Ceritasilat Novel Online

Pusaka Negeri Tayli 3

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D Bagian 3


membawa sikap seperti orang tolol.
"Meneduh ?"
"Ya."
"Siapa yang membunuh korban diluar ruang itu ?"
"Tak .... tak tahu !"
Mata Hakim Putih berkilat-kilat memandang Cu Jiang.
Rupanya dia meneliti. Tetapi dia mendapat kesan bahwa
Cu Jiang itu tak lain seorang anak desa yang cacat tubuh
dan muka. "Engkau melihat apa saja selama disini ?"
"Tidak tidak melihat apa2 kecuali, tubuh yang
bergelantungan itu."
"Ho, karena ketemu aku, engkaupun harus menyerahkan
jiwamu. Bereskan dia dulu !"
Mendengar itu Pengawal Hitam tadi segera lepaskan
lengan si pemuda lalu menyelinap maju membacok Cu
Jiang. Cu Jiang terkejut dan terus menghindar ke samping.
Walaupun karena kakinya cacat gerakannya agak kaku
tetapi tetap tak dapat mengelabuhi mata Hakim Putih
bahwa pemuda itu mengerti ilmu silat.
Pengawal Hitampun melongo karena tak menyangka
bahwa tabasannya luput. Seketika merahlah mukanya.
Pada saat ia hendak menyerang lagi tiba2 Hakim Putih
sudah mendahului bertindak menyambar pergelangan
tangan Cu Jiang.
Sedemikian cepat sekali gerakan Hakim Putih itu
sehingga Cu Jiang tak sempat berbuat apa2 lagi.
"Budak, engkau pandai benar menyelubungi dirimu.
Lekas beritahu siapa engkau yang sebenarnya!" dengus
Hakim Putih. Cu Jiang tahu bahwa saat itu dirinya seperti ikan yang
berada dalam jaring. Jika tak menggunakan akal, tentu ia
mati. Tiba2 Ia teringat akan pending kumala pemberian si
jelita. Kata jelita itu, pada saat menghadapi bahaya supaya
mengeluarkan pending itu, tentu dapat menolong.
Teringat hal itu seketika timbullah pikiran Cu Jiang.
"Lepaskan !" bentaknya dengan garang.
Hakim Putih tertawa mengekeh.
"Heh, heh, engkau bermimpi !"
"Aku hendak memperlihatkan sebuah benda kepada
anda." "Benda apa ?"
"Lepaskan dulu tanganku."
"Huh, masakan takut engkau mampu terbang ke langit."
Hakim Putih segera lepaskan cekalannya.
Cu Jiangpun segera merogoh giok-pwe atau pending
kumala yang tersimpan dalam bajunya. Kemudian
disongsongkan kemuka Hakim Putih seraya berseru:
"Apakah anda kenal akan benda ini ?"
"Piagam Hitam !" tiba2 salah seorang dari Pengawal
Hitam itu memekik kaget. Wajahnya pun pucat seketika.
Ketegangan hati Cu Jiang agak menurun. Ia tak tahu apa
Piagam Hitam itu tetapi yang Jelas rasanya tentu akan
membawa perobahan.
Sejenak Hakim Patih terlongong kesima memandang
benda di tangan Cu Jiang itu. Ia menyambutnya,
memeriksa sebentar lalu mengembalikan lagi kepada Cu
Jiang. "Dari mana engkau memperoleh benda itu ?"
Nyali Cu Jiang makin besar.
"Tak perlu anda bertanya soal itu," sahutnya dengan
hambar. "Silahkan engkau mau kemana," akhirnya Hakim Putih
menyerah. Seorang iblis durjana yang ganas, seorang hu-hwat atau
Pelindung hukum dari Gedung Hitam, ternyata tunduk
pada sebuah pending kumala.
Cu Jiang benar2 tak menduga sama sekali. Dia makin
heran akan diri si dara jelita Ki Ing.
Pemuda tadi juga menyaksikan peristiwa itu. Dia
memandang wajah Cu Jiang dengan ngeri. Jika Cu Jiang
juga orang Gedung Hitam, bukankah akan lebih ganas lagi.
Tiba2 Cu Jiang menuding kearah pemuda itu dan
berseru: "Lepaskan dia !"
Pemuda itu terkejut bukan kepalang. Ia terlongonglongong memandang Cu Jiang.
"Apa katamu ?" Hakim Putih deliki mata. "Kukatakan,
bebaskan dia !"
"Lepaskan dia ?"
"Ya, benar!"
"Atas dasar apa?"
"Piagam Hitam ini !" sahut Cu Jiang.
Mata Hakim Putih berkilat-kilat penuh kecemasan
memandang wajah Cu Jiang.
"Hal itu tak dapat kulaksanakan!" akhirnya dia berseru.
Sudah terlanjur maju, Cu Jiang pantang mundur lagi. Ia
segera mendesak:
"Apakah engkau berani membantah amanat Piagam
Hitam?" serunya dengan garang.
Seketika wajah Hakim Patih pucat lesi.
"Apakah yang dipertuan dari Piagam Hitam yang
menyuruh engkau melakukan hal itu ?" serunya. Nadanya
sudah jauh berkurang bengisnya.
Sesungguhnya Cu Jiang tak mau menjual nama si jelita
untuk membereskan persoalan disitu. Tetapi bagaimana
lagi. dia tak dapat melihat pemuda itu akan mati disiksa
oleh kawanan Pengawal Hitam. Apabila pihak Gedung
Hitam berhasil mendapatkan buku Sin-hong-pit-kiok dari
ayah pemuda itu, jelas tentu akan mempersukar langkah Cu
Jiang untuk melakukan pembalasan.
"Ya, benar !" akhirnya ia menyahut tegas.
Dia tahu bahwa dengan menjawab begitu dia telah
melibatkan diri si Jelita Ki Ing. Walaupun pending kumala
itu si jelita yang memberinya tetapi belum tentu Jelita itulah
pemiliknya. "Apakah semua akibat pemilik Piagam Hitam itu yang
menanggung jawab ?" seru Hakim Putih.
Cu Jiang ibarat naik dipunggung harimau.
Jika turun, dia tentu akan diterkam. Lebih baik dia naik
terus, kemungkinan akan terjadi perobahan yang tak
terduga-duga. "Sudah tentu!" sahutnya tanpa ragu2 lagi. Se-olah2 dia
sudah mendapat kuasa penuh dari pemilik Piagam Hitam
untuk memberi jawaban begitu.
"Bagaimana engkau tahu kalau aku dan rombongan akan
tiba di biara ini?" tanya Hakim Putih pula.
"Hanya secara kebetulan saja. Tetapi dengan mengambil
jalan ini akhirnya tentu akan berjumpa juga, benar tidak?"
"Dimana tuan dari Piagam Hitam saat ini?" tanya Hakim
Putih pula. "Berada seratus li dari tempat ini!"
Sambil gentakkan kakinya ke tanah, Hakim Putih cepat
berseru memberi perintah: "Lepaskan dia!"
Dua orang Pengawal Hitam segera membebaskan
pemuda itu. Pemuda itu agak terhuyung2. Dia hendak
membuka mulut tetapi Cu Jiang cepat mendahului maju,
menyambar tangan pemuda itu dan diajaknya pergi:
"Hayo, kita jalan!"
Kedua pemuda itu segera melangkah keluar dan
menyusup dalam kegelapan.
Hujan sudah reda dan awanpun lenyap. Bintang-bintang
mulai bermunculan.
Tak berapa lama Cu Jiang dan pemuda itu tiba di jalan
besar. Sambil memberi hormat, pemuda itu berkata:
"Terima kasih atas budi pertolongan saudara! "
Sambil memandang ke sekeliling, Cu Jiang menjawab:
"Ah, tak usah banyak peradatan."
"Tak cukup hanya menghaturkan terima kasih tetapi
budi saudara itu akan kuukir dalam hatiku selama-lamanya
..." "Tak usah. "
"Tolong tanya, siapakah tuan dari Piagam Hitam itu?"
"Soal ini . . . maaf, aku tak dapat memberi tahu."
"Mengapa saudara menolong aku?"
"Anggap saja sebagai suatu hal yang kebetulan. "
"Mohon tanya siapakah nama mulia dari " saudara" "
"Sebaiknya lekas saja engkau melanjutkan perjalanan
"Ah, harap saudara suka memberitahu "
"Ah, perlu apa soal nama. Cukup ingat saja masakan
damai dunia persilatan terdapat manusia yang begini buruk
wajahnya seperti aku!"
Pemuda itu diam beberapa saat.
"Baiklah, " akhirnya dia berkata, "mudah2an lain kali
kita dapat berjumpa lagi . . . namaku Bun Cong Beng."
"Saudara Bun, lekaslah engkau melanjutkan perjalananmu, " kata Cu Jiang dengan tawar.
Bun Cong Beng tak tahu bagaimana isi hati orang yang
cacad dan buruk muka itu. Terpaksa ia menghaturkan
hormat untuk meminta diri.
Sambil memandang bayangan pemuda itu lenyap dalam
kegelapan, Cu Jiang menghela napas panjang.
"Untung . . . , " katanya. Ia tak menyangka bahwa giokpwe atau pending kumala itu ternyata dapat menyelamatkan dua buah jiwa.
Dia juga meneruskan perjalanan. Tiba di kota Kwiciu,
hari sudah malam. Jalan2 sudah tak banyak orang. Lampu
menyala di setiap rumah dan pintu kotapun sudah tutup.
Pikir Cu Jiang memang hendak mencari rumah
penginapan dalam kota. Tetapi mengingat hari sudah
semalam itu dan lagi wajahnya yang buruk tentu
menimbulkan kemuakan orang maka ia putuskan lebih baik
tidur di luar kota saja.
Sambil berjalan di sepanjang jalan, dia melihat-lihat
keadaan kota saat itu. Rumah2 penginapan banyak yang
sudah tutup, demikian dengan rumah-rumah makan dan
kedai2. Memang rumah penginapan dan losmen di kota kecil itu
hanya sebagai pondokan dari pedagang-pedagang yang
malam hari singgah dan pagi2 sudah berangkat lagi.
Keadaannya kurang bersih.
Tengah Co Jiang enak2 berjalan, tiba2 sesosok tubuh
tinggi besar tampak berjalan menghampiri ke arahnya.
Tampaknya pelahan saja dia mengayunkan langkah tetapi
ternyata jalannya cepat sekali. Dalam beberapa kejab saja
sudah tiba di muka Cu Jiang.
Dari penerangan lampu jalan, dapatlah Cu Jiang melihat
wajah orang itu. Dan hampir saja dia menjerit kaget. Wajah
orang itu pucat seperti mayat, tubuhnya kurus kering, hanya
seperti tulang terbungkus kulit. Pakaiannya jubah warna
biru. Tiba2 orang aneh itu berhenti dan memandang Cu Jiang.
Cu Jiang merasa sebal, buru2 dia berputar tubuh terus
hendak berjalan.
"Berhenti!" tiba2 orang itu berseru dan tahu2 sudah
menghadang di depannya.
"Mau apa?" bentak Cu Jiang.
Masih orang tinggi aneh itu mengawasi Cu Jiang seperti
seorang nyonya tengah meneliti calon menantu perempuannya. Kemudian tertawa gelak2.
"Bagus, tulangnya hebat, wajahnya juga luar biasa!"
Mendengar itu mau tak mau Cu Jiang meringis. Tetapi
melihat sikap orang tinggi itu, tampaknya sangat serius,
bukan seperti orang yang berolok-olok. Diam2 Cu Jiang
heran. Melihat sikapnya, Cu Jiang mendapat kesan bahwa
orang tinggi itu tentu bukan manusia baik. Tetapi menilik
sinar matanya yang begitu tajam, jelas orang itu tentu
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
"Hai, inilah yang dibilang rejeki." orang tinggi itu berkata
seorang diri, "mungkin memang peruntunganku besar."
Cu Jiang tak mengerti apa yang diucapkan orang itu. Dia
berseru: "Apa maksudmu ?"
Orang aneh itu tertawa gelak2:
"Melihat aku tak ketakutan, nyalimu memang hebat
sekali. Tentulah engkau juga punya simpanan kepandaian."
Habis berkata dia terus menerkam.
Sudah tentu Cu Jiang terkejut sekali. Terkaman orang
aneh itu tak memberi kesempatan dia untuk menghindar
lagi. Belum sempat ia mencari akal tahu2 tangannya sudah
dicengkeram orang tinggi itu. Arus hawa lunak segera
memancar dari ujung kuku jari orang itu.
Pada lain saat Cu Jiang rasakan tubuhnya lemas tak
bertenaga lagi, Ia hendak bicara tetapi mulut hanya
menganga saja tak dapat bersuara. Dalam keadaan seperti
itu tiada lain daya kecuali hanya pasrah nasib saja.
"Apa maksud orang aneh ini " Mengapa dia mencelakai
diriku ?" pikirnya. Diam2 ia harus mengakui kebenaran dari
kata orang bahwa dunia persilatan itu penuh dengan hal2
yang aneh, berbahaya.
Tiba2 orang aneh itu mengangkat tubuhnya lalu


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipanggul diatas bahu terus dibawa lari secepat terbang. Tak
berapa lama tibalah dia disebuah bangunan gedung besar.
Cu Jiang sempat memperhatikan bahwa bangunan itu
merupakan sebuah gedung yang sudah kosong dan tak
terurus, halamannya penuh dengan rumput dan sarang
gelagasi. Orang aneh itu bersuit keras lalu melambung keatas,
melayang turun ke dalam gedung dengan gerakan yang
seperti orang terbang.
Pada lain kejap tampak sebuah ruang besar yang terang
benderang. Sesosok2 tubuh manusia berhilir mudik tetapi
tak terdengar suara apa2.
Bum.... Cu Jiang dibanting di tanah sehingga tulangnya seperti
patah, mata bekunang. Tetapi karena menderita tutukan
yang aneh, dia tak dapat bersuara merintih apa2.
Orang aneh itu menendangnya dan terbukalah jalan
darahnya yang tertutuk itu.
Cu Jiang terus berdiri. Begitu memandang ke sekeliling,
semangatnya serasa terbang dan bulu romanya meregang
berdiri semua, keringat dingin membanjir keluar.
Di atas lantai rebah empat sosok mayat yang sudah rusak
dan menyiarkan bau amat busuk. Di kedua samping, berdiri
enam orang aneh yang wajahnya menyeramkan. Setiap
orang aneh itu masing-2 menyeret seorang pemuda yang
berumur sekitar dua puluhan tahun. Menilik dandanannya,
keenam pemuda itu berasal dan keturunan yang berbedabeda. Hanya suatu ciri yang sama yalah mereka rata2
berwajah cakap.
Keenam pemuda itu pucat lesi. Tubuhnya menggigil
keras. Di tengah ruang duduk seorang tua berjubah hitam,
wajahnya berwibawa tetapi dahinya memancarkan cahaya
yang menyeramkan.
Sesaat orang tua itu membuka suara, nadanya seperti
bukan suara manusia hidup.
"Lo-jit, engkau yang datang terakhir ?" Orang aneh yang
membawa Cu Jiang tadi segera menyahut:
"Hampir saja tak dapat menyerahkan apa-apa."
"Engkau membawa mahluk aneh semacam itu?"
"Lo toa, budak ini mempunyai bahan tulang yang luar
biasa. Wajahnya" lo-toa, apakah tidak memenuhi syarat ?"
sahut orang aneh yang membawa Cu Jiang itu.
Mata orang tua berjubah hitam itu memandang Cu Jiang
sehingga Cu Jiang sampai menggigil. Sinar mata orang
berjubah hitam itu benar2 luar biasa tajamnya sehingga
terasa seperti menembus ke ulu hati.
"Ho, ho," orang tua Jubah hitam itu mengangguk2
seraya memuji. Cu Jiang benar2 tak tahu apa yang dihadapi itu.
Orang tua jubah hitam berpaling kearah kedua samping
dan berseru: "Tidak pakai semua !"
Serentak keenam orang aneh itu menghantam keenam
pemuda tawanannya. Terdengar jeritan ngeri ketika tubuh
keenam pemuda itu hancur lebur.
Melihat perbuatan yang sekeji itu hampir dada Cu Jiang
meledak. Sepasang matanya seperti akan memancarkan
darah. Baru pertama sepanjang hidupnya ia melihat perbuatan
yang sekejam itu. Kiranya mayat2 yang berhamburan di
lantai itu tentulah juga mengalami nasib serupa dengan ke
enam pemuda itu.
"Iblis keparat!" tanpa sadar, Cu Jiang berteriak memaki.
Sepasang mata orang tua jubah hitam itu mendelik
seperti mau menelan orang. Tiba2 dia tertawa gelak2:
"Benar2 bernyali besar. Lo-jit, pilihanmu tepat sekali.
Bahan macam itu baru layak menjadi pewaris kita
bersama!" Mendengar itu barulah Cu Jiang tahu. Ternyata
kawanan manusia aneh itu sedang mencari calon murid
yang akan dijadikan ahli waris mereka. Hanya caranya
memang kejam sekali. Kasihan sekali ke enam pemuda itu.
Mereka harus mati tanpa dosa.
Setelah beberapa saat memandang Cu Jiang, orang tua
jubah Imam itu berkata pula:
"Datanglah ke hadapanku sini!"
Cu Jiang menyadari bahwa dirinya saat itu berada dalam
genggaman orang2 jahat yang buas. Tak mungkin dia dapat
lolos. Maka dengan kuatkan hati dia segera maju ke
hadapan orang tua berjubah hitam.
"Oh, orang cacat!" ke enam manusia aneh itu serempak
berteriak Orang tua jubah hitam tertawa aneh:
"Lebih baik. Ciri itu dapat mewakili ciri khas kita!"
Habis berkata ia ulurkan tangan dan menjamah tubuh
Cu Jiang. Tiba2 dia tertawa girang sekali.
Setelah berhenti tertawa, orang tua jubah hitam itu
berpaling memandang kepada ke enam orang aneh yang
berada di samping kanan dan kiri.
"Saudara2, kita harus cepat melaksanakan rencana kita.
Kamu berenam, yang dua menuju ke markas Bu-tong-pay,
yang dua ke vihara Siauw-lim dan yang dua ke perguruan
Thay-kek-bun. Sekarang juga berangkatlah. Paling lama
sebulan harus sudah kembali lagi ke sini."
Ke enam orang aneh itu mengangguk lalu berbondong2
pergi. Kemudian orang tua jubah hitam itu berpaling kepada
Cu Jiang, serunya:
"Budak, peruntunganmu besar!"
"Peruntungan apa?" Cu Jiang menggeram.
"Kami bertujuh akan menggemblengmu menjadi jago
nomor satu di dunia!"
"Ah, sukar melaksanakan."
"Apa" Engkau tak suka?"
"Tak perlu kupikir lagi!"
"Ho, masakan engkau boleh semaumu sendiri" Lo-jit . . "
Orang aneh yang membawa Cu Jiang tadi segara
menyahut: "Apakah toako hendak memberi pesan?"
"Kukembalikan dia supaya engkau harus.... Tetapi
jangan sampai terjadi apa2."
"Takkan meleset," seru orang aneh seraya terus menutuk
tubuh Cu Jiang, seketika Cu Jiang rasakan tenaganya
lenyap bahkan berdiri saja tak kuat.
"Hm, kalian buang tenaga percuma saja!" serunya geram.
"Jangan ngaco belo!" orang aneh itu menyambar tubuh
Cu Jiang terus dibawa lari ke dalam. Setelah melalui
halaman yang tak terawat, mereka tiba di sebuah kamar
yang hanya di terangi oleh sinar cuaca dari celah2 jendela.
Di situ seperti terdapat tempat tidur dan selimut.
"Untuk sementara waktu, engkau boleh pinjam tempat
kediamanku di sini!"
Bum .... Cu Jiang di lempar ke atas pembaringan,
kemudian orang aneh itu keluar lagi dan menutup pintunya.
Sambil tidur terlentang memandang ke atas, Cu Jiang
tertawa hambar terhadap peristiwa2 aneh yang di alaminya
selama ini. "Bagaimana aku dapat lolos dari cengkeraman iblis itu?"
Cu Jiang mulai menimang2.
Dia turun dari pembaringan tetapi tenaganya masih
lemas sekali Namun dia paksakan diri juga walaupun
langkahnya masih sempoyongan sehingga dia jatuh ke
pembaringan lagi. Dia menghela napas putus asa.
"Ah, untuk lolos dari tempat ini rasanya lebih tukar dari
naik ke langit. Siapakah manusia2 aneh itu?" pikirnya.
Tiba2 ia teringat akan pelajaran yang diberikan ayahnya
tentang ilmu membebaskan diri dari tutukan.
Segera ia duduk di pembaringan dan mulai menyalurkan
pernapasan. Tetapi astaga. Ternyata sama sekali dia tak
mampu melakukan pernapasan lagi. Jelas ilmu tutuk dari
manusia aneh itu memang bukan olah2 hebatnya.
Harapannyapun bagai awan tertiup angin.
Akhirnya ia memutuskan lebih baik tidur di pembaringan
saja. Pikirannyapun mulai melayang. Memang untuk
melakukan pembalasan, harus menempuh dengan cara apa
saja. Seperti keadaannya saat itu. Jelas dia sudah tak
berdaya. Jika ia tetap berkeras kepala, tentulah tak mungkin
dapat melaksanakan pembalasan dendamnya itu.
Ah, lebih baik menurut saja bagaimana kehendak
manusia2 aneh itu. bahkan ia akan memanfaatkan ilmu
kesaktian yang diterimanya dari mereka untuk kelak
melaksanakan rencananya.
Jelas kawanan manusia aneh itu memiliki ilmu kesaktian
yang hebat. Jika dia berhasil menyerap kepandaian mereka,
bukankah ia akan menjadi seorang tokoh yang hebat.
Dengan begitu masakan dia tak mampu menuntut balas.
Tetapi diapun masih ingat. Bahwa sejak dulu sampai
sekarang, perbuatan Jahat dan Baik itu takkan tegak
berjajar. Dia sebagai putera seorang jago pedang yang
termasyhur, apabila sampai ikut pada aliran Hitam,
tentulah arwah kedua orang tuanya takkan meram di alam
baka. Dia menduga lebih lanjut. Bahwa tindakan kawanan
manusia aneh itu tentu mempunyai tujuan tertentu. Dia
mau menerima pelajaran ilmu silat dari mereka atau tidak,
tentu tetap akan dikuasai mereka.
"Piagam Hitam!"
Tiba2 ia teringat akan benda itu. Serentak semangatnya
bangkit kembali. Piagam Hitam itu mempunyai pengaruh
besar sekali atas anak buah Gedung Hitam. Apakah piagam
itu juga dapat memberi pengaruh kepada kawanan manusia
aneh itu supaya tunduk" Ah, mungkin saja.
Pikirannya seraya longgar dan tak lama kemudian ia
jatuh pulas. Ketika bangun, sinar matahari sudah menerobos masuk
dari jendela. Di atas meja terdapat beberapa makanan
bakpao daging sapi. Juga disediakan minuman teh.
Pikir Cu Jiang, makan dulu baru nanti cari pikiran lagi.
Ia segera duduk di pinggir pembaringan dan mulai makan.
Hampir setengah jam lamanya ia makan. Setelah itu ia
segera meronta turun dari pembaringan. Tetapi ia tak
mampu membuka pintu. Apa boleh buat, terpaksa dia harus
buang hajat ditempat itu. Seumur hidup baru pertama kali
itu ia mengalami hal yang seperti itu.
Kembali ia duduk diatas pembaringan. Tiba-tiba orang
aneh tadi membuka pintu dan masuk, memandang
kepadanya dan tertawa menyeringai:
"Budak, seleramu makan hebat juga !"
Walaupun bernada tertawa, tetapi sikapnya tertawa itu
membuat orang gemetar.
Cu Jiang segera mengeluarkan pending kumala lalu
disongsongkan: "Apakah engkau kenal benda ini ?"
Manusia aneh itu menyambuti lalu memeriksanya dan
terus dikembalikan pada Cu Jiang lagi.
"Barang mainan perempuan dan cewek2. Hm, apakah
pikiranmu sudah limbung ?" serunya.
Cu Jiang seperti diguyur air dingin. Ternyata pending
kumala yang begitu ditaati oleh anak-buah Gedung Hitam,
sedikitpun tak mempunyai pengaruh apa2 kepada manusia
aneh itu. "Budak, sabarkanlah hatimu. Engkau akan tinggal disini
sebulan lamanya. Sesudah itu dunia ini milikmu. Hai,
mengapa engkau berak disini " Baiklah, pintunya tak
kututup. Kalau mau buang air, engkau boleh keluar."
"Hm..." Cu Jiang mendesus sebagai penyaluran.
Orang aneh itu keluar dan kembali Cu Jiang rebah di
pembaringan. Kini dia merasa sudah tiada harapan untuk
lolos lagi. Karena itu diapun tak perlu tergesa-gesa mengejar
waktu. Malam tiba. Orang aneh itu muncul membawa
makanan. Tanpa berkata apa2, dia terus keluar lagi. Cu
Jiangpun tak mau banyak pikir. Kalau di suruh makan
diapun makan. Dia memang tak mau mati kelaparan. Dia
harus hidup terus sampai rencananya selesai.
Memang yang menjadi cita2 hidupnya, tak lain hanya
menuntut balas dendam kematian ayah-bunda dan kedua
adiknya. Hanya itu. Dia tak mengandung cita2 lain lagi.
Habis makan, dia duduk lagi di dekat jendela.
Memandang keluar jendela, bintangpun sudah rebah ke
barat. Malam sudah larut.
Tiba2 ia mendengar suara kelinting yang tajam. Suara
kelinting sebenarnya biasa saja, tetapi di tempat dan
suasana seperti itu mau tak mau Cu Jiang merasa aneh
juga. Bermula Cu Jiang merasa meragukan telinganya. Tetapi
setelah mendengarkan dengan seksama memang ia
mendengar suara kelinting itu kedengaran seperti dari jauh
tetapi dekat sekali. Sebentar dari arah barat tetapi sebentar
lagi dari arah timur.
Yang membuatnya heran ialah suara kelinting itu
terdengar nyaring sampai menusuk telinga. Dan juga
berirama mengalunkan kerawanan musim rontok dan
gemercik air mencurah dari gunung.
Tanpa disadari, Cu Jiang terpikat perhatiannya.
Akhirnya ia terbenam dalam alunan suara kelinting itu.
Beberapa saat kemudian ia rasakan hatinya terang.
Seolah seperti suatu tenaga aneh yang bertebaran dalam
hatinya. Pelahan-lahan dia mulai turun dari pembaringan,
melangkah ke luar, menuju ke arah suara kelinting itu.
Setelah melintasi halaman, dia berhadapan dengan pintu.
Dia merasa tubuhnya melayang ke atas dan melampaui
pintu itu dan tiba2 suara kelintingpun lenyap. Tahu2 ia
dapatkan dirinya berada di luar halaman.
Apakah aku bermimpi" Tanyanya dalam hati. Ia
menggigit jari tangannya. Ah, masih sakit. Jelas dia tak
bermimpi, ia memandang ke sekeliling penjuru. Dalam
kegelapan malam, sayup2 dia melihat sebuah hutan.
Apakah artinya itu" Apakah ada orang sakti yang


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membantunya" Ah, tak mungkin.
Buru2 dia salurkan pernapasan. Ah, ternyata darahnya
telah lancar. Uratnya yang tertutukpun sudah bebas.
Tenaganya kini pulih lagi.
Dia terlongong-longong heran.
Beberapa waktu kemudian baru dia berkata: "Orang sakti
siapakah yang menolong aku ini?"
Tiada penyahutan apa2. Sunyi senyap di sekeliling
tempat itu. Se konyong2 dia mendengar suara bentakan yang
nadanya seperti tak asing lagi:
"Bagus. Kim Leng hujin, ternyata engkau masih hidup!"
Cu Jiang tahu bahwa suara itu adalah suara orang tua
berjubah hitam. Tetapi siapakah yang di sebut Kim Leng
hujin atau nyonya Kelinting Emas itu"
Mengapa suara kelinting itu dapat membebaskan jalan
darahnya yang telah tertutuk oleh manusia aneh" Apakah
Kim Leng hujin itu memang sengaja datang hendak
menolongnya"
Tiba2 terdengar suara si manusia aneh yang menawan
Cu Jiang itu: "Mengapa nyonya hendak memusuhi kami bersaudara
lagi?" Terdengar suara seorang wanita tua menyahut:
"Tian Heng, akupun tak menyangka bahwa kalian
bangsa yang suka menghindar dari kesukaran, ternyata juga
masih hidup!"
"Kim Leng hujin, jangan melukai perasaan orang!"
Kim Leng hujin tertawa gelak2.
"Ha ha, sebenarnya apa yang kukatakan itu hanyalah hal
yang wajar."
Kini Cu Jiang tahu bahwa orang tua jubah hitam yang
menjadi pimpinan dari kawanan manusia itu, bernama Tian
Heng. "Tak perlu
adu lidah tajam. Apakah maksud kedatanganmu ini?" seru Tian Heng pula.
"Aku sedang mencari orang?"
"Mencari orang" Siapa?"
Tergerak hati Cu Jiang. Ia segera pasang perhatian.
"Putera dari Lau Toa Hu di Seng-tou."
"Ha, ha, sungguh heran. Kim Leng hujin yang tak dapat
didekati orang, ternyata menjadi..."
"Tutup mulutmu!" bentak Kim Leng hujin, "anak itu
adalah cucu keponakanku jauh."
"Oh, makanya. Tetapi mengapa engkau mencari
kemari?" "Kudengar kalian telah menangkap seorang pemuda
yang berbakat bagus!"
Saat itu baru Cu Jiang tahu bahwa wanita yang disebut
sebagai Kim Leng hujin itu ternyata hendak mencari
cucunya, bukan hendak menolong dia.
Memang peristiwa dalam dunia ini sering kali terjadi
secara kebetulan yang tak terduga-duga. Kim Leng hujin
mencari cucunya dan membunyikan kelinting dan dialah
yang menerima manfaatnya, jalan darahnya yang tertotok
telah terbuka. Iapun teringat akan sepuluhan anak muda yang menjadi
korban pembunuhan kawanan manusia aneh kemarin itu.
Kemungkinan salah seorang tentulah putera dari Lau Toa
Hu dari kota Seng-tou itu.
"Di sini tak ada orang itu!" tiba2 Tian Heng pemimpin
kawanan manusia aneh berseru.
"Benar tidak ada?" Kim Leng hujin menegas.
"Masakan bohong."
"Tian Heng, kalau kelak aku dapat membongkar
peristiwa itu?"
"Aku menurut saja apa keputusanmu."
"Baik," katanya.
Karena merasa bahwa pembicaraan kedua orang itu
tiada sangkut pautnya dengan dirinya, Cu Jiang segera
mengambil keputusan untuk melarikan diri. Dia tak berani
mengambil jalan besar. Juga tak mau kembali ke kota Kuiciu. Ia tahu kawanan manusia aneh itu tentu tak mau
melepaskan dirinya begitu saja. Mereka tentu akan tetap
mencarinya kemanapun saja.
Maka dia tak mendengarkan lagi pembicaraan mereka
dan terus lari masuk ke dalam hutan belantara. Menjelang
terang tanah, dia sudah mencapai berpuluh2 li jauhnya.
Andaikata dia tak cacat, mungkin sudah mencapai ratusan
li. Saat itu dia berada di perbatasan Hin-san.
Di sebelah timur adalah deretan pegunungan Keng-san.
Dia segera mengambil jalan besar. Setelah berhenti di
sebelah kedai, ia melanjutkan perjalanan lagi.
Tetapi kemanakah dia harus pergi" Ah, dia tak punya
tujuan tertentu.
Tak berapa lama ia mendengar bunyi kelinting kaki kuda
berlari. Buru2 dia tundukkan kepala dan menyingkir ke tepi
jalan. Tetapi kuda itupun berhenti juga di sebelahnya.
Sudah tentu Cu Jiang tak enak hati.
"Nona, itulah dia!" tiba2 terdengar suara seorang gadis.
Longgarlah perasaan hati Cu Jiang tetapi saat itu juga
dia tegang sekali. Itulah suara dari Siao Hui bujang dari si
jelita Ki Ing. Cu Jiang teringat bahwa dia pernah menggunakan
Piagam Hitam atas nama jelita itu. Tak tahu ia bagaimana
nanti akan memberi pertanggungan jawab kepada nona
jelita itu. Pada saat itu nona cantik yang berada diatas kuda,
berpaling ke arah Cu Jiang. Ah, siapa lagi kalau bukan si
jelita Ki Ing. Jelita itu hentikan kudanya dan menegur:
"Benarkah engkau mempunyai pending dari kumala
hijau?" Cu Jiang terkejut dan menyahut dengan gelagapan:
"Benar, nona... tetapi bagaimana nona tahu hal itu?"
"Hai, kiranya engkau pandai berpura-pura. Hampir tak
dapat mengenali engkau."
"Apa kata nona ?" Cu Jiang tegang sekali.
"Dari mana engkau memperoleh giok-pwe itu ?"
Cu Jiang sudah mendapat akal. Dengan wajah serius ia
menjawab: "Bukankah nama nona ini nona Ki Ing ?"
"Bagaimana engkau tahu ?" balas si jelita.
"Panjang juga kalau diceritakan ..."
"Panjang atau pendek harus engkau ceritakan!"
"Sungguh nona," kata Cu Jiang, "apabila nona tak
bertanya, hampir saja aku lupa."
"Ceritakan yang jelas."
"Cerita itu harus mulai dari awal..."
"Lekas!"
"Aku seorang desa. Kadang aku berburu ke hutan.
Belum lama ini ketika berada di gunung Thian san aku telah
berjumpa dengan seorang kong cu yang tampan . . ."
Ki Ing serentak loncat turun dari kudanya dan berseru
tegang: "Seorang pemuda berbaju putih?"
"Benar, nona," Cu Jiang mengangguk.
"Teruskan..."
"Tetapi kongcu itu telah menderita kecelakaan yang tak
terduga...."
Seketika berobah cahaya wajah jelita itu dan serentak ia
berseru dengan nada gemetar: "Menderita kecelakaan
bagaimana?"
"Menderita luka parah sekali !"
"Luka parah ?"
"Ya."
"Lalu ?"
Cu Jiang segera mengambil pending kumala dari dalam
bajunya dan berkata:
"Dia minta tolong kepadaku untuk menyerahkan
kembali kumala ini kepada nona. Dan dia bilang ...."
Air mata si jelita mulai berlinang-linang hendak menetes.
"Bilang apa?" serunya nada beriba-iba.
Hati Cu Jiang seperti disayat-sayat rasanya. Namun
kuatkan perasaannya.
"Kongcu itu mengatakan," katanya, "dia kuatir takkan
dapat hidup lebih lama di dunia. Benda itu tak boleh
sampai jatuh ke lain orang, jika Thian masih memberi umur
panjang kepadanya, belum tentu dapat berjumpa lagi
dengan nona. Namun kalau memang ditakdirkan sampai
disitu saja hidupnya maka cinta kasih nona itu pasti akan
dibawanya ke akhirat dia bersumpah, kelak pada penitisan
yang akan datang, tentu akan melaksanakan tali asmara
dengan nona."
Jelita Ki Ing tak tahan lagi untuk membendung air
matanya yang berderai-derai menumpah ke tanah. Dengan
suara sedih dia berseru:
"Tidak... dia takkan mati... dia takkan..."
Bujang Siau Huipun mengucurkan airmata. Buru2 ia
mengusapnya dengan ujung baju.
Menghadapi keadaan seperti itu, hampir saja Cu Jiang
pingsan. Jelas sudah betapa besar dan suci kasih si jelita itu
tertumpah kepadanya. Betapa ingin saat itu dia memeluk si
jelita dan mengatakan: "Ing, kekasihku, engkau tak tahu
betapa besar cintaku kepadamu...."
Tetapi ah, nasib. Kini dia telah berobah menjadi seorang
pemuda yang buruk wajah. Tidakkah si Jelita itu akan
hancur hatinya apabila mengetahui keadaan dirinya saat
itu" "Tidak ! Biarlah aku yang menderita sendiri!"
"Tidak ! Bukan nasib, tetapi manusia gila itu yang
membuat diriku begini sengsara. Tuhan tidak menakdirkan
aku harus berwajah begini buruk. Ke dua orang tuaku pun
melahirkan aku dengan wajah yang cakap.
Hanya manusia jahanam itu yang telah merusak
wajahku. Merekalah yang harus ku balas. Mereka harus
mengalami penderitaan yang lebih hebat dari diriku."
Setelah terjadi pergolakan dalam hatinnya, dapatlah Cu
Jiang menemukan letak dirinya. Dia huras kuatkan hati.
Dia harus hidup. Dia membuang kesamping segala
penderitaan dalam asmara. Dia masih mempunyai tugas
besar untuk menghimpas dendam berdarah dari keluarga
dan dirinya sendiri.
Kini dia telah menyerahkan kembali pending kemala itu
kepada pemiliknya. Berarti dia telah menyelesaikan salah
satu dari sekian rencananya.
"Lalu apa katanya lagi ?" tiba2 Jelita itu bertanya.
"Tidak ada lagi."
"Bagaimana engkau tahu akan kegunaan giok pwe ini ?"
tanya si Jelita pula.
"Kongcu itu yang memberitahu kepadaku. Dia kuatir
aku tak berhasil menyampaikan benda itu kepada nona."
Ki Ing menyambuti pending kumala pengikat asmara itu
Air matanya bercucuran....
"Nona." kata Siau Hui dengan lemah lembut, "orang
baik tentu akan dilindungi Tuhan. Jangan nona kelewat
bersedih sehingga dapat mengganggu kesehatan nona."
Ki Ing memandang tajam2 kepada Cu Jiang serunya:
"Engkau menggunakan pending ini untuk menolong
seseorang ?"
"Ya."
"Apa hubungannya orang itu dengan dirimu ?"
"Tak ada hubungan apa2, hanya karena belas kasihan
saja." "Engkau sungguh bernyali besar...."
"Mengapa ?"
"Engkau tahu siapa yang menangkap orang itu ?"
"Menurut kata2 yang kudengar, mereka adalah dari
Gedung Hitam..."
"O, engkau mengacau sekali. Sudah cukup kalau engkau
tunjukkan benda ini untuk menolong jiwa orang, tetapi
mengapa engkau masih mendesak mereka supaya
melepaskan orang itu."
Diam2 Cu Jiang merasa bahwa perbuatannya itu
memang keterlaluan. Tetapi karena hal itu sudah terlanjur
dan ia merasa bahwa sebagai seorang pemuda yang berjiwa
kesatria harus berani bertindak menentang kelaliman, maka
diapun harus berani mempertanggung jawabkan.
Untung sekarang wajahnya telah tertutup dengan bekas2
noda hitam sehingga orang sukar untuk mengenalinya lagi.
Beberapa saat kemudian ia meminta maaf:
"Mohon nona suka memberi maaf."
"Hm, sudahlah, karena sudah terlanjur, tak perlu
diungkit lagi."
"Sungguh tak kusangka.... bahwa giok-pwe yang begitu
kecil ternyata mempunyai daya perbawa yang begitu hebat.
Mohon tanya, apakah nona pemilik dari giok-pwe itu ?"
"Soal ini.... tak perlu engkau tanyakan. Apakah kongcu
itu mengatakan namanya kepadamu ?"
"Tidak."
"Dimana dia mendapat luka?"
"Di tengah gunung Bu-leng-san, kira2 perjalanan sehari
dari Li jwan."
"Siapa yang melukainya ?"
"Kongcu tak mengatakan."
"Apakah engkau tak berusaha untuk memberi pertolongan kepadanya ?"
Cu Jiang membuat gerakan tangan seperti orang yang
putus asa.

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kongcu itu aneh dan keras wataknya. Setelah
menyerahkan giok-pwe ini dia terus suruh aku lekas pergi.
Katanya, musuh masih berkeliaran disekeliling tempat itu.
Dan katanya, lukanya itu luka dalam, tak sembarang tabib
dapat mengobati."
Walaupun terpaksa harus merangkai kata2 kosong, tetapi
dapatlah alasan2 itu diterima akal. Dan dibawakan dengan
cepat dan lancar, mau tak mau Ki Ing percaya juga.
Sekalipun begitu perasaan Cu Jiang seperti di iris dengan
pisau. Dia terpaksa harus berbohong demi menjaga agar
nona itu jangan sampai hancur hatinya.
Ki Ing menghela napas rawan.
"Siapakah namamu?" tiba2 ia bertanya.
"Ah, aku tak memakai nama lagi. Orang2 memanggil
aku si Gok-jin-ji."
"Gok-jin-ji?"
"Ya."
Gok-jin-ji artinya Anak sengsara. "Apakah karena
khusus hendak mengantarkan benda ini lalu engkau turun
gunung?" "Boleh di kata begitu."
"Kalau begitu, silahkan engkau kembali ke gunung lagi."
Cu Jiang gelengkan kepada, "Tidak, aku takkan pulang
ke gunung lagi."
Ki Ing kerutkan alis. "Kenapa?"
"Aku sudah sebatang kara dan hidup sengsara. Tak
punya sanak keluarga tak punya tempat tinggal dan masih
cacat begini. Sering aku menerima hinaan dan cemoohan
orang. Maka aku hendak mengembara saja untuk cari
sesuap nasi."
"Ah, kurasa tak perlu," kata Ki Ing, "antarkanlah aku ke
tempat engkau bertemu dengan kongcu tempo hari. Setelah
itu selesai kucarikan tempat untukmu menetap dengan
tenang." "Ah, terima kasih atas kebaikan nona," sahut Cu Jiang.
"O, kalau begitu, bagaimana kalau kuberimu uang untuk
modal berdagang saja ?"
"Terima kasih, kongcu sudah memberi tak sedikit uang
kepadaku."
"Apakah engkau tak mau menunjukkan jalan ?"
"Bukan tak mau, nona. Tetapi aku sudah bersumpah
takkan kembali ke gunung lagi."
"Kalau kuwajibkan engkau menunjukkan jalan ?"
"Sekalipun nona membunuh aku, aku tetap tak mau
melanggar sumpahku."
Seketika wajah si Jelita Ki Ing berobah. Tetapi pada saat
itu terdengar gemuruh derap kaki kuda berlari. Pada lain
kejap tampak empat ekor kuda mencongklang tiba.
Ternyata mereka empat orang Pengawal Hitam.
Melihat mereka seketika meluaplah kemarahan Cu
Jiang. Ketika melalui tempat Cu Jiang bertiga dua orang
Pengawal Hitam agak melambatkan kudanya, kemudian
memacunya lagi kencang2. Mereka seolah tak menghiraukan ketiga anak muda itu.
Cu Jiang merasa heran. Apakah kawanan Pengawal
Hitam itu jeri akan Piagam Hitam" Sesaat Cu Jiang merasa
makin heran akan diri si jelita Ki Ing yang tak diketahui
riwayatnya itu.
"Apakah nona itu..." Tiba2 timbul pikirannya untuk
menyelidiki, katanya.
"Dunia persilatan mengatakan bahwa kawanan Pengawal Hitam itu suka malang melintang mengunjuk
keganasan. Tetapi rasanya kenyataannya lain."
"Kenapa ?" Ki Ing bertanya dengan dingin.
"Tidakkah nona tadi menyaksikan sikap kedua Pengawal
Hitam yang memandang kita dengan pandang meremehkan
?" "Mungkin kita tak salah apa2."
"Tetapi kurasa tidak..."
"Lalu ?"
"Karena mempunyai hubungan dengan nona."
"Dengan aku" Hubungan apa?"
"Karena nona sebagai pemilik Piagam Hitam, mereka
tak berani..."
"Engkau keliru." kata Ki Ing tetapi terus tak mau
melanjutkan kata-katanya.
Cu Jiang melanjutkan usahanya untuk menyelidiki.
"Adakah tiada seorangpun dalam dunia persilatan yang
tahu jelas akan keadaan Gedung Hitam ?"
Ki Ing menatap sejenak pada Cu Jiang lalu menyahut
dingin. "Mungkin."
"Apakah nona juga tak tahu ?"
"Ai, benar2 sangat rahasia sekali..."
"Bagaimana, engkau mau menunjukkan jalan atau tidak
?" Cu Jiang tundukkan kepala lalu menyahut: "Aku tak
mau melanggar sumpahku sendiri, mohon nona sudi
memaafkan."
"Baik, mengingat engkau telah melakukan permintaannya dengan baik untuk memberikan giok-pwe
ini kepadaku, akupun tak mau menyusahkanmu !" habis
berkata si jelita terus loncat keatas kuda dan mengajak Siau
Hui pergi. Ooo0dw0ooO Jilid 5 Cu Jiang terlongong-longong memandang bayangan si
jelita itu Hanya dengan kekerasan hatinya untuk menuntut
balas dan mengingat wajahnya yang rusak, baru dia dapat
menindas nyala api asmaranya.
Tetapi dia tak mungkin dapat melupakan cinta kasih
asmara dari dara jelita. Walaupun pada kehidupannya yang
sekarang tak mungkin dia dapat bersanding dengan jelita itu
tetapi kelak dalam penitisannya yang akan datang ia
bersumpah akan memenuhi janji terhadap jelita itu.
Bayangan Ki Ing lenyap dan lenyap pula percik asmara
yang membara dalam hatinya. Kini perasaan hatinya
hampa, sehampa cakrawala yang luas.
"Bagus, budak! Engkau berani menolak rejeki besar" Ho,
masakan engkau mampu terbang ke langit?"
Tiba2 terdengar suara orang berseru dan seketika
terbanglah semangat Cu Jiang. Cepat ia berputar tubuh. Ah,
siapa lagi kalau bukan si manusia aneh yang berwajah
seperti mayat itu.
"Jika lo-toa tidak memilih engkau, saat ini tentu
kuhancur leburkan tubuhmu!" seru manusia aneh itu.
Nadanya yang seram, meregangkan bulu roma.
Cu Jiang tahu bahwa sia2 saja untuk meloloskan diri.
Melawanpun juga percuma. Maka ia bersikap tenang dan
menyahut: "Hendak engkau apakan diriku ?"
"Kubawa pulang!"
"Itu tergantung aku suka atau tidak."
"Ha, ha, ha." manusia aneh itu tertawa gelak2, "budak,
engkau bermimpi disiang hari. Masakan engkau bebas
berbuat sesuka hatimu."
"Kalau aku melawan sampai mati. . ."
"Matipun sukar bagimu. Kalau memang kami menghendaki jiwamu, tak mungkin engkau dapat lari,
sekalipun engkau mau bersembunyi ke liang semut !"
"Apakah di dunia ini terdapat cara mengambil murid
dengan paksaan?"
"Kami memang lain dari yang lain."
"Paling tidak, kalian harus memberitahu kepadaku siapa
sebenarnya kalian ini."
"Apabila sudah tiba waktunya, tentu. Sekarang Jangan
banyak bicara yang tak berguna."
Cu Jiang tertawa hambar. Ia tertawa mengejek nasibnya
yang buruk. "Hayo, berangkat!" tiba2 manusia aneh itu membentak.
Tetapi pada saat itu juga terdengar suara kelinting
menusuk telinga. Asalnya dari tengah hutan yang tak jauh
dari tepi jalan.
Cu Jiang tergerak hatinya. Ia tahu bahwa yang datang itu
tentulah Kim Leng hujin.
Manusia aneh keliarkan pandang ke sekeliling lalu
menggeram marah:
"Hai, nenek itu memang sengaja membentur kita
bersaudara."
Cepat ia berputar tubuh terus menyambar Cu Jiang tetapi
pada saat itu juga terdengar suara orang melengking:
"Ong Sip Bo. engkau hendak lari?" menyusul sesosok
bayangan berkelebat menghadang Jalan. Manusia aneh
terpaksa berhenti.
Cu Jiang mengangkat muka dan melihat seorang wanita
tua tegak dua tombak disebelah muka. Wajahnya dingin
sekali. Cu Jiang segera menduga wanita tua itu tentulah
Kim Leng hujin.
Kim Leng hujin menyebut itu dengan nama Ong Sip Bo.
Mungkin namanya memang begitu.
"Hujin hendak memberi petunjuk apa kepadaku?" seru
Ong Sip Bo si manusia aneh.
Kim Leng hujin berseru dingin:
"Ong Sip Bo, apakah engkau hendak melakukan
perbuatan yang melanggar peraturan Thian" Dari mana
engkau menangkap anak itu?"
"Dia bakal menjadi pewaris kami bersama."
"Pewaris dari kalian bersama?"
"Benar."
"Setan yang mengatakan begitu!" karena marah Cu Jiang
berteriak. Manusia aneh marah. Ia keraskan kepitannya sehingga
Cu Jiang meringis kesakitan karena tulangnya seperti patah.
"Lepaskan anak itu!" tiba2 Kim Leng hujin berseru.
"Kenapa?"
"Tak boleh merusak tunas dunia persilatan!"
"Kalau aku tak mau?"
"Engkau Ong Sip bo, belum layak untuk mengucap kata2
tidak di hadapanku."
"Apakah hujin benar-2 bermaksud hendak memusuhi
kami bersaudara?"
"Urusan di antara kita masih belum selesai.
"Aku akan menyelidiki di mana putera dari Lan Tay Hu
itu sampai ketemu. Apabila kalian yang mencelakainya,
kalian harus mengganti kerugian."
"Ya, tak usah membicarakan hal itu. Yang sekarang
saja." "Sekarang kusuruh engkau lepaskan dia!"
"Tidak bisa."
"Coba katakan sekali lagi!"
"Mau turun tangan?"
"Jika perlu."
"Kim Leng hujin, ketahuilah. Kami bersaudara selama
ini tak pernah tunduk pada siapa saja. . ."
"Aku tak peduli."
"Jangan kira aku hanya seorang diri . . ."
"Lepaskan dia!" seru Kim Leng hujin dengan tegas dan
keras seraya mengangkat tangan kanannya ke dada. Pada
lengannya tampak sebuah kelinting emas sebesar cawan
arak. Warnanya kuning emas.
Ong Sip Bo menyurut mundur selangkah.
"Hujin, setiap dendam, kami bersaudara pasti akan
membalasnya!" serunya dengan suara getar-getar seram.
Kim Leng hujin tertawa dingin.
"Itu urusan besok. Sekarang engkau lepaskan anak itu."
"Kalau aku tak meluluskan?"
"Tanganku ini akan memberi jawaban!"
"Baik, jangan kira aku Ong Sip Bo takut kepadamu."
Terdengar suara orang tertahan. Tubuh Cu Jiang
terlempar sampai empat tombak jauhnya dan terbanting di
tanah. Sebelum melemparkan, lebih dulu Ong Sip Bo sudah
menutuk jalan darahnya.
Kim Leng hujin memandang ke arah Cu Jiang. Ia
kerutkan alis. Mungkin saat itu baru dia mengetahui betapa
buruk wajah Cu Jiang.
Cu Jiang mempunyai kesan baik kepada wanita itu. Ia
merasa berterima kasih. Memang kemarin tak sengaja
wanita tua itu dalam mencari cucunya, tanpa sengaja telah
menolong dirinya. Tetapi sekarang mungkin lain lagi
artinya. Tanpa berkata apa2, Ong Sip Bo terus menerkam Kim
Leng hujin. Karena merasa kepandaiannya kalah dengan
wanita tua itu maka dia hendak turun tangan lebih dulu
selagi orang belum siap.
Terkaman yang di lakukan dengan kedua tangan itu
cepatnya bukan kepalang, dahsyatnya bukan main dan
ganasnya bukan olah2.
Diam2 Cu Jiang leletkan lidah. Ia merasa, sekalipun
waktu dirinya belum cacat tak mungkin dia mampu
menghindari terkaman manusia aneh Ong Sip Bo itu.
Diam2 tak habis herannya. Mengapa pada waktu akhir2


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini dia selalu bertemu dengan tokoh2 yang sakti.
Tepat pada saat tubuh Ong Sip Bo bergerak, tubuh Kim
Leng hujinpun sudah berkisar ke samping. Reaksinya
ternyata cepat sekali.
"Kelinting . . . ting ..."
Kelinting emas yang berada pada lengan wanita tua itu
segera berbunyi tajam. Suaranya seperti menusuk telinga,
Beda dengan bunyi kelinting yang didengar Cu Jiang
semalam. Jika semalam nadanya amat menyegarkan
semangat dan sedap di dengar, saat itu seperti menusuk
telinga dan penuh dengan hawa pembunuhan.
Wajah yang pucat seperti mayat dari Ong Sip Bo tampak
membeku, kedua kakinyapun melentuk setengah berlutut.
Sepasang tangannya di taruh di dada dan telapaknya
menghadap ke muka . . .
Bagi ahli persilatan tentu segera tahu bahwa dia sedang
melangsungkan pertempuran tenaga-dalam yang dahsyat.
Cu Jiang baru pertama kali itu mengetahui bahwa suara
kelinting dapat menghamburkan tenaga-dalam untuk
menyerang orang.
Diam2 Cu Jiangpun mengharap agar seperti semalam,
Kim-Leng hujin mau membebaskan jalan darahnya yang
tertotok. Tetapi dia harus menggigit jari.
Tak berapa lama tampak Ong Sip Bo gemetar. Keringat
sebesar kedelai bercucuran dari dahi dan kepalanya. Jelas
tenaga dalamnya masih kalah setingkat dengan Kim Leng
hujin. Dan siapa yang akan kalah atau menang sudah dapat
diduga. Tiba2 terdengar suara mengerang pelahan dan Ong Sip
Bo pun segera sempoyongan ke belakang sampai lima enam
langkah. Mulutnya menyembur darah. Rupanya dia telah
menderita luka dalam yang tak ringan.
Tiba2 suara kelinting berhenti
Semangat Cu Jiangpun tiba2 menyala. Ia mempunyai
harapan lagi untuk tertolong.
"Perhitungan ini kelak kita selesaikan lagi. Apa sekarang
engkau masih hendak mengatakan apa2 lagi?" seru Kim
Leng hujin dengan nada dingin.
Ong Sip Bo tertawa menyeringai:
"Aku selalu dapat membedakan antara budi dan
dendam." Sambil mengangkat tangan memberi isyarat, Kim Leng
hujin berseru: "Sekarang silahkan engkau pergi. Tiap saat aku siap
menyambut kedatangan kalian. "
"Aku masih mempunyai sebuah permintaan bahwa
budak itu adalah pewaris dari kami bersaudara."
"Benar" "
"Ya."
"Apakah dia suka?"
"Soal itu bukan urusanmu!"
"Haa. baik, " dengus Kim Leng hujin, "silahkan engkau
pulang. " "Baik, kelak jangan engkau menyesal, " seru Ong Sip Bo
terus melesat pergi.
Kim Leng hujin menghampiri ke tempat Cu Jiang. Ia
gerakkan tangan menampar ke udara dan tahu2 Cu Jiang
dapat bergerak. Serentak pemuda itu melenting bangun lalu
memberi hormat sedalam-dalamnya di hadapan Kim Leng
hujin: "Terima kasih atas budi pertolongan locianpwe"
"Tak usah," kata Kim Leng hujin, "siapa namamu?"
"Aku ... ah, wanpwe bernama Gok-jin-ji. "
"Gok-jin ji?"
"Benar. "
"Apakah engkau benar menjadi pewaris dari kawanan
manusia iblis itu?"
"Tidak, lo cianpwe.. Aku telah ditawan mereka."
"Ya, kutahu. Itulah sebabnya kutolong engkau. Apakah
engkau tahu keadaan pemuda2 yang senasib dengan
engkau?" "Dengan mata kepala sendiri wanpwe menyaksikan
mereka telah membunuh sepuluh pemuda ..."
"Di mana?"
"Gedung tua yang lo cianpwe pernah datang itu...."
"Apakah diantaranya terdapat putera Lau Tay Hu dari
Seng-mui?"
"Soal itu wanpwe tak tahu. Apakah sebelum kesepuluh
pemuda itu masih terdapat korban lainnya, juga wanpwe
tak tahu. Apabila locianpwe dapat menemukan mayatnya,
mungkin locianpwe dapat mengenali..."
"Bagus !" seru Kim Leng hujin tetapi tiba2 ia mendengus
dan kerutkan alisnya yang sudah putih, "Aah, salah."
Cu Jiang terkejut.
"Apa yang salah, locianpwe?"
"Apakah ilmu tenaga-dalammu sudah mencapai tataran
dapat menyatukan darah dengan hawa dalam tubuh?"
"Ya, sudah dapat walaupun dipaksakan."
"Cobalah engkau salurkan tenaga-dalammu ke arah jalan
darah Ing-joan dan bu it, bagaimana keadaannya?"
Cu Jiang terkejut. Segera ia kerahkan tenaga-dalam
untuk melancarkan ke arah kedua jalan darah itu. Begitu
mencoba seketika wajahnya berobah.
"Benar, locianpwe, dalam jalan darah itu seperti terdapat
suatu benda yang bergerak-gerak menusuk dengan tajam. .
." "Iblis yang ganas sekali!"
"Apakah Ong Sip Bo itu telah menyusupkan sesuatu ke
dalam tubuh wanpwe?"
"Benar," kata Kim Leng hujin, "tampaknya dia hanya
menutuk jalan darahmu. Tetapi diam2 dia telah
melancarkan tangan ganas Im-sat-tui-beng-ci."
"Im-sat tui-beng-ci?" ulang Cu Jiang.
Im-sat-tui-beng-ci artinya ilmu Jari-penghancur nyawa.
"Ya, apa engkau pernah dengar?"
"Belum pernah."
"Ilmu jari itu telengas sekali. Kecuali mereka, tiada
seorangpun tokoh persilatan lain yang mampu memberi
pertolongan."
"O, tiada orang lain yang mampu menolong?"
Kim Leng hujin mengangguk. Ia menghela napas.
"Gok-jin ji, saat ini engkau hanya mempunyai sebuah
jalan . . ."
"Bagaimana?" seru Cu Jiang tegang sekali.
Kim Leng hujin mengerut dahi lalu berseru dengan nada
tegas: "Engkau harus kembali kepada mereka !"
"Tidak bisa, locianpwe."
"Jika begini engkau tentu mati."
Semangat Cu Jiang serasa terbang mendengar kata2
wanita sakti itu. Namun dia tetap sekokoh batu karang
pendiriannya. "Locianpwe," serunya dengan nada gemetar: "Mati
biarlah mati, tetapi wanpwe tak mau menggabung pada
Mo-to (aliran Jahat)."
Kim Leng hujin berkata dengan rawan:
"Ah, tak kira kalau engkau benar2 seorang anak yang
berpambek tinggi. Setengah jam kemudian, tenagamu
sudah lenyap. Dan besok pagi pada saat ini... darahmu akan
bergelimpangan. Suatu siksa penderitaan yang tak dapat
dibayangkan ngerinya. Maka lebih baik engkau ikut mereka
dulu, pelahan-lahan mencari daya lagi. Jangan kuatir, aku
selalu membantumu."
Cu Jiang menghela napas. Dengan perasaan yang sedih
dia berkata: "Apabila locianpwe mempunyai keperluan lain, silahkan
locianpwe melanjutkan perjalanan."
"Tetapi engkau . . ."
"Akan kuserahkan nasibku kepada Allah !"
"Nak, jangan berkeras kepala. Rasanya tiada jalan lain
lagi kecuali itu."
"Nasibku sudah kenyang dengan penderitaan. Mati
hidup tiada artinya bagiku."
Kim Leng hujin merenung sejenak lalu berkata:
"Baiklah, engkau tunggu saja disini. Kalau lawan
memang tak mau melepaskan engkau, mereka tentu akan
datang kemari mencarimu. Aku perlu lekas mencari jejak
cucuku yang hilang itu, terpaksa aku pergi dulu."
Sebelum pergi kembali Kim Leng hujin memandang Cu
Jiang dan berseru:
"Kawanan Iblis itu senang sekali dengan bahan tulangmu
yang bagus...."
"Mohon tanya, siapakah mereka itu ?"
"Durjana iblis yang telah termasyhur dalam dunia yaitu
Kiu-te-sat !" habis memberi keterangan Kim Leng hujin
terus melesat pergi.
Seorang diri Cu Jiang masih termangu-mangu diam. Dia
tak mengira bahwa kawanan iblis itu tak lain adalah Kiu-tesat atau Sembilan iblis neraka.
Saat itu dia merasa tenaganya mulai hilang persis seperti
yang dikatakan Kim Leng hujin tadi. Pada kedua jalan
darah di punggungnya terasa sakit sekali.
Walaupun perangainya amat tinggi hati dan didepan
Kim Leng hujin menyatakan tak menghiraukan soal mati
atau hidup, tetapi setelah berada seorang diri, dia
menyadari bahwa mati hidup merupakan soal penting
baginya. Dia bukan takut mati tetapi bila ia mati, dia tentu tak
dapat melaksanakan angan-angannya untuk membalaskan
dendam berdarah dari keluarganya. Dengan begitu dia tentu
akan jadi setan penasaran.
Cita-cita hidupnya hanya melakukan pembalasan. Jika
hal itu sudah terlaksana, mati bukan soal lagi baginya. Dan
untuk melaksanakan hal itu seharusnya dia tak menghiraukan lagi masuk menjadi murid dari perguruan
apapun juga. Hm, apabila dia dapat menghisap ilmu kesaktian dan
tentulah dia dapat melaksanakan pembalasan itu.
Semasa hidupnya, mendiang ayahnya bergabung dalam
aliran Cing-pay sehingga mendapat gelar agung Kiam-seng
atau Nabi-pedang. Tetapi akhirnya bagaimana jadinya"
Tiba pada kesimpulan itu pandangannya pun mulai
mengalami perubahan. Perasaannyapun agak longgar.
Maka dia lalu beralih ketepi jalan hutan itu. Menurut
perhitungannya, Ong Sip Po tentu akan mencarinya.
Setengah jam kemudian ternyata tiada orang yang
datang, baik Ong Sip Po maupun kawan-kawannya.
Dendamnya makin menebal.
Dengan menahan rasa sakit yang sukar ditahan, dia
segera rebahkan diri dibawah pohon dan mengerang-erang.
Tiba2 sesosok bayangan berkelebat tiba dihadapannya.
Ketika Cu Jiang memandangnya makin terperanjat.
Kiranya yang datang itu bukan Ong Sip Po melainkan
manusia aneh yang berwajah mengerikan, kepala lancip,
brewok, Hidung besar, bibir tebal, kumis kuning yang
jarang, mata runcing seperti tikus.
Cu Jiang diam saja.
"Hai budak, mengapa nenek itu tak membawamu pergi
?" tegurnya.
Yang dimaksud nenek tua itu tentulah Kim Leng hujin.
Tiba2 Cu Jiang teringat akan cerita mendiang ayahnya
dulu tentang diri kesembilan iblis Kiu-te-cat itu.
"Kiranya anda tentulah Song-bun sat Pik Thay Koan."
serunya. "Hai, budak, siapa yang memberitahu engkau!" teriak
manusia buruk itu.
"Secara tiba2 saja aku teringat."
"Benar, memang aku ini Song-bu sat Pik Thay Koan,"
akhirnya manusia buruk wajah itu mengaku.
"Lalu anda akan bertindak bagaimana terhadap aku ?"
"Engkau tentu sudah mengetahui riwayat kami
bersaudara. Sekarang aku hanya ingin bertanya sebuah
pertanyaan . . ."
"Silahkan!"
"Engkau sudah mempertimbangkan atau belum "
Bagaimana, apakah engkau suka menjadi murid kami?"
Setelah diam beberapa jenak, akhirnya Cu Jiang
menyahut dengan mengertak gigi.
"Baik. aku suka..."
"Dengan sungguh hati?"
"Tentu."
"Tetapi jangan coba2 melarikan diri," kata Pik Thay
Koan lalu menotokkan delapan jari tangannya ke tubuh Cu
Jiang, Setelah itu dia tertawa mengekeh dan berseru:
"Budak, bangunlah !"
Rasa sakit pada tubuh Cu Jiang lenyap seketika.
Tenaganyapun pulih. Cepat ia meloncat bangun.
Pik Thay Koan meliriknya dan mengangguk: "mata LoJit nampaknya tajam sekali. Memang benar2 sebuah bahan
yang bagus!"
Sekonyong-konyong mata Cu Jiang tertumbuk pada
pemandangan yang mengejutkan. Ia melihat tangan kiri Pit
Thay Koan hilang jari tengahnya.. Seketika teringatlah dia
akan pemandangan yang menyayat hati ditempat kedua
orang tua dan adiknya dibunuh dahulu.
Dia telah menemukan dua jari tangan dan sebuah
lengan. Kedua jari itu, jari tengah dan jari telunjuk mungkin
jari kelingking. Dia belum dapat memastikan adakah kedua
jari dan sebuah lengan itu milik seorang atau beberapa
orang. Dia telah melihat kesembilan iblis Kiu te-sat itu semua.
Diantara mereka tiada terdapat ketiga manusia aneh yang
telah menganiaya dan melemparkan dirinya kedalam jurang
itu.

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi kalau menurut keadaan medan pertempuran itu,
kemungkinan bukan hanya kesembilan iblis Kiu-te-sat itu,
pun tentu terdapat juga ketiga manusia aneh dan mungkin
masih ada beberapa orang lain lagi yang melakukan
pengeroyokan kepada kedua ayah bundanya.
Dia harus menyelidiki hal itu sampai jelas. Dan sungguh
kesempatan yang menguntungkan sekali karena lawan telah
menyukai dirinya.
Dan sengajalah dia pura-pura jual mahal, serunya:
"Ah, tetapi sayang, bahan itu sudah tiada gunanya lagi . .
." "Budak, jangan memandang rendah dirimu sendiri.
Kami bersaudara pasti akan memberimu kepandaian sakti.
Tak perlu kecewa karena cacad tubuh !"
"Apakah sekarang kita akan berhasil ke gedung tua itu
lagi?" "Tidak, kita sudah mendapat tempat lain yang lebih
rahasia." "Di mana?"
"Nanti engkau tentu tahu sendiri. Mari, akan kubantumu
dalam perjalanan supaya dapat menghemat waktu, " kata
manusia buruk itu terus mengangkat Cu Jiang dan
mengepitnya lalu lari kencang. Dia tak mengambil jalan
besar, melainkan melintasi hutan menuruni ke luar kota.
Song bun-sat atau Iblis-pintu-neraka Pek Thay Koan
memang hebat sekali kepandaiannya. Dua jam terus
menerus lari secepat angin, tetapi dia tak lelah.
Di sebelah muka merupakan deretan gunung yang
berlapis-lapis. Sukar untuk mencari jalan tetapi Song-bunsat Pek Thay Koan dapat melintasinya seperti berjalan di
tanah datar. Tak berapa lama mereka masuk ke dalam sebuah
lembah. Pohon2 tumbuh tinggi, daunnya yang rindang,
menutupi sinar matahari. Menilik batu2 berobah hijau
terbungkus pakis dan tanah. tertimbun tumpukan daun2
yang tebal, jelas sudah lama tiada orang yang datang ke
lembah itu. Meletakkan Cu Jiang, Pek Thay Koan berkata:
"Budak, sudah tiba, berjalanlah sendiri perlahan-lahan. "
Walaupun kaki kirinya cacad tetapi kepandaian Cu Jiang
masih cukup baik. Dia dapat berloncatan memasuki hutan.
Setengah jam kemudian baru tampak sinar matahari
memancar pada sebuah tanah lapang. Rupanya sebuah
tempat yang baru saja dibuat orang.
Tanah lapang itu lebih kurang seluas setengah bahu. Padi
ujung yang menempel batu karang, tampak beberapa rumah
batu yang dikelilingi rumput dan pohon2 rotan. Suasananya
menyeramkan. Song-bun sat Pek Thay Koan mengajak Cu Jiang masuk.
Di dalam ternyata sudah menunggu dua orang. Yang satu si
orang tua jubah hitam Tian Heng.
Kini Cu Jiang sudah dapat mengetahui bahwa Tian
Heng ini adalah kepala dari Kiu-te-sat dan bergelar Te-lengsat atau Iblis-penunggu-bumi. Dan yang satu adalah Ong
Sip Po atau orang yang jatuh pada urutan ketujuh, bergelar
Tui-beng sat atau Iblis-pemburu nyawa.
"Toako ini orangnya sudah datang!" seru manusia buruk
Pek Thay Koan. "Ah, bikin cape engkau saja, ji-te." sahut Te-leng-sat,
tokoh kesatu dan Kiu-te-sat.
Cu Jiang masih bersikap angkuh. Dia berdiri seperti
patung. Tak mau memberi hormat dan tak sudi bicara.
Karena kaki kirinya agak pendek sedikit maka berdiri dia
miring ke sebelah kiri.
Dalam rumah itu telah disiapkan sembilan buah kursi.
Di tengah satu dan kanan kiri masing2 empat kursi.
Song-bun-sat Pek Thay Koan duduk di sebelah dari kursi
pertama. Sedang Tui-beng-sat Ong Sip Po duduk pada kursi
kedua. Rupanya kesembilan durjana itu mempunyai disiplin
yang baik sekali. Mereka menghormati kedudukan
masing2. Sejenak memandang Cu Jiang, berserulah jubah hitam
Tian Heng: "Budak, aku hendak bertanya kepadamu dengan
sungguh2. Maukah engkau menjadi murid pewaris dari
kami bersembilan saudara?"
Dalam hati Cu Jiang tak sudi tetapi karena keadaan dan
demi tujuannya, maka terpaksa dia mengangguk dan
menyatakan kesediannya.
"Apa yang menyebabkan engkau berobah pendirian?"
"Nama besar dari anda bersembilan !"
"Hm, dengarkanlah. Setelah persiapan2 selesai kami
lakukan, barulah nanti diadakan upacara penerimaan
murid." "Ya."
"Dalam dunia persilatan tiada yang disebut benar atau
salah. Yang lemah tentu dimakan yang kuat. Kekerasan
merupakan keadilan. Engkau tak membunuh, tentu akan
dibunuh. Mengertikah engkau" Apa yang disebut Ceng dan
Shin ( putih dan Hitam ), sukar ditentukan. Mereka yang
menepuk dada sebagai jagoan aliran Ceng-to, diam2
mereka merupakan manusia yang buas melebihi binatang.
Dan yang dianggap sebagai kawanan aliran Hitam, belum
tentu semua hitam . . ."
Wejangan yang berdasar atas pandangan diri sendiri itu,
membuat tubuh Cu Jiang gemetar. Tetapi diam2 diapun
mengakui bahwa apa yang dikatakan kepala Kiu-te-sat itu
tidak semua salah. Misalnya, mendiang ayahnya sendiri,
tak membunuh orang tetapi akhirnya dibunuh orang.
Tetapi Kiu-te-sat pun telah melakukan penjagalan
terhadap belasan pemuda, hal itu takkan dapat dilupakan
Cu Jiang, Adakalanya Baik dan Buruk itu sukar dibedakan
tetapi ada kalanya memang menyolok sekali perbedaannya.
Tokoh golongan Putih, betapapun jahatnya, tentu takkan
melakukan perbuatan yang sedemikian ganas.
Demikian tak terasa waktu berjalan cepat sekali. Sudah
sepuluh hari Cu Jiang berada di pondok dalam lembah
belantara itu. Sehabis makan pagi, dia bersama ketiga iblis
itu duduk bercakap-cakap di ruang tengah.
Tiba2 sesosok tubuh lari terhuyung-huyung. Mereka
berempat serempak berbangkit.
"Lo-ngo! " seru Song-bun-sat Pek Thay Koan.
Blum.... tubuh orang itu membentur pintu dan terus
rubuh ke lantai.
Tubuh hitam Thian Heng cepat melesat ke muka:
"Lo-ngo, kenapa engkau!" teriaknya.
Tempat duduk Cu Jiang kebetulan dekat sekali dengan
orang yang rubuh itu. Dia dapat melihat dengan jelas
keadaannya. Tubuh orang itu berlumuran darah, sehingga
napas menjadi lemah, mulut mengucur darah.
Dia adalah lo-ngo atau urutan yang kelima dari sembilan
durjana Kiu losat, Memakai gelar nama Toan-beng-sat atau
iblis-pencabut nyawa.
Song-bun-sat dan Tui beng-sat serempak membungkuk
dan memeriksa nadi Toan-beng-sat itu. Seketika wajahnya
berobah. Mereka mengangkat kepala dan berkata dengan
nada tergetar kepada Te-leng-sat.
"Toako, tiada.... tiada harapan lagi. Urat jantungnya
sudah putus."
Wajah Te-leng-sat Tian Heng, kepala dari kesembilan
momok durjana membesi wajahnya. Sepasang matanya
membara merah. Dan giginyapun terdengar bercaterukan.
"Kasih sedikit hawa murni, aku hendak bertanya
kepadanya."
Tui-beng-sat atau Iblis-pemburu nyawa segera lekatkan
jari tengahnya pada punggung Toan-beng-sat atau Iblispencabut nyawa. Tak berapa lama Toan-beng-sat dapat
bernapas lagi dan pelahan-lahan membuka mata.
Bibirnya tampak bergerak-gerak seperti hendak berkata
tetapi tak bersuara.
"Lo-ngo, kuatkan dirimu, bilanglah apa yang telah terjadi
?" teriak ketua kesembilan momok durjana itu.
Setelah berusaha beberapa waktu, barulah orang kelima
dari kawanan momok itu dapat berkata dengan lemah.
"Aku... dengan Pat te.... tiba di markas .. . Thay kek
bun... pulangnya. . . ."
"Apakah kitab Thay-kek-sin-hwat-ciang sudah dapat
engkau ambil?"
"Ya ... sudah .. . tetapi dirampas ..... pat-te..."
Pat-te artinya adik seperguruan yang kedelapan, atau
tokoh nomor delapan dari kawanan mo sat.
"Lo-pat bagaimana ?"
"Dia dicelakai ?"
"Lo-pat dicelakai ?"
"Ya..."
"Siapa yang berani mencabut kumis harimau?"
"Siapa dia ?"
"Sip... sip ..."
"Apa?"
"Sip-pat. . . hui-thian . . ."
Habis berkata, kepala momok kelima itu terkulai
melentuk dan jiwanyapun putus.
Song-bun-sat dan Tui-beng-sat lepaskan tangannya.
Mereka jatuhkan diri di tanah, matanya memancar ganas.
Sambil mendeburkan kaki pada lantai, Te-leng-sat ketua
dari kesembilan momok durjana itu berteriak.
"Sungguh tak kira kalau lawan berani turun tangan lebih
dulu !" Siapakah lawan mereka" Tanpa disengaja, Cu Jiang
memperoleh suatu berita yang penting. Lawan kesembilan
momok durjana itu tak lain adalah Sip-pat ( delapan belas ),
Hui thian (terbang ke langit). Tetapi karena kata itu terputus
dan tidak dirangkai dengan urut, Cu Jiang tak dapat
mengetahui jelas apa sebenarnya yang dimaksudkan.
Hanya satu yang dapat dijadikan kesimpulan bahwa
tokoh yang mampu membunuh anggauta Kiu-te-sat itu
tentulah orang tokoh yang hebat sekali kesaktiannya.
Memang durjana2 macam Kiu-te-sat, harus di basmi dari
dunia. Mereka berlumuran darah korban2 yang entah sudah
beratus-ratus jumlahnya. Dia membunuh manusia seperti
membunuh nyamuk, sedikitpun tiada mempunyai rasa perikemanusian. Toan-beng-sat serta apa yang disebut pat-to (adik
seperguruan nomor delapan) yakni Tho ling-sat (Iblisbunga-tho), adalah kedua anggauta Kiu-te-sat yang
mendapat perintah dari ketuanya untuk menuju ke markas
Thay-kek-bun, Bu-tong-pay dan Siau-lim.
Toan-beng-sat atau momok nomor lima ketika sudah tiba
di markas Thay-kek-bun telah berhasil mendapatkan kitab
pelajaran Thay-kek-sim-ciat-hwat dari perguruan itu. Tetapi
entah bagaimana dia telah melakukan tindakan yang
ganas... "Toako, rencana kita..." baru Song-bun sat atau momok
kedua dari Kiu-te-sat berkata begitu, toako atau ketuanya
sudah menukas. "Tetap dijalankan, kalau tidak kita tak dapat menghadapi
lawan !" "Tetapi bagaimana dengan pat-te.... mudah-mudahan dia
tidak berjumpa dengan . ."
"Sudahlah, jangan berkata apa2 lagi !" kata Te-leng-sat
ketua sembilan-momok.
Tiba2 Tui-beng-sat atau momok ketujuh yang bernama
Ong Sip Po seperti tersentak kaget, serunya:
"Celaka !"
Te ling-sat ketua Sembilan-momok deliki mata
kepadanya: "Mengapa celaka ?"
Tui-beng-sat memandang keluar pondok dan berkata.
"Ngo-ko pulang dengan membawa luka parah. Tentu
musuh akan mengikuti jejaknya. Mungkin saja saat ini
tempat kita sudah di ..."
Song-bun-sat atau momok nomor dua serentak melonjak
berdiri: "Lalu bagaimana kita harus menghadapi?"
Dengan geram Te-ling-sat atau ketua Sembilan-momok
menggeram: "Jika musuh hanya seorang, kita bertiga dapat
menghadapinya!"
Wajah yang pucat dari Tui-beng-sat Ong Sip Po
berkerenyitan, serunya.
"Kalau lawan tidak hanya seorang?"
Te-ling-sat ketua mereka, merenung sejenak lalu berkata:
"Selama gunung masih menghijau, masakan takut tak
mendapat kayu bakar. Untuk sementara waktu kita
menyingkir dulu. Apabila rencana kita sudah selesai, kita
jalankan lagi."
Mendengar mereka menyebut-nyebut tentang rencana,
diam2 Cu jiang terkejut. Apakah rencana mereka" Oh,
mungkin menyangkut dirinya. Benarkah itu" Namun dia
tak mau ikut bicara melainkan mendengarkan pembicaraan
mereka dengan penuh perhatian.
Tiba2 terdengar sebuah suitan nyaring. Nadanya mirip
bunyi burung hantu, pun seperti lolong serigala. Tajam dan
mengerikan telinga.
Song-bun-sat Pik Thay Koan, momok kedua terperanjat,
serunya: "Ah, dugaanku tak meleset, mereka benar2 datang!"
"Kita masuk ke dalam hutan dan jalankan alat perkakas."
kata Te-ling-sat, ketua momok dengan geram.
Sambil menunjuk pada Cu Jiang, Tui-beng sat Ong Sip
Po berseru. "Bagaimana dengan dia ?"
"Masukkan kedalam ruang rahasia," seru Te-ling-sat
kemudian berpaling dan mengajak momok kedua Songbun-sat Pek Thay Koan, "jite. mari kita berangkat dulu."
Kedua momok itupun segera melesat keluar. Dan Tuibeng-sat Ong Sip Po segera menyambar tubuh Cu Jiang


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terus dibawa lari masuk ke belakang.
Dibagian belakang rumah itu, merupakan karang kaki
gunung. Ada sebuah bagian dari karang itu yang menonjol,
lebarnya seperti sebuah meja kecil.
Ong Sip Po menekan dengan tangannya dan batu nonjol
itu segera berkisar, terbuka sebuah lubang guha. Sebelum
sempat berbuat apa2, tahu2 Cu Jiang sudah dilempar
kedalam lubang guha lalu ditutupnya lagi.
Dilempar kedalam tempat yang begitu gelap, Cu Jiang
tak dapat berbuat apa2 lagi. Dia terlempar jatuh ke lantai
gua, kemudian bergeliat bangun dan duduk bersandar pada
dinding gua. Dia bersemedhi menenangkan pikiran.
Beberapa saat kemudian ia membuka mata dan mulai
dapat melihat keadaan guha itu secara remang2.
Tak berapa dalam. Mungkin hanya lima tombak.
Sebelah luar sempit tetapi makin kedalam makin lebar. Gua
itu kosong, tentu merupakan tempat persembunyian Kiu tesat apabila menghadapi ancaman bahaya. Atau kalau tidak,
mungkin digunakan untuk berlatih ilmu.
Sambil duduk bersandar pada dinding gua, dia merenung
lebih lanjut. Siapa gerangan musuh yang mampu
merontokkan nyali kawanan momok Kiu-te-sat itu "
Memang menilik nada suitan yang begitu nyaring,
dapatlah dia menduga bahwa orang itu tentu seorang tokoh
yang hebat. Dia cenderung untuk menduga bahwa tokoh itu
tentu bukan dari aliran Ceng to (putih) melainkan juga
seorang durjana besar.
Adakah pendatang itu yang telah membunuh Toan-bengsat dan Tho hoa-sat "
Banyak hal yang melalu lalang dalam benaknya, tetapi
dia hanya merangkai dugaan2 saja. Dia tak dapat berbuat
apa2. Juga siapa yang menang diantara kedua pihak
durjana itu baginya tiada keuntungan apa2.
Rasanya sudah lama sekali, entah tak tahu dia sudah
berapa lama berada dalam gua itu. Saat itu dia mulai
gelisah. Kemanakah gerangan ketiga durjana tadi" Kalau
mereka juga mengalami nasib seperti kedua kawannya
Toan beng sat dan Tho hoa-sat, berarti dia harus berusaha
sendiri untuk keluar dari gua situ.
Serentak dia berbangkit dan mulai meraba-raba batu
besar penutup gua itu. Ia mengharap mudah-mudahan akan
menemukan alat pembuka pintu itu. Pintu batu itu memang
berbentuk sedemikian rupa, hingga pas sekali, merapat
seperti pintu. Karena sampai sekian lama tidak juga berhasil
menemukan pintu, akhirnya ia merenungkan ketika Tuibeng sat melemparkan dia kedalam gua dan menutup gua
itu. Setelah membayangkan gerak dan posisi Tui-beng sat
Ong Sip Po, dan mulai lagi untuk mencari tombol itu. dan
menekan-nekan dengan jarinya.
Cu Jiang memang cerdas. Dengan cara itu akhirnya
berhasillah dia. Ketika menekan pada suatu bagian, batu itu
melesak kedalam dan pintu batu itu pun pelahan-lahan
mulai berkisar kemuka. Sinar matahari nampak memancar
ke dalam dan seketika itu guapun tampak terang.
Karena sudah beberapa waktu berada dalam tempat
gelap, maka dia menjadi silau melihat sinar matahari yang
keras. Ia cepat2 menutupi kedua matanya. Beberapa saat
kemudian barulah ia dapat membuka tangannya.
Tapi tiba2 dia berteriak kaget ketika melihat ketiga
durjana Kiu te-sat duduk bersila tak jauh dari pintu guha.
Menilik kerut wajahnya, jelas mereka menderita luka parah.
"Bagaimana kalian bertiga ini ?" tegur Cu Jiang.
Tian Heng atau kepala dari kawanan durjana Kiu-te-sat
berseru dengan nada gemetar:
"Lekas bawa kami bertiga kedalam gua !" Sejenak Cu
Jiang mengeliarkan pandang ke sekeliling. Setelah melihat
tiada seorangpun yang tampak, baru dia bertindak. Lebih
dulu dia mengangkat Te-ling sat Tian Heng kedalam gua.
Ke dua Song bun sat Pek Thay Koan dan Tui-beng-sat Ong
Sip Po. "Tutup pintunya," kata Tui-beng-sat Ong Sip Po dengan
lemas. Cu Jiang terkesiap. "Bagaimana cara menutupnya?"
"Mengapa tadi engkau dapat membuta ?"
"Hanya secara kebetulan saja aku menekan-nekan pintu
batu." "Hm. tekanlah sebelahnya !" Cu Jiang menurut. Begitu
menekan, pintu batu itupun segera mengatup kembali.
"Musuh itu ?"
"Sudah ngacir pergi."
"Apakah anda terluka?" tanya Cu Jiang.
"Jangan banyak tanya, tunggu perintah saja !" hardik Tui
beng-Sat Ong Sip Po.
Cu Jiang memandang durjana itu tajam2, dia tak mau
bicara lagi. Tiba2 Song bun-sat Pek Thay Koan berkata dengan nada
sinis. "Budak, kalau saat ini engkau hendak turun tangan
kepada kami bertiga, memang kami tidak berdaya lagi ..."
Cu Jiang terkesiap tetapi cepat ia menjawab:
"Aku tak punyai keinginan begitu. Dan lagi akupun tak
mau menghantam orang yang sedang terluka."
"Kalau mau pergi, engkaupun dapat juga!"
"Aku tak mempunyai rencana begitu."
"Bagus, budak, sesungguhnya aku senang sekali
kepadamu, tetapi sayang .... ah . . ."
"Sayang bagaimana ?"
"Semua sudah hilang !"
Mendengar itu Te-leng-sat Tian Heng cepat menukas:
"Lo-ji, Jangan menghamburkan tenaga yang tidak perlu.
Lekas kerahkan tenaga untuk mempersiapkan penyerahan
yang perlu."
Ketiga durjana itu serempak pejamkan mata.
Kata2 terakhir dari ketua Kiu-te-sat untuk mempersiapkan penyerahan yang terakhir itu, benar-2
mengherankan perasaan Cu Jiang..
Apakah maksud durjana itu sesudah menderita luka
yang membahayakan jiwanya " Orang yang mampu
mengalahkan ketiga durjana itu jelas tentu bukan kepalang
hebatnya. Alam pikiran dari kawanan durjana itu memang kadang
berlainan dengan orang biasa. Seperti Song-bun-sat PekThay Koan. Durjana itu mengajukan pertanyaan yang aneh
tadi kepada Cu Jiang.
Memang jika Cu Jiang mau meninggalkan tempat itu,
memang mudah. Ketiga durjana itu tak dapat berbuat apa2.
Pun jika dia mau turun tangan menghancurkan mereka
bertiga, juga semudah orang mematahkan ranting pohon.
Ketiga durjana itu tak sudah tak berdaya sama sekali.
Tetapi pemuda itu tak mau berlaku begitu, dia tak punya
keinginan begitu. Dia bersandar pada dinding gua dan
menunggu perkembangan selanjutnya.
Te ling-sat Tian Heng tertawa rawan.
"Budak, sebenarnya kami bersaudara hendak menjadikan
engkau seorang jago tiada tandingannya dalam dunia
persilatan. Sayang... Thian tak mengabulkan . . ."
"Apakah maksudmu ?" Cu Jiang heran.
"Kami bertiga sudah tiada gunanya lagi."
"O, apakah .... menderita luka?"
"Benar."
"Sampai begitu parah ?"
"Ya, memang."
"Dengan kesaktian anda bertiga, apakah tak mampu
mengobati?"
"Tak ada seorangpun yang mampu."
"Bagaimanakah luka itu?"
Sepasang mata dari Te-leng-sat Tian Heng mendelik. Ia
marah tetapi pada lain kejap matanyapun redup lagi.
"Budak, tahukah engkau siapa yang datang itu ?"
Hal itulah yang akan ditanyakan Cu Jiang, maka cepat2
ia berseru "Siapakah mereka ?"
"Coba engkau renungkan. Siapakah tokoh dalam dunia
persilatan yang mampu melukai Kiu-te-sat ?"
Cu Jiang gelengkan kepala dan menyatakan tak tahu.
"Hanya tenaga seorang saja mampu melukai kami
bertiga, didunia ini kiranya hanya satu orang . . ."
"Siapa ?"
"Engkau pernah dengar yang disebut Sip-pat-thian-mo ?"
"Sip pat thian-mo ?" ulang Cu Jiang.
"Ya."
Cu Jiang tergetar hatinya.
"Kabarnya Sip-pat- thian-mo itu sudah meninggal dunia.
Belasan tahun yang lalu terkubur didaerah Tian-hong. Anak
buahnya pun sudah bubar . . ."
"Sumber dari kabar burung, belum cukup meyakinkan.
Tetapi bahwa mereka telah lenyap selama belasan tahun,
memang benar."
"Mengapa mereka lenyap secara tiba2 ?"
"Hal itu memang belum diketahui pasti. Yang Jelas hari
ini kawanan Sip-pat-thian-mo telah muncul. Pemimpin
mereka yang disebut Hui-thian-sin-mo, paling sakti
kepandaiannya."
"Hui-thian-sin-mo ?"
"Kecuali dia, rasanya dalam dunia persilatan ini tiada
seorang tokohpun yang mampu dengan seorang diri dapat
melukai kami bertiga."
"Oh..."
Mata Song-bun-sat Pek Thay Koan berkilat-kilat
memancar ke empat penjuru, kemudian berseru tegang:
"Toako, waktu sangat berharga, lebih baik membicarakan hal yang penting saja."
Sambil mengertek gigi, Te-ling-sat Tian Heng menggeram: "Memang aku bersalah karena tak kuasa menahan
kemarahan. Seharusnya aku tak turun mengunjukkan diri.
Ah, Sekarang menyesalpun sudah terlambat . . ."
"Toako, karena sudah begini, tak perlu harus bersedih.
Lawan tak mungkin akan kasihan kepada kita."
"Walaupun lawan juga menderita luka tetapi dia takkan
mati. Sedang kita, telah berturut-turut lima saudara. . ."
Tui-beng-sat Ong Sip Po yang berwajah pucat tampak
berkerenyitan dan menggeram:
"Sungguh2 mati dengan meram..." Te-ling-sat Tian Heng
berpaling, kemudian berkata kepada Cu Jiang.
"Budak, dengarkanlah. Sepuluh tahun yang lampau,
kami ke sembilan saudara telah diagungkan oleh dunia
persilatan dengan gelar Kiu-te-sat. Kiu-te-sat saling
bermusuhan dengan Sip-pat-thian-mo. Mereka hendak
melenyapkan Kiu te-sat tetapi tak berapa lama kemudian,
mereka telah lenyap tanpa berita apa2 lagi. Tetapi akhir2 ini
Sip-pat-thian-mo muncul lagi. Oleh karena itu kami
sekalian hendak mencari seorang yang bertulang bagus
untuk kami didik dan gembleng agar dapat menghadapi
kawanan Sip-pat-thian-mo. Tetapi sayang, rupanya Thian
tak meluluskan, rencana kami itu berantakan "
Cu Jiang terkejut dan menyapukan pandang kearah
ketiga durjana itu. Saat itu dia baru tahu akan rencana dari
Kiu-to-sat. "Kami bertiga saudara, telah terkena ilmu Jari Thian mo
ci dari Kui-thian-sin-mo, luka yang kami derita sekalipun
dewa juga tak mampu mengobati. Setelah berunding, kami
bertiga telah memutuskan sebuah rencana..."
"Rencana bagaimana ?"
"Dengan sisa2 tenaga yang kami miliki, kami bertiga
akan memindahkan tenaga murni kami kedalam tubuhmu...."
"Memberikan tenaga-sakti kepadaku?" Cu Jiang berseru
kaget. "Ya, dan tak perlu terikat suatu hubungan apa2."
"Tanpa ikatan apa-apa?"
"Tanpa."
"Tetapi pakai syarat, bukan ?" tanya Cu Jiang.
"Budak, Jangan engkau memukul genderang terlalu
keras. engkau memang cerdik maka tak berani kami
menyodorkan syarat, cukup suatu permintaan saja."
"Bagaimana, harap lekas mengatakan."
"Gabungan tenaga sakti kami bertiga yang akan kami
berikan kepadamu itu, ditambah pula dengan tenaga dalam
yang sudah engkau miliki, rasanya dalam dunia persilatan
jarang terdapat tokoh setingkat engkau kesaktiannya.
Permintaan kami yang pertama ialah, kami harap engkau
dapat membalaskan sakit hati kami."
Setelah merenung beberapa jenak, Cu Jiang-pun berkata
dengan nada berat:
"Baik. soal itu aku berjanji akan melaksanakannya
dengan sekuat tenaga."
"Yang kedua," kata Tian Heng, "masih ada empat orang
saudaraku yang kusuruh ke vihara Siauw-lim dan Bu-tong

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

san hingga kini belum kembali. Kuminta engkau mencari
mereka. Mereka tentu dapat membantu untuk menyempurnakan kepandaianmu ..."
"Ya, baiklah..."
"Hanya dua buah permintaan itu saja."
"Jika begitu, akupun hendak mengajukan permintaan . .
." kata Cu Jiang.
"Permintaan apa ?"
Sambil menatap Song bun sat Pek Thay Koan, Cu Jiang
berkata: "Aku hendak mohon tanya sebuah hal kepada anda !"
Song-bun-sat Pek Thay Koan deliki mata dan berseru:
"Katakan !"
"Jari anda yang kutung itu . . ."
"Apa" Jari kutung ?"
"Benar."
"Perlu apa engkau menanyakan hal itu ?"
"Itu persoalanku sendiri."
Dengan mengertek gigi. Song-bun-sat Pek Thay Koan
berseru: "Engkau minta aku menceritakan kembali peristiwa yang
penuh dendam itu ?"
"Aku harus meminta keterangan yang jelas," sahut Cu
Jiang dengan tegas.
"Hm. dengarkanlah. Peristiwa itu terjadi pada sepuluh
tahun yang lalu. Jari itu telah terpapas kutung oleh tokoh
nomor 16 dan kawanan Sip-pat-thian-mo yang bernama
Cui-mo si Iblis pemabuk."
"Peristiwa dari sepuluh tahun yang lalu ?"
"Ya."
"Benarkah itu ?"
"Budak, apa maksudmu?"
"Ah, tak apa2. Hanya setelah tahu jelas soal itu barulah
aku mau menerima perjanjian anda sekalian."
"Kenapa ?"
"Maaf, aku tak dapat mengatakan hal itu."
Tiba2 Te leng-sat Tian Heng mengangkat tangan dan
bertanya: "Budak, apakah engkau masih hendak bertanya lagi ?"
"Tidak."
"Baik, duduklah dihadapan kami sini."
Cu Jiang meragu sejenak tetapi ia terus melakukan
perintah dan duduk bersila dihadapan ketiga durjana itu.
"Apa yang kuminta engkau supaya melakukan dua buah
hal tadi, engkau masih ingat, bukan ?" kata Te-ling-sat Tian
Hong pula. "Ingat dan aku tentu akan melakukannya dengan sekuat
tenaga," kata Cu Jiang.
"Bagus sekarang pejamkanlah matamu dan bersiaplah
untuk menerima curahan tenaga-sakti kami."
Cu Jiang tegang sekali menghadap suasana yang berobah
secara begitu besar dan mendadak. Dia tahu bahwa apabila
ketiga durjana itu tak mau memberikan tenaga saktinya,
tentulah tenaga-sakti mereka akan ikut lenyap dengan
kematian mereka.
Ketiga durjana itu melekatkan telapak tangannya
menjadi satu, kemudian tangan kanan Te-ling-sat Tian
Heng melekat pada ubun2 kepala Cu Jiang.
Ah. ternyata tokoh2 durjana itu juga faham akan ilmu
Gui-ting tay-hwat dari sumber perguruan agama.
"Awas, sambutlah !" seru Tian Heng dan segera
memancar dari kepala Cu Jiang.
Tubuh Ci Jiang menggigil. Buru2 dia kerahkan
semangatnya untuk menggabungkan hawa murni dalam
tubuhnya, menyambut pancaran aliran hawa panas itu dan
menyalurkan kearah seluruh jalan darahnya. Setelah itu
dihimpunnya pula ke atas lagi.
Aliran hawa panas itu makin lama makin keras dan
deras. Sedikit saja Cu Jiang lengah untuk menaruh
perhatian, dia pasti akan terjerumus kedalam keadaan apa
yang disebut Co-hwe Jip-mo ("darah berjalan sesat").
Artinya, jika tidak mati urat nadinya putus, dia tentu akan
cacat seumur hidup.
Saat itu Cu Jiang seperti dibakar api. Panasnya bukan
kepalang. Sesaat kemudian seperti dibenam dalam
kubangan salju, dinginnya sampai menggigit tulang.
Satu-satunya yang membikin kecewa hatinya, pancaran
hawa panas dan dingin tak dapat menyalur ke bawah lutut
di bagian betisnya yang pincang itu.
Terakhir, hawa panas itu menghimpun jadi suatu aliran
panas yang menerobos ke jalan darah Seng-si-hian-koan.
Sekali.... dua kali . . . .Tiga kali ....
Seperti terkena stroom listrik, bagian aliran darah Jin dan
Tok pada punggung, serentak terbuka dan seketika itu Cu
Jiangpun terlelap dalam kenyenyakan yang hampa.
Pada saat dia tersadar, ia merasa dalam gua itu terang
sekali. Ia menyadari bahwa hal itu berkat tenaga-dalamnya
telah bertambah sakti.
Kemudian dia berpaling. Ah. kejutnya bukan kepalang.
Dilihatnya ketiga durjana duduk mematung. Entah kapan,
ternyata mereka sudah melayang jiwanya.
Setelah tertegun sejenak, Cu Jiang berbangkit, memberi
hormat kepada ketiga durjana itu sampai tiga kali.
Dalam anggapannya, sekalipun kejahatan ketiga durjana
itu setinggi gunung dan sekalipun tidak ada ikatan sebagai
guru dan murid tetapi Cu Jiang tetap menghargai budi
bantuan mereka yang telah menyalurkan tenaga sakti
kepadanya. Habis memberi hormat dan hendak berbangkit tiba2 ia
melihat didepan mayat Te-ling sat Tian Heng terdapat
beberapa lukisan yang aneh diatas tanah.
Cu Jiang tak mengerti apa maksud tulisan yang
diguratkan pada tanah itu. Adakah tulisan lama atau baru
saja dibuat oleh Te ling sat Tian Heng waktu meninggal
tadi. Guratan2 huruf itu masuk cukup dalam ke tanah. Jelas
bahwa tulisan itu dibuat oleh jari tangan orang yang
bertenaga dalam tinggi.
Karena tak mengerti Cu Jiangpun tak mau mempelajari
lebih lanjut. Dia segera berbangkit. Diam2 ia mendapat
kesan bahwa gua itu memang sebuah tempat persembunyian yang baik sekali.
Ia membuka pintu lalu menuju ke pondok dan
mengangkut mayat Toan-beng-sat kedalam gua rahasia itu.
Setelah itu ia menekan alat rahasia untuk menutup pintu
gua. Saat itu sudah petang hari, Dia kembali lagi kedalam
pondok. Besok pagi2 dia akan melanjutkan perjalanan.
Setelah makan sisa hidangan, dia segera duduk
bersemedhi memulangkan tenaga.
Kini dia sudah mendapat tenaga-sakti dari ketiga
durjana. Menurut keterangan Te ling-sat Tian Heng, setelah
menerima saluran tenaga-sakti mereka, maka tenaga-dalam
Cu Jiang tentu akan mendapat tambahan sama nilainya
dengan berlatih selama tenaga-dalam yang dimilikinya
semula, kemungkinan sekarang dia sudah memiliki tenagadalam seperti orang yang berlatih selama tiga puluh tahun.
Dengan begitu tentulah dia mampu memainkan ilmu
pedang warisan dari mendiang ayahnya yaitu It-kiam-tuihun atau Sebatang-pedang-mengejar nyawa.
Tempo hari ketika ia memainkan ilmu pedang warisan
ayahnya itu, pedangnya telah terlepas. Tetapi kini setelah
memiliki tenaga-dalam yang begitu kokoh, tentulah dia
takkan mengalami lagi hal seperti itu.
Dan dengan ilmu pedang ciptaan mendiang ayahnya
yang hebat itu, barulah dia mampu untuk menghadapi
musuhnya. Berpikir sampai disitu, serentak terbayang pula wajah
ayah, ibu dan kedua adiknya serta paman Liok dan anak
perempuannya yang telah menderita kematian begitu
menyedihkan. Dengan menahan dendam kesumat, dia mengangkat
kepala, meraba kutungan pedang Seng-kiam yang selalu
disimpan di dada bajunya. Gerahamnya bergemerutuk
keras. Hutang darah harus bayar darah, hutang jiwa ganti
jiwa. Sekaranglah saatnya ia akan muncul untuk mencari
balas. Keesokan harinya dia segera berangkat tinggalkan
lembah itu. Walaupun kaki kirinya cacat tetapi berkat
tenaga-dalamnya telah mencapai tataran yang sedemikian
hebat maka waktu ia gunakan ilmu meringankan-tubuh
untuk lari, ternyata ringan dan cepat sekali. Kakinya yang
timpang sebelah itu, tak menjadi halangan.
Tiba diluar lembah ia berhenti sejenak.
Tengah dia merasakan kelonggaran hati dapat melihat
sinar matahari lagi tiba2 matanya tertumbuk pada suatu
pemandangan disebuah batu karang besar. Seketika
matanya mendelik dan bulu romanya meregang tegak.
Diatas batu karang itu berjajar empat biji batang kepala
manusia, gigi rompal bibir robek dan matanya melotot
keluar sehingga tampak menyeramkan sekali.
Melihat wajahnya, Cu Jiang serasa kenal mereka dan
ketika diseksamakan, menggigillah tubuhnya.
Keempat kepala manusia itu tak lain adalah keempat
durjana Kiu-te-sat yang diperintah ketuanya untuk menuju
vihara Siau-lim dan Bu-tong-san.
Ternyata keempat anggauta Kiu te-sat itupun mengalami
nasib yang sama. Yang membunuh mereka tentulah tokoh2
dari Sip-pat thian-mo. Dengan kematian keempat orang itu,
praktis segenap anggauta Kiu te-sat akan terhapus dari
dunia persilatan untuk selama-lamanya.
Mengapa pembunuhnya menaruhkan kepala keempat
durjana itu diatas batu karang" Apakah maksudnya "
Yang jelas baginya, karena keempat durjana itu sudah
terbunuh musuh, maka Cu Jiang pun telah bebas dan
kesanggupannya untuk melakukan permintaan yang kedua
dari Te ling-sat Tian Heng.
Demikian akhir riwayat dari seorang durjana besar
macam To ling-sat. Dan kematian yang diterimanya
memang sesuai dengan dosa yang telah dilakukannya.
Demi kemanusian, Cu Jiangpun segera hendak
menanam keempat batang kepala itu. Ia membuat sebuah
lubang. Tetapi tiba2 terdengar suara tawa yang keras.
Cu Jiang terkejut. Ketika memandang ke muka, dari
balik batu besar itu telah muncul seorang manusia aneh
yang berjubah kuning emas, Tingginya lebih dari dua meter.
Mulutnya lebar dan matanya lebih banyak bagian hitam
dari yang putih, memancarkan sinar yang berkilat-kilat.
Cu Jiang menduga bahwa orang itu tentu salah seorang
tokoh dari kawanan Sip-pat-thian-mo. Apakah dia tokoh
Hui thian sin mo yang telah melukai Te-ling-sat Tian Heng
dan kedua durjana lainnya itu"
Habis tertawa, orang aneh itu segera menghamburkan
kata yang memekakkan telinga:
"Hai, budak kecil, engkau pernah apa dengan kawanan
Kiu-te sat itu?"
Cu Jiang berdebar-debar. "Bukan apa-apa!" sahutnya.
Manusia aneh itu kerutkan dahi. Rupanya dia muak juga
melihat wajah Cu Jiang yang buruk. Kemudian berkata
pula: "Apakah engkau murid Kiu te-sat ?"
"Bukan!"
"Lalu siapakah engkau ini?"
"Setan keluyuran dalam dunia persilatan."
"Heh, heh, mengapa engkau hendak mengubur keempat
kepala manusia itu?"
"Itu demi peri-kemanusian, setiap orang tentu memiliki."
"Hm."
"Apakah anda yang membunuh ke empat orang itu?"
"Anggaplah begitu."
"Siapakah nama anda?"
"Engkau belum layak bertanya soal itu."
Cu Jiang mendengus. "Lalu apa maksud anda?"
Manusia aneh jubah emas itu memandang Cu Jiang
beberapa jenak lalu tertawa aneh:
"Aku telah khilaf tak dapat melihatmu. Sekarang telah
mencapai tingkat yang berisi. Mungkin memang benar,
dengan ilmu kepandaian cakar kucing yang dimiliki
kawanan Kiu-te-sat itu, tentu tak mampu menggembleng
bahan seperti dirimu."
"Tetapi bagaimana?"
"Engkau tentu mempunyai hubungan dengan Kiu te sat."
"Kalau ya lalu bagaimana?"
"Kalau begitu engkau harus menyusul mereka. . . ."
Meluaplah kemarahan Cu Jiang. Dia memang sudah
berjanji sanggup membalaskan sakit hati Kiu te-sat. Dan
saat itu peluang yang baik. Tetapi diam2 ia cemas apakah
dia mampu menandingi kesaktian manusia aneh ini.
Sekali bertempur, manusia aneh dari sip pat-thian-mo itu
tentu takkan berhenti sebelum dapat membunuhnya.
"Maksud anda hendak membunuh habis-habisan?"
serunya. Manusia aneh itu tertawa menyeringai, serunya:
"Itu sudah menjadi peraturanku."
Cu Jiang mengertek gigi.
"Dalam kalangan Sip-pat-thian-mo, anda menempati
kedudukan nomor berapa?"
Tampak manusia aneh itu agak terkesiap.
"Ho, budak kecil, kata-katamu itu makin menunjuk jelas


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa engkau mempunyai hubungan dengan Kiu-te-sat.
Kalau tidak bagaimana engkau tahu tentang diriku?"
"Apakah aku menyangkal?"
"Ho, engkau mengaku?"
"Aku juga tak mengaku!"
"Jawab pertanyaanku !"
"Pertanyaan apa?"
"Apalah Kiu te-sat itu masih ada yang hidup?"
"Aku takkan menjawab sebelum anda menyebut diri
anda dulu."
Sekali menggeliat, manusia aneh itupun sudah melayang
di hadapan Cu Jiang.
"Engkau tak berhak untuk tawar menawar dengan aku."
Dengan tak gentar, Cu Jiang menyahut.
"Ah, masakan begitu..."
"Dalam dunia persilatan belum pernah ada orang yang
berani berkata begitu kepadaku ..."
"Anggaplah kali ini memang suatu pengecualian!"
"Ha, ha, ha . . . menggelikan! " dalam tertawa itu tiba2
terdengar suara ledakan keras. batu karang besar yang
mempunyai garis tengah setombak, sekali manusia aneh itu
gerakkan tangannya, segera meledak hancur lebur.
Diam-2 hati Cu Jiang menggigil tetapi dia tetap
mempertahankan keangkuhannya. Sedikit pun dia tak
berkedip mata. Manusia aneh itu mengangguk-angguk.
"Bagus budak, menilik nyalimu yang begitu besar,
bolehlah aku memberi pengecualian. Dengarlah ! Apabila
engkau sanggup menerima tiga buah pukulanku, akan
kuberitahu namaku dan kulepaskan engkau pergi?"
Cu Jiangpun dengan angkuh menjawab: "Silahkan
mencobanya!"
Walaupun mulut mengatakan begitu tetapi dalam hati
sebenarnya Cu Jiang cemas juga. Ia tak tahu apakah
mampu menyambuti tiga buah pukulan momok itu.
Tetapi apa boleh buat. Dalam menghadapi saat seperti
ini, terpaksa dia harus menghadapi. Apabila memang
berbahaya, dia akan lari.
Sambil ayunkan tangannya, manusia aneh itu berseru:
"Awas, inilah pukulan pertama!" Seiring dengan
kata2nya, tangannyapun segera mendorong ke muka.
Sudah tentu Cu Jiang tak berani lengah. Dia kerahkan
tenaga-dalam dan menyambutnya.
Bum... Terdengar letupan keras disusul dengan batu dan debu
yang beterbangan keempat penjuru. Kumandangnya jauh
menggema di seluruh lembah.
Cu Jiang terhuyung-huyung mundur sampai tiga
langkah. Darahnya kontan bergolak keras.
Manusia aneh itu masih tetap tegak di tempatnya. Hanya
kakinya makin melesak ke dalam tanah.
"Ha ha, ha sungguh menyenangkan sekali. Tak kira
kalau budak semacam engkau ternyata mampu menyambut
sebuah pukulanku!"
Setelah menenangkan semangatnya, Cu Jiang pun
menyahut: "Masih ada dua buah pukulan lagi!"
Saat itu pikirannya sudah tak dapat menilai adakah
lawannya itu musuh dari Kiu-te-sat yang harus dia balas.
Dia menyadari bahwa kepandaiannya masih belum mampu
untuk menghadapi manusia aneh itu.
Sudah beruntung kalau dia tak mati dalam menerima
tiga buah pukulan manusia aneh itu. Jelas lawan memukul
dengan sederhana dan terang-terangan. Apabila dia
menggunakan jurus ilmu pukulan, bukankah dirinya sudah
hancur" "Pukulan kedua! " tiba2 manusia aneh itu berseru pula.
Sebuah gelombang macam gunung rubuh segera
melanda. Cu Jiang segera menghimpun dua belas bagian
tenaga-dalamnya untuk menyambut.
Kembali terdengar ledakan yang lebih keras dari pukulan
pertama tadi. Cu Jiang terhuyung-huyung sampai tujuh
langkah ke belakang dan hampir rubuh. Dengan sekuat
tenaga, dia menelan darah yang hendak muntah dari
mulutnya. Tetapi manusia aneh itupun juga tersurut ke belakang
sampai tiga langkah. Tubuhnya berguncang-guncang dua
kali. Cu Jiang tahu bahwa dirinya telah menderita luka
dalam. Tetapi dia berusaha keras untuk menahan diri dan
tetap tak mengunjuk sikap lemah.
Manusia aneh itu memandang lekat2 pada Cu Jiang
sekian lama. Kemudian ia tertawa keras. Lama dan panjang
sekali. "Sungguh tak tersangka, bahwa dalam dunia persilatan
jarang sekali orang yang mampu menerima dua buah
pukulanku, tetapi budak kecil ini benar-benar hebat. Hai.
budak, apakah kau masih sanggup menerima pukulanku
yang ketiga." serunya.
Dengan nada sarat, Cu Jiang menjawab:
"Tiga pukulan itu adalah anda sendiri yang mengatakan!"
"Benar, tetapi aku bersedia untuk memberi pengecualian
kepadamu. "
"Mengapa?"
Daging muka yang menonjol dari manusia aneh itu
tampak berkerenyutan. Dan setelah matanya yang hitam itu
berkeliaran sejenak, dia berseru:
"Karena dengan pukulan yang ketiga itu engkau pasti
mati!" Diam2 tergetar hati Cu Jiang, namun ia tetap bersikap
angkuh dan menjawab.
"Ah, belum tentu!"
"Budak, sepanjang hidupku baru engkaulah satu-satunya,
orang yang berani bersikap congkak kepadaku."
"Hm..." dengus Cu Jiang.
"Baik, sambutlah pukulanku yang ketiga ini!"
Serentak momok itu gerakkan kedua tangannya tetapi
tak terdengar mengeluarkan suara apa2. Sekalipun begitu
Cu Jiang tak berani memandang rendah.
Dia tahu bahwa saat itu dia tengah menghadapi ujian
mati atau hidup. Serentak diapun kerahkan seluruh tenagadalam untuk membalas.
Adu tenaga-sakti yang berlangsung saat itu telah
menimbulkan ledakan yang amat dahsyat sekali.
Bagaikan dihantam dengan berpuluh-puluh godam, Cu
Jiang tertatih-tatih ke belakang. Pandang matanya gelap,
kepala berbinar-binar dan tulang belulangnya serasa lolos
dari sendi persambungan, kaki dan tangannya seperti patah
berantakan. "Tidak, aku tak boleh rubuh. Tak boleh rubuh !" dengan
kekuatan yang sekeras baja ia berusaha sekuat tenaga untuk
mempertahankan diri supaya tidak rubuh.
Hanya dengan kemauan yang keras, akhirnya dapatlah ia
pertahankan tubuhnya tak sampai jatuh.
Rupanya manusia aneh baju kuning emas itu terkejut
sekali sehingga ia tercengang beberapa saat.
"Bagus! Bagus! Aku akan menetapi janjiku. Aku adalah
yang bergelar Gong Mo (Iblis Gila) yang menduduki urutan
ke 10 dan Sip pat thian-mo. Ingat baik2, budak. Ha, ha. ha,
ha..." Dengan membawa tawa yang keras, iblis itu pun segera
melesat pergi. "Benar, nama itu sesuai dengan tingkah lakunya. bahkan
nada tawanyapun seperti tawa orang gila."
Pada saat iblis gila itu lenyap, tubuh Cu Jiangpun
berguncang-guncang dan bluk... akhirnya dia rubuh dan
muntah darah. "Aku . . . apakah akan mati ?" pikirnya. Benda
disekelilingnya tampak remang2, pikirannyapun mulai
kabur. Dia ingin melakukan pernapasan untuk mengetahui
bagaimana keadaan jalan-darahnya tetapi tenaganya lemas
sekali. "Habis riwayatku ..." pikirnya. Ia merasa tentu akan
mati. Darah masih bercucuran dari mulut dan api semangatnyapun makin padam.
Mati. Dia tak merasa penasaran karena dia telah mampu
menerima tiga pukulan dari salah seorang iblis Sip-patthian-mo yang menggetarkan seluruh dunia persilatan.
Bahkan kawanan durjana Kiu-te-sat, tak seorang pun
yang hidup menerima pukulan iblis itu.
Tetapi kebanggaan itu tertumbuk dengan kenyataan yang
pahit karena dia belum dapat melaksanakan tugas
membalas sakit hati. Bahkan siapa musuhnya, pun dia tak
sempat menyelidiki lagi. Ah, tidakkah kematian itu suatu
kematian yang tak terelakannya "
Samar2 dalam pandang matanya yang kabur itu dia
seperti melihat sesosok bayangan hitam muncul dan makin
lama makin bergerak mendekati ke tempatnya.
Dia berusaha untuk mengetahui siapakah pendatang itu
tetapi gagal. Pandang matanya seperti tertutup kabut. Dia
mencoba untuk berseru tetapi kerongkongannya serasa
tersumbat oleh suatu benda sehingga tak dapat bersuara
apa2. Apakah pendatang itu si Iblis Gila yang datang lagi
hendak mengambil jiwanya "
Hatinya tergetar dan kesadaran pikirannya-pun agak
terang, tetapi pandang matanya tetap masih pudar.
Tiba2 bayangan hitam itu seperti lenyap dari pandang
matanya. Sebagai gantinya ia rasakan tubuhnya seperti diserang
berpuluh aliran angin gerakan jari. Aneh.
Kesadaran pikirannyapun makin terang dan tenaganya
juga makin pulih.
Cepat dia hendak menggeliatkan tubuh berpaling ke
belakang tetapi tiba2 terdengar suara seorang wanita berseru
melarangnya: "Jangan bergerak dulu !"
Cu Jiang tersentak kaget. "Siapa engkau ?"
Wanita itu berkata pula:
"Aku hendak bertanya beberapa patah kata kepadamu..."
"Sukalah memberitahukan dulu nama anda."
"Kuharap engkau Jangan bertanya soal itu. Dengarkan,
bukankah engkau pernah melakukan pertolongan kepada
seorang pemuda baju putih untuk mengantarkan Piagam
Hitam ?" Cu Jiang terkejut seperti dipagut ular. Soal itu hanya
puteri Jelita Ki Ing dan pelayannya yang tahu. Tetapi nada
suara wanita yang bertanya kepadanya itu, jelas bukan
suara si Jelita Ki Ing.
Juga bukan pelayannya yang bernama Siau Hui. Tetapi
mengapa dia tahu peristiwa itu" Mengapa dia menanyakan
soal itu" Ia sudah puluhan hari berada dalam lembah
rahasia tempat persembunyian kawanan Ku-te-sat, mengapa orang itu dapat mencarinya kesitu "
00odwo00 Jilid 6 Banyak sekali yang mengherankan pikirannya sehingga
ia lupa untuk memberi jawaban.
"Apakah engkau tak menjawab apa yang ku tanyakan ?"
wanita itu mengulang pertanyaannya.
"Dengar...."
"Jawablah, apakah betul begitu ?"
"Ya, tetapi . . ."
"Tetapi bagaimana ?"
"Bagaimana engkau tahu hal itu?"
"Apakah itu sukar " Apakah kalau engkau bicara dengan
orang, tak boleh orang yang berada di dekat situ
mendengarkan ?"
"Oh, kiranya wanita itu telah mendengar percakapannya
dengan jelita Ki Ing tempo hari. Tetapi mengapa wanita itu
menanyakan hal itu ?"
"Mengapa engkau menanyakan soal itu itu ?" serentak
Cu Jiang bertanya.
"Jangan hiraukan hal itu. Kutanya lagi, bukankah
engkau mengatakan bahwa pemuda baju putih itu terluka
dan berada di gunung ?"
"Ya."
"Engkau bohong!" seru wanita itu dengan nada sedingin
es. "Aku .... bohong?"
"Kini, orang telah menyelidiki sekitar tempat itu sampai
seratus Ii, tetapi tak menemukan suatu jejak apa2, engkau
telah merangkai suatu cerita bohong, rupanya tentu
terdapat sesuatu apa2 di situ. Harap engkau berkata
sebenarnya!"
"Apa yang kukatakan itu memang sungguh!"
"Jangan pura2. Bahwa engkau sanggup menerima tiga
buah pukulan dari Iblis Gila, jelas engkau lebih sakti dari
pemuda baju putih Cu Jiang ..."
Kejut Cu Jiang bukan alang kepalang.
"Engkau tahu.... dia bernama Cu Jiang?" serunya dengan


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gemetar. "Tentu saja tahu."
"Siapakah engkau ini?"
"Aku yang bertanya kepadamu, lekas jawab!"
"Aku tak mempunyai keterangan lain lagi kecuali seperti
itu." "Kalau begitu engkau memang kepingin mati!"
Cu Jiang mengeluh dalam hati. Adakah dia harus
membuka rahasia dirinya sendiri" Tetapi siapakah
pendatang itu"
"Apakah hubungan anda dengan Cu Jiang?" akhirnya ia
mencari akal untuk menyelidiki.
Rupanya wanita tak dikenal itu marah. Dia melengking
tinggi: "Jangan banyak bicara! Di mana dia?"
"Ditengah-tengah gunung Bu leng san."
"Bohong!"
"Ah, anda terlalu menghina orang."
"Hm, jika engkau tak mau mengatakan sejujurnya, akan
kusuruh engkau mati secara perlahan-lahan."
"Apa yang harus kukatakan?"
"Kutanya lagi. Apakah hubungan antara puteri cantik itu
dengan pemuda baju putih?"
"Soal itu tak dapat kuberitahukan."
"Apakah engkau benar2 menghendaki supaya aku turun
tangan?" Nada dan irama kata2 wanita itu serentak mengingatkan
Cu Jiang pada seseorang.
"Bukankah anda ini Ang Nio-cu" " tiba2 ia berseru.
"Hai, mengapa engkau tahu?" wanita itu tersentak kaget.
Cu Jiang sendiri juga ikut terkejut, ia menyadari bahwa
pertanyaan itu salah sekali. Dengan begitu tanpa disadari
dia telah membuka rahasia dirinya sendiri.
Ang Nio-cu telah membuat makam untuk mengubur
jenasah ayah bunda dan kedua adiknya. Budi itu takkan
dilupakan Cu Jiang. Seharusnya saat itu dia mengaku saja
siapa sesungguhnya dirinya itu.
Tetapi tiba2 ia teringat bahwa bagaimana keadaan
wanita itu yang sebenarnya, ia belum tahu. Yang
diketahuinya, wanita itu disohorkan dunia persilatan
sebagai momok perempuan yang ganas, ia tak tahu
bagaimana hubungan Ang Nio cu dengan kedua orang
tuanya dahulu semasa kedua orang tuanya itu masih hidup.
Mengingat hal2 itu, diam2 menggigillah hati Cu Jiang. Ia
menyadari bahwa apabila sampai menimbulkan kemarahan
wanita itu, tentulah wanita itu akan bertindak menghancurkan dirinya.
Mengingat pula bahwa wanita itu telah membuatkan
makam untuk kedua orang tuanya, ia duga Ang Nio-cu itu
tentu mempunyai maksud baik, jika ia sampai bertengkar
dengan Ang Nio-Cu bukankah berarti dia tak ingat pada
budi orang yang telah memberi kebaikan kepada kedua
orang tuanya"
"Andapun pernah membuatkan makam untuk Seng
kiam." akhirnya ia mendapat pikiran dengan mengajukan
pertanyaan. Ternyata Ang Nio-cu memang makin terkejut.
"Engkau tahu juga hal itu. Engkau ini... sebenarnya
siapa?" Sejenak berdiam, akhirnya Cu Jiang menemukan suatu
perjanjian. "Bagaimana kalau kita sama2 membuka rahasia diri kita
masing-2 ?"
"Apa yang engkau kehendaki?"
"Anda menerangkan hubungan anda dengan Seng-kiam
dan akupun akan menerangkan peristiwa yang sebenarnya
kuketahui!"
"Jika aku tak mau mengatakan?"
"Kalau begitu kitapun sama2."
"Tetapi jiwamu saat ini berada dalam tanganku!"
"Aku sudah tak menghiraukan lagi soal mati hidup." kata
Cu Jiang dengan dingin.
"O, tak ada tanda-2 yang kulihat bahwa engkau memiliki
tekad begitu. Apakah engkau hendak mencoba tanganku?"
"Ah, masakan aku berani mengatakan begitu, bahkan
mendengar nama anda saja aku sudah mengagumi sekali."
Ang Nio-cu terdiam beberapa saat. Kemudian tertawa.
"Anggaplah engkau berhasil menawarkan perjanjian tadi.
Kali ini Ang Nio-cu akan melanggar pantangan. Aku hanya
mengagumi kepribadian Seng-kiam saja!"
"Tempat persembunyian Seng-kiam tiada orang yang
tahu. Bagaimana anda dapat tiba ditempat itu ?"
"Pemuda baju putih itu yang menunjukkan jalan sendiri
!" "O, anda mengikutinya secara diam2."
"Engkau sudah terlalu banyak bertanya. Sekarang
giliranmu yang harus memberi keterangan."
Terlintas sesuatu dalam benak Cu Jiang dan dengan nada
gemetar dia berseru.
"Ijinkan aku bertanya sepatah lagi .. . hanya sepatah saja
. . ." "Katakan !"
"Siapa pembunuh Seng-kiam sekeluarga?"
"Pertanyaan itu bukan pertanyaan yang sepele. Dan
perlu apa engkau menanyakan hal itu ?"
"Ada sebabnya."
"Tetapi sikapmu terhadap puteri jelita Itu, seharusnya
engkau tak mengajukan pertanyaan semacam itu ?"
"Dulu dan sekarang memang lain."
"Engkau tidak ketolol-tololan lagi?"
"Hai."
"Dengarkan. Aku terlambat datang setindak sehingga tak
menyaksikan peristiwa itu. Tetapi kelak tentu dapat
menyelidiki."
Cu Jiang mengeluh kecewa. Tetapi ucapan Ang Nio-cu
yang terakhir yang menyatakan bahwa kelak tentu dapat
menyelidiki, menimbulkan rasa terima kasihnya terhadap
Ang Nio-cu. Setelah merenung sejenak, barulah dia berkata pula.
"Aku yang jelek ini tak lain adalah pemuda baju putih
Cu Jiang itu sendiri!"
Kejut Ang Nio cu lebih dari disambar petir.
"Apa . . ." serunya gemetar, " engkau .. . engkau ini ... .
Cu Jiang ....?"
Dengan mengertak gigi, Cu Jiang berkata dengan nada
sedih: "Ya, memang benar."
"Engkau.... engkau.... meskipun nada suaramu memang
mirip tetapi siapakah yang mau percaya .... "
"Aku sendiri juga tak percaya. Tetapi aku harus
menerima kenyataan pahit ini!"
"Apakah engkau.... menggunakan ilmu merobah muka."
"Tidak!"
"Wajahmu .... kakimu ... . "
"Inilah musuh yang mencelakai diriku sampai begini! "
"Ai . . . . sungguh menyeramkan sekali."
Sungguh di luar dugaan bahwa seorang momok wanita
seperti Ang Nio cu ternyata dapat mengeluarkan kata2 yang
begitu penuh rasa kasihan dan simpati.
"Benar2 suatu hal yang sukar dipercaya."
Seketika ia teringat akan anggapan "Te-ling-sat Tian
Heng.". kepala dari kawanan Kiu- te-sat yang mengatakan,
bahwa apa yang disebut aliran Putih dan Hitam dalam
dunia persilatan itu memang sukar ditentukan.
Ada tokoh yang dicap sebagai momok ganas, tetapi dia
juga seorang manusia yang mempunyai hati kebaikan,
masih ada setitik budi nuraninya yang baik.
Seperti dia sendiri, kelak kalau melakukan pembalasan
tentu akan mengadakan pembantaian hebat. Adakah
tindakannya itu kelak dapat dianggap sebagai tindakan
seorang dari aliran putih ataukah Hitam !
"Aku telah memberi keterangan, apakah anda memerlukan petunjuk lagi?" akhirnya ia berkata kepada
Ang Nio-cu itu.
Dengan nada gemetar, Ang Nio-cu meminta penegasan:
"Cu Jiang, bagaimana sesungguhnya peristiwa itu
terjadi?" "Ketika itu aku hendak pulang ke gunung. Kudapati
keluargaku sudah dibantai habis-habisan. Tiba2 aku
diserang oleh tiga manusia aneh lalu dilempar ke dalam
jurang sehingga tubuhku jadi cacad begini."
"Apakah engkau tahu siapa yang melakukan penganiayaan itu?"
"Tidak tahu."
"Bagaimana wajah mereka?"
"Apabila bertemu tentu dapat mengenali."
"Bagaimana keadaan tubuhmu sekarang?"
Pertanyaan Ang Nio cu itu telah menyadarkan Cu Jiang,
dia tahu kalau menderita luka dalam yang parah. Apabila
terlambat mendapat pengobatan tentu jiwanya melayang.
Tetapi apa daya, tenaganya masih belum pulih dan tenaga
dalamnya masih tak dapat dihimpun. Jelas tak mungkin dia
akan melakukan pengerahan tenaga-dalam untuk mengobati lukanya itu.
"Tenaga-murni sukar kuhimpun !"
"Begitu parah lukamu itu?"
"Kukira aku tentu. . . ."
"Pejamkan mata, jangan sekali-kali engkau mencuri lihat
aku. Akan kuperiksa lukamu !"
Berdebar keras hati Cu Jiang. Ia tahu wanita itu tak mau
dilihat orang. Ia merangkai kesimpulan bahwa wanita itu
tentu tak mengandung maksud buruk kepadanya. Kalau
memang hendak membunuhnya tentu saat itu dia dapat
melakukannya. Akhirnya Cu Jiang memutuskan. Terpaksa ia menurut
perintah wanita aneh itu.
"Hm." ia mendesah lalu pejamkan mata.
Sesaat kemudian terasa dari belakangnya berhembus
angin lemah dan segera ia rasakan jalan darah tubuhnya
digerayangi oleh jari orang.
Beberapa saat kemudian tiba2 Ang Nio-cu mendesis
kaget. "Hai ...!"
Cu Jiang terkejut dan tanpa disengaja membuka mata.
Sesosok bayangan merah cepat menghilang dari pandang
matanya. "Hai, mengapa engkau membuka mata?" teriak Ang Niocu dari jarak beberapa tombak jauhnya.
"Maaf, aku tak sengaja," Cu Jiang meminta maaf.
"Engkau telah terkena pukulan Thian-kong sat dari Iblis
Gila, dan pukulan itu telah menyusup kedalam jalan darah
tubuhmu ..."
"Thian-kong-sat?"
"Ya."
"Lalu bagaimana?"
"Saat ini aku tak berdaya menolongmu."
Cu Jiang tertawa hambar. "Aku pasrah saja."
"Tidak!" teriak Ang Nio-cu.
Cu Jiang terkesiap. Apa maksud kata2 Ang Nio-cu itu"
Dia tak tahu bagaimana harus berkata. Sesaat suasanapun
hening. Sebenarnya dia tak ingin mendapat bantuan orang
tetapi ia merasa ada beberapa hal yang harus ia nyatakan
kepada wanita itu.
"Atas budi kebaikan anda yang telah mengubur jenazah
ayah bunda dan kedua adikku, sebelum mau mati, aku
tentu akan membalas budi itu, " katanya.
"Hm, siapa yang mengharap belas budi dari engkau,"
desah wanita itu dengan nada dingin.
"Benar, tetapi kita masing2 mempunyai pendirian dan
kepentingan sendiri."
"Engkau tak boleh mati..."
Kembali Cu Jiang tergetar mendengar ucapan itu dan
serentak dia cepat menukas: "Aku tak boleh mati?"
"Tidak boleh !"
"Kenapa?"
"Akan kubiarkan supaya engkau hidup terus."
Seruling Perak Sepasang Walet 11 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Pedang Bunga Bwee 8

Cari Blog Ini