Ceritasilat Novel Online

Hina Kelana 11

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 11


Perasaan Lenghou Tiong juga sangat gemas. Tiba-tiba teringat olehnya jurus serangan aneh yang khusus digunakan untuk mengalahkan Yu-hong-lay-gi itu, segera ia jemput sebatang ranting kayu dan bermaksud mengajarkan jurus itu kepada Liok Tay-yu. Tapi lantas terpikir lagi olehnya, "Agaknya Laksute sudah terlalu benci kepada Lim-sute, bila jurus serangan ini sampai digunakan olehnya, sedikitnya Lim-sute pasti akan terluka parah. Dan kalau Suhu dan Sunio mengusut perkara ini, tentu kami berdua akan menerima hukuman berat."
Maka urunglah dia mengajarkan jurus aneh itu kepada Liok Tay-yu, katanya kemudian, "Ya, apa mau dikata lagi, anggaplah kekalahanmu itu sebagai suatu pengalaman. Lain kali jangan ceroboh lagi. Urusan di antara sesama saudara seperguruan tak perlu dipikirkan lagi."
"Toasuko," seru Liok Tay-yu sambil menatap tajam kepada Lenghou Tiong, "aku sih tidak menjadi soal, tapi masakah kau anggap sepele urusan ini?"
Lenghou Tiong tahu yang dia maksudkan adalah urusan Gak Leng-sian. Pedih rasa hatinya sehingga air mukanya berubah seketika.
Tay-yu merasa menyesal atas ucapannya yang menusuk perasaan Toasuko itu, cepat ia menambahkan, "Ya, aku ... aku yang salah omong."
"Kau tidak salah omong," kata Lenghou Tiong sambil memegang tangan sang sute. "Masakah aku tidak memerhatikan persoalannya" Hanya saja .... Ah, Laksute, untuk selanjutnya kita tak perlu membicarakan urusan ini lagi."
"Baik," sahut Tay-yu. "Toasuko, jurus Yu-hong-lay-gi itu pun dahulu kau pernah mengajarkan padaku. Untuk selanjutnya tentu akan kulatih lebih baik agar bocah she Lim itu mengetahui ajaran Toasuko lebih hebat atau ajaran Siausumoay yang lebih bagus."
Lenghou Tiong tersenyum pedih, katanya, "Sebenarnya, sebenarnya jurus itu pun tiada sesuatu yang luar biasa."
Melihat sikap sang Suheng yang lesu itu, Tay-yu menyangka tentu Toasuheng itu merasa patah hati lantaran dijauhi oleh Siausumoaynya, maka ia pun tidak berani tanya lagi.
Sesudah Liok Tay-yu pergi, Lenghou Tiong pejamkan mata untuk mengumpulkan tenaga. Kemudian ia menyalakan obor kayu cemara yang berminyak itu dan pergi memeriksa pula ukiran-ukiran di dinding gua belakang.
Mula-mula ia selalu teringat kepada cara bagaimana Gak Leng-sian mengajar ilmu pedang kepada Lim Peng-ci, sampai lama sekali ia tak bisa memusatkan perhatiannya. Goresan-goresan ukiran di dinding itu seakan-akan berubah menjadi bayangan Gak Leng-sian dan Lim Peng-ci, yang satu sedang mengajar dan yang lain sedang belajar dengan mesranya. Yang terbayang-bayang selalu tampang Lim Peng-ci yang cakap itu. Tanpa merasa ia menghela napas, pikirnya, "Tampang Lim-sute berpuluh kali lebih bagus daripadaku, usianya juga jauh lebih muda, hanya satu-dua tahun lebih tua daripada Siausumoay, sudah tentu mereka berdua dapat bergaul lebih rapat."
Mendadak dilihatnya ukiran orang-orangan yang menggunakan pedang sedang menusuk ke depan, caranya dan gayanya mirip sekali dengan "jurus serangan tunggal keluarga Ling" yang pernah dimainkan Gak-hujin tempo hari. Lenghou Tiong terkejut. Pikirnya, "Jurus serangan itu terang adalah ciptaan ibu-guru sendiri, mengapa bisa terukir lebih dulu di dinding gua ini" Sungguh sangat aneh."
Waktu ia perhatikan lebih teliti ukiran itu, barulah diketahui bahwa jurus serangan ukiran itu ada perbedaan cukup mencolok dengan jurus serangan ciptaan Gak-hujin. Serangan menurut ukiran itu lebih kuat dan lebih sederhana, sebaliknya serangan Gak-hujin itu mempunyai gerakan ikutan yang banyak dan sukar diduga, maka juga lebih lihai.
Diam-diam Lenghou Tiong manggut. Kiranya serangan ciptaan ibu-gurunya itu sesuai dengan gaya tokoh angkatan lama, pantas terlihat ada persamaannya. Jika demikian, jangan-jangan berbagai jurus ilmu pedang yang terukir di sini ini banyak yang belum diketahui oleh guru dan ibu-guru. Apakah mungkin Suhu sendiri belum lagi komplet mempelajari ilmu pedang Hoa-san-pay sendiri yang teramat tinggi dan sukar dijajaki itu"
Kemudian dia memerhatikan pula gaya serangan toya lawan dalam ukiran itu. Toya itu tetap mengacung lurus ke depan, ujung toya tepat mengarah ujung pedang. Pedang dan toya terukir menjadi satu garis lurus.
"Celaka!" diam-diam Lenghou Tiong berseru demi melihat garis lurus antara toya dan pedang itu. Tanpa merasa timbul lagi rasa khawatirnya yang sukar diuraikan. Ujung pedang dan toya saling beradu, toya lebih keras dan pedang agak lemas, jika kedua pihak sama-sama mengerahkan tenaga, maka pedang pasti akan patah, sedang toya tentu akan terus mengarah ke depan dan sukar untuk dielakkan. Jalan satu-satunya ialah lepaskan senjata dan bertekuk lutut minta ampun.
Semalam suntuk itu entah berapa ratus kali dia mondar-mandir di dalam gua belakang itu, selama hidupnya belum pernah merasakan pukulan batin begitu hebat. Pikirnya, "Ngo-gak-kiam-pay kami, terutama Hoa-san-pay, selamanya diakui sebagai golongan terkemuka di dunia persilatan, siapa duga ilmu silat yang dianutnya sebenarnya begini jelek dan tidak tahan sekali gempur. Menurut jurus serangan dalam ukiran dinding itu, ada sebagian besar sampai-sampai guru dan ibu-guru juga tidak mengetahui, tapi biarpun dapat meyakinkan ilmu pedang perguruan sendiri secara sempurna dan melebihi Suhu juga tiada gunanya. Asalnya pihak lawan tahu cara mematahkannya, tidak urung jago terpandai dari golongan sendiri juga terpaksa tekuk lutut minta ampun, jika tidak mau minta ampun terpaksa harus korbankan jiwa."
Begitulah dengan lesu ia berjalan kian kemari di dalam gua sehingga tanpa merasa hari sudah pagi. Ia coba memeriksa lagi ukiran-ukiran lain. Dilihatnya jurus-jurus ilmu pedang Heng-san-pay, Thay-san-pay, Ko-san-pay dan Hing-san-pay juga mengalami nasib yang sama dengan Hoa-san-pay, semuanya kena dikalahkan lawan secara total sehingga jalan satu-satunya yang terakhir adalah tekuk lutut dan minta ampun jika tidak mau mati.
Lenghou Tiong adalah orang cerdas, pengalamannya luas, banyak ilmu pedang dari golongan lain sudah pernah dilihatnya. Tapi anehnya setiap jurus serangan yang lihai dari ilmu pedang itu selalu kena ditundukkan oleh lawan.
Dia tidak habis mengerti macam orang apakah orang-orang yang bernama Hoan Siong, Tio Ho, Thio Seng-hong dan Thio Seng-in itu" Mengapa begitu besar hasrat mereka mengukirkan jurus-jurus serangan yang dapat menghancurkan ilmu pedang dari Ngo-gak-kiam-pay kami, sebaliknya nama kebesaran mereka malah sama sekali tak terkenal di dunia persilatan, bahkan Ngo-gak-kiam-pay masih tetap tersohor selama ini"
Tiba-tiba timbul suatu pikirannya, "Mengapa aku tidak menghapus ukiran-ukiran ini dengan kapak tajam itu" Dengan demikian kehormatan Ngo-gak-kiam-pay akan tetap dipertahankan dan anggaplah aku tidak pernah menemukan gua rahasia ini."
Segera ia jemput sebuah kapak dan diangkat tinggi-tinggi. Namun ia tertegun lagi ketika melihat macam-macam jurus serangan yang aneh dan hebat itu. Sesudah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia berseru sendiri, "Seorang laki-laki harus berani menghadapi kenyataan, kenapa mesti menipu orang dan menipu dirinya sendiri?"
Ia tidak jadi melenyapkan ukiran itu. Ia keluar lagi ke depan gua, sesudah berpikir sampai lama, kemudian ia datang lagi ke gua belakang untuk memeriksa ukiran-ukiran di dinding itu. Begitulah ia sebentar masuk dan sebentar keluar, entah sudah berapa kali dia mondar-mandir, tanpa terasa hari sudah petang lagi. Tiba-tiba terdengar suara tindakan orang, kiranya Leng-sian yang mengantar daharan untuknya.
Dengan girang Lenghou Tiong memapak ke tepi tebing dan berseru, "Siausumoay!"
Saking terharunya sampai suaranya rada gemetar. Namun gadis itu sama sekali tidak menjawab. Sesudah naik ke atas, ia taruh keranjang nasi itu di atas meja batu, lalu putar tubuh dan tinggal pergi, sekejap saja ia tidak pandang Lenghou Tiong.
Keruan Lenghou Tiong menjadi gugup, cepat ia berseru pula, "Siausumoay, kenapakah kau?"
Tapi Leng-sian hanya mendengus saja dan segera melompat turun ke bawah tebing. Biarpun berulang-ulang Lenghou Tiong memanggilnya lagi tetap dia tidak menjawab dan tidak menoleh.
Saking terguncang perasaannya sehingga Lenghou Tiong tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia coba membuka tutup keranjang daharan, isinya tetap satu bakul nasi, dua mangkuk sayuran seperti biasanya. Untuk sekian lamanya ia memandangi daharan itu dengan termangu-mangu seperti orang linglung.
Beberapa kali ia ingin makan, tapi hanya satu-dua suap saja sudah terasa kering mulutnya dan sukar mengunyah, akhirnya dia tidak jadi makan lagi. Pikirnya, "Jika Siausumoay marah padaku, mengapa dia sendiri masih mengantar daharan untukku" Jika tidak marah padaku, kenapa satu patah kata saja tidak bicara padaku, bahkan melirik sekejap juga tidak. Jangan-jangan Laksute jatuh sakit, maka Siausumoay yang menggantikan dia mengantar nasi. Tapi kan masih ada Gosute, Jitsute dan lain-lain yang dapat mewakilkan dia, buat apa mesti Siausumoay sendiri yang mengantar?"
Pikirannya bergolak memikirkan diri Gak Leng-sian sehingga tentang ilmu silat yang terukir di dinding gua belakang itu terlupa olehnya.
Petang esoknya, kembali Leng-sian mengantarkan nasi lagi. Akan tetapi tetap tidak memandang dan tidak bicara apa-apa, malahan waktu turun dari puncak gunung itu dia telah menyanyikan lagu rakyat daerah Hokkian dengan merdunya.
Keruan hati Lenghou Tiong semakin pedih seperti disayat, pikirnya, "Kiranya dia sengaja hendak menusuk perasaanku."
Petang hari ketiga, tetap Gak Leng-sian yang mengantarkan daharan bagi Lenghou Tiong. Seperti sebelumnya, dia taruh keranjang nasi di atas meja batu, lalu putar tubuh hendak pergi.
Lenghou Tiong benar-benar tidak tahan lagi, cepat ia berteriak, "Nanti dulu, Siausumoay, aku ingin bicara padamu!"
Leng-sian berpaling dan menjawab, "Ada apa" Silakan bicara."
Melihat sikap si nona yang dingin sebagai es itu, Lenghou Tiong menjadi gelagapan, "Kau ... kau ...."
"Aku kenapa?" tanya si nona.
Padahal biasanya Lenghou Tiong sangat lincah, mulutnya juga tajam, tapi sekarang menghadapi sang Sumoay yang dicintainya itu ternyata tidak sanggup mengucapkan apa-apa.
"Kau tidak mau bicara, biarlah aku pergi saja," ujar Leng-sian sambil melangkah pergi lagi.
Keruan Lenghou Tiong tambah gelisah. Ia tahu sekali sudah pergi, paling cepat baru besok petangnya nona itu dapat datang lagi. Jika urusannya tidak dibicarakan sekarang juga, apakah dirinya dapat tahan siksaan batin semalam suntuk ini" Apalagi kalau melihat sikap si nona yang dingin itu, bisa jadi besok dia tidak akan datang lagi, bahkan seminggu atau sebulan juga tidak datang, kan bisa runyam"
Saking gugupnya, tanpa pikir Lenghou Tiong lantas menarik lengan baju si nona sambil berseru, "Siausumoay!"
"Lepaskan!" mendadak Leng-sian membentak dengan gusar sambil mengibaskan tangannya. Tak tersangka terdengarlah "bret", lengan bajunya terobek satu potong sehingga kelihatan lengannya yang putih bersih itu.
Leng-sian tersipu-sipu malu, dengan gusar ia membentak, "Kau ... kau berani!"
"O, maaf Siausumoay!" cepat Lenghou Tiong memberi penjelasan. "Aku ... aku tidak sengaja."
Cepat Leng-sian menutupi lengan yang terbuka itu dengan lengan baju sebelah lain. Lalu menegur dengan suara tak sabar, "Sebenarnya apa maksudmu?"
"Siausumoay," sahut Lenghou Tiong, "aku merasa tidak mengerti sebab apakah kau bersikap demikian padaku" Bila memang benar aku bersalah padamu, biarpun kau menusuk sepuluh atau dua puluh kali di tubuhku dengan pedangmu juga aku takkan ... takkan menyesal biar mati sekalipun."
"Huh, kau adalah Toasuheng, masakah kami berani padamu?" jengek Leng-sian. "Jangankan bilang menusuk-nusuk tubuhmu, asalkan kau tidak menusuk-nusuk orang saja sudah cukup dibuat terima kasih."
"Sudah kurenungkan, tapi aku benar-benar tidak tahu bilakah aku pernah bersalah kepadamu?" ujar Lenghou Tiong.
"Kau tidak tahu" Kau suruh Lak-kau-ji mengadu biru kepada ayah dan ibu, apakah sekarang kau masih belum tahu?"
"Aku suruh Lak-kau-ji mengadu biru kepada guru dan ibu-guru?" Lenghou Tiong menegas dengan heran. "Mengadu tentang apa" Mengadu ... mengadu dirimu?"
"Ya, kau tahu bahwa ayah dan ibu sayang padaku, biarpun mengadu diriku juga takkan berguna, maka kau sengaja ... sengaja mengadu ... hm, kau masih berlagak pilon, apa kau benar-benar tidak tahu?"
Tiba-tiba Lenghou Tiong paham duduknya perkara, perasaannya bertambah pedih. Katanya kemudian, "Apakah karena Laksute terluka ketika berlatih dengan Lim-sute, hal ini telah diketahui guru dan ibu-guru, lalu Lim-sute telah didamprat, bukan?"
"Latihan di antara sesama saudara seperguruan, jika sedikit lengah saja kan bukan sengaja hendak melukai orang" Tapi ayah justru mengeloni Lak-kau-ji dan telah mendamprat Siau-lim-cu, katanya pula, kekuatan Siau-lim-cu belum waktunya untuk melatih jurus Yu-hong-lay-gi, maka aku dilarang mengajar dia lagi. Nah baiklah, anggaplah kau yang menang! Akan tetapi aku ... aku pun takkan gubris padamu lagi, takkan menggubris kau untuk selamanya."
Dahulu, sebelum Lim Peng-ci masuk perguruan Hoa-san-pay, bila Leng-sian marah kepada Lenghou Tiong, sering nona itu pun mengatakan "aku takkan menggubris padamu lagi". Akan tetapi ucapan itu selalu disertai dengan senyum dikulum, sedikit pun tiada maksud "tidak menggubris" secara sungguh-sungguh. Tapi sekali ini sikap nona itu benar-benar garang dan nadanya dingin tegas.
Dengan rasa cemas Lenghou Tiong melangkah maju setindak, katanya, "Siausumoay, aku ...." sebenarnya ia hendak membantah bahwa dirinya tidak pernah suruh Lak-kau-ji mengadu biru kepada sang guru, tapi lantas terpikir olehnya, "Asalkan aku merasa tidak berdosa dan tidak pernah melakukan hal seperti itu, buat apa aku mesti minta belas kasihan padanya?"
Karena itu ia tidak melanjutkan lagi kata-katanya.
"Kau kenapa?" tanya Leng-sian.
"Aku ... aku tidak apa-apa," sahut Lenghou Tiong. "Kupikir seumpama Suhu benar-benar melarang kau mengajar Lim-sute, hal ini toh bukan sesuatu yang luar biasa, kenapa kau sedemikian marah padaku?"
Muka Leng-sian menjadi merah, katanya, "Aku justru marah padamu, aku justru marah padamu! Hm, diam-diam kau mengandung maksud jelek, kau sangka bila aku tidak mengajar ilmu pedang kepada Lim-sute, lalu aku akan setiap hari datang ke sini untuk mengawani kau. Hm, aku justru takkan gubris lagi padamu."
Habis berkata, ia membanting sebelah kakinya di atas tanah, lalu putar tubuh dan tinggal pergi.
Kali ini Lenghou Tiong tidak berani menariknya lagi. Dengan rasa mendongkol dan penasaran kembali ia mendengar nyanyian si nona yang nyaring merdu di bawah puncak. Ia coba melongok ke bawah gunung, terlihatlah bayangan si nona yang ramping sedang menghilang di balik lereng sana. Tiba-tiba ia merasa khawatir, "Aku telah menarik robek lengan bajunya, entah dia akan mengadukan kejadian ini kepada Suhu tidak" Jika beliau menganggap perbuatanku ini tidak sopan, lantas ... lantas bagaimana baiknya" Bila sampai tersiar, tentu aku akan dipandang hina oleh para Sute dan Sumoay yang lain."
Tapi lantas terpikir pula, "Ah, aku toh tidak sengaja berlaku kasar padanya. Seorang laki-laki sejati asalkan merasa perbuatannya sendiri dapat dipertanggungjawabkan secara benar, peduli apa dengan pendapat orang lain?"
Walaupun soal robeknya lengan baju Leng-sian tak dikhawatirkan lagi, tapi bila teringat kepada sikap si nona yang begitu benci kepada dirinya hanya karena dilarang mengajar kepada Lim Peng-ci, sungguh perasaan Lenghou Tiong menjadi pedih. Semula ia masih menghibur dirinya sendiri, mungkin Siausumoay yang masih terlalu muda belia itu merasa kesepian, maka dicarinya seorang teman bermain yang usianya sebaya seperti Lim-sute itu, maksud lain tidak ada. Namun bila dipikir bahwa Lim Peng-ci itu baru beberapa bulan berada di Hoa-san, tapi dia sudah dapat merebut hati si nona daripada dirinya yang dibesarkan bersama sejak kecil. Teringat ini, kembali dia merasa pedih dan penasaran pula.
Malam itu, entah berapa ratus kali ia keluar-masuk gua dengan pikiran yang kusut. Besok paginya dia masih terus mondar-mandir tanpa mengaso. Sampai petangnya, kali ini yang mengantarkan daharan ternyata Liok Tay-yu adanya.
Sesudah menaruh keranjang daharan dan mengisikan nasi di dalam mangkuk, lalu ia berkata, "Toasuko, silakan dahar!"
Lenghou Tiong mengiakan dan menerima mangkuk dan sumpitnya. Tapi hanya dua kali ia menyuap nasi ke dalam mulut, lalu sukar untuk menelan lagi. Ia memandang sekejap ke bawah puncak dan perlahan-lahan menaruh mangkuk sumpitnya.
"Toasuko, air mukamu tampak pucat, apakah badanmu kurang sehat?" tanya Tay-yu.
"Ah, tidak apa-apa," sahut Lenghou Tiong.
"Jamur ini adalah aku yang petik untukmu, cobalah kau mencicipi rasanya," bujuk Tay-yu.
Karena tidak mau mengecewakan maksud baik sang Sute, Lenghou Tiong menyumpit dua potong jamur dan dimakan, lalu memuji rasanya yang lezat. Padahal sedikit pun ia tidak dapat merasakan lezatnya makanan itu.
"Toasuko," tiba-tiba Tay-yu berkata dengan berseri-seri, "hendak kusampaikan suatu kabar baik. Sejak kemarin guru dan ibu-guru telah melarang Siausumoay berlatih dengan Lim-sute."
"Kau dikalahkan Lim-sute, lalu mengadu kepada Suhu bukan?" tanya Lenghou Tiong dengan dingin.
Liok Tay-yu melonjak dan menyahut, "Siapa bilang aku dikalahkan dia" Aku ... aku kan demi ...." sampai di sini mendadak ia tidak meneruskan lagi.
Sebenarnya Lenghou Tiong cukup paham terlukanya Liok Tay-yu hanya karena sedikit lena saja, kalau bicara kepandaian sejati terang Lim Peng-ci bukan tandingannya. Sebabnya dia mengadu kepada Suhu sesungguhnya demi untuk kepentingan dirinya, kiranya para Sute sama kasihan padaku karena mengetahui Siausumoay telah menjauhi aku. Lebih-lebih Laksute yang paling akrab dengan aku, maka dia telah berusaha membela diriku. Hm, seorang laki-laki sejati masakah mesti minta dikasihani orang lain" Demikian pikir Lenghou Tiong.
Sekonyong-konyong ia naik darah seperti orang gila, ia angkat mangkuk piring dan dilempar ke dalam jurang semua sambil berteriak, "Siapa ingin kau ikut campur urusan!"
Keruan Tay-yu terkejut. Selamanya ia sangat menghormat dan mengindahkan Toasuko, siapa duga sekali ini telah membuatnya sedemikian murka. Dengan takut ia melangkah mundur sambil berkata, "Toa ... Toasuko! Jika aku bersalah, silakan kau menghajar aku saja."
Bab 30. Gak-hujin Menguji Ilmu Pedang Lenghou Tiong
Setelah melemparkan semua mangkuk piring ke dalam jurang, saat itu Lenghou Tiong telah angkat sepotong batu dan hendak dilemparkan pula. Tapi demi mendengar ucapan Liok Tay-yu itu, mendadak ia menghela napas panjang sambil membuang batu itu. Ia pegang kedua tangan Tay-yu dan berkata, "Maaf, Laksute, perasaanku sendiri yang merasa kesal dan tiada sangkut paut dengan dirimu."
Tay-yu merasa lega. Katanya, "Biarlah kupulang untuk mengambilkan daharan lagi."
"Tidak, tidak perlu," kata Lenghou Tiong. "Selama beberapa hari ini aku memang tidak nafsu makan."
Tay-yu melihat daharan kemarin masih utuh, sedikit pun belum termakan. Ia menjadi khawatir. Katanya, "Toasuko, kemarin kau pun tidak makan apa-apa?"
"Ya, tak apa-apa, memang beberapa hari ini aku tidak nafsu makan," sahut Lenghou Tiong sambil memaksakan tertawa.
Tay-yu tidak berani banyak omong lagi. Kemudian ia mohon diri buat pulang.
Besoknya sebelum matahari terbenam dia sudah datang membawakan daharan. Pikirnya, "Hari ini telah kubawakan satu poci arak dan menambahi dua macam sayuran enak, betapa pun aku harus membujuk Toasuko supaya makan sedikit banyak."
Setiba di dalam gua, dilihatnya Lenghou Tiong berbaring di atas batu besar itu dengan muka pucat dan kurus. Agak terkejut ia. Segera katanya, "Toasuko, coba lihatlah apakah ini?"
Berbareng ia terus angkat botol arak dan membuka sumbatnya. Maka keluarlah bau arak yang harum.
Kegemaran Lenghou Tiong memang adalah minum arak, cepat ia terima botol arak itu terus ditenggaknya sekaligus hingga setengah botol. "Ehmm, tidak jeleklah arak ini!" pujinya.
Tay-yu sangat senang. Segera ia ambil mangkuk dan berkata, "Biar kuisikan nasi untukmu."
"Tidak, tidak perlu! Aku tidak ingin makan," kata Lenghou Tiong sambil goyang tangan.
"Semangkuk saja," ujar Tay-yu, lalu mangkuk itu diisi nasi dengan penuh.
Melihat maksud baiknya itu terpaksa Lenghou Tiong menjawab, "Baiklah, habis minum arak barulah kumakan nasinya."
Namun semangkuk nasi itu sampai akhirnya tetap tak dimakan oleh Lenghou Tiong. Ketika besoknya Tay-yu datang lagi, ia melihat semangkuk nasi itu masih tetap tertaruh di atas meja batu, sedangkan sang Toasuko masih tidur.
Dilihatnya kedua pipi Lenghou Tiong rada merah. Ia coba meraba dahinya, rasanya panas seperti dibakar. "He, Toasuko, kau sakit?" tanyanya khawatir.
Tiba-tiba Lenghou Tiong berseru, "Arak, arak, mana arak! Aku mau minum arak!"
Walaupun Liok Tay-yu telah membawakan arak lagi, tapi ia tidak berani memberinya, ia hanya menuangkan semangkuk air dan disodorkan padanya.
Sekaligus Lenghou Tiong menghabiskan semangkuk air itu lalu berseru, "Arak bagus, arak enak!"
Habis itu lalu ia menjatuhkan diri pula di atas batu sambil terus menggumam, "Arak bagus, arak bagus!"
Melihat sakitnya tidak enteng, Tay-yu menjadi khawatir. Celakanya pagi tadi guru dan ibu-gurunya kebetulan turun gunung karena ada urusan penting. Cepat ia berlari pulang untuk menyampaikan hal itu kepada Lo Tek-nau dan saudara-saudara seperguruan yang lain.
Walaupun Gak Put-kun telah melarang para muridnya naik ke atas puncak kecuali orang yang ditugaskan mengantar ransum untuk Lenghou Tiong, tapi sekarang sang Toasuko dalam keadaan sakit, kalau cuma pergi menjenguknya rasanya juga tidak melanggar larangan itu. Namun demikian, para murid Hoa-san-pay itu pun tidak berani naik ke atas puncak semua, lebih dulu Lo Tek-nau dan Nio Hoat, besoknya Si Tay-cu dan Ko Kin-beng dan kemudian bergilir pula yang lain.
Pada hari pertama itu juga Liok Tay-yu telah memberitahukan hal sakitnya Toasuko kepada Gak Leng-sian serta para saudara seperguruan akan pergi menjenguknya secara berkelompok-kelompok.
Rupanya waktu itu rasa dongkol Gak Leng-sian masih belum hilang, ia berkata, "Lwekang Toasuko sangat tinggi, mana bisa dia jatuh sakit. Huh, aku tidak mau ditipu."
Penyakit Lenghou Tiong itu benar-benar rada berat, berturut-turut empat hari empat malam ia terus tak sadarkan diri. Berulang-ulang Liok Tay-yu memohon dengan sangat kepada Leng-sian agar sudi naik ke atas puncak untuk menjenguk sang Toasuko, untuk mana hampir-hampir saja ia berlutut kepada si nona.
Melihat kesungguhan Liok Tay-yu, akhirnya Leng-sian menjadi khawatir juga, segera ia naik ke atas bersama Tay-yu. Dilihatnya muka Lenghou Tiong kurus celung, janggutnya tak terawat, sedikit pun tidak ganteng seperti biasanya.
Leng-sian merasa menyesal, ia mendekati Lenghou Tiong dan memanggilnya dengan suara halus, "Toasuko, aku datang menjenguk kau, hendaklah kau jangan marah lagi ya?"
Tapi Lenghou Tiong seperti orang linglung, matanya terbelalak lebar dan seperti bingung memandangi si nona, seakan-akan sudah tidak kenal lagi padanya.
"Toasuko, aku inilah! Mengapa kau tidak gubris padaku?" seru Leng-sian pula.
Namun Lenghou Tiong tetap termangu-mangu saja, lewat agak lama akhirnya ia tertidur, sampai kemudian Tay-yu dan Leng-sian pulang dia masih tetap belum mendusin.
Sakit Lenghou Tiong itu terus berlangsung hingga lebih sebulan, akhirnya sembuh juga dengan perlahan-lahan. Selama lebih sebulan itu Leng-sian telah datang menjenguknya tiga kali. Waktu datang untuk kedua kalinya, pikiran Lenghou Tiong sudah sadar dan merasa sangat senang demi melihat si nona.
Ketika datang untuk ketiga kalinya, Leng-sian telah membawakan beberapa potong penganan kesukaan sang Toasuko. Waktu itu Lenghou Tiong sudah kuat berduduk, dia telah makan penganan yang dibawakan itu. Tapi habis itu untuk seterusnya Leng-sian tidak pernah datang lagi.
Sesudah bisa berbangkit dan kuat berjalan, setiap hari Lenghou Tiong suka menantikan kedatangan sang Sumoay di tepi tebing. Akan tetapi setiap kali yang terdengar bukanlah suara tindakan Siausumoaynya yang lincah itu, sebaliknya yang muncul adalah Liok Tay-yu dengan langkahnya yang cepat.
Petang itu kembali Lenghou Tiong duduk termenung di tepi tebing dan memandang ke bawah. Tiba-tiba dilihatnya dua sosok bayangan orang sedang mendatangi dengan cepat luar biasa. Yang berjalan di depan adalah seorang wanita. Sesudah dekat, kiranya adalah guru dan ibu-gurunya. Saking girangnya ia sampai berjingkrak dan berseru, "Suhu! Sunio!"
Hanya sekejap saja Gak Put-kun dan istrinya sudah melompat ke atas tebing puncak tertinggi itu. Tangan Gak-hujin menjinjing sebuah keranjang nasi.
Menurut peraturan Hoa-san-pay yang sudah turun-temurun, setiap murid yang dihukum kurung merenungkan dosanya di atas puncak gunung itu, murid-murid yang lain dilarang naik ke situ untuk bicara padanya. Siapa duga sekarang Gak Put-kun dan istrinya malah datang sendiri untuk menjenguknya.
Sudah tentu girang Lenghou Tiong tak terhingga, cepat ia berlutut dan menyembah, serunya sambil merangkul kedua kaki sang guru, "O, Suhu, Sunio, sungguh murid sangat rindu kepada kalian!"
Gak Put-kun cukup kenal watak muridnya yang berperasaan lembut. Sebelum datang dia sudah mencari tahu apa sebabnya Lenghou Tiong jatuh sakit. Walaupun murid-muridnya tidak ada yang mengaku terus terang, tapi dari kata-kata mereka telah dapat diduga pangkal penyakitnya adalah karena Leng-sian. Waktu dia tanya putrinya itu, dari jawabannya yang tergagap-gagap dan mencurigakan itu ia menjadi lebih jelas duduknya perkara.
Sekarang dilihatnya luapan perasaan Lenghou Tiong seperti anak kecil itu, meski sudah tinggal setengah tahun di puncak terpencil itu toh wataknya masih belum berubah, maka dengan kurang senang ia telah mendengus.
Gak-hujin yang segera membangunkan Lenghou Tiong, dipandangnya sejenak anak murid kesayangan itu, ia menjadi terharu dan kasihan demi melihat air muka Lenghou Tiong yang pucat dan kurus itu. Tanyanya dengan suara halus, "Anak Tiong, aku dan Suhu baru saja pulang dari Kwan-gwa. Katanya kau telah sakit, apakah sekarang sudah baik?"
Dada Lenghou Tiong terasa panas dan air mata hampir-hampir mengucur keluar, sahutnya, "Sekarang sudah baik. Suhu dan Sunio tentu sangat capek dari perjalanan jauh dan baru pulang sudah lantas datang men ... menjenguk murid."
Sampai di sini tak tertahankan lagi guncangan perasaannya, bicaranya menjadi parau dan tergagap. Cepat ia berpaling untuk mengusap air matanya yang akan menetes.
Dari dalam keranjang nasi Gak-hujin mengeluarkan semangkuk kuah Jinsom yang masih hangat-hangat, katanya, "Ini adalah kuah Jinsom yang kubawa dari Kwan-gwa, akan bermanfaat bagi kesehatanmu, lekas kau minum."
Sungguh terharu dan sangat berterima kasih bila Lenghou Tiong ingat bahwa sepulangnya dari perjalanan jauh, pertama-tama sang guru dan ibu-guru sudah lantas menjenguknya dengan membawakan kuah Jinsom. Dengan tangan rada gemetar ia terima mangkuk itu.
Melihat tangan murid kesayangan itu gemetar, Gak-hujin bermaksud menyuapnya. Tapi Lenghou Tiong sudah lantas menyeruput habis kuah Jinsom itu, lalu mengucapkan terima kasih.
Gak Put-kun coba pegang nadi tangan Lenghou Tiong. Setelah diperiksa sejenak, dalam hal Lwekang ia merasa muridnya itu malahan mundur daripada dahulu. Ia semakin kurang senang. Katanya, "Sakitnya sudah sembuh. Hanya saja ... Tiong-ji, selama beberapa bulan tinggal di sini sebenarnya apa yang kau kerjakan" Mengapa Lwekangmu tidak maju, sebaliknya malah mundur?"
"Ya, mohon Suhu dan Sunio mengampuni," sahut Lenghou Tiong sambil menyembah.
"Anak Tiong baru saja sakit dan kesehatannya belum lagi pulih, dengan sendirinya tenaga dalamnya tentu lebih lemah daripada dulu. Memangnya kau mengharapkan dia semakin sakit semakin kuat Lwekangnya?" ujar Gak-hujin dengan tersenyum.
"Yang kuperiksa adalah Lwekangnya dan bukan lemah dan kuat badannya," kata Gak Put-kun. "Lwekang golongan kita berbeda dengan golongan lain, asal giat berlatih, sekalipun di waktu tidur juga terus maju tiada hentinya. Tiong-ji sudah belasan tahun belajar Lwekang, jika badannya tidak terluka, seharusnya tidak sampai jatuh sakit. Pendek kata adalah karena dia tak dapat menguasai perasaan dan nafsu, makanya Lwekangnya tiada kemajuan."
Gak-hujin tahu apa yang dikatakan sang suami memang tidak salah. Segera ia berkata kepada Lenghou Tiong, "Anak Tiong, Suhumu sering memperingatkan padamu agar kau giat belajar, kau dikurung di atas puncak sini untuk berlatih sendiri sebenarnya bukanlah dihukum benar-benar, tapi maksudnya agar supaya kau tidak diganggu oleh urusan-urusan lain, agar di dalam setahun ini baik Lwekang maupun ilmu pedangmu dapat maju dengan pesat. Tak tersangka ... tak tersangka, ai ...."
Lenghou Tiong sangat malu dan gugup, cepat ia menjawab, "Ya, murid sudah insaf akan kesalahannya, sejak kini tentu akan belajar dengan sungguh-sungguh."
Lalu Gak Put-kun berkata pula, "Banyak sekali perubahan dan pergolakan di dunia persilatan. Akhir-akhir ini aku dan ibu-gurumu telah menjelajahi berbagai tempat dan melihat banyak sekali bibit-bibit bencana yang sukar dibasmi, lekas tentu akan mendatangkan malapetaka hebat. Sungguh hatiku merasa tidak tenteram sekali. Kau adalah muridku yang pertama, aku dan ibu-gurumu menaruh harapan sebesar-besarnya atas dirimu, semoga kelak kau dapat membagi beban kesukaran kami demi perkembangan dan kejayaan Hoa-san-pay kita. Tapi kau lebih suka terlibat dalam urusan muda-mudi, tidak pikirkan kemajuan, sungguh membikin kami sangat kecewa."
Melihat wajah sang guru yang murung itu, Lenghou Tiong tambah gugup, lekas-lekas ia menyembah pula dan minta ampun. "Ya, murid benar-benar bersalah besar sehingga mengecewakan harapan Suhu dan Sunio."
Gak Put-kun membangunkannya, katanya dengan tersenyum, "Jika kau sudah insaf akan kesalahanmu, maka legalah hatiku. Biarlah setengah bulan lagi aku akan datang pula untuk menguji ilmu pedangmu."
Habis berkata segera ia putar tubuh hendak pulang.
"Suhu, ada suatu hal ...." seru Lenghou Tiong. Ia bermaksud melaporkan tentang ukiran di dinding gua belakang yang dilihatnya itu.
Namun Gak Put-kun telah mengebaskan tangannya terus turun ke bawah.
"Dalam setengah bulan ini kau harus giat belajar," demikian Gak-hujin memberi pesan. "Hal ini menyangkut kepentingan hidupmu di masa depan, janganlah sekali-kali kau lalai."
"Baik, Sunio ...." mestinya dia hendak melaporkan pula tentang ukiran di dinding itu, tapi Gak-hujin sudah lantas menuding-nuding Gak Put-kun, lalu menggoyang-goyangkan tangannya dengan tersenyum. Habis itu ia lantas menyusul ke arah sang suami.
Sesudah berada sendirian, diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Mengapa ibu-guru bilang berhasil tidaknya latihanku akan menyangkut kepentingan hidupku di masa depan" Sebab apa pula ibu-guru memberi pesannya itu padaku di belakang Suhu" Jangan-jangan ... jangan-jangan ...."
Tiba-tiba hatinya berdebar-debar dan mukanya merah, ia tidak berani memikir lebih mendalam lagi hal ini. Dalam hati kecilnya timbul suatu harapan, "Jangan-jangan Suhu dan Sunio mengetahui sakitku ini adalah lantaran Siausumoay, maka mereka akan menjodohkan Siausumoay kepadaku" Cuma mulai sekarang aku harus giat belajar, baik Lwekang maupun ilmu pedang, semuanya aku harus dapat mewariskan ajaran Suhu. Agaknya Suhu tidak enak bicara terang-terangan padaku, tapi Sunio anggap aku sebagai anak kandung, diam-diam beliau telah memberi pesan padaku. Kalau tidak, urusan apakah yang menyangkut kepentingan hidupku di masa depan?"
Berpikir sampai di sini, seketika semangatnya terbangkit, ia angkat pedang terus memainkan beberapa kali ilmu pedang yang paling tinggi ajaran Suhunya. Akan tetapi ukiran-ukiran di dinding gua belakang itu sudah melekat dalam pada benaknya, tak peduli dia memainkan jurus apa, dengan sendirinya dalam benaknya lantas timbul macam-macam cara untuk mengalahkannya itu.
Ia berhenti bermain, pikirnya, "Tentang ukiran-ukiran itu aku belum sempat bicara kepada guru dan ibu-guru, setengah bulan lagi bila beliau-beliau datang pula, setelah diperiksa tentu macam-macam tanda tanya akan terpecahkan."
Begitulah, walaupun kata-kata Gak-hujin itu telah membangkitkan semangatnya, tapi seharian itu latihannya ternyata tiada banyak kemajuan, sebaliknya perasaannya bergolak malah dan berpikir, "Guru dan ibu-guru hendak menjodohkan Siausumoay padaku, entah dia sendiri sukarela atau tidak" Jika aku benar-benar bisa menjadi suami-istri dengan dia, entah dia dapat melupakan Lim-sute tidak" Padahal Lim-sute yang baru masuk perguruan dan minta petunjuk ilmu pedangnya padanya, suka mengawani dia sekadar menghilangkan rasa kesal, kedua orang toh tidak saling mencintai sungguh, mana dia dapat dibandingkan dengan diriku yang sudah belasan tahun dibesarkan bersama Siausumoay. Tempo hari aku hampir-hampir dibunuh oleh Ih Jong-hay, berkat Lim-sute yang bersuara sehingga aku tertolong, kejadian ini tak boleh kulupakan selama hidup ini, kelak aku harus membalas kebaikannya. Jika dia menghadapi bahaya, biarpun mengorbankan jiwa sendiri juga aku harus menolong dia sekuat tenaga."
Sang tempo lewat dengan cepat, sekejap saja setengah bulan sudah lalu. Petang hari itu Gak Put-kun dan istrinya telah datang lagi. Yang ikut datang adalah Lo Tek-nau, Liok Tay-yu dan Gak Leng-sian.
Melihat Siausumoay juga ikut datang, sewaktu menyapa Suhu dan Sunio suaranya sampai-sampai rada gemetar.
Melihat air muka sang murid sudah jauh lebih segar dan penuh semangat, Gak-hujin mengangguk-angguk dan berkata, "Anak Sian, coba ambilkan nasi untuk Toasuko, biarkan dia makan yang kenyang agar nanti dapat berlatih pedang dengan baik."
Leng-sian mengiakan. Lalu membuka keranjang nasi dan mengeluarkan mangkuk dan sumpit. Ia isi semangkuk nasi dan berkata dengan tertawa, "Silakan makan, Toasuko!"
"Teri ... terima kasih," sahut Lenghou Tiong.
"He, apakah engkau masih demam" Mengapa suaramu gemetar lagi?" tanya Leng-sian dengan tertawa.
"Ti ... tidak apa-apa," sahut Lenghou Tiong. Tapi diam-diam berkata di dalam hati, "Bila selanjutnya siang dan malam di waktu makan kau senantiasa mendampingi aku, maka tiada permohonan lain lagi selama hidupku ini."
Semangkuk nasi itu segera dimakannya, hanya beberapa kali sapu dengan sumpitnya sudah dihabiskan.
"Kutambahkan nasi lagi," ujar Leng-sian.
"Terima kasih, sudah cukup," sahut Lenghou Tiong. "Suhu dan Sunio sedang menunggu."
Lalu dia keluar gua, dilihatnya Gak Put-kun dan istri duduk berjajar di atas batu. Lenghou Tiong melangkah maju dan memberi hormat. Rasanya ingin bicara apa-apa tapi mulutnya seperti terkancing dan sukar membuka suara. Waktu ia berpaling, dilihatnya Liok Tay-yu sedang memicingkan sebelah mata padanya dengan wajah berseri-seri. Diam-diam Lenghou Tiong heran, pikirnya, "Apakah Laksute memperoleh berita apa-apa sehingga ikut bergirang bagiku?"
Gak Put-kun memandang tajam kepada Lenghou Tiong, sejenak kemudian baru berkata, "Kemarin Kin-beng baru pulang dari Tiang-an, katanya Dian Pek-kong telah melakukan beberapa perkara di kota itu."
"Dian Pek-kong berada di Tiang-an?" Lenghou Tiong menegas. "Yang dia lakukan tentu bukan perkara baik."
"Sudah tentu, masakah masih perlu tanya?" ujar Gak Put-kun. "Ho-keh-ceng di kota Tiang-an, tentu kau kenal bukan?"
"Ya, murid kenal," sahut Lenghou Tiong. "Ho-cengcu adalah sahabat baik Suhu. Beliau tersohor di dunia Kangouw karena ruyung baja dan tameng besinya. Apakah ... apakah mungkin Dian Pek-kong berani menyatroni Ho-keh-ceng?"
Gak Put-kun menengadah memandang awan yang melayang lewat di langit. Lalu katanya dengan perlahan, "Ya, Jisiocia (putri kedua) Ho-cengcu baru saja gantung diri kemarin."
Lenghou Tiong juga sudah menduga perkara yang dilakukan Dian Pek-kong tentulah soal pemerkosaan, tapi tak menduga bahwa dia begitu berani menyatroni Ho-cengcu yang termasyhur itu.
Ho-cengcu itu lengkapnya bernama Ho Koan. Usianya antara 50-an, mahir bersenjata tameng dan ruyung baja, ilmu silatnya sangat hebat dan disegani di dunia Kangouw.
Tadi Gak Put-kun hanya mengatakan putri Ho-cengcu itu mati gantung diri, sebabnya sudah tentu karena telah diperkosa oleh Dian Pek-kong. Hanya saja tidak diceritakan terus terang karena di situ juga hadir Gak-hujin dan Leng-sian.
Namun Lenghou Tiong sudah lantas tahu duduknya perkara, serunya dengan gusar, "Keparat Dian Pek-kong itu benar-benar sudah kelewat takaran berbuat kejahatan dan pantas dibunuh. Suhu, kita ...." sampai di sini ia tidak dapat meneruskan lagi.
"Kita kenapa?" tanya Put-kun.
"Keparat itu berani main gila di kota Tiang-an, terang dia memandang enteng kepada Hoa-san-pay kita," kata Lenghou Tiong. "Cuma Suhu dan Sunio yang berkedudukan tinggi dan terhormat memang tidak perlu mengotorkan pedang untuk membinasakan jahanam itu. Sayang kepandaian murid belum cukup sempurna dan bukan tandingan jahanam itu, apalagi murid adalah orang berdosa dan tak dapat turun dari puncak sini. Namun kalau jahanam itu dibiarkan malang melintang di kaki gunung Hoa-san kita, hal ini sungguh harus disesalkan."
"Jika kau benar-benar ada kemungkinan membinasakan jahanam itu untuk membalas sakit hati Ho-cengcu, sudah tentu aku dapat mengizinkan kau turun dari puncak sini," kata Put-kun. "Coba sekarang kau pertunjukkan ilmu pedang tunggal keluarga Ling ajaran ibu-gurumu itu. Selama setengah tahun ini tentunya kau pun sudah hampir memahami seluruhnya, ditambah lagi dengan petunjuk-petunjuk ibu-gurumu nanti, rasanya sudah cukup untuk menandingi keparat she Dian itu."
Lenghou Tiong melengak. Ia merasa ibu-gurunya tidak pernah mengajarkan jurus ilmu pedang padanya. Tapi setelah dipikir segera ia paham persoalannya. Sesudah percobaan tempo hari, meski ibu-gurunya secara resmi tidak mengajarkan jurus serangan itu, tapi dengan tingkat pelajarannya atas ilmu silat perguruannya sendiri seharusnya dirinya paham di mana letak kekuatan jurus serangan itu. Maka sang guru menduga selama setengah tahun ini dia sudah dapat menyelami dan meyakinkan jurus serangan itu dengan lebih sempurna.
Teringat akan jurus serangan ilmu pedang ibu-guru itu, tanpa merasa jidatnya lantas berkeringat, alangkah gugupnya dia. Maklum, waktu mula-mula dia naik ke atas puncak itu memang dia sering memikirkan dan mengulangi permainan jurus ilmu pedang yang hebat itu. Tapi sejak dia menemukan ukiran dinding di gua belakang dan melihat ilmu pedang Hoa-san-pay semuanya kena dipatahkan orang, malahan jurus serangan lihai ajaran ibu-guru itu pun kalah habis-habisan, mau tak mau dia telah kehilangan kepercayaan atas jurus serangan itu dan sejak itu tak pernah memikirkannya lagi.
Siapa duga sekarang sang guru telah minta dia mempertunjukkan jurus serangan tunggal itu, katanya jurus itu akan digunakan untuk membunuh Dian Pek-kong. Sesungguhnya dia ingin mengatakan jurus itu tak berguna, percuma saja, sebab akan dapat dikalahkan orang. Tapi di depan Lo Tek-nau dan Liok Tay-yu tidaklah pantas menilai rendah jurus serangan ciptaan ibu-guru yang sangat dibanggakan beliau itu.
Melihat sikap Lenghou Tiong yang ragu-ragu itu, segera Put-kun bertanya, "Apakah jurus tunggal itu belum kau latih dengan baik" Itulah tidak mengapa. Jurus serangan itu adalah intisari dari ilmu silat Hoa-san-pay kita, mungkin Lwekangmu belum cukup kuat sehingga sukar meyakinkannya. Tapi lambat laun tentu kau dapat mengatasinya."
"Tiong-ji," tiba-tiba Gak-hujin berkata dengan tertawa. "Kenapa tidak lekas mengucapkan terima kasih kepada Suhu" Beliau telah siap mengajarkan 'Ci-he-sin-kang' padamu."
Lenghou Tiong terkesiap. Tapi cepat ia pun berkata, "Ya, terima kasih, Suhu."
Dan baru dia hendak berlutut menyembah, cepat Put-kun menahannya, katanya dengan tertawa, "Ci-he-sin-kang adalah inti tertinggi dari Lwekang perguruan kita, sebabnya aku tidak mau sembarangan mengajarkan kepada para murid bukanlah karena kepelitanku. Soalnya bila sudah berlatih Lwekang ini, maka pemusatan pikiran harus kuat, latihan harus giat, sedikit pun tidak boleh ayal di tengah jalan, kalau tidak tentu akan membahayakan yang melatihnya malah. Dari itu, anak Tiong, aku ingin melihat dulu kemajuan ilmu silat yang kau capai selama ini, habis itu barulah aku dapat ambil keputusan boleh mengajarkan Ci-he-sin-kang padamu atau tidak."
Mendengar Toasuko mereka akan mendapat ajaran "Ci-he-sin-kang", sungguh kagum Lo Tek-nau, Liok Tay-yu dan Gak Leng-sian tak terkatakan. Mereka tahu Ci-he-sin-kang itu adalah ilmu Lwekang yang mahahebat, termasuk satu di antara ilmu kebanggaan Hoa-san-pay. Mereka tahu di antara sesama saudara seperguruan memang tiada seorang pun yang lebih pandai daripada Lenghou Tiong, bahwasanya kelak dia yang akan menjadi ahli waris sang guru adalah tidak perlu disangsikan lagi. Mereka hanya tidak nyana bahwa begini cepat guru mereka sudah mengajarkan ilmu sakti itu kepada Toasuhengnya.
Segera Liok Tay-yu berkata, "Toasuko selalu belajar dengan giat. Setiap hari bila aku mengantar daharan ke sini, selalu melihat dia sedang belajar, kalau tidak duduk semadi tentu sedang berlatih pedang."
Leng-sian meliriknya sambil mencibir, dalam hatinya menggerutu, "Hm, kau si monyet ini berani bohong, kau memang selalu mengeloni Toasuko saja."
Sementara itu Gak-hujin telah berkata, "Boleh lolos pedangmu, anak Tiong. Kalau kita guru dan murid bertiga pergi melabrak Dian Pek-kong, kukira masih boleh juga."
"Engkau maksudkan kita bertiga mengerubut Dian Pek-kong seorang, Sunio?" tanya Lenghou Tiong.
"Ya, terangnya kau yang menantang dia, tapi diam-diam aku dan gurumu membantu dari samping," ujar Gak-hujin dengan tertawa. "Tak peduli siapa yang membunuh dia, kita akan tetap mengatakan kau yang membunuhnya agar aku dan gurumu tidak diolok-olok oleh sesama orang Kangouw."
"Bagus sekali," seru Leng-sian. "Jika ayah dan ibu diam-diam membantu, biarpun anak juga berani melabraknya."
"Hm, enak saja kau bicara," omel Gak-hujin dengan tertawa. "Toasukomu pernah bergebrak dengan Dian Pek-kong sampai ratusan jurus, dia yang cukup kenal di mana letak kelihaian lawan. Sebaliknya dengan sedikit kepandaianmu itu dapat berbuat apa" Pula sebagai seorang anak perempuan, nama jahanam itu saja jangan disebut, jangankan lagi hendak bertemu dan bergebrak dengan dia."
Habis berkata, "sret", mendadak pedangnya terus menusuk ke dada Lenghou Tiong.
Namun sambutan Lenghou Tiong ternyata tidak kalah cepatnya, "trang", pedangnya segera menangkis, tapi sebelah kakinya juga melangkah mundur setindak.
"Sret-sret-sret ...." berturut-turut Gak-hujin melancarkan serangan pula sampai enam kali, hampir berbareng juga terdengar suara "trang-tring-trang ...." enam kali, setiap serangan ibu-gurunya ternyata dapat ditangkis oleh Lenghou Tiong.
"Balas menyerang!" bentak Gak-hujin mendadak. Ilmu pedangnya lantas berubah, dia membacok dan menebas, yang dimainkan bukan lagi ilmu pedang Hoa-san-pay.
Segera Lenghou Tiong tahu ibu-gurunya telah memainkan golok kilat Dian Pek-kong agar dirinya dapat menyelami ilmu golok itu dan memperoleh cara mematahkannya.
Serangan Gak-hujin semakin cepat, di tengah serangan-serangannya itu sudah sukar dicari lubang lagi.
"Ayah, jurus serangan ibu itu memang sangat cepat, tapi yang dimainkan adalah ilmu golok dan bukan ilmu pedang, mungkin golok kilat Dian Pek-kong itu pun tidak secepat ini."
"Betapa hebat kepandaian Dian Pek-kong itu, masakah begitu gampang untuk menyerang menurut ilmu goloknya?" ujar Put-kun dengan tersenyum. "Sebenarnya ibumu juga tidak sungguh-sungguh menirukan ilmu goloknya, hanya dia benar-benar telah mengeluarkan segenap kecepatannya untuk mengalahkan ilmu golok Dian Pek-kong yang memang teramat cepat itu. Coba kau lihat, bagus jurus 'Yu-hong-lay-gi'!"
Kiranya saat itu Lenghou Tiong sedang melancarkan jurus serangan itu secara tepat, saking senangnya tanpa merasa Gak Put-kun sampai berseru memuji. Tak terduga baru saja dia memuji, di sebelah sana serangan Lenghou Tiong macet setengah jalan, arahnya menceng, tenaganya kurang sehingga tak dapat menembus jaringan sinar pedang Gak-hujin yang rapat itu.
"Wah, salah besar jurus itu," demikian pikir Gak Put-kun sambil menghela napas.
Dalam pada itu, sedikit pun Gak-hujin tidak memberi kelonggaran, "sret-sret-sret" tiga kali, kembali ia cecar Lenghou Tiong sehingga pemuda itu kerepotan menangkisnya.
Melihat permainan Lenghou Tiong itu makin lama makin kacau dan tak keruan, di waktu terpaksa harus menangkis yang digunakan sebagian besar juga bukan jurus ilmu pedang perguruannya sendiri, keruan Gak Put-kun mengerut kening dan kurang senang.
Hanya saja meski permainan pedang Lenghou Tong itu tampaknya kacau tak keruan, tapi dia masih tetap dapat menangkis setiap serangan Gak-hujin. Ketika mundur sampai di dinding gunung, untuk mundur lagi sudah buntu, lambat laun ia mulai melancarkan serangan balasan. Sekonyong-konyong ia mendapat kesempatan, "sret", ia gunakan jurus "Jong-siong-eng-khik", pedangnya terus menyambar ke pelipis Gak-hujin.
Namun dengan cekatan Gak-hujin dapat menangkisnya, menyusul pedang diputar kencang untuk menjaga diri. Ia tahu jurus Jong-siong-eng-khik itu mempunyai beberapa serangan ikutan lain yang lihai, terpaksa dari menyerang ia berubah menjadi bertahan saja.
Tak tersangka kembali Lenghou Tiong telah memperlihatkan kelemahannya, pedangnya sudah menyelonong ke depan, tapi gerakannya lambat, tenaganya lemah, sedikit pun tidak membawa daya tekanan terhadap lawan.
Gak-hujin membentak, "Tiong-ji, seranglah dengan sepenuh hati, pikiranmu melayang ke mana dan memikirkan apa?"
Berbareng ia terus balas membacok tiga kali.
Lekas-lekas Lenghou Tiong mengiakan sambil berlompatan menghindar. Wajahnya kelihatan merasa malu, cepat ia balas menyerang lagi.
Dari samping, Lo Tek-nau dan Liok Tay-yu dapat melihat air muka sang guru makin lama makin bersungut. Diam-diam mereka ikut merasa takut.
Mendadak angin berkesiur, Gak-hujin berputar cepat kian kemari dengan sinar pedang yang gemerlapan sehingga sukar dibedakan lagi jurus serangan apa yang sedang dilancarkan. Sebaliknya pikiran Lenghou Tiong terasa kacau, bilamana dia diserang, selalu timbul pula jurus serangan untuk mengalahkannya seperti apa yang dilihatnya dalam ukiran di dinding gua itu. Karena pengaruh pikiran itu, serangan-serangan yang dilakukannya selalu gagal setengah jalan karena dianggapnya toh percuma saja.
Sebabnya Gak-hujin menggunakan serangan kilat maksudnya hendak memancing supaya Lenghou Tiong mengeluarkan jurus tunggal keluarga Ling yang tiada bandingannya itu. Siapa duga Lenghou Tiong hanya menyambut serangan-serangan itu sekenanya saja, bukan saja pemusatan pikirannya terpencar, bahkan kelihatan jeri dan takut-takut. Padahal biasanya dia kenal watak Lenghou Tiong adalah pemberani, sejak kecil sudah tidak takut kepada apa pun juga, cara bertempurnya yang takut-takut sekarang benar-benar tak pernah terjadi sebelumnya. Keruan Gak-hujin sangat gusar. Bentaknya, "Masih tidak keluarkan jurus serangan tunggal itu?"
Lenghou Tiong mengiakan, pedangnya terus menusuk ke depan, gayanya dan tenaga yang dipakai seketika memang tepat seperti "jurus tunggal keluarga Ling" ciptaan Gak-hujin itu.
"Bagus!" seru Gak-hujin. Ia tahu serangan itu sangat lihai, cepat ia mengegos ke samping, pedangnya menangkis sekuatnya dari bawah ke atas.
Saat itu Lenghou Tiong sebaliknya berpikir, "Ah, jurus ini pun tiada gunanya, percuma saja, tentu juga kalah habis-habisan!"
Pada saat itulah tangannya lantas tergetar, pedang terlepas dari cekalan karena sampukan pedang Gak-hujin dan mencelat tinggi ke udara. Keruan ia terkejut sehingga menjerit kaget.
Sesudah menggunakan tenaga dalamnya untuk menyampuk mencelat pedang sang murid, menyusul ujung pedang Gak-hujin sudah lantas menusuk pula dengan jurus tunggal ciptaan sendiri itu. Sudah tentu serangan sekarang jauh lebih hebat daripada dahulu, sebab jurus tunggal ini adalah kebanggaannya dan telah diselaminya lebih mendalam selama ini, baik kecepatan dan kekuatannya diutamakan untuk sekali gempur mematikan musuh.
Rupanya Gak-hujin menjadi gemas demi melihat jurus serangan yang dilontarkan Lenghou Tiong tadi ternyata sangat lemah, tampaknya seperti jurus ciptaannya itu, tapi sebenarnya sangat berbeda. Dalam gusarnya, tanpa pikir ia terus balas menyerang dengan jurus mahalihai itu.
Walaupun dia tidak berniat membinasakan muridnya sendiri, serangan Gak-hujin itu benar-benar sangat hebat, belum tiba ujung pedangnya tahu-tahu Lenghou Tiong sudah terkurung oleh sinar pedangnya.
"Celaka!" diam-diam Gak Put-kun berseru. Cepat ia lolos pedangnya Leng-sian dan melangkah maju. Ia khawatir kalau sang istri tak sempat menahan diri sehingga Lenghou Tiong dilukai.
Saat itu keadaan sudah sangat berbahaya, asal ujung pedang Gak-hujin mendesak maju beberapa senti lagi, segera Gak Put-kun sudah siap-siap akan menangkisnya. Namun begitu ia pun tidak yakin tangkisannya dapat menyelamatkan sang murid karena dia tahu kepandaian sang istri selisih tidak banyak dengan dirinya. Yang dia harap adalah asalkan luka Lenghou Tiong bisa diperingan saja.
Pada saat sekejapan itulah sekonyong-konyong Lenghou Tiong juga sudah berusaha membela diri, sekenanya ia ambil sarung pedang yang masih tergantung di pinggangnya, ia mendak sedikit ke bawah dan berjongkok miring ke samping, mulut sarung pedangnya lantas diacungkan ke depan, tepat memapak ujung pedang Gak-hujin yang sedang menusuk tiba itu.
Gerakan yang digunakan Lenghou Tiong ini adalah menurut ukiran di dinding gua belakang yang dilihatnya itu. Ukiran itu menggambarkan pemain toya mengacungkan ujung toya untuk memapak ujung pedang sehingga saling adu senjata, toya keras dan pedang lemas, bila saling mengadu Lwekang, maka pedang pasti akan patah.
Lantaran pedangnya telah mencelat, menyusul dilihatnya serangan ibu-gurunya sudah menyambar tiba lagi, dalam keadaan pikiran kacau dan terpengaruh oleh macam-macam jurus serangan aneh seperti apa yang dilihatnya di dinding gua itu, untuk menyelamatkan diri sendiri, tanpa pikir lagi dan dengan sendirinya ia terus mengeluarkan jurus serangan toya menurut ukiran dinding itu. Tapi waktu itu dia tak bersenjata, apalagi hendak mencari toya, sudah tentu tidak ada kesempatan. Maka sekenanya dia lantas pegang sarung pedang sendiri dan diacungkan ke ujung pedang Gak-hujin sehingga kedua senjata menjadi satu garis lurus.
Sekali dia menggunakan jurus serangan toya itu, dengan sendirinya timbul juga tenaga dalamnya. Maka terdengarlah suara "cret" sekali, pedang Gak-hujin telah menyusup masuk ke dalam sarung pedang.
Kiranya dalam keadaan gugup tadi Lenghou Tiong tidak sempat putar sarung pedangnya, yang dia acungkan ke depan adalah bagian mulut sarung pedang, maka pedang Gak-hujin tidak sampai tergetar patah, sebaliknya lantas menyusup masuk malah seperti pedang itu sengaja disarungkan kembali.
Gak-hujin sampai terkejut, tangannya tergetar sakit, pedang lantas terlepas dari cekalan. Ternyata pedangnya sudah kena dirampas oleh Lenghou Tiong dengan sarung pedangnya.
Serangan Lenghou Tiong itu masih mencakup beberapa gerakan iringan, waktu itu dia sudah tak bisa menguasai diri lagi, sarung pedangnya masih terus mengacung ke depan ke arah tenggorokan Gak-hujin. Cuma yang mengancam tenggorokan itu adalah gagang pedang Gak-hujin sendiri.
Kejut dan gusar luar biasa Gak Put-kun, pedangnya terus menyampuk, "plak", sarung pedang Lenghou Tiong terpukul. Sampukan Gak Put-kun itu telah digunakan Ci-he-sin-kang yang mahadahsyat, seketika dada Lenghou Tiong terasa sesak, dia tergetar mundur beberapa tindak dan akhirnya jatuh terduduk. Sedangkan sarung pedang itu bersama pedang di dalamnya telah patah menjadi beberapa potong dan jatuh berserakan.
Pada saat itulah sinar putih berkelebat dari udara, pedang Lenghou Tiong yang mencelat tadi sekarang pun jatuh ke bawah dan menancap ke dalam tanah hampir sebatas gagang.
Bab 31. Munculnya Dian Pek-kong di Puncak Hoa-san
Apa yang terjadi sedari pedang Lenghou Tiong dicukit mencelat ke udara, Gak-hujin menyerang dan disambut dengan sarung pedang oleh Lenghou Tiong, lalu Gak Put-kun mematahkan pedang bersama sarung pedang itu, kemudian pedang yang mencelat ke udara tadi jatuh kembali, semuanya itu hanya terjadi dalam beberapa detik saja. Sudah tentu Lo Tek-nau, Liok Tay-yu dan Gak Leng-sian sampai terkesima menyaksikan kejadian-kejadian itu.
Habis itu, Gak Put-kun lantas melompat maju ke depan Lenghou Tiong, "plak-plak-plak", beruntun-runtun ia persen beberapa kali tamparan pada muka murid itu sambil membentak gusar, "Binatang, apa-apaan perbuatanmu ini?"
Kepala Lenghou Tiong terasa pusing dan badan sempoyongan, cepat ia berlutut dan berkata, "Suhu, Sunio, murid memang ... memang harus dihukum mati."
Dengan murka Put-kun membentak pula, "Selama setengah tahun ini dosa apa yang kau renungkan dan ilmu silat apa yang kau latih di sini?"
"Murid tidak ... tidak berlatih ilmu silat apa-apa," sahut Lenghou Tiong.
"Jurus seranganmu kepada ibu-gurumu barusan, cara bagaimana datangnya ilhammu itu?" bentak pula Gak Put-kun dengan bengis.
"Sama sekali murid tidak punya pikiran apa-apa, ketika terancam bahaya sekenanya murid lantas memainkan jurus tadi," sahut Lenghou Tiong dengan takut.
"Ya, aku pun menduga tanpa pikir kau lantas mengeluarkan jurus demikian, makanya aku merasa gusar," ujar Gak Put-kun sambil menghela napas. "Apakah kau sadar sudah mengarah ke jalan yang sesat dan sukar melepaskan diri?"
"Mohon ... mohon Suhu memberi petunjuk," sahut Lenghou Tiong sambil menyembah.
Sementara itu Gak-hujin sudah tenang kembali dari kejadian tadi. Dilihatnya sang suami telah menampar Lenghou Tiong sehingga pipi pemuda itu merah bengkak, timbul seketika rasa kasih sayangnya. Cepat ia berkata, "Sudahlah, lekas kau bangun saja. Kunci persoalan ini memang kau belum tahu."
Lalu ia berpaling pada sang suami, "Suko, bakat anak Tiong teramat cerdas, selama setengah tahun ini kita tidak mendampingi dia dan membiarkan dia berlatih sendiri dan nyatanya sudah lantas sesat ke jalan yang tidak benar."
Put-kun termangu-mangu, katanya kepada Lenghou Tiong, "Bangunlah!"
Lenghou Tiong lantas merangkak bangun. Ia merasa heran dan bingung sebab apa guru dan ibu-gurunya mengatakan latihannya tersesat ke jalan yang jahat.
"Coba kalian kemari!" tiba-tiba Put-kun memanggil Lo Tek-nau bertiga.
Berbareng Tek-nau, Tay-yu dan Leng-sian mengiakan dan mendekati orang tua itu.
Perlahan-lahan Put-kun duduk di atas batu, lalu mulai berkata, "Empat puluh tahun yang lalu, ilmu silat Hoa-san-pay pernah terbagi menjadi dua golongan, yaitu antara yang baik dan yang jahat, antara yang benar dan yang salah ...."
Lenghou Tiong dan lain-lain sama heran, pikir mereka, "Ilmu silat Hoa-san-pay tetap ilmu silat Hoa-san-pay, mengapa bisa terbagi menjadi dua golongan antara yang baik dan yang jahat" Mengapa selama ini belum pernah terdengar Suhu menceritakan soal ini?"
Leng-sian yang usilan segera bertanya, "Ayah, yang kita latih adalah ilmu silat yang baik dan asli, bukan?"
"Sudah tentu," sahut Put-kun. "Tapi golongan yang sesat itu justru mengaku pihak mereka adalah golongan yang baik dan tulen, pihak kita yang dituduh golongan yang sesat. Namun lama-kelamaan antara yang baik dan jahat dengan sendirinya tersisihkan, golongan yang sesat itu akhirnya buyar lenyap dengan sendirinya. Selama 40 tahun ini golongan mereka sudah tidak terdapat lagi di dunia ini."
"Pantas selama ini aku belum pernah mendengar tentang hal ini," kata Leng-sian. "Ayah, jika golongan yang sesat itu sekarang sudah lenyap, maka kita pun tak perlu mengurusnya lagi."
"Kau tahu apa?" omel Put-kun. "Apa yang dikatakan golongan sesat itu juga bukan golongan jahat betul-betul, mereka tetap orang kita sendiri. Hanya saja titik pokok berlatih masing-masing pihak berbeda. Coba katakan, bagian mana yang pertama aku mengajarkan kepada kalian?"
Sembari bertanya sorot matanya menatap ke arah Lenghou Tiong.
Maka pemuda itu cepat menjawab, "Yang diajarkan lebih dulu adalah pengantar cara mengatur napas, dimulai dengan berlatih Lwekang lebih dulu."
"Benar," kata Put-kun. "Titik pokok ilmu silat Hoa-san-pay terletak pada hal latihan Lwekang, bila Lwekang sudah jadi, maka lancarlah dalam cabang-cabang ilmu silat lainnya dan ini adalah cara tulen dari perguruan kita. Tapi di antara tokoh-tokoh angkatan tua perguruan kita dahulu ada suatu golongan yang menganggap letak inti ilmu silat kita berada pada ilmu pedang, jika ilmu pedang sudah sempurna, biarpun Lwekang kurang mendalam juga cukup untuk mengalahkan musuh. Dan di sinilah perbedaan paham antara golongan yang benar dan yang sesat."
"Ayah, meskipun Lwekang sangat penting, tapi ilmu pedang juga tidak boleh diabaikan bukan?" demikian tiba-tiba Leng-sian menimbrung. "Jika hanya Lwekang saja juga takkan memperlihatkan betapa hebat ilmu silat Hoa-san pay kita bila tidak disertai dengan ilmu pedang yang lihai. Ya, sudah tentu kalau mungkin dua-duanya harus sempurna semuanya."
"Hm, ucapanmu ini kalau kau katakan pada 40 tahun yang lalu, mungkin kepalamu bisa segera berpisah dengan tubuhmu," jengek Gak Put-kun.
"Hah, hanya omong saja bisa mengakibatkan kepala berpisah dengan tubuh?" seru Leng-sian sambil melelet lidahnya. "Sungguh terlalu!"
"Waktu aku masih muda, pertengkaran antara kedua golongan masih belum menentu," kata Put-kun. "Jika berani mengucapkan kata-katamu tadi, bukan saja golongan yang mengutamakan Lwekang yang membunuh kau, bahkan golongan yang mengutamakan ilmu pedang juga akan membunuh kau. Sebab di antaranya kedua aliran itu tidak dapat disejajarkan, kau anggap pedang juga penting, itu berarti meninggikan derajat golongan pro pedang, ini dipandang sebagai durhaka yang tak terampunkan."
"Sebenarnya buat apa dipertengkarkan, asalkan kedua pihak bertanding, bukankah segala sesuatu menjadi jelas," ujar Leng-sian.
Put-kun menghela napas, lalu bercerita, "Pada waktu itu golongan pro Lwekang kita berjumlah lebih sedikit, sebaliknya para paman guru dari golongan pro pedang berjumlah banyak. Ditambah lagi pelajaran ilmu pedang memang lebih cepat, bila sama-sama berlatih sepuluh tahun, tentu pihak pro pedang yang lebih unggul, kalau berlatih 20 tahun, masih tetap sama kuatnya, baru sesudah lebih dari 20 tahun barulah latihan Lwekang akan bertambah kuat, bila sudah 30 tahun, maka kemenangan pastilah di pihak kaum Lwekang. Akan tetapi selama 20 tahun lebih itu sudah tentu kedua pihak akan terus bertengkar tak habis-habisnya."


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi akhirnya kaum pedang toh mengaku salah dan kalah bukan?" tanya Leng-sian.
Put-kun menggeleng kepala tanpa bicara. Selang sejenak barulah membuka suara, "Mereka tetap kepala batu dan ngotot tak mau mengaku kalah. Walaupun mereka telah kalah habis-habisan ketika diadakan pertandingan menentukan di Giok-li-hong sini, tapi mereka lebih suka membunuh diri seluruhnya."
Lenghou Tiong dan Gak Leng-sian sama berseru kaget mendengar keterangan itu. Kata Leng-sian, "Hanya pertandingan di antara sesama saudara seperguruan, apa artinya kalah atau menang, mengapa mesti menempuh jalan nekat begitu?"
"Soalnya tidak begitu sederhana," ujar Put-kun. "Dahulu waktu perebutan Bengcu (ketua serikat) dari Ngo-gak-kiam-pay, kalau bicara tentang jumlah jago dan tingginya kepandaian, mesti Hoa-san-pay kita yang menduduki tempat utama. Tapi karena bagian dalam golongan kita bertengkar sendiri, pertarungan di Giok-li-hong telah jatuh korban belasan tokoh-tokoh angkatan tua, maka kedudukan Bengcu akhirnya kena direbut oleh Ko-san-pay. Kalau dipikirkan pangkal pokok kesalahan kita adalah karena pertengkaran di antara golongan sendiri itu. Bila teringat kepada bunuh-membunuh secara kejam di antara sesama saudara seperguruan dahulu, sungguh kasihan dan mengerikan."
Melihat air muka gurunya berkerut-kerut, mungkin teringat kepada kejadian-kejadian mengerikan di masa lampau, tanpa merasa Lenghou Tiong ikut ngeri.
Perlahan-lahan Put-kun membuka bajunya sehingga kelihatan dadanya. Mendadak Leng-sian menjerit, "Aduh! Ayah, kau ... kau ...."
Kiranya di dada Gak Put-kun itu terdapat satu jalur panjang bekas luka yang dari atas ke bawah. Melihat bekas luka itu dapatlah dibayangkan betapa parah lukanya waktu itu, boleh jadi jiwanya hampir saja melayang.
Sejak kecil Lenghou Tiong dan Gak Leng-sian hidup bersama Gak Put-kun, tapi baru sekarang mereka tahu di atas badan orang tua itu terdapat bekas luka parah itu.
Sesudah menutup kembali bajunya, lalu Put-kun berkata, "Waktu pertarungan di atas Giok-li-hong dahulu, aku telah kena ditebas sekali oleh seorang Susiok sehingga jatuh pingsan. Dia mengira aku sudah mati, maka tidak menambahi serangannya. Coba kalau pedangnya menyambar lagi, hehe, tentu jiwaku sudah melayang!"
"Kalau ayah tidak ada, tentu aku pun entah berada di mana," sela Leng-sian dengan tertawa.
Put-kun tersenyum. Tapi dengan kereng ia lantas berkata pula, "Ceritaku ini adalah rahasia besar Hoa-san-pay kita, siapa pun dilarang membocorkan. Orang-orang golongan lain cuma mengetahui bahwa dalam sehari saja Hoa-san-pay kita telah kehilangan belasan tokoh terkemuka, tapi tiada seorang pun yang tahu apa sebabnya. Seluk-beluk kejadian ini terpaksa kuceritakan sekarang, sebab persoalannya sesungguhnya memang sangat penting. Jika anak Tiong meneruskan arah yang diambilnya sekarang, tidak sampai tiga tahun saja tentu dia akan lebih mengutamakan pedang daripada Lwekang, inilah terlalu berbahaya bagi kehancuran dirimu sendiri, bahkan jerih payah dengan pengorbanan para Cianpwe Hoa-san-pay kita juga akan hancur seluruhnya."
Lenghou Tiong sampai berkeringat dingin mendengarkan cerita itu, kembali ia mohon ampun akan kekurangmengertiannya itu.
"Tiong-ji, cara kau merebut pedangku dengan sarung pedang tadi dari mana kau mendapatkan ilhamnya?" tiba-tiba Gak-hujin bertanya.
"Seketika itu yang murid pikirkan adalah menangkis serangan ibu-guru yang mahalihai, sama sekali tak mengira bahwa ... bahwa ...."
"Ya, soalnya sekarang kau tentu sudah paham," ujar Gak-hujin. "Walaupun jurusmu tadi sangat bagus, tapi begitu kebentur dengan Lwekang Suhumu yang mahatinggi, betapa bagus jurus seranganmu juga tak berguna lagi. Dahulu ketika pertandingan di atas Giok-li-hong ini, entah betapa hebat ilmu pedang pihak yang mengutamakan permainan pedang itu, tapi berkat Ci-he-sin-kang yang telah diyakinkan oleh kakek-gurumu, belasan jago dari pihak pro pedang itu semuanya dikalahkan olehnya. Maka mulai sekarang hendak kalian camkan petuah gurumu tadi. Inti ilmu silat golongan kita terletak pada Lwekang, ilmu pedang hanya sebagai ikutan saja. Jika latihan Lwekang gagal, betapa pun tinggi ilmu pedangmu juga tiada gunanya."
Lenghou Tiong, Lo Tek-nau dan lain-lain sama membungkuk tubuh menerima petuah itu.
Lalu Gak Put-kun bicara lagi, "Tiong-ji, mestinya hari ini aku akan mengajarkan pengantar Ci-he-sin-kang padamu, habis itu akan membawa kau turun gunung untuk membunuh jahanam Dian Pek-kong. Tapi urusan ini sekarang harus ditunda dahulu, selama dua bulan hendaknya kau mengulangi pelajaran Lwekang yang pernah kuajarkan sebelumnya, buanglah segala ilmu pedang yang aneh-aneh dan menyesatkan itu, kemudian aku akan menguji kau lagi, ingin kulihat ada kemajuan atau tidak."
Sampai di sini mendadak nadanya berubah bengis, "Tapi jika kau tetap tak mau insaf dan masih terus mengarah ke jalan yang sesat, maka, hehe, janganlah kau menyesal bila mesti terima akibatnya."
"Ya, murid pasti tidak berani lagi," sahut Lenghou Tiong.
"Dan kau, anak Sian dan Tay-yu, watak kalian juga kurang sabar, apa yang kukatakan tadi kalian juga harus ingat baik-baik," demikian seru Gak Put-kun pula.
Liok Tay-yu mengiakan dengan hormat. Sebaliknya Leng-sian menjawab, "Meski aku dan Laksuko berwatak tidak sabaran, tapi kami tidak secerdas Toasuko, mana mampu menciptakan ilmu pedang apa segala?"
"Hm, tidak mampu" Bukankah kau dan Tiong-ji pernah ingin menciptakan Tiong-leng-kiam-hoat segala?" jengek Put-kun.
Muka Lenghou Tiong dan Leng-sian sama berubah merah. Cepat Lenghou Tiong minta ampun pula. Sedangkan Leng-sian berkata lagi, "Itu adalah kejadian yang sudah sangat lama, tatkala mana kami hanya main-main saja. Dari mana ayah mendapat tahu?"
"Sebagai Ciangbunjin, kalau gerak-gerik anak muridnya saja tidak tahu, lalu apa jadinya Hoa-san-pay kita?" dengus Put-kun.
Melihat nada dan sikap sang guru itu sungguh-sungguh dan kereng, kembali Lenghou Tiong terkesiap pula.
"Tentang ilmu silat golongan kita, asal sudah mencapai tingkatan sempurna, setiap gerakan ringan saja sudah cukup untuk merobohkan orang," kata Put-kun pula sambil berbangkit. "Orang luar mengira Hoa-san-pay kita terkenal dengan ilmu pedang saja, sebenarnya pandangan demikian terlalu menilai rendah kita."
Habis berkata mendadak lengan baju kirinya mengebas sekali, di mana tenaganya tiba, sekonyong-konyong pedang yang tergantung di pinggang Liok Tay-yu meloncat keluar dari sarungnya. Ketika lengan baju kanan Gak Put-kun mengebas pula ke batang pedang itu, terdengarlah "krak-krek" beberapa kali, kontan pedang itu patah menjadi beberapa bagian.
Keruan kejut Lenghou Tiong dan lain-lain tak terkatakan. Gak-hujin yang siang malam berdampingan dengan sang suami juga tidak tahu tingkatan Lwekang suaminya itu ternyata sudah sedemikian tingginya. Sungguh ia pun kagum luar biasa.
"Marilah berangkat!" kata Put-kun. Bersama istrinya segera mereka turun dari puncak itu diikuti oleh Lo Tek-nau dan lain-lain.
Sambil memandangi kedua batang pedang yang sudah patah-patah itu, kejut dan girang pula hati Lenghou Tiong. Pikirnya, "Kiranya ilmu silat Hoa-san-pay sendiri sedemikian lihainya, setiap jurus serangan yang dilontarkan Suhu rasanya tiada seorang pun yang mampu menangkisnya. Ukiran-ukiran di dinding gua belakang itu mengatakan seluruh ilmu silat dari Ngo-gak-kiam-pay telah kena dipatahkan dan dihancurkan orang, namun nama kebesaran Ngo-gak-kiam-pay buktinya tetap harum sampai sekarang dan menjagoi dunia persilatan. Kiranya masing-masing golongan memiliki dasar Khikang (Lwekang) yang hebat sehingga orang lain tidaklah gampang hendak mengalahkannya. Teori ini sebenarnya mudah dimengerti, tapi aku sendirilah yang telah keblinger. Sama-sama sejurus 'Yu-hong-lay-gi', tentu saja sangat berbeda dalam permainan Lim-sute dan Suhu. Serangan toya menurut ukiran dinding itu dapat mematahkan serangan jurus Yu-hong-lay-gi, tapi tidak mungkin dapat menangkis serangan Suhu dalam jurus yang sama."
Setelah memecahkan soal ini, rasa kesalnya selama beberapa bulan ini seketika tersapu bersih. Walaupun tadi gurunya tidak jadi mengajarkan Ci-he-sin-kang dan juga tidak menjodohkan Leng-sian kepadanya, namun sekarang Lenghou Tiong tidak merasa lesu lagi, sebaliknya kepercayaannya terhadap ilmu silat perguruan sendiri telah pulih kembali, semangat terbangkit seketika. Walaupun kedua pipi yang ditampar oleh gurunya tadi masih terasa sakit, tapi diam-diam ia merasa bersyukur sang guru keburu menyadarkan dia sehingga tidak sampai dia tersesat dan menjadi orang berdosa bagi perguruan sendiri. Segera ia membuang segala pikiran yang tidak-tidak dan duduk bersimpuh memusatkan pikiran.
Petang besoknya Liok Tay-yu mengantarkan daharan padanya, dia memberi tahu bahwa pagi tadi sang guru dan ibu-guru telah berangkat ke Siamsay Utara.
Lenghou Tiong rada heran. Ia tanya mengapa kedua orang tua itu ke sana"
"Dian Pek-kong telah pindah tempat dan berbuat kejahatan pula di Yen-an," tutur Tay-yu.
Maka tahulah Lenghou Tiong. Ia pikir bila guru dan ibu-gurunya sudah tampil ke muka, tentu Dian Pek-kong sukar lolos dari ajalnya. Tiba-tiba ia merasa sayang juga. Ia merasa Dian Pek-kong itu memang pantas binasa sesuai ganjaran atas kejahatannya, tapi ilmu silatnya sesungguhnya juga amat tinggi, sifatnya juga cukup jantan seperti apa yang telah dialaminya di Cui-sian-lau tempo hari. Cuma sayang apa yang diperbuatnya selalu hal-hal yang jahat sehingga menjadi musuh bersama kaum persilatan.
Dua hari selanjutnya Lenghou Tiong giat belajar Lwekang, dia telah menyumbat kembali lubang yang menembus ke gua belakang itu. Jangankan pergi melihat ukiran-ukiran dinding itu, bahkan berpikir saja tidak berani lagi.
Petang hari itu, sesudah bersantap, dia duduk bersemadi untuk beberapa lamanya. Ketika dia akan tidur, tiba-tiba terdengar ada suara orang naik ke atas puncak itu. Dari suara tindakannya yang cepat gesit, terang ilmu silat pendatang itu sangat tinggi. Keruan ia terkejut. Ia tahu pendatang itu bukan orangnya sendiri, untuk maksud apa kedatangannya" Cepat ia siapkan pedang di pinggangnya.
Dalam pada itu, pendatang itu sudah sampai di atas puncak dan sedang berseru, "Lenghou Tiong, sahabat lama yang datang ini!"
Lenghou Tiong terperanjat. Ternyata pendatang itu bukan lain adalah "Ban-li-tok-heng" Dian Pek-kong! Padahal guru dan ibu-gurunya sedang pergi mencarinya, tapi sekarang dia malah datang ke Hoa-san.
Segera Lenghou Tiong memapak keluar dan menjawab dengan tertawa, "Sungguh tidak nyana atas kunjungan Dian-heng ini!"
Dian Pek-kong membawa sebuah pikulan. Dari kedua keranjang bambu pikulannya telah dikeluarkannya dua guci arak. Katanya dengan tertawa, "Kabarnya Lenghou-heng sedang meringkuk dalam penjara di puncak Hoa-san sini, tentu mulutmu sudah ketagihan, maka dari Tiang-an aku sengaja mengambilkan dua guci arak simpanan 130 tahun lamanya untuk dinikmati bersama Lenghou-heng."
Lenghou Tiong coba mendekati, di bawah sinar bulan dapat dilihatnya di luar kedua guci itu memang ada kertas etiket "Ti-sian-lau", yaitu nama sebuah restoran terbesar di kota Tiang-an. Dari kertas etiket itu serta lak yang membungkus rapat mulut guci dapatlah diketahui memang barang simpanan lama sekali. Dasar kegemarannya memang minum arak, keruan ia bergirang, katanya dengan tertawa, "Kau telah sengaja memikul 100 kati arak ini ke puncak Hoa-san sini, kebaikanmu ini benar-benar harus dipuji. Mari, mari, boleh segera kita minum arak."
Ia berlari ke dalam gua dan mengambil dua buah mangkuk besar. Sementara itu Dian Pek-kong sudah membuka tutup guci sehingga terendus bau harum arak yang semerbak. Belum lagi arak itu masuk perutnya, baunya saja sudah memabukkan.
Segera Dian Pek-kong menuangkan semangkuk penuh, katanya, "Coba kau mencicipi dulu, bagaimana rasanya?"
Tanpa menolak lagi segera Lenghou Tiong menenggaknya sekaligus hingga habis, lalu serunya memuji, "Ehmmm, benar-benar arak bagus yang jarang ada bandingannya di dunia ini."
Dengan tertawa Dian Pek-kong berkata, "Menurut kaum ahli, katanya arak ternama hanya terdapat di Hunyang dan di Siauhin. Arak Hunyang tempatnya adalah di kota Tiang-an dan yang nomor satu adalah buatan 'Ti-sian-lau'. Maka di zaman ini arak dari restoran yang termasyhur itu hanya dua guci ini saja dan tidak lebih."
Lenghou Tiong menjadi heran. "Masakah gudang Ti-sian-lau itu hanya bersisa dua guci ini saja?" tanyanya.
"Simpanan di gudang Ti-sian-lau sih sangat banyak, ada ratusan guci sedikitnya," sahut Dian Pek-kong dengan tertawa. "Tapi kupikir arak bagus ini kalau dapat dicicipi oleh setiap orang asal berduit, dari mana dapat menunjukkan kehebatan dan kekhususan Lenghou-tayhiap dari Hoa-san pay" Maka dari itu segera kukerjakan, hanya sebentar saja guci-guci di gudang restoran itu sudah hancur berantakan dan terjadi banjir arak."
Lenghou Tiong terkejut dan geli, tanyanya cepat, "He, jadi Dian-heng telah menghancurkan seluruh isi gudangnya?"
"Ya, makanya di dunia sekarang ini hanya tinggal dua guci ini saja, dengan demikian barulah kelihatan oleh-oleh ini ada harganya bukan" Hahahaha!"
"Terima kasih, terima kasih!" kata Lenghou Tiong sambil menuang semangkuk dan menenggaknya habis. "Padahal Dian-heng telah sudi memikul kedua guci arak ini ke puncak Hoa-san sini, jerih payah ini saja sudah pantas untuk dihargai setinggi-tingginya. Jangankan yang dibawa ini adalah arak nomor satu di dunia, sekalipun cuma air tawar juga membuat Lenghou Tiong sangat berterima kasih."
"Bagus, laki-laki sejati, jantan tulen!" seru Dian Pek-kong sambil mengacungkan jari jempol.
"Mengapa Dian-heng memuji?" tanya Lenghou Tiong.
"Kau tahu orang she Dian ini adalah maling cabul yang dapat berbuat kejahatan apa pun juga, setiap orang Hoa-san-pay semuanya ingin membunuh diriku juga. Tapi sekarang kubawa arak untukmu dan Lenghou-heng telah minum tanpa curiga apakah arak ini berbisa atau tidak, maka aku bilang hanya laki-laki sejati yang berjiwa besar saja yang ada nilainya untuk minum arak nomor satu ini."
"Ah, Dian-heng terlalu memuji saja. Kita sudah dua kali bergebrak, aku sudah tahu perbuatan Dian-heng memang tidak senonoh, namun kuyakin perbuatan pengecut pastilah tidak sudi dilakukan oleh Dian-heng. Padahal ilmu silat Dian-heng jauh lebih tinggi daripadaku, bila benar-benar ingin mencabut nyawaku dapatlah dilakukan dengan mudah, buat apa mesti pakai racun apa segala!"
"Hahaha, benar juga ucapanmu," seru Dian Pek-kong sambil terbahak. "Tapi apakah kau mengetahui bahwa kedua guci arak ini tidak kubawa langsung dari Tiang-an, tapi lebih dulu aku telah mampir ke daerah Siamsay untuk melakukan beberapa perkara, habis itu baru naik ke Hoa-san sini?"
Lenghou Tiong terkesiap, ia tidak mengerti apa arti ucapan Dian Pek-kong itu. Tapi setelah direnung sejenak segera ia paham duduknya perkara. Katanya, "O, kiranya Dian-heng sengaja membikin beberapa perkara untuk memancing keberangkatan guru dan ibu-guruku, lalu kau dengan bebas dapat datang kemari. Dian-heng sengaja menggunakan tipu pancingan ini, entah apa maksud tujuanmu?"
"Boleh Lenghou-heng coba menerkanya," sahut Dian Pek-kong dengan tertawa.
"Baik," kata Lenghou Tiong. Lalu ia menuang semangkuk arak pula dan menyambung, "Dian-heng, kau adalah tamu, di gunung sunyi ini tidak ada sesuatu yang dapat kusuguhkan, biarlah kupinjam arakmu ini untuk menyuguhkan kau semangkuk."
"Terima kasih," sahut Dian Pek-kong. Lalu mereka bersama-sama menghabiskan semangkuk arak. Mereka sama tertawa, saling memperlihatkan mangkuk masing-masing yang sudah kosong.
Setelah menaruh kembali mangkuknya, mendadak sebelah kaki Lenghou Tiong melayang ke depan, kontan dua guci arak itu ditendang mencelat dan jatuh ke dalam jurang.
Dian Pek-kong terkejut. "Heh, sebab apakah Lenghou-heng menendang kedua guci arak itu?"
"Jalan kita berbeda, pikiran kita berlainan," sahut Lenghou Tiong. "Dian Pek-kong, kejahatanmu sudah kelewat takaran, setiap orang persilatan siapa yang tidak ingin membinasakan kau. Lenghou Tiong menghormati kau karena sifatmu yang tidak terlalu pengecut, makanya sudi minum tiga mangkuk arak bersama kau. Persahabatan kita sampai di sini juga sudah berakhir, jangankan cuma dua guci arak, biarpun segala benda mestika di dunia ini kau taruh di depanku juga tak dapat membeli persahabatanku kepadamu."
"Sret", mendadak ia lolos pedang dan berseru pula, "Dian Pek-kong, biarlah sekarang aku belajar kenal pula dengan ilmu golokmu yang hebat itu."
Namun Dian Pek-kong tidak melolos goloknya, dia tersenyum sambil menggeleng, katanya, "Lenghou-heng, ilmu pedang Hoa-san-pay kalian memang hebat, cuma usiamu masih muda, pelajaranmu belum sempurna. Jika kita mesti main senjata, betapa pun kau bukan tandinganku."
Teringat kepada kejadian dahulu, Lenghou Tiong sadar dirinya memang bukan tandingan maling cabul ini, kalau dahulu tidak menggunakan tipu akal mungkin jiwanya sudah melayang di tangannya. Segera ia mengangguk, katanya, "Ucapan Dian-heng memang betul. Dalam sepuluh tahun ini aku memang tidak mampu membinasakan Dian-heng."
Habis berkata, "krek", ia kembalikan pedang ke dalam sarungnya.
"Hahaha! Orang yang tahu gelagat adalah jantan sejati!" seru Dian Pek-kong.
"Lenghou Tiong adalah kaum keroco saja, dengan susah payah Dian-heng datang kemari, mungkin tujuanmu bukan hendak mengambil buah kepalaku ini. Tapi hendaklah maklum bahwa kita adalah lawan dan bukan kawan, apa pun kehendak Dian-heng sama sekali takkan kuterima."
"Belum lagi aku bicara sudah lebih dulu kau tolak," kata Dian Pek-kong dengan tertawa.
"Betul," sahut Lenghou Tiong. "Tak peduli apa kehendakmu pasti bertolak belakang seluruhnya. Aku memang bukan tandinganmu, terpaksa harus kabur saja. Selamat tinggal!"
Habis berkata segera ia berlari ke belakang tebing sana.
Namun Dian Pek-kong terkenal dengan Ginkang yang tinggi dan jarang ada bandingannya, oleh karena itulah selama ini dia dapat bergerak bebas meski sering digerebek oleh jago-jago persilatan dari berbagai aliran. Maka begitu Lenghou Tiong memutar tubuh, gerakan Dian Pek-kong ternyata lebih cepat pula, tahu-tahu dia sudah mengadang di depannya. Meskipun Lenghou Tiong beberapa kali putar haluan, tapi selalu dia kena dihalangi.
"Tidak dapat lari, terpaksa berkelahi," seru Lenghou Tiong sambil lolos pedang. "Marilah kita coba-coba lagi, Dian-heng, tapi aku pun akan berteriak minta bala bantuan."
"Jika gurumu datang kemari, terpaksa akulah yang akan kabur," ujar Pek-kong dengan tertawa. "Namun Gak-siansing dan Gak-hujin sekarang berada beberapa ratus li jauhnya, terang mereka tidak keburu datang menolong kau. Sedangkan para Sutemu itu walau berjumlah banyak toh takkan berguna meski kau panggil ke sini, yang lelaki jiwanya akan melayang percuma, yang wanita, hehe ... malahan kebetulan bagiku ...."
Mendengar ucapan terakhir itu, Lenghou Tiong terkesiap. Ia pikir apa yang dikatakan maling cabul itu memang betul, para Sutenya terang bukan tandingan Dian Pek-kong, sebaliknya Siausumoaynya yang cantik itu bila dilihat Dian Pek-kong tentu akan menjadi korban keganasannya pula.
Dasarnya Lenghou Tiong memang cerdik dan banyak tipu akalnya, segera ia mengambil keputusan, paling baik sekarang harus main pokrol saja untuk mengulur waktu, tak bisa menang dengan kekerasan, terpaksa harus mengalahkannya dengan akal. Asalkan diulur dan ditunda sampai guru dan ibu-gurunya sudah pulang nanti tentu keadaan akan dapat diselamatkan.
Maka katanya kemudian sambil angkat bahu, "Baiklah, memangnya berkelahi aku pun tak bisa memang, lari juga tak dapat, panggil bala bantuan juga gagal, ya, apa mau dikata lagi."
"Lenghou-heng," kata Dian Pek-kong dengan tertawa, "harap kau jangan salah sangka bahwa aku akan membikin susah padamu, padahal kedatanganku ini sangat berguna bagimu, aku percaya kelak kau tentu akan merasa terima kasih padaku."
"Dian-heng adalah maling cabul yang buruk nama, tak peduli urusan ini akan berfaedah bagiku atau tidak, pendek kata aku takkan sudi menjadi begundalmu," sahut Lenghou Tiong.
"Memang betul aku adalah maling cabul yang mahajahat, sebaliknya Lenghou-heng adalah kesatria muda terpuji dari Hoa-san-pay, sudah tentu kita tak bisa bergaul bersama. Tapi kalau tahu begini kenapa dahulu dilakoni?"
"Apa artinya dahulu dilakoni?" tanya Lenghou Tiong.
"Habis, ketika di Cui-sian-lau dahulu kita malah minum bersama semeja dengan akrab sekali."
"Hanya minum bersama saja apa artinya, dalam sejarah juga tidak kurang kaum pahlawan minum bersama musuh, misalnya Lau Pi dan Co Cho di zaman Sam-kok."
"Dan malahan di rumah pelacuran Kun-giok-ih kita juga pernah main perempuan bersama," demikian Pek-kong menambahkan.
"Cis," jengek Lenghou Tiong, "tatkala itu aku dalam keadaan terluka parah, mana bisa dikatakan main perempuan segala?"
"Akan tetapi di rumah pelacuran itulah Lenghou-heng telah tidur satu ranjang bersama kedua nona yang cantik jelita itu."
Hati Lenghou Tiong tergetar. Teriaknya, "Dian Pek-kong, hendaklah mulutmu dijaga bersih sedikit. Lenghou Tiong selamanya menjaga harga diri, kedua nona itu lebih-lebih suci bersih. Jika kau sembarangan omong secara kotor lagi, terpaksa aku tidak sungkan-sungkan pula."
"Apa gunanya kau tidak sungkan padaku sekarang" Jika kau ingin menjaga nama baik Hoa-san-pay, tatkala itu seharusnya kau berlaku sungkan dan menghormati kedua nona itu. Tapi mengapa secara terang-terangan di hadapan tokoh-tokoh Jing-sia-pay dan Heng-san-pay kau tidur satu ranjang dan main gila dengan kedua nona itu" Hahahaha!"
Keruan Lenghou Tiong sangat gusar, kontan ia menghantam ke depan. Namun dengan tertawa Dian Pek-kong telah mengelak. Katanya, "Apa yang terjadi itu tak mungkin disangkal olehmu, bukti menjadi saksi. Kalau tempo hari tidak main gila terhadap mereka, mengapa sekarang mereka rindu padamu?"
Diam-diam Lenghou Tiong pikir tiada gunanya bertengkar mulut dengan bajingan yang hina ini, kalau bicara terus bukan mustahil segala kata-kata kotor juga dapat diucapkan olehnya. Waktu di Cui-sian-lau tempo dulu dia telah tertipu, kejadian itu merupakan suatu penghinaan yang memalukan baginya, hanya dengan kejadian itulah baru dapat menyumbat mulutnya. Maka mendadak ia tertawa malah dan berkata, "Aha, kukira ada keperluan apa Dian-heng datang ke sini, tak tahunya adalah perintah gurumu si Nikoh cilik Gi-lim yang mengirimkan dua guci arak padaku untuk membalas budiku karena aku telah mencarikan seorang murid baik baginya. Hahaha!"
Sekilas muka Dian Pek-kong berubah merah. Sahutnya kemudian, "Kedua guci arak itu adalah oleh-olehku sendiri. Hanya saja kedatanganku ke Hoa-san sini memang benar ada hubungannya dengan Gi-lim Siausuhu."
"Kalau panggil Suhu ya Suhu saja, mengapa pakai Siau (cilik) segala" Seorang laki-laki sejati sekali sudah omong harus pegang janji. Memangnya kau hendak menyangkal" Gi-lim Sumoay adalah murid Hing-san-pay yang ternama, adalah beruntung sekali jika kau dapat mengangkat seorang guru seperti dia. Hahaha!"
Sekarang Dian Pek-kong yang murka, segera ia hendak mencabut golok, tapi dapatlah ia menahan perasaannya, katanya dengan dingin, "Lenghou-heng, kepandaian silatmu kurang sempurna, tapi kepandaian mulutmu benar-benar lihai."
"Ya, main hantam tidak dapat menandingi Dian-heng, terpaksa mencari jalan melalui mulut," sahut Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Adu mulut aku terima mengaku kalah saja. Sekarang silakan Lenghou-heng ikut berangkat padaku."
"Tidak, tidak mau! Biarpun aku dibunuh juga tidak mau!"
"Apakah kau tahu ke mana aku hendak membawa kau?" tanya Dian Pek-kong.
"Tidak tahu!" sahut Lenghou Tiong. "Pendek kata, apakah kau akan bawa aku naik ke langit atau masuk ke bumi, tetap aku tidak sudi ikut pergi."
"Sesungguhnya aku hendak mengundang Lenghou-heng pergi menjumpai Gi-lim Siausuhu," kata Dian Pek-kong akhirnya.
Lenghou Tiong terkejut. "Hee, kiranya Gi-lim Sumoay kembali jatuh ke dalam cengkeramanmu lagi?" serunya. "Sungguh kurang ajar sekali kau, berani berlaku tidak senonoh kepada gurunya sendiri?"
Dian Pek-kong menjadi gusar. Jawabnya, "Guruku ada orangnya tersendiri, bila kuterangkan tentu kau akan kaget setengah mati. Untuk selanjutnya hendaklah kau jangan mencampuradukkan hal ini dengan Gi-lim Siausuhu."
Sesudah sikapnya agak ramah, lalu katanya pula, "Sesungguhnya siang dan malam Gi-lim Siausuhu senantiasa terkenang padamu. Aku telah anggap kau sebagai sahabat, sejak itu aku tidak berani bersikap kurang hormat sedikit pun padanya. Untuk ini bolehlah kau percaya padaku. Nah, marilah kita berangkat saja."
"Tidak, tidak mau! Sekali tidak mau, tetap tidak mau!" sahut Lenghou Tiong.
Dian Pek-kong tertawa dan tidak bersuara pula.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya Lenghou Tiong. "Ilmu silatmu lebih unggul, lalu kau hendak pakai kekerasan untuk menawan aku bukan?"
"Sama sekali aku tiada punya rasa permusuhan kepadamu, sesungguhnya aku tidak ingin membikin susah padamu. Tapi jauh-jauh aku sudah datang kemari, mana boleh pulang dengan tangan hampa?"
"Dian Pek-kong, dengan ilmu golokmu yang hebat itu memang tidak sukar untuk membunuh diriku. Tetapi Lenghou Tiong lebih suka mati daripada dihina, paling-paling jiwaku ini saja yang akan melayang, jika kau ingin menawan aku hidup-hidup, huh, jangan harap."
Untuk sejenak Dian Pek-kong menatap tajam ke arah Lenghou Tiong. Dari kejadian-kejadian dahulu memang diketahuinya murid Hoa-san-pay ini sangat gagah perwira, wataknya suka nekat dan tak gentar terhadap apa pun juga. Jika dia benar-benar sudah nekat, untuk membunuhnya memang gampang, tapi hendak menawannya benar-benar sukar.
Akhirnya Dian Pek-kong berkata, "Lenghou-heng, aku hanya diminta orang untuk mengundang kau supaya menemui Gi-lim Siausuthay, maksud lain tidak ada. Buat apa kau mesti nekat dan mengadu jiwa?"
"Kalau sesuatu aku sudah tidak mau, jangankan kau, sekalipun guruku, ibu-guru, Ngo-gak-bengcu atau si kakek raja juga tak bisa memaksa aku. Pendek kata sekali aku tidak mau pergi, tetap aku tidak mau pergi."
"Jika begini kukuh tekadmu, terpaksa aku berlaku kasar padamu," kata Dian Pek-kong sambil melolos golok.
"Kau bermaksud menawan aku, itu sudah perbuatan yang kasar padaku. Biarlah hari ini puncak ini sebagai tempat istirahatku yang abadi," seru Lenghou Tiong dengan gusar. "Sret", ia pun mengacungkan pedangnya sambil bersuit panjang.
Bab 32. Dian Pek-kong Diracun Orang dan Munculnya Jago Tua Hoa-san-pay Hong Jing-yang
Sebenarnya Dian Pek-kong tiada maksud hendak membunuh Lenghou Tiong. Pikirnya, "Pemuda itu lebih suka mati daripada menyerah, sulit juga untuk dilayani. Jika sampai bergebrak, aku tidak dapat membunuh dia, sebaliknya dia menyerang dengan nekat, hal ini tidaklah menguntungkan bagiku."
Tiba-tiba ia mendapat akal, katanya segera, "Lenghou Tiong, kita tidak punya permusuhan, buat apa mesti mengadu jiwa" Tidakkah lebih baik kita bertaruh saja?"
Lenghou Tiong menjadi girang, memang cara demikianlah yang diharap-harapkan. Jika taruhannya kalah, paling tidak masih dapat main pokrol untuk menyanggahnya. Walaupun demikian pikirannya, tapi mulutnya pura-pura enggan. Katanya, "Taruhan apa" Bila menang aku tetap tidak mau pergi, sekalipun kalah juga aku tidak mau pergi."
"Memangnya murid pertama Hoa-san-pay sedemikian takutnya terhadap ilmu golok kilat Dian Pek-kong ini sehingga 30 jurus saja tidak berani terima?" ejek Dian Pek-kong.
"Apa yang kutakuti" Paling banter terbunuh saja, kenapa mesti takut?" jengek Lenghou Tiong dengan gusar.
"Lenghou-heng," kata Dian Pek-kong, "bukanlah aku memandang enteng padamu, namun kukira 30 jurus ilmu golok kilatku ini sukar bagimu untuk menerimanya. Jika kau mampu menerima 30 jurus seranganku, seketika juga aku akan mohon diri dan tinggal pergi tanpa mengusik padamu lagi. Tapi kalau beruntung aku yang menang, maka kau harus berjanji akan ikut pergi menemui Gi-lim Siausuthay."
Sekejapan itu pikiran Lenghou Tiong bekerja cepat mengingat kembali ilmu golok Dian Pek-kong itu. Dari pengalaman pertempuran dua kali, ditambah pula petunjuk-petunjuk dari guru dan ibu-gurunya, masakah sekarang 30 jurus saja tidak mampu melawannya" Mendadak ia membentak, "Baik, akan kuterima 30 jurus seranganmu!"
Berbareng itu segera pedangnya menusuk lebih dulu. Seketika tubuh Dian Pek-kong bagian atas terbungkus oleh sinar pedangnya.
"Ilmu pedang bagus!" seru Dian Pek-kong sembari menangkis dengan goloknya dan mundur selangkah.
"Satu jurus!" teriak Lenghou Tiong, menyusul dia menyerang pula dengan jurus Jong-siong-eng-khik.
Kembali Dian Pek-kong berseru memuji. Sekali ini dia tidak menangkis lagi, tapi terus menggeser ke samping untuk menghindar.
Karena dia hanya menghindar dan tidak saling gebrak, maka sebenarnya tak boleh dihitung satu jurus. Namun Lenghou Tiong tak peduli, ia berteriak pula, "Jurus kedua!" Berbareng serangan lain dilontarkan pula.
Begitulah beruntun-runtun Lenghou Tiong menyerang lima kali, Dian Pek-kong hanya menghindar atau menangkis saja, sama sekali ia tidak balas menyerang, sedangkan hitungan Lenghou Tiong sudah sampai pada angka "kelima". Ketika serangan keenam dia lontarkan dari bawah menusuk ke atas, mendadak Dian Pek-kong menggertak keras-keras, goloknya terus membacok sehingga kedua senjata saling beradu. Kontan pedang Lenghou Tiong terbentur menurun ke bawah.
Tiba-tiba Dian Pek-kong membentak pula cepat, "Keenam! Ketujuh! Kedelapan! Kesembilan! Kesepuluh!"
Setiap kali ia menghitung satu kali, setiap kali pula goloknya membacok ke bawah, jadi beruntun-runtun ia membacok lima kali, jurus serangannya tetap sama tanpa berubah, selalu ia membacok dari atas ke bawah mengarah kepala.
Bacokan-bacokan itu yang satu lebih keras daripada yang lain, ketika dia membacok pula untuk keenam kalinya, Lenghou Tiong tidak tahan lagi, ia merasa sekujur badannya seperti tergencet oleh segenap tenaga lawan, sampai bernapas saja sukar, namun sekuatnya ia masih menangkis dengan pedangnya. "Trang", kembali kedua senjata beradu keras, lengan Lenghou Tiong pegal kesemutan, pedangnya terlepas dan jatuh ke tanah.
Ketika untuk ketujuh kalinya Dian Pek-kong membacok pula, tiada jalan lain bagi Lenghou Tiong kecuali tutup mata menanti ajal saja.
"Hahaha! Jurus keberapa ini?" tanya Dian Pek-kong sambil tertawa.
"Ilmu golokmu memang lebih tinggi daripadaku, tenagamu juga jauh lebih kuat, Lenghou Tiong mengaku bukan tandinganmu."
"Jika demikian, marilah berangkat!" kata Dian Pek-kong.
"Tidak, tidak mau!" sahut Lenghou Tiong sambil menggeleng.
"Lenghou-heng," kata Dian Pek-kong dengan aseran, "aku menghormati kau sebagai seorang jantan tulen yang bisa pegang janji. Dalam 30 jurus tadi kau sudah kalah, mengapa sekarang kau mengingkar janji?"
"Aku memang tidak percaya di dalam 30 jurus kau mampu menangkan aku, nyatanya sekarang aku sudah kalah. Tetapi aku kan tidak bilang sesudah kalah lantas akan ikut pergi padamu. Coba katakan, apakah aku berjanji demikian?"
Dian Pek-kong menjadi bungkam. Memang Lenghou Tiong tak pernah berjanji, yang menyatakan demikian itu adalah dia sendiri. "Hm, dasar kau memang licin," jengeknya kemudian. "Lalu bagaimana jika kau tidak berjanji?"
"Hal kekalahanku adalah karena tenagaku memang kalah kuat, maka aku masih penasaran. Sesudah mengaso lagi boleh kita coba-coba lagi."
"Baik, aku terima tantanganmu. Akan kubikin kau menyerah lahir-batin barulah kau tidak penasaran," kata Dian Pek-kong. Lalu ia duduk di atas batu sambil tertawa memandangi Lenghou Tiong.
Diam-diam Lenghou Tiong sedang berpikir, "Jahanam ini memaksa aku ikut dia pergi, entah apa maksud tujuannya" Jika cuma menemui Gi-lim Sumoay saja rasanya sukar dipercaya. Dia toh bukan murid Gi-lim sesungguhnya, apalagi seorang Nikoh prihatin dari Hing-san-pay sebagai Gi-lim Sumoay masakah mempunyai hubungan dengan maling cabul yang bernama busuk seperti dia ini" Cuma sekarang aku telah diawasi olehnya, cara bagaimana aku harus meloloskan diri?"
Teringat olehnya keenam kali bacokan Dian Pek-kong tadi sebenarnya tiada sesuatu yang luar biasa, hanya tenaganya yang mahadahsyat dan sukar ditangkis. Ia pikir bila mampu menangkis bacokannya tadi, maka untuk melawan 30 jurus tentulah tidaklah sukar. Sekonyong-konyong terkilas suatu pikiran, "Tempo hari secepat kilat Bok-taysiansing telah membinasakan Hui Pin, itu jago terkemuka dari Ko-san-pay, betapa hebat ilmu pedang Heng-san-pay yang dimainkan Bok-taysiansing itu benar-benar sukar diukur. Jika aku dapat menggunakan caranya itu untuk melawan Dian Pek-kong, tentu aku takkan kalah. Tentang ilmu pedang Heng-san-pay itu juga terukir di dinding gua belakang, bila aku dapat pelajari 30-40 jurus saja sudah cukup untuk melabrak maling cabul ini."
Namun segera terpikir pula, "Ah, betapa pun hebatnya ilmu pedang Heng-san-pay itu, hanya dalam waktu singkat saja mana mungkin bisa memahaminya. Aku sendirilah yang melamun tak keruan."
Melihat air muka Lenghou Tiong sebentar tampak berseri-seri dan lain saat murung lagi, Dian Pek-kong menjadi geli. Tanyanya dengan tertawa, "Lenghou-heng, apakah akal bulusmu untuk memecahkan ilmu golokku ini sudah kau peroleh?"
Mendengar tekanan nada Dian Pek-kong pada kata-kata "akal bulus" itu sengaja dibikin keras, keruan Lenghou Tiong menjadi naik pitam, teriaknya, "Untuk mematahkan ilmu golokmu saja mengapa mesti pakai akal bulus segala" Kau sengaja cerewet terus di sini untuk mengganggu pemusatan pikiranku sehingga aku tak dapat memeras otak dengan tenang, biarlah aku memikirkannya ke dalam gua saja, tapi janganlah kau coba-coba mengganggu lagi."
"Baiklah, boleh kau pergi peras otakmu, aku takkan mengganggu kau," kata Dian Pek-kong pula dengan tekanan nada pada kata-kata "peras otak".
Keruan Lenghou Tiong mendongkol, sambil mengomel kecil ia terus masuk ke dalam gua. Ia menyalakan obor dan menerobos ke dalam gua belakang. Tibalah dia di tempat ukiran-ukiran dinding itu. Ia pikir asal dapat mempelajari beberapa jurus yang aneh dan ruwet perubahannya, lalu digunakan untuk melabrak Dian Pek-kong, boleh jadi akan dapat membingungkan dan mengalahkan lawan itu.
Segera ia memerhatikan dan mengingat-ingat 20-an jurus ilmu pedang Heng-san-pay, ia pikir biarpun di dalam ukiran itu dengan mudah ilmu pedang Heng-san-pay telah dikalahkan, namun Dian Pek-kong pasti tidak tahu cara mengatasinya.
Sementara itu didengarnya Dian Pek-kong sedang menggembor di depan, "Lenghou Tiong, jika kau tidak lekas keluar, segera aku akan menyerbu ke dalam."
Cepat-cepat Lenghou Tiong berlari keluar dengan pedang terhunus. "Baiklah, akan kucoba lagi 30 jurus seranganmu!"
"Sekali ini kalau Lenghou-heng kalah lagi lantas bagaimana?" tanya Pek-kong dengan tertawa.
"Kalah satu kali atau dua kali apa bedanya, mengapa mesti pakai bagaimana segala?" sahut Lenghou Tiong sembari kerjakan pedangnya dengan cepat, sekaligus ia telah menyerang tujuh kali tanpa berhenti, semuanya jurus serangan yang aneh dan hebat yang baru dipahaminya dari ukiran dinding.
Sama sekali Dian Pek-kong tidak menduga bahwa Hoa-san-kiam-hoat mempunyai variasi yang begitu luasnya sehingga seketika itu dia rada kelabakan dan mundur beberapa tindak. Sampai serangan kesepuluh, diam-diam Pek-kong terkejut. Ia pikir jika terus main bertahan saja mungkin akan memberi kesempatan kepada Lenghou Tiong untuk menyerang sampai 30 jurus, terpaksa ia harus balas menyerang. Mendadak ia bersuit keras, goloknya lantas membacok. Karena tenaganya sangat dahsyat, sukarlah bagi Lenghou Tiong untuk memainkan pedangnya. Sampai jurus ke-19, ketika kedua senjata beradu, kembali pedang Lenghou Tiong tergetar mencelat.
Cepat Lenghou Tiong melompat mundur dan berseru, "Dian-heng hanya mengandalkan tenaga lebih kuat dan bukan dengan ilmu golokmu. Kekalahan kali ini pun kuterima. Biar kumasuk ke dalam untuk memikirkan 30 jurus lagi untuk mengulangi pertandingan kita."
"Hahaha, biarpun kau main siasat ulur waktu juga tiada gunanya, saat ini guru dan ibu-gurumu paling sedikit berada beberapa ratus li dari sini, dalam waktu beberapa hari mereka tidak mungkin dapat pulang, janganlah sia-siakan tenagamu," ejek Dian Pek-kong dengan tertawa.
"Kalau mengharapkan kedatangan guruku untuk membereskan kau, terhitung pahlawan apa?" sahut Lenghou Tiong. "Soalnya aku baru saja sakit, tenagaku belum pulih sehingga menguntungkan kau. Jika melulu bertanding jurus serangan masakah 30 jurus saja aku tidak mampu melawan kau?"
"Huh, tidak perlu kau pakai akal bulus. Aku tak peduli apakah menang dengan ilmu golok atau karena tenaga lebih kuat, kalah ya kalah, menang ya menang, apa gunanya kau putar lidah?"
"Baik, boleh coba kau tunggu lagi. Jika memang laki-laki sejati janganlah lari, tidak nanti Lenghou Tiong sudi mengejar kau."
Dian Pek-kong terbahak-bahak, ia mundur dua langkah dan duduk kembali di atas batu.
Sesudah masuk ke dalam gua, Lenghou Tiong pikir Dian Pek-kong itu sudah kenal ilmu pedang Thay-san-pay dan Hing-san-pay karena dia pernah bertempur dengan Te-coat Totiang dan Gi-lim Sumoay, ilmu pedang Heng-san-pay tadi juga sudah kucoba dan gagal, sekarang tinggal ilmu silat Ko-san-pay saja yang mungkin belum dikenal olehnya.
Segera ia mencari bagian ukiran dinding yang mengenai ilmu pedang Ko-san-pay dan mempelajari belasan jurus. Pikirnya dengan jurus-jurus serangan baru ini ditambah lagi jurus-jurus serangan Heng-san-pay lain yang belum sempat digunakan tadi, lalu mendadak mengeluarkan pula beberapa jurus serangan Hoa-san-pay sendiri, boleh jadi serangan gado-gado ini akan dapat membikin pusing kepala maling cabul itu. Maka sebelum Dian Pek-kong berkaok memanggilnya dia sudah berlari keluar untuk bertempur.
Karena diberondong dengan macam-macam gaya serangan, mula-mula Dian Pek-kong memang kerepotan dan berulang-ulang berteriak aneh. Tapi sesudah 20-an jurus, kembali ia balas menyerang tiga kali, akhirnya goloknya mengancam di depan leher Lenghou Tiong sehingga pemuda itu terpaksa lepas senjata dan mengaku kalah.
"Pertama kali aku hanya dapat bergebrak sepuluh jurus dan kedua kalinya sudah tahan 18 jurus, ketika aku mengasah otak lebih lama sedikit sekarang sudah mampu bertahan sampai 21 jurus, dan kalau aku menyelaminya lebih lama lagi akhirnya tentu dapat menahan 30 jurus gebrakan, bahkan mengalahkan kau. Apakah kau tidak takut Dian-heng?"
"Apa yang kutakuti?" sahut Dian Pek-kong. "Boleh silakan kau mengasah otak, memeras otak sesukamu!"
"Baik, harap kau tunggu lagi," kata Lenghou Tiong sambil masuk lagi ke dalam gua.
Walaupun lahirnya dia tenang-tenang saja dan mengobrol kepada Dian Pek-kong, tapi batinnya sebenarnya sangat gelisah. Pikirnya, "Dengan menghadapi bahaya dia berani datang ke Hoa-san, tentu dia mempunyai tipu muslihat tertentu. Mengapa dia sengaja main tanding dengan aku, padahal dengan mudah dia sudah dapat membekuk diriku, buat apa aku dilepaskan lagi setiap kali" Apa maksud tujuannya yang sebenarnya?"
Begitulah menurut panggilan perasaan Lenghou Tiong, ia merasa kedatangan Dian Pek-kong ke Hoa-san ini tentu mempunyai muslihat keji yang tersembunyi. Tapi muslihat apa sukar untuk diketahui. Pikirnya, "Jika tujuannya menghalangi aku agar orang lain dapat membereskan segenap Sute dan Sumoay yang tinggal di rumah, kenapa dia tidak membunuh saja diriku, bukankah cara demikian lebih gampang dan lebih cepat" Tapi apa sebabnya dia tidak berbuat demikian, bahkan menerima setiap tantanganku yang walaupun diketahuinya melulu ingin ulur tempo belaka" Tampaknya hari ini Hoa-san-pay sedang menghadapi suatu kesulitan besar. Suhu dan Sunio sekarang tidak berada di rumah, aku adalah murid tertua, kewajiban ini harus kupikul, tak peduli Dian Pek-kong mempunyai tipu muslihat keji apa saja harus kulawan dengan segenap tenaga dan pikiran. Asal ada kesempatan tiada jeleknya jika sekali serangan kubinasakan dia saja."
Setelah ambil keputusan bulat, segera ia pergi mempelajari gambar-gambar ukiran dinding lagi. Sekali ini yang dia pelajari adalah jurus-jurus serangan mematikan yang paling ganas. Ketika dia keluar gua pula, sementara itu fajar sudah menyingsing.
Biarpun di dalam hatinya sudah ambil keputusan akan membunuh orang, tapi lahirnya dia malah tertawa-tawa, tegurnya, "Dian-heng, jauh-jauh kau datang kemari, tapi aku belum memenuhi kewajibanku sebagai tuan rumah, sungguh aku merasa tidak enak. Sesudah pertandingan ini, tak peduli siapa yang menang atau kalah, tetap aku akan mengundang Dian-heng sekadar menikmati hasil bumi pegunungan ini."
"Terima kasih," sahut Dian Pek-kong dengan tertawa.
"Dan kelak bila kita bertemu lagi di lain tempat, jika kita bergebrak pula, tentu bukan lagi pertandingan halusan seperti sekarang ini, tapi pasti pertarungan mati-matian."
"Sesungguhnya teman seperti Lenghou-heng ini adalah sangat sayang bila terbunuh. Namun kalau aku tidak membunuh kau, melihat kemajuan ilmu silatmu yang begini pesat, kelak kalau kau sudah lebih unggul daripadaku, tentu kau tak dapat mengampuni seorang maling cabul sebagai diriku ini."
"Betul juga," sahut Lenghou Tiong dengan tertawa. "Cara tukar pikiran tentang ilmu silat seperti sekarang ini kelak tentu tidak mungkin terjadi lagi. Dian-heng, sekarang aku akan mulai lagi, harap kau memberi petunjuk seperlunya."
"Silakan," sahut Dian Pek-kong.
"Agaknya makin aku berpikir semakin bukan tandingan Dian-heng," seru Lenghou Tiong sambil tertawa. Belum lenyap suaranya, pedangnya sudah lantas menusuk.
Ketika ujung pedangnya masih jauh dari sasarannya, mendadak Lenghou Tiong tarik miring ke samping dan secepat kilat menusuk balik lagi. Waktu Dian Pek-kong angkat golok hendak menangkis, sebelum kedua senjata beradu, tahu-tahu Lenghou Tiong sedikit memutar pedangnya dan menebas dari atas ke bawah selangkangan. Serangan ini benar-benar di luar dugaan, keji dan lihai sekali.
Keruan Dian Pek-kong terperanjat, lekas-lekas ia meloncat ke atas. Tapi Lenghou Tiong telah mencecarnya lagi tiga kali serangan, semuanya mengarah tempat mematikan di tubuh Dian Pek-kong. Karena didahului, kedudukan Dian Pek-kong menjadi terdesak dan kerepotan cara menangkisnya. Tiba-tiba terdengar "bret" sekali, pedang Lenghou Tiong menusuk lewat di sebelah pahanya sehingga celananya tertusuk satu lubang, untung tidak sampai terluka.
Namun gerakan Dian Pek-kong juga amat cepat, kepalan kanan lantas menjotos sehingga Lenghou Tiong terhantam roboh terjungkal. Katanya dengan tertawa, "Serangan Lenghou-heng ini selalu mengincar jiwaku, apakah inilah caranya mengukur ilmu silat masing-masing?"
Lenghou Tiong melompat bangun, sahutnya dengan tertawa, "Bagaimanapun cara seranganku toh tak dapat mengganggu seujung rambutnya Dian-heng."
Riwayat Lie Bouw Pek 3 Bara Naga Karya Yin Yong Kisah Sepasang Bayangan Dewa 4

Cari Blog Ini