Ceritasilat Novel Online

Wanita Iblis 5

Wanita Iblis Karya S D Liong Bagian 5


selalu tepat mengarah sasaran, pun mengandung pancaran tenaga dalam yang kuat.
Hampir ia tak percaya bahwa seorang dara yang baru belasan tahun umurnya, dapat
memiliki kesaktian yang demikian hebatnya.
Tetapi Su Bo-tun itu seorang tokoh yang aneh. Baik girang maupun kaget, sukar
diketahui perubahan mimik wajahnya.
Tamu-tamu yang berada di pondok situ, adalah tokoh-tokoh kelas tinggi. Mereka
semua mengikuti dengan penuh perhatian pertempuran tadi. Dan kesan yang
diperolehnya, hampir sama. Terkejut, heran dan kagum".!
Bahwa seorang dara yang baru berumur belasan tahun, ternyata mempunyai kesaktian
yang begitu hebat telah mendorong mereka pada kesimpulan: Jika bukan anak buah
Beng-gak, tak mungkin di dunia persilatan terdapat seorang dara yang sedemikian sakti!
Tadi si orang tua jenggot putih yang hendak tinggalkan pondok itu, terpaksa batalkan
niatnya karena pertempuran itu. Bahwa ternyata itu dapat menandingi Su Bo-tun, orang
tua jenggot putih itu diam-diam kaget juga.
"Apakah nona anak murid Beng-gak?" tegurnya.
Hian-song tak menghiraukan orang tua jenggot putih itu. Ia berbisik kepada Siu-lam:
"Eh, pak tua itu memang sakti. Mungkin aku tak menang, lebih baik jangan
menempurnya!" Karena tak dipedulikan, orang tua jenggot putih itu marah. Tetapi ia jeri terhadap si
dara. Demikian pun Su Bo-tun. Ia tak mau menyerang si dara lagi. Kedua pihak saling
bersiap-siap tetapi tak berani mulai menyerang dulu.
Tiba-tiba Siu-lam teringat bahwa goha tempat tinggal wanita berwajah buruk yang
menawan sumoaynya itu, dapat menembus ke karang Coh-yang-ping. Ia duga Su Bo-tun
tentu tahu jalan ke tempat goha rahasia tersebut. Tetapi baru ia hendak menanyakan hal
itu, tiba-tiba si imam berambut merah sudah berbangkit dan mencabut pedangnya.
"Konon kabarnya Cit-jiau-soh itu menggemparkan dunia persilatan. Tetapi sampai
sekarang aku belum pernah menyaksikan sendiri. Maka sungguh beruntung sekali hari ini
kita dapat menerima kedatangan seorang anak buah Beng-gak. Kita dapat membuktikan
benar tidaknya kabar-kabar tentang kesaktian orang Beng-gak itu!"
Ucapan orang itu membangkitkan ketegangan sekalian tetamu. Kedua laki-laki
bertubuh tinggi besar, setelah saling berpandangan segera loncat menghadang di ambang
pintu. Si orang tua jenggot putih pun menyisih dua langkah ke samping dan menjaga di
sebelah kiri. Si imam jubah kelabu sambil menjinjing tongkatnya maju selangkah, tegak di
tengah-tengah. Su Bo-tun juga mengisar langkah dan tegak di sebelah kanan. Seketika
mereka seperti membentuk sebuah lingkar kepungan kedua muda-mudi itu.
Hian-song kerutkan alis dan bertanya bisik-bisik kepada Siu-lam: "Apa hubungan jarum
Chit-jiau-soh yang mereka katakan itu dengan kita berdua?"
Siu-lam menghela napas: "Mereka menganggap kita ini orang Beng-gak!"
Sambil membolang-balingkan pedang untuk melindungi diri, imam rambut merah maju
ke samping Siu-lam, serunya: "Chit-jiau-soh merupakan tanda maut. Sungguh beruntung
malam ini aku dapat bertemu dengan pembawa tanda maut itu. Apakah maksud
kedatangan kalian kemari?"
"Aku Pui Siu-lam dan ini sumoayku Tan Hian-song?"
"Banyak benar sumoaymu, huh!" cepat-cepat Su Bo-tun sudah menukasnya.
Siu-lam tak menghiraukan ejekan tuan rumah. Ia menjawab pertanyaan imam rambut
merah; "Kedatangan kami ke Coh-yang-ping tak lain tak bukan hanya perlu hendak pinjam
sebuah alat dapur pada Su lo-cianpwe dan sekalian hendak mohon tanya tentang dua
buah hal. Aneh, mengapa tuan-tuan malah mengepung kami?"
Paderi jubah kelabu berseru: "Sebagai kaum beragama, aku tak pernah berdusta.
Bukankah nona itu membawa jarum yang dianggap orang persilatan sebagai tanda
pengenal maut?" "Benar, kau mau apa?" Hian-song melengking.
Orang tua jenggot putih yang sejak tadi diam, saat itupun membuka suara:
"Kedatangan kalian malam ini ke Coh-yang-ping sini tentulah hendak menyampaikan
undangan supaya datang ke pesta Ciau-hun, bukan?"
Sebenarnya mendongkol sekali Siu-lam karena dituduh sebagai anak buah gerombolan
Beng-gak. Tetapi diam-diam ia gelisah karena memang Hian-song menyimpan sebatang
jarum Chit-jiau-soh yang kutung.
"O, jadi tuan-tuan tetap menuduh kami berdua ini orang Beng-gak?" serunya.
"Dengan mata kepala sendiri kulihat nona itu membawa kutungan jarum yang mirip
sekali dengan jarum Chit-jiau-soh. Dan itu berarti hendak membawa undangan Beng-gak
kepada kami!" seru si paderi.
Hian-song seraya mengeluarkan kutungan jarum dari bajunya: "Inikah jarum yang kau
maksudkan itu?" Belasan mata menumpah ke arah telapak tangan si dara yang memegang sebuah
benda berkilau-kilauan. Walaupun sudah mendengar namanya, tetapi sedikit sekali yang
pernah melihatnya. Kecuali si paderi jubah kelabu, sekalian orang sama melongok
memandang lekat-lekat. Ditimpa sinar pelita, kutungan jarum di telapak tangan si dara itu
memancarkan sinar biru gelap.
Tiba-tiba si orang tua jenggot putih memekik: "Tidak salah lagi, memang itulah jarum
Chit-jiau-soh?" Su Bo-tun mendengus dingin: "Baru pertama kali aku melihat, berikanlah benda itu
padaku!" Tetapi Hian-song cepat memasukkan jarum itu ke dalam bajunya lagi: "Perlu apa"
Cukup kalau sudah melihat saja?"
Su Bo-tun gusar: "Kau menghina aku. Masakan aku sudi memiliki benda semacam itu!"
"Tetapi ini peninggalan kakekku. Bagaimana dapat kuserahkan kepadamu, hm?"
"Persetan dengan benda peninggalan siapa saja. Pokoknya aku hendak
memeriksanya!" Su Bo-tun melangkah maju.
"Lo-cianpwe seorang tokoh yang ternama, masakan hendak merampas benda milik
orang!" tiba-tiba Siu-lam menghantam tuan rumah.
"Hm, kau berani kurang ajar padaku!" tangan kanan Su Bo-tun menyambar siku lengan
Siu-lam dengan gerak Kim-soh-pok-kau atau mengikat naga dengan tali emas.
Memang setelah gagal mengalahkan si dara, Su Bo-tun hendak tumpahkan
kemarahannya kepada Siu-lam. Justeru saat itu ia mempunyai alasan untuk bertindak. Ia
sekali gerak tentu dapat menguasai pemuda itu. Beberapa bulan yang lalu ia tahu jelas
sampai di mana kepandaian si anak muda.
Tetapi penilaiannya itu meleset jauh sekali. Tiba-tiba Siu-lam membalikkan sikunya.
Pukulan Hud-san-ciang tiba-tiba diganti dengan menutukkan dua buah jarinya ke
pergelangan tangan Su Bo-tun.
Bukan kepalang kaget Su Bo-tun menerima serangan yang tak diduga-duga itu. Ia
menyurut mundur dan tertegun. Hanya dalam waktu tiga bulan sejak berpisah, kini tahutahu
pemuda itu memiliki ilmu tutukan tingkat tinggi.
Jilid 9 SIU-LAM tak mau mendesak tuan rumah. Berpaling kepada sekalian tetamu, ia berseru
nyaring: "Meskipun sumoayku menyimpan kutungan Chit-jiau-soh, tetapi sama sekali aku
bukan anak buah Beng-gak. Bahkan kamipun mempunyai permusuhan juga kepada
mereka. Jika tak percaya kalian boleh tanyakan pada Su lo-cianpwe sendiri. Walaupun
dia tak tahu sampai jelas, tetapi dia telah menyaksikan sendiri peristiwa itu!"
Berpuluh mata tetamu segera diarahkan pada Su Bo-tun.
"Memang benar," Su Bo-tun menyahut dingin.
Tiba-tiba paderi jubah kelabu menyeletuk: "Menurut yang kuketahui, selain merupakan
tanda pengenal gerombolan Beng-gak, tak kudengar orang menggunakan jarum itu."
"Kutungan jarum itu, sumoay memperoleh dari seorang lo-cianpwe. Dari mana beliau
mendapatkan, akupun tak tahu," tukas Siu-lam. "Tetapi satu hal yang dapat kuterangkan
pada kalian?" tiba-tiba ia melirik ke arah meja dan serentak dengan terbeliaknya mata, ia
menjerit kaget: "Hai, jarum Chit-jiau-soh?"
Gemparlah sekalian orang. Cepat-cepat mereka memandang ke meja. Wahai" kejut
mereka bukan kepalang. Di atas meja yang tadi kosong melompong saat itu tahu-tahu
terdapat sebatang jarum Chit-jiau-soh, jarum itu menindih sehelai kertas putih".
Su Bo-tun mendengus dingin. Diambilnya kertas itu dan dibacanya. Sekalian
tetamupun segera mengerumuni.
Undangan: Diminta saudara-saudara pada nanti hari Toan-ngo (Peh-cun) datang ke lembah Toanbengkoh di gunung Beng-gak guna menghadiri permandian dosa pada pesta Ciau-hun
(memanggil roh). Barang siapa tidak datang, akan dibasmi seluruh keluarganya!
Tertanda Ketua Beng-gak. Su Bo-tun memberikan surat itu kepada orang tua jenggot putih: "Cobalah Ngo-heng
periksa tulisannya. Apakah serupa dengan tulisan di lain surat undangan?"
Setelah memeriksa, berkatalah jago tua itu: "Ah, aku sudah tak ingat lagi. Tetapi
menurut bentuknya, surat undangan ini tak berbeda"."
Su Bo-tun mendengus dan berpaling ke arah si hitam Kim-po: "Apa pagi tadi sewaktu
menyapu, kau melihat surat itu?"
"Tidak! Baru siang tadi muridpun menyapu lagi, tetapi surat undangan itu belum ada!"
sahut Seng Kim-po. Su Bo-tun tak mau menanya lebih jauh. Jarum disimpan dalam bajunya.
"Setelah menerima undangan itu, apakah Su sicu akan menghampiri?" tiba-tiba si
paderi jubah kelabu berseru.
Su Bo-tun tertawa dingin: "Walaupun aku tak suka mencampuri urusan lain orang,
tetapi ternyata mereka mencampuri urusanku. Terpaksa kali ini kulanggar peraturan.
Ingin kulihat bagaimanakah orang yang menamakan dirinya sebagai ketua Beng-gak itu!"
"Ah, syukurlah kalau Su-heng sudi turun gunung. Dengan begitu jerih payahku tak siasia?"
tiba-tiba si orang tua jenggot putih berseru lega. "Ketua Siau-lim, akan menuju ke
Tang-gak guna memimpin rapat besar para tokoh persilatan guna merundingkan langkahlangkah
menghadapi ancaman itu. Rapat itu akan diadakan pada nanti bulan tiga tanggal
tiga. Jadi kurang sebulan lagi. Kuharap Su-heng dapat menghadiri."
Paderi jubah kelabu pun menambahi: "Rapat di gunung Beng-gak itu, menyangkut
kepentingan mati hidupnya kaum persilatan. Dengan hadirnya para tokoh persilatan dari
seluruh penjuru, kiranya kita dapat mengikat persahabatan yang luas."
Su Bo-tun hanya menyahut dingin: "Sekali sudah kuterima untuk hadir, tentu takkan
ingkar. Maaf, di pondok yang begini sepi, aku tak dapat menyediakan hidangan yang
sepantasnya. Jika masih ada lain urusan, silahkan melaksanakan tugas masing-masing."
Mendengar ucapan tuan rumah yang bernada mengusir itu, berubahlah wajah sekalian
tetamu. Si orang tua berjenggot putih yang pertama-tama melangkah keluar. Menyusul
kedua lelaki setengah tua dan gagah dan kemudian si paderi jubah kelabu. Mereka
berbondong-bondong tinggalkan pondok itu. Su Bo-tun dingin-dingin saja melihat tetamutetamunya
pergi. "Orang itu benar-benar tak punya perasaan sekali," bisik Hian-song, "Ayo kita pun
pergi!" Belum Siu-lam menyahut, tiba-tiba Su Bo-tun sudah menyeletuk: "Hm, karena sudah
datang, mana bisa gampang-gampang pergi"."
Menatap Siu-lam, manusia berhati dingin itu bertanya: "Apa yang hendak kau tanyakan
padaku tadi, lekas bilang! Setelah itu akan kuberi kalian hajaran yang setimpal!"
Siu-lam melihat gelagat yang kurang baik. Rupanya pertempuran dengan tuan rumah
tak dapat dihindari lagi.
Dalam keadaan seperti itu ia memutuskan lebih baik berlaku gagah saja.
"Apakah di daerah Co-yang-ping sini hanya didiami oleh lo-cianpwe berdua dengan
murid saja?" serunya dengan tersenyum.
Su Bo-tun kerutkan kening, serunya gusar: "Jika bukan aku berdua dengan murid,
siapakah yang berani tinggal di sini!"
Siu-lam tertawa dingin: "Sebuah goha rahasia yang terletak di perut karang Co-yangping
ini ternyata ditinggali oleh seorang wanita tua yang menderita luka parah. Apakah locianpwe
tak mengetahui hal itu?"
Su Bo-tun agak terkesiap, serunya, "Sudah berpuluh tahun aku tinggal di sini, tetapi tak
kuketahui hal itu. Dari mana kau mendengar ocehan semacam itu?"
"Tetapi aku melihatnya dengan mata kepala sendiri, masakah aku bohong! Jika tak
percaya, harap lo-cianpwe ikut aku ke sana!"
"Benarkah begitu?" Su Bo-tun menegas.
"Aku tak pernah bohong!"
Sejenak Su Bo-tun merenung. Sesaat kemudian ia berseru: "Baiklah, jika berani
bohong, jangan harap kalian dapat tinggalkan tempat ini!"
Siu-lam segera menarik tangan Hian-song dan Su Bo-tun mengikutinya. Mereka
menuju ke goha rahasia di balik air terjun.
Ternyata Seng Kim-po pun mengikuti gurunya. Karena sudah paham, Siu-lam segera
memasuki goha dan menyusur ke dalam lorong. Akhirnya tibalah mereka di bagian lorong
yang sempit. Setelah mencapai ujung lorong mereka berjatuhan ke bawah dan tibalah di
ruang tempat si wanita berwajah seram.
Seng Kim-po menyulut api dan melihat di tanah tulang-tulang berserakan. Siu-lam
menerangkan bahwa itulah tulang-belulang si wanita berwajah seram yang tak pegang
janji. "Dia telah menawan sumoayku. Kemudian dia mengadakan perjanjian, apabila dalam
tiga bulan aku dapat mencari obat dari Ti-ki-cu Gan Leng-po maka sumoayku akan dilepas.
Tetapi belum cukup waktunya, ketika aku kembali ke sini, ternyata dia telah membunuh
sumoayku dan dia sendiri pun sudah mati. Karena marah, kutendang berantakan tulangbelulangnya"!"
Tiba-tiba dari gumpalan rambut yang berhamburan di tanah, Su Bo-tun memungut
sebatang tusuk kundai emas. Ketika diperiksa lebih lanjut, berubahlah wajah Su Bo-tun.
Dia mengigau seorang diri: "Tak kira kalau Giok-kut-yau-ki yang namanya
menggoncangkan dunia persilatan ternyata berpuluh tahun menyembunyikan diri dalam
goha di bawah karang Co-yang-ping!"
Siu-lam ikut mengamati tusuk kundai itu. Ternyata pada batang tusuk kundai terdapat
tiga buah huruf kecil-kecil. Menilik bentuk huruf yang mencang-mencong, jelas bukan
diukir tukang emas. Mungkin wanita itu sudah menyadari kalau takkan hidup lebih lama
lagi. Maka dia mengambil tusuk kundainya dan mengguratkan namanya dengan kuku jari.
Giok-kut-yau-ki artinya Siluman Perempuan Bertulang Kumala. Gelar itu dimiliki oleh Ih
Ing-hoa yang cantik jelita dan sakti. Namun Siu-lam dan Hian-song tak kenal siapa tokoh
wanita itu. Sambil memasukkan tusuk kundai ke dalam baju, Su Bo-tun berkata pula: "Sejak kapan
wanita ini bersembunyi di sini, aku sendiri tak tahu?" Ia menatap Siu-lam, katanya lebih
lanjut: "Entah di manakah jenazah sumoaymu sekarang ini?"
Siu-lam mengatakan bahwa jenazah sumoaynya telah dibawa keluar dari goha itu.
Katanya: "Karena lo-cianpwe tak mengetahui peristiwa ini, akupun takkan menanyakan
lebih jauh. Tetapi apabila tak keberatan, sukalah lo-cianpwe menceritakan tentang
riwayat hidup Giok-kut-yau-ki Ih Ing-hoa itu!"
Su Bo-tun mendengus: "Sebenarnya aku paling tak suka bicara. Tetapi karena kau
sudah membawa aku menemukan tempat persembunyian Giok-kut-yau-ki Ih Ing-hoa,
baiklah akan kuceritakan riwayat wanita itu selaku terima kasihku!"
Tiba-tiba Siu-lam teringat akan jenazah sumoaynya yang ditinggalkan di perut gunung.
Ia meminta agar Su Bo-tun suka bersama-sama datang ke tempat itu. Ujarnya: "Asal locianpwe
sudah menceritakan riwayat wanita itu, aku segera tinggalkan tempat ini dan
takkan mengganggu ketentraman lo-cianpwe lagi!"
"Hm, anak muda tetapi banyak petingkah," gumam Su Bo-tun. Namun ia mengikuti
juga Siu-lam ke tempat jenazah Hui-ing. Setelah melihat tumpukan kayu kering yang
menimbuni jenazah sumoaynya masih seperti tadi, Siu-lam segera minta Su Bo-tun
memulaikan penuturannya. Su Bo-tun memandang bintang-bintang di cakrawala, Rupanya ia tengah merenung
peristiwa-peristiwa yang lampau. Beberapa saat kemudian barulah ia membuka mulut:
"Giok-kut-yau-ki Ih Ing-hoa dahulu merupakan tokoh wanita sakti yang cabul dan kejam.
Entah sudah berapa banyak jago-jago silat yang telah dibunuhnya. Hal itu pernah
menimbulkan kemarahan dunia persilatan. Beberapa partai persilatan telah bersekutu
untuk menghancurkannya. Sungguh tak nyana kalau dia berhasil lolos dan
menyembunyikan diri di bawah karang Co-yang-ping sini?"
Ringkas sekali penuturan itu sehingga Siu-lam kurang puas, tanyanya: "Sampai di
manakah ilmu kesaktian Giok-kut-yau-ki itu?" Ia tahu Su Bo-tun tak suka bicara panjang
lebar. Maka sengaja ia memancingnya dengan pertanyaan satu demi satu.
Su Bo-tun mendengus: "Jika tidak memiliki kepandaian sakti, masakah digelari Giokkutyau-ki" Hm, selama dua puluh tahun terakhir ini kaulah satu-satunya orang yang
kuajak bicara sampai lama..." tiba-tiba ia memutar tubuh terus melangkah.
Sebenarnya Siu-lam hendak merintangi tapi pada lain kilas ia batalkan niatnya. Su Botun
menyembunyikan diri karena tak suka bicara dengan orang. Jelas ia tentu tak banyak
mengetahui tentang wanita Ih Ing-hoa.
Setelah Su Bo-tun dan muridnya lenyap, Siu-lam mulai menimang rencana selanjutnya.
Jumlah musuh jauh lebih besar, untuk membalas sakit hati gurunya, untuk sementara
sukar dilaksanakan. Akhirnya ia memutuskan untuk menuju ke gunung Tang-gak saja.
Mungkin dalam rapat orang gagah itu nanti, ia akan menemukan sesuatu jalan.
Ketika hal itu diutarakan, Hian-song gembira sekali. Siu-lam segera mengambil jenazah
sang sumoay. Jenazah itu tak jadi dibakar melainkan hendak ditanam saja. Sehabis rapat
di Tang-gak, ia hendak kembali lagi mengambil tulang-tulang sumoaynya.
Mereka terpaksa karena di sebelah depan menghadang sebuah karang yang menjulang
tinggi. Ternyata di sekelilingnya dikitari oleh karang-karang tinggi sehingga merupakan
sebuah lembah mati. Siu-lam anggap tempat itu sesuai untuk menanam jenazah sumoaynya. Ia hendak
menggali tanah, tapi tiba-tiba ia teringat bahwa pedangnya telah hilang dalam perjalanan:
"Sumoay, apakah kau membawa benda keras untuk menggali tanah?"
Kebetulan tadi Hian-song memungut sebuah perisai berbentuk seperti pedang pendek
dari goha Giok-kut-yau-ki Ih Ing-hoa. Segera diberikannya benda itu kepada Siu-lam.
Siu-lam bagai diingatkan bahwa ia sendiri pun punya perisai semacam itu. Hanya saja
warnanya kuning. Mereka segera bekerja membuat liang. Siu-lam gunakan perisai kuning. Hian-song


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perisai putih. Setelah selesai, jenazah Hui-ing pun dimasukkan. Siu-lam tak sampai hati
menimbuni tanah. Dipandangnya sosok mayat yang membujur di tanah itu dengan air
mata bercucuran. Entah berapa lama suasana itu berlangsung, tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh sebuah suara melengking nyaring: "Ing-ji, Ing-ji!"
Ketika mereka berpaling, ternyata di atas dahan pohon siong di dekat situ, hinggap
seekor burung kakaktua putih. Hai, itulah burung piaraan si wanita Ih Ing-hoa! Demikian
Siu-lam teringat akan burung piaraan Giok-kut-yau-ki Ih Ing-hoa yang dapat bicara seperti
manusia. Segera ia menghampiri ke bawah pohon.
"Niau-ji, Niau-ji, turunlah kemari aku hendak bertanya padamu!" serunya sambil
melambai. Seperti mengerti bahasa orang, burung itu pun segera terbang ke samping Siu-lam.
Melihat itu Hian-song loncat menghampiri. "Hai, suheng, bagus benar ya, burung ini"."
Siu-lam hanya tertawa. Kemudian ia bertanya pada si burung: "Hai Niau-ji, jika kau
benar-benar pintar, cobalah ceritakan tentang kematian sumoayku!"
Kakaktua putih memandang ke lubang yang berisi jenazah Hui-ing. Tiba-tiba ia
melengking: "Tidak" tidak" Ing-ji" tidak Ing-ji!"
Rupanya burung itu tak pernah diajar kata-kata bukan. Maka ia hanya dapat
mengatakan tidak. "Apa katamu?" dengan gugup Siu-lam berseru. Tetapi di luar dugaan tiba-tiba burung
itu terbang pergi. Siu-lam enjot tubuhnya melambung ke udara dan mengulangi
seruannya namun burung itu tak menghiraukan.
Pemuda itu tegak terlongong-longong sampai beberapa lama. Tiba-tiba ia mendapat
kesimpulan bahwa mungkin burung itu pernah diganggu orang. Dan pengganggunya itu
tentu mengucapkan kata-kata seperti yang diucapkan barusan. Diam-diam Siu-lam
menyesal dan banting kaki. Setelah meninggalkan pertandaan, mereka tinggalkan tempat
itu. Mengingat rapat para orang gagah hanya tinggal kurang lebih sebulan lagi, maka Siulam
batalkan rencananya mengantar Hian-song ke telaga Se-ou.
Entah bagaimana sejak melihat Siu-lam bersedih karena kematian sumoaynya. Hiansong
berubah ramah dan lemah lembut. Ia menurut saja rencana Siu-lam hendak menuju
ke gunung Tang-gak atau Thaysu di mana rapat akan diselenggarakan.
Hari itu mereka tiba di kota Yan-ciu. Selama dalam perjalanan tak sedikit mereka
berjumpa dengan orang-orang persilatan, baik secara rombongan maupun perseorangan.
Ia duga mereka tentu tokoh-tokoh persilatan yang hendak menghadiri rapat besar di
gunung Thay-san. Diam-diam Siu-lam mengagumi kewibawaan gerombolan Beng-gak. Hanya dengan
sebatang jarum dan secarik kertas saja telah dapat mengguncangkan seluruh kaum
persilatan. Saat itu Siu-lam tiba di depan sebuah rumah penginapan. Biasanya tentu jongos
penginapan menghalang di depan pintu untuk mempersilahkan tetamu. Tetapi saat itu
tidak. Rupanya penginapan sudah penuh. Namun Siu-lam tetap melangkah masuk dan
menanyakan kamar pada seorang jongos.
Melihat Siu-lam berpakaian bagus, jongos itu dengan sikap manis memberi keterangan
bahwa semua kamar sudah dipesan orang. Ia mempersilahkan Siu-lam cari lain rumah
penginapan saja. Tetapi beberapa rumah penginapan yang didatangi Siu-lam, serupa saja keadaannya.
Jongos selalu mengatakan kalau kamar penuh semua. Siu-lam duga tetamu-tetamu itu
tentulah tokoh-tokoh persilatan yang hendak menghadiri rapat gunung Thay-san. Oleh
karena harinya masih jauh, maka mereka tentu hendak beristirahat dulu di Yan-ciu. Yanciu
merupakan sebuah kota besar di wilayah Lulam. Sebuah kota yang ramai
perdagangannya dan penuh hiburan.
"Eh, apakah karena pakaianku buruk mereka tak mau menerima kita!" tiba-tiba Hiansong
menyeletuk. Siu-lam tak mengira si dara mempunyai perasaan begitu. Sahutnya: "Nanti setelah
dapat rumah penginapan barulah kita beli pakaian baru!"
Hian-song tertawa: "Memang pakaianku yang robek ini sudah kupakai beberapa tahun.
Kakek tak mengurusi soal pakaian. Tetapi sekarang kalau berjalan bersama kau dalam
pakaian begini, ah, malulah!"
Diam-diam Siu-lam memperhatikan wajah dara itu. Walaupun kulitnya agak hitam
tetapi sebenarnya memiliki paras yang cantik. Apabila berganti pakaian yang bagus,
tentulah dara itu akan tampak kecantikannya.
"Sudahlah sumoay. Sekalipun memakai pakaian yang lebih buruk lagi, aku tetap
memperlakukan sebaik sekarang ini!" katanya.
Dalam pada bercakap-cakap itu mereka tiba di sebuah rumah penginapan yang
memakai nama Hwe-ing-lok. Penginapan itu sebuah gedung besar, tentu masih ada
kamar kosong. Segera Siu-lam menanyakan pada jongos.
Selain rumah penginapan, pun Hwe-ing-lok itu merupakan rumah makan. Ruang
penuh dengan tetamu yang sedang makan. Jongos mengatakan bahwa kamar sudah isi
semua. "Sudah beberapa rumah penginapan kami datangi tetapi kamar penuh semua.
Penginapan ini sebuah penginapan besar, kalau satu dua kamar saja tentulah masih," Siulam
mendesak. Jongos itu tetap gelengkan kepala: "Kami mengusahakan rumah penginapan dan
menjual makanan. Sudah tentu setiap tetamu akan kami sambut dengan girang.
Masakah kami berani menolak?"
Siu-lam tersipu-sipu. Baru ia hendak melangkah pergi, tiba-tiba seorang tetamu
menghampirinya: "Jika saudara suka, bolehlah saudara memakai dua buah kamar yang
telah kupesan!" Siu-lam agak terkejut ketika melihat yang menawari itu ternyata It-pit-boan-thian atau
Pit Pengaduk Dunia Kat Thian Beng. Buru-buru ia memberi hormat: "Ah, tak kira dapat
berjumpa dengan lo-cianpwe di sini"."
Kata jago tua itu: "Di sini bukan tempat bicara. Marilah kita ke kamarku!"
Siu-lam mengiakan. Menuju ke ruangan dalam, melalui dua halaman, mereka masuk
sebuah ruang besar. Di tengah ruang telah disiapkan hidangan dan empat orang lelaki
duduk saling berhadapan. Ketika melihat kedatangan Kat Thian-beng, serentak keempat
orang itupun berdiri memberi hormat.
Siu-lam taka sing lagi kepada mereka berempat, yakni Thian Hong totiang, si Golok
Sakti Lo Kun dan kedua putera Kat Thian-beng ialah Kat Hong dan Kat Wi.
"Aha, karena di gunung Kiu-kiong-san, saudara buru-buru pergi maka tak sempat
kuhaturkan terima kasih kepadamu. Sekarang sambutlah persembahanku secawan arak
terima kasih!" Lo Kun menuang arak dan dengan kedua tangan menghaturkan kepada
Siu-lam. Karena sungkan terpaksa Siu-lam meneguknya!
"Ah, lo-cianpwe kelewat menyanjung. Hanya secara kebetulan saja aku membawa obat
itu," kata Siu-lam dengan merendah.
Muncullah Kat Thian-beng dari tempat pertapaannya karena surat undangan dari pihak
Siau-lim-si mengundangnya pada bulan tiga tanggal tiga supaya hadir dalam rapat orang
gagah di gunung Thay-san. Setelah rombongan Thian Hong sembuh dari lukanya, Kat
Thian-beng menceritakan siapa yang menolong mereka. Paderi itu tak mau kepalang
tanggung. Tujuannya untuk membasmi gerombolan Beng-gak makin teguh. Kedua
muridnya disuruh pulang kemudian ia bersama Lo Kun segera ikut Kat Thian-beng menuju
ke Thay-san. Sebenarnya Kat Thian-beng hendak suruh kedua puteranya pulang, tetapi rupanya
kedua pemuda itu berkeras ikut. Terpaksa Kat Thian-beng mengijinkan juga.
Pertemuan kali ini benar lain sekali suasananya. Siu-lam mendapat perindahan dan
terima kasih dari rombongan orang gagah itu sehingga berulang kali ia harus
mengucapkan kata-kata rendah hati.
Bahkan Kat Thian-beng yang pernah bertempur dengan Siu-lam tak henti-hentinya
memuji kesaktian pemuda itu. Diam-diam kedua puteranya, Kat Hong dan Kat Wi, tak
puas. Dasar darah muda, walaupun telah ditolong Siu-lam, tetapi kedua pemuda itu masih
tetap tak puas karena ayahnya memberi pujian. Andaikata sang ayah tak di situ, mungkin
mereka sudah cari perkara untuk menantang berkelahi pada Siu-lam.
Lo Kun dan Thian Hong totiang walaupun tak percaya pada keterangan Kat Thian-beng,
tetapi karena mereka tergolong orang tua, tidaklah hati mereka menjadi panas dan
penasaran. Selesai makan malam, Kat Thian-beng suruh kedua puteranya tidur di kamar Lo Kun.
Ia dan Thian Hong menyerahkan kamarnya kepada Siu-lam dan Hian-song.
Sikap yang begitu mengindahkan dari ayahnya itu makin membangkitkan nafsu Kat
Hong dan Kat Wi untuk mencoba kesaktian Siu-lam. Begitu sudah mengalahkan pemuda
itu barulah nanti mereka memberitahukan pada ayahnya. Dalam keadaan begitu, mereka
yakin ayahnya tentu terpaksa takkan memarahinya.
Setelah berada di kamar, Siu-lam segera suruh jongos memanggil tukang jahit dan
minta malam itu dibuatkan pakaian baru untuk Hian-song. Menjelang pagi, pakaianpun
sudah selesai. Ketika ganti pakaian baru, benar-benar Hian-song tampak cantik sekali.
Walaupun agak hitam tetapi hitamnya manis dan sedap dipandang.
Pagi-pagi sekali Kat Thian-beng sudah datang untuk mengajak kedua muda-mudi itu
makan pagi. Selesai makan bersama, Kat Thian-beng bertanya apakah Siu-lam berdua itu
juga akan menghadiri rapat besar di Thay-san.
Dengan merendah Siu-lam menyahut: "Ah, wanpwe hanya seorang anak muda yang
masih hijau mana diajak diundang ke rapat itu. Memang wanpwee berdua hendak menuju
ke sana untuk menambah pengalaman dan sekalian pesiar saja."
Berkata Kat Thian-beng dengan serius: "Sudah berpuluh tahun aku berkelana di dunia
persilatan tetapi baru pertama kali ini aku berjumpa dengan seorang muda yang memiliki
kepandaian luar biasa seperti saudara ini. Jika saudara mau menghadiri rapat orang
gagah yang akan berlangsung di gunung itu, akulah yang akan mengusulkan kepada rapat
agar menerima saudara Pui dalam barisan terdepan untuk menggempur gerombolan
Beng-gak!" Mendengar ucapan sang ayah, Kat Hong dan Kat Wi makin gatal, dada mereka serasa
meledak. "Dengan sebatang pit, ayah telah mengalahkan jago-jago silat dari tiga belas
propinsi Kangpak dan Kanglam. Dunia persilatan mengindahkan sekali kepada ayah.
Tetapi mengapa sekarang ayah menyanjung-nyanjung pada anak muda itu?" demikian
rasa tak puas yang berkobar dalam hati Kat Hong dan Kat Wi. Diam-diam mereka mencari
alasan agar dapat menguji kepandaian Siu-lam.
Thian Hong dan Lo Kun juga mempunyai anggapan yang sama. Mereka menganggap
Kat Thian-beng terlalu berlebihan memuji Siu-lam. Namun sebagai paderi yang berakhlak
tinggi, Thian Hong tak mau mengutarakan apa-apa. Tidak demikian dengan watak Lo Kun
yang serba terus terang. Jago tua itu tersenyum dan langsung tanpa tedeng aling-aling
berkata kepada Siu-lam: "Ah, sayang kami tak sempat menyaksikan kesaktian saudara Pui.
Sejauh pengalamanku sepuluh tahun di dunia persilatan, sukar aku memperoleh kesan
bahwa saudara Pui ini memiliki kepandaian yang sakti."
Kata-kata jago tua she Lo itu, sesuai sekali dengan isi hati Kat Hong dan Kat Wi. Kedua
pemuda itupun segera memberi dukungan tertawa hina.
Siu-lam tersipu-sipu merah, ujarnya: "Memang kepandaian wanpwe sangat terbatas,
harap lo-cianpwe jangan mentertawakan."
"Mengapa Lo-heng berkata begitu?" tiba-tiba Kat Thian-beng menukas, "Telah
kusaksikan sendiri kepandaian saudara Pui ini. Bukan omong besar, memang banyak yang
dapat mengalahkan aku tetapi yang dapat mengalahkan aku dengan sekali pukul, selama
ini belum pernah ada. Tetapi saudara Pui ini ternyata mampu. Sekiranya dia tak sungkan
mungkin aku sudah mati atau sekurang-kurangnya tentu cacad!"
"Hai, benarkah begitu?" Lo Kun berteriak kaget-kaget heran.
"Ha, benar-benar mengherankan sekali." Lo Kun makin tercengang. "Ketika di gunung
Kiu-kiong-san jelas kusaksikan sendiri bagaimana kedua putera Kat-heng bertempur
dengan dia. Jika nona Tan ini tak segera datang, mungkin?" tiba-tiba ia teringat bahwa
Siu-lam lah yang menolong dirinya. Terhadap seorang yang telah melepas budi, tak
baiklah menyerang kata-kata tajam. Buru-buru ia alihkan kata: "Ah, pertempuran berjalan
seru dan masih belum ada kesudahannya."
"Benarkah?" Kat Thian-beng berpaling menatap kedua puteranya, Kat Hong dan Kat Wi.
Mereka mengiakan. Sejenak jago tua itu merenung, tiba-tiba ia membentak: "Ngaco belo! Masakan aku
orang tua akan membohongi kalian!"
Jago tua itu tak dapat mendamprat Lo Kun maka ia tumpahkan kemangkelannya
kepada kedua puteranya. Tetapi paderi Thian Hong segera menyela: "Memang apa yang dikatakan kedua putera
Kat sicu itu benar. Aku juga melihat peristiwa itu!"
Kat Thian-beng berkisar menatap Siu-lam. Dipandangnya anak muda itu tajam-tajam,
tetapi ah, memang anak muda itulah yang dijumpai dan bertempur dengannya di gunung
Kiu-kiong-san! "Ah, kiranya kita lupakan saja urusan itu. Perlu apa lo-cianpwe sibuk-sibuk hendak
mencari penjelasan pada urusan yang tak berarti itu?" buru-buru Siu-lam menjernihkan
suasana karena kuatir Hian-song nanti naik pitam.
Kat Thian-beng tertawa lebar: "Ah, memang kau seorang pemuda yang lapang dada
luas pikiran, tak mau melayani ocehan mereka?" kemudian ia mengakhiri pembicaraan
itu: "Benar, tak perlu kita ungkat-ungkat lagi peristiwa yang telah lampau. Mari kita
segera berangkat ke Thay-san!"
Pagi itu rombongan Kat Thian-beng tinggalkan kota Yan-ciu. Di tengah jalan mereka
sering berpapasan dengan orang-orang persilatan yang juga menuju ke Thay-san.
Kat Thian-beng menceritakan kepada Siu-lam bahwa karena sudah puluhan tahun
menyembunyikan diri maka jaranglah kaum persilatan yang mengenalnya.
Mendadak terdengar derap kuda lari dan dua penunggang kuda mencongklang pesat di
samping mereka, tiba-tiba kuda yang sudah jauh itu berhenti, berputar dan kembali
menuju ke arah Kat Thian-beng, kedua penunggangnya loncat turun dan berseru nyaring:
"Aha, sudah lama kita tak berjumpa Kat-heng" Tidak lupa padaku, bukan?"
Kat Thian-beng tertawa: "Ah, siapa kaum persilatan Kanglam yang tak kenal pada
saudara?"" Siu-lam dapatkan kedua penunggang kuda itu bukan lain ialah kedua lelaki setengah
tua yang pernah dijumpainya di Coh-yang-ping.
"Walaupun menunggang kuda yang mencongklang pesat tetapi ternyata jiwi berdua
masih dapat melihat padaku, menunjukkan bahwa ilmu lwekang kalian sekarang sudah
jauh maju!" Kat Thian-beng berseru seraya menghampiri.
Lelaki yang berdiri di sebelah kiri memandang Siu-lam dan Hian-song dengan berapiapi.
"Apakah kedua muda-mudi itu juga bersama-sama Kat-heng?" tanya mereka dengan
berbisik. Kat Thian-beng mengiakan.
"Apakah Kat-heng tahu asal-usul mereka?" tanya lelaki yang di sebelah kanan.
"Kita sama-sama baru kenal," jawab Kat Thian-beng. "Eh, mengapa saudara bertanya
begitu?" Lelaki yang di sebelah kiri yang tampaknya lebih tua, segera menerangkan: "Beberapa
hari yang lalu kami berjumpa di pondok Siu-chiu-kiau-in Su Bo-tun. Bukan saja mereka
memiliki kesaktian hebat, juga menyimpan jarum Chit-jiau-soh. Rupanya jika bukan anak
buah Beng-gak tentu mempunyai hubungan dengan gerombolan itu!"
Walaupun berbisik-bisik, namun Siu-lam dapat juga menangkap pembicaraan itu. Ia
berpaling ke arah Hian-song. Belum sempat ia buka mulut, dara itu sudah mendahului:
"Rupanya kedua orang itu membicarakan diri kita. Biar kuhajarnya!"
Siu-lam gelengkan kepala: "Justeru aku hendak mencegahmu. Biarkan saja mereka
mengoceh"." Kat Thian-beng tertawa dingin: "Harap kalian jangan menghina orang!" Habis berkata
jago tua itu segera berputar tubuh dan melangkah pergi.
Kedua lelaki itu sambil loncat ke punggung kuda berseru: "Kalau tak percaya
omonganku, terserah saja?" Kuda dikeprak mencongklang pesat.
Setelah kedua penunggang kuda itu lenyap, Kat Thian-beng berkata kepada Lo Kun:
"Thian-lam-song-gan juga termasuk tokoh ternama. Mengapa bicaranya tak sesuai
dengan pribadi?" Tiba-tiba Lo Kun teringat bahwa semua rombongan Thian Hong terkena telapak jari
beracun dari nona baju merah. Hanya Siu-lam yang tidak. Segera ia membantah:
"Menilik kedudukan Thian-lam-song-gan yang begitu menonjol di wilayah Ciat-kang,
mungkin dia tidak bohong. Dalam hal ini?" tiba-tiba ia menyadari bahwa Siu-lam dan
Hian-song berada di samping. Buru-buru ia hentikan kata-katanya.
Siu-lam dan Hian-song mendengar semua pembicaraan itu. Untuk menumpahkan
kemarahannya, mereka mengambil cara sendiri. Siu-lam menengadah memandang
cakrawala, Hian-song tertawa ringan. Sayang ia gagal menyembunyikan seri wajahnya
dari hawa kemurkaan dan pembunuhan".
Kat Thian-beng kerutkan dahi: "Aku sungguh tak mengerti akan ucapan Lo-heng.
Apakah Lo-heng juga menaruh curiga kalau kedua anak muda itu anak buah Beng-gak?"
ia berhenti sejenak, lalu katanya pula: "taruh kata benar orang Beng-gak, tapi dia telah
melepas budi besar kepadamu. Masa kau tak sungkan kepadanya."
Nada Kat Thian-beng sengaja dikeraskan sehingga semua orang dapat mendengar
jelas. Kata Kat Hong kepada saudaranya: "Mengapa kali ini dia begitu mati-matian melindungi
budak itu, sekalipun pemuda itu telah melepas budi besar, tetapi tak nanti ayah sampai
bersikap begitu. Rasanya tentu ada sebab lain!"
"Bukankah tadi ayah mengatakan kalau pemuda itu dapat mengundurkan ayah dengan
sekali pukul?" sahut Kat Wi. "Ah, tetapi aku tak percaya"."
"Ayah seorang ksatria, tak nanti dia bohong!" balas Kat Hong. "Hanya saja yang
kuragukan, mungkin serangan itu hanya secara kebetulan saja mengenai ayah. Mungkin
karena ayah tak menduga atau mungkin karena sungkan terhadap orang penolong. Dan
mungkin pula hanya kesimpulan ayah sendiri. Karena dapat mengobati rombongan kita,
ayah menduga anak itu tentu memiliki kepandaian sakti juga!"
Kat Wi merenung, katanya sesaat kemudian: "Aku mempunyai akal untuk menjajal
kepandaian pemuda itu agar ayah dapat menyaksikan sendiri!"
Atas pertanyaan Kat Hong, Kat Wi menjelaskan: "Secara tak sengaja kita tabrak saja
budak itu. Biar dia terhuyung-huyung mundur atau kalau perlu kita tutuk jalan darahnya


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

secepat kilat?" Kat Hong anggap walaupun kurang sempurna, tetapi rasanya tiada lain cara yang lebih
baik dari itu. Ia menyetujui.
Siu-lam sengaja agak menjauh dari rombongan. Ketika Kat Wi dengan pemuda itu
sekonyong-konyong ia percepat langkah dan terhuyung-huyung membentur punggung
Siu-lam! Siu-lam terkejut tetapi ia tak menduga jelek kalau Kat Wi sengaja hendak
menabraknya. Cepat ia lompat ke muka seraya ulurkan tangan hendak menahan supaya
Kat Wi jangan jatuh. Kat Wi tertawa dingin. Tiba-tiba ia balikkan tangan kanan dan
mencengkeram siku Siu-lam.
Sama sekali Siu-lam tak mengira bahwa pemuda itu berani terang-terangan hendak
mengujinya. Seketika marahlah ia. Menarik pulang tangannya, ia berang dengan
menamparkan tangan kiri dalam jurus Hong-lui-peng-hwat atau Angin dan halilintar
serempak menyambar. Dari kakek Hian-song, Siu-lam menerima bermacam-macam ilmu pukulan yang anehaneh
dan jarang terdapat di dunia persilatan. Maka mimpi pun tidak Kat Wi kalau ia bakal
menerima serangan yang tak diduga-duganya. Terpaksa ia loncat ke samping masuk ke
sawah gandum. Melihat adiknya terpontang-panting, Kat Hong loncat mencengkeram Siu-lam. Siu-lam
agak miringkan tubuh. Setelah menghindari cengkeramannya, dengan gerakan Hud-liu-tehoa
yang indah, kelima jari tangannya mencekal pergelangan tangan Kat Hong terus
didorong mundur seraya berseru perlahan: "Mengapa kalian mendendam padaku?"
Tubuh Kat Hong yang dicengkeram, diputar lalu didorong ke belakang itu, mirip dengan
sebuah gangsingan. Pemuda itu terhuyung-huyung sampai beberapa langkah jauhnya.
Bukan saja kedua saudara Kat itu terlongong-longong, bahkan si Golok Sakti Lo Kun
ikut tercengang menyaksikan kesaktian Siu-lam. Bukankah pada waktu di gunung Kiukiongsan, pemuda itu masih trondol" Mengapa dalam waktu satu dua bulan saja dia
mendadak berubah sedemikian lihaynya"
Juga Kat Thian-beng tak luput dari rasa heran. Kat Thian-beng luas pengetahuan kaya
pengalaman. Sekali lihat ia tahu bahwa kedua jurus yang dimainkan Siu-lam itu yang satu
mirip dengan ilmu pukulan kaum Siau-lim-si, tetapi juga yang satunya mirip dengan ilmu
tutukan Nok-hiat-hud-meh dari kaum Bu-tong-pay. Heran jago tua itu dibuatnya.
Mengapa seorang anak muda yang masih begitu muda, dapat memiliki bermacam-macam
ilmu kepandaian beberapa cabang persilatan.
"Nah, berilah pelajaran pada kedua anak yang berandalan itu. Jika tak diberi hajaran,
mereka memang tak kapok!" lain apa yang di batin dalam hati, lain pula apa yang
dikatakan Kat Thian-beng di mulut.
Sebenarnya baru saat itu Siu-lam tahu betapa sakti ilmu yang diajarkan kakek dari
Hian-song. Hanya dua jurus saja, ia sudah mampu menindas serangan Kat Hong dan Kat
Wi. Pada saat ia hendak lancarkan serangan ketiga, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kata-kata
merendah oleh Kat Thian-beng. Ia sungkan dan cepat-cepat naik ke belakang.
Kat Thian-beng membentak kedua puteranya: "Apa kalian tak mau lekas-lekas minta
maaf kepada Pui tayhiap dan hendak membikin malu aku?"
Kat Hong dan Kat Wi tak berani membantah perintah ayahnya. Mereka segera
menghampiri Siu-lam dan minta maaf.
"Ah, janganlah saudara terlalu merendah. Anggaplah kita sebagai saudara saja," kata
Siu-lam. Melihat Siu-lam tidak bersikap congkak, puaslah hati kedua saudara itu. Karena masih
muda mereka masih ambisius sekali. Segala apa ingin menang sendiri. Syukur mereka
berhati jujur. Setelah sadar bahwa Siu-lam memang lebih sakti, diam-diam mulailah
mereka menaruh perindahan.
Di jalan penuh dengan orang-orang gagah yang hendak menuju ke Thay-san.
Walaupun peristiwa antara Siu-lam dengan kedua saudara Kat tadi berlangsung dalam
beberapa kejab, tetapi cukuplah menarik perhatian orang. Mereka terkejut dan kagum
pada Siu-lam. Tiba-tiba terdengar derap kuda mencongklang. Tiga ekor kuda tegar lari mendatangi
dengan cepat. Siu-lam terkejut. Yang datang itu ternyata kedua Thian-lam-song-gan dan
seorang tua berjenggot putih, yang orang tua yang berada di pondok Su Bo-tun beberapa
hari yang lalu. Diam-diam Siu-lam mengeluh bahwa menilik gelagatnya, situasi mungkin
akan memburuk. Melihat kedua Thian-lam-song-gan kembali lagi dengan membawa seorang kawan, Kat
Thian-beng mendengus dan berkata seorang diri: "Hm, tak kira Thian-lam-song-gan
benar-benar membawa kawan hendak cari perkara!"
Walaupun berkata seorang diri tetapi jelas ucapannya itu didengarnya juga kepada
paderi Thian Hong dan Lo Kun.
Cepat sekali ketiga penunggang kuda itu tiba. Begitu menghentikan kudanya si orang
tua jenggot putih segera memberi hormat dan berseru dengan tertawa: "Ah, sudah
berpuluh tahun tak berjumpa ternyata Kat-heng masih gagah sekali. Apakah masih ingat
padaku?" Setelah memperhatikan seksama, barulah Kat Thian-beng mengetahui bahwa orang tua
jenggot putih itu ternyata Tui-hong-tui atau Si Alap-alap pemburu angin Ngo Cong-gi yang
termasyhur di wilayah Kang-lam dan Kang-pak. Heran Kat Thian-beng makin menjadijadi,
pikirnya: "Eh, mengapa Tui-hong-tui Ngo Cong-gi yang termasyhur, galang-gulung
dengan Thian-lam-song-gan?"
"Ah, bagaimana kabarmu selama ini Ngo-heng?" cepat-cepat Kat Thian-beng menjawab
dengan hormat. Sebagai seorang yang berpengalaman, ia tak mau memandang rendah
pada orang lain. Ngo Cong-gi tersenyum dan melirik ke arah Siu-lam, serunya: "Apakah dia sudah lama
berkenalan dengan Kat-heng?"
Pertanyaan yang langsung tanpa tedeng aling-aling itu membuat Kat Thian-beng tak
senang. Dengusnya: "Apakah Ngo-heng mempunyai dendam dengan Pui-heng ini?"
Ucapan yang bernada melindungi Siu-lam itu membuat Ngo Cong-gi kerutkan dahi.
Sesaat kemudian barulah ia tertawa: "Aku baru sekali bertemu dengannya. Mana
mempunyai dendam?" "Bagus," sahut Kat Thian-beng, "Pui-heng ini telah melepas budi besar kepada kami
ayah dan anak. Andaikata Ngo-heng mempunyai dendam kepadanya, haraplah suka
memandang mukaku dan jangan berlarut-larut!" Dengan kata-kata itu Kat Thian-beng
hendak mendekking (menjaga) dulu agar Ngo Cong-gi jangan melanjutkan maksudnya.
Sejenak merenung segera Tui Hong-tiu menyahut: "Baiklah, dengan memandang Katheng,
salah paham dengan Pui-heng itu takkan kulanjutkan lebih jauh!" Habis berkata ia
keprak kudanya. Diam-diam Siu-lam memperhatikan kerut wajah orang tua berjenggot perak itu.
Walaupun mulutnya berjanji kepada Kat Thian-beng, tetapi jelas sikapnya masih
mengunjuk rasa tak puas. Ia duga orang tentu masih akan berusaha untuk mencari
perkara. Tetapi ternyata dugaannya meleset. Selama dalam perjalanan, rombongan Kat Thianbeng
tak menjumpai kesulitan apa-apa.
Pada tengah hari itu mereka tiba di kaki gunung Thay-san. Tokoh-tokoh persilatan
yang menerima undangan tak henti-hentinya berdatangan. Pada umumnya mereka
adalah tokoh-tokoh yang tergolong ko-chiu (jago kelas satu) di daerah masing-masing. Di
antaranya tidak sedikit tokoh-tokoh yang sudah lama memendam diri, kini muncul lagi.
"Rapat besar kali ini walaupun belum tentu dapat dikatakan dikunjungi oleh seluruh
tokoh persilatan di segenap tanah air, tetapi mungkin merupakan rapat yang terbesar
selama seratus tahun terakhir ini. Aha, betapa senang hatiku dalam sisa hidupku ini masih
dapat menikmati rapat besar kaum ksatria yang sedemikian megahnya, matipun aku
sudah puas!" kata Lo Kun dengan bersemangat.
Kat Thian-beng pun merasa bahwa rapat besar kali itu memang di luar dugaan.
Betapapun luas pengaruh dan kewibawaan gereja Siau-lim-si namun sukarlah dipercaya
kalau mampu menggerakkan sekian banyak kaum persilatan. Diam-diam Kat Thian-beng
heran. Namun ia tak mau menyatakan perasaannya. Ia menyatakan bahwa sebelumnya
memang ia sudah beberapa kali pesiar ke Thay-san, maka ia menyatakan kesediaannya
untuk menjadi pelopor jalan.
Gunung Thay-san yang digelari sebagai Tang-gak atau gunung timur itu, memiliki akar
yang panjang sekali. Pegunungan itu mulai dari daerah Selam di teluk Liau-jiu-wan
propinsi Shoatang, hingga sampai ke pesisir wetan dari kanal atau susukan Yun-ho.
Puncaknya berderet-deret. Yang paling tinggi ialah puncak Tiang-jin-hong. Puncak ini
memiliki alam yang indah permai.
Demi untuk menyelamatkan dunia persilatan dari ancaman gerombolan Beng-gak,
maka ketua Siau-lim-si menyelenggarakan rapat besar kaum persilatan di gunung itu.
Undangan disebar ke seluruh pelosok tanah air.
Memang partai Siau-lim-si dipandang sebagai pemimpin dari dunia persilatan. Sumber
ilmu silat gereja Siau-lim-si dianggap sebagai barometer atau ukuran dari perkembangan
ilmu silat di Tiongkok. Konon kabarnya Siau-lim-si mempunyai tujuh puluh dua macam
ilmu silat yang sakti. Cerita itu turun temurun berkesan dalam dunia persilatan. Apalagi Siau-lim-si
mempunyai peraturan yang keras. Murid-murid yang belum tamat pelajarannya tak boleh
keluar ke dunia persilatan. Dan dilarang pula apabila tak terpaksa betul-betul, muridmurid
Siau-lim-si itu mencampuri urusan lain partay. Sikap dan tindakan Siau-lim-si itu
mendapat penghargaan dari golongan putih maupun golongan hitam. Kedua golongan
kaum persilatan itu kebanyakan tak mau mengganggu anak murid Siau-lim-si.
Demikian sekelumit sejarah dan kedudukan gereja Siau-lim-si dalam dunia persilatan.
Maka tidaklah mengherankan apabila rapat besar yang disponsori oleh Siau-lim-si itu
mendapat perhatian yang sangat besar.
Kat Thian-beng memimpin rombongannya menuju ke puncak Beng-gwat-ciang. Setelah
melintasi beberapa puncak, tibalah mereka di sebuah puncak yang tinggi dengan karangkarangnya
yang melandai curam! Setelah dapat mendaki puncak itu dan melanjutkan
perjalanan kira-kira sejam lamanya, tiba-tiba Kat Thian-beng berhenti. Ia menunjuk ke
arah sebuah puncak, ujarnya: "Itulah puncak Beng-gwat-ciang. Puncaknya dikelilingi
hutan pohon siong. Pemandangannya indah sekali. Di situlah aku dahulu bersama
seorang sahabat menikmati rembulan sambil omong-omong tentang keadaan dunia
persilatan. Ah, aku kembali lagi ke sini tetapi sahabatku itu sudah tiada di dunia lagi. Ah,
hidup itu benar-benar seperti impian"."
Lo Kun mengurut-urut jenggot sambil tertawa: "Ah, kalau Kat-heng teringat pada
sahabat lama, akupun teringat juga pada peristiwa yang lampau?" ia menengadah
memandang langit. Tiba-tiba ia bersuit nyaring untuk melepaskan kesesakan dadanya.
"Dahulupun pernah timbul gerakan kaum persilatan untuk membasmi Giok-kut-yau-ki
Ih Ing-hoa. Lebih dari empat puluh lima ko-chiu persilatan berkumpul merundingkan
pembasmian itu. Kala itu aku masih berumur dua puluhan. Semangatku masih menyala,
keberanianku menonjol. Rapat kaum persilatan saat itu, dianggap orang sebagai satu
peristiwa yang jarang terjadi di dunia persilatan. Dan kini, berselang puluhan tahun
kemudian, kembali kaum persilatan dari segenap penjuru tanah air, berkumpul di ThayTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
san. Bukan saja yang memimpin rapat ketua gereja Siau-lim-si Pek It Taysu, pun yang
hadir tak terhitung jumlahnya. Betapa bahagiaku dapat menghadiri rapat kali ini!" katanya
lebih lanjut lalu tertawa puas.
"Giok-kut-yau-ki Ih Ing-hoa yang lo-cianpwe katakan tadi, apakah sekarang masih
hidup?" tanya Siu-lam.
"Kejadian itu pada empat puluh tahun berselang. Kemungkinan wanita itu sudah
meninggal?" tiba-tiba ia berhenti. Sekilas ia teringat bahwa umur Siu-lam baru dua
puluhan tahun. Serentak ia berpaling dan bertanya: "Munculnya Giok-kut-yau-ki Ih Inghoa
terjadi pada dua puluh tahun berselang. Kini sudah jarang orang menceritakan
peristiwa itu. Dari mana kau mengetahui cerita itu?"
Sebenarnya Siu-lam hendak menuturkan peristiwa yang dijumpainya dalam goha
tempat tinggal Giok-kut-yau-ki. Tetapi ketika menyadari bahwa dirinya sendiri masih
dalam sorotan orang, ia kuatir ceritanya itu toh takkan dipercaya. Maka buru-buru ia
gelengkan kepala. "Pernah kudengar itu dari seorang lo-cianpwe. Maka aku tertarik sekali
ketika kau juga menceritakan tentang diri wanita itu."
Lo Kun tertawa: "O, wanita itu memang sukar dinilai. Dia memang pernah mengacau
balaukan dunia persilatan, tetapi diapun juga telah membuat sesuatu yang berguna bagi
kaum persilatan. Jadi sukar untuk memberi penilaian pada dirinya."
Dalam pada bercakap-cakap itu, mereka tiba di kaki puncak Beng-gwat-ciang. Ketika
hendak mendekati, tiba-tiba dari balik sebuah batu karang besar terdengar suara orang
menyebut Omitohud. Dan serentak dengan itu muncullah dua paderi tinggi besar
menghadang jalan. Sambil lintangkan tongkat besinya, paderi yang berdiri di sebelah kiri berseru: "Apakah
sicu sekalian ini hendak menghadiri rapat besar?"
Kat Thian-beng mengiakan.
"Jalan di sebelah depan telah disiapkan rombongan penyambut para tetamu. Mengapa
sicu sekalian tak mengambil jalan depan tetapi naik dari belakang gunung?" tegur paderi
yang berdiri di sebelah kanan.
"Aku paham akan jalanan di sini maka sengaja mengambil jalan yang pendek," sahut
Kat Thian-beng. Mata kedua paderi itu mengawasi tajam kepada rombongan Kat Thian-beng. Katanya
dengan wajah menghormat: "Sebagai tetamu yang menerima undangan, sicu sekalian
tentu sudah mengetahui tujuan rapat besar itu" Jalanan sebelah muka yang menuju ke
tempat rapat telah disiapkan penyambutan selayaknya. Bagi mereka yang hendak
menerobos secara menggelap, diminta supaya kembali saja"."
"Ho, kalau begitu rapat besar orang gagah ini tidak diperuntukkan sembarangan
orang?" seru Lo Kun.
"Ketua gereja kami selalu mengindahkan setiap kaum persilatan," kata paderi yang di
sebelah kiri. "tak ada yang dibedakan. Hanya rapat besar kali ini memang mendapat
penelitian yang keras dari ketua kami. Yang diundang sebenarnya mereka yang
dipandang memiliki syarat-syarat yang layak. Tetapi karena kabar telah tersiar luas, yang
tak menerima undangan pun berbondong-bondong datang. Terpaksa ketua kami
mempersiapkan pos-pos penyambutan tetamu. Barangsiapa yang tak menerima surat
undangan, diminta dengan hormat supaya turun kembali saja. Jika sicu sekalian memang
menerima surat undangan, harap suka menunjukkan. Kami pasti tak berani mempersulit
kedatangan sicu!" Dalam rombongan memang hanya Kat Thian-beng yang menerima surat undangan.
Yang lain-lain tidak menerima. Dengan tenang Kat Thian-beng mengambil surat
undangan dari dalam bajunya: "Ketua gereja Siau-lim-si kenal baik padaku. Sungguh
suatu kehormatan bagiku menerima surat undangannya ini"."
Setelah memeriksa surat undangan itu benar-benar tulisan ketua paderi Siau-lim-si,
kedua paderi itu segera bersikap menghormat dan mempersilahkan Kat Thian-beng naik
ke atas. Kata Kat Thian-beng: "Sebenarnya aku merasa rendah diri menerima surat undangan
itu karena kepandaianku terbatas. Agar jangan mengecewakan ketuamu, maka aku
memberanikan diri mengajak empat orang sahabatku dan membawa juga kedua
puteranya. Jika kalian tak dapat memberi putusan, harap suka melapor pada ketuamu.
Aku bersedia menunggu di sini!"
Kedua paderi itu saling tukar pandangan mata. Kemudian paderi yang sebelah kanan
berkata: "Rapat besar ini bertujuan untuk merundingkan rencana membasmi serbuan
gerombolan yang sakti. Kepala gerombolan pernah muncul di dunia persilatan beberapa
puluh tahun yang lalu. Baru muncul berapa tahun saja, gerombolan itu sudah
menggegerkan dunia persilatan," ia berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi, "Karena
peristiwa itu mengancam kemusnahan dunia persilatan maka ketua kami mengeluarkan
pengumuman, melarang paderi Siau-lim-si keluar ke dunia persilatan. Dan untuk menjaga
segala kemungkinan, ketua kami mengajak murid-murid Siau-lim-si angkatan ketiga, ikut
datang kemari. Turut yang aku ketahui, baru pertama kali inilah sejak seratus tahun
terakhir, gereja kami mengadakan larangan seperti ini"."
"Ah, Pek It taysu benar-benar seorang paderi yang memikirkan keselamatan kaum
persilatan. Sudah tentu para ksatria sangat menjunjung tinggi kepada beliau"."
Paderi yang di sebelah kiri tersenyum melanjutkan kata-katanya: "Namun karena kuatir
para ko-chiu (jago-jago kelas tinggi) Siau-lim-si angkatan ketiga itu masih belum dapat
mengimbangi kekuatan musuh, maka ketua kami telah mengundang para kochiu dari
berbagai partay untuk berkumpul di puncak Beng-gwat-jiang ini guna merundingkan
rencana menghadapi gerombolan Beng-gak. Oleh karena bukan rapat biasa, maka hanya
mereka yang dipandang layak, baru diundang. Sedang mereka yang tak ternama, tak
diundang karena sayang jika sampai mengorbankan jiwa secara sia-sia."
Sehabis berkata paderi itu bergiliran memandang Siu-lam, Kat Hong dan Kat Wi,
ujarnya: "Untuk menjaga hal itu, maka ketua telah memberi perintah keras kepada kami,
agar kepada mereka yang tak menerima undangan supaya dipersilahkan kembali saja. Hal
ini bukan bermaksud apa-apa, melainkan karena ketua kami menyayangkan pengorbanan
yang sia-sia. Maka kunjungan Kat tayhiap kami sambut dengan rasa syukur. Kemudian
Kat kongcu dan sicu lain-lainnya, dengan hormat kami persilahkan kembali saja"."
Kat Thian-beng berpaling ke arah kedua puteranya dan Siu-lam. Diam-diam ia
membenarkan ucapan kedua paderi itu. Sejenak merenung, berkatalah ia kepada kedua
puteranya: "Sewaktu hendak ke Tang-gak sini aku belum sempat memberitahukan ibumu.
Sekarang salah satu dari kalian berdua yang boleh ikut aku, yang satunya segeralah
pulang kasih tahu pada ibumu."
Di hadapan sekian banyak orang, ia sungkan memberi dampratan. Maka dengan
alasan ibu, ia tahu kedua puteranya itu tentu menurut. Tetapi di luar dugaan, kedua anak
muda itu tak menyahut apa-apa melainkan saling berpandangan.
Tiba "tiba Siu-lam melangkah maju ke hadapan kedua paderi, ujarnya: "Tindakan ketua
kalian untuk membasmi gerombolan yang mengancam dunia persilatan, memang suatu
perbuatan yang mulia dan pantas dihargai. Tetapi dengan cara yang hanya menerima
undangan yang diperbolehkan ikut ke rapat itu, mungkin tidak tepat karena sikap itu dapat
ditafsirkan seperti bermaksud memandang remeh pada kaum persilatan lainnya. Apakah
yang ketua kalian tak kenal lalu tak diundang?"
Siu-lam memang sengaja hendak memancing kemarahan kedua paderi itu. Ia benci


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhadap sikap kedua paderi itu yang mulutnya saja mengucap kata-kata merendah dan
hormat tetapi sikapnya seperti algojo bengis.
Pancingannya berhasil. Kedua paderi itu tampak tak senang. Paderi yang di sebelah
kiri segera berseru: "Entah bagaimana yang sicu maksudkan tetapi kami hanyalah
melaksanakan perintah ketua kami untuk mencegah orang-orang yang tak membawa
undangan. Jika sicu yakin akan mampu naik ke atas, dapatlah kami tunjukkan jalannya.
Jalan di gunung bagian muka, didirikan lima buah pos penjagaan. Jika sicu mampu
menerobosnya, ketua kami tentu tak punya alasan lagi untuk menolak kedatangan sicu.
Sicu pasti diterima dan diperlakukan sebagai mereka yang menerima undangan!"
Mendengar itu, Siu-lam berpaling memandang Kat Thian-beng. Diam-diam pemuda itu
menimang: "Untuk mengambil jalan ke muka gunung, tentu jauh dan makan waktu.
Ternyata selain di depan, pun di bagian belakang gunung telah dijaga ketat oleh paderi
Siau-lim-si, jika paderi itu tadi mengatakan bahwa pos-pos penjagaan di bagian muka
dapat dilalui oleh mereka benar-benar mempunyai kepandaian sakti tentu tak ada bedanya
dengan pos penjagaan di belakang gunung. Jelas paderi itu hendak memberi isyarat
halus, bahwa penjagaan di sinipun boleh diterobos juga asal mampu!"
"Jalanan gunung bagian depan, sangat jauh. Boleh aku melalui penjagaan di sini
dengan syarat seperti yang taysu katakan tadi?"
Kedua paderi itu menyurut mundur dua langkah. Wajah mereka mengerut gelap,
sahutnya: "Terus terang kami beritahukan kepada sicu. Kelima pos penjagaan di depan
gunung itu, walaupun hanya diperuntukkan menyambut tetamu-tetamu yang membawa
undangan, tetapi dapat juga dilalui dengan ilmu kesaktian yang unggul. Demikian dengan
pos penjagaan di belakang gunung ini. Hanya ketahuilah sicu. Pos penjagaan di depan
gunung. Mereka yang memaksa hendak melalui penjagaan di depan gunung harus dapat
mengalahkan penjaga-penjaga di situ. Bila berhasil, dapat naik terus. Bila gagal, hanya
dipersilahkan pulang tanpa diganggu keselamatan jiwanya. Tetapi pos penjagaan di
belakang gunung sini, lain halnya. Kalau gagal melalui pos di sini, keselamatannya tak
terjamin!" Dengan kata-kata itu si paderi hendak memperingatkan Siu-lam supaya jangan
gegabah bertindak. Kalau gagal menerobos penjagaan di situ, jiwanya pun terancam
kebinasaan! Siu-lam sudah bulat tekadnya. Ia tetap hendak menuntut balas atas kematian gurunya.
Walaupun andaikata ia tak mampu membunuh musuh itu, asal musuh dapat dibunuh
beramai-ramai oleh sekalian orang gagah, iapun sudah puas.
"Terima kasih atas keterangan yang taysu berikan. Jika taysu berdua sudi mengijinkan
aku naik, budi taysu tentu kuingat selama-lamanya. Namun jika taysu tetap melarang,
maaf, terpaksa akupun tetap hendak melintasi"."
Belum selesai Siu-lam berkata, tiba-tiba kedua paderi itu loncat dan melenyapkan diri di
balik batu besar. Tetapi mereka berseru dari tempat persembunyiannya: "Jika sicu hendak
menggunakan kekerasan, baiklah sicu keluar dari bagian depan saja. Ketahuilah bahwa
pedang dan tombak tak bermata, apakah sicu tak kecewa!"
Berkata Siu-lam kepada Kat Thian-beng: "Lo-cianpwe silahkan naik lebih dahulu.
Wanpwe hendak mendobrak kawanan paderi yang menghalang jalan ini. Apakah mereka
benar-benar sekokoh dinding baja?" tiba-tiba ia merasa kelewat membanggakan diri
maka buru-buru ia hentikan bicaranya.
Kat Thian-beng hanya tertawa: "Aku paling paham tempat di sini. Biar kutemani kalian
bersama-sama naik ke atas."
Kesempatan itupun tak disia-siakan Kat Hong dan Kat Wi. Mereka minta kepada
ayahnya agar diperkenankan ikut menghadiri rapat. Alasan mereka rapat besar kaum
kesatria itu belum tentu dalam seratus tahun terjadi lagi. Mereka ingin sekali menambah
pengalaman. Di hadapan orang banyak, tak enak rasanya Kat Thian-beng hendak mengutarakan
kesulitan hatinya. Maka ditatapnya kedua puteranya itu dengan marah: "Rapat besar ini
adalah rapat dari para tokoh terkemuka. Mengijinkan kalian hadir, itu tak layak. Dalam
rapat orang tak boleh bertindak semaunya sendiri"."
Kat Hong dan Kat Wi berjanji akan mentaati. Dalam pada itu Siu-lam pun meminta
kepada Hian-song supaya jangan menimbulkan onar. Habis memberi pesan, ia segera
loncat menerjang ke muka.
Sejak pertempuran di lembah Po-to-kang, kini ia menyadari bahwa kepandaiannya maju
sekali. Apalagi Hian-song berada di sampingnya. Ia mempunyai keyakinan dapat
menerobos penjagaan paderi Siau-lim-si.
Kat Thian-beng yang tahu kepandaian Siu-lam, juga percaya kalau anak muda itu tentu
berhasil. Maka iapun segera membisiki kedua puteranya dengan nada setengah
mendamprat: "Tuh lihat, umurnya sebaya dengan kalian tetapi kepandaiannya entah
berapa kali lipat ganda dari kalian?" tiba-tiba ia teringat bahwa ia sendiri pun tak dapat
bertahan menerima pukulan Siu-lam. Dengan memaki puteranya berarti menampar muka
sendiri. Jilid 10 JAGO tua itu tak melanjutkan bicaranya dan tiba-tiba loncat memburu ke muka. Thian
Hong totiang dan Lo Kun pun segera menyusulnya. Sebenarnya kedua orang itu masih
belum percaya penuh atas kesaktian Siu-lam.
"Tak perlu to-heng kuatir," bisik Lo Kun kepada Thian Hong totiang, "walaupun
kepandaian budak she Pui masih kurang, tetapi dara itu sakti sekali. Apalagi masih ada Itpithoat-thian Kat Thian-beng yang menyertai. Kemungkinan besar tentu dapat menerobos
penjagaan mereka!" Ketika tiba di muka batu tempat kedua paderi bersembunyi, Siu-lam berseru nyaring,
"Harap siansu berdua menjaga hati-hati, aku hendak melalui penjagaan di sini!"
Seruan itu dimaksud untuk memancing supaya kedua paderi keluar dari
persembunyiannya. Tetapi ternyata perhitungannya meleset. Kedua paderi itu termasuk
golongan ko-ceng (paderi yang berilmu tinggi) dari Siau-lim-si. Mereka memiliki ilmu
kepandaian silat dan kecerdasan yang tinggi. Mereka tak mengacuhkan seruan Siu-lam.
Begitu tiba di samping Siu-lam terus saja Hian-song tertawa, "Biar kubukakan jalan
untukmu, suheng!" tahu-tahu secepat kilat dara itu sudah melesat ke muka.
"Sumoay, jangan gegabah!" Siu-lam terkejut tetapi tak keburu mencegah lagi. Terpaksa
ia mengejar ke muka. Dari balik batu terdengar suara Omitohud dan serempak dengan itu berhamburanlah
gelombang angin tamparan yang kuat. Paderi Siau-lim-si pada umumnya paderi yang
menjunjung budi welas asih. Walaupun pukulan mereka amat dahsyat tetapi tidak
langsung ditujukan pada orang, melainkan hanya untuk mencegah agar orang jangan
dapat menerobos maju. Tetapi mereka salah menilai Hian-song. Sejak jalan darah bagian Seng-si-hian-kwan
sudah terbuka dara itu seolah-olah berganti tubuh baru. Sayang dia masih kurang
pengalaman menghadapi lawan. Melihat lawan menghantamnya dengan dahsyat, dara itu
tak mau adu kekerasan. Cepat ia mengempos semangatnya dan sekali enjot sang kaki,
tubuhnya melambung sampai dua tombak tingginya. Di atas udara, dara itu bergeliatan
membuat gerakan salto (jungkir balik) dan tahu-tahu ia melintang turun kira-kira dua
tombak jauhnya dari batu besar!
Ilmu gin-kang yang dipertunjukkan si dara itu benar-benar mempesonakan sekalian
orang. Bahkan seorang tokoh sakti seperti Kat Thian-beng pun diam-diam merasa kagum.
Pada saat Hian-song dapat melampaui penjagaan, Siu-lam pun sudah tiba. Kembali
terdengar suara orang melantangkan O-mi-to-hud dan pada lain saat muncullah sebatang
tongkat besi yang berputar-putar seperti hujan mencurah menghadang jalan!
Siu-lam mulai menduga akan hal itu. Cepat ia mencabut pedang. Dengan jurus Inghunhong-ji atau Menyambut awan menyongsong matanya, ia menusuk lingkaran sinar
tongkat". Tringgg".! Terdengar dering melengking nyaring. Lingkaran sinar tongkat itu tersiak dan lenyap.
Sebagai gantinya tampaklah sebuah ujung pedang menekan di atas sebatang tongkat
besi". Bagi Siu-lam memang tiada pilihan lagi. Jalanan di sebelah muka makin sempit.
Separuh bagian tertutup oleh karang besar dan yang separoh terhadang oleh lingkaran
sinar tongkat si paderi. Sedang di kedua samping jalanan itu, terbentang dua buah jurang
yang curam. Kecuali memiliki kepandaian ginkang hebat yang dapat melampaui batu
karang itu, jalan lain hanya harus menerobos lingkaran tongkat. Karena Siu-lam tak dapat
mengikuti jejak Hian-song, terpaksa ia menembus lingkaran sinar tongkat.
Tetapi lingkaran sinar tongkat itu hebat sekali. Bermula Siu-lam meragukan apakah dia
mampu menerobosnya. Tiba-tiba ia teringat akan jurus In-huan-hong-jit ajaran kakek
Hian-song. Segera ia kerahkan seluruh tenaga dalam ke ujung pedang!
Walaupun jurus Ing-hun-hong-jit itu merupakan jurus yang khusus untuk membuyarkan
serangan dahsyat, tetapi mengandung bahaya juga. Sekali tutukannya meleset, dia akan
kehilangan keseimbangan tubuh dank arena seluruh tenaga sudah tercurah ke ujung
pedang, maka mudahlah bagi musuh untuk membunuhnya!
Dalam keadaan seperti saat itu, Siu-lam memberanikan diri untuk mengambil resiko.
Dan ternyata ia berhasil. Setelah berhasil ia maju ke muka. Pada saat ia hampir berhasil
melewati batu karang itu, sekonyong-konyong terdengar suara bentakan keras.
"Ho, kiranya sicu memiliki kepandaian hebat maka tak heran kalau berani buka suara
besar!" suara itu ditutup dengan munculnya seorang paderi yang melintangkan tongkatnya
di depan Siu-lam. Rupanya yang menghadang jalan kali ini paderi yang kedua. Sedang
paderi yang pertama setelah menarik tongkatnya, segera melenyapkan diri di balik batu.
Diam-diam Siu-lam membanding bahwa paderi-paderi gereja Siau-lim-si itu benar-benar
tak boleh dipandang ringan.
Dalam pada itu Kat Thian-beng bersama kedua puteranya pun tiba di tepi karang besar
itu. Sesaat timbullah pikiran Kat Wie dan Kat Hong. Konon didengarnya ilmu silat dari Siaulimsi hebat sekali, maka kedua anak muda itu ingin mencari pengalaman.
"Yah, izinkan aku maju untuk mewakili saudara Pui," bisik mereka.
Kat Thian-beng melirik kepada puteranya dan mendengus, "Penjaga-penjaga di
belakang gunung ini adalah paderi-paderi berilmu dari gereja Siau-lim. Sedang aku sendiri
pun tidak mempunyai keyakinan menang, apalagi kau!"
Dalam pada itu Siu-lam ternyata sudah bertempur dengan paderi yang kedua. Paderi ini
rupanya lebih hebat lagi. Memiliki tenaga dalam yang hebat, gerakan tongkatnya
menimbulkan deru angin yang dahsyat.
Diam-diam Siu-lam membenarkan anggapan dunia persilatan bahwa Siau-lim-si layak
diangkat sebagai pemimpin dunia persilatan. Jika ia tak mendapat pelajaran dari kakek si
dara, tentu dari tadi ia sudah kalah.
Siu-lam tumpahkan seluruh perhatian menghadapi serangan si paderi. Setelah
lintangkan pedang menutup jalan sempit di samping batu karang secepat kilat ia loncat
mundur. Paderi itu tak mau memberi kesempatan. Ia mengejar. Tongkatnya dibolang-balingkan
kian kemari sehingga menimbulkan damparan angin yang dahsyat.
Kegarangan paderi itu membuat kedua kakak beradik Kat Wi Kat Hong terperanjat.
Bahkan si Golok Sakti Lo Kun dan paderi Thian Hong pun diam-diam merasa kagum. Baru
paderi yang belum masuk deretan pimpinan gereja saja sudah sedemikian hebat, apalagi
pucuk pimpinannya. Kat Thian-beng mencabut bun-jing-pitnya. Ia siap bertindak apabila terjadi sesuatu.
Juga si dara Hian-song tampak kembali menghampiri ke tempat pertempuran lagi.
Sekonyong-konyong seorang paderi melesat keluar dari balik batu karang dan
menghadang Hian-song. "Nona sudah berhasil melintasi pos penjagaan di sini. Kamipun tidak mau melakukan
pengejaran. Tetapi apabila nona kembali hendak ikut membantu kawan nona, terpaksa
kami pun tak mau memegang janji"!" seru paderi itu.
Baru paderi itu mengucapkan begitu, tiba-tiba terdengar Siu-lam menggembor keras.
Pedangnya berhamburan laksana beribu bintang menabur di langit. Kini ia balas
menyerang". Sebenarnya sewaktu digempur serangan tongkat si paderi, Siu-lam terus main mundur.
Dia bingung untuk menghadapi serangan kilat itu. Tak tahu ia jurus ilmu pedang ajaran si
kakek yang mana yang harus dikeluarkan. Justeru karena bingung, pikirannya makin kalut
dan permainan pedangnya pun makin kacau. Di dalam detik-detik hampir menderita
kekalahan itu, tiba-tiba ia teringat akan sebuah jurus dari si kakek yang disebut Thian-hotokwa atau Bintang Bima Sakti. Jurus itu terdiri dari tujuh buah rangkaian gerak yang
dapat digunakan untuk menyerang maupun bertahan. Diiringi oleh gemboran keras segera
loncat maju dan mainkan jurus Thian-ho-to-kwa itu".
Sebenarnya ilmu pedang itu berasal dari ilmu pedang partay Bu-tong-pay. Tujuh
rangkaian gerak pedang itu digabung menjadi satu jurus. Hebatnya bukan kepalang.
Dalam beberapa kejap, paderi itu berbalik terdesak".
Kat Thian-beng terkesiap, sebenarnya ia sudah hampir loncat membantu pemuda itu.
Hampir ia tak percaya bahwa pemuda itu begitu mudah dikalahkan oleh paderi Siauw-limTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
si. Bahkan saat itu timbullah suatu keraguan dalam hatinya. Apakah kekalahan yang
diderita dari Siu-lam itu bukan karena secara kebetulan saja" Buktinya sekarang pemuda
itu tak berdaya sama sekali menghadapi serangan si paderi.
"Ah, betapapun halnya, dia pernah menolong puteraku. Aku harus membalas budi,"
akhirnya ia memutuskan. Tepat pada saat ia hendak ayunkan tubuh membantu Siu-lam, sekonyong-konyong
pemuda itu menggembor dan lancarkan serangan balasan yang mengagumkan. Dan
dengan jurus Thian-ho-to-kwa itu, Siu-lam dapat memaksa si paderi mundur empat lima
langkah". Hian-song hentikan langkah. Kat Thian-beng tertegun dan paderi yang mencegat Hiansong
itupun kesima. Jelas jurus yang dimainkan pemuda itu adalah ilmu pedang Bu-tongpay.
Adakah pemuda itu anak murid Bu-tong-pay" Demikian paderi itu bertanya-tanya
dalam hati". Belum sempat paderi yang diundurkan Siu-lam itu memperbaiki posisinya, Siu-lam
sudah menyusului menusuk siku lengan kanan si paderi lagi.
Kali ini Siu-lam gunakan jurus Cu-si-jan-wan atau Jaring lebah-lebah menjerat lengan.
Sebuah ilmu pedang dari partay Hoa-san-pay".
Tiga kali paderi itu berusaha untuk menghindari ancaman ujung pedang Siu-lam, tetapi
tak berhasil. Terpaksa ia berputar tubuh loncat ke belakang sampai beberapa langkah!
Tetapi Siu-lam benar-benar tak memberi ampun. Menerjang maju ia lancarkan jurus
yang ketiga, ujung pedang diayunkan ke dada si paderi, diputar-putar melingkar baru
ditusukkan ke dada. Kali ini Siu-lam berganti dengan ilmu pedang baru yakni jurus Jay-hun-hui-hong (Mega
gemilang bianglala melayang) dari ilmu pedang partay Kun-lun-pay! Lingkaran pedangya
itu menerbitkan tiga kuntum sinar pedang yang sukar dibedakan dan diduga lawan".
Si paderi menangkis dengan tongkatnya. Siu-lam tertawa dingin. Pedangnya mendadak
bergeliat menyusup dari sela tongkat yang kosong terus menusuk pecah jubah si paderi di
bagian pundak". Menyaksikan Siu-lam dapat menggunakan ilmu pedang dari Bu-tong-pay, Hoa-san-pay
dan Kun-lun-pay sekaligus dalam sebuah serangan bukan melainkan rombongannya yang
kesima, pun paderi lawannya mau tak mau harus mengakui kekalahannya. Paderi itu
buang tongkatnya dan sambil memberi salam ia menyisih ke samping, serunya, "Sicu
hebat sekali. Silahkan sicu naik!"
Siu-lam menyimpan pedang, serunya dengan merendah, "Ah, para paderi Siau-lim
memang patut dihormati!" ia memberi hormat lalu melangkah ke muka. Kat Thian-beng,
paderi Thian Hong dan Lo Kun pun segera mengikuti.
"Ah, sungguh mengagumkan sekali bahwa selama ini saudara tak mau menonjolkan
diri," akhirnya Lo Kun memuji.
Siu-lam menjawab dengan berkata rendah.
"Memang sungguh," kata paderi Thian Hong, "jika pertempuran tadi dilanjutkan, dalam
lima jurus lagi, paderi Siau-lim tadi itu tentu tak dapat bertahan"."
Mendengar orang sama memuji Siu-lam, diam-diam Hiang-song girang, serunya, "Ah,
mungkin tak sampai lima jurus!"
Kat Thian-beng tertawa, "Selama berpuluh tahun mengembara di dunia persilatan,
rasanya Pui-henglah jago silat paling luar biasa yang pernah kujumpai. Jurus-jurus
permainan pedang Pui-heng tadi sekaligus meliputi ilmu pedang sakti dari partai Bu-tongpay,
Kun-lun-pay dan Hoa-san-pay. Tiga partai persilatan yang termasyhur dalam ilmu
pedang"." "Suheng," tiba-tiba Hian-song menyeletuk, "setelah kedua paderi tadi, apakah yang
bakal kita hadapi lagi?"
Siu-lam memandang ke atas puncak. Jaraknya masih lumayan jauhnya. Ia tertawa,
"Rasanya tentu masih ada lagi!"
Siu-lam tahu bahwa kepandaian dara itu lebih tinggi dari dia. Maka iapun mengiakan,
"Baiklah, nanti kau yang menyelesaikan"."
Baru ia berkata begitu, sekonyong-konyong terdengar suara orang menyebut O-mi-tohud
dan diantar oleh tiupan angin, dari atas sebatang pohon siong besar, meluncur turun
dua orang paderi berjubah putih. Kedua paderi itu menghadang di tengah jalan. Mereka
bertubuh tinggi besar. Jika tak memiliki gin-kang tinggi, tak mungkin mereka dapat
melayang turun indah sekali.
Cepat Hian-song melesat maju ke samping kedua paderi itu. Paderi itu yang seorang
mencekal tongkat dan yang seorang memegang golok kwat-to.
"Apakah kalian hendak menghadang perjalanan kami?" tegur Hian-song secara
langsung. Karena terkesiap menerima pertanyaan begitu, kedua paderi itu hanya dapat
menganggukkan kepala. "Kalau begitu, kita harus bertempur!" Hian-song tak memberi kesempatan kedua paderi
bicara. Paderi di sebelah kiri yang mencekal tongkat, lintangkan tongkat, menyahut, "Kami
hanya menerima perintah"."
Tiba-tiba Hian-song mengayunkan tangannya menampar, "Tak usah banyak ini itu.
Kalau mau bertempur lebih baik segera mulai saja!" si dara menutup kata-katanya dengan
gerak menampar. Kedua paderi itu gugup menghadapi seorang yang lincah bicara lincah menyerang.


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekaligus dara itu menyerang dengan kedua tangannya. Serangannya tepat mengarah
jalan darah berbahaya. Ancaman itu membuat kedua paderi terpaksa menyurut mundur".
Tetapi rupanya si dara tak ingin memberi kelonggaran lagi. Ia maju dan menyerang
keras kedua paderi itu. Baik Kat Thian-beng maupun paderi Thian Hong menganggap dara itu terlalu kasar.
Masakan mengatakan menyerang terus saja menyerang sungguh. Diam-diam Kat Thianbeng
berjaga-jaga untuk memberi bantuan apabila dara itu sampai terancam bahaya.
Mereka belum kenal Hian-song. Diperkirakan begitu kedua paderi itu balas menyerang,
Hian-song tentu akan kelabakan.
Tetapi apa yang mereka saksikan benar-benar membuat mereka tercengang heran.
Hian-song menyerang makin gencar. Menutuk jalan darah, dan memukul dan menampar
dengan gerak yang dahsyat. Kedua paderi itu benar-benar kewalahan. Sampai mereka tak
sempat lagi melancarkan serangan balasan. Senjata yang dibawanyapun tidak bisa
digunakan lagi". Kat Thian-beng dan pendeta Thian Hong terkesiap kaget. Mereka tak menyangka
bahwa si dara ternyata lihai sekali. Jurus-jurus yang dimainkan sukar diduga. Setiap kali
tentu mendahuluinya menindas gerak-gerik kedua paderi yang hendak balas menyerang.
Kedua paderi sudah tampak kepayahan. Kebalikannya, makin lama si dara makin keras
dan cepat serangannya. Karena tak berdaya, kedua paderi itu terpaksa loncat mundur
sampai beberapa belas langkah.
Rupanya mundurnya kedua paderi itu memang hendak mengatur rencana. Apabila
Hian-song berani mendesak, kedua paderi itu akan melaksanakan rencana pengerutan.
Kalau yang satu diserang, yang lain akan cepat menyerang lawan.
Kedua paderi itu tergolong sebagai murid kelas tinggi dari ruang Tat-mo-wan gereja
Siau-lim-si. Mereka telah melatih diri dalam ilmu bertempur berantai atau saling bantu
membantu. Walaupun memiliki kepandaian sakti, namun Hian-song masih hijau dalam pengalaman.
Melihat kedua paderi itu mundur, sesaat dara itupun tertegun. Tak tahu ia harus
menyerang paderi yang mana lebih dulu. Paderi berdiri berpencar, masing-masing terpisah
dua tiga meter jauhnya. Jika Hian-song ragu-ragu, tidak demikian dengan kedua lawannya. Setelah
mempersiapkan diri untuk bertempur berdua, maka majulah kedua paderi itu. Paderi yang
membawa tongkat segera memutar tongkat dan menyerang dari sebelah kiri. Yang
mencekal golok kwat-to pun menyerang dari sebelah kanan. Serangan mereka itu cepat
dan dahsyat. Siu-lam terkejut dan cepat-cepat mencabut pedangnya. Ia mencemaskan keadaan si
dara yang tak menggunakan senjata apa-apa. Tetapi sebelum ia bergerak, tiba-tiba
terdengar Hian-song melengking dan tahu-tahu tubuhnya mencelat ke udara.
Uh" kedua paderi itu mengeluh kaget ketika serangannya menemui tempat kosong.
Tetapi sebelum sempat menarik pulang senjatanya, Hian-song sudah berjumpalitan di
udara dan turun menukik ke bawah sambil taburkan kedua tangannya menyerang kedua
paderi. Kedua paderi itu memang lancarkan serangan dahsyat. Memang sudah mempunyai
latihan yang sempurna dalam hal menyerang serempak. Dalam masa itu jarang sekali jago
silat yang mampu lolos dari serangan serempak dari kedua paderi itu. Bahwa seorang dara
ternyata mampu menghindari serangan istimewa itu benar-benar membuat sekalian orang
terlongong heran. Bahkan kedua paderi itu sendiri segera menyadari bahwa mereka
berhadapan dengan seorang dara yang aneh dan memiliki ilmu kesaktian aneh pula.
Kedua paderi Siau-lim itu tak sempat lagi menilai kepandaian lawan karena saat itu si
dara sudah menukik dan menyerang. Terpaksa mereka loncat ke samping, lemparkan
senjatanya dan tegak berdiri rangkapkan kedua tangan di dada.
"Hian-song, jangan melukai orang!" cepat-cepat Siu-lam mencegah. Si dara tertawa.
Sekali berjumpalitan, ia buang tubuh ke belakang dan melayang turun setombak jauhnya.
Indah dan lincah sekali".
Kedua paderi itu mundur selangkah untuk memberi jalan".
Dengan dipelopori oleh Siu-lam yang berjalan di sebelah muka, maka rombongan Kat
Thian-beng dan kawan-kawannya segera meneruskan perjalanan. Sejak saat itu,
pandangan mereka terhadap kedua muda-mudi itu berobah seratus delapan puluh derajat.
Tak berani lagi mereka memandang rendah.
Sejak kecil Hian-song memang dimanjakan oleh kakeknya. Boleh dikata, kepandaian
kakeknya telah diberikan kepadanya. Sekali pun ia tidak tahu kepandaiannya termasuk
tingkat yang bagaimana, tetapi ia anggap mengalahkan kedua paderi itu, adalah sudah
sewajarnya. Maka iapun tak bangga atas hasil kemenangannya tadi.
Tidak demikian dengan Siu-lam. Diam-diam ia terkejut atas kepandaian yang dimilikinya
sekarang. Nyatanya menghadapi paderi Siau-lim-si yang termasyhur aliran ilmu silat,
dengan mudah ia dapat mengatasi. Kini makin besar rasa kagumnya terhadap kakek dari
Hian-song. Jelas kakek itu tentu seorang sakti yang terpendam".
"Ah, baru kali ini aku si orang tua benar-benar kabur pandanganku karena tak dapat
melihat diri Pui-heng yang sebenarnya," tiba-tiba Lo Kun menghela napas.
"Hah, jangankan kau, sedang aku sendiri pun tahu dan tak percaya kalau aku
mempunyai kesaktian begitu hebat," diam-diam Siu-lam mengeluh dalam hati. Namun
mulutnya menjawab, "Ah, lo-cianpwe kelewat memuji!"
Lo Kun makin suka pada anak muda yang tak sombong itu. Dalam pada bercakapcakap
itu, mereka sudah tiba di puncak. Ternyata puncak gunung itu tertutup oleh sebuah
hutan pohon siong. Kata Kat Thian-beng, "Gunung Beng-gwat-ciang ini, sebelah kanan kirinya tertutup oleh
hutan siong. Satu-satunya jalanan hanya di sebelah muka. Terpaksa kita harus melintas
hutan ini"." Tiba-tiba dari arah hutan terdengar suara nyanyian dan muncullah empat orang paderi
tinggi besar. Keempat paderi yang mengenakan jubah putih itu segera berjajar
menghadang! Kat Thian-beng pernah memenuhi undangan ketua gereja Siauw-lim-si dan tinggal
beberapa hari di gereja itu. Terhadap pakaian seragam dari para paderi, ia agak paham.
Melihat pakaian yang dikenakan keempat paderi itu, segeralah ia tahu tingkatan mereka.
Ternyata adalah golonga Tiang-lo, paderi yang berkedudukan tinggi dari Siauw-lim-si.
Diam-diam Kat Thian-beng cemas.
Buru-buru ia memberi hormat, ujarnya, "Aku yang rendah adalah Kat Thian-beng
datang memenuhi undangan Tay Hong siansu untuk menghadiri rapat orang gagah di
gunung Thay-san sini. Karena kesengsem menikmati alam pemandangan yang indah,
maka sampai tersesat ke belakang gunung ini. Mohon taysu suka memberi jalan"."
Keempat paderi yang berumur di sekitar lima puluhan itu berwajah angker. Yang berdiri
di ujung kiri memegang sebatang tongkat besi, besar bulat seperti telur itik. Yang berdiri
di ujung kanan, mencekal sepasang golok kwat-to yang putih berkilau-kilauan. Sedang dua
paderi yang berdiri di tengah-tengah, masing-masing memegang semacam golok yang
kedua pinggiraannya bermata tajam.
Mendengar kata-kata Kat Thian-beng, keempat paderi itu saling berpandangan.
Kemudian paderi yang berdiri di ujung kiri, berseru, "Karena Kat sicu menerima undangan
ketua kami, maka sicu adalah tetamu kami. Di sebelah muka gunung telah dibangung
beberapa pos penyambutan tetamu. Kami mendapat perintah dari ketua bahwa para
tetamu tak boleh jalan dari belakang gunung. Maka kami mohon sicu sekalian suka
kembali dan jalan dari sebelah muka saja."
Sebenarnya Siu-lam agak jeri melihat sikap keempat paderi yang begitu angker. Tetapi
mengingat yang menerima undangan itu hanya Kat Thian-beng seorang, sekalipun
mengambil jalan muka gunung toh tetap akan ditolak. Menurut perhitungannya karena
sudah terlanjur naik dari sebelah belakang gunung dan kemungkinan pos yang
dihadapinya saat itu merupakan pos rintangan terakhir, Siu-lam memutuskan untuk
menerjang terus! Siu-lam pun tertawa nyaring, "Siansu berempat memang hanya menjalankan tugas.
Tetapi bagaimana kalau aku hendak melintasi penjagaan ini. Apakah siansu mengijinkan?"
Keempat paderi serempak memandang Siu-lam. Sesaat kemudian, paderi bersenjata
sepasang golok, menyahut pelahan, "Jalanan di belakang gunung itu mempunyai tiga pos
penjagaan. Bahwa sicu sekalian sudah dapat melewati dua buah pos di bawah, tentulah
sicu mempunyai kepandaian tinggi. Tetapi kami terpaksa harus mematuhi perintah ketua,
melarang siapa pun yang hendak naik dari sini. Jika sicu yakin dapat melintasi pos di sini,
kami pun tak dapat mencegah!"
Siu-lam tersenyum, "Terima kasih atas penjelasan siansu. Karena sudah terlanjur
melintasi dua buah pos, terpaksa kamipun hendak coba melintasi pos di sini. Mohon taysu
berempat suka bermurah hati!"
Siu-lam mencabut pedang di punggung lalu melangkah perlahan-lahan ke muka.
"Pui-suheng, aku ikut!" tiba-tiba Hian-song berseru perlahan.
Siu-lam tersenyum, sahutnya, "Biarkan aku seorang diri yang mencoba. Jika memang
gagal barulah sumoay yang maju!"
"Ooo, aku jadi cadangan?" Hian-song tertawa. Setelah mengenakan pakaian baru, dara
itu tampak makin cantik. Jika tertawa, lesung pipit pada pipinya tampak menggiurkan. Hati
Siu-lam berdetak keras tetapi cepat-cepat ia berpaling ke muka dan lanjutkan langkah.
Keempat paderi itu tampak pejamkan mata. Sedikitpun tak tampak tanda-tanda mereka
akan bertempur. "Harap siansu berempat suka berlaku murah!" kembali Siu-lam berseru nyaring.
Keempat paderi itu sedikit rentangkan mata memandang Siu-lam, serunya, "Silahkan
sicu mulai!" Habis berkata mereka pejamkan mata lagi.
Siu-lam maju ke muka, pedang lurus dijulurkan ke muka. Ia salurkan tenaga dalam ke
batang pedang. Kira-kira lima enam langkah dari keempat paderi, tiba-tiba ia berhenti.
Sebenarnya keempat paderi itu tak memandang mata Siu-lam. Tetapi demi melihat
sikap dan perbawa Siu-lam mengacungkan pedang lain dari yang lain, seketika merekapun
tegang. Ketegangan lebih hebat menyerang Kat Thian-beng, paderi Thian Hong, Lo Kun, Kat Wi
dan Kat Hong. Mata dan perhatian mereka ditumpahkan seluruhnya ke muka.
Keempat paderi itu tegak laksana gunung karang yang angker. Sikapnya membuat
orang jeri. Tiba-tiba Siu-lam menggembor keras, pedang diputar menjadi setengah
lingkaran. Nampaknya perlahan dan biasa gerak putarannya pedang Siu-lam tetapi
keempat paderi itu tampak berubah wajahnya. Serempak mereka menjulurkan senjatanya
ke muka. Ternyata gerakan pedang Siu-lam itu, dari salah sebuah jurus ilmu pedang Bu-tong-pay
yang disebut Thay-kek-hui-kiam. Memang tampaknya perlahan saja, tetapi dalam
keperlahanannya itu mengandung gerakan perubahan yang sukar diduga.
Kiranya sebagai paderi tingkatan tiang-lo dari gereja Siauw-lim-si, keempat paderi itu
bertemu dengan jago-jago sakti dari partai Bu-tong-pay. Oleh karena itu mereka
mendengar juga tentang ilmu pedang Thay-kek-hui-kiam yang sakti dari Bu-tong-pay,
seketika hilanglah sikap memandang rendah kepada pemuda itu.
Di luar dugaan, sehabis mainkan pedang beberapa saat, Siu-lam tiba-tiba berdiri tegak
tak mau menyerang. "Apakah sicu anak murid Bu-tong-pay?" paderi yang mencekal tongkat besi berseru.
Sahut Siu-lam, "Guruku tak pernah mendirikan partai apa-apa. Silahkan siansu
berempat menyerang!"
"Permainan pedang sicu tadi jelas menggunakan jurus Thay-kek-hui-kiam mengapa sicu
tak mengakui sebagai murid Bu-tong-pay" Apakah kau hendak menghina kami paderipaderi
tak kenal ilmu pedang?"
Siu-lam menjawab bersungguh-sungguh, "Apa yang kuyakinkan, memang tidak keruan
macamnya. Tetapi ilmu silat itu pada dasarnya tentu tak meninggalkan sumber asalnya.
Sekalipun gerakan pedangku tadi mirip dengan ilmu pedang Bu-tong-pay, tetapi bukan
menandakan bahwa aku ini murid Bu-tong-pay!"
Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba paderi yang bersenjata tongkat besi sebesar telur
itik, segera hamburkan tongkatnya. Tongkat itu berubah menjadi sebuah lingkaran sinar
yang menghamburkan angin menderu-deru. Katanya, "Kami hanya menjalankan perintah.
Barang siapa tak membawa undangan, dilarang mendaki ke atas. Jika sicu yakin mampu
menerjang tempat ini, silahkan mencoba!"
Diam-diam Siu-lam terkejut melihat gerak permainan tongkat si paderi. Tapi karena
sudah terlanjur seperti orang naik di panggung macan, terpaksa ia tak dapat mundur lagi.
"Maaf, perintah siansu terpaksa kulaksanakan," Siu-lam menutup kata-katanya dengan
menusukkan pedangnya kepada paderi yang berdiri paling ujung kanan. Dan serempak
dengan itu, ia melangkah maju tiga tindak.
Paderi di ujung kanan, cepat gerakkan golok kwat-to untuk menangkis. Siu-lam menarik
pulang pedangnya, paderi itupun juga menarik pulang goloknya lalu tegak berdiri lagi.
Sikap paderi itu membingungkan Siu-lam. Mereka tak mau menyerang jika tak diserang.
Musuh diam mereka diam. Musuh bergerak, merekapun bergerak. Jika tak diserang habishabisan,
sukarlah untuk menerobos penjagaan mereka. Demikian Siu-lam menimang.
Dan mulai ia meneropong letak kekuatan lawan. Ia hanya menyerang mereka berempat
secara serempak, barulah dapat dikacau. Dan setelah pertahanan mereka kacau balau,
barulah mudah diserang. Sesudah menetapkan siasat, Siu-lam segera lancarkan sebuah jurus yang disebut Kenghongli-wi, atau burung bangau terkejut meninggalkan, biarpun. Ujung pedang diarahkan
pada paderi di tengah yang mencekal senjata golok datar (kedua tepinya bermata tajam).
Sambil menurutkan gerak tusukan, Siu-lam maju ke muka.
Kedua paderi yang berdiri di tengah, cepat putar golok datar mereka. Lingkaran sinar
putih menutup tubuh mereka. Tetapi Siu-lam tak mau adu senjata. Tiba-tiba ia
menggembor keras dan tubuhnya melambung di udara. Secepat kilat ia menyerang paderi
yang bersenjata tongkat. Meskipun Siu-lam telah mendapat ajaran berbagai ilmu pedang dari kakek Hian-song
tetapi ilmu lwekangnya belum sempurna hingga tak dapat mengimbangi kemajuan ilmu
pedangnya. Memang jika berhadapan dengan jago-jago kelas satu saja, tentu dapat
dikaburkan pandangannya dan diserang kelabakan. Tetapi keempat paderi tiang-lo dari
Siau-lim-si itu mempunyai latihan silat selama tiga puluh tahun. Hebatnya bukan kepalang.
Sikapnya setenang gunung tetapi gerakannya segesit ular menyambar.
Dalam gebrak pertama, memang tampaknya keempat tiang-lo itu terdesak oleh
permainan pedang Siu-lam. Tetapi setelah lewat jurus yang ke sepuluh, mulailah keempat
paderi itu memperoleh kepribadian gayanya. Mereka mulai tenang dan tongkatpun mulai
berhamburan deras menjadi sebuah dinding tembok sinar. Betapapun Siu-lam lancarkan
serangan-serangan yang hebat, tetapi ia tak maju selangkahpun juga.
Tiba-tiba terdengar paderi yang bersenjata golok kwat-to berseru, "Kata-kata sicu tadi
memang benar. Ilmu pedang sicu memang luas dan beraneka ragam. Dalam sepuluh jurus
tadi, sicu telah mainkan beberapa ilmu pedang sakti dari beberapa partai persilatan.
Sayang tenaga dalam sicu masih belum memadai sehingga tak mampu mengembangkan
ilmu pedang itu sebagaimana mustinya"."
Paderi itu menutupi kata-katanya dengan berseru o-mi-to-hud, tiba-tiba ia berseru,
"Harap sicu berlaku hati-hati, kami hendak balas menyerang!"
Dalam berkata-kata itu si paderipun sudah maju dan hamburkan sepasang golok kwatto
menggempur kepala Siu-lam!
Karena seluruh kepandaian sudah ditumpahkan tanpa hasil, mulailah Siu-lam bingung.
Ia merasa tak mungkin dapat memenangkan mereka. Lebih baik ia undurkan diri saja.
Tetapi belum sempat ia bergerak, tiba-tiba paderi itu melambung ke udara dan
menaburkan goloknya. Berkata Kat Thian-beng kepada kedua puteranya, "Kata-kata paderi itu memang benar.
Seandainya Siu-lam memiliki ilmu lwekang seperti aku, keempat paderi itu pasti sudah
kalah. Hm, kalau keempat tiang-lo itu sampai jatuh di tangan seorang pemuda tak
terkenal, dunia persilatan pasti gempar. Pertempuran kali ini cukup sudah untuk
mengangkat nama anak muda itu."
Kat Thian-beng menaruh kepercayaan penuh pada Siu-lam. Dia percaya akhirnya
pertempuran itu tentu dimenangkan si anak muda soalnya hanya waktu.
Tiba-tiba Golok Sakti Lo Kun menyelutuk, "Kat-heng, mungkin anak itu tak dapat
bertahan. Bagaimana kalau kita maju membantunya?"
Kat Thian-beng memandang ke muka. Tampak paderi yang bersenjata kwat-to itu
loncat ke udara lalu menukik menyerang kepala Siu-lam. Pada hal saat itu Siu-lam sedang
menghadapi ketiga paderi lainnya. Ia tidak berdaya menjaga serangan dari atas itu".
Kat Thian-beng terkejut sekali. Jelas pemuda itu terancam bahaya. Cepat-cepat ia
hendak bergerak memberi pertolongan, tetapi sudah terlambat".
Pada saat sinar golok berhamburan menabur kepala Siu-lam, tiba-tiba anak muda itu
meraung sekeras-kerasnya dan pedang tiba-tiba pecah menjadi ratusan pedang yang
berhamburan menyerang ke segenap penjuru".
Kiranya dalam kebingungan menghadapi serangan keempat paderi itu, tiba-tiba Siu-lam
teringat akan sebuah jurus Kiau-toh-co-hoa ajaran si kakek dari Hian-song. Cepat ia
mainkan jurus itu. Begitu jurus itu dikeluarkan, terkejutlah keempat paderi.
Tring tring tring"! Terdengar dering senjata beradu dan keempat paderi itupun susul
mundur ke belakang. Paderi yang menukik dari udara pun tiba-tiba menarik goloknya dan
mencelat ke belakang. Kat Thian-beng, paderi Thian Hong dan rombongannya terkesiap kaget. Tak tahu
mereka jurus apa yang dimainkan anak muda itu. Yang ia ketahui hanyalah pedang Siulam
seolah-olah berubah menjadi ratusan ujung pedang yang berhamburan seperti
kembang api". Setelah keempat paderi itu mundur, Siu-lam pun menarik pulang pedangnya. Sesaat
suatu hening lelap. Sekalian orang tak tahu bagaimana Siu-lam gerakkan pedangnya tadi. Saat itu tampak
keempat paderi berdiri tegak. Dengan kepala menunduk mereka kempit senjatanya
masing-masing. Berseru salah seorang paderi, "Sicu mempunyai ilmu pedang yang hebat. Kini baru
kami mendapat pengalaman." Mereka lalu mundur ke samping membuka sebuah jalan
untuk Siu-lam. Siu-lam tertegun sendiri. Dipandangnya keempat paderi itu satu demi satu. Tampak
jubah dari kedua paderi yang bersenjata tongkat berlubang beberapa tempat. Sedang
paderi yang mencekal golok kwat-to, selain jubahnya robek, pun lengannya tergurat
beberapa luka.

Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kat Thian-beng berpaling kepada Lo Kun dan paderi Thian Hong ujarnya, "Baru
pertama kali dalam hidupku, kusaksikan adanya ilmu Kiau-toh-co-hoa"."
Siu-lam terkejut berseru, "Apakah lo-cianpwe kenal akan jurus yang kumainkan tadi?"
Kat Thian-beng gelengkan kepala, "Ilmu pedang Pui-heng luar biasa anehnya, mana
aku dapat mengenalnya?"
Siu-lam diam. Sambil berjalan tak henti-hentinya ia memikir tentang perubahanperubahan
yang terdapat dalam jurus Kiau-toh-co-hoa tadi. Pada waktu si kakek sakti
menurunkan ilmu pedang satu jurus itu kepadanya, meskipun diberi keterangan tentang
kegunannya sampai beberapa kali, namun Siu-lam masih belum dapat memahami. Tadi
dalam keadaan terdesak, ia secara sembarangan mainkan jurus itu. Ah, ia tak mampu
mainkan jurus itu sampai selesai. Bahkan bagaimana cara memulaikan jurus itu, hampir
tak dapat ia mengingatnya lagi.
"Apakah ilmu pedang yang suheng mainkan tadi bukan yang disebut Kiau-toh-co-hoa?"
tiba-tiba Hian-song bertanya.
"Benar, apakah sumoay juga pernah belajar?" balas Siu-lam.
Hian-song tertawa, "Rasanya kakek pernah mengajarkan juga. Maka ketika kau
bergerak tadi rasanya aku seperti sudah pernah tahu. Tetapi agak lupa. Ih, benar-benar
aku seorang tolol!" "Kalau begitu apabila senggang kita dapat berlatih bersama, tentu bermanfaat," kata
Siu-lam. Saat itu keempat paderi tadipun sudah melenyapkan diri di dalam hutan. Tampaknya
dari luar hutan itu hanya sebuah hutan lebat ternyata dalamnya hanya sejauh lima enam
tombak. Begitu keluar dari hutan, tiba-tiba mereka melihat dua orang paderi bocah yang
umurnya baru antara lima belas-enam belas tahun. Kedua paderi kecil itu berlari-lari
menghampiri. Cepat sekali mereka sudah tiba di muka rombongan Siu-lam.
"Berhenti!" bentak Hian-song yang mengira kedua paderi kecil itu tentu akan
menghadang jalan. Kedua paderi kecil menurut kata. Begitu berhenti mereka segera memberi hormat,
"Kami dapat perintah dari ketua untuk menyambut kedatangan tuan-tuan sekalian. Harap
nona jangan salah paham!"
Kat Thian-beng maju selangkah, tanyanya, "Di manakah hong-tiang (ketua) sekarang
ini?" "Hong-tiang berada di puncak gunung sedang menyambut tetamu. Marilah kami
antarkan ke sana." Paderi kecil itu membawa rombongan tamu ke sebuah kuil. Pintu kuil yang berwarna
hitam terpentang lebar. Kedua paderi kecil itu mempersilahkan rombongan tamunya
berhenti di muka pintu, sedang mereka masuk melapor pada gurunya. Tetapi baru
mengisar langkah, tiba-tiba dari dalam kuil melantang sebuah suara, "Loni (seorang paderi
menyebut dirinya sendiri) sudah menerima laporan dari keempat tiang-lo bahwa Kat
tayhiap dan beberapa ko-jin telah datang. Maafkan loni tak dapat segera menyambut"."
Serempak dengan seruan itu seorang paderi tua yang alisnya putih melangkah keluar
perlahan-lahan. Kat Thian-beng pun cepat-cepat menyongsong memberi hormat,
"Kehormatan yang lo-siansu berikan kepadaku supaya menghadiri rapat di gunung ini,
sudah tentu kulaksanakan."
Paderi beralis putih itu menghela napas perlahan, "Ah, walaupun sudah lima puluh
tahun mengabdi gereja membaca kitab, tetapi loni masih tak dapat membebaskan diri dari
nafsu amarah. Maka loni telah merepotkan sekalian ksatria persilatan!"
Terhadap pemimpin gereja Siau-lim-si yang dipandang sebagai pemimpin dunia
persilatan itu Kat Thian-beng menaruh perindahan. Ia mengucapkan kata-kata dan pujian
atas langkah yang diambil Siau-lim-si untuk menyelenggarakan rapat itu.
Paderi beralis putih itu mengucapkan kata-kata merendah. Kemudian ia menanyakan
lebih jauh tentang pemuda yang dapat melintasi penjagaan kepada keempat tiang-lo tadi.
Kat Thian-beng segera perkenalkan Siu-lam kepada paderi itu, setelah Siu-lam
perkenalkan namanya, berkatalah paderi beralis putih, "Loni bergelar Tay Hong. Siu-sicu
baru berumur dua puluh satuan tahun tetapi sudah memiliki kepandaian yang tinggi. Kelak
siu-sicu pasti menjadi bintang cemerlang di dunia persilatan!"
Siu-lam tersipu-sipu menjawab dengan kata-kata merendah. Setelah bercakap-cakap
beberapa jenak, kemudian ketua Siau-lim-si itu mempersilahkan rombongan tetamu
masuk. Tetamu yang jumlahnya lebih dari dua puluh orang serentak berbangkit ketika Tay
Hong sian-su masuk di ruangan besar. Diam-diam Kat Hong dan Kat Wi heran. Ratusan
orang yang berkunjung ke gunung, tetapi mengapa yang hadir saat itu hanya dua puluhan
orang saja di situ. Dan lima buah meja besar untuk perjamuan yang disiapkan di ruang
tersebut, menandakan bahwa jumlah tetamu yang diundang hadir paling banyak empat
lima puluh orang saja. Setelah mempersilahkan para tamunya duduk, Tay Hong segera membuka perjamuan.
Diperhatikan Siu-lam bahwa para tetamu yang hadir di situ rata-rata berusia lima puluhan
tahun. Sinar mata mereka tajam dan pelipisnya menonjol, pertanda dari tokoh-tokoh yang
memiliki ilmu lwekang tinggi. Siu-chiu-kiau-in Su Bo-tun tak tampak hadir.
Tay Hong siansu mengangkat cawan, mengucap kata-kata sambutan dan terima kasih
kepada tetamu yang telah memenuhi undangannya.
Tiba-tiba dua orang paderi kecil masuk mengantar empat orang tetamu. Begitu berada
dalam ruang, keempat tetamu itu memandang lekat-lekat ke arah Siu-lam.
Hian-song menggamit lengan Siu-lam, "Apa suheng masih kenal orang itu?"
Siu-lam mengangguk dan menjawab lirih, "Mereka memang memusuhi kita, tak perlu
dihiraukan"." Rupanya Tay Hong dapat menangkap kasak-kusuk kedua pemuda itu. Segera ia
berpaling kepada keempat pendatang itu dan mempersilahkan duduk.
Keempat orang itu bukan lain kedua tokoh Thian-lam-song-gan, Su Bo-tun dan jago tua
berjenggot putih Ngo Cong-han.
Thian-lam-song-gan dan Ngo Cong-han membalas hormat Tay Hong siansu, tetapi Su
Bo-tun si manusia aneh tetap bersikap dingin. Tanpa berkata apa, dia melangkah masuk
dan mengambil tempat duduk.
Tay Hong siansu tak menghiraukannya. Setelah para tetamu duduk tenang, Siau-lim-si
membuka sidang perjamuan.
"Maksud tujuan gereja kami menyelenggarkan pertemuan besar ini, tentulah saudarasaudara
sekalian sudah mengetahui. Jarum Chit-jiau-soh yang sudah lama menghilang,
kini muncul di dunia persilatan."
Ia berhenti sejenak memandang sekalin tetamu kemudian melanjutkan pula, "Berpuluh
tahun yang lampau, jarum Chit-jiau-soh pernah muncul di dunia persilatan. Entah berapa
banyak kawan-kawan persilatan yang binasa di tangan pemilik jarum itu. Karena
keganasannya maka jarum kecil itu dipandang sebagai lambang kematian. Barang siapa
melihat jarum itu tentu mati. Kala itu loni belum menerima jabatan ketua gereja Siau-lim.
Loni mendapat perintah dari ketua gereja supaya bersama delapan orang ko-chiu tingkat
ruang Tat-mo-wan, menyelidiki jejak pemilik jarum Chit-jiau-soh. Siapa tahu orang itu licin
dan misterius sekali. Sebentar muncul sebentar lenyap, sukar disergap. Setengah tahun
lamanya loni mengejar jejak tetapi tetap sia-sia. Terpaksa loni kembali pulang melapor
pada ketua". Ketua kami menganggap pemilik jarum Chit-jiau-soh itu kelewat dan berbahaya. Jika
tidak lekas-lekas dibasmi tentu akan menimbulkan malapetaka. Maka Siau-lim-sie segera
mengundang partay Kun-lun-pay, Bu-tong-pay dan lain-lain partay persilatan untuk
bersama-sama mengempur orang itu. Lama benar pengejaran dilakukan sehingga hampir
makan waktu setahun barulah berhasil menyergapnya di luar kota Kim-leng. Terjadilah
pertempuran yang dahsyat"."
Kembali Tay Hong siansu berhenti menengadahkan kepala seolah-olah seperti
mengenangkan peristiwa itu.
Beberapa saat kemuidian baru ia melanjutkan pula, "Kala itu loni tak mempunyai
kesempatan ikut bertempur. Tetapi menurut cerita kedua suheng loni. Setiap orang yang
ikut dalam pertempuran yang paling dahsyat dan ganas. Dua belas jago-jago sakti dari
beberapa partay ikut bertempur dalam pertempuran yang dimulai dari petang hari sampai
pagi. Dia berhasil melukai empat orang dan dapat meloloskan diri dari kepungan. Mungkin
pertempuran itu jarang tersiar di dunia persilatan dan kiranya saudara-saudara yang hadir
di sini tentu jarang yang mengetahui peristiwa itu"."
Tiba-tiba dari meja sebelah kiri berbangkit seorang lelaki tua yang matanya tinggal
satu. Serunya, "Jelek-jelek aku si orang tua ini juga ikut dalam pertempuran besar itu!"
Sekalian mata segera tertumpah ke arah orang tua bermata satu itu. Seorang tua yang
berumur lebih dari tujuh puluh tahun. Jenggotnya yang putih menjulai turun ke dada.
Mata kirinya yang hilang ditutup sehelai kain hitam. Di tengah alisnya terdapat sebuah
noda guratan bekas terluka golok.
Dia menghela napas perlahan-lahan lalu menyingkap kain hitam penutup matanya,
"Mataku kiri ini hilang pada waktu pertempuran itu. Selain aku, masih ada enam orang lagi
yang terluka"."
Perlahan-lahan ia memandang kepada Tay Hong siansu, katanya, "Di antara ketujuh
orang yang terluka itu, yang tiga telah meninggal. Maka tak salah kalau mengatakan
bahwa yang terluka empat orang!"
Tay Hong siansu lekas-lekas memberi hormat, "Bukankah lo-cianpwe ini kojin dari Butongpay Siauw Yau-cu-lo-cianpwe?"
Mendengar itu hadirin serentak berbangkit dan memberi hormat kepada si orang tua
bermata satu! Siau Yan cu merupakan jago pedang nomor satu dari partai Bu-tong-pay sejak seratus
tahun yang terakhir ini. Berpuluh-puluh tahun berselang, namanya sudah menggetarkan
dunia persilatan. Setiap jago silat yang berumur enam puluh tahun ke atas tentu
mendengar nama Siau Yan-cu. Lima puluh tahun yang lalu, ketika keempat partai
persilatan yang termasyhur ilmu pedangnya, yakni Bu-tong-pay, Hoa-san-pay. Kun-lun-pay
dan Go-bi-pay berkumpul di gunung Gobi untuk merundingkan ilmu pedang (istilah halus
untuk menyebut saling menguji kepandaian) Siau Yan-cu yang masih muda telah berhasil
menundukkan jago-jago pedang Hoa-san-pay, Kun-lun-pay dan Go-bi-pay. Sejak peristiwa
yang menggemparkan itu, Siau Yan-cu dianggap sebagai jago pedang sakti nomor satu!
Tetapi sayang, sejak peristiwa yang mengharumkan nama partay Bu-tong-pay itu, Siau
Yan-cu melenyapkan diri dari dunia persilatan. Maka kehadirannya di gunung Thaysan saat
itu, benar-benar mengejutkan. Itulah sebabnya maka sekalian hadirin serempak
berbangkit untuk mengunjuk hormat. Bahkan Su Bo-tun yang berhati dingin, ikut juga
berdiri memberi hormat. Hanya pemuda-pemuda macam Siu-lam, Hian-song, Kat Wi dan
Kat Hong yang tak kenal siapa Siau Yan-cu, tetap duduk di tempatnya.
Rupanya Siu-lam sungkan juga. Akhirnya ia ikut berdiri memberi hormat. Tetapi Hiansong
menarik ujung bajunya dan berbisik, "Apakah kau kenal pada orang tua mata satu
itu?" Kuatir dara itu mengoceh tak karuan, Siu-lam buru-buru menggamit tangan Hian-song
dan digoyang-goyangkan. Rupanya Hian-song mengerti apa yang dikehendaki Siu-lam. Ia bangun dan berbisik ke
dekat telinga si anak muda, "Bukankah suheng melarang aku banyak bicara?"
Siu-lam berpaling dan mengangguk.
Siau Yan-cu menutup mata kirinya dengan kain hitam pula kemudian berkata, "Kala itu
aku masih muda. Karena suhu sayang padaku maka aku diberi pelajaran suatu ilmu
lwekang yang sakti. Setelah pelajaran selesai timbullah keinginan untuk ikut dalam
pengejaran wanita siluman pemilik jarum maut. Segera kumenghadap Ciang-bun-jin
(ketua) memohon ijin untuk turun gunung dan menggabungkan diri pada keempat
partay"." Golok Sakti Lo Kun tiba-tiba berbangkit, serunya, "Ikut sertanya Siau lo-cianpwe dalam
pertempuran bersejarah itu tentu menjadi buah tutur orang. Tetapi mengapa tiada orang
yang pernah menceritakan?"
Kata Siau Yan-cu, "Partay Bu-tong-pay menganggap musuh terlalu sakti, maka hontiang
melarang aku mengunjuk diri secara terang-terangan"."
Walaupun Siau Yan-cu tak melanjut kata-katanya namun sekalian orang tahu apa yang
dimaksud Siau Yau-cu merupakan murid cemerlang dari Bu-tong-pay. Namanya sudah
semerbak di seluruh penjuru. Jika dalam pertempuran itu sampai kalah, bukan saja Siau
Yau-cu tetapi partay Bu-tong-pay pun akan jatuh namanya!
"Omitohud!" seru Tay Hong siansu, "kedatangan lo-cianpwe benar-benar memberi
muka terang kepada sekalian saudara. Loni mohon sudilah kiranya lo-cianpwe memegang
tampuk pimpinan rapat sekarang ini"."
Tetapi Siau Yau-cu menolak. Ia anggap Siau-lim-pay lah yang paling tepat memegang
pimpinan. "Sekalipun lo-cianpwee tak mau menjadi ketua rapat ini, tetapi loni mohon sudilah locianpwe
memberi petunjuk-petunjuk yang berharga!" kata Tay Hong pula.
Siau Yau-cu menghela napas perlahan, "Berhasil atau gagalnya gerakan ini, tak berani
kupastikan. Tetapi menilik kehadiran para tokoh-tokoh persilatan yang mewakili berbagai
partai dapatlah kita berbesar hati. Kalah dan menangnya tergantung dalam
perkembangannya nanti. Dahulu dalam pertempuran itu aku telah kehilangan sebuah mata
tetapi aku berhasil menggurat pecah kain kerudungnya hingga tahu bahwa dia ternyata
seorang wanita"."
Tiba-tiba seorang tua yang menyanggul sepasang pedang berbangkit, serunya,
"Maukah lo-cianpwe menuturkan peristiwa itu agar kita semua dapat tambah
pengalaman?" Siau Yau-cu tertawa, "Setelah mataku terluka, aku tak segera kembali ke gunung Butongpay. Kucari sebuah tempat persembunyian untuk mengobati lukaku. Sesudah
sembuh, mulai lagi kuyakinkan beberapa ilmu pelajaran yang belum selesai. Ketua Butongpay telah menyebar seluruh anak untuk mencari jejakku, tetapi tak berhasil"."
Walaupun tak menjelaskan, tetapi tahulah sekalian hadirin bahwa adanya Siau Yau-cu
tak mau pulang ke gunung, tentulah karena merasa malu.
Siau Yan-cu melanjutkan pula, "Kepandaian perempuan itu selain sakti juga ganas
sekali. Banyak sekali jurus-jurusnya yang tak pernah tampak di dunia persilatan.
Gerakannya luar biasa gesitnya. Dalam kepungan tokoh-tokoh empat partai, dia masih
tetap dapat bergerak sebebas-bebasnya. Dan yang paling mengagumkan ialah daya
kelahinya yang luar biasa. Bermula dia dikepung oleh dua belas jago-jago sakti. Yang
mempelopori membuka serangan ialah Tay Ti taysu dari Siau-lim-pay"."
"Tay Ti adalah suhengku. Sayang dia sudah gugur dalam pertempuran itu!" seluruk Tay
Hong. Siau Yan-cu tertawa hambar, "Belum sampai sepuluh jurus, Tay Ti siansu telah terdesak
oleh jurus permainan musuh yang luar biasa anehnya. Maka berhamburanlah jago-jago
yang ikut dalam pengepungan itu menyerbu maju. Aku turun tangan yang terakhir karena
hendak kupelajari dahulu gaya permainannya dan aliran pelajarannya. Tetapi di luar
dugaan, sampai lama sekali belum juga kuketahui induk partai persilatan.
Saat itu sebelas jago-jago sakti sudah serempak turun tangan namun tetap tak mampu
mengalahkan. Bahkan mereka malah terdesak oleh permainan aneh orang itu. Melihat
para jago sakti terdesak, terpaksa aku turun tangan. Ya, baru sejam aku terlibat
pertempuran"." "Omitohud!" seru Tay Hong siansu, "Lo-cianpwe benar-benar hebat!"
"Begitu aku turun gelanggang, keadaanpun berubah baik. Para kawan mulai dapat
bernapas longgar dan dapat mengembangkan kepandaiannya lagi. Di antara yang paling
menonjol ialah gaya permainan partai Siau-lim-si. Walaupun akhirnya gugur, namun
semangat dan kegagahan Tay Ti amat berkesan sekali?" kata Siau Yan-cu pula, "Saat itu
sekalian jago-jago belum mengetahui diri siapa. Satu-satunya yang bermata tajam hanya
Tay Ti siansu seorang. Sengaja ia mengisar langkah menghampiri ke sampingku kemudian
memanggil namaku perlahan-lahan. Karena sedang menumpahkan seluruh perhatian pada
pertempuran, sekalian jago-jago tak mendengar seruan Tay Ti siansu itu"."
Siau Yan-cu berhenti sejenak lalu melanjutkan, "Karena sudah kepergok, terpaksa aku
memberi anggukan kepala kepada Tay Ti siansu. Sambil perhebat serangannya, Tay Ti
siansu mencari kesempatan untuk bicara padaku, merundingkan siasat untuk
menghancurkan lawan. Dia mengusulkan suatu rencana. Dia hendak mendesak lawan
sekuat-kuatnya dan aku disuruh segera berusaha untuk mencongkel kain kerudung hitam
yang menutupi wajah wanita iblis itu.
Permintaan Tay Ti siansu itu memang tepat. Sayang tak mudah untuk melaksanakan.
Jelas permainan lawan tetapi gesit dan makin dahsyat. Untuk menyingkap kain kerudung
yang menutup wajah perempuan iblis itu, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah"."
Jago Kelana 7 Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara Pedang Berkarat Pena Beraksara 4

Cari Blog Ini