kubakar tapi apa yang tertulis dalam surat itu akupun pernah membacanya, entah ada sangkut-paut apa surat itu dengan kau, kenapa kau ingin melihatnya?"
"Tidak perlu kau tahu apa maksudku hendak membaca surat itu. Cuma ingin aku tahu apa kau tidak ingin Sumoymu yang genit ini kembali dalam pelukanmu?"
Song Kang mempertimbangkan, sekilas ia mengawasi raut muka Sumaoynya yang kelihatan pucat dibawah sorot sinar lampu, seketika darah bergolak dalam rongga dadanya, tanpa hiraukan segalanya, segera ia berteriak keras: "Baik, akan kukatakan. Sebetulnya surat itu tidak mengandung rahasia apa apa, namun..... mendadak mulutnya menjerit seram sejadi jadinya, badanpun tersungkur beberapa kali dan roboh terjerembab.
Murid murid Thian-sing-pang seketika berpekik kaget dan menjadi gaduh, sedikitpun tidak terlihat luka apa-apa diatas badannya, namun sekejap saja, sejalur darah pelan-pelan merembes keluar dari tulang punggung pada ruas yang ketujuh.
Berubah air muka Leng Chiu-hun serunya "Inilah orang kedua yang mati lantaran surat itu, Thio heng, kau....." waktu ia berpaling, Thio Siau-lim yang berdiri diemper rumah sudah tidak kelihatan lagi bayangannya.
Begitu Song Kang roboh sambil melolong seram diujung tembok nan gelap berkelebat sesosok bayangan hitam yang menghilang, orang lain memang tiada yang melihat, tapi mana bisa lepas dari sepasang mata Thio Siau-lim nan jeli.
Sebat sekali badannya segera melambung tinggi beberapa tombak terus mengejar dengan kencang, siapa tahu bayangan hitam itu tahu-tahu sudah puluhan tombak jauhnya. Betapa tinggi Gingkangnya, kaum persilatan sama mengetahui, siapa tahu Gingkan bayangan hitam itupun ternyata tidak lemah.
Dua sosok bayangan satu didepan yang lain dibelakang, sama melesat terbang diatas kota Kilam yang malam itu terasa kering panas, laksana dua layang-layang yang terikat pada seutas benang. Ternyata bayangan itu kuasa bertahan dalam jarak tentu meski diudak laksana meteor jatuh oleh Siau-lim. Sekejap saja keduanya sudah melapaui tembok kota langsung menuju kearah nan jauh dimana diliputi kabut tebal yang pekat, tahu-tahu mereka sudah sampai dipesisir Thai-beng-ouw, danau kenamaan dibawah bulan ini, kelihatan teramat indah dan menajubkan pemandangannya.
Lambat laun Thio Siau-lim berhasil memperpendek jarak antara mereka, terang dalam sekejap saja bakal menyandak bayangan itu. Memang dalam kolong langit ini perduli siapapun, ilmu Gingkangnya betapapun pasti satu tingkat lebih rendah dibandingkan ilmu meringankan tubuh.
"Sahabat hentikan saja langkahmu," seru Thio Siau-lim tertawa: "Aku berjanji tidak akan melukaimu seujung rambutmu, tapi kalau kau ingin terjun keair, terang kau ingin menderita malah."
Bayangan itu perdengarkan gelak tawanya seperti burung kokok beluk, katanya: "Coh Liu-hiang, akhirnya aku dapat mengenalimu juga!" ditengah suara katanya, sekoyong-koyongnya seseatu benda meluncur ditengah udara terus meledak mengahamburkan asap kabut warna ungu yang berbau aneh, seketika seluruh badannya tertelan ditengah-tengah kabut tebal itu, tidak ketinggalan Thio Siau-lim sendiripun tertelan didalamnya pula.
Terasa berat asap kabut itu sehingga terasa seperti sesuatu bentuk benda yang menindih seluruh badan Thio Siau-lim, bukan saja pandangan matanya menjadi kabur, gerak-gerik badannya yang lincah itupun tak kuasa dikembangkan pula. waktu dia berhasil menerobos keluar dari kepungan asap yang tebal sambil menahan napas, dirinya sudah dipinggir danau, bayangan itupun sudah menghilang, tampak air danau yang tenang itu bergelombang membundar lembut semakin melebar dan akhirnya sirna sama sekali.
Dengan mendelong Thio Siau-lim mengawasi riak air membundar yang lembut itu, mulutnya menggumang: "Apakah ilmu Jinsut yang misterius dari kaum pesilat Tangni (Jepang)" Kenapa belum pernah kudengar kaum pesilat di Tionggoan ini ada orang yang mahir menggunakan ilmu yang mendekati aliran sesat ini?"
Menurut catatan orang kuno Jinsut adalah semacam ilmu yang dapat membuat badan kasarnya sendiri tiba-tiba sirna menghilang dihadapan musuh, untuk mempelajari ilmu ini sampai sempurna, orang harus putus hubungan dengan cinta asmara, mempersembahkan jiwa raga sendiri sebagai pertaruhan untuk mencapai palajaran Jinsut yang paling tinggi, betapa derita dan sengsara pelajaran ini, sungguh tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Seumpama kaum persilatan di tangani sendiri tokoh yang pandai mempelajari Jinsut biasanya dipandang sebagai tokoh misterius bak umpama momok atau dedemit belaka.
Sesaat lamanya Thio Siau-lim menjumblek ditempatnya, katanya sambil tertawa kecut: "Orang itu pandai menggunakan Jinsut, memiliki Gingkang yang hebat pula, baru hari ini Coh Liu-hiang betul-betul kebentur musuh tangguh. Sayang sampai sekarang masih belum bisa kuketahui siapakah dia sebenarnya?"
Mendadak didengarnya seseorang berkata dingin: "Coh Liu-hiang, cabut senjatamu!"
Suaranya serak-serak basah, berbarengan sesosok bayangan hitam tahu-tahu melangkah keluar dari tengah kabut dipinggir danau, dia bukan lain adalah Tionggoan It-tiam-ang.
"Kenapa kaupun berada disini?" tanya Thio Siau-lim tertegun.
"Aku mengejar jejakmu sejak tadi, sampai sekarang baru kutemukan kau disini, tentunya kau tidak akan bikin aku kecewa bukan?"
Thio Siau-lim mengeluh hidung, ujarnya: "Sejak tadi kau menguntit aku" Kenapa?"
"Hanya untuk menghujamkan pedangku ketenggorokanmu."
Thio Siau-lim melengak, "Kau hendak bunuh aku?" tanyanya
"Mungkin akulah yang kau bunuh." Sahut It-tiam-ang sinis.
"Kau kan tahu selamanya aku tidak pernah membunuh orang, apalagi kau."
"Kau tidak suka bunuh aku, biar aku membunuhmu"
"Bukankah tadi kau sudah bilang tidak..."
"Aku tidak mau membunuh orang lantaran orang lain, aku membunuh kau lantaran aku sendiri."
"Kenapa?"
"Bisa berduel dengan Coh Liu-hiang, sampai mati, merupakan suatu peristiwa yang patut membesarkan hatiku."
Thio Siau-lim geleng kepala, katanya tertawa sambil menggendong tangan: "Sayang aku sendiri tiada minat berkelahi maafkanlah!"
"Kau mau tidak harus bertanding dengan aku," sentak It-tiam-ang. Ditengah alunan suaranya yang bergema ditengah udara sinar pedanganya laksana bianglala menusuk tiba, Thio Siau-lim tetap menggendong tangan, tanpa bergerak sedikitpun, tahu-tahu sinar pedang berhenti sendiri setengah dim didepan lehernya.
Sinar pedang yang kemilau membuat kedua alisnya kelihatan memucat kala menyilang dilehernya, tampak bergetar diancam oleh sinar pedang yang berhawa dingin. Tapi sikap dan air mukanya sedikitpun tidak berubah, semangatnya seolah-olah dibuat dari besi baja.
It-tiam-ang segera dorong setengah dim ujung pedangnya kedepan, ujung pedangnya tidak tergeser sedikitpun dari sasarannya, pergelangan tangannya seakan-akan terbuat dari besi murni.
Suaranya serak dan mengancam: "Kau kira kau tidak berani bunuh kau?"
Ujung pedang tinggal dua inci didepan terggorokan Thio Siau-lim namun sedikitpun ketenanganya tidak tergoyah, katanya tertawa tawar: "Sudah tentu bukan kau tidak berani, cuma kau tidak sudi."
"Aku bertekad hendak membunuh kau, kenapa tidak sudi?"
"Kau membunuhku dengan cara ini, kesenangan apa yang kau mungkin kau peroleh?"
Ujung pedang tiba-tiba tergetar, tangan It-tiam-ang setengah dan sekokoh batu itu, ternyata sudah bergeming,, bentaknya dengan suara sember:
"Kau benar-benar begitu yakin?" Mendadak pedangnya menusuk maju.
Dari kepala sampai kekaki Thio Siau-lim sedikitpun tidak kelihatan bergerak, walau ujung pedang yang tajam itu hanya menyerempet lewat lehernya, namun tusukan pedang ini kemungkinan bisa membasmi tenggorokannya.
Raut muka It-tiam-ang tetap dingin seperti es, namun kulit dagingnya kelihatan mulai berkerut-kerut mengejang, selebar mukanya tiba-tiba mengkeret dengan aneh, katanya: "Kau.... kau sudi bertanding dengan aku?" suaranyapun sudah gemetar.
"Sungguh harus dimaafkan!" sahut Thio Siau-lim menghela napas.
"Bagus!" seru It-tiam-ang menengadah sambil tertawa panjang. Nada tawanya rawan dan pedih, ternyata pedangnya sendiri diputar balik terus menusuk tenggorokannya sendiri.
Sudah tentu perbuatan nekad It-tiam-ang amat mengejutkan Thio Siau-lim, secara reflek tapak tangannya menebas tegak hendak merebut pedang orang, namun cepat sekali pergelangan tangan It-tiam-ang bergerak lincah, ujung pedangnya tetap tertahan mengarah tenggorokannya.
Sementara Thio Siau-lim kembangkan ilmu Khong-jiu-peh-to dengan kekerasan ia berusaha merebut senjata orang.
Dibawah penerangan cahaya bintang yang kelap-kelip, tampak sinar pedang berkelebatan bayangan orangpun seluruh timbul dengan cepat dan gesit serta lincah sekali, betapapun kedua orang ini sudah mulai turun tangan namun gerak-gerik kedua sama cepat dan jauh berbeda dari pertempuran adu silat umumnya, karena yang satu berusaha bunuh diri sementara yang lain berusaha menolong dan menggagalkan usaha orang untuk mencari jalan pendek.
Perkelahian seperti ini, sungguh belum bernah terjadi sejak dulu kala. Dalam sekejap mata saja puluhan jurus sudah berlalu, sekonyong-konyongnya terdengar "Creng" kumandang petikan harpa dari tengah danau, petikan demi petikan harpa mengalun turun nail bergema ditengah udara nan sunyi lengang, namun lapat-lapat terasa mengandung penasaran dan kebencian, seumpama negara sedang menghadapi keruntuhan rasa marah dan cinta sukar terbendung, seolah-olah terhina dan tak terlampias perasaan gejolak hatinya.
Begitu petika suara harpa mengalun diudara, alam semesta serasa diliputi rasa rawan yang dibakar oleh nafsu membunuh, bintang-bintang diangkasa raya seakan-akan menjadi redup dan kelelep, panorama alam dalam keindahan danau Tay-bing-ouw menjadi kuncup dan tak berkesan pula.
Memang dasar watak dan relung hati Thio siau-lim memang lapang dan terbuka, dia seorang jujur dan polos yang tidak mempunyai rasa jahat, tidak menjadi soal ia mendengar suara harpa yang mengandung daya tarik luar biasa. Sebaliknya riwayat hidup It-tiam-ang jauh berlainan, sejak kecil ia sudah hidup menderita dan kelana di Kang-ouw mengecap kesengsaraan dan kenistaan, memangnya dia berwatak keji berhati sempit dan selalu dihinggapi penasaran akan tiada keadilan, kalau tidak mana mungkin dia menjadi seorang pembunuh bayaran, membunuh orang sebagai hobby.
Tatkala itu alunan suara harpa sudah kumandang ditelingany seketika darah mendidih dan badan terasa panas membakar, ternyata ia sukar mengendalikan diri lagi, mendadak ia bersuit panjang dan nyaring sambil menengadah, pedangnya bergerak terbalik pula menusuk kearah Thio Siau-lim.
Tusukan ini amat cepat dan ganas, tidak sempat Thio Siau-lim berpikir, secara reflek badanya bergerak mengegos diri, cuaca memang remang-remang, namun jelas kelihatan sepasang matanya It-tiam-ang merah telah berdarah, gerak-geriknya membabi-buta seperti kesetanan.
Waktu tusukan kedua It-tiam-ang dilancarkan, tak bisa lagi Thio siau-lim berkelit pula, kalau dulu ia masih tetap bersikap tenang, tapi kini ia menghadapi lawan yang betul-betul sudah kehilangan kesadarannya. Petikan harpa semakin cepat, gerak sambaran pedang It-tiam-ang ikut menjadi cepat, seolah-olah gerak-gerikn dan jalan pikirannya sudah terkendali dan dibelenggu oleh suara petikan harpa itu, sehingga ia tidak punya pedoman dan kontrol atas dirinya sendiri lagi.
Keruan Thio Siau-lim tersirap darahnya bukan ia kuatir pedang It-tiam-ang akan melukai dirinya, adalah ia tahu kalau pertempuran cara seperti ini berlangsung lebih lama lagi, It-tiam-ang pasti akan bisa melukai atau membunuh dirinya.
Cahaya pedang sudah menjadi tabir berkilat terang yang membungkus seluruh badan Thio Siau-lim, sinar pedang yang merabu seperti gila ini, terang takkan dapat dikendalikan atau ditundukkan oleh siapapun juga.
Thio Siau-lim mendadak berseru lantang: "Apa kau berani ikut aku kebawah?" ditengah gema suaranya tiba-tiba badannya melambung tinggi jumpalitan ditengah udara terus terjuh kedalam danau.
Tanpa ragu-ragu sedikitpun It-tiam-ang menelat perbuatannya ikut terjun kedalam air. Tapi di air jauh berbeda dengan daratan, waktu It-tiam-ang tusukkan pedangnya, paling-paling hanya menimbulkan riak gelombang ait yang berbuih, sukar dia melukai lawannya pula.
Bersambung jilid 4
Jilid 4 Sebaliknya berada di dalam air Thio Siau-lim laksana naga bermain di tengah lautan, gerak badannya segesit ikan selicin belut, cukup berkelebat dan meliukkan badan, tahu-tahu ia sudah mencengkeram pergelangan tangan It-tiam-ang serta menotok hiat-tonya. Setelah tidak berkutik, lalu ia angkat badan orang serta dilemparkan ke pinggir danau, serunya tertawa: "Ang-heng, walau sekarang kau sedikit menderita, tentunya jauh lebih enak daripada kau menggila dan mampus jadinya."
Lalu ia putar badan dan selulup ke dalam air. Cepat sekali ia berenang menuju ke arah datangnya suara harpa.
Kabut tebal mengembang di permukaan air, keadaan remang-remang, jauh di tengah danau sana berlabuh sebuah sampan kecil. Di atas sampan tunggal ini duduk bersila seorang padri muda yang mengenakan jubah putih, jari-jarinya tengah memetik harpa, di tengah keremangan kabut tampak biji matanya laksana bintang kejora yang bersinar menyala, bibir merah gigi putih, raut mukanya lebih mirip dengan wajah perempuan cantik dibanding kekasaran muka seorang laki-laki, namun tindak-tanduknya kelihatan lemah lembut, wajar dan gagah, sifat-sifatnya ini perempuan siapa pun takkan bisa menandinginya.
Seluruh badannya selintas pandang seperti amat bersih, tiada debu sedikit pun yang mengotori badannya, seolah-olah dia baru saja turun dari khayangan di tengah angkasa yang berawan.
Coh Liu-hiang memandangnya dua kali, segera ia berseru dengan tertawa sambil mengerut kening: "Kiranya dia, seharusnya aku
sudah ingat sejak tadi. Kecuali dia, siapa pula yang mampu memetik suara harpa sebaik itu...
celaka adalah aku yang hampir mati dari efek alunan suara harpanya tadi."
Ia menyelam maju dan baru melongokkan kepalanya dari permukaan air setelah berada dekat di pinggir sampan, katanya: "Dalam hati Taysu memangnya ada perasaan yang tidak bisa direlakan?"
Petikan harpa seketika kacau berantakan dan akhirnya berhenti. Padri itu agaknya kaget, namun sikapnya tetap tenang dan tenteram. Sekilas ia berpaling, segera unjuk senyum mekar, katanya: "Setiap kali Coh-heng bertemu dengan Pinceng, apakah badanmu harus selalu basah kuyup seperti ini?"
Padri muda ini bukan lain adalah Biau-ceng Bu-hoa yang terkenal di seluruh kolong langit.
Tempo hari waktu dia menikmati petikan harpanya di atas sampan di tengah lautan, kebetulan Coh Liu-hiang muncul dari dalam air serta mengejutkan hatinya juga.
Cepat Thio Siau-lim melompat naik ke atas sampan, katanya melotot: "Siapa itu Coh Liu-hiang?"
Bu-hoa tersenyum, ujarnya: "Kecuali Coh-heng, dalam kolong langit ini siapa yang mampu sampai sedemikian dekatnya di samping Pinceng. Siapa pula kecuali Coh-heng yang memahami makna alunan suara harpa, menaklukkan sanubari orang."
Thio Siau-lim tergelak-gelak, "Kecuali Coh Liu-hiang, seluruh dunia siapa pula yang mampu mengejutkan kau dari dalam air.... Bu-hoa, Bu-hoa, namamu memang Bu-hoa (tiada kembang), namun tak terhitung kembang-kembang suci yang terbenam dalam sanubarimu."
Di tengah gelak tawanya, cepat ia meraih ke muka menanggalkan kedok mukanya terus dilempar ke dalam air. Maka muncullah muka asli Coh Liu-hiang di tengah danau di atas sampan di bawah penerangan bintang-bintang kecil di angkasa raya. Entah berapa banyak gadis yang tak bisa tidur bisa melihat raut wajahnya ini.
Kata Bu-hoa: "Kedok muka yang sedemikian indah dan bagus kenapa Coh-heng buang ke dalam air?"
"Kedok muka ini sudah konangan oleh tiga orang, kenapa harus kupakai lagi?"
"Cara menyamar Coh-heng sungguh tiada bandingan di seluruh jagat. Seumpama Pinceng tidak mengenali penyamaranmu, siapa pula yang punya ketajaman mata dapat mengenali samaranmu?"
"Peduli bagaimana mereka membongkar kedok samaranku, yang terang muka asliku sudah mereka ketahui. Kalau samaran muka seseorang sampai dikenal oleh tiga orang, seumpama mukanya amat buruk pun lebih baik dia kembali kepada muka aslinya saja."
"Entah siapa kedua tokoh yang lain itu?" tanya Bu-hoa.
"Orang pertama adalah 'membunuh orang tiada darah, setitik darah di ujung pedang'."
Bu-hoa sedikit mengerutkan kening. Mendadak harpa tujuh senar di pangkuannya ia buang ke dalam air juga.
"Harpamu paling tidak jauh lebih mahal daripada kedok mukaku tadi, kenapa pula kau membuangnya ke dalam air?"
"Di sini kau menyinggung nama orang itu, berarti harpa itu sudah tersentuh oleh bau anyirnya darah, selanjutnya pasti tidak akan bisa mengumandangkan suara suci dan bersih," lalu ia pun mencuci kedua tangannya di dalam air danau, dikeluarkannya secarik sapu tangan putih untuk menyeka kering tangannya.
"Kau kira air danau ini bersih" Bukan mustahil di dalamnya ada......"
"Orang bisa membuat air kotor, sebaliknya air tidak akan mengotori manusia. Mengalir pergi, datang yang baru, selamanya tidak akan kotor."
"Tak heran kau suka menjadi Hwesio, orang seperti kau kalau tidak mencukur gundul jadi orang beribadat, mungkin kau tidak akan bisa hidup di dalam dunia fana."
Bu-hoa tertawa tawar, tanyanya: "Memangnya siapakah orang kedua?"
"Orang kedua ini walau sudah tahu akan diriku, sebaliknya aku belum tahu siapa dia. Yang kutahu bahwa ginkangnya amat tinggi, senjata rahasianya amat keji, malah dia pun mahir menggunakan Jinsut!"
"Jinsut?" bergetar badan Bu-hoa.
"Kau paling paham akan segala sumber, tahukah kau apa ajaran Jinsut pernah masuk ke Tionggoan?"
Bu-hoa berpikir sesaat lamanya, katanya kalem: "Aliran Jinsut asal-mulanya diajarkan dari Ih-ho (Arab), seumpama di daratan Tang-ni sana sendiri ilmu ini termasuk kepandaian misterius yang amat disegani. Tapi menurut pandangan Pinceng, kemampuan dan kesaktianmu bukan saja punya taraf yang sejajar dan setanding, malah mungkin ada sedikit melampauinya."
"Kau mengagulkan aku, apa kau ingin supaya kelak bila bermain catur aku sengaja mengalah kepadamu?"
"Ilmu silat di Tang-ni sebetulnya bersumber dari bangsa kita di jaman dinasti Tong dulu, cuma mereka sedikit menambahi bumbu dan dirubah serta direvisi dan terciptalah aliran lain yang tersendiri. Kaum persilatan di Tang-ni sekarang yang paling terkenal adalah Liu-seng-jiu, It-to-liu dan lain-lainnya. Aliran perguruan kebanyakan mereka mengutamakan ketenangan mengatasi gerakan, bergerak belakangan mengatasi yang duluan, bukankah mirip dan serasi dengan ajaran Lwekang murni dari aliran bangsa kita" Tentang permainan ilmu pedang mereka yang ganas dan keji, gampang dan murni, bukankah sesumber dengan ilmu golok yang berkembang paling jaya dan lama pada dinasti Tong dulu?"
"Memang kau paham segala sumber ilmu, namun Jinsut itu......"
"Jinsut ilmu sihir, nama ini kedengarannya memang amat aneh dan mengandung arti yang amat dalam, namun sebetulnya tidak lepas dari ginkang, am-gi, obat bius dan ilmu rias diri yang dikombinasikan menjadi satu, cuma sejak dilahirkan pembawaan mereka suka meniru, mempunyai dasar semangat aneh yang lain dari yang lain. Setelah berhasil mempelajari ilmu dari bangsa kita, bukan saja bisa meresapinya dan menyedot inti sarinya, malah bisa pula memecah, menganalisa dan memperluas ajaran itu seolah-olah menjadi dongeng aneh dan menakjubkan."
"Aku hanya bertanya, setelah mengalami godokan dan gemblengan dalam proses perubahan ilmu yang mereka miliki serta akhirnya menjadi ilmu yang dinamakan Jinsut itu, apakah ilmu itu pernah masuk ke dalam tanah air kita" Adakah orang yang berhasil mempelajarinya?"
"Kabarnya dua puluh tahun yang lalu pernah datang seorang bangsa Arab ahli sihir yang mendarat dan akhirnya dia menetap di
daerah Binglam selama tiga tahun. Kaum Bulim di daratan besar bila ada yang pandai menggunakan Jinsut kukira pasti hasil ajaran dari orang Arab itu. Selama tiga tahun dia menetap di sana, dan yang pasti bahwa dia adalah seorang tokoh silat kenamaan di daerah Binglam sana."
"Binglam?" Coh Liu-hiang mengerutkan kening. "Apakah keturunan Tan dan Lim, dua aliran Bulim terbesar di sana?"
"Cuaca malam seindah ini, kau malah mengajak aku membicarakan soal duniawi, memangnya tidak menyia-nyiakan pemandangan seindah gambar lukisan di malam ini?"
"Memangnya aku ini orang kasar dari dusun, apalagi pada saat sekarang, kecuali persoalan-persoalan duniawi ini, segala macam urusan lain tiada yang menarik perhatianku."
Mendadak ia berdiri, katanya sambil tertawa besar, "Kalau kau hendak berkhotbah atau main catur, setelah persoalanku beres, tentu akan kucari kau, dan lagi aku berjanji badanku tentu akan kering dan bersih."
"Baik, janji main catur ini jangan sekali-kali kau lupakan, lho!"
Kepala Coh Liu-hiang menongol keluar dari permukaan air, serunya keras: "Siapa bila melupakan janji dengan Bu-hoa, tentu orang itu orang linglung."
Bu-hoa mengantar badan orang yang berlalu pergi segesit ikan, katanya sambil tersenyum:
"Dapat berkenalan dengan orang seperti dia, peduli teman atau musuh, bolehlah terhitung suatu kejadian yang menggembirakan."
Coh Liu-hiang kembali ke daratan, ia jinjing badan It-tiam-ang dan mencari sepucuk pohon tinggi besar, dicarinya dahan-dahan pohon yang rimbun dedaunannya, di sana ia baringkan badan orang, lalu melompat turun, serunya sambil mengulap tangan: "Biar sekarang kita berpisah, setengah jam lagi kau akan siuman sendiri. Aku tahu kau pasti tidak suka aku melihat keadaanmu yang serba runyam bila kau siuman nanti."
Langsung ia berlari-lari masuk ke kota, sepanjang jalan pulang pergi ia putar otak, terasa sampai detik ini persoalan ini masih acak-acakan, sedikit pun tak berhasil ia raba sumber persoalannya. Dia berkeputusan untuk sementar tidak usah susah-susah putar otak memikirkan persoalan ini, biarlah otaknya istirahat saja beberapa waktu.
Otak manusia memang aneh, kalau lama tidak dipakai pun bisa karatan, sering dipakai dan melelahkan dia pun bisa menjadi linu dan kejang.
Waktu ia tiba di kota, sang surya sudah keluar dari peraduannya. Pagi sudah menjelang, di jalan sudah kelihatan beberapa orang berlalu-lalang. Baju Coh Liu-hiang sudah kering, ia membelok dua kali berputar dua kali, tahu-tahu ia kembali ke Kwi-gi-tong. Mayat Song Kang tak kelihatan. Sim San-koh dan murid-murid Thian-sing-pang sudah tidak kelihatan sama sekali.
Beberapa laki-laki berseragam hitam sedang memberesi keadaan yang morat-marit. Melihat Coh Liu-hiang, beramai-ramai mereka membentak: "Sekarang perjudian belum dibuka, datanglah nanti malam, kenapa terburu-buru?"
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Aku hendak mencari Leng Chiu-hun."
"Kau terhitung barang apa," damprat laki-laki itu. "Berani kau langsung memanggil nama Kongcu kami."
"Memang aku ini bukan barang apa-apa, namun tak lain adalah saudara kenalan Leng Chiu-hun."
Beberapa laki-laki itu saling pandang, serempak mereka melempar sapu terus berlari masuk ke dalam.
Tak lama kemudian, dengan langkah malas Leng Chiu-hun berjalan keluar, air mukanya tampak lesu seperti kurang tidur, namun kedua biji matanya berkilat terbang, dari atas ke bawah dia amat-amati Coh Liu-hiang, tanyanya dingin: "Siapa tuan ini" Seingatku belum pernah aku punya saudara kenalan seperti kau ini."
Coh Liu-hiang sengaja celingukan ke sekelilingnya, lalu katanya merendahkan suara: "Aku inilah Thio Siau-lim. Demi mengelabui mata kuping orang, sengaja aku menyamar seperti ini."
Sekilas Leng Chiu-hun melengak, cepat sekali ia sudah menarik tangannya sambil tertawa besar, serunya: "Kiranya kau Thio-jiko, aku memang pantas mampus. Sudah sekian lamanya tak bertemu, sampai saudara sendiri pun sudah kulupakan."
Coh Liu-hiang tertawa geli, ia diam saja dirinya ditarik masuk ke dalam sebuah kamar tidur yang dipajang amat indah, kelihatan kepala seorang perempuan dengan rambutnya yang awut-awutan, sebuah tusuk konde menggeletak di pinggir bantal.
Tiba-tiba Leng Chiu-hun menyingkap kemul, katanya dingin: "Tugasmu sudah selesai, kenapa belum pergi juga?"
Tersipu-sipu perempuan itu merangkak bangun dan cepat-cepat mengenakan pakaiannya terus berlari keluar dengan langkah sempoyongan.
Baru sekarang Leng Chiu-hun duduk sambil menatap Coh Liu-hiang, katanya: "Tak nyana ilmu rias saudara ternyata begini lihay. Setelah mengubah samaranmu sekarang, tentunya tidak sewajar dan leluasa seperti semula. Kalau saudara menyamar lebih jelek sedikit, tentunya sukar konangan. Caramu ini...... raut mukamu sedikit banyak tentu akan menimbulkan perhatian orang."
Coh Liu-hiang mengelus hidung, katanya: "Apa Leng-heng ada melihat sesuatu keganjilan atas samaranku?"
Hampir saja pecah perut Coh Liu-hiang saking menahan geli, namun lahirnya tetap tenang-tenang saja, ujarnya: "Menyamar di waktu malam gelap, bentuknya kurang sempurna, namun ya apa jadinyalah!"
Kembali Leng Chiu-hun meliriknya dua kali, katanya: "Sebetulnya sih cukup baik, asal hidungmu sedikit rendah, matamu disipitkan, tentu lebih sempurna."
"Ya, ya, lain kali tentu akan kurubah," sahut Coh Liu-hiang menahan geli. Sambil celingukan, katanya tiba-tiba: "Di mana Sim San-koh?"
"Aku tidak suka meniru cara saudara, tentunya sudah kulepas dia pulang. Walau Thian-sing-pang tiada punya tokoh-tokoh yang menonjol, jelek-jelek merupakan sindikat yang kenamaan juga, tentunya aku tidak suka mengikat pertikaian-pertikaian terlalu mendalam dengan mereka."
"Memang betul demikian, entah saudara sudah mengutus anak buah untuk memperhatikan gerak-gerik kaum persilatan di kota Kilam ini?"
"Aku sudah suruh orang mencari dengan seksama. 'Ngo-kui' bahwasanya tidak berada di dalam kota, kecuali itu memang ada beberapa tokoh yang cukup terkenal, namun mereka tiada sangkut-pautnya dengan urusan kita ini."
"Siapakah orang itu?"
"Dandanan orang itu aneh dan lucu, pedangnya sempit panjang, bukan lain adalah tokoh dari Hay-lam-kiam-pay, dilihat dari tindak-tanduknya dia orang kosen, kukira kalau bukan Ling Ciu-cu pasti Thing-ing-cu."
"Thing-ing-cu," seru Coh Liu-hiang berjingkrak bangun. "Di mana dia sekarang?"
"Kenapa saudara begini tegang?" tanya Leng Chiu-hun heran.
"Jangan tanya dulu, lekas katakan di mana dia sekarang, kalau terlambat mungkin sudah kasep."
"Dia tidak menginap di biara atau di dalam kuil, namun bermalam di In-ping-lay di selatan kota.
Untuk apa saudara begini kesusu untuk menemui dia?"
Belum habis kata-katanya, Coh Liu-hiang sudah berlari keluar, gumamnya: "Semoga kedatanganku belum terlambat. Semoga dia tidak menjadi korban yang ketiga lantaran surat itu."
Areal bangunan In-ping-lay ini amat luas, tidak sedikit tamu-tamu luar kota yang menginap di dalam hotel ini, namun orang beribadah hanya Thing-ing-cu satu-satunya seorang diri menempati sebuah kamar di pekarangan samping yang kecil, menghadap ke arah matahari terbit. Cuma saat mana orangnya sedang keluar.
Bagi seorang ahli seperti Coh Liu-hiang, setelah dia mencari tahu letak kamarnya, dengan cepat ia sudah berada di pekarangan kecil itu, menggunakan sebatang kawat baja dengan mudah ia membuka gembok dan masuk ke dalam kamar.
Nama besar Thing-ing-cu memang amat disegani, semua barang atau perbekalan yang dia bawa tidak banyak, cuma sebuah buntalan kain kuning. Dalam buntalan terdapat beberapa stel pakaian, dua p asang kaus kaki panjang dan segulung buku dan kertas tulisan. Buku ini ia buntal di dalam lempitan pakaian dalamnya, diikat pula dengan benang sutera. Kelihatannya Thing-ing-cu amat memandangnya sangat berharga. Coh Liu-hiang berpikir: "Surat misterius itu bukan mustahil disimpan di dalam buku ini?"
Coh Liu-hiang insyaf bahwa surat itu menyangkut peristiwa ini, dan penting serta besar artinya bagi dirinya untuk mencari sumber penyelidikan. Bukan mustahil merupakan kunci penjelasan rahasia peristiwa ini, kalau tidak, tidak mungkin beberapa jiwa berkorban secara konyol lantaran surat itu.
Hati-hati Coh Liu-hiang membuka ikatan benang sutera itu. Benar juga, di antara lembaran buku-buku itu melayang jatuh selembar sampul surat. Betapa girang hatinya. Cepat ia jemput surat itu, di atas secarik kertas merah jambon tertulis dua baris kata-kata yang bergaya indah dan berseni, kelihatannya buah tangan seorang perempuan.
Kertas surat itu sudah telempit, membekas garis-garis luntur sehingga menjadi kucel, terang sudah dibaca dan dilempit entah berapa kali, namun tetap dipelihara dan disimpan dengan baik, dari sini dapatlah disimpulkan bahwa penerima surat ini memandangnya amat berharga.
Isi surat itu rada mengambang dan pakai sindiran lagi, jelas penulisnya mengharap penerima surat ini putuskan saja hubungan asmara, jangan selalu pikir dan mengenang dirinya. Kalau dikatakan secara terang atau cekak-aos, artinya adalah: "Aku tidak suka kepadamu, maka jangan kau terlalu tergila-gila kepadaku."
Sudah tentu surat ini ditujukan kepada Thing-ingcu, surat itu tertanda 'Liong-siok' dua huruf kecil, tentunya nama kecil perempuan itu.
Diam-diam Coh Liu-hiang menarik napas, batinnya: "Naga-naganya sebelum menjadi orang beribadat Thian-ing-cu pernah mengalami patah hati. Bukan mustahil lantaran kejadian itu dia mengorbankan masa depannya dan menyucikan diri mengabdi kepada ajaran Thian. Sampai sekarang dia masih bawa surat cinta ini, kiranya dia pun seorang romantis."
Tanpa sengaja ia mencuri lihat rahasia pribadi orang lain, dalam hati ia amat menyesal, akhirnya ia toh tidak menemukan surat misterius itu, mau tak mau hatinya merasa kecewa pula.
Buntalan kain kuning kembali pada posisi dan bentuknya semula, siapa pun takkan bisa membedakan bahwa buntalan ini barusan pernah disentuh orang.
Waktu beranjak di jalan raya, Coh Liu-hiang menggumam sendiri: "Ke manakah Thian-ing-cu"
Dari tempat jauh dia meluruk ke mari, tentunya hendak menyelidiki jejak Suhengnya Ling-ciu-cu.
Kalau toh sudah berada di Kilam, bukan mustahil dia akan mencari kabar ke Cu-soa-bun......"
karena pikirannya ini, segera ia menyetop sebuah kereta besar, terus dibedal menuju ke Kwi-gi-tong.
Dilihatnya Leng Chiu-hun sedang berdiri di ambang pintu sambil menggendong tangan, agaknya barusan mengantar seorang tamu.
Begitu melihat Coh Liu-hiang, ia tertawa. Katanya, "Kau masih terlambat juga."
Lekas Coh Liu-hiang bertanya: "Barusan apakah Thian-ing-cu ke mari?"
"Ya, kau mencari dia, sebaliknya dia mencari aku! Anehnya, pihak Hay-lam-kiam-pay pun kehilangan seseorang. Anehnya lagi dia tidak mencari tahu kepada orang lain, justru mencariku.
Hay-lam dan Kilam berjarak ribuan li, pihak Hay-lam-pay kehilangan orang, bagaimana mungkin Cu-soa-bun bisa tahu jejaknya?"
"Tahukah kau, setelah meninggalkan tempat ini dia hendak ke mana?"
"Pulang ke In-ping-lau, aku sudah berjanji lewat lohor aku akan balas berkunjung ke sana!"
Belum orang habis bicara, bayangan Coh Liu-hiang sudah tak kelihatan. Kali ini ia sudah tahu jalannya, langsung ia memburu ke pekarangan kecil itu. Jendela kamar itu sudah terbuka, seorang Tosu tinggi kurus yang menggelung tinggi rambut kepalanya sedang duduk di sisi jendela menuang air the. Entah apa yang sedang dipikirkan, dari poci yang tertuang miring, sedikit pun tidak kelihatan air teh mengalir keluar, namun orang agaknya tidak sadar, tangannya masih menjinjing poci teh itu.
Coh Liu-hiang merasa lega, gumamnya pula: "Syukur aku tidak terlambat. Kali ini betapa pun tidak akan kubiarkan orang lain membunuhnya lebih dulu sebelum aku bertindak!"
Segera ia merangkap tangan bersoja ke dalam kamar, serunya: "Apakah Thian-ing Totiang yang berada di dalam rumah?"
Begitu asyik Thian-ing-cu memeras otak, sehingga seruan yang demikian keras pun tidak mengagetkan dirinya. Coh Llu-hiang geli, batinnya: "Tosu romantis ini mungkin sedang mengenang perempuan bernama 'Ling-siok' itu."
Dengan langkah lebar ia mendekati jendela, katanya pula: "Kedatangan cayhe ini demi suheng....." sampai di sini baru didapati bahwa poci itu sudah kosong, air teh sudah mengalir habis membasahi selebar permukaan meja, malah membasahi pakaiannya pula.
Cepat sekali otak Coh Liu-hiang bekerja. Dengan lirih ia tepuk pundak orang, tak nyana dengan badan kaku orang roboh menggelundung ke lantai. Setelah rebah di lantai, kaki tangannya tetap bergaya seperti duduknya tadi, dengkul tertekuk tangan masih menjinjing poci teh itu.
Keruan bukan kepala terkejutnya Coh Liu-hiang. Lekas ia melompat masuk, kaki tangan Thian-ing-cu ternyata sudah kaku dingin, napasnya sudah berhenti, dadanya berlepotan darah, ternyata setelah tertotok jalan darahnya, lalu tertusuk mati oleh sebatang pedang di dadanya.
Ahli pedang yang kenamaan dari Hay-lam-pay ini ternyata terbunuh secara menggelap dan tanpa disadari oleh sang korban sendiri. Pembunuh itu menghunjamkan pedangnya dari dada tembus ke punggung, namun poci teh di tangannya toh tidak terlepas jatuh. Betapa takkan mengejutkan kepandaian si pembunuh itu!
Betapa hati Coh Liu-hiang takkan mencelos. Dengan cermat ia periksa keadaan sekeliling kamar, namun tiada tanda mencurigakan yang dia temukan, terang kepandaian pembunuh itu amat tinggi.
Sambil mengawasi jenazah Thian-ing-cu, Coh Liu-hiang berdoa dalam hati: "Meski bukan aku yang membunuhmu, tapi kau mati lantaran aku. Kalau orang itu tidak tahu aku hendak mencarimu, belum tentu dia membunuhmu. Sayang sekali di waktu hidupmu kau sendiri memegang kunci rahasia yang menyangkut persoalan ini, kau sendiri tidak tahu-menahu."
Sampai sekarang Cou Yu-cin, Sebun jian, Leng-ciu-cu, Ca Bok-hap berempat mempunyai titik persamaan, yaitu mereka berempat pasti pernah menerima sepucuk surat dan surat itu pasti ditulis oleh satu orang, sumber penyelidikan inilah satu-satunya yang dikejar dan ingin diketahui oleh Coh Liu-hiang. Untuk membongkar rahasia ini, dia harus tahu siapakah penulis surat itu. Apa pula yang tertulis dalam surat itu"
Tepat tengah hari, cahaya matahari nan terik menyinari jalan raya yang berlandaskan papan batu hijau itu sampai mengkilap.
Beranjak di jalan berbatu licin ini, walau air muka Coh Liu-hiang tidak mengunjuk perasaan hatinya, namun hati kecilnya teramat kecewa hampir putus asa.
Surat-surat yang pernah diterima Cou Yu-cin, Sebun Jian, dan Ling-ciu-cu boleh dikata sudah hilang. Song Kang, Nyo Siong dan Thian-ing-cu yang punya hubungan erat dengan persoalan ini pun terbunuh untuk menutup mulutnya, yang ketinggalan hanyalah pihak Ca Bok-hap, mungkin dari sana masih ada sumber penyelidikan yang dapat ditemukan. Tapi waktu Ca Bok-hap keluar pintu, apakah dia meninggalkan surat itu" Seumpama dia meninggalkan surat itu, kepada siapa dia serahkan surat itu" Seumpama Coh Liu-hiang sudah tahu siapa orang itu, memangnya dia bisa menemukan jejak orang itu yang berada di tengah gurun pasir yang tak terjelajah oleh manusia"
Coh Liu-hiang menarik napas. Ia belok ke jalan samping di mana ia memasuki sebuah warung arak dan makan-minum sepuasnya. Kalau perut laki-laki sudah dijejal, sesak dengan makanan enak yang memenuhi seleranya, pikirannya pun menjadi terang dan jernih. Dari jendela yang terpentang lebar, iseng-iseng Coh Liu-hiang melongok keluar dengan sorot pandangan tertarik mengawasi orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan. Mendadak dilihatnya beberapa orang laki-laki sedang menuntun kuda mengiringi seorang gadis berpakaian jubah ungu. Mereka membelok ke arah sini dari jalan raya besar sana.
Beberapa laki-laki itu sudah tentu takkan menarik perhatian Coh Liu-iang, namun gadis yang berdandan sebagai nyonya muda itulah yang membuat matanya bersinar terang. Dia bukan lain adalah Sim San-koh.
Tampak muka bundar kwacinya itu bersungut-sungut. Sambil mengerut alis, mimik mukanya seakan-akan uring-uringan dan selalu hendak mencari gara-gara kepada orang lain, namun para laki-laki itu pun acuh tak acuh dan berjalan goyang gontai tak bersemangat.
Thian-sing-pang yang biasanya malang-melintang dan ditakuti di daerah Hoan-lam ini ternyata begini mengenaskan, sampai diusir orang dari kota Kilam, betul-betul suatu kejadian yang amat memalukan dan merupakan hinaan.
Waktu tiba di bawah pohon gundul di ujung jalan sana, mereka berhenti. Agaknya sedang merundingkan sesuatu. Laki-laki itu sama naik ke atas kuda, teus dicemplak ke arah timur keluar kota, sementara seorang diri Sim San-koh melanjutkan perjalanan ke arah barat, arah yang berlawanan.
Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tergerak hati Coh Liu-hiang, terpikir sesuatu olehnya. Lekas ia lemparkan sekeping uang di atas meja sebagai pembayaran makan-minumnya. Dengan tergesa-gesa ia mengejar ke arah barat pula, maka dilihatnya potongan badan yang langsing, montok dan menggiurkan itu sedang berlenggang di depan sana.
Dari kejauhan Coh Liu-hiang terus menguntit di belakangnya. Dengan puas ia menikmati gaya sang gadis cantik yang berlenggang menggoyangkan pinggul, siapa pun yang melihatnya dengan nyata pasti jantungnya berdebar keras. Demikianlah, rasa kecewa dan putus asa Coh Liu-hiang tadi sudah terlupakan sama sekali.
Agaknya Sim San-koh tidak menyadari dan tidak tahu bila dirinya dikuntit orang. Seumpama dia melihat Coh Liu-hiang, dia pun tidak akan mengenalnya, karena Coh Liu-hiang sekarang bukan lagi Thio Siau-lim dalam penyamarannya tadi.
Saban-saban Sim San-koh berhenti menanyakan sesuatu kepada orang-orang di pinggir jalan atau kepada pemilik toko dan penarik kereta, entah apa yang sedang dicarinya.
Tujuannya ke luar kota, jalan yang dilaluinya pun semakin sempit, penuh semak belukar dan jorok. Akhirnya dia menuju ke pojokan kota, di mana merupakan tempat tinggal rakyat tingkat rendah yang miskin. Sudah tentu Coh Liu-hiang teramat heran, sungguh ia tidak habis mengerti, siapakah sebetulnya yang sedang dia cari.
Orang seperti Sim San-koh berada di daerah seperti itu, sudah tentu kedatangannya menjadi perhatian orang banyak, ada beberapa bajingan gelandangan malah saling tuding dan bersuit menggoda, agaknya mereka sedang berdebat main nilai segala.
Tapi Sim San-koh tidak memperdulikan tingkah laku orang lain, seolah-olah acuh tak acuh dan tak mendengar ocehan kotor mereka. Kalau orang mengawasi dirinya, dia pun balas melotot kepadanya, malah sering dia bertanya ke sana ke sini pula. Orang yang dia cari dan ditanyakan alamatnya itu agaknya sudah lama menetap di daerah ini, tidak sedikit yang menuding suatu arah sambil menjelaskan. Tempat yang ditunjuk ternyata adalah sebuah bukit kecil.
Rahasia Mo-kau Kaucu 4 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama