Ceritasilat Novel Online

Iblis Sungai Telaga 20

Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Bagian 20


atau ia mesti mendelong mengawasi ke arah Ya Bie sekalian.
Mendadak Wan Goat mendengar suara tawa serak, yang
membuat telinganya nyeri, yang membikin hatinya menggetar,
maka lekas-lekas ia menenangkan hatinya itu dan mengawasi
ke arah Ya Bie semua dimana ia melihat di depannya Hong
Gwa Sam Mo dan si nona tambah seorang tua yang mukanya
keriputan yang berdandan sebagai pelajar. Dan itulah si orang
tua lihai yang ia kenali !
Berhenti tertawa, orang tua keriputan itu lantas mengawasi
tajam Ya Bie semua, terus ia berkata, "Pemuda ini telah
menerima baik menjadi muridku, bagaimana kalau aku
membawanya pergi ?" Ya Bie memberikan jawabannya, sabar. "Orang ini jahat,
dia hendak mencelakai Tua Tio. Karena dia telah bertemu
denganku, dia seharusnya tak dapat hidup lebih lama pula !
Kalau lotiang hendak mengambil dia sebagai murid, lebih
dahulu lotiang harus meninggalkan nama atau gelaranmu !"
"Oh, nona kecil. Kau ingin mengetahui namaku ?"
menjawab orang tua itu. "Aku adalah yang orang juluki Ie Tok
Sinshe atau yang orang-orang Kang Ouw sebut Tok Mo !"
"Tok Mo" ialah Bajingan Racun.
Ya Bie tidak kenal dan tidak tahu Ie Tok Sinshe siapa, dia
kata polos, "Kau diseebut Tok Mo. Mereka bertiga dipanggil
Hong Gwa Sam Mo. Karena itu kau dari satu golongan dengan
guruku....." Si none menyebut satu golongan sebab mereka sama-sama
"Mo" alias Bajingan !
"Hm !" Tok Mo mengasih dengar suara dinginnya. Tanpa
menoleh lagi kepada Hong Gwa Sam Mo, dia tanya si nona,
"Siapakah itu gurumu ?"
Ya Bie tertawa. "Namanya guruku tersohor sekali !" sahutnya. "Banyak
orang yang takut mendengarnya ! Baik tak usah aku sebutkan
!" Matanya Ie Tok mendelik, lalu parasnya menjadi padam.
"Cobalah kau sebutkan buat aku dengar !" katanya dingin.
"Hendak aku si tua mencoba, aku takut atau tidak
mendengarnya !" Si nona memperlihatkan lagak jenaka.
"Baik, kau dengarlah !" katanya. "Guruku itu Kip Hiat Hong
Mo dari Cenglo Ciang !"
Tanpa merasa si orang tua melengak tapi hanya sekejap,
dia pulih seperti semula. Dia mengasih dengar tawanya, yang
menyakiti telinga. Hendak dia menggunakan suara tawanya itu
untuk menundukkan Ya Bie. Tetapi Ya Bie telah berhasil
menguasai ilmunya Hoan Kak Bie Ciu, ia tak kena
terpengaruhkan. Ia berdiri tenang seperti biasa, wajahnya
tersungging senyumannya yang manis.
Sebaliknya tawanya si orang tua mempengaruhi Hong Gwa
Sam Mo. Ketiga bajingan itu mendadak merasai hatinya ciut,
lalu bergoncang keras saking jerinya, didalam sekejap mereka
sudah lompat untuk berlari pergi !
Si orang tua heran melihat Ya Bie tak kurang suatu apa,
maka tahulah dia bahwa orang telah mahir tenaga dalamnya.
Jadi si nona tak dapat dipandang ringan. Karena itu, dengan
lantas dia merubah sikapnya.
"Bukankah gurumu itu, Kip Hiat Hong Mo telah pergi ke In
Bu San memenuhi undangan Bu Lim Cit Cun ?" demikian
tanyanya mengalihkan persoalan.
Ya Bie menggeleng kepala.
"Sudah beberapa puluh tahun, guruku tak keluar dari
Cenglo Ciang." katanya. "Mana dapat guruku turut dalam
pertemuan di In Bu San itu ?"
"Oh, begitu ?" kata si orang tua. Terus dia berpaling
kepada Hong Kun, untuk berkata, "Nah, anak muda, mari kita
pergi !" Hong Kun masih terpengaruhkan Hoan Kak Bie Ciu, dia
baru sadar tujuh bagian. Dia berdiri diam saja. Dia cuma
melengak mengawasi si Bajingan Racun.
Dengan tindakan lenggang lenggok, Tok Mo menghampiri
anak muda itu. "Anak muda." katanya. "Kalau kau ingin mempelajari ilmu
racun dari aku si orang tua, mari kau turut aku pergi ke In Bu
San ! Nona itu tak dapat dibuat permainan, dari itu buat apa
kau berdiri saja disini " Mari !"
Dia lantas mengulur tangannya buat memegang lengan
orang, guna ditarik atau mendadak saja diantara mereka
terdengar satu suara bersiul yang nyaring luar biasa, yang
seperti menikam telinga, sampai sekalipun Tok Mo yang lihai,
dia kaget juga hingga jantungnya memukul berulang-ulang.
Dengan lantas dia mendapat kenyataan itulah suaranya si
nona ! Habis bersiul secara aneh itu, Ya Bie tertawa gembira terus
dia menggodia Tok Mo dengan ia membuat main tangannya di
depan mukanya. Tok Mo tahu orang menjailinya tetapi dia menahan sabar,
dia tak sudi melayani. Dia hanya menarik tangannya Hong Kun
buat diajak pergi. Baru tiga tombak lebih jauhnya dia berjalan, Tok Mo lanas
mendengar pula tawanya si nona, tawa gelak yang dibawa
sang angin. Dari tertawa perlahan, si nona terus tertawa keras
dan nyaring. Tok Mo heran mendengar perubahan tawanya itu hingga
tanpa merasa dia menoleh untuk melihat si nona. Segera dari
heran dia jadi melengak. Dia melihat nona itu tertawa
terpingkel-pingkel, sampai ia memegangi perutnya.....
Si Bajingan Racun pula heran tak kepalang. Disampingnya
Ya Bie, dia melihat seorang pemuda tampan. Itulah Gak Hong
Kun ! Maka juga, wajar saja kalau dia lantas berpaling ke
sampingnya, akan melihat si anak muda yang dia tuntun itu.
Segera dia berdiri menjublak ! Dia bukan melihat Hong Kun,
hanya seekor orang utan besar !
"Ah.. !" serunya tertahan. Ia lantas mengerahkan tenaga
dalamnya, buat memusatkan perhatiannya. Karena ia dapat
menerka, apa yang ia saksikan itu tentulah ilmu gaib dari Ya
Bie. Tak lama si orang tua melengak, lantas dia menjadi
mendongkol sekali. Dia bergusar sebab dia merasa orang
tengah mempermainkannya ! Maka lantas saja dia
melemparkan si orang utan hingga binatang itu terpental
setombak lebih ! Orang utan itu telah terdidik sempurna oleh Kip Hiat Hong
Mo. Dia telah memiliki tubuh yang kuat dan lincah seperti
yang biasa dipunyai ahli silat kelas satu, hingga dia dinamakan
So Han Cian Li, si cantik penyedot arwah. Dia tak hiraukan
sambaran atau lemparan semacam itu. Selekasnya tubuhnya
terpental, dia jumpalitan terus dia menjatuhkan diri di tanah
dengan kedua kakinya mendahului. Dia menghadapi Tok Mo,
beberapa kali dia memperdengarkan suaranya, lantas dia
bertindak ke samping nonanya.
Tok Mo menjadi bertambah dongkol sebab satu orang saja
tidak dapat dia robohkan. Lantas hawa amarahnya itu
ditumpahkan terhadap si nona manis, sambil tertawa dengan
mata melotot dia bertindak menghampiri nona itu. Di sampok
sang angin, janggutnya model janggut kambing bergerak
memain. "Budak bau !" bentaknya setelah datang dekat. "Sungguh
nyalimu besar ! Cara bagaimana kau berani mempermainkan
aku si orang tua " Nyata kau tahu hidup atau mampus !"
Suaranya itu keras dan serak, didengarnya tak sedap.
"Eh, Tok Mo !" katanya. "Kau sudah begini tua, toh kau
masih beradat keras begini " Bagaimana dapat kau sembarang
mencaci orang " Kenapa kau tidak mau mencaci dirimu sendiri
yang tak punya guna " Nonamu menggunakan ilmu Hoan Kak
Bie Ciu yang diberi nama memindahkan bunga menyambut
pohon, tetapi kau tidak mampu melihatnya ! Ha ha ha !'
Tok Mo bertindak terus. Dia maju pula dua langkah.
"Budak bau !" teriaknya. "Hari ini aku si tua akan
memampuskan dulu padamu ! Habis ini baru aku akan pergi
ke Cenglo Ciang mencari Kip Hiat Hong Mo guna membuat
perhitungan dengannya!"
Kata-kata itu ditutup dengan satu luncuran tangan
menghajar si nona ! Itulah satu jurus lihai dari ilmu silat
ciptaannya sendiri yang dinamakan Sam Hiauw Liok Piauw
Ciang atau pukulan tangan kosong "Tiga Gerakan Enam
Perubahan." Anginnya saja sudah bergemuruh dan bertiup
hebat, lantas tangannya bergerak-gerak seperti juga tangan
itu terdiri dari ratusan, hingga Ya Bie nampaknya bagaikan
ketutupan semua tangannya itu. Anginnya juga mendatangkan
hawa yang dingin. Nampaknya Ya Bie tak dapat lolos dari serangan dahsyat
itu. Ia kaget sebab di dalam hal pertempuran ia tak punya
pengalaman. Ia menyesal yang barusan sudah berlaku nakal
dengan mempermainkan si orang tua. Di saat berbahaya itu
tapinya ia ingat akan membela diri, pertama dengan menutup
semua jalan darahnya, kemudian guna melompat menyingkir.
Ia memangnya cerdas, selagi terancam bahaya itu tiba-tiba
ingat akan kepandaiannya yang didapat dari Kitab Ie Kien
Kang, itulah ilmu Sin Kut Kang, meringkaskan tulang belulang.
Tak ayal lagi, ia menggunakan kepandaiannya itu.
Hanya di dalam sekejap si nona telah berubah bentuk
tubuhnya. Dari seorang nona berusia tujuh belas tahun, dia
menjadi kecil seperti bocah umur umur tiga atau empat tahun.
Menyusul mana, dia menjatuhkan diri bergulingan di tanah
dengan jurus "CaCing Bergulingan di Pasir." Dia pula
bukannya menggulingkan tubuh buat menyingkir pergi, dia
justru bergulingan ke kakinya Tok Mo sehingga selekasnya dia
datang dekat, dia dapat membalas menyerang !
Tok Mo heran mendapatkan serangannya gagal. Sudah
begitu dia menjadi kaget merasai angin menyambar di
kakinya. Ia tahu itulah suatu serangan terhadapnya. Untuk
membela diri, hendak ia menendang musuh atau ternyata dia
kurang gesit, mendadak ia merasai totokan pada jalan darah
yong goan di kakinya. Kontan kakinya itu kaku dan tenaganya
lenyap, tanpa berdaya ia terhuyung mundur beberapa tindak,
sebab gagal mempertahankan diri tubuhnya roboh seketika,
rebah ditanah ! Selekasnya dia berhasil menyerang Ya Bie berlompat
bangun, tanpa memperdulikan lagi kepada musuh, dia
menarik So Han Cian Li untuk berlari pergi. Dia lari turun
gunung. Tok Mo tidak jadi bercelaka karena totokan itu. Habis
rebah dia bangun untuk berduduk, terus dia lekas-lekas
menguruti kakinya, hingga di lain saat kakinya itu sudah pulih
seperti biasa. Waktu dia lompat bangun, dia tidak melihat si
nona dan orang utannya. Tapi yang membuatnya mendongkol
ialah juga Gak Hong Kun, si anak muda yang ia mau jadikan
muridnya juga terus lenyap dari hadapannya !
"Kurang ajar !" dampratnya. Mukanya merah padam.
Kemudian ia memikirkan juga kenapa si anak muda dapat
lenyap. Mulai dari jatuh sampai ia berduduk dan mengobati
diri waktu yang dilewatkan hanya sejenak, dari itu kemana lari
atau sembunyinya anak muda itu "
Di sekitarnya, di jalanan kecil, sepi saja. Di situ tak ada
seorang manusia lainnya. Ada juga rumput dan angin yang
bertiup bersiur-siur. Tengah jago ini berdiri diam dengan pikiran kacau itu tibatiba
ia mendengar suara yang ia kenali sebagai "Gie Gi Toan
Im" yaitu bahasa Semut yang disalurkan secara luar biasa,
suaranya cuma mendengung perlahan di telinga !
Beginilah suara itu, "Ie Tok Sinshe ! Aku si wanita tua
hendak membalas sakit hati dari tamparan sebuah tangan,
maka juga aku telah bawa pergi anak angkatnya Pat Pie Sin
Kit si pengemis pemabokan tua bangkotan itu ! Nanti di dalam
pertemuan Bu Lim Cit Cun di Gunung In Bu San, kita akan
berjumpa lagi !" Terkejut Tok Mo mendengar suara yang luar biasa itu.
Inilah karena ia ketahui cuma satu orang yang pandai ilmu
Bahasa Semut ialah Im Ciu It Mo, Si Bajingan Tunggal
Bertangan Lihai yang menjadi kok cu pemilik lemah dari Pat
Ban Nia, gunung di Inlam Barat. Ia heran kenapa bajingan itu
mendadak muncul di tempat ini, bahkan dia datang merampas
si anak muda. Karena ia tahu orang adalah seorang wanita
lihai yang tak dapat dibuat permainan, ia berkeok, "Eh,
perempuan tua ! Kenapa kau tidak memperlihatkan dirimu
untuk kita buat pertemuan ?"
Pertanyaan itu tak ada jawaban, maka juga lewat sesaat
tahulah Tok Mo bahwa orang telah pergi jauh, ia menyesal
dan sangat mendongkol, dadanya terasa sesak, sebab tidak
ada jalan buat melampiaskannya. Maka ia menghampri batu
karang besar dibalik mana Siauw Wan Goat lagi
menyembunyikan diri. Sebelum tiba ia sudah meluncurkan
tangannya menghajar dari jarak yang cukup jauh. Ia
menggunakan pukulan Sam Hiauw Liok Piauw Ciang yang
lihai. Hebat pukulan itu, batu itu pecah berhamburan ! Hanya
setelah itu, adalah hal yang membuat si Bajingan Racun
menjadi heran. Di balik batu terdengar tawa yang nyaring,
disitu tampak Siauw Wan Goat bersama seorang tua yang
segalanya sama dengan dia sendiri. Pakaian, wajah dan tinggi
besar tubuhnya. Matanya melengak. Tok Mo menjadi gusar.
"Siapakah kau ?" tegurnya bengis. "Kenapa kau menyaru
menjadi aku ?" Orang tua itu tertawa pula, kali ini sambil melengak. Suara
tawa itu berkumandang ketengah udara. Setelah tawa sirap,
dia lantas mengasi lihat tampang tawar dan berkata
seenaknya saja, "Aku yang rendah ialah Ie Tok Sinshe !
Entahlah, kau yang menyamar menjadi aku atau aku yang
menjadi kau !' Tok Mo gusar bukan main. Dia memang sedang
mendongkol. Dengan suaranya yang serak dia kata
sengit."Kau telah menyaru mejadi aku si tua, kau juga
memalsukan namanya Ie Tok Sinshe. Karena kaulah manusia
yang tak tahu malu, tak dapat kau dibiarkan hidup di dalam
dunia ini !" Dan dengan kemarahannya itu si Bajingan Racun maju dan
menyerang. Orang yang diserang itu tidak berkelit atau berlompat
mundur, dengan berani dia menyambuti serangan, maka


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diantara bentrokan tangan mereka, sama-sama mereka
bertolak mundur satu tindak !
Tok Mo terkejut di dalam hati mendapati orang memiliki
tenaga yang sama kuatnya dengan tenaganya sendiri. Ia juga
menjadi dongkol dan penasaran, maka segera tangannya
merogoh sakunya untuk mengeluarkan senjatanya yang
istimewa ialah "Giok Lauw Kip Ciauw" kertas yang empat
hurufnya dapat menyala itu. Selekasnya ia mengibaskan
tangannya dan senjata rahasianya itu berkilau tampaklah asap
bagaikan halimun yang warnanya merah tua !
Melihat asap luar biasa itu, orang yang mengaku Ie Tok
Sinshe itu tertawa lebar. Dia juga merogoh ke sakunya dan
mengeluarkan benda yang serupa, yang juga dapat
memperlihatkan api berkilau !
Dari mendongkol dan penasaran dan bergusar sangat, Tok
Mo menjadi heran, dia beragu-ragu. "Di kolong langit ini
dimana ada orang yang dapat menyamar menjadi dianya
begini sempurna, sama tampang dan senjatanya juga ?"
"Benarkah dia Ie Tok Sinshe sejati ?" ia menduga-duga,
saking kerasnya berpikir ia menjadi bingung, "Kalau bukan,
siapakah dia sebenarnya.....?"
Tok Mo mengeluarkan peluh dingin di dahinya.......
Selekasnya asap lenyap diserbu angin, Tok Mo tidak lagi
melihat orang yang menyamarnya itu. Dia heran hinga dia
berdiri menjublak, tetapi karena sadar itu dia ingat akan
dirinya. Mendadak dia pun lari ke dalam rimba dimana dia
menghilang. Sekarang marilah kita melihat kepada Cukat Tan dan Teng
Hiang yang ditinggalkan Siauw Wan Goat di dalam rumah
penginapan. Mereka bangun dari tidurnya sesudah matahari
naik tinggi. Cukat Tan bangun dari pembaringan dengan mata
kesap kesip, selekasnya ia mengenakan bajunya, ia melihat di
atas meja tertindih ciaktay, yakni tempat menancapkan lilin
sehelai kertas yang bergerak-gerak tertiup angin yang
menghembus masuk dari jendela.
Melihat surat itu, Cukat Tan bagaikan orang yang baru
siuman dari pingsa ! Maka ingatlah ia yang tadi malam ia telah
menempur Gak Hong Kun, bagaimana Siauw Wan Goa ada
bersamanya di dalam kamarnya itu. Coba malam itu tidak ada
Wan Goat yang membantu, ia yang lagi mengobati Teng
Hiang pasti bakal roboh di tangan jahat dari musuh. Setelah
itu, karena terbenam dalam laut asmara dengan Teng Hiang,
ia atau mereka berdua sampai melupakan Nona Siauw.
Sekarang nona itu entah pergi kemana. Saking likat
sendirinya, ia merasai pipinya panas. Pipinya yang jadi
bersemu merah itu ! "Ah !" ia memperdengarkan suaranya. Karena ia
menyangka surat itu ditinggalkan oleh Wan Goat, ia menoleh
ke pembaringan dan kata nyaring, "Celaka ! Tadi malam kita
melupai Nona Siauw Wan Goat yang berada di dalam kamar
ini ! Dia telah melihat segala apa ! Sungguh malu ! Sekarang
dia telah pergi...."
Agaknya Teng Hiang terkejut, tetapi ia segera tertawa.
"Apakah adik Siauw pergi dengan meninggalkan surat ?"
tanyanya. "Tertindih dengan tempat lilin, ada sehelai surat." sahut
Cukat Tan. "Mungkin itu surat peninggalannya. Kau bangunlah
!" Sembari berkata begitu, si anak muda menghampiri meja,
akan mengambil kertas itu dan membaca surat yang tertulis di
atasnya. "Ah !" serunya tertahan.
"Apakah budak itu mentertawakan kita ?" tanya Teng
Hiang, yang mendengar tawa orang. Ia pun turun dari
pembaringannya. Cukat Tan berdiri menjublak mengawasi kertas itu.
"Apakah sebenarnya "' tanya si nona yang menghampiri
untuk berdiri di samping si kekasih hingga ia pun dapat
melihat kertas itu, yang ada suratnya, singkat saja.
"Lekas pergi ke Lu Sian Giam, untuk berrunding."
Pou To Lo sie.... Cukat Tan mengawasi si nona, nampak dia malu sekali.
Kemudian dia menghela nafas dan kata seorang diri, "Cukat
Tan, kau sudah melakukan satu kesalahan besar.... Belum kau
membalaskan sakit hati gurumu, kau sudah kelelap dalam
cinta dan menemani kepelesiran. Apakah masih ada mukamu
untuk menemui arwah gurumu nanti ?"
Habis berkata begitu, dengan tindakan perlahan pemuda ini
menghampiri pembaringan untuk mengambil pedangnya.
Mendadak saja dia menghunus senjatanya itu, terus dia
menebas batang lehernya !
Bukan main kagetnya Teng Hiang, sembari menjerit dia
berlompat untuk menyampok lengan orang hingga pedangnya
si anak muda meleset dan mengenai kulitnya terus pedang itu
terlepas dan jatuh ke lantai. Kulit itu mengeluarkan darah,
yang lantas mengalir membasahi bajunya.
Cukat Tan berdiri melengak, wajahnya sangat muram.
Ketika ia sadar, ia menggertak gigi lalu dengan tangan kirinya
dia menghajar batok kepalanya sendiri !
Kembali Teng Hiang kaget. Sebenarnya dia sedang
memeluki tubuh si anak muda.
"Kau gila ?" serunya seraya menghajar iga orang guna
mencegak turunnya tangan mautnya anak muda itu.
Karena iganya dihajar itu, serangan tangannya Cukat Tan
gagal pula. Tangannya itu cuma mengenai pipinya hingga
pipinya itu menjadi bersemu merah.
Teng Hiang membawa tubuh orang untuk diduduki di kursi,
terus dia mengawasi dengan mata dibuka lebar. Tadi pun dia
memperdengarkan suara dinginnya.
"Ada apakah sebenarnya ?" tanyanya. "Kenapa kau nekad
begini " Apakah kakakmu membuatmu malu ?"
Dengan "kakak" si nona membahasakan dirinya.
Cukat Tan duduk diam, matanya dipejamkan, nafasnya
memburu. Rupanya dia penasaran dan menyesal berbareng.
Teng Hiang sudah lantas mengobati luka orang.
"Adik" katanya. "Dengan perbuatanmu ini, kau dapat
ditertawai orang. Dengan begitu, apakah kau kira kakakmu
pun bisa hidup lebih lama pula ?"
Sampai disitu Cukat Tan beharu membuka matanya dan
berkata bersungguh-sungguh, "Kau tahu siapa Pou To Lo sie "
Dialah seorang nikouw tua dari Pou To ! Dan dialah locianpwe
Haw Thian Sin Ni dari biara Pek Liam Am dibukit Pou To
Haylam. Tadi malam locianpwe itu telah datang kemari,
sedangkan dia biasanya tak pernah keluar dari pintu barang
setindak juga. Dia pula tertua dari Ngo Bie pya, partai kami.
Kalau bukan urusan guruku yang menutup mata karena
dicelakai orang, tak mungkin dia datang kemari mencari
aku.... aku sendiri..... aku...."
Lantas si anak muda menangis.
Teng Hiang mengeluarkan saputangannya, akan menepasi
air mata anak muda itu. Dia heran atas datangnya nikouw tua
dari Pou To itu dan merasa malu sendirinya, sebab lakon
asmaranya dengan Cukat Tan telah kena dipergoki, mukanya
pun menjadi merah. "Apakah kau kenali benar tulisannya locianpwe itu ?"
tanyanya, suaranya menggetar.
"Tidak salah lagi." sahut Cukat Tan. "Kalau locianpwe
menulis surat, pada ketuanya selalu ada tandanya yaitu
lukisan tipis dari sepasang burung jenjang putih. Sering aku
melihatnya dalam surat-suratnya, yang di alamatkan kepada
guruku. Nah, kau lihat, apakah itu ?"
Si anak muda menyerahkan suratnya Hay Thian Sin Ni itu.
Teng Hiang menyambuti dan melihat. Benar ia mendapati
gambar sepasang burung itu. Hanya habis melihat, ia lantas
tertawa. "Kenapakah kau berduka dan berkuatir tidak karuan ?"
tanyanya. "Bukankah Hay Thian Sin Ni cuma meminta kita
pergi padanya ke Lu Sian Gam " Aku lihat, dia tentu cuma
akan membicarakan sesuatu yang penting. Nah, mari kita
lekas pergi memenuhi panggilannya itu."
Matanya si anak muda terbuka lebar.
"Mana ada mukaku buat menemui locianpwe itu ?" katanya.
"Tadi malam ia telah mempergoki kita ! Aku menjadi murid
kepala dari Ngo Bie Pay, tetapi selagi guruku mati
tercelakakan orang, aku justru berplesiran......"
Teng Hiang menatap orang.
"Oh, kira begitu !" katanya. Dia tertawa. "Sungguh tolol !"
Cukat Tan berlompat bangun untuk berdiri tegak dan
alisnya pun terbangun. "Masihkah kau dapat bicara begini ?" tegurnya. "Hm !"
Teng Hiang berhenti bicara. Dia pun lantas memperlihatkan
sikap sungguh-sungguh. "Sepasang suami isteri saling mencinta, itulah wajar."
bilangnya. "Inilah bukannya sesuatu yang tak dapat dilihat
orang. Adik, kaulah orang Kang Ouw. Kenapa kau membawa
sikapnya si kutu buku " Takkah itu mengecewakan " Sudah,
jangan kau banyak pikir, mari kita lekas berangkat untuk
menemui locianpwe itu dan menerima pengajarannya !"
Tanpa menanti jawaban, nona ini menarik pemuda itu.
Dengan membawa pauwhoknya, mereka lantas keluar dari
rumah penginapan. Cukat Tan menurut tanpa mengatakan sesuatu.
Sembari berberesan dengan pemilik hotel, Teng Hiang
bersenyum dan kata, "Kami mau berangkat sekarang !
Tahukah kau mana jalan ke Lu Sian Giam ?" Ia pun
menyerahkan sepotong perak.
Pemilik hotel itu tertawa.
"Buat pergi ke Lu Sian Giam, nona." katanya, "sekeluarnya
dari dusun ini, silahkan kalian menuju ke tenggara, sesudah
melalui tujuh atau delapan belas lie, kalian akan tiba di bukit
Hek Sek San. Hanya.... kalau tidak ada urusan terlalu penting
lebih baik nona jangan pergi ke gunung itu......"
Berkata begitu tuan rumah itu tapinya tertawa.
Cukat Tan heran hingga dia bertanya. "Kenapakah ?"
demikian tanyanya. Tuan rumah menggeleng kepala, mendadak parasnya
berubah menjadi pucat. Dia hendak membuka mulutnya tetapi
gagal. "Cis !" Teng Hiang memperdengarkan suaranya seraya dia
menarik tangannya si anak muda. "Mari kita berangkat ! Buat
apa melayani dia. Menyebalkan saja !"
Cukat Tan menurut, maka berdua mereka meninggalkan
Kho tiam-cu. Mereka berjalan langsung ke arah tenggara. Di
dalam waktu yang pendek, mereka sudah melalui kira delapan
belas lie. Benar saja, mereka telah tiba di kaki bukit Hek Sek
San. Bukit itu panjang tinggi dan rendah tak menentu dan
disitupun banyak batu, antaranya ada batu yang aneh-aneh
bentuknya. Walaupun di waktu pagi, bukit tampak seram.
Jilid 44 Tanpa beristirahat lagi, muda mudi itu berjalan terus. Di
situ mereka tak menemui orang, tak juga tukang kayu. Jadi
tidak ada orang yang keterangannya dapat diminta. Maka
mereka berjalan terus sampai di pinggang gunung dimana ada
jurang yang memutuskan jalan.
"Kakak." kata si anak muda. "Kita salah jalan. Kita bisa
kecemplung !" Teng bergembira, selagi si anak muda masgul. Dia tertawa.
"Kalau jalanan sudah buntu, mari kita singgah disini !"
katanya. "Kita duduk dahulu, baru kita melanjuti perjalanan
kita. Aku merasa sedikit letih...." Dia pun mendahuui duduk
numprah di atas sebuah batu besar !
Cukat Tan berdiri diam, matanya mengawasi ke jurang. Tak
tampak jalanan. di depannya uap atau sisa halimun menutupi
segala apa. Di atas puncak pun tampak asap atau mega
hitam. "Lihat, ada orang lagi mendatangi !" begitu si anak muda
mendengar suaranya si nona, selagi ia terus masih mengasi
mengawasi ke depan, guna mencari jalanan. Ia lantas
menoleh. Maka ia dapat melihat orang itu, yang ditunjuk Teng
Hiang. Orang itu seorang wanita tua, badannya kuning, rambutnya
terlepas, tangan kanannya mencekal tongkat, sedang tangan
kirinya mengempit seseorang. Dia dapat berjalan dengan
cepat. Hanya sebentar, dia sudah sampai di depannya Teng
Hiang. Cukat Tan lekas-lekas menghampiri.
Teng Hiang sudah lantas menghadapi wanita tua itu.
"Numpang tanya, nenek." katanya. "Dimanakah pernahnya
Lu Sian Giam ?" Wanita tua itu tidak berhenti berjalan, cuma melirik satu
kali kepada nona yang menyapanya, dia jalan terus.
Cukat Tan menerka orang ada orang rimba persilatan, dia
menyusul cepat hingga dia lantas berdiri berendeng dengan
Teng Hiang, hingga mereka sama-sama seperti menghadang
si nenek tua. "Hm !" si nenek memperdengarkan suara dingin, lalu
tongkatnya diangkat, agaknya dia hendak menggunakan
kekerasan, tetapi ketika dia telah mengawasi Cukat Tan, dia
tersengsem kegantengan anak muda itu. Dia membatalkan
menggerakkan tongkatnya, dia terus berdiri tegak, matanya
mengawasi tajam pada Cukat Tan !
"Mohon tanya, locianpwe." berkata Cukat Tan sambil
memberi hormat. "Tahukah locianpwe jalan mana yang harus
diambil buat pergi ke Lu Sian Giam ?"
Nenek itu mengawasi orang dengan mata meram melek,
lalu mendadak dia mementang lebar matanya itu, sinarnya
sinar dari kegusaran. "Bocah !" katanya. "Kau mencari Lu Sian Giam, buat
apakah ?" Cukat Tan terkejut, juga Teng Hiang. Matanya si nenek
sangat bengis. Telah mereka menemui banyak orang tapi
belum pernah melihat sinar mata seperti sinar matanya si
nenek ini. "Kami mau pergi ke Lu Sian Giam buat satu urusan." Teng
Hiang mewakilkan kawannya menjawab, sebab si anak muda
tak dapat segera memberikan jawabannya.
Sinar mata bengis si nenek dipindahkan kepada si nona.
"Hm !" dia memperdengarkan suara dinginnya, "Budak bau,
siapa bicara denganmu ?"
Cukat Tan menjadi tidak puas. Nenek itu kasar sekali. Tapi


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia masih menahan sabar. "Ada umum dalam kalangan Kang Ouw, kalau orang tidak
kenal satu sama lain suka saling bertanya." bilangnya.
"Demikian dengan kami. Buat apa locianpwe bergusar ?"
Parasnya nenek itu berubah. Dia tak sebengis semula. Tapi
dia tertawa dengan suaranya yang tak sedap.
"Kau benar juga, bocah !" katanya.
"Hanya kenapakah kau melintang di depanku ?"
"Itu...." sahut Cukat Tan yang tergugu. Sebagai orang
jujur, tahu ia yang bersalah sebab tidak karu-karuan mereka
datang dengan menentang di tengah jalan. Dia pun lekaslekas
bertindak ke pinggir. Begitu juga kawannya.
Nenek itu lantas saja berjalan melewati muda mudi itu,
sesudah beberapa tindak ia berpaling kepada mereka itu.
"Jika kalian mau pergi ke Lu Sian Giam, mari ikuti aku !"
katanya. Justru orang lewat disisinya Teng Hiang, justru dapat
melihat mukanya orang yang dikempit si nenek. Kebetulan
saja ada angin menghembus membuat tutup saputangan hijau
di muka orang itu tersingkap.
Dan ia melihat wajahnya It Hiong.
"Eh !" serunya tertahan.
Si nenek mendengar suara si nona, dia menghentikan
jalannya, dia memutar tubuh. "Kau berseru apa ?" tegurnya.
Teng Hiang sudah lantas berbisik dengan Cukat Tan, lalu
keduanya lari menyusul si nenek. "Siapakah itu yang kau
kempit nenek ?" si pemuda tanya.
Nenek itu melihat ke muka orang kempitannya itu, maka ia
melihat tutup muka orang tersingkap. Untuk sejenak dia
melengak. "Kalian kenalkah orang ini ?" tanyanya pada si muda mudi.
Cukat Tan dan Teng Hiang saling mengawasi, mau mereka
membuka mulut tetapi dua-duanya batal. Si nona bersangsi
sebab ia mau menyangka pada Gak Hong Kun.
Sekarang ia ingat hal maksudnya berjalan bersama Hong
Kun yaitu guna meminta bantuannya Kip Hiat Hong Mo, guna
ia berdaya membalaskan sakit hati gurunya. Sekarang
keadaan telah berubah disebabkan pacarnya ialah Cukat Tan
dan pihaknya Cukat Tan pihak lurus, pihak yang bertentangan
dengan golongannya kaum sesat.
Cukat Tan lain pikirannya. Dia dari pihak lurus dan diapun
sangat menghargai Tio It Hiong. Ia tahu It Hiong ada yang
palsu tetapi kepalsuannya itu sangat sukar dibedakannya buat
itu orang memerlukan waktu dan ketelitian. Demikian kali ini.
It Hiong ini yang tulen atau yang palsu " Karenanya hendak ia
mencari tahu. Pertanyaan si nenek membuatnya Bingung.
Maka ia jadi berdiri diam saja.
"Kamu berani tak menjawab pertanyaanku ?" tanya si
nenek bengis. Dia rupanya menjadi panas hati. Segera dia
mengancam dengan senjatanya sebatang tongkat.
Dua-dua Cukat Tan dan Teng Hiang terperanjat. Anginnya
tongkat membuat mereka sadar. Sendirinya mereka samasama
mundur satu tindak. Tapi si pemuda menjadi tidak
senang. Orang sangat galak. Maka ia menghunus pedangnya.
"Siapakah itu yang kau kempit ?" ia tanya keras, alisnya
terbangun. Teng Hiang juga menghunus pedangnya. "Lekas
turunkan dan tinggalkan orang itu !" katanya nyaring. "Hm !"
Si wanita tua tertawa berulang kali.
"Kamu berdua mempunyai nyali, kamu berniat menantang
aku !" katanya. "Kalian benar gagah! Jika kalian dapat
melayani aku sebanyak lima jurus, akan aku serahkan orang
ini kepada kamu!" Berkata begitu si nenek menancapkan tongkatnya ke tanah
untuk dia menurunkan tubuh yang dikempit itu dan diletaki di
tanah. Habis itu dia menggerakkan kedua tangannya buat
terus membentak, "Nah, kalian majulah berbareng !"
Cukat Tan ingin lekas-lekas mendapat kepastian orang
yang pingsan itu Tio It Hiong tulen atau si palsu, dia
mengedipi mata pada Teng Hiang, setelah mana dia putar
pedangnya terus dia mulai menyerang wanita tua itu. Dia
menggunakan jurus "Badai Menggulung Salju" dari "Soat Hoa
Kiam hoat", ilmu silat pedang "Bunga Salju".
Teng Hiang menyambut isyarat dari pacarnya itu, dia pun
maju menyerang. Dia menggunakan jurus "Guntur
Mengagetkan De Dasar Kering".
Si nenek melihat tibanya pedang yang cahayanya berkilau.
Dia mengangkat kedua tangannya untuk menyampok, maka
terpentallah kedua buah pedang itu !
Dua-dua Cukat Tan dan Teng Hiang heran. Aneh ilmu
silatnya si nenek. Nenek itu pun bertangan kosong.
"Tahan !" nenek itu berseru selagi muda mudi itu mau maju
pula. "Hm !" "Perempuan tua, kau mengaku kalahkah ?" tanya Teng
Hiang. Nenek itu tertawa. "Kalian baru bergerak satu kali, tahu sudah aku asal
usulnya ilmu pedang kalian !" katanya. Dia terus mengawasi
muda mudi itu, dia sampai mengemplang. Kemudian seperti
juga dia mengoceh seorang diri, dia berkata pula, "Perguruan
kalian berdua berdiri di tempat yang bertentangan, diantara si
lurus dan si sesat. Tetapi kenapa kalian berdua berjalan
bersama-sama dan kalian pun mau pergi ke Lu Sian Giam ?"
"Jangan banyak omong tak perlunya !" bentak Cukat Tan.
"Lihat pedangku !"
Dan anak muda ini menikam dada orang.
Si nenek tidak menangkis atau menyampok seperti tadi, dia
hanya berkelit dengan lincah sembari dia berkata, "Ilmu silat
Soat Hoa Kiam Hoat dari kau baru mencapai tujuh atau
delapan bagiannya !"
Cukat Tan melengak, dia mundur tiga tindak. Aneh, si
nenek yang dapat menerka dengan tepat.
Teng Hiang penasaran, dia tertawa.
"Nah, bagaimana dengan asal usul ilmu pedangnya nonamu
ini ?" tanyanya. Lantas dia menyerang pula mencari iganya si
nenek. Dan dia menyerang terus menerus dengan tiga jurus
yang berlainan, cepatnya bukan buatan.
Nenek itu tidak mengangkat kedua kakinya, tak pula dia
geser, tetapi dengan kaki nancap itu dia berkelit berulangulang,
tubuhnya bergerak ke kiri dan kanan menyingkir dari
tiap tikaman. Itulah jurus "Angin Menggoyang Bunga Gelaga",
semua tiga tikaman hebat tidak ada yang mengenakan
sasarannya. "Hai budak bau !" bentaknya. "Masih kau tidak mau
menghentikan tanganmu ! Hatimu telengas ya, tetapi ilmu
silatnya Thian Ciu si tua bangka, baru kau dapati tujuh bagian
!" Mendengar keterangan itu Teng Hiang pun melongo.
Selama itu sang matahari pagi sudah muncul dan
cahayanya telah membuyarkan halimun maka juga sekarang
di depan mereka melintang diantara kedua tepi jurang,
tampak sebuah jembatan batu berupa seperti panglari. Hanya
sebagian yang lain masih tertutup uap hitam.
Justru jembatan itu tampak, justru tampak juga
mendatanginya seorang dari ujung yang lain itu. Dialah
seorang nikouw tua yang jubahnya gerombongan. Hebat
jalannya si biarawati, sebentar saja sampai sudah dia di
depannya ketiga orang itu. Terus dia mengawasi ketiganya
untuk kemudian menghadapi si nenek buat memberi hormat
sambil menyapa, "Sudah tiga puluh tahun kita tidak bertemu
sicu, adakah kau baik-baik saja ?"
Kapan si nyonya tua melihat nikouw itu dia heran sampai
dia melengak tetapi hanya sejenak. Dia sadar seperti biasa
lagi. Lantas dia berkata, "Oh, Hay Thian Lo yia. Sungguh
beruntung kita dapat berjumpa pula !"
Ketika itu pun Cukat Tan bersama Teng Hiang sudah lantas
lekas-lekas menyimpan pedang mereka masing-masing dan
Cukat Tan segera menghampiri si pendeta wanita buat
memberi hormat sambil berlutut.
Hay Thian Sin Ni, pendeta wanita tua itu menggerakkan
tangan kirinya, maka bangun berdirilah si anak muda.
"Anak Tan, sebentar kita bicara di Lu Sian Giam !" katanya
tertawa. Cukat Tan menyahuti "Ya", ia terus berdiri tegak. Mulanya
hendak ia memperkenalkan Teng Hiang pada nikouw itu atau
Teng Hiang sudah mendahului merangkapkan kedua
tangannya memberi hormat pada biarawati itu.
Ketika itu, si nenek telah memperdengarkan tawa dingin,
tawanya keras, suaranya menikam telinga. Sengaja di
depannya Hay Thian Sin Ni, hendak dia mempertontonkan
ilmunya "Sun Im Cit Sat Kang" Hawa dingin.
Cukat Tan dan Teng Hiang kaget, lekas-lekas mereka
menenangkan hati mereka. Berhenti tertawa, si wanita tua berkata dingin, "Tak
kusangka yang Thian Ciu siluman tua telah mengajari seorang
murid yang telah berontak mendurhaka terhadap
perguruannya ! Sungguh memalukan !"
Teng Hiang baru bertenang hati, ketika dia mendengar
almarhum gurunya dicaci wanita tua itu, tak ampun lagi ia
menghunus pedangnya. "Orang setua ini masih banyak menggunakan mulutnya
melukai orang !" bentaknya. Lantas dia berlompat maju
berniat menyerang si nenek.
"Nona kecil, tahan !" berseru Hay Thian Sin Ni.
Teng Hiang mendengar kata, dia tak maju lebih jauh hanya
berlompat mundur untuk terus berdiri disisinya Cukat Tan.
Si nenek mengawasi tajam pada si pendeta wanita,
matanya bercahaya bengis. Setelah itu ia kata keras, "Nikouw
tua, kitalah musuh-musuh sampai kita mati, maka itu kalau
kau mempunyai nyali besar, lain tahun di malam tanggal lima
belas, beranikah kau pergi ke puncak gunung In Bu San untuk
di sana kita mencari keputusan siapa lebih tinggi, siapa lebih
rendah ?" Hay Thian Sin Ni memperlihatkan wajah tak puas.
"Mana dapat pinni hadir di dalam sidang Bu Lim Cit Cun
kalian ?" kanyanya sabar. "Walaupun demikian, seperti kau
janjikan akan pinni datang ke sana untuk pinni nanti belajar
kenal dengan ilmu Sun Im Cit Sat Kang dari Im Ciu It Mo !"
Wanita tua itu kembali memperdengarkan suaranya yang
serak itu, dia menyambut tongkatnya dengan tangan kanan,
sedangkan tangan kirinya dia mengangkat mengempit pula si
anak muda yang pingsan itu, terus dia berjalan pergi
menyeberang di jembatan, hingga dia lenyap di lain tepi itu.
Dia memangnya Im Ciu It Mi, si Bajingan Tunggal
Bertangan Kejam dan orang yang dikempitnya Gak Hong Kun,
si Hiong palsu. "Mari kita pergi !" mengajak Hay Thian Sin Ni setelah Im
Ciu It Mo pergi sekian lama.
Cukat Tan dan Teng Hiang mengangguk, terus mereka
mengikuti nikouw itu. Lu Sian Giam berada di pinggangnya bukit Hek Sek San.
Itulah sebuah gua diantara dinding batu-batu gunung. Gua itu
tersembunyi. Di depan dan di sekitarnya pun terdapat banyak
batu bermacam-macam bentuknya. Luasnya gua kira sepuluh
tombak persegi. Nama Lu Sian Giam atau Karang Dewa Lu didapat dari
adanya sebuah batu besar yang muncul sendirian saja yang
berbentuk manusia, tampangnya mirip seorang rahib agama
To ialah dewa Lu Tong. Di langit-langit gua pada sekitanya terdapat stalaktit yang
putih mengkilat, maka juga diwaktu udara gelap dan
sedangnya hujan angin ribut, warna putih mengkilat itu
berupa seperti ratusan pelita !
Maka itulah dia keanehannya sang gunung.
Tadinya Lu Sian Giam menjadi tempat berpariwisata, ramai
disaat indah dari kedua musim semi dan gugur. Banyak pria
dan wanita yang berpesiar ke situ, tapi semenjak munculnya
Im Ciu It Mo, Hek Sek San lantas juga menjadi tempat yang
ditakuti. Jangan kata datang, mendengar saja orang sudah
jeri. Ada sebabnya kenapa Hay Thian Sin Ni muncul dari tempat
menyepinya. Itulah karena kematian menyedihkan dari Teng
In Tojin, ketua dari Ngo Bie Pay, sebab dia sendiri berasal dari
partai itu. Dia merantau guna mencari seorang jahat, sampai
dia mencurigai si Bajingan Tunggal itu. Demikian dia
menyelidiki dan lalu menguntit sampai Hek Sek San dimana
dia hidup bersendiri di Lu Sian Giam.
Tiba di dalam gua, Hay Thian Sin Ni lantas menceritakan
pada Cukat Tan perihal munculnya Im Ciu It Mo bahwa itulah
pertanda dari ancaman bencana dunia rimba persilatan,
terutama kaum lurus. Kemudian ia tanya si anak muda,
bagaimana dengan penyelidikannya anak muda itu telah
berhasil memperoleh endusan atau tidak.
Cukat Tan malu sendirinya.
"Menyesal tecu tak berguna." sahut pemuda itu yang
membahasakan dirinya tecu-murid-. "Sampai sebegitu jauh
tecu belum pernah memperoleh hasil apa juga kecuali
mendengar kabar tentang munculnya pula Tok Mo bahwa
halnya empat Tianglo dari Kam Ih dari Siauw Lim Sie serta
ketua dari Bu Tong dan Kun Lun Pay telah terbinasa secara
menyedihkan. Di dalam hal itu, tecu mencurigai Tok Mo..."
"Mengenai kematiannya para Tianglo dan ketua itu rasanya
tak mungkin itulah perbuatannya Tok Mo." Sin Ni
mengutarakan dugaannya. "Aku percaya Tok Mo tidak
mempunyai semacam kepandaian. Di dalam golongan sesat
cuma Im Ciu It Mo yang sanggup melakukan itu."
"Beberapa hari yang lalu," Teng Hiang turut bicara, "tecu
beramai telah bertemu dengan Tok Mo diluar dusun Kho Tiam
cu. Kami belum sampai bertempur tetapi Tok Mo mengatakan
bahwa kami bertiga telah terkena racun jahatnya. Dia
memaksa kami menjadi muridnya kalau kami masih mau
hidup. Melihat sekarang ini, kami masih tak kurang suatu apa,
mungkin dia cuma menggertak kami. Kami dapat membantu
Siauw Wan Goat. Tok Mo tak dapat berbuat apa-apa atas diri
kami. Dia sangat kesohor, mungkin itu cuma kosong
belaka......" "Di dalam hal itu, mungkin ada terjadi sesuatu yang belum
jelas." berkata Hay Thian Sin Ni. "Tok Mo memang kesohor
kejam tetapi dia tetap seorang angkatan tua, tak nanti dia
mendustai kalian." Berkata begitu dengan tangan kanannya, nikouw itu


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambil sebuah peles dari tembok dinding. Dia mengambil
obat pulung yang dia terus berikan kepada kedua muda mudi
itu. Cukat Tan berdua tak tahu obat itu obat apa tetapi mereka
terus saja makan habis. "Pada empat puluh tahun dahulu." Hay Thian Sin Ni
bercerita lebih jauh. "Ketika Tok Mo mulai mengganas,
racunnya dia buat dari pelbagai macam racun yang dia cari
dan kumpulkan dari seluruh negara. Racunnya itu tidak ada
obat yang dapat memunahkannya. Kemudian, lewat dua
tahun, barulah ketua dari kuil Bie Lek Sie di gunung Kiu Kiong
San berhasil membuat pil yang dapat mengalahkan itu. Obat
itu diberi nama Wan Ie Jie."
"Aku sendiri menyakinkan soal obat racun pada dua puluh
tahun kemudian, dan inilah obatnya, yang syukur dapat
menandingi obat dari Bie Lek Sie itu."
Baru sekarang Cukat Tan berdua ketahui yang mereka
telah makan kay tok wan, pil pemunah racun.
Teng Hiang sangat bersyukur, dia berlutut di depan si
nikouw memberi hormat sambil menghaturkan terima
kasihnya. Ia kata tak tahu ia bagaimana nanti ia membalas
budi itu. Sin Ni menerima baik hormat itu, kemudian dia mengawasi
Cukat Tan untuk bertanya, "Anak Tan, gurumu telah menutup
mata. Maka itu kau, apakah kau masih ingat aturan dari Ngo
Bie Pay?" Anak muda itu buru-buru bertekuk lutut. Dia takut sekali.
"Tecu bersalah, locianpwe." katanya. "Silahkan locianpwe
mewakilkan guruku menjatuhkan hukuman atas diriku....."
Teng Hiang yang masih berlutut melirik si anak muda yang
berada disisinya, maka ia melihat si anak muda mengucurkan
air mata dengan dahinya penuh peluh dan tubuhnya bergetar.
Hal itu membuatnya malu sendiri dan juga berkasihan
terhadap anak muda itu. Dengan memberanikan hati, ia
berbisik pada kekasihnya, "Jodoh kita bersatu disebabkan
perbuatanku, karena itu, kau sampai melanggar aturan adik,
tetapi tidak apa, Teng Hiang bersedia mati
menggantikanmu...." Ketika itu, Hay Thian Sie Ni duduk tak berkutik dan tak
bersuara juga. Cukat Tan berdiam terus, juga Teng Hiang. Maka gua
menjadi sunyi sekali. Lewat sekian lama, terdengarlah nikouw menghela nafas
panjang, terus wajahnya yang keras menjadi lunak. Setelah
itu terdengar suaranya yang terang dan tegas, "Sakit hati guru
hendak dibalaskan, cinta kasih tak merubahnya ! Nah, kalian
dapatkah melakukan itu ?"
Kedua muda mudi itu saling memandang, lantas Cukat Tan
memberikan jawabannya, "Sanggup locianpwe ! Meski
tubuhku hancur lebur pasti akan aku mencari balas buat
almarhum suhu !" "Suhu" ialah guru, atau panggilan untuk guru.
Dengan menahan rasa malunya, Teng Hiang turut
memberikan janjinya. Kata dia, "Tecu suka berjanji sampai
laut kering batu membusuk, hingga kepala putih !"
Hay Thian Sin Ni memandang tajam muda mudiitu, selang
sekian lama baru dia mengangguk.
"Kalian bangun !" katanya perlahan. Di lain pihak, ia
mengembalikan peles obatnya ke tempatnya. Setelah itu ia
berkata pula, "Pinni memanggil kalian datang kemari ialah
buat mengajari kalian ilmu silat Tay Lo Hian Kang serta Touw
Liong Kiam Hoat sebab itulah yang akan membantu banyak
pada kalian dalam usaha kalian mencari balas terhadap musuh
gurumu, anak Tan." Bukan main girangnya Cukat Tan dan Teng Hiang. Sudah
mereka diberi ampun mereka pula hendak diwariskan ilmu
istimewa Tay Lo Hian Kang ialah ilmu Langit-langit dan juga
ilmu Touw Liong Kiam Hoat ilmu pedang Membunuh Naga.
Maka lekas-lekas mereka mengucap terima kasih sambil
mengagguk-angguk. "Barusan kalian sudah menjalankan kehormatan, tak usah
lagi." mencegah si nikouw.
Lagi sekali keduanya mengucap terima kasih, terus mereka
berbangkit. Di saat Cukat Tan hendak menanya, guru itu mau
menitahkan apa, tiba-tiba si nikouw memberi isyarat buat
mereka berdiam. Mereka menurut tetapi mereka heran.
Hay Thian Sin Ni berdiam tetapi matanya mengawasi ke
mulut gua, sesaat kemudian dengan seluruh suara "Toan Im
Jip Nit" ia menanya, "Sahabat baik dari mana telah berkunjung
ke gua Lu Sian Giam ini ?"
Pertanyaan itu diucapkan dengan tenang dan perlahan
tetapi terdengarnya diluar terang dan tegas.
Cukat Tan dan Teng Hiang heran, mereka memasang
telinga dan mata. Samar-samar mereka mendengar suara
seperti berdebur-deburnya ujung baju atau lantas juga tampak
tubuh orang memasuki gua. Mereka terkejut.
Lantas keduanya berlompat ke sisi masing-masing dan
pedangnya segera dihunus. Dengan tajam mereka
mengawasi. Orang itu mengawasi tindakannya, dia mengawasi ketiga
penghuni gua, sesudah mana barulah dia menghadapi Hay
Thian Sin Ni, sembari memberi hormat dia berkata, "Dengan
ini aku menyampaikan titah guruku supaya nikouw tua
meninggalkan gua Lu Sian Giam ini sebelum matahari turun,
agar dengan demikian kerukunan diantara kita menjadi tidak
terganggu !" Hay Thian Sin Ni bersenyum.
"Lie sicu, siapakah itu gurumu ?" ia tanya.
Pendatang itu ada seorang wanita muda. Dia menjawab
bahwa gurunya ialah Im Ciu It Mo.
"Oh !" berseru Cukat Tan setelah dia melihat tegas si nona
dan mendengar suaranya itu, tetapi belum lagi ia sempat
berbicara Teng Hiang sudah mendahuluinya, sembari
bertindak maju, nona ini menyapa nona itu, "Nona Cio Kiauw
In ! Nona Cio Kiauw In !"
Memang nona itu Kiauw In adanya hanya terhadap
suaranya Cukat Tan dan Teng Hiang ia bagaikan tak
mendengar apa-apa, cuma mengawasi Teng Hiang untuk
bertanya, "Kau siapakah " Kenapa kau berkata-kata tidak
karuan " Kau memanggil siapakah ?"
Teng Hiang melengak saking herannya. Dia segera
menatap. Tak salah, nona itu Nona Cio Kiauw In. Tetapi aneh,
kenapa nona itu tidak mengenalinya "
Apa yang tak biasanya pada Nona Cio ialah pada rambut
ditepi telinganya ditancapkan setangkai bunga merah darah.
Ia jadi berpikir keras. Tak nanti nona ini bukannya Nona Cio !
Hanya, kenapakah dia menjadi demikian berubah "
Cukat Tan juga mengawasi dengan tajam. Ia heran seperti
Teng Hiang. Tiba-tiba si nona, dengan sepasang alisnya terbangun
menegur Hay Thian Sin Ni.
"Eh, nikouw tua bagaimana " Kau menerima baik
permintaan guruku ini atau tidak ?"
Hay Thian Sin Ni tidak menjawab, hanya dia tertawa.
Kemudian dengan ramah dia tanya, "Sicu, apakah she dan
nama sicu ?" Nona ini melengak. Agaknya dia berpikir keras, untuk
mengingat-ingat. "Aku bernama Poan..... Mo....." sahutnya akhirnya.
Sementara itu Cukat Tan lantas melihat bahwa si nona tak
sadar wajar, maka ia menjadi bercuriga. Tiba-tiba ia
memanggil nona itu keras-keras, "Cio Kiauw In ! Cio....
Kiauw....... In.....!"
Suara itu mendengung di dalam gua, kerasnya dapat
memekakkan telinga. Si nona yang ditegur agak terkejut.
Lewat sekian lama baru dia tampak tenang pula. Tapi hanya
sejenak dia pun berubah pula. Wajahnya nampak keras, tanda
dari kegusaran. Alisnya bangun berdiri, sambil menarik
pedangnya dari bahunya dia berseru, "Budak bau ! Bagaimana
kau berani berlaku kurang ajar terhadap nonamu ?" Terus dia
menghunus pedangnya untuk diputar !
Menyaksikan demikian Cukat Tan bertambah heran. Lalau
Teng Hiang melirik padanya dan berkata perlahan, "Dengan
menggunakan pedang akan kita dapati bukti kenyataan dia
bersilat dengan ilmu pedang Pay In Nia atau bukan...."
Cukat Tan mengerti, ia lantas menghunus pedangnya, lalu
sembari tertawa ia kata pada Nona Cio, "Nona Cio hendak
memberi pengajaran padaku, baiklah akan aku menerimanya
dengan segala senang hati."
Walaupun si nona mengancam dengan pedangnya sudah
siap sedia di depan dadanya, tetapi dia tidak maju menyerang,
bahkan anehnya terhadap gerakan dan kata-katanya si anak
muda ia seperti tak melihat dan tak mendengar. Sebaliknya
dia cuma mengawasi tajam pada Hay Thian Sin Ni yang duduk
bersila saja ! Sesudah mengawasi sekian lama, nona itu
memperdengarkan suara tawa yang tidak tegas, lalu
mendadak dia menghunus pedangnya dan menikam kepada si
nikouw tua ! "Tahan !" teriak Cukat Tan yang maju menyampok pedang
si nona. Ia memang selalu waspada. Ia lantas menggunakan
jurus "Badai Menyapu Salju".
Nona itu dapat mengelit pedangnya, setelah itu berbalik dia
menyerang si pemuda. Dia menggunakan jurus "Anak Panah
Mencari Sasarannya", ujung pedangnya menikam dada.
Hebat tikaman itu, Cukat Tan mesti mengelakkan diri
dengan gerakan Tiat Poan Kio atau Jembatan Papan Besi,
tubuhnya ditegakkan rata dari perut sampai ke kepala. Hampir
dia tak lolos. Sampai disitu maka Teng Hiang sudah lantas mengenali
ilmu silat nona itu, benar ilmu silat Pay In Nia. Dia itu berarti si
nona besar Nona Cio Kiauw In.
Habis berkelit itu, Cukat Tan terus menendang lengan si
nona, supaya ia sempat berdiri pula. Tapi si nona lihai. Dia
cuma mengegosi sedikit pedangnya lantas senjatanya itu
dipakai pula menebas kaki orang !
Masih sempat Cukat Tan menarik pulang kakinya. Kembali
ia menyerang, kali ini ia menebas punggung nona itu, yang
menyebut dirinya Pan Mo, yaitu Setengah Bajingan.
Kali ini aneh si nona. Dia tidak menangkis, hanya dia
berkelit mundur. Justru dia berlompat, Teng Hiang lantas
mengenali cara berlompatannya itu, ialah ilmu ringan tubuh Te
In Coam, atau Tangga Mega.
"Nona Cio Kiauw In !" Teng Hiang segera memanggil.
"Nona, mana dapat kau mendustai aku !"
Mendengar suaranya Teng Hiang itu, si nona melengak
sedikit, selekasnya dia sadar, lantas dia maju pula menyerang
Cukat Tan, kali ini dia terus merangsak dan menyerang
dengan gencar ! Sementara itu Cukat Tan yang sudah dapat menduga
sebabnya kenapa si nona yang ia kenali benar Kiauw In
adanya menjadi seperti orang tak beres ingatan itu. Mestinya
dia terkena pengaruh obat atau ilmu gaib. Ketika diserang itu
dia selalu berkelit. Si nona menjadi tidak puas.
"Anak bau !" dampratannya. "Kenapa kau selalu berkelit "
Kenapa kau tidak melayani sungguh-sungguh padaku "
Apakah kau takut ?" Cukat Tan hendak menjawab si nona atau Hay Thian Sin Ni
sudah mendahuluinya. Nikouw itu kata pada si nona, "Sicu Poan Mo, kau telah
menyampaikan pesan gurumu, sekarang silahkan kau pulang
!" Kali ini si nona mendengar kata. Dia memasuki pedangnya
ke dalam sarungnya. "Nikouw tua, ingat baik-baik !" berkata dia. "Sebentar,
sebelum matahari turun, kau mesti meninggalkan tempat ini !
Jangan kau membuat guruku gusar !"
Selekasnya suaranya berhenti tubuh si nona sudah
mencelat mundur, keluar dari gua hingga dilain saat dia telah
tak nampak lagi. Cukat Tan lekas-lekas menyimpan pedangnya, terus ia
berkata kepada gurunya yang baru itu, "Menurut penglihatan
tecu, Nona Poan Mo barusan adalah Nona Cio Kiauw In,
muridnya Tek Cio Siangjin dari Pay In Nia, hanya heran,
kenapa dia seperti orang tak sadarkan diri " Locianpwe,
kenapa locianpwe tidak mau menangkapnya buat mengobati
dia ?" "Aneh !" Teng Hiang turut bicara. "Nona Cio lihai luar biasa,
kenapa dia kena orang tawan dan pengaruhkan begini rupa "
Dia mengaku menjadi muridnya lain orang dan sudi
diperintah-perintah....."
Hay Thian Sin Ni bersenyum.
"Dia sedang menjalankan karmanya." katanya. "Itulah soal
gaib yang kalian tak mudah mengertinya...."
"Hanya locianpwe." kata Cukat Tan pula. "Sekarang ada
jaman kacau, kaum sesat lagi beraksi, habis nona Cio kena
dipengaruhkan, dia berada di pihak sesat. Itulah berbahaya.
Itu pula dapat mencelakai si nona sendiri...."
"Kau benar, anak Tan." berkata Hay Thian Sin Ni. "Ada
sebabnya kenapa aku tidak dapat turun tangan membantu
nona itu...." Cukat Tan dan Teng Hiang menjadi heran, tetapi sebab si
nikouw tidak sudi memberikan keterangan lebih jauh terpaksa
mereka tidak berani memaksa bertanya.
Hay Thian Sin Ni dapat membaca hatinya muda mudi itu,
maka ia berkata, "Tak usah kalian menjadi heran. Akan aku
jelaskan sedikit. Dari gerak geriknya, aku sudah ketahui dialah
murid dari Pay In Nia. Ada baiknya sekarang dia mengikuti Im
Ciu It Mo, supaya dia dapat mewariskan kepandaiannya si
Bajingan Tunggal itu. Si Bajingan pandai dua macam ilmu
lihai. Ialah ilmu Sun Im Dit Sat Kang itu serta ilmu tangan
kosong Tauwlo Cia, Tangan Halus."
Mendengar keterangan itu Cukat Tan dan Teng Hiang
mengangguk. Lewat sekian lama, Hay Thian Sin Ni mengambil peles
obatnya dari dalam dinding, untuk disimpan di dalam sakunya,
kemudia setelah mengangkat hudrim, kebutannya ia
merapihkan pakaiannya. "Kita jangan layani dia itu." katanya. "Mari kita pergi !"


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cukat Tan berdua menurut, mereka mengikut pergi.
Sekarang kita melihat dahulu Cio Kiauw In.
Ketika itu hari Nona Cio berpisah dari It Hiong di kota Tang
hong, ia langsung menuju ke Gakyang. Dan waktu ia tiba di
kota itu, Teng Hiang bersama Gak Hong Kun sudah
meninggalkannya dua hari di muka, tetapi ia sabar dan teliti.
Ia membuat penyelidikan hingga ia mendapat keterangan di
tempat persinggahannya bahwa dua orang itu sudah menuju
ke Kho-tiam-cu, kemana ia segera menyusul.
Hari itu ditengah jalan, Kiauw In tiba di sebuah rimba yang
lebat, yang rindang, yang hawanya adem, maka sekalian
beristirahat, ia berhenti dan duduk dibawahnya sebuah
pohonnya, diatasnya akar yang besar dan menonjol keluar.
Belum lama si nona beristirahat itu, tiba-tiba ia mendengar
suara orang yang nyaring sekali.
"Kita sudah berlari-lari setengah hari, kenapa kakak Tio It
Hiong ku masih tak dapat dicari ?" demikian suara itu, suara
wanita. "Kau tentulah bukan makhluk baik-baik, pastilah kau
sedang menipu aku !"
Lalu terdengar suara serak dari seorang pria, "Siapa itu Tio
It Hiong, aku tidak tahu. Hanya sahabatku itu yang mengaku
sendiri begitu. Saban kali dia ketemu orang, dia mengatakan
dirinya Tio It Hiong, dan beberapa orang yang bertemu
dengannya memanggil dia Tio It Hiong juga. Hanya aku....."
"Jangan kau mengoceh saja !" si wanita menyela. "Dimana
adanya Tio It Hiong yang kau sebut itu " Hayo kau ajak aku
pergi padanya !" Selama itu, kedua orang itu mendatangi semakin dekat.
Hatinya Kiauw In tertarik sekali. Orang menyebut-nyebut It
Hiong. Ia duduk terus dibawah pohon itu, tetapi ia membawa
lagak tak perhatian. Diam-diam saja ia memasang mata.
Ketika itu dari jalan dari mana ia datang, Kiauw In
mendengar suara orang berbicara sambil tertawa-tawa. Lekaslekas
ia menoleh. Kiranya itulah dua orang hweshio, atau
pendeta. Setengah tua, jubahnya serupa, jubah kuning
dengan gelang emas ditangan kirinya masing-masing. Suara
mereka itu keras. Dari kejauhan ia merasa wajah orang ia
kenal. Tak lama tibalah kedua orang suci itu. Mereka berjalan
sambil terus bicara dan tertawa. Sama sekali mereka tak
memperhatikan si nona yang duduk sendirian saja. Sebaliknya
Kiauw In lantas mengenali para Liong Houw Siang Ceng si
pendeta Naga dan Pendeta Harimau dari kuil Gwan Sek Sie
dan Ngo Tay San. Baru kedua pendeta itu lewat lima tombak lebih, dari jalan
dalam rimba muncullah dua orang yang tadi terdengar dengan
suara nyaring. Merekalah seorang wanita serta seorang pria
yang rambutnya hijau, si wanita berusia tujuh atau delapan
belas tahun, si pria setengah tua dan agaknya licik. Bersama
mereka itu ada seekor orang utan besar.
Setelah mereka lihat pria dan wanita itu, Liong Houw Siang
Ceng menghentikan tindakannya di tengah jalan dan
mengawasi kedua orang itu.
Si nona cantik melihat dua orang suci itu seperti
menghadang di tengah jalan, dia mengawasi, lalu dia
terbangun, kemudian dengan senyuman manis, dia menyapa,
"Kalian berdua pendeta, apakah hati kalian belum bersih dan
otak kalian belum kosong " Kenapa kalian mengawasi nonamu
begini rupa " Kenapa kalian juga menghadang di tengah jalan
?" Bu Siang Hweshion tertawa dan kata, "Sicu adalah seorang
wanita, sudi apalah sicu jangan bicara sembarangan saja !
Sebenarnya pinceng mau mohon bertanya, pria yang berjalan
bersama sicu ini orang macam apakah ?"
Si nona tertawa. "Bapak pendeta, mari nonamu memberikan keterangan
sebenar-benarnya saja kepada kalian ?" sahutnya polos.
"Dengan begitu maka tak usahlah kalian nanti menanya
banyak-banyak." Dia berhenti sebentar, dia mengawasi kedua
pendeta, baru dia berkata pula, "Bapak pendeta, aku sendiri
adalah Ya Bie, muridnya Kip Hiat Hong Mo Tou Hwe Jie dari
Cenglo ciang ! Dan itu." dia menunjuk kepada si orang utan,
"dialah So Hian Cian Li."
Kedua pendeta terdiam mendengar disebutnya nama Tou
Hwe Jie, mereka saling memandang, paras mereka menjadi
tenang kembali. "Dan ini sahabat rambut hijau ?" Bu Siang menanya pula,
karena si nona tidak segera melanjuti keterangan. "Dia pernah
apakah dengan sicu ?"
Si nona menggeleng kepalanya.
"Aku tidak tahu namanya dia." sahutnya
"Dialah sahabat yang aku ketemukan di tengah jalan."
Sementara itu, Lek Hoat Jiu Long demikian si pria berambut
hijau berdiam saja. Dia kenal kedua pendeta itu. Dia telah
membinasakan pendeta dari Gwan Sek Sir, pasti itu orang
tentu mencari dia guna menuntut balas. Sekarang dia bertemu
dengan Liong Houw Siang Ceng sendiri, maka dia berlagak
pilon. Di dalam hati dia mengharap orang tidak mengenalinya.
Tapi, sudah dia mendengar suara si nona yang terakhir dia
berpura tertawa dan kata pada nona itu, "Ah, nona Ya Bie
gemar bergurau ! Bagaimana orang sendiri nona
mengatakannya tak kenal ?"
Berkata begitu, dia mengedipi mata pada si nona.
Ya Bie seorang golongan sesat, tetapi dia polos, dia pula
baru mulai muncul, dia tak mengenal terlalu banyak gerak
gerik orang, bahkan melihat tingkahnya Lek Hoat Jiu Lok, dia
menjadi sebal. Maka juga dia membuka lebar matanya,
dengan tampang gusar dia kata pada pria itu, "Apa kau bilang
" Siapakah orang tuamu sendiri ?"
Liong Hauw Siang Ceng terus mengawasi dan mendengari,
lantas timbul kecurigaannya. Terlihat tegas bahwa si wanita
polos dan si pria licik. Maka mereka lantas mengawasi pula si
pria. "Sahabat rambut hijau," berkata Bu Sek Hweshio
kemudian, "kau ingat tegas, siapakah pinceng?"
Suara itu keras bagaikan guntur. Lek Hoat Jiu Long kaget
sampai tubuhnya bergemetar. Dia mundur dua tindak untuk
menenangkan hatinya yang bergoncang, untuk bersiap sedia,
tangan kirinya mengeluarkan bie hun tok hun, tangan kanan
mencabut sebatang pedang pendek.
"Keledia botak dari Gwan Sek Sie !" kemudian dia
membentak. "Apakah kamu mau mencari mampusmu " Tuan
besar kamu ialah Lek Hoat Jiu Long !"
Mendengar nama itu, bukan main gusarnya kedua pendeta.
Jadi inilah musuh mereka ! Bagaikan kalap Bu Sek lantas
berteriak berlompat maju dengan tinjunya !
Inilah saat yang ditunggu Lek Hoat Jiu Long yang licik. Dia
tidak menangkis atau menghadang, waktu dia diserang itu dia
lantas bergerak ke samping buat menyelamatkan diri dari
ancaman tinju maut. Tapi dia bukan hanya berkelit, dia pun
membuat pembalasan dengan caranya sendiri. Dia mengayun
tangan kirinya, menyebarkan bubuk mautnya dan
meluncurkan tangan kanannya, menikam dadanya si
penyerang ! Bu Sek terkejut melihat gerakan lawan itu, apa pula
selekasnya dia melihat asap merah tua itu. Dia mundur sambil
lompat berjumpalitan ke belakang terus dia menahan nafas
untuk segera mengerahkan tenaga dalamnya. Walaupun
demikian dia kurang cepat, sebab penyerangan bubuk tepat
sedangkan dia maju. Maka juga dia telah kena menyedot tak
sedikit bubuk bius itu. Bau harum masuk ke dalam hidungnya,
mendesak masuk ke otak, membuat kepalanya pusing dan
matanya berkunang-kunang terus dia terhuyung-huyung dan
roboh ke tanah ! Pedang pendek Lek Hoat Jiu Lon tidak berhasil seperti
bubuknya itu, inilah sebab ketika dia menyerang Bu Sek, Bu
Siang yang memasang mata melihat gerakannya itu dan
pedangnya segera dihajar dengan gelang emasnya si pendeta
hingga gelang itu terpental dan tangannya si penyerang kaku
baal ! Bu Siang menguatirkan keselamatan saudara
seperguruannya itu, maka juga habis menghajar pedang
lawan dia lompat kepada Bu Sek untuk memondongnya
bangun. Lek Hoat Jiu Long gusar dan penasaran, justru Bu Siang
lompat kepada Bu Sek, dia sendiri menerjang pendeta itu.
Lagi-lagi dia menyebar bubuk beracunnya.
Tiba-tiba terdengarlah seruan yang nyaring halus lalu satu
sinar berkilat berkelebat, menyusul itu Lek Hoat Jiu Long
memperdengarkan jeritan yang menyayatkan hati sebab
tangannya yang menyebar bubuknya terkutung tiba-tiba
sebatas bahunya dan terjatuh ke tanah, tubuhnya pun turut
roboh kebanting. Saking kesakitan, dia berkoresan ditanh.
Menyusul itu satu tubuh langsing berlompat ke depan
beberapa orang itu. Kiranya dialah Nona Cio Kiauw In, yang
membantu tepat pada Bu Siang Hweshio.
Ya Bie lantas mengawasi Nona Cio dan menegur, "Eh, eh,
kenapa tidak karuan kau mengutungkan lengan orang " Jika
kau mau bertempur, nonamu bersedia melayani kau beberapa
jurus !" Kiauw In mengawasi nona itu. Ia lantas berkesan baik.
Orang cantik dan polos. "Adik kecil," katanya tanpa menghiraukan tantangan orang,
"tahukah kau siapa orang yang berambut hijau ini dan benda
apa yang dia sebarkan ?"
"Aku tidak tahu." sahut si polos.
"Inilah semacam bubuk beracun." Kiauw In kasih tahu.
"Asal orang ada Kang Ouw jahat, maka dia menggunakan
racun ini buat mencelakai orang."
Ya Bie heran, dia tertawa.
"Kakak," tanyanya ramah, "kenapa dengan sekali melihat
saja kau ketahui itu ?"
Kiauw In berpaling kepada kedua pendeta.
"Lihat dua orang pendeta itu," katanya. "Mereka telah
terkena racun ini !"
Ya Bie menoleh, maka ia melihat kecuali pendeta yang
pertama, yang kedua pun telah roboh tidak berdaya, tubuh
mereka tak berkutik. Ia menjadi kaget.
"Eh, eh, kenapa kedua pendeta tua itu kehilangan jiwanya
?" tanyanya. Dia menyangka Liong Houw Siang Ceng telah
terbinasakan Lek Hoat Jiu Long, maka dia menjadi gusar
seketika, hingga dia menggertak giginya segera dan
membisikan orang utannya, "Pergi kau, kutungkan tangan
yang satunya dari orang itu !"
So Hua Cian Li lantas berseru terus dia berlompat pergi.
Paling dahulu dia memungut pedang pendeknya Lek Hoat Jiu
Long, sebelum si rambut hijau tahu apa-apa, lengannya yang
sebelah lagi itu sudah lantas ditebas kutung !
Sebagai orang tanpa tangan, Lek Hoat Jiu Long roboh
pingsan bermandikan darah !
Ketika itu Kiauw In sudah lantas menghampiri kedua
pendeta itu. Dia mengeluarkan obatnya pendeta dari Bie Lek
Sie yang It Hiong bagi padanya, obat itu ia masuki ke dalam
mulutnya Bu Sek dan Bu Siang, kemudian tanpa menanti
orang siuman ia bertindak menghampiri Ya Bie untuk
bertanya, "Adik, bukankah tadi kau mengatakan hendak
mencari kakak entah apa Hiong ?"
Ditanya begitu mukanya Ya Bie mendadak bersemu dadu,
walaupun demikian dia menjawab secara polos, "Dialah kakak
Hiong yang aku paling sukai ! Dia bernama Tio It Hiong.
Guruku....." "Gurumu telah aku ketahui !" tiba-tiba terdengar satu suara
yang nyaring, yang orangnya segera sampai di dekat mereka
itu. Orang berlompat pesat sekali. Kiranya dialah seorang lakilaki
tua berkeriputan yang berdandan sebagai pelajar.
Setibanya itu, si orang tua lantas mengawasi tajam kepada
Kiauwn In, kemudian dia menuding kepada Ya Bie sambil
berkata keras, "Namanya gurumu itu Kip Hiat Hong Mo, ada
apakahnya yang luar biasa " Nama itu tak usah dipamerekan
!" Ya Bie lantas mengenali pada Ie Tok Sinshe atau Tok Mo
yang dua hari lalu ia ketemukan di Kho tiam cu, yang ia
permainkan dengan Hoan Kak Bie Ciu, ketika mana ia hampir
bercelaka karena ilmu Sam Hiauw Lo Piang Ciang orang itu,
karenanya ia merasa jeri jgua, tak berani ia mempermainkan
pula. Karena itu dengan mata dipentang lebar-lebar dia
mengawasi saja. Nampak Tok Mo puas karena si nona tak menjawabnya, dia
tertawa sampai melenggak, kemudian habis tertaaw segera
tampak pula wajahnya yang menakutkan saking bengisnya.
"Kalau kalian tahu diri, lekas kalian kasih tahu padaku !"
katanya bengis. "Siapakah yang mengutungkan kedua
lengannya Lek Hoat Jiu Long ?"
Kiauw In menerka orang tua ini bukan orang lurus,
karenanya ia berhati-hati, tidak mau ia berlaku sembrono.
"Locianpwe." tanyanya, dapatkah aku mengetahui she dan
nama besar dari locianpwe ?"
Tok Mo tertawa terkekeh-kekeh, nadanya dingin.
"Bocah bau ! Apakah namamu ?" dia balik bertanya kasar.
"Siapa gurumu " Bagaimana sampai namaku si orang tua kau
tidak tahu ?" Ya Bie lantas menimbrung, "Kakak, dialah Tok Mo yang
juga dipanggil Ie Tok Sinshe ! Kakak awas terhadap ilmu silat
tangannya yang aneh !"
Dengan mata bengis, Tok Mo mengawasi si nona polos.
Terus dia tertawa terkekeh.
"Namaku si orang tua," kata dia, "sudah dikenal sejak
empat puluh tahun lalu ! Didalam dunia rimba persilatan, siapa
yang tak tahu dan tak takut " Hanya sekarang, setelah aku
baru muncul pula, yang mengetahui aku sangat sedikit ! Hmm
!" Nyata dari suaranya si tua ini jumawa, hatinya puas tak
puas. Kiauw In sementara itu sudah lantas menerka Tok Mo atau
Ie Tok Mo atau Ie Tok Sinshe ini tentulah orang yang telah
membunuh mati secara rahasia jago-jago Siauw Lim, Bu Tong
dan lainnya. Hal ini membuatnya girang berbareng berkuatir.
Ia berkuatir sebab ia menerka orang mestinya lihai luar biasa.
Dan ia bergirang karena ia memikir inilah kesempatan ia
mencoba ilmu silatnya Khi-Bun Pat kwa kiam terhadap lawan


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tangguh. Ia pikir juga, sungguh besar faedahnya bagi It
Hiong kalau jago tua itu dapat dirobohkan atau disingkirkan.
"Hanya kalau dia menggunakan racunnya," pikirnya pula.
Karena ini, ia berdiam terus.
"Eh, budak !" tegur Tok Mo bengis, "aku tanya kau, kenapa
kau diam saja " Kau mau menjawab atau tidak ?"
Kiauw In melengak. Sangsi buat memberikan jawabannya.
"Kakak, bilangilah !" Ya Bie menganjurkan. Nona ini benarbenar
sangat polos. "Siapakah guru kakak " Kenapa kakak
tidak berani berkatainya ?"
Justru itu, Nona Cio telah mendapat sebuah pikiran, maka
dia tertawa tawar dan kata, "Akulah Cio Kiauw In muridnya
Tek Cio Siangjin dari Pay In Nia ! Bagaimana ?"
Si muka keriputan itu nampak terbengong, terus dia
mengawasi tajam pada nona di depannya itu, dari atas ke
bawah dan sebaliknya, dia tertawa.
"Bagus !" katanya nyaring. "Nampaknya bakatmu baik
sekali ! Mari kau turut si orang tua pulang ke tempatku, untuk
belajar ilmu ! Sungguh kau berbahagia !"
Kiauw In tetap mengawasi, matanya dibuka lebar, sinar
matanya menandakan kemarahannya. Tetapi dapat dia
menguasai dirinya. Maka ketika dia menjawab suara sabar,
"Locianpwe, tidak ada halangannya yang locianpwe hendak
mengambil murid hanya sebelum itu ingin aku menanya,
apakah locianpwe dapat melawan pedangku ?"
Dengan satu gerakan cepat, Nona Cio menghunus
pedangnya. Terus dia menambahkan kata-kata, "Dalam hal
ilmu kepandaian, locianpwe cuma pandai menggunakan racun,
maka itu dalam halnya ilmu tangan kosong atau bersenjata,
locianpwe tak dapat dibungkam !"
Alisnya Tok Mo bangkit. Dia tak puas sebab telah
mengekangnya. Kata-kata si nona berarti bahwa janganlah dia
menggunakan racunnya. Lalu dia tertawa terkekeh.
"Anak perempuan, kau sangat licik !" katanya. "Kau
menggunakan akal muslihat untuk membuat hatiku panas !
Apakah kau sangka aku tidak tahu itu " Baiklah ! Karena kau
takut aku si tua menggunakan racun, hendak aku
menggunakan sepasang tanganku guna melayani ilmu
pedangmu Khie bun Pat kwa Kiam. Supaya kalau sebentar kau
kalah, kau kalah dengan puas !"
Berkata begitu, si orang tua menggulung tangan bajunya,
terus dia mengangkat sepasang tangannya.
Ya Bie dipinggiran terus mengawasi saja. Dia jeri terhadap
ilmu silatnya Tok Mo, tetapi dia mendengar Tok Mo mau
melawan pedang, hal itu membuatnya girang. Ingin dia
menyaksikan pertempuran itu. Ia pun kagum terhadap Kiauw
In, yang berhasil membikin si tua suka bertempur tanpa
menggunakan racun. Saking girang, mendadak dia tertawa
sendirinya ! Tok Mo heran, dia menoleh.
"Eh, budak liar, kau tertawakan apa ?" tegurnya.
Ya Bie tidak menghiraukan teguran itu, bahkan dia
mencibirkan mulutnya untuk menggodia si orang tua,
kemudian dia menoleh kepada Kiauw In untuk berkata,
"Kakak, kau tenang-tenang saja melayani dia ! Kalau sampai
kau tak berdaya nanti akan aku bantu kau dengan Hoan Kak
Bie Ciu supaya kau lolos dari bahaya !"
Tok Mo gusar sekali, maka juga dia membentak si nona
polos, "Kalau kau lancang campur tangan, lebih dahulu akan
aku habiskan nyawamu !" Kemudian dia meneruskan pada
Nona Cio, "Kau dengar ! Kau perhatikan. Jika kau kalah, kau
mesti tunduk dan menurut dengan baik-baik menjadi muridku
! Kau tahu !' Kiauw In berpura pilon, dia melirik lalu tertawa.
"Locianpwe" katanya hormat. "seandianya locianpwe yang
mengalah buat setengah jurus, bagaimana ?"
Tok Mo melengak. Itulah dia tidak sangka. Hanya sejenak
dengan wajah muka padam, dia kata keras, "Kalau aku kalah,
maka di dalam waktu satu tahun akan aku turut segala
perintahmua, aku bersedia menerjang api atau air, tak nanti
aku menampik." Belum lagi Kiauw In mengatakan sesuatu, Ya Bie sudah
bertepuk tangan dan mendahului berseru. "Bagus ! Bagus !
Bukan cuma satu tahun saja kau mesti turut segala
perintahnya kakak ini, kau juga mesti mengutungkan sebelah
tanganmu !" "Tutup bacotmu !" membentak si orang tua mendongkol
bukan main. Ya Bie polos tetapi dia pun jenaka, dan dapat bergurau
bahkan kata-katanya tajam.
Sementara itu Liong Houw Siang Ceng telah siuman dari
gangguan bubuk beracun, maka lantas melihat Kiauw In
hendak bertempur dengan si orang tua keriputan yang
berdandan sebagai pelajar itu, lekas-lekas mereka
menghampiri si nona untuk memberi hormat.
"Sicu, terima kasih buat pertolongan sicu !" mengucap Bu
Siang Hweshio. Sedangkan Bu Sek berkata, "Buat membereskan orang tua
ini, bagaimana kalau pinceng yang turun tangan ?" Dia pun
lantas menurunkan gelang emas dari lengannya.
"Kepala keledia !" Tok Mo membentak mendongkol. "Dirimu
sendiri masih ditolongi seorang nona, apakah kau rasa kau
sanggup melayani aku si orang tua " Kau mundurlah !"
Bu Sek heran, tak dapat dia menerima perlakuan itu.
Alisnya bangkit. "Baiklah pinceng bersedia menerima pengajaranmu, sicu !"
katanya. Dan segera dia mendahului menyerang !
Dia lantas menggunakan ilmu silat tangan kosongnya itu,
Sam Hiauw Liok Piau Ciang, jurus "Sepasang Naga Merampas
Mutiara" untuk menyambuti gelang lawan. dia menyentil Liong
Houw Siang Houw, sepasang gelang Naga dan Harimau.
Dengan satu suara terang nyaring, sepasang gelang itu
kena disentil terpental. Bahkan Bu Sek merasai kedua
lengannya tergetar dan nyeri. Saking kageti dia lompat
mundur sambil berseru dengan pertanyaannya.
Jilid 45 "Siapakah kau ?" Sedangkan sepasang matanya dipentang
lebar. "Hm !" Tok Mo tertawa dingin, parasnya menunjuki dia
puas sekli. "Telah aku mengenali kaulah murid dari Gwan Sek
Sie ! Si tua yang gundul itu dahulu hari pun mengalah tiga
bagian terhadapku ! Orang dengan kepandaian semacam kau
ini, bagaimana kau berani berlaku kurang ajar terhadap aku si
orang tua ?" Bu Sek bertambah gusar. Orang telah menghina gurunya.
Dengan berani dia lompat menyerang, gelangnya dilontarkan !
Itulah ilmu silat tersohor dari kuil Gwan Sek Sie namanya
Liong Houw Hong In - Badai Naga dan Harimau-.
Tok Mo tidak berani menyambut serangan itu, dia hanya
berkelit ke sisi, baru dari itu dia menoleh dengan keras. Dia
menjadi gusar, sebab berkelit baginya berarti yang dia telah
didesak. "Oh, keledia gundul tak tahu selatan !" bentaknya. "Aku si
tua tak dapat mengampuni kau ! Demi muridku yang
dikutungkan dua belah tangannya itu, aku akan menangih
hutang berikut bunganya !"
Menutup kata-kata sengitnya itu, Tok Mo mengeluarkan
Giok Lauw Kio Ciauw, alat mautnya itu tetapi justru dia hendak
menyerang, Kiauw In bersama Ya Bie sudah lompat
menghadang di depannya. Dan nona Cio segera berkata,
"Orang itu jahat sekali, dia suka menyebar bubuk beracun
mencelakai orang ! Akulah yang mengutungkan lengan
kirinya, jika kau hendak membuat perhitungan, kau lakukanlah
itu atas diri nonamu ini !"
Ya Bie pun berkata, "Lengan kanan dia itu akulah yang
menyuruh So Han Cian Li membuntungkannya dan peristiwa
itu tidak ada sangkut pautnya dengan kedua pendeta ini !"
Sementara itu hatinya Bu Sek tak tenang. Kepandaiannya
yang istimewa itu masih tidak dapat berbuat apa terhadap
lawan yang lihai sekali ini. Terpaksa dia mundur.
Bu Siang menarik adik seperguruannya terus dia kata
nyaring kepada Kiauw In, "Nona Cio, sampai jumpa pula !"
Segera dia lompat bersama adiknya pergi melenyapkan diri ke
dalam rimba. Tok Mo mengawasi kedua nona, parasnya yang muram
perlahan-lahan menjadi reda.
"Lek Hoat Jiu Long muridku ini." demikian tanyanya,
"kenapa kalian jadi bertempur dengannya?" Berkata begitu dia
menunjuk pemuda si rambut hijau yang rebah tak berkutik.
Baru sekarang Kiauw In tahu bahwa orang yang disebut
Lek Hoat Jiu Long dan menjadi muridnya To Mo, pantaslah dia
jahat dan mudah menggunakan bubuk beracunnya. Karena ia
tak dapat lantas menjawab, ia berdiam saja.
Melihat demikian, Ya Bie mendelik kepada Tok Mo terus dia
tertawa dan kata, "Muridmu itu berbuat bagus sekali, pantas
dia mendapat pembalasan setimpal ini !"
Wajahnya Tok Mo menjadi padam pula. Nona ini
membuatnya gusar. "Budak liar !" bentaknya. "Jangan kau kurang ajar ! Coba
kau bilangi aku, apa yang muridku ini telah lakukan " Kau
bicaralah dengan terus terang, nanti aku si tua memutuskan
siapa salah siapa benar ! Asal ada setengah patah saja dari
kata-katamu yang dusta, aku si tua tak akan mengampunimu
!" Ya Bie berlaku tenang, bahkan dia merapikan dulu
rambutnya. "Sebenarnya panjang buatku menutur," katanya seenaknya
saja. "Apakah kau tak nanti sebal mendengarkannya ?"
Tok Mo menyimpan pula senjata rahasianya itu, dia
bertindak maju dengan kepala diangkat.
"Kau bicaralah !" katanya. "Jangan kalian mencari alasan
untuk kabur !" Ya Bie suka bercerita, dan ia menuturkan perbuatannya Lek
Hoat Jiu Long. Beginilah keterangannya itu : Hari itu ditanah
berumput diluar Kho tiam cu, ia mengajak orang utannya
menyingkir dari bajingan yang lainnya itu, lewat belasan lie
barulah dia berhenti berlari-lari. Justru disitu ia bertemu
dengan Lek Hoat Jiu Long yang kabur dari rumah penginapan.
Jiu Long kabur seperti orang kurang sadar saking bingungnya,
dia merasa seperti ada orang yang mengejarnya. Dia kena
menubruk si orang utan, yang terus membantingnya roboh,
setelah mana dia dijambak, dibawa ke depannya Ya Bie.
Sambil berbuat itu, si orang utan berPekik tak hentinya, Jiu
Long kaget terus dia pingsan.
Ya Bie mengira Jiu Long itu adalah orang Kang Ouw, dia
menyuruh orang utannya mengangkatnya bangun, lalu dia
menolong menyadarkannya. Tidak lama Jiu Long siuman. Dia heran mendapati dirinya di
pangku seorang nona yang tubuhnya menyiarkan bau harum
kewanitaan dan tampangnya cantik. Lupa pada keadaan
dirinya, dia tertawa girang.
Ya Bie adalah seorang gadis, ia menjadi tak senang.
"Ha, kau kenapakah ?" tegurnya sambil melemparkan
tubuh orang. Jiu Long mengasih lihat tampang memohon.
"Nona, kau penuhkanlah keinginanku !" katanya.
Ya Bie tak menghiraukan. Ia belum kenal kata0kata
asmara. "Eh, tahukah kau kakak Hiongku ?" tanyanya. "Kakak
Hiongku itu adalah seorang muda yang biasa membawa-bawa
pedang pada punggungnya."
Jiu Long senang sekali. Dia merasa si nona polos dan
mudah diakali. Dia mencekal tangan orang dan tertawa.
"Tio It Hiong ?" katanya. "Dialah sahabatku. Ada apa kau
mencari dia ?" Nona itu tertawa. "Aku mau mencari kakak Hiong tetapi itu tidak ada
hubungannya dengan kau !" sahutnya. "Karena kaulah
sahabatnya, kau tentu tahu dimana adanya dia sekarang !
Maukah kau mengantarkan aku kepadanya ?"
Jiu Long tertawa, bukan main girangnya.
"Tak sukar hatiku mengajak kau pergi kepada kakak
Hiongmu itu !" katanya. "Hanya sebelumnya kau harus
menerima baik satu syaratku....."
"Apakah syar itu ?" tanya si nona cepat. "Kau sebutkanlah
!" Jiu Long tertawa bergelak. dia menggerak-geraki kedua
belah tangannya, memperlihatkannya pria dan wanita tengah
bersenang-senang berplesiran.
Si nona mementang matanya. Tak dapat ia menangkap
artinya isyarat itu. Ia berdiri menjublak mengawasi.
Lek Hoat Jiu Long mengulangi gerak gerik tangannya itu.
"Nona yang baik, kau telah mengerti bukan ?" tanyanya.
Ya Bie menggeleng kepala.
"Aku tidak mengerti." sahutnya. "Coba kau bicara biar jelas
!" Makin senang hatinya Jiu Long. Ia mendapati si nona masih
hijau. "Benar-benarkah kau tidak mengerti ?" dia menegaskan.
Mendadak dia lompat maju dua tindak, matanya mengawasi
dengan sinar menyala. Terus dia kata pula, perlahan, "Nona
yang baik, kaulah nona yang telah dewasa, masihkah kau tak
mengerti maksudku " Ni, begini......" Ia memberi petaan pula
dengan kedua belah tangannya.
Ya Bie tetap mengawasi dengan mendelong, kepalanya
digeleng-geleng. Kemudian dia tertawa dan kata, "Asal kau
benar-benar dapat mengantarkan kau kepada kakak Hiongku,
apa juga yang kau kehendaki aku perbuat, akan aku lakukan !'
Lek Hoat Jiu Long tidak kenal It Hiong, dia cuma mengoceh
saja, tak tahu dia dimana si anak muda, tetapi dia cerdik luar
biasa, dia licik mana untuk mewujudkan apa yang dia pikir, dia
tak memilih jalan lain. Mengawasi kecantikan si nona saja, dia
sudah mengiler....... "Aku menjamin bahwa akan kau ajak kau mencari kakak
Hiongmu itu !" kata dia sambil menepuk-nepuk dada. "Kau
jangan kuatir nona !" Ia tertawa, terus ia menambahkan,
"Nona asal kau suka memenuhi kehendakku, hingga tubuh
kita dapat tergabung menjadi satu, apa juga perintahmu, akan
aku turuti !" Mendadak menutup kata-katanya itu, Jiu Long berlompat


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menubruk si nona ! Ya Bie tidak kaget karena terkaman itu. Sebenarnya dia
tidak setolol seperti diperkirakan Jiu Long. Barusan dia
berlagak saja yang ia tak mengerti gerak gerik orang. Ia
mencintai It Hiong, itu artinya dia sudah kenal asmara. Karena
ia menerka orang adalah satu bajingan paras elok, ia hendak
mencoba hati orang. Demikian ketika ia diterkam itu dengan
cepat ia berkelit terus ia menggunakan ilmunya, Hoan Kak Bie
Ciu si orang utan ia jadikan penggantinya !
Waktu ia ditubruk si nona menjerit nyaring.
Jiu Long lantas merasa bahwa ia telah merangkul tubuh
orang yang hangat, hingga ia bagaikan ditinggalkan rohnya
saking puas hatinya. Dia mengawas muka orang. Si nona
cantik. Tanpa dia ketahui, si nona sendiri sebenarnya sudah
memisahkan diri. Segera ia lari ke dalam rimba sambil
memondong tubuh orang. Dalam tempat yang sunyi itu,
hendak dia melampiaskan nafsu binatangnya.
Ya Bie sementara itu mengintai gerak gerik orang. Dia
mendongkol berbareng merasa lucu. Kemudian dia berduduk
di atas sebuah batu besar, matanya mengawasi langit,
pikirannya sperti melayang-layang. Di saat itu hatinya terasa
kosong....... Selang tak berapa lama terdengarlah suara Pekik berulangulang
lalu tampak orang utan lari berlompat menghampiri
nonanya. Di depan si nona, kembali dia memperdengarkan
Pekikannya berulang-ulang, kedua kakinya atau tangannya
digeraki demikian rupa, seperti juga dia melukiskan apa yang
terjadi diantara dia dan Lek Hoat Jiu Long.
So Hun Cian Li sudah pandai benar dalam hal menghisap
darah orang dan Lek Hoat Jiu LOng bukanlah lawannya,
karena dia itu telah menjadi letih bukan main, semangatnya
seperti meninggalkannya, si orang utan melepaskan diri dari
rangkulannya tanpa dia ketahui.
Ya Bie mengawasi binatang piaraannya itu dan tak melihat
si rambut hijau keluar bersama, tahulah dia apa yang telah
terjadi pada orang itu. Ia menepuk-nepuk si orang utan dan
bersenyum. Lewat sekian lama barulah tampak Lek Hoat Jiu Long
muncul dari dalam rimba, tindakannya perlahan, tubuhnya
terhuyung, pakaiannya kusut. Kapan dia melihat si nona
sedang duduk dibatu, dia tertawa dan berkata, "Nona tak
dapat aku melupai cintamu terhadapku, aku telah tidur dan
bermimpi baik sampai aku membuatmu menantikan lama
disini, harap maafkan aku !" Dan dia memberi hormat. Dia
menjura dalam ! Ya Bie tertawa atas lagak orang itu, dia meliriknya lalu
berkata, "Kau telah menjanjikan aku mencari kakak Hiong.
Sekarang hayolah kau antarkan aku ! Mari lekas !"
"Ya" sahut jiu Long. Dan lantas dia bertindak pergi.
Demikianlah maka juga bertiga mereka berjalan bersamasama.
Lewat tiga hari barulah mereka tiba di wilayah Gakyang
itu, di rimba luar kota, hingga mereka bersamplokan dengan
Liong Houw Siang Ceng dan menjadi bertempur karenanya.
Hingga si rambut hijau menerima bagian sebagai pembalasan
kejahatannya sebegitu jauh.
Begitulah penuturannya Ya Bie, yang selalu bergembira,
sampai tahu-tahu dia mendapati nona Cio Kiauw In membaliki
belakang dan telinganya tampak merah. Tok Mo sebaliknya,
dia lantas lari menghampiri muridnya buat memeriksa
nadinya, habis mana dia katanya, "Ah ! Masih dapat ditolong,
cuma mestilah aku menjadi berabe karenanya...." Terus dia
merogoh sakunya mengeluarkan sebutir obat putih, yang dia
jejali ke dalam mulutnya si murid, setelah mana dia diam
mengawasi guna menantikan reaksi dari obatnya itu.
Sesaat itu muka pucat pasi dari Jiu Long tetap tak berubah.
Maka juga Tok Mo kemudian menghembuskan hawa dari
mulutnya ke mukanya si murid. Hawanya itu berupa seperti
halimun. Hanya sebentar habis dihembuskannya hawa itu,
tubuhnya Jiu Long bergeming. Dia siuman terus merintih dan
membuka matanya. Tok Mo meletakkan tubuh orang ditanah.
"Kau rebahlah !" katanya pada murid itu. "Aku hendak
membereskan dua anak perempuan itu, buat mengambilnya
sebagai murid." Ia berbangkit terus ia menghadapi Kiauw In
dan Ya Bie ke depan siapa ia berlompat pesat.
Ketika itu Kiauw In berada berdekatan dengan Ya Bie sebab
ia ingin minta keterangan lebih jauh tentang It Hiong, sebab
nona itu selalu menyebut It Hiong sebagai "kakak Hiong" nya.
Ya Bie tidak kenal nona Cio, tak tahu dia ada hubungan apa
diantara It Hiong dan nona itu, karena polosnya dia
menjelaskan segala apa dengan terang.
Mendengar keterangannya itu, Kiauw In mengerutkan
alisnya. Ia terharu buat nona polos itu, yang sendirinya
tergila-gila terhadap It Hiong.
Sementara itu Nona Cio tidak mau lantas menyingkir dari
hadapannya Tok Mo. Asal ia mau dapat ia berbuat begitu,
tetapi ia memikir mencari keterangan hal orang tua ini,
Bukankah dia pernah berhubungan rapat dengan Hoat Ciu Jiu
Long dan telah melakukan penyerangan hebat pada pihak
Siauw Lim Sie " Ia pula tidak takut, ingin ia mencoba Khie bun
Patkwa Kiam dan Ten In Ciong, ilmu ringan tubuh Tangga
Mega buat menjajaki berapa lihainya si Bajingan itu.
Barulah si nona dan Ya Bie berhenti bicara dan menoleh,
setelah mereka mendengar suaranya Tok Mo yang
menghampirinya memperdengarkan suara nyaring. Kiauw In
melirik Bajingan itu. Berkatalah Tok Mo, "Kalian tak menggunakan ketika kalian
buat lari pergi, benar-benar kalian bernyali besar. Kalianlah
orang yang cocok yang aku cari, kalian berbakat dan pantas
menjadi murid-muridku !"
Kiauw In tidak menjawab, hanya ia menghunus pedangnya
dan memutar itu ! Ya Bie sebaliknya berkata, "Kalau kau hendak merampas
murid orang, kau mesti pertunjuki dahulu kepandaianmu yang
sebenar-benarnya !" "Hm !" si Bajingan memperdengarkan suara dinginnya.
"Sudah, jangan kita bicara saja dari hal-hal kosong belaka
!" katanya. "Nah, mari kita mulai bertempur !"
Kiauw In tidak menjawab, dia cuma mengangguk, terus dia
maju menyerang. Serangan itu didahului dengan tangan
kirinya diluncurkan lurus.
Kapan Tok Mo melihat caranya si nona menyerang, tak
berani dia menangkis. Dengan kecepatan luar biasa, dia
mundur satu tindak, terus dia menggeser kaki kirinya ke kiri.
Dengan begitu, dengan berada disamping dia membalas
menghajar lengan kanan si nona.
Dengan satu gerakan, "Pelangi Menggaris Langit" Kiauw In
menangkis ke kanan. Dengan jalan ini, ia membikin si
penyerang membatalkan serangannya itu, setelah itu dengan
cepat dan lincah ia mengulangi serangannya.
Kembali Tok Mo menyingkirkan diri dari serangan hebat itu.
Ternyata dia sangat gesit. Setiap kali habis diserang, segera
dia dapat membalas. Dengan demikian dia mengimbangi
kecepatan si nona. Maka juga terliaht mereka berdua
seimbang sekali. Kedua pihak tidak bermusuhan tetapi karena sama-sama
ingin merebut kemenangan pertempuran menjadi berjalan
hebat. Sama-sama mereka mengeluarkan kepandaian masingmasing.
Kiauw In tidak bermusuh dengan lawannya ini tetapi
demi It Hiong, hendak menyingkirkannya, supaya dari siangsiang
dapat disingkirkan salah satu ancaman bencana rimba
persilatan. Tok Mo sebaliknya sangat ingin menaklukan si
nona, supaya nona itu suka menjadi muridnya. Buat
berhasilnya Bu Lim Cit Cun, ia memerlukan banyak pembantu
dan kawan, dan nona itu, dengan menjadi muridnya, ia
sanggup bakal menjadi bantuan tenaga yang besar sekali.
Maka juga, tak ingin ia melepaskan Kiauw In. Begitulah, ia
terpaksa mengeluarkan kepandaian "Sam Hiauw Lok Piau
Ciang". Khie bun Patkwa Kiam sudah terkenal sejak puluhan tahun.
Kiauw In telah mempelajari itu dengan sempurna, sekarang ia
dibantu dengan keringan tubuh dari ilmu Tangga Mega. Ia jadi
dapat bersilat dengan baik sekali. Dengan begitu, ia membuat
Tok Mo sulit lekas-lekas merobohkannya. Sekian lama itu,
mereka tetap berimbang saja, mereka sama tangguhnya.
Ya Bie kagum dan heran menonton pertempuran yang
hebat itu, yang ia belum pernah saksikan. Dialah nona yang
baru mulai memunculkan diri di dalam dunia Kang Ouw. Dia
pun merasa tegang sendirinya.
Sedang pertempuran berlalu itu, sekonyong-konyong
terdengar satu bentakan keras, tampak tubuhnya Tok Mo
mencelat tinggi satu tombak leibh, lalu dari atas dengan
mengibasi tangan bajunya, tubuhnya itu turun kebawah
sambil menyerang lawannya, yang diarah batok kepalanya !
Inilah akibatnya Tok Mo heran dan penasaran, sebab tak
sudi dia kena dikalahkan si nona. Maka ia mengeluarkan salah
satu jurus silatnya itu, "Hian Thian Pek Te" "Mengangkat
Langit Membelah Bumi".
Kiauw In mendapat dengar seruan orang dan melihat
tubuhnya orang itu mencelat naik, ia dapat menerka
maksudnya musuh, maka juga ia tetap tenang dan waspada
dan bersiap sedia. Kapan ia telah melihat tegas gerakan lawan
itu, ia tidak mau mundut atau berkelit ke samping, ia justru
menikam ke atas, menyambut serangan hebat itu. Itulah jurus
"Sebatang Tiang Menyangga Langit". Dan itulah pula berarti
keras lawan keras. Tok Mo terkejut sekali. Belum lagi tangannya mengenai
sasarannya, tangannya itu sudah merasai nyerinya hawa
pedang, maka itu dia kelabakan hendak menarik pula
tangannya itu. Tapi dasar jagi, dia tidak gugup. Dia
menjejakkan kakinya yang satu dengan kaki yang lain, tenaga
dalamnya dikerahkan. Dengan begitu, tubuhnya Bisa
membalik naik terapung pula. Menyusul itu, dia terus bergerak
ke samping, hingga dia dapat turun di tanah tanpa kurang
suatu apa-apa. "Hebat !" pikirnya. Dia malu sendirinya, parasnya menjadi
suaram. Kiauw In tidak melanjuti menyerang, ia justru menarik
pulang pedangnya. Sambil bersenyum manis, ia menghadapi
lawan itu. "Terima kasih locianpwe, kau telah mengalah padaku."
katanya. "Hm !" Tok Mo memperdengarkan suara dinginnya. Nyata
dia penasaran. "Tangan kosong melawan pedang, kalah
sejurus tak berarti apa-apa. Bagaimana kalau aku si orang tua
hendak mencoba-coba menggunakan ilmu pedangku Thian
Tan Kiam Hoat, guna melayani ilmu pedang kesohor dari Pay
In Nia " Bersediakah kau melayani aku beberapa jurus ?"
Kiauw In bersikap tawar ketika ia memberikan jawaban,
"Jika locianpwe hendak main-main pula, aku minta biarlah kau
menggariskan beberapa aturan atau syarat !"
Tok Mo melengak. "Eh, budak bau, ada apakah akal muslihatmu ?" tanyanya
heran. "Kau hendak menggariskan apa lagi " Coba jelaskan,
buat aku dengar." Nona Cio melirik. "Kita mengadu pedang, caranya jalan apa yang dinamakan
sampai batas saling towel, cukuplah sudah !" sahutnya. "Atau
apakah locianpwe menghendaki ada bahaya jiwa ?"
Masih Tok Mo heran, hingga dia berdiam sejenak.
"Terserah pada kau !" ia bilang akhirnya.
Kiauw In mengangguk. "Baiklah kita tetapkan begini" katanya. "Siapa menang, dia
hidup ! Siapa kalah, dia mati ! Diantara kita tidak ada lagi
berbelas kasihan !" Tok Mo tertawa terkekeh. "Baiklah !" sahutnya. "Aku si tua tak takut padamu !"
Kiauw In bukannya jumawa, kalau toh ia menyebut caranya
itu, inilah sebab keinginannya menyingkirkan Tok Mo yang ia
percaya adalah seorang yang mengancam keselamatan dunia
rimba persilatan. Tok Mo pun telah mengambil keputusannya. Kiauw In dari
pihak lurus, tak nanti dia berlaku curang. Sifat lawan itu
membuatnya berkesan baik. Tapi ia mau menjadi jago, pasti ia
hendak mengambil orang menjadi muridnya, karenanya,
karena gagal dia membujuk, terpaksa hendak ia merampas
jiwa orang.... Tepat disaat kedua orang itu mau mengadu jiwa,
mendadak Ya Bie menyela. "Tahan !" teriaknya, suaranya nyaring bagaikan
kelenengan. Kiauw In dan Tok Mo batal bergerak, sama-sama mereka
mengawasi si nona. "Cara kalian kurang tepat !" berkata Ya Bie. "Umpama kata,
ada bagiannya yang bocor !"
Tok Mo menjadi tidak puas.
"Budak bau !" bentaknya, "apakah yang kau maksudkan itu
?" Ya Bie mencibirkan mulutnya. Dia kocak sekali.
"Barusan ada dikatakan siapa menang dia hidup, siapa
kalah dia mati !" katanya. "Itulah kurang jelas ! Bagaimana
kalau salah satu pihak gagal tetapi dia tak sampai dilukai "
Apakah dengan begitu si kalah nanti lantas membunuh dirinya
sendiri ?" Tok Mo melengak, lantas ia menatap Kiauw In.
"Budak bau, kau bilanglah !" katanya.
Seenaknya saja Tok Mo suka mengucap "budak bau" nya !
"Siapa kalah jurusnya, dia kalah jiwanya !" sahut Kiauw In
tanpa berpikir pula. "Bagus !" berseru Tok Mo yang lantas menghunus
pedangnya bersiap buat maju.
"Tenang, locianpwe !" Ya Bie berseru pula. "Locianpwe, aku
belum bicara habis ! Buat apa tergesa-gesa tak karuan ?"
"Hmm !" Tok Mo lagi-lagi memperdengarkan suara
dinginnya mengejek. Terpaksa dia menunda menggerakkan
pedangnya. Kata dia sengit, "Eh budak liar, apa lagi tingkah
polahmu " Jangan kau membuat aku si tua habis sabar, nanti
aku akan lebih dulu membekukmu !"
Kiauw In sebaliknya tertawa, ia menganggap nona itu
jenaka.

Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adik yang baik, aku ingin omong apa lagi ?" tanyanya
manis. "Lekas kau bicara !"
Ya Bie membuka matanya lebar-lebar, ia menatap si
bajingan. "Aku tanya kau !" katanya tenang. "Bagaimana andiakata
kalian sama tangguhnya, tak ada yang kalah, seri saja ?"
Tok Mo berdiam, Kiauw In pun nampak melongo tetapi ia
dapat menerka maksud yang sebenarnya dari Ya Bie ini. Nona
itu hendak memancing bangkitnya kemendongkolan atau
kemarahannya si Bajingan yang bertabiat keras dan rada
jumawa itu. Maka itu iapun lantas menggunakan akalnya.
"Kau benar adik !" katanya tertawa. Terus dia menoleh
kepada lawannya, untuk berkata, "Di dalam hal ini aku minta
sukalah locianpwe yang memberikan kepastian !"
Tok Mo menunjuk tampang tak sabaran, tetapi ia mesti
membawa sikapnya secara jantan, maka dia tertawa lebar.
"Baiklah aku mengalah, budak bau, agar kaulah yang
membuat keputusan !" katanya. "Tak ingin aku orang nanti
tertawakan dan mengatakan aku si tua menghina dan
menindih si muda !" Kiauw In lantas tunduk, untuk berpikir. Diam-diam ia saling
melirik dengan Ya Bie. Lewat sesaat ia kata, "Ah, aku juga tak
dapat memikir cara yang baik......" Tetapi lekas ia mengangkat
kepalanya untuk berkata kepada Ya Bie, "Adik yang baik, kau
menyadarkan kami, kau tentu mempunyai jalan
pemecahannya ! Adik, cobalah kau yang bicara !"
Ya Bie menoleh kepada Tok Mo.
"Kalau aku yang bicara, kau suka turut kata-kataku atau
tidak ?" dia tanya. "Bicaralah !" jawab Tok Mo tak sabaran, tangannya pun
diulapkan, "Lekas bicara !"
Nona itu maju satu tindak. Dengan jari tangannya yang
lancip, dia menunjuk pada si Bajingan.
"Aku lihat ilmu pedang kalian sama-sama ilmu pedang
kenamaan," demikian katanya, "maka itu menurut
pandanganku, pastilah sudah kalian bakal seri, tak ada yang
menang, tak ada yang kalah! Cumalah kau, locianpwe, sebab
kau menang latihan, kau jadi menang diatas angin, jika kalian
bertempur lama, dengan menghamburkan banyak waktu,
akhirnya kakak ini yang tentu bakal kalah ! Nah, apa katamu,
benar atau tidak perkataanku ini ?"
Hebat nona dari Cenglo Ciang ini.
Tok Mo mengangguk. "Benar benar !" sahutnya. "Lekas bilang, bagaimana
caramu ?" "Dalam pertempuran mengadu pedang ini, orang harus
berlaku adil." kata pula Ya Bie. "Mengenai ini, aku mempunyai
dua cara....." "Lekas bilang, apakah itu !" desak Tok Mo.
"Yang pertama ialah," menjelaskan si nona, "kalau harus
bertempur dalam batas lima puluh jurus, kalau kalian sama
tangguhnya maka kaulah yang kalah, locianpwe dan karena
itu kau harus loloskan semua senjata rahasia beracun yang
berada di dalam tubuhmu terpaksa menggoyang ekor
ngeloyor pergi." Mendadak saja Ya Bie menghentikan kata-katanya, terus
dia mengawasi tajam si Bajingan guna mendengar suara
orang. Tok Mo menggeleng-geleng kepala.
"Kau bicara guna pihak sana, itulah tak dapat !" bilangnya.
Ya Bie tertawa. "Tapi cobalah kau pikir !" katanya. "Kau seorang tingkat tua
bertempur dengan seorang tingkat muda, tetapi si tingkat tua
tidak mau mengalah barang sedikit jua, kalau orang
mendengar, apakah si tua tak kuatir dia nanti ditertawakan "
Laginya kau bukannya diminta untuk sudi mengalah atau
memberi muka sesudahnya satu pertempuran sungguhsungguh
! Andiakata kau merasa tidak unggulan, sudah saja
baik pertempuran ini dibatalkan !"
Tok Mo mesti berpikir keras. Tak dia menyangka Ya Bie
tengah mengocoknya. Dia lalu menimbang-nimbang, mustahil
di dalam waktu dua atau tiga puluh jurus tak dapat dia
mengalahkan nona itu. Bukankah ilmu pedangnya Thian Tan
Kiam Hoat, "Lari ke Langit" lihai luar biasa ! Diakhirnya dia
mengangguk dan kata, "Baiklah, aku terima caramu ini ! Nah,
bagaimana yang kedua itu ?"
Ya Bie tertawa. "Yang kedua itu" katanya, "kalau kakak ini kalah, dia akan
menjadi muridmu. Sebaliknya, apabila kaulah yang kalah, kau
harus menguntungkan sebelah tanganmu dan buat selamalamanya
kau mesti keluar dari dunia Kang Ouw !"
Tok Mo berpikir keras. Ia heran nona semuda itu tetapi
pikirannya demikian bagus dan pandangannya demikian jauh.
Ia pula merasa si nona lihai sekali, caranya yang diajukan itu
sangat hebat.... Tengah orang berpikir itu, Ya Bie sudah berkata pula,
"Orang ada demikian termashur di dalam dunia Kang Ouw,
tetapi heran, di dalam urusan sekecil ini dia membawa
sikapnya yang beragu-ragu seperti caranya nenek saja..... !"
Parasnya Tok Mo berubah pucat dan merah. Tapi tak dapat
dia bergusar. "Oh, budak liar yang licin !" katanya memaksa diri tertawa.
"Budak, aku si orang tua telah kena kau jual."
Mendengar suara orang itu, Kiauw In sengaja memasuki
pedangnya ke dalam sarungnya terus ia kata pada Ya Bie,
"Adik, mari kita pergi ! Berbicara dengan orang semacam ini
hanya membuang waktu ! Sungguh tak menggembirakan !"
Dan terus ia memutar tubuhnya buat berjalan pergi.......
"Tahan !" teriak si Bajingan agak bingung. "Kiranya kalian
berdua pandai sekali menggunakan lidah kalian ! Dengan cara
kalian yang licik ini, kalian mau cari alasan buat kabur pergi !"
Kiauw In menoleh. "Siapa yang mau kabur ?" bentaknya. "Hunuslah senjatamu
!" Berkata begitu si nona sendiri sudah menghunus pula
pedangnya. Wajah To Mo menjadi padam.
"Dua dua syaratmu itu aku si tua menerimanya !" katanya
sengit. "Hanya pada itu, pada yang pertama harus
ditambahkan sepatah kata ! Ialah kalau sudah lima puluh
jurus kita masih saja seri, itu harus ditambah menjadi seratus
jurus sampai ada keputusan siapa menang siapa kalah !"
Dengan kata-kata ini, Tok Mo bermaksud mengandalkan
usianya lebih tua atau latihannya terlebih lama. Ia memiliki
latihan beberapa puluh tahun dan ia percaya lama-lama si
nona akan kalah ulet. "Baik !" Kiauw In berseru selekasnya orang baru menutup
mulutnya. "Jangan kau menyesal nanti !"
Dan si nona dengan membawa pedangnya ke dadanya
segera menikam langsung. Tok Mo terperanjat. Tak ia sangka si nona begitu bicara
begitu menyerang. Dengan agak repot, dia menggerakkan
pedangnya menangkis tikaman itu.
Nona Cio berlaku cerdik. Tikamannya itu gertakan belaka.
Baru menikam setengah jalan, ia sudah merubahnya. Ia
menunda setengah jalan, untuk terus menikam dari sisi dan
begitu lekas jago tua itu menangkis pedang, kembali ia
memutar gerakannya akan melanjutkan merabu !
Di dalam sekejap, Tok Mo lantas kena terkurung sinar
pedang. Dengan ilmu pedang Khie bun Patkwa Kiam, Kiauw In
mendesak secara berantai. Ia seperti tak hendak memberi
kesempatankepada lawannya itu. Selagi pedangnya bergerak
bagaikan kilat berkeredepan tubuhnya mengikutinya bergerak
dengan lincah sekali. Tok Mo sudah lantas kena terkurung selama dua puluh
jurus, dia dipaksa menjadi si pembela diri saja. Pernah dia
mencoba memperbaiki dirinya, dia tidak berhasil. Di dalam hati
dia kaget. Maka dia mencoba terus agar dia bisa merubah
keadaannya yang berbahaya itu. Sebegitu jauh dia dapat
menjaga diri, tetapi lama-lama "
Lima jurus lagi telah lewat, si Bajingan tetap terkurung
sinar pedang. "Tiga puluh jurus !" Ya Bie berseru di luar kalangan
pertempuran. Dia menonton tetapi dengan sendirinya dia
mengangkat diri menjadi wasit dan selama menonton itu dia
menghitung jurus demi jurus sampai kepada jurus yang ketiga
puluh itu ! Seruan si nona mendatangkan kesan lain di dalam hatinya
kedua orang yang lagi mengadu kepandaian itu. Yang satu
girang, yang lain berkuatir. Dan yang berkuatir adalah si
Bajingan, Celaka kalau dia yang kalah !
Kiauw In bertempur dengan mencampuri Khie bun Patkwa
Kiam dengan ilmu silatnya Pat Pie Sin Kit, ilmu Hung Liong
Hok Houw Ciang. Selagi menikam ia suka menceling itu
dengan pukulan tangan kosongnya. Tak ada kesempatan yang
ia lewatkan secara percuma.
Tok Mo tetap menggunakan hanya Tan Kiam serta Sam
Hauw Liok Piau Ciang yang lihai, kalau tidak, tidak nanti dia
sanggup bertahan sekian lama itu walapun dia sudah sangat
terdesak. Keuletan dan ketabahannya membuatnya berhati
mantap seterusnya dia berlaku sangat waspada, awas dan
gesit. Tiba-tiba Kiauw In menikam lawan sambil ia membarengi
menghajar bahu lawannya itu. Ia mencari jalan darah thian
coan si lawan. Tok Mo merasai sambaran angin pada bahunya itu, bahu
kanan. Lekas-lekas dia berkelit tetapi dia sedikit terlambat,
maka kagetlah dia tatkala dia merasai nyeri pada bahunya itu.
Tangannya si nona menowelnya seperti juga tangan itu serupa
senjata tajam. Dasar dia lihai dan telah berpengalaman, selagi
dia terserang itu, mendadak dia melayangkan sebelah kakinya
! Ia membalas pukulan tangan dengan tendangan !
Kiauw In pun kaget. Inilah diluar dugaannya. Celakalah, ia
pun sedang tanggung, mengegos tubuh sukar, menangkis
sulit. Syukur ia tabah, ia tak putus asa. Ia sudah lantas
menyerang, menebas iga lawan !
Inilah siasat terluka atau terbinasa bersama !
"Hm !" Tok Mo memperdengarkan suaranya sambil dia
berlompat mundur, menyingkir dari tebasan itu. Dia mundur
sejauh tiga tindak. Asal dia lambat, pasti tajamnya pedang
menyapanya ! Walaupun demikian, dua-duanya sama-sama mengeluarkan
peluh dingin. Itulah sebabnya si nona insyaf yang barusan ia
telah menghadapi ancaman maut.
Kiauw In baru mundur atau sinar pedang berkelebat ke
arahnya. Itulah serangannya Tok Mo, yang begitu mundur
begitu maju pula guna melakukan penyerangan, sebab dia
hendak merebut kedudukan, supaya selanjutnya dialah yang
menggantikan merabu lawan, untuk didesak dan dirobohkan.
Kiauw In menginsyafi bahaya. Ia pun tahu, tak dapat lawan
diberi ketika mendesak kepadanya. Maka itu bertentangan
dengan cara biasanya, ia bukannya berkelit dari tusukan maut
itu, ia justru menangkis ! Hingga ia melawan kuat dengan kuat
! "Traaang !" begitu satu suara nyaring dari bentroknya
kedua pedang ! Sebagai kesudahan dari beradunya kedua senjata, Kiauw In
tertolak mundur tiga tindak, lalu dengan susah payah ia
menahan tubuhnya untuk berdiri tetap.
Di pihak Tok Mo pun mundur, hanya cuma satu tindak,
tetapi berbareng dengan itu dia merasai lengannya tergetar
nyeri, hingga dia ketahui bahwa tenaganya si nona besar
sekali. "Tak kusangka budak ini bertenaga begini besar." kataya di
dalam hati. Terus dia tertawa dingin dan kata, "Bagus ilmu
pedangmu ! Bagaimana, beranikah kau menyambut pula satu
jurusku?" Dan tanpa menanti jawaban lagi, dia maju
menyerang ! Dia membacok !
Tak berani Kiauw In mengadu tenaga pula. Tadi pun ia
melakukannya saking terpaksa. Kalau ia paksa melawan
dengan keras, bisa-bisa ia terluka di dalam hati. Maka itu
gunanya ia menangkis. Ia justru berkelit ke samping, untuk
dari samping itu membalas dengan satu tebasan !
Tok Mo mengerti yang orang tidak mau mengadu tenaga
dengannya, ia pun lekas memutar tubuh, tetapi ia bukannya
berkelit, hanya ia menangkis tebasan itu. Ia menggunakan
tenaganya sebab ia pikir, tangkisannya pun sama hebatnya
seperti bacokannya. Kiauw In berlaku sangat cerdik. Niatnya ia menebas tetapi
selekasnya ia melihat lawan dapat bersiap menangkisnya,
tebasan itu dijadikan gertakan belaka. Dengan cepat ia
menarik pulang, lalu dengan sama cepatnya ia menikam !
Itulah jurus "Anak Panah mencari Sasarannya".
Tok Mo terkejut, tengah ia menangkis tak dapat ia
menggunakan pedangnya itu menangkis pula. Terpaksa ia
berlompat berkelit dengan cepat sekali, hingga ia bebas dari
ancaman maut ! "Hebat" pikirnya. Maka insyaflah ia akan lihainya ilmu
pedang dari Pay In Nia. Tentu sekali jago tua ini tidak mau mengalah. Mengalah
berarti ia bakal kehilangan muka. Maka ia menggerakkan pula
pelbagai jurus dari Thian Tan Kiam, ilmu pedangnya itu guna
melayani si nona, buat mencari ketika akan memiliki keadaan
agar ialah yang memegang pimpinan.
"Sudah empat puluh jurus !" Ya Bie berseru pula sambil dia
tertawa nyaring. "Tinggal lagi sepuluh jurus ! Hendak aku lihat
bagaimana lihainya Thian Tan Kiam mu itu !"
Kalau Thian Tan Kiam digunakan oleh si Bajingan dari
empat puluh tahun yang lampau, tak nanti Kiauw In dapat
bertahan lama, tetapi kali ini Tok Mo adalah si Bajingan palsu.
Maka juga, setelah kewalahan itu, dia lantas berkelahi dengan
terus mengandal kekuatan tenaganya. Dia terus-terusan
berlaku keras ! Kiauw In sebaliknya mengandalkan keringanan tubuhnya,
maka itu di sini terlihat kekerasan melayani kelunakan.
Namanya mereka ini pin bu, mengadu kekuatan untuk
memastikan siapa menang, siapa kalah, kenyataannya
sebaliknya. Mereka ini mengadu kekuatan benar-benar bukan
menang atau kalah mati ! Terus-terusan kedua pedang berkelebatan dan sinarnya


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkilauan, dengan begitu lewat sudah lima puluh jurus, tetapi
sebab syaratnya si Bajingan, pertandingan dilanjuti tanpa
beristirahat lagi. Tok Mo toh meminta seratus jurus dan
seterusnya sampai ada keputusan siapa menang dan siapa
kalah. Dan Tok Mo pun terus menggunakan kekuatan tenaga
lahirnya, dia melotot dengan bernoat membuat si nona
akhirnya kehabisan tenaga dan letih karenanya...............
Lama-lama Ya Bie menjadi habis sabar, ia menganggap Tok
Mo tidak memegang janji, dari menggoda saja, ia menjadi
gusar. Tak lagi ia mengeluarkan kata-kata bergurau atau
mengejek, mendadak ia menghunus pedangnya dan lompat
menikam ! Tapi kemarahan si nona justru mendatangkan keuntungan
bagi Tok Mo. Dia gusar dan mendongkol dan penasaran, tetapi
dasar jago ulung, dia pun pandai berfikir. Ada saatnya yang
dia bisa berlaku sabar dan menggunakan otaknya yang jernih.
Diam-diam dia telah memancing pihak lawan, terhitung nona
diluar medan pertempuran itu.
Selekasnya Ya Bie menyerang, Tok Mo berlompat mundur
sejauh dua tindak. "Hai !" teriaknya, "hai, mengapa kau campur tangan "
Apakah kau hendak melanggar aturan pertempuran ini ?"
Ya Bie melotot. "Siapakah yang tak memegang aturan ?" balasnya. "Lima
puluh jurus sudah lewat. Kalian tetap sama tangguhnya !
Apakah kau hendak menyangkal itu ?"
Tok Mo tertawa dingin. "Budak bau, kau melupakan syarat tambahanku !" katanya.
"Toh telah aku jelaskan, habis lima puluh jurus harus
ditambah lagi lima puluh jurus pula, sampai ada yang menang
dan kalah !" Kiauw In pun mendongkol. "Adik yang baik !" ia menyela. "Untuk melayani orang tak
mempunyai kepercayaan ini, tak ada lain jalan daripada
menguat rasa padanya supaya dia tahu diri !" Ia terus
mengawasi lawannya untuk kata : "Kau menghendaki sampai
saatnya menang atau kalah ! Apakah kau sangka nonamu
takut ?" Dalam mendongkolnya nona Cio segera menikam dengan
jurus pedang "Cun Lui Keng Ciu" atau "Guntur Musim Semi
Mengagetkan Kutu Serangga". Pedangnya itu menikam dada
untuk diteruskan menggores perut !
Tok Mo melihat datangnya serangan, dia menangkis
dengan keras, membuat pedang si nona terpental balik, dilain
pihak tangan kirinya merogoh ke sakunya, mengeluarkan
"Giok Lauw Kip Ciauw", senjata rahasianya yang beracun
hebat itu untuk dipakai menyerang pada saatnya sebentar.
Kiauw In mengulangi serangannya. Ya Bie tidak, ia hanya
berdiri menonton hingga ia menyukai hebatnya pertempuran,
jauh terlebih hebat daripada yang semula tadi.
Ketika itu disaat tengah hari, kedua pedang bersiuran
menyilaukan mata, anginnya juga mender hebat.
Ya Bie mengajak orang utannya mundur karena kuati kena
pedang nyasar. Sekonyong-konyong terdengar teriak nyaring merdu, "Kena
!" Dan sinar pedang meluncur mirip bianglala ! Itulah
serangan hebat dari Kiauw In yang melihat satu kesempatan !
Itulah jurus silat "Memisahkan Kupu-kupu Menikam Ikan" yang
mengarah dada." Kembali Tok Mo kaget. Inilah serangan di luar terkaannya.
Sia-sia belaka dia mencoba menghindarkan diri, ujung pedang
telah mengenakan juga bahunya hingga kulitnya pecah dan
darahnya mengucur keluar ! Luka itu tidak berbahaya tetapi
dia toh berdarah-darah. Kiauw In tidak puas dengan hasilnya itu, ia meneruskan
menikam lebih jauh. Ia ingin menyingkirkan kutu busuk ini
yang berbahaya buat dunia rimba persilatan.
Tok Mo gusar dan penasaran, ia menjadi nekat hingga ia
bersedia buat mati bersama. Demikian satu kali habis
menangkis pedangnya si nona, pedangnya diputar buat
dipakai meneruskan membalas menusuk lawan itu !
Ya Bie melihat ancaman bahaya bagi Kiauw In itu. Ia kaget
hingga tanpa terasa ia berseru.
Kiauw In berlompat mundur, tak urung bajunya kena
telopak ujung pedang yang menggores sedikit kulitnya.
Selekasnya ia dapat berdiri tetap, ingin ia bicara kepada
lawannya itu atau Tok Mo yang tak menghiraukan luka
dibahunya sendiri sudah berlompat menyusul guna
mengulangi serangannya. Kali ini dia sekalian mengayun tangan kirinya melemparkan
bubuk beracunnya hingga semacam uap tertiup angin terbang
ke arah nona Cio, bubuk itu yang berwarna merah tua, dapat
meluas tiga tombak disekitarnya.
Tak ampun lagi Kiauw In kena menyedot bubuk jahat itu.
Ia kaget dan ketahui yang ia telah terkena racun. Ia masih
ingat akan obatnya It Hiong tetapi di saat dia hendak merogoh
sakunya buat mengeluarkan obat itu kepalanya sudah
mendahului pusing dan matanya kegelapan, tidak waktu lagi
Pendekar Bodoh 4 Lentera Maut ( Ang Teng Hek Mo) Karya Khu Lung Dendam Membara 2

Cari Blog Ini