Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Bagian 6
"Asal kau tidak rusak hubungan baik ini, kami tetap masih bisa menikmati kehidupan yang jauh tebih menyenangkan, asal kau tidak buka mulut, dan orang lainpun tidak akan yang tahu".
Lama Coh Liu-hiang menepekur, lama sekali ia berpikir, akhirnya berkata sambil menghela napas: "Jikalau mau berkata ada sesuatu yang dapat menggerakkan hati Coh Liu-hiang, itulah persahabatan yang kental!"
"Kau . . . kau mau tutup mulut?"
"Aku tidak akan mengatakan......."
"Sahabat ...... memang aku tahu Coh Liu-hiang memang sahabat kental Lamkiong Ling".
"Aku tidak akan katakan, tapi kau harus terima dua syaratku!".
Lamkiong Ling melengak, ..tanyanya: "Dua syarat apa?"
"Walau kau harus menuntut balas terhadap kematian ayahmu, tindakanmu tidak semestinya begitu kejam, tidak pantas pula kau mencelakai jiwa beberapa orang yang tak berdosa aku harap sementara kau meletakkan jabatan Pancumu, pergilah cari suatu tempat menyekap diri dan renungkan segala kesalahanmu selama ini. Kau.... masih muda, kelak masih bisa bekerja mulai dari permulaan, mengandal bakat dan kecerdikanmu, kelak tentu banyak yang bisa kau hasilkan".
Membesi muka Lamkiong Ling, katanya dengan tertawa menengadah: "Coh Liu-hiang, sahabat baikku! Terhitung tidak kau katakan hendak membunuhku, dan sebaliknya kau suruh aku bekerja dari permulaan, kelak kapan" Sepuluh tahun" Dua puluh tahun ..." mendadak ia berjingkrak bangun, sekujur badannya gemetar keras, katanya serak: "selama hidup seseorang, punya berapa kali dua puluh tahun" Kenapa kau harus paksa aku mengorbankan! saat-saat terindah selama hidup jiwaku ini" kenapa tidak cekak aos saja kau katakan hendak membunuhku?"
"Aku hanya ingin kau bertobat dan menebus dosa akan semua perbuatanmu, hanya ingin kau merubah tata hidup dan menyesal diri, aku tidak ingin kau mati. Ketahuilah, mati, bukan cara terbaik untuk menebus dosa seseorang".
"Lalu apa pula syaratmu yang kedua" Ingin pula aku mendengarkan".
"Aku hanya ingin tahu dan sukalah kau memberi tahu kepadaku, siapakah sebetulnya si "dia"
itu?". "Dia?" Lamkiong Ling menegas dengan mengerut alis.
"Ya. dia yang membunuh Thian-eng-cu dan Song Kang, dia adalah orang yang menyaru jadi Thian-hong-cap-si-long, orang yang hendak mencabut nyawaku, dia pula orangnya yang mencuri Thian-it sin-cai dari Sin-cui kiong itu".
Seperti kena setrum kuat badan Lamkiong Ling bergetar hebat, seketika ia terkesima dan melongo,
"Jelas kau sudah tahu, perbuatannya itu. tentu bukan hanya ingin membunuh Jin Jip saja, dia pasti banyak mempunyai rencana jahat lainnya, sekali-kali aku tidak bisa berpeluk tangan menyaksikan rencana jahat kalian terlaksana, aku harus merintanginya".
Lamkiong Ling kertak gigi, katanya sepatah demi sepatah: "Selamanya kau takkan bisa merintangi dia, tiada seorangpun dalam dunia ini yang mampu menghalangi maksudnya!"
"Sampai detik ini, kenapa kau masih merahasiakan dirinya" Tahukah kau, kematian Jin Jip tidak lebih hanyalah salah satu petilan dari rencana jahatnya, kau tidak lebih hanya diperalat untuk membunuh Jin Jip saja bila tiba waktunya dimana dia pandang perlu, jiwamu sendiripun bakal dia bunuh juga.
Mendadak Lamkiong Ling terkial-kial menggila lagi, serunya: "Dia memperalat aku" Diapun bisa membunuh aku".... tahukah kau siapa dia?"
"Justru aku tidak tahu siapa dia, maka kutanya kau".
"Sangkamu aku sudi mengatakan kepada kau?"
"Lamkiong Ling! Lamkiong Ling! Sebetulnya akupun tidak ingin melukai kau, kenapa kaupun ingin mendesakku?"
"Kaulah yang memaksaku bukan aku memaksamu walau aku tidak ingin melukai kau kalau sudah terpaksa, apa boleh buat aku harus turun tangan terhadapmu".
"Kau pasti takkan bisa turun tangan karena ilmu silatmu terang bukan tandinganku".
"Apa benar?" jengek Lamkiong Ling, kelihatannya badannya tidak bergerak, namun tahu-tahu tubuhnya melesat terbang lempang dari atas kursinya, demikian pula Coh Liu-hiaug tidak pernah bergeming, tapi badannya pun ikut mencelat terbang.
Tapi setiba di tengah udara Coh Liu-hiang masih bergaya orang duduk, kursi kayu cendana yang besar berat itu, seolah olah lengket dengan kulit badannya. Keduanya beradu ditengah udara, terdengar dua tapak tangan saling beradu keras, beruntun sempat tujuh kali, dalam tempo sedemikian pendek dan secepat kilat keduanya sudah adu pukulan tujuh kali. Tujuh pukulan kemudian, bayangan keduanya terpental balik pula kearah datangnya masing masing.
Membawa kursinya dengan enteng tanpa mengeluarkan suara sedikitpun Coh Liu-hiang meluncur balik ketempatnya, persis ditempatnya semula tanpa tergeser sedikitpun, sedemikian berat dan keras kursi cendana itu, namun tidak menimbulkan suara apapun beradu dengan lantai batu hijau.
Sebaliknya Lamkiong-Ling jumpalitan balik dan meluncur pula keatas kursinya, namum dia buat kursi cendana yang berat itu terkeresek mengeluarkan suara, roman mukanya pun berubah pucat dan bengis.
Walau keduanya tidak menderita luka-luka namun tak dapat disangkal sudah menunjukkan perbedaan tingkat kepandaian silat mereka. Meski pendek gebrak pertarungan adu ke pandaian ini, jelas akibatnya bakal merupakan ketentuan situasi Bulan mas mendatang. Kelihatannya gebrak sekali ini sedemikian enteng dan singkat saja, namun betapa penting arti pertarungan ini tidaklah lebih genting dan gawat dari suatu pertempuran mati hidup yang pernah terjadi pada mana lalu.
"Lamkiong Ling! Masakah kau masih ingin paksa aku turun tangan terhadapmu?"
Dari merah berubah hijau dan memuncat pula rona wajah Lamkiong Ling, sikapnya kelihatan sedih dan harus dikasihani, katanya menghela napas dengan menengadah: "Lamkiong Ling!
Lamkiong Ling! Kau berlatih menggembleng diri selama duapuluh tahun, ternyata tak mampu menghadapi gebrakan serangan musuh?" mendadak ia melompat bangun, bentaknya keras: "Coh Liu-hiang, jangan kau takabur, kalau Lamkiong Liong hari ini berani menunggumu disini, masakah aku tidak punya cara lain untuk menundukkan kau?" ditengah hardikannya sambil mcngulupkan tangan, tahu-tenu seorang laki-laki tinggi besar delapan kaki, dengan telanjang dada dan kepala pelontos gundul seperti kingkong beranjak keluar sambil menjinjing sebuah kursi tinggi diatas pundaknya.
Dibawah penerangan sinar lilin yang terang benderang, tampak jelas diatas kursi itu duduk pula seseorang, raut mukanya pucat pias, sepasang biji matanya yang indah tertuju kosong lempang kedepan.
Berubah pucat muka Coh Liu-hiang teriaknya tersirap: "Yong ji, kau.... bagaimana kau bisa berada disini?" Soh Yong-yong seperti tidak mendengar pertanyaannya. Ia duduk lemas tanpa bergerak.
Lamkiong Ling tertawa dingin, ejeknya: "sudah tentu akulah yang mengundang kemari, kecuali aku siapa yang mampu mengundangnya kemari?"
"Peristiwa di Hong-ih-ting, dipinggir Toa-bing-ouw, keempat laki-laki jubah hijau itu jadi orang-orang utusanmu?"
"Ya, tidak salah !" Lamkiong Ling mengakui.
"Darimana kau bisa tahu dia berada disana?"
"Bulan purnamu di Toa bing-ouw, janji pertemuan menjelang magrib! Kalau Bu Hoa sudah memberi ingat kepada aku, sudah tentu aku harus menengok sendiri, kulau aku dulu pernah menggambar lukisannya, karena aku tidak bisa mengenalnya?"
"Kau kuatir dia berhasil mencari tahu seluk rahasia pihak Sin-cui-kiong, maka kau suruh anak-anak buahmu turun tangan jahat, tapi kalau toh kalian sudah turun tangan serapi itu dari mana pula dia bisa tahu bila dia belum ajal?"
Limkiong Ling tersenyum, ujarnya: "Aku tahu pemuda baju hitam itu ada menyaksikan dari kejauhan, sengaja kubiarkan dia untuk membawa kabar kepadamu, tapi waktu kau kemari sedikitpun tidak menunjukan kesedihan hati, dari sini dapatlah kusimpulkan bahwa Soh Yong-yong hakekatnya, belum mati! Oleh karena itu kau pura-pura masuk WC, terus melarikan diri, aku tidak mengejar kau, malah mengejar dia! Memang sukar mengejar kau lebih gampang meringkus dia!"
"Sebaliknya dia sedikitpun tidak menaruh curiga terhadap kau, kalau tidak mana mungkin bisa terjatuh ketanganmu?"
"Memangnya dia pernah mencurigai sahabat karib Coh Liu-hiang".
Tiba-tiba Coh Liu-hiang seperti teringat sesuatu, bentaknya keras: "Tidak benar! Waktu keempat laki jubah hijau turun tangan kepadanya, kau sedang menemani aku menemui Jin-hujin, terang kejadian itu ada orang lain yang merencanakan, siapa dia" Darimana pula dia bisa kenal dengan Yong ji?"
Berubah pula air muka Lamkiong Ling bentaknya bengis: "Kalau aku sudah keluarkan perintahku, memangnya aku sendiri harus hadir disana?" tanpa menunggu Coh Liu-hiang bica"ra kembali ia membentak: "turunkan dia?"
Laki-laki besar seperti kingkong melempangkan kedua tangannya didepan dada, pelan-pelan ia turunkan kursi yang dipanggulnya tadi.
"Kenapa tidak kau pertotonkan kekuatan kedua tanganmu itu?" kata Lamkiong Ling kepada manusia Kingkong itu.
Laki-laki besar itu membuka lebar mulutnya yang bertaring besar menyeringai lucu, kedua tapak tangan segede kilas itu peran-pelan terulur kedepan meraih sebuah kursi, pelan-pelan pula kedua tangannya terangkap mundur dan sedikit gencet, "pletak" kursi kayu cendana yang berat dan besar itu kena digencetnya hancur berkeping-keping.
Lamkiong Ling tertawa besar, serunya: "Bagus sekali! Sekarang letakkan kedua tapak tanganmu diatas kepala nona cilik itu, Cuma kau harus hati-hati sedikit, jangan kau gencet kepalanya sampai pendang" betul juga pelan-pelan tangan sebesar itu cukup memegang kepala Soh Yong-yong lalu sedikit ditarik ke atas.
Menuding Coh Liu-hiang, berkata Lamkiong Ling kepada manusia kingkong itu; "Sekarang pentang lebar matamu, pandang seluruh badannya, asal jarinya saja bergerak, lekas kau gencet remuk batok kepala nona itu".
Laki-laki Kingkong itu ternyata terolok-olok senang, seperti mendapat suatu mainan yang menarik hatinya, sebaliknya Coh Lau-hiang merasa kaki tangan berkeringat dingin katanya sambil menengadah: Lamkiong Ling! Lamkiong Ling! Tak nyana kau tega melakukan pebuatan serendah hina dina seperti ini
Kau.... tindakanmu ini sungguh membuat hatiku kecewa".
Lamkiong Ling melengos, katanya serak: "Sebetulnya aku tidak ingin berbuat begini tapi kenapa harus mendesakku begini rupa?"
"Sekarang, kau.... apa keinginanmu yang sebenarnya?"
"Aku hanya ingin kau tahu Soh Yong-yong sudah terjatuh ditanganku, kalau kau masih ingin dia tetap hidup, maka jangan sekali-kali ikut campur mengurusi persoalan pribadiku!"
Lama Coh Liu-hiang berpikir, katanya kemudian: "Jikalau aku tidak hiraukan jiwanya, tetapi mencampuri urusanmu, bagaimana?"
Lamkiong Ling bepaling, sahutnya tertawa: "Aku yakin benar, Coh Liu-hiang bukan laki-laki yang suka berbuat senekad itu".
"Kalau demikian, kau.... maksudmu kau hendak menahan Soh Yong-yong selamanya ditempatmu ini?"
"Peduli dimana saja, pasti akan kuusahakan supaya kau tahu bahwa dia masih tetap hidup, kukira keputusan ini jauh lebih baik dari kematiannya, benar tidak?"
"Tapi akupun masih tetap hidup, sehari aku masih bernyawa, jangan harap kalian bisa berlega hati. Seandainya sekarang aku menyetujui saranmu ini, kalian toh tetap akan berusaha menamatkan jiwaku, benar tidak?"
Lambat-lambat Lamkiong Ling menarik muka, katanya sepatah demi sepatah: "Itulah persoalan lain, mati hidupmu tiada hubungannya dengan mati hidupnya, jikalau kau masih ingin dia tetap hidup, sekarang juga harus tunduk akan perkataanku".
"Setelah aku mati, kaupun membunuhnya juga".
"Kalau kau sudah mampus, mati atau hidup masih ada hubungan apa dia dengan kau, tetapi jikalau kau masih hidup tentu takkan tega melihat kematiannya lantaran kau ya?"
"Kukira imbalan syaratmu ini terlalu tidak adil!"
"Sampai detik ini, kau masih bermimpi memperoleh imbalan syarat yang adil?" seru Lamkiong Ling terbahak-bahak. Palagi, sebelum kau mampus, kau kan masih punya kesempatan bisa menolongnya keluar dengan selamat".
Dengan nanar Coh Liu-hiang mengawasi ke arah muka Soh Yong-yong, tanpa sadar ujung jarinya mulai gemetar. Jikalau ada orang bilang ternyata Coh Liu-hiang bisa juga gemetar mungkin tiada orang dalam kolong langit ini yang mau percaya.
"Coh Liu-hiang!" seru Lamkiong Ling tertawa besar. Sebenarnya aku cukup memahamimu sampai ketulang-tulangmu, aku tahu kau harus tunduk kepadaku, sekarang tiada pilihan lain lagi bagi kau!"
Ujung mata Coh Liu-hiang seperti mengerling sekilas kepadanya, lalu berkata dengan menghela napas lebih dulu: "Lamkiong Ling, kalau kau sudah bikin aku kecewa mungkin suatu ketika akupun bisa bikin kau teramat kecewa terhadapku".
Ketika itu mendadak terdengar suara samberan: "serrr", selarik bayangan hitam membawa deru angin kencang, bagai ular jahat tahu-tahu membelit kencang keleher laki-laki kingkong itu.
Dengan menjerit marah laki-laki Kingkong itu angkat kedua tangannya, baru saja tangannya terangkat, seenteng asap secepat kilat tahu-tahu Coh Liu-hiang sudah berkelebat kesana dan menyambar Soh Yong-yong seperti elang menyambar anak ayam kedepan sana.
Saking kagetnya, Lamkiong Ling hendak ikut menubruk maju, tetapi selarik sinar pedang yang tajam berhawa dingin tahu-tahu laksana bianglala meluncur tiba menghadang didepannya.
Coh Liu-hiang membawa Soh Yong-yong kepojok pendopo sana baru sempat menghela napas lega, gumannya tertawa: "Hek tin-cu, It giam-ang, aku kenalan dengan kalian sungguh nasibku menjadi baik".
Cambuk ditangan Hek tin-cu sudah ditariknya sekencang gendewa, dengan kedua tangannya ia menarik setakar tenaganya, seperti kawanan nelayan di sungai Tiang Kang yang menarik perahunya menanjak air diselat-selat yang berbahaya, badannya hampir rebah sejajar dengan lantai, jari-jari tangan dan lengannya yang halus sudah menghijau hitam dan merongkol obat-obatnya. Walau dia sudah kerahkan setakar kekuatannya menarik, laki-laki Kingkong itu ternyata tidak bisa ditarik roboh, ujung cambuknya boleh dikata sudah menjerat kencang masuk kedalam kulit dagingnya, sampai kedua biji matanya yang besar itu mencorot keluar seperti mata ikan mas.
Tapi sedikitpun ia tidak bergeming ditempatnya, bukan saja tidak ulur tangan mengendor jeratan ujung cambuk dilehernya diapun memburu kearah Hek Tin-cu, sementara lehernya bersuara keruyukan, katanya sambil tertawa terkekeh-kekeh: "Anak muda kau takkan bisa menarikku roboh!"
Bukan saja Hek tin-cu belum pernah melihat orang yang bertenaga sedemikian besarnya, diapun belum pernah melihat manusia dengan otak setumpul ini, sungguh hatinya kejut dan heran, mendadak ia berseru lantang: "Apa sebaliknya kau mampu menarikku roboh?"
Laki-laki Kingkong membuka mulutnya tertawa lebar, betul-betul ia gunakan kekuatan lehernya untuk menarik cambuk panjang, kedua pihak sama-sama menggunakan seluruh kekuatannya.
"Tas" cambuk panjang itu tiba-tiba putus ditengah-tengah.
Badan Hek tin-cu menumbuk tembok, saking kagetnya ia jejak kaki melambung naik ke atas belandar, tampak badan laki-laki Kingkong sebesar menara itu pelan-pelan roboh terjerembab, kulit mukanya yang hitam dan merah ungu, lidahnya sudah terjulur panjang keluar demikian pula kedua biji matanya mencorot keluar, seolah-olah masih melotot kepada Hek tin-cu. Tak tahan Hek tin-cu dibuatnya, katanya tertawa kecut dengan bergidik: "Orang yang punya kekuatan luar biasa pada kaki tangannya kenapa otaknya selalu tumpul!"
Memandang dari atas belandar dilihatnya It-tiam-ang dan Lamkiong Ling sedang berhadapan seperti dua onggok kayu sampai sedemikian jauh belum ada yang bergerak lebih dulu. Mata Lamkiong Ling tertuju pada ujung pedang ditangan It-tiam-ang melirikpun tak berani ke arah lain, tapi kejadian disekitarnya meski dia tidak melihatpun bisa mendengar atau membayangkan.
Keringat dingin sudah berketes-ketes diatas jidatnya mendadak berkata dengan keras: "It tiam-ang kontan kau hanya membunuh orang karena uang, apa benar?"
Biji mata It-tiam-ang yang abu-abu dingin membeku seperli biji mata ikan yang sudah mati kaku menatap kepadanya tanpa bersuara.
"Jikalau kau mau bantu aku membunuh Coh Liu-hiang kuberi kau selaksa tail".
Bergerak ujung mulut It tiam-ang, katanya sambil tertawa lebar: "Selaksa tail" Apakah Coh Liu-hiang berharga setinggi itu?"
"Kau bunuh aku, jelas tiada orang yang sudi membayar kau setinggi itu, benar tidak!"
"Benar, karma manusia seperti kau ini sepeserpun tak berharga," jengek It-tiam-ang.
"Kalau demikian, lebih tidak setimpal kau membunuh, aku."
Terunjuk senyum sinis menghina diujung mulut It-tiam-ang, katanya kalem: "Tabukah kau, seumpama lonte (pelacur), bila dia kebentur tamu yang dia penujui, bolehlah diam, layani sekali secara gratis, kali ini aku membunuhmu pula secara gratis!" habis kata-katanya pedangnyapun bergerak.
Merah jengah muka Hek-tin-cu, tapi tidak tertahan dia lertawa geli, katanya: "Perumpamaan ini walau kotor dan kasar, tapi amat tepat sekali".
Tampak dalam sekejap itu It-tiam-ang sudah menusuk tujuh kali, ilmu pedangnya teramat brutal dan aneh, serba istimewa, lengan bagian atas sikut sedikirpun tak bergeming tapi bintik-bintik sinar pedangnya laksana hujan gencarnya merangsak pada lawan! Beruntung Lam kiong Ling tersurut mundur tujuh langkah, serunya dengan gelak tawa serak: "It-tiam ang, kau kira aku takut pada kau?"
"Aku tak suruh kau takut kepadaku aku cuma ingin kau mampus"
"Mungkin kau lah yg mampus" damprat Lam kiong Ling. Sekali raih ia tarik sebuah kursi terus di lempar, bebareng tangan kanan meraba pinggang melolos sepasang Bian-to. "Sret-sret-sret"
sinar golok seperti sekuntum salju yang berterbangan di angkasa, tiga kali goloknya membacok dengan dahsyat. Gerak serangan goloknya tanpa kembangan variasi, tapi cepat, gesit, ganas dan kenyataan.
Selama hidup dan malang melintang It-tiam ang tidak terhitung menghadapi lawan lawan tangguh sudah tentu ia cukup tau banyak ilmu silat seperti ini yang cukup menakutkan. Jikalau kau beranggapan ilmu silat ini tidak enak dipandang mata, tahu tahu sejurus sambaran kilatnya sudah menamatkan jiwamu.
Ilmu golok semacam ini sebenarnya tidak ada sesuatu yg indah yg patut dibanggakan, tiada guna atau manfaat lainnya selain untuk membunuh orang.dan manfaat dalam hal ini justru amat berguna sekali.
Semakin menyala biji mata It-tiam ang serunya tertawa besar " Tak nyana hari ini aku bisa berhadapan dengan lawan tangguh seperti kau ini, tak sia sia perjalanan ku kali ini."
Sinar golok dan hawa pedang, mendesak mundur dan membuat sesak napas Hek-tin cu, sekujur badan terasa dingin, sudah lama dia menyaksikan pertempuran tokoh tokoh kosen, tapi belum pernah menyaksikan pertempuran seperti ke dua orang ini. Seolah olah pertempuran ini bukan manusia yg sedang berkelahi, lebih pantas kalau dikatakan dua serigala kepalaparan sedang berebut mangsa, setiap jurus, setiap tipu serangannya tujuannya mencabut jiwa musuhnya, terang tiada maksud lain kecuali membunuh musuhnya.
Sinar golok dan pedang saling sambar dan saling gubat menggubat serang menyerang, walau tidak mendengar benturan ke dua senjata, namun hawa membunuh yg bersuhu dingin menguap naik sehingga Hek-tin Cu yang berada diatas beranda terdesak, napas sesak dan tak kuat bertahan lagi.
Lekas ia melompat tiga tombak jauhnya kemudian melayang turun kelantai dilihatnya Coh Liu-Hiang sedang sibuk mengurut dan melancarkan jalan darah Soh Yong-Yong, wajah Soh Yong-Yong yang pucat tadi lambat laun mulai merah berwarna darah.
Tak tahan Hek-tin cu memburu maju dan menepak pundah Coh Liu-Hiang," Tahukah kau orang lain sedang adu jiwa demi kau?" "Tahu" sahut Coh Liu-Hiang "Memangnya kau tidak perduli dan turut campur?"
Coh Liu-Hiang tertawa tawa ujarnya "Kalau Tionggoan It-Tiam Ong sudah turun tangan memangnya perlu orang lain turut campur?" "Agaknya kau lega sekali" olok Hek-tin Cu.
"Masakah ilmu pedang It-Tiam Ong tidak bisa melegakan hatiku?" Terdengar "Cret" It-Tiam Ong melompat miring tujuh langkah baju atasnya tampak tergores robek terkena sambaran golok, darah segar sudah merembes membasahi badannya.
Lam kiong-Ling tertawa besar serunya "It-Tiam Ong kau masih belum puas?" "Cis" It-Tiam Ong berludah keatas pundaknya yang terluka, tahu tahu pedangnya sudah menusuk pula. Seketika berubah pula air muka Hek-tin cu, sentaknya bengis:" Sekarang kau masih berlega hati?"
Coh Liu-Hiang tertawa getir katanya "Kalau It-Tiam Ong sudah turun tangan, jikalau siapa ikut membantunya, siapa adalah lawannya apalagi kepandaian silat ke dua orang ini sama setingkat sebanding. Siapa pun jangan harap bisa melukai siapa." "Oleh karena itu kau berpeluk tangan saja begitu?" "Dalam sepuluh jurus Lamkiong-Ling pasti kena dibikin cedera juga oleh pedang It-Tiam Ong, tidak lebih dari tiga puluh jurus dia pasti minta menghentikan pertempuran. Kalau belum waktunya tidak berguna aku ikut mencampuri."
"Mungkin hatimu sudah tumplek pada nona cantikmu ini, masa masih perduli dengan mati hidup orang lain. Sungguh tak nyana oleh ku Coh Liu Hiang yang cemerlang namanya ternyata lebih mementingkan paras cantik daripada persahabatan kental."
Belum habis kata katanya terdengar "Cret" sekali lagi, Lamkiong Ling terhuyung mundur, pakaiannya berlubang, darah pun membasahi pakaiannya. Coh Liu Hiang menyengir sambil berpaling pada Hek-tin Cu, katanya "Belum penuh sepuluh jurus malah, benar tidak?"
Sekian lama Hek-tin Cu tertunduk entah apa yg ia renungkan, akhirnya ia tujukan sorot matanya ke muka Soh Yong-yong. Sorot matanya yang kelihatan dalam itu. Seakan akan timbul suatu perubahan yang sedemikian rumit. Katanya pelan pelan "Dia memang teramat cantik."
"Bukan hanya cantik saja." "Tapi menurut pendapatku, perempuan yang lebih cantik dari dia masih banyak jumlahnya."
"Mungkin dia tidak bisa terhitung yg tercantik, tapi paling lembut, paling setia, paling pandai melayani dan perempuan yg paling bisa menyelami hati orang lain. Menurut apa yang tahu mungkin belum pernah ada perempuan yang bisa dibandingkan dia di dalam dunia ini."
Pucat muka Hek-tin Cu agaknya hendak mengucapkan apa apa, namun ia tahan sambil mengigit bibir, tiba tiba ia membalik badan tak sudi melihat mereka lagi. Terdengar Lamkiong Ling sedang membentak:" Coh Liu-Hiang! marilah kau saja yang perang tanding ini sama aku untuk menyelesaikan urusan ini. Kau sendiri tadi yang mengatakan hal ini, apa sekarang kau masih ingat?" "Sudah tentu masih ingat."
"Jikalau kau ingin tahu siapa tokoh misterius itu, lekas kau suruh keparat berdarah dingin ini menghentikan pertempuran." Coh Liu-Hiang angkat pundak katanya" Sayang bukan saja aku tidak bisa turun tangan, akupun tidak bisa menyuruhnya berhenti.... Jikalau It tiam-Ang ingin membunuh seseorang, tiada seorang pun yg kuasa mencegahnya."
Siapa tahu mendadak It tiam-Ang melompat setombak jauhnya, katanya dingin "Aku sudah berhenti, karena dia tidak mampu bunuh aku, akupun tidak mampu membunuhnya. Kalau perkelahian ini diteruskan tidak ada artinya, biarlah kuserahkan pada kau." "Terima kasih."
Lama juga It tiam-Ang menatapnya lekat lekat, katanya kalem "Tidak perlu terima kasih, asal kau ingat sejak semula sampai akhir It tiam-Ang tetap sahabatmu." Belum habis berkata badanya sudah melambung tinggi jumpalitan kebelakang terus melesat ke luar jendela dan memghilang entah kemana.
"kenapa dia selalu bilang datang ya datang mau pergi tinggal pergi." Baru sekarang Lamkiong Ling berhasil mengatur nafas, katanya serak "Coh Liu-Hiang kalau kau ingin menyelesaikan persoalan ini marilah ikut aku!." Coh Liu-Hiang menengok ke arah Soh Yong yong katanya;" Ikut aku?"
Hek tin-Cu menyela keras katanya "Coh Liu-Hiang saat ini amat berat untuk tinggal pergi, demi perempuan ini urusan apapun boleh tidak usah diurus."
Berputar biji mata Lamkiong Ling katanya "Jikalau kau tidak mau pergi jangan salahkan aku."
Sengaja ia putar badan jalan lambat lambat, agak nya ia tidak ingin melarikan diri sebab di tahu
"lari" bukan suatu cara terbaik, kalau tidak sejak lama dia sudah menghilang tak karuan peran.
Betapa Coh Liu-hiang tidak bisa membiarkan orang pergi demikian saja, katanya: "Hek heng, agaknya sementara aku harus serahkan dia dalam pengawasanmu".
Hek tin cu mendongak memandang langit, sahutnya dingin: "Masa kau tidak kuatir?"
"Dia tertotok Hiat-tonya dengan Jong jiu hoat tapi setelah kuurut tadi, sebentar lagi bakal siuman. Cukup asal Hek heng beritahu kepadanya, suruh dia selekasnya pulang, urusan lain tidak perlu dia kuatirkan".
Sesaat Hek tian cu ragu-ragu, sahutnya kemudian: "Baiklah! Pergilah kau, aku akan suruh dia pulang, tapi aku tetap akan menunggu kau, masih ada pertanyaan yang hendak kuajukan kepadamu.
Setelah Coh Liu-hiang keluar mengikuti jejaknya, baru Lamkiong Ling percepat langkahnya.
Beberapa kejap mereka berlari-lari kencang, entah berapa jauh perjalanan sudah mereka tempuh, tiba-tiba Lamkiong Ling berkata: "Agaknya kau lega menyerahkan dia kepada orang lain?"
"Kenapa aku harus kuatir?"
"Masalah kau tahu bila anak muda itu tidak akam mecelakai jiwanya?"
"Kau kira karakter dan martabat orang lain sekejam dan telengus sepeti kau?"
"Aku hanya anggap kau ini orang yang cerdik pandai dan cermat, siapa tahu ada kalanya kaupun bertindak kurang hati-hati".
"Memangnya aku ini serba teliti, jikalau pernah terpikir dalam benakku bila Hek tin cu punya alasan untuk mencelakai jiwa Yong ji, meski sekarang aku terpaksa, sekali-kali tidak akan kusserahkan Yong ji kepadanya, jika kau pikir dengan persoalan ini kau hendak bikin hatiku tidak tenang, sehingga gugup dan kacau, kunasehati kau batalkan saja niatmu ini".
Lamkiong Ling terloroh-loroh dingin, selanjutnya memang dia tidak banyak kata lagi. Tampak tak jauh di depan sana bayangan air kemilau dibungkus kabut tebal, tahu-tahu mereka sudah tiba di Toa bing-ouw.
Di bawah ayoman dahan pohon Liu yang menjuntai turun, sebuah sampan terikat disana didalamnya ternyata terpasang sebuah pelita yang bersinar terang, dari luar jendela kelihatan disana sudah tersedia sebuah meja hidangan yang serba komplit.
Setelah Coh Liu-hiang masuk ke dalam ruangan kapal, Lamkiong Ling menarik galah dan menutul tanggul, sehingga sampan meluncur ke tengah danau. Kabut tebal dimana-mana banyak asap seperti hujan, mengikuti riak gelombang yang mengalun halus, sampan melaju ke depan terbawa angin, di tengah alam semesta yang tak berujung pangkal ini, terkadang si maling romantis yang misterius, orang akan terpesona tanpa sadar, tak tertahan orang akan berdiri bulu kuduknya.
Coh Liu-hiang memilih kursi dan duduk dengan nyaman, namun hatinya sedikitpun tidak merasa nyaman, terasa olehnya persoalan yang dihadapinya ini makin lama semakin janggal.
Kenapa Lamkiong Ling membawa dirinya ke tempat ini" Pembunuh misterius itu, apakah dia berada di atas sampan besar ini"
Tapi kecuali Coh Liu-hiang dan Lamkiong Ling, jelas di atas sampan tiada orang ketiga! Hal ini Coh Liu-hiang berani pastikan sesaat setelah dia beranjak ke atas sampan ini.
Hembusan angin malam nan sepoi-sepoi, menyibak bau harum arak dan masakan, bau daun pohon liu nan wangi, tapi yang tersedop dalam pernapasan Coh Liu-hiang sebaliknya adalah hawa membunuh yang amat tebal.
Kini Lamkiong Ling sudah duduk berhadapan dengan Coh Liu-hiang, katanya sambil mengawasinya: "Tahukan kau kenapa aku membawamu kemari?"
"Tentunya kau tidak ingin membunuhku disini, jikalau kau hendak membunuh aku, tentunya lebih jauh meninggalkan air lebih baik".
"Benar, tiada orang yang mau membunuh Coh Liu-hiang di dalam air".
"Apakah si dia yang suruh kau membawaku kemari?"
"Benar! Dia beritahu kepadaku, bilamana aku sendiri tidak bisa menyelesaikan persoalan ini, bawa saja kau kemari, biar dia sendiri yang akan menyelesaikan".
"Kau kira dia akan datang?"
"Tentu akan datang!"
"Pikiranmu setelah dia datang, lantas bisa menyelesaikan persoalan ini?"
"Jikalau ada seseorang yang bisa menghadapi Coh Liu-hiang, orang itu adalah si dia itulah!"
"Siapa si dia itu, sungguh aku tak mengerti dia punya cara penyelesaian apa?"
"Cara yang dia gunakan tiada orang lain yang dapat menyimpulkan sebelumnya".
"Agaknya kau terlalu yakin akan kemampuannya?"
"Dalam dunia ini jikalau ada orang yang dapat kupercayai, orang itu hanya dia saja".
Coh Liu-hiang pejamkan mata, katanya pelan-pelan: "Siapakah orang yang demikian itu"
Kalau toh dia sudah tahu membunuh Coh Liu-hiang diatas air jauh lebih sukar daripada didaratan kenapa membawaku keatas sampan ini" Sebetulnya rencana apa yang sedang dia atur"
Sebenarnya dia punya cara apa untuk menghadapi aku" Sungguh aku tak sabar lagi menunggu, ingin secepatnya aku berhadapan dengan dia".
Teringat akan kelicikan orang, telengas dan kejahatannya, mau tidak mau Coh Liu-hiang bergidik bulu romanya, musuh-musuh yang pernah dia hadapi selama hidupnya, sungguh tiada seorangpun yang begini menakutkan,
Lamkiong Ling menuang dua cangkir arak, katanya: "Jikalau aku jadi kau, sekarang lebih baik minum-minum dulu, tidak berguna kau banyak peras otak, apalagi saat-saatmu menikmati arak toh takkan lama lagi".
Arak bening berwarna hijau pupus kelihatan memancarkan cahaya didalam cangkir emas.
Lamkiong Ling angkat cangkirnya terus ditenggak habis, katanya menengadah: "Tapi aku berdoa semoga menemukan rahasia ini bukan kau. Siapapun dia, jikalau hendak membunuh sahabat yang dulu pernah menangkap kura-lura besar bersama tentunya bukan sesuatu yang patut dibuat girang!"
Jari tangan Coh Liu-hiang menyentuhpun tidak cangkir arak itu, katanya: "Akupun mengharap kau adalah Lamkiong Ling yang pernah bantu aku menangkap kura-kura itu".
Lamkiong Ling tertawa-tawa, tiba-tiba ia mengerut alis, katanya: "Arakmu ....".
Masih banyak waktu untuk aku minum arak sekarang tidak perlu tergesa-gesa!
Coh Liu-hiang ternyata tidak tergesa-gesa minum arak, sungguh suatu kejadian luar biasa dan aneh.
"Kau jangan lupa, aku adalah seorang yang amat teliti".
"Kedua cangkir arak ini kutuang dari poci yang sama, jikalau kau masih kuatir, secangkir ini biar kuhabisi sekalian!" lalu ia raih cangkir dihadapan Coh Liu-hiang dan ditenggaknya habis.
"Agaknya orang yang terlalu teliti meski mungkin bisa berumur panjang, berapapun dia harus mengorbankan arak-arak bagus yang seharusnya dia nikmati".
"Tidak seharusnya kau curiga arak ini mengandung racun, tokoh mana dalan dunia ini meracun mati Coh Liu-hiang hanya dengan permainan arak beracun. Masakah dia bakal menaruh....." belum lagi kata-kata "racun" keluar dari mulutnya, air mukanya mendadak berubah hebat. Lengan, jidat dan lehernya.... otot-otot hijau merongsok keluar semua.
"Kenapa kau?" teriak Coh Liu-hiang kaget.
"Arak ini...." sahut Lamkiong Ling bergetar.
"Apa benar arak ini mengandung racun?" seru Coh Liu-hiang tersirap darahnya, lekas ia memburu maju dan membuka kelopak mata Lamkiong Ling, namun tak terlihat tanda-tanda keracunan, tapi sekujur badan Lamkiong Ling semakin panas seperti terbakar.
Melonjak jantung Coh Liu-hiang, teriaknya kaget: "Thian it sin cui, arak ini ada dicampur dengan Thian it sin cui!"
Coh Liu-hiang membanting kaki, katanya: "Sampai sekarang kau masih belum paham" Bahwa dia mencampuri air sakti itu didalam arak ini, tujuannya bukan hendak mencelakai jiwaku, namun kaulah yang menjadi sasaran utama! Diapun tahu setiap waktu aku selalu bertindak hati-hati, sebaliknya kau tidak mungkin kau bersiaga terhadapnya".
Coh Liu-hiang menengadah dan melanjutkan: "Sejak naik ke atas sampan ini aku sudah merasa disini diliputi mara bahaya, numun tak pernah terpikir olehku dengan cara apa dia hendak mencelakai diriku, baru sekarang aku paham, ternyata yang dia tuju bukan aku sebaliknya jiwamu yang diincarnya".
"Tapi dia.... kenapa dia harus membunuhku?" teriak Lamkiong Ling keras.
"Karena asal kau mati segala sumber penyelidikan ku bakal putus semuanya, asal kau sudah ajal, dia tetap boleh keluntang-keluntung kemana dia suka, dan tidak akan ada orang tahu siapa sebenarnya si "dia" itu".
Bergetar badan Lamkiong Ling, agaknya ia amat kaget akan kata-kata ini, matanya mendelong. Kini sekujur badannya mulai membengkak besar, kulit dagingnya mulai pecah, sampaipun urat nadi dan jalan darahnyapun merekah, ujung mata, hidung, sela-sela kuku jarinya, mulai merembeskan darah segar.
Coh Liu-hiang membentak keras: "Tanpa kenal kasihan dia turun tangan jahat membunuhmu, kenapa kau masih mempertahankan menyimpan rahasianya" Lekas kau katakan siapakah dia sebenarnya, sekarang kau masih sempat mengatakan".
Seperti mata ikan mas biji mata Lamkiong Ling melotot keluar, gumannya: "Katamu dia hendak membunuh aku.... aku masih tidak percaya.... "
"Sudah tentu dia harus membunuh kau! Kalau tidak jelas dia tahu aku takkakn minum arak kenapa dia menaruh racun dalan arak" Kenapa tidak beritahu kepadamu lebih dahulu bahwa arak itu beracun?"
Agaknya Lamkiong Ling tidak memahami kata-katanya seluruhnya, mulut tetap menggumam sendiri: "Aku tidak percaya.... aku tidak percaya...."
Sekali raih Coh Liu-hiang cengkram baju didepan dadanya, teriaknya serak: "Kenapa kau tidak percaya" Masa kau.... "
Bibir Lamkiong Ling yang sudah merekah, mendadak menampilkan senyum pilu, katanya:
"Tahukah kau siapa dia?"
"Siapa" Siapa dia" desak Coh Liu-hiang.
Sepatah dengan sepatah Lamkiong Ling meronta keluarkan kata-katanya: "Itulah suatu rahasia, tiada seorangpun dikolong langit ini tahu akan rahasia ini, aku.... akupun punya seorang saudara sepupu engkoh sepupuku, si "dia" bukan lain adalah engkoh sepupuku itu".
Coh Liu-hiang terlongong ditempatnya seperti linglung, badan terhuyung mundur setengah langkah, serendeh dipinggir meja serasa sekujur badan lemas lunglai dan hampir meloso jatuh.
Rada lama kemudian, baru dia bersuara dengan tertawa getir: "Tak heran kau begitu percaya kepadanya, tak heran kau begitu dengar petunjuknya. Tapi..... tapi siapakah engkohmu itu"
Sampai detik ini kau masih segan menyebut namanya?"
Mulut Lamkiong Ling mengap-mengap seperti ikan mas yang menghirup napas dipermukaan air, mulutnya penuh digenangi darah segar. Kini lidahnyapun mulai merekah, sepatah katapun tak kuasa bicara lagi.
Entah beberapa lama Coh Liu-hiang menjublek duduk di atas kursi. Kini bahan penyelidikannya sudah putus sama sekali, dia harus mulai dari permulaan pula.
Entah berapa ia sudah mengalami mara bahaya, entah berapa jerih payahnya yang dia korbankan, baru diketahui bahwa Cou Yu cin, Sebun Jian, Ling ciu-cu dan Ca Bok-hap keluar pintu setelah masing-masing menerima sepucuk surat. Entah sudah mengalami beberapa kali kegagalan dan kekecewaan baru berhasil dia selidiki sipenulis surat itu sekaligus membongkar segala rahasia Kay pang.
Betapa besar kesulitan dan derita yang dialaminya untuk semua itu, jikalau tidak dibekali kecerdikan dan keberanian yang luar biasa, boleh dikata takkan ada orang yang kuat bertahan menghadapi tantangan-tantangan yang hebat dan mengerikan itu. Tapi Lamkiong Ling sekarang sudah ajal, segala jerih payah dan usahanya selama ini berarti sia-sia. Karena sampai detik ini, ia belum berhasil mengetahui siapakah biang keladi atau tokoh misterius dalam peristiwa ini.
Fajar sudah menyingsing, kabut dipermukaan danau malah makin tebal.
Coh Liu-hiang menggeliat sambil menghirup napas segar, gumamnya: "Kini, yang kuketahui masih berapa banyak?" memang bahan-bahan yang masih berada dibenaknya tidak banyak lagi.
Bahan satu-satunya yang ketinggalan yaitu pembunuh misterius adalah saudara sepupu Lamkiong Ling ditangan si "dia" itu masih memiliki Thian-it-sin-cui yang cukup untuk mencelakai jiwa tiga puluh tiga orang. Tapi siapakah sebenarnya si "dia" itu"
Dengan Thian-it-sin-cui dia sudah membunuh Jin Jip, Ca Bok-hap dan Lamkiong Ling.
Sasaran selanjutnya entah siapa! Tentu tokoh kosen yang berilmu amat tinggi namanya cukup tenar dan terpandang sebagai angkatan tertinggi di Bulim.
Tokoh itu tentu mempunyai hubungan yang amat erat dengan si "dia" itu, paling tidak takkan curiga bahwa si dia bakal mencelakai jiwanya, kalau tidak cara bagaimana si dia dapat mencampurkan Thian-it-sin-cui kedalam cawan minumannya"
Coh Liu-hiang pejamkan mata, mulutnya menggumam: "Thian hong cap-si-long, ternyata bukan seorang diri datang ke Tionggoan, dia masih membawa dua orang putri kandungnya, setelah dia mati, seorang anaknya dia titipkan kepada Jin Jip supaya diasuh sampai besar, lalu seorang anak lainnya" Kepada siapa dia serahkan anaknya yang lain" Siapa pula yang tahu mengenai keajadian ini?" peristiwa sudah berlalu diselang duapuluh tahun lamanya, kini boleh dikata sudah tiada sumber yang dapat dibuat bahan penyelidikan.
Mendadak Coh Liu-hiang melompat bangun katanya keras: "Aku sudah tahu, kalau Thian hong cap si long menyerahkan anaknya yang kecil kepada Jin Jip, putra besarnya tentu dia serahkan kepada tokoh kosen yang bertanding pertama kali dengan dia. Asal aku bisa menemukan siapa orang ini, tentulah dapat menemukan siapa si "dia" itu".
Kini Coh Liu-hiang memang belum tahu siapakah tokoh silat yang bergebrak dengan Thian hong cap-si-long sebelum Jin Jip, tapi dia sudah tahu :
Pertama: Tingkat kedudukan dan nama tokoh tentu amat tinggi dan tenar. Baru Thian hong cap-si-long sudi mencarinya, lalu menghadapi Jin Jip. Tidak banyak tokoh-tokoh silat di kalangan kangouw yang lebih tinggi tingkatannya dan ketenarannya dari Kaypang Pangcu, maka scopnya bisa lebih diperkecil.
Kedua: Ilmu silat orang ini teramat tangguh maka bisa melukai Thian hong cap-si-long.
Ketiga: Watak dan martabat orang ini tentu seperti Jin Jip, berjiwa besar lapang dada dan welas asih, maka harus dia menerima anak yatim Thian hong cap-si-long, malah menurunkan ilmu silatnya yang tiada taranya kepada si bocah.
Keempat: Orang ini tentu tidak suka mengagulkan diri dan membuat sensasi, maka walaupun dia harus unggul dan mengalahkan pendekar pedang (pendekar samurai) tersohor dari Tang ni
"Jepang" tiada tokoh Kangouw yang tahu akan kejadian besar itu.
Kelima: Tokoh ini tentu menetap didaerah Binglam atau lingkungan yang tidak jauh dari sana, maka setelah Thian hong cap-si-long terkalahkan dengan luka parah, dia masih sempat memburu ketempat pertandingan yang dia janjikan dengan Jin Jip.
Coh Liu-hiang menhela napas panjang-panjang, ujarnya: "Kini, terhitung tidak sedikit hasil analisaku ini".
Lekas ia memburu keluar, galah dia samber terus mendorong kapalnya ketepi, sekali lompat ia dapat mendarat dengan enteng. Mendadak derap kuda berlari mendatangi, seseorang membedal kudanya lari mendatangi, belum lagi dekat badannya sudah mencelat tinggi lepas dari punggung kudanya meluncur hinggap didepannya, siapa dia kalau bukan Hek tin cui simutiara hitam.
"Ternyata kau bisa menemukan aku" sambut Coh Liu-hiang: "Mana dia?"
Hek tin cu tidak lantas menjawab, sesaat ia pandang orang, sahutnya dingin: "Dia memang penurut dan dengar kata, kini sudah berangkat pulang" mendadak matanya melotot, katanya keras: "Tapi ingin aku tanya kau sebetulnya dimana ayahku berada" Kenapa se-ama ini kau mengulur-ulur waktu tak mau jelaskan tempat tinggalnya?"
Coh Liu-hiang tertunduk, sahutnya: "Ayahmu sudah.... sudah meninggal dunia".
Tersentak badan Hek-tin-cu, serunya serak: "Kau.... apa katamu?"
"Aku sudah mengurus baik-baik jenazah ayahmu di Ang-yiok-gay di Loh-tiong. Didusun nelayan dipesisir laut sana, ada seorang bernama Li Tho-cu, kalau kau pergi kesana, boleh kau minta kepadanya untuk mengantarmu ke atas kapalku. Setelah kau ketemu Soh Yong yong kau akan bertemu dengan jenazah atau pusara ayahmu".
Hek-tin-cu mendesak maju menarik lengannya, serentak beringas: "Jenazah ayahku kenapa bisa berada diatas kapalmu. Apakah kau yang mencelakai jiwanya?"
"Seluk beluk persoalan ini, sulit untuk menjelaskan dalam waktu singkat, tapi Yong-ji akan menjelaskan sedetailnya kepadamu.... mengenai pembunuh ayahmu, kini berada di dalam sampan itu, belum habis kata-katanya Hek tin-cu sudah melesat naik kearah sampan.
Jelilitan sorot mata Coh Liu-hiang mendadak seru lantang: "Kupinjam kuda saktimu sekali lagi, kelak pasti akan kukembalikan", belum lenyap suaranya badan sudah melejit naik mencemplak kepunggung kuda terus dibedal kencang kearah selatan.
Setelah Coh Liu-hiang berhasil menemui Ciu Ling-Siok di Ni san, lalu ia ambil kudanya yang dititipkan di rumah seorang pemburu langsung kembali ke Kilam, tujuan utamanya adalah menemui Lamkiong Ling maka untuk memburu waktu ia belum kembalikan kuda hitam itu kepada pemiliknya Hek tin-cu, Cuma ia titipkan ke sebuah hotel yang berdekatan, waktu itu ia tiba di Hiantong Kaypang, kuda yang cerdik ini mencebol kandang menerjang keluar mencari pemiliknya, lantaran kuda inilah maka Hek tin-cu dan It-tiam ang baru tahu bahwa Coh Liu-hiang sudah kembali ke Kilam maka mereka menyusul tiba pada saatnya berhasil menolong Soh Yong-yong pula.
Mengandal kepintaran kuda ini pula sehingga Coh Liu-hiang didalam waktu yang tersingkat, memburu waktu pula menuju ke Bianglam. Tetapi setiba di Bianglam mau tidak mau ia jadi putus asa dan kecewa dibuatnya.
Kejadian dua puluh tahun yang lalu orang-orang sudah lupa sekali, sedang keluarga besar dari marga Tan dan Lim yang merupakan simbol kebesaran kaum Bulim didaerah Binglam ini hakikatnya tidak tahu menahu siapakah sebenarnya Thian hong cap-si-long.
Hari itu Coh Liu-hiang tiba di Sian-yu merupakan kota terbesar dan teramai banyak tempat-tempat tamasya disini, hati Coh Liu-hiang sedang masgul dan kesal maka selera minum dan makan menjadi kendor, yang diinginkan hanya minum dua cangkir teh kental yang pahit.
Binglam merupakan daerah penghasil daun teh yang termashur didalam kota Sianyu banyak terdapat warung-warung teh, alat-alat untuk minum teh disinipun jauh berbeda dengan tempat lain, tampak setiap orang yang duduk diwarung arak menikmati minuman tehnya sama memejamkan mata, menggunakan cioki yang lebih kecil dari cangkir arak untuk menikmati atau menilai rasa air teh itu. Orang yang minum teh dengan cawan besar disini dalam pandangan masyarakat Binglam tak ubahnya dipandang sebagai kerbau dungu.
Tidak ketinggalan Coh Liu-hiang-pun minta disediakan Thi Koan im yang rasanya pahit getir dan wangi, kalau ditenggak teh ini memang pahit dan getir, namun setelah masuk keperut, mulut terasa wangi dan semerbak sampai sekian lama tak hilang-hilang.
Setelah menghabiskan dua poci kecil, rasa masgul dan kesal Coh Liu-hiang sudah semakin sirna dan ketenangan kembali menghayati sanubarinya. Dan baru sekarang dia mengerti aturan-aturan untuk minum teh disini sedemikian banyaknya, tujuannya adalah untuk menekan perasan dan melatih kesabaran, cara atau kepandaian membina dan melatih watak dan kesabaran, ternyata hasil gemblengan dari air teh kental yang pahit getir dari sepoci-poci kecil ini.
Jauh berlainan dengan warung arak ditempat lain yang penuh sesak, tentu timbul keributan, demikian pula diwarung teh ini penuh sesak, namun setiap orang bicara secara bisik-bisik, tindak-tanduk seseorang teramat hati-hati kuatir mengganggu orang lain.
Bersambung ke jilid 11
Jilid 11 Tatkala itulah mendatangi dua laki-laki besar berjubah sutera memasuki warung teh ini sambil mengobrol panjang pendek. Salah seorang laki-laki bermuka burik, di punggungnya menggendong sebuah buntalan kain kuning, sembari jalan ia berkata dengan tertawa: "Bertemu sahabat karib di rantau, sungguh merupakan kesenangan yang tak terhingga. Hari ini Siaute harus ajak Pang-heng minum sepuasnya!"
Laki-laki yang lain mukanya penuh ditumbuhi cambang bauk yang kaku, katanya bergelak tawa: "Chi-heng sudah lama menetap di Binglam ini, apakah hobimu hanya minum teh saja dan tak suka minum arak lagi?"
"Arak!" seru laki-laki burik tertawa lebar. "Pang-heng, setiap hari kau sudah biasa minum arak, tapi hari ini akan kusuguh kepadamu air teh yang lain dari yang lain, boleh dikata sebagai dewa di antara teh. Bukan Siaute suka membual, air teh seperti ini mungkin seumur hidup Pang-heng belum pernah merasakannya."
Serta-merta perhatian dan pandangan semua hadirin dalam warung teh itu tertuju ke arah mereka. Tapi laki-laki burik ini anggap sekelilingnya seperti tiada orang lain, dari buntalan kain kuningnya ia keluarkan sebuah bumbung bambu sepanjang satu kaki. Begitu ia membuka sumbat bumbung, bau harum seketika merangsang setiap hadirin, seketika semangat terasa segar seperti memabukkan.
Laki-laki cambang bauk itu bergelak tawa, ujarnya, "Harum benar teh ini! Beberapa tahun tak berjumpa, tak nyana Chi-heng sekarang menjadi begini kikir."
Dengan hati-hati laki-laki burik itu menuangkan secomot daun teh, lalu suruh pelayan menyeduhnya dengan air panas yang paling bening dari sumber asli, barulah dia berpaling dan berkata tertawa: "Bicara terus terang, walau sudah lama aku menyimpan daun teh sepeti ini, tapi jikalau tidak bertemu dengan Pang-heng sahabat lamaku, rasanya Siaute amat sayang untuk meneguknya meski hanya seteguk saja."
Laki laki brewok itu tertawa, tanyanya: "Kalau Chi-heng begini kikir dan sayang meminumnya, kenapa selalu kau bawa-bawa ke mana kau pergi?"
"Lantaran daun teh ini adalah kegemaran seorang tokoh kosen Bulim Cianpwe. Dulu Siaute pernah mendapat budi pertolongannya, tiada sesuatu yang dapat kubalas, maka selama beberapa tahun ini dengan susah payah aku berusaha menemukan daun teh ini untuk kuhaturkan kepada beliau, terhitung sebagai balasan budi kebaikannya dulu. Kalau kuberikan benda lainnya, tentu beliau tidak mau terima!"
Kata laki-laki brewok: "Entah siapakah Bulim Cianpwe itu" Begitu patuh dan hormat sikap Chi-heng terhadapnya?"
Senyuman laki-laki burik itu semakin pongah, katanya kalem: "Tentunya Pang-heng pernah dengar nama besar Thian-hong Taysu?"
"Thian-hong Taysu"...." jerit laki-laki brewok. "Apakah Ciangbunjin Siau-lim-si sekte Selatan, Hong-tiang Taysu dari Siau-lim-si di Poh-han?"
"Betul, memang beliau adanya!" sahut laki-laki burik dengan bangga.
Tergerak tiba-tiba hati Coh Liu-hiang. Tak tahan segera ia maju menghampiri, serunya: "Boan-tian-sing (bintang bertaburan di langit), aku ini kan teman lamamu, kenapa kau tak undang aku minum teh?"
Laki-laki burik itu meliriknya sekilas, seketika ia menarik muka, katanya: "Siapa saudara ini"
Cayhe agaknya amat asing terhadapmu."
Coh-Liu-hiang tersenyum, ujarnya; "Tujuh tahun yang lalu di lorong Thi-say-cu di Pak-khia, memangnya Chi-heng sudah melupakan kejadian dulu?"
Belum habis ia berkata, laki-laki burik itu sudah melonjak bangun, serunya bergetar: "Apakah tuan adalah........"
Coh Liu-hiang terloroh-loroh, tukasnya: "Cukup asal kau masih ingat, buat apa kau singgung namaku."
Tersipu-sipu laki-laki burik menjatuhkan diri berlutut dan menyembah, serunya hormat: "Tujuh tahun yang lalu, jikalau..... berkat pertolongan Kongcu, kalau tidak aku Chi-ma-cu (Chi si burik) tentu sejak dulu sudah terjungkal oleh Bwe-hoa-kiam Pui Hoan dan Siang-ciang-hoan-thian (Sepasang Tangan Membalik Langit) Cui Cu-ko. Aku Chi-ma-cu setiap saat selalu ingat dan ingin membalas budi pertolongan Kongcu dulu, sungguh amat gegetun karena jejak luhur Kongcu tidak menentu, sungguh tidak nyana hari ini akhirnya bisa bertemu dengan Kongcu di sini, sungguh aku ketiban rejeki besar."
Agaknya laki-laki brewok itu amat heran dan tergerak hatinya melihat Chi-ma-cu yang terkenal susah dilayani dan lincah tangan ini sudi berlutut dan bersikap hormat terhadap anak muda ini.
Tapi dia pun seorang kawakan Kangouw, bisa melihat gelagat lagi, lapat-lapat dia sudah dapat meraba bahwa pemuda ini tidak suka namanya disinggung di depan umum, sehigga asal-usulnya tidak diketahui orang banyak, maka ia pun tidak banyak tanya. Lekas ia pun bersoja dan menyapa:
"Cayhe Pang Thian-ho, kelak kemudian harap Kongcu suka memberi petuah!"
Coh Lin-hiang tertawa lebar, ujarnya: "Nama besar Ya-yu-sin (Malaikat Gelandangan Malam), Cayhe pun pernah mendengarnya seperti geledek yang menyambar di pinggir telinga."
Bertiga beruntun mereka menghabiskan tiga poci air teh kental. Setelah mengobrol ala kadarnya, barulah Coh Liu-hiang mulai memancing ke persoalan yang dituju. Katanya sambil pandang Chi-ma-cu dengan serius: "Tadi kudengar Chi-heng menyinggung nama Thian Hong Taysu, apakah Hweesio yang kenamaan dan menggetarkan dunia persilatan pada empat puluh tahun yang lalu, dengan pukulan tangan memberantas Pat-ok (delapan durjana) dan melawan Thian-bun-su-lo seorang diri itu?"
"Ya, memang beliau," sahut Chi-ma-cu.
Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya: "Kabarnya Taysu ini sudah lama mengasingkan diri, tak nyana sampai sekarang masih punya hobi menikmati daun teh."
Chi-ma-cu ikut tertawa, katanya: "Dulu setelah Jip Sin Taysu wafat, seharusnya beliau orang tua yang mewarisi Ciangbunjin Siau-lim-pay. Tapi beliau orang tua malah menyerahkan kepada Ji-sutenya Thian Ouw Taysu. Jauh-jauh dia malah hijrah ke Binglam sini, konon lantaran menyukai daun-daun teh yang nikmat dan enak di sini."
Cob Liu-hiang menepekur, katanya: "Sudah berapa lama Thian Hong Taysu pegang tampuk pimpinan Siau-lim-si di Poh-thian ini?"
"Hitung-hitung sudah lebih dari dua puluh tahun."
Mendadak Coh Liu-hiang gebrak meja, serunya keras: "Tidak salah lagi! Tentu dia! Pasti dia!
Seharusnya sudah kuingat akan dirinya."
Chi-ma-cu melongo heran, tanyanya: "Apa Kongcu pun kenal baik dengan beliau?"
Selebar muka Coh Liu-hiang riang gembira, katanya: "Coba kau katakan, ketenaran nama besar Thian Hong Taysu, apakah jauh lebih unggul dari Jin-lopangcu dari Kaypang yang terdahulu?"
Chi-ma-cu tidak tahu ke mana juntrungan pertanyaan ini, katanya hambar: "Beliau orang tua boleh dikatakan merupakan simbol tertinggi dari seluruh Bulim di jaman ini. Memang ketenaran Jin-lopangcu amat berkumandang, tapi kalau dibandingkan beliau orang tua, kukira setingkat lebih rendah."
"Ilmu silat beliau orang tua tentunya teramat tinggi dan susah diukur," kata Coh Liu-hiang pula.
"Betapa tinggi kepandaian silatnya, mungkin Kongcu sendiri..." Chi-ma-cu merandek, "bukan tandingannya."
Coh Liu-hiang tertawa: "Beliau punya latihan yang lebih ampuh dan membekal Lwekang yang tiada taranya, sudah tentu tak terkatakan tingkat kepandaian silatnya, seumpama pedang pusaka yang selalu disimpan tak pernah memperlihatkan pancaran sinarnya yang cemerlang!"
Chi-ma-cu pun tertawa, katanya: "Dalam kalangan Kangouw tersiar kabar bahwa lantaran senang minum teh maka beliau orang tua terima hijrah ke Binglam ini. Tapi menurut perkiraan Cayhe, mungkin beliau orang tua tidak suka keramaian dan memegang jabatan memikul tugas berat lagi, maka beliau tidak mau terima jabatan Ciangbunjin Siau-lim-pay di Siong-san."
"Itulah benar. Sebelum Jin Jip, tokoh kosen yang bertanding dengan Thian-hong-cap-si-long, kecuali dia, siapa lagi" Bahwa Thian-hong-cap-si-long bisa menyerahkan putra sulungnya kepada beliau, sudah tentu mati pun ia bisa meram dengan tenteram!"
Chi-ma-cu semakin heran mendengar kata-kata ini, tanyanya memberanikan diri: "Siapa pula Thian-hong-cap-si-long itu?"
"Itulah seorang yang amat aneh." sahut Coh Liu-hiang. "Walaupun berita kematiannya terbenam dalam keramaian, namun ia berhasil membuat Pangcu dari suatu sindikat terbesar di dunia ini dan Ciangbunjin dari golongan silat terbesar di Tionggoan, terima mewakili dirinya mengasuh dan mendidik kedua putra-putranya sampai dewasa." Tiba-tiba tergerak hatinya, mendadak ia menjerit tanpa kuasa: "Dia menantang bertanding dengan Thian-hong Taysu dan Jin-lopangcu, bukan mustahil memang bertujuan menyerahkan kedua puteranya kepada beliau"
Memang dia sendiri pernah mengalami derita hidup yang menyedihkan hatinya sehingga dia bosan hidup dan mencari jalan pendek, maka ia harap putra-putranya kelak bisa menonjol dan menjadi manusia besar yang berguna" Atau sebelumnya dia memang sudah berkeputusan pasrah jiwanya di tangan Thian-hong Taysu dan Jin-lopangcu, tujuannya supaya kedua orang ini dengan tekun dan gigih mendidik putra-putranya?"
Semakin bingung Chi-ma-cu mendengar omongan yang tak kenal juntrungan ini, tak tahan ia menyela pula: "Kongcu bermaksud Thian-hong-cap-si-long itu, demi.... ia rela korbankan jiwanya sendiri?"
"Dia tahu dua tokoh kosen seperti Thian-hong Taysu dan Jin-lopangcu tentulah tidak akan sembarangan mau menerima dan mendidik anak orang lain. Tapi jiwanya justru ajal di tangan mereka. Karena terpaksa, mau tidak mau tak bisa menolak lagi...."
"Sungguh patut dibanggakan dan harus dipuji ayah yang demikian, entah siapakah kedua putranya itu?" tanya Chi-ma-cu.
"Seorang adalah Lamkiong Ling," sahut Coh Liu-hiang.
"Apakah Kaypang Pangcu yang baru?"
"Benar!"
"Dan seorang lagi?"
"Seorang lagi adalah... adalah..." Mendadak Coh Liu-hiang mendongak sambil tertawa getir, katanya setelah menghela napas: "Semoga tebakanku meleset. Dia sudah membunuh sembilan jiwa orang yang tak berdosa, sasaran selanjutnya...." Mendadak Coh Liu-hiang berjingkrak berdiri, teriaknya: "Sasaran selanjutnya apa bukan Thian-hong Taysu?"
"Untuk ini Kongcu tak usah kuatir," kata Chi-ma-cu yakin. "Peduli siapa pun orang itu, kalau dia ingin mencelakai jiwa Thian-hong Taysu, mungkin memang saat ajalnya sendiri sudah tiba. Meski Thian-hong Taysu sudah lama tidak mencampuri urusan duniawi, namun ilmu silatnya belum pernah berhenti dilatih."
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya dengan tertawa kecut: "Kalau kau tahu siapa orang itu, tentu takkan mengeluarkan kata-kata seperti ini, 'dia'...."
Tak tahan Chi-ma-cu mengajukan pertanyaan pula: "Siapakah dia sebetulnya?"
Agaknya Coh Liu-hiang segan mengatakan siapakah sebenarnya si 'dia' itu. Sesaat ia menepekur, tiba-tiba ia tertawa dan berkata: "Kebetulan aku ada urusan hendak menemui Thian-hong Taysu, kebetulan bisa membawa sekalian daun tehmu, kau kuatir tidak kalau kuantarkan?"
Bergegas Chi-ma-cu menurunkan buntalan kuning itu terus diangsurkan ke hadapan Coh Liu-hiang, katanya tertawa: "Jangan hanya soal daun teh, umpama Chi-ma-cu menyerahkan jiwa raganya, aku Chi-ma-cu pun tak perlu kuatir."
Coh Liu-hiang tertawa-tawa. Belum sempat ia bicara lebih lanjut, mendadak dilihatnya pemilik warung teh ini menghampiri dirinya dengan sangat tergopoh-gopoh. Ia menjura hormat kepada Coh Liu-hiang, lalu berkata dengan unjuk seri tawa: "Seorang tamu yang duduk di meja pojok sebelah sana ingin bicara beberapa patah kata dengan Kongcu, entah Koncu sudi pindah ke meja sana sebentar?"
Di pojok ruangan sebelah sana memang ada sebuah meja dengan tiga buah kursi. Seorang berpakaian abu-abu sedang duduk menghadap pojok dinding, sejak tadi dia memang sudah duduk di sana, bergerak pun tidak, seperti patung layaknya. Orang ini mengenakan topi rumput datar sebesar baskom, kini topi besarnya itu dia tanggalkan ke belakang lehernya, sehingga batok kepalanya tertutup dan tidak terlihat dari belakang, yang kelihatan hanya gulungan rambutnya yang sudah ubanan.
Sejak datangnya tadi, belum pernah dia menoleh atau mengamati Coh Liu-hiang dengan jelas.
Coh Liu-hiang pun belum pernah melihat raut mukanya, kenapa pula mendadak orang itu minta Coh Liu-hiang pindah ke sana untuk bicara"
Karena hati merasa heran, Coh Liu-hiang jadi tertarik dan ingin ke sana untuk melihat apa sebenarnya yang diinginkan orang itu. Baru saja kakinya melangkah ke sana, orang itu pun sudah bangkit dari tempat duduknya walau orang ini tetap tidak mau berpaling, seolah-olah di belakang punggungnya tumbuh sepasang mata saja.
Tergerak hati Coh Liu-hiang, sekonyong-konyong ia bergelak tawa, ujarnya: "Apakah tuan ini adalah Sin-eng Go-lopothau?"
Badan orang itu agaknya rada tergetar, namun lekas sekali Coh Liu-hiang sudah menghampiri dan duduk di belakangnya, katanya tertawa besar: "Di kolong langit ini, kecuali Go-lopothau (opas tua she Go), siapa lagi yang mempunyai ketajaman telinga sesakti ini?"
Orang itu tertawa getir, katanya: "Di kolong langit ini, memang kenyataan tiada sesuatu yang dapat mengelabui Coh Liu-hiang si Maling Romantis."
Tampak muka orang ini luar biasa sekali, tulang pipinya menonjol, dagunya pendek, biji matanya berkilat, sepasang kupingnya berwarna abu-abu putih, kiranya terbuat dari perak murni.
Kalau tidak tertutup oleh topi rumputnya, sekali pandang saja orang lain akan tahu bahwa orang ini mengenakan telinga palsu.
Coh Liu-hiang tersenyum, katanya: "Sejak berpisah di kota raja, tahu-tahu beberapa bulan sudah berselang, tak nyana suara aku orang she Coh ternyata masih belum terlupakan oleh Go-lopothau. Yang amat mengherankan, seingatku hari itu Cayhe seperti tidak mengeluarkan perkataan apa pun, entah dari mana Go-lopothau bisa tahu dan membedakan suaraku."
Sin-eng tertawa: "Manusia di kolong langit ini bukan saja nada suara bicaranya berlainan, sampai pun derap kakinya waktu berjalan pun berbeda. Coh Liu-hiang si Maling Romantis membekal Ginkang yang tiada taranya, sudah tentu suara langkah kakinya jauh berlainan dengan orang lain. Aku si tua kecil ini kalau tidak bisa membedakan langkah kaki si Raja Maling, sepasang kupingku ini patut kuberikan kepada anjing saja biar digegares habis."
"Pek-ih-sin-ji (Kuping Sakti Baju Putih) ternyata tidak bernama kosong," Coh Liu-hiang memuji sambil mengacungkan jempol.
Mendadak ia menekan suara, lalu berkata dengan pelan-pelan: "Dari jarak laksaan li Go-lopothau mengejar sampai di sini, apakah tujuanmu adalah Pek-giok-bi-jin itu?"
Sin-eng segera unjuk tawa dibuat-buat, sahutnya: "Umpama Losiu punya nyali setinggi langit, sekali-kali tidak akan berani minta barang yang sudah berada di tangan Maling Budiman!"
Coh Liu-hiang menatapnya lekat-lekat, "Lalu untuk apa pula tuan ke mari?"
Sin-eng pun menekan suaranya, sahutnya: "Losiu sedang menguntit jejak Boan-thian-sing Chi-ma-cu itu ......."
Coh Liu-hiang mengerutkan kening, katanya: "Apakah karena peristiwa di lorong Thi-say-cu tujuh tahun yang lalu itu?"
Sin-eng tertawa getir pula, ujarnya : "Semula Losiu tidak tahu bila peristiwa itu ada hubungan dengan Maling Budiman, kalau tidak sekali-kali aku tidak akan berani mencampuri persoalan ini.
Tentunya kau tahu, seseorang bila dia menerima sesuap nasi dari jabatan dan tugas yang diberikan pemerintah, selama hidupnya jangan harap kau bisa bebas dari segala beban pertanggung-jawaban dari tugas yang dipikulnya. Ada urusan seumpama kau tidak suka mengurusnya, tapi terpaksa dan dipaksa untuk membereskannya."
Berkata Coh Liu-hiang dengan heran : "Peristiwa tujuh tahun yang lalu memang Chi-ma-cu ada salahnya, tapi Bwe-hoa-kiam dan Siang-ciang-hoan-thian Cui Cu-ho mengandalkan kekuasaannya menindas orang, perbuatannya patut ditumpas dan diberantas. Apalagi karena peristiwa itu Chi-ma-cu insaf diri dan selanjutnya mencuci tangan dari pergaulan Kangouw, jauh-jauh menyingkir ke tempat ini. Ke mana pun ia pergi, Go-lopothau harus mengejarnya sampai di sini dan hendak memberantasnya" Janganlah kau mendesak orang sedemikian rupa."
"Losiu hidup setua ini memangnya tidak bisa melihat gelagat dan tak tahu urusan ?" ujar Sin-eng tersenyum. "Sekarang aku sudah tahu bahwa Maling Budiman ada sangkut-pautnya dengan persoalan ini, masakah aku berani banyak urusan lagi?" Ia menghela nafas panjang, lalu menambahkan : "Losiu mohon Kongcu bicara di sini sebenarnya masih ada persoalan lain yang mohon penjelasanmu."
"Masih ada urusan apa?" tanya Coh Liu-hiang mengerutkan alis.
Sesaat Sin-eng ragu-ragu, katanya tandas: "Lamkiong Ling, Pangcu dari Kaypang, sepuluhan hari yang lalu sudah meninggal di Tay-bing-ouw di Kilam, kejadian itu entah apakah Maling Budiman sudah tahu?"
Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "Tentunya Go-Lopothau tidak beranggapan akulah yang telah membunuh Lamkiong Ling, bukan?"
Lekas Sin-eng unjuk tawa pula, sahutnya : "Mana berani Losiu punya pikiran seperti itu, cuma .
. . . . . . . . "
"Cuma apa ?" Coh Liu-hiang mendesak.
"Cuma kematian Lamkiong Ling Pangcu sungguh amat mengerikan. Kabarnya, setelah ajal, badannya dicacah hancur berkeping-keping oleh orang, maka seluruh anggauta Kaypang semua bersumpah hendak menemukan si pembunuh."
Coh Liu-hiang mengerutkan alis, sudah tentu dia tahu siapa orang yang mencincang badan Lamkiong Ling sampai berkeping-keping, dia bukan lain adalah Mutiara Hitam yang menuntut balas bagi kematian ayahnya. Sudah tentu terpikir juga olehnya bahwa murid Kaypang sampai sekarang belum tahu akan intrik Lamkiong Ling dengan si dia itu serta rencana jahatnya jangka panjang. Tapi semua persoalan ini dia tidak ingin diketahui atau dibicarakan dengan orang lain.
Terdengar Sin-eng berkata pula setelah menghela nafas: "Peristiwa saling bunuh-membunuh di kalangan kangouw memang tidak pantas losiu tanyakan atau mencampurinya, cuma soalnya Losiu ada hubungan amat intim beberapa puluh tahun dengan beberapa anak murid Kaypang, kali ini aku bertemu mereka di tengah jalan."
"Memangnya anak murid Kaypang semua menyangka akulah yang turun tangan membunuh Lamkiong Ling?"
"Sekali-kali mereka pun tidak berani curiga kepadamu, cuma mereka mengatakan Maling Budiman pasti tahu siapakah biang keladi pembunuh dari Lamkiong Ling, oleh karena itu mereka mohon kepada Losiu bila bertemu dengan kau mewakili mereka tanyakan hal ini. Peduli kau Maling Budiman ini tahu atau tidak, cukup asal sepatah katamu saja, seluruh murid-murid Kay pang pasti tiada yang berani banyak komentar lagi."
"Peristiwa itu ya memang aku mengetahuinya," sahut Coh Liu-hiang dengan mata bersinar.
"Kalau Maling Budiman tahu, entah sudikah memberi penjelasan?" seru Sin-eng dengan jantung berdebar-debar.
Berkata Coh Liu-hiang dengan nada berat: "Seumpama aku memberitahu, kau pun takkan bisa berbuat apa-apa, namun . . . " Mendadak ia bangkit berdiri serta menambahkan: "Tiga hari lagi, boleh kau menunggu kabarku di taman besar keluarga Lim di Poh-thian. Sampai saatnya pasti akan kujelaskan siapakah biang keladi dari pembunuhan Lamkiong Ling dan kuserahkan orangnya kepadamu."
*** Tanpa kenal lelah Coh Liu-hiang seharian itu bertunggang di punggung kuda dan membedal kudanya dengan kencang, langsung menuju Poh-thian.
Maghrib kembali menjelang. Setelah menitipkan kudanya di tempat yang aman, cuaca petang gelap ini amat kebetulan malah untuk dirinya sehingga dengan leluasa langsung meluncur ke Siau-lim-si. Terasa olehnya waktu sudah terlalu banyak terbuang percuma, maka tidak sempat lagi ia datang secara sewajarnya sebagai tamu, tanpa memberitahu kedatangannya lagi.
Siau-lim-si di Poh-thian ini memang tidak sebesar dan seangker Siong-san Siau-lim-si, tapi kuil besar yang tenggelam dalam tabir malam ini kelihatan angker serta terasa amat seram seperti raksasa yang bercokol di atas gunung.
Angin malam menghembus sejuk dan sepoi sepoi basa, sayup-sayup terdengar suara tembang mantra, asap dupa kelihatan mengepul tinggi. Lapat-lapat terendus bau kayu cendana yang terbakar harum semerbak, alam diliputi keheningan yang khidmat dan agung, maka terasa hawa membunuh atau watak kekejian lenyap di sini.
Angin musim rontok menghembus gundul dedaunan dan menghamburkannya ke atas undakan batu. Pintu besar di ujung undakan batu di sana terbuka lebar, dari luar pintu di kejauhan samar-samar kelihatan pepohonan yang tumbuh tinggi besar di tengah pekarangan kelenteng.
Maju lebih jauh ke depan, itulah ruang pemujaan dan kamar berhala yang besar dan angker.
Di tempat ini setiap orang, pada jam-jam tertentu, boleh keluar masuk dengan leluasa, tapi pada saat-saat tertentu bukan sembarang orang yang berani sembarang memasukinya. Nama Siau-lim memang sudah menggetarkan dunia, peduli siapa pun bila dia tiba di tempat ini, mau tidak mau pasti timbul rasa patuh, hikmah dan kewaspadaannya. Walau pintu di sini terbuka lebar, tapi siapa pula yang berani sembarangan melangkah ke tempat seram ini"
Coh Liu-hiang tidak masuk dari pintu besar, dia langsung melompati pagar tembok. Dalam relung hatinya lapat-lapat sudah mendapat firasat jelek, terasa meski waktu sesingkat apa pun tak bisa ditunda-tunda lagi.
Sinar surya yang terakhir masih memancar dengan cahaya kuning kemerah-merahan redup.
Wuwungan rumah yang berlapis-lapis seperti berlomba mengadu ketinggian. Di bawah pancaran cahaya sinar matahari yang menguning ini, selayang pandang seperti puncak-puncak gunung yang bersambung, seolah-olah warna darah sudah bertaburan di puncak bukit.
Di manakah Thian-hong Taysu" Bagai burung walet, Coh Liu-hiang meluncur dari satu wuwungan ke wuwungan yang lain. Diam-diam hatinya bimbang dan bertanya-tanya. Tidak lebih badannya sedikit lebih merandek, maka terdengarlah seruan sabda Budha: "Omitohud!"
Belum lagi seruan pendek ini sirap suaranya, di wuwungan rumah yang tinggi ini berturut-turut berkelebat naik empat sosok bayangan gundul.
Keempat orang ini sama mengenakan jubah agama warna abu-abu, mengenakan kaos kaki warna putih, rata-rata berusia empat puluhan, empat raut muka yang angker dan serius, masing-masing memiliki sepasang biji mata berkilat tajam. Keempat pasang mata yang tajam bersinar ini semua menatap lekat-lekat ke muka Coh Liu-hiang.
Mau tidak mau Coh Liu-hiang amat terkejut dibuatnya: "Padri-padri Siau-lim ternyata memang tidak boleh dipandang rendah!" Hati membatin, sementara lahirnya tetap wajar, katanya tersenyum simpul: "Para Taysu, apa sudah makan?"
Pertanyaan yang sudah biasa dan umum dalam pergaulan, sekedar basa-basi seseorang yang bertemu menjelang saat-saat waktu makan dengan teman baiknya, kebanyakan sering mengajukan pertanyaan seperti ini.
Akan tetapi dalam keadaaan dan di tempat seperti ini, tak urung keempat padri itu sekilas tertegun kemekmek. Padri tertua yang berdiri di paling kiri segera angkat bicara dengan suara sangat tajam: "Dua puluh tahun terakhir sudah tidak ada orang Kangouw yang pernah berpijak di atas wuwungan Siau-lim-si. Sicu (tuan budiman) hari ini ternyata melanggar kebiasaan ini, tentunya ke mari dengan sesuatu tujuan tertentu, silahkan kau jelaskan maksud kedatanganmu!"
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Maksud kedatanganku, seumpama sudah kujelaskan, tentunya para Taysu tak mau percaya."
Beringas muka padri tertua ini, bentaknya: "Kalau Sicu tidak mau menjelaskan maksud kedatanganmu, jangan heran kalau pinceng (Padri miskin) beramai akan turun tangan secara gegabah."
Coh Liu-hiang tertawa getir, ujarnya: "Selama hidup Cayhe paling pantang bergebrak dengan anak murid Siau-lim, buat apa para Taysu harus mendesak begini rupa melanggar kebiasaan lagi."
Padri tertua itu menjadi marah, bentaknya: "Kalau Sicu tidak terus terang, silahkan ikut Pinceng turun ke bawah." Seiring dengan bentakannya, lengan jubahnya yang gombrong itu tiba-tiba dikebutkan, melambai enteng laksana awan mengambang, pesat dan kuat seperti kilat menyambar, langsung menerjang ke tenggorokan Coh Liu-hiang serta membelitnya.
Sebagai seorang beragama, tidak enak para padri Siau-lim membawa senjata di kandang sendiri, maka lengan baju panjang dan gombrong ini sebagai ganti gaman mereka, dalam dunia persilatan hanya dikenal Lip-in-thi-sia (Lengan Besi Mega Mengalir) adalah pelajaran tunggal dari Bu-tong-pay, diluar tahu khalayak ramai bahwa kepandaian kebutan tangan jubah anak murid Siau-lim bukan saja tidak lebih asor dari kepandaian tunggal Bu-tong-pay itu, malah betapa besar dan kokoh kekuatan kebutan mungkin lebih unggul dan hebat luar biasa.
Serangan Hwi-siu-kang padri setengah baya ini bukan saja dapat dibuat menyerang secara kekerasan, dapat pula diubah secara lebih lunak, tenaga lunaknya malah jauh lebih bermanfaat karena sekaligus bisa untuk merebut gaman yang dipakai. Sementara kekuatan kerasnya menggetar putus urat nadi lawannya.
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya: "Murid-murid Siau-lim semua baik dan alim, cuma wataknya saja yang rada berangasan." Mulut bicara, sementara badannya sudah melambung tinggi ke udara bagai burung bangau melejit naik ke angkasa. Di kala kata-kata terakhirnya habis diucapkan, seenteng burung walet badannya sudah melesat empat tombak jauhnya.
Begitu kebutan lengannya mengenai tempat kosong, seketika tersirap darah padri setengah baya ini, serunya: "Sicu, hebat benar Ginkangmu, tak heran kau berani bertingkah dan mencari gara-gara di Siau-lim-si."
Serempak keempat padri bergerak dengan tangkas, masing-masing bergerak menurut posisi masing-masing. Mereka sudah memperhitungkan, betapa pun jauh lompatan Coh Liu-hiang, tentu badannya akan meluncur turun dan pinjam wuwungan genteng untuk berpijak. Begitu kaki menyentuh genteng, berarti orang sudah masuk ke dalam barisan keempat padri ini.
Di luar tahu mereka, kehebatan Ginkang Coh Liu-hiang justru lain dari yang lain, ternyata badannya bisa meluncur terus tanpa mencari tempat berpijak. Badannya laksana ikan dalam air, sekali meliuk dan melejit pula, tahu-tahu badannya sudah melesat empat tombak pula ke depan dengan kepala di bawah kaki di atas, langsung ia menukik turun dan menghilang di bawah emperan yang gelap pekat. Terdengar suaranya berkumandang dari kejauhan: "Cahye ke mari bukan untuk bertingkah. Setelah urusan kuselesaikan, pasti aku akan menemui para taysu untuk mohon maaf sebesar-besarnya."
Keempat padri ini sama menjublek di tempat, rona muka mereka berubah beberapa kali.
Padri tertua itu bersuara dengan nada berat: "Hian-hoat segera memberi kabar akan terjadi perubahan. Hian-thong dan Hian-biau, ikuti jejakku." Sembari bicara, lekas ia menubruk ke arah datangnya suara Coh Liu-hiang. Tapi bintang kelap-kelip di angkasa raya, angin malam menghembus sepoi-sepoi menggerakkan dedaunan pohon, mana kelihatan bayangan Coh Liu-hiang lagi"
Coh Liu-hiang maklum kalau saat sekarang dia minta bertemu dengan Thian-hong Taysu, sekali-kali para padri Siau-lim ini takkan sudi membawa dirinya. Kalau toh dijelaskan takkan menjadi beres, terpaksa ia main terobos dan bertindak kasar.
Begitu bayangan tubuhnya menyusup ke tempat gelap, cepat sekali sudah meluncur terbang pula ke depan, tidak menuju ke tempat lain, kembali dia melesat balik ke wuwungan rumah yang paling tinggi di mana tadi dirinya berpijak.
Dilihatnya ketiga padri yang memburunya berkelebat lewat di bawah emper rumah, siapa pun tiada yang menduga bahwa dia balik ke tempatnya semula, maka melirik pun tidak ke arah sini.
Coh Liu-hiang menunggu kira kira beberapa menit, maka terdengarlah di berbagai bangunan kelenteng yang luas dan besar ini suara ketukan Bok-khi yang bersuara datar, rendah dan berat.
Beruntun kelihatan bayangan orang yang gesit dan tangkas berterbangan lompat dari satu wuwungan dengan lincah sekali.
Naga-naganya Siau-lim-si meski tempat yang aman tenteram, tapi betapa cepat dan cekatan gerak-gerik mereka dalam menghadapi perubahan ini serta kewaspadaan yang tinggi, sungguh tidak malu dipandang sebagai tempat terlarang dan angker bagi kaum persilatan.
Dengan tertawa kecut Coh Liu-hiang membatin: "Maksudku supaya bisa selekasnya berhadapan dengan Thian-hong Taysu, siapa tahu dengan adanya keadaan serba tegang dan ribut ini mungkin tidak leluasa aku bertindak."
Teringat akan keadaan Thian-hong Taysu yang sungguh amat mendesak dan berbahaya, mau tidak mau hatinya jadi bingung dan gelisah. Apa boleh buat, sampai detik ini dia sendiri masih belum tahu di mana letak tempat bersemayam Thian-hong Taysu.
Kini suara Bok-khi sudah berhenti, suasana kelenteng kuno yang angker ini semakin hening lelap dan seram menakutkan.
Tapi terasa oleh Coh Liu-hiang suasana hening dan ketenangan yang luar biasa ini justru lebih berbahaya bagi dirinya. Kelenteng yang kelihatan dilingkupi ketenangan ini bahwasanya tersembunyi suatu mara bahaya yang hebat dan mengancam jiwa.
Namun tiada tempo buat dia untuk banyak berpikir. Sekilas ia pejamkan mata berpikir sebentar, mendadak ia menerjang keluar dari tempat gelap dan melesat ke sebuah wuwungan kelenteng di seberang sana.
Pakaiannya melambai melawan angin, badannya sudah melambung tinggi, seluruh bangunan kelenteng Siau-lim-si seolah-olah berada di bawah kakinya. Betul juga, jejaknya seketika kelihatan oleh orang di bawah.
Tampak bayangan orang mulai bergerak, berkelebat secepat kilat, dari pekarangan luas di berbagai tempat di bawah sana langsung menubruk ke suatu arah yang sama, cuma pekarangan kecil di sebelah barat sana sedikit pun tidak memperlihatkan reaksi apa-apa.
Tanpa menunggu kedatangan mereka, cepat Coh Liu-hiang melesat ke arah sana, serunya sambil tertawa panjang, "Cang-king-kek, perpustakaan Siau-lim terkenal di seluruh jagat, para Taysu apakah boleh pinjamkan kepadaku untuk kubaca sekedarnya?"
Begitu lenyap suara tawanya, cepat sekali luncuran badannya membelok arah, tidak ke arah selatan, malah menuju ke beberapa gerombolan pohon-pohon besar yang rimbun dengan dedaunannya, ke sana ia melesat dan menyembunyikan diri. Terdengar sahut-menyahut di bawah sana berkata: "Ternyata benar orang tu hendak menyatroni ke Cang-king-kek."
"Awas, hati-hati! Perhatikan Cang-king-kek!"
Kekayaan buku-buku agama yang tersimpan di Siau-lim-si memang menjagoi di seluruh dunia.
Orang-orang yang menyerempet bahaya menyelundup masuk ke Siau-lim memang kebanyakan bertujuan mencuri kitab-kitab pelajaran silat, agama dan lwekang dan buku macam lainnya yang tak terhitung banyaknya, rata rata buku pusaka yang tak ternilai harganya. Para padri Siau-lim sudah tentu sama menyangka Coh Liu-hiang meluruk datang hendak mengincar sesuatu di Cangking-kek, siapa pula yang tahu dan sadar bahwa dia sengaja memancing mereka bersuara di timur menggempur di barat, sengaja ia main petak umpet secara lihai.
Tampak bayangan orang berkelebat dan berlari-lari menuju ke timur, cepat sekali Coh Liu-hiang sudah meluncur ke arah barat, arah yang berlawanan.
Kali ini dia tidak meluncur di atas genteng, tapi menyusuri serambi panjang dari bangunan-bangunan megah itu. Di balik bayang-bayang pepohonan, semua kamar-kamar yang dilalui tiada kelihatan sorot api. Di antara keresekan bunyi dedaunan pohon, sayup-sayup terdengar tembang mantra yang mengalun lirih.
Pekarangan nan sepi tak kelihatan bayangan manusia, terasa dilingkupi suasana kesunyian yang tak terkendalikan. Kehidupan para padri di dalam kelenteng kuno yang serba sunyi ini, entah bagaimana mereka melewatkan hari demi hari dalam kehidupan yang tawar ini.
Tanpa berlambat-lambat lagi Coh Liu-hiang terus beranjak maju, sementara dalam hati diam-diam ia menghela napas. Bagi orang-orang yang tahan hidup dalam kesunyian ini, betapa pun dalam hati ia menaruh hormat dan salut setinggi-tingginya.
Soalnya Coh Liu-hiang cukup prihatin, dia sendiri pernah mengalami, tiada sesuatu kesunyian di dalam kehidupan duniawi seperti ini yang bisa ditahan.
Begitulah, dengan tindakan cepat, dari satu bangunan ke bangunan lain, dari pekarangan sini lewat ke pekarangan yang satunya pula, serambi sini, membelok ke sana, kamar-kamar yang dilewati semua gelap gulita. Lantai papan batu hijau yang kelihatan mengkilap tersorot sinar bintang-bintang di langit, sepetak demi sepetak meluncur mundur pesat sekali.
Sekonyong-konyong didengarnya suara bentakan yang berat: "Sicu harap berhenti!"
Segulung tenaga pukulan yang membawa deru angin amat dahsyat tahu-tahu sudah merangsek tiba ke mukanya.
Coh Liu-hiang kertak gigi, tidak berkelit tidak menyingkir, ia pun tidak balas menyerang.
Dengan kekerasan kulit dagingnya, ia mandah digenjot oleh sejurus Pek-poh-sin-kun (Pukulan Sakti dari Ratusan Langkah) yang cukup ampuh untuk menghancurkan batu gunung sekalipun.
Tampak badannya bagai dilanda gelombang pasang yang dahsyat sehingga badannya terpental terbang ke belakang.
Padri beralis putih berjenggot panjang di hadapannya agaknya merasa di luar dugaan bahwa dengan sekali pukulannya dengan telak merobohkan lawan. Tapi terasa pandangannya serasa kabur, pemuda yang digenjotnya terpental terbang itu tahu-tahu melejit bangun dan terbang kembali ke hadapannya, malah berseri tawa lagi. Bukan saja gerak-geriknya cekatan dan enteng, pergi datang seperti kilat, lebih hebat lagi bahwa pukulan sakti dengan jurus Khek-san-bak-gu (Dari Balik Gunung Memukul Kerbau) dari Siau-lim ternyata sedikit pun tidak melukai anak muda ini.
Keruan si Taysu pengawas gereja yang punya latihan silat puluhan tahun dengan keyakinan lwekangnya yang tiada taranya seketika melongo dan menjublek di tempatnya. Dengan mendelong ia mengawasi Coh Liu-hiang, sesaat lamanya tak kuasa bersuara.
Coh Liu-hiang sengaja mandah terpukul, tujuannya memang hendak bikin si padri terkesima dan sementara tak bersuara membuat kaget orang lain. Kalau tidak, betapapun raganya bukan dibuat dari baja, memangnya ia kuat bertahan dari pukulan beruntun yang sudah cukup membuatnya kapok ini"
Akhirnya si padri berkata dengan pelan-pelan: "Sicu memiliki ilmu silat setinggi ini, Loceng belum pernah menghadapinya, entah dapatkah Sicu memperkenalkan diri?"
Coh Liu-hiang tersenyum, katanya: "Kalau Cahye perkenalkan namaku, mungkin Taysu akan sangka kedatanganku ini hendak mencuri buku pusaka di sini."
Padri alis putih berkata: "Kalau Sicu hendak mencuri sesuatu di sini, pastilah kau tidak akan datang ke tempat ini."
Coh Liu-hiang tertawa, terpaksa ia perkenalkan diri: "Cahye Coh Liu-hiang!"
Mencelos hati si padri alis putih, serunya tertahan: "Apakah Maling Romantis Coh Liu-hiang?"
Coh Liu-hiang mengelus hidung, sahutnya tertawa: "Taysu jauh berpisah dengan duniawi, tak nyana ternyata tahu juga julukan busuk Cayhe yang memalukan itu?"
Roman muka si padri yang semula tegang dan membesi sekarang kelihatan mengendor dan unjuk rasa gembira. Sorot matanya yang berkilat dingin kini terunjuk senyuman riang pula, katanya kalem: "Walau Loceng sudah lama terasing dari keramaian diunia persilatan tapi aku punya seorang Sute yang punya pengalaman luas dan pergaulan bebas. Setiap kali dia datang ke mari, tentu dia bercerita banyak persoalan lucu-lucu, aneh dan kisah yang menarik. Demikian juga kebesaran serta kepahlawanan Coh Liu-hiang yang perwira, merupakan kisah-kisah petualangan yang menarik di antara cerita-cerita yang kudengar."
"Orang yang Taysu maksudkan apakah Bu Hoa?" tanya Coh Liu-hiang.
Padri alis putih tersenyum, ujarnya; "Selama ratusan tahun ini, murid Siau-lim yang punya pergaulan dan pengalaman luas seperti itu hanya dia seorang."
"Dia....apakah sekarang dia berada di sini?" tanya Coh Liu-hiang tak sabar.
"Kedatangan Sicu apakah hendak mencari dia?"
"Maksud utama kedatangan Cayhe sebetulnya hendak mohon bertemu dengan Thian-hong Taysu."
"Ciangbun-suheng sudah lama tidak menerima tamu orang luar, tapi terhadap Coh-sicu tentunya dia masih suka menerimanya, cuma sayang kedatangan Sicu sekarang kurang kebetulan."
"Apakah Thian-hong Taysu sudah..." tanya Coh Liu-hiang gugup.
Padri alis putih tersenyum lebar, katanya: "Ciangbun-suheng sudah bebas dari segala kesulitan pikiran yang mengganggu kehidupan manusia pada umumnya, kini hanya punya hobi suka menikmati berbagai macam dedaunan teh, sejak kedatangannya dulu sampai sekarang kesenangannya belum pernah luntur dan berubah. Sekarang dia sedang melihat daun teh, siapa pun dilarang mengganggunya."
Coh Liu-hiang menghela napas lega, katanya tertawa lebar berseri: "Jikalau Thian-hong sedang menikmati teh dengan penilaiannya seorang diri, sekali-kali Cayhe tidak berani mengganggu dan tidak segugup ini, cukup asal aku bisa bertemu lebih dulu dengan Bu Hoa Suheng juga sama sajalah."
"Kalau kedatangan Sicu kebetulan tidak bisa berhadapan dengan Ciangbun-suheng, maka jangan harap kau bisa bertemu dengan Bu Hoa pula."
"Kenapa?" tanya Coh Liu-hiang.
Padri alis putih tersenyum pula, ujarnya: "Murid Siau-lim kami yang pandai dan pernah menikmati serta menilai kenikmatan teh dari Tang-ni juga cuma Bu Hoa seorang. Asal dia datang ke mari, tugas pertama yang dia lakukan ialah menggodok wedang menyeduh teh bagi Ciangbun-suheng."
Seketika berubah hebat air muka Coh Ling-hiang, jeritnya: "Jadi Bu Hoa sekarang sedang bantu Thian-hong Taysu menggodok wedang menyeduh teh?"
Padri alis putih manggut-manggut, sahutnya tertawa: "Kalau Coh-sicu ingin bertemu dengan mereka, mungkin harus tunggu sampai besok pagi."
Boleh dikata saking gugupnya Coh Liu-hiang sudah hampir gila, namaun akhirnya dia bisa berlaku tenang, katanya: "Apakah di pekarangan belakang sana tempat mereka menikmati air teh?"
"Betul!" sahut padri alis putih manggut.
Tiba-tiba Coh-Liu-hiang menuding ke belakang padri alis putih, katanya: "Tapi yang mendatangi di belakang Taysu itu bukankah Bu Hoa?"
"Di mana?" tanya padri alis putih sambil berpaling.
Begitu dia berpaling, di belakangnya kosong melompong tak terlihat bayangan seorang pun.
Waktu ia berpaling ke muka pula, Coh-Liu-hiang di hadapannya tahu-tahu sudah lenyap tak karuan perannya.
Begitu kepala gundul si padri berpaling, badan Coh Liu-hiang lantas menerjang terbang ke sana. Luncuran tubuhnya ini sudah ia kerahkan seluruh kekuatannya. Sebelumnya dia sudah incar dan siapkan tempat injakan kakinya. Begitu ujung kaki menutul bumi, kembali badannya melesat empat tombak. Belum lagi padri alis putih sempat berpaling, bayangannya sudah berkelebat puluhan tombak jauhnya. Ginkang Coh Liu-hiang yang tiada bandingannya di seluruh jagat, setelah dikembangkan di saat yang teramat genting ini, tempo kecepatannya sungguh luar biasa.
Menunggu kepala si padri berpaling pula, bayangannya sudah menyelinap ke pinggir pagar tembok yang lebih rendah di belakang sana.
Di belakang pagar tembok yang rendah ini, terdapat sebuah pekarangan kecil pula, rumput dan pepohonan kembang tumbuh subur dan terawat baik di sini. Di tengah rumpun bambu di sebelah kiri sana, terdapat tiga bilangan gubuk pintu terbuka dengan kerai bambu menjuntai turun.
Dari sela-sela kerai yang lembut memandang ke dalam, samar-samar kelihatan dua sosok bayangan orang sedang duduk bersimpuh berhadapan di atas lantai.
Suasana di sini sunyi senyap, angin menghembus dedaunan, bayangan orang di atas kerai jadi bergerak-gerak turun naik, seolah-olah mereka berdua sedang berada di khayangan.
Orang di sebelah kanan terang adalah Bu Hoa.
Sebuah anglo kecil yang terbuat dari tanah merah berada di depannya. Selain sebuah ceret tembaga dan sebilah kipas, terdapat pula seperangkat peralatan minuman teh yang amat bagus.
Saat itu, tiga buah mangkok kecil sebesar cangkir arak sudah sama diisi penuh air teh, serangkum bau teh yang semerbak terendus keluar dari celah-celah kerai bambu, ditambah bebauan kuntum kembang harumnya sungguh memabukkan.
Yang duduk di hadapan Bu Hoa adalah seorang padri tua yang lanjut usia dengan badan kurus kering, jenggot dan alisnya sudah memutih. Saat itu dia sedang menerima secangkir air teh dari tangan Bu Hoa. Sambil pejamkan mata, pelan-pelan ia angkat cangkir teh itu ke dekat mulutnya hendak ditenggaknya habis.
Sekonyong-konyong Coh Liu-hiang membentak keras. Secepat anak panah ia menerjang masuk ke balik kerai bambu seraya berseru: "Air teh ini tak boleh diminum!"
Begitu melihat dirinya, seketika berubah roman muka Bu Hoa, tapi cepat sekali sikapnya sudah tenang kembali.
Sebaliknya kulit daging di ujung mulut Thian-hong Taysu sedikit bergerak pun tidak. Naga-naganya, andaikan dunia kiamat dan langit jatuh di hadapannya, roman mukanya pun takkan berubah atau terkejut.
Namun dengan kalem ia meletakkan cangkir tehnya, pelan-pelan pula membuka matanya yang terpejam.
Dipandang oleh sorot mata yang tajam ini, Coh Liu-hiang sendiri merasa rikuh dan serba salah malah.
KENANGAN MASA LALU
Berkata Thian-hong Taysu tawar: "Sicu ke mari main terjang secara gegabah, apakah tidak merasa terlalu kasar?"
Lekas Coh Liu-hiang menjura, sahutnya, "Cahye terlalu terburu nafsu, harap Taysu suka maafkan kekasaran Cayhe!"
Sesaat lamanya Thian-hong menatapnya lekat-lekat, katanya pula kalem: "Selama duapuluh tahun ini, yang bisa menerjang masuk ke mari sepanjang jalan ini, Sicu merupakan orang pertama.
Kalau kau mampu ke mari, tentulah bukan orang sembarangan. Silakan duduk dan minum teh dulu, bagaimana?"
Padri agung dari Siau-lim ini ternyata latihannya sudah mencapai puncak kesempurnaannya, sedikit pun tidak timbul amarahnya karena ketenangannya terganggu, mau tidak mau Coh Liu-hiang merasa kagum dan memuji dalam hati.
Bu Hoa ikut tersenyum, timbrungnya: "Benar, kalau toh Coh-heng sudah ke mari, kenapa tidak duduk dulu minum secangkir teh untuk menghilangkan lelah di tengah jalan."
Thian-hong Taysu tertawa tawar, katanya: "Ternyata Coh-sicu adanya, tak heran Ginkangmu begitu tinggi, dalam dunia ini tiada orang kedua yang bisa menandingi."
"Tidak berani!" sahut Coh Liu-hiang merendahkan diri.
Berkata Thian-hong Taysu tertawa: "Walau sudah lama Lo-ceng terpisah dari urusan duniawi, tapi bisa berhadapan dengan kegagahan dan kehebatan tunas muda jaman ini, sungguh hatiku teramat gembira. Kuilku yang bobrok ini tiada arak untuk menyambut kedatanganmu, silahkan Coh-sicu minum teh saja." Kembali ia angkat cangkir teh pula.
Lekas Coh Liu-hiang berseru mencegahnya lagi: "Teh ini tidak boleh diminum."
"Walau air teh ini belum termasuk minuman dewata, sudah terhitung kualitas pilihan juga, kenapa tidak boleh diminum?"
Sekilas mengerling kepada Bu Hoa, tiba-tiba Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "Cayhe terima titipan seorang sahabat, kini kubawakan daun teh yang terbaru dan pasti luar biasa rasanya, dan lagi Cayhe yakin benar mengenai penilaian kualitas air teh ini Cayhe pun cukup ahli. Masakan Taysu tidak sudi mencicipinya lebih dulu?"
Seketika terbuka seri tawa Thian-hong Taysu, katanya senang: "Kalau demikian, biarlah Loceng tunda minum yang ini dan rasakan dulu teh yang kau bawa."
Padri tua yang sudah mencapai puncak kesempurnaan latihan Lwekang dan silatnya ini, menghadapi persoalan apa pun takkan tergoyahkan imannya, tapi mendengar adanya seduhan air teh dari seorang ahli, seketika tak terkendali rasa senangnya.
Dalam hati Bu Hoa teramat gusar, namun sikap dan mimik wajahnya sedikit pun tidak pernah menampilkan perasan hatinya. Ternyata ia pun tersenyum, katanya: "Tak nyana Coh-heng pun punya kegemaran ini. Bagus, sungguh bagus!"
Segera ia bangkit berdiri, tempat menyeduh teh ia berikan pada Coh Liu-hiang, sedang beberapa cangkir teh yang sudah dia seduh tadi semuanya dia buang keluar perkarangan.
Coh Liu-hiang memandangnya sekali, katanya tertawa: "Air yang begitu berharga dibuang begitu saja, apa tidak sayang?"
Dia tidak mengatakan "teh" namun menyebut 'air', cuma saja tidak secara langsung ia menyebut nama Thian-it-sin-cui. Namun sikap Bu Hoa tetap tenang dan wajar, sahutnya tertawa:
"Air hasil saringan dari cairan salju murni ini memang cukup berharga, namun simpanan dalam kuil kami tidak sedikit jumlahnya. Coh-heng kalau punya hasrat boleh nanti bawa segentong kalau mau pulang!"
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas, dengan laku hormat ia bersimpuh dan mulai membuat api menggodok wedang.
Tiba-tiba Thian-hong Taysu tertawa tawar, katanya: "Sekarang airnya belum matang, Coh-sicu berkesempatan mengutarakan maksud kedatanganmu. Menghadapi teh kualitas paling baik adalah pada saat-saat hati Lo-ceng paling riang. Jikalau Coh-sicu ada persoalan yang perlu dibicarakan, kinilah saatnya yang terbaik."
Mendadak terasa oleh Coh Liu-hiang senyum dikulum padri tua kosen yang tawar ini hakikatnya mengandung kecerdasan luar biasa yang tak terukur tingginya. Sorot mata yang tenang dan kalem ini seolah-olah bisa main selidik akan isi hati seseorang yang dipandangnya.
Perlahan-lahan Coh Liu-hiang menghela napas, katanya: "Kedatangan Wanpwe hanya ingin mohon Taysu suka mendongeng."
"Mendongeng?" Thian-hong Taysu rada mengerutkan kening.
"Puluhan tahun yang lalu, ada seorang pendekar samurai bernama Thian-hong-cap-si-long yang datang dari negeri seberang. Beliau pernah menantang bertanding kepandaian silat dengan para tokoh-tokoh silat kosen dari Tionggoan, satu di antaranya adalah Jin-lopangcu dari Kaypang, seorang yang lain entah apa benar Taysu adanya?"
Lama Thian-hong Taysu berdiam diri, entah sedang menepekur, baru akhirnya ia tarik napas panjang, katanya prihatin: "Peristiwa dua puluh tahun yang sudah lalu, Lo-ceng sudah hampir melupakannya,tak nyana hari ini Sicu menyinggung pula peristiwa itu... Benar, orang kedua yang Sicu maksudkan memang Lo-ceng adanya."
Bersinar biji mata Coh Liu-hiang, katanya: "Thian-hong-cap-si-long menyeberangi lautan untuk menantang bertanding, namun tiada minatnya untuk mencapai kemenangan dan tidak mencari ketenaran, sebaliknya malah pasrah nasib dan terima binasa demikian saja. Kalau rabaan Wanpwe tidak meleset, apakah dia membekal sesuatu urusan hati yang menyedihkan?"
Kembali Thian-hong Taysu menepekur sekian lamanya, sahutnya pelan-pelan : "Rabaanmu tidak meleset, memang dia punya urusan yang menyedihkan."
"Jikalau Taysu sudi menjelaskan, sungguh tak terhingga rasa terima kasih Wanpwe!" Coh Liu-hiang mohon setulus hati.
Berkilat tajam mata Thian-hong Taysu. Lama ia tatap Coh Liu-hiang, katanya menghela napas.
"Pengalaman lalu laksana asap mega, sebetulnya Lo-ceng tidak mau menyinggungnya pula. Tapi Sicu datang dari tempat nan jauh, maksudnya hanya ingin tahu seluk-beluk peristiwa itu, dalam hal ini persoalan satu sama lain yang bersangkut-paut tentu amat besar artinya."
Coh Liu-hiang mengangguk, ujarnya: "Taysu bijaksana dan tahu betapa pentingnya urusan ini.
Wanpwe tidak akan menyimpan rahasia persoalan ini, sangkut-paut urusan ini memang amat penting dan besar artinya, tapi Wanpwe boleh berjanji dan bersumpah bahwa Wanpwe bersusah payah hendak membikin terang peristiwa misterius ini sekali-kali bukan demi kepentingan pribadi atau hendak mencari ketenaran, terutama bukan untuk maksud kejahatan."
Thian-hong Taysu tertawa tawar, ujarnya: "Kalau Sicu punya maksud jahat dan tujuan pribadi, mana mungkin bisa duduk di tempatku ini?"
Bergetar jantung Coh Liu-hiang, lekas dia membungkuk hormat dan berkata: "terima kasih akan kebijaksanaan Taysu dan sukalah memeriksanya."
Thian-hong Taysu pejamkan kelopak matanya, katanya pelan-pelan: "Thian-hong-cap-si-long teguh hati dan perkasa sekali. Sedemikian besar hobinya akan ilmu silat, namun sayang dia pun seorang yang terlalu romantis. Dua puluh tahun lebih yang lalu, Hoa-san dan Ui-san dua keluarga besar persilatan terjadi bentrokan hebat sehingga pertarungan berlangsung sampai bertahun-tahun, dengan akibat yang amat fatal bagi kedua belah pihak. Terutama pihak Ui-san, akhirnya mengalami kekalahan total dan habis-habisan, terakhir yang masih bertahan hidup tinggal Li Ki seorang."
Tak tahan Coh Liu-hiang bertanya: "Apa sangkut-pautnya peristiwa ini dengan Thian-hong-cap-si-long?"
Tutur Thian-hong Taysu lebih lanjut tanpa hiraukan pertanyaan Coh Liu-hiang: "Demi menyelamatkan diri, nona Li Ki naik kapal dagang ikut berlayar ke negeri seberang, yaitu Hu-siang. Waktu itu dia sendiri pun terluka dalam yang cukup parah, ditambah kehidupan di atas lautan yang serba kekurangan, setiba di Hu-siang-to maka penyakitnya sudah teramat parah dan sukar disembuhkan lagi."
"Apakah nona Li Ki ini akhirnya bertemu dengan Thian-hong-cap-si-long di Hu-siang-to itu?"
tanya Coh Liu-hiang pula.
Thian-hong menghela napas, katanya: "Begitulah kejadiannya. Diam-diam sejak melihat pertama kalinya, Thian-hong-cap-si-long pun jatuh cinta kepadanya, sampai beberapa hari tidak bisa tidur tidak enak makan. Dengan segala jerih payah dan usahanya, lambat laun ia mengobati dan menyembuhkan nona Li. Sudah tentu mau tidak mau nona Li teramat haru dan merasa hutang budi akan ketelitian rawatannya yang begitu telaten. Hari keempat setelah luka-lukannya sembuh, lantas dia menjadi suami isteri dengan Thian-hong-cap-si-long."
Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya: "Perjodohan ditentukan takdir dan kehendak Thian. Akad nikah terjadi di luar lautan, benar-benar merupakan suatu legenda yang menawan hati."
"Cuma sayang kehidupan yang mereka kecap bersama tidak terlalu panjang. Setelah nona Li melahirkan dua orang putera Thian-hong-cap-si-long, suatu ketika mendadak dia tinggal pergi tanpa pamit, hanya meninggalkan sepucuk surat."
Coh-Liu-hiang terperanjat, jeritnya: "Masakah dia kembali ke Tiong-toh pula?"
"Meski hal itu belum berani dipastikan lagi, kejadian tentu seperti terkaanmu, karena tidak lama setelah nona Li meninggalkan Thian-hong-cap-si-long, empat orang dari Hoa-san-cit-kiam yang masih ketinggalan hidup mendadak semua menemui ajalnya secara mengenaskan. Banyak tersiar kabar simpang siur di kalangan Kang ouw. Katanya, nona Li Ki, satu-satunva keluarga yang masih hidup dari warga Ui-san-pay, pulang menuntut balas bagi kematian ayah dan para saudaranva."
Coh Liu-hiang menepekur, katanva kemudian: "Kalau demikian, pada waktu di Hu-siang to tentu nona Li ini pernah mempelajari semacam ilmu kepandaian silat yang tiada taranya, atau mungkin pula hasil pelajaran dari Thian-hong-cap-si-long!"
"Dalam hal ini terkaanmu tidak seluruhnya benar," ujar Thian-hong Taysu. "Sekali-kali Thian-hong-cap-si-long tidak pernah mengajarkan sejurus ilmu silat kepadanya. Dia pasti pernah menemukan sesuatu keajaiban yang besar artinya. Mengenai rejeki besar apa yang dia pernah peroleh, hal itu dia rahasiakan dan mengelabui Thian-hong-cap-si-long pula."
"Benar, penemuan nona Li itu pastilah amat luar biasa anehnya. Kalau tidak di dalam jangka waktu yang begitu pendek, ilmu silatnya takkan mungkin bisa maju berlipat ganda tingginya, sekaligus ia berhasil membunuh Hoa-san-su-kiam..... Tapi setelah ia berhasil menuntut balas, apakah dia tidak kembali ke Tang-ni untuk menengok dan mengasuh pula kedua putranya?"
"Tidak," sahut Thian-hong Taysu. "Waktu itu putranya yang kecil masih merupakan orok kecil yang memerlukan air tetek ibunya. Betapa pedih dan marah Thian-hong-cap-si-long waktu itu, maka ia cepat-cepat berlayar pulang ke Tiong-toh dengan membawa kedua anaknya itu untuk mencari ibunya."
'Apakah dalam kalangan Kangouw wakiu itu tiada mendengar kabar beritanya nona Li itu?"
tanya Coh Liu-hiang.
"Justru di situlah letak keanehannya," ujar Thian-hong Taysu. "Setelah nona Li itu melakukan peristiwa besar yang mengejutkan langit menggetarkan bumi itu, ternyata lantas menghilang entah menyembunyikan diri di mana, seolah-olah ia menghilang dari permukaan bumi ini. Dengan susah payah Thian-hong-cap-si-long mencarinya selama setahun lebih tanpa hasil, akhirnya dia putus asa.... Waktu itulah baru dia datang ke mari."
"Jadi, begitu tiba di Tiong-toh, dia tidak lantas menantang bertanding dengan Taysu?" Coh Liu-hiang menegas.
Thian-hong Taysu menarik napas panjang, ujarnya: "Dia mendesak dan ribut kepadaku menantang bertanding, aku berkukuh menampiknya. Belakangan, saking kewalahan, dia main kasar dan membakar Cang-king-kek. Aku terdesak dan apa boleh buat, terpaksa kuterima tantangannya untuk mengadu tiga kali pukulan tapak tangan. Siapa tahu... siapa tahu waktu aku lancarkan pukulan yang ketiga, ternyata dia tidak berkelit dan tidak menyingkir, tidak lantas menyerang atau melawan pula, karena tak sempat menarik kembali, sehingga dia terluka parah."
Coh Liu-hiang tersenyum ewa, katanya: "Ternyata tidak meleset terkaan Wanpwe. Waktu itu dia sudah putus asa dan dingin perasaannya, tiada niatnya hidup lebih lama pula, maka dia pikir hendak menyerahkan kedua putranya kepada dua orang yang cocok dipasrahi, maka tanpa tanggung-tanggung sengaja dia terima dilukai oleh Thian-hong Taysu."
Tutur Thian-hong Taysu lebih lanjut dengan rawan: "Setelah aku melukainya, segera kupapah dia masuk ke tempat semediku. Siapa tahu, di saat aku mengambil obat, tahu-tahu dia sudah pergi tanpa pamit, hanya meninggalkan sepucuk surat. Dibeberkannya pengalaman hidupnya, minta pula kepadaku supaya mau menerima putra sulungnya serta mendidiknya. Waktu aku menyusul ke tempat yang dia tunjuk dalam suratnya, pikirku hendak mengembalikan putra sulungnya itu, ternyata di tempat itu aku bertemu dengan Jin-lopangcu, barulah aku tahu bahwa dia sudah menemui ajal di tangan Jin-lopangcu."
Cerita panjang yang merupakan tragedi yang menyedihkan ini dituturkan oleh seorang padri tua dengan tenang dan mantap bagaikan sang Budha, lebih terasa merasuk dan mengundang kepiluan yang menyesakkan napas dan misterius.
Sejak tadi Bu Hoa duduk dengan tenang di tempatnya, sekalipun tidak kentara perubahan mimik mukanya. Thian-hong Taysu dan Coh Liu-hiang sejak tadi pun tak berpaling kepadanya, seolah-olah tiada kehadirannya di tempat itu.
Seolah-olah seorang yang berada di luar lingkungan dan persoalan yang dibicarakan sedikit pun tiada sangkut paut dengan dirinya, cerita memilukan yang dikisahkan Thian-hong Taysu itu seperti tidak pernah mengetuk sanubarinya.
Sesaat keheningan melingkupi ruang semedi yang kecil ini, disusul suara air bergolak memecah kesunyian.
Dengan laku hati-hati dan pelan-pelan Coh Liu-hiang mulai menyeduh daun teh yang dia bawa.
Bersambung ke Jilid 12
JILID 12 Setiap gerak-gerik tangannya sedemikian hati-hati, waspada dan tepat, memang dia sedang pinjam gerakan yang lambat dan mantap ini untuk menekan dan mencuci bersih pikiran batinnya yang sedang kalut dan risau.
Lalu dengan kedua tapak tangannya, ia bimbing secangkir air teh yang masih panas mengepul itu diangsurkan ke hadapan Thian-hong Taysu dengan laku hormat, katanya dengan suara berat,
"Terima kasih Taysu!"
Dengan kedua tangannya pula Thian-hong Taysu menerima cangkir teh itu, katanya kalem,
"Peristiwa dulu serta urusan yang ingin kau ketahui, kini sudah tahu belum?"
Coh Liu-hiang mengiakan sambil manggut-manggut.
Thian-hong Taysu tertawa tawar, ujarnya, "Bagus sekali, apa yang dapat Lo-ceng uraikan ya hanya sebegitu saja!"
Ternyata dia tidak tanya kepada Coh Liu-hiang untuk apa dia ingin tahu peristiwa masa lalu yang terpendam ini, mulailah dia menghirup air teh itu dengan laku yang penuh perhatian dan nikmat sekali. Sekilas ini, raut mukanya yang semula kelihatan serius dan angker, seketika mengendur dan luluh. Nampak sorot matanya yang mengandung kepedihan itu tampak semakin tebal, maka mulailah dia pejamkan kelopak matanya pelan-pelan, gumamnya, "Secangkir air teh ini, memang jauh lebih nikmat dan baik kwalitetnya dari air teh yang terdahulu tadi."
Lama Coh Liu-hiang mengawasi raut mukanya serta gerak-geriknya dengan segala perhatiannya, sungguh tak teraba olehnya bahwasanya padri tua yang punya kedudukan luar biasa ini, berapa banyak mengetahui seluk beluk persoalan yang dia hadapi, tak tertahan ia bertanya, "Apa tiada sesuatu yang Taysu hendak tanyakan kepada Cayhe?"
Sesaat Thian-hong taysu diam saja, katanya tawar, "Apakah Jin-lopangcu sudah wafat?"
matanya tidak terbuka seolah-olah pertanyaan ini ia ajukan sambil lalu saja.
Sebaliknya Coh Liu-hiang menghela nafas panjang, cepat ia mengiakan. Kembali ia suguhkan secangkir air teh yang sama, katanya, "Apa yang ingin Taysu ketahui, sekarang tentunya sudah jelas seluruhnya."
Thian-hong Taysu hanya manggut manggut tanpa bersuara lagi.
Perlahan-lahan Coh Liu-hiang bangkit berdiri, katanya "Entah bisakah Taysu memberi ijin supaya Wanpwe berbicara beberapa patah kata dengan Bu Hoa Suheng?"
Sahut Thian-hong Taysu pelan-pelan, "Persoalan yang perlu dibicarakan, memang perlu dikatakan. Pergilah kalian!"
Baru sekarang Bu Hoa bangkit berdiri, sikap dan tindak tanduknya kelihatan masih sedemikian adem ayem dan seperti tidak terjadi apa-apa, dengan hormat ia menjura kepada Thian hong Taysu, tanpa bersuara diam-diam ia mengundurkan diri. Sepatah katapun ia tak bersuara.
Waktu badannya sudah hampir mundur keluar dari kerai bambu, Thian-hong Taysu mendadak pentang mata memandangnya sekilas arti yang terkandung dalam sorot matanya kelihatannya amat ruwet dan terbedakan. Tapi sepatah kata diapun tak bicara lagi.
Malam sudah larut.
Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jalan di belakang gunung sini amat sempit dan memanjang berliku-liku, di bawah penerangan sinar bintang-bintang kecil, membayang-bayangi dedaunan pohon di kedua pinggir jalan, seluruh alam semesta seolah-olah sudah tenggelam di dalam suasana kepedihan nan dingin dan kabut yang tebal.
Coh Liu-hiang sedang beranjak adu pundak dengan Bu Hoa di jalanan sempit dan berliku-liku itu, sampai detik ini merekapun tiada yang bersuara lebih dulu. Begitu sunyi senyap laksana dalam neraka pegunungan yang gelap gulita ini.
Akhirnya Bu Hoa unjuk senyuman, katanya, "Meskipun kau tidak langsung membongkar kedokku, tapi aku tidak menaruh hormat padamu, itulah karena dia kuatir Thian-hong Taysu bersedih hati saja, benar tidak?"
Coh Liu-hiang tertawa getir, katanya, "Menurut pendapatmu kecuali itu, tiada sebab lainnya"
Kisah Pedang Bersatu Padu 5 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Seruling Perak Sepasang Walet 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama