Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 40

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 40


Prajurit Daha itu tertawa mengejek.
"Jika engkau mampu mengalahkan aku barulah engkau layak berhadapan dengan pimpinan kami
itu," serunya. "Setan, loloslah senjatamu !" hardik Aragani.
"Tidak, ki patih," prajurit muda Itu menolak "aku masih muda. Kurang adil kalau pertempuran
ini, kita sama sama membawa senjata. Silakan ki patih menggunakan keris, aku tetap akan
melayani dengan tangan kosong."
Pa h Aragani diam-diam gembira. Jika pertempuran itu akan berlangsung satu lawan satu,
kemungkinan ia mempunyai harapan besar untuk lolos dari maut. Tetapi kalau prajurit Daha itu
maju serempak, ia memang kalah.
"Baik," serunya "tetapi karena engkau tak mau memakai senjata, maka kupersilakan supaya maju
serempak. Ajaklah kawan-kawanmu semua itu semua mengerubu aku!" pa h Aragani tertawa
penuh ejek. Ia memang hendak memancing kemarahan lawan agar mau menyatakan kalau takkan
melakukan pengeroyokan. "Ah, sudahlah ki pa h. Kalau ki pa h mampu membunuh Derpana ini, merekapun akan maju
satu demi satu !." "Keenam kawanmu itu semua ?" seru Aragani.
"Tidak," sahut Suramenggala "jika engkau mampu mengalahkan prajurit Derpana, engkau bebas."
"Tidak!" teriak Aragani "jangan engkau terlalu menghina pa h Singasari. Adakah harga pa h
Aragani itu hanya sama dengan seorang prajurit kerucuk dati Daha"."
"Adakah tidak begitu ?" balas Suramenggala.
"Aku menghendaki lima prajuritmu !."
"Ho. terlalu banyak, pa h Aragani. Cukup dua sajalah. Kalau engkau mampu mengalahkan dua
prajuritku, engkau boleh bebas pergi dari keraton ini. Derpana, hayo, mulailah!."
Gerak Derpana yang hendak menyambar bahu lawan, telah disambut oleh ujung keris yang
disongsongkan oleh pa h Aragani. Hampir saja lambung prajurit Daha itu robek. Untunglah
Derpana masih dapat berkelit ke samping.
"Ah, hanya bergurat sedikit," karena merasa sakit, Derpana menyingkap baju kutangnya yang
pecah karena pagutan ujung keris. Lambungnyapun berhias sebuah guratan panjang dan berdarah
sedikit. Prajurit Daha itu diam-diam tergetar ha nya. Ia tak pernah menyangka bahwa pa h Singasari
yang berwajah kuyu dan tampak tak mempunyai tenaga itu, ternyata mampu bergerak secepat ular
terkejut. Kini prajurit Daha itu ha -ha mengatur langkah dan melancarkan serangan. Bekel Suramenggala
telah memilih enam orang prajurit pilih tanding. Di antaranya yang paling menonjol keberanian
dan kedigdayaannya yalah prajurit Derpana itu.
Luka guratan panjang pada lambung itu, dianggapnya kecil. Kini dengan suatu tata gerak kelahi
yang teratur Derpana mulai menghujani serangan secara menggebu-gebu kepada pa h Aragani.
Tetapi karena menyadarl bahwa pa h itu memiliki keris pusaka, maka Derpanapun membatasi diri
untuk dak terlalu mendesak. Langkah pertama, ia harus dapat merebut keris itu baru kemudian
meringkusnya. Demikian pertempuran itu dapat berlangsung agak lama. Tetapi diam-diam bekel
Suramenggala yang mengikuti jalannya pertempuran itu dengan seksama, kerutkan dahi. Ia
melihat tampaknya gerakan Derpana itu makin lama makin lamban. Diperhatikan juga bahwa
cahaya wajah prajurit itupun tampak pucat seperti seorang yang sedang menahan derita
kesakitan. "Adakah luka yang dideritanya itu membahayakan jiwanya?" diam-diam ia menimang. Serentak
mbullah rasa sesal dalam ha nya karena tadi ia telah memberi perintah kepada prajurit itu
supaya menangkap hidup pa h Aragani. Tentulah Derpana berusaha untuk mentaa perintah itu.
Andai tiada perintah Itu, Derpana tentu dengan cepat dan leluasa dapat merubuhkan lawan.
Sebelum la sempat mengambil langkah, ba- ba terjail suatu perobahan dalam pertempuran
itu. Dengan sebuah gerak langkah yang dak dapat diduga lawan, Derpana berhasil menyelinap ke
belakang pa h Aragani dan secepat kilat tangannyapun berhasil mencengkeram kedua bahu pa h
Itu. Langkah selanjutnya, tentulah prajurit itu akan meneliku kedua tangan lawan ke belakang
sehingga lawan tak dapat berkutik.
Hampir berhasillah Derpana melaksanakan gerakannya yang terakhir manakala tidak terjadi
suatu hal yang tidak diduga-duganya. Tiba-tiba patih Aragani bergeliat meronta dan tusukkan
kerisnya ke belakang mengarah dada Derpana.
Suramenggala terbelalak kaget. Pada hal ia tahu jelas sampai di mana tenaga kesak an Derpana
itu. Pernah ia sendiri mencoba kekuatan prajurit itu. Ternyata ia dak mampu melepaskan diri dari
tangan Derpana yang mencengkeram kedua lengannya.
Tetapi mengapa patih Aragani yang bertubuh selemah itu mampu meronta"
"Hanya ada dua kemungkinan. Ataukah Aragani itu memang sak ataukah ada sesuatu yang tak
wajar pada diri Derpana," pikir Suramenggala. Pemikiran Itu berlangsung selintas kilas. Tetapi apa
yang terjadi di hadapannya, jauh lebih cepat lagi.
Melihat dadanya terancam ujung keris, secepat kilat Derpana mendorong tubuh pa h itu sekuatkuatnya. Ia tak sempat mengetahui lagi dorongan itu akan menyebabkan kepala pa h Aragani
terbentur dinding atau pintu ataupun apalagi. Karena sehabis mendorong, ia rasakan tenaganya
lunglai sekali. Pandang matanyapun berhamburan lenyap dan gelap, kepalanya berat seper
dihunjam palu besi. Dan habis mendorong maka terkulailah ia rubuh ke lantai.....
"Hai, jahanam, jangan melarikan diri! " teriak Suramenggala seraya loncat dan lari menerobos ke
luar pintu. Ternyata dorongan tangan Derpana itu menyebabkan patih Aragani terhuyung-huyung ke
pintu. Tetapi secepat itu pula, Aragani lanjutkan gerakannya untuk lari ke luar. Suramenggala
yang memperhatikan gerak gerik patih itu, dapat mengetahui bahwa patih itu hendak melarikan
diri. Suramenggala melihat bahwa Derpana terkulai rubuh. Cepat ia segera dapat menduga
bahwa keris yang dipakai Aragani itu tentu sebuah pusaka yang dilumuri racun warangan.
Betapa geram Aragani ke ka hampir mencapai an yang menurun ke halaman, Suramenggala
sudah menghadang di depannya.
"Hm, bedebah Aragani, engkau telah membunuh seorang anakbuahku secara licik sekali,"
Suramenggala menggeram. "Dia terlalu membanggakan diri kalau dapat mengalahkan aku!" sahut Aragani seraya bersiap
siap. "Dia memang mengatakan hal yang sebenarnya. Tak mungkin engkau mampu mengalahkannya."
"Itu katanya dan bicaramu. Tetapi kenyataannya, dia harus menebus dengan nyawanya."
"Karena engkau menggunakan cara yang keji dan licik."
"Apa yang engkau maksudkan"."
"Kerismu itu," Suramenggala menuding keris yang dipegang Aragani "engkau lumuri dengan
warangan yang ganas. Tak mungkin Derpana akan kehilangan tenaga apabila tak terkena racun
yang hebat." "Ha, ha," pa h Aragani menyalakan nyalinya dengan tertawa girang. Ia hendak mengembalikan
wibawanya sebagai seorang pa h "dalam perang, orang hanya membunuh atau dibunuh. Untuk
merebut kemenangan, segala cara dan daya, tak dilarang. Bukan salahku tetapi carilah kesalahan
itu kepada prajurit yang jumawa tetapi masih rendah kepandaiannya itu."
"Baik," sahut Suramenggala "sekarang aku hendak mencabut nyawamu untuk menemani
prajuritku itu ke alam baka."
"Ho, prajurit Daha, jangan bermulut besar dulu sebelum engkau mampu mengalahkan kerisku
ini!" kata Aragani dan sekonyong-konyong karena melihat Suramenggala masih belum siap, ia
mendahului menerjang dan menusuk dada orang.
"Ih," Suramenggala loncat ke samping. Hampir saja ia akan mengalami nasib serupa dengan
Derpana. Dengan geram ia segera menyerang.
Sebagai bekel yang dipilih Ardaraja sebagai pembantunya, sudah tentu Suramenggala sudah
teruji kesak annya. Seimbang dengan perawakannya yang nggi perkasa, ia memang memiliki
tenaga yang amat kuat sekali.
Aragani sudah tua dan lemah. Kegemarannya minum tuak se ap hari secara berkelebihan, makin
merusakkan tubuhnya. Sesungguhnya semasa muda, dia juga berguru pada seorang sak dan
memperoleh ilmu kesak an. Tetapi kemewahan hidup sebagai seorang pa h, telah
menghanyutkan semua kesaktian dan jaya-kawijayan yang tak pernah dilatihnya.
Hanya dalam beberapa gebrak saja, Suramenggala berhasil merubuhkan pa h itu dengan sebuah
tendangan. Dan menyerahlah pa h itu di kala kedua tangannya telah diinjak oleh kaki
Suramenggala. Suramenggala membungkuk untuk menjemput keris pusaka di tangan pa h itu. Ia hendak
mencacah muka patih dengan ujung keris beracun.
"Aragani, jika prajuritku tadi telah menderita sebuah guratan dari ujung kerismu Ini. Sekarang
aku hendak memenuhi wajahmu dengan berpuluh guratan ujung kerismu jaga," kata Suramenggala
seraya hendak melaksanakan kata-katanya.
"Tunggu dulu, ki lurah," Aragani buru-buru berseru "aku hendak mengajukan usul kepadamu."
"Supaya engkau di kubur secara meriah" Ah, jangan mimpi, ki patih. Bumi Singasari maupun
Daha, takkan dapat menerima mayatmu."
"Bukan," seru Aragani "aku tak menghendaki hal itu."
"Engkau hendak meninggalkan pesan kepada keluargamu "."
"Bukan ." Tiba- ba Suramenggala tertawa "O, kutahu. Eagkau tentu hendak memberi hadiah besar
kepadaku apabila aku membebaskan engkau, bukan "."
"Ya, hampir seperti yang engkau katakan itu."
"Jangan mimpi pa h!" Suramenggala menghardiknya "jika aku dapat membunuhmu seorang
pa h, gus akuwu Jayakatwang akan menghadiahkan pangkat tumenggung kepadaku serta lengkap
dengan rumah dan puteri cantik."
"Hadiahku jauh lebih berharga dari itu," seru Aragani.
"Lebih berharga" Ha, ha, ha, apakah engkau hendak menjadikan aku seorang pa h untuk
menggan kan kedudukanmu" Seorang tumenggung dari kerajaan Daha jauh lebih berkuasa dari
seorang patih akuwu Singasari."
"Kukatakan, jauh lebih berharga dari apa yang dapat engkau bayangkan."
Suramenggala kerutkan dahi.
"Coba katakan," akhirnya ia berkata.
"Tetapi engkaupun harus menetapi janji yang kuajukan kepadamu lebih dulu."
"Apa "." "Bebaskan diriku, jangan engkau bunuh aku !."
"Titah gusti akuwu Jayakatwang, patih Aragani harus dibunuh. Daha tak mau menerima
penyerahannya" kata Suramenggala.
"Ya, akupun tak menginginkan kedudukan dalam kerajaan lagi. Aku sudah tua. Aku ingin mati
secara wajar dan tenang. Akan kuberitahu kepadamu sebuah rahasia besar. Tetapi
bebaskanlah aku. Aku hendak menyamar sebagai rakyat kecil dan pergi dari bumi Singasari."
Suramenggala kerutkan dahi pula. Tampaknya ia meragu.
"Percayalah, apabila engkau mengetahui rahasia itu, kelak engkau tentu akan mendapat ganjaran
yang jauh lebih daripada hanya pangkat tumenggung saja," kembali Aragani membujuk.
"Baik, akan kuper mbangkan adakah hal itu sesuai dengan harga jiwamu," akhirnya
Suramenggala menjawab. "Apabila engkau kembali ke balairung, mungkin kelima prajuritmu itu tentu sudah
bergelimpangan rubuh. Entah terluka entah sudah mati."
"Jangan bicara tak keruan!" hardik Suramenggala.
"Baginda Kertanagara itu sesungguhnya seorang raja yang sak . Apabila baginda sudah mantek
aji, jangankan hanya lima atau sepuluh, bahkan berpuluh-puluh musuh tentu akan hancur di
tangannya. Tandanya dia sudah mantek-aji, apabila wajahnya berobah merah padam dan sepasang
biji mata membelak. Itulah yang disebut aji Brahala sewu. Beliau akan menyerupai Kreshna yang
mantck aji berobah menjadi brahala, seorang raksasa besar. Aji Brahala-sewu, akan menyebabkan
baginda Kertanagara memiliki tenaga kekuatan yang maha sak . Pukulannya akan sanggup
merobohkan tiang saka balairung. Hati-hatilah dengan aji itu."
Suramenggala tak mau lekas-lekas percaya tetapi pun tak mau cepat-cepat menolak. Ia memang
pernah mendengar tentang sebuah aji yang disebut Brahala-sewu. Kesaktiannya amat dahsyat.
"Bagaimana cara melumpuhkan aji itu?" akhirnya ia memancing pertanyaan.
"Itulah yang kumaksudkan sebagai rahasia besar yang tak ternilai harganya."
"O, engkau hendak memberitahu tentang rahasia untuk meleburkan aji Brahala-sewu itu?"
Suramenggala mulai agak terangsang.
"Tetapi harus dengan syarat yang kuminta kepadamu tadi!."
Suramenggala termenung diam. Timbul suatu pergolakan dalam ba nnya. Jika yang dikatakan
pa h Aragani itu benar, betapalah hebatnya apabila ia dapat membunuh raja Singasari itu. Dan
betapalah ganjaran yang akan diterimanya dari akuwu Daha nanti.
Tetapi sekilas ia teringat bahwa Aragani itu seorang pa h hanya akan menyelomo nya apabila
dia mudah membebaskannya.
"Coba ki pa h jelaskan maksud dari perjanjian yang ki pa h kehendaki itu," akhirnya ia meminta
penjelasan. "Akan kuberitahu rahasia dari kesaktian baginda bahkan rahasia kenaasannya. Tetapi setelah
itu, engkau bebaskan aku. Dan aku segera akan tinggalkan keraton ini."
"Bagaimana kalau rahasia yang ki pa h katakan kepadaku itu ternyata tak terbuk " Apa
jaminannya kalau ki patih benar- benar memberitahu rahasia itu dengan sejujurnya"."
Patih Aragani terkesiap. "Ah". aku seorang patih, masakan kata kataku tak berharga."
"Aku ingin berusaha untuk mempercayai orang. Tetapi banyak kali pengalaman mengajar lain
kepadaku. Lebih-lebih dalam suasana perang seper ini. Aku diharuskan oleh tugasku untuk dak
lekas mempercayai keterangan dari musuh."
"Lalu bagaimana maksudmu" " tanya Aragani.
"Begini, aku dapat menerima perjanjian ki patih itu. Dan pelaksanaanku begini. Ki patih
memberitahukan rahasia kesaktian baginda itu untuk kubukiikan kepada baginda. Apabila sudah
benar-benar berbukti nyata, barulah ki patih kulepaskan."
"Jika engkau tak percaya kepadaku, apakah engkau menginginkan aku harus percaya kepada
kata-katamu?" bantah Aragani.
"Dalam keadaan biasa, memang benarlah ucapan ki pa h itu. Tetapi hendaknya harap ki pa h
jangan lupa, bahwa saat ini ki pa h bukan lagi pa h Singasari yang mempunyai kekuasaan dan
kewibawaan. Melainkan seorang tawanan yang menyerah."
Patih Aragani menggeram. "Andai dak kuterima perjanjian itu, bukankah ki pa h sendiri yang akan menderita akibat
menyedihkan ?" desak Suramenggala pula.
Pa h Aragani yang pada masa-masa lalu selalu diturut nasehatnya oleh raja, selalu ditaku oleh
seluruh mentri dan nara praja Singasari, saat itu bagai seekor harimau yang terkurung dalam
perangkap. Aragani menyadari bahwa apabila ia menolak tuntutan prajurit Daha itu, dia tentu akan
dibunuh. Dan kalau menerima perjanjian itu, masih ada sepercik harapan bahwa prajurit itu akan
menetapi janji untuk membebaskannya.
"Baiklah," akhirnya ia menyerah "aku bersedia menerima permintaanmu. Lalu bagaimana cara
yang hendak engkau tindakkan kepadaku "."
Suramenggala kerutkan alis sejenak "Terpaksa kuminta ki pa h rela menderita sedikit. Akan
kuikat tangan ki pa h pada ang saka pendapa keraton ini. Selekas urusan baginda selesai, segera
ki patih kulepaskan."
Kini giliran. Aragani yang harus mengerutkan dahi. Diikat cara begitu, besar bahaya.
Andaikata Suramenggala ingkar janji, bukankah dengan mudah ia akan dibunuhnya " Tetapi
kalau ia masih bebas bergerak, kemungkinan ia masih memberi perlawanan apabila
Suramenggala hendak berlaku curang.
"Aku akan ikut serta ke balairung !."
"Ki pa h tak takut kalau baginda murka kepada ki pa h?" Suramenggala terkejut sekali
mendengar pernyataan Aragani itu.
"Tahu atau tidak tahu, baginda tentu tetap murka. Karena baginda mengerti bahwa satusatunya orang yang tahu akan rahasia kelemahan aji kesaktian Brahala sewu dan rahasia
kenaasan baginda, hanya aku seorang saja. Dalam keadaan seperti ini, setiap orang harus
memikirkan keselamatan jiwanya sendiri."
"Penghianatan hina," diam-diam Suramenggala mendamprat dalam ha . Ia benci kepada seorang
yang menghiana rajanya. Walaupun musuh, tetapi ia sangat mengindahkan seorang mentri setya
seperti empu Raganata. "Baik, mari kita kembali ke balairung." Terhentilah langkah kedua orang itu di muka pintu
ketika mendengar kumandang jeritan ngeri menggema dalam balairung. Jeritan ngeri itu disusul
pula, oleh bunyi dua buah benda berat jatuh ke lantai.
"Ah, baginda tentu sudah mantek-aji Brahala-sewu," bisik patih Aragani.
Suramenggala terkesiap. "Betapakah kesaktian aji Brahala sewu itu ?" tanyanya setengah meragu.
"Aji itu kuasa menghancurkan batu karang," sahut Aragani "apabila engkau ingin membuk kan,
boleh coba menghadapi baginda."
Suramenggala seorang bekel prajurit yang digdaya. Sesungguhnya dia sudah dinaikkan pangkat
sebagai tumenggung oleh akuwu Jayakatwang. Kenaikan itu diberikan di kala ia mendapat tah
supaya mengirimkan raden Ardaraja ke pura Singasari.
"Jangan engkau bergirang karena kenaikan pangkat ini, Suramenggala," ujar akuwu Jayakatwang
"sebab hal itu berar beban kewajibanmu bertambah berat. Engkau harus membuk kan bahwa
dirimu memang sesuai sebagai seorang tumenggung."
Suramenggala menyadari hal itu. Maka iapun berusaha keras untuk mencari pahala dalam
peperangan itu. "Gus , hamba mohon ampun," katanya kepada akuwu Jayakatwang "sebelum hamba
menciptakan jasa dalam peperangan Daha-Singasari ini, hamba mohon supaya pangkat hamba
jangan dinaikkan dahulu."
Jayakatwang meluluskan dan memuji sikap Suramenggala yang dianggapnya memiliki sifat dan
keperibadian sebagai seorang prajurit.
Janji di hadapan akuwu Daha dan dalam ha nya sendiri, menyebabkan Suramenggala
terangsang. Seketika itu ia hendak masuk ke dalam balairung, menghadapi baginda Kertanagara.
"Ah, dak," ba ba ia batalkan niatnya "baginda Kertanagara memang termasyhur sak
mandraguna. Dalam peperangan di Tegalsari melawan kanuruhan Glagah Arum, baginda dapat
menumpas musuh. Tiada seorangpun yang mampu menghadapi kesak an baginda. Jika aku masuk
dan menghadapi baginda, kemungkinan aku tentu kalah dan ma . Apabila aku dan anakbuahku itu
mati di tangan baginda, bukankah Aragani mendapat kesempatan untuk melarikan diri " Ah, jangan
sampai aku termakan siasat patih itu."
"Hm, saat ini bukan saatnya untuk coba-coba. Baginda Kertanagara merupakan sasaran utama
dari peperangan ini. Apabila baginda sudah dapat ditaklukkan, tentulah seluruh kawula Singasari


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan takluk juga. Dan aku datang ke mari hendak menangkapnya bukan hendak
mempersembahkan nyawa kepada baginda."
"Engkau amat cerdik," puji Aragani. Diam-diam pa h itu mengutuk supaya Suramenggala
mampus. "Tetapi ki pa h lebih cerdik lagi" sambut Suramenggala "dan kupcrcaya, hanya ki pa hlah yang
dapat mengetahui rahasia kematian baginda."
"Hm," patih Aragani mendesah "tetapi engkau harus menepati janjimu kepadaku."
"Tentu," jawab Suranenggala "akan kulepaskan ki patih sesaat biginda telah terbunuh ."
"Agar jasa itu mutlak ada padamu ?" seru Aragani.
"Ya, memang sudah sewajarnya," sambut Suramenggala "tetapi lain halnya bagi ki patih."
"Apa yang lain "."
"Jika kubebaskan, ki patih dapat menyingkir ke suatu tempat yang jauh dan tenang. Tetapi
kalau kubunuh, ki patih tentu kehilangan nyawa. Kedua hal itu sama artinya. Tiada seorangpun
yang akan menyangsikan bahwa akulah yang dapat membunuh baginda Kertanagara."
Aragani tertegun Kata-kata bekel prajurit itu memang benar. Andaikata ia masih hidup dan
melaporkan bahwa yang membunuh baginda Kertanagara itu bukan Suramenggala melainkan
dirinya, tentu tiada seorangpun yang mau percaya.
"Baiklah, engkau menang," akhirnya ia berkata "lalu bagaimana kehendakmu "."
"Sederhana saja," kata Suramenggala "aku menghendaki matinya baginda Kertanagara."
"Telah kukatakan tadi, akan kuberitahu kepadamu tentang rahasia kema an baginda, tetapi,"
patih Aragani menatap wajah Suramenggala "engkau harus melaksanakan janjimu."
"Sudahkah aku ingkar janji ?" Suramenggala balas bertanya.
"Biasanya janji itu akan teringkar apabila maksud sudah tercapai."
"Buktikanlah sendiri nanti" seru Suramenggala.
"Baiklah," cepat Aragani beralih kata "aku mempunyai siasat untuk mempedayakan baginda "ia
merapatkan diri pada Suramenggala dan membisikinya beberapa patah kata.
Suramenggala mengangguk-angguk "Ya, aku setuju dengan siasat ki patih itu. Mari kita
mulai." Patih Aragani melangkah masuk diiring oleh Suramenggala. Suramenggala terkejut ketika
pandang matanya tertumbuk pada lantai. Darah berceceran memerah lantai, membentuk
sebuah kubangan yang berisikan dua sosok mayat prajurit Daha.
Suramenggala ngeri manakala melihat bagian kepala dari kedua sosok mayat anakbuahnya itu
telah hancur sehingga benaknya berhamburan ke luar.
Rasa ngeri serentak lenyap dihembus prahara amarah yang berkecamuk dalam ha
Suramenggala. Bekel itu hampir tak dapat menguasai diri. Ia hendak langsung menyerang baginda.
Tetapi bara kemarahan itupun serentak pudar manakala pandang matanya tertumbuk pada diri
baginda Kertanagara yang duduk di kursi kebesaran.
Wajah baginda merah membara, sepasang gundu matanya menyalang lebar hingga melampaui
batas kelopak. Sepintas pandang, bukan lagi wajah baginda Kertanagara yang dilihatnya beberapa
saat tadi. Melainkan menyerupai raksasa brahala bermuka merah. Menyeramkan dan berwibawa.
Terpaksa Suramenggala mengendapkan kemarahannya. Ia harus sampai pada kesempatan
yang akan diluangkan oleh patih Aragani.
Setelah memberi isyarat kicupan mata, pa h Araganipun melangkah masuk ke dalam balairung.
Langsung ia menuju ke hadapan baginda lalu berjongkok mencium kaki baginda.
"Siapa engkau !" teriak baginda yang saat itu tegak berdiri dalam sikap Abhayamudra.
Telapak tangan kiri terbuka di atas perut. Telapak tangan kanan di atas lutut dengan jari
terbuka ke atas. Jangan takut bahaya. Demikian ar yang tersimpul dalam sikap Abhayamudra itu. Mudranya
Sang Dhyani Buddha Asnoghasiddha.
"Hamba patih paduka, Aragani, gusti," sahut Aragani.
"Aragani ?" ulang baginda. Dalam keadaan mantek aji itu, rupanya kesadaran pikiran baginda
telah terlelap. "Benar, gusti, hamba Aragani."
"Aragani....Aragani....." baginda mengulang-ulang.
"Duh, gusti junjungan hamba," kata Aragani setengah meratap "janganlah paduka
berkelanjutan menumpahkan amarah. Karena tiada Insan di seluruh dunia ini mampu
menghadapi aji paduka Brahala-sewu. Aji dari batara Kreshna titisan Wisnu ....."
"Adakah mereka sudah menyerah "."
"Bagaimana mereka berani melawan paduka, gus ," kata Aragani pula yang tahu bagaimana cara
untuk meluluhkan hati baginda.
"Apa buktinya "."
"Bukankah mereka sudah hen kan serangannya ?" seru Aragani "kini mereka sudah tunduk
bersila menghadap duli paduka."
"O," desuh baginda.
"Gus ," kata Aragani pula "aji Brahala sewu merupakan aji Hyang Wisnu yang jarang digunakan
apabila tiada timbul suatu peristiwa yang amat penting sekali."
"Bukankah penyerangan orang Daha ke kerajaan Singasari itu suatu peris wa pen ng yang harus
ditanggulangi "."
"Demikian, gus ," kata Aragani "apabila mereka masih berkeras hendak menyerang. Tetapi kini
mereka sudah takluk dan menyerah. Hamba mohon paduka berkenan melimpahkan ampun kepada
mereka." Tampak menyurutlah warna merah bara pada wajah baginda. Kemudian kedua tangan
bagindapun bergerak-gerak. Telapak tangan kiri terbuka ke atas perut, telapak tangan kanan
terbuka di atas lutut. "Ah," diam-diam Aragani menghela napas longgar demi melihat perubahan sikap mudra baginda.
Itulah yang disebut Waramudra. Mudranya Sang Dhyani Buddha Ratnasambhawa. Ar nya,
memberi anugerah dan ampun.
"O, engkau Aragani," seru baginda sesaat kemudian "di mana orang orang Daha yang engkau
katakan sudah menyerah itu "."
Dalam pada itu Aragani masih tetap memeluk kaki baginda. Seolah olah menunjukkan kebak an
seorang mentri terhadap raja. Tanpa mengangkat kepala, pa h itu berseru "Yang bersila di
hadapan paduka itu."
Sejenak baginda melepaskan pandang ke muka. Tampak seorang bekel prajurit Daha duduk
bersila menundukkan kepala. Di belakangnya empat prajurit tengah 'manungkul' atau duduk bersila
tundukkan kepala. "Hai, prajurit Daha !" seru baginda "sudahkah kalian takluk kepadaku " ."
"Duh, gus prabu Kertanagara junjungan rakyat Singasari yang sak ada taranya" sembah
Suramenggala "mohon gus berkenan melimpahkan ampun atas diri hamba yang telah berdosa
besar berami melawan paduka. Hamba hanya melakukan perintah dari pimpinan pasukan Daha,
gusti patih Mundarang."
"O, si Mundarang ?" baginda Kertanagara tertawa "suruh dia berguru dulu sampai dua gapuluh
tahun, apabila hendak melawan aku."
Suramenggala menghaturkan sembah sebagai pernyataan mengiakan kata kata baginda. Namun
dalam hati, dia tertawa. "Apakah engkau benar-benar hendak menyerah, prajurit Daha "."
"Hamba prajurit Daha hanya ibarat anai anai. Daha paduka, gusti, laksana pelita yang
memancarkan api sakti. Bagaimana anai-anai hendak menerjang api yang sakti itu " Duh, gusti,
hamba mohon hidup. Hamba sekalian merasa tertipu oleh akuwu Jayakatwang. Kini baru
hamba sadar benar, bahwa maha prabu Kertanagara itu jauh lebih sakti daripada akuwu Daha.
Ibarat sinar kunang-kunang, bagaimana mungkin akan menghadapi cahaya surya yang gilanggemilang ......" "Ha, ha, ha," baginda tertawa gembira. Amat gembira sekali "kiranya orang Daha pandai juga
merangkai tamsil yang indah. Bukankah demikian, Aragani "."
"Titah paduka, merupakan amanat bagi hamba," kata Aragani "ibarat burung, mereka telah
hinggap pada pohon yang salah sehingga tak dapat mengembangkan bakatnya."
Tiba- ba Suramenggala tampak beringsut maju. Jaraknya dengan baginda Kertanagara hanya ga
empat langkah. Serta merta bekel prajurit Daha itu menundukkan kepala ke bawah membawa
sembah ke bawah duli baginda.
"Prajurit Daha," tah baginda pula "sembah pengabdianmu kuterima. Tetapi apa sembah
baktimu kepadaku "."
"Hamba hendak menghaturkan dua buah benda berharga sebagai sembah bak hamba kepada
paduka, gusti," kata Suramenggala.
"Ho, apakah itu "."
"Dua butir kepala manusia, gusti."
Baginda Kertanagara terbeliak "Dua butir kepala manusia ?" baginda mengulang heran.
"Demikian, gus ," sembah Suramenggala "dua bu r kepala dari dua manusia yang paling
berharga di Daha dan Singasari. Kedua orang itulah yang akan menenteramkan suasana
peperangan ini." "O, siapakah mereka ?" baginda mulai tertarik.
"Pertama, batang kepala gus pa h Kebo Mundarang, pucuk pimpinan angkatan perang Daha
yang menyerang Singasari," kata Suramenggala "hamba akan menghadap gus pa h itu dan
membunuhnya." "Hah, engkau berani membunuh patih Mundarang"."
"Sebagai bak kesetyaan kepada paduka, gus , jangankan gus pa h, bahkan gus akuwu
Jayakatwangpun, bila paduka titahkan, hamba sanggup untuk membunuhnya."
Baginda Kertanagara mendecak-decak mulut.
"Akuwu Daha akan kuadili sendiri. Karena betapapun dia adalah ayahanda dari putera
menantuku Atdaraja," ujar baginda.
"Jika demikian, baiklah hamba haturkan kepala dari pa h Mundarang saja. Karena apabila sudah
terbunuh, pasukan Daha tentu kacau dan peperanganpun berhenti, gusti."
"Hm, baiklah," ujar baginda "lalu siapakah kepala dari orang kedua itu "."
Tiba-tiba Suramenggala mencabut keris di pinggangnya.
"Gusti," serunya "keris ini kata akuwu Daha adalah keris buatan empu Gandring ...."
"Keris yang dimiliki Ken Arok untuk membunuh empu itu ?" baginda terkejut.
"Entah, gus ," kata Suramenggala "mungkin yang itu, mungkin keris yang lain tetapi pokoknya
buatan dari empu Gandring."
"Ya, tentu bukan," ujar baginda "karena keris pusaka dari Ken Arok Itu oleh ramuhun rahyang
ayahanda Wisnuwardhana, entah telah di simpan di mana. Lalu apa maksudmu, prajurit"."
"Dengan keris inilah, gus , akan hamba pergunakan untuk mengambil kepala dari orang kedua
yang hamba haturkan tadi."
Baginda terkesiap "Siapakah dia"."
"Dia adalah orang yang telah menyebabkan peperangan ini. Dia adalah manusia yang
merusakkan hubungan Daha dengan Singasari. Dia adalah orang yang menyebabkan beribu-ribu
jiwa prajuiit dan rakyat hilang akibat peperangan ini. Karena itu, gus , dia harus dilenyapkan. Demi
kejayaan kerajaan Singasari kebahagiaan Daha dan kesejahteraan seluruh kawula"."
"Hai," teriak baginda "sedemikian berbahayakah orang itu " Siapakah gerangan dia "."
"Dia adalah Aragani, gus .... " Suramenggala menutup kata-katanya dengan menghentakkan
tubuh melonjak ke muka dan terus menikam Aragani.
Saat itu baginda Kertanagara masih berdiri tegak. Sedang Aragani masih berjongkok
memeluk kedua kaki baginda. Demi mendengar kata-kata Suramenggala, patih itu serentak
memekik "Gusti, tolonglah hamba ......! ."
Sambil berkata, Aragani terus menyeruak ke bawah sela kedua kaki baginda. Baginda terkejut.
Selintas bermaksud hendak melindungi pa h itu, tanpa disadari baginda telah mengisar kedua
kakinya menganga lebar-lebar.
Sesaat tubuh Aragani menerobos kedua kaki baginda, maka keris Suramanggalapun segera
bersarang ke pangkal paha kanan baginda.
"Auh ....... " baginda memekik kaget dan terhuyung-huyung ke belakang, tepat jatuh terduduk di
atas kursi kebesaran. Darah mengalir deras bagai sebuah anak sungai. Keris yang masih melekat di pangkal paha
baginda itu sagera menghamburkan darah merah yang melumuri celana dan mengubang di lantai.
"Engkau ....... !" teriak baginda seraya memandang Suramenggala lalu pejamkan mata. Telapak
tangan baginda diletakkan di atas, telapak tangan kiri diletakkan di pangkuan. Dhyanamudra,
mudranya Sang Dhyani Buddha Amitabha, untuk mengheningkan cipta, menyatukan pikiran.
Suramenggala tertegun ke ka menerima kilatan sinar mata baginda. Ada suatu sinar gaib yang
melintas dan menikam uluha nya. Ia tak tahu bagaimana perasaan ha nya saat itu. Hanya dalam
pandang matanya, ia seper melihat pangkal paha baginda yang masih tertancap keris itu,
memancarkan sinar yang gilang gemilang. Sedemikian keras sinar itu memancar sehingga matanya
silau. "Auh .... " cepat-cepat Suramenggala mendekap kedua pelapuk matanya untuk menahan cahaya
kemilau itu. Sesaat ia lepaskan tangannya, maka mbullah lain pemandangan. Pangkal paha
baginda itu seolah memancar sinar kuning emas. Kemudian sinar kuning emas itu membaurkan
suatu daya pesona yang hebat dan pada lain saat ada suatu kekuatan gaib yang memikat
Suramenggala supaya maju menghampiri.
Seper terkena pesona maka berayunlah langkah Suramenggala maju menghampiri ke tempat
baginda. Dan tanpa disadarinya, iapun ulurkan tangannya untuk mengambil keris yang masih
tertancap pada pangkal paha baginda. Dalam penglihatannya, keris itu seolah sebongkah emas
murni yang bersinar gilang gemilang.
Pada saat tangan Suramenggala menjulur ke muka, sekonyoig konyong sinar kuning emas itu
terlepas dari pangkal paha baginda dan meluncur deras ke arah Suramenggala.
Suramenggala terkejut. Tetapi rasa kejut yang dilipu kegirangan ha yang meluap luap. Pucuk
dicinta ulam ba. Ia hendak mencabut benda kuning emas itu tetapi kini benda itu sudah meluncur
kepadanya. Cepat iapun menyambarnya ....
"Uh," serempak mendengus karena luput menyambar, mulut Suramenggala segera menjerit ngeri
"Aduh ......" Keris yang disangkanya benda kuning emas itu, telah meluncur sepesat anakpanah terlepas diri
busurnya dan langsung hinggap di dada Suramenggala. Lurah prajurit Daha itu menjerit dan
terhuyung huyung mundur sambil mendekap dadanya.
"Suramenggala .... " sekonyong konyong seorang pemuda dalam pakaian senopa menerobos
masuk ke dalam balairung. Dia sempat menyanggapi tubuh Suramenggala hingga lurah prajurit itu
tak sampai rubuh. Dan serempak dengan hadirnya pemuda itu maka balairungpun penuh dengan prajurit-prajurit
Daha yang bersenjata lengkap.
Pemuda itu terkejut sekali ke ka melihat dada Suramenggala telah berhias sebatang keris. Lebih
terkejut pula pemuda itu ke ka melihat bahwa darah yang mengucur dari dada Suramenggala
bukan merah warnanya tetapi hitam ....
"Suramenggala, kenapa engkau?" tegurnya gegas.
"Duh, raden Ardaraja .... hamba telah tercidera oleh baginda ..... Kertanagara ... " sahut
Suramenggala tergagap menahan kesakitan.
"Dicidera rama baginda ?" pemuda berpakaian senopa itu memang raden Ardaraja, putera
akuwu Jayakatwang yang juga menjadi putera menantu baginda Kertanagara.
Atas perintah raden Ardaraja maka Suramenggalapun menuturkan apa yang telah terjadi dalam
balairung "Sungguh tak mungkin bahwa keris pusaka yang sudah terbenam di pangkal paha
baginda tiba-tiba dapat meluncur ke dada hamba, raden."
Mendengar bahwa Suramenggala telah membunuh baginda Kertanagara, seke ka pucatlah
wajah raden Ardaraja. "Engkau .... engkau membunuh rama baginda ?" serunya menegas dengan nada gemetar.
"Ya," Suramenggala terkejut ke ka mendengar nada suara raden itu "mengapa" Bukankah gus
akuwu Jayakatwang menitahkan demikian "."
"Tutup mulutmu !" hardik Ardaraja mengguntur "siapa yang menitahkan engkau melakukan
tindakan itu "."
Percakapan itu amat menegangkan urat saraf Suramenggala sehingga sesaat ia lupa akan luka
yang dideritanya. "Bukankah baginda Kertanagara itu musuh gus akuwu Daha, ayahanda raden ?" serunya penuh
keheranan. "Tidak perlu engkau katakan hal itu," bentak Ardaraja pula "memang ayahandaku ingin
menuntut balas atas hinaan selama berpuluh tahun yang telah diderita rakyat Daha oleh Singasari.
Ayahandaku hanya ingin menumbangkan kekuasaan Singasari tetapi dak menitahkan membunuh
baginda Kertanagara!."
"Oh," Suramenggala mendesuh "bukankah gus pa h Mundarang telah mengumumkan perintah
tentang penghargaan yang akan diberikan oleh se ap prajurit Daha yang berhasil membunuh
prajurit, lurah, patih dan senopati Singasari"."
"Adakah dalam perintah itu tercantum juga diri rama baginda Kertanagara?" cepat Ardaraja
menukas. "Bukankah hal itu merupakan sasaran utama dalam peperangan ini"."
"Keparat!" ba- ba Ardaraja ayunkan tangan menampar muka Suramenggala. Bekel prajurit
itupun terpelan ng jatuh "berani benar ergkau ber ndak tanpa mendapat perintahku
Suramenggala!." Semula merekahlah harapan Suramenggala untuk mendapat balas jasa yang besar setelah
dapat membunuh baginda Kertanagara. Tetapi harapan itu pudar, ketika ia menderita suatu
paristiwa yang luar biasa. Yalah keris yang menancap di pangkal paha baginda itu tiba-tiba
meluncur dan bersarang di dadanya. Ia tahu bahwa luka yang dideritanya itu tentu akan
membawa jiwanya berpindah ke alam baka.
Dan kini dalam de k-de k terakhir dari sisa hayatnya ia harus menderita suatu perlakuan yang
amat menyakitkan ha . Bukan pujian yang diterimanya dari raden Ardaraja, melainkan hamun
makian, bentakan dan tamparan.
Suramenggala benar-benar sakit ha sekali. Ia menyadari bahwa tak mungkin ia dapat hidup
maka timbullah suatu tekad dalam hatinya.
"Ardaraja," teriaknya dengan kalap. Ia marah sekali sehingga tak mau lagi ia menggunakan
sebutan raden kepada putera akuwu Daha itu "beginikah imbalan yang engkau berikan kepada
seorang yang telah mengabdi kepada kerajaanmu"."
"Tutup mulutmu, Suramenggala!" bentak raden Ardaraja.
"Tidak, Ardaraja! Selama masih ada se k nyawa, sedenyut darah dalam hayatku, Suramenggala
akan bicara dan bicara. Mendamprat manusia-manusia yang tidak adil ......"
"Jangan!" ba- ba Ardaraja berteriak mencegah ke ka salah seorang prajurit Daha hendak
menahaskan pedangnya ke tubuh Suramenggala. Rupanya Suramenggala tahu akan hal itu.
"Ho, prajurit gila," serunya mencemoh "adakah engkau kira dengan membunuh aku engkau akan
menerima imbalan jasa" Ho, jangan mimpi, prajurit ......... Lihatlah diriku sebagai contoh .... Aku
telah berhasil membunuh baginda Kertanagara, musuh utama dari Daha. Tetapi ganjaran apa yang
kuterima" Ardaraja, putera akuwu Jayakatwang, telah memukul aku ......"
Sesungguhnya saat Itu raden Ardaraja masih merenung dalam-dalam. Ia tak habis menger


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengapa ba- ba keris yang tertancap pada pangkal paha baginda Kertanagara itu, ba- ba
meluncur ke dada Suramenggala "
Dan keheranan itu sesungguhnya juga mencengkam ha Suramenggala sendiri. Namun sebelum
ia sempat mengutarakan hal itu, raden Ardaraja telah mambentak dan memukulnya.
Memang peris wa itu amat mengherankan sekali. Hanya baginda sendiri atau sekurangkurangnya orang yang dekat dengan baginda seper pa h Aragani, yang tahu akan peris wa ajaib
itu. Sesungguhnya dalam membentuk Dhyanamudra tadi, setelah segenap cipta dan pikiran
manunggal dan berpusat pada Cakram Ana Hata atau jantung. Setelah pikiran hening maka
terbentuklah suatu pemusatan tenaga-murni dalam Cakram Manipura atau pusar. Dan dari sumber
Cakram Manipura ini, melancarkan sumber daya kesak an tubuh yang disebut Kanuragan. Apabila
sudah mencapai tataran itu, se ap gerak pukulan atau tamparan akan mampu menghancurkan
batu karang yang kokoh. Dengan daya kesak an yang memancar dari sumber Cakram Manipura itulah baginda
Kertanagara mengenyahkan keris dari pangkal pahanya dan melayangkannya ke dada
Suramenggala. Sedemikian dahsyat tenaga-murni yang dilancarkan baginda sehingga kedahsyatan
keris itu jauh lebih pesat dari anakpanah terlepas dari busurnya.
Namun kacena terlalu besar baginda menggunakan tenaga sak , maka makin payahlah keadaan
baginda. Saat itu baginda bagaikan pelita yang kehabisan minyak. Hanya karena kesak an dan
kedigdayaan yang luar biasalah maka baginda dapat bertahan sampai beberapa saat.
Se ap ilmu kekebalan dan kedigdayaan, tentu mempunyai kelemahan. Dan kelemahan baginda
terletak pada pangkal paha. Baginda terkejut ke ka pa h Aragani menyeruak masuk ke selakang
kakinya sehingga bagindapun merentang kedua kakinya lebar-lebar untuk memberi jalan. Di saat
itulah, sesuai dengan petunjuk Aragani, maka Suramenggala menikamkan keris ke pangkal paha
baginda. "Suramenggala, jangan engkau banyak mulut!" hardik raden Ardaraja "ketahuilah, aku telah
mendapat janji dari rama akuwu bahwa rama baginda Kertanagara akan dijamin keselamatan
jiwanya. Mengapa engkau lancang mencelakai rama baginda "."
"Aku seorang lurah prajurit yang harus tunduk perintah!" sahut Suramenggala makin beringas.
Darah mengalir deras dari dadanya. Dia merasa bahwa hidupnya hanya nggal beberapa de k.
Keris itu amat bertuah dan dilumuri warangan atau semacam racun. Maka iapun nekad dan tak
mau berbahasa halus kepada Aidaraja.
"Perintah dari siapa "."
"Pengumuman dari gusti patih Mundarang berlaku bagi seluruh prajurit dan senopati Daha."
"Siapa atasanmu"."
Pertanyaan Ardaraja kali ini serasa membungkam mulut Suramenggala.
"Adakah aku pernah memberi perintah demikian kepadamu?" ulang Ardaraja pula.
"Aku seorang prajurit Daha yang berperang melawan Singasari. Se ap prajurit Singasari yang
berani melawan tentu kutumpas. Termasuk baginda Kertanagara."
"Tetapi rama Jayakatwang telah memberi janji kepadaku. Janji itu harus ditepa dan ditaa .
Engkau telah merusak janji itu."
"Persetan dengan janji akuwu Daha dengan engkau. Itu janji peribadi antara ayah dan puteranya.
Gus pa h Mundarang adalah senopa agung yang berkuasa penuh atas pasukan Daha. Seluruh
prajurit hanya tunduk pada perintah senopatinya."
"Keparat, berani benar engkau kepada atasanmu. Siapa aku ini, Suramenggala ?" seru Ardaraja
merah mukanya. "Setiap kawula Daha tahu bahwa engkau adalah putera akuwu Daha. Setiap kawula
Singasaripun tahu bahwa engkau adalah putera menantu baginda Kertanagara. Dan kini seluruh
rakyat Daha serta Singasari tahu bahwa seorang putera menantu telah menghianati rama
mentuanya ......" Ardaraja tak kuasa lagi menahan kemarahannya. Serentak mencabut keris, ia terus hendak
menusuk Suramenggala. "Tunggu.....! " tiba-tiba berdengar suara orang bcneru lantang.
Ardaraja dan sekalian prajurit Daha terkejut. Serentak mereka menghambur pandang ke arah
suara itu. Karena Ardaraja dan sekalian prajurit Daha tengah menumpahkan perha an kepada
Suramenggala, mereka dak mengetahui sama sekali bahwa saat ini dalam balairung telah
bertambah dengan kehadiran dua orang pemuda. Yang seorang tengah menelungkup jenazah
empu Raganata. Yang seorang tengah tegak memberi sembah kepada baginda Kertanagara yang
masih duduk di kursi kebesaran dalam sikap mudra atau bersemedhi.
"Siapa engkau !" tegur Ardaraja kepada pemuda yang berada di hadapan baginda.
"Jaka Ludira !" sahut pemuda itu dengan nada penuh wibawa.
"Ludira " Siapa Ludira itu " Mengapa engkau memberi sembah kepada baginda "."
"Memberi hormat sembah kepada rajanya, adalah kewajiban setiap kawula Singasari. Bukan
milik seorang putera menantu raja saja."
Merah wajah Ardaraja. "Siapa engkau !" hardiknya mulai membengis.
"Engkau tak kenal siapa Jaka Ludira itu?" sahut pemuda itu "ah, benar, benar, memang pada
waktu engkau diambil menantu oleh baginda Kertanagara, aku sudah tak berada di Singasari lagi."
"Jangan bicara yang tak perlu !" tukas Ardaraja "jawablah siapa engkau ini !."
"Jaka Ludira adalah putera dari pangeran Panenggak, saudara lain ibu dengan baginda
Kertanagara. Jelas "."
Ardaraja kerutkan dahi. "Pangeran Panenggak yang menjadi kanuruhan tanah Glagah Arum itu ?" sesaat ia menegas.
"Ya, benar, kanuruhan Glagah Arum itu adalah ramaku."
"Engkau masih putera kemenakan baginda Kertanagara ?" Ardaraja agak terkejut.
"Ya, tetapi dulu," sahut Jaka Ludira "tetapi sekarang tidak !."
Ardaraja makin terbeliak.
"Apa maksudmu mengatakan sekarang tidak lagi menjadi putera kemenakan baginda itu "."
"Karena berasal dari satu ayah, eyang prabu Wlsnuwardhana, maka seharusnya aku ini putera
kemenakan dari baginda Kertanagara. Tetapi karena ramaku telah lenyap sebab diserang baginda
Kertanagara, lenyap pulalah tali hubungan antara saudara, dengan sandara, paman dengan
kemenakannya itu !."
"O, lalu apakah hubunganmu dengan baginda"."
"Musuh!" sahut pemuda itu tenang-tenang "bukankah engkau juga demikian Ardaraja " Engkau
putera menantu baginda tetapi sekarang ini engkau menjadi musuh."
Ardaraja merah pula wajahnya.
"Hanya bedanya, aku memusuhi baginda secara terang-terangan. Engkau merendahkan
derajatmu sebagai seorang pangeran putera raja, ke dalam siasat rendah 'musuh dalam selimut'.
Aku menetapi perilaku ksatrya, engkau merendahkan derajatmu sebagai seorang penghianat!."
"Tutup mulutmu!" teriak Ardaraja dengan wajah merah padam "apa tujuanmu muncul di sini "."
"Hendak menuntut balas kepada baginda."
"Terlambat," seru Ardaraja "baginda telah tewas dicidera bekel Suramenggala dari Daha ini."
"Oleh karena itu aku hendak menghukum manusia yang lancang mendahului ndakanku" seru
Jaka Ludira "itulah sebabnya mengapa kularang engkau membunuh bekel itu. Akulah yang akan
membunuhnya." "Dia orangku dan akupun hendak menghukumnya karena perbuatannya membunuh baginda
itu." "Jangan coba-coba meniru ngkah laku Ken Arok yang membunuh Kebo Hijo karena telah
menikam akuwu Tumapel. Pada hal dia sendiri yang menyuruh membunuh lalu dia membunuh
orang suruhannya Itu untuk melenyapkan jejak."
Ardaraja terbeliak. "Ludira, jangan engkau bermulut lancung?" akhirnya Ardaraja kehilangan kesabaran "aku hendak
membunuh orang sebawahanku itu bukan karena hendak menghilangkan jejak. Bukan pula karena
takut dituduh membunuh baginda Kertanagara. Tetapi karena dia telah melanggar tata ter b
keprajuritan, tanpa mendapat perintahku berani bertindak membunuh baginda."
Pada hal rama akuwu telah memberi jaminan kepadaku bahwa baginda Kertanagara takkan
diganggu keselamatan jiwanya. Atas dasar itulah maka aku mau membantu Daha."
"Apapun alasanmu tetapi kenyataan telah terbentang bahwa baginda Kertanagara telah
terbunuh. Oleh karena itu, akulah yang wajib menghabisi jiwa pembunuh itu."
"Dia adalah orang sebawahanku, akulah yang wajib membunuhnya !" bantah Ardaraja.
"Dia pembunuh rajaku, pamanku pula ... "
Ardaraja tertawa hina "Engkau masih muda tetapi bicaramu lain ujung dengan pangkalnya.
Engkau mengatakan, ayahmu dibunuh dalam peperangan oleh baginda Kertanagara dan
engkau hendak menuntut balas atas kematian ayahmu itu. Tetapi sekarang engkau hendak
menuntut balas untuk baginda "."
"Kita harus memisahkan kepen ngan peribadi dengan negara. Menuntut balas kepada baginda,
adalah kepen ngan peribadiku. Menuntutkan balas untuk baginda adalah kepen ngan negara.
Jelaskah engkau?" "Menghukum orang sebawahanku, berarti menampar muka Ardaraja."
"O, artinya engkau tetap hendak menghalang?" Ludira menegas.
"Telah kukatakan bahwa akulah yang akan menghukum orang sebawahanku itu. Jika engkau tak
percaya, saksikanlah sendiri!" Ardaraja terus mencabut pedang.
"Telah kukatakan pula, bahwa akulah yang wajib menghukumnya. Jika engkau yang membunuh,
sakit hati rakyat Singasari tetap takkan terhimpas, maka aku yang harus menghukum !."
"Ludira, rupanya keras benar hatimu."
"Rawe rawe rantas, malang malang pulung!"
"Baiklah, Ludira," Ardarajapun segera mengisar menghadap ke arah pemuda itu "adakah
tanganmu juga sekeras hatimu"."
"Cobalah saja!" Ludira terus mengambil sikap.
Pada saat Ludira hendak menerjang Ardaraja, ba ba terdengar suara orang berseru lemah
"Ludira, puteraku ......"
Ludira terkejut dan cepat berputar tubuh. Jelas yang berseru itu adalah baginda Kertanagara.
Sertamerta Ludira maju dan berlutut di bawah duli baginda.
"Ludira .... " suara baginda tersekat sarat "dendam itu laksana api. Mudah menyala, sukar
dipadamkan .... Prajurit Daha yang mencidera aku itu, dak salah .... Dia telah melakukan tugasnya
sebagai seorang prajurit .... Tak perlu engkau membalasnya karena diapun sudah menderita.
Lihatlah . ......" Ludira mengangkat muka dan berpaling memandang ke arah Suramenggala. Sejak terjadi cakap
dengan Ardaraja tadi, memang Suramenggala lepas dari perha an. Kini setelah memandang ke
arah bekel prajurit itu, terbeliaklah Ludira. Suramenggala tampak duduk bersila, kedua tangannya
membentuk sebuah sembah ke arah baginda. Sepintas pandang menyerupai seorang hamba yang
sedang menghadap rajanya. Tiada yang tampak sesuatu keanehan kecuali wajahnya yang pucat
lesi. "Suramenggala," tertarik oleh tah baginda, Ardarajapun berpaling ke arah Suramenggala. Cepat
ia menegur bekel itu "jika engkau sudah mengaku bersalah, terimalah hukumanmu !."
Ardaraja serentak hendak mengayunkan pedang. Tetapi ada sesuatu yang menarik perha annya.
Suramenggala tak menyahut, tak pula berkisar tubuh. Seolah bekel itu tak mengacuhkan
junjungannya. "Suramenggala," seru Ardaraja pula. Namun bekel itu tetap diam saja. Karena heran, Ardaraja
ulurkan tangan kiri untuk memegang bahu bekel itu. Tetapi segera putera akuwu Daha itu berseru
kejut, "Sura ........"
Ternyata sentuhan tangan dari Ardaraja itu, walaupun tak berapa keras, namun telah
menyebabkan tubuh Suramenggala rubuh ke lantai.
"Ah, engkau sudah ma , Suramenggala," akhirnya Ardaraja menghela napas. Sesaat kemudian
iapun duduk berteliku memberi sembah kepada baginda "duh, rama prabu yang hamba muliakan,
ampunilah segala kesalahan hamba ......."
"Ardaraja..... " masih baginda dapat menyahut walaupun suaranya makin lemah "se ap tah
manusia tak luput dari dosa. Aku mau mengampuni, Ardaraja, tetapi dapatkah dosamu itu bersih
dengan pengampunanku" Ah, kurasa dak, Ardaraja. Se ap dosa, harus dibersihkan oleh orang
yang melakukan itu sendiri. Selama dia tak mau membersihkan kotoran klesa dalam ba nnya, tak
mungkin Hyang Widdhi akan mengampuninya. Demikian pula engkau, Ardaraja. Engkau harus
berusaha membersihkan kesalahan dan kedosaanmu karena engkau sendirilah yang akan
mengenyam akibat dari setiap perbuatanmu ......"
"Puteraku Ludira," berkata pula baginda kepada putera kemenakan beliau "bukankah engkau
hendak mencari balas atas kema an ramamu " Silakan, Ludira, selagi pamanmu ini masih
bernapas, tusukkanlah senjatamu itu agar dendam yang membara dalam ba nmu itu segera
lenyap." Ludira terkesiap. Pikirannya jauh melayang-layang dalam berbagai per mbangan yang ada
menentu. Berpuluh tahun ia. harus hidup menderita. Boleh dikata menyiksa diri untuk menuntut
ilmu jayakawljayan. Berpuluh tahun ia memendam bara dendam dalam sanubari dan berpuluh
tahun ia berjuang untuk mencapai cita citanya itu.
Kini cita-citanya itu telah terbentang di hadapannya. Kini ia sudah berhadapan dengan baginda
Kertanagara, ya pamannya, ya pembunuh ayahnya, ya musuh yang dicarinya itu. Bukan seorang
ksatrya apabila ia harus mengingkari ikrar yang pernah dilepaskan dari lubuk ha nya. Seke ka
menggeloralah semangat Ludira. Sepasang bola matanya berapi api menghambur sinar
pembunuhan .... Tetapi ke ka pandang matanya tertumbuk akan keadaan baginda yang duduk lunglai dalam
keagungan dan kewibawaannya di atas kursi kebesaran, seke ka berhamburan pudarlah sinar
pembunuhan itu. "Ludira, lekaslah engkau hunjamkan senjatamu ke tubuh ini" seru baginda sesaat dilihatnya
Ludira termangu-mangu. "Duh, paman prabu," kata Ludira dengan nada haru "paman prabu sudah cukup menderita.
Kiranya sudah cukuplah dendam kematian ramaku itu berbalas."
"Ah," baginda mendesuhkan sebuah keluhan sedih "bunuh aku, Ludira, agar terhimpas segala
kedosaanku, agar lekaslah jiwaku meninggalkan raga yang berlumuran klesa ini......"
"Tidak, paman prabu, hamba takkan berbuat begitu."
Kembali baginda menghela napas.
"Pucang pu h tulyanikang malangliput. Sebagai mendung pu h layaknya mala itu melipu ba n.
Maka gelaplah pemandangan ba n terhadap zat Tuhan. Demikianlah yang terjadi atas diriku,
Ludira ......" Berhenti sejenak untuk mengerahkan sisa-sisa tenaganya, berkata pula baginda Kertanagara.
"Dalam meni ke tataran mencari penerangan zat Tuhan, aku telah terjerumus dalam kesilauan
Ajnana atau kebodohan dan Kamohan atau kebingungan serta kemabukan. Melakukan sesuatu
dengan dak memper mbangkan kebijaksanaan yang lepas dari akibat memen ngkan diri sendiri.
Itulah yang disebut Ajnana. Dan yang disebut Kamohan yalah kebingungan atau kemabukan,
ber ndak menurut hawa nafsu yang tak kenal kepuasan. Akibat dari ndakanku itu, adimas
Panenggak, ayahandamu, telah binasa dalam peperangan dengan Singasari. Kemudian negara
Singasari telah hancur diserang Daha seperti saat ini ........."
"Tetapi paman prabu," Ludira cepat menanggapi "pa h Araganilah yang telah mengacau dan
menjerumuskan paman prabu !."
"Puteraku Ludira," kata baginda dengan suara yang makin lemah " dak baiklah menimpakan
kesalahan kepada lain orang. Aragani memang berusaha untuk merusak jiwaku. Tetapi yang salah
adalah aku. Mengapa aku mau dan menuru saja segala bujuk rayuannya" Itulah karena pikiran
dan batinku telah diselimuti oleh Ajnana dan Kamoban itu."
"Tidak, paman prabu," bantah Ludira "Aragani tetap harus bertanggung jawab atas kerusakan
negara Singasari kerajaan paduka ini."
"Ludira," kata baginda "telah kukatakan bahwa manusia itu tak lepas dari lingkaran Sebab dan
Akibat. Aragani akan memetik buah yang, ditanamnya, percayalah puteraku ......"
"Ah," Ludira diam-diam memuji kebesaran hati baginda. Namun ia tetap penasaran kepada
patih itu. "Ludira," berseru pula baginda "darahku sudah hampir habis mengalir. Aku sudah tak takut
menderita siksaan itu. Maukah engkau berjanji untuk melepaskan penderitaan pamanmu ini "."
Serta merta Ludira memberi sembah dan menyatakan kesediaannya.
"Ludira, atas kesediaanmu itu, akupun hendak memberikan imbalan. Ayahandamu telah
meninggal, demikian akupun segera berangkat ke alam kelanggengan. Aku tak mempunyai putera.
Engkaulah, Ludira, satu satunya keturunan kami berdua kakak beradik. Kerajaan Singasari
kuserahkan kepadamu. Terserah bagaimana engkau hendak berusaha untuk memperjuangkan
tanah warisan leluhurmu ......"
"Paman prabu ......"
"Ludira, sekarang laksanakan kesediaanmu. Aku sudah tak kuat menahan derita lebih lama
lagi. Aragani tahu akan kelemahanku, tetapi belum keseluruhannya. Aku. takkan mati karena
luka pada pangkal paha ini ......."
"Jika demikian," tukas Ludira memercik harapan "kumohon restu paduka untuk menghancurkan
orang orang Daha itu !."
"Tidak, Ludira," seru baginda pula "kutahu bahwa garis hidupku sudah selesai. Keadaan Singasari
sudah porak poranda sedemikian rupa. Aku tak ingin melihat kawulaku banyak yang akan ma lagi.
Dan akupun tak ingin melihat bahwa singgasana Singasari akan diduduki oleh orang Daha. Lebih
baik aku mati daripada melihat peristiwa-peristiwa itu."
"Kita harus berusaha, paman prabu !."
"Ah, aku telah menerima bentara gaib dalam semedi cipta, bahwa memang sudah ba janjinya
aku harus mengakhiri hidupku di arcapada ini. Lekas, puteraku, antarkanlah aku ke Iswaraloka. Jina
Sri Jenya-nabadrewara takkan ma , kecuali dia sendiri yang rela menyerahkan kema annya. Aku
sudah jemu akan kehidupan di alam fana ini."
"Baik, paman prabu," kata Ludira "tetapi bagaimanakah cara hamba melakukan tah paduka
itu"." "Lekaslah sempurnakan jasadku ini, agar atmaku lekas menuju ke Iswaraloka."
Ludira terbeliak. Ia tahu apa yang diartikan oleh baginda.
"Tidak, baginda. Hamba takkan melakukan perbuatan yang sekejam itu. Titahkan apa sajalah
kepada hamba, tentu akan hamba lakukan. Tetapi janganlah paduka tahkan hamba membunuh
paduka ........." "O, Ludira, engkau khilaf," seru baginda "engkau tak sampai ha melakukan hal itu karena
melihat tubuh yang bersemayam di kursi kebesaran ini adalah Kertanagara, pamanmu. Tetapi
engkau tak melihat siapa Aku ini "."
Berhen sejenak, baginda melanjutkan pula "Raga adalah badan kasar yang akan rapuh, rusak
dan binasa. Tetapi jiwa, akan tetap hidup. Tidakkah engkau kasihan melibat raga yang sudah begini
rusak harus berlangsung rusak dan makin rusak " Sampaikah ha mu melihat raga yang penuh
debu-debu klesa ini menderita siluman" Ketahuilah Ludira, engkau dak membunuh tetapi
membebaskan dan menyempurnakan keakhiran daripada perjalanan hidup sesosok tubuh yang


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebetulan menjadi pamanmu. Nah, Ludira, segeralah engkau lakukan." Ludira termangu.
"Nah, akan kuberi petunjuk dengarkanlah dan kemudian lakukanlah," kata baginda "Pertama
ucapkan 'aum' dan kecuplah ubun-ubun kepalaku. Kedua, ucapkan 'ah' dan kecuplah leherku.
Terakhir, ucapkan 'hum' dan kecuplah ulu hatiku. Segera aku akan melayang ke Iswaraloka."
Sesungguhnya Ludira tak sampai ha . Tetapi setelah mendengar uraian dari baginda tentang ar
daripada Raga dan Jiwa, iapun mempunyai per mbangan lain. Dilihatnya keadaan raga baginda
sudah parah. Tentulah baginda amat menderita sekali. Maka akhirnya ia memutuskan untuk
melakukan apa yang dititahkan baginda itu.
Pada saat Ludira mengucap doa Hum dan mengecup dada baginda, maka terkulailah tubuh
baginda di atas kursi kebesaran. Wajahnya setenang orang dur. Cahayanya masih memancarkan
sinar kewibawaan seorang maharaja yang bercita-cita besar.
Suasana balairung sunyi senyap. Sayup-sayup seper terdengar paduan suara yang merdu.
Balairung membaurkan bau harum dan ba- ba wajah baginda memancar terang dan sekejab
kemudian sinar terang itupun redup, paduan suara serta tebaran bau harum pun lenyap. Baginda
Kertanagara telah mangkat diantar oleh detik detik peristiwa ajaib ....
Keheningan suasana itu terpecahkan oleh isak tangis seseorang. Ludira terkejut dan cepat
berpaling. "Hm, tak perlu menangis, Ardaraja," bentak Ludira "tangismu itu hanya tangis kus buduk
mengantarkan kematian sang kucing."
"Aku menyesal bahwa kesemuanya ini telah terjadi. Sesungguhnya bukan beginilah yang
kuinginkan." "Ardaraja, bangun dan siapkan senjatamu," teriak Ludira "Ludira pewaris dari kerajaan
Singasari akan mempertahankan haknya. Akan menuntut balas atas kematian pamanku !."
"Ludira ......"
"Jangan banyak cakap ! Lekas bersiap."
"Ludira, aku akan menebus dosa. Jenazah rama prabu akan kurawat dan kusemayamkan dalam
sebuah candi yang akan kusuruh mendirikan untuk beliau. Dan engkau Ludira, silakan engkau pergi
ke manapun menurut sekehendak hatimu. Orang Daha takkan mengganggumu."
"Haram bagi Ludira, ksatrya Singasari, harus menerima kemurahan dari orang Daha."
"Tetapi aku putera menantu rama prabu Kertanagara, Singasari juga negara yang kuabdi."
"Hm," Ludira mendengus muak "masih engkau mempunyai muka untuk mengaku sebagai putera
menantu dari seorang raja yang telah engkau hianati!."
"Ludira !" teriak Ardaraja "jangan engkau salah mengira bahwa aku takut kepadamu. Adalah
karena hendak menghorma rama prabu Kertanagara maka kuperlakukan engkau sebagai seorang
yang terhormat." "Ardaraja, engkau seorang ksatrya dan akupun seorang ksatrya. Marilah kita selesaikan
permalan ini. Apabila aku kalah, aku rela menyerahkan Singasari kepada Daha."
Ardaraja merah mukanya. Kesabarannya habis. Serentak ia mencabut keris dan bersiap "Baik,
Ludira. kuterima tantanganmu itu!."
Ludirapun segera menjemput keris yang masih berlumuran darah baginda Kertanagara di lantai
"keris yang telah berlumuran darah paman prabu ini akan kucuci dengan darahmu, Ardaraja !."
Demikian kedua ksatrya muda dari Singasari dan Daha itu saling berhadapan untuk
menyabung nyawa. Prajurit-prajurit pengawal Ardaraja segera berbaris untuk menjaga segala
kemungkinan yang menimpa diri junjungan mereka. Namun Ludira tak menghiraukan.
"Ardaraja, sambutlah seranganku !"
Sesaat Ludira hendak ayunkan keris, ba- ba terdengar orang berseru "Kakang, berhen lah
dulu!" Sesosok tubuh loncat ke muka, tegak di sisi Ludira.
"Mandira, engkau !" seru Ludira ketika mengetahui siapa yang mencegahnya itu.
"Berikan putera akuwu Daha itu kepadaku, kakang," pinta Lembu Mandira.
Ludira kerutkan dahi "Mengapa"."
"Dia telah membunuh ramaku Raganata."
"Tetapi diapun membunuh paman prabu Kertanagara ......"
"Baginda Kertanagara telah membunuh ayahanda kakang. Seharusnya kakang Ludira tak perlu
membalaskan kematian baginda. Sedangkan aku telah kehilangan seorang ayah."
"Aku tidak membunuh empu Raganata!" tiba-tiba Ardaraja berseru menyangkal.
"Tetapi engkau yang memerintahkan !" hardik Mandira.
Ardaraja terbeliak "Tidak! Sama sekali aku dak memerintahkan anakbuahku untuk membunuh
baginda maupun empu Raganata. Bahkan aku marah dan hendak membunuh pada bekel
Suramenggala yang telah lancang membunuh baginda di luar perintahku ."
"Hm, Ardaraja," dengus Lembu Mandira dengan berapi-api "siapakah yang tahu engkau memberi
perintah pembunuhan itu atau tidak "."
"Putera empu Raganata, aku ......"
"Prajurit-prajurit manakah yang menyerbu ke dalam balairung ini " Prajuilt Daha, bukan " Dan
siapakah yang menitahkan mereka menyerbu ke dalam keraton" Engkaulah Ardaraja, putera
menantu baginda Kertanagara sendiri !."
"Tetapi aku tak menghendaki baginda terbunuh !."
"Jangan engkau berputar lidah, Ardaraja. Seorang lelaki yang sudah berani berhianat, harus
berani pula menghadapi segala akibat. Engkau menyuruh atau dak, tetapi engkaulah yang
bertanggung jawab atas pembunuhan keji ini. Aku minta pertanggungan jawabmu "."
Ardaraja tertegun sejenak lalu berkata "Baik, putera empu Raganata. Engkau boleh meminta
pertanggungan jawab atas kema an ramamu dan raden Ludira itupun boleh menuntut balas atas
mangkatnya baginda. Tetapi sebelum itu, akupun hendak meminta pertanggungan jawab dulu
kepada prajurit yang telah melanggar perintah. Setelah itu baru nan kita selesaikan persoalan
kita." Tanpa menunggu jawaban, Ardaraja lalu berpaling dan berseru kepada rombongan prajurit Daha
yang memenuhi ruang balairung.
"Siapakah di antara kalian yang telah membunuh empu Raganata" Seorang prajurit harus tegas
dan jujur, tampillah ke muka !" serunya.
Rombongan prajurit itu tertegun. Tiada seorang-pun yang membuka suara dan bergerak maju.
"Mengapa ada yang tampil ke muka " Apakah di antara kalian tak ada yang melakukan
pembunuhan itu ?" Ardaraja mengulang seruannya.
Tetap ada penyahutan dan gerakan. Ardaraja mendengus, keliarkan pandang meneli se ap
prajurit yang berjajar-jajar di sekelilingnya.
Sebelum ia menemukan sesuatu, sekonyong-konyong Lembu Mandira loncat ke arah kerumun
prajurit Daha dan sebelum prajurit-prajurit itu tahu apa yang dikehendaki pemuda itu, Lembu
Mandira telah menerkam bahu seorang prajurit bertubuh kekar lalu disentakkan ke tengah ruang.
"Pengecut!" bentak Lembu Mandira "mengapa engkau tak berani mengakui perbuatanmu "."
"Aku .... aku tak melakukan pembunuhan itu," sahut prajurit bertubuh kekar agak tersendat.
"Engkau Pitrang!" teriak Ardaraja dengan mata membelalak marah.
"Bukan aku, raden."
"Keparat!" damprat Lembu Mandira "buk sudah nyata, mengapa engkau masih berani
menyangkal" Lihatlah ujung tombakmu itu yang berlumuran darah itu !."
Prajurit itu terkejut dan hendak berusaha menyembunyikan tombaknya ke belakang tubuh.
Mukanya pucat. Lembu Mandira tertawa hina "Tidak perlu engkau main sembunyi, prajurit Daha. Dan tak perlu
engkau takut mengakui perbuatanmu itu. Aku memang hendak menuntut balas tetapi bukan
dengan cara sepengecut engkau. Akan kuberi kesempatan kepadamu untuk menghadapi aku. Kalau
engkau menang, bunuhlah aku. Tetapi kalau kalah, janganlah engkau ma membawa rasa
penasaran !." Lembu Mandira tampil ke hadapan prajurit Itu "Bersiaplah dan gunakan senjatamu !."
Tanpa memberi kesempatan orang bicara, Lembu Mandira terus melancarkan serangan dengan
sebuah pukulan yang dihunjamkan ke dada prajurit.
Karena didesak, prajurit itupun menangkis dengan tombaknya. Bahkan seke ka mpul harapan
dalam hatinya untuk memenangkan pertempuran itu. Setelah menangkis, ia balas menusuk.
Merah muka Ardaraja ke ka sehabis berkelit menghindar ke samping, Lembu Mandira
menyelimpatkan sebuah lirikan mata penuh ejek kepada putera akuwu Daha itu.
Ia hendak bergerak menyerang prajurit itu tetapi ba- ba Ludira menghadangnya "Biarkan
putera empu Raganata itu menuntut balas, jangan ikut-ikut, simpanlah tenagamu untuk
menghadapi aku!." Dalam pada itu pertempuranpun berlangsung makin seru. Prajurit itu berjuang ma -ma an
untuk mengalahkan Lembu Mandira. Tetapi walaupun dengan tangan kosong, ternyata putera
empu Raganata itu dapat memberi perlawanan yang seru. Bahkan melakukan serangan balasan
yang sering membuat ia pontang-panting.
"Hm, ma engkau sekarang," dengus prajurit Itu dalam ha ke ka melihat lawan berdiri dengan
dada tak terlindung. Sebuah tusukan yang kuat segera dilancarkannya.
Hampir ia meyakinkan diri bahwa tusukannya itu pas akan menembus dada Lembu Mandira
dan memang ujung tombak langsung melaju ke muka.
Cres...... Tusukan ujung tombak tepat menembus tubuh Lembu Mahdira. Tetapi bukan sasaran yang di
arahnya melainkan menyusup ke dalam ketiak Lembu Mandira.
Karena yakin tentu berhasil maka prajurit Pitrang Itu menggunakan segenap kekuatannya. Karena
ujung tombak menembus ke dalam ke ak maka tubuh Pitrang-pun ikut menjorok ke muka. Dan
karena menjorok ke muka, ia menyongsong maju rapat ke hadapan Lsmbu Mandira. Alangkah
kejutnya ke ka dilihatnya Lembu Mandira mengangkat tangan kanan hendak dihantamkan ke
mukanya. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya, ia hendak loncat mundur seraya menarik
tombaknya. Tetapi tombak itu laksana terjepit pada pintu baja. Karena ia memakai kedua tangannya untuk
menarik batang tombak maka tubuh bagian bawah tak terlindung. Sebelum ia berhasil dalam
usahanya menarik tombak, sekonyong koayong Lembu Mandira ayunkan kaki, prak ....
"Auh ....... " Pitrang menjerit ke ka bagian bawah pusarnya termakan tendangan. Seke ka
pandangan matanya terasa pudar, kepala berbinar-binar, tenagapun lunglai.
Dalam keadaan limbung itu, ia merasa kedua kakinya dicekal dan diangkat. Iapun merasa
tubuhnya seper terangkat ke atas lalu berayun ke bawah. Terakhir ia masih merasa bahwa
kepalanya seper membentur benda yang keras. Kemudian apa yang terjadi selanjutnya, ia tak
tahu pula. Ia merasa dirinya amat ringan sekali, melayang ke udara, membumbung nggi dan
makin tinggi ke langit ....
Terdengar jerit dan pekik tertahan menggema dalam balairung ke ka menyaksikan suatu adegan
yang mengerikan. Selekas lepaskan tendangan, secepat kilat Lembu Mandira lepaskan tombak yang dikepit dalam
ke aknya lalu loncat menerkam kedua kaki prajurit Pitrang, diangkat ke atas, diputar-putar
beberapa jenak lalu dihantamkan ke lantai, prakkkk ....
Kepala prajurit Daha yang telah membunuh empu Raganata itu, hancur lebur, benaknya
berhamburan ke luar dalam genangan darah merah.
Lepaskan korbannya, Lembu Mandira tegak berdiri bagaikan gunung perkasa. Wajahnya merah,
sepasang bola matanya membara. Sepintas pandang, dia bagaikan seekor harimau yang habis
mencampakkan korbannya. Setelah sadar dari rasa kemanguan ngeri, beberapa prajurit Daha serempak maju hendak
menyerang Lembu Mandira. Sekonyong-konyong prajurit yang maju paling depan menjerit ngeri
dan rubuh ke lantai dengan dada berhias sebuah cundrik. Dan sesosok tubuh loncat di muka
Lembu Mandira. "Barang siapa berani maju selangkah, dialah contohnya," seru orang itu yang bukan lain adalah
Jaka Ludira. Dialah yang melayangkan cundrik kedada prajurit yang hendak menyerang Lembu
Mandira. Kemudian loncat untuk melindungi putera empu Raganata itu.
"Ardaraja, adakah engkau hendak mengerahkan prajuritmu untuk mengeroyok kami berdua ?"
serunya kepada putera akuwu Daha.
"Mundur!" teriak Ardaraja kepada prajurit-prajurit itu. Mereka serempak menyurut mundur
tetapi tetap tak melepaskan sikap kesiapan untuk menyerang.
Dalam pada itu Lembu Mandira sadar pula. Rasa tegang dari dendam yang meluap-luap telah
menghempaskan dia ke dalam kemanguan.
"Ardaraja, sekarang aku hendak meminta pertanggungan jawabmu atas kama an ramaku
Raganata," seru Lembu Mandira seraya tampil selangkah ke hadapan Ardaraja.
"Dan bukankah engkau juga akan menuntut balas atas kema an rama baginda Kertanagara,
raden Ludira ?" Ardaraja tak mengacuhkan Lembu Mandira melainkan bertanya kepada Ludira.
"Adakah engkau tak merasa harus membayar jiwa ?" Ludira balas bertanya.
"Sia-sia aku berkering lidah," sahut Ardaraja, "aku bersedih mempertanggungjawabkan jiwa
baginda dan empu Raganata. Tetapi aku seorang putera raja. Aku menghendaki lawan seorang
putera atau keluarga raja."
"Ardaraja, jangan menghina ......"
"Sudahlah, adi Mandira," cepat Ludira mengerat kata-kata yang dilantangkan Lembu Mandira,
"pembunuh empu Raganata telah engkau tumpas. Sekarang kasihlah aku yang menghadapi putera
dari akuwu Daha ini."
"Ardaraja," seru Ludira pula "ingin aku mengajukan usul kepadamu."
"O, usul ?" seru Ardaraja "silakan."
"Akan kujadikan pertempuran ini sebagai sesuatu yang membawa akibat penting bagi kita
berdua. Bagaimana kalau kita pertaruhkan kerajaan "."
Ardaraja kerutkan dahi "Apa maksudmu ?"
"Kalau aku kalah, aku bersedia melepaskan hak yang telah direstukan paman baginda
Kertanagara atas mahkota kerajaan Singasari. Tetapi bagaimana kalau engkau yang kalah " Adakah
engkau bersedia untuk menyerahkan Daha "."
Ardaraja terbeliak. Pertanyaan itu terlalu mendadak sekali dan tak pernah terpikirkan olehnya.
"Tidak mungkin, Ludira," sesaat kemudian Ardaraja memberi jawaban "karena yang berkuasa di
Daha itu adalah rama akuwu Jayakatwang bukan aku."
"Hm," dengus Ludira "jika demikian, bagaimana kalau kuminta kesediaanmu untuk menarik
mundur semua pasukan Daha yang berada di pura Singasari"."
"Ah, itupun sukar," desah Ardaraja "karena yang berkuasa atas seluruh pasukan Daha yang
menyerang Singasari itu, adalah paman senopati Kebo Mundarang."
"Lalu apa yang dapat kau janjikan kepadaku?" tanya Ludira.
"Nyawaku !." "Jika demikian, akupun mempertaruhkan nyawaku juga," seru Ludira.
"Tidak !" tiba-tiba Ardaraja berseru "ramamu sudah terbunuh dan rama baginda
Kertanagarapun sudah terbunuh. Tak perlu tambah sebuah nyawa lagi yang terbunuh. Jika
engkau kalah, silakan engkau pergi ke mana saja yang engkau kehendaki. Bebas dan takkan
diganggu." "Hm," desuh Ludira "silakan engkau memberi kebebasan. Tetapi aku malu hidup apabila kalah
dengan kau. Daripada hidup bercermia bangkai, lebih baik mati berkalang tanah."
"Seorang ksatrya," Ardaraja memuji nah, marilah kita mulai."
Ardarajapun menghunus keris untuk menghadapi Ludira yang juga menggunakan keris. Suasana
tegang regang. Kawanan prajurit Daha tampak bersiap-siap. Rupanya walaupun Ardaraja tak
memberi perintah tetapi mereka akan ber ndak apabila melihat putera raja Daha itu terancam
bahaya. Ludira bersiap menjajagi kepandaian lawan. Ia lebih banyak bertahan daripada menyerang.
Setelah berlangsung beberapa saat, mbullah kesan dalam ha Ludira bahwa Ardaraja tak boleh
dipandang ringan. Ilmunya bermain keris sangat berbahaya. Penyerangannya cepat,
penghindarannya tangkas. Ardarajapun bukan tak tahu bahwa lawan sedang memasang siasat untuk menyelidiki
kepanduannya. Untuk mengaburkan penilaian lawan, sengaja ia bersikap pura-pura tak tahu
dan melancarkan serangan yang bertubi-tubi. Pada hal serangan itu, belumlah menampakkan
warna kepandaiannya yang sungguh-sungguh. Ia hanya mengiringkan serangan serangan itu
dengan kecepatan dan kedahsyatan agar lawan terkecoh.
Demikian pertarungan makin Berjalan seru dan cepat. Walaupun belum mengeluarkan seluruh
ilmu kepandaiannya namun diam-diam Ardaraja terkejut menyaksikan gerak tubuh dan tata
langkah Ludira yang tangkas dan gesit dalam menghindari serangan.
Akhirnya Ludira merasa telah cukup dalam penjajahan itu. Mulailah ia melancarkan serangan
balasan. Dan sekali melancar, seranganpun tak kunjung henti laksana hujan mencurah.
Kini Ardarajalah yang sibuk untuk menghindar dan menangkis. Diam-diam diapun mengakui
bahwa sekalipun mencurahkan seluruh ilmu kepandaiannya, rasanya tak mudah untuk
mengalahkan lawan. Pada satu saat, pertarungan telah mencapai puncak ketegangannya mendebarkan. Saat itu
dengan sebuah gerak pu, Ludira berhasil mempedayakan lawan dan mengisi kesempatan baik itu
dengan menusukkan kerisnya ke dada lawan.
Ardaraja terkejut sekali. Ia merasa tak sempat lagi menghindar maupun menangkis. Kali ini ia
tentu binasa di ujung keris Ludira. Dalam de k-de k yang menentukan itu, akhirnya Ardaraja
mengambil keputusan yang nekad. Kalau ia ma , lawanpun harus ma . Maka secepat kilat, ia balas
menusuk perut lawan. Pada saat kedua keris akan bersarang pada tubuh kedua pemuda itu, sekonyong-konyong
sesosok tubuh terlempar di tengah-tengah mereka.
Cret, cret, keris Ludira bersarang di dada orang itu dan keris Ardarajapun terbenam dalam perut
orang itu ..... Terdengar pekik yang nyaring, melengking tinggi. Bermula ngeri, penuh dendam kemarahan.
Kemudian menurun dan makin menurun. Nadanya berganti tumpahan hati sesal, sedih dan putus
asa. Kemudian makin lemah, hampir menyerupai orang mengerang dan merintih.
Ludira dan Ardaraja terkejut, tertegun dan terbelalak. Serempak keduanya berseru "Engkau......"
Kedua anakmuda itu bermula merasa ngeri. Tetapi setelah tahu siapa korban mereka, serentak
mbullah rasa dendam kemarahan yang menyala-nyala. Walaupun beberapa saat yang lalu, kedua
pemuda itu saling tusuk menusuk, mengadu jiwa, tetapi menghadapi korban itu, sekalipun tanpa
bersepakat, keduanya sama-sama memiliki rasa geram yang dahsyat. Dan tanpa berunding pula,
keduanyapun segera mengambil tindakan yang sama.
Krak .... krek .... Ludira dak menarik kerisnya yang bersarang di dada orang melainkan bahkan menyontekkan
kerisnya ke atas untuk membelah dada dan muka orang itu.
Dan serempak dalam waktu yang sama, Ardarajapun juga menekankan keris yang berada dalam
perut orang itu ke bawah dengan sekuat tenaga.
Karena dari batas dada dibelah sampai ke atas kepala dan dari perut ke bawah dipotongkan ke
bawah maka orang itupun terbelah dua. Yang sebelah jatuh ke belakang, yang sebelah rebah ke
muka. Rupanya Ludira dan Ardaraja masih belum puas melampiaskan kemarahannya terhadap orang
itu. Sebelah tubuh yang masing-masing rubuh ke arah mereka, disambut pula dengan ayunan kaki.
Krak .... krak .... tubuh orang itu melayang sampai beberapa tombak dan ke ka terhempas jatuh
ke lantai, keadaannya makin mumur lebur.
"Matilah engkau penghianat Aragani !" teriak Ludira dengan geram.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Upah seorang .... pa h durhaka!" teriak Ardaraja pula. Sesungguhnya ia hendak menyebut
'penghianat' tetapi menyadari kedudukan dirinya sendiri, ia beralih dengan menyebut Aragani
patih durhaka. Memang yang menjadi korban tusukan keris kedua pemuda itu adalah pa h Aragani. Waktu
baginda Kertanagara tertusuk keris Suramenggala, dengan licin sekali pa h Aragani segera lari
menyelinap. Ia tak mau percaya akan ucapan Ardaraja. Lebih baik meloloskan diri pada saat
mereka tengah berhadapan dengan baginda.
Dan berhasillah pa h Aragani lolos dari balairung manakala ia tak berpapasan dengan Sedayu.
Pada saat Lembu Mandira menerobos ke dalam balairung dan berhasil membantu Ludira, Sedayu
terus lari ke luar balairung, menuju ke ruang muka keraton. Ia hendak membantu ramanya
tumenggung Wirakreti. Saat itu tumenggung Wirakre sudah roboh karena menderita luka luka berdarah. Betapapun
gagah dan sak nya, namun pasukan Daha yang menyerang keraton terlampau besar jumlahnya.
Mereka menggunakan pula anakpanah. Banyak prajurit-prajurit penjaga keraton yang ma di
bawah hujan panah. Juga tumenggung Wirakre telah menderita terpanah bahunya. Luka itu cepat menghapus daya
perlawanannya terhadap pasukan Daha. Setelah mengamuk hingga menewaskan berpuluh prajurit
Daha, tumenggung yang gagah berani itu akhirnya roboh kararena kehabisan darah. Dan pada saat
itulah Sedayu lari menghampiri dan memeluknya.
"Rama ....... !" dara itu menjerit dan menangis.
Tiba-tiba tumenggung Wirakreti menyiak tubuh Sedayu "Pergilah !."
"Aku Sedayu, puteramu rama ......"
"Jika engkau Sedayu puteri tumenggung Wirakre , mengapa engkau menangis " Tumenggung
Wirakre , adalah mentri angabaya dari kerajaan Singasari. Ma di medan perang bagi seorang
senopati, merupakan kematian yang luhur. Mengapa engkau tangisi kematian rama "."
Rara Sedayu cepat menghapus airmatanya, walaupun ha nya seper disayat sayat "Rama, aku
tak menangis ......"
"Bagus, puteraku Sedayu," kata tumenggung Wirakre dengan wajah berseri bahagia walaupun
nadanya mulai lemah "rama bangga mempunyai puteri seper engkau. Walaupun engkau hanya
seorang anak perempuan tetapi keberanian dan kesetyaanmu kepada Singasari, dak kalah dengan
anak laki-laki. Rama bangga ......"
"Rama," cepat Sedayu menukas karena melihat dada ramanya makin merah karena darah makin
mengucur deras "mari kuangkat rama ke dalam keraton."
Tumenggung Wirakre gelengkan kepala "Tidak, Sedayu. Jenazah seorang ksatrya bukan di
bawah atap gedung yang mewah atau keraton, tetapi di medan laga ini. Ma seorang ksatrya
bukan di atas kasur yaug empuk tetapi di tanah yang ber siram darah."
"Tetapi rama, luka rama amat parah. Harus diobati!."
Tumenggung Wirakreti tersenyum sayu.
"Kutahu Sedayu," katanya "tetapi waktu amat berharga sekali. Dengarkan pesanku ini. Lekaslah
engkau pulang ke tumenggungan. Ajaklah ibu dan keluarga kita nggalkan pura Singasari. Pergilah
ke suatu tempat yang dak di bawah kekuasaan Daha. Dan beritaku kepada adik-adikmu, bahwa
keturunan Wirakreti tak boleh menjadi narapraja atau senopati Daha ......"
Hampir tak kuasa pula Sedayu menahan banjir air matanya yang hendak mencurah. Tetapi ia
tahu akan perangai ramanya. Ditahannya airmata sekuat kuatnya.
Dalam pada itu terdengar jerit pekik yang gegap gempita.
"Sedayu, sebentar lagi. prajurit-prajurit Daha tentu akan menyerbu keraton. Ambil keris rama ini.
Keris pusaka itulah yang telah membantu dan mengangkat nama rama menjadi senopa .
Gunakanlah, Sedayu, untuk merebut kembali Singasari. Tetapi apabila engkau gagal, simpanlah
baik-baik. Kelak engkau berikan kepada keturunan kita yang akan berjuang untuk membela tanah
airnya ......" Setelah mengambil keris pusaka itu, Sedayu serentak hendak bangun "Rama, aku takkan
mengidinkan mereka menyentuh tubuh rama ......"
"Apa maksudmu, Sedayu?" agak terkejut nada tumenggung Wirakreti.
"Akan kutunjukkan kepada orang-orang Daha bahwa tumenggung Wirakre yang gagah berani
itu, masih mempunyai seorang puteri yang akan menuntut balas kepada mereka."
"Engkau hendak mengamuk?" makin tinggi nada tumenggung itu.
"Bukankah harimau itu harus beranak harimau juga"."
"Ah, Sedayu...... " ba- ba tumenggung Wirakre mendekap dadanya. Rupanya karena
ketegangan kejut yang besar, darah dari luka tumenggung itu makin mengucur deras "rama bangga
mempunyai puteri seperti engkau Sedayu. Tetapi .....tetapi ..... "
"Tetapi bagaimana, rama "."
"Maukah engkau mendengarkan kata-kataku, Sedayu ?" kata tumenggung itu dengan napas
mulai terengah "inilah pesanku yang terakhir . , ....."
Sedayu termangu. Pada waktu kedudukan ramanya goncang karena diturunkan menjadi
angabaya, saat itu Sedayu mohon idin untuk berguru kepada empu Santasmer . Seorang pandita
sak dan pujangga termasyhur dari Singasari yang karena tak senang melihat ndakan baginda
Kertanagara memecat empu Raganata sebagai pa h dan. Wirakre sebagai demung, akhirnya
tinggalkan pura Singasari dan hidup bertapa di gunung.
Bahwa sejak berangkat dewasa, Sedayu sudah tak berada di rumah dan tak dapat melakukan
kewajibannya sebagai seorang anak perempuan terhadap ayah-bundanya. Hal itu disadari Sedayu.
Dan gadis itupun menyadari bahwa luka ramanya amat parah sekali. Dalam beberapa saat lagi
tentu tak kuat bertahan hidup. Sedang musuh tak lama lagi tentu akan menyerbu keraton.
Menyadari hal-hal itu, ia mengharuskan diri untuk memenuhi pesan ramanya sebagai tanda
baktinya. "Rama, pesan rama akan kujunjung di ubun-ubun kepala," sahutnya seraya berjongkok pula.
Tumenggung Wirakre menghela napas "Rama telah mendapat firasat bahwa peris wa seper
saat ini, pas akan ba. Rupanya telah menjadi kodrat yang digariskan Hyang Agung bahwa
kerajaan Singasari akan runtuh. Tetapi akupun mendapat Ilham dan suatu bentara gaib, bahwa
Daha pun tak lama akan hancur. Di bumi sebelah mur, akan mbul sebuah kerajaan baru yang
lebih besar, lebih jaya dari Singasari mau pun Daha ......"
"Rama ......" "Jangan engkau menuru kemarahanmu hendak mengamuk. Itu akan sia-sia saja, anakku," kata
tumenggung Wirakre pula "tetapi selamatkanlah kawan-kawan pejuang yang sealiran dengan
engkau. Susunlah kekuatan untuk merebut kembali Singasari. Ah, Sedayu .... rama sudah tak kuat
.... laksanakanlah pesan rama ......"
"Rama ....... !" Sedayu menjerit dan menubruk tubuh ayahnya. Beberapa prajurit Singasari segera
duduk bersila memberi hormat. Hormat kepada seorang senopa yang telah gugur di medan
bhakti. Tiba-tiba Sedayu bangkit "Prajurit prajurit, bawalah jenazah ramaku ke candi Tumpang,
serahkan kepada resi Sambhawa! Dan yang lain-lain tanggalkan pakaian keprajuritanmu dan
pulanglah ke rumahmu masing-masing !."
"Tidak !" gegap gempita prajurit-prajurit yang mempertahankan keraton Singasari bersorak "gus
Wirakre akan kami bawa ke candi Tumpang tetapi kami tetap akan berjuang sampai pada
k darah yang terakhir untuk menjaga keraton Singasari!."
"Ah," Sedayu mendesah baru "andaikata rama tak melarang, aku tentu akan bersama mereka
menghadapi prajurit Daha ........."
Diam-diam Sedayu berkata dalam kemanguan "aku harus lekas-lekas masuk ke dalam keraton.
Kakang Ludira dan Mandira tentu sedang menghadapi sesuatu ........."
Bersama Lembu Mandira, ia telah berhasil menemukan tempat penahanan Ludira. Setelah
merobohkan beberapa penjaga, akhirnya kedua anak muda ku dapat membebaskan Jaka Ludira.
Jaka Ludira dan Lembu Mandira bergegas menuju ke balairung untuk menyelamatkan baginda.
Sedayu lari ke luar untuk mencari ayahnya. Tetapi mareka bertiga terlambat.
Jaka Ludira mendapatkan baginda tengah meregang jiwa. Lembu Mandira hanya nggal memeluk
tubuh ayahnya, empu Raganata yang sudah menjadi mayat. Sedang Sedayu hanya sempat
mendengar pesan terakhir dari tumenggung Wirakreti.
Harapan ke ga anakmuda itu ternyata meleset semuanya. Tetapi hal itu daklah mengendorkan
semangat juangnya, sebaliknya bahkan menjadi cambuk dan membakar semangatnya untuk
membalas dendam dan melanjutkan perjuangan sebagai ksatrya Singasari untuk membela
negaranya..... ~dewi.kz^ismo^mch~ Sambung ke-36 Jilid 36 Tamat Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Pahlawan tak pernah mati. Dia hanya gugur bagaikan bunga
bangsa. Yang mati adalah mereka yang menderita penyakit, karena
usia lanjut atau karena memang kodrat hidupnya. Tetapi yang
gugur, adalah mereka yang merebahi bumi dengan siraman darah
dan taburan bunga-bunga dari dirgantara, diiringi gamelan dari
lokananta. Harum semerbak mewangi seluruh alam. Dia, mereka,
adalah pahlawan kusuma bangsa. Dan berbahagialah tumenggung
Wirakreti karena gugur sebagai prajurit utama.
Setelah jenazah tumenggung Wirakreti diangkut oleh beberapa
prajurit, Sedayu lari masuk ke keraton. Tiba-tiba ia melihat seorang
lelaki tua berpakaian seperti seorang hamba keraton, tengah
tertatih-tatih lari ke luar. Mukanya diselubungi sehelai kain hitam
dan gerak-geriknya mencurigakan
"Berhenti," serentak Sedayu lari menghampiri.
Orang itupun berhenti, berpaling lalu lari pula bahkan lebih
kencang. "Hai, berhenti," Sedayu makin curiga. Sekali loncat ia ancamkan
pedang memaksa orang itu berhenti.
"Ih," di luar dugaan Sedayu terkejut. Tiba-tiba orang itu hendak
menusuk pergelangan tangannya dengan sebuah cundrik. Karena
jarak amat dekat dan tak menduga-duga, Sedayu tak dapat
menghindar jika ia tak mau melepaskan pedangnya.
Tring .... Sedayu terpaksa lepaskan pedangnya, kemudian cepat-cepat ia
menarik tangannya. Melihat serangannya berhasil, orang itu
menyusuli pula dengan tusukan cundrik ke dada Sedayu.
Tidaklah sia-sia gadis itu berguru kepada empu Santasmreti
selama bertahun-tahun. Dalam menghadapi ancaman maut itu, ia
masih dapat menghindar dengan sebuah gerak menggeliatkan
tubuh. Pada saat cundrik meluncur setengah jari di muka dadanya,
dengan sebuah gerak cepat pula, ia berhasil menguasai
pergelangan tangan orang lalu secepat kilat tangan kanannya
mencengkeram siku orang itu.
"Auh ....... " orang itu mengaduh seraya berjingkat ketika Sedayu
menekuk ke atas. Cundrikpun jatuh dan Sedayu segera memutar
lengan orang ke belakang.
"Siapa engkau !" hardik gadis itu. Namun orang itu tidak
menyahut melainkan berusaha untuk menahan kesakitan.
"Jika engkau tetap membisu, lenganmu akan kupatahkan !"
Sedayu mengancam dan makin memperkeras tenaganya. Tangan
kanan orang itu terteliku ke belakang punggung. Karena
disorongkan ke atas, sakitnya bukan kepalang. Wajahnya merah,
keringat bercucuran deras.
"Bunuhlah aku .... kalau engkau berani," akhirnya orang itu
paksakan diri berkata. "Mengapa tak berani " Siapa engkau !" karena tak sabar
menunggu jawaban, tangan Sedayu cepat menyambar kain
kerudung kepala orang itu "Aragani ....... " seketika ia menjerit
kaget "mengapa engkau hendak lolos dari keraton ?"
"Aku diutus baginda."
"Ke mana ?" "Menemui patih Mundarang, senopati pasukan
Sedayu terkesiap "Mengapa !"
"Baginda berkenan damai .... "
"Tidak !" teriak Sedayu seraya tak disadari memperkeras
tangannya sehingga patih Aragani menguak kesakitan "kita tak
sudi menyerah pada orang Daha .... "
"Jika engkau mengganggu perjalananku, dua orang kawanmu
pasti dibunuh pimpinan prajurit Daha, raden Ardaraja !"
"Hai, apakah Ardaraja mudah masuk ke dalam keraton ?"
"Dialah yang membujuk baginda supaya damai dan menangkap
kedua kawanmu itu." Serentak menggeloralah darah Sedayu "Bohong! Engkau tentu
hendak melarikan diri!"
"Terserah engkau mau percaya atau tidak !"
"Jika engkau tak bohong, hayo, tunjukkanlah tempat mereka."
"Di balairung, pergilah engkau sendiri. Aku hendak melakukan
titah baginda !" "Tidak, engkau harus ke sana juga!" Sedayu tak percaya kepada
Aragani yang dikenalnya sebagai penghianat itu. Dengan paksa ia
membawa patih itu kembali ke balairung.
Tepat pada saat masuk ke balairung, Sedayu terkejut karena
melihat balairung penuh dengan prajurit-prajurit Daha yang
bersenjata lengkap. Mereka berjajar-jajar mengelilingi ruang. Dan di
tengah lingkaran mereka, tampak dua orang pemuda tengah
bertempur dengan keris. Cepat Sedayu mengenali bahwa yang bertempur itu adalah
Ludira lawan Ardaraja. Sedayu menyiak barisan prajurit musuh lalu
menyorongkan tubuh Aragani ke arah kedua pemuda itu. Tepat
pada saat itu, pertempuran akan mencapai babak yang gawat.
Karena tak dapat menghindar dari tusukan keris Ludira, Ardaraja
nekad. Ia tak mau menghindari atau menangkis melainkan balas
menutuk. Ia hendak mengajak lawan berbersama.
Tibanya sesosok tubuh, telah menampung kedua keris Ludira
dan Ardaraja. Keris Ludira tertanam di dada dan keris Ardaraja
bersarang di perut Aragani.
Aragani, patih yang bernafsu besar untuk merebut kedudukan
dan bahkan hendak menghianati baginda Kertanagara, akhirnya
harus mati dengan tubuh terbelah dua.
"Kakang Ludira, kakang Mandira," teriak Sedayu seraya loncat
menghampiri kedua pemuda itu, "bagaimana baginda dan paman
Raganata ?" Lembu Mandira pejamkan mala dan Ludira menghela napas
"Baginda telah mangkat dan paman empu Raganatapun telah
meninggal. Dan bagaimana dengan ramamu paman tumenggung
Wirakreti !" Tiba-tiba Sedayu memberingas. Serentak ia mencabut keris
pusaka pemberian tumenggung Wirakreti.
"Kakang Ludira dan Mandira," serunya nyaring, "mari kita
mengamuk. Basmilah si hianat Ardaraja dan antek antek dari Daha
itu ....... ! " Ludira dan Mandira serentak mencabut senjatanya.
Ardaraja hendak mencegah tetapi terlambat. Karena melibat
pangeran anom dari Daha hendak diserang, maka berpuluh puluh
prajurit Daha yang sudah beberapa waktu siap di balairung itu,
segera berhamburan menyongsong sepak terjang ketiga anakmuda dari Singasari itu.
Balairung tempat baginda di hadap para mentri narapraja dan
nayaka senopati Singasari, saat itu berobah menjadi gelanggang
pertempuran berdarah yang mengerikan.
Ludira, Mandira dan Sedayu bergempur bagai banteng ketaton.
Setiap arah yang diterjang selalu diiring dengan jerit kejut dan
erang kesakitan dari kawanan prajurit Daha. Bahkan kadang
dimeriahkan dengan hamburan darah merah dan sosok-sosok
tubuh prajurit yang rubuh bagai pohon pisang ditebang.
Memang walaupun prajurit-prajurit Daha yang menerobos masuk
ke dalam balairung itu terdiri dari pengawal raden Ardaraja dan
barisan pelopor, meski-pun sudah bertahun-tahun mereka
dipersiapkan dan ditempa dengan latihan-latihan keprajuritan yang
berat, namun mereka tetap bukan lawan dari ketiga anakmuda
yang memiliki ilmu tata-kelahi dan kedigdayaan tinggi.
Melihat prajuritnya banyak yang gugur, raden Ardaraja mulai
bangkit kemarahannya. Semula karena merasa bersalah sehingga
baginda Kertanagara sampai menemui ajal, putera akuwu Daha itu


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin menebus dosa dengan menempuh jalan damai. Tetapi demi
melihat ketiga anakmuda itu sudah menutup pintu damai, pula
melihat prajurit-prajurit Daha susul menyusul berguguran, akhirnya
panaslah darah Ardaraja. Cepat ia mencabut keris hendak menerjang. Tetapi sebelum ia
sempat bergerak, Ludirapun sudah merubuhkan beberapa prajurit
yang menjaga di depan Ardaraja lalu menerjang ke hadapan putera
akuwu Daha itu. "Akhirnya kita berdua harus mengakhiri kesemuanya ini,
Ardaraja," seru Ludira sambil tersenyum maut.
"Ya," sahut Ardaraja "walaupun sesungguhnya masih dapat
ditempuh jalan lain ..... "
"Sudah kasip," seru Ludira "hanya salah satu di antara kita
berdua yang berhak mengenyam sinar matahari .... "
"Sombong!" sekonyong-konyong seorang prajurit pengawal
Ardaraja yang sudah rubuh, melonjak bangun dan menubruk
Ludira. Rupanya karena tahu bahwa dia takkan hidup, prajurit itu
paksakan diri, kerahkan seluruh sisa tenaganya mencabut keris
lalu menerkam. Ia hendak mati bersama-sama dengan Ludira.
"Hahhhhh !" Ardaraja menjerit kaget ketika tubuh pengawalnya
melayang ke arahnya. Karena jarak amat dekat dan tak terdugaduga, Ardaraja tak dapat menghindar lagi. Keris yang dipegangnya
telah terbenam ke punggung pengawalnya sendiri.
Ternyata pada saat hendak diterkam, Ludira berhasil menyiak
tangan prajurit itu lalu dengan sekuat tenaga mendorong tubuh
prajurit itu ke muka, tepat ke arah Ardaraja.
"Pengawal yang setya ! Dia hendak mengiring engkau ke alam
baka, Ardaraja," seru Ludira mengejek.
Mata Ardaraja memerah darah.
"Ludira, jangan engkau anggap Ardaraja seorang penakut," seru
putera akuwu Daha itu "baik, aku menerima tantanganmu. Tetapi
karena aku tak mempunyai kekuasaan untuk memberi perintah
kepada pasukan Daha, maka dirikulah yang menjadi pertaruhan"
"Katakan cepat !" seru Ludira.
"Jika aku kalah, bunuhlah aku. Tetapi jika engkau segan
membunuh, aku bersumpah takkan menginjak bumi Singasari
selama-lamanya. Demikian halnya dengan dirimu."
"Baik, akupun malu untuk berdiri di bumi Singasari," sambut
Ludira. Demikian kedua pria muda itu, yang satu putera akuwu Daha
dan menantu raja Singasari, yang satu putera kemenakan baginda
Kcrtanagara. Keduanya sama-sama berdarah bangsawan, samasama cakap wajahnya pun sama-sama pula kedigdayaannya.
Ardaraja mainkan keris laksana seekor ular yang menyambarnyambar dengan pagutan yang cepat dan dahsyat. Lama atau
lambat sedikit saja menghindar, tubuh lawan tentu akan di tembus
ujung keris. Keris Ludira menyambar nyambar bagaikan burung elang
menerkam anak ayam. Sedang kecepatan gerak keris itu, laksana
kilatan petir, dahsyatnya bagaikan prahara.
Ardaraja terkejut sekali melihat gaya permainan keris lawan yang
sedemikian sakti. Pertarungan maut itu tak ubahnya seperti ular
sanca bertempur lawan burung garuda. Betapapun cepat ular
bergerak, garuda tetap dapat melayang ke udara. Dan apabila
garuda balas menukik dan menerkam maka pontang pamtinglah
sang ular menyelamatkan diri.
Berulang kali Ardaraja harus kehilangan semangat hatinya
karena, kepala, muka dan dadanya hampir dilanda ujung keris
lawan. Bahkan pada suatu saat, ia menjerit kejut dan kucurkan
keringat dingin sambil menyurut kebelakang manakala keris Ludira
dalam kecepatan yang tinggi, menyambar kepalanya. Walaupun
kepalanya selamat, tetapi kain kepalanya telah terbang disambar
keris Ludira. Diam-diam Ardaraja mengeluh dalam hati. Ia menyadari bahwa
kedigdayaannya masih kalah tinggi setingkat dengan lawan. Jika
dilanjutkan, dalam waktu yang tak lama, tentulah ia akan terbunuh.
Ardaraja menyempatkan diri untuk menyelimpatkan pandang ke
sekeliling. Saat itu Lembu Mandira dan Sedayu masih tetap mengamuk
para prajurit Daha. Walaupun berjumlah berpuluh-puluh, tetapi
prajurit-prajurit Daha itu tidak mampu membendung gelombang
serangan kedua muda mudi yang sakti mandraguna. Andai di
tempat gelanggang yang lebih lapang, tentulah gerak serangan
kedua muda mudi .... itu jauh lebih tangkas dan dahsyat.
"Lima !" tiba-tiba Sedayu berteriak ketika menanamkan pedang
ke perut seorang prajurit. Memang sejak tadi, setiap membunuh
seorang prajurit, ia tentu menghitung bilangannya.
Rupanya diam-diam puteri tumenggung itu telah bertekad untuk
mencari seratus jiwa prajurit Daha sebagai tebusan dari kematian
ayahandanya. Dan saat itu ia baru berhasil membunuh lima orang.
"Enam .... " secepat kilat ia berputar tubuh dan menusuk
lambung seorang prajurit Daha. Tetapi pada saat pedangnya masih
tertanam pada lambung musuh, sekonyong konyong setiup angin
menyambar punggungnya dan serempak terdengar teriak terkejut
"awis, Sedayu .... "
Sedayu terkejut dan hendak berkisar ke samping. Tetapi
terlambat. Saat itu bahunya terasa dicengkeram oleh sebuah
tangan yang kuat sehingga lemaslah lengannya dan terpaksa
melepaskan pedang. Rencananya ia hendak sabatkan tangan kiri
ke belakang untuk menggempur penyerang gelap itu. Tetapi untuk
yang kedua kalinya ia terlambat lagi.
"Berani bergerak, punggungmu tentu tembus dengan keris,"
terdengar orang yang menguasai bahunya itu mengancam.
Sedayu segera rasakan punggungnya dilekati ujung senjata yang
tajam. Bahkan ujung senjata itu terasa menusuk kulitnya. Dan
secepat itupun ia dapat mengenali nada suara penyerangnya yang
licik itu. "Jahanam, engkau licik sekali, Ardaraja ....... " Sedayu
melengking keras. "Ardaraja, engkau .... "
"Ludira, setengah langkah engkau berani bergerak maju, gadis
yang engkau kasihi ini tentu akan menjadi mayat!" bentak Ardaraja.
Ludira yang saat itu hendak menerjang, terpaksa hentikan
langkahnya. "Kakang Ludira, jangan peduli gertakannya. Ayo, seranglah
kakang. Biar aku mati asal diapun mati juga !" Sedayu menjerit jerit
dan berusaha meronta. Ardaraja benar-benar gemas kepada gadis itu. Ia mencengkeram
bahu Sedayu lebih keras lagi sehingga karena menahan sakit
gadis itu sampai merah padam wajahnya. Keringatpun mulai
bercucuran membasahi tubuh.
Lembu Mandira terkejut mendengar suara Sedayu dan Ludira.
Ketika mencuri kesempatan untuk berpaling, ia terkejut. Ternyata
Sedayu telah dicengkeram dari belakang oleh Ardaraja. Putera
akuwu Daha itupun melekatkan ujung keris ke punggung Sedayu.
Tetapi Lembu Mandira tak mendapat banyak kesempatan untuk
memandang lebih lama karena prajurit-prajurit Daha segera
menyerangnya dengan gencar.
"Ardaraja, jika engkau berani mengganggu sehelai rambut saja
dari Sedayu, aku bersumpah akan membunuhmu !" seru Ludira
dengan nada bengis. "Jangan kuatir, Ludira." Ardaraja tersenyum ejek "aku tak akan
membunuh kekasihmu yang cantik ini apabila engkau menurut
perintahku." "Apa perintahmu !" teriak Ludira.
"Buang kerismu dan suruh juga kawanmu yang satu itu
melemparkan senjatanya. Kalian berdua lekas enyah dari sini."
"Dan Sedayu ?" "Akan kuperintahkan prajuritku untuk mengantarkannya sampai
di luar gapura barat," seru Ardaraja.
"Jangan mau kakang Ludira !" teriak Sedayu "bunuhlah manusia
hianat ini! Jangan percaya dengan segala janjinya !"
Ludira bersangsi. Betapapun besar keinginannya untuk
membunuh Ardaraja namun masih besarlah rasa kecemasannya
akan keselamatan jiwa Sedayu.
"Kakang, jangan hiraukan diriku," teriak Sedayu pula, "telah
banyak prajurit dan rakyat Singasari yang telah berkorban.
Mengapa kita harus hidup bercermin bangkai melihat Singasari
diinjak-injak orang Daha!"
"Jika engkau masih banyak bicara, terpaksa akan kulenyapkan
mulutmu !" hardik Ardaraja.
"Bunuhlah aku !" tantang Sedayu. Tetapi dara itu tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena harus menahan kesakitan pada
bahunya yang dicengkeram Ardaraja lebih keras.
Sesungguhnya Ludira masih menimang-nimang apakah ia harus
membebaskan Sedayu dengan kekerasan atau dengan perundingan. Demikian pula iapun sedang mempertimbangkan
usul Ardaraja tadi yang mempersilakan ia bersama Lembu Mandira
ke luar dari keraton. Demi mendengar teriakan Sedayu, ia menyalangkan mata
memandang gadis itu dengan seksama. Ketika memperhatikan
bahwa Sedayu tengah mengernyit dahi dan wajahnya menahan
kesakitan, keringat bercucuran dan kepala, serentak Ludira
menyadari bahwa Ardaraja tengah memperkeras tenaganya untuk
menyiksa gadis itu. Seketika meluaplah amarah Ludira. Apabila Ardaraja memperlakukan Sedayu dengan baik, mungkin ia akan
mempertimbangkan untuk menyetujui usul putera akuwu Daha itu.
Tetapi karena Ardaraja dlanggapnya telah mempersakit Sedayu,
Ludira serentak menutup pintu pertimbangan lagi.
"Ardaraja, engkau manusia licik!" serentak Ludirapun ayunkan
tubuh menerjang Ardaraja.
Melihat itu Ardaraja terkejut. Cepat ia menarik Sedayu mundur
selangkah lalu tiba-tiba menyongsongkan tubuh gadis itu sebagai
perisai. "Kakang Ludira .... " Sedayu berteriak kejut dan pejamkan mata
menunggu ajal. Hanya terpilah setengah depa, ujung keris Ludira
akan tiba di dada gadis itu.
Ludira sendiripun terkejut. Ia tak menyangka bahwa Ardaraja
akan berbuat melicik itu. Karena terjangannya dilakukan dengan
sepenuh tenaga, maka sukarlah la menghentikannya.
Pada saat-saat yang genting dan berbahaya itu, sekonyongkonyong setiup angin mengiring sebuah suara yang nyaring dan
berwibawa. "Om, bajrodaka. Om, ah, om ....."
Suatu peristiwa yang aneh telah terjadi. Ludira yang sudah
melaju untuk menusukkan ujung keris ke dada Sedayu, berhenti
serentak, Sedayupun terhuyung-huyung beberapa langkah ke
samping. Sedang Ardaraja tersurut mundur dua tiga langkah. Dia
lepaskan cengkeramannya pada bahu Sedayu. Demikian pula
dengan prajurit-prajurit yang tengah bertempur dengan Lembu
Mandira. Mereka serempak berhenti semua. Seolah olah terpana
pesona. Dan di ruang balairung itu muncullah seorang kakek tua yang
rambut dan janggutnya putih. Tangannya mencekal sebatang
benda panjang, lebih kecil dari tongkat. Besarnya hanya sama
dengan sebuah jari tangan.
"Bapak guru ..... !" serentak Sedayu dan Ludira berseru kejut
demi mengetahui siapa kakek itu. Serta meria kedua anakmuda itu
memberi sembah hormat. "Bangunlah anakku," seru kakek berambut putih itu dengan nada
yang bening dan wajah mengulum senyum ramah.
"Mengapa bapak guru berkunjung ke mari?" seru Sedayu.
"Bapak guru," kata Ludira pula "keraton telah terkepung oleh
pasukan Daha. Alun-alun banjir darah, bagaimana bapak guru
dapat masuk ke dalam keraton ?"
Kakek berambut putih itu bukan lain adalah empu Santasmreti,
pujangga keraton Singasari yang meninggalkan keraton untuk
bertapa di pegunungan sunyi. Dia tak tahan melihat keadaan
kerajaan Singasari yang makin hari makin menyimpang dari
kelurusan. Diberhentikannya empu Raganata sebagai patih dan
tumenggung Wirakreti sebagai demung, makin mempercepat
langkah pujangga Santasmreti untuk meninggalkan kerajaan.
Dalam keheningan cipta dan ketenangan batin di alam
pegunungan yang sunyi itu, makin tajamlah pikiran dan batin empu
itu sehingga ia dapat mencapai tataran ilmu semedhi yang
sempurna. Walaupun mengasingkan diri di tempat yang sunyi, namun ia
dapat mengikuti perkembangan perkembangan yang terjadi di
keraton Singasari. Bagi seorang sakti sebagai empu Santasmreti
itu, jarak dan rintangan gunung maupun laut, bukan suatu
halangan. Dalam semedhi, ia dapat mengetahui keadaan
Singasari. Alangkah kejutnya ketika dalam semedhi itu, ia melihat keadaan
pura Singasari yang amat menyedihkan. Dan yang paling
mengejutkan yalah pada saat diketahuinya baginda Kertanagara
akan menemui peristiwa yang menyedihkan.
Bergegaslah empu itu turun gunung dan menuju ke pura
Singasari. Tetapi ia terlambat. Pura Singasari telah diduduki
pasukan Daha. Alun-alun penuh dengan mayat dan kubangan
darah. Keraton dikepung prajurit-prajurit Daha. Empu Santasmreti
segera mengamanatkan aji mantra. Beratus-ratus prajurit Daha
yang sedang membunuh dan menyerang setiap prajurit Singasasi,
seolah-olah tak menghiraukan munculnya seorang kakek berambut
putih yang berjalan dengan tenang di tengah-tengah kancah
pertempuran. Juga prajurit-prajurit Daha yang mengepung keraton
dengan ketat, seolah olah tak tahu kedatangan empu Santasmreti
yang langsung masuk ke dalam balairung.
Dan munculnya di balairung, tepat pada saat hampir terjadi
peristiwa yang mengejutkan. Segera ia menamparkan tangannya
ke muka serta mengucapkan Mantrayana Bajrodaka. Akibatnya
berhentilah semua pertempuran yang berlangsung dalam balairung
itu dengan seketika. "Anakku," kata empu Santasmreti dengan tenang "adakah
kekuatan di dunia ini yang betapa dahsyatnyapun, mampu
menghalangi batin yang terang dan pikiran yang suci " Janganlah
berbuat jahat dan sucikan hati dan pikiranmu."
"Tetapi bapak guru ....... "
"Kutahu, anakku Ludira, isi hatimu," sahut empu Santasmreti
"tetapi kesemuanya itu memang sudah digariskan oleh Hyang


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maha Agung." "Bapak guru, berilah petunjuk kepadaku," seru Ludira.
"Anakku, aku hanya dapat memberi penerangan tetapi tak kuasa
membersihkan batinmu, membuat kebahagiaan untukmu. Tidak
pula terdapat di dunia ini orang yang mampu akan menjadikan
engkau seorang manusia yang sadar, suci dan benar," kata empu
Santasmreti "karena jalan menuju ke arah kesadaran, penerangan,
kesucian dan kebenaran itu hanya terletak dalam diri peribadimu
sendiri, anakku. Aku hanya dapat memberi penerangan dan
petunjuk, tetapi engkaulah yang harus menempuhnya sendiri."
"Baik, bapak guru," kata Ludira.
"Dalam kitab Dhammapada dikatakan bahwa keadaan kita
sekarang ini dibentuk, dibuat dan dikarenakan oleh fikiran kita yang
dahulu, sekarang dan yang akan datang. Bila perbuatan kita baik,
kebahagiaan akan selalu mengikuti kita. Kebalikannya kalau
perbuatan atau, karma kita jahat, maka kesengsaraan akan selalu
mengikuti kita seperti bayangan selalu mengikuti badan kita.
Sebagai pedoman dari arah baik dan jahat, laksanakanlah
mantrayana Ambek-temen. Artinya, kuatkanlah batinmu memegang kesucian dan kebenaran. Jangan dipengaruhi oleh
kecemaran batin, hawa nafsu, nafsu aib dan kemabukan.
Ketahuilah anakku. Bahwa semua apa yang dumadi itu tidak kekal.
Demikian peribadi manusia, semua itu adalah maya, seperti
bayangan dalam cermin. Dan semua keadaan yang dumadi itu
digerakkan oleh karmanya .... "
"Kerajaan Singasari, baginda Kertanagarapun tak lepas dari
Cakra Panggilingan atau roda perputaran kodrat dan karma. Tetapi
janganlah engkau bersedih karena hal itu. Akuwu Jayakatwang dari
Daha, pun takkan terhindar dari roda Panggilingan itu. Apa yang ia
dapatkan sekarang, akan lenyap juga kelak."
"Tetapi bapak guru," sanggah Ludira "bagaimana keadaan itu
akan berobah apabila kita tidak mengadakan usaha merobahnya ?"
"Dapatkah engkau merobah rembulan pada tanggal satu
menunjukkan wajahnya yang penuh, angger" Tetapi tanpa engkau
paksa, rembulan akan muncul penuh pada tanggal pertengahan
bulan. Itulah yang kumaksudkan dengan roda perputaran kodrat.
Anakku, bersabarlah."
"Lalu bagaimana kehendak bapak guru" Apakah yang harus
kulakukan?" tanya Lidira pula.
"Pulang ke gunung dan perkeraslah penempaan dirimu lagi, lahir
dan batin." "Lalu bagaimana dengan keadaan di sini, bapak guru ?"
"Jenazah baginda, serahkan kepada raden Ardaraja agar diurus
sebaik-baiknya. Jenazah empu Raganata, biarlah puteranya yang
mengurus." "Dan bagaimana dengan ayahku, bapak guru?" tiba-tiba Sedayu
bertanya. "Kita bawa ke gunung," sahut empu Santasmreti.
Ludira tertegun. Tanyanya sesaat kemudian "Adakah begitu
penyelesaikannya, bapak guru" Bagaimana dengan raden Ardaraja
dan prajurit-prajurit Daha yang telah menewaskan baginda itu" "
"Biarlah dia mengenyam apa yang ditanamnya sendiri, anakku.
Saat ini surya sudah tenggelam. Engkau harus percaya bahwa
esok hari, surya pasti terbit pula. Mari, angger, kita tinggalkan
tempat ini." Seolah kena pesona maka baik raden Ardaraja maupun prajuritprajurit Daha yang memenuhi balairung, saat itu hanya tegak
termangu-mangu ketika pujangga Santasmreti ayunkan langkah,
meninggalkan balairung. Tiga anakmuda segera mengiring di belakang pujangga tua itu.
Sedayu berjalan dengan langkah lunglai. Kemudian diikuti oleh
Lembu Mandira yang membawa jenazah empu Raganata. Dan
terakhir, Joko Ludira yang berjalan sarat dengan beban berbagai
perasaan duka dan dendam.
Duka, karena baginda Kertanagara sebagai raja junjungannya
dan sekaligus sebagai pamannya telah menutup mita di depan
matanya, dia tanpa dapat memberi pertolongan apa-apa.
Dendam, ya, dendam terhadap baginda Kertanagara raja
Singasari yang telah membunuh ayahandanya. Tetapi dendam ini
telah terhapus bersama mangkatnya baginda Kertanagara. Kini
dendam yang dalam beralih kepada Ardaraja, putera menantu
baginda yang tidak tahu budi. Putera akuwu Daha yang oleh raja
Singasari diangkat menjadi putera menantu dan diberi kedudukan
yang tinggi, tidak memberikan persembahan balasan yang layak,
sebaliknya air tubalah balasannya.
Perasaan duka dan dendam campur aduk di benak Joko Ludira.
Empu Santasmreti, bekas seorang pujangga keraton Singasari
yang telah mengasingkan diri di gunung, seorang yang telah putus
segala ilmu, seorang sidik-paningal, awas penglihatannya,
mengetahui apa yang sedang dirasakan oleh ketiga anakmuda itu.
Ia memohon kepada Hyang Batara Agung agar ketiga anakmuda
itu dianugerahi terang dan ketenangan batin...
~dewi.kz^ismo^mch~ II Apabila pertahanan gapura selatan pura Singasari bobol oleh
serangan pasukan Daha di bawah pimpinan patih Kebo
Mundarang, adalah di desa Mameling raden Wijaya dan
pasukannya berhasil memporak-porandakan barisan Daha yang
dipimpin oleh senopati Jaran Goyang.
Siasat raden Wijaya untuk menjepit barisan musuh telah
berhasil. Tetapi ada suatu keanehan yang dirasakan oleh ksatrya
muda itu. Bahwa walaupun menderita kekalahan tetapi pasukan Daha itu
Bara Naga 1 Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro Pedang Kayu Harum 22

Cari Blog Ini