Seruling Gading Lanjutan Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Sementara itu, para pria dusun Pakis, ketika mendengar bunyi kentongan titir (bertalu-talu) yang dipukul Parmadi tadi, keluar dari rumah masing-masing. Mereka membawa senjata apa saja yang mereka milik. Ada yang membawa sabit, parang, tombak, palu, linggis, atau cangkul.
Mereka berjumlah kurang lebih limapuluh orang dan berbondong-bondong mereka lari ke rumah Ki Ronggo Bangak. Di pekarangan rumah itu mereka menemukan dua orang pemuda Serial Silat Tanah Jawa
7 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 4 dusun menggeletak tewas dan Ki Ronggo Bangak yang juga menderita nyeri pada dadanya terkena tendangan Surobajul akan tetapi dia masih hidup dan tidak terlalu parah keadaannya.
Melihat banyak orang, Ki Ronggo Bangak berkata, "Muryani".. dibawa mereka".., kalian tolonglah ia...."
Mendengar ini, puluhan orang itu yang sudah diberi tahu oleh Parmadi tentang pondok di hutan luar dusun, segera melakukan pengejaran keluar dusun menuju ke. hutan itu.
Ketika mereka sedang berbondong-bondong memasuki hutan, mereka melihat dua orang berlari-lari dari depan. Mereka segera mengenal dua orang itu sebagai Ki Demang Wiroboyo dengan seorang raksasa hitam. Bangkitlah kemarahan para pria dusun Pakis itu karena sudah tahu bahwa Ki Demang Wiroboyo dan jagoannya merencanakan menculik Muryani. Maka begitu me;ihat dua orang itu mereka berteriak-teriak gemuruh. Ki Demang Wiroboyo terkejut bukan main melihat warga dusunnya kini dengan wajah beringas menyerbu untuk mengeroyok dia dan Surobajul.
"Heii! Apa kalian telah buta atau gila" Ini adalah aku, Ki Demang Wiroboyo, kepala dusun kalian!" teriaknya.
Akan tetapi teriakan-teriakan yang menjawabnya sungguh amat mengejutkan hatinya.
"Demang angkara murka!"
"Demang lalim!"
"Demang mata keranjang!"
"Perusak pagar ayu!"
"Bunuh! Bunuh!"
Limapuluh lebih orang itu mendesak maju, mengepung dan menghujankan senjata mereka ke arah dua orang itu! Tentu saja Ki Demang Wiroboyo membela diri. Juga Surobajul mengamuk.
Hanya bedanya, kalau Surobajul mengamuk untuk membunuh para pengeroyok, Ki Demang Wiroboyo hanya merobohkan pengeroyok untuk membela diri, tidak bermaksud membunuh. Dia tahu bahwa kalau dia membunuh warga dusunnya, maka mereka akan menjadi lebih sakit hati dan marah lagi.
Amukan Surobajul amat menggiriskan, Kolornya diputar menjadi sinar kuning yang bergulung-gulung dan rnengeluarkan bunyi meledak-ledak! Sinar kuning itu menangkis hujan senjata yang ditujukan kei padanya, bahkan dia sudah memukul roboh enam orang pengeroyok yang tewas dengan kepala pecah. Hal ini membuat para pengeroyok menjadi semakin ganas.
Pada saat itu, tampak bayangan berkelebat dan Muryani telah tiba di tempat itu. "Jahanam Serial Silat Tanah Jawa
8 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 4 busuk! Manusia iblis keparat!" Gadis itu minta sebatang golok dari seorang penduduk dan iapun terjun ke dalam pertempuran. Melihat betapa ganasnya Surobajul, iapun segera menerjang raksasa hitam yang tadi menawannya itu dengan penuh semangat.
Mendengar golok berdesing nyaring, Surobajul terkejut dan cepat menggerakkan kolor untuk menangkis.
"Wuuuttt.... desss....!" golok dan kolor itu sama-sama terpental, akan tetapi Muryani merasa betapa telapak tangannya yang memegang gagang golok menjadi panas. Hal itu membuat ia mengetahui bahwa lawannya itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat, lebih kuat daripada tenaganya pendiri. Seorang lawan yang tangguh! Akan tetapi, ia tidak merasa gentar, apalagi karena ia dibantu oleh sedikitnya duapuluh orang pria dusun Pakis yang menyerang raksasa hitam itu dengan nekat dan marah karena melihat roboh dan tewasnya beberapa orang rekan mereka.
Sementara itu, Ki Demang Wiroboyo juga repot sekali menghadapi pengeroyokan duapuluh orang lebih. Apalagi karena dia tidak ingin membunuh, maka dia hanya menggunakan kedua tangan dan kakinya saja untuk membela diri. Tubuhnya sudah menderita banyak luka. Walaupun bukan luka berbahaya namun cukup membuat dia terasa nyeri dan tenaganya semakin lemah.
Keadaannya gawat sekali karena para pengeroyoknya yang sudah marah itu seperti sekumpulan harimau yang ingin merobek-robek tubuhnya!
Pada saat yang amat gawat bagi K! Demang Wiroboyo dan agaknya saat kematiannya hanya tinggal beberapa saat lagi, tiba-tiba Parmadi yang tadi melakukan pengejaran tiba di situ. Melihat keadaan Ki Demang yang sudah mandi darah dan didesak oleh para penduduk, dia lalu menyeruak masuk dan merangkul Ki Demang W iroboyo.
"Sudah cukup, teman-teman! Dia sudah cukup terhukum! Ingat akan semua kebaikan yang pernah dia lakukan untuk kita. Dan lihat, dia melawan kalian tanpa mempergunakan kerisnya!
Hentikan penyerangan, aku akan mengantarnya pulang!" karena dihalangi oleh Parmadi dan agaknya disadardarkan oleh ucapan Parmadi tadi, kini para pengeroyok itu membalik dan membantu kawan-kawan dan Muryani yang sedang mengeroyok Surobajul! Mereka tidak lagi memperhatikan Parmadi yang memapah Ki Demang Wiroboyo, tersaruk-saruk pulang ke Pakis.
Surobajul memang kebal. Senjata-senjata yang mengenai tubuhnya hanya mendatangkan goresan saja, paling-paling merobek sedikit kulitnya. Akan tetapi, dia tahu bahwa golok di tangan Muryani akan rnembahayakan dia, akan dapat merobek pertahanan kekebalannya. Karena itu, dia lebih mencurahkan perhatiannya untuk meriyambut serangan-serangan Muryani, tidak mengacuhkan hujan senjata dari para pengeroyok yang lain. Baju dan celananya sudah compang-camping, Serial Silat Tanah Jawa
9 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 4 robek oleh bacokan senjata tajam. Akan tetapi Muryani adalah murid utama dari sebuah perguruan besar. Ia sudah mempelajari tentang orang-orang yang memiliki kekebalan. Ia tahu bahwa seorang yang kebal selalu memiliki titik kelemahan. Sejak tadi ia memperhatikan dan akhirnya ia melihat bahwa raksasa hitam itu selalu melindungi tubuh bagian pusarnya. Kalau ada senjata yang meluncur ke arah pusar, tangan kirinya selalu menangkisnya, sedangkan kalau mengarah bagian lain diterima dengan kekebalannya.
"Kawan-kawan, serang bagian pusarnya!" Muryani berteriak lantang.
Para pengeroyok itu tentu saja menuruti ucapan Muryani dan Surobajul terkejut bukan main.
Rahasianya ketahuan dan kini dirinya berada dalam bahaya besar. Memang bagian pusarnya itulah yang tidak kebal. Padahal kini hampir semua senjata menyerang ke arah pusarnya sehingga dia repot sekali, memutar kolornya untuk melindungi bagian perut bawah.
"Kawan-kawan, serang matanya. Mata dan pusarnya!" kembali Muryani berseru. Dara perkasa ini tahu benar bahwa mata merupakan bagian yang tidak dapat terlindung kekebalan, maka ia menyuruh para pengeroyok menyerang bagian itu, kembali para pengeroyok menurut dan sekarang, dua bagian tubuh Surobajul itu yang,menjadi sasaran penyerangan.
"Mati aku....!" Surobajul mengeluh dan dia menjadi repot sekali. Dia harus melindungi dua bagian yang berjauhan, yang satu di bawah yang satu di atas. Dan senjata para pengeroyok yang jumlahnya sekitar limapuluh orang itu datang bagaikan hujan!
Akhirnya, sebuah ujung linggis menusuk mata kirinya. Surobajul menjerit kesakitan dan menjadi limbung. Senjata-senjata lain kini menghantam pusarnya bagaikan hujan. Dia mengeluarkan teriakan parau seperti binatang buas terluka dan tubuh yang tinggi besar itu akhirnya roboh! Penduduk yang sudah marah seperti kesetanan itu menghujankan senjata mereka kepada tubuh raksasa yang sudah sekarat itu sehingga Warok Surobajul tewas dengan tubuh menjadi onggokan daging.
"Cukup, jahanam itu sudah mati. Mari kita mencari dan menghajar Demang Wiroboyo yang jahat itu!" terdengar suara Muryani melengking nyaring. Seruan ini disambut sorak-sorai dan puluhan, orang itu lalu berbondong-bondong meninggalkan hutan itu untuk kembali ke dusun Pakis. Beberapa orang tinggal untuk mengurus jenazah sanak keluarganya yang tewas ketika mengeroyok Surobajul tadi.
Bahkan ketika mereka memasuki dusun, jumlah mereka bertambah karena sekarang semua penduduk Pakis, laki perempuan, ikut pula dengan rombongan itu menuju ke rumah Ki Demang Wiroboyo! Pada saat itu, semua panguneg-ineg, semua rasa sakit hati dan dendam, semua rasa Serial Silat Tanah Jawa
10 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 4 penasaran, berkobar dan semua orang agaknya hendak menuntut agar Ki Demang Wiroboyo dihukum. Bahkan mereka yang tidak pernah dirugikan Ki Demang, bahkan pernah ditolong, pada saat itu terbawa dan terseret perasaan orang banyak dan ikut-ikutan mendaulat sang demang!
Rombongan itu memasuki pekarangan gedung kademangan. Muryani berjalan paling depan karena ia memang dianggapgap oleh semua penduduk sebagai pimpinan yang boleh diandalkan.
Bersama belasan rang pemuda yang merasa diri sebagai jagoan dan pahlawan, gadis itu melangkah ke arah pendopo kademangan. Akan tetapi, belasan orang pimpinan termasuk Muryani itu berhenti di bawah anak tangga ketika melihat dua orang berdiri di atas anak tangga menghadapi mereka. Dua orang itu bukan lain adalah Ki Ronggo Bangak dan Parmadi.
Melihat ayahnya, Muryani memandang heran. Semua orang juga berdiam diri melihat pria yang mereka segani dan hormat itu. Ki Ronggo Bangak memang dihormat semua orang karena peramah, berbudi luhur, suka menolong, menjadi sumber nasihat dan terutama sekali setelah pria ini memperkenalkan puterinya yang disanjung semua orang itu.
Akan tetapi, di antara mereka terdapat beberapa orang pemuda yang pacar atau tunangannya dulu direbut Ki Demang Wiroboyo. Saking besarnya kobaran dendam di hati mereka, mereka serentak berteriak, "Bunuh Wiroboyo perusak pager ayu,"
Teriakan ini seperti menyulut semua orang dan merekapun bersorak menyetujui. Ada pula teriakan-teriakan yang mengancam Parmadi.
"Seret dan hajar Parmadi! Dia melindungi Wiroboyol!"
"Parmadi itu antek Wiroboyo. Hukum pula dia!"
Suara-suara yang mengancam Parmadi ini keluar dari mulut beberapa orang pemuda yang merasa iri dan cemburu melihat betapa dekat dan akrabnya hubungan Parmadi dengan Muryani.
Mereka menggunakan kesempatan itu untuk melampiaskan kecemburuan mereka.
Dengan tenang Parmadi mengangkat .dua tangan ke atas untuk menenangkan orang-orang itu. "Para paman dan bibi, kakak dan adik, para saudaraku sewarga dusun Pakis! Dengarlah dulu kata-kataku dan jangan menuruti hati yang panas!" dia berkata dan aneh sekali, suara pemuda itu seolah mengandung wibawa kuat sehingga semua orang diam mendengarkan.
Setelah semua orang diam, Parmadi bercara lagi, suaranya tenang namun cukup lantang. "Saya tadi memang mencegah kalian membunuh Ki Demang Wiroboyo dan saya yang mengantarnya pulang ke sini. Akan tetapi hal itu saya lakukan bukan mata-mata untuk melindung dia, melainkan untuk mencegah kalian melakukan kekejaman yang sama jahatnya. Saya ingatkan kalian. Ki Demang Wiroboyo telah banyak melakukan kebaikan terhadap saya Akan tetapi apakah terhadap Serial Silat Tanah Jawa
11 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 4 kalian juga tidak demikian" Bukankah selama ini dia menjadi seorang demang yang jujur, adil dan baik terhadap warga dusun Pakis" Memang dia bersalah. Salah besar sekali terdorong nafsu-nafsunya sehingga dia menculik adi Muryani. Akan tetapi dia tidak melakukan pembunuhan, bahkan ketika kalian keroyok, dia membela diri dengan kaki tangannya saja, tidak menggunakan kerisnya. Surobajul itulah yang melakukan pembunuhan-pembunuhan. Karena itu, apakah Ki Demang Wiroboyo yang sudah kalian keroyok sehingga menderita banyak luka dan telah dipermalukan di depan semua orang itu berarti tidak telah mendapatkan hukuman yang cukup?"
Hening sejenak setelah Parmadi bicara. Akan tetapi kemudian terdengar teriakan beberapa orang pemuda yang membenci Ki Demang Wiroboyo. "Tidak! Tidak cukup! Dia harus dibunuh!"
dan kembali banyak mulut menyambut teriakan ini sehingga suasana menjadi gegap-gempita.
Kini Ki Ronggo Bangak mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru, "Andika semua tenanglah!" kembali semua orang terdiam karena mereka memang segan terhadap pria yang lembut ini.
Setelah semua orang diam, Muryani bertanya kepada ayahnya dengan nada suara mengandung penasaran, "Ayah, mengapa ayah berada di sini?" tentu saja ia merasa penasaran. la baru saja diculik Ki Demang Wiroboyo dan nyaris diperkosa, bahkan ia tadi juga melihat ayahnya roboh ditendang Surobajul. Akan tetapi sekarang ayahnya malah berada di rumah demang itu dan berdiri di samping Parmadi, agaknya hendak membela Ki Demang Wiroboyo!
Semua orang diam ingin mendengarkan percakapan antar ayah dan anak itu. Ki Ronggo Bangak menatap tajam wajah puterinya dan diapun menjawab dengan tegas,
"Muryani, akupun dapat memulangkan pertanyaan itu kepadamu, kepada andika sekalian semua. Mengapa kalian datang ke sini" Hendak membunuh Ki Demang Wiroboyo?"
Dengan tegas pula karena penasaran Muryani menjawab, "Benar sekali, ayah."
Banyak orang bersorak mendengar jawaban ini. "Benar! Bunuh si keparat!"
Ki Ronggo Bangak mengangkat lagi kedua tangannya dan semua orang terdiam. "Harap kalian diam dengan tenang dan mendengarkan percakapan kami kalau kalian sudah menganggap Muryani sebagai wakil kalian!" semua orang diam, tidak ada yang berani menentang pandang mata Ki Ronggo Bangak ketika pria ini melayangkan pandang matanya, menyapu mereka.
"Nah, Muryani. Sekarang jawablah. Kalian datang hendak membunuh Ki Demang.
Mengapa?" "Ah, ayah. Mengapa ayah bertanya lagi" Dia baru saja bersama Surobajul dan kaki tangannya telah menyerbu rumah kita, mereka telah menangkap aku dan nyaris aku celaka di tangannya! Dia Serial Silat Tanah Jawa
12 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 4 hendak menodaiku, ayah, dan itu lebih hebat daripada membunuh! Dia pantas dihukum mati!"
"Nini Muryani, dan kalian semua warga dusun Pakis. Dengarkan baik-baik. Ki Demang Wiroboyo memang bersalah, akan tetapi dia tidak membunuh siapa-siapa. Dia nyaris menodai, anakku ini, akan tetapi hal tu belum dia lakukan! Bandingkanlah dengan perbuatan kalian kalau sekarang kalian membunuhnya! Siapakah di antara dia dan kalian yang lebih jahat dan lebih kejam?" semua orang terdiam.
"Akan tetapi, ayah. Apakah kejahatan Wiroboyo itu harus didiamkan saja?" kembali banyak suara mendukung tuntutan Muryani.
"Memang tidak sepatutnya didiamkan. Akan tetapi harus melalui hukum yang benar. Bukan dengan cara menghakimi sendiri lalu mempergunakan banyak orang untuk mengeroyok dan membunuhnya! Aku sudah mendengar bahwa Surobajul juga sudah kalian bunuh. Sungguh perbuatan itu sama dengan perbuatan orang-orang biadab yang tidak mengenal peraturan dan hukum! Aku menyesal sekali. Coba saja bayangkan. Kalau cara menjadi hakim sendiri ini dibenarkan, bagaimana kalau kemudian ternyata bahwa yang kalian hakimi dan bunuh itu tidak bersalah" Orang bersalah memang sudah sepantasnya mendapat hukuman. Akan tetapi melalui saluran yang benar. Diselidiki dan diteliti dulu kesalahannya, mana saksi dan buktinya. Kalau ter nyata menurut bukti dan saksi dia itu bersalah, barulah dijatuhi hukuman. Hukuman itupun menurut besar kecilnya kesalahan, menurut peraturan dan sepantasnya, bukan secara hantam kromo dibunuh beramai-ramai begitu saja!"
Muryani mulai dapat terbuka pikirannya dan ia diam saja, dalam hatinya tidak dapat membantah kebenaran yang terkandung dalam ucapan ayahnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan seseorang di antara para penduduk dusun Pakis itu. "Ki Ronggo! Di sini berlaku ucapan
'Deso mowo coro, negoro mowo toto' (Desa memakai cara/adat, kota raja memakai peraturan/hukum). Bukankah demikian Ki Ronggo"
Ki Ronggo Bangak tersenyum dan memandang ke arah pembicara itu. Seorang pria yang sudah setengah tua, warga lama dusun Pakis.
"Ucapan itu benar, akan tetapi tata cara adat sekalipun harus memakai peraturan, bukan ngawur dan hantam kromo. Hukuman atas diri seseorang harus disesuaikan dengan besar kecilnya kesalahan, juga dipertimbangkan jasa-jasanya. Untuk itu perlu dimusyawarahkan antara para wakil warga yang terpandang. Sekarang mari kita memilih beberapa orang wakil yang terpandang dan terpercaya untuk memusyawarahkan keputusan hukuman terhadap Ki Demang Wiroboyo!"
Seketika itu semua orang melakukan pilihan. Empat orang tua, termasuk yang bicara tentang Serial Silat Tanah Jawa
13 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 4 hukum dan adat tadi, juga Muryani, diangkat sebagai wakil-wakil semua warga dusun.
"Aku mengusulkan agar Parmadi diperkenankan mewakili pihak Ki Demang Wiroboyo sekeluarga karena tertuduh berhak untuk diwakili seorang yang dekat dengannya. Dan kami rasa Parmadi merupakan orang dekat dan dia cukup adil dan bijaksana."
Setelah semua orang setuju, empat orang tua, Muryani, Parmadi, dan Ki Ronggo Bangak sendiri lalu memasuki pendopo dan mereka bertujuh lalu bermusyawarah. Setelah berunding, mereka memutuskan bahwa hukuman yang paling adil dan baik bagi semua pihak adalah bahwa Ki Demang Wiroboyo harus pergi dari dusun Pakis karena kalau dia masih tetap tinggal di Pakis, tentu akan menimbulkan banyak pertentangan. Karena yang bersalah hanyalah dia pribadi, maka pengusiran itu hanya untuk dia, sedangkan keluarganya boleh tinggal di Pakis kalau mereka menghendaki. Semua sawah ladangnya harus ditinggalkan dan menjadi milik warga dusun Pakis, hasilnya dimasukkan lumbung desa untuk keperluan semua warga.
Setelah keputusan musyawarah ini diumumkan, seluruh penghuni dusun Pakis menyatakan persetujuan mereka dengan suara bulat dan gembira. Bahkan dengan suara penuh harapan mereka semua memilih dan mengangkat Ki Ronggo Bangak sebagai pengganti demang.
Ki Ronggo Bangak menyambut dengan tenang saja usul warga dusun itu, kemudian berkata,
"Tidak mungkin aku menjadi demang menggantikan Ki Wiroboyo karena hal itu menyalahi peraturan, bahkan oleh Kerajaan Mataram kita dapat dianggap scbagai pemberontak. Biarlah sementara ini aku akan memimpin kalian mengatur duqun Pakis ini sambil menanti keputusan dari atas setelah aku membuat laporan tentang peristiwa mengenai Ki Wiroboyo."
Demikianlah, mulai hari itu Ki Ronggo Bangak dianggap sebagai pemimpin atau kepala Kademangan Pakis. Adapun Ki Woroboyo, setelah sembuh dari luka-lukanya lalu memboyong keluarganya meninggalkan dusun Pakis tanpa pamit dan tidak ada orang mengetahui ke mana dia dan keluaganya pergi.
*** Resi Tejo Wening duduk di atas bangku kayu di depan gubuknya dan dia mengangkat muka memandang Parmadi yang datang menghampirinya. Pemuda itu memang gul sebuah buntalan di pundaknya. Hari masih pagi sekali. Halimun mulai membuyat diusir sinar matahari pagi. Burung-burung berkicau riang, berloncatan dari dahan ke dahan, menggoyang ranting dan daun-daun merontokkan air embun yang tadinya bergantungan di ujung-ujung dedaunan.
Serial Silat Tanah Jawa
14 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 4 Begitu tiba di depan Resi Tejo Wening, Parmadi menaruh buntalan yang tadi dipanggulnya ke atas tanah dan dia berlutut menyembah dengan hormat.
"Parmadi, sepagi ini engkau sudah datang dan membawa buntalan. Apakah isi buntalan itu?"
kakek itu lalu menepuk bangku panjang yang didudukinya. "Bangkit dan duduklah di sebelahku sini, Parmadi. Tanah ini basah oleh embun, mengotorkan celana dan kakimu. Duduklah, akan lebih enak kita bicara."
Parmadi menurut dan duduk di sebelah kakek itu. "Eyang, pertama-tama saya hendak menghaturkan terima kasih atas pertolongan eyang sehingga saya terlepas dari ancaman maut."
"Eh" Kapan aku menolongmu terlepas dari ancaman, kulup?"
Parmadi menatap wajah kakek itu. Kenapa kakek itu berpura-pura lagi, pikirnya. Sudah jelas bahwa dia terancam maut ketika Surobajul memukulkan senjata kolornya yang ampuh itu ke arah kepala-rya, akan tetapi senjata itu membalik dan tidak menyentuh kepalanya. Siapa lagi kalau bukan Resi Tejo Wening yang menolongnya"
"Eyang, ketika dalam hutan itu Warok Surobajul menyerang saya dengan kolornya yang ampuh, eyang telah menyelamatkan saya dan menangkis serangan itu," dia menjelaskan untuk mengingatkan kakek itu.
Resi Tejo Wening tersenyum. "Heh-heh, aku sama sekali tidak menangkis pukulan itu, Parmadi."
"Akan tetapi, eyang! Pukulan kolor itu membalik dan tidak mengenai kepala saya! Siapa lagi kalau bukan eyang yang menolong saya?"
Kakek itu menggeleng kepalanya dan menatap wajah pemuda itu dengan senyum penuh pengertian. "Bukan, bukan aku yang menyelamatkanmu, kulup. Coba ingat, apa yang kaulakukan ketika engkau melihat dirimu diserang dengan kolor ampuh itu oleh orang itu?"
Parmadi mengingat-ingat. "Saya merasa tidak berdaya dan tahu bahwa saya diancam bahaya maut, maka saya hanya pasrah, menyerah kepada kekuasaan Sang Hyang Widhi seperti yang biasa saya latih bersama eyang."
"Nah, itulah yang menyelamatkanmu, Parmadi. Penyerahanmu yang ikhlas itu menggerakkan kekuasaan ilahi untuk bekerja dan kalau kekuasaan itu melindungi dirimu, tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang akan dapat mengganggu selembar rambutmu."
Parmadi terbelalak. Kemudian sertamerta dia menyembah kakek itu.
"Aduh, eyang. Terima kasih atas petunjuk eyang selama ini."
"Jangan berterima kasih kepadaku. Kaiau hendak berterima kasih, berterima kasihlah kepada Serial Silat Tanah Jawa
15 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 4 Sang Hyang Widhi, karena hanya Dia yang menjadi gurumu, menjadi pembimbingmu, menjadi pelindungmu. Akan tetapi, jangan hendaknya rasa syukur dan terima kasihmu itu hanya berhenti sampai di dalam mulut dan hati akal pikiran saja. Bersyukur dan berterima kasih seperti itu hanya merupakan pemanis bibir belaka, kosong dan bahkan palsu adanya. Kita harus selalu bersyukur dan berterima kasih kepada Hyang Widhi atas segala berkah, perlindungan, dan bimbingan-Nya, akan tetapi apakah yang menjadi bukti dari rasa terima kasih itu" Inilah yang dilupakan orang sehingga hampir setiap saat manusia hanya mengucap syukur dan terima kasih yang hampa belaka."
"Eyang, saya menjadi bingung. Lalu apakah yang harus kita lakukan untuk membuktikan bahwa kita bersyukur dan berterima kasih kepada-Nya?"
"Bukti rasa terima kasih manusia terhadap Hyang Widhi adalah ketaatan, Parmadi. Manusia wajib taat kepada segala perintah-Nya yang tercantum dalam kitab-kitab suci, dalam weda-weda.
Taat dalam arti kata melaksanakan segala perintah-Nya dalam tindakan kita sehari-hari. Menjadikan diri sendiri menjadi alat-Nya yang baik, mangayu hayuning bhuwana (mengusahakan keselamatan jagad), dengan cara selalu bertindak membela keadilan dan kebenaran, melindungi yang lemah tertindas, menentang yang jahat sewenang-wenang, berwatak ksatria sejati, dan membela nusa bangsa."
"Kalau begitu benar sekali pesan terakhir mendiang ayah saya, eyang, yaitu bahwa saya harus membela Mataram sampai mati."
"Itu hanya merupakan satu di antara kewajiban-kewajibanmu sebagai manusia utama."
"Dan apalagi yang harus saya panjatkan dalam doa saya kepada Yang Mahakuasa selain bersyukur dan berterima kasih, eyang?"
"Di dalam doa kepada Hyang Widhi, yang terpenting adalah ucapan rasa syukur dan terima kasih yang dibuktikan dengan ketaatan. yang dilaksanakan dalam tindakan, kemudian kalau ada permohonan dalam doa, hanya ada dua permohonan yang patut kita persembahkan kepada Hyang Widhi."
"Permohonan apakah itu, eyang?"
"Pertama adalah permohonan ampun kepada-Nya atas segala kesalahan dan dosa kita. Seperti juga rasa syukur dan terima kasih, permohonan ampun ini harus kita panjatkan setiap saat, tiada henti-hentinya. Dan seperti rasa terima kasih tadi, permohonan ampun inipun harus bukan omong kosong belaka. Permohonan ampun itu kosong dan palsu selama kita tidak membuktikannya dengan perbuatan nyata, yaitu dengan bertobat, berarti tidak melakukan kesalahan yang kita Serial Silat Tanah Jawa
16 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 4 mintakan ampun itu. Apa artinya mohon ampun untuk suatu kesalahan hari ini, besok kita ulangi lagi kesalahan itu, untuk dimintakan ampun lusa, dan demikian selanjutnya hari ini minta ampun, besok mengulang, hari ini minta ampun lagi, besok mengulang lagi" Hyang Widhi adalah Maha Pengampun , akan tetapi hanya dapat mengampuni orang yang minta ampun dengan benar-benar bertobat dan tidak mengulangi kesalahannya."
Parmadi mengangguk-angguk. "Saya mengerti dan bertekad untuk bertindak seperti yang eyang wejangkan. Kemudian, apakah permohonan yang kedua dalam doa kita kepada Yang Mahakuasa, eyang?"
"Yang kedua adalah mohon bimbingan,, Manusia adalah mahluk yang lemah terhadap godaan nafsu. Tanpa adanya bimbingan kekuasaan Hyang Widhi, kita tidak akan kuat dan mampu menanggulangi kekuasaan gelap. Tanpa adanya kekuasaan Hyang Widhi yang bekerja dalam diri kita, kita ini tiada lain hanya seonggok darah, daging yang penuh kotoran dan noda. Sesungguhnya, hanya bimbingan kekuasaan Yang Maha Kasih sajalah yang akan membuat kita mampu menjadi seorang manusia yang taat akan segala kehendak-Nya, seorang manusia yang benar-benar bertobat dan dalam tindakannya sehari-hari selalu tertuju kepada keluhuran asma-Nya (Nama-Nya). Dan permohonan bimbingan ini hanya akan dapat terlaksana kalau Hyang Widhi menghendaki, dan itulah sebabnya kita harus MENYERAH, dengan ikhlas dan tawakal, sepenuh iman. Mengertikah engkau, Parmadi?"
"Saya akan berusaha untuk mengerti, eyang."
"Nah, baiklah. Sekarang ceritakan apa yang terjadi di Kademangan Pakis."
"Eyang tentu sudah mengetahui bahwa adi Muryani diculik oleh Ki Demang Wiroboyo dan kaki tangannya, dibantu oleh Surobajul. Bahkan eyang sendiri yang telah menghindarkan Muryani dari bahaya dan eyang sendiri yang teiah mengusir kedua orang jahat itu. Mereka melarikan diri dan bertemu dengan warga Kademangan Pakis yang marah. Puluhan orang warga Pakis lalu mengeroyok mereka, membantu adi Muryani yang mengamuk. Karena mengingat akan kebaikan-kebaikan dan jasa Ki Demang Wiroboyo terhadap warga Pakis, saya lalu mencegah mereka membunuhnya dan membawanya pulang. Surobajul tewas dikeroyok banyak orang. Kemudian, hasil musyawarah yang diadakan warga Pakis, diambil keputusan bahwa Ki Demang Wiroboyo harus pergi meninggalkan dusun Pakis. Kini Ki Wiroboyo sekeluarga telah pergi dan untuk sementara dusun Pakis dipimpin oleh paman Ronggo Bangak."
"Hemm, baik sekali kalau begitu. Lalu kenapa engkau sepagi ini datang membawa buntalan itu?"
Serial Silat Tanah Jawa
17 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 4 "Eyang, karena Ki Wiroboyo telah pergi saya kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan.
Karena itu saya mengambil keputusan untuk meninggalkan Pakis dan mulai saat ini saya hendak mengabdi kepada eyang dan mengikuti eyang ke manapun eyang pergi. Saya mohon eyang sudi mengajarkan ilmu-ilmu kepada saya untuk bekal dalam kehidupan ini agar seperti eyang katakan tadi, saya dapat menjadi alat Yang Mahakuasa, menjadi alat yang berguna dan baik. Buntalan ini adalah milik saya, pakaian dan sisa uang pemberian Ki Wiroboyo selama ini."
Resi Tejo Wening tersenyum dan mengangguk-angguk. "Kebetulan sekali, Parmadi, karena memang aku sudah bermaksud untuk mengajakmu pergi dari sini. Sudah tiba saatnya aku meninggalkan tempat ini. Besok pagi-pagi adalah hari yang paling tepat bagi kita untuk berangkat meninggalkan tempat ini."
Parmadi merasa girang sekali. "Kalau begitu, perkenankan saya untuk pergi sebentar ke Pakis untuk berpamit kepada paman Ronggo Bangak, adi Muryani dan pen duduk dusun Pakis, eyang."
"Heh-heh, jadi engkau belum pamit kepada mereka?"
"Saya hendak mendapat kepastian dulu dari eyang. Setelah ada kepastian eyang dapat menerima saya mengabdi, baru saya akan pamit. Akan tetapi sebelum saya pergi ke sana, apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan untuk eyang di sini" Membuatkan sarapan pagi untuk eyang"
Atau mencucikan pakaian atau yang lain?"
Resi Tejo Wening tersenyum dan meng geleng kepalanya yang tertutup rambut putih. "Tidak ada yang harus kaukerjakan sekarang di sini, Parmadi. Pergilah ke dusun Pakis. Memang sepatutnya kalau engkau pamit dari mereka."
Dengan hati yang ringan dan gembira Parmadi meninggalkan hutan Penggik dan berlari menuju dusun Pakis. Akan tetapi setelah tiba di luar dusun itu, dia membayangkan perpisahannya dari dusun itu, dari para penduduknya dan terutama sekali dari Ki Ronggo Bangak dan lebih lagi dari Muryani! Dan hatinya tiba-tiba terasa berat. Awan kelabu menyelubungi hatinya. Sudah delapan tahun dia hidup di Pakis dan mereka semua begitu baik, terutama Ki Ronggo Bangak dan lebih lagi Muryani! Dia akan merasa kehilangan, terutama kehilangan Muryani yang sudah menempati sudut tertentu dalam hatinya. Dengan langkah berat dan muka tidak cerah lagi Parmadi lalu pergi menuju rumah Ki Ronggo Bangak. Biarpun Ki Ronggo Bangak telah diangkat oleh semua warga Pakis menjadi ketua atau lurah mereka, namun dia tidak mau menempati bekas gedung Ki Wiroboyo. Dia tetap bertempat tinggal di rumahnya sendiri dan rumah besar bekas kademangan itu hanya dipergunakan kalau sewaktu-waktu warga dusun mengadakan rapat pertemuan untuk memperbincangkan sesuatu.
Serial Silat Tanah Jawa
18 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 4 Muryani menyambut kedatangannya dengan wajah gembira. "Kebetulan sekali engkau datang, kakang Parmadi. Tadi aku sudah mencarimu ke mana-mana, akan tetapi tidak ada seorang pun mengetahui ke mana engkau pergi. Engkau meninggalkan rumah besar itu tanpa pamit kepada siapapun juga."
"Engkau mencariku, Mur?" tanya Parmadi yang sekarang sudah amat akrab dengan gadis itu sehingga kalau menyebut namanya disingkat begitu saja. Mereka seperti kakak dan adik saja. "Ada urusan apakah?"
"Duduklah dulu, nanti kita bicara," kata gadis itu. Mereka lalu duduk, saling berhadapan.
"Di mana paman Ronggo?"
"Ayah sedang menyelesaikan sebuah ukiran patung."
Parmadi yang sudah mengenal gurunya maklum bahwa kalau dia sedang memahat atau mengukir patung, Ki Ronggo Bangak amat asyik dan tidak mau diganggu siapapun, maka diapun tidak bertanya lagi tentang gurunya. "Nah, katakan, ada urusan apakah engkau mencari aku, Mur?"
Muryani menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata penuh selidik untuk sesaat.
Kemudian ia berkata, "Kakang Parmadi, selama ini aku masih belum sempat bertanya kepadamu tentang pertolonganmu kepadaku pagi hari itu ketika engkau melepaskan aku dari libatan jaring dan ikatan. Bagaimana engkau bisa melakukan pertolongan itu" Bukankah di sana ada Ki Wiroboyo dan warok raksasa" Apa sebetulnya yang terjadi" Dari dalam aku mendengar engkau berteriak menegur Ki Wiroboyo agar membebaskan aku dan aku mendengar mereka
mengancammu, akan tetapi kenapa tiba-tiba engkau dapat masuk menolongku" Kenapa mereka melarikan diri?"
Parmadi tidak ingin bercerita tentang Resi Tejo Wening. Gurunya itu tidak ingin dikenal orang lain, apalagi diketahui bahwa kakek itu yang menghalau dua orang penjahat itu dengan kesaktiannya. Maka diapun menjawab tanpa harus berbohong, "Sebelum mereka dapat mencelakai aku, mereka berdua agaknya mendengar sorak-sorai warga Pakis yang memang sudah siap dan marah. Mereka melarikan diri, akan tetapi di tengah hutan bertemu dengan warga Pakis yang segera mengeroyok mereka."
Muryani agaknya percaya akan keterangan ini. "Kang Parmadi, aku amat berterima kasih kepadamu. Engkau yang telah menolongku dari malapetaka besar. Sungguh engkau gagah berani, kakang. Engkau seorang diri berani menegur dan menentang Ki Wiroboyo yang dibantu warok raksasa itu. Engkau berani menempuh bahaya maut untuk menolongku!" pandang mata gadis itu menatap wajah Parmadi, penuh terima kasih.
Serial Silat Tanah Jawa
19 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 4 Wajah Parmadi menjadi agak kemerahan. Dia sama sekali tidak merasa telah menolong gadis itu. Bahkan nyawanya sendiri mungkin sudah melayang kalau saja Tuhan Yang Mahakuasa tidak menolongnya melalui kesaktian gurunya.
"Adi Muryani, jangan berterima kasih kepadaku. Aku hanya melakukan kewajibanku. Kita wajib berterima kasih kepada Yang Mahakuasa karena sesungguhnya Dialah yang telah menolong kita."
Muryani tertawa, tawanya bebas karena ia sudah tidak merasa canggung atau rikuh lagi terhadap Parmadi yang dianggapnya sebagai kakaknya sendiri. Tawanya merdu dan mulutnya terbuka sehingga tampak deretan giginya yang putih dan rapi, ujung lidahnya yang merah dan rongga mulutnya yang lebih mnerah lagi. Ketika mulutnya tertawa, matanya juga ikut tertawa dan bersinar-sinar.
"Hi-hi-hik, kalau engkau bicara seperti itu, engkau mirip dengan ayah. Engkau seperti kakek-kakek yang memberi wejangan saja!"
Parmadi juga tersenyum, agak canggung karena pada saat itu, hatinya tidak gembira melainkan agak bersedih dan teringat akan perpisahannya dari orang-orang yang dekat dengan hatinya.
"Mur, sebenarnya kedatanganku ini...."
"Untuk bertemu ayah, bukan" Sudah kukatakan, ayah sedang sibuk, tidak mau diganggu.
Bicara dengan aku juga tidak apa-apa, bukan" Atau, engkau tidak suka bercakap-cakap denganku"
Wajahmu tampak tidak bergembira!"
"Bukan begitu, adi Muryani. Kedatanganku ini". aku. hendak pamit dari engkau dan ayahmu...."
Muryani terbelalak. "Pamit" Engkau hendak ke mana?"
"Aku hendak pergi meninggalkan Pakis."
"Meninggalkan Pakis" Ke mana?"
Parmadi menggeleng kepala. "Aku sendiri belum tahu. Berkelana.... pokoknya meninggalkan dusun ini.... "
Muryani bangkit berdiri, matanya masih terbelalak. "Meninggalkan aku" Meninggalkan kami?"
"Benar. Aku akan meninggalkan kalian semua. Aku akan pergi sekarang juga."
"Tidak! Tidak... ahh, ayaaahhh
!" Muryani berlari memasuki rumahnya dan langsung memasuki ruangan di mana ayahnya asyik bekerja. Biasanya iapun tidak mau mengganggu ayahnya kalau sedang bekerja, akan tetapi sekali ini ia tidak perduli dan mendorong daun pintu memasuki ruangan itu.
Serial Silat Tanah Jawa
20 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 4 Ki Ronggo Bangak menunda pekerjaannya dan memandang kepada puterinya yang masuk tanpa dipanggil dan sikapnya seperti orang bingung.
"Eh, ada apa lagi ini, Muryani?" tanyanya.
"Wah, celaka, ayah.... celaka....!" kata gadis itu.
Biarpun Ki Ronggo Bangak seorang yang tenang, namun melihat sikap puterinya, dia menduga tentu telah terjadi sesuatu yang hebat maka gadis itu bersikap seperti itu. Apakah Ki Wiroboyo muncul lagi dan membuat keributan" Dia bangkit berdiri dan menatap wajah puterinya.
"Katakanlah dengan jelas. Apa yang terjadi?"
"Kakang Parmadi, ayah...."
"Parmadi" Ada apa dengan dia?"
"Dia.... dia hendak meninggalkan dusun ini.... meninggalkan kita! Ayah harus mencegah dan menahannya, ayah!"
Ki Ronggo Bangak menghela napas lega. "Ahhh, kiranya begitu. Kenapa kau bilang celaka dan kebingungan seperti kebakaran rumah" Di mana Parmadi sekarang"
"Di ruangan depan, ayah. Tahanlah dia, ayah, jangan biarkan dia pergi berkelana!"
Ki Ronggo Bangak tersenyum, mencatat sikap puterinya ini dalam hatinya. Sikap seperti ini jelas mengandung arti yang dalam, pikirnya. Agaknya dalam hati gadis remajanya ini sudah mulai tersulut api cinta! Akan tetapi di dalam hatinya, dia sama sekali tidak keberatan, bahkan senang sekali seandainya puterinya itu dapat berjodoh dengan Parmadi. Dia mengenal benar pemuda itu, tahu bahwa dia seorang pemuda yang berbudi baik dan bijaksana. Sambil menahan senyumnya dia melangkah keluar, lengannya dipegang oleh Muryani.
Parmadi segera bangkit berdiri ketika melihat Ki Ronggo Bangak muncul bersama Muryani.
Dia sendiri tadi terkejut melihat sikap Muryani ketika dia menceritakan niatnya untuk meninggalkan Pakis.
Gadis itu tampak denrikian kaget dan berlari memanggil ayatinya. Dan sekarang, dia melihat betapa sepasang mata yang indah itu basah! Jantungnya berdebar. Tidak salahkah dia" Benarkah begitu sayangnya gadis itu kepadanya seperti juga perasaan rasaan sayangnya yang mendalam terhadap gadis itu"
"Paman"." dia menyapa dengan sikap hormat.
"Parmadi, apa yang kudengar dari Mur yani tadi" Engkau hendak pergi meninggalkan Pakis.
Benarkah itu?"
"Benar sekali, paman."
Serial Silat Tanah Jawa
21 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 4
Seruling Gading Lanjutan Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan tetapi mengapa" Duduklah dan katakan alasanmu dengan jelas." Ki Ronggo Bangak duduk. Muryani duduk di sebelahnya dan Parmadi juga duduk berhadapan dengan mereka.
"Paman, sejak kecil saya ikut Ki Wiroboyo. Sekarang dia telah pergi. Saya kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Karena itu saya mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan Pakis."
"Akan tetapi engkau boleh tinggal di sini, kakang! Betul tidak, ayah" Engkau boleh tinggal di sini dan tentang pekerjaan, bukankah engkau dapat membantu pekerjaan ayah membuat patung dan perabotan rumah?"
Kembali Ki Ronggo Bangak mencatat ucapan puterinya itu dan dia semakin yakin bahwa telah tumbuh cinta kasih dalam hati puterinya terhadap pemuda yang menjadi muridnya itu.
"Ucapan Muryani itu benar, Parmadi. Tentu saja engkau boleh tinggal bersama kami dan tentang pekerjaan, engkau sudah pandai memahat dan mengukir, engkau dapat membantu membuat patung, arca, darn perabot rumah."
"Terima kasih, paman dan adi Muryani. Tawaran paman berdua berharga sekali. Akan tetapi hal ini sudah saya pertimbangkan dengan matang dan saya sudah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan Pakis dan merantau, berkelana."
"Hemm, agaknya keputusanmu sudah bulat. Kalau boleh kami mengetahui, apa yang menjadi dasar keputusanmu ini, Parmadi" Apa yang kau cari dalam perantauanmu itu?" Ki Ronggo Bangak bertanya dan Parmadi melihat betapa sepasang mata yang tadi basah kini meruntuhkan dua titik air mata yang segera diusap oleh jari-jari tangan yang mungil itu. Muryani menangis! Dan kenyataan inilah yang membuat dia terpukul. Akan tetapi dia menguatkan hatinya dan menjawab,
"Paman, yang menjadi dasar keputusan saya adalah keinginan saya untuk meluaskan pengetahuan dan mencari pengalaman untuk bekal niat saya memenuhi pesan terakhir ayah saya seperti yang saya ceritakan kepada paman dulu."
Ki Ronggo Bangak mengangguk-angguk. "Hemm, pesan agar engkau mengabdikan diri kepada Kanjeng Sultan Agung di Mataram itu?"
"Benar, paman. Kalau saya terus-menerus berada di dusun ini, saya merasa seperti seekor katak dalam tempurung, tidak melihat keadaan dunia luar dan apa yang dapat saya andalkan untuk memenuhi pesan mendiang ayah saya itu?"
Ki Ronggo Bangak kembali mengangguk-angguk. Dalam hatinya dia tidak dapat menyalahkan pemuda itu, bahkan membenarkan niatnya yang amat baik.
"Hemm, aku dapat melihat kebenaran alasanmu itu, Parmadi. Akan tetapi, ke manakah engkau hendak pergi merantau setelah meninggalkan dusun ini?"
Serial Silat Tanah Jawa
22 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seruling Gading
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Jilid 4 "Entahlah. Bagaimana nanti saja, paman. Saya percaya bahwa Yang Mahakuasa tentu akan memberi petunjuk dan membimbing saya."
"Bagus kalau engkau selalu mohon petunjuk dan bimbingan Yang Mahakuasa. Dengan cara demikian aku yakin engkau tidak akan menyeleweng dari jalan yang benar. Muryani, niat kakangmu ini baik sekali. Kita tidak dapat menahan atau mencegahnya."
Mendengar ini, habislah harapan Muryani dan kini ia menangis tanpa disembunyikan lagi. Ia menangis sesenggukan, air matanya bercucuran dan ia sibuk menggunakan ujung kain bajunya untuk mengusap mata dan hidungnya.
Melihat ini, Parmadi merasa terharu sekali. Inilah yang memberatkan hatinya. Meninggalkan Muryani! Dia merasa gadis itu seperti adiknya sendiri. Atau bahkan lebih dari itu. Dia tidak tahan untuk berdiam di situ lebih lama menghadapi Muryani yang menangis. Dia bangkit perlahan dari bangkunya.
"Paman Ronggo. Saya menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan yang sudah paman limpahkan kepada saya selama ini. Sekarang saya mohon diri karena saya harus berangkat sekarang. Saya masih akan berkunjung kepada para saudara lain untuk pamit. Selamat tinggal, paman Ronggo Bangak dan adi Muryani, saya mohon diri."
Ronggo Bangak bangkit berdiri. "Selamat jalan, Parmadi, dan baik-baiklah menjaga dirimu sendiri, semoga engkau berhasil. Muryani, ini kakangmu pamit!" katanya kepada Muryani. Akan tetapi gadis itu tetap duduk sambil menangis sesenggukan, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Ki Ronggo hanya menghela napas dan Parmadi juga tidak dapat berbuat apa-apa. Setelah memandang sejenak kepada Nltilryani, Parmadi lalu mengangguk dengan hormat kepada Ki Ronggo Bangak, lalu keluar dari rumah itu.
Parmadi berkunjung dari rumah ke rumah untuk berpamit dari para warga Pakis. Semua orang mengucapkan selamat jalan kepada pemuda yang mereka kenal dengan baik itu. Bahkan para pemuda yang tadinya merasa cemburu kepada Parmadi, bersikap ramah dan diam-diam merasa girang dengan kepergian pemuda itu meninggalkan Muryani. Setelah berpamit dari semua orang, Parmadi segera meninggalkan dusun Pakis.
(Bersamburg jilid V)
Serial Silat Tanah Jawa
23 Asmaraman S. Kho Ping Hoo
"SERULING GADING"
Jilid 5 (Lanjutan "Pecut Sakti Bajrakirana")
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid V Matahari sudah naik agak tinggi dan pagi
menjelang siang itu cerah sekali. Kecerahan
cerahan suasana itu mempengaruhi hati Parmadi,
membuat perasaannya yang tadi tertindih
kesedihan karena perpisahan itu menjadi agak
ringan. Dia membayangkan betapa dia akan hidup bersama gurunya, yang kini diyakini adalah seorang kakek yang sakti mandraguna. Juga dia merasa girang sekali bahwa tanpa disadarinya, dia telah memiliki pelindung gaib yang disebut Kekuasaan Ilahi oleh gurunya, yang bekerja tanpa disadarinya, seperti kekuasaan yang mendetakkan jantungnya, kekuasaan yang menumbuhkan semua anggauta tubuhtrya, rambut dan kukunya. Kekuasaan itu maha kuat dan tidak ada kekuatan lain di dunia ini yang mampu mengalahkannya!
Tiba-tiba dia menahan langkahnya. Dia sudah tiba di luar dusun Pakis dan di depan sana, di atas sebuah batu, dia melihat Muryani duduk dan memandangnya. Parmadi cepat maju menghampirinya dan dia melihat bahwa dara itu sudah tidak menangis lagi, akan tetapi sepasang matanya agak kemerahan dan kedua pipinya masih ada bekas air mata.
"Adi Muryani....! Engkau di sini...?"
Muryani melompat turun dari atas batu dan berdiri berhadapan dengan pemuda itu. "Kakang Parmadi, kau.... kau benar benar hendak pergi...?" kata gadis itu lirih, seperti berbisik.
Parmadi menelan ludah dan mengangguk. "Benar, Mur. Aku". aku harus pergi Aku ingin seperti engkau, memiliki kepandaian agar berguna bagi nusa dan bangsa."
Muryani menggigit bibirnya, agaknya menahan tangisnya. "Kau.... kau tidak akan kembali lagi ke sini....?"
"Tentu saja aku akan kembali kelak kalau sudah berhasil."
"Berapa lama....?"
"Entahlah. Mudah-mudahan tidak terlalu lama."
?"..kakang, engkau.... engkau tidak akan melupakan aku...?" bibir itu sudah gemetar menahan tangis.
"Ah, mana bisa aku melupakan engkau, adi Muryani" Sampai mati aku tidak akan melupakan engkau!"
"Kakang Parmadi...!!" entah siapa yang lebih dulu bergerak, namun tahu-tahu Parmadi sudah merangkul dan mendekap dara itu dan Muryani menangis terisak-isak di atas dada Parmadi.
Parmadi merasa terharu dan dia benar-benar merasakan betapa besar kasih sayangnya kepada gadis ini. Dia menggunakan lengan kiri untuk merangkul pundak dan tangan kanannya meng usap rambut yang hitam dan halus itu. Dia membiarkan gadis itu menangis beberapa lamanya sampai baju di dadanya menjadi basah oleh air mata. Akhirnya tangis itu mereda juga. Agaknya himpitan kedukaan pada dada Muryani menjadi ringan setelah perasaan itu dilarutkan melalui air matanya.
Dia lalu menarik tubuhnya dari rangkulan Parmadi dan merenggangkan diri. Mukanya basah, akan tetapi ia tidak menangis lagi. Bahkan ia berusaha untuk tersenyum. Senyum yang mengembang di bibirnya dengan mata yang masih merah dan muka yang basah itu bahkan menimbulkan pemandangan yang amat mengharukan hati Parmadi.
"Adi Muryani," katanya dengan suara menggetar, "maafkan aku kalau aku membuatmu bersedih..."
Muryani menggunakan ujung baju untuk mengusap air matanya yang membasahi mukanya. Ia tidak menangis lagi. Ia tersenyum. "Tidak, kakang. Engkau tidak bersalah. Aku mengerti mengapa engkau harus pergi merantau. Ayah tadi telah menyadarkan aku. Memang aku yang gembeng, cengeng! Aku yang minta maaf padamu karena tadi ketika engkau berpamit, aku diam saja. Karena itu aku mencegatmu di sini. Aku ingin mengucapkan selamat jalan, kakang." Gadis itu lalu mengambil patrem bersarung dari ikat pinggangnya dan berkata, "Patremku ini tadinya dirampas Ki Wiroboyo dan sudah kuambil kembali dari dalam kamar di rumahnya. Hanya ini milikku yang selama bertahuntahun kusayang dan selalu berdekatan denganku, kupakai latihan pencak silat dan menjadi kawan yang melindungiku. Sekarang aku serahkan padamu. Aku berikan patremku ini padamu, kakang."
"Untuk apa, adi Muryani" Aku tidak memerlukan senjata...."
"Bukan untuk senjata, melainkan untuk mengingatkanmu akan diriku, agar engkau tidak lupa kepadaku."
"Ahh.... Muryani....!" Parmadi terharu dan menerima patrem itu. "Akan kusimpan patremmu ini, seperti kusimpan bayanganmu dalam hatiku."
"Benarkah, kakang" Ah, lega hatiku sekarang. Jangan pergi dulu, biar aku yang lebih dulu meninggalkanmu pulang ke rumah. Kalau engkau yang meninggalkan aku, aku takut takkan dapat menahan tangisku lagi." Gadis itu memegang kedua tangan Parmadi. Dua pasang tangan itu saling genggam dan Parmadi dapat merasakan getaran lembut dari dua telapak tangan yang lunak lembut itu.
"Selamat jalan, kakang. Selamat berpisah dan jagalah dirimu baik-baik. Aku akan selalu menantimu, kakang. Aku pulang dulu sekarang!" gadis itu melepaskan kedua tangan yang memegangi tangan pemuda itu lalu berlari meninggalkan Parmadi menuju ke dusun Pakis.
Parmadi berdiri mengikuti bayangan gadis yang berlari itu. Tiga kali Muryani menoleh sampai kemudian bayangannya lenyap di antara pohon-pohon.
Parmadi menarik napas panjang. Dengan punggung tangannya dia menghapus dua titik air mata yang tergenang di pelupuk matanya. Kemudian setelah merasa yakin bahwa gadis itu telah pergi jauh, dia membalik dan berlari memasuki hutan menuju ke hutan Penggik.
Resi Tejo Wening menyambut kedatangan Parmadi dengan senyum. Ketika pemuda itu memberi hormat sembah kepadanya, kakek yang duduk di dalam gubuk itu, mengambil sebatang suling yang tadinya ditaruh di atas sebuah meja kayu yang kasar dan menyerahkannya kepada Parmadi.
"Terimalah seruling gading ini, Parmadi. Mulai sekarang, benda ini menjadi milikmu. Agaknya memang sudah ditakdirkan bahwa aku dalam usia tua ini harus mewariskan ilmu-ilmu yang pernah kupelajari kepadamu. Engkau memang berbakat untuk menguasai ilmu kanuragan dan engkau berjodoh denganku. Akan tetapi ingatlah bahwa seruling gading ini, juga ilmu-ilmu kanuragan, semua itu merupakan alat yang mati. Mereka itu dihidupkan oleh manusia dan tergantung kepada si manusia yang mempergunakan alat itu, apakah alat itu akan dipergunakan untuk kejahatan ataukah untuk kebaikan. Alat itu sendiri tidak ada yang jahat ataupun yang baik. Sebatang parang yang tajam menyeramkan akan menjadi alat yang baik dan bermanfaat sekali kalau dipergunakan manusia untuk menebang pohon, membelah kayu atau untuk pekerjaan lain. Sebaliknya, sebilah pisau dapur yang kecil yang tampaknya tidak berbahaya akan menjadi alat yang jahat sekali kalau dipergunakan manusia untuk menusuk dada orang lain. Bahkan benda yang namanya api itu menjadi benda berguna kalau dipakai untuk rnemasak atau menyalakan lampu, akan tetapi berubah menjadi benda jahat merusak kalau dipakai untuk membakar rumah orang lain. Seruling gading ini juga demikian. Dapat menjadi alat gamelan yang indah, dapat pula menjadi senjata pelindung diri yang ampuh, akan tetapi juga tentu saja dapat menjadi alat yang amat jahat kalau dipergunakan untuk membunuh orang. Mengertikah engkau?"
Parmadi menerima suling itu dengan takjub. Selama ini, belum pernah dia memegangnya walaupun seringkali dia melihatnya. Suling itu merupakan pusaka gurunya. Sebatang suling sepanjang lengannya yang amat indah, terbuat dari gading yang berwarna putih kuning mengkilap.
"Saya mengerti, eyang, dan saya berjanji akan mempergunakan pusaka ini sebagai alat yang baik dan berguna bagi nusa dan bangsa, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan untuk menentang kejahatan."
"Bagus! Akan tetapi ada satu hal yang perlu engkau ketahui benar tentang sikap menentang kejahatan itu. Kejahatan dan kebaikan adalah sebuah pendapat sebagai hasil dari pandangan seseorang, karena itu sangat bergantung kepada si pemandang. Biasanya, hal yang mendatangkan keuntungan lahir ataupun batin dianggap baik oleh si pemandang, sebaliknya hal yang mendatangkan kerugian lahir ataupun batin dianggap jahat atau buruk."
"Kalau begitu, baik dan buruk itu tidak ada, eyang?"
"Begitulah, seperti alat tadi, baik atau buruk tergantung dari si pemakai. Adapun yang dinamakan kebaikan atau kejahatan juga tergantung dari pendapat si pemandang. Akan tetapi, kulup, ada ukuran tentang baik dan buruk yang telah diterima oleh umum, yaitu oleh manusia yang beradab dan yang telah mengenal peraturan hukum. Ukuran itu ialah, perbuatan yang merugikan orang lain, adalah jahat dan perbuatan yang menguntungkan orang lain adalah baik.
Yang sifatnya merusak adalah iahat dan yang sifatnya membangun dan memelihara adalah baik.
Ukuran ini dapat kaupergunakan untuk menilai baik buruknya perbuatan seseorang.
Parmadi mengangguk-angguk, mencatat pelajaran penting ini dalam sanubarinya. "Saya akan selalu ingat akan nasihat eyang ini," katanya.
"Sekarang tentang menentang kejahatan seperti yang kaukatakan tadi, Parmadi. Seperti pernah kukatakan kepadamu, dua hal harus kaulakukan sepanjang hidupmu, kalau mungkin saat demi saat, yaitu INGAT dan WASPADA. Ingatlah selalu kepada Tuhan Yang Maha Kasih seolah sembahyang datan kendat (berdoa tiada hentinyal, kemudian waspadalah setiap saat akan ulah pikiran dan perbuatanmu Dalam menentang kejahatan, berhati-hatilah, jangan membiarkan si-aku dalam dirimu berkuasa. Si-aku adalah nafsu akal pikiran yang selalu mendorong kita untuk bertindak dengan pamrih mementingkan diri sendiri, demi kesenangan dan keuntungan diri sendiri. Dan engkau sudah berlatih dan merasakan bahwa bilamana si-aku dalam diri ini berkuasa, maka Kekuasuan Hyang Widhi tidak akan menuntun jiwa yang sudah tertutup oleh hawa nafsu. Kalau nafsu akal pikiran menguasai diri, maka akan dapat timbul amarah dan dendam. Kalau engkau hendak menentang kejahatan karena amarah dan dendam, maka tindakanmu dituntun oleh kebencian terhadap orang yang melakukan kejahatan itu, berarti bukan menentang kejahatannya, melainkan orangnya! Padahal yang harus ditentang adalah perbuatan jahat itu agar tidak terjadi, dan kalau engkau berhasil menyadarkan orangnya sehingga dia tidak jadi melakukan perbuatan jahat, atau dia dapat bertaubat dari kesalahannya, ini berarti bahwa engkau berhasil menentang kejahatan. Mengertikah engkau, Parmadi?"
"Saya berusaha untuk mengerti, eyang."
"Memang pelajaran tentang kehidupan ini sukar, kulup, akan tetapi penting. Kalau engkau ingin menjadi seorang manusia seutuhnya. Sekarang kita sudahi dahulu dan cobalah sekarang kautiup seruling gading itu dan biarkan jiwamu yang menuntunnya."
Agak berdebar rasa jantung Parmadi. Alangkah seringnya dia mempunyai keinginan untuk mencoba meniup dan memainkan suling itu, dan sekarang seruling gading itu bukan hanya dapat dia mainkan, bahkan telah menjadi miliknya! Akan tetapi dia segera dapat menghilangkan ketegangan ini, dan menyerah dengan seluruh pribadinya lahir batin kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Begitu dia menyerah seperti yang biasa dia latih bersama eyang gurunya, getaran gaib menggerakkan, kedua tangannya dan dia membawa suling itu ke bibirnya dan terdengarlah suara melengking-lengking dengan aneh dan juga indahnya. Parmadi merasakan ini semua, telinganya mendengar matanya melihat, panca indranya masih beker;a, pikirannya masih sadar, akan tetapi tiupan suling itu, tidak dikendalikan oleh hati akal pikirannya. Hati akal pikirannya hanya sadar sebagai penonton dan pendengar belaka. Segala macam daya rendah nafsu terbelenggu, tidak berdaya pada saat itu.
Resi Tejo Wening duduk bersila di atas bale-bale, kedua matanya terpejam dan dia seperti orang yang sedang bersamadhi, tubuhnya bergoyang-goyang perlahan sesuai dengan irama tiupan suling yang dilakukan Parmadi.
Setelah tiupan suling itu terhenti dengan sendirinya, Resi Tejo Wening mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Baik sekali, Parmadi. Tahukah engkau, Kekuasaan Ilahi sepenuhnya terkandung dalam getaran suara sulingmu tadi sehingga cukup kuat untuk mengusir roh kegelapan. Berlatihlah terus , dengan tekun dan sabar, kulup. Pohon yang ditanam dalam jiwamu telah mulai tumbuh dan kelak tentu akan rnenghasilkan buahnya."
Pada keesokan harinya, setelah matahari muncul dari balik puncak Lawu, Resi Tejo Wening dan Parmadi meninggalkan gubuk di hutan Penggik itu. Parmadi tidak bertanya ke mana gurunya pergi, hanya mengikuti dari belakang dan ternyata gurunya melangkah mendaki ke atas menuju puncak Argadumilah! Diam-diam Parmadi merasa heran. Ternyata kakek itu tidak meninggalkan Gunung Lawu, melainkan rnalah menuju ke puncak! Akan tetapi dia tetap tidak bertanya dan mengikutinya dari belakang. Dia hanya kagum sekali melihat dari belakang betapa kakek itu melangkah dengan tenang dan tegap, tak pernah ragu dan tidak pernah berhenti mengaso. Padahal perjalanan itu terus mendaki tebing yang curam dan tidak mudah dilalui. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa gurunya bukan orang biasa. Bahkan dia sendiri yang bertubuh kuat dan masih muda, merasa lelah sekali.
Jauh lewat tengah hari, menjelang sore, baru mereka tiba di puncak Argadumilah, di mana kurang lebih setengah tahun yang lalu Resi Tejo Wening bertemu dengan tiga orang datuk, yaitu Harya Baka Wulung tokoh Madura, Wiku Menak Koncar tokoh Blambangan, dan Kyai Sidhi Kawasa tokoh Banten. Dia mencegah mereka bertiga yang hendak membunuh puluhan orang anggauta perkumpulan pendekar Welut Ireng dan berhasil menghalau tiga orang datuk itu pergi meninggalkan puncak Argadumilah.
"Mulai hari ini, puncak ini menjad tempat tinggal kita, Parmadi. Tempat ini baik sekali untuk mengheningkan dan memurnikan batin dan baik sekali bagimu untuk berlatih ilmu kanuragan yang akan kuajarkan padamu. Akan tetapi ada sesuatu yang harus dibersihkan lebih dulu agar tidak mengganggu kita. Lihat di sana itu." Kakek, itu menunjuk ke kiri.
Parmadi melihat sebatang pohon randu alas berdiri tegak seperti raksasa. Pohon itu sudah tua sekali. Cabang-cabangnya seperti lengan-lengan panjang, ranting-ranting seperti jari-jarinya dan daun-daunnya seperti bulu yang lebat. Parmadi merasa bulu tengkuknya meremang. Dia hidup di dusun pegunungan di mana para pendudukya masih sangat dipengaruhi oleh tahyul dan seringkali dia mendengar cerita tentang siluman dan setan yang menjadi penghuni pohon-pohon besar dan tua seperti itu. Setiap ada halangan atau orang sakit, terutama kanak-kanak, tentu dihubungkan dengan pengaruh roh gelap atau yang disebut yang "mbaurekso" (menguasai) atau "danyang" yang marah karena merasa terganggu. Dalam benak Parmadi yang sudah terisi penuh dengan cerita semacam itu, melihat pohon randu alas tua besar itu tentu saja otomatis dia lalu membayangkan bahwa pohon setua dan sebesar itu pasti ada yang "menjaganya". Karena itu, biarpun hari masih terang, dia merasa ngeri juga.
"Eyang maksudkan.... randu alas itu?" tanyanya sambil menatap pohon itu dengan alis berkerut.
Kakek itu mengangguk. "Parmadi, pohon itu dihuni oleh roh penasaran. Kalau dia tidak diminta pergi dari sini, dia akan merupakan pengganggu kita. Oleh karena itu, sebaiknya engkau mempergunakan seruling gading untuk memaksa dia menjauhkan diri dari sini agar kita dapat hidup dengan tenang dan tenteram di puncak ini."
Melihat Parmadi meragu dan tampak: jerih, kakek itu tersenyum dan berkata, "Ragu-ragu bertindak berarti kelemahan. Hayolah kita mendekat." kakek itu melangkah dan Parmadi terpaksa juga melangkah maju. Setelah tiba di bawah pohon besar itu, Resi Tejo Wening memberi isyarat kepada Parmadi sambil menunjuk ke arah Seruling Gading yang terselip d pinggang pemuda itu.
Parmadi menenangkan hatinya yang tadi terguncang. Karena sudah agak matang dalam latihan, begitu pikirannya tidak berulah dan dia menyerah, hatinya menjadi tenang kembali.
Tangan kanannya mencabut Seruling Gading dan setelah dia tenggelam ke dalam penyerahan total, kedua tangannya membawa suling ke bibirnya dan di lain saat terdengarlah lengking suling itu, nadanya naik turun dengan indahnya namun juga aneh, bukan merupakan tembang tertentu yang dikenal umum pada waktu itu. Mula-mula lengking suara suling itu merendah dan semakin merendah, kemudian meninggi, terus meninggi sampai menjadi lengkingan yang nadanya tinggi dan kecil sekali. Lengkingan itu makin tinggi sampai akhirnya hampir tidak terdengar oleh telinga, namun terasa getarannya yang hebat.
Pohon randu alas itu mulai bergoyang-goyang seperti tertiup angin besar! Parmadi melihat ini dan mendengar suara daundaunnya berkerosakan. Jantungnya berdebar tegang dan tiba-tiba suara sulingnya menjadi kacau, getaran itu mengurang dan suara lengkingannya mulai terdengar lagi. Dia merasakan hal ini, maklum bahwa pikirannya bekerja sehingga menimbulkan rasa ngeri dan takut.
Dia tenggelam lagi dalam penyerahan dan suara sulingnya kembali meninggi dan getarannya semakin kuat. Pohon itu kini terguncang keras seperti tertiup angin topan.
Tiba-tiba saja terdengar suara keras! "Braakkkkk".!!" dan pohon besar tua itupun tumbang!
Pohon raksasa itu tumbang menuju ke arah Parmadi! Betapapun tenangnya, tentu saja Parmadi terkejut sekali dan hati akal pikirannya segera bekerja. Dia menjadi pucat dan takut, ngeri karena tidak melihat jalan untuk menghindar dari timpaan pohon raksasa yang tumbang itu!
"Tenanglah!" terdengar kata-kata di belakangnya dan tiba-tiba saja tubuhnya terangkat dan seperti diterbangkan dari tempat itu menjauhi pohon.
"Brakkkkk ".. bressss....!" suara gemuruh terdengar ketika pohon itu jatuh berdentum di atas tanah. Parmadi melihat dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia telah berdiri di atas tanah, agak jauh dari pohon itu dan Resi Tejo Wening berdiri di sampingnya.
Dengan muka pucat dan tubuh gemetar Parmadi menunjuk ke arah pohon yang tumbang itu.
"Eyang..., apakah.... dia....dia...."
"Dia sudah pergi, Parmadi. Tentu mencari tempat yang lebih cocok baginya. Dia tidak kuat menahan getaran suara Seruling Gading yang kautiup tadi. Dia sengaja merobohkan pohon untuk menunjukkan kemarahannya. Akan tetapi dia tidak berani bertahan dan melarikan diri. Tempat ini sekarang sudah bersih dari pengaruh kegelapan."
"Ah, berbahaya sekali! Untung eyang dapat menyelamatkan saya dengan cepat, Apakah eyang tadi membawa saya ter bang?" Parmadi memandang gurunya dengan kagum.
"Mana ada manusia dapat terbang" Manusia ditakdirkan hidup tanpa sayap, tidak dapat terbang seperti burung dan mahluk bersayap lainnya. Aku hanya membawamu melompat, dan engkaupun akan dapat menguasai ilmu itu asal engkau berlatih dengan tekun." Kakek itu menghampir pohon yang tumbang dan tertawa. "Kita harus bersyukur. Roh penasaran itu dalam amukannya bahkan membantu kita menumbangkan pohon besar ini. Kita memerlukan batangnya untuk membangun sebuah gubuk di sini."
Mereka lalu membangun sebuah gubuk sederhana namun cukup kokoh dan sejak hari itu Parmadi tinggal bersama Resi Tejo Wening di puncak Argadumilah. Latihan penyerahannya diperdalam sehingga Kekuasaan Hyang Widhi dapat manunggal dengan jiwanya setiap saat, membimbingnya dalam kehidupan ini. Di samping itu, Resi Tejo Wening juga mengajarkan dua macam gerakan ilmu bela diri. Pertama adalah gerakan silat tangan kosong yang disebut Aji Sunya Hasta (Ilmu Tangan Kosong) dan gerakan silat menggunakan seruling gading yang disebut Aji Sunyatmaka (Berjiwa Bebas). Gerakan kedua macam ilmu silat ini sederhana sekali tampaknya. Aji Sunya Hasta digerakkan dengan kedua tangan terbuka dan tampaknya seperti orang menari, akan tetapi dari kedua tapak tangan itu menyambar hawa yang dahsyat sehingga kalau Parmadi berlatih, tumbuh-tumbuhan di sekitarnya bergoyang-goyang seperti diterpa angin besar. Demikian pula Aji Sunyatmaka yang dimainkan dengan seruling gading itu, tampaknya seperti menari-nari akan tetapi kalau gerakan itu sampai kepada puncaknya, akan menjadi cepat dan suling itu hilang bentuknya berubah menjadi sinar kuning bergulung-gulung. Bukan saja sinar itu membawa tenaga yang dahsyat, akan tetapi juga dari gulungan sina kuning itu keluar suara melengking-lengking seolah suling itu ditiup dan dimainkan. Hebatnya, setelah Parmadi melatih diri dengan tekun, secara otomatis tubuhnya menjadi ringan dan dia dapat bergerak cepat dan dapat melompat seperti terbang saja. Selain itu juga dia setiap saat dapat mendatangkan tenaga yang amat kuat setiap kali dia butuhkan.
*** Siapakah sebenarnya Resi Tejo Wening itu" Untuk mengenal riwayat kakek tua renta yang sakti mandraguna ini, mari kita pergi ke daerah Banten dan menengok keadaan sekitar tigapuluh tahun yang lalu. Ketika itu, di Gunung Sanggabuwana terdapat seorang pertapa berusia kurang lebih empatpuluh tahun. Pria yang gentur tapa ini adalah Ki Tejo Wening. Sejak muda dia memang gemar bertapa dan memperdalam soal-soal kerohanian dan aji kedigdayaan. Karena tidak suka mencampuri urusan keduniaan, maka dia tidak pernah menikah dan hidup sebagai seorang pertapa yang selalu mengasingkan diri dari keramaian orang banyak. Akan tetapi, setiap kali melihat orang menderita, dia selalu mengulurkan tangan menolong, walaupun hal itu lebih banyak dia lakukan secara sembunyi dan diam-diam. Ada kalanya dia mengobati orang sakit, mengusir wabah yang mengamuk di dusun-dusun. Ada kalanya dia melindungi orang-orang lemah dari tindasan orang-orang yang menjadi hamba nafsu. Banyak sudah orang-orang sesat dia tundukkan dengan kesaktiannya dan disadarkan dengan kebijaksanaannya. Setelah ada orang mengenal namanya, maka orang memberinya julukan Resi Tejo Wening.
Pada suatu hari, perasaan hatinya mendorongnya untuk berkunjung ke rumah adik seperguruannya yang bernama Ki Tejo Budi yang berusia tigapuluh tahun dan tinggal di dusun Cihara yang berada di pantai Laut Kidul. Resi Tejo Wening memiliki dua orang adik seperguruan.
Yang seorang lagi bernama Ki Tejo Langit. Berusia tigapuluh lima tahun. Mereka bertiga merupakan murid-murid Kyai Sapujagad, seorang pertapa di pegunungan karang tepi Laut Kidul.
Selama bertahun-tahun, setelah tamat belajar, tiga orang kakak beradik seperguruan ini terkenal sebagai pendekar-pendekar Banten yang gagah perkasa dan menjadi penegak kebenaran dan keadilan.
Akan tetapi ketika dalam usia duapuluh lima tahun Ki Tejo BUdi, yang termuda di antara mereka, bertemu dengan seorang gadis dusun yang cantik manis bernama Lasmini lalu menikah dengan gadis itu, ketiga orang kakak beradik seperguruan itu berpisah dan mengambil jalan ma sing-masing. Murid pertama, Ki Tejo Wening, lalu berkelana dan hidup mengasingkan diri sebagai pertapa di gunung-gunung. Murid kedua, Ki Tejo Langit, masih dikenal sebagai seorang pendekar yang.terkenal di seluruh Banten. Adapun murid ketiga, Ki Tejo Budi, tinggal di dusun Cihara di pantai Laut Kidul bersama isteririya. Lima tahun telah lewat sejak mereka berpisah dan pada hari itu, Ki atau Resi Tejo Wening merasakan dorongan keinginannya untuk berkunjung ke dusun Cihara, menengok Ki Tejo Budi, adik seperguruannya yang sejak dulu amat disayangnya itu.
Demikianlah, pada suatu hari Ki Tejo Wening yang berusia empatpuluh tahun itu menuruni Gunung Sanggabuwana lalu menggunakan jalan air Kali Cimadur yang bersumber dari gunung itu.
Dia berperahu ke hilir. Perjalanan dengan perahu ini amat menyenangkan karena pemandangan amat indahnya dan juga tidak melelahkan seperti kalau melakukan perjalanan darat dan berjalan kaki. Beberapa hari kemudian dia tiba di muara di tepi laut. Dia mendarat dan melanjutkan perjalanannya ke barat, menuju dusun Cihara. Karena perjalanan menuju dusun itu melalui jalan liar yang amat sukar, maka mungkin pada besok pagi dia baru akan tiba di dusun Cihara.
Sementara itu, mari kita menengok keadaan keluarga Ki Tejo Budi di dusun Cihara. Dusun itu cukup ramai, merupakan dusun nelayan. Penduduknya mencari nafkah dengan jalan mencari ikan di lautan dan juga menggarap tanah agak jauh dari pantai. Ki Tejo Budi hidup bersama isterinya tercinta, Lasmini dan anak mereka yang diberi nama Sudrajat dan pada waktu itu sudah berusia empat tahun. Kehidupan mereka cukup berbahagia, tidak kekurangan sandang-pangan karena Ki Tejo Budi memiliki sebidang tanah dan memiliki pula perahu dan alat penangkap ikan di lautan.
Pada waktu itu, Ki Tejo Budi kedatangan seorang tamu yang membuat dia merasa gembira bukan main karena tamunya itu adalah Ki Tejo Langit, kakak seperguruannya yang kedua. Sudah lima tahu mereka berpisah dan setelah kini Ki Tej Langit datang berkunjung, mereka berdua setiap hari bercakap-cakap dengan gembira. Pada hari ketiga selama kunjungannya di rumah adik seperguruannya itu, Ki Tejo Langit duduk bercakap-cakap dengan Ki Tejo Budi di ruangan depan.
Ki Tejo Budi berwajah tampan dan bertubuh tinggi kurus, berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun. Adapun Ki Tejo Langit berusia sekitar empatpuluh tahun, wajahnya ganteng dan perawakannya tinggi besar, membuat dia tampak gagah sekali dan pantas menjadi seorang pendekar yang disegani.
Selagi mereka bercakap-cakap dan Ki Tejo langit menceritakan pengalamannya selama dia malang-melintang di daerah Banten sebagai seorang pendekar, masuklah seorang wanita berusia sekitar tigapu1uh tahun. Ayu manis merak ati, dengan tubuh yang sedang mekar, tampak menggairahkan dengan lekuk-lengkung yang sempurna. Seorang anak laki-laki berusia empat tahun mengikuti di belakangnya. Wanita itu adalah Lasmini, isteri Ki Tejo Budi dan anak itu Sudrajat, anak mereka. Lasmini memasuki ruangan membawa minuman dan makanan kecil.
"Wah, kunjunganku ini hanya merepotkan nimas Lasmini saja!" kata Ki Teja Langit sambil tertawa dan menatap wajah adik ipar yang ayu itu. Dan dia lalu membungkuk dan mengangkat Sudrajat, dipangkunya. Anak itu menurut saja karena dia. pun sudah terbiasa dengan hadirnya pria yang dia panggil pak-de (uwa) itu.
"Ah, kakang Tejo Langit, kami tidak repot apa-apa, kok. Sekedar minuman air teh dan makanan kecil. Silakan, kakang," jawab Lasmini sambil tersenyum manis.
"Wah, baru saja makan malam, sudah disuguhi lagi makanan. Terima kasih, nimas. Mari silakan duduk. Aku sedang menceritakan pengalamanku kepada adi Tejo Budi. Engkaupun boleh mendengarkan. Sudrajat juga agar kelak dia menjadi seorang pendekar besar pula, seperti pak denya. Ha-ha-ha!"
Lasmini memandang kepada suaminya dan dengan senang hati dan gembira Ki Tejo Budi memberi isyarat dengan anggukan kepala. Lasmini lalu duduk di sebelah suaminya, berhadapan dengan Ki Tejo Langit. Pendekar ini lalu bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang hebat, menolong orang, menentang penjahat, perkelahiannya menundukkan orang-orang sesat.
Lasmini memandang dengan kagum. Pria ini sungguh gagah perkasa dan pandai mencari penghasilan besar sehingga pakaiannya serba mewah, memakai cincin dan gelang emas, bahkan kemarin menawarkan banyak uang kepada Ki .Tejo Budi apabila adik seperguruan itu membutuhkan.
"Akan tetapi, kakang Tejo Langit," Lasmini berkata setelah pendekar itu berhenti bercerita.
"Kenapa sampai sekarang andika belum juga berkeluarga" Padahal, usia andika tentu lebih tua sedikit dibandingkan suamiku yang sudah mempunyai anak berusia empat tahun. Sudah sepatutnya kalau andika menikah dan saya yakin tentu banyak perawan-perawan yang cantik jelita yang akan senang sekali menjadi sterimu."
"Ha-ha, akupun sudah mengusulkan hal itu!" kata Ki Tejo Budi. "Agaknya kakang Tejo Langit hendak mengikuti jejak kakang Tejo Wening, tidak akan berdekatan dengan wanita untuk selamanya."
"Ah, sama sekali tidak, adi Tejo Budi!" Ki Tejo Langit membantah. "Aku tidak ingin menjadi seperti kakang Tejo Wening yang tidak mau berdekatan dengan wanita! Aku suka dan kagum kepada wanita, akan tetapi sampai sekarang aku belum bertemu dengan seorang wanita yang memenuhi selera hatiku. Engkau sungguh beruntung sekali, adi Tejo Budi, memperoleh seorang isteri yang cocok, cantik jelita, dan bijaksana." berkata demikian, Ki Tejo Langit memandang wajah adik iparnya. Lasmini menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan, akan tetapi bibirnya tersenyum. Wanita mana yang tidak akan mekar hatinya mendengar dirinya dipuji-puji, apalagi pemujinya itu seorang pria yang gagah perkasa"
Setelah berhenti bercakap-cakap, mereka memasuki kamar masing-masing. Ki Tejo Budi masuk kamarnya bersama anak isterinya sedangkan Ki Tejo Langit memasuki sebuah kamar di bagian belakang yang disediakan untuknya. Tak lama kemudian rumah itu sepi dan gelap, hanya sebuah lampu minyak yang tergantung di ruangan tengah saja yang dinyalakan.
Malam itu hawanya dingin sekali. Bulan tigaperempat mengambang di angkasa, cahayanya, menembus kegelapan malam sehingga cuaca menjadi remang-remang.
Lasmini menggigil. Ia sudah berselimut, namun masih menggigil. Ia menoleh pada suami dan anaknya. Mereka sudah tidur pulas. Ia sendiri tidak dapat tidur dan merasa gelisah. Bukan hanya hawa dingin yang membuatnya menggigil, melainkan bayangan wajah yang gagah dengan sepasang mata yang bersinar-sinar itu. Wajah Ki Tejo Langit. Tadi ketika hendak berpisah, Ki Tejo Langit menatap wajahnya. Sepasang matanya bersinar-sinar, bibirnya tersenyum. Pandang mata dan senyum itu! Jelas baginya mengandung sesuatu, mengandung rayuan, mengandung kekaguman, mengandung sanjungan dan ajakan! Dan hatinya ini".mengapa begini terguncang" Mengapa ada daya tarik yang luar biasa sekali menyeret hatinya, membuatnya rindu kepada pria itu, mendatangkan keinginan kuat dalam hatinya untuk bertemu" Apa artinya semua ini" Ia menoleh dan memandang wajah suaminya dalam keremangan kamar itu. Kesadarannya membisikkan bahwa perasaan hatinya itu tidak benar! Akan tetapi rangsangan itu begitu mendesaknya. Ia harus melawannya. Tidak! Tidak boleh ini, teriak hatinya. Akan tetapi, daya tarik itu terlampau kuat. Ia merasa telah dikuasai oleh kekuatan yang tak mungkin dilawannya. Seperti dalam mimpi, ia turun perlahan-lahan dari atas pembaringan. Dengan hati-hati ia melangkah ke pintu, membuka daun pintu dengar hati-hati, keluar dari kamar dan menutupkan daun pintunya kembali. Lalu, dengan jantung berdebar keras karena kesadarannya berusaha melawan gairah yang berkobar itu, ia melangkah perlahan ke arah belakang!
Ki Tejo Langit telah berdiri di depan kamarnya. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang.
Lasmini berusaha memperkuat perlawanannya dan hendak kembali ke kamarnya, akan tetapi ketika lengan yang kokoh kuat itu merangkul pundaknya dengan sentuhan lembut sekali, tubuh Lasmini menggeliat dan terkulai lemas dalam rangkulan. Ia pun pasrah saja ketika dituntun ke dalam kamar, memandang bagaikan kehilangan semangat ketika Ki Tejo Langit rnenutup daun pintu dan memalangnya dari dalam.
Kemudian semua itupun terjadi. Lasmini merasa bagaikan mimpi. Bahu itu demikian kokoh kuat, sentuhan jari tangan itu demikian lembut, belaian itu demikian mesra dan penuh kasih sayang. Ia menggelinjang, terbuai dan membiarkan dirinya hanyut, memejamkan mata dan merasa seperti melayang-layang.
Menjelang fajar Ki Tejo Budi terbangun dari tidurnya. Dia tidak melihat Lasrnini.
Disangkanya Lasmini tentu bangun pagi-pagi sekali untuk menyediakan sarapan pagi untuk dia dan tamunya. Lasrnini memang rajin sekali. Isteri yang amat baik dan setia. Dia turun dari pembaringan, melangkah ke pintu yang tidak terpalang lagi, membukanya dan melangkah keluar, menuju ke belakang, maksudnya hendak pergi ke bilik mandi yang berada di dekat dapur. Ketika melewati kamar Ki Tejo Langit, dia tersentak dan menghentikan langkahnya, matanya terbelalak dan dia mendekat pintu, memiringkan kepala mendekatkan telinganya pada daun pintu. Dia mendengar isak tangis lirih, isak suara wanita, dan diselingi suara pria yang nadanya menghibur.
Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata mencorong dan gigi dikatupkan kuat-kuat, kedua tangan mengepal. Akan tetapi Ki Tejo Budi sadar kembali dan dia menarik napas panjang berulang kali sehingga hatinya menjadi tenang kembali. Diangkatnya tangannya lalu diketuknya daun pintu itu. Suara isak dan suara pria menghibur itu terhenti tiba-tiba setelah terdengar ketukan.
"Tok-tok-tok! Kakang Tejo Langit, dengan siapakah andika berada dalam kamar" Lasmini, engkaukah itu" Kalian bukalah pintu ini, aku tidak ingin merusaknya!"
Daun pintu terbuka dan Lasmini keluar berlari dengan pakaian kusut dan rambul terurai sambil menutupi muka dengan kedua tangan dan sesenggukan perlahan. Ki Tejo Budi melihat kakak seperguruannya telah berdiri di belakang daun pintu yang terbuka, sikapnya menantang.
"Semua telah terjadi, adi Tejo Budi. Tak perlu ada maaf dan penyesalan. Aku berani bertanggung jawab atas perbuatanku!" kata Ki Tejo langit.
"Baik, kakang Tejo Langit. Kita hadapi persoalan sebagai laki-laki jantan. Setelah matahari terbit, temuilah aku di pantai pasir putih di Karang Kemukus. Andika sudah kubawa ke sana kemarin. Di sana sepi orang, kita dapat bicara!" setelah berkata demikian Ki Tejo Budi memutar tubuhnya hendak meninggalkan kakak seperguruannya.
"Adi Tejo Budi. Sudah kukatakan, aku yang bertanggung jawab. Jangan ganggu Lasmini!" kata Ki Tejo Langit.
Tanpa menoleh Ki Tejo Budi menjawab, "Aku bukan laki-laki pengganggu wanita!" Dia lalu menuju ke ruangan dalam hendak kembali ke kamarnya. Akan tetapi dia melihat Lasmini duduk di ruangan dalam, menangis tanpa suara di atas sebuah bangku.
Ki Tejo Budi mengambil tempat duduk di depan isterinya. Kembali dia menghela napas panjang tiga kali untuk menenangkan hatinya yang bergolak.
"Sudah, tidak ada gunanya menangis lagi dan jawablah pertanyaanku dengan sejujurnya.
Apakah dia memperkosamu?"
Lasmini masih menutupi mukanya dengan kedua tangan dan mendengar pertanyaan itu, ia menggeleng kepala.
"Kalau dia tidak memperkosamu, bagaimana engkau bisa berada di dalam kamarnya" Apakah kalian siang tadi sudah saling berjanji untuk bertemu di dalam kamarnya?"
Kembali Lasmini menggeleng kepala dan terisak lirih.
"Kalau begitu, bagaimana engkau bisa berada di sana" Jawablah sejujurnya, Lasmini, demi untuk menyelesaikan urusan ini dan..... demi anakmu, anak kita Sudrajat yang tak berdosa.
Ceritakanlah!"
Lasmini menurunkan tangannya. Wajahnya pucat, matanya membengkak merah oleh tangis dan ia berusaha sekuatnya untuk menghentikan isaknya lalu menjawab lirih, "Aku tidak tahu....
semua seperti dalam mimpi.... tahu-tahu aku meninggalkan kamar dan menuju ke kamarnya. Dan dia".. dia mengajakku masuk.... dan aku". aku seperti kehilangan akal". aku tidak berdaya untuk menolak.... semua seperti dalam mimpi...." Ia menangis lagi, lirih.
Ki Tejo Budi mengerutkan alisnya. "Apakah engkau?" mencintanya....?"
Lasmini menggeleng kepala akan tetapi mulutnya berkata, ".... aku tidak tahu".. aku".. tidak tahu". ah, kakang, aku telah bersalah besar padamu. Bunuhlah saja aku, kakang."
"Hemm, engkau hendak melarikan diri dalam kematian, hendak melepaskan tanggung jawab"
Engkau hendak membiarkan anakmu hidup merana tanpa ibu" Engkau akan menambah dosa dengan dosa yang lebih besar lagi?"
Lasmini menangis lagi. "Tidak...! Tidak ....! Ah, anakku".!" ia bangkit dan lari memasuki kamarnya, membanting diri di atas pembaringan dan merangkul, mendekap Sudrajat sambil menahan tangis. K Tejo Budi menghampiri kamar, melongok ke dalam, melihat keadaan Lasmini dan diapun menggeleng-geleng kepala sambil menghela napas panjang.
Sampai lama Ki Tejo Budi duduk bersila di atas bale bambu yang berada di ruangan tengah.
Setelah cuaca mulai terang dia turun dari bale-bale menuju ke bilik mandi. Ketika melewati kamar Ki Tejo Langit, kamar itu telah kosong. Ki Tejo Langit telah pergi. Ki Tejo Budi sama sekali tidak khawatir kalau kakak seperguruannya itu melarikan diri. Dia mengenal siapa kakak seperguruannya itu dan dia merasa yakin bahwa kakak sepergurutnnya itu pasti akan menemui dia di pasir putih Karang Kemukus itu. Dia membersihkan diri, berganti pakaian lalu berangkat meninggalkan rumah. Dia tidak membawa senjata apapun. Gurunya, guru mereka bertiga memang mengajarkan ilmu bela diri tanpa senjata, hanya menggunakan anggauta badan, dan kalau perlu, segala macam benda bisa saja menjadi senjata yang ampuh bagi mereka. Dengan hati mantap dan langkah tegap Ki Tejo Budi meninggalkan dusun Cihara menuju ke seatan, ke tepi Laut Kidul. Kemudian, setelah tiba di pantai, dia menyusuri tee laut menuju ke timur, ke Karang Kemuk di mana terdapat pantai berpasir puti yang indah dan tempat ini tak pernah dikunjungi nelayan karena ombak di pantai ini terlalu besar sehingga tidak mungkin berperahu dan mencari ikan di daerah itu.
Matahari telah muncul dari balik buku karang di timur dan sinar matahari pagi yang lembut membuat air laut menyilangkan karena air memantulkan cahaya matahari. Ketika Ki Tejo Budi sudah tiba situ dia melihat Ki Tejo Langit sudah duduk di atas sebuah batu karang. Ketika melihat adik seperguruannya datang, dia pun bangkit dan menyambut dan kini keduanya berdiri berhadapan di atas pantai pasir putih. Tidak ada orang lain di situ. Hanya gelombang laut yang bergulung-gulung menjadi saksi pertemuan yang menegangkan ini.
"Nah, adi Tejo Budi. Sekarang kita sudah saling berhadapan, jantan sama jantan. Seperti kukatakan tadi, aku siap untuk mempertanggungjawabkan perbuatanku semalam!" kata Ki Tejo Langit.
"Kakang Tejo Langit. Apa isi pertanggungan jawabmu itu?" tanya Ki Tejo Budi, suaranya tenang saja tidak mengandung kemarahan. Biarpun marah dan penasaran namun dia dapat menyimpannya dalam hari dan tidak tampak pada muka dan sikapnya.
"Terserah kepadamu, adi Tejo Budi. Apapun yang kaukehendaki, aku siap. Kalau Engkau hendak melepas Lasmini, aku akan menjadikan ia isteriku dan Sudrajat menjadi anakku. Aku akan membawa mereka pergi dari Cihara. Akan tetapi kalau engkau menghendaki lain, membuat perhitungan dengan mengadu nyawa, akupun siap. Terserah apa yang kaukehendaki sekarang.
halus boleh, kasarpun tidak akan kuhindari!"
"Engkau hendak menjadikan Lasmini sebagai isterimu" Hemm, apa engkau yakin bahwa ia akan mau menjadi isterimu?"
"Aku yakin ia pasti mau karena yang terjadi semalam membuktikan bahwa kami saling mencinta."
"Saling mencinta?" Ki Tejo Budi mendengus. "Engkau licik dan curang, kakang Tejo Langit.
Engkau semalam telah mempergunakan aji pelet pengasihan sehingga Lasmini tidak berdaya. Apa kaukira aku tidak tahu?"
"Tidak kusangkal! Memang aku menggunakan Aji Pengasihan Sambung Sih! Dan engkaupun mengenal aji itu karena kita pernah sama-sama mempelajarinya! Engkau tahu benar bahwa aji itu tidak akan mempan terhadap seorang wanita kalau wanit itu tidak mempunyai perasaan suka atau tidak tertarik kepada kita! Aji itu hanya sebagai penyambung kasih yang terpendam, membuka rasa kasih itu sehingga wanita itu berani menuruti dorongan kasihnya. Nah, kalau aku berhasil dengan Aji Pengasihan Sambung Sih terhadap Lasmini berarti bahwa diam-diam Lasmini mencintaku!"
"Hemm, aku yakin ia tidak akan sudi menuruti kehendakmu yang mesum dan kotor itu kalau engkau tidak mempergunakan aji pengasihan itu. Kakang Tejo Langit! Engkau telah menodai isteriku, berarti engkau telah menghinaku, menginjak-injak kehormatanku. Sudah tentu saja aku tidak dapat tinggal diam saja!"
''Hemm, begitukah" Lalu apa kehendakmu sekarang?"
"Kita selesaikan secara jantan. Engkau atau aku yang akan menggeletak tanpa nyawa di pesisir ini!" kata Ki Tejo Budi.
Mendengar ini, Ki Tejo Langit segera cancut tali wondo, mengikatkan ujung sarungnya, menggulung lengan bajunya, bersiap-siap untuk bertanding. "Babo-babo, adi Tejo Budi! Kalau itu yang kaukehendaki, silakan! Kita sama-sama murid Kyai Sapujagad, mari kita lihat siapa di antara kita yang lebih banyak menyerap ilmu dari guru kita. Silakan mulai!"
Kedua orang pendekar itu lalu siap untuk saling serang. Mereka membuat gerakan pembukaan yang sama, keduanya menekuk kaki dan tangan dengan sikap seperti seekor kera atau monyet besar sedang berlaga. Ternyata keduanya telah siap untuk bergerak dengan ilmu silat Wanara Sakti (Kera Sakti) yang merupakan ilmu pencak aliran gurunya.
Tiba-tiba Ki Tejo Budi mengeluarkan pekik yang dahsyat. Akan tetapi Ki Tejo Langit mengeluarkan pekik yang sama. Dua suara gemuruh itu menjadi satu dan menggetarkan pesisir itu.
Itulah Aji Guruh Bumi, aji kedigdayaan dahsyat yang terkandung dalam pekik itu. Teriakan ini saja sudah merupakan serangan dahsyat dan lawan yang kurang kuat, akan dapat digetarkan jantungnya sehingga roboh hanya oleh teriakan ini saja! Keduanya terhuyung ke belakang beberapa langkah ketika saling menerima serangan getaran suara itu. Ternyata kekuatan tenaga sakti mereka yang terkandung dalam pekik dahsyat itu berimbang.
Melihat bahwa dengan Aji Guruh Bumi dia tidak dapat mengalahkan kakak seperguruannya, Ki Tejo Budi lalu menyerang dengan pukulan dan tendangan dalam ilmu silat Wanara Sakti. Ki Tejo Langit menyambut dengan ilmu silat yang sama sehingga terjadilah perkelahian yang seru.
Akan tetapi karena keduanya sudah menguasai ilmu silat yang sama itu dengan hampir sempurna, maka dengan jurus apapun mereka diserang, masing-masing dapat menghindar dengan baik.
Keduanya mengerahkan tenaga dan kecepatan gerakan sehingga bentuk tubuh kedua orang itu lenyap. Yang tampak hanya dua bayangan saja yang saling desak, saling serang dan saling belit.
Akan tetapi, bagi mereka perkelahian itu seperti latihan saja karena keduanya sudah hafal benar akan gerakan lawan.
"Hyaaattt....!" Ki Tejo Langit menyerang dengan dahsyat. Kedua tangannya me nyambar dari atas ke arah kedua pelipis lawan. Namun Ki Tejo Budi sudah siap.
"Haiiittt !" diapun berseru dan menggerakkan kedua tangan sambil mengerahkan tenaga sakti untuk menangkis.
"Dessss....!" dua pasang lengan untuk kesekian kalinya beradu, akan tetapi pertemuan sekali ini amat kuatnya sehingga keduanya terdorong mundur dan keduanya agak meringis karena merasa betapa kedua lengan mereka nyeri sekali. Seluruh lengan mereka, dari jari sampai ke siku, sudah gosong-gosong karena seringnya beradu.
Perkelahian itu berjalan seimbang dan seru sekali. Saling terjang, saling tampar, saling jotos dan saling cengkeram, diseling mencuatnya kaki yang saling tendang. Akan tetapi semua serangan kedua pihak dapat dihindarkan lawan. Hampir dua jam mereka sudah bertanding. Tubuh mereka sudah basah oleh keringat, napas mereka mulai terengah-engah, akan tetapi belum terlihat siapa yang akan keluar sebagai pe menang.
Keduanya sudah marah dan penasaran sekali. Kedua orang kakak beradik itu masih mempunyai sebuah aji pamungkas. Nama ilmu ini adalah Aji Margo Pati (Jalan Maut), sebuah aji pukulan jarak jauh yang amat dahsyat. Siapapun yang menjadi lawan, kalau dia tidak memiliki tenaga sakti yang jauh lebih kuat daripada si penyerang, tentu akan tewas dihantam Aji Margo Pati ini! Akan tetapi aji ini pun amat berbahaya bagi si penyerang sendiri. Kalau lawan yang diserang memiliki tenaga yang lebih besar, maka tenaga pukulannya akan membalik dan besar sekali kemungkirannya si penyerang akan tewas sendiri! Mereka berdua memiliki kekuatan tenaga sakti yang berimbang. Kalau mereka mengeluarkan aji pamungkas itu, besar bahayanya keduanya akan tewas sampyuh! Akan tetapi agaknya kedua orang itu sudah nekat dalam nafsu mereka untuk saling bunuh. Setelah kedua lengan mereka kembali beradu yang mengakibatkan mereka terhuyung mundur sehingga mereka kini berdiri berhadapan dalam jarak empat meter, keduanya lalu membuat gerakan menyembah, lalu mengembangkan kedua lengan ke atas, diturunkan perlahan dalam bentuk sembah lagi, kemudian kedua tangan turun ke depan pusar dengan jari tangan terbuka. Inilah gerakan pembukaan dari Aji Margo Pati yang agaknya akan mereka pergunakan untuk saling menyerang! Kemudian dengan gerakan lambat, kedua tangan yang terbuka itu dari depan pusar mendorong ke depan dan dari mulut dua orang itu terlontar teriakan nyaring.
"Aji Margo Pati.... !!"
"Jagad Dewa Bathara....!" Pada saat itu berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Ki Tejo Wening yang berpakaian serba putih itu sudah berdiri di antara kedua orang yang mengadu Aji Margo Pati itu! Ki Tejo Wening mengembangkan kedua lengannya, yang kiri menyambut pukulan Kk Tejo Budi, yang kanan menyambut pukulan. Ki Tejo Langit, kedua telapak tangannya terbuka.
"Blarrrrr....!" hebat sekali pertemuan tenaga sakti yang disambut oleh Ki Tejo Wening itu. Ki Tejo Budi dan Ki Tejo Langit merasa tenaga pukulan mereka seperti bertemu dengan air dan melihat bahwa kakak seperguruan pertama mereka yang berdiri di antara mereka dan menyambut kedua pukulan, mereka cepat melompat ke samping dan memandang dengan mata terbelalak. Dua orang itu terhindar dari malapetaka karena tenaga sakti Margo Pati mereka bertemu dengan tenaga sakti lunak yang dikuasai Tejo Wening sehingga seolah tenaga pukulan mereka tenggelam, Akan tetapi mereka melihat kakak seperguruan pertama mereka berdiri limbung dan akan roboh.
Cepat kedua orang itu melompat dan merangkul tubuh Ki Tejo Wening. Mereka berdua membantu Ki Tejo Wening untuk duduk bersila di atas pusir. Tanpa diminta Ka Tejo Budi duduk bersila menghadap Ki Tejo Wening dan Ki Tejo Langit duduk bersila di belakang kakak seperguruannya itu. Kedua orang ini lalu menempelkan telapak tangan mereka ke dada dan punggung Ki Tejo Wening dan keduanya mengerahkan tenaga sakti, disalurkan ke tubuh kakak seperguruan itu untuk membantunya memulihkan keadaan dalam tubuh yang tadi terguncang hebat. Hlawa yang hangat mengalir lewat telapak tangan kedua orang itu, memasuki tubuh Ki Tejo Wening. Perlahan-lahan, pernapasannya yang tadinya sesak menjadi lega, wajahnya yang pucat menjadi kemerahan lagi.
"Sudah cukup," katanya dan kedua orang adik seperguruannya itu melepaskan tempelan tangan mereka dari dada dan punggung. Mereka bertiga duduk bersila di atas pasir putih, berhadapan dan saling pandang. Ki Tejo Wening, biarpun hanya kakak seperguruan, namun memiliki tingkat kepandaian yang paling tinggi dan wataknya yang bijaksana mendatangkan wibawa yang kuat dan kedua adik seperguruannya itu menganggapnya sebagai pengganti guru mereka dan keduanya merasa segan dan hormat sekali kepadanya. Kini mereka berdua duduk sambil menundukkan muka, maklum bahwa mereka tentu akan mendapat teguran dari kakak seperguruan mereka itu.
"Adi Tejo Langit dan Tejo Budi, roh-roh sesat apakah yang memasuki batin kalian sehingga kalian berkelahi dan berusaha keras untuk saling membunuh" Lupakah kalian bahwa kalian adalah kakak beradik seperguruan yang seharusnya saling membela dan melindungi, bukan saling bunuh?"
Kedua orang itu saling pandang, lalu menunduk kembali. Tejo Budi menghela napas panjang lalu berkata, "Kakang Tejo Weriing, kalau aku menceritakan persoalan antara kakang Tejo Langit dan aku, bukan berarti bahwa aku akan mengadu dan tumbak-cucukan (suka mengadukan keburukan orang lain)."
"Tidak, adi Tejo Budi, asal yang kauceritakan itu yang sebenarnya. Ataukah engkau yang akan bercerita lebih dulu, adi Tejo Langit?" tanya Ki Tejo Wening sambil memandang kepada adik seperguruannya itu.
Ki Tejo Langit tetap menundukkan mukanya dan berkata, "Biarlah adi Tejo Budi yang bercerita lebih dulu."
"Nah, adi Tejo Budi. Sekarang berceritalah dengan sejujurnya agar aku dapat mempertimbangkan urusan di antara kalian, jangan ragu karena bukankah kita bertiga adalah saudara-saudara sendiri?"
Ki Tejo Budi menghela napas ganjang lnlu berkata, "Begini, kakang Tejo Wening. Tiga hari yang lalu kakang Tejo Langit datang berkunjung dan menjadi tamu kami sekeluarga. Aku, isteriku Lasmini dan anak kami Sudrajat menerimanya dengan hati dan tangan terbuka. Dia kami beri sebuah kamar untuk tidur selama dia menjadi tamu kami. Akan tetapi malam tadi"." Ki Tejo Budi meragu, merasa sukar untuk melanjutkan ceritanya yang amat menyinggung kehormatannya itu.
"Tadi malam ada apa, adi Tejo Budi?"
"Malam tadi.... kakang Tejo Langit mempergunakan pelet aji pengasihan, mengguna-gunai Lasmini dan menjinai isteriku itu dalam kamarnya.... "
Ki Tejo Wening mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Ki Tejo Langit. "Adi Tejo Langit!
Benarkah apa yang diceritakan oleh adi Tejo Budi itu?"
Ki Tejo Langit mengangkat mukanya dan memandang kepada kakak seperguruannya dengan tabah. "Hanya benar sebagian kakang."
"Benar sebagian bagaimana" Hayo ceritakan apa yang sebenarnya terjadi!"
"Begini, kakang Tejo Wening. Memang benar aku menjadi tamu adi Tejo Budi, dan tinggal di rumahnya selama tiga hari. Selama itu aku melihat betapa pandang mata Lasmini, isterinya, yang ditujukan kepadaku mengandung bunga api asmara. Terus terang saja, aku sendiri baru sekali ini jatuh hati kepada seorang wanita. Aku mencinta Lasmini. Karena itu aku malam tadi menggunakan Aji Pengasihan Sambung Sih, untuk menguji benar tidaknya sangkaanku terhadap Lasmini itu. Kalau dia tidak mencintaku, tentu ajiku itu tidak akan mempan. Engkau juga tahu akan hal itu, kakang. Nah, aku dan Lasmini memang melakukan hubungan, akan tetapi atas dasar saling mencinta. Aku mengakui hal ini terus terang kepada adi Tejo Budi. Kalau dia mau melepaskan Lasmini, aku akan mengambilnya sebagai isteriku dan Sudrajat akan kujadikan anakku.
Akan tetapi adi Tejo Budi memilih mengadu nyawa denganku seperti yang kau lihat tadi."
Ki Tejo Wening menoleh kepada Ki h'ejo Budi. "Adi Tejo Budi, benarkah yang diceritakan adi Tejo Langit tadi?"
"Benar, kakang. Akan tetapi aku merasa harga diriku diinjak-injak dan kehormatanku dihina oleh kakang Tejo Langit. Oleh karena itu aku menantangnya untuk menyelesaikan urusan ini dengan mengadu hyawa."
Ki Tejo Wening menarik napas panjang dan memandang kepada kedua orang adik seperguruannya itu bergantian. Kemudian dia berkata, suaranya lembut namun berwibawa, "Adikku berdua, sekarang dengarlah baik-baik. Adi Tejo Langit, engkau telah merusak pagar ayu. Engkau bersalah karena engkau tidak mampu menguasai nafsumu sendiri sehingga engkau tega mengganggu adik iparmu sendiri!"
Ki Tejo Langit menunduk dan berkata lirih, "Aku telah khilaf, kakang."
"Betapapun juga, hal itu telah terjadf Adi Tejo Budi, bagaimanapun, kesalahan itu bukan dilakukan oleh adi Tejo Langit sendiri. Isterimu Lasmini itu juga bersalah. Kesetiaannya kepadamu goyah karena dia tertarik kepada pria lain. Seandainya tidak goyah, tentu dia tidak akan mempan dipengaruhi Aji Pengasihan Sambung Sih. Dan engkau sendiri telah bersikap terburu nafsu, mengajak adi Tejo Langit untu bersabung nyawa."
"Aku terlalu menuruti perasaan marah kakang." Ki Tejo Budi mengaku.
"Adi Tejo Budi, andaikata engkau menang dalam adu nyawa dan adi Tejo Langit tewas, apakah hal itu akan dapat mendamaikan. hatimu" Apakah hubunganmu dengan Lasmini akan dapat pulih kembali seperti sebelumnya" Ingat, perjodohan hanya akan terlaksana dengan baik kalau kedua pihak menghendakinya, kalau kedua pihak mempunyai rasa cinta satu sama lain.
Isterimu sudah tertarik kepada adi Tejo Langit, berarti cintanya kepadamu sudah mulai luntur.
Engkau tidak akan dapat memaksanya untuk mencintaimu. Yang tertinggal hanya ketidakcocokan dengannya dan penyesalan bahwa engkau telah membunuh adi Tejo Langit."
"Sekarang aku baru menyadari hal itu, kakang."
"Dan engkau, adi Tejo Langit. Bayangkan, kalau engkau berhasil membunuh adikmu Tejo Budi, apa kaukira akan dapat hidup berbahagia dengan Lasmini" Mungkin ia berbalik membencimu, dan anaknyapun akan membencimu karena engkau membunuh ayahnya. Dan akhirnya engkau akan hidup menderita dan merasa menyesal bahwa engkau telah membunuh adik seperguruanmu dan merampas isterinya. Karena kalau engkau membunuhnya, berarti engkau telah menggunakan kekerasan untuk merampas isteri orang lain dengan membunuh suaminya. Apakah engkau yang mengaku seorang pendekar, akan melakukan perbuatan sekeji dan sejahat itu?"
"Maafkan aku, kakang Tejo Wening. Sekarang aku menyadari kesalahanku dan aku akan menurut apa yang akan kauputuskan."
"Bukan aku yang memutuskan. Aku hanya menjadi juru pemisah, pendamai dan penengah.
Yang berhak memutuskan adalah adi Tejo Budi, karena dalam hal in dialah yang merasa disakiti hatinya. Nah adi Tejo Budi, sekarang bagaimana pendapat dan keputusanmu menghadapi urusan ini?"
Sampai lama Ki Tejo Budi diam saja kedua matanya terpejam, lalu dia bergumam lirih,
?"..ikatan.... ikatan kedaginan?"ikatan duniawi, semua itu hanya membawa duka nestapa...."
Ki Tejo Wening mengangguk-angguk, "Syukurlah kalau engkau akhirnya dapat merasakan akan hal itu, adi Tejo Budi. Mudah-mudahan engkau akan dapat mengambil keputusan yang bijaksana."
Ki Tejo Budi membuka kedua matanya menoleh kepada Ki Tejo Langit dan bertanya, suaranya tenang, "Kakang Tejo Langit, maukah engkau berjanji dengan sunguh hati bahwa engkau akan mengambil Lasmini menjadi isterimu dan kelak tidak akan menyia-nyiakannya?"
"Aku berjanji akan memperisteri Lasmini dan tidak akan menyia-nyiakannya!" kata Ki Tejo Langit dengan suara lantang dan mantap..
"Dan bagaimana dengan puteramu, adi Tejo Budi?" tanya Ki Tejo Wening.
"Mengenai Sudrajat, karena dia anak kami berdua, maka aku akan membicarakan dengan ibunya," jawab Ki Tejo Budi.
"Bagus! Memang demikianlah sebaiknya. Nah, kurasa urusan di antara kalian telah clapat diselesaikan dengan baik, dan kuharap kalian tidak saling mendendam. Marilah kita ke rumahmu, adi Tejo Budi, untuk menyelesaikan urusan ini sampai tuntas."
Tiga orang kakak beradik seperguruan itu lalu berjalan menuju dusun Cihara. Ketika mereka memasuki rumah, mereka mendapatkan Lasmini duduk di. atas bale-bale di ruangan dalam sambil memangku dan merangkul Sudrajat yang berusia empat tahun. Wanita ini tampak pucat, pakaiannya kusut, rambutnya terurai. Ketika melihat suaminya masuk bersama dua orang kakak seperguruan suaminya, ia memandang seperti seekor kelinci bertemu harimau dan ia merangkul puteranya lebih ketat lagi, seolah khawatir kalau-kalau orang akan mengambil anaknya.
Dengan isyarat tangannya Ki Tejo Budi mempersilakan dua orang kakak seperguruannya duduk dan mereka bertiga duduk di atas bangku dalam ruangan itu. K Tejo Budi memandang kepada Lasmin yang tampak ketakutan. Diam-diam dalam hatinya dia merasa iba kepada wanita itu. Bagaimana dia dapat menyalahkan kalau isterinya tertarik kepada seorang pria segagah Ki Tejo Langit" Semua wanita tentu akan tertarik dan kagum. Dan dia yakin bahwa isterinya, betapapun kagumnya tidak akan melakukan penyelewengan kalau saja tidak terdorong oleh pengaruh Aji Pengasihan Sambung Sih.
"Lasmini," katanya lirih penuh kesabaran. "Kami telah membicarakan tentang peristiwa semalam dan kami mengambil keputusan yang dirasa baik bagi semua pihak. Mulai hari ini, engkau akan hidup bersama kakang Tejo Langit dan menjadi isterinya."
Mendengar ucapan suaminya itu, Lasmini yang matanya masih terbelalak ketakutan memandang kepada suaminya, lalu kepada Ki Tejo Langit dan ia tidak mengeluarkan sepatah katapun karena ia tidak tahu harus bicara apa. Rasa menyesal dan malu membuat ia seolah merasa ingin amblas ke dalam bumi agar jangan bertemu dengan siapapun.
"Lasmini, aku sudah rela sepenuhnya dan semoga engkau akan hidup berbahagia bersama kakang Tejo Langit. Biarlah aku yang akan merawat dan mendidik Sudrajat," kata pula Ki Tejo Budi, sambil memandang kepada bocah itu yang mendengarkan percakapan mereka dengan muka tidak mengerti apa yang terjadi dan apa yang sedang dibicarakan.
Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Lasmini mendekap anaknya semakin erat, matanya terbelalak memandang kepada Ki TeJo Budi dan ia berkata, "Tidak...! Tidak...! Kalau anakku hendak diambil dariku, bunuh dulu aku!"
Ki Tejo Budi tertegun dan dia menoleh kepada Ki Tejo Wening, seolah minta pendapatnya.
"Semoga Hyang Widhi Wasa mengampuni kita semua....!" Ki Tejo Wening berucap lirih.
"Seorang bijaksana mendahulukan kepentingan orang lain dan menahan keinginan hati sendiri."
Ki Tejo Budi mengangguk perlahan, lalu menoleh kepada Ki Tejo Langit dan berkata,
"Kakang Tejo Langit, maukah engkau berjanji sekali lagi bahwa engkau akan merawat dan mendidik Sudrajat seperti kepada anakmu sendiri?"
Wajah Ki Tejo Langit berseri dan dia segera bangkit dari bangku, menghampiri Lasmini dan dengan lembut dia mengambil anak itu dari pangkuan wanita itu mengangkatnya ke atas lalu memondongnya. "Sudrajat, engkau akan kudidik agar kelak menjadi seorang pendekar!"
Anak itu yang tadinya agak ketakutan didekap ketat ibunya, kini tertawa karena tadi diangkat tinggi, lalu berkata, "Aku suka menjadi pendekar!"
Ki Tejo Langit tertawa lalu berkata kepada Ki Tejo Budi, "Adi Tejo Budi, aku berjanji akan mendidik Ajat seperti anakku sendiri. Biarlah kakang Tejo Wening yang menjadi saksinya!"
Pendekar Sakti Suling Pualam 3 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Cinta Bernoda Darah 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama