Ceritasilat Novel Online

Perjodohan Busur Kumala 20

Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 20


gusar sekali, dalam sengitnya, ia berbalik menyerang!
"Maju semua!" berseru Kim Sie Ie sambil ia menyambuti
serangan Sin Thong itu, tetapi habis itu, ia menyingkir dengan
tindakan Thianlo Pou.
Orang-orangnya Seebun Bok Ya mengira Sie le rekan
mereka. Melihat Sin Thong demikian garang, mereka maju
serentak. Mereka telah menyaksikan Sin Thong di Binsan,
mereka tidak puas, benar mereka jeri tapi mereka penasaran.
Mendengar seruan Sie le, yang mereka kenal sebagai Kam
Kauwtauw, mereka menerjang. Di antara mereka ada
sembilan orang yang berbaju kuning itu.
Selagi Sin Thong dikurung, Sie le menyingkir di antara sisa
layar asap. Ia bukan jeri terhadap Sin Thong, ia bukannya tak
sudi melayani, ia menyingkir karena telinganya menangkap
panggilan Le Seng Lam, yang menyerukan ia dengan jalan
ilmu Thiantun Toan-im, supaya ia lekas datang.
Seebun Bok Ya dari pintu samping lari masuk ke ruang
belakang, ia tahu di dalam istana Lie Kiong rtu ada sebuah
jalan rahasianya, ingin ia menyingkir dari pintu rahasia itu. Ia
kabur dengan hatinya terganggu rasa takutnya. Tadi ia
dicekoki arak oleh Sie Ie, benar ia dapat muntahkan itu tetapi
sudah ada sedikit yang tertelan Ia takut sebab racun yang ia
campur dalam arak itu racun yang berupa nyali merak yang
liehay. Ia menyesal, gagal meracuni Kim Sie le, sebaliknya ia
sendiri yang menjadi korban. Racun makan tuan! Syukur ia
memiliki tenaga dalam mahir dan ia pun keburu makan obat
pemunahnya, ia tidak roboh segera karenanya. Hanya selang
sekian lama itu, racun sudah mulai bekerja, dari itu perlu ia
dengan sebuah tempat sunyi, untuk ia beristirahat sambil
mengobati diri. Tempat itu ialah jalanan rahasia yang ia kenal
itu. Sepak terjangnya Beng Sin Thong ini menggemparkan
seluruh Lie Kiong. Hanya bagus untuk Sin Thong, bukannya
sekalian wiesu pada muncul, untuk mengepung ia, sebaliknya
mereka pada menyembunyikan diri. Mereka jeri sebab mereka
tahu Sin Thong kosen luar biasa. Mereka juga belum tahu Sin
Thong datang untuk mencari Seebun Bok Ya seorang,
Dalam bingungnya, karena kepalanya pusing, Seebun Bok
Ya tidak lantas dapat mencari pesawat rahasia dari jalan
dalam tanah itu. Selagi ia bergelisah, ia mendengar bentakan:
"Kau hendak lari?" Dalam kagetnya, ia lantas menyerang
dengan dua potong Tokliong cwie yang beracun. Sayang
untuknya, ia terganggu racunnya sendiri, tenaga dalamnya
telah berkurang, maka senjata rahasianya itu jatuh di tempat
tak ada satu tombak jauhnya...
Kemudian ia dapat melihat tegas, orang itu dandan sebagai
tentara Gieliemkun. Hatinya menjadi sedikit lega. Ia lantas
menanya: "Aku bukannya musuh! Apakah kau tidak kenal
aku?" Opsir Gieliemkun itu menjawab: "Aku tahu kaulah Seebun
Bok Ya! Sri Baginda telah mengeluarkan banyak uang
mengundangmu, supaya kau membasmi habis semua orang
Rimba Persilatan, supaya kau dapat diangkat menjadi Guru
Negara!" "Itulah benar!" sahut Seebun Bok Ya. "Kau kenal aku, maka
itu kitalah orang-orangnya Sri Baginda, yang mesti bekerja
untuknya! Kita tidak bermusuh, kenapa kau hendak
mengganggu aku?"
"Kau memang tidak bermusuh denganku!" sahut opsir itu.
"Tapi hendak aku tanya kau, kalau seorang dibikin celaka, dia
pantas mencari balas atau tidak" Hendak aku tanya kau, kau
bermusuh apa dengan Keluarga Le" Kenapa kau membantu si
hantu she Beng membasmi Keluarga Le itu?"
Seebun Bok Ya kaget tidak terkira. Orang menyebutnya
perkara lama. "Kau! Kau siapa?" ia tanya, tubuhnya menggigil, suaranya
menggetar. Opsir itu Seng Lam sendiri, la menghunus pedangnya
sambil membentak: "Kau perduli apa aku siapa" Lekas kau
serahkan Pektok Cinkeng! Kalau tidak, kau harus binasa di
ujung pedangku ini!"
Sebagai ancaman, Seng Lam menabas sebuah pilar di
sampingnya, hingga pilar batu itu gempur!
Kembali Seebun Bok Ya kaget, mukanya menjadi pucat.
Sudah disebut urusan Keluarga Le, sekarang ia mendengar
halnya kitab itu, kitab Seratus Racun, la mundur saking
kagetnya itu. "Kitab itu tidak ada padaku sekarang..." sahutnya. "Kau
biarkan aku pergi dari sini, nanti aku ambil itu untuk
diserahkan pada kau..."
Seng Lam tidak tahu pasti kitab ada pada tubuh orang atau
tidak, maka ia telah mengancam itu, ia tidak mau segera turun
tangan; sekarang melihat roman orang dan mendengar
penyangkalannya itu, sebagai seorang yang cerdik, ia dapat
menerka. Ia merasa pasti kitab itu dibawa-bawa jago itu. Ia
lantas tertawa dingin dan berkata:
"Benarkah kitab itu tak ada pada tubuhmu" Mari aku
geledah kau!"
Kata-kata itu dibarengi dengan lompatan pesat dan
luncuran pedang. Seebun Bok Ya tak sempat berdaya, maka
bajunya bagian depan telah kena terobek. Meski demikian, ia
tidak menyerah dengan begitu saja, ia lantas menimpukkan
asap beracunnya, asap yang dicampuri jarum Bweehoa ciam
yang liehay! Habis menyontek itu, Seng Lam terus memutar tubuhnya.
Maka semua jarum yang mengenai ia, mengenai
punggungnya, la memakai tameng kemala, ia tak takut
dengan jarum berbisa itu, yang semua lantas runtuh jatuh ke
tanah. Habis itu ia maju dengan menyerbu asap beracun. Ia
tidak takut lantaran ia sudah mengemu Pekleng Tan yang
mujarab. Seebun Bok Ya menyender di sebuah tiang kayu, napasnya
memburu, dadanya terbuka, dada itu tergores pedang dua kali
hingga darahnya mengucur keluar.
Seng Lam berniat maju mendekati ketika ia melihat orang
mengeluarkan kitab Pektok Cinkeng. Seebun Bok Ya lantas
membentak: "Jikalau kau maju lagi satu tindak saja, akan aku
robek hancur kitab ini! Biarnya aku mati, tidak nanti aku
biarkan kau memilikinya!"
"Apakah benar-benar kau tidak menghendaki jiwamu?"
tanya Seng Lam, tertawa. Ia batal bertindak maju.
"Kau mundur sepuluh tindak!" Seebun Bok Ya membentak
tanpa ia menghiraukan kata-kata orang. "Akan aku lemparkan
kitab ini kepada kau! Jikalau kau hendak mengambilnya
dengan paksa, kau harus ketahui Seebun Bok Ya bersedia
mati tapi tak terhinakan!"
Seng Lam yang cerdik segera berpikir.
"Dia bagian mampus tapi dia masih memikirkan nama
baiknya," pikirnya, "Baiklah, aku pedayakan dia!"
Lantas ia bertindak mundur sepuluh tindak seperti diminta.
Sembari mundur, ia kata: "Baiklah! Kau lemparlah ke tanah,
aku janji akan mengampuni jiwamu!"
Justeru tiang kayu itu terlihat bergerak.
"He, kau bikin apa?" tanya Seng Lam, heran. Lantas ia
lompat maju. Seebun Bok Ya hendak merobek kitabnya ketika ia merasa
telapakan tangannya kaku. Inilah sebab Nona Le yang liehay
dan sebat sudah menimpuknya dengan jarum beracun, yang
menusuk nadinya. Karena itu, dengan sendirinya kitab itu
terlepas dan jatuh ke lantai.
"Aku tahu kau siapa!" Seebun Bok Ya kata, parau. "Kaulah
si anak yatim dari Keluarga Le! Pembalasan! Inilah
pembalasan! Nah, kau ambillah kitab Pektok Cinkeng ini!"
Selagi berkata, Seebun Bok Ya roboh terkulai, suaranya
makin lemah. Seng Lam maju. Ia masih sangsi orang belum mati, maka
ia menikam. Baru setelah itu ia memperoleh kepastian
manusia jahat itu sudah terbang nyawanya. Ia menjadi girang
sekali. Ia lantas membungkuk, akan menjemput kitabnya.
Baru tangannya membentur kitab, atau ia kaget bukan main.
Tangannya itu terasa panas seperti tersulut hio! Dalam
kagetnya, ia batal mengambil kitab. Ketika ia melihat
tangannya, telapakan tangannya itu melentung, rasanya kaku
dan gatal. Rasa gatal itu pun terus pindah, dan terus ia
merasai tenaganya berkurang. Tahulah ia bahwa ia telah
terkena racun, maka itu, dengan Thiantun Toan-im ia
memanggil Sie le.
Kim Sie Ie tiba dengan cepat. Ia melihat dua tubuh rebah
di bawah tiang dan lantai penuh dengan darah. Ia kaget
mengenali Seebun Bok Ya dan Le Seng Lam. Ia menyangka
dua orang itu berkelahi mati-matian dan sama-sama
mengorbankan diri. Tiang itu masih bergerak berputar.
"Aku terkena racun!" Seng Lam berkata. Dia masih bisa
melihat kawannya tiba dan bisa juga membuka mulutnya.
"Lekas kau totok aku-jalan darah wietiong dan kinceng di
lengan kanan..."
Mendengar suara si nona, hati Sie Ie lega. Ia lantas
mentaati perkataan Seng Lam, untuk menotok dua kali, guna
menutup jalan darahnya itu.
Seng Lam berkata pula: "Kau gulung tanganmu dengan
cita. Kau jemput kitab ini!"
Mendengar itu tahulah Sie Ie yang kitab itu ada racunnya
tetapi ia ingin mencoba, guna mendapat kepastian. Ia
meluncurkan sebuah jerijinya, menyentuh kitab itu. Tiba-tiba
ia merasakan hawa hangat. Itulah bukti adanya racun. Ialah
seorang ahli bisa, maka ia kata dalam hati: "Racun ini lebih
liehay daripada racun nyali burung merak atau jengger burung
jenjang..." Maka ia tidak berani mencoba lebih jauh, ia
merobek baju, lalu membungkus tangannya, baru ia berani
pungut kitab itu.
"Sekarang telah berhasil aku mendapatkan pulang kitab
Pektok Cinkeng," Seng Lam berkata. "Yang kurang ialah
tinggal itu bagian kitab yang berada di tangannya Beng Sin
Thong!..."
Kim Sie Ie sudah lantas mengawasi mayat Seebun Bok Ya.
Mukanya jago itu berubah menjadi hitam, darah keluar dari
mata, hidung, mulut dan telinganya maka romannya jadi
sangat menyeramkan. Kapan ia ingat orang satu jago, ia
terharu. Kata ia pada Seng Lam: "Siapa pandai menggunai
racun, dia mati keracunan, maka itu, aku pikir, baiklah kau
pun jangan menghendaki lagi kitab ini..."
"Tetapi itulah kitab pusakaku," kata Seng Lam. "Mana
dapat aku tidak menghendakinya" Aku tahu dia telah
menaruhkan racun apa di atas buku itu, maka itu aku akan
dapat memusnahkan racunnya... Haha! Setelah memperoleh
kitab ini, lalu kita pun bisa mendapatkan kitab di tangannya
Beng Sin Thong, maka dengan bekerja sama, di kolong langit
ini tidak ada lagi lawan kita!"
Sie Ie mendapat ingatan memusnahkan kitab itu, hampir ia
mengerahkan tenaganya, ketika ia mendengar perkataan Seng
Lam itu dan melihat roman si nona, ia batal. Ia terharu, tak
suka ia membikin nona itu bersengsara hati. la menyerahkan
kitab itu, ia menghela napas dan kata: "Karena ini pusakamu,
kau ambillah! Aku harap kau nanti menggunakannya secara
baik-baik."
Seng Lam mengangguk.
"Sekarang tolong kau keluarkan semua obat yang berada di
sakunya Seebun Bok Ya," ia minta.
Sie Ie menurut, ia menggeledah, maka ia menarik keluar
sembilan belas peles terisi pil. Tak tahu ia obat apa itu.
Seng Lam mengawasi semua obat itu, lalu ia tertawa.
"Jahanam ini sangat jahat!" katanya. "Dia tidak
menyediakan obat guna memunahkan racun yang menyerang
aku ini. Syukur aku telah makan Pekleng Tan, kalau tidak, aku
bisa terbinasa seketika, pasti aku akan mengantari dia
menghadap Giam Lo Ong!... Sie Ie, sekarang kau capaikan diri
untuk menolong lebih jauh padaku. Kau gunai jarum perakmu
untuk menusuk aku, kau tusuk tujuh jalan darah thiankie,
teekwat, sinhu, kwie-chong, yangpek, coksia dan hian-kie.
Dengan begitu, selama tujuh hari, racun tak bakal bekerja
mencelakai aku."
Sie le mengerti. Ia pun bisa menggunai jarum, karena
sudah lama ia mendampingi nona itu. Ia lantas bekerja.
Kemudian ia membantu dengan tenaga dalamnya, yang ia
salurkan kepada si nona.
Lekas sekali Seng Lam mendapatkan tenaganya, mukanya
juga bersemu dadu.
"Di antara sembilan belas macam obat ini, apakah ada obat
pemunah keracunan Mokwie hoa?" Sie Ie tanya.
Seng Lam periksa sembilan belas peles itu, ia buka
tutupnya sebuah peles yang kecil, yang isinya beberapa puluh
pil hijau seperti kacang kedele, ia pun membaui, kemudian ia
kata: "Tidak salah, inilah obat untuk keracunan Mokwie hoa
itu!" Ketika itu di bagian luar, suara pertempuran masih
terdengar sangat berisik, rupanya, Beng Sin Thong yang
terlebih unggul.
Tidak lama maka terdengarlah suara tindakan kaki
mendatangi. Kim Sie Ie ambil peles obat pemunah itu, terus ia
mengawasi tiang kayu itu, yang sudah tidak berputar lagi,
hanya berdiam. "Tiang ini aneh," kata Seng Lam. "Tapi tak usah kita
perdulikan lagi. Kita mesti lekas pergi dari sini!"
Si nona tahu ia keracunan, untuk menolongi dirinya, ia
mesti lekas menyingkir dari tempat berbahaya itu. Ia terutama
jeri terhadap Beng Sin Thong, sebab dengan keracunannya
itu, tenaganya menjadi berkurang. Ia memikir, dengan
mendapati kitabnya itu, bersama Sie Ie ia nanti
mempelajarinya, setelah itu, bersama Sie Ie juga ia akan
menempur lagi si orang she Beng, untuk menuntut balas.
"Sekarang ini tidak dapat kita mementingkan saja diri kita!"
kata Sie Ie tertawa. "Aku perlu menolongi beberapa orang."
Habis berkata Sie Ie menolak tiang kayu itu, yang terus
berputar pula, setelah beberapa putaran, ia mendengar suara
apa-apa, lalu terlihat terbukanya sebuah pintu kecil yang muat
satu tubuh orang. Tiang itu besar sepelukan dua orang,
tengahnya kosong. Teranglah itu pintu dari jalan rahasia di
dalam tanah.

Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seebun Bok Ya menyuruh Seng Lam mundur, karena ia
tidak sudi menyerahkan kitabnya dan hendak ia membuka
pintu rahasia itu, agar ia dapat nyeplos masuk ke dalam. Baru
saja ia ingat tiang itu sebagai pintu rahasia. Untuk
memperlambat waktu, ia menyuruh si nona mundur. Ia hanya
tidak menyangka, sesudah terkena racun, tenaganya lekas
habis, setelah menggeraki pintu, tenaga itu habis lantas,
hingga tak keburu ia membuka pintu sedang Seng Lam yang
cerdik memasang mata. Demikian ia dirobohkan.
Selagi Kim Sie le berkata itu, empat atau lima orang terlihat
lari mendatangi. Munculnya mereka itu bisa menghadang.
Maka Sie le menyambut dengan timpukan jarum Tokliong
ciam, membikin mereka itu roboh terguling.
"Mari!" kata Tokciu Hongkay sambil ia menarik lengan Seng
Lam. Ia memasuki pintu rahasia itu, untuk masuk terus ke
dalam terowongan.
"Bagaimana kabar di luar?" tanya seorang wiesu yang
menjaga terowongan itu. Dia dan kawannya tidak menyerang
atau menegur, karena yang masuk itu, mereka lihat, ada
orang Gieliemkun.
"Hebat! Hebat!" menjawab Sie Ie. "Beng Sin Thong lagi
mendatangi kemari!"
Beberapa wiesu itu terkejut.
"Kalau begitu, karena kamu berdua masuk dari pintu
rahasia, tentu kamu dapat terlihat mereka!" berkata wiesu
yang lain. "Mari lekas tutup pintu rahasia ini! Mari bantui aku!"
Itulah pintu satu-satunya. Pintu itu juga diganjal dengan
dua batu besar.
"Pintu ini tembus kemana ?" Sie le tanya.
"Keluar istana Lie Kiong ini, di sisi solokan," sahut si wiesu.
"Oh, ya, perlu jalanan keluar itu lekas ditutup!"
Wiesu itu dan kawannya bingung, mereka sampai tidak
menyadari bagaimana Sie le ketahui jalan rahasia itu dan
dapat masuk ke dalamnya.
"Sekarang ini kamu jangan terlalu bingung dan berkuatir!"
kata Sie Ie, tertawa, seraya ia menarik tangan orang. "Beng
Sin Thong lagi menyerbu hebat, tak nanti dia mempunyai
waktu akan pergi keluar istana itu untuk mencari jalan keluar
jalan rahasia ini. Di depan ada beberapa ratus wiesu, mereka
cukup banyak untuk membasmi dia. Sekarang ini kamu tolong
bantui aku dulu."
"Apakah itu?"
"Untuk penjagaan di muka," kata Kim Sie le. "Kouw
Congkoan menitahkan aku memberitahukan kamu supaya
semua orang tawanan lekas dipindahkan ke lain tempat yang
aman..." "Disini mana ada tempat yang terlebih aman daripada ini?"
kata wiesu itu, heran.
"Kouw Congkoan menitahkan begitu, aku cuma
menyampaikan titahnya itu," kata Sie le.
Selama bicara itu, beberapa wiesu itu menjadi lebih tetap
hatinya. Lantas satu di antaranya timbul curiganya.
"Sebenarnya kemana orang-orang tawanan itu hendak
dipindahkan?" dia tanya.
"Asal kita keluar dari Lie Kiong ini, disana bakal ada orang
yang memapak kita," sahut Sie Ie.
"Ah, perkataanmu ada sedikil kurang tepat," kata wiesu itu
"Bukankah tadi kau setuju akan menutup jalan rahasia ini?"
"Ya," Sie le menjawab. "Tadi itu tindakan sementara waktu,
guna mencegah musuh dapat masuk kemari. Aku pula
bukannya menyuruh kamu menutup itu jalan keluar! Kenapa
tak tepat?"
"Bukannya aku tidak percaya kau," kata lagi wiesu itu. "Ini
tapinya urusan sangat besar, seharusnya Kouw Congkoan
memberikan lengpay kepadamu untuk ditunjuki kepada kami!
Mana lengpay itu sebagai bukti?"
Sie Ie tahu sulit untuk ia mendusta terus, kalau ia
menanyakan tentang kawanan tawanan, la melainkan berniat
mencari tahu. Sekarang ia sudah memperoleh keterangan
jelas, ia tidak perlu bersandiwara lebih lama. Mendadak ia
tertawa. "Baiklah!" sahutnya. "Ini dia lengpay! Siapa yang tidak
percaya, mari datang dekat dan melihatnya!" Ia tertawa pula.
Beberapa wiesu itu, membuka lebar mata mereka.
Sie Ie tidak menanti tertawanya berhenti, tangannya lantas
bekerja. Semua wiesu itu belum apa-apa, atau mereka sudah
kena ditotok hingga semuanya roboh tanpa berdaya.
Dengan sebat Tokciu Hongkay mengajak kawannya
berjalan terus. Masih mereka menemui beberapa wiesu tetapi
karena mereka mengenakan seragam Gieliemkun tidak ada
yang curigai atau menanyai keterangan. Maka mereka maju
terus sampai di depan sebuah kamar dimana ada menjaga
seorang wiesu. "Aku mendapat perintah melihat-lihat kemari!" kata Sie Ie
cepat. "Apakah tidak terjadi sesuatu pada semua orang
tawanan?" "Tidak," sahut si wiesu. "Bagaimana keadaan di luar?"
"Orang pihak kita tak sedikit yang terbinasakan Beng Sin
Thong," sahut Sie Ie. "Sekarang ini
Seebun Sianseng dan Sukhong Tayjin lagi menempur dia,
Kouw Congkoan kuatir semua orang tawanan nanti berontak
dan kabur, maka kami diperintah melihat mereka itu."
"Kau boleh pergi beritahukan Kouw congkoan untuknya
jangan menguatirkan apa-apa," menerangkan si wiesu. "Benar
semua tawanan orang-orang liehay tetapi karena mereka
terkena racunnya Seebun Sianseng, tenaga mereka sudah
lenyap, sedang aku, telah aku merantai tangan dan kaki
mereka. Penjagaan disini berlapis-lapis, mana bisa mereka
melarikan diri?"
"Bagus, bagus kau menjalankan tugasmu!"Sie le memuji.
"Tapi kami diberi perintah, kami perlu melihat dulu kepada
mereka, baru kami pergi untuk memberikan laporan."
Wiesu itu mengenali Sie le sebagai Kam Kauwtauw yang
tadi di medan pertandingan telah menunjuki kegagahannya, ia
berpikir: "Rupanya disebabkan dia gagah, Kouw Congkoan
kirim dia datang untuk menambah penjagaan..." la sudah
mengeluarkan anak kuncinya, ketika mendadak muncul
kecurigaannya. Maka ia pikir pula: "Tak benar ini, tak benar
ini! Kalau Kouw Congkoan mengirim orang kemari, kenapa dia
tidak mengirim orangnya hanya orang Gieliemkun" Kenapa dia
mengirim ini dua orang baru" Mustahil Kouw Congkoan mudah
saja mempercayai mereka?"
Gieliemkun dan wiesu dari istana sama-sama bekerja untuk
raja tetapi mereka dari pasukan yang berlainan, karena itu
tidak masuk di akal Kouw Hong Kauw mengutus orang
Gieliemkun dan bukan orangnya sendiri.
Selagi orang ini bersangsi, mendadak ia merasai angin
berkesiur, atau tahu-tahu Sie le sudah lewat di sisinya,
sembari tertawa, orang Gieliemkun itu kata: "Tak usah kau
mencapaikan hati, biar aku yang membuka sendiri!"
Wiesu itu melengak. Anak kunci di tangannya telah pindah
ke tangannya serdadu Gieliemkun itu.
"He, kenapa kau begini kurang ajar?" dia membentak,
gusar. Lantas dia menyambar, guna merampas pulang anak
kunci itu. Sie Ie memutar tubuh sambil membungkuk, ia memasuki
anak kunci ke liangnya di pintu, ia tidak menghiraukan yang ia
lagi diserang. Wiesu itu menyambar tepat kepada pundak. Dia nyata
pandai ilmu Kimna Hoat. Lantas dia pikir, "Apa baik aku bikin
remuk tulang pipee-nya?" Justeru begitu mendadak dia
merasai tenaga menolak yang keras, hingga dia lantas roboh
terjengkang! Sie Ie merobohkan orang dengan ilmu silat Ciam-ie Sippat
Tiat, berbareng dengan itu ia membuka pintu kamar. Maka di
lain saat ia telah melihat serombongan orang tawanan, yang
berisik rantai-rantai borgolannya beradu satu pada lain.
"Kau rusaki borgolan mereka," kata Sie Ie pada kawannya.
Ia menggunai ilmu bicara Thiantun Toan-im. "Nanti aku
bereskan mereka itu!"
Wiesu yang roboh itu sudah merayap bangun. Dia gusar.
"Hajar mampus dua orang ini!" ia berseru, memerintahkan
kawan-kawannya. Disitu memang ada belasan wiesu yang
menjadi semacam pegawai penjara, hanya tadi mereka tidak
campur bicara, mereka membiarkan wiesu itu yang menjadi
kepalanya. Baru sekarang mereka menghunus senjata mereka
dan lantas maju, untuk mengurung Sie Ie.
Seng Lam tidak menanti orang mengepung, ia lompat ke
dalam kamar. Dengan tindakan Thianlo Pou, ia berlaku gesit
dan lincah sekali.
Kim Sie Ie menghadapi semua wiesu.
"Kamu berani melawan perintah!" kata dia, bengis. "Tapi
kamulah rekanku, suka aku memberikan hukuman enteng
saja! Sekarang kamu semua boleh beristirahat sambil rebah
disini..."
Perkataan itu ditutup dengan serangan yang berupa
totokan, maka rebahlah semua wiesu itu tak terkecuali si
wiesu kepala. Sampai disitu, Sie Ie pun masuk ke dalam kamar, yang
diterangi dengan api lilin yang guram. Ia melihat Seng Lam
lagi bekerja, ia mendengar suara berisik dari borgolan.
Semua orang tawanan sendiri heran melihat yang datang
ialah dua orang Gieliemkun, maka juga Hoay Cin Hwesio, satu
di antara delapan belas Lohan dari Siauwlim Sie, lantas
menegur: "Kamu datang kemari, apa kamu mau bikin?" Kim
Sie Ie tertawa. "Aku memikir mengundang toa-suhu pergi
keluar untuk dahar daging anjing!" sahutnya.
"Ngaco!" Hoay Cin membentak. "Orang Siauwlim Pay dapat
dibunuh tetapi tidak diperhina. Sebenarnya, apakah kau mau?"
"Oh, ya, aku lupa!" kata Sie Ie, masih bergurau. "Aku lupa
bahwa kamu orang-orang beribadat tidak dahar daging anjing!
Baiklah kalau begitu, sekarang aku mengundang kamu untuk
makan saja obat pil!"
Ketika itu Le Seng Lam sudah membabat putus borgolan
tangan si pendeta, disusul dengan tabasan kepada borgolan di
kakinya. Sie le sendiri lantas menyodorkan sebuah pil.
Hoay Cin mendongkol, ia menolak dengan kedua
tangannya. "Apakah kau temahai tempat tahanan yang nyaman ini?"
kata Sie Ie. "Taruh kata kau tidak sudi dahar daging anjing,
kau toh dapat pergi keluar untuk melenyapkan hatimu yang
pepat!" Sembari berkata itu, mendadak Tokciu Hongkay menolak
janggut si pendeta.
Dia ini terkejut, hingga dia membuka mulutnya, untuk
menegur. Justeru itu, Sie Ie memasuki obat ke dalam
mulutnya. Lantas dia menjadi heran, hingga dia menju-blak.
Masuk ke dalam perut, obat itu lantas memberi rasa sangat
nyaman, sedang tubuhnya yang dirasai lemas tidak keruan
rasa, mendadak menjadi berubah segar.
Sie le tertawa.
"Nah, sekarang barulah kau percaya aku!" katanya, guyon.
"Maaf, pinceng keliru menduga kau," kata Hoay Cin
kemudian. "Pinceng minta siecu memberitahukan she dan
namamu yang mulia serta siapa itu gurumu yang terhormat."
Sie Ie tertawa.
"Akulah seorang Rimba Persilatan yang muda dan tak
ternama," sahutnya. "Tak usahlah aku memberitahukan
namaku." Ia mengeluarkan peles obatnya, untuk menuang
isinya ke dalam telapakan tangannya, lalu sembari
menyerahkan itu pada Seng Lam, ia kata: "Obat ini sangat
mujarab, tolong kau berikan mereka seorang satu butir."
Seng Lam sudah selesai membebaskan semua tawanan, ia
mengawasi Sie Ie dan tertawa.
"Baik!" katanya. "Hanya itu nyonya tua, yang aku
melihatnya sebal, aku serahkan padamu saja!"
Seng Lam melihat Sie Ie masih mencekal sebutir pil,
sebagai seorang cerdas, ia dapat menerka hati kawannya itu.
Maka itu juga, ia berkata demikian. Ia maksudkan Co Kim Jie.
Sie le bersenyum, ia menghampirkan ketua Binsan Pay itu.
Ia membukakan rantai borgolannya, yang belum diputuskan
Seng Lam. Habis bekerja, ia tertawa dan kata: "Co Ciangbun
bukankah lak usah aku sampai menyuapi obat ke dalam
mulutmu?" Dalam ruang guram itu, matanya Co Kim Jie berapi
mengawasi Sie Ie.
"Kau! Kau siapa?" dia tanya, suaranya bergemetar.
"Sudah aku bilang akulah orang rendah tak ternama," sahut
Sie Ie, "maka itu tak ada harganya untuk aku ditanyai kau!"
Pintu kamar tahanan telah dipentang, orang pun sudah
merdeka semua, dari itu mereka bisa melihat sekalian wiesu
penjaga rebah bergeletakan, benar mereka tidak melihat
pekerjaan Sie Ie barusan, toh mereka dapat menduga, karena
itu, mereka tak sangsikan Sie Ie yang datang menolongi
mereka. Lain dari itu, obat pemunah racun Mokwie hoa pun
telah memulihkan tenaga dan kesegaran mereka.
"Co Ciangbun, itulah benar obat penolong!" mereka pada
berseru. "Jangan kau bersangsi pula!"
Tapi Co Kim Jie tertawa dingin.
"Tidak biasanya aku mudah saja menerima budi orang!"
kata dia. "Kecuali aku sudah ketahui jelas siapa kau!"
Co Kim Jie merasa kenal baik suaranya Kim Sie Ie, maka
timbullah kecurigaannya. Paman gurunya, yaitu Kam Hong
Tie, menjadi orang yang pandai menyamar. Di masa
mudanya, ia sendiri suka bersalin rupa selagi ia mengikuti
ayahnya, Co Jin Hu, serta sekalian paman gurunya, pergi
merantau. Maka itu ia lantas melihat Sie le tengah menyamar.
Ia sudah menduga kepada Sie Ie tetapi toh ia ragu-ragu. Ia
kata di dalam hatinya: "Suaranya suara dia, tetapi, bukankah
dia sudah mati lama" Phang Lim toh tidak mendustai aku"
Laginya, kalau itu benar dia, mana dia mempunyai hati begini
baik sudi menolongi aku"..."
Sie Ie bangsa separuh sesat, tabiatnya memang aneh,
maka itu, melihat lagaknya Kim Jie sekarang ini, ia menjadi
mendongkol. Ia lantas ingat kekerasan hati si nyonya ketika
dulu hari dia memperlakukan Kok Cie Hoa. Budi Cie Hoa
diabaikan sama sekali. Maka sekarang ia hendak membikin
orang malu. Dengan Thiantun Toan-im, ia kata di telinga si
nyonya berkepala gede itu: "Baiklah jikalau kau tetap ingin
mengetahui siapa aku! Baiklah, sekarang aku memberitahukan


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padamu! Akulah orang yang diusir kau dari gunung Binsan,
yang kau larang menghunjuk kehormatan dengan
menyembahyangi Lu Su Nio Ya, akulah si hantu itu! Sekarang
ini aku menolongi kau bukan untuk kau, aku hanya karena
memandang mukanya Kok Cie Hoa, sumoay-mu itu! Kau
mengerti sekarang?"
Belum habis suaranya pengemis edan itu atau Co Kim Jie
sudah berteriak keras, tubuhnya terus roboh di tanah,
mulutnya muntahkan darah. Dia roboh dengan tak sadarkan
diri! Kejadian di luar dugaan ini membikin kaget pada para
tawanan itu. Antaranya, yaitu Louw Too In, orang Binsan Pay
dari generasi ketiga, lantas lari menghampirkan.
"Ciangbun suci, kau kenapa?" tanyanya, bingung.
Sie Ie terharu juga melihat orang pingsan dan muntah
darah saking mendongkol itu, ia kata dalam hatinya:
"Perempuan tua ini benarbenar sangat berkepala besar,
sungguh aku tidak sangka." Lantas ia memegang nadi nyonya
itu, habis mana ia kata pada Louw Too In: "Dia tidak dalam
bahaya. Dia pingsan karena kaget dan girang yang
keterlaluan. Sekarang ini yang penting untuk kita semua ialah
lekas menyingkir dari sini, dari itu kau gendonglah dia, lantas
kamu turut aku! Ini ada sebutir obat, kalau sebentar dia
mendusin kau kasih dia lantas memakannya! Umpama kata
dia menolak kau paksa mencekoki dia!"
Mendengar itu, Seng Lam tertawa di dalam hati: "Terangterang
kau yang membikin dia mendongkol setengah mati,
sekarang kau berpura-pura menjadi si orang baik hati!"
Louw Too In tidak mengerti duduknya hal, ia cuma
bingung. Di dalam hatinya ia kata: "Heran, suci, kenapa dia
tidak mau makan obatnya orang ini?" Ia periksa obat yang Sie
Ie kasihkan itu, ia cium, ia mendapatkan itulah obat yang
sama dengan yang barusan ia makan hingga ia menjadi
sembuh seperti biasa, la lantas simpan baik-baik obat itu.
Semua orang juga heran Mereka tidak kenal Sie le dan
Seng Lam. Lebih benar mereka tidak mengenali. Mereka pun
heran orang berseragam seperti anggauta tentara Gieliemkun.
Tapi karena orang bermaksud baik, sedang mereka sudah
ditolong disembuhkan, mereka percaya habis. Sekarang pun
mereka mau diajak menyingkir dari tempat berbahaya itu.
Too In tidak sangsi pula, ia menggendong ketuanya.
Di dalam kamar rahasia ini masih ada kira-kira tiga puluh
wiesu, mereka mendengar suara berisik, lantas mereka datang
melihat. Mereka heran dan kaget melihat kawan-kawannya
pada roboh dan semua orang tawanan merdeka. Tentu sekali
mereka lantas turun tangan, untuk menangkap semua orang
tawanan itu. Sie le melihat orang datang, ia diam saja. Ia membiarkan
semua orang yang ditolongnya membela diri Di dalam waktu
yang pendek, semua wiesu itu telah dapat dirobohkan. Hanya
mereka itu tidak dibinasakan, mereka cuma ditotok pingsan
atau dibikin otot-otot atau tulang-tulangnya salah laku, hingga
untuk sementara habislah tenaga melawan mereka.
Habis bertempur, orang berjalan terus. Segera mereka
sampai di pintu, yang menjadi mulut keluar dari terowongan
rahasia itu. Pintu itu ditutup. Hoay Cin mau lantas
membukanya, atau Sie le mencegah.
"Tunggu sebentar!" kata Tokciu Hongkay. Ia bertelinga
tajam, ia mendengar tindakan kaki di luar terowongan. Lantas
ia mengangkat tubuhnya dua wiesu, untuk dibawa ke muka
pintu, baru ia membuka pintu itu, sambil membuka, ia
melemparkan tubuh orang!
Segeralah terdengar jeritan yang menyayatkan hati. Itulah
jeritannya kedua wiesu yang bernasib malang itu. Menyusul
itu, di mulut gua terasa angin menyambar sangat keras. Tapi
Kim Sie le berani, ia memapaki!
Itulah serangannya Beng Sin Thong.
Di depan tadi, Beng Sin Thong bersama rombongannya
sudah berhasil menumpas orang-orangnya Seebun Bok Ya. la
tidak melihat Seebun Bok Ya, ia lantas masuk ke dalam, untuk
mencari. Ia juga sekalian mau mencari Kim Sie le. Ia tidak
menemukan perlawanan, hanya melihat mayat Seebun Bok Ya
di samping tiang besar.
Hong Kauw ada bersama, dia kaget. Dia tahu apa artinya
itu. Dengan lantas dia minta bantuannya Beng Sin Thong.
Jago she Beng itu memang hendak menyapu musuhnya,
dengan segala senang hati dia terima baik permintaan
congkoan itu. Sembari tertawa, dia kata: "Aku membinasakan
orang-orangnya Seebun Bok Ya juga untuk membantu kau,
supaya kau tak usah ditegur raja. Seebun Bok Ya pasti telah
dibinasakan orang tadi, mari kita cari orang itu, untuk
dibinasakan, supaya semua kesalahan dapat ditumplak atas
dirinya!" Hong Kauw girang sekali. Dia pikir. "Aku kehilangan satu
Seebun Bok Ya, aku dapat gantinya satu Beng Sin Thong!
Bagusnya, dia juga tidak mau berebut pahala denganku!
Hahaha! Ini dia yang dibilang bahaya berubah menjadi rejeki!"
Tapi mereka tidak mau masuk dari mulut jalan rahasia itu,
mereka mau memburu atau memegat di jalan keluar, maka
Hong Kauw lantas mengajak orang berlari-lari keluar, untuk
pergi ke tepi solokan. Kebetulan sekali, mereka sampai tepat,
sebelum rombongannya Sie le lolos.
Sie le dapat menangkis serangan Sin Thong, tidak urung ia
merasa seluruh tubuhnya dingin. Inilah sebab, biar
bagaimana, ia masih kurang latihan buat bertahan terhadap
Siulo Imsat Kang.
Ketika itu, Beng Sin Thong juga percaya orang ialah Kim
Sie Ie, maka itu ia heran berbareng girang. Ia girang sebab ia
dapat kenyataan ia sanggup melayani Tokciu Hongkay. Ia
heran sebab Kim Sie Ie dapat menyambut serangannya
dengan air mukanya tak berubah. Lantas ia pikir: "Baiklah aku
gunai ketika ini menyingkirkan ancaman malapetaka di
belakang hari."
Segera Sin Thong mengulangi serangannya yang kedua
kali. Kali ini ia menggunai dua tangannya dengan berbareng.
Dengan tangan kiri ia menyiapkan Siulo Imsat Kang tingkat ke
sembilan, dengan tangan kanan ia mengumpul tenaga
Kimkong Ciang. Jadi ia menggunai kedua tenaga lunak dan
keras. Itulah dua macam kepandaian, yang di jamannya itu,
melainkan dimiliki ia sendiri.
Kim Sie Ie kenal baik lawannya ini, ia berlaku cerdik.
Dengan ilmu silat Poanliong Jiauwpou, atau "Naga mendekam
menggeser tindakan", ia membawa tubuhnya ke samping,
sembari berkelit itu, ia menyentil dengan jeriji tengahnya.
Dengan begitu loloslah ia dari serangan tangan kiri lawan.
Dengan begitu, ia pun lolos dari hajaran Kimkong Ciang.
Celaka adalah seorang opsir Gieliemkun, yang berdiri di
arah kemana Sie Ie berkelit itu. Dia tak keburu berkelit, dia
kena terpukul hingga dia roboh binasa.
Semua orang kaget, semua lantas bergerak mundur,
hingga di mulut pintu rahasia itu, lantas terbuka sebuah
gelanggang yang lebar.
Sie Ie berkelit begitu rupa, ia terhuyung tiga tindak.
Beng Sin Thong bersiul nyaring dan lama. Kemudian dia
berseru: "Bagus, bocah! Apakah kau masih memikir untuk
menyingkir dari sini?"
Pertanyaan itu, yang pun berupa ancaman, ditutup dengan
serangan yang ketiga.
Dengan tangan kiri Beng Sin Thong tetap menggunai Siulo
Imsat Kang, tetapi tangan kanannya, pukulannya Kimkong
Ciang tadi, ia rubah menjadi Imyang Pek-kut Jiauw, atau
Cengkeraman Tulang putih, yang terlebih liehay lagi daripada
Tangan Kimkong itu. Semua lima jeriji tangannya menjadi kuat
dan keras bagaikan gaetan dan digunakannya juga dapat
sebagai totokan.
Sie Ie lantas terancam semua jalan darahnya yang penting,
la berani luar biasa, bukannya ia mundur, ia justeru maju.
"Bagus!" dia menyambut dengan nyaring. Dengan dua
tangannya, ia memapaki kedua tangan lawannya. Tangan
kirinya menggunai tipu huruf "Lolos", guna meloloskan diri
dari serangan Siulo Imsat Kang. Dengan tangan kanan, ia
sebaliknya menggunai Kimkong Ciang dan menghajar ke arah
nadi lawannya itu!
Hebat babak ini. Kalau mereka sama-sama berhasil, mereka
akan celaka bersama juga. Tinggallah siapa yang berhasil
paling dulu. Umpama kata Sie Ie kena dieengkeram,
seandainya ia terluka parah, akan habislah semua
kepandaiannya, sulit ia mempulihkannya.
Juga Sin Thong akan berkurang kepandaiannya kalau ia
terluka. Dia banyak musuhnya, di belakang hari dia bisa
terbinasakan satu atau banyak musuhnya itu. Karena itu, dia
tak sudi mengadu jiwa.
Sin Thong terperanjat melihat sepak terjang Sie le itu.
Tanpa berpikir lagi, ia membatalkan serangan lima jari
tangannya itu, untuk ditukar dengan pukulan Siauwthian
Chee. Serangan ini tak kalah hebatnya, hanya cara
menyerangnya yang beda.
Kim Sie le kalah tenaga dalam, tetapi ia pernah mendapat
petunjuk dari Tong Siauw Lan tentang Lay-kang Simhoat asli
dari Thiansan Pay, petunjuk itu digabung dengan pelajaran
dari kitabnya Kiauw Pak Beng, hasilnya tidak dapat dipandang
enteng, la kalah tenaga tetapi ia menang ulet.
Segera kedua tangan mereka beradu. Kesudahannya, Sin
Thong terkejut, la tidak menemui perlawanan keras hanya
perlawanan yang ulet, yang kuat daya bertahannya. Kalau
keras sama keras, ia pasti merasai gempuran. Sekarang tidak,
la menambah tenaganya menjadi tujuh bagian tapi keadaan
tetap, Sie le terus dapat bertahan.
"Ah, hebat," pikirnya. Sekarang insyaflah ia bahwa meski ia
lebih tangguh, untuk merobohkan musuh, ketangguhannya
masih kurang. Ia merasa, untuk memperoleh kemenangan, ia
mesti berkelahi lama, mesti dengan melewati ratusan jurus.
Maka itu, untuk melanjuti pertempuran, ia memikir dan
menggunai pelbagai tipu yang didapat dari kitab warisannya
Kiauw Pak Beng.
Selagi orang bertempur seru itu, Kouw Hong Kauw
memperhatikan rombongan orang tawanan, terutama Co Kim
Jie ketua Binsan Pay. Nyonya itu yang paling dikehendaki raja,
yang hendak memeriksanya sendiri, maka nyonya itu tak
dapat dikasih lolos. Begitulah ia melihat nyonya itu lagi
digendong satu orang, la menjadi girang. Ia percaya si nyonya
sudah mendapat luka parah. Tidak ayal lagi, ia maju ke arah
Kim Jie. Sebagai congkoan dari istana, Hong Kauw gagah, sedang
orang-orang tawanannya Seebun Bok Ya termasuk orangorang
kelas dua, maka itu sulit untuk mereka melayani jago
istana itu. Syukur tujuannya Hong Kauw ialah Kim Jie seorang.
Satu murid Binsan Pay dan satu murid Cengshia Pay, yang
hendak menghalangi Kouw Congkoan, dengan lantas kena
dibikin terjungkal congkoan itu, yang menggunai ilmu
bantingan Toasut Payciu. Dengan begitu lekas juga Hong
Kauw mendekati Kim Jie yang digendong Louw Too In.
Di antara murid-murid generasi ketiga Binsan Pay, di antara
enam murid utama, Too In menjadi yang paling pandai.
Senjatanya pun tiat piepee. Ia mendengar suara berisik di
belakangnya, tanpa menoleh lagi, ia lantas menyerang ke
belakang. Ia sudah lantas menduga kepada musuh.
Senjatanya Too ln itu diperlengkapi dengan senjata rahasia
yang merupakan paku Touwkut teng, maka dengan
ditekannya alat rahasianya, tiga batang pakunya terus
meluncur. Kouw Hong Kauw melihat itu, ia tertawa.
"Segala mutiara sebesar butir beras juga mau bercahaya!"
katanya mengejek. Lalu dengan sentilan jari tangan, ia bikin
mental dua batang paku. Celaka untuknya, sikapnya yang
jumawa itu mendapat bagian. Paku yang ketiga, yang
datangnya belakangan, yang tenaga meluncurnya lebih keras,
mengenai jerijinya, hingga ia kaget merasakan nyeri.
Too In menekan satu kali, terus ia mengulangi. Maka itu,
lagi tiga batang pakunya meluncur pula.
Hong Kauw kaget, selagi tangannya nyeri itu, ia berkelit.
Hampir saja dahinya disentuh paku. la menjadi mendongkol.
Ia lompat maju, guna mendahului menyambar senjata
lawannya itu. Ia menggunai dua-dua tangannya. Tangan yang
satu mencoba merampas tiat piepee, tangan yang lain
menjambak Co Kim Jie!
"Tahan!" mendadak terdengar seruan. Itulah seruan yang
hebat luar biasa. Itulah "Saycu Hauw", atau Deruman Singa,
yang dibarengi serangan juga.
Hong Kauw kaget sekali, hatinya terkesiap. Untuk membela
diri, ia menangkis dengan tiat piepee-nya Too In, yang ia kena
rampas. Too ln tadi repot karena dia mesti menyelamatkan
ketuanya. Bentrokan sudah lantas terjadi. Tiat piepee terhajar keras,
suaranya sampai menulikan telinga.
Karena itu Hong Kauw menghentikan percobaannya
merampas Co Kim Jie. Ia melihat penyerangnya ialah seorang
pendeta dengan jubah kuning, yang tubuhnya tinggi dan
besar, yang senjatanya merupakan gembolan.
Itulah Hoay Cin Hwesio, satu di antara delapan belas Lohan
dari Siauwlim Sie. Di antara para tawanan, ia pula yang paling
tangguh, sebab ilmu silatnya melebihkan kepandaiannya Co
Kim Jie. la tertawan akibat keracunan Mokwie hoa. Sekarang
ia sudah sembuh sebagai kesudahan pertolongannya Kim Sie
Ie. Ia memang lagi mendongkol dan tak ada tempat untuk
melampiaskannya, kebetulan ia menghadapi aksinya Hong
Kauw itu. Ia menyerang hebat sekali, tetapi ia ditangkis
dengan tiat piepee Too In, yang digunai congkoan itu. Dalam
penasaran, ia mengulangi serangannya yang kedua.
Hong Kauw menangkis pula, selagi menangkis, dengan
tangannya yang lain dia menjambret ke jalan darah kioktie si
pendeta. Hoay Cin menjadi murid kesayangan Tong Sian Siangjin, di
samping segala macam ilmu silat biasa, ia pun meyakinkan
ilmu Kimkong Puthoay Sinhoat. Itulah ilmu kebal, yang ia telah
capai tingkatnya yang ke lima. Maka itu, ketika Hong Kauw
berhasil menyengkeram, dia terperanjat. Dia kena memegang
lengan yang kuat seperti besi, sampai jeriji-jeriji tangannya
sendiri yang terasakan nyeri.
Hoay Cin juga tidak diam saja lengannya dieengkeram itu,


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil mencoba berontak, ia menyerang dengan tangannya
yang lain. la menggunai pukulan "Menunggang harimau
mendaki gunung". Yang ia jadikan sasaran ialah dadanya
congkoan istana raja itu.
Hong Kauw kaget, lekas-lekas ia melepaskan
cengkeramannya. Untuk menolong diri, ia menyedot membikin
dadanya kempes.
Serangannya Hoay Cin gagal, kepalannya cuma nempel di
baju. Segera Hong Kauw menyerang pula. Inilah saat baik
baginya, sebab tenaganya si pendeta baru dilepaskan semua.
Hoay Cin menangkis, terus ia menyerang pula. Ia berkelahi
dengan sengit sekali, karena ia hendak melindungi Co Kim Jie.
Ia menggunai ilmu silat Sippat Lou Lohan Sinkun.
Hong Kauw mencoba berlaku tenang. Ia mesti menggunai
kesabaran untuk melayani lawannya. Ia menggabung
kelunakan dengan kekerasan. Maka ia bersilat dengan Hut-in
Ciu dan Thianseng Ciang.
Di pihak lain Sukhong Hoa, yang turut maju, sudah
dirintangi oleh dua orang, yaitu Touw Cu Siang dari Hoasan
Pay dan Pui Tong dari Khongtong Pay. Nyata mereka
berimbang kekuatan mereka satu dengan lain.
Dalam rombongannya Beng Sin Thong ada Leng Siauw Cu,
dialah suheng, kakak seperguruan dari Sukhong Hoa, maka
dia terlebih gagah daripada jago istana itu. Dia pun turut
maju. Dia menghampirkan Le Seng Lam tak perduli dia
menyangsikan nona dalam penyamaran itu. Dia cuma
bercuriga dan menduga kepada pedangnya. Dia benci Seng
Lam sebab selama pertempuran di Binsan, si nona telah
membikin dia malu.
Nona Le terkena racun, ia tetap masih lemah meskipun ia
telah ditolong Pekleng Tan. Syukur ia dapat mengandal pada
Cay-in Kiam, pedang mustikanya itu. Ia membela diri sampai
untuk sementara tak dapat Leng Siauw Cu memperoleh angin
baik. Selagi pertempuran itu berlangsung seru, yang paling
gembira ialah Kie Siauw Hong murid yang licin dari Beng Sin
Thong. Raja Pencopet ini lantas beraksi. Ia berkeliaran ke
pelbagai penjuru, ia menggunai kepandaiannya tangan
panjang mencopet barang musuh. Cuma Kim Sie le yang ia
tidak berani dekati, la ketarik dengan pedangnya Seng Lam, ia
ingin punyakan itu.
"Aku tidak berhasil mencuri Pengpok Hankong Kiam, biarlah
aku rampas pedang itu," pikirnya sambil matanya mengincar
Cay-in Kiam. "Itu juga pedang mustika. Haha" Baik aku
coba..." Benar-benar raja pencopet ini bekerja. Dia sekarang tidak
lagi mencopet atau mencuri, dia merampas. Hanya dia
berhadapan dengan Seng Lam. Beberapa kali dia gagal. Dia
jeri untuk senjata-senjata rahasia si nona.
Seng Lam cerdik, mengetahui orang mengarah pedangnya,
kemudian ia membentak: "Bangsat cilik, mengapa kau jadi
begini tidak berarti" Bukankah dekat di sana ada istana raja"
Bukankah didalam istana ada banyak mustikanya" Bukan kau
mau pergi ke istana, kenapa kau justeru mengincar
pedangku?" Ditegur begitu Siauw Hong melengak. Ia tidak
malu, sebaliknya ia berpikir. Ia menganggap si nona, yang ia
sangka seorang opsir, benar. Maka ia tertawa dan kata: "Kau
benar juga! Baiklah, nanti aku bekerja di tempat yang terlebih
gampang!" Benar-benar bagaikan angin, ia lantas pergi menghilang.
Kouw Hong Kauw terperanjat, ia bingung. Ia lagi dilibat
oleh Hoay Cin Hweshio, tak dapat ia meninggalkan musuh ini,
guna menyusul orang she Kie itu. Ia melihat Beng Sin Thong
lagi repot melayani Kim Sie Ie, jago itu tak sempat
memperhatikan muridnya. Akhirnya ia pikir: "Kalau bangsat itu
berhasil mencuri di istana, aku bakal tak lolos daripada
tanggung jawab, hanyalah dosaku tak sebesar andaikata aku
membikin lolos orang-orang buronan ini." Ia pun melihat
pihaknya menang di atas angin, maka ia berseru: "Semua
jangan perdulikan segala kejadian lainnya! Lebih dulu
ringkuslah ini wanita tua!"
Ketika itu Kim Sie le pun bingung. Ia merasa ia masih
sanggup bertahan, tetapi tidak demikian dengan Seng Lam.
Kawan itu mulai terdesak, hingga sinar pedangnya nampak
makin ciut. Sebaliknya Leng Siauw Cu dengan kebutan-nya
merangsak dan mengurung rapat.
Louw Too In, yang menggendong Co Kim Jie, juga telah
kena dikurung. Ia terancam bahaya. Yang melindunginya
cuma Touw e Siang dan Pui Tong serta beberapa orang lain
lagi. Beng Sin Thong melihat keunggulan pihaknya, mendadak
dia berseni, la menyerang pula dengan keras dengan pukulan
Siulo Imsat Kang tingkat sembilan.
Kim Sie Ie terpaksa menyambuti, karenanya ia merasa
hatinya goncang, mau atau tidak, tubuhnya nenggigil. Inilah
sebab ia bingung melihat pihaknya terancam, hingga
kemantapan hatinya menjadi kurang, la terutama
menguatirkan Seng Lam.
Pihak Binsan Pay berkumpul semua di sekitar Louw Too In,
mereka terkurung dengan lingkarannya menjadi bertambah
ringkas. Dengan cara itu mereka mencoba membelai Co Kim
Jie. Di antara mereka, beberapa orang telah terluka. Serangan
pihak Beng Sin l'hong dikepalai Yang Cek Hu. ialah musuh
hebat sebab dia telah mencapai Siulo Imsat Kang tingkat
tujuh, hingga tidak ada lawan untuknya.
Selagi pergulatan menghebat itu, tiba-tiba orang
mendengar suara lonceng, Makin lama makin nyata, suaranya
juga makin gencar. Pihak ?iewie atau wiesu terkejut. Suara
datang dari arah belakang mereka dan itulah arahnya istana
raja. Jadi itulah lonceng tanda bahaya dari istana.
Sukhong Hoa dan Kouw Hong Kauw sudah lantas
menduga: "Mungkinkah disana ada lain rombongan penyerbu"
Ataukah itu disebabkan kawanan wiesu disana telah dapat
memergoki Kie Siauw Hong" Kalau itu hanya Kie Siauw Hong,
masih tidak apa. Bagaimana kalau lain penyerbu?"
Oleh karena suara lonceng itu, penyerangan pihak istana
menjadi kendor sendirinya. Saking hatinya tidak tenteram,
Hong Kauw kata pada Sukhong Hoa: "Sukhong Tayjin, tolong
kau membawa sejumlah orang pulang ke istana guna
melindungi Sri Baginda Raja!"
Hampir berbareng dengan perkataannya congkoan ini, pada
istana, ialah pintu Sinbu Mui, terlihat terpentangnya pintu kota
istana itu, dari dalam situ muncul empat penunggang kuda,
yang kabur dengan cepat, diiringi oleh satu barisan wiesu.
Hong Kauw terperanjat. Itulah hebat. Kecuali raja, putera
raja, atau menteri tua, atau raja muda, tak dapat orang
menunggang kuda secara itu di dalam istana itu. Karena itu,
saking heran, semua orang lantas berhenti bertempur, kecuali
Beng Sin Thong yang penasaran terhadap Kim Sie Ie.
Di dalam tempo yang pendek, rombongan dari istana itu
sudah lantas sampai di tepian Giehoo, ialah kali yang
mengitari istana. Maka sekarang lantas terlihat nyata,
penunggang kuda yang pertama, yang pakaiannya mentereng,
ialah putera raja, Hongthaycu Yong Yam.
Kaisar Kian Liong mempunyai tujuh belas putera, di atasan
Yong Yam ini ada lima belas saudaranya, akan tetapi dialah
yang paling disayang ayahandanya dan menteri-menteri besar
ada yang ketahui raja berniat mengangkat puteranya ini
menjadi gantinya. (Dialah yang kemudian menjadi Kaisar Ke
Keng.) Pada kuda yang kedua, penunggangnya ada dua orang,
satu di antaranya segera dikenali sebagai Kie Siauw Hong,
yang lainnya ialah seorang tua usia kurang lebih enam puluh
tahun, rambutnya sudah abu-abu tetapi roman dan sikapnya
masih gagah, mukanya masih merah. Kie Siauw Hong, dengan
kedua tangan teringkus ke belakang, bercokol di sebelah
depan orang tua yang kosen itu.
Mengawasi orang tua itu, Hong Kauw lebih heran daripada
ia melihat Yong Yam. "Siapakah dia?" pikirnya. "Kie Siauw
Hong si raja pencopet, dia sangat gesit dan licin, toh dia kena
ditawan orang tua itu..."
Penunggang kuda yang ke tiga dan yang ke empat ada
sepasang suami isteri yang masih muda.
Yong Yam nampak bingung atau ketakutan, baru setelah
melihat Hong Kauw, wajahnya nampak tak segelisah tadi.
Dengan lantas dia berseru: "Kouw Congkoan, ini Tong
Sianseng mencari kau!" Terus ia menoleh ke belakang, untuk
berkata pada si orang tua: "Aku toh dapat segera pulang ke
istana?" Orang tua yang dipanggil Tong Sianseng itu bersenyum.
"Terima kasih Hongcu telah menemani aku datang kemari!"
katanya ramah. "Karena kita sudah bertemu dengan Kouw
Congkoan, urusan disini dapat aku selesaikan sendiri. Silahkan
Hongcu kembali!"
Bagaikan orang bebas dari hukuman. Hongcu Yong Yam
lantas memutar kudanya buat kabur balik ke istana dengan
diikuti pasukan pengawalnya, di antara siapa ada sebagian
yang tak turut, hanya mereka berdiam terus, agaknya mereka
hendak menonton sesuatu...
Kouw Hong Kauw melongo. Heran dia akan sikapnya putera
raja itu. Tadinya ia hendak menanya, siapa itu Tong Sianseng
dan apa perlunya orang mencari padanya, atau ia lantas
mendengar Kie Siauw Hong berkata kepada orang tua itu:
"Tong Tayhiap, disana itulah guruku! Dapatkah kau sekarang
membiarkan aku pergi?"
"Baiklah, kau pergilah!" menjawab si orang tua. la lantas
menolak hingga tubuh pencopet terguling dari atas kuda.
Habis berjumpalitan, Siauw Hong berdiri dan berkata
girang: "Seumurku inilah yang pertama kali aku bekerja dan
kena ditangkap orang! Tapi ini berharga untukku! Di kolong
langit ini, tak ada rekanku yang kedua yang berbahagia
seperti aku ialah aku dapat pesiar di dalam istana!" Lalu dia
berseru: "Suhu, Suhu! Simpanlah sedikit tenaga suhu melayani
bocah itu! Ini Tong Tayhiap, Ciangbunjin dari Thiansan, telah
datang!" Mendengar suara si raja pencopet, Hong Kauw terperanjat.
Jadinya orang tua yang romannya gagah itu Tong Siauw Lan,
ketua Thiansan Pay yang dunia Rimba Persilatan akui sebagai
jago nomor satu di kolong langit ini.
Mendengar suara muridnya itu, meski dia jago, hati Sin
Thong bercekat. Ia lantas berpikir: "Satu Kim Sie Ie sudah
sukar buat dirobohkan, bagaimana lagi aku dapat menghadapi
Tong Siauw Lan yang jauh terlebih liehay?"
Selagi orang berpikir itu, Kim Sie Ie menggeraki kedua
tangannya, lantas ia lompat menerjang, untuk lompat tenis
keluar kalangan. Ia tidak sudi memperlihatkan diri di depan
Tong Siauw Lan dan ia ketahui baik, tak nanti ketua Thiansan
Pay itu sudi menerima bantuannya. Maka itu, ia lari terus,
akan menarik tangannya Seng Lam, buat diajak kabur!
Nona Le sudah letih sekali. Itulah disebabkan ia terkena
racun. Ia kaget mendapatkan munculnya Tong Siauw Lan itu,
yang liehay senjata rahasianya-Thiansan Sinbong. Kebetulan
untuknya, selagi ia sudah limbung, ia ditolongi Kim Sie Ie.
Hanya di saat itu, mendadak ia muntah darah!
Leng Siauw Cu juga sudah menghentikan pertempuran,
hanya selagi menantikan sikapnya Beng Sin Thong, ia
memasang mata pada Seng Lam, tiba-tiba ia terperanjat
melihat satu bayangan orang berkelebat di depannya, lalu
tahu-tahu Seng Lam telah dibawa pergi. Ia ingin mencegah,
maka ia menggeraki tangannya, untuk mengebut, tetapi
celaka, orang telah mendahuluinya dengan menggaplok
pipinya hingga mengenai telinganya, hingga ia gelagapan.
Pipinya itu lantas saja balan.
Masih syukur Kim Sie Ie tidak menghendaki jiwanya, kalau
tidak, ia bisa mati seketika.
Tong Siauw Lan bermata celi. Di dalam tempo yang pendek
itu, ia lantas mengenali Le Seng Lam. Mengenai Kim Sie Ie
sendiri, ia ragu-ragu. Dari gerak-geriknya Sie Ie, ia menduga
kepada orang yang menolongi Seng Lam dari ancaman
pedangnya Phang Eng, hanya ia tak segera mengenali Tokciu
Hongkay. Ia heran hingga ia kata dalam hatinya: "Selama
beberapa tahun aku mengundurkan diri, siapa nyana sekarang
telah muncul ini anak-anak muda yang liehay. Dia dapat
berimbang menempur Beng Sin Thong, dia tak dapat
dipandang ringan. Heran kenapa begitu dia melihat aku dia
pergi menyingkir"..."
Cobalah keadaan ada seperti yang biasa, pasti Siauw Lan
menyusul Sie le, untuk memperoleh keterangan, akan tetapi
sekarang ia datang untuk menolongi Co Kim Jie, tidak dapat ia
mensia-siakan tempo, la bakal melayani Beng Sin Thong yang
disohorkan liehay itu.
Dalam perjalanan ini, Tong Siauw Lan bermula telah pergi
ke Siauwlim Sie dimana ia bertemu dengan Tong Sian
Siangjin, dari itu ia menjadi mendapat tahu Co Kim Jie telah
tertawan musuh, sekawanan orang berjubah kuning yang tak
dikenal siapa, bahwa dalam pertempuran di gunung Binsan
itu, pelbagai ketua partai sudah roboh di tangan Beng Sin
Thong. Ialah sahabat Lu Su Nio, maka itu tanpa sampai
diminta oleh Tong Sian Siangjin, ia bersedia membantu Binsan
Pay, guna menolongi Co Kim Jie. Dari Ciong Tian, muridnya, ia
mendapat tahu juga di antara musuh terdapat Pek Liang Kie,
Hutongnia, atau komandan muda dari Gieliemkun, maka ia
menerka kawanan orang berjubah kuning itu mesti ada
hubungannya dengan pemerintah. Untuk bekerja, ia tinggal
Phang Eng bersama Ciong Tian dan Lie Kim Bwee di kuil
Siauwlim Sie, guna membantui Tong Sian Siangjin andaikata
ada penyerbuan pula ke kuil itu, ia berangkat dengan
mengajak puteranya, Keng Thian, bersama Peng Go, nona
mantunya itu. Ia mau menyelundup masuk ke istana, guna
membuat penyelidikan terlebih dahulu.
Semasa mudanya, Tong Siauw Lan pernah turut Lu Su Nio
masuk ke istana hingga beberapa kali, maka itu ia tahu
jalanan masuk ke tempat kediaman raja. la berniat langsung
menemui kaisar sendiri. Ketika ia sampai di pintu kamar raja,
raja sudah lantas mendapat lihat padanya.12)'
Kian Liong suatu kaisar licin. Dia pun mengerti ilmu silat.
Begitu melihat bayangan orang, lantas dia menghilang ke
kamar rahasianya, yang temboknya berlapis. Demikian dia
bebas. Karena itu Siauw Lan cuma dapat membekuk Yong
Yam, putera raja yang ke lima belas.


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika kawanan wiesu datang, Siauw Lan yang tidak sudi
mengucurkan darah orang, sudah lantas perkenalkan dirinya
serta mengutarakan juga maksud kedatangannya, la sengaja
menghajar batu sampai hancur membikin ciut hati semua
pengawal raja itu. Setelah itu ia tanya Yong Yam, dia tahu
atau tidak hal penangkapan kepada orang-orang Rimba
Persilatan. Walaupun dia putera raja, Yong Yam takut.
"Itulah kejadian tidak ada sangkut pautnya dengan
ayahku..." kata dia, suaranya tak lancar. "Itulah pekerjaannya
Kouw Congkoan, yang malam ini kebetulan tidak ada di dalam
istana..."
Siauw Lan mengerutkan alis mendengar Hong Kauw tidak
ada di istana. "Dia... dia berada di istana Lie Kiong sekarang..." kata Yong
Yam lebih jauh. "Istana itu terpisah tidak jauh dari sini...
Jikalau kau mau pergi ke sana, mari... aku antar kau..."
Siauw Lan menganggap itulah benar. Putera raja pun cukup
buat jadi pengantarnya itu. Tidak nanti Hong Kauw berani
menentang putera itu. Maka ia berikan persetujuannya.
Justeru itu Kie Siauw Hong tiba di istana, buat melakukan
tugas panca longoknya. Malang untuknya, dia kepergok. Inilah
sebab dengan berani dia datang menghampirkan ketika dia
mendengar suara berisik. Dia ingin tahu apa sudah terjadi di
dalam istana kaisar itu. Untuknya keadaan kacau
memudahkan pekerjaannya. Siapa tahu, dia tak lolos dari
matanya Siauw Lan. Dia gesit tapi ketika Siauw Lan menghajar
dengan Pekkhong Ciang, pukulan Udara Kosong, dia lantas
roboh hingga mudah saja dia dibekuk. Justeru dari Siauw
Hong itu dapat diketahui Hong Kauw dan Sin Thong beramairamai
berada dimana. Maka Siauw Lan ajak Yong Yam segera
menyusul. Beng Sin Thong ingin menguji kegagahannya Tong Siauw
Lan, selagi menghampirkan, untuk menyambut, ia memberi
hormat dengan serangan diam-diam Siulo Imsat Kang. Ia
berkata manis: "Sudah lama aku mendengar nama besar
tayhiap, sayang sekali selama pertemuan di gunung Binsan,
tayhiap tak sudi datang hadir hingga tak dapat untukku
menerima pengajaran..."
Ia memberi hormat sambil menjura, maka ia dapat ketika
baik melakukan serangannya itu. Ia juga menggunai Siulo
Imsat Kang tingkat sembilan, yang tak mendatangkan suara
anginnya, sebaliknya cuma hawa dinginnya yang menyerang
hebat. Siauw Lan bersenyum tawar menyambut hormat orang, la
kata: "Telah aku dengar kabar halnya selama di gunung
Binsan, Tuan Beng sudah mempertunjuki kepandaiannya yang
liehay, menyesal mataku tidak mempunyai rejeki untuk
menyaksikannya, meski demikian, sekarangpun sama saja,
jikalau tuan tidak merasa sayang untuk memberikan
pengajaranmu, aku si orang she Tong, suka sekali aku
menemaninya, supaya aku dapat belajar kenal dengan Siulo
Imsat Kang!"
Beng Sin Thong heran mendapatkan orang tak bergeming
sedikit jua akibat serangannya itu. Ia lantas berpikir: "Kalau
aku tidak menghamburkan tenagaku menempur Kim Sie le,
mungkin aku dapat melayani seimbang padanya ini, kalau
sekarang aku melawan dia, pasti aku bakal kalah..." Maka itu
lekas-lekas ia menjawab: "Tempat ini dekat dengan istana,
kalau kita main-main disini, mungkin kita membikin kaget
pada raja, dari itu lebih baik kita memilih lain tempat saja.
Apakah tayhiap setuju?"
Sebenarnya Siauw Lan merasakan serangan hawa dingin
selagi orang memberi hormat padanya, tetapi tenaga
dalamnya mahir luar biasa, ia dapat bertahan, meski demikian,
ia kata dalam hatinya: "Hantu ini benar-benar liehay, maka
untuk mengalahkan dia bukanlah kerjaan mudah..." Dari itu ia
tertawa dan menjawab: "Baik, tuan Beng. Kau baru saja
bertempur lama, kau tentunya harus beristirahat, dari itu
terserah kepadamu, kau boleh memilih waktu dan tempatnya.
Selainnya Siulo Imsat Kang, aku ingin belajar dengan
kepandaianmu yang lainnya lagi!"
Mendengar perkataan jago Thiansan ini, Sin Thong likat
sendirinya. Orang telah membuka rahasianya bahwa ia sudah
membokong dengan Siulo Imsat Kang. Ia malu dan
mendongkol, ia penasaran. Tapi ia mesti menahan sabar, la
berpikir cepat, lalu ia berkata: "Satu bulan sehabisnya ini, kita
nanti bertemu pula di dalam kuil Siauwlim Sie di gunung
Siongsan Apakah tayhiap setuju" Menurut apa yang aku
ketahui, disana tengah berkumpul ketua pelbagai partai,
dengan begitu mereka jadi dapat diminta menjadi wasit kita!"
Heran juga Siauw Lan mendengar nama tempat yang
disebut. Luar biasa nyalinya Sin Thong. Dia justeru memilih
Siauwlim Sie dimana ada berkumpul banyak musuhnya!
Bukankah itu suatu tanda bahwa orang she Beng ini seperti
telah merasa pasti akan kemenangannya" Kenapa dia tak jeri
menghadapi banyak musuh, bahkan di sarang musuh sendiri"
Mau atau tidak, jago Thiansan itu menjadi berpikir.
Turut orang banyak, keadaan pihak Sin Thong sekarang ini
buruk sekali, umpama Siauw Lan mendesak bertempur
sekarang, meski belum tentu dia terbinasakan, dia sedikitnya
bakal memperoleh luka atau luka-luka parah, atau
kepandaiannya menjadi berkurang. Siauw Lan sebaliknya
memikir lain. Ialah jago, ia tidak mau berlaku tak adil. Maka ia
memberikan persetujuannya.
Begitu jago Siulo Imsat Kang itu pergi, begitu hati Hong
Kauw tak tenteram.
Siauw Lan lantas mengawasi congkoan itu, untuk menanya
dengan roman sungguh-sungguh: "Kouw Toacongkoan,
sekalian sahabatku ini sudah melanggar undang-undang
negara fatsal yang mana" Kenapa kau hendak
membekuknya?"
Tidak berani Hong Kauw menentang Tong Siauw Lan. Tapi
ia cerdik, ia lantas dapat jalan untuk mengegosi diri. Maka ia
lantas menumpahkan kesalahan atas dirinya Seebun Bok Ya.
Dengan sikap sangat menghormat ia memberikan
jawabannya: "Aku minta Tong Tayhiap tidak bergusar dulu.
Itulah bukan urusanku, itulah tangggung jawabnya Seebun
Bok Ya. Sekarang dia sudah mati."
"Oh! Jadinya itulah perbuatan bagus dari Seebun Bok Ya!"
kata jago Thiansan. "Kenapa dia mati" Bagaimana caranya?"
"Dia baru saja menemui kematiannya itu," sahut Kouw
Hong Kauw. "Dia terbinasa di tangan sahabatmu yang berusia
muda tadi."
Justeru itu, Hoay Cin Hwesio gelagapan sendiri, seperti
orang baru mendusin dari tidurnya. Pusing kepalanya habis
berkelahi hebat, ia sampai tidak mendapat tahu Sie Ie sudah
berlalu bersama Seng Lam.
"Oh, kedua tuan penolong kita sudah pergi?" katanya,
berseru. "Ah, aku belum lagi menghaturkan terima kasih
kepada mereka! Benar, Seebun Bok Ya telah terbinasa di
tangannya orang she Lie itu!"
Siauw Lan cuma mau menolongi orang, tak ingin ia
mengganggu Kouw Hong Kauw, dari itu ia lantas berkata:
"Karena Kouw Toacongkoan bukan hendak menawan mereka,
bukankah sekarang dapat aku mengajak mereka berlalu dari
sini?" Hong Kauw memang ingin lekas-lekas memisahkan diri,
dari itu ia lantas mengangguk. Kalau bisa, memang ia ingin
mengusirnya... Di belakang istana ialah gunung Kengsan, Tong Siauw Lan
mengajak rombongan Co Kim Jie menyingkir ke gunung itu.
Mereka dapat berlalu tanpa rintangan. Sampai itu waktu, Co
Kini Jie masih pingsan. Tentu sekali mereka tak usah
menguatirkan tentara negeri akan datang mengejar mereka.
"Kenapa Co Ciangbun?" Siauw Lan tanya. "Coba kasih dia
turun, untuk aku lihat!"
Louw Too In menurut, ia mengasih turun ketuanya itu.
Siauw Lan lantas memeriksa nadi ketua Binsan Pay itu,
yang napasnya berjalan dengan sangat perlahan, keadaannya
lemah sekali. Habis memeriksa itu, ia heran.
"Kelihatannya Co Ciangbun bukan terluka di dalam,"
katanya. "Kenapa dia begini lemah?"
"Keadaan dia sama dengan keadaan kita," berkata Hoay
Cin Hwesio. "Kita semua telah terkena racun bunga asura."
"Menurut nadinya, dia bekas dapat goncangan di hatinya,"
kata Siauw Lan pula. "Dia rupanya telah menjadi sangat gusar
dan mendongkol sampai dia pingsan. Maka itu, dia bukan
disebabkan keracunan saja..."
"Tong Tayhiap benar," berkata Louw Too In. "Tadi pun
sahabat itu membilangnya demikian."
"Sebenarnya bagaimana duduknya perkara?" jago Thiansan
itu menanya tegas. "Orang yang kamu sebut sahabat itu,
bukankah dia yang tadi menempur Beng Sin Thong" Kamu
sendiri, katanya kamu terkena racun asura, habis bagaimana
kamu dapat sadar dan pulih kesehatan kamu?"
"Itu juga disebabkan pertolongannya sahabat itu," Hoay Cin
menjawab. "Dia memberikan obat pemunah kepada kami
hingga kami bebas dari kejahatan racun bunga hantu itu."
"Apakah sahabatmu itu datang bersama itu siluman
wanita'.'" Keng Thian menyela. "Tahukah kamu mereka itu
orang-orang macam apa?"
Di antara orang-orang itu, Touw Cu Siang dari Hoasan Pay
yang paling teliti, dia pun menduga Le Seng Lam wanita yang
menyamar menjadi pria, maka ia turut bicara.
"Apakah kau maksudkan si opsir yang bersenjata pedang
mustika?" kata ia. "Aku pun curiga bahwa dialah seorang
wanita." "Tak perduli dia laki-laki atau perempuan!" kata Hoay Cin si
polos. "Mereka berdualah yang telah menolong jiwa kami,
merekalah penolong kami semua, maka itu masa bodoh
siluman wanita!"
Syukur yang mengatakan Seng Lam "siluman wanita" ialah
Tong Keng Thian, kalau tidak, pendeta polos ini, yang
mengenal budi kebaikan, pasti tak mau mengerti, tentulah dia
sudah mendamprat atau sedikitnya menegur.
Tong Siauw Lan heran, ia memikir: "Kalau begitu, wanita
siluman itu bukannya manusia buruk. Kalau begitu kenapa
tanpa alasan dia senantiasa menentang Keng Thian?"
Meskipun berpengalaman luas, jago Thiansan ini menjadi
bingung juga. Kenapa Seng Lam sebentar sesat sebentar
lurus" Kemudian dia tanya: "Kalau begitu, Co Ciangbun
menjadi tidak makan obatnya itu?"
"Memang!" sahut Too In. "Aku juga merasa sangat heran.
Suci tidak mau makan obatnya itu, lalu berbareng dia
pingsan." Too In menjelaskan duduknya kejadian, keterangan mana
diulangi oleh beberapa yang lainnya.
Siauw Lan pikirkan semua itu, hingga dia berdiam sekian
lama. "Sekarang ini mari kita menolongi dulu supaya Co Ciangbun
mendusin," katanya kemudian. "Sebentar baru kita menanya
jelas padanya." Ia terus memegang nadi si nyonya, guna
menyalurkan tenaga dalamnya, buat membikin pernapasan
dan jalan darahnya menjadi lurus dan bekerja pula seperti
biasa. Tak lama maka Kim Jie bergerak tubuhnya, terus dia
muntah darah. Louw Too ln menggunai ketika orang dapat membuka
mulut dia menjejali obatnya Kim Sie le sampai obat itu kena
ditelan si nyonya.
Berselang sekian lama, perlahan-lahan ketua Binsan Pay itu
mendusin. "Bagus! Bagus!" Too In berseru girang. "Suci, kau lihat,
siapa itu!"
Co Kim Jie membuka matanya, ia mencoba bangun berdiri,
meskipun dengan tubuh limbung. Ketika ia mengenali Tong
Siauw Lan, ia kaget dan heran, hingga ia mendelong.
"Selamat, suci!" kata Too In. "Syukur! Inilah Tong Tayhiap
yang telah menolongi kita semua!"
Napasnya Co Kim Jie masih memburu ketika dia kata: "Itu
dua... itu dua..."
Dia mau menyebut "hantu" tetapi Too In dului padanya:
"Itu dua orang yang telah menolongi kita keluar dari penjara,
yang telah memberikan obat yang mujarab, kedua penolong
itu, entah kenapa, mereka sudah pergi semua!"
Nampak Co Kim Jie mendongkol sekali, sampai hampir dia
pingsan pula. Di antara Kim Sie Ie dan Binsan Pay tidak ada permusuhan,
salah paham cuma terjadi disebabkan tahun dahulu itu Kim
Sie Ie mau mengunjuk hormat di tempat peku-buran Lu Su
Nio tetapi Co Kim Jie melarang, lalu Kim Jie tak sudi menerima
pertolongan orang. Sekarang, mau atau tidak, dia toh sudah
makan obat Sie Ie, yang membuatnya mendusin dan sembuh.
Karena hatinya keras, dia jadi mendongkol pula. Melulu di
depan Tong Siauw Lan, ia tidak dapat mencari atau mengutuk
Sie Ie, yang namanya tak sudi ia sebut. Ia malu.
Tong Siauw Lan mempepayang ketua Binsan Pay itu
beberapa tindak.
"Obat itu benar-benar manjur!" kata si jago Thiansan.
"Coba Ciangbun bagaimana kau rasa sekarang?"
"Baik, banyak baik!" sahut Kim Jie terpaksa, sambil ia
mengangguk. "Terima kasih untuk pertolongan Tong Tayhiap."
Siauw Lan tertawa.
"Itulah jasanya kedua sahabat itu tadi!" kata ia. "Aku tak
ada hubungannya dengan itu. Ciangbun, siapakah namanya
orang yang memberikan obat itu" Kau tentu tahu, bukan?"
Jago Thiansan ini tidak ketahui duduknya hal, ia
menanyakan demikian.
"Orang itu sungguh baik hatinya!" kata Too ln mendahului
ketuanya. "Dia melihat suci tidak mau makan obatnya, dia
menitipkannya padaku. Suci, mengapa tadi kau tidak suka
makan obat penolong itu" Apakah suci mencurigai dia orang
jahat?" Kawan ini juga tak mengerti maka dia turut menanya
demikian. Kim Jie menjadi likat, sedang hatinya panas bukan main.
"Jangan kau usil aku!" katanya pada saudara seperguruan itu,
tangannya dikibaskan. Ia cuma dapat membentak adik
seperguruan itu, tidak Tong Siauw Lan. Ia menoleh kepada


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jago Thiansan itu, yang mengawasi ia dengan romannya yang
menunjuki herannya yang sangat. Mukanya menjadi merah, ia
malu. Maka ia menggertak gigi. Tapi ia menjawab juga,
suaranya dalam: "Tong Tayhiap, tentang orang itu, buat apa
kau tanyakan aku" Dialah orang yang kau kenal, aku dengar,
kau pernah mewariskan ilmu Lay-kang Simhoat kepadanya!"
Mendapat jawaban itu, hati Siauw Lan bercekat. Kalau
bukannya ia sangat sabar, mungkin ia berseru saking heran.
Toh ia kata di dalam hatinya: "Bagaimana ini bisa terjadi"
Bagaimana ini bisa terjadi" Benar-benarkah Kim Sie Ie masih
hidup?" Ketua Thiansan Pay ini lantas memikirkan ilmu silat Sie le
tadi, yang ia berkesempatan menyaksikan sebentaran.
Memang itulah ilmu silatnya Tokliong Cuncia, meski telah
dicampur dengan lain macam ilmu silat. Mendapat kenyataan
itu, pikirannya menjadi kacau. Tapi ia lantas ingat: "Kalau Kim
Bwee tahu dia masih hidup, entah onar apa lagi ia bakal
timbulkan..." Ia pikir pula: "Sie le bergaul sangat erat dengan
itu siluman perempuan cilik, bahkan dia berani menempuh
bahaya menolonginya dari ancaman Thiansan Sinbong-ku,
maka perhubungan mereka itu bukannya perhubungan yang
biasa saja. Aku tidak sangka hati Sie Ie tak kokoh dalam soal
asmara, melihat satu, dia menyintai satu! Dengan batin buruk
itu, meskipun dia gagah sekali, dia tak dapat diambil sebagai
satu menantu... Ah, bukannya begitu asalnya Sie Ie... Mungkin
dia telah menjadi berubah sebab benarnya pepatah yang
membilang, dekat merah menjadi merah, dekat hitam menjadi
hitam... Dia bergaul terlalu rapat dengan perempuan siluman
itu, lantas dia kena dipikat hingga dia menjadi turut busuk..."
Siauw Lan menyayangi Sie Ie akan tetapi dia tetap bangsa
membenci kejahatan. Benar ia belum mengambil keputusan,
toh kesannya terhadap Tokciu Hongkay kurang manis, maka
itu, kapan ia ingat selama ini Lie Kim Bwee bergaul erat
dengan Ciong Tian, ia pikir: "Biarlah Kim Sie le menyintai
siluman perempuan itu! Tak perlu aku memberitahukan Kim
Bwee tentang dianya..."
Louw Too In sebaliknya, mimpi pun tidak dia bahwa orang
itu Kim Sie le adanya. Dia masih ingin mengetahui nama
penolong itu. Begitu pula harapan yang lain-lainnya. Akan
tetapi melihat sikapnya Co Kim Jie serta romannya Tong Siauw
Lan, mereka tidak berani menanyakan lebih jauh.
*** Sie le membawa Seng Lam menyingkir ke pintu kota timur
yang dekat dengan istana Lie Kiong. Di jalan besar ada
beberapa serdadu yang lagi meronda tetapi mereka berdua
tak terhalangkan. Cepat larinya mereka, seperti bayangan
putih berkelebat, di waktu orang bercuriga, mereka sudah
lewat jauh. Sekalipun roman mereka tak terlihat tegas.
Setelah berlari-lari sekian lama, Sie Ie memperlahankan
tindakannya. Ia mendengar napas memburu dari Seng Lam,
tubuh siapa pun terasa lemas.
"Bagaimana kau rasa?" ia tanya.
"Aku tak kuat jalan lebih jauh..." sahut si nona.
Sie le mengawasi. Ia melihat muka si nona merah dan
matanya lesu. "Kau terlalu letih," kata si anak muda. "Sudah terkena
racun, kau pun mesti bertempur hebat dengan si hidung
kerbau. Dengan pakaian dan roman kita begini, tidak dapat
kita mampir di sembarang penginapan, tak dapat kita berdiam
lama di dalam kota Pakkhia ini. Syukur kita sudah mendekati
luar kota. Di sana saja kita cari pondokan. Kau juga perlu
berobat." Habis berkata Sie Ie berjalan terus. Tubuh si nona hampir
diseret. Seng Lam senang mendengar kata-kata itu, semangatnya
terbangun, matanya bersinar pula. Ia meletaki kepalanya di
pundak si pemuda, napas dari hidungnya saban-saban
menghembus lehernya kawan itu, hingga si kawan merasa
geli... Tengah mereka berjalan cepai itu, dari depan terlihat
mendatanginya seorang penunggang kuda. Segera ternyata
dialah seorang opsir. Bahkan dia lantas membentak: "Siapa"
Berhenti!"
Kiranya dialah opsir Gieliemkun yang habis meronda di luar
kota. Maka dia kaget waktu dia melihat tegas dua orang itu.
"Bagaimana, eh" Bukankah kamu turut Sukhong tongnia
pergi menghadiri pesta?" dia tanya.
"Benar," sahut Sie le. "Sukhong Tayjin menitahkan kami
pergi keluar kota buat satu urusan. Ya, mari aku pinjam
kudamu!" Meski ia kata ia minta pinjam kuda orang, Sie le toh sudah
lantas bekerja, la menarik opsir itu sampai jatuh, untuk ia
menotok rebah, setelah mana, ia merampas kuda. Dari itu,
waktu melanjuti perjalanan mereka, mereka kabur di
punggung seekor kuda.
Pintu kota timur masih belum dibuka, cuaca masih remangremang.
Serdadu penjaga pintu kota minta surat keterangan.
Sie le tidak menggubris, malah dengan pedangnya Seng Lam,
ia merusak rantai pintu dan memaksa nerobos keluar. Si
serdadu sendiri dirobohkan dengan satu serangan. Dengan
begitu merdekalah mereka menyingkir terlebih jauh.
Seng Lam nampak semakin lemah, tubuhnya limbung.
Terpaksa Sie Ie memegang erat-erat tubuh nona itu. la juga
menyalurkan hawa hangatnya di punggung si nona, ia
menguruti dimana perlu.
Tatkala langit terang, mereka mungkin sudah terpisah dua
puluh lie dari istana Lie Kiong. Kuda mereka, yang dikasih lari
terus menerus, telah mandi keringat dan napasnya
mengorong keras.
"Apakah kau merasa mendingan?"
Sie le menarik pulang tangannya yang dipakai menyalurkan
itu. "Mendingan sedikit. Sekarang aku haus sekali," sahut si
nona. "Sebentar kita cari air," kata Se le, yang menoleh |auh ke
belakang, lalu dia kata: "Mungkin di medan pertempuran itu
sudah ada kepu-tusannya siapa menang dan siapa kalah..."
Terus dia menghela napas.
Seng Lam tertawa. "Untuk gunaku, kau kehilangan ketika
baik menonton pertempuran," ia kata. "Aku menyesal. Aku
pun bersyukur sekali kepadamu."
Memang kalau kejadian Tong Siauw Lan bertempur dengan
Beng Sin Thong, pastilah itu satu pertempuran luar biasa,
yang di dalam seratus tahun sukar dicari meskipun satu. Seng
Lam kenal baik sekali kegemaran Sie le menyaksikan
pertempuran semacam itu, maka ia lantas dapat menduga
kenapa orang menghela napas itu.
Sie le mendengar suara orang lembut, ia dapat mengerti
syukurnya si nona.
"Buat guna kau, aku ingin sekali Tong Siauw Lan
membunuh Beng Sin Thong," katanya tertawa.
"Tidak!" kata si nona cepat, "aku mohon mudah-mudahan
Beng Sin Thong tidak mati!"
Sie Ie bisa menerka hati orang.
"Supaya nanti kau sendirilah yang membunuhnya hingga
kau puas!" katanya. "Tapi sekarang ini Beng Sin Thong telah
menjadi musuh besar Rimba Persilatan, setiap orang ingin
membinasakan dia siang-siang, maka janganlah kau berkukuh
dengan cita-citamu menuntut balas sendiri."
Seng Lam menggeleng kepala.
"Masih tak apa jikalau Beng Sin Thong binasa di tangan lain
orang," kata ia. "Aku paling tak menghendaki ia terbinasa di
tangan Tong Siauw Lan!"
Kim Sie Ie berdiam.
Kedua pihak telah dapat menebak hati masing-masing. Sie
Ie ingin Siauw Lan membunuh Sin Thong supaya dengan
begitu lenyap kebencian Seng Lam terhadap Siauw Lan. Nyata
sekarang Seng Lam tak dapat melupakan pesan leluhurnya.
Itulah sebab leluhur Thiansan Pay, yaitu Tan Hong, pada tiga
ratus tahun dulu, telah bermusuhan dengan Kiauw Pak Beng
Seng Lam mewariskan kepandaiannya Kiauw Pak Beng, dia
jadi harus mencari balas guna Pak Beng itu.
"Jikalau kau jeri terhadap Tong Siauw Lan, kau taruhlah
dirimu di luar kalangan!" Seng Lam bilang.
"Aku bukannya takut siapa juga," sahut Sie le. "Cuma...
cuma..." "Cuma apa?" si nona tertawa. "Hm! Tahulah aku sudah!
Aku tahu hatimu! Kau tak dapat melupakan keponakan
perempuannya Siauw Lan itu! Cuma sayang dia sekarang
sudah... sudah punya kekasihnya sendiri..."
"Kau ngaco belo!" kata Sie Ie keras. Dia gusar mendadak.
Seng Lam mengulur lidah.
"Satu kata-kata saja membuat kau begini gusar!" katanya,
tertawa. "Baiklah, aku omong salah! Dapatkah aku memohon
maaf" Sebenarnya harus aku membilang, sebenarnya kau juga
telah mempunyai orang di dalam hatimu!"
Kata-katanya nona ini membikin Sie Ie segera teringat
kepada Kok Cie Hoa, hingga bayangan nona itu lantas berpela
di depan matanya...
Tiba-tiba Seng Lam batukbatuk, lalu ia mengeluh.
"Aduh, aku haus sekali," katanya. "Kering sekali
kerongkonganku..."
"Siapa suruh kau bicara banyak sekali," kata Sie Ie tertawa.
"Pantas kau jadi berdahaga."
Meski ia tertawa, Sie Ie toh terharu melihat nona di sisinya
itu menderita. Ia mengangkat kepalanya, mengawasi ke
depan. "Rupanya ada rumah orang disana," kata ia. "Sebentar kita
lewat disana kita mampir buat minta air."
Seng Lam turut memandang ke depan tetapi ia tak melihat
sesuatu kecuali apa-apa yang gelap. Ia memang kalah awas.
Sie Ie mengaburkan kudanya serintasan lagi, sampai satu
lie, baru terlihat sebuah warung teh di tepi jalan.
"Bagus! Bagus!" kata dia perlahan. "Tak usah kita mampir
dan minta teh lagi di rumah orang!"
Memang biasa di wilayah situ, warung teh bergabung
menjadi warung nasi.
Setibanya, Sie Ie ajak Seng Lam turun dari kudanya itu, ia
menuntun si nona menghampirkan warung teh itu.
Pemilik warung itu sepasang suami isteri tua. Mereka baru
saja membuka pintu, maka itu mereka girang segera
mendapatkan tetamu. Hanya, setelah memandang kedua
tetamunya, mereka terperanjat hingga mereka tercengang.
"Apakah ada arak?" Sie Ie tanya. "Tolong sajikan sekati
untuk kami! Eh, ya, tolong sediakan dulu dua cangkir teh!"
Nyonya rumah kaget sampai ia tidak berani menyahuti.
"Tayjin, silahkan... silahkan duduk..." kata si orang tua,
yang memberanikan diri. "Aku... aku akan menyediakan air
teh..." Sie Ie heran tetapi lantas ia mengerti sikapnya tuan rumah.
Bajunya Seng Lam berlepotan darah, itulah yang
mencurigakan dan mendatangkan rasa jeri. Mereka juga
masih mengenakan seragam tentara. Maka ia lekas
mengeluarkan sepotong perak, sambil mengangsurkan itu
pada tuan rumah, ia kata tertawa: "Aku tahu ada hambahamba
negeri yang biasa meng-anglap barang makanan,
tetapi kami bukan bangsa demikian! Ini sepotong perak kau
boleh ambil, sekalian saja untuk harganya nasi dan barang
makanan untuk kami. Belakangan saja kita berhitungan. Kau
mempunyai lauk pauk apa?"
Sudah beberapa puluh tahun pemilik warung itu berusaha,
belum pernah ia mendapatkan seorang opsir tentera yang
bersikap manis budi seperti Sie Ie ini. Ia mengawasi uang
perak itu, ia memandang tetamunya, tidak berani ia menyambuti.
Tidak ada aturan! Tidak ada aturan!" katanya. "Tayjin
sudah sudi datang ke warung kami saja sudah suatu kebaikan
dari tayjin! Mana dapat aku menerima uang tayjin ini" Aku
masih belum menyediakan teh dan barang makanan. Jikalau
tayjin berkasihan terhadap kami, sebentar saja habis dahar
baru tayjin memberi presen sekedarnya..." Sie le tertawa.
"Kau mempunyai aturanmu, aku juga mempunyai
aturanku!" ia kata. "Lain orang dahar dulu baru bayar, aku
sebaliknya, aku bayar dulu, baru kami bersantap! Jikalau kau
tidak terima uang ini, itu berarti kau pandang kami seperti si
pembesar keparat tukang memeras rakyat dan menganglap!
Kau terimalah, habis kami bersantap, kau membuat
perhitungan perlahan-lahan."
Masih orang tua itu menolak, sampai Sie le mendesaknya.
Lalu ia kata: "Disini kami tidak sedia barang makanan pilihan,
bahkan yang ada daging sisa kemarin. Di waktu pagi begini,
kami belum bersiap..."
"Akur, akur!" kata Sie le ramah. "Kau sajikanlah daging itu!"
Si empee lantas bekerja, dibantu oleh isterinya, yang tak
jeri lagi. Seng Lam dan Sie le lantas minum, sembari minum,
mereka pasang omong.
Tuan rumah tinggal berdua bersama isterinya. Tadinya
mereka mempunyai seorang anak laki-laki dan seorang anak
perempuan, gadisnya itu telah menikah dan anak laki-lakinya
ditarik kerja paksa lima tahun yang lalu dan sampai itu waktu
tidak ada kabar beritanya Rumahnya itu kecil, kamar tidurnya
cuma satu. Selagi tuan rumah menyiapkan arak, sembari tertawa Seng
Lam kata perlahan pada Sie Ie: "Disini kita bertemu dua orang
yang tak takut kepada kita, lihat sebentar di jalan besar
dimana ada banyak orang, apabila mereka melihat bajuku
berlepotan darah. Bagaimana?"
Sie le pun tertawa.
"Kau menyamar, kau tentu kikuk," kata ia.
"Memang!" Apapula aku menyamar jadi opsir tentera yang
orang benci. Mendingan menyamar lain..."
"Bagus! Bagus!" kata Sie Ie tertawa pula.
"Apa yang bagus?" tanya Seng Lam, heran.
"Bukankah bagus kau merasa kikuk dan mengetahui orang
tak menyukai seragammu ini?"
Seng Lam tertawa. Kiranya kawan itu bergurau.
Belum lama, mereka mendengar berketopakannya kaki-kaki
kuda, yang berhenti di pinggir jalanan. Itulah dua orang
dengan golok di pinggangnya masing-masing.
"Bagus, disini ada warung teh!" kata yang satu. "Mari kita


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampir, untuk membasahkan kerongkongan!"
Sie Ie menoleh, la seperti mengenali suara orang. Lantas ia
ketahui mereka itulah Pek Eng Kiat dan Lou Eng Ho, kedua
adik seperguruan dari Co Kim Jie. Merekalah putera-puteranya
dua di antara Kanglam Cithiap-Tujuh Jago dan Kanglam-ialah
Pek Tay Koan dan Louw Bin Ciam. Mereka itu pernah
bertempur dengan Sie le tetapi sekarang mereka tidak
mengenali Tokciu Hongkay yang sedang menyamar.
Pek Eng Kiat melihat dua opsir di dalam warung, dia
bersangsi. Dia melirik. Kemudian dia kata: "Lou Hiantee kita
perlu melanjuti perjalanan kita, maka itu disini kita singgah
untuk minum teh saja..."
"Buat apa kesusu?" Eng Ho kata. "Dari sini ke kota raja
masih ada seperjalanan empat sampai lima puluh lie, baik kita
dahar disini. Nanti di kota raja baru kita bersantap tengah
hari. Laginya suci..."
Dia berhenti bicara secara tiba-tiba. Eng Kiat mengedipi
mata padanya. Cuma di dalam hatinya ia kata: "Suheng terlalu
berhati-hati! Buat apa takut segala dua opsir macam begitu?"
Maka keduanya tidak masuk ke dalam warung, mereka
berdiri di depan minta air teh. Habis minum dan membayar
uangnya, mereka pergi pula dengan cepat.
"Nampaknya mereka itu mempunyai ilmu silat yang baik,"
kata Seng Lam tertawa. Ia tidak kenal Eng Kiat dan Eng Ho.
"Kenapa mereka agak jeri menemui kita" Mungkinkah mereka
mempunyai perkara besar dan jadi takut menemui orang
polisi?" Sie Ie sebaliknya mencurigai lain. Pikirnya: "Rupanya
mereka ini telah mendengar perkaranya Co Kim Jie, dan
mungkin mendengar juga hal Tong Siauw Lan sudah datang
ke Pakkhia. Hanya setelah ada Tong Tayhiap, buat apa
mereka datang juga" Itu toh berbahaya" Atau mungkinkah
Binsan Pay mengalami peristiwa lainnya hingga perlu mereka
segera menemui ketua mereka" Di kota raja, umpama kata
mereka tidak bertemu ketua mereka itu, pasti mereka akan
bertemu dengan Tong Tayhiap..."
"Kau lagi pikirkan apa?" tanya Seng Lam tertawa seraya
memencet tangan kawannya.
Sie le membalas memencet, ia menggunai tenaga hingga si
nona menjerit "Aduh!" tanpa merasa.
"Celaka, lukamu pecah pula!" kata Sie Ie, cepat.
Seng Lam cerdik, tahulah ia apa artinya perkataan Sie Ie
itu. Ia lantas merintih seraya berkata: "Tak harusnya aku
minum arak sampai setengah cawan, lukaku pecah pula...
Aduh, sakit... Ah, tak bisa aku melanjuti perjalanan.
Bagaimana sekarang, Bagaimana?"
Tuan rumah berhati baik, mendengar orang berkaok, ia lari
menghampirkan. "Apakah tayjin mau rebahan dulu?" dia tanya.
"Memang kami ingin tapi kami tidak bisa membuka mulut,"
kata Se Ie. "Tadi malam kami mengepung penjahatnya liehay
sekali, saudaraku ini terlukakan mereka. Syukur lukanya itu
tidak membahayakan jiwa. Dia tidak dapat jalan, aku memikir
menumpang merebahkan diri di kamar kamu. Aku mau pergi
ke pasar membeli obat."
"Boleh, boleh!" kata tuan rumah. "Empat lie disana ada
pasar. Pergi lekasan, pulangnya aku akan masakkan obatnya!"
Sie Ie pegangi Seng Lam buat masuk ke dalam kamar tuan
rumah, yang dialingi dengan layar, kepada tuan rumah, yang
mengajaknya masuk, ia kata: "Pergi kau keluar untuk
melayani tetamu. Aku dapat memberi obat boreh pada
sahabatku ini, kau tak usah merepotkan diri. Uang perakku
juga kau ambil semua, untuk sewaan kamar."
Seng Lam tunggu sampai tuan rumah sudah keluar, ia
berbisik: "Sie Ie, kau main sandiwara apa?"
Sie Ie tertawa.
"Aku hendak pergi membelikan kau pakaian, supaya kau
dapat dandan seperti asalmu," sahutnya. "Kau pun perlu
beristirahat."
"Kau baik sekali. Tapi, aku kuatir kau mempunyai lain
urusan..."
Sie Ie tertawa.
"Dalam segala hal kau tak dapat dipedayakan!" katanya.
"Aku curiga melihat dua orang itu, aku ingin menguntit
mereka, buat melihat mereka hendak melakukan apa. Kau
perlu beristirahat, kamar ini baik untukmu. Aku akan pergi
untuk lekas kembali."
Sie Ie masih dapat mengakali sahabat ini bahwa ia kenal
Eng Kiat dan Eng Ho.
Si nona tertawa dan kata: "Aku tahu kau tidaklah bakal
meninggalkan aku buat kau kabur seorang diri! Baiklah, kau
boleh pergi!"
Mau atau tidak, Sie Ie terharu terhadap nona ini, hampir ia
batalkan niatnya menguntit dua orang Binsan Pay itu.
Bukankah si nona lagi sakit" Bagaimana kalau ada musuh
datang atau orang menggodanya" Tapi satu bayangan lain
kembali berpeta di depan kelopak matanya! Ia pun pikir,
dengan mempunyai pedang mustika Seng Lam pasti dapat
melindungi dirinya dan pula masih mempunyai senjata rahasia
yang beracun. Di dalam sakit itu, ia masih tak menyerah
menghadapi segolongan jago Rimba Persilatan.
Demikianlah ia berangkat dengan hati lega. Ia menunggang
kuda-kuda yang berasal dari
Mongolia dan dapat lari keras. Maka tak selang lama, ia
sudah melihat Eng Ho dan Eng Kiat di sebelah depan. Lantas
ia menguntit dari kejauhan.
Di depan jalan cagak tiga Eng Kiat berhenti sebentar,
mengawasi ketiga jalanan itu. Ia pernah turut ayahnya ke kota
raja dan mengenal jalanan.
"Kita ambil jalan ini" kata ia pada kawannya.
Selagi orang berhenti sebentar, Sie Ie menjalankan
kudanya perlahan. Di saat ia hendak menyusul pula, tiba-tiba
muncul dua penunggang kuda dari sebuah jalan kecil, mereka
melombai dua orang Binsan Pay itu, lalu berbalik dan
memegat. Lou Eng Ho mendongkol, ia cabut pedangnya. Pek Eng Kiat
yang teliti lantas mencegah. Terus ia kata kepada dua
pemegatnya itu: "Sahabat, kami menumpang jalan!"
Salah satu penunggang kuda, yang tubuhnya tinggi,
bukannya menjawab, hanya dia mengangkat sebelah
tangannya diluncurkan kepada itu dua saudara seperguruan.
Eng Ho dan Eng Kiat merasai hawa dingin. Mereka kaget.
Kuda mereka pun meringkik dan berjingkrak. Tidak ayal lagi,
keduanya lompat turun dari kuda mereka. Kedua binatang itu
terus berjingkrakan seperti kalap, lalu mengeluarkan banyak
iler, terus roboh dan meringkik sedih tak hentinya...
Sie Ie lantas mengenali dua orang itu murid-muridnya Beng
Sin Thong. Si jangkung itu Hang Hong, murid kepala yang
terliehay. Yang lainnya Cek Ho, murid nomor tiga. la melihat
serangan Hang Hong itu, ia kata dalam hati: "Baru beberapa
tahun, jahanam ini telah mencapai Siulo Imsat Kang tingkat ke
empat. Pantas kedua kuda itu tak dapat bertahan!"
Pek Eng Kiat menjadi gusar.
"Kita tidak bermusuh, kenapa kau bunuh kuda kami?" dia
menegur. Hang Hong menyahuti dingin.
"Bagaimana dengan nona kami?" jawabnya, yang
merupakan pertanyaan.
Eng Kiat heran hingga ia melongo.
"Apa nonamu?" dia tanya. "Aku tak mengerti!"
Hang Hong tertawa pula, dingin seperti tadi.
"Bocah she Pek, buat apa kau berlagak pilon?" katanya.
"Apa yang kamu lakukan dengan pergi ke Siangyang ke
rumahnya Kok Ceng Peng" Lekas bilang! Dimana kamu
sembunyikan nona kami itu?"
Sie Ie terpisah sedikit jauh dari mereka itu tetapi ia masih
dapat dengar nyata pembicaraan mereka. Mendengar itu, ia
pun heran. Ia meninggalkan Seng Lam yang lagi sakit pun
karena ia ingin mencari keterangan dari dua orang itu hal Cie
Hoa, ia tidak sangka, ia lantas mendengarnya dari mulut Hang
Hong. Ia menduga pasti, dengan "nona kami" itu, Hang Hong
maksudkan Nona Kok. Ia lantas memasang telinga lebih jauh.
Eng Ho gusar. "Ngaco belo!" bentaknya. "Nona Kok itu suci kami! Kamu
pernah apa dengannya" Cara bagaimana kamu berani
mengakui ialah nona majikan kamu?"
"Suci kamu?" Hang Hong tertawa mengejek. "Bukankah
ketua kau, Co Kim Jie, telah memecat dan mengusir dari
partai kamu?"
"Itu pula urusan partai kami!" Eng Ho membentak, gusar.
"Tak usah kamu mencampur tahu urusan kami itu!"
"Kamu berdua masih belum tahu rupanya!" Eng Ho
tambahkan. "Kok Suci kami telah dipulihkan kehormatannya,
dia sudah kembali menjadi orang Binsan Pay yang terhormat!"
Eng Ho sudah lantas menghunus pedangnya.
"Hm!" dia mengasih dengar pula suaranya, suara
menghinanya. "Pek Suheng, buat apa banyak bicara pula
dengan mereka itu" Tanya saja pada mereka, mereka mau
memberi jalan atau tidak kepada kita!"
"Cek Sutee," kata Hang Hong, tertawa pada kawannya.
"Bocah ini berani banyak lagak di depan kita, apakah dia tidak
lucu"-Hm! Hm! Jikalau kamu tidak mau pakai aturan, maka
kamilah kakek moyangmu yang biasa tidak memakai aturan
itu!" Eng Kiat membuka lebar kedua matanya.
"Kalau begitu, kamu rupanya orang yang mengenal
aturan!" kata dia. "Baiklah, nanti aku beritahu kepada kamu!
Kami pergi ke Siangyang ke rumah Keluarga Kok untuk
mencari suci kami itu, untuk menjenguknya! Apakah
sangkutannya itu dengan kamu" Kamu mempunyai aturan
apa" Lekas bilang! Lekas!"
Hang Hong ingin mempermainkan orang. Dia tertawa
bergelak. Dengan lagak acuh tak acuh, dia kata: "Taruh kata
benar Nona Kok itu suci kamu, habis bagaimana" Tahukah
kamu tingkat derajat di antara Langit, Bumi, Raja, Ayah dan
Guru" Bukankah tingkat derajat itu dihormati dan dipuja setiap
keluarga" Pasti kamu tahu, bukan" Guru itu benar agung
tetapi mana Guru dapat dibandingkan dengan ayah" Co Kim
Jie toh cuma suci, kakak seperguruan"
Bukankah kamu juga cuma sutee nona kami itu" Tapi kami
menerima perintah dari ayah nona Kok, ayah tulennya, untuk
menyambut dia pulang! Dari itu, mana bisa kami tak mencari
tahu tentang dimana adanya si nona sekarang" Maka lekas
kamu bilang, kemana kamu telah sembunyikan nona kami
itu?" Pek Eng Kiat sudah menduga orang mesti murid-muridnya
Beng Sin Thong, diam-diam ia telah mengerahkan tenaga
Siauwyang Sinkang guna melayani Siulo Imsat Kang. Itu pula
sebabnya ia membiarkan adik seperguruannya mengadu lidah.
Lou Eng Ho yang jujur dan polos sebaliknya tak
memandang Beng Sin Thong sebagai ayah Kok Cie Hoa, selagi
orang berulangkah menyebut-nyebut "nona kami", ia tidak
ingat pula kepada Sin Thong, baru kemudian ia seperti
mendusin, hingga ia menjadi melengak. Hanya sebentar, ia
menjadi gusar, sambil berjingkrak, ia mendamprat: "Kiranya
kamu kedua telur busuk ialah budak hina dina dari si bangsat
tua she Beng! Hm! Aku justeru mau mencari kamu!"
"Eh, bocah, bikin bersihlah sedikit mulutmu!" Hang Hong
menegur. "Dengan mencaci kami, kau sudah keterlaluan,
bagaimana kau berani mendamprat pula guru kami?"
"Memang aku mau mencaci gurumu itu!" teriak Eng Ho.
"Beng si bangsat tua! Beng si bangsat tua!"
Habis sabarnya Hang Hong, maka tubuhnya mencelat dan
tangannya melayang!
"Kau makilah!" dia membentak. "Setiap kali kau memaki,
setiap kali aku hajar ceeongormu!"
Eng Ho juga telah bersedia, begitu ia memaki, begitu ia
menghunus pedangnya, untuk meneruskan menikam.
Di antara Kanglam Cithiap, kecuali Lu Su Nio, adalah Bin
Ijiam yang ilmu pedangnya paling mahir dan Eng Ho ini telah
memperoleh warisan yang baik sekali, maka juga ia
menggunai tipu silatnya yang liehay.
Sebaliknya Hang Hong, dia menyerang dengan pukulan
Siulo Imsat Kang tingkat empat. Di sebelah itu, dia telah
memperoleh pelajaran ilmu ringan tubuh dari Kie Siauw Hong,
maka dia pun dapat bergerak gesit dan lincah. Maka gagallah
serangan Eng Ho, yang sebaliknya terserang hawa dingin yang
meresap sampai hatinya tergerak, dan ketika pedangnya
meleset, Hang Hong yang berlompat maju sudah berada di
depannya, terus telapakan tangannya yang besar mau mampir
di mukanya! Tepat di saat sangat tegang itu, mendadak sebuah golok
berkelebat di antara mereka itu berdua!
Di antara murid-muridnya Tokpie Sinnie, di samping Louw
Bin Ciam yang pandai ilmu pedang, Pek Tay Koan mahir ilmu
goloknya. Ilmu golok itu telah diwarisi Pek Eng Kiat, bahkan
dia ini dapat memahamkannya hingga cocok dengan katakata,
"Hijau itu asalnya biru".
Itulah Eng Kiat, yang menyela di antara kedua belah pihak!
Hang Hong terkejut melihat menyambarnya golok itu, tak
dapat dia melanjuti gaplokannya jikalau dia tak sudi
tangannya terbabat kutung. Dia lantas menariknya pulang.
Meski begitu, dia masih terlambat sedikit, ujung bajunya kena
terkutungkan juga!
Orang she Hang ini menjadi gusar, lantas dia mengeluarkan
senjatanya yang berupa kipas besi. Dia membuka itu, buat
dibawa ke depan dadanya. Dia menggunai tangan kiri, guna
melindungi diri, maka itu, dia sempat meluncurkan tangan
kanannya, menyerang kembali dengan Siulo Imsat Kang
tingkat ke empat itu. Dia menyerang Eng Kiat dengan seluruh
kekuatannya. Cek Ho, sang adik seperguruan, juga membarengi
menyerang Eng Ho. Dia menggunai ilmu totok pit sebatang,
yaitu Tanpit Tiamhoat. Cuma dalam ilmu Siulo Imsat Kang, dia
masih kalah jauh dari kakak seperguruannya. Dia baru
mencapai tingkat kedua.
Eng Ho kedinginan hingga ia menggigil dan giginya
bercatrukan akan tetapi pedangnya masih dapat digunakan. Ia
menangkis pit-nya Cek Ho, habis itu ia membalik tangannya,
untuk membalas memapas!


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cek Ho kaget sekali. Dia melihat golok berkelebat
menyambarnya, dia masih tak sempat menangkis atau
berkelit, maka tahu-tahu ujung jari tangannya kena terpapas.
Syukur untuknya, Hang Hong coba menolongi, kalau tidak,
pasti jiwanya sukar terjamin.
Sampai disitu, kacaulah pertempuran mereka berempat.
Mereka saling menyerang siapa yang paling dekat satu pada
lain. Atau salah satunya menolong kawannya yang lagi
terancam bahaya. Pula berisik suara beradunya senjata
mereka satu pada lain.
Pek Eng Kiat berkelahi dengan sengit sekali, dengan jurus
yang ke tujuh belas, ia berhasil menggores pundaknya Hang
Hong, sedang dengan jurus selanjutnya ia membabat kutung
sebuah jeriji tangannya Cek Ho. Sebaliknya Lou Eng Ho
menampak kesulitan, lama-lama dia terlihat tidak leluasa
menggunai senjatanya, seperti juga pedangnya tidak hendak
menuruti kehendak hatinya...
Selama dalam rumah perguruan, Eng Kiat dan Eng Ho
dapat belajar dengan sama merdekanya, gurunya masingmasing
memberikan pengajaran dengan sepenuhnya, karena
itu tidak selayaknya sekarang mereka menjadi beda begini
jauh satu dari lain. Sebabnya itu ialah:
Setelah Kok Cie Hoa menyerahkan kitab Siauwyang Sinkang
kepada Co Kim Jie, ketua Binsan Pay itu sudah lantas memilih
beberapa sutee, atau adik seperguruannya, untuk mempelajari
itu. Tidak sembarang orang dapat belajar ilmu itu dengan
baik. Di sebelahnya bakat atau dasar, orang juga perlu dengan
sifatnya. Yang dibutuhkan ialah kesabaran atau kelembutan,
siapa bertabiat keras atau sembrono, dia tak cocok, percuma
orang berilmu silat baik kalau dia berangasan atau ceroboh.
Sifat ini juga yang membedakan Co Kim Jie dari Ek Tiong
Bouw, perbedaan mana tampak ketika keduanya melawan
Siulo Imsat Kang dari Beng Sin Thong-Co Kim
Jie kurang ulet, dia kalah daya bertahannya. Pek Eng Kiat
termasuk sutee yang dipilih, dan Eng Ho tidak, karena itu, Eng
Ho tidak belajar Siauwyang Sinkang.
Siauwyang Sinkang diciptakan Lu Su Nio setelah Lu Su Nio
memasuki tingkat usia lanjutnya. Itulah ilmu yang diutamakan
guna melawan Siulo Imsat Kang dari Beng Sin Thong. Lu Su
Nio memiliki segala apa sempurna, maka itu, ia berhasil
menciptakannya. Ek
Tiong Bouw liehay, dia sabar, tetapi dia masih ada
kekurangannya juga, maka itu, Ek Tiong Bouw cuma dapat
melayani Siulo Imsat Kang tingkat tujuh. Oleh karena ini
dapatlah dimengerti yang Pek Eng Kiat masih kacek sangat
jauh. Akan tetapi dia berhadapan dengan Hang Hong, yang
baru memiliki Siulo Imsat Kang tingkat empat, dia dapat juga
melayani sekedarnya. Hanya, kalau sekarang dia menjadi
kewalahan, itulah sebab pertempuran mereka bukannya satu
lawan satu. Eng Ho lemah, dia saban-saban mesti ditolongi.
Kim Sie le menyaksikan pertempuran itu, dia kata dalam
hatinya: "Jikalau aku tidak turun tangan mereka berdua bisa
celaka." Tentu sekali ia tak takuti Siulo Imsat Kang dari Hang
Hong. Hanya untuk membantu Eng Ho dan Eng Kiat, lebih
dulu ia harus menyingkirkan kudanya, supaya kuda itu tak
sempat terganggu hawa dingin. Begitulah ia tambat kudanya
pada sebuah pohon di tepi jalan, habis mana dengan tindakan
lenggang kangkung, yang disengaja-sengaja, dia berjalan
menghampirkan gelanggang pertempuran. Ia pun mengasih
dengar suaranya yang nyaring, yang lagunya dibikin-bikin:
"He, anak-anak, mengapa kamu mengacau disini" Bukankah
hari ini hari terang benderang" Kenapa kamu berkelahi di
tengah jalan besar" Kenapa kamu berkelahi tak mau sudah "
Benar-benar kamu gila! Tak senang aku si orang tua
melihatnya! Lekas kamu menggelinding pergi! Lekas
menggelinding pergi!
Saat itu saat pertempuran yang memutuskan, keadaan
tegang dan gawat sekali. Goloknya Eng Kiat sudah kena
dikuasai oleh Hang Hong, hingga tinggal tunggu detiknya si
orang she Hang merebut kemenangannya, Eng Kiat dan Eng
Ho terdesak sampai umpama kata mereka tak dapat bernapas.
Hang Hong melihat ada orang mendatangi, ia tidak
menghiraukan, la pula tak menyangka sekali orang ialah Kim
Sie Ie. Barulah ia terperanjat apabila ia mendapatkan orang
menambat kudanya dan jalan menghampirkan dengan lagak
dan suaranya yang tak menyenangi itu. Ia merasa teranglah
orang hendak menganggunya. Dengan mendadak ia menjadi
gusar. Karena itu, ketika ia sudah menanti sampai Sie Ie
datang dekat sekali, mendadak ia memutar tubuhnya terus
menyerang orang usil ini!
"Kurang ajar!" Sie Ie membentak. "Sudah kamu mengacau
di tengah jalan dan tak mau minggir untuk orang lewat, kau
juga main pukul!"
Selagi Sie Ie membuka mulut itu, tangannya Hang Hong
meluncur ke dadanya. Ia tidak menghiraukannya, ia tidak
menangkis atau berkelit, ia maju terus!
Hang Hong heran, tetap dia penasaran, maka dia melanjuti
serangan itu. Kesudahannya di terperanjat. Serangannya itu
tidak ada hasilnya. Sie Ie seperti tidak merasakan apa-apa.
Maka segera dia mengulangi serangannya. Hanya kali ini Sie
Ie menangkap tangan orang, untuk diangkat, hingga
terangkat juga tubuh si penyerang, yang terus dilemparkan ke
samping! Setelah itu, Sie Ie maju terus. Justeru Eng Kiat dan Eng Ho
lagi menyerang berbareng satu pada lain. Maka juga senjata
mereka masing-masing menjadi meluncur ke arah tubuhnya
Tokciu Hongkay, yang mereka tak mengenalnya. Tak ada
tempo lagi untuk Eng Kiat menarik pulang pedangnya atau
Eng Ho goloknya, begitupun Cek Ho dengan gegamannya
yang merupakan sebuah alat tulis, ialah poankoan pit.
Eng Kiat dan Eng Ho menjerit bahna kaget. Tak ada niatnya
mereka untuk melukai orang yang tidak ada sangkut pautnya
dengan mereka. Tidak demikian dengan Cek Ho, dia
membiarkan pit-nya meluncur terus dengan tenaga
sepenuhnya. Sie Ie tidak menghiraukan serangannya Eng Ho dan Eng
Kiat, sebaliknya poankoan pit si orang she Cek ia sambut
dengan gempuran, hingga senjata itu patah menjadi dua
potong. Sembari menghajar itu, ia kata bengis: "Kau juga
pergilah menggelinding seperti suheng-mu itu!" Lalu ia
mencekuk tubuh orang seperti ia mencekuk anak ayam, buat
terus dilemparkan, hingga orang roboh terbanting di sisi kakak
seperguruannya!
Hebat penderitaannya Hang Hong dan Cek Ho, jatuh
terbanting itu tidak cuma mendatangkan rasa nyeri yang
hebat, juga mereka merasakan tubuh mereka panas bagaikan
dibakar. Itulah karena sambil mencekuk orang, berbareng Sie
le memencet putus otot mereka yang dinamakan samciauw
keng-meh, hingga dengan begitu hancur musnahlah Siulo
Imsat Kang mereka. Syukurnya, ilmu silat mereka tak
termusnahkan sekalian, karena mana, mereka masih
mempunyai tenaga mereka, masih dapat mereka pergi lari.
Saking takut, tanpa menoleh pula, mereka mengangkat
langkah seribu, dengan menahan sakit, mereka merayap
bangun untuk kabur!
Eng Kiat dan Eng Ho berdiri tercengang. Keduanya kaget
dan heran. Mereka melihat orang tidak cuma tak terlukakan,
bahkan bajunya tak pecah atau robek! Toh mereka tahu betul
senjata mereka masing-masing mengenai tubuh dia itu.
Mereka salah tangan dan melainkan kaget sebab mereka
kuatir orang yang tidak bersalah dosa, sekarang mereka heran
sebab luar biasanya akibat serangan mereka itu Tentu sekali
mereka tidak tahu dan mereka tak pernah memikir juga,
bahwa Kim Sie Ie sudah membebaskan diri dengan tipu
silatnya huruf "Licin", hingga semua serangan menjadi
meleset. Lou Eng Ho mempunyai nama yang artinya tepat dengan
sifatnya, ialah polos, maka itu selagi ia bersyukur dan
berbareng mengagumi Sie le, ia lantas bertindak
menghampirkan guna memberi hormat sambil menjura, guna
menghaturkan terima kasih. Mereka telah ditolong dari bahaya
maut. Kim Sie Ie tertawa.
"Sudahlah, kita berada di antara orang sendiri!" katanya
wajar. "Sudah selayaknya saja kita saling membantu. Jangan
sungkan, saudara Lou!"
Eng Kiat heran, ia menatap.
"Maaf, mataku seperti lamur," katanya, "menyesal aku tidak
ingat dimana pernah aku bertemu dengan kau, saudara.
Saudara, sudilah kau perkenalkan she dan namamu yang
mulia?" Sie Ie tidak mau perkenalkan diri. Ia menyebut she dan
nama palsu. "Aku pernah melihat kamu berdua pada dua bulan yang
lalu, selama pertandingan di gunung Binsan," ia memberi
ingat. "Rupanya saudara Pek dan Lou sudah tidak mengenali
lagi padaku. Aku ialah murid bukan pendeta dari Siauwlim
Sie." Selama pertandingan di gunung Binsan itu, hadirin, atau
mereka yang turut ambil bagian, berjumlah tak kurang
daripada lima atau enam ratus orang, meski begitu, tak sulit
untuk orang mengenali Eng Ho dan Eng Kiat. Di pihak Binsan
Pay, mereka terhitung sebagai anggauta-anggauta yang ada
nama. Karena itu, Eng Kiat sudah lantas mempercayai
keterangan Sie Ie. Maka katanya bersenyum likat:
"Sebenarnya sangat banyak hadirin di Binsan itu, sukar akan
mengingatnya setiap orang, tetapi kau, saudara Kam,
bukankah kau yang turut dalam rombongannya Cee Tiauw
Goan Lounghiong" Barusan begitu aku rasa ingat tetapi aku
ragu-ragu."
Sie Ie tertawa dalam hati, tetapi dia kata, tertawa:
"Saudara Lou, kuat ingatanmu! Ketika itu hadir kira-kira enam
ratus orang, tetap kau masih ingat aku."
"Pantas kau liehay, saudara Kam, kiranya kau anggauta
terpandai dari Siauwlim Pay!" Eng Kiat pun memuji. "Kau tidak
mempan senjata, saudara Kam, kau pasti telah mencapai
puncaknya pelajaran Kimkong Puthoay Sinkang."
"Memang aku pelajari itu, tetapi buat dikata sudah sampai
di puncaknya, itulah belum," kata Sie Ie tertawa. "Aku masih
jauh sekali! Apa yang dieapai aku baru tiga atau empat
bagian." Eng Kiat seorang teliti, ia menyangsikan keterangan orang.
Selama pertemuan di Binsan itu, ia mendapat tugas sebagai
tukang sambut tetamu, benar tetamu hitung ratusan dan tak
nanti ia ingat semua, tetapi untuk tetamu-tetamu yang
ternama, yang penting dari pelbagai partai seperti Siauwlim,
Butong dan Ngobie, ia rasa ia mengingatnya baik sekali, sebab
ia menaruh perhatian istimewa toh tak ingat ia akan orang
semacam penolongnya ini. Pula ia tahu, mengenai ilmu kebal
Siauwlim Pay itu, yaitu "Kimkong Puthoay Sinkang", ada
aturannya yang tertentu, ialah sangat sedikit diwariskan
kepada murid bukan pendeta. Sekalipun Cee Tiauw Goan,
murid kepala bukan pendeta itu, dia baru mempelajari kulitnya
saja. Maka ia kata dalam hati kecilnya: "Kalau dia ini benar
murid bukan pendeta dari Siauwlim Sie, dengan
kepandaiannya ini, mestinya dia sudah memperoleh nama
besar dalam dunia Kangouw, tapi kenapa aku belum pernah
mendengar namanya disebut orang!" Walaupun ia curiga, atau
sangsi, ia toh tidak berani menduga Sie Ie sebagai seorang
jahat, sebaliknya, ia bersyukur terhadapnya. Sebab ia telah
ditolong di saat yang sangat berbahaya.
Sie Ie lantas ingat tugasnya sesudah ia mengusir Hang
Hong dan Cek Ho serta berpamitan dari Lou Eng Ho dan Pek
Eng Kiat. Ia harus membeli pakaian wanita untuk Seng Lam
salin pakaian. Maka itu ia lantas pergi ke pasar dengan
mengambil jalan yang ditunjuki pemilik warung teh yang
mereka singgahi. Disitu tidak ada toko, penjahit pakaian, yang
membuat atau menjual pakaian jadi, maka terpaksa ia
mencarinya di tempat tukang loak. Ia tahu kesukaan Seng
Lam, maka ia memilih seperangkat pakaian yang ia rasa si
nona pasti akan penuju, hanya ketika ia membeli pakaian
wanita, banyak mata yang mengawasi padanya. Orang heran
pria membeli pakaian wanita! Syukur ia berdandan sebagai
opsir, tak ada orang yang bermulut jail.
"Pasti Seng Lam sudah tak sabaran menunggui aku,"
pikirnya. Ia telah membuang waktu lama. Maka ia balik
dengan mengaburkan kudanya.
Jarak di antara pasar dan warung teh ada kira-kira lima lie,
dengan lekas Sie Ie telah mendekati warung teh itu, ia
menjadi heran. Ia melihat dua orang, dengan dandanan orang
tani, lagi berlari-lari dengan roman ketakutan atau gugup
sekali. Dari heran ia menjadi curiga.
"Kamu bikin apa?" ia menegur selagi mendekati dua orang
itu. Dua orang itu tak kurang kaget atau bingungnya melihat
ada opsir. "Ada penjahat! Ada penjahat!" keduanya berkata, keras
tetapi susah. "Ada orang dibunuh!"
Sie Ie heran hingga ia melengak. Segera ia ingat Seng Lam,
hingga ia kuatir Nona itu telah bertemu dengan musuh hingga
dia terpaksa membunuh orang. Ia merasa dua orang tani itu
tak mengerti silat, maka ia tak memperdulikannya pula, ia
hanya mengaburkan pula kudanya ke arah warung.
Warung itu sepi sekali, saking heran, Sie Ie lompat turun
dari kudanya untuk lantas masuk ke dalam. Ia lantas menjadi
terperanjat. Di depan meja pemilik warung serta di depan
pintu kamar ada menggeletak masing-masing sesosok tubuh
yang sudah tidak bernyawa, dan ia mengenali, itulah mayatmayatnya
pemilik warung dan isterinya. Ia meraba tubuh
mereka, ia merasakan tubuh yang masih hangat, tandanya
orang putus jiwa belum lama.
"Seng Lam! Seng Lam!" ia memanggil seraya tangannya
menyingkap cita tedeng pintu kamar.
Ia tidak memperoleh jawaban, iapun tidak melihat orang di
dalam kamar, yang kosong melongpong. Maka kembali ia
tercengang. Ia berpikir pula: "Seng Lam membekal pedang
Pendekar Setia 12 Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Panji Wulung 13

Cari Blog Ini