Ceritasilat Novel Online

Maling Romantis 4

Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung Bagian 4


mundur tujuh kaki, agaknya jeri bila Coh Liu-hiang merangsek dan
mencecar dirinya malah. Siapa tahu Coh Liu-hiang sedikitpun tak
bergeming dari tempatnya berdiri, cuma katanya tersenyum lebar: "Walau
kau ingin mencabut nyawaku, aku sebaliknya tidak ingin menamatkan
jiwamu, kini kemampuan aslimu sudah kau tunjukkan, lebih baik kau
serahkan saja barang yang tercengkeram dalam cakar setanmu itu, lalu
lekaslah enyah dari sini!"
Memang Pek-giok-mo tidak tahu barang apa yang tercengkeram di dalam
cakar setannya, tapi sesuatu benda yang tersimpan dan dikeluarkan dari
kantong badan lawan tentulah sesuatu yang bernilai tinggi. Maka kata-kata
Coh Liu-hiang menggerakkan hatinya, katanya dingin: "Maksudmu supaya
aku mengembalikan gulungan kertasmu ini?"
Bab 11 Keterangan: Diambil dari jilid 7 Pendekar Pengejar Nyawa
dihttp://www.langka.info atas ijin bung Bagusetia sebagai admin-nya.
Kontributor: budiwibowo, bpranoto, koedanil, agusis, axd002
-----------------------------------------------------------Coh Liu Hiang tertawa, oloknya, "Cakar setan yang peranti mencabut
nyawa orang, kini hanya berhasil merenggut segulung kertas, memangnya
kau tidak merasa malu ?"
Pek-giok-mo tertawa besar, ujarnya, "Kalau toh hanya segulung kertas
bobrok, kenapa kau harus minta supaya aku mengembalikan kepadamu?"
Mau tidak mau gugup juga hati Coh Liu-hiang, batinnya : "Keparat ini
memang licik dan banyak akalnya." Di mulut ia menyahut tawar, "Kalau kau
ingin memilikinya, boleh kuberikan kepadamu untuk membesut air matamu,
atau bolehlah untuk menyeka ingusmu saja."
Pek-giok-mo menyeringai tawa dingin, katanya: "Yang harus mengalirkan
air mata sekarang mungkin malah kau sendiri." Lalu ia mundur lagi
beberapa langkah, pelan-pelan ia keluarkan gulungan gambar itu lalu
dibentangkan setengah halaman. Hanya sekilas pandang saja, rona mukanya
tiba-tiba mengunjuk perasaan yang aneh dan lucu, tiba-tiba pula ia
bergelak tertawa. Melihat mimik tawa orang yang aneh, bertanya Coh Liu-hiang dengan
heran: "Apa yang kau tertawakan?"
"Untuk apa kau menyimpan gambar lukisan bini Jin Jip di dalam
kantongmu" Kulihat usiamu masih muda, memangnya kau sedang terserang
penyakit rindu sepihak kepada bini Jin-lothau?"
Sungguh girang dan kaget bukan kepalang hati Coh Liu-hiang mendengar
kata-kata Pek-giok-mo setelah orang melihat gambar lukisan itu. Jawaban
teka-teki yang selama ini dicarinya ubek-ubekan tidak ketemu, kiranya
sekarang didengarnya dengan tanpa mengeluarkan banyak tenaga. Saking
kegirangan, tanpa sadar ia berteriak: "Jadi Chiu Ling-siok ternyata
menikah dengan Kaypang Pangcu yang terdahulu. Memang kedudukannya
mulia dan diagungkan, namanya jauh lebih suci dan terpandang, jauh lebih
tinggi dibandingkan Sebun Jian dan lain-lain."
Melihat mimik muka serta tingkah lakunya, Pek-giok-mo pun kelihatan
heran dan tak mengerti, katanya: "Chiu Ling-siok".... siapa Chiu Ling-siok
itu?" "Bukankah kau tadi berkata bahwa dia istri Jin Jip Jin-lopangcu dari
Kaypang?" "Istri Jin Jip itu she Yap, bernama Yap Siok-tin...."
Coh Liu-hiang melengak kaget pula, teriaknya: "Lalu lukisan gambar itu..."
"Yang dilukis di atas gambar ini adalah Yap Siok-tin, kau sendiri sudah
menyimpan gambar lukisannya, memangnya belum tahu nama aslinya?"
Baru sekarang Coh Liu-hiang dibikin paham: "Tak heran tiada orang Kangouw
yang tahu di mana jejak Chiu Ling-siok, ternyata dia sudah mengubah
nama dan menikah dengan Kaypang Pangcu. Ai, betapa buruk dan tercela
nama perempuan siluman ini dulu, kalau ingin menikah dengan tokoh kosen
yang kenamaan di kalangan Kangouw, sudah tentu harus merubah she dan
berganti nama, untuk hal ini seharusnya sejak mula sudah harus
kupikirkan." Tiba-tiba Pek-giok-mo berubah beringas, serunya bengis: "Jikalau kau
maki Jin-lothau, kau maki delapan belas keturunannya pun tak menjadi
soal, tapi istrinya adalah seorang perempuan suci yang welas asih dan luhur
budi serta bijaksana, sampai pun aku Pek-giok-mo harus tunduk dan kagum
kepadanya. Jikalau kau berani omong dengan perkataan kotor mengenai
dirinya pula, murid-murid Kaypang sebanyak laksaan anggota pasti tak
seorang pun yang sudi mengampuni jiwamu."
Coh Liu-hiang maklum, setelah Chiu Ling-siok menikah dengan orang, tentu
dia sudah cuci tangan membina diri, kembali menjadi manusia baik-baik.
Biasanya memang dia sendiri amat simpatik dan mengagumi orang seperti
ini, sudah tentu dia pun takkan membeber sepak terjangnya dulu yang
memalukan, sorot matanya berputar, tiba-tiba ia berkata: "Entah di mana
sekarang Jin-hujin berada?"
"Kulihat kau begitu kepincut sampai lupa daratan, memangnya kau sudah
berkeputusan rela menikah dengan seorang janda" Tapi ketahuilah, dia
adalah seorang suci yang patuh akan adat istiadat, kau ini kodok buruk
jangan harap bisa merasakan daging burung bangau."
Kembali berputar biji mata Coh Liu-hiang, katanya kalem: "Jin Jip
mengusirmu dari perguruan Kaypang sehingga kau harus sembunyi ke barat
mengumpet ke timur, selama puluhan tahun belum pernah kau mengecap
kesenangan hidup pula, memangnya kau tidak membencinya malah?"
"Dia orang sudah mampus. Kalau membencinya, memangnya bisa berbuat
apa?" dengus Pek Giok-mo dengan penuh kebencian.
"Walau dia sudah mati, namun istrinya toh masih hidup?"
Dengan keki Pek-giok-mo pelototi Coh Liu-hiang. Jari-jari tangannya
mencabuti jenggot di bawah dagunya yang sudah hampir habis dicabuti
olehnya sendiri, sorot matanya yang semula galak dan bengis lambat laun
menunjukkan senyuman tawa lebar, katanya pelan-pelan: "Walau katakatamu
ini keterlaluan, tapi justru mencocoki seleraku."
Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya: "Terhadap siapa bicara apa, pengertian
ini cukup kupahami!"
Pek-giok-mo terkial-kial, serunya: "Tak heran orang lain suka bilang Coh
Liu-hiang adalah bajul buntung yang jahat dan paling mungil, sampai pun
aku kini lambat laun sudah mulai tertarik dan menyukaimu."
"Lalu di manakah istrinya sekarang berada?" desak Coh Liu-hiang lebih
lanjut. "Sayang, aku sendiri pun tidak tahu."
Sebentar saja Coh Liu-hiang melenggong, lalu ia bersoja dan berkata:
"Selamat bertemu lain kesempatan!" lalu ia berjalan keluar tinggal pergi.
Seru Pek-giok-mo keras: "Meski aku tidak tahu, namun ada orang lain yang
tahu." Seketika Coh Liu-hiang menghentikan langkahnya dan bertanya sambil
membalikkan badan: "Siapa?"
"Memangnya kau tidak bisa memikirkannya?"
"Mungkin Lamkiong Ling sebetulnya bisa memberitahu kepadaku, tapi
sekarang belum tentu."
"Orang lain punya sebutir mutiara, kau hendak memintanya dengan mulut
kosong, sudah tentu dia tidak sudi memberikan kepadamu. Tapi kalau kau
suka menukarnya dengan benda lain yang lebih mahal dari mutiara, masa
dia tidak sudi memberikan kepadamu?"
Coh Liu-hiang diam sebentar, tanyanya: "Dengan apa aku harus
menukarnya?" "Asal-usul pemuda baju hitam itulah."
*** Coh Liu-Hiang mengikuti jejak Pek-giok-mo, sementara It-tiam-ang
menguntit di belakang Coh Liu-hiang, seolah-olah mereka pandang
wuwungan rumah penduduk sebagai jalan raya yang lebar dan rata, mereka
berlompatan terbang di atas rumah orang.
Waktu itu malam sudah larut, di seluruh pelosok kota sudah tak terlihat
lagi adanya sinar api yang menyorot keluar dari dalam rumah.
Sembari berjalan, berkata Pek-giok-mo dengan suara rendah berat:
"Dengan kau Coh Liu-hiang, kau sendiri yang mengikuti jejakku lho, bukan
aku yang membawamu ke mari."
"Aku tahu akan maksudmu," sahut Coh Liu-hiang.
"Baiklah kalau kau tahu."
"It-tiam-amg," ganti Coh Liu-hiang berseru ke belakang. "Kau dengar, kau
sendiri yang ikut di belakangku, bukan aku yang membawa ke mari lho."
Tapi tiada jawaban dari belakang.
Waktu Coh liu-hiang berpaling, entah kapan bayangan It-tiam-ang sudah
pergi tanpa meninggalkan bekas. Tak tahan lagi Coh Liu-hiang mengelusngelus
hidungnya, gumamnya tertawa getir: "Kalau kau tidak suka dia
datang, dia datang. Kalau kau tidak mau dia pergi, dia malah tinggal pergi.
Siapa bila bersahabat dengan orang macam demikian, tentulah kepalanya
sendiri dibikin pusing."
Terdengar Pek-giok-mo berkata: "Rumah di depan yang terlihat sinar
lampu menyorot keluar itu, itulah Hiang-tong (markas cabang) penting dari
Kaypang. Sekarang aku mau pergi, jangan kau mengikuti jejakku. Kalau kau
sendiri yang menemukan tempat itu, tiada sangkut pautnya dengan diriku."
"Bahwasanya aku tidak melihat dirimu, ke mana kau hendak pergi aku pun
tidak tahu!" "Bagus." Sekali mendekam terus menerjang turun, dari tempat gelap sana segera
terdengar seseorang membentak dengan kereng: "Naik ke langit masuk ke
bumi!" "Si pengemis tidak mau datang," Pek-giok-mo segera menyambung. Disusul
suara berbisik-bisik sekian lama, lalu terdengar pertanyaan pula : "Di mana
bocah itu?" "Ruang pendopo."
"Akhirnya pangcu berhasil membekuk dia?"
"Agaknya dia sendiri yang ke mari, malah duduk dengan angkuh dan gagahgagahan,
entah kenapa pangcu malah bersikap sungkan dan ramah-tamah
kepadanya." Coh Liu-hiang mendekam di atas genteng rumah di seberang sana.
Dilihatnya Pek-giok-mo mendorong pintu lalu menyelinap masuk. Di dalam
rumah ada lampu, namun jendelanya tertutup rapat, yang terlihat hanya
bayangan orang yang mondar-mandir. Bagaimana keadaan di dalam, tidak
jelas. Sekeliling rumah dijaga ketat dan masih banyak lagi penjaga-penjaga
gelap yang tersembunyi, ada kalanya yang terlihat hanyalah sinar golok
mereka yang mencorong mengkilap di tempat gelap, terdengar pula suara
bisikan percakapan mereka.
Laksana asap entengnya Coh Liu-hiang menggerakkan badannya berputar
satu lingkaran, kini ia tiba di belakang rumah. Mendadak ia batuk-batuk
kering dua kali, dari tempat gelap segera terdengar orang membentak
dengan suara lirih : "Naik ke langit masuk ke bumi."
"Si pengemis tidak mau datang," sahut Coh Liu-hiang menirukan Pek-giokmo
tadi. Orang itu lantas berdiri dan keluar dari tempat gelap. Setelah jelas akan
diri Coh Liu-hiang, ia segera bertanya : "Siapa kau ?"
"Peminta beras," sahut Coh Liu-hiang. Tahu tahu tangan kanannya sudah
menutuk Hiat-to orang itu, berbareng tangan kiri meraih badan orang
terus dijinjing ke belakang dan direbahkan di atas pohon, katanya pelanpelan:
"Aku ini bukan manusia, aku ini siluman rase, kau tahu tidak?"
Sorot mata orang itu menunjukkan rasa takut dan kaget. Ingin
mengangguk, badan tak bisa bergerak, terpaksa biji matanya berkedipkedip.
*** Seenteng asap Coh Liu-hiang melayang turun lalu menuju ke sebuah
jendela yang tersorot cahaya lampu dari dalam. Setelah membuat lobang
kecil, ia dekatkan matanya untuk mengintip ke dalam. Tampak di tengah
ruangan besar di dalam sana berjajar dua meja cendana, kedua sisi
masing-masing diduduki dua pengemis ubanan, karung yang digendong tebal
dan bertumpuk-tumpuk, tentunya semua berjumlah sembilan karung.
Tentulah mereka adalah Tianglo dan Hu-hoat dari Kaypang.
Pek-giok-mo dengan congkaknya duduk jaga di tempat teratas, roman
mukanya tetap mengunjuk sifat pongah dan kekerasan hatinya.
Di sebelah atasnya lagi adalah Lamkiong Ling, Pangcu Kaypang yang baru.
Pemuda baju hitam itu ternyata juga hadir di dalam ruangan ini, dia duduk
berhadapan dengan Lamkiong Ling.
Begitu banyak tokoh-tokoh Bulim yang mengelilingi dirinya, ternyata
sedikit pun dia tak menunjukkan rasa takut, mata besarnya terpentang
lebar mengawasi Lamkiong Ling, lagaknya seolah dia siap berdiri dan ajak
berkelahi dengan siapa pun.
Terdengar Lamkiong Ling tengah berkata dengan suara kereng: "Tuan
melukai murid-murid Kaypang kami, melukai pula Tianglo Hu-hoat kita,
mungkin hanya merupakan salah paham belaka, Puncoh tidak akan mengulur
panjang persoalan ini. Cuma ingin tanya, keperluan apa tuan datang ke mari
dari tempat jauh?" Pemuda baju hitam itu melotot kepadanya, sahutnya dingin: "Sudah
berapa kali kau ajukan pertanyaan yang sama ini, kalau aku sudi menjawab,
memangnya harus tunggu sampai sekarang?"
Lamkiong Ling ternyata kelewat sabar, katanya kalem: "Sebetulnya kau
ada tujuan apa memusuhi Kaypang kami" Kalau kau mau menjelaskan,
mungkin Puncoh bisa mewakili laksaan murid Kypang kita memberikan
segala fasilitas akan keperluanmu."
"Kalau aku ingin batok kepalamu, apa kau suka memberikan?"
Akhirnya Lamkiong Ling berkata bengis: "Jangan kau lupa, saat ini dan di
tempat ini, sembarang waktu aku bisa mencabut jiwamu, tapi aku hanya
ingin tanya maksud kedatanganmu, kau tidak mau jelaskan, bukankah kau
tidak tahu diri?" Tidak kalah ketusnya si pemuda baju hitam menjawab: "Sampai sekarang
aku masih tetap duduk di tempat ini, memang aku tidak tahu diri. Kalau
kukatakan asal-usulku, berarti maksudmu sudah tercapai, masakah aku
bisa duduk ongkang-ongkang kaki di sini?"
Mendengar sampai di sini, diam-diam Coh Liu-hiang tertawa geli:
"Kelihatannya pemuda ini keras kepala dan angkuh lagi, seperti tidak tahu
apa-apa, siapa tahu kiranya dia jauh lebih cerdik dan cekatan dari orang
lain, agaknya Lomkiong Ling hari ini kebentur lawan tangguh."
Tampak raut muka Lamkiong Ling sudah membesi hijau, amarahnya sudah
bergolak di rongga dadanya, namun akhirnya dapat dia kendalikan pula,
katanya lembut dengan tertawa lebar: "Kalau Puncoh ingin membunuhmu,
buat apa pula harus tanya asal-usulmu" Masa kau sendiri belum paham akan
pengertian secetek ini?"
"Sudah tentu aku cukup paham, malah terlalu paham. Kalau toh kau tidak
tahu siapa aku, dan tidak tahu berapa banyak pula orang-orang yang
berada di belakangku, lebih tidak tahu pula berapa banyak rahasia Kaypang
kalian yang sudah kuketahui, hatimu sendiri yang main curiga dan suka
meraba-raba, masakah kau bisa berlega hati membunuhku demikian saja."
"Kalau demikian, bukankah aku harus menahanmu malah."
"Lebih baik kalau kau tahan diriku di sini, makan minum di sini, tidur di
sini, cuma aku kuatir kalian para pengemis ini apa mampu menyediakan
segala keperluanku?"
Pek-giok-mo tiba-tiba menyeringai tawa, katanya: "Dengan cara halus
tidak mau bicara, boleh gunakan kekerasan, masakan dia tidak akan
bicara?" "Siapa pun di antara kalian bila berani menyentuh seujung jariku saja,
mungkin jiwa beberapa orang akan menggeletak di hadapanku. Kalau kalian
tidak percaya, silahkan turun tangan saja."
Pemuda ini halus dan kasar serba bisa, pintar mungkir, pandai mengancam
dan bisa menggertak lagi, hampir saja Coh Liu-hiang bersorak senang di
luar jendela. Pada saat itu, mendadak "Blang!", jendela di depan seberang Coh Liu-hiang
mengintip ini tiba-tiba jebol berlobang besar. Bagai anak panah, sesosok
bayangan orang menerjang masuk. Sinar pedang orang itu bagai kilat
menyambar, kiranya It-tiam-ang.
Melihat It-tiam-ang mendadak muncul, sungguh kaget dan senang pula
hati Coh Liu-hiang, batinnya: "Ternyata dia tetap menguntit aku, tepat
sekali kedatangannya."
Tampak begitu kaki It-tiam-ang menyentuh tanah, beruntun pedangnya


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah bergerak tujuh delapan belas kali tusukan ke arah Su-Toa-Tianglo
dan Pek-giok-mo dan lain-lain. Orang-orang ini merupakan tokoh-tokoh
silat kelas tinggi dalam Bulim, namun serangan itu dilancarkan teramat
mendadak. Menghadapi tusukan secepat, ganas dan aneh ini, mereka pun
mencaci. "It-tiam-ang," seru Lamkiong Ling gusar. "Kuhormati kau sebagai Enghiong
kenamaan, berani kau bertingkah di Hiang-oh Kaypang kami?"
"Biasanya aku tidak kenal sanak kadang, memangnya kau tidak tahu?"
jengek It-tiam-ang. Lalu ia menerjang ke samping pemuda baju hitam dan
membentak datar: "Tidak lekas kau pergi!"
Tak nyana si pemuda malah melotot kepadanya, tanyanya: "Kenapa aku
harus pergi ikut kau?"
Sekilas It-tiam-ang melongo, jengeknya: "Kau tidak mau pergi, biar
kubongkar asal-usulmu di hadapan mereka."
Kini gantian si pemuda yang tertegun, katanya sambil tertawa dingin:
"Baik, terhitung kau menang, ayolah pergi!"
Tapi saat mana Ji-gi-jiau, Boan-koan-pit, tongkat bambu hijau, Siang-thikoay
dan tujuh delapan macam senjata lainnya sudah meluruk bersama ke
arah mereka. Setiap hadirin dalam ruang pendopo ini adalah tokoh-tokoh
silat nomor wahid, setiap gaman yang mereka gunakan rata-rata senjata
berat yang ampuh dan hebat kekuatannya, ganas dan keji pula
serangannya. Lekas si pemuda baju hitam merogoh ke dalam bajunya dan
mengeluarkan sebilah senjata, sekali ayun dan gentak ia bikin senjatanya
lempang kaku, kiranya itulah sebatang Bian-to yang terbuat dari baja
murni. "Cret,cret,cret" beruntun ia membacok beberapa kali, gerakan ilmu
goloknya amat keras dan tidak kalah ganasnya, kesiur angin goloknya amat
tajam dan deras, ternyata cara tempurnya menempuh jalan kekerasan
juga. Begitulah, dengan golok dan pedang mereka bertempur berdampingan,
siapa pula yang harus mereka takuti" namun kalau mereka ingin menerjang
keluar dari kepungan, tentulah sesukar memanjat langit. Beruntun It-tiamang
tusukkan pedangnya puluhan kali, baru mendadak ia berseru keras:
"Tidak segera kau turun tangan, biar aku berteriak saja."
Sudah tentu orang lain tidak tahu apa maksud kata-katanya dan kepada
siapa ditujukan, sebaliknya Coh Liu-hiang yang mengintip di luar jendela
pun tertawa getir, batinnya: "Akhirnya dia menarikku juga untuk
berkecimpung di dalam air basah ini."
Sejenak ia berpikir, lalu dari atas ia menjemput puluhan genteng. Begitu
jendela dia pukul hancur, beruntun ia timpukkan genteng seraya berteriak:
"Awas, lihat Ngo-tok-thong paku ini!"
Walau hanya pecahan genteng biasa saja, namun ditimpukkan oleh seorang
ahli tentulah jauh sekali faedahnya, ada yang terbang naik ke tengah
udara langsung menerjang ke arah musuh, ada pula yang berpura-pura
menderu menyerampang datar dari bawah, ada pula yang naik turun
menari-nari. Orang banyak tidak tahu senjata rahasia macam apakah ini. Namun
mendengar Ngo-tok (lima racun), belum lagi senjata rahasia mengenai
dirinya, beramai-ramai mereka sudah lompat menyingkir, jiwa sendiri lebih
penting, tak sempat pula mereka melukai orang lain.
Maka dengan gampang It-tiam-ang dan pemuda baju hitam mendapat
kesempatan untuk menerjang keluar. Sebat sekali Lamkiong Ling meluncur
menyusuri dinding jendela di belakang sana, namun suasana sunyi dan
keadaan di luar jendela gelap pekat, kurang jelas siapa penimpuk senjata
rahasia ini. Sebat sekali ia lemparkan sebuah kursi keluar, menyusul dia
pun menerjang keluar sambil membentak: "Sahabat, tunggu sebentar!"
Masakah Coh Liu-hiang mau ayal-ayalan" Belum lagi orang memburu keluar,
bayangannya sudah menghilang di kejauhan sana.
Begitu menerjang keluar bersama, It-tiam-ang dan pemuda baju hitam
terus lari sekencang-kencangnya, ginkang kedua orang itu agaknya
setanding, setelah berlari-lari sekian lamanya, entah berapa jauhnya
sudah, pemuda baju hitam itu tiba-tiba berhenti, katanya melotot: "Siapa
suruh kau menolong aku?" Wataknya memang aneh, mati pun ia tidak sudi
terima kebaikan orang lain.
Kalau orang lain setelah menempuh bahaya menolong jiwanya lalu
mendapat pertanyaan yang kurang ajar seperti ini, aneh kalau orang itu
tidak dibikin semaput saking gusarnya. Tapi sedikit pun It-tiam-ang tidak
menjadi gusar, katanya sambil tertawa meringis: "Siapa mau tolong kau"
Kau mampus atau hidup peduli apa dan tiada sangkut paut denganku."
Membelalak besar mata pemuda baju hitam, katanya heran: "Kau bukan
menolongku, memangnya untuk apa kau ke mari?"
"Tadi aku merusak barang seorang teman dan kau harus kubawa
kepadanya sebagai gantinya."
Sekilas si pemuda melongo, akhirnya dia berseru naik darah: "Kau ini
sedang kentut apa, aku tidak mengerti."
"Kau tidak mengerti, sebaliknya aku tahu," terdengar seorang menyela
tawa yang kemalas-malasan serta gerakan tubuh laksana setan
gentayangan, di kolong langit ini kecuali si maling romantis Coh Liu-hiang
kiranya takkan bisa dicari keduanya.
Memang kalau Coh Liu-hiang hendak menguntit seseorang, siapa pun
jangan harap bisa menyesatkan dirinya dan lolos dari pengawasannya.
Melihat orang datang, sedikit pun It-tiam-ang tidak mengunjuk rasa
heran, katanya dingin: "Inilah suratmu itu, kini dia kuserahkan sebagai
gantinya." Bicara pada kata-katanya yang terakhir, bayangannya sudah
berkelebat di tempat kejauhan sana.
Mengawasi bayangan orang, si pemuda baju hitam geleng-geleng kepala,
ujarnya: "Apakah otak orang itu rada sinting?"
"Cacat orang ini adalah suka ikut campur urusan orang lain, dia anggap
barusan sudah bantu kesulitanku, siapa tahu justru bikin runyam suatu
persoalan besar yang sedang kuselidiki."
"Persoalan besar apa yang bikin kau uring-uringan kepadanya?" tanya si
pemuda. "Semula aku hendak gunakan jamrud untuk menukar mutiara, dia malah
menggagalkan kontrak dagangku."
Dengan mendelong pemuda ini mengawasinya sekian lama, seolah-olah pada
mukanya mendadak tumbuh sekuntum bunga yang indah, sorot matanya
memancarkan rasa heran dan aneh serta tertarik dan ingin tahu, katanya:
"Kukira hanya dia itu yang sinting, siapa tahu kau ini malah sudah pikun."
"Itulah yang dinamakan sependeritaan sepenanggungan, jenis yang cocok
satu sama lain." "Aku tiada cacat seperti yang kau katakan, maaf aku ingin pergi," ujar si
pemuda sambil putar badan hendak tinggal pergi.
Kata Coh Liu-hiang: "Pertanyaan yang ingin kau ajukan kepadaku tidak kau
tanyakan lagi?" kata-kata ini seumpama gantolan yang menjambretnya
kembali, cepat ia putar badan dan unjuk seri tawa kegirangan, serunya,
"Sekarang sudah mau memberi tahu?"
Berkata Coh Liu-hiang tanpa pikir, "Sudah kulihat sulaman gambar unta
terbang di balik mantelmu, maka aku tahu kau pasti sanak kadang Raja
Gurun. Aku pernah bertemu dia, maka kutahu bila dia sudah masuk ke
Tionggoan." Bersinar biji mata si pemuda, teriaknya tertahan, "Kau pernah bertemu
dengan ayahku?" Coh Liu-hiang menghela nafas, ujarnya, "Kalau kau sudi percaya kepadaku,
kesulitan yang kita hadapi bersama saat ini tidak sukar untuk dibereskan!"
Langsung si pemuda menatap kedua matanya, sepasang matanya lebih
cemerlang dari pancaran sinar bintang kejora, mendadak roman mukanya
bercahaya dan tertawalah si pemuda riang, katanya, "Baik, aku
mempercayaimu." Coh Liu-hiang segera duduk berpunggung wuwungan rumah, di saat bisa
duduk dia tak pernah berdiri, kaki tangan ia julurkan sebebas mungkin,
katanya tertawa, "Kalau begitu aku hanya minta kepadamu menjelaskan apa
maksud tulisan dalam surat yang diterima ayahmu itu?"
"Surat" Bukankah sudah kuserahkan kepadamu?"
"Mungkin sudah ditakdirkan aku tidak boleh melihat langsung surat itu,
tapi cukup puaslah hatiku asal bisa mendengar juga."
"Bagaimana kalau aku tidak pernah membacanya?"
Coh Liu-hiang menjadi tegas, katanya, "Kalau kau katakan tidak pernah
membaca surat itu, mungkin aku kontan jatuh semaput."
"Nah, bolehlah kau semaput saja."
"Jadi kau benar-benar tidak pernah membacanya?" teriak Coh Liu-hiang.
Pemuda baju hitam malah tertawa geli, sahutnya, "Aku tidak membaca,
namun pernah kudengar ayah membacakan kepadaku."
Coh Liu-hiang menghembuskan nafas panjang, gumamnya, "Bisa kau
tersenyum semanis ini, umpama aku benar-benar jatuh semaput dan jiwa
sampai melayang pun setimpal juga."
"Kau dengar, beginilah isi tulisan surat itu."
"Nanti sebentar, biar kucuci dulu kupingku biar bersih."
Si pemuda tertawa lebar, katanya, "Tulisan itu berbunyi, "Sejak berpisah
beberapa tahun ini, semangat dan kesehatan tuan tentu jauh lebih perkasa
dari dulu, sebaliknya aku jauh lebih layu dan kurus, apalagi sekarang
tersekap di tengah mara bahaya, harap tuan suka mengingat hubungan baik
kita dulu, lekaslah datang menolongku. Kalau tuan tidak datang, terang
jiwaku takkan tertolong lagi." Tanda tangan surat itu adalah satu huruf,
Siok saja." Dengan susah payah, akhirnya terhitung Coh Liu-hiang sudah melihat
surat itu secara tidak langsung, apa yang tertulis dalam surat itu memang
sudah dalam terkaannya, tapi bisa membuktikan secara kenyataan
betapapun dia akan lebih yakin dalam tugas penyelidikannya lebih lanjut.
Sayang dalam surat itu tidak dijelaskan kesukaran apa yang sedang
dihadapinya" Mau tak mau Coh Liu-hiang merasa kecewa pula, dengan
melongo ia menepekur sekian lamanya, gumamnya, "Bagaimanapun, kesulitan
yang dihadapi Chiu Ling-siok pastilah punya sangkut paut dengan pihak
Kaypang." Tukas si pemuda baju hitam, "Ayah pun berpikir demikian, oleh karena itu
aku beranggapan menghilangnya ayahku pasti ada hubungan dengan
Kaypang, kalau tidak buat apa aku mencari gara-gara kepada pihak
Kaypang." Kembali Coh Liu-hiang berpikir sebentar, tanyanya, "Kapan surat itu
diterima" Siapa pula yang mengantarnya ke sana?"
Tutur si pemuda itu dengan sikap sombong, "Ayahku sebagai pendekar
besar di gurun pasir, setiap tahun jejaknya tidak menentu, maka hubungan
dengan berbagai anak buahnya yang tersebar luas di gurun pasir
menggunakan burung dara pos. Meskipun dia dijuluki raja gurun pasir,
namun kekuasaannya menjalar memasuki beberapa propinsi di pedalaman
sini. Satu bulan yang lalu surat itu diterima melalui burung pos di pangkalan
Ling-shia." "Lalu siapakah yang membawa surat ini dan diserahkan pada orang yang
mengurus pangkalan dara pos di Ling-shia" Dari mana pula dia bisa tahu
bahwa Raja gurun ada mendirikan pangkalan burung dara pos yang
tersebar luas di gurun pasir, terutama yang berada di Ling-shia itu?"
"Mungkin tiada orang yang bisa menjawab pertanyaanmu ini."
"Kenapa?" "Karena orang-orang yang mengurus pangkalan burung dara pos di Lingshia
itu sudah mampus seluruhnya."
Tersirap darah Coh Liu-hiang, sekian lama ia menepekur, katanya pula,
"Baru satu bulan ayahmu keluar pintu, dari mana kau bisa tahu kalau dia
mendadak menghilang?"
"Sejak perjalanan dari rumah sampai memasuki Tionggoan, setiap hari
ayah pasti ada kabar hubungan dengan setiap pangkalan burung dara pos
yang pernah dia lalui. Tapi sepuluhan hari yang lalu, surat-surat yang
dibawa burung pos mendadak terputus, jikalau tidak mengalami sesuatu
perubahan besar, mana beliau bisa lupa untuk berkirim surat kepadaku."
"Maka kau segera berangkat menyusulnya ke mari?"
"Sudah tentu aku segera berangkat menuju ke Tionggoan, sepanjang jalan
aku mencari tahu pada setiap pangkalan-pangkalan burung dara, namun
tidak kuperoleh kabar berita dari beliau. Pengurus pangkalan burung dara
pos di Ling-shia, semua menggeletak mampus secara mendadak, barulah
aku mulai gelisah dan akhirnya aku meluruk ke pihak Kaypang."
"Apa yang pernah kau dengar di Kaypang?" tanya Coh Liu-hiang dengan
tatapan mata bercahaya. "Apa pun aku tak berhasil mendapat tahu. Semua orang-orang Kaypang
bukan saja tidak tahu siapa ayahku, jejaknya pun tidak diketahui, malah
belakangan ini katanya mereka tidak pernah menghadapi sesuatu kesulitan
apa pun, maka tidak mungkin mereka mengundang orang luar untuk
membantu menyelesaikan sesuatu."
Dia tatap muka Coh Liu-hiang serta katanya pula, "Tapi hal-hal ini semakin
bikin aku curiga, dapatlah kurasakan bila lahirnya mereka seperti aman
sentosa, pasti di belakang tabir kesentosaan ini tersembunyi sesuatu
rahasia besar. Jelas ayahku ke mari karena menerima surat dari isteri
Pangcu mereka, terang pasti ada ikatan dan hubungan dengan pihak
mereka, mana bisa mereka mengatakan tidak tahu menahu?"
"Bukan mustahil kesulitan Jin-hujin adalah persoalan pribadinya,
bahwasanya dia tidak ingin orang-orang Kaypang yang lain tahu, maka
pertemuannya dengan ayahmu pastilah dilangsungkan secara rahasia pula."
"Memang ada kemungkinan begitu, tapi pernah aku dihadapi dua persoalan
aneh. Pertama: tiada seorang pun anggota Kaypang yang tahu di mana istri
Pangcu mereka yang terdahulu berada. Kedua, tidak boleh kau melupakan
bahwa Lopangcu mereka Jin Jip baru saja menemui ajalnya dalam
beberapa waktu belakangan ini. Meski dikatakan beliau wafat karena
terserang penyakit, tapi siapa yang pernah melihatnya sendiri?"
Mendadak Coh Liu-hiang berjingkrak bangun, katanya dengan nada berat,
"Pergi datang ceritamu, hanya kata-kata inilah yang tepat menusuk ke
sasarannya, tapi jangan sekali-kali kau ucapkan kata-katamu ini kepada
orang lain. Kalau tidak mungkin kalangan Kangouw bakal timbul suatu
kegemparan besar. Jabatan Pangcu yang teragung bagi Kaypang yang
terbesar kekuasaan dan anggotanya di seluruh kolong langit ini, siapa pun
ingin mendudukinya, peduli dia anggota Kaypang atau orang dari luar
kalangan." "Tujuanku hanya menemukan ayahku, persetan bakal timbul geger atau
keonaran di kalangan Kangouw, toh tiada sangkut-pautnya denganku?"
"Begitu besar hasratmu untuk mengetahui jejak ayahmu, kenapa mereka
tiada seorang pun yang tahu asal-usulmu?"
"Gampang saja alasannya... setiap murid Kaypang yang pernah kukompres
keterangannya, mereka takkan bisa membocorkan rahasia pribadiku
sedikit pun juga." "Agaknya kau sudah pengalaman dan cukup tenaga melakukan
pembunuhan." "Kalau aku tidak bunuh mereka, jiwaku pun akan dibunuh. Memang
membunuh orang bukan perbuatan yang patut dibuat senang, tapi toh lebih
baik daripada jiwa sendiri dibunuh orang!"
"Dari mana kau tahu bahwa Lamkiong Ling hendak membunuhmu" Kenapa
tidak langsung kau tanyakan persoalanmu tadi kepadanya?"
"Sejak melihatnya, aku mendapat firasat bahwa dia bukan orang baikbaik!"
"Itu hanya perasaanmu sendiri, alasan ini belum cukup kuat."
"Bagiku, alasan ini sudah lebih dari cukup." Mendadak matanya bersinar
dan menatap Coh Liu-hiang nanar, katanya pula pelan-pelan, "Coba kau
pikir, bila kau bertanya kepadanya, apa dia sudi memberitahu kepadamu?"
"Coba kau pikir... dengan alasan apa dia tidak mau memberi penjelasan
kepadaku?" "Jikalau dia melakukan sesuatu yang memalukan, sudah tentu ia tak mau
menjelaskan." "Kalau begitu, jika dia tidak mau memberitahu kepadaku, bukankah malah
membuktikan bahwa dia memang benar pernah melakukan sesuatu yang
memalukan. Coba kau pikir, adakah orang pikun seperti itu dalam dunia
ini?" "Jikalau dia beritahu kepadamu, sudikah kau beritahu kepadaku?"
"Dengan alasan apa pula aku tidak mau beritahu kepadamu?"
"Maling romantis Coh Liu-hiang ternyata tidak menyebalkan seperti apa
yang pernah kudengar," tersimpul senyum dikulum pada raut mukanya yang
kaku dingin, bak umpama sungai salju mulai mencair, seperti hawa nan
dingin terhembus angin musim semi yang sejuk membuat perasaan orang


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hangat dan sejuk. Coh Liu-hiang menghela nafas, ujarnya, "Kalau kau mau sering-sering
tertawa-tawa, akan kau dapatkan banyak orang di dunia ini tidak
menyebalkan seperti yang kau bayangkan."
Seketika si pemuda menarik muka, katanya dingin, "Banyak orang yang
menyebalkan dalam dunia ini, tiada sangkut-pautnya dengan diriku. Aku
hanya tanya kau, sekarang kau pergi tanya kepada Lamkiong Ling, kapan
kau akan memberitahukan kepadaku?"
"Besok pagi... asal bisa diketahui di mana aku bisa menemuimu..."
"Besok pagi, pergilah kau tamasya keliling Tay-bing-ouw, akan kau lihat
seekor kuda hitam mulus. Asal kau berkata "Bawa aku menemui mutiara
hitam" tiga kali, lalu menarik kupingnya tiga kali pula, pasti dia akan
mengantarmu menemui aku. Ingat, tidak lebih tidak kurang, hanya boleh
tiga kali, jangan terlalu ringan, atau pun teramat berat."
"Kalau tertarik empat kali dan rada berat bagaimana?"
"Mungkin dia akan antar kau terjun ke Tay-bing-ouw mencari mutiara di
dalam danau," mendadak ia melirik kepada Coh Liu-hiang sambil tersenyum,
dengan lincah ia putar badan terus berlari pergi seenteng asap
mengembang. Coh Liu-hiang awasi bayangan orang menghilang di balik pepohonan,
katanya seorang diri, "Mutiara hitam, mutiara hitam, orang sering bicara
mutiara hitam adalah benda mustika yang membawa malapetaka bagi
pemiliknya, namun semoga kau mutiara hitam ini membawa rejeki besar
bagiku malah, sekarang aku benar-benar membutuhkan nasib baik."
Coh Liu-hiang menengadah mengawasi bintang-bintang di angkasa, sesaat
lamanya dia menerawang, sinar bintang yang kelap kelip selalu
mendatangkan ketenteraman bagi relung hatinya, otak jernih, perasaan
tentram, biasanya asal dia rebah telentang di atas dek kepalanya,
persoalan rumit apa pun, dengan mudah dapat dia bereskan.
Tapi sinar bintang malam ini agaknya tidak membawa banyak pengaruh
untuk membantu dirinya. Sudah sekian lamanya ia peras otak, benaknya
masih kalut, tak urung ia tersenyum geli, batinnya, "Memangnya sinar
bintang-bintang di sini jauh berbeda dengan sinar bintang di lautan?"
Akhirnya ia berkeputusan untuk kembali ke Hiang-tong milik Kaypang itu.
Cahaya lampu dalam ruang pendopo masih terang benderang. Waktu Coh
Liu-hiang meluncur dan melompat turun, ada orang yang menegurnya dari
tempat gelap dengan kata-kata, "Naik ke langit masuk ke bumi lagi."
Terpaksa Coh Liu-hiang batuk-batuk keras di luar pintu, lalu bersuara
lantang, "Apakah Lamkiong-heng ada di dalam?"
Dari ruang pendopo segera terdengar sahutan, "Silahkan masuk."
Meja kursi yang terbalik sudah ditata rapi kembali, jendela yang dijebol
rusak pun sudah diperbaiki, pecahan genteng di atas lantai pun sudah
disapu bersih, ruang pendopo tetap dalam keadaan biasa seperti tidak
pernah terjadi sesuatu di sini. Sebesar ini ruang pendopo ini, yang hadir
hanya Lamkiong Ling seorang yang duduk bertengger menghadap meja yang
sudah tersedia mangkok, sumpit dan beberapa guci arak.
Agaknya Lamkiong Ling memang sedang menunggu kedatangan Coh Liuhiang.
Melihat Coh Liu-hiang beranjak masuk, sedikit pun ia tidak heran,
cuma lekas ia berdiri dan bersoja, sapanya, "Coh heng benar-benar
menepati janji menagih undangan minum arakku ini. Untung siaute sudah
menyiapkan beberapa guci arak bagus ini, kalau tidak kedatangan Coh-heng
pasti akan kecewa." "Kau tahu aku bisa menemukan tempatmu ini" Sedikit pun kau tidak
merasa heran?" "Bila Coh-heng menagih undangan minum arak, tiada seorang pun di kolong
langit ini yang bisa lari dari kewajiban ini. Seumpama Siaute sembunyi ke
ujung langit dan dapat diketemukan oleh Coh-heng, tentunya tidak perlu
dibuat heran." "Benar, hidungku ini biasanya memang punya penyakit, di mana ada arak
bagus, sekali endus aku lantas bisa menemukannya, apalagi begini banyak
Cu-yap-cing yang kugemari," dengan tertawa besar ia menempati sebuah
kursi. Pandangannya menyapu, lantas ia berkata pula, "Cuma sayang, ada
arak, tiada hidangan lainnya, sehingga kurang selera. Tahukah kau, bagi aku
si tukang gegares ini, boleh dikata sebagai suatu siksaan."
"Masakan memang sudah ada, Siaute sudah menyediakan beberapa ekor
ayam panggang yang gemuk-gemuk, sebatang paha babi dan beberapa
macam masakan bakso dan ikan."
"Memangnya semua masakanmu itu bisa menghilang" Kenapa tidak
kulihat?" "Tentu Coh-heng tidak melihatnya, karena tadi ada orang datang, semua
masakan itu dibuang ke dalam selokan seluruhnya."
Coh Liu-hiang mengedipkan matanya, katanya, "Apakah orang itu punya
permusuhan atau dendam kesumat sedalam lautan denganku?"
"Dia tahu tamu yang Siaute tunggu adalah Coh-heng, maka dia lantas cacimaki
diriku, katanya Siaute hanya menyediakan masakan murahan begini
untuk menyambut kedatangan Coh-heng, apakah tidak menyiksa lidah si
maling romantis." "Coh Liu-hiang tidak makan daging ayam, memangnya cuma minum angin
barat laut?" Terdengar seorang berkata dengan tertawa: "Duniawi memang serba
susah, sehingga jiwa prikemanusiaan tinggal sisanya saja, kalau setiap hari
makan daging babi dan ayam, lalu berapa banyak binatang berjiwa itu bisa
tetap bertahan hidup." Seseorang melayang ringan dari belakang pendopo
sana, tidak tampak kotoran debu melekat di badannya, sampai pun
senyuman yang menghiasi roman mukanya serasa bersih dan cemerlang, dia
bukan lain adalah Biau-ceng Bu-Hoa.
Coh Liu-hiang tertawa besar, serunya: "Kiranya kau. Hwesio gundul seperti
kau ini tidak kenal barang berjiwa, memangnya kau menghendaki aku jadi
Hwesio seperti kau" Apalagi seumpama aku jadi Hwesio, tetap aku akan
gegares anjing dan celeng, begitu melihat ikan dan daging tentu menetes
air liurku." "Daging dan barang berjiwa adalah makanan orang-orang kotor,
memangnya kau tidak ingin ganti selera?"
Coh Liu-hiang girang, katanya: "Masakah kau sudah turun ke dapur?"
"Main harpa harus ada orang yang tahu musik, demikian juga hidangan
lezat harus disuguhkan kepada tukang makan yang tahu membedakan rasa.
Jika bukan demi kau yang sejak kecil sudah bisa membedakan baik buruk
sesuatu rasa hidangan, buat apa Pinceng harus kena asap dan kotor oleh
debu?" Lamkiong Ling tertawa, ujarnya: "Ini memang aneh, dari mana pun Bu Hoa
Taysu keluar, kelihatannya sepuluh kali lipat lebih bersih dariku, agaknya
kau memang serba suci dan bersih!" lalu ia menuang tiga cangkir arak
penuh, katanya sambil angkat cangkir: "Untung arak adalah minuman paling
murni dan suci, kalau sampai arak pun Taysu tidak mau minum, buat apa
pula arti arak suguhamnu ini?"
Kata Coh Liu-hiang kepada Bu Hoa sambil tertawa: "Jikalau tiga orang
minum arak bersama, cuma kau seorang yang tidak mabuk, baru aku betulbetul
kagum kepadamu!" Takaran minum ketiga orang ini memang sama mengejutkan. Kalau ada
orang keempat hadir di antara mereka, tentulah orang itu akan mengira
guci besar itu berisi air jernih dan bukan arak. Dua guci sebesar itu
agaknya habis ditenggak bergantian oleh mereka bertiga, namun sedikit
pun tidak berubah rona muka mereka. Satu sama lain saling loloh dan
seperti berlomba saja tanpa pakai juri.
Mendadak berkata Coh Liu hiang: "Konon di kalangan Kang-ouw ada
seseorang yang takaran minum araknya dikatakan tiada tandingan di
seluruh jagat, minum ribuan cangkir tanpa mabuk. Pada suatu hari dia
minum tiga ratus cawan Ji-wo-thay Kwan-gwa, ternyata masih mampu
berdiri dan berjalan pulang."
"O, apa ada orang demikian" Siapa dia?" tanya Lamkiong Ling.
"Si raja gurun pasir, Ca Bok-hap."
Lamkiong Ling hanya tertawa besar, katanya: "Dikatakan tiga ratus cawan,
sebetulnya kalau bisa minum sampai jumlah ini, sudah cukup hebat. Setiap
penggemar arak di kolong langit ini, tiada seorang pun yang tidak suka
mengagulkan takaran minumnya sendiri. Menurut pandangan Siaute, belum
tentu dia bisa lebih unggul minum lebih banyak dari kita bertiga."
"Pernahkah kau melihatnya" Pernahkah kau bersamanya dalam
perjamuan?" tanya Coh Liu-hiang dengan tatapan tajam.
Lamkiong Ling tersenyum, ujarnya: "Sayang Siaute belum pernah
melihatnya, kalau tidak ingin benar aku mengadu kekuatan minum sama
dia." Coh Liu-hiang mengelus hidungnya, katanya menggumam: "Kesempatan itu
mungkin sudah tiada lagi."
"Asal dia belum mati, kelak pasti masih ada kesempatan."
Coh Liu-hiang meletakkan cangkir araknya, katanya sepatah demi sepatah:
"Siapa bilang dia belum mati?"
"Hah, jadi dia sudah mati?" seru Lamkiong Ling terbelalak. "Kapan dia
mati" Kenapa tiada orang-orang Kangouw yang tahu?"
"Dari mana pula kau tahu bila orang-orang Kangouw tiada yang tahu berita
kematiannya?" Bu Hoa tersenyum, selanya: "Kaypang paling cepat dan gampang menyadap
berita, kalau orang Kangouw ada yang tahu akan kabar ini, Pangcu dari
Kaypang masakah tidak bisa tahu juga?"
"Benar, memang tiada orang lain yang tahu akan berita ini, karena aku
sudah menyembunyikan jenasahnya, sengaja kurahasiakan supaya orang
lain tidak tahu akan berita kematiannya."
"Kenapa?" tanya Lamkiong Ling dengan mata melotot.
Berkilat mata Coh Liu-hiang, katanya kalem: "Pembunuhnya sengaja
mengatur rencana dan berusaha mengelabui orang, tujuannya hendak
membuat orang-orang Kangouw sama menyangka mereka saling bunuh
sendiri dan gugur bersama. Jikalau tidak kusembunyikan jenasah mereka
dan berita ini sampai bocor, mungkin si pembunuh lebih enak ongkangongkang
kaki menggendong tangan, kenapa aku harus membiarkan dia hidup
tenang dan tenteram?"
Lamkiong Ling manggut-manggut: "Benar, tindakan Coh-heng membuat
sanak kadang atau orang-orang seperguruan mereka tiada yang tahu bahwa
mereka sudah mati, maka tentunya mereka berusaha mati-matian untuk
menyelidiki jejak orang-orang itu, dengan sendirinya si pembunuh itu pun
jangan harap bisa melewatkan kehidupannya dengan tenang dan aman."
Bu-Hoa tersenyum, selanya pula: "Sudah sering Pinceng bilang, bila
penjahat kebentur maling romantis, tentulah semasa hidupnya dulu sudah
keliwat takaran dosa-dosanya."
Kata Coh-Lie hiang menatap Lamkiong Ling, katanya, "Sudikah kau bantu
aku mengejar si pembunuh itu?"
"Coh-heng jangan lupa," ujar Lamkiong Ling. "Murid-murid Kaypang kami
sudah biasa turut campur urusan orang, memang tidak setenar maling
romantis dalam hal ini, tapi kukira terpaut tidak banyak."
"Kalau demikian sukalah kau beri tahu kepadaku, di mana sekarang
beradanya isteri Jin-lopangcu?"
Lamkiong Ling melengak heran, tanyanya, "Adapah Jin-hujin ada sangkutpautnya
dengan persoalan ini?"
"Seluk beluk persoalan ini, kelak kau pasti akan tahu, sekarang cukup asal
kau beritahu di mana Jin-hujin berada, berarti kau sudah bantu mengatasi
kesulitanku." Matanya menatap tajam kepada Lamkiong Ling, lalu ia
meneruskan sambil tertawa besar, "Kalau kau tidak sudi memberitahu,
mungkin aku akan menganggap kau menyembunyikan si pembunuh. Jikalau
sampai aku cerewet di luaran, kau Kaypang pangcu ini pun mungkin akan
ketiban kesulitan." Kata Lamkiong Ling menghela nafas, "Sejak Jin-lopangcu wafat, Jin-hujin
ingin mensucikan diri sebagai murid Kaypang, sebetulnya Siaute tidak bisa
membawa orang luar membikin kaget dan mengganggu ketenangannya."
Rada merandek, ia pandang Coh Liu-hiang dengan tertawa, katanya pula,
"Tapi terhadap orang lain Siaute tidak takut, berhadapan dengan Coh-heng
aku jadi kewalahan!"
"Jadi kau sudi menerangkan dan menunjukkan tempatnya?" Coh Liu-hiang
menegas. "Tuduhan menyembunyikan si pembunuh, mana Siaute berani memikulnya?"
"Di mana Jin-hujin sekarang?"
"Tempat tinggal Jin-hujin amat rahasia, orang lain takkan mudah
menemukannya. Kalau Coh-heng mau menghabiskan sisa arak ini, biar
Siaute membawamu ke sana. Bagaimana?"
"Kalau kau hendak mempersulit dia, seharusnya mencari akal lain. Suruh
dia minum arak, bukankah kebetulan malah bagi dirinya," sela Bu Hoa
tertawa. "Memang Bu Hoa lebih tahu akan kesenangan diriku," seru Coh Liu-hiang
tertawa besar, lalu ia angkat guci serta ditenggaknya arak masuk ke dalam
mulutnya sampai habis, sedikit pun air mukanya tidak berubah, katanya
tertawa pula, "Sekarang boleh berangkat?"
Sedikit ragu-ragu, berkata Lamkiong Ling, "Entah sukakah Coh-heng
tunggu lagi kira-kira satu jam" Siaute masih ada urusan dalam Pang kita."
Coh Liu-hiang berpikir sebentar, tanyanya, "Tempat tujuan kita itu,
bisakah ditempuh dua hari pulang pergi?"
"Dua hari jauh berkecukupan!"
Coh Liu-hiang memandang keluar jendela, melihat cuaca, lalu katanya,
"Baiklah, satu jam kemudian aku datang lagi," ia bersihkan mulutnya dengan
lengan baju terus melangkah tinggal pergi, berbareng tangannya
menyambar cangkir arak di hadapan Bu Hoa, terdengar gelak tawanya
berkumandang di luar jendela, serunya, "Bu Hoa suka masakan, Lamkiong
senang arak, datang gegares, pergi setelah kenyang. Begitulah kehidupan
manusia, apa pula yang dikejarnya, tidak cukup nasi berkelebihan, hidup
senang berfoya-foya."
Sampai kata-katanya terakhir, Coh Liu-hiang sudah pergi jauh, cangkir
arak tadi tiba-tiba melayang lambat dari luar dan tepat jatuh di depan Bu
Hoa. Araknya sudah habis, namun di dalamnya terisi sebuah benda, itulah
mainan patung Buddha yang tergantung di tali sutra di pinggang Bu Hoa.
"Coh Liu-hiang hebat sekali gerakan tangannya," seru Lamkiong Ling
ternganga. Bu Hoa sebaliknya menghela nafas, katanya pelan-pelan, "Jikalau bukan
hanya benda yang tidak berarti ini, masakah pinceng biarkan dia
sembarangan ambil. Jikalau dia suka menghindari kekerasan, jangan suka
mengagulkan diri, mungkin hidupnya akan sampai hari tua!"
Kabut tebal membuat pemandangan remang-remang di permukaan Taybing
ouw. Lama juga Coh Liu-hiang mondar-mandir di sekeliling Tay-bing ouw. Tibatiba
didengarnya suara ringkik kuda, lalu didengarnya pula derap lari kuda
mendatangi, kini jelas keadaan seekor kuda sedang lari mendatangi
menyusuri pinggir danau. Meski kabut tebal dan remang-remang, namun
bulu kuda yang hitam mengkilap kelihatan nyata.
"Kuda, oh kuda." Coh Liu-hiang memapak ke sana. "Sayang kau sudah milik
orang lain, kalau tidak sungguh aku merasa berat membiarkan orang lain
naik di punggungmu."
Seperti mengerti maksud kata-katanya, kuda hitam itu manggut-manggut.
Lalu ia berbisik di pinggir telinganya dan berkata, "Bawa aku menemui
Mutiara Hitam," tiga kali, lalu menarik kuping kirinya tiga kali pula. Orang
lain mungkin tak sabar lagi akan menariknya empat kali dengan keras,
namun Coh Liu-hiang berpendapat bahwasanya seorang manusia tidak
pantas berbuat kasar terhadap binatang, kecuali orang itu sendiri hampir
sama dengan si binatang itu.
Betul juga, segera kuda hitam itu berlari cepat ke depan membawa jalan.
Coh Liu-hiang tidak naik ke punggungnya. Dari belakang ia mengawasi
gerak-gerik si kuda, terasa jauh lebih menyenangkan daripada ia sendiri
naik di punggungnya. Di pinggir danau yang lebat ditumbuhi pohon dengan dahan-dahannya yang
menjuntai turun itu, tersembunyi sebuah sampan. Pemuda baju hitam yang
menamakan diri Mutiara Hitam itu berada di atas sampan, agaknya ia
sedang melamun menghadapi permukaan danau yang sejuk dan permai.
Lahirnya kelihatan dia begitu kaku dingin, apa pun yang terjadi dalam
dunia ini seolah-olah tiada masuk perhatiannya, bahwasanya hatinya jauh
lebih berat dibebani berbagai pikiran dan kesulitan.
Coh Liu-hiang batuk-batuk, lalu menegur sambil tertawa, "Apa yang


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang kau pikirkan?"
"Aku sedang pikirkan kau," sahutnya tanpa berpaling. Mendadak ia
berjingkrak bangkit berhadapan dengan Coh Liu-hiang, serunya keras,
"Ingin aku tahu, apa yang berhasil kau tanyakan?"
"Belum berhasil kutanyakan."
"Memang aku tahu, dia pasti takkan menerangkan kepadamu."
"Walau tidak menerangkan, tapi dia hendak ajak aku menemuinya."
"Bagus, kalau kau berangkat, aku akan mengintil di kejauhan."
"Kalau kau ingin mengintil Lamkiong Ling tanpa jejakmu diketahui olehnya,
ginkangmu masih jauh ketinggalan."
"Seumpama konangan, memangnya dia bisa berbuat apa terhadapmu?"
"Memang tidak apa-apa, cuma jangan harap kau bisa menemukan Jin-hujin
pula." Hek-tin-ciu (Mutiara Hitam) berpikir sebentar, tanyanya, "Berapa lama
kau pergi?" "Dua hari." "Baik, dua hari kemudian aku tetap menantimu di tempat ini."
"Dua hari kemudian, menjelang magrib, akan datang seorang gadis
berpakaian warna luntur ke Tay-bing-ouw ini. Bila saat itu aku belum tiba,
harap kau beritahu kepadanya, suruh dia menungguku!"
"Ada janji dengan kekasih menjelang magrib, ternyata maling romantis
memang serba romantis, sayang aku tidak kenal siapa perempuan itu, cara
bagaimana aku harus wakilkan kau memberitahu kepadanya?"
"Dia she Soh, sekali kau bertemu dengan dia pasti akan tahu. Memang
tidak sedikit orang yang tamasya di Tay-bing-ouw, namun jarang ada anak
perempuan seperti dia itu."
"Dia cantik sekali?"
"Hanya cantik saja masih kurang untuk melukiskan dirinya!"
"Siapa sih sebenarnya, pernah apamu?"
"Apa pertanyaanmu tidak keterlaluan?"
Memicing mata Mutiara Hitam, katanya dingin, "Baik, pergilah kau... tapi
kalau dia tidak mau tunggu kau bagaimana?"
"Kalau dia tidak mau tunggu aku, biar aku mampus tenggelam di Tay-bingouw!"
"Agaknya kau amat yakin."
"Kalau tidak yakin, yang masih dimiliki Coh Liu-hiang mungkin hanya mayat
busuknya saja," dia melangkah beberapa tindak, lalu tiba-tiba berpaling
dan bertanya, "Apa kau tidak merasa nama Hek-tin-cu mu ini tidak seperti
nama perempuan?" "Kalau benar aku ini seorang perempuan, mungkin sudah kubunuh kau!"
"Kalau kau benar seorang perempuan, tentulah sikapmu tidak segalak ini
terhadapku." * * * Beberapa li di sebelah tenggara Ki-poh terdapat sebuah gunung bernama
Ni-san. Gunung ini tidak begitu tinggi, namun pemandangan alamnya
teramat permai dan indah, segar dipandang mata. Belum lama Coh Liuhiang
beranjak di atas gunung, ia merasa dirinya seolah-olah berada di
awang-awang. Mendadak Coh Liu-hiang berkata, "Berapa lama sudah kita meninggalkan
Ki-lam?" "Kan baru sehari, masakah kau sudah lupa?" sahut Lamkiong Ling.
"Walau baru saja aku tiba di sini, kurasa segala tetek-bengek di kota
Kilam itu amat membosankan, jikalau bisa menetap di sini selamanya, orang
kasar seperti aku ini mungkin bakal jadi seorang budiman!"
Sesaat lamanya Lamkiong Ling berdiam diri, katanya menghela nafas,
"Semasa hidup Jin-lopangcu, selalu dia ingin mengasingkan diri di tempat
ini, sayang sekali beliau selalu terlibat dalam kesibukan Pang kita, sehingga
cita-citanya baru terlaksana setelah beliau wafat!"
"Kau amat kangen kepada beliau?"
"Beliau adalah orang yang paling bajik, bijaksana dan penuh cinta kasih
sesama manusia. Aku... aku adalah anak yatim piatu. Tanpa beliau, takkan
ada hari ini bagiku!"
"Cukup lama aku kenal kau, baru pertama kali kudengar kata-katamu ini."
"Kehidupan di kalangan Kangouw, yang kuat hidup, yang lemah mampus. tak
pernah berhenti perebutan antara menang dan kalah ini, ada kalanya tiada
waktu aku memikirkan sesuatu, tak berani pula memikirkannya."
"Ya, kalau terlalu banyak memikirkan sesuatu, hati akan jadi lemah, dan
orang yang berwatak lemah memang takkan hidup lama di Kangouw."
Lamkiong Ling hanya tertawa-tawa tanpa bicara lagi. Tampak sebuah
jalanan sempit berliku-liku merambat di samping gunung dan naik ke
puncak, sebelah dinding gunung yang terjal tinggi, sebelahnya lagi adalah
jurang ratusan tombak dalamnya. Pemandangan di sini tidak kalah indah
elok, namun keadaannya justru teramat berbahaya.
"Apakah Jin-hujin tinggal di puncak gunung?"
"Jin-hujin cantik rupawan tiada bandingan dalam jagat ini, masakah dia
sudi menetap di tempat yang lebih rendah dari orang-orang lain?"
"Selamanya aku jarang dibuat tegang. Setiap kali mendengar cerita
romantis tentang Jin-hujin, terpikir pula segera aku sendiri bakal
berhadapan dengan beliau, jantungku ini serasa hampir melompat keluar!"
Tiba-tiba terdengar suara aliran air dari kejauhan, di sebelah depan
menghadang sebuah jurang sempit, di bawah jurang adalah sebuah aliran
sungai yang mengalir deras, bibir kedua jurang terpaut sepuluhan tombak,
satu sama lain hanya dihubungkan oleh sebuah balok kayu yang tergandeng
oleh alam. Di atas balok kayu yang cuma dua kaki lebarnya itu, duduk bersila
seseorang, pakaiannya melambai-lambai tertiup angin, kalau terjatuh ke
bawah pasti badan hancur lebur, namun orang ini memejamkan mata
seolah-olah sedang tidur nyenyak.
Dengan duduk bersila, dari bawah pakaiannya menonjol keluar ujung
kakinya, namun sepasang bakiak justru dia jajar di hadapannya, di atas
bakiak ini terletak pula sebatang pedang aneh yang bersarung warna
hitam. Setelah dekat, baru Coh Liu-hiang jelas melihat raut mukanya yang
kekuning-kuningan, beralis tebal berhidung elang, walau kedua matanya
terpejam, namun terasa hawa membunuh yang tebal merasuk sanubari
orang yang melihatnya. Deru angin yang keras menyingkap dan menarikan
jubah besar kedodoran yang dipakainya, di depan dadanya tampak disulam
dengan benang sutra emas delapan huruf yang berbunyi, "Pedang peranti
pembunuh, siapa melawan pasti dia mampus!"
Coh Liu-hiang mengkirik dibuatnya, katanya perlahan sambil mengawasi
Lamkiong Ling, "Siapa sih dia?"
Lamkiong Ling menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa di seberang sana tempat tinggal Jin hujin?"
Lamkiong Ling manggut-manggut.
Coh Liu-hiang beranjak maju sambil menjura, katanya, "Sahabat ini
sukalah memberi jalan sebentar?"
Orang itu tetap duduk tanpa bergeming, seolah-olah tidak mendengar
suaranya. Coh Liu-hiang tarik suara, katanya lebih keras, "Sahabat ini, bolehkah
minta jalan, kami hendak ke seberang sana?" Suaranya lantang bergema di
alam pegunungan. Tapi orang itu tetap diam saja tanpa bergerak.
Coh Liu-hiang meringis kepada Lamkiong Ling, katanya, "Sayang saudara
ini tidak mau buka mulut, seolah-olah dia mau bilang, "Gunung ini aku yang
membuka, pohon ini aku yang tanam. Kalau ingin lewat jalan ini, tinggalkan
uang sewamu"," sengaja ia ucapkan kata-katanya lebih keras untuk
memancing reaksi orang itu.
Tiba-tiba kelopak mata orang itu bergerak, matanya sedikit terbuka
seperti sebuah garis lembut saja. Coh Liu-hiang yang ditatapnya merasa
seperti diiris oleh ujung pisau, sungguh hatinya amat terkejut.
Terdengar orang itu berkata pelan-pelan, "Betapa besar dunia ini, ke mana
saja boleh pergi, kenapa kalian harus lewat jalan sini?" kata-katanya amat
kalem dan pelan, setiap patah katanya amat jelas, namun kedengarannya
kaku dan menusuk kuping, seperti pisau tajam yang sedang menyisik
bambu. Tergerak hati Coh Liu-hiang, serunya bertanya, "Nama besar tuan ini?"
"Thian-hong-cap-si-long!"
"Apakah tuan bukan orang kelahiran Tionggoan?"
"Rumahku berada di Ih-ho-koh di Tang-ni!"
Berubah air muka Coh Liu-hiang saking kagetnya, tanyanya, "Jadi kaukah
Jin-hiap dari Ih-ho itu?"
Thian-hong-cap-si-long pejamkan mata, tak bersuara lagi. Dingin perasaan
Coh Liu-hiang membayangkan musuh misterius yang menghilang di tengah
kabut di pinggir danau tempo hari, batinnya, "Mungkinkah orang itu adalah
dia ini?" Dalam pada itu Lamkiong Ling pun tampil ke muka, seraya menjura, "Ih-ho
Jin-hiap, bagai naga sakti tiada tandingan. Dua puluhan tahun yang lalu,
yang pernah muncul dan berkelana di daerah Bing-ciat itu, apakah bukan
Cianpwe?" "Tidak salah," sahut Thian-hong-cap-si-long.
"Untuk kedua kalinya Cianpwee putar balik pula, sehingga kami angkatan
muda bisa menyaksikan kepandaian silat tunggal dari Ih-ho, sungguh
Wanpwe amat beruntung, entah sudah berapa lama Cianpwe menyeberang
lautan datang ke mari pula?"
Berkata Thian-hong-cap-si-long kalem, "Sepuluh hari yang lalu
kutinggalkan perahu mendarat, lima hari yang lalu aku sudah tiba di sini."
"Aneh," sela Coh Liu-hiang, "Agaknya Cayhe pernah melihat Cianpwe di
Tay-bing-ouw?" Thian-hong-cap-si-long menyeringai dingin, jengeknya : "Tentulah matamu
itu picak." Coh Liu-hiang ingin bicara lagi, lekas Lamkiong Ling mengedipkan mata
padanya, katanya tertawa, "Sebetulnya Wanpwee ingin mohon petunjuk
dan pengajaran Cianpwee, apa boleh buat kami sedang mengurus persoalan
penting, semoga Cianpwe sudi memberi jalan sebentar, sekembalinya nanti
pasti Wanpwee mohon pengajaran."
Bab 12 Keterangan: Diambil dari jilid 8 Pendekar Pengejar Nyawa
dihttp://www.langka.info atas ijin bung bagusetia sebagai admin-nya.
Kontributor: Ndy, bpranoto, agusis, axd002
-------------------------------------------Tiba-tiba terbuka lebar kedua biji mata Thian-hong-cap-si-long, katanya
bengis: "Kalian pasti hendak jalan lewat sini" Apakah hendak menemui Chiu
Ling-siok?" Melonjak jantung Coh Liu-hiang, orang asing ini kiranya pun tahu akan
nama Chiu Ling-siok. Dilihatnya Lamkiong Ling mengerutkan alis, katanya:
"Chiu Ling-siok.." Apakah maksud Cianpwee adalah Jin-hujin?"
"Hm!" Thian-hong-cap-si-long menjawab dengan geraman.
"Cianpwee kenal sama dia?" tanya Lamkiong Ling pula.
Tiba-tiba Thian-hong-cap-si-long menengadah sambil terbahak-bahak
keras, tawa yang mengiriskan bergema dan menggetarkan bumi, sampai
daun-daun pohon sama rontok berjatuhan.
Coh Liu-hiang dan Lamkiong Ling saling berpandangan, mereka tidak tahu
apa yang menjadi buah tertawaan orang.
Terdengar Thian-hong-cap-si-long berkata sambil tetap tertawa: "Kau
tanya aku kenal tidak padanya" Karena dia, aku terima dihina dan
dipermainkan oleh Jin Jip. Dengan dendam dan penuh penyesalan aku
kembali ke Tang-ni. Aku bersumpah, satu hari Jin Jip masih hidup, aku
takkan menginjakkan kakiku di Tionggoan........... Demi kebahagiannya, aku
terima sekali pukulan Jin Jip, tanpa membalasnya! Karena dia, sampai
sekarang aku masih membujang! Dan sekarang, kau malah tanya aku apakah
mengenalnya!" Coh Liu-hiang melongo, sungguh tak pernah terpikir olehnya, pendekar
dari Ih-ho di Tang-ni (Jepang) ini ternyata ada sangkut pautnya dengan
permainan asmara antara Jin Jip suami istri, lebih tak terkira pula bahwa
laki-laki aneh yang berdarah dingin ini kiranya juga mengenal asmara!
Betapa mendalamnya rasa cintanya terhadap Chiu Ling-siok, agaknya tidak
kalah tebalnya dari Ca Bok-hap dan lain-lainnya.
Kecuali Ca Bok-hap, Sebun Jian, Cou Yu-cin dan Ling Ciu-cu, orang ini
adalah yang kelima. Kelima orang ini sama-sama tergila-gila terhadap satu
perempuan, rela hidup menderita selamanya dengan membujang. Cuma
kalau Ca Bok-hap berempat sudah menemui ajalnya semua, tinggal orang ini
saja yang masih hidup. Akhirnya gelak tawanya yang menggila berhenti, kata Thian-hong-cap-silong
bengis: "Kini Jin Jip sudah mampus, maka Chiu Ling-siok akhirnya akan
menjadi milikku. Kecuali aku, jangan harap siapa pun dalam dunia ini bisa
berhadapan dengan dia!"
"Tapi Jin-hujin........."
"Dia tidak sudi menemui orang lain lagi, pergilah kalian!"
"Cayhe sebagai murid Kaypang sudah sepantasnya menghargai pendapat
Jin-hujin, cuma saudara Coh ini,........" sampai di sini ia berhenti serta
berpaling kepada Coh Liu-hiang.
"Apa benar dia tidak sudi menemui orang luar, aku perlu dengarkan katakata
dari mulutnya baru mau percaya!" kata Coh Liu-hiang tegas.
Lamkiong Ling berbisik: "Kalau dia tetap berjaga di balok batu ini, cara
bagaimana kita bisa menyebrang ke sana?"
Balok batu ini melintang di permukaan jurang yang puluhan tombak
lebarnya, di bawah ada aliran deras lagi, siapa pun sukar terbang
menyeberang ke sana. Jikalau hendak melesat lewat di atas kepala Thianhongcap-si-long, hasilnya adalah seperseribu.
Berjelalatan biji mata Coh Liu-hiang, katanya kemudian sambil tersenyum:
"Bagaimana pun juga, aku harus mencobanya!"
Belum habis kata-katanya, "Sreng!", tiba-tiba selarik sinar kemilau
melesat keluar dari lengan baju Thian-hong-cap-si-long yang lebar dan
menyangkut di atas sebatang pohon sebesar lengan di seberang sana.
Belum lagi Coh Liu-hiang sempat melihat barang apa yang melesat terbang
itu, "Pletak!", terlempar pula dahan pohon itu yang sudah kutung dan
terjatuh ke dalam jurang, gelang perak berkilauan itu tahu-tahu sudah
meluncur balik pula menghilang ke dalam lengan bajunya pula.
Memang ada ratusan macam senjata rahasia yang dipakai oleh tokohtokoh
Bulim di Tionggoan ini, di antara mereka tak terhitung banyaknya
merupakan tokoh-tokoh yang termasuk ahli dalam permainan senjata
rahasia tunggal sendiri, namun gerak-gerik Thian-hong-cap-si-long ini jauh
berlainan dengan kepandaian orang lain, gelang terbang yang kemilau perak
itu kelihatannya jauh lebih hebat, aneh dan luar biasa, kelihatannya
seperti hidup dan terkendali di waktu terbang berputar.
"Kepandaian dari Ih-ho memang jauh berlainan dari yang lain!" seru Coh
Liu-hiang. Thian-hong-cap-si-long menyeringai dingin, katanya bangga: "Inilah Si Kian
Sut, salah satu rahasia dari kepandaian sembilan Jin-sut. Kalau aku tidak
kenal belas kasihan, bagaimana kalau batang pohon itu adalah lehermu"
Tidak lekas kau enyah dari sini?"
"Si Kian Sut" Menakutkan benar namanya, cuma pohon itu barang mati,
manusia tetap hidup, memangnya aku terima mengulurkan leher untuk kau
jerat sampai mati?" "Kau ingin mencoba?" damprat Thian-hong-cap-si-long. Di tengah
bentakkannya, selarik sinar kemilau tahu-tahu sudah melesat ke arah Coh
Liu-hiang. Terasa sinar kemilau ini menyilaukan mata, sebuah sinar membundar
seperti paruh elang laksana kilat menerjang tiba, daya luncurannya jauh
lebih cepat dari apa yang dia bayangkan semula. Tapi sebat sekali ia
menggeser kedudukan tujuh kaki ke samping, tak nyana sinar perak itu
ternyata seperti hidup, seperti bayangan mengikuti wujudnya, tahu-tahu
mengejar tiba pula. Beruntun Coh Liu-hiang bergerak bagai kilat tujuh kali
berkelit, namun pandangannya serasa ditutupi bayangan perak yang
berkelebat rapat dan kencang, sehingga ia kehabisan akal entah cara
bagaimana untuk menyelamatkan diri.
Sekonyong-konyong tiga bintik sinar hitam melesat terbang dari tapak
tangan Coh Liu-hiang, dua bintik sinar bintang yang kehitam-hitaman
terbang datar ke samping, namun setitik di antaranya telak sekali
membentur sinar perak itu hingga mengeluarkan suara nyaring, disusul
suara "Creng!" yang lebih keras, cahaya perak yang memenuhi angkasa
seketika sirna, paruh elang mematuk itu menjadi sebuah bundaran gelang


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan jatuh ke tanah, tapi mendadak mencelat naik dan terbang kembali.
Berubah gusar air muka Thian-hong-cap-si-long, bentaknya: "Bagero,
berani kau pecahkan Si Kian Sut ku....... Baik, coba kau lihat pula Tam Sim
Sut Ki!" Sekoyong-konyong sebuah tabir kabut tebal warna abu-abu
laksana gelombang pasang menerpa datang, di tengah kabut tebal ini lapatlapat
seperti diselingi selarik sinar bintang yang gemerlapan. Lekas Coh
Liu-hiang melompat mundur lalu menjejak tanah melambung tinggi ke
tengah udara. "Blum!", terdengar ledakan dahsyat, bagai pasir menyambar, kabut tebal
itu seketika pecah berkembang ke empat penjuru, sebuah pohon besar
yang semula berada di belakang Coh Liu-hiang ternyata sudah keterjang
hancur dan terbelah di tengah-tengahnya, kedua sisinya lantas tumbang ke
kanan kiri, poros pohon ternyata sudah hangus seperti disambar geledek,
kebetulan hembusan angin berlalu, daun-daun pohon sama rontok
menguning. Sepucuk pohon yang semula tumbuh subur menghijau, dalam
sekejap saja sudah kuyu menguning dan layu hangus.
Mau tak mau tersirap darah Coh Liu-hiang melihat kehebatan kepandaian
orang, batinnya : "Jin-sut yang dia latih kiranya amat sesat dan ganas
sekali." Sementara dengan ringan badannya meluncur turun tiga tombak jauhnya
di atas jembatan batu, Thian-hong-cap-si-long yang sudah diliputi hawa
membunuh dengan mata membara hanya beberapa kaki di hadapannya.
Lamkiong Ling berseru kaget dan kuatir: "Pendekar Ih-ho hebat dan lihay.
Coh-heng, kau harus hati-hati!"
"Jin-sut aku sudah menjajalnya," sahut Coh Liu-hiang tertawa, "Biar
sekarang aku jajal pedang peranti pembunuhmu ini!"
Sepatah demi sepatah berkata Thian-hong-cap-si-long: "Kau ingin
mencoba Ni Hun It To Jan?"
"Sekarang umpama kau beri aku kesempatan ke seberang sana, aku pun
tidak sudi lagi, sekarang kau jauh lebih menarik dari pada Jin-hujin.
Setelah aku menjajal Ni Hun It To Jan-mu, masih ingin aku sedikit
mengobrol denganmu."
Thian-hong-cap-si-long menyeringai dingin, katanya: "Ni Hun It To Jan
merupakan intisari dari segala ilmu pedang, setiap kali pedang dilolos harus
menghirup darah dan menebus nyawa, tiada seorang pun yang kuasa
melawannya, setelah kau mencobanya, maka jangan harap kau masih bisa
bicara dengan orang lain." Tanpa berkedip ia tatap Coh Liu-hiang, sorot
matanya memancarkan cahaya aneh yang menyesatkan, demikian pula
setiap nada suaranya seolah olah mengandung daya sedot yang bisa
menyesatkan pikiran orang.
Roman muka Coh Liu-hiang tetap mengulum senyum manis, sekujur
badannya dari kepala sampai kaki sudah diliputi kewaspadaan dan kesiapan,
matanya justru menatap ke batang pedang atau golok itu.
Panjang golok ini kira-kira lima kaki, sempit panjang seperti pedang. Golok
panjang yang aneh, tentu dimainkan pula dengan jurus dan tipu-tipu yang
aneh pula. Sekonyong-konyong Thian-hong-cap-si-long meraih goloknya
seraya mencelat dan terloloslah goloknya! Sinar goloknya laksana kemilau
permukaan air yang ditimpa cahaya rembulan, putih menghijau berhawa
dingin, menusuk daging menyusup tulang.
Dengan tangan kiri memegang terbalik sarang golok, tangan kanan
mengacungkan golok panjang ke depan setinggi alis, tajam golok mengarah
keluar, sembarang waktu goloknya itu bisa bergerak menyapu dan
membabat dengan dahsyat. Bagai patung batu, badannya berdiri tegak
sekokoh gunung, sorot matanya yang aneh menatap ke muka Coh Liu-hiang.
Sinar golok dan sinar matanya seolah-olah sudah membungkus dan
mengurung sekujur badan Coh Liu-hiang.
Walau golok lawan belum bergerak, tapi Coh Liu-hiang sudah merasakan
hawa membunuh yang merembes keluar dari ujung golok tajam ini, semakin
lama semakin tebal. Berdiri ditempatnya, ternyata sedikit pun ia tidak
berani terlena dan sembarang bergerak! Ia tahu, sedikit bergerak meski
hanya ujung jarinya saja, maka besar kemungkinan titik kelemahannya akan
merupakan sasaran empuk bagi lawannya, maka golok musuh yang hebat itu
mungkin laksana kilat akan bergerak mengarah ke tempat itu.
Teori ketenangan mengatasi gerakan merupakan intisari yang terutama
dari ilmu pedang aliran Tang-ni. "Musuh tidak bergerak aku tak bergeming,
musuh bergerak aku bertindak lebih dahulu, tidak bergerak tidak
mengapa, sekali serang harus kena sasaran." Bahwasanya pertempuran
tokoh silat kelas tinggi, memang cukup sejurus saja sudah bisa menentukan
menang dan kalah. Coh Liu-hiang merasa butiran keringat sudah mulai merembes membasahi
ujung hidungnya, namun seraut muka Thian-hong-cap-si-long yang kuning
seperti malam itu seolah-olah seperti mayat hidup yang kaku, tidak
menunjukkan suatu perubahan.
Mendadak kedua bakiak kayu itu mencelat jatuh ke dalam jurang, lama
dan lama sekali baru terdengar suaranya yang membalik dari kedua bakiak
yang kecemplung ke air. Bakiak itu mencelat jatuh ke air karena
tertendang oleh kaki Thian-hong-cap-si-long yang menggeser maju sebelah
kakinya. Selangkah demi selangkah, Thian-hong-cap-si-long mendesak
maju. Mau tidak mau Coh Liu-hiang harus ikut bergerak, namun ia tidak tahu
cara bagaimana dirinya harus bergerak. Telapak kaki Thian-hong-cap-silong
yang telanjang menggesek balok batu yang kasar, selangkah demi
selangkah menggeser maju, kulit tapak kakinya sampai tergesek pecah, di
permukaan balok batu tertinggal noda darah yang merembes keluar. Tapi
sedikit pun ia tidak merasakan sakit. Seluruh pikiran, semangat dan
perhatiannya, ia tumplekkan di atas batang goloknya, sedikit pun ia tidak
perduli atau tidak merasakan adanya sesuatu yang bergerak di kehidupan
mayapada ini. Kalau kakinya menggeser dan badannya bergerak maju,
namun batang goloknya tetap teracung ke depan tanpa bergeming sedikit
pun. Pada saat itulah segulung angin kencang tiba-tiba menerjang ke pinggang
Coh Liu-hiang. Seluruh perhatian Coh Liu-hiang tertuju pada batang golok
lawan, mimpi pun ia tidak menduga orang akan menyerang lebih dulu
menggunakan sarung pedangnya. Saking terkejutnya, mau tidak mau secara
reflek sebat sekali ia berkelit mundur. Tapi bertepatan dengan itu pula,
Thian-hong-cap-si-long melolong keras dan lantang, golok di tangannya
melebihi kilat cepatnya, tahu-tahu sudah membabat dan membacok.
Agaknya dia sudah memperhitungkan jalan mundur Coh Liu-hiang, sudah
memperhitungkan bahwa Coh Liu-hiang terang takkan bisa mundur lagi,
memang serasi benar sambaran senjatanya ini kalau dinamakan pedang
peranti pembunuh. Babatan goloknya kelihatan seperti gerakan biasa dan
sepele saja, tapi inti sari ilmu pedang, kecerdikan otak di saat menghadapi
musuh tangguh, batas tertinggi dari manusia akan ilmu silat yang
dipelajarinya, boleh dikata sudah termasuk dan terkandung di dalam
sejurus babatan golok panjang ini.
Sorot mata Thian-hong-cap-si-long membara merah. Pakaian yang
dikenakan pun tiba-tiba melembung dan melambai-lambai dipenuhi tenaga
murni yang merembes keluar dari seluruh pori-pori kulit badannya.
Babatan golok ini harus membunuh, betapa pun ia tidak bisa memberikan
kelonggaran. Apa benar Ni Hun It To Jan tiada tandingannya di seluruh
kolong langit" Di mana sinar golok menyambar, badan Coh Liu-hiang pun
terjungkal roboh.... Untuk mundur tidak mungkin, berkelit pun tak bisa,
terpaksa ia terjunkan diri ke dalam jurang dari atas balok batu itu.
Jiwanya memang tidak mampus oleh babatan golok, namun apakah dia
masih bisa bertahan hidup terjatuh ke dalam jurang yang dalam serta
aliran air yang demikian derasnya"
Lamkiong Ling terbelalak dan berseru kaget. Siapa sangka, belum lagi
suaranya hilang dan mulut sempat terkatup, bayangan Coh Liu-hiang tibatiba
sudah melesat mumbul ke atas pula.
Kiranya, meski badannya terjungkal ke bawah, namun ujung kakinya masih
menyangkut di bibir batu. Begitu sambaran golok lewat, ia lekas kerahkan
tenaga pada ujung kakinya dan dengan seenteng burung camar badannya
mencelat naik empat tombak, kini badannya menukik menubruk langsung
kepada Thian-hong-cap-si-long. Kalau dia sengaja berdiri di atas balok
batu, kelihatannya seperti sengaja menempuh bahaya, padahal siang-siang
dia sudah memperhitungkan jalan mundurnya. Jauh sebelum bergebrak, dia
sudah memperhitungkan setiap macam kemungkinan yang bakal terjadi,
maka begitu badannya terjungkal balik, ia serta merta mencelat naik ke
atas, bukan saja sudah mengerahkan segala tenaga, kecerdikan dan
kehebatan gingkangnya, termasuk pula kepintaran dan pengalaman luasnya
dalam menghadapi bahaya dan musuh-musuh tangguh. Meski hanya satu
jurus mereka bergebrak, namun pertandingan ini sudah merupakan
pertandingan ilmu silat dan kecerdikan otak yang tiada taranya.
Begitu golok membabat Thian-hong-cap-si-long sudah tiada sisa tenaga
lagi, pula betapa cepat reaksi Coh Liu-hiang menghadapi serangannya serta
tinggi ginkangnya, sungguh jauh berada di luar dugaannya. Di atas balok
batu itu memang teramat bahaya, semula Thian-hong-cap-si-long hendak
menggunakan keuntungan berbahaya ini, siapa tahu ada untung pasti ada
ruginya juga, kini situasi berubah seratus delapan puluh derajat, mau
untung malah dia sendiri yang buntung sekarang.
Dengan menukik dari atas ke bawah, serangan Coh Liu-hiang yang hebat
ini, terang dia takkan mampu berkelit atau mundur lagi. Maka terdengar
"Creng!", goloknya membacok di atas balok batu, kembang api muncrat,
namun Coh Liu-hiang sudah berhasil meraih rambut kepalanya, serunya
sambil tertawa panjang: "Tuan masih ingin ke mana...." belum habis katakatanya,
seketika sirap pula gelak tawanya.
Ternyata rambut yang berada di tangannya hanyalah rambut palsu dan
pada ujungnya kelihatan pula mengelupas selembar kedok muka yang
terbuat dari lilin. Dilihatnya badan Thian-hong-cap-si-long jumpalitan
jungkir balik ke bawah jurang dan mendadak "Cring!", seutas rantai lembut
melesat keluar dari lengan bajunya memaku kedinding jurang. Badannya
lantas bergelantungan pulang pergi beberapa kali mengikuti daya berat
badannya lalu dengan enteng meluncur hinggap di atas tanah, sedikit pun
tidak terluka apa-apa, malah kelihatan di antara riak gelombang air sungai
yang mengalir deras itu bayangannya berlari bagaikan terbang.
Serunya: "Coh Liu-hiang, sudah kau saksikan Khong Siam Sut dari Ih-ho,
bukankah amat hebat dan tiada bandingannya di seluruh jagat?" Belum
hilang gema suaranya, bayangannya sudah pergi jauh dan menghilang.
Terpaksa Coh Liu-hiang hanya mengawasi bayangan Thian-hong-cap-si-long
pergi dengan pandangan melongo, dikejar pun tak akan tersusul, dirintangi
pun tak bisa, lama juga dia mengawasi rambut dan kedok palsu di
tangannya. Dilihatnya butiran air setetes demi setetes mengalir jatuh dari
balik kedok palsu itu. Mendadak Coh Liu-hiang tertawa lebar: "Apa pun yang terjadi, aku sudah
bikin keringatnya bercucuran................kukira raut mukanya sudah kaku,
sampai pun tak bisa mengeluarkan keringat, ternyata kedok ini yang buat
gara-gara." Baru sekarang Lamkiong Ling memburu datang, katanya tertawa:
"Kepandaian silat dari Ih-ho-kok benar-benar ganas dan berbahaya, luar
biasa pula, kalau bukan ginkang Coh heng yang tiada bandingannya di
seluruh jagat ini, hari ini kukira siapa pun takkan bisa lolos dari babatan
golok selihai itu." Coh Liu-hiang menatapnya bulat-bulat, tiba-tiba ia tertawa pula:
"Kepandaian silatnya memang ajaran dari Ih-ho, tapi dia orang Tionggoan,
bukan dari Ih-ho." Lamkiong Ling melengak, tanyanya: "Dari mana Coh-heng bisa tahu?"
"Kalau dia betul-betul seorang asing dari Ih-ho, lalu dari mana dia bisa
tahu kalau aku bernama Coh Liu-hiang?"
Lamkiong Ling berpikir sejenak, serunya: "Benar, Siaute kan tadi tidak
pernah menyinggung nama Coh-heng."
"Apalagi kalau dia benar-benar datang dari Ih-ho, kita berdua takkan
kenal padanya, lalu buat apa dia harus mengenakan kedok muka
memalsukan diri?" "Kalau dia bukan pendekar dari Ih-ho, memangnya siapa dia?"
"Sampai detik ini aku belum bisa meraba siapa dia, tapi aku berani
pastikan bahwa dia cukup kenal siapa diriku, demikian pula aku pasti kenal
baik dirinya........" Sorot matanya tiba-tiba bercahaya, sambungnya dengan
tertawa: "Lingkup persoalan ini tidak begitu luas lagi, karena tokoh-tokoh
silat seluruh jagat ini yang betul-betul kenal akan muka asli diriku tidak
banyak, apalagi yang mempunyai kepandaian silat setinggi itu, dapatlah
dihitung dengan jari."
"Tapi menurut apa yang Siaute ketahui, tokoh-tokoh silat dari Tionggoan
yang pandai menggunakan ilmu Jin-sut dari negeri seberang boleh dikata
tiada seorang pun." "Jin-sut jelas bukan kepandaian perguruannya. Di saat-saat yang begitu
berbahaya, toh dia tidak mau menggunakan ajaran silat perguruannya yang
asli, sudah tentu karena dia tahu, sekali dia memperlihatkan kepandaian
asli perguruannya, maka pasti dapat kuketahui siapa dia adanya."
Bersinar pula biji mata Lamkiong Ling, katanya: "Kalau begitu, siapa orang
ini, bukankah sudah berada dalam terkaanmu?"
"Rahasia alam tidak boleh bocor, hal ini biar kutunda sementara untuk
menyelidikinya lebih lanjut."
"E, eh, agaknya Coh-heng pandai jual mahal juga kepadaku, ya!" kelakar
Lamkiong Ling. Coh Liu-hiang menggeliatkan badannya, ujarnya: "Bagaimana pun, hari ini
akhirnya aku bisa bertemu dengan Jin-hujin, bukan?"
"Kalau Coh-heng tidak bisa menemuinya, mungkin Siaute pun bisa mati
saking gugupnya." Keduanya tertawa besar sambil berpandangan, lekas mereka menyeberang
melalui balok batu dan terus memanjat ke atas, sampai di sini mereka tak
perlu memanjat ke atas lagi, terlihat di pinggir sebidang hutan kecil
berdiri tegak tiga gubuk bambu berderet. Lamkiong Ling berjalan di depan
dan langsung menghampiri sebuah gubuk paling kiri serta berseru lantang:
"Teecu Lamkiong Ling sengaja ke mari menyampaikan sembah hormat
kepada Hujin." Sesaat kemudian terdengar sahutan seseorang dengan pelan-pelan: "Kalau
toh kau sudah datang, doronglah pintu itu dan masuklah sendiri."
Suara ini begitu halus, lembut dan merdu. Mendengar lagu suara yang
demikian, dapatlah dibayangkan orang macam apa pula yang bicara.
Tak terasa bergetar perasaan Coh Liu-hiang, terbangkit semangatnya,
katanya sambil berbisik: "Hanya mendengar suaranya tanpa melihat
orangnya, aku sudah merasa sekujur badan segar dan bergairah."
Lamkiong Ling tidak hiraukan kata-katanya. Pelan-pelan ia dorong pintu,
lalu melangkah masuk dengan tindakan berhati-hati. Berada di tempat ini,
Kaypang Pangcu yang berkuasa ini ternyata bertindak begini hati-hati
seperti anak sekolah yang terlambat masuk kelas, takut konangan oleh
gurunya dan dihukum, bernapas keras-keras pun tak berani.
Pintu gubuk yang terbuat dari anyaman daun nyiur ini semula memang
setengah terbuka, dari sela-sela pintu yang terbuka ini mengepul keluar
asap dupa, di atas pohon beringin yang besar itu bertengger seekor burung
yang tak ketahuan namanya, agaknya sedang tertidur.
Setiba di tempat rindang di bawah lindungan pohon besar itu, agaknya Coh
Liu-hiang takut membuat gaduh ketenangan yang lelap ini, maka langkah
kakinya dia atur dan berderap dengan enteng seperti kucing.
Maka terdengar pula suara merdu nyaring itu berkata: "Pintu kan sudah
terbuka, kenapa kau tidak langsung masuk?"
Burung itu terkejut, bangun dan mengeluarkan suara aneh, maka
terpentang lebar daun pintu di depan gubuk paling kiri.
Pandangan pertama yang terlihat oleh Coh Liu-hiang adalah perempuan
berambut panjang yang terurai di atas pundaknya, berpakaian serba hitam
berlutut kaku di depan sebuah meja pemujaan, begitu tenang dan tak
bergerak sedikit pun, seakan-akan sejak dulu kala dia memang sudah
berlutut di tempat itu. Kebetulan dia membelakangi pintu, maka tidak terlihat raut mukanya.
Namun demikian hanya mendengar suara merdu dan bening itu tanpa
disadari Coh Liu-hiang sudah berdiri terlongong di tempatnya. Belum
pernah terpikir olehnya seorang perempuan yang berlutut membelakangi
dirinya mempunyai daya tarik yang sedemikian besarnya. Tanpa berpaling,
Jin-hujin berkata pelan-pelan: "Lamkiong Ling, siapa yang kau bawa ke
mari?"

Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cepat-cepat Coh Liu-hiang menjura dan berkata: "Cayhe Coh Liu-hiang,
sengaja ke mari mohon bertemu dengan Hujin!"
"Coh Liu-hiang........." suara Jin-hujin kedengaran datar, sedikit pun tidak
merasa heran, kagum atau tertarik. Baru pertama kali ini nama Coh Liuhiang,
ketiga huruf ini, dipandang sedemikian tawar dan sepele, apalagi
oleh seorang perempuan, mungkin selama malang melintang dengan
ketenarannya yang romantis, baru pertama kali ini mengalami sambutan
yang dingin. Lekas Lamkiong Ling menjura pula, katanya: "Sebetulnya Teecu tidak
berani membawa orang luar mengganggu ketenangan Hujin, soalnya Cohkongcu
ini mempunyai sangkut-paut yang mendalam dengan Pang kita,
apalagi kedatangannya kali ini menyangkut pula urusan Pang kita........."
"Persoalan dalam Pang kita tiada sangkut pautnya dengan aku, kenapa
harus mencari diriku?"
"Tapi urusan ini justru amat erat hubungannya dengan Hujin." tukas Coh
Liu-hiang tandas. "Mengenai persoalan apa sih?"
Sekilas Coh Liu-hiang melirik kepada Lamkiong Ling, katanya dengan
prihatin: "Sebun Jian, Cou Yu-cin, Ling Ciu-cu dan Ca Bok-hap empat
Cianpwee, tentunya Hujin kenal baik dengan mereka, kedatanganku ini
kebetulan ada hubungan pula dengan mereka berempat."
Sambil berbicara, dengan seksama ia awasi reaksi Jin-hujin. Meski tak
melihat raut mukanya, namun dapat dilihatnya kedua pundaknya yang datar
dan tenang itu seakan-akan mendadak bergerak. Akhirnya pelan-pelan ia
bangkit berdiri dan berpaling.
Memang Coh Liu-hiang sedang menunggu orang memutar badan, ingin dia
melihat raut wajah orang yang membuat banyak laki-laki tergila-gila
padanya. Maka di saat kepala orang bergerak, jantungnya berdetak
tambah cepat. Tapi setelah orang berhadapan muka dengan dirinya,
seketika Coh Liu-hiang amat kecewa dibuatnya.
Karena muka orang mengenakan cadar yang terbuat dari kain sutera
hitam, sampai pun sepasang matanya pun tertutup, agaknya orang
sedemikian kikir dan hati-hati memperlihatkan raut wajahnya, supaya
orang tidak melihatnya. Serasa kerlingan tajam mata orang menembus kain sutera hitam itu
sedang menatap pada dirinya, menembus raga dan melihat hatinya. Tapi ia
tidak tertunduk kerenanya, memang tiada seorang pun di kolong langit ini
yang mampu membikin dirinya tertunduk.
Lama dan lama sekali baru Jin-hujin buka suara pula, katanya pelan-pelan
dengan tenang: " Benar, memang aku kenal keempat orang itu, tapi hal ini
terjadi dua puluh tahun yang lalu, kenapa kau datang ke mari mengganggu
aku membawa urusan yang sudah lama kulupakan ini!"
"Tapi belakangan ini Hujin ada pernah menulis surat kepada mereka,
bukan?" tanya Coh Liu-hiang.
"Menulis surat?" Jin-hujin menegas dengan hambar.
Dengan nanar, Coh Liu-hiang menatapnya, katanya: "Benar, surat! Dalam
surat itu berkata Hujin menghadapi kesulitan, minta mereka lekas datang
membantu, kedatangan Cayhe ini justru mohon keterangan, kesulitan apa
yang sedang melibatkan Jin-hujin?"
Sesaat Jin-hujin terdiam, katanya tawar: "Aku tidak ingat kapan aku
pernah menulis surat semacam itu, mungkin kau salah lihat?"
Seolah-olah mulut Coh Liu-hiang disumbat oleh sesuatu yang pahit getir,
sungguh ia tak habis pikir, kenapa Jin-hujin tak mau membeberkan rahasia
surat-surat itu. Tapi dia belum putus asa, katanya pula lebih keras: " Jelas
sekali Hujin pernah menulis surat itu, hal ini Cayhe takkan salah lihat."
"Dari mana kau tahu tak salah lihat?" jengek Jin-hujin dingin. "Memangnya
kau kenal gaya tulisanku?"
Kembali Coh Liu-hiang melongo dan terkunci mulutnya, sesaat ia
terlongong dan tak bersuara pula.
Pelan-pelan Jin-hujin putar badan berlutut pula, katanya: "Lamkiong Ling,
waktu keluar tutup sendiri pintunya, maaf aku tidak mengantarkan kalian!"
Pelan-pelan Lamkiong Ling menarik Coh Liu-hiang yang masih menjublek di
tempatnya. Katanya: "Kalau Hujin tidak menulis surat itu, tentulah itu
tulisan orang lain yang memalsu namanya, marilah kembali!"
"Nama palsu........tidak salah!" gumam Coh Liu-hiang. Tiba-tiba sorot
matanya tertuju ke atas meja pemujaan, tanyanya: "Apakah jenazah Jinlopangcu
diperabukan?" Belum Jin-hujin menjawab, Lamkiong Ling sudah mendahului: "Semua
murid Kaypang setelah meninggal harus diperabukan, itulah aturan turuntemurun
sejak dahulu." Ternyata Jin-hujin mendadak nimbrung: "Kau pun tak perlu menyesal,
suamiku almarhum sekian tahun disiksa penyakitnya, rebah di atas ranjang,
mendadak meninggal, tidak banyak orang yang bisa berjumpa dengan
beliau. Lekaslah kau pergi saja!"
Mendadak bersinar biji mata Coh Liu-hiang, sahutnya: "Terima kasih,
Hujin." "Tiada sesuatu bantuan yang kuberikan kepadamu, tak perlu kau
berterima kasih kepadaku."
Coh Liu-hiang mengiakan sambil mengundurkan diri, sementara dalam
hatinya ia sedang menerawang dua patah kata-kata Jin-hujin yang
terakhir. Kedengarannya kata-kata itu biasa dan umum, bahwasannya
mengandung arti yang mendalam sekali.
Tanpa banyak bicara mereka kembali melalui jalan semula. Agaknya
Lamkiong Ling tahu perasaan Coh Liu-hiang, maka ia tidak mengganggunya,
ia iringi orang berjalan pulang. Setiba di Kilam, sudah tengah malam hari
ketiga. Baru sekarang Lamkiong Ling berkata sambil menghela napas: "Pulang
pergi sejauh ini tentu bikin Coh-heng letih, Siaute pun amat kecewa
sekali!" "Memang aku sendiri yang suka urusan, malah kau ikut menemani aku
pulang pergi, sepantasnya aku traktir kau minum dua tiga cawan arak."
"Sekali menemani Coh heng minum arak, paling tidak harus mabuk sampai
tiga hari, lebih baik Coh-heng ampuni aku kali ini saja."
Memang Coh Liu-hiang mengharap orang lekas pergi saja, katanya tertawa
besar: "Baik, kali ini kuampuni kau. Lekaslah kau pergi, kalau tidak kuseret
kau pergi minum arak lho." Belum habis ia bicara, Lamkiong Ling sudah
bersoja dan tinggal pergi sambil tertawa tergelak-gelak.
Begitu Lamkiong Ling menyingkir, lekas Coh Liu-hiang menyusul ke Taybingouw. Kali ini, tanpa banyak mengeluarkan tenaga, ia berhasil
menemukan Mutiara Hitam. Begitu dirinya muncul, biji mata Mutiara Hitam
seketika berkilauan, bergegas ia melompat bangun di atas sampannya,
tanyanya: "Kau sudah bertemu dengan Chiu Ling-siok?"
"Walau ada orang yang berusaha merintangi perjalananku, akhirnya aku
berhasil menemuinya juga."
"Apa benar dia sedemikian cantiknya?"
"Kenapa kau bersikap seperti perempuan, tidak tanya apa yang telah
kubicarakan dengan dia, malah tanya kecantikannya lebih dulu" Sayang dia
mengenakan cadar, aku sendiri pun tak melihat raut mukanya."
Agaknya Mutiara Hitam jauh lebih kecewa dari Coh Liu-hiang, katanya
menghela napas: "Apa saja yang ia katakan?"
"Katanya dia tidak ingat kapan dia pernah menulis surat itu."
"Apakah bukan dia yang menulis surat itu?"
"Kalau dia yang menulis surat itu, pasti dia sudah tahu kalau Sebun jian
dan yang lainnya sudah ajal lantaran dia, masakah dia menipuku"
Memangnya dia tidak suka bila aku membantu dia membongkar rahasia
ini?" Mutiara Hitam terlongong sekian lamanya, gumamnya: "Tidak salah,
memang tiada alasan dia membohongi kau, tapi........." mendadak ia pegang
tangan Coh Liu-hiang, teriaknya: "Katamu dia menggunakan cadar hitam,
bukan?" Coh Liu-hiang mengiakan dengan mengut-manggut.
"Bukan mustahil yang kau temui bukan Chiu Ling-siok" Tapi samaran orang
lain?" "Tidak mungkin orang lain menyamar sebagai dirinya!"
"Kau sendiri tidak melihat raut mukanya, dari mana kau bisa tahu kalau dia
bukan tiruan?" "Mukanya memang tidak kulihat, namun lagu suaranya, gerak-geriknya
serta tutur katanya, dalam dunia ini siapa yang mampu meniru dia" Apalagi,
bila dia tiruan, tentulah takkan ada orang yang berusaha merintangi aku,
supaya aku gagal menemuinya."
"Kalau demikian, bukankah rahasia ini takkan bisa dibongkar oleh siapa
pun?" "Dalam pandangan Coh Liu-hiang, selamanya tidak pernah ada pengertian
"takkan bisa" segala."
"Dalam matamu ada nama apa" Mungkin hanya ada suka "mengagulkan diri"
belaka," jengek Mutiara Hitam.
Tanpa hiraukan kata-kata dan sikap orang, Coh Liu-hiang celingukan kian
ke mari, tanyanya: "Orang yang kupesan kepadamu untuk memperhatikan
kedatangannya itu, masakah belum tiba?"
"Sudah pernah datang!"
"Kau sudah melihatnya, di mana dia?"
"Sudah mati!" jawabnya dengan ringan, namun bagi pendengaran Coh Liuhiang
laksana halilintar menyambar kepalanya. Kontan ia berjingkrak
sambil mencengkeram pundak Mutiara Hitam, teriaknya: "Apa katamu?"
"Kataku dia sudah terbunuh oleh orang."
"Kau.........kau melihatnya sendiri" Kau diam saja melihat dia dibunuh
orang" Kau.... memangnya kau tidak punya perasaan?" teriak Coh Liu-hiang
dengan suara serak. Pundak Mutiara Hitam hampir saja teremas hancur, namun ia kertakkan
gigi menahan sakit, bergeming atau mengeluh pun tidak, sinar matanya
berkaca-kaca seperti berlinang air mata, sebaliknya mulutnya masih
berkata dengan dingin: "Kalau tidak kulihat, memangnya kenapa" Kau.....
kau tidak minta aku melindunginya, apalagi hakekatnya aku tidak kenal dia,
mati atau hidupnya apa sangkut pautnya denganku?"
Coh Liu-hiang melotot sekian lamanya, jari-jarinya akhirnya mengendor,
badannya bergoyang gontai dan akhirnya mendeprok duduk di tanah. Soh
Yong-yong ternyata sudah ajal. Anak perempuan yang begitu pintar,
cerdik, lembut dan halus ternyata sudah meninggal. Sungguh dia tak mau
percaya, tidak mau percaya bahwa di dunia ini ada orang yang tega
membunuh dirinya. Mata Mutiara Hitam yang bundar besar itu sedang menatap Coh Liu-hiang,
katanya sambil menggigit bibir: "Apakah benar perempuan itu begitu
penting bagi dirimu?"
Serak suara Coh Liu-hiang: "Selamanya kau tidak akan mengerti betapa
penting artinya dia bagiku. Aku rela diriku yang dibacok hancur oleh
musuh, sekali-kali tidak akan kuizinkan orang bermain gila terhadap
jiwanya." Mutiara Hitam tertunduk sekian lamanya, mendadak ia angkat kepala
dengan hati bergejolak haru, katanya membanting kaki: "Boleh kau
bersedih akan kematiannya, tapi aku takkan ikut pilu karenanya. Kau tiada
hak membuatku ikut bersedih terhadap kematian seorang perempuan yang
tidak kukenal, benar tidak?"
Coh Liu-hiang melompat bangun, kembali ia meremas pundak orang,
serunya: "Benar, tak perlu bersedih karena kematiannya, tapi kau harus
jelaskan padaku siapakah yang membunuhnya?"
Naik turun dada Mutiara Hitam, tak lama kemudian baru ia bersuara
dengan nada berat: "Kemarin menjelang petang dia sudah tiba, dia berada
di atas kapal sana itu, celingak-celinguk, sekali lihat lantas kau tahu dia
orang yang kau tunggu, baru saja aku ingin menghampiri..............."
"Tapi kau tidak mendekatinya, benar tidak" Kalau tidak, dia takkan mati!"
damprat Coh Liu-hiang bengis.
"Belum lagi aku melangkah ke sana, tahu-tahu datang empat orang menuju
kapal itu, keempat orang itu seperti sudah kenal baik dengan dia, mereka
menyapa lebih dulu dan berbicara beberapa patah, kelihatannya dia pun
melayaninya dengan tersenyum."
"Bagaimana bentuk atau raut muka keempat orang itu?" segera Coh Liuhiang
mendesak. "Jarakku dengan mereka cukup jauh, tidak kulihat jelas raut muka
mereka, yang terang mereka mengenakan jubah panjang warna hijau mulus,
dari kejauhan warnanya itu amat menyolok pandangan."
"Di kala hendak mencelakai jiwa orang, masih mereka mengenakan pakaian
yang menyolok, dalam hal ini pasti ada latar belakangnya yang susah
dimengerti." Jengek Coh Liu-hiang dingin.
"Memang mereka sengaja supaya orang lain hanya memperhatikan pakaian
mereka, dengan sendirinya tidak perhatikan raut muka mereka. Sebaliknya
pakaian boleh sembarang waktu ditanggalkan dan ganti yang lain."
"Kalau toh kau tahu akan hal ini, kenapa tidak sengaja kau perhatikan?"
"Belakangan baru kuingat hal ini, toh waktu itu aku bukan dewa, mana tahu
kalau mereka hendak membunuh orang" Apalagi kulihat perempuan itu
agaknya kenal dengan mereka, sudah tentu aku tidak terlalu ambil
perhatian." "Cara bagaimana mereka turun tangan?"
"Kelihatannya mereka amat asyk dalam percakapan, maka tidak enak aku
mengganggu mereka. Kulihat keempat laki-laki itu agaknya hendak
mengajaknya pergi, namun dia geleng kepala menolak, keempat laki-laki itu
menggerakkan kaki tangan, bicara setengah harian, dia masih tetap geleng
kepala sambil tersenyum, keempat orang itu menjadi kewalahan dan
serempak bersoja, agaknya hendak mengundurkan diri."
"Bagaimana kelanjutannya?" desak Coh Liu-hiang tidak sabar.
"Tidak ada selanjutnya... di saat mereka bersoja itulah, dari lengan baju
keempat orang itu berbareng melesat keluar senjata rahasia, begitu
banyak senjata rahasia itu, cepat lagi arahnya begitu dekat. Walau
perempuan itu meloncat, namun sudah terlambat, terdengar pekik
jeritannya, tahu-tahu badannya menerjang beberapa langkah dan tercebur
ke dalam air." Gemetar suara Coh Liu-hiang: "Senjata rahasia itu.... apa benar mengenai
dirinya?" "Tidak mengenai dia, memangnya mengenai diriku?"
"Kau saksikan dia dibokong orang, masakah.... masakah...."
"Kau sangka aku ini apa" Memangnya aku ini patung kayu" Melihat dia
terbokong, sudah tentu aku amat terkejut. Tapi waktu aku memburu
datang, keempat laki-laki jubah hijau itu sudah menghilang entah ke mana,
air darah masih bergolak dalam danau, namun jenazahnya tidak kelihatan
mengambang naik." Tak menunggu orang bicara habis, Coh Liu-hiang sudah berkelebat
terbang ke atas. Mengawasi gerak-gerik badannya yang seenteng burung walet, mendadak
Mutiara Hitam berkata menghela napas: "Tak nyana orang yang biasanya
teguh, gagah dan tenang, adakalanya dia merasa pilu dan haru. Orang yang
dapat membuatnya sedih dan gugup, walau dia mati, terhitung punya rejeki
dan berbahagialah di alam baka!"
Pagar kayu di pinggir kapal yang patah sudah diperbarui dengan yang baru,
air danau di bawahnya teramat tenang, hembusan angin malam membawa
bau harum, sinar bintang kelap-kelip seperti kerlingan sang jelita, segala
sesuatu tiada sedikit pun tanda-tanda kekerasan dan pembunuhan di sini.
Hampir Coh Liu-hiang tidak bisa membayangkan, di tempat seindah ini ada
orang tega membunuh seorang gadis jelita yang begitu rupawan. Ingin dia
mencari bekas-bekas senjata rahasia yang menancap di pagar pagar kayu,
karena dari senjata rahasia yang mereka gunakan ini kemungkinan dia bisa
mencari tahu asal-usul pembunuh itu.
Tapi segala sesuatu yang cacat di sini sudah diperbarui semua dengan
sedemikian telitinya. Menghadapi musuh-musuh seperti ini bukan saja
perlu bekal kecerdikan, harus pula punya keberanian, namun harus punya
nasib yang baik pula. Dengan menggelendot di atas pagar, Coh Liu-hiang
mengamati sinar bintang di keremangan angkasa yang berkabut.
Mendadak sebuah sampan terkayuh mendatangi dari tengah danau sana, di
atas sampan duduk seorang kakek tua berbaju kasar dengan caping bambu
yang rendah. Dia sedang duduk mengisi cangkir minum arak. Waktu tiba di
pinggir Hong-ih-tin, beberapa kali ia melirik mengawasi Coh Liu-hiang,
mendadak ia tertawa, serunya: "Anak muda, kalau ingin minum arak


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melampiaskan kepedihan hati, marilah silahkan naik ke sampanku ini
menemani Lo-siu minum beberapa cangkir!"
Nelayan tua ini ternyata begitu supel dan senang bergaul. Coh Liu-hiang
mengelus hidung. Sekali lompat ia hinggap di atas sampan, selamanya tidak
tahu sungkan atau pura-pura, diraihnya cangkir dan poci, sekali tenggak ia
habiskan secangkir arak. Katanya sambil mengangsurkan poci arak ke
depan si nelayan tua: "Apa lotiang punya simpanan arak yang cukup banyak
untuk membakar kepedihan dalam relung hatiku?"
Agaknya nelayan tua sudah biasa menghadapi para remaja yang banyak
tingkah, ia angkat sebuah guci di sampingnya, sambil tersenyum sahutnya:
"Hawa sejuk, pemandangan seindah ini, kenapa saudara kecil berlinang air
mata?" Coh Liu-hiang terloroh-loroh sambil menengadah, serunya: "Berlinang air
mata" Selama hidup orang she Coh tidak tahu bagaimana rasa air mata
itu?" Suara tawanya semakin lemah dan akhirnya berhenti. "Tak!", dengan
keras ia turunkan cangkir arak, tak jadi diminumnya.
Dengan mendelong nelayan tua itu mengawasinya sekian lama, mendadak ia
menarik napas panjang dan berkata rawan: "Ada yang begitu sedih bagi
diriku, seumpama aku betul-betul mati, apa pula halangannya?"
Coh Liu-hiang berjingkrak bangun seraya menarik pundak si nelayan tua,
teriaknya: "Yong-yong kau.... benarkah kau?" Tak perduli sampan itu bakal
terbalik, sekali jinjing ia peluk orang sekencangnya, serunya bergelak
tawa: "Memang aku tahu kau takkan bisa mati, aku tahu takkan ada orang
tega membunuhmu." So Yong-yong memeluk lehernya, katanya pelan sambil berbisik di pinggir
kupingnya: "Turunkan aku, kau tidak malu dilihat orang?"
"Aku kan hanya memeluk kakek tua kerempeng. Meski dilihat orang, apa
pula halangannya?" Dengan sebelah tangannya ia pegang hidungnya, serta
katanya: "Ada seorang Song Thiam-ji, seorang Li Ang-siu, aku sudah cukup
dibuat pusing kepala, tak kira kau malah jauh lebih nakal dari mereka,
sengaja kau bikin aku sedemikian gugup dan sedih."
"Bukan aku hendak membuatmu gelisah, maksudku supaya orang-orang itu
betul anggap diriku sudah mampus, maka mereka takkan berjaga-jaga lagi.
Coba kau pikir, masakah aku tega membuatmu begitu gugup dan gelisah?"
Pelan-pelan Coh Liu-hiang menurunkannya, tanyanya dengan menatap
mukanya: "Adakah mereka melukaimu?"
"Cara kerja keempat orang itu sungguh kejam dan telengas. Untung
sebelumnya aku sudah melihat gejala-gejala yang tidak benar, kalau
tidak...... kalau tidak mungkin aku tak bisa bertemu denganmu lagi."
"Terhadap orang sepertimu mereka bisa menurunkan tangan jahat, pantas
kalau mereka kupenggal kepalanya, lekas kau beritahu siapa mereka?"
"Mana aku kenal mereka?"
"Tapi kau ada bicara dengan mereka, bukan?"
"Kemarin aku sedang menunggumu di kapal itu, mendadak datang empat
orang, salah satunya tanya apakah aku nona So, katanya mereka adalah
murid-murid Cu-soa-bun, dikatakan pula bahwa kau yang suruh mereka
menjemputku." Dia tertawa manis, lalu melanjutkan: "Tapi aku tahu, kau tahu bahwa aku
menunggu di sini, sekali-kali tidak mungkin suruh orang lain, kau tahu aku
paling benci berhadapan dengan laki-laki asing yang tak kukenal, oleh
karena itu timbul rasa curigaku, sudah tentu kutolak permintaan mereka,
kulihat pula mereka saling melirik memberi tanda, maka siang-siang aku
sudah siap dan waspada."
"Untunglah kau tahu akan diriku, laki-laki yang tidak akan membuatmu
muak dan benci.... tapi kenapa tidak kau bongkar saja kedok mereka waktu
itu" Desak mereka untuk menjelaskan!"
"Sepak terjang orang-orang itu sedemikian kejam, rencananya sempurna
dan teliti, di belakang mereka pasti ada orang lain, aku sendiri tidak tahu
apa aku kuasa menghadapi mereka, maka....."
"Maka kau pura-pura terkena serangan senjata rahasia mereka, supaya
urusan tidak berbuntut panjang."
"Kau tahu aku paling tidak suka berkelahi dengan orang."
"Tapi warna darah di dalam air, apa pula yang telah terjadi?"
So Yong-yong cekikikan, ujarnya: "Kebetulan waktu aku lewat di Kilam,
kubeli satu kotak yancu untuk Thiam-ji."
Coh Liu-hiang tertawa besar sambil tepuk tangan, tiba-tiba ia hentikan
tawanya serta berkata dengan nada berat: "Tapi tiada orang yang tahu bila
kau sedang menungguku di sini, memangnya siapa orang-orang ini" Dari
mana tahu kau menungguku di sini" Apakah Hek-tin-cu" Dia pasti bukan
orang demikian." "Persoalan ini boleh kelak kau pikir lebih lanjut." ujar So Yong-yong
lembut. "Benar! Sekarang tiba saat nya kutanya hasil dari tugas perjalananmu
bagaimana" Sudahkah kau ketahui, biasanya laki-laki siapa saja yang keluar
masuk Sin-cui-kiong?"
"Waktu hal ini kutanyakan kepada bibiku, coba kau terka bagaimana
jawabannya?" "Apa yang dia katakan?"
"Katanya: Jangan kata laki-laki, sampai pun ayam jago jangan harap bisa
mondar-mandir keluar masuk Sin-cui-kiong."
Tak tahan Coh Liu-hiang menahan tawanya, katanya mengerut kening:
"Jikalau tiada laki-laki keluar masuk Sin-cui-kiong, bagaimana pula si gadis
cilik itu bisa hamil" Biasanya bagaimana keadaan hidupnya" Adakah
sesuatu barang peninggalannya?"
"Gadis itu bernama Sutouw King, gadis pendiam yang sehari-hari hidup
dalam ketenangan, jarang bicara, kecuali biasa iseng memetik harpa, tiada
sesuatu hobinya pula, siapa pun takkan percaya dan membayangkan bisa
terjadi peristiwa itu."
"Gadis pendiam yang tak suka bicara, perasaannya biasanya paling subur.
Jika sampai dia jatuh cinta terhadap seseorang, sampai mati pun cintanya
itu takkan goyah dan luntur, oleh karena itu dia rela dirinya menjadi
korban, betapa pun tak mau membocorkan rahasia lelaki itu."
"Terhadap berbagai tipe wanita, apakah kau tahu sedemikian jelasnya?"
Coh-Liu-hiang mengelus hidungnya, lekas ia menukas: "Apa benar dia tidak
meninggalkan sesuatu?"
"Tidak! Boleh dikata perjalananku sia-sia, apa pun tiada yang berhasil
kutanyakan." "Tapi orang-orang itu kuatir bila kau mendapatkan sesuatu rahasia, maka
kau harus dibunuh untuk menutup mulut. Dari sini dapatlah disimpulkan
bahwa orang-orang itu punya sesuatu ciri yang merupakan sumber
penyelidikan kita di dalam Sin-ciu-kiong, cuma sampai detik ini belum ada
orang yang memperhatikan..... tapi kenapa sumber-sumber ini tidak sampai
menjadi perhatian orang banyak?"
"Dan kau" Beberapa hari ini..... apa pula hasilmu?" balas tanya So Yongyong.
Coh Liu-hiang menceritakan dengan jelas sampai sedetil-detilnya, apa
yang dia alami selama beberapa hari ini.
Mendengar betapa kejam dan ganasnya serta watak yang menyendiri dari
Tionggoan It-tiam-ang, So Yong-yong menggeleng-gelengkan kepala.
Mendengar tentang gambar lukisan dan tulisan surat itu, matanya
terbelalak. Mendengar bahwa Chiu Ling-siok ternyata adalah istri eks
pangcu Kaypang yang terdahulu, dan Coh Liu-hiang sendiri pun pernah
menemuinya, tak tahan So Yong-yong pun berteriak tertahan.
Supaya So Yong-yong tidak kuatir dan terlalu tegang, sengaja Coh Liuhiang
hanya ceritakan sepintas saja tentang pertempurannya di batu
jembatan di atas jurang yang dalam itu. Tapi So Yong-yong pun sudah
terlalu tegang sampai mengepal kencang jari-jarinya.
Katanya gemetar: "Bukan saja ilmu silat orang itu tinggi, malah keji dan
telengas pula, banyak akal muslihatnya, kau menghadapi musuh macam itu
betul-betul harus waspada dan lebih hati-hati."
Satu persatu Coh Liu-hiang membuka jari-jarinya yang terkepal itu,
katanya lembut dengan tersenyum: "Tahukah kau orang lain sering berkata
Coh Liu-hiang adalah manusia yang paling ditakuti di seluruh jagat ini"
Seumpama orang itu amat menakutkan, masakah dia bisa menandingi Coh
Liu-hiang?" "Coh Liu-hiang memang teramat tangguh, sayang sanubarinya terlalu bajik
dan lemah. Orang lain tega membunuhnya, sebaliknya dia tidak tega
melukai orang, coba katakan cara bagaimana aku takkan kuatir?"
Coh Liu-hiang menepuk-nepuk tangnnya, katanya tertawa: "Jangan kuatir
untuk membunuh Coh Liu-hiang, bukan soal gampang."
So Yong-yong unjuk tawa manis, namun alis berkerut pula, katanya: "Coba
kau pikir, mungkin tidak orang yang menyamar jadi Thian-hong-cap-si-long
adalah orang misterius yang membunuh Thian-jiang-sing Song Kang dan
orang yang terjun ke danau itu?"
"Memang dia. Jika terkaanku tidak salah, yang membunuh Ca Bok-hap, Cou
Yu-cin, Ling Ciu-cu dan Sebun Jian pun dia, orang yang mencuri Thian-itsincui dari Sin-cui-kiong tentulah dia pula!"
"Begitu besar hasratnya hendak membunuhmu, berusaha pula
merintangimu menemui Jin-hujin Chiu Ling siok, sungguh tak nyana ChiuLing siok tidak mau bicara apa-apa, bukankah segala usahamu itu sia-sia
belaka?" Mendadak Coh Liu-hiang unjuk senyum lebar, katanya: "Chiu Ling-siok
masih mengucapkan beberapa patah kata yang amat penting artinya."
"Apa katanya?" "Dengarlah dengan seksama, dia berkata: "Kau pun tak perlu menyesal,
suamiku almarhum sudah rebah berpenyakitan selama beberapa tahun, lalu
mendadak meninggal, orang-orang yang dapat menemui beliau tidak banyak
jumlahnya...." So Yong-yong berpikir sejenak, katanya: "Aku tak bisa meraba beberapa
patah kata itu mengandung arti yang amat penting apa?"
"Coba kau pikirkan secara seksama, pasti kau dapat simpulkan."
Kembali So Yong-yong ulangi beberapa patah kata-kata itu. akhirnya sorot
matanya bersinar, katanya: "Aku tahu sekarang, kalau Jin-lopangcu itu
sudah lama berpenyakitan di atas ranjang, mana mungkin bisa mati secara
mendadak. Murid-murid Kaypang mereka, kalau toh tahu bahwa Pangcu
mereka sakit menjelang ajal, sudah sepantasnya selalu menjaganya dan
merawatnya, kenapa yang bisa bertemu dengan beliau hanya terbatas
beberapa orang saja?"
"Begitulah!" seru Coh Liu-hiang tepuk tangan. "Kedengarannya beberapa
patah kata itu biasa saja, namun satu sama lain saling bertentangan. Jinhujin
itu memang berotak cerdik. Coba kau pikir, kenapa dia mengeluarkan
kata-kata yang saling bertentangan ini?"
"Apa bukan sedang memberi kisikan kepadamu?"
"Memang begitulah!"
"Tapi ada persoalan apa yang tidak langsung dia utarakan kepadamu"
Memangnya persoalan itu dia rahasiakan terhadap Lamkiong Ling" Masakah
Lamkiong Ling pun..."
"Meskipun rumit seluk-beluk dan banyak lubang kelemahan serta hubungan
satu sama lainnya, tapi sekali-kali kita jangan secepat itu menarik
kesimpulan, karena persoalan ini amat penting dan besar artinya, tidaklah
sederhana seperti rabaan kita semula!"
"Kalau begitu, jadi kau harus pergi menemui Jin-hujin itu pula?"
"Ya, harus menemui sekali lagi!"
So Yong-yong menggenggam tangannya, katanya lembut: "Tapi kau harus
ingat, bahaya untuk kedua kalinya ini tentu lebih besar. Kalau toh mereka
tahu kunci rahasia dari semua persoalan ini berada di tangan Jin-hujin,
mana mungkin mereka mau memberi kesempatan kepadamu untuk
berhadapan sendiri dengan Jin-hujin?"
"Kukira, sementara mereka takkan mengira bahwa aku pergi menemui Jinhujin
lagi, maka perjalananku kali ini lebih cepat lebih baik. Kalau
terlambat, bahayanya tentu semakin besar."
"Sekarang mereka paling baru membokong dan menyergapmu, tapi bila kau
sudah hampir membongkar kedok rahasia mereka, pasti mereka bakal
menggunakan segala cara untuk menghadapimu."
"Kalau hendak memancing ikan besar, sudah tentu harus berani memberi
umpan yang besar pula."
"Masa kau.... kau sendiri hendak menjadi umpan itu untuk memancingnya
keluar?" Terasa oleh Coh Liu-hiang jari-jari tangan So Yong-yong yang
menggenggam tangannya itu gemetar, maka tangannya yang hangat dan
kokoh itu balas menggenggam, katanya tertawa: "Umpan ini memang terlalu
besar, betapa pun besar ikan itu takkan bisa menelannva bulat-bulat. Kau
tidak usah kuatir, dengarkan saja kataku, lekas kau pulang, kemudian
lemparlah botol-botol arakku ke dalam laut biar dingin, suruh pula Thiam-ji
menyediakan beberapa ekor ayam, dalam lima hari mendatang pasti aku
sudah pulang dan menggasak habis semuanya!"
So Yong-yong menatapnya dengan mata berkaca-kaca, namun biji matanya
memancarkan sinar terang dan lembut hangat laksana bintang kejora.
Akhirnya ia tertawa lebar dan katanya: "Sudah tentu kau bisa pulang,
dalam dunia ini siapa yang mampu merintangimu?"
Di atas dunia ini, tiada sesuatu yang lebih menggairahkan dari pada raut
muka seorang jelita dan keyakinannya. Waktu Coh Liu-hiang tiba di atas
daratan, terasa tenaganya segar semangat bergairah.
So Yong-yong memang seorang gadis penurut. Gadis jelita yang pintar,
ternyata masih dengar kata-katanya, itulah kebahagiaan yang terbesar
bagi seorang laki-iaki. Dengan puas dan senang hati Coh Liu-hiang menggumam seorang diri:
"Dunia ini sungguh tiada sesuatu yang menyulitkan diriku...."
Terdengar seseorang menanggapi sambil tertawa: "Tapi apakah kau tidak
menyulitkan dunia kehidupan ini?"
Belum hilang suaranya, Bu Hoa tahu-tahu melayang turun. Sikapnya yang
agung suci, senyumannya yang welas asih di bawah penerangan sinar
bintang, kelihatan demikian memukau seperti dewata dari langit.
Naga Kemala Putih 4 Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Badai Awan Angin 10

Cari Blog Ini