Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 22

Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 22


Selagi pihak tuan rnmah dan keluarganya mela-yani para tamu makan minum, tiba-tiba Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
645 penjaga pintu memberi tahu kepada Kao Cin Liong bahwa telah datang lagi tamu baru, sepasang suami isteri she Yo. Karena tidak mengenal siapa suami isteri she Yo ini, Kao Cin Liong dan isterinya bangkit menyambut, sedangkan keluarganya ikut pula me-mandang dengan penuh perhatian untuk melihat siapa adanya tamu yang datang agak terlambat itu.
Ketika Bi Lan yang juga ikut menengok melihat bahwa yang muncul sebagai tamu terlambat itu adalah Bi-kwi dan Yo jin, jantungnya berdebar tegang penuh kegirangan, akan tetapi juga penuh kekhawatiran. Tak disangkanya bahwa sucinya itu berani datang pula ke pesta ulang tahun ini! Akan tetapi hal ini bahkan membuktikan bahwa sucinya memang benar telah mengubah cara hidupnya dan tentu sucinya datang karena menaruh perasaan hor-mat terhadap keluarga Kao yang gagah perkasa.
Keluarga para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir yang berada di situ, banyak yang mengenal Bi-kwi dan mereka semua memandang dengan alis ber-kerut. Terutama sekali Gu Hong Beng dan Suma Ciang Bun yang pernah bertempur melawan wanita yang mereka
anggap sebagai wanita iblis yang amat jahat itu. Juga Kao Cin Liong sendiri dan isterinya, Suma Hui, ketika terjadi pertempuran antara para pendekar melawan Sai-cu Lama dan gerombolannya, telah mengenal Bi-kwi sebagai murid Sam Kwi. Demikian pula Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Mereka tidak mengira bahwa wanita ini berani muncul sebagai tamu, dan mereka teringat akan pembela-an Bi Lan terhadap sucinya yang pernah menjadi seorang wanita iblis itu.
Bagaimanapun juga, mereka berdua itu datang sebagai tamu, apa lagi melihat sikap Yo Jin yang demikian sopan dan jujur, juga sikap Bi-kwi yang melihatkan sikap hormat terhadap pihak tuan rumah, Kao Cin Liong dan isterinya terpaksa me-nyambut. Mereka datang sebagai tamu, dan me-mang undangan itu ditujukan kepada semua tokoh persilatan tanpa memilih bulu, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam.
Setelah memberi hormat dan menghaturkan se-lamat kepada tuan rumah, yang disambut oleh Kao Cin Liong dan isterinya dengan hormat pula, Bi-kwi dan Yo Jin yang menjadi suaminya, menyerahkan sebuah bingkisan yang berupa sebuah bungkusan kecil dari sutera merah.
Bungkusan itu diterima oleh Suma Hui dan diletakkan di atas tumpukan barang-barang hadiah lain dalam bungkusan-bungkusan besar kecil. Kemudian mereka berdua dipersilahkan duduk, akan tetapi karena tempat duduk di bagian depan telah penuh tamu, Bi-kwi dan Yo Jin mencari tempat duduk kosong agak di sudut belakang. Ketika Bi-kwi melihat Bi Lan bersama Sim Houw, ia hanya mengangguk dan tersenyum, sedangkan Bi Lan dan Sim Houw juga tersenyum kepada mereka. Semua ini dilihat oleh Hong Beng dengan hati yang tidak puas.
Jelaslah bahwa ada hubungan baik an-tara kedua orang itu, pikirnya dan biarpun kini Bi-kwi datang untuk menghormati Kao Cin Liong dan datang sebagai tamu, namun ketika
memandang wanita itu, sinar mata Hong Beng penuh rasa tidak senang. Juga Suma Ciang Bun yang pernah berke-lahi melawan Bi-kwi, memandang dengan alis ber-kerut. Namun Bi-kwi yang tahu akan sikap mereka itu, pura-pura tidak tahu saja.
Sebelum berangkat mengunjungi pesta perayaan itu, Bi-kwi memang sudah menduga bahwa di tempat pesta itu tentu akan menghadapi banyak orang yang mengambil sikap
memusuhinya. Namun ia tidak peduli akan hal itu. Suaminya, Yo Jin yang sudah membuka kehidupan baru di dusun ter-pencil, tadinya merasa tidak setuju ketika Bi-kwi yang mendengar tentang undangan yang disebar Kao Cin Liong itu menyatakan hendak datang bertamu.
"Isteriku yang baik, apakah perlunya mengun-jungi tempat ramai itu" Aku khawatir hanya Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
646 akan mengundang datangnya urusan dan keributan be-laka," demikian antara lain suami yang jujur ini berkata.
"Tidak, suamiku, aku tahu benar bahwa urusan dan keributan hanya timbul karena diri sendiri. Dan aku telah berjanji kepada diri sendiri tidak akan mencari keributan, seperti telah kuputuskan untuk merobah cara hidupku. Bukankah selama berbulan-bulan ini kita hidup aman dan tenteram di sini tak pernah terjadi sesuatu seolah-olah aku hanya-lah isterimu yang sederhana, seorang wanita tani yang tidak mengerti ilmu silat?"
"Kuharap engkau akan begini seterusnya, isteriku sayang. Akan tetapi kenapa engkau mengajak aku untuk pergi ke Pao-teng untuk menghadiri pesta ulang tahun seorang pendekar"
Biarpun engkau tidak mencari keributan, bagaimana kalau orang lain yang mencari keributan terhadap dirimu" Engkau tahu aku tidak mempunyai kepandaian un-tuk melindungi dirimu."
Bi-kwi tersenyum, merangkul suaminya dan merebahkan kepalanya di dada suaminya yang bi-dang. Biarpun Yo Jin tidak pandai ilmu silat, na-mun suaminya mempunyai jiwa pendekar yang ga-gah perkasa dan ia selalu merasa aman tenteram hi-dup di samping suaminya.
"Jangan khawatir, suamiku. Bentrokan hanya mungkin terjadi kalau kedua pihak
menghendakinya. Api tidak akan membakar sesuatu yang basah ku-yup. Biarpun ada orang mencari gara-gara, kalau tidak kita layani, bagaikan api dia akan kehabisan bahan bakar dan akan padam sendiri. Aku ingin bertamu ke sana bukan untuk mencari perkara, me-lainkan untuk menghormati pendekar Kao Cin Liong yang merayakan hari ulang tahun. Dia
mengundang para ahli silat pada umumnya tanpa pandang bulu, tanpa melihat golongan, dan aku ingin datang meng-ingat bahwa dia adalah putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, masih terhitung suheng dari adik Bi Lan. Bi Lan pasti datang dan hadir pula. Karena akupun sudah rindu kepadanya, dan ingin melihat perkembangan dunia sekarang. Sekali lagi jangan khawatir, bentrokan hanya dapat terjadi kalau ke-dua pihak maju, seperti sepasang tangan yang berte-puk. Tak mungkin sebelah tangan saja bertepuk menimbulkan panas dan bunyi kalau tidak menemu-kan lawan."
Demikianlah, akhirnya Yo Jin mengalah dan menemani isterinya melakukan perjalanan ke Pao-teng. Mereka datang agak terlambat, setelah pesta dimulai sehingga kemunculan mereka menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi ketika suami iste-ri ini memilih tempat duduk di sudut belakang dan tenggelam di antara para tamu yang memenuhi tempat itu, suasana menjadi meriah kembali.
Banyak di antara para tamu mendekati dan me-rubung meja, agaknya ingin tahu sekali macamnya barang-barang sumbangan yang bertumpuk itu. Melihat ini, Suma Hui yang menjadi gembira kare-na belum pernah semenjak menikah ia mengadakan pesta dan ternyata pesta ulang tahun suaminya yang hanya diadakan untuk mengumpulkan orang dunia
persilatan dan mengumumkan kehilangan anaknya itu dikunjungi demikian banyak orang dan menerima banyak sumbangan, segera mengusulkan kepada suaminya untuk membukai
bungkusan-bangkusan itu di depan para tamu. Suaminya setuju dan ketika mereka berdua, dibantu oleh para anggauta keluarga, mulai membukai bungkusan dan mengumumkan na-ma penyumbangnya sambil mengangkat tinggi setiap buah benda sumbangan, para tamu menjadi gembi-ra sekali. Tiada hentinya para tamu menyatakan kekaguman mereka setiap kali melihat barang sum-bangan yang amat berharga dan beraneka warna itu
Memang bermacam-macam benda sumbangan para tamu, dan rata-rata merupakan benda
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
647 berharga. Ada senjata yang baik, guci-guci berukir, cawan perak, perhiasan-perhiasan dan ba-nyak lagi macamnya. Ketika tiba giliran bungkusan sutera merah kecil pemberian Bi-kwi dan Yo Jin tadi dibuka, pembukanya kebetulan adalah Suma Hui sendiri. Dan di antara para anggauta keluarga, yang paling memperhatikan ketika bungkusan ini dibuka adalah Gu Hong Beng dan gurunya, Suma
Ciang Bun. Mereka berdua yang masih merasa pe-nasaran kepada Bi-kwi, ingin sekali melihat barang macam apa yang dibawa oleh tamu yang mereka anggap sebagai siluman betina yang amat jahat itu. Bungkusan itu kecil saja, entah apa isinya dan ketika jari-jari tangan Suma Hui membukanya, guru dan murid ini mendekat dan melihat dengan hati tegang.
Suma Hui sendiri tadi tidak memperhatikan dari siapa pemberian sumbangan dalam
bungkusan merah yang kecil ini, maka ketika ia membukanya, ia tersenyum dan tidak merasakan ketegangan seperti yang dirasakan adiknya dan murid adiknya itu. Ketika bungkusan itu dibuka dan Suma Hui mengamatinya, tiba-tiba wajahnya berubah pucat dan wanita per-kasa ini menahan jeritnya, akan tetapi tetap saja masih terdengar seruannya.
"Aihhh....!" Kao Cin Liong terkejut, cepat mendekati isteri-nya dan dengan kedua tangan gemetar Suma Hui memperlihatkan benda yang terbungkus sutera me-rah itu. Sebuah perhiasan rambut dari emas yang diikat dengan segumpal rambut hitam. Benda itu sendiri merupakan perhiasan rambut yang biasa saja bagi orang lain, akan tetapi suami isteri itu terbela-lak memandang karena mereka mengenal perhiasan rambut yang biasanya menghias rambut Kao Hong Li, puteri mereka yang lenyap diculik orang. Dan rambut itu.... rambut siapa lagi kalau bukan rambut Hong Li"
"Enci Hui, ada apakah?" Suma Ciang Bun yang melihat perubahan muka encinya dan kakak iparnya segera bertanya.
"Ini.... ini.... perhiasan rambut milik Hong Li...." Suma Hui berkata dengan masih gemetar dan gugup.
"Hemmm, siapakah tadi pengirim sumbangan ini?" Kao Cin Liong juga berkata dengan suara ge-ram dan memandang ke sekeliling. Mendengar keterangan nyonya rumah bahwa isi bungkusan itu ada-lah perhiasan rambut yang biasa dipakai anak perem-puan yang hilang diculik orang, tentu saja para tamu yang merubung meja sumbangan itu menjadi gem-par.
Mereka yang duduk di belakang segera mende-ngar dari mereka yang duduk di depan dan sebentar saja seluruh tamu mengetahui bahwa telah terjadi hal aneh, yaitu bahwa seorang di antara para tamu me-nyumbang perhiasan milik anak tuan rumah yang tadi dikabarkan hilang diculik orang. Tentu saja suasana menjadi gempar seketika.
"Iblis betina itulah yang tadi menyumbangkan bungkusan merah!" Tiba-tiba Gu Hong Beng ber-seru dan diapun sudah melompat dan lari mengham-piri Bi-kwi dan Yo jin yang masih ikut bingung dan bertanya-tanya mendengar peristiwa yang meribut-kan itu.
Begitu berhadapan dengan Bi-kwi, Gu Hong Beng menudingkan telunjuknya ke arah muka Bi-kwi dan berkata dengan suara lantang, "Iblis betina, sungguh engkau jahat dan keterlaluan sekali, berani menghina kami! Engkaulah yang menculik adik Kao Hong Li, kemudian engkau berani mati datang untuk membawa perhiasan dan rambut adik Hong Li sebagai barang sumbangan!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
648 "Apa.... apa maksudmu" Harap jangan menuduh sembarangan. Bukan kami yang memberi barang seperti itu. Kami menyumbangkan sebuah benda lain!" kata Bi-kwi dengan sikap masih sa-bar walaupun pemuda itu memandang dengan mata melotot dan sikap bengis, siap hendak menerjangnya.
"Iblis betina, siapa tidak mengenalmu" Bi-kwi terkenal sebagai seorang wanita iblis yangjahat dan keji. Kiranya engkau yang menculik adik Hong Li dan kini datang sengaja hendak membikin kacau!"
Berkata demikian, pemuda ini menyerang. Serangannya amat hebat sehingga Bi-kwi yang tidak ingin membalas, dan tidak ingin melayani, ketika menge-lak ke kiri masih saja tersentuh pundaknya oleh se-rangan itu dan wanita inipun terhuyung menabrak meja sehingga semua mangkok dan panci di atas meja itu terlempar dan jatuh berantakan. Tentu saja para tamu cepat berloncatan menjauhi perkelahian itu. Melihat isterinya diserang, Yo Jin segera melangkah maju. Dengan sikap sabar dia menghadapi Hong Beng.
"Saudara yang gagah, harap bersabar dulu. Sesungguhnya, apa yang dikatakan isteriku tadi benar belaka. Kami datang dengan iktikad baik, demi penghormatan kami terhadap tuan rumah yang masih terhitung suheng dari adik Can Bi Lan, dan kami berdua tadi memang memberi bingkisan sutera me-rah, isinya sebuah bros dari emas permata. Aku sendiri yang memilihkan di antara perhiasan milik isteriku, maka harap saudara bersabar dan jangan salah sangka...."
Mendengar bahwa laki-laki ini suami Bi-kwi, tentu saja Hong Beng tidak mau menerima keterang-annya. Seorang suami tentu saja membela isterinya, pikirnya dan diapun mendorong tubuh laki-laki itu ke samping sambil berkata, "Minggirlah kau!"
Dorongan Hong Beng adalah dorongan seorang ahli silat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tenaga sin-kang yang hebat, maka tentu saja Yo Jin yang tidak pandai ilmu silat itu, sekali tersentuh dorongan itu, tubuhnya terlempar menabrak bebera-pa buah kursi kosong dan jatuh terbanting dengan kerasnya!
"Hong Beng, engkau sungguh keterlaluan! Apakah kaukira di dunia ini hanya engkau seorang saja yang gagah dan benar, sedangkan orang lain semua jahat dan bersalah?" Tiba-tiba Bi Lan sudah ber-ada di situ dan membentak dengan marahnya ketika ia melihat Hong Beng tadi memukul Bi-kwi yang sama sekali tidak melawan, bahkan pemuda itu men-dorong roboh Yo Jin dengan keras.
Tadinya Hong Beng terkejut sendiri melihat betapa dorongannya membuat laki-laki yang mengaku suami Bi-kwi itu terlempar dan terjatuh, bahkan khawatir kalau-kalau orang itu terluka parah. Dia tidak tahu bahwa laki-laki yang menjadi suami seo-rang iblis betina seperti Bi-kwi ternyata tidak pan-dai ilmu silat sama sekali sehingga roboh oleh do-rongan begitu saja. Akan tetapi ketika melihat munculnya Bi Lan yang kembali membela Bi-kwi,
ke-marahannya berkobar lagi.
"Can Bi Lan, engkau kembali berani hendak melindungi orang yang demikian jahatnya"
Benar-benar engkau telah tersesat! Ia adalah iblis betina yang telah menculik adik Hong Li, dan kini ia da-tang untuk membikin kacau, dan engkau masih mem-belanya" Kalau begitu, engkau benar-benar telah berubah jahat!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
649 "Manusia sombong, engkau sudah buta oleh kesombonganmu. Engkaulah yang jahat!" Bi Lan membentak dan mereka berdua, seperti dikomando saja, tidak tahu siapa yang mulai, telah saling me-nyerang dengan marahnya. Karena mereka berdua adalah orang yang berkepandaian tinggi, maka per-kelahian itu hebat dan para tamu menjauhkan diri, diam-diam merasa girang karena mereka mempero-leh kesempatan untuk menonton perkelahian yang bermutu. Para tamu itu adalah orang-orang dari dunia persilatan, baik dari golongan hitam maupun putih, maka tidaklah mengherankan kalau mereka suka sekali nonton adu ilmu silat, terutama kalau adu ilmu itu dilakukan oleh dua orang muda yang demikian lihainya. Suara angin pukulan mengaung-ngaung. dan menyambar-nyambar ganas, membuat para penonton menjadi kagum bukan main.
Melihat kekasihnya sudah berkelahi dengan Hong Beng, Sim Houw cepat meloncat ke depan dengan maksud untuk melerai perkelahian itu. Akan tetapi, Suma Ciang Bun yang sejak tadi sudah mendekati tempat perkelahian, siap untuk membantu muridnya kalau muridnya terdesak, merasa curiga dan mengi-ra bahwa majunya Sim Houw tentu untuk memban-tu Bi Lan. Maka, tanpa banyak cakap lagi diapun menyambut datangnya Sim Houw dengan
serangan pukulannya yang ganas dan dahsyat karena dia me-nyerang dengan pengerahan tenaga Hui-yang Sin-kang yang amat panas. Demikian panasnya hawa serangan itu sehingga terasa oleh para tamu yang sudah menjauhkan diri. Para tamu menjadi semakin gembira melihat dua orang itu sudah saling terjang dengan dahsyatnya. Sim Houw seperti biasa, me-ngalah dan hanya menangkis atau mengelak, sedang-kan hatinya merasa bingung dan gelisah sekali. Tak disangkanya bahwa kembali dia dan kekasihnya terlibat perkelahian dengan guru dan murid yang ga-lak dan selalu memusuhi Bi Lan itu.
Melihat betapa gara-gara ia dituduh menculik anak tuan rumah, kini sumoinya yang jelas membela-nya telah berkelahi, juga Sim Houw berkelahi de-ngan Suma Ciang Bun, Bi-kwi menjadi bingung dan juga khawatir sekali. Ia meloncat maju untuk melerai perkelahian antara Bi Lan dan Hong Beng. Melihat, ini, Kao Cin Liong dan Suma Hui cepat lari meng-hampiri tempat perkelahian. Mereka tentu saja ingin menangkap Bi-kwi yang dituduh sebagai pembawa bingkisan yang berisi perhiasan dan rambut kepala anak mereka. Akan tetapi mereka kecelik kalau tadi mengira bahwa Bi-kwi hendak membantu Bi Lan. Ternyata Bi-kwi meloncat maju bukan untuk mem-bela Bi Lan melainkan untukmelerai. Ia memegang lengan Bi Lan dan menariknya ke belakang sambil berkata, "Sumoi, tahan dulu, sebaiknya kita bicara baik-baik!"
Perbuatan Bi-kwi ini dapat mencelakakan sumoinya karena ia menangkap lengan kiri Bi Lan dan menariknya ke belakang dan pada saat itu, Hong Beng yang juga mengira akan dikeroyok dua, sudah menerjang maju dan menyerang Bi Lan yang posisi-nya buruk karena sebelah lengannya diganduli Bi-kwi. Pada saat itu, Kao Cin Liong sudah menangkap pun-dak Hong Beng.
"Hong Beng, tahan dulu!" teriak Kao Cin Liong dan tentu saja Hong Beng tidak berani meronta se-telah dia tahu siapa orangnya yang menahannya. De-ngan muka masih merah karena marah, matanya ber-sinar-sinar memandang ke arah Bi Lan dan Bi-kwi, diapun menghentikan gerakannya dan melangkah mundur.
Sementara itu, Suma Hui juga sudah melerai perkelahian antara Suma Ciang Liong dan Sim Houw. Lebih mudah melerai perkelahian ini karena memang Sim Houw tidak melawan. Suma Hui hanya meng-hadang di depan Suma Ciang Bun dan minta kepada adiknya itu untuk menghentikan serangan. Suma Ciang Bun menahan gerakannya, memandang marah kepada Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
650 Sim Houw. "Sudah jelas iblis betina Bi-kwi itulah penculik anakmu, enci Hui. Kalau mereka hendak membela, mari kita turun tangan membasmi mereka yang ja-hat itu!"
"Nanti dulu, Bun-te, kita bicara dulu dengan mereka, minta penjelasan," kata Suma Hui.
Kini Kao Cin Liong dan Suma Hui menghadapi Bi-kwi yang sudah menolong suaminya.
Untung bahwa Yo Jin tidak terluka parah, hanya kulitnya yang lecet-lecet saja. Mereka kini berdiri berdam-pingan, di depan Kao Cin Liong dan Suma Hui yang melihat betapa sikap suami isteri itu sama sekali tidak kelihatan takut atau khawatir seperti orang yang ber-dosa.
Mereka nampak tenang saja dan wajah mereka membayangkan rasa penasaran.
Melihat ini, Kao Cin Liong tidak mau sembarang-an menuduh. Dia mendahului isterinya, berkata ke-pada Bi-kwi, "Nona Ciong," katanya, tidak mau menyebut nama julukan Bi-kwi karena dia sudah mendengar penuturan Bi Lan tentang wanita ini, "kami mengharap sukalah engkau memberi keterang-an apa artinya engkau dan suamimu sebagai tamu kami memberi bingkisan seperti ini! Ini adalah hiasan rambut anak kami yang hilang diculik orang!"
Ber-kata demikian, Kao Cin Liong dan isterinya meman-dang tajam kepada wajah wanita itu penuh selidik.
Bi-kwi menghela napas panjang, lalu menjura de-ngan hormat. "Kao-taihiap berdua yang terhormat, kiranya akan sia-sia kalau orang seperti saya yang memberi keterangan karena tentu tidak akan dipercaya dan sayapun tidak menyalahkan mereka yang tidak percaya karena saya pernah menjadi seorang tokoh sesat yang hidup menyeleweng. Akan tetapi suami saya ini, Yo Jin, adalah seorang petani yang jujur dan selamanya hidup bersih. Biarlah dia yang memberi penjelasan." Berkata demikian Bi-kwi memandang kepada suaminya dengan sinar mata penuh permo-honan, dan Yo Jin pun maju dan memberi hormat kepada Kao Cin Liong dan isterinya.
"Semua yang diceritakan isteri saya tadi benar belaka. Ketika mendengar undangan umum untuk menghadiri hari ulang tahun Kao-taihiap, isteri saya menyatakan keinginan hatinya untuk pergi menghadiri pesta perayaan itu. Saya sudah ragu-ragu dan me-nyatakan keberatan karena saya takut kalau-kalau timbul urusan lagi dengan isteri saya yang banyak dimusuhi orang. Akan tetapi isteri saya memaksa dengan alasan menghormat Kao-taihiap yang dianggap suheng dari adik Bi Lan yang kami sayang dan hor-mati. Terpaksa saya setuju dan saya sendiri lalu me-milih di antara kumpulan perhiasan isteri saya untuk dibawa sebagai barang bingkisan. Saya memilih sebu-ah hiasan bros emas permata berbentuk burung Hong.
Inilah keterangan yang sesungguhnya dan saya bera-ni bersumpah akan kebenarannya. Kalau sekarang bungkusan sutera merah itu berisi benda lain, bagai-mana kami mengetahuinya?"
Kao Cin Liong saling pandang dengan isterinya, keduanya mengerutkan alisnya.
Hong Beng yang sejak tadi mendengarkan, tiba-tiba berkata kepada Kao Cin Liong dengan suara lan-tang, "Harap Kao-locianpwe dan bibi guru tidak mudah ditipu oleh Bi-kwi. Ia terlalu jahat dan saya mengenal kejahatan dan kepalsuannya semenjak Sam Kwi masih hidup.
Saya merasa yakin bahwa kalau bukan ia yang telah menculik adik Hong Li, setidak-nya ia tentu tahu tentang penculikan itu!"
Mendengar ucapan Hong Beng itu, Bi-kwi maju dan memberi hormat kepada tuan rumah.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
651 "Kao-tai-hiap, tidak saya sangkal bahwa saya pernah mengam-bil jalan hidup yang sesat penuh dosa. Akan tetapi biarpun demikian, belum pernah saya menjadi seo-rang pengecut.
Andaikata benar saya yang menculik puteri taihiap, dan saya telah berani datang ke sini mengembalikan hiasan rambutnya, lalu apa perlunya saya menyangkal mati-matian" Kalau saya sudah berani melakukan itu, dan berani pula datang ke sinimenyumbangkan hiasan rambut, tentu saya berani pula menghadapi segala resiko dan akibatnya! Dan tentu saja tidak akan begitu bodoh dan gila untuk mengajak suami saya yang sedikitpun tidak tahu ilmu silat.
Harap taihiap pertimbangkan, karena saya tahu bahwa menyangkal dan membela diri dengan kata-kata, tentu tidak akan dipercaya."
Kao Cin Liong kembali saling pandang dengan isterinya, bingung karena mereka sendiripun bimbang. Mereka percaya kepada tuduhan Hong Beng tadi, akan tetapi mereka juga dapat menerima alasan Bi-kwi.
"Kao-suheng, saya berani menanggung kebenar-an ucapan suci Ciong Siu Kwi!" tiba-tiba Bi Lan berkata dengan sikap gagah dan matanya melirik ke arah Hong Beng. "Saya yang mengenal betul keada-an hidup enci Ciong Siu Kwi sebelum ia sadar dan se-karang saya tahu betul bahwa ia telah merobah cara hidupnya. Saya yakin ia tidak bersalah sedikitpun juga dalam urusan kehilangan puteri suheng. Kalau saya menduga bahwa ia penculiknya, saya sendiri yang akan menentangnya, kalau perlu membunuhnya karena bukankah saya sudah berjanji kepada suhu dan subo, bahwa saya takkan menikah dan takkan kem-bali sebelum dapat menemukan puteri suheng" Tidak, suci Siu Kwi tidak bersalah, hal ini saya yakin benar!"
Melihat sikap dan pembelaan Bi Lan yang demi-kian penuh semangat, Bi-kwi merasa terharu sekali. "Sumoi, jangan engkau terlalu membelaku. Sudah kulihat betapa karena engkau menolong aku yang kotor dengan air lumpur, maka engkau sendiri ter-percik lumpur dan direndahkan orang lain."
"Tidak, suci. Aku tidak membela engkau atau seorang suci, melainkan membela kebenaran.
Siapa-pun dia kalau berada di pihak benar, sudah sepatut-nya kubela."
Mendengar percakapan antara suci dan sumoi itu, Kao Cin Liong dan Suma Hui menjadi semakin ragu-ragu akan kesalahan Bi-kwi.
"Nona Ciong, bagaimanapun juga, bingkisan ini tadi adalah pemberianmu, oleh karena itu, kami yang kehilangan anak perempuan kami, kalau tidak menu-duhmu yang tadi memberi bingkisan ini, lalu harus menuduh siapakah?" kata Suma Hui, sambil me-mandang tajam kepada Bi-kwi.
Wanita ini lalu melangkah maju. "Saya merasa bertanggung jawab, oleh karena itu, saya mohon su-kalah Kao-taihiap menyerahkan barang itu kepada saya untuk saya selidiki sebentar."
Tanpa ragu-ragu Kao Cin Liong menyerahkan bungkusan perhiasan rambut dan segumpal rambut itu kepada Bi-kwi, berikut bungkusnya, yaitu sutera merah. Bi-kwi menerimanya, lalu memeriksanya de-ngan teliti. Mula-mula ia memeriksa kain sutera pembungkusnya, kemudian isinya. Sinar matanya mencorong dan iapun memandang ke kanan kiri.
"Kao-taihiap, penculik anak taihiap itu berada di sini, di antara kita semua! Dia seorang di Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
652 antara para tamu!" Kao Cin Liong dan isterinya, juga para anggauta keluarga dan para tamu yang mendengar ucapan ini, terkejut dan suasanapun menjadi bising. Bi-kwi lalu berkata kepada tuan rumah,
"Kalau Kao-taihiap percaya kepada saya dan suka meluluskan perminta-an Saya, marilah kita berunding di dalam saja."
Kao Cin Liong dan isterinya mengangguk, lalu minta kepada Hong Beng dan gurunya untuk mewa-kili pihak tuan rumah melayani para tamu, sedangkan dia bersama isterinya, juga diikuti oleh para ke-luarga, yaitu Kam Hong dan Bu Ci Sian, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, lalu Sim Houw dan Bi Lan juga diajak masuk bersama Bi-kwi dan Yo Jin.
Setelah tiba di dalam, Bi-kwi lalu cepat membe-ri keterangan. "Kao-locianpwe, jelaslah bahwa bing-kisan kami tadi ada yang mengambil dan menukarnya dengan bingkisan ini. Hal itu tentu terjadi ketika orang-orang datang merubung meja tempat hadiah dan orang itu tentu pandai sekali sehingga tidak ada yang melihat perbuatannya. Karena kami datang terlambat dan bingkisan kami berada di atas, maka hal itu mudah dia lakukan."
"Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa bingkisanmu itu ditukar orang" Apa
tandanya?" tanya Suma Hui.
"Sutera merah ini berbeda dengan sutera merah yang kami pakai untuk membungkus
perhiasan bros itu. Dan pula, sebelum dibungkus sutera merah, ka-mi membungkusnya dengan kertas kuning lebih dulu. Akan tetapi bungkusan ini tidak ada kertas kuning-nya.
Jelaslah, ada seorang yang sengaja memalsukan-nya.
"Akan tetapi, apa maksudnya?" tanya Kao Cin Liong.
"Hemm, kalau benar demikian, maksudnya sudah jelas!" kata Suma Ceng Liong. "Pertama, untuk mengacaukan pesta, ke dua untuk mengadu domba. Kita cari dan tangkap dia selagi masih berada di si-ni!" Pendekar ini bangkit.
"Nanti dulu!" tiba-tiba Sim Houw berkata.
"Saya harap cuwi tidak tergesa-gesa dalam hal ini. Sudah jelas bahwa di antara para tamu terdapat seo-rang atau lebih musuh yang bergerak secara rahasia. Di antara sekian banyaknya tamu, bagaimana kita da-pat mengetahui yang mana orangnya" Tidak ada bukti apapun padanya dan dia yang menukar bing-kisan tadi tentu tidak begitu bodoh untuk membiar-kan bingkisan itu masih ada padanya kalau dilaku-kan penggeledahan. Kita akan gagal, bahkan mung-kin sekali menyinggung perasaan para tokoh yang tidak berdosa. Juga berarti kita mengejutkan ular yang berada di dalam rumput dan semak-semak kalau kita menggebrak rumput dan semak-semak itu. Kalau hendak menangkap ular yang bersembu-nyi di dalam rumput, harus dengan hati-hati jangan sampai dia kaget dan siap siaga."
Suma Ceng Liong mengangguk-angguk. "Pen-dapat ini memang tepat memang, akan tetapi aku tidak melihat lain jalan untuk dapat menangkap penculik Hong Li."
"Menangkap penculik itu adalah tugas kami ber-dua dan kami sudah menemukan jejak.
Memang sebaiknya kalau orang yang membikin kacau pesta ini dibiarkan saja agar dia tidak membuat laporan kepada atasannya. Saya yakin bahwa yang datang menukar bingkisan itu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
653 hanyalah kaki tangan penculik itu, bukan si penculik sendiri karena kalau ia yang muncul, mungkin kami berdua dapat mengenalnya," kata Bi Lan.
Mendengar ini, Kao Cin Liong dan isterinya terkejut, juga girang. "Sumoi, siapakah penculik jahanam itu?" tanya Kao Cin Liong.
"Suheng, kami memperoleh petunjuk ketika melakukan perjalanan dari Gurun Pasir, tentang se-orang wanita berjuluk Sin-kiam Mo-li. Ia adalah anak angkat dari mendiang Kim Hwa Nio-nio, dan menurut pendengaran kami, ia selain amat lihai da-lam ilmu silat, juga pandai ilmu sihir. Kami hendak menyelidik ke sana dan mudah-mudahan kami ber-hasil. Sebaiknya, urusan penukaran bingkisan ini tidak dibikin ribut agar penculik itu tidak menjadi terkejut dan siap siaga sehingga menyusahkan kita serdiri untuk mencarinya."
"Hemmm, kalau begitu, aku akan ikut memban-tumu, sumoi!" kata Bi-kwi. "Urusan ini sekarang menjadi urusanku pula karena aku telah dilibatkan orang sehingga namaku dicemarkan dan aku yang dituduh menculik. Untuk membersihkan ini, tidak ada jalan lain kecuali aku bertindak menangkap si penculik." Lalu ia berkata kepada Yo Jin, "Suami-ku, kuharap engkau pulang sendiri terlebih dulu, aku harus membantu sumoi dan Sim-taihiap untuk menangkap penculik."
Yo Jin mengerutkan alisnya, menarik napas pan-jang dan menggeleng kepala, lalu berkata,
"Sebe-narnya hatiku amat berat melepas engkau pergi, is-teriku, akan tetapi aku melihat bahwa memang fit-nah itu membuat engkau terpaksa bertindak. Inilah jadinya kalau mendekati keramaian kota , ada saja urusan menyusahkan diri0!"
Suma Ceng Liong yang mendengarkan sejak ta-di, mengangguk-angguk. " Mudah-mudahan saja dugaan semua itu benar. Memang jelaslah bahwa penculik itu sengaja hendak
menyusahkan keluarga kita. Pertama dengan menculik Hong Li, kemudian berusaha mengadu domba dan mengacau pesta. Karena Hong Li merupakan keturunan dari Pulau Es dan Gurun Pasir, maka si penculik itu tentulah seorang yang memusuhi kedua keluarga itu, atau setidaknya satu di antaranya. Kalau yang disebut Sin-kiam Mo-li itu anak angkat mendiang Kim Hwa Nio-nio, memang kuat alasannya kalau ia memusuhi kita. Akan tetapi, sebaiknya kalau kita semua turun tangan menyerbu ke tempat tinggalnya."
"Saudara Suma Ceng Liong, saya kira hal itu tidak perlu karena kami baru menduga saja, belum ada bukti-bukti nyata bahwa Sin-kiam Mo-li penculiknya. Biarlah kami menyelidiki lebih dulu, kalau kami cukup kuat, kami akan merampas kem-bali nona Kao Hong Li, kalau kami melihat bahwa pihak musuh terlalu kuat, baru kami akan mohon bantuan cu-wi."
Kao Cin Liong mengangguk-angguk. Tentu saja sebagai ayah, dia menyetujui setiap usaha untuk menemukan kembali puterinya. "Aku percaya ke-pada kalian berdua," katanya kepada Sim Houw dan Bi Lan, "dan kalau nona Ciong suka memban-tu, itu lebih baik lagi agar hati kami tidak ragu-ragu lagi terhadap namanya."
"Agar tidak menimbulkan kecurigaan, sebaiknya kalau saya dan suami saya meninggalkan tempat ini dari belakang saja, agar para tamu mengira bahwa memang sayalah yang bersalah dan pihak tuan ru-mah telah mengambil tindakan. Hal ini penting agar orang yang melakukan penukaran bingkisan ta-di merasa telah berhasil dan melapor ke atasannya," kata Bi-kwi.
"Dan aku menunggumu di luar kota sebelah barat, sumoi," tambahnya kepada Bi Lan.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
654 Kao Cin Liong dan isterinya setuju. Kam Hong yang sejak tadi hanya menjadi pendengar saja, diam-diam merasa kagum dan bangga akan sepak terjang orang-orang muda itu.
Terutama sekali sikap Sim Houw yang demikian tenang, dan demiki-an teguh pendiriannya sehingga tidak ragu-ragu bersama Bi Lan yang menjadi calon isterinya berjan-ji tidak akan menikah sebelum menemukan kembali. Hong Li, dan pembelaan mereka terhadap Bi-kwi walaupun wanita ini pernah menjadi tokoh sesat karena mereka yakin bahwa Bi-kwi kini telah me-robah cara hidupnya dan kembali ke jalan benar.
"Pendapat dan keputusan kalian memang tepat," kata Kam Hong. "Akan tetapi kalian harus berhati-hati karena ingat, kalau ada musuh yang sengaja me-nyerang keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir dengan perbuatan rahasia dan fitnah, juga adu domba, ber-arti bahwa mereka itu telah siap siaga menyusun ke-kuatan. Karena itu, Sim Houw, dalam melakukan penyelidikan, berhati-hatilah dan kalau sekiranya keadaan pihak musuh terlalu kuat, jangan segan-segan untuk minta bantuan kedua keluarga itu."
Sim Houw memberi hormat kepada kakek per-kasa itu. "Baiklah, suhu, teecu akan mentaati se-mua pesan suhu."
Akhirnya Bi-kwi dan suaminya lebih dahulu pergi melalui pintu belakang, tanpa diketahui oleh para tamu. Baru kemudian tuan rumah dan keluar-ganya keluar ke tempat ruangan pesta.
Akan tetapi baru saja mereka keluar, terjadi keributan lain. Ter-dengar teriakan-teriakan para pelayan dan ketika keluarga itu lari ke dalam, mereka melihat seorang di antara para pelayan telah mati dengan tubuh kaku dan muka hitam. Keracunan!
"Tahan semua hidangan! Jangan dikeluarkan lagi sebelum kami periksa!" Kemudian Kao Cin Liong yang mengeluarkan perintah ini dibantu oleh para keluarga yang gagah perkasa untuk melakukan penyelidikan. Semua makanan bersih, akan tetapi ternyata guci-guci arak yang masih belum dihidang-kan, telah keracunan! Ada sepuluh guci arak yang keracunan, dan agaknya pelayan itu tadi minum se-cawan arak dari guci yang keracunan. Jelaslah bah-wa ada orang yang sengaja menaruh racun ke dalam guci-guci arak itu.
"Apakah tadi ada di antara tamu yang masuk ke sini?" tanya Kao Cin Liong.
Para pelayan itu saling bertanya dan akhirnya seorang di antara mereka teringat bahwa memang ada seorang tamu yang bercambang bauk lebat ma-suk ke situ, setengah mabok sambil membawa cawan dan sambil tertawa- tawa memuji lezatnya ma-sakan dan harumnya arak, dia minta arak karena guci di depan sudah kosong.
"Dia datang sendiri ke tempat di mana ditaruh guci-guci itu, kemudian dia keluar sambil membawa seguci arak sambil tertawa-tawa dan terhuyung-huyung setengah mabok,"
demikian antara lain pe-layan itu menerangkan. Kini ada beberapa orang pelayan lain yang juga teringat akan tamu berjeng-got dan berkumis brewok itu yang memasuki dapur dalam keadaan setengah mabok.
"Cepat ikut aku dan tunjukkan yang mana tamu itu!" kata Kao Cin Liong mengajak empat orang -pelayan itu keluar. Akan tetapi, mereka tidak me-nemukan orang brewokan itu di antara para tamu.
"Tentu dia sudah pergi," kata Kam Hong yang ikut pula mengadakan pemeriksaan dengan teliti terhadap semua makanan. "Agaknya setelah melihat bahwa usahanya yang pertama Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
655 untuk mengadu dom-ba itu tidak memperlihatkan hasil seperti yang di-harapkan, dia lalu menaruh racun ke dalam guci-guci arak itu. Aih, masih untung racun itu hanya mengorbankan nyawa seorang pelayan. Kalau sampai dihidangkan dan banyak tamu kang-ouw tewas oleh arak beracun, tentu namamu akan menjadi rusak dan keadaan benar-benar akan menjadi kacau balau."
Kao Cin Liong bergidik dan Suma Hui mengepal tinju. "Keparat jahanam!" kata Suma Hui.
"Siapa-kah orangnya yang demikian membenci kami sehing-ga melakukan perbuatan kejam dan terkutuk secara bertubi terhadap kami" Kalau saja aku tahu siapa orangnya!"
Kematian pelayan karena keracunan itu diraha-siakan dan tidak diketahui para tamu sehingga pesta itu berakhir dengan tenang. Para tamu mulai ber-pamit meninggalkan tempat itu dan tidak lupa Kao Cin Liong selain menghaturkan terima kasih, juga mengharapkan agar para tamu ikut bantu mende-ngarkan kalau-kalau ada di antara mereka dapat mengetahui di mana adanya Kao Hong Li yang le-nyap itu. Dengan adanya pesta ini, nama Kao Hong Li segera terkenal di seluruh dunia kang-ouw ka-rena menjadi pokok percakapan dan perbincangan.
Sim Houw dan Bi Lan segera berpamit dari ke-luarga itu dan memperoleh doa restu, kecuali, tentu saja, dari Hong Beng dan Suma Ciang Bun yang bagaimanapun juga masih merasa tidak puas. Hong Beng masih merasa tidak puas dan masih tetap saja ada keraguan akan kebersihan Bi-kwi, sedangkan Suma Ciang Bun yang biarpun mulai meragukan kesalahan Bi-kwi, Bi Lan dan Sim Houw karena dia tahu betapa muridnya diracuni iri hati dan cemburu, tetap saja terseret oleh sikap muridnya yang memusuhi Bi-kwi tadi. Memang tadi diapun mem-punyai dugaan bahwa Bi-kwi bersalah, apa lagi ka-rena dia pernah diserang oleh Bi-kwi yang berse-kongkol dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw sehingga hampir saja dia tewas. Kini, kembali ternyata bahwa agaknya dugaan muridnya itu keliru dan Bi-kwi bahkan telah diterima oleh kedua keluarga para pendekar itu untuk bantu mencari Hong Li sampai dapat. Namun, hati pendekar ini tidak merasa puas.
Setelah Bi Lan dan Sim Houw pergi, Suma Ciang Bun lalu mengajak muridnya untuk bicara dengan Ceng Liong dan isterinya. Tentu saja Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng merasa heran ketika Ciang Bun minta kepada mereka untuk bicara di antara mereka berempat sendiri.
Mereka memilih sebuah kamar kosong dan begitu mereka duduk di dalam kamar tertutup itu, Suma Ceng Liong tersenyum memandang kepada kakak misannya.
"Bun-ko, engkau sungguh aneh dan membikin kami merasa heran dan ingin tahu sekali! Ada urus-an apakah maka engkau bersikap begini penuh raha-sia dan mengajak kami bicara tertutup seperti ini?"
Suma Ciang Bun juga tersenyum dan legalah hati Suma Ceng Liong dan isterinya. Sikap Ciang Bun yang santai itu tidak membayangkan adanya urusan yang amat gawat, walaupun kakak itu meng-ajak mereka dalam kamar tertutup.
"Ah, hanya urusan kekeluargaan, Liong-te, akan tetapi kurang enak kalau didengar anggauta keluarga lain karena hal ini hanya menyangkut kelu-argamu dan keluargaku saja," jawab Ciang Bun.
Kini Kam Bi Eng tak dapat menahan ketawanya. Sungguh aneh kakak misan ipar ini. Jelas bahwa Su-ma Ciang Bun tidak pernah menikah, maka tentu saja tidak mempunyai keluarga selain keluarga sua-minya juga. "Aih, Bun-ko, bukankah keluargamu juga berarti keluarga Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
656 kami" Mana ada keluarga ka-mi dan keluarga Bun-ko!"
Ciang Bun juga tersenyum. "Yang kumaksud dengan keluargaku adalah aku dan muridku ini, ka-rena dia sudah kuanggap sebagai anakku sendiri, Nah, aku ingin membicarakan tentang muridku ini dan anak kalian."
Suami isteri itu saling pandang dan keduanya hampir berbareng bertanya, "Suma Lian....?"
Gu Hong Beng hanya menundukkan mukanya saja. Kalau tidak dipaksa oleh gurunya,
sampai ba-gaimanapun juga dia tentu tidak akan berani mem-buka mulut! Kini dengan jantung berdebar keras dia menanti suhunya yang mulai membuka rahasia itu.
"Aku ingin membicarakan tentang perjodohan antara Suma Lian dan muridku Gu Hong Beng ini...."
"Bun-ko....!" Ceng Liong berseru kaget dan heran, pandang matanya tajam dan terbelalak.
"Apa maksudmu" Kapankah Bun-ko mengajukan pinangan dan...."
"Anakku Lian-ji masih begitu muda, baru juga duabelas tahun lebih usianya!" Kam Bi Eng juga berseru heran.
Suma Ciang Bun mengangguk-angguk. Memang agak sukar dia mengatur kata-katanya,
maklum ka-rena selama hidupnya baru sekali ini dia bicara ten-tang perjodohan, apa lagi dia bertindak sebagai orang tua yang ingin menjodohkan muridnya yang diang-gap sehagai anaknya sendiri.
"Aku tahu.... aku tahu.... akan tetapi ikatan perjodohan antara anak kalian dan muridku telah terjadi semenjak kematian ibumu, yaitu bibi Teng Siang In, Liong-te...."
"Bun-ko, apa maksudmu" Sungguh aku tidak mengerti Ceng Liong bertanya lagi,
me-mandangi guru dan murid itu dengan heran.
"Muridku tidak berani memberitahukan kepada kalian, dia yang merasa rendah hati itu hanya berani menceritakan kepadaku. Begini, Liong-te, kalian ten-tu masih ingat ketika terjadi penculikan atas diri puterimu, Suma Lian, oleh Sai-cu Lama yang meroboh-kan bibi Teng Siang In dengan pedang Ban-tok-kiam yang dirampasnya dari gadis she Can itu."
Ceng Liong dan Bi Eng mengangguk tanpa men-jawab, mendengarkan dengan hati penuh rasa tegang.
"Nah, ketika muridku membawa ibumu pulang dalam keadaan terluka, kalian lalu melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama yang melarikan puterimu, meninggalkan bibi Teng Siang In berdua dengan Hong Beng. Dalam saat terakhirnya itulah bibi Teng Siang In meninggalkan pesan kepada Hong Beng."
"Ibuku meninggalkan pesan terakhir kepada-mu" Mengapa engkau tidak menyampaikan pesan itu kepadaku, Hong Beng?" Suma Ceng Liong ber-tanya dan menegur pemuda itu yang tidak mampu menjawab.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
657 "Maafkan muridku, Liong-te. Dia tidak berani melapor dan hanya berani menyampaikan kepadaku, itupun baru-baru saja ini dia katakan. Ibumu ber-pesan agar kelak Hong Beng suka menjadi suami anakmu, dan ia bahkan menyuruh Hong Beng meng-ucapkan janjinya untuk mematuhi pesan terakhir itu! Dan Hong Beng telah mengucapkan janji itu!"
"Aihhh....!" Suami isteri itu berseru kaget dan Suma Ceng Liong mengerutkan alisnya.
"Kena-pa ibu meninggalkan pesan seperti itu" Dan kena-pa pula engkau mau berjanji seperti itu, Hong Beng?"
"Saya.... saya tidak berani menolak permin-taan locianpwe yang sudah hampir meninggal dunia itu...." kata Hong Beng sambil menundukkan mukanya. Mendengar jawaban ini, Ceng Liong dan Bi Eng saling pandang dan merekapun tidak dapat terlalu menyalahkan Hong Beng. Pesan dan permin-taan seorang yang hampir putus nyawanya memang sukar ditolak.
"Dan dia tidak berani melaporkan kepada kali-an karena dia merasa rendah diri. Dia merasa tidak pantas menjadi calon suami puterimu, dan takut ka-lau-kalau kalian menjadi marah kalau dia menyampaikan pesan itu. Akan tetapi di samping itu, dia-pun gelisah sekali karena dia sudah berjanji kepada bibi Teng Siang In, dan dia akan selalu merasa ber-dosa kalau kelak tidak memenuhi janjinya itu. Kare-na itu, dia menjadi gelisah dan menyampaikan pesan itu kepadaku. Nah, adik Suma Ceng Liong, kurasa engkau akan cukup mengerti kalau sekarang aku minta kalian untuk membicarakan urusan perjodoh-an antara puterimu dan muridku."
Suma Ceng Liong mengangguk-angguk dan Kam Bi Eng mengerutkan alisnya. "Bun-ko,
memang tindakanmu ini wajar dan tepat. Dan kamipun bukan bermaksud untuk mengabaikan pesan ibu kandungku sendiri. Akan tetapi, engkau sendiripun tentu telah mengetahui riwayat dari pada perjodoh-an kami berdua. Pilihan orang tua akhirnya tidak cocok dan tidak jadi, dan kami memilih jodoh atas dasar pilihan hati sendiri, bukan pilihan orang tua atau siapapun juga. Oleh karena itu, sudah sejak mempunyai anak, kami suami isteri telah bersepa-kat untuk memberi kebebasan pula kepada anak kami Suma Lian. Ialah yang kelak akan menentukan dengan siapa ia akan menikah. Tak seorangpun bo-leh memaksanya, bahkan andaikata ibuku masih ada-pun, beliau tidak akan kubenarkan kalau memaksa anak kami berjodoh dengan orang yang dipilih ibu-ku."
Suma Ciang Bun mengangguk-angguk, mengerti. "Jadi kalau begitu, kalian tidak setuju kalau anak kalian Suma Lian berjodoh dengan muridku Gu Hong Beng?"
"Tidak setuju kalau perjodohan itu tidak dikehendaki oleh Suma Lian, tentu saja," kata Kam Bi Eng yang membenarkan keputusan suaminya itu.
"Bagaimana kalau kelak Suma Lian setuju ber-jodoh dengan Gu Hong Beng?" desak Suma Ciang Bun.
"Kalau memang kehendak anak kami demikian, tentu saja kamipun tidak merasa keberatan, Bun-ko," kata Suma Ceng Liong dengan suara mantap.
"Bagus, kita telah bicara dengan hati terbuka. Nah, Hong Beng. Sekarang tidak ada yang perlu kaususahkan. Pesan terakhir mendiang bibi Teng Siang In kini telah kita sampaikan kepada orang tua Suma Lian dan merekapun setuju kalau anak itu ke-lak suka
menjadi jodohmu. Kini bebaslah penang-gungan hatimu. Kalau kelak Suma Lian suka menja-di isterimu, berarti engkau telah memenuhi pesan terakhir bibi Teng Siang In dan ayah Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
658 ibu anak itu tidak akan menghalangi dan akan menyetujuinya sehingga semua akan berjalan dengan lancar. Akan tetapi, andaikata Suma Lian tidak setuju dan meno-lak untuk menjadi isterimu, maka tentu saja tali perjodahan itu gagal, akan tetapi kegagalan itu bu-kan karena kesalahanmu sehingga engkau tidak perlu merasa berdosa kepada bibi Teng Siang In."
Hong Beng cepat menghaturkan terima kasih kepada suhunya, juga kepada Suma Ceng Liong dan isterinya. Hatinya memang terasa lega bukan main. Ketika dia berjanji di depan nenek itu dalam saat terakhir, dia terpaksa sekali dan setelah berjanji, dia merasa terikat. Kini, ikatan itu melonggar dan da-danya terasa lega. Tinggal mudah saja baginya. Dia akan menanti sampai Suma Lian menjadi seorang gadis dewasa, sekitar lima enam tahun kemudian, lalu dia akan menemui gadis itu, menceritakan ten-tang pesan terakhir nenek Teng Siang In dan meli-hat bagaimana sikap dan tanggapan Suma Lian. Ka-lau gadis itu setuju, berarti dia akan menjadi suami gadis itu, mantu dari pendekar Suma Ceng Liong, suatu hal yang merupakan penghormatan besar se-kali baginya. Kalau sebaliknya gadis itu menolak, maka dia akan bebas dari janjinya terhadap pesan nenek itu dan dia akan bebas berjodoh dengan wa-nita manapun juga tanpa merasa berdosa dan me-langgar janji.
Akhirnya keluarga keturunan Pulau Es dan Gu-run Pasir itu saling berpisah dan kembali Kao Cin Liong dan isterinya ditinggal berdua saja, melamun dan terbenam kedukaan kehilangan anak mereka walaupun kini mereka mempunyai harapan karena Pendekar Suling Naga sendiri bersama Bi Lan dan dibantu oleh Bi-kwi pula, yang akan mencari anak mereka sampai dapat.
Mereka percaya penuh akan kemampuan Pendekar Suling Naga Sim Houw, apa lagi dibantu oleh dua orang wanita yang memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi itu. Mereka ha-nya dapat menanti, dan berdoa.
"Lihat baik-baik, Hong Li, hari ini akan ada pertunjukan yang amat menarik hati," kata Sin-kiam Mo-li setelah mengajak muridnya meloncat naik ke atas menara. Kini, setelah memperoleh gemblengan setiap hari dari Sin-kiam Mo-li, gadis cilik itu te-lah mampu melompat naik ke atas menara itu, bah-kan di atas menara itu ia diajar untuk berlatih sama-dhi oleh gurunya.
"Apakah akan terjadi penyerbuan lagi seperti yang dilakukan lima orang tempo hari, subo?"
ta-nya Hong Li sambil memandang ke sekeliling. Dari menara itu, nampaklah seluruh daerah kekuasaan gurunya. Rumah tempat tinggal mereka yang dike-lilingi semak-semak belukar dan hutan-hutan kecil buatan yang aneh-aneh, yang penuh dengan jebak-an rahasia dan perangkap-perangkap maut, pasir dan lumpur maut yang mengerikan. Dari atas menara itu Hong Li dapat melihat sampai jauh ke bawah, ke kaki bukit dan sampai ke luar hutan-hutan buatan yang penuh jebakan itu. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu yang luar biasa. Daerah sekitar tempat itu nampak seperti biasa, sunyi saja dan hanya bu-rung-burung yang beterbangan dari pohon ke pohon.
"Aku tidak melihat apa-apa, subo," katanya.
"Bukan ke situ, lihatlah ke sungai sana."
Hong Li menengok ke kiri dan terkejutlah ia melihat lima buah perahu menyusuri Sungai Cin-sa. Ia tadi hanya memperhatikan daerah daratan saja, sama sekali tidak memperhatikan sungai itu. Di da-lam lima buah perahu itu terdapat orang-orang yang jumlahnya semua tigapuluh dua orang! Tidak dapat ia melihat dengan jelas keadaan orang-orang itu walaupun ia dapat menghitung mereka dengan mudah. Kini tepat di bagian yang paling dekat de-ngan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
659 tempat tinggal subonya, lima buah perahu itu minggir dan semua orang berloncatan ke darat, me-nyeret perahu-perahu itu naik ke atas daratan,
"Hemm, mereka tentu orang-orang Cin-sa-pang yang tolol!" Hong Li mendengar subonya berkata. "Dan sekarang agaknya mereka dibantu dua orang kakek pandai, entah pimpinan mereka sendiri ataukah orang lain."
Hong Li memandang penuh perhatian dan kini iapun melihat bahwa semua orang telah berkumpul, membuat lingkaran mengelilingi tiga orang yang se-dang bercakap-cakap dengan dua orang kakek. Melihat betapa tiga orang itu berdiri berhadapan dengan dua orang kakek, Hong Li dapat mengerti apa yang dimaksudkan subonya. Agaknya tiga orang itu tentu para pimpinan Cin-sa-pang dan dua orang kakek itulah yang oleh gurunya disebut dua orang kakek pandai. Dilihat dari atas menara, mudah di-duga bahwa para pimpinan itu sedang mengadakan perundingan, mereka itu mungkin sedang mengatur siasat untuk menyerbu ke atas. Hong Li merasa be-tapa jantungnya berdebar saking tegangnya. Teri-ngat ia akan lima orang penyerbu dan diam-diam ia bergidik. Jangan-jangan subonya juga akan mem-bunuh tigapuluh dua orang pendatang itu!
Seolah-olah dapat membaca jalan pikirannya, terdengar Sin-kiam Mo-li berkata, "Orang-orang Cin-sa-pang sungguh tolol dan jahat, berani sekali memusuhi aku yang hidup tenteram di tempat ini."
"Subo, sebenarnya mengapa mereka itu memu-suhi subo?" Hong Li bertanya, teringat betapa li-ma orang Cin-sa-pang telah dibunuh subonya. "Maksudku, lima orang Cin-sa-pang yang dahulu itu, karena yang sekarang ini tentu ingin membalas atas kematian atau hilangnya lima orang pertama."
Gurunya mengangguk-angguk. "Engkau benar, tentu saja mereka itu datang menyerbu karena kehi-langan lima orang teman mereka itu dan mereka dapat menduga bahwa lima orang itu tentu tewas di sini. Adapun lima orang dahulu itu, ahh, apa lagi yang mereka kehendaki kecuali niat buruk terhadap kita" Mereka adalah penjahat-penjahat dan agak-nya mereka mendengar bahwa yang tinggal di sini hanyalah wanita-wanita cantik tanpa pria dan ten-tu mereka membayangkan bahwa kita mempunyai banyak harta. Mereka menyerbu untuk
merampok dan memperkosa, apa lagi! Engkau tentu masih ingat betapa jahatnya mereka.
Seorang di antara mereka kauselamatkan dari ancaman bahaya, dan apa yang telah dia lakukan sebagai balasan" Dia menawanmu!"
Hong Li bergidik. Alangkah jahatnya orang-orang itu, pikirnya. Sama sekali ia tidak tahu bahwa subonya menyembunyikan kenyataan yang berlainan sama sekali dari apa yang dikatakannya tadi. Cin-sa-pang adalah perkumpulan orang-orang yang kasar. Mereka adalah nelayan-nelayan, juga bajak-bajak sungai, dan "pemungut pajak paksaan" dari para nelayan dan petani di sepanjang Sungai Cin-sa. Perkumpulan ini diketuai seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun bernama Louw Pa, seorang be-kas bajak laut tunggal yang dapat
mengumpulkan para bajak laut, menundukkan mereka dan mendiri-kan perkumpulan Cin-sa-pang itu. Louw Pa ada-lah seorang ahli silat yang cukup tangguh, terkenal dengan julukan Cin-sa Pa-cu (Macan Tutul Sungai Cin Sa), mungkin karena wajahnya yan bopeng dan totol-totol, tubuhnya tinggi kurus dan dia lihai se-kali memainkan sepasang golok besar.
Louw Pa mempunyai seorang anak laki-laki berusia duapuluh tahun lebih yang berwajah tampan, dan bertubuh gagah, bernama Louw Heng Siok,
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
660 Pada suatu hari, ketika Louw Heng Siok sedang naik perahu memancing ikan seorang diri dan pera-hunya tiba di dekat tempat tinggal Sin-kiam Mo-li, wanita ini melihatnya dan tergeraklah hatinya. Bi-arpun ia bukan seorang yang gila laki-laki, namun kehidupan yang kesepian dari wanita ini membuat ia sekali waktu suka mencari hiburan dan setiap kali bertemu dengan pria yang menarik hatinya, tentu ia mempergunakan kecantikan dan kepandai-annya untuk memikat hati pria itu dan memaksanya menjadi kekasihnya untuk beberapa hari, beberapa minggu atau beberapa bulan saja. Setelah ia merasa bosan, ia akan membunuh pria itu agar jangan mengabarkan hal-hal yang memalukan tentang diri-nya.
Demikianlah, ketika melihat Louw Heng Siok, Sin-kiam Mo-li merasa tertarik dan tanpa kesu-karan ia berhasil memikat hati pemuda itu karena Louw Heng Siok juga bukan seorang pemuda alim.
Bagaikan seekor laba-laba berhasil menangkap seekor lalat, Sin-kiam Mo-li membawa pemuda itu ke sarangnya dan seperti biasa, setelah ia kekenyang-an mengisap darahnya dan menjadi bosan, pemuda itu dibunuhnya dan dilemparkannya ke dalam lum-pur maut sehingga lenyap tanpa bekas. Hal itu ter-jadi beberapa bulan sebelum ia menculik Hong Li.
Biarpun pembunuhan itu tidak meninggalkan je-jak, namun akhirnya Louw Pa yang
kehilangan pute-ranya, merasa curiga. Lima orang anak buahnya melakukan penyelidikan dan merekapun lenyap di tempat yang penuh rahasia itu. Louw Pa sudah melakukan penyelidikan dan mendengar bahwa di bukit yang berada di kaki Pegunungan Heng-tuan-san itu tinggal seorang wanita cantik yang berjuluk Sin-kiam Mo-li, dan dia merasa yakin bahwa wanita inilah yang telah melenyapkan puteranya. Apa lagi ketika lima orang anak buahnya yang melakukan penyelidikan juga lenyap, hatinya penuh dengan kemarahan dan diapun
mengumpulkan semua anak buahnya yang berjumlah tigapuluh orang termasuk dia dan dua orang pembantunya. Bahkan dia lalu minta bantuan dua orang temannya yang menjadi bajak di Sungai Lan-cang (Me-kong), yaitu dua kakek yang kini sudah datang bersama dia dan anak buahnya.
"Kalau kau ingin nonton pertunjukan, kau tinggallah saja di sini menjadi penonton," kata Sin-kiam Mo-li kepada muridnya. "Aku akan mengajak tiga pelayanku untuk menyambut para penyerbu itu!" Berkata demikian, Sin-kiam Mo-li lalu meloncat turun dari atas menara.
Gerakannya demikian ri-ngan seperti seekor burung yang terbang saja, di-ikuti pandang mata muridnya penuh kagum. Hong Li merasa amat kagum kepada wanita yang menja-di ibu angkatnya dan juga gurunya itu, menganggap-nya seorang wanita cantik jelita, lemah lembut, dan berhati baik di samping ilmu kepandaiannya yang amat tinggi. Kadang-kadang ia suka membanding-kan gurunya dengan orang tuanya. Ia tidak tahu sia-pa yang lebih lihai antara gurunya dengan mereka.
Kini ia melihat betapa gurunya diikuti oleh Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio keluar dari dalam rumah menuju ke pantai di mana para penyerbu itu tadi ber-kumpul. Dari menara itu ia dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di bawah sana. Orang-orang Cin-sa-pang itu ternyata kini dibagi menjadi dua kelompok dan masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang di antara dua kakek itu. Kelompok per-tama yang disertai oleh pimpinan Cin-sa-pang me-nyerbu dari arah sungai itu, yaitu dari timur sedang-kan kelompok ke dua mengambil jalan memutar, dan memasuki daerah berbahaya itu dari arah selatan.
Dengan jantung berdebar Hong Li melihat dari atas menara betapa gurunya dan tiga orang pelayan-nya itu menyelinap dan menuju ke bagian timur, me-nyelinap di antara pohon dan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
661 semak-semak belukar. Gurunya memberi petunjuk, jari tangannya menuding ke sana-sini dan tiga orang pembantu itu lalu ber-pencaran, menyelinap di antara pohon-pohon. Pe-dang telanjang mengkilat di tangan tiga orang wanita pembantu yang cantik-cantik akan tetapi juga lihai itu. Diam-diam Hong Li merasa ngeri. Ia tahu bah-wa akan terjadi pembunuhan-pembunuhan lagi dan melihat demikian banyaknya jumlah lawan yang da-tang menyerbu, ia dapat membayangkan betapa tem-pat itu akan menjadi tempat pembantaian dan banyak sekali darah akan mengalir dan mayat bertumpuk-tumpuk walaupun semua mayat dapat dilempar ke dalam kubangan lumpur atau pasir dan akan lenyap tanpa meninggalkan bekas. Ia bergidik.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dan Hong Li melihat seorang di antara anggauta rombongan pe-nyerbu, terperosok ke dalam pasir berputar! Nah, sudah mulai, pikirnya dengan hati penuh kengerian. Dari menara itu ia melihat betapa orang yang terpero-sok itu meronta-ronta dan sebentar saja tubuhnya sudah tersedot pasir sampai ke dada. Akan tetapi, kakek yang memimpin rombongan itu ternyata cerdik juga. Ia telah mengambil segulung tali yang agaknya memang sudah dipersiapkan dan melemparkan ujung tali ke arah orang yang terperosok. Orang itu me-nangkap ujung tali dan diapun ditarik keluar dari ku-bangan pasir maut. Hong Li menarik napas lega. Be-tapapun jahatnya orang-orang itu, hati kecilnya tidak menyetujui niat subonya yang agaknya hendak mem-bunuh mereka semua. Biarpun ia suka sekali mempe-lajari ilmu silat, namun ia tidak suka melihat pembu-nuhan, apa lagi kalau pembunuhan itu dilakukan ha-nya karena urusan sepele saja. Kalau para penyerbu itu memang jahat, ia lebih suka melihat gurunya menghajar mereka saja tanpa membunuh.
Pembunuhan mendatangkan suatu rasa ngeri dalam hatinya.
Kini kakek yang memimpin rombongan itu, yang jenggotnya putih panjang, memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menyerbu terus dan jangan takut menghadapi jebakan-jebakan! Kini melihat betapa seorang temannya yang tadi terjebak dapat ditolong keluar, anak buah Cin-sa-pang itu menjadi berani dan mereka menggunakan golok untuk membabati semak-semak yang menghadang di depan mereka. Berhamburanlah daun-daun dan semak-semak dan Hong Li mengerutkan alisnya. Celaka, pikirnya, orang-orang itu merusak tumbuh-tumbuhan dan tempat tinggal gurunya akan menjadi buruk dan ru-sak keindahannya.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar teriakan-teriak-an dan empat orang di antara rombongan itu roboh, berkelojotan dan tidak mampu bangun kembali. Ka-kek berjenggot panjang dan anak buahnya yang lain terkejut, cepat memeriksa dan mereka terkejut meli-hat bahwa empat orang itu ternyata telah tewas dan di leher mereka nampak luka kecil menghitam dan di dalam luka itu masih nampak ujung sebatang jarum yang telah seluruhnya masuk ke dalam leher!
Jelas-lah bahwa empat orang itu tewas karena serangan senjata gelap, jarum-jarum beracun yang amat ber-bahaya.
"Awas senjata rahasia!" teriak kakek itu dan sisa anak buahnya yang tinggal sebelas orang itu bersiap siaga dengan golok di tangan. Akan tetapi yang muncul bukan senjata rahasia, melainkan empat orang wanita yang tadi melepas jarum-jarum beracun itu. Sin-kiam Mo-li dan tiga orang pembantunya sudah berloncatan keluar dari balik semak-semak. Sin-kiam Mo-li marah bukan main melihat rombongan itu membabati tumbuh-tumbuhan di situ.
Kakek berjenggot putih panjang, bajak tunggal yang lihai dari Lan-cang itu segera berseru,
"Inilah siluman itu!" Dan diapun sudah menggerakkan pe-dangnya menyerang Sin-kiam Mo-li.
Sedangkan Louw Pa yang berjuluk Cin-sa Pa-cu, sudah memberi aba-aba kepada anak Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
662 buahnya untuk menyerbu. Dia sendiri juga menggerakkan sepasang goloknya, membantu si kakek berjenggot panjang untuk mengeroyok Sin-kiam Mo-li. Anak buahnya yang tinggal sepuluh orang lagi itu kini menerjang tiga orang wanita cantik yang berpakaian merah, putih, dan hitam dan segera terjadi perkelahian yang amat seru.
Melihat serangan pedang kakek berjenggot putih, Sin-kiam Mo-li mengeluarkan suara mendengus penuh ejekan dari hidungnya. Biarpun kakek itu ter-masuk seorang bajak tunggal yang lihai, namun me-lihat gerakan pedangnya, Sin-kiam Mo-li maklum bahwa kepandaian kakek itu tidak ada artinya bagi-nya. Dengan amat mudahnya iapun mengelak dari sambaran pedang. Louw Pa, ketua Cin-sa-pang sudah menggerakkan sepasang goloknya. Juga
meng-hadapi serangan sepasang golok ini, Sin-kiam Mo-li dengan mudahnya meloncat mundur untuk mengelak. Ketika dua orang lawannya itu menerjang lagi, Sin-kiam Mo-li sudah mencabut pedangnya dan begitu sinar pedang ini berkelebat, terdengar suara nyaring dan sepasang golok di tangan Louw Pa patah-patah!
Louw Pa menjadi pucat sekali dan dia sudah siap untuk meloncat ke belakang, namun terlambat. Ada sinar terang menyambar dan tahu-tahu tubuhnya sudah terjungkal dengan kepala terpisah dari tubuh-nya dan darah muncrat-muncrat dari leher yang terbabat putus oleh pedang di tangan Sin-kiam Mo-li itu! Melihat ini, tentu saja kakek berjenggot pu-tih terkejut bukan main. Tingkat kepandaian Louw Pa hanya sedikit selisihnya dengan kepandaiannya dan dalam segebrakan saja Louw Pa tewas dengan leher putus! Maklumlah dia bahwa wanita itu sungguh lihai bukan main, akan tetapi hal ini sudah terlambat diketahuinya dan tidak ada lain jalan baginya kecuali memutar pedangnya dan menyerang dengan dahsyat.
"Tranggg.... krekkk!" Kembali pedang di tangan bajak laut itu patah dan sebelum dia sempat mengelak, pedang di tangan Sin-kiam Mo-li sudah terbenam ke dalam dadanya! Sin-kiam Mo-li mencabut pedangnya sambil menendang tubuh di depan-nya itu. Tubuh kakek itu terlempar diikuti ceceran darah dari dadanya dan tubuhnya terlempar masuk ke dalam kubangan lumpur. Sebentar saja ular-ular sudah menyeretnya tenggelam ke dalam lumpur itu.
Melihat betapa tiga orang pelayannya dikepung oleh sepuluh orang anak buah Cin-sa-pang, dengan geram Sin-kiam Mo-li menerjang maju, pedangnya berkelebatan dan berturut-turut terdengar orang menjerit dan empat orang di antara para pengeroyok itu roboh mandi darah terkena sambaran pedang Sin-kiam Mo-li. Menggiriskan sekali memang gerakan pedang wanita ini, dahsyat dan panas sehingga tidak mengherankan kalau ia dijuluki Iblis Betina Pedang Sakti.
Pada saat itu, di bagian selatan nampak ada asap tebal bergulung-gulung. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li terkejut dan tahulah ia bahwa rombongan ke dua telah beraksi. Melihat bahwa jumlah pengeroyok tinggal enam orang dan tiga orang pelayannya cukup kuat untuk mengatasi enam orang itu, Sin-kiam Mo-li berkata kepada mereka, "Bunuh mereka semua, ja-ngan sampai ada yang lolos!" Setelah berkata demi-kian iapun meloncat dan berlari cepat menuju ke tem-pat kebakaran di selatan.
Dari atas menara, Hong Li nonton semua itu dan mukanya berubah agak pucat, alisnya berkerut dan hatinya diliputi kengerian. Ia tadi melihat betapa gurunya menyebar maut dan masih bergidik ia melihat orang tinggi kurus yang memegang sepasang golok itu dibabat buntung lehernya oleh pedang subonya. Meli-hat pembantaian itu, beberapa kali ia memejamkan matanya dan hatinya terasa kacau dan gelisah. Rasa sayang yang mulai tumbuh di dalam hatinya terhadap subonya kini menjadi dingin. Tak disangkanya, subo-nya yang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
663 demikian ramah tamah, lemah lembut dan nampaknya penuh kasih sayang, dapat bertindak se-kejam itu, membunuhi orang seperti membunuh nya-muk saja! Pada hal, sejak kecil ayah dan ibunya se-lalu mengajarnya agar menjadi seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, bukan menjadi pembunuh manusia mengandalkan ilmu silat yang di-pelajarinya.
Bahkan ayah bundanya selalu mencela perbuatan orang yang menggunakan ilmu silat sembarangan membunuh orang lain. Antara lain ayahnya pernah berkata bahwa mungkin sekali kita membu-nuh orang lain dalam usaha membela diri dan mem-basmi kejahatan, akan tetapi bukan membunuh dengan tangan dingin terhadap lawan yang tidak mampu melawan.
Membunuh untuk menghindarkan diri dari ancaman maut dan membunuh untuk
menghindarkan perbuatan jahat dilakukan orang, berbeda dengan membunuh lawan yang tidak berdaya atau tidak mampu melawan. Dan subonya tadi membunuhi la-wan yang jelas bukan menjadi lawannya. Baru sege-brakan saja subonya telah membunuh tujuh orang berikut yang diserang dengan jarum beracun, dan kini tiga orang pelayan itu sedang berusaha keras untuk membunuh enam orang lagi, setelah merekapun sudah membunuh tiga orang lawan dengan jarum mereka.
Akan tetapi perhatian Hong Li tertarik oleh gerakan subonya yang berlari cepat menuju ke selatan. Di sana ia melihat rombongan yang lain dari orang-orang Cin-sa-pang sedang membabati semak-semak, bahkan menumbangkan pohon-pohon dan sebagian malah
membakar semak-semak! Ada pula tadi di antara mereka yang terperosok ke dalam kubangan lumpur dan pasir maut, namun teman-temannya, dipimpin oleh kakek berkepala botak, menyelamatkan mereka yang terperosok itu dengan tali. Dan kini, sambil membabat dan membakar sana-sini, rombongan ini terus maju menuju ke rumah yang nampak gen-tengnya dari tempat mereka merusak tumbuh-tum-buhan itu.


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkele-bat dan tahu-tahu seorang wanita cantik yang me-megang pedang telah berada di depan mereka. Wanita cantik itu mengerutkan alisnya dan memandang dengan sepasang mata berkilat-kilat.
Akan tetapi hal lain yang menarik perhatian Hong Li. Agaknya hanya ia seorang yang dapat melihat munculnya belasan orang dari arah selatan. Belasan orang ini berpakaian putih-putih dan di depan mere-ka berjalan tujuh orang yang berpakaian seperti pen-deta dengan jubah panjang, rambut panjang digelung tinggi di atas kepala dan dari jauh saja Hong Li dapat menduga bahwa tujuh orang itu, yang bentuk tubuh-nya berbeda-beda, tentulah pendeta-pendeta To sedangkan belasan orang berpakaian seragam putih itu berjalan berpasangan seperti sebuah pasukan kecil! Ketika tiba di luar hutan yang menjadi batas daerah tempat tinggal subonya, rombongan orang itu ber-henti, kemudian hanya tujuh orang pendeta itu yang terus memasuki hutan dan diam-diam Hong Li ter-kejut melihat betapa tujuh orang pendeta itu amat lihainya, meloncati begitu saja tempat-tempat jebakan dan kubangan-kubangan maut seolah-olah mereka telah hafal akan keadaan di tempat itu. Dan tak lama kemudian tujuh orang pendeta itu telah mendekati tempat di mana subonya sedang
berhadapan dengan rombongan orang Cin-sa-pang.
Dengan kemarahan meluap melihat tempatnya dirusak orang, Sin-kiam Mo-li membentak,
"Orang-orang Cin-sa-pang, kalau hari ini aku tidak dapat menumpas kalian semua, jangan sebut aku Sin-kiam Mo-li!"
Melihat munculnya wanita ini, kakek botak yang memimpin pasukan orang Cin-sa-pang itu mem-beri aba-aba dan belasan orang itu lalu mengepung Sin-kiam Mo-li. Sebelum Sin-kiam Mo-li ber-gerak, tiba-tiba terdengar suara orang dan ternyata di situ telah muncul tujuh orang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
664 tosu. "Siancai, Sin-kiam Mo-li yang gagah perkasa tak perlu turun tangan sendiri. Pinto dan teman-teman akan membasmi tikus-tikus kurang ajar ini!" Sebelum Sin-kiam Mo-li sempat menjawab, tujuh orang itu telah menerjang. Mereka semua bertangan kosong menerjang kepungan itu dari luar. Orang-orang Cin-sa-pang terkejut dan menggerakkan golok untuk menyambut, akan tetapi mere-ka itu seperti sekumpulan laron melawan api saja. Dalam beberapa gebrakan saja, enambelas orang termasuk kakek botak telah roboh semua terkena tamparan-tamparan tangan tujuh orang tosu tadi. Demikian mudahnya tujuh orang tosu itu memukul roboh dan menewaskan enambelas orang itu sehing-ga Sin-kiam Mo-li sendiri terkejut dan kini ia memandang kepada tujuh orang tosu itu dengan alis berkerut, penuh curiga, juga khawatir karena ia maklum bahwa kalau ia harus melawan tujuh orang tosu ini, tentu berbahaya karena mereka ini adalah lawan lawan berat, bukan seperti orang-orang Cin-sa-pang yang tak tahu diri itu.
"Hemm, siapakah cu-wi totiang (bapak pende-ta sekalian), dan mengapa mencampuri urusanku tanpa kuminta?" Sikapnya cukup hormat akan te-tapi juga tegas dan mengandung teguran-teguran karena hatinya merasa tidak senang bahwa ada orang-orang yang
memperlihatkan kepandaian me-nolongnya, seolah-olah ia tadi terancam bahaya dan tidak akan mampu menolong diri sendiri.
Seorang di antara mereka, kakek tinggi kurus berwibawa yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, membawa sebatang tongkat yang setinggi tubuhnya, kakek yang usianya sudah tujuhpuluh tahun lebih namun masih nampak segar dan penuh semangat, segera menjura.
"Sin-kian Mo-li, ha-rap maafkan pinto sekalian. Sudah lama pinto seka-lian mendengar nama besar toanio (nyonya), akan tetapi belum sempat berkenalan. Kebetulan kami lewat bersama teman-teman dan timbullah keingin-an untuk bertamu dan menyampaikan hormat kami.
Melihat toanio dihadapi orang-orang kurang ajar itu, kami sebagai tamu merasa berkewajiban untuk turun tangan, mewakili toanio menghajar mereka.
Harap mau memaafkan kelancangan kami dan menganggap hal itu sebagai uluran tangan persahabatan kami."
Sin-kiam Mo-li merasa senang melihat sikap yang hormat dari kakek itu, dan kini ia dapat meli-hat tanda gambar pat-kwa di dada kakek itu, dan gambar bunga teratai di dada beberapa orang kakek lain. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan tosu-tosu dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, dua perkumpulan yang amat besar pengaruhnya, memiliki banyak orang pandai, pandai silat dan pandai sihir, dan mereka terkenal sebagai pemberontak-pemberontak yang menentang pemerintah. Maka, iapun tidak berani main-main. Lebih baik bersahabat dari pada bermusuhan dengan orang-orang seperti mereka. Pula, mereka sudah memperlihatkan sikap bersahabat, maka iapun membalas penghormatan mereka.
"Terima kasih, cu-wi totiang baik sekali. Tidak tahu ada urusan penting apakah yang membawa cuwi datang mengunjungi tempatku yang sunyi ter-pencil ini."
"Toanio, bagaimana kalau kita bicara saja di dalam rumah" Kami membawa bahan
percakapan yang amat penting."
Pada saat itu, muncullah Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio. Mereka telah selesai pula membunuh enam orang sisa rombongan musuh yang tadi diting-galkan Sin-kiam Mo-li.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
665 Melihat tiga orang pela-yannya, Sin-kiam Mo-li cepat bertanya.
"Bagaimana dengan musuh-musuh itu?"
"Semua sudah tewas dan mayat-mayatnya sudah kami lenyapkan," kata Ang Nio.
"Bagus, sekarang Pek Nio dan Hek Nio me-nyingkirkan mayat-mayat ini, dan engkau Ang Nio ikut bersamaku menyambut para tamu! Marilah, cuwi totiang, kita bicara di dalam rumah saja," ka-tanya mempersilahkan tujuh orang tosu itu. Dengan wajah gembira tujuh orang pendeta itu mengikuti Sin-kiam Mo-li dan beberapa orang di antara me-reka tadi memandangi tiga orang pelayan cantik itu dengan mata mengandung gairah.
Sementara itu, Hong Li yang menyaksikan pem-bunuhan yang dilakukan oleh rombongan tosu itu, menjadi semakin ngeri dan heran. Bagaimana ada pendeta-pendeta yang demikian kejamnya, dalam waktu singkat membunuh enambelas orang demiki-an mudahnya dengan pukulan-pukulan tangan dan tendangan kaki mereka. Selain lihai bukan main, juga para pendeta itu ternyata amat ganas dan ke-jam, hal yang sama sekali tidak dimengertinya.
Menurut apa yang diceritakan ayah bundanya, para pendeta adalah orang-orang yang taat beragama, yang menjauhkan perbuatan jahat. Akan tetapi mengapa sejak pertemuannya dengan Ang I Lama, juga seorang pendeta, sampai sekarang melihat tu-juh orang tosu itu, para pendeta itu demikian jahat-nya" Dan bagaimana pula subonya yang dianggap sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, kini mau menerima bantuan para pendeta kejam itu, bahkan kini mengajak tujuh orang pendeta itu me-nuju ke rumah sebagai tamu yang dihormati" De-ngan hati mengandung perasaan tak enak dan pena-saran, Hong Li turun dari menara itu dan masuk pula ke dalam rumah.
Setelah tiba di dalam, ia langsung menuju ke ruangan dalam di mana ia mendengar suara para pendeta itu bercakap-cakap dengan gurunya. Ia masuk dan melihat subonya duduk bersama tujuh orang pendeta itu menghadapi sebuah meja bundar dan Ang Nio sibuk mengeluarkan arak dan hidang-an. Kembali Hong Li terkejut. Para pendeta itu minum arak pula! Dan hidangan-hidangan itupun semuanya berdaging!
Ketika mereka yang sedang bercakap-cakap itu melihat munculnya Hong Li, percakapan mereka terhenti dan Sin-kiam Mo-li berkata kepada mu-ridnya, "Hong Li, engkau. bantulah Pek Nio dan Hek Nio berjaga-jaga di luar, waspadalah kalau-kalau ada lagi musuh datang menyerbu. Jangan ma-suk ke sini sebelum kupanggil karena aku sedang membicarakan urusan penting dengan para pendeta yang terhormat ini."
Hong Li mengerutkan alisnya, sejenak meman-dang kepada tujuh orang pendeta yang kesemuanya juga menengok kepadanya "Baik, subo," katanya lalu pergi dari ruangan itu.
Akan tetapi ia masih mendengar ucapan-ucapan para tosu itu yang mem-buatnya
mendongkol. "Itu muridmu" Aih, ia cantik dan berbakat sekali!"
"Manis dan mungil!"
Dan terdengar kata-kata pujian lain yang ditu-jukan untuk memuji kecantikan dan kemanisannya. Sungguh menyebalkan, pikirnya. Biarpun pujian bahwa ia cantik manis merupakan pujian biasa, akan tetapi di dalam suara para tosu itu terkandung sesu-atu yang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
666 menyebalkan hatinya, juga pandang mata mereka tadi disertai senyum menyeringai! Seketika timbul rasa tidak suka di dalam hatinya terhadap para pendeta ini, mungkin pertama kali timbul melihat mereka membunuhi orang-orang Cin-sa-pang tadi.
Setelah keluar dari ruangan itu, Hong Li keluar dari dalam rumah, akan tetapi ia tidak pergi mencari Pek Nio dan Hek Nio. Hatinya sedang mengkal dan iapun tidak bernapsu untuk membantu dua orang itu. Ia bukan hanya kecewa dan mendongkol terhadap subonya yang membunuhi orang, terhadap tujuh orang pendeta itu, akan tetapi juga mendong-kol terhadap tiga orang pelayan yang dianggapnya juga kejam dan pembunuh-pembunuh berdarah di-ngin!
Maka ia lalu pergi ke taman bunga di bela-kang, tempat yang paling disenanginya, tempat di mana ia selalu pergi menghibur diri di waktu ia merasa rindu kepada orang tuanya. Dan sekarang- ini ia merasa amat rindu karena guncangan batin yang dideritanya menyaksikan pembantaian tadi.
Rombongan para tosu itu memimpin belasan orang anak buah Pek-lian-pai. Tujuh orang tosu itu adalah tokoh-tokoh Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, dipimpin sendiri dalam kunjungan mereka kepada Sin-kiam Mo-li oleh wakil ketua Pat-kwa-pai, yaitu Thian Kong Cin-jin. Di antara mereka terdapat pula sutenya, yaitu Ok Cin Cu tokoh Pat-kwa-pai. Adapun yang empat orang lain adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai yang dipimpin oleh Thian Kek Seng-jin, dan tiga orang adalah sutenya, Coa-ong Seng-jin si ahli ular, dan dua orang sute lain yang bernama Ang Bin Tosu si muka merah dan Im Yang Tosu yang congkak. Tujuh orang pendeta ini merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai dan mereka sengaja diutus oleh kedua pimpinan partai itu untuk meng-hubungi Sin-kiam Mo-li dan membujuk wanita sakti itu untuk bergabung dengan mereka dan mem-perkuatpasukan pemberontak mereka.
Dengan panjang lebar, para tosu itu menceritakan tentang perjuangan mereka, tentang harapan-harap-an dan pamrih yang muluk-muluk dalam gerakan mereka, sambil
memamerkan kekuatan pasukan me-reka, membujuk wanita itu untuk bergabung. Mu-la-mula Sin-kiam Mo-li merasa ragu-ragu, akan tetapi ketika diingatkan bahwa wanita ini memiliki musuh-musuh yang berpihak kepada Kerajaan Mancu, yaitu keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir, diingatkan betapa ibu angkatnya, Kim Hwa Nio-nio, juga tewas di tangan keluarga itu dan ka-lau bergabung dengan mereka maka wanita itu lebih kuat dan lebih mudah membalas dendam, akhirnya Sin-kiam Mo-li menerima uluran tangan itu. De-ngan gembira para tosu itu lalu mengatur rencana bersama Sin-kiam Mo-li, mengangkat wanita itu menjadi pemimpin pasukan yang terdiri dari angauta-anggauta kedua partai itu bersama rakyat yang dapat mereka bujuk, memimpin pasukan dan bergerak dari barat. Mereka bercakap-cakap de-ngan asyiknya sambil makan minum. Tak lama ke-mudian, para tosu yang lihai itu sudah terpengaruh arak, wajah mereka sudah menjadi merah, mereka tertawa-tawa dan kata-kata mereka semakin terle-pas bebas. Tak lama kemudian Ang Nio yang tadi hanya seorang diri saja melayani para tamu, kini di-bantu oleh Pek Nio dan Hek Nio yang sudah kem-bali setelah selesai menyingkirkan semua mayat mu-suh yang berserakan. Datangnya dua orang pelayan cantik ini menambah kegembiraan para tosu dan mereka berpesta pora dengan gembira.
*** Ketika para tosu itu membunuhi enambelas orang Cin-sa-pang, ada dua orang bersembunyi dan mengintai dari puncak sebatang pohon besar, agak jauh dari tempat itu. Kedua orang ini adalah Sim Houw dan Bi Lan. Mereka berdua sempat menon-ton pembantaian yang dilakukan tujuh orang tosu itu tanpa mampu turun tangan mencampuri karena ketika mereka naik ke atas Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
667 pohon besar dan mengintai lalu dapat melihat perkelahian itu, hampir se-mua anggauta Cin-sha-pang sudah terbunuh. Kedua orang pendekar ini bergidik penuh kengerian me-nyaksikan kekejaman itu, akan tetapi mereka juga terkejut melihat kehadiran para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw di tempat itu.
"Wah, kiranya mereka baru datang," kata Sim Houw kepada kekasihnya. "Kalau mereka sudah menggabungkan diri dengan wanita itu, keadaan di sini tentu amat kuat. Kita tidak boleh sembrono memasuki tempat ini, harus menyelidiki lebih dahu-lu apakah benar nona Hong Li berada di sini seperti yang kita duga."
Bi Lan mengangguk. "Memang berbahaya sekali tempat ini. Para tosu itu sudah amat lihai dan kalau mereka itu memilih Sin-kiam Mo-li sebagai seku-tu, tentu wanita itupun lihai bukan main. Apa lagi kalau diingat bahwa ia adalah anak angkat mendiang Kim Hwa Nio-nio yang sakti. Kita memang harus berhati-hati. Lihat itu!"
Keduanya memandang dan kini melihat betapa Sin-kiam Mo-li meninggalkan tempat itu bersama tujuh orang tosu, diikuti oleh pelayan berpakaian merah yang cantik itu. Kemudian mereka melihat betapa dua orang gadis lain, yang berpakaian serba putih dan serba hitam, juga cantik-cantik, menyeret mayat-mayat yang berserakan dan melemparkan mayat-mayat itu ke dalam dua kubangan, pasir dan lumpur. Dan mereka melihat dengan hati ngeri betapa mayat-mayat itu disedot masuk dan tengge-lam ke dalam kubangan-kubangan itu, kemudian lenyap tanpa meninggalkan bekas.
"Hemm, kubangan-kubangan itu amat berba-haya," kata Sim Houw. "Merupakan perangkap yang mengerikan, Sekali kaki terperosok, akan su-karlah untuk keluar lagi. Dan lihat, kedudukan semak-semak belukar dan pohon-pohon itu, de-mikian teratur rapi merupakan barisan yang aneh. Aku yakin bahwa tempat ini memang merupakan tempat berbahaya yang mengandung penuh rahasia dan jebakan. Lihat, bukankah pohon-pohon itu tum-buh secara teratur dan dari sini berbentuk pat-kwa (segi delapan)! Pernah aku mendengar tentang ilmu mengatur barisan yang ditrapkan untuk membuat lorong-lororg rahasia yang menyesatkan dan berbahaya. Agaknya Sin-kiam Mo-li ahli pula dalam ilmu ini. Kita selidiki dulu dari luar, baru besok menyelinap ke dalam dengan hati-hati. Sukur ka-lau tujuh orang tosu itu sudah meninggalkan tempat ini."
Dua orang pendekar itu lalu turun dan mulai melakukan penyelidikan di sekitar tempat itu.
Da-lam penyelidikan inilah mereka melihat belasan anak buah Pek-lian-pai yang bergerombol dan menanti kembalinya para pimpinan mereka yang kini menjadi tamu Sin-kiam Mo-li. Juga mereka melihat lima buah perahu kosong yang tadi dipergunakan orang-orang Cin-sa-pang untuk menyerbu tempat itu.
"Lihat itu," Sim Houw tiba-tiba menunjuk ke sebuah jalur air yang berkelak-kelok seperti ular. "Itu merupakan jalan air yang mengalir dari bukit menuju ke Sungai Cin-sa ini. Tentu air hujan yang turun ke atas bukit itu mengalir melalui jalan air itu dan kiranya jalan itulah yang paling aman."
"Akan tetapi, perlukah kita demikian berhati-hati sehingga kita harus masuk melalui jalan yang aman dan tersembunyi seperti pencuri" Koko, mengapa kita tidak masuk saja melalui jalan biasa, menghadapi semua jebakan dan terang-terangan minta bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, dan kita minta dikembalikannya Hong Li?"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
668 Sim Houw menggeleng kepala tidak setuju. "Lan-moi, kita berurusan dengan pembebasan seorang tawanan, maka kita harus berlaku hati-hati agar jangan sampai kita gagal menyelamatkan nona Hong Li. Kalau kita masuk berterang, maka terda-pat banyak bahaya.
Sin-kiam Mo-li dapat saja le-bih dahulu menyembunyikan anak itu sehingga tidak terdapat bukti bahwa ia yang menculiknya. Bahkan dapat saja ia membunuh anak itu untuk
menghi-langkan jejak., Pula, dengan adanya tujuh orang tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu, lawan kita akan menjadi semakin berat."
"Akan tetapi kita dibantu oleh suci! Ah, mana suci Siu Kwi" Kenapa ia belum juga muncul?"
"Aku di sini, sumoi!" Sesosok bayangan ber-kelebat dan Bi-kwi telah berdiri di depan mereka. Wajah wanita ini menjadi agak pucat. "Apakah kalian melihat apa yang kusaksikan tadi?" Ia ber-gidik ngeri. Ia tadi memang sengaja berpencar de-ngan Bi Lan dan Sim Houw.
Kalau kedua orang itu melakukan penyelidikan dengan jalan memutar dari barat ke selatan, lalu ke timur, Bi-kwi melakukan penyelidikan dari barat ke utara lalu ke timur dan kini mereka bertemu di sebelah timur tempat itu.
"Pembantaian yang dilakukan oleh tujuh orang tosu itu terhadap belasan orang yang menyerbu?" tanya Bi Lan.
Bi-kwi mengangguk. "Bukan cuma itu, juga di dekat sungai telah dibantai pula belasan orang. Sedikitnya tigapuluh orang yang tewas di tangan Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Ihhh, wanita itu sungguh lihai bukan main, juga memiliki kekejaman yang mengerikan!" Diam-diam Bi Lan merasa heran di dalam hatinya. Sucinya memang benar telah berubah kalau dibandingkan dengan da-hulu. Dahulu, sebelum sucinya bertemu dengan Yo Jin, perbuatan yang dilakukan oleh Sin-kiam Mo-li itu belum tentu membuat matanya berkedip, apa pula merasa ngeri! Agaknya kini perasaan hati Bi-kwi juga sudah berubah sama sekali sehingga menyaksikan perbuatan kejam dilakukan orang, wajahnya sampai menjadi pucat dan suaranya agak gemetar.
"Dan tujuh orang pendeta itupun memiliki kepandaian tinggi. Tadi kami sempat menyaksikan ketika mereka membunuh belasan orang itu. Gerak-an mereka jelas membuktikan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat tingkat tinggi yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan,"
kata Sim Houw. Bi-kwi mengangguk. "Kita harus mengatur siasat, tidak boleh bertindak sembrono karena tem-pat ini penuh dengan jebakan-jebakan berbahaya. Dulu, tiga orang suhu Sam Kwi pernah bicara ten-tang lorong rahasia yang mempergunakan bentuk pat-kwa. Sayang aku belum pernah mempelajari-nya karena ketika itu kuanggap tidak perlu. Siapa kira sekarang kita dihadapkan dengan tempat yang dilindungi oleh lorong-lorong rahasia pat-kwa yang sulit dan berbahaya."
"Sebaiknya kalau kita berunding dulu di tem-pat penginapan kita. Besok saja kita turun tangan karena sebentar lagi tentu hari menjadi gelap dan lebih berbahaya lagi masuk ke tempat seperti ini. Mudah-mudahan besok para tosu itu telah pergi sehingga gerakan kita akan berhasil tanpa banyak kesukaran," kata Sim Houw.
Dua orang wanita itu setuju dan merekapun cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke kota Te-ken di sebelah barat, kota yang kecil akan tetapi cukup ramai dan mereka bermalam di satu-satunya rumah penginapan yang ada di kota itu. Setelah tiba di tempat penginapan dan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
669 makan sore, malam itu mereka bertiga mengadakan perundingan dan mengatur siasat.
"Tidak ada lain jalan yang lebih baik," akhir-nya Bi-kwi berkata setelah mendengarkan penda-pat Sim Houw dan Bi Lan, "kecuali menggunakan siasat bersahabat. Kalau kita mempergunakan keke-rasan menyerbu, tentu anak itu akan disingkirkan lebih dulu dan kalau sudah demikian, sukarlah bagi kita untuk mencarinya. Tanpa bukti adanya anak itu, kita tidak mampu berbuat apa-apa terhadap Sin-kiam Mo-li. Maka, mengingat bahwa ia adalah anak angkat dari mendiang Kim Hwa Nio-nio, paling baik kalau aku datang berkunjung sebagai seorang sahabat, sebagai seorang dari satu golong-an."
"Akan tetapi, suci! Siapa bilang engkau satu golongan dengan orang macam Sin-kiam Mo-li yang kini bergabung dengan para pemberontak Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw" Mereka adalah orang-orang jahat, dari golongan sesat, sedangkan engkau...."
Bi-kwi melambaikan tangan. "Sudahlah, sumoi. Lupakah engkau siapa aku ini dahulu"
Memang aku telah mencuci tangan dan hatiku, akan tetapi semua ini hanya dipergunakan sebagai siasat saja. Mengingat bahwa aku adalah murid Sam Kwi, tentu ia mau menerimaku sebagai tamu, apa lagi meng-ingat bahwa aku pernah bekerja sama dengan ibu angkatnya.
Tentu ia ingin sekali mendengar dari mulutku sendiri yang dulu bekerja sama dengan Kim Hwa Nio-nio, tentang perkelahian itu dan bagai-mana ibu angkatnya tewas. Nah, sebagai tamu, aku tentu akan dapat bertemu dengan anak itu kalau memang benar anak itu berada di sana. Ia tentu tidak akan merahasiakan adanya anak itu di sana terhadapku yang sama sekali tidak akan dicuri-gainya. Kalau sudah demikian, berarti kita mem-peroleh dua keuntungan.
Pertama, akan ada kepas-tian apakah anak itu berada di sana dan ke dua, aku sudah mengenal jalan yang aman memasuki daerah itu."
Sim Houw mengangguk-angguk dan Bi Lan me-rasa girang sekali. "Ah, bagus sekali, suci.
Agak-nya memang itulah jalan terbaik bagi kita. Untung sekali bahwa engkau telah ikut membantu kami, su-ci."
"Aih, sumoi, jangan memuji dulu. Ini baru rencana, simpanlah pujianmu sampai kita berhasil."
Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam dan diam-diam Sim Houw maupun Bi Lan
melihat ke-nyataan betapa wanita yang dulunya menjadi iblis betina itu kini benar-benar telah berubah. Apalagi ketika Bi-kwi bercerita tentang Yo jin, di dalam kata-katanya itu penuh berhamburan nada cin-ta kasih yang mendalam terhadap suaminya itu se-hingga Bi Lan merasa terharu sekali.
Kebaikan tidak mungkin dilatih atau dipelajari. Kebaikan tidak mungkin dilakukan dengan sengaja karena kalau kebaikan dilakukan dengan sengaja, dengan kesadaran bahwa perbuatan itu merupakan kebaikan, maka itu bukan lagi kebaikan namanya, melainkan perbuatan yang sudah teratur dan kare-nanya berpamrih. Dan perbuatan apapun yang me-ngandung pamrih, dapatkah dinamakan kebaikan" Yang dinamakan pamrih adalah harapan untuk mencapai sesuatu demi keuntungan diri pribadi, baik itu keuntungan lahir maupun keuntungan batin.
Segala bentuk perbuatan, yang dinamakan baik maupun buruk, adalah akibat dari pada keadaan pikiran, keadaan batin. Baik buruknya setiap per-buatan ditentukan oleh keadaan batin. Oleh karena itu, bukan perbuatan yang harus dirobah, yang harus dilatih atau dipelajari karena perbuatan hanya me-rupakan akibat dari keadaan batin. Yang perlu di-robah adalah Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
670 batin sendiri, keadaan batin itu sendiri. Bukan dirobah oleh kita, karena kalau demikian, hal itu merupakan suatu perbuatan berpamrih yang lain. Bukan dirobah, melainkan BEROBAH!
Jadi, per-buatan yang dinamakan perbuatan baik tidak terpi-sah dari keadaan batin, demikian perbuatan yang dinamakan buruk atau jahat. Batinlah yang menentukan, keadaan batin yang mendorong setiap perbuatan. Kalau batin tenang dan bersih, dapat-kah kita melakukan perbuatan yang buruk dan ja-hat" Sebaliknya, kalau batin keruh dan kacau, ma-na mungkin kita dapat melakukan perbuatan bersih dan baik"
Dan batin baru dalam keadaan hening, tenang, bersih, berimbang, tegak dan lurus, bersih dan be-ning, kalau tidak dikeruhkan dan disibukkan oleh pikiran! Pikiranlah yang membentuk AKU dan si aku inilah yang merajalela mengaduk batin, dengan segala keinginannya, mengejar dan mengulang kese-nangan, mengelak dan menjauhi yang tidak menye-nangkan.
Si aku menyeret batin ke dalam lingkaran setan yang tiada berkeputusan antara baik dan bu-ruk, senang dan susah, puas dan kecewa, suka dan duka, dan setiap saat batin menjadi keruh, menjadi sumber dari segala rasa takut, marah, benci, iri, tamak, prasangka yang menjadi permainan si aku dan akhirnya hanya duka dan sengsara yang menjadi bunga kehidupan kita.
Untuk dapat menyelami semua ini, kita hanya tinggal menjenguk isi batin sendiri, mengamati batin kita sendiri saat demi saat, hidup dalam keadaan sekarang ini, menghapus yang lalu dan menyingkir-kan yang akan datang agar kita dapat sepenuhnya hidup di saat ini. Pengamatan terhadap diri sendiri lahir batin sajalah yang akan membuat kita waspa-da, tidak lagi menjadi boneka permainan nafsu, ti-dak ada lagi si aku merajalela dan yang ada hanyalah kewaspadaan dan kesadaran.
*** Belum lama setelah Sim Houw, Bi Lan dan Siu Kwi (Bi-kwi) pergi meninggalkan daerah tempat tinggal Sin-kiam Mo-li, menjelang sore, nampak-lah seorang pemuda datang ke tempat itu seorang diri saja. Pemuda berusia duapuluh satu tahun ku-rang lebih, bertubuh tegap dengan muka bersih ce-rah, tampan, dengan pakaian sederhana berwarna biru. Pemuda ini adalah Gu Hong Beng! Bagaimana pemuda itu tiba-tiba saja dapat muncul di sini"
Kiranya Hong Beng mendengar ketika Kao Cin Liong bercerita kepada Suma Ciang Bun tentang Sin-kiam Mo-li seperti yang diceritakan oleh Bi Lan betapa Bi Lan dan Sim Houw hendak melaku-kan penyelidikan kepada wanita iblis itu yang mencurigakan dan mengingat bahwa wanita itu adalah anak angkat mendiang Kim Hwa Nio-nio maka patut dicurigai sebagai penculik Hong Li untuk membalas dendam atas kematian ibu angkatnya.
Mendengar cerita tentang Sin-kiam Mo-li ini, yang menurut penuturan dalam percakapan itu ting-gal di kaki Heng-tuan-san di tepi Sungai Cin-sa tapal batas Propinsi Se-cuan, hati Hong Beng ter-tarik sekali. Penculik itu telah diketahui, dan kini Bi Lan, Bi-kwi dan Sim Houw pergi ke sana! Ha-tinya merasa tidak puas dan bahkan tidak enak. Bagaimana keluarga Kao percaya kepada tiga orang itu, terutama kepada Bi-kwi" Tidak sepatutnya dan tidak semestinya kalau tugas menyelamatkan diserahkan kepada tiga orang yang masih amat meragukan itu. Siapa tahu mereka itu bahkan akan bersekutu dengan Sin-kiam Mo-li, maklum Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
671 sama-sama sesat! Dan timbul pula rasa iri di dalam hati-nya. Sepantasnya dialah yang pergi menyelamatkan Hong Li dan mempertaruhkan nyawa untuk mem-bela keluarga itu! Bukan orang orang macam Sim Houw, Bi Lan dan Bi-kwi!
Pikiran inilah yang mendorong Hong Beng untuk berpamit kepada gurunya setelah me-reka meninggalkan Pao -teng. Kepada suhunya dia hanya mengatakan bahwa dia ingin merantau melu-askan pengetahuannya dan minta waktu selama satu tahun, baru dia akan menyusul suhunya. Suma Ciang Bun menyetujui dan merekapun saling berpisah. Setelah melakukan perjalanan seorang diri, Hong Beng mempergunakan ilmu berlari cepat me-nuju ke barat. Dia ingin mendahului Sim Houw, Bi Lan dan Bi-kwi untuk lebih dulu di tempat tu-juan dan lebih dahulu menyelamatkan Kao Hong Li.
Maka ketika pada siang hari menjelang sore itu dia tiba di tempat tujuan, dia segera akan memulai dengan usahanya mencari Hong Li, tidak tahu bah-wa baru beberapa jam yang lalu, tiga orang yang hendak didahuluinya itu baru saja meninggalkan tempat itu. Juga dia tidak tahu bahwa kini di ru-mah Sin-kiam Mo-li terdapat tujuh orang tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw yang amat lihai. Kalau saja Hong Beng bertindak lebih hati-hati, tentu dia akan memeriksa keadaan sekeliling dan akan melihat belasan anak buah Pek-lian-kauw yang berada di sebelah selatan hutan.
Dengan penuh semangat, penuh keberanian akan tetapi cukup berhati-hati, Hong Beng memasuki hu-tan pertama di kaki Pegunungan Heng-tuan-san itu. Dari jauh tadi dia sudah melihat genteng rumah besar di antara gerombolan pohon di lereng itu dan menduga bahwa itulah rumah Sin-kiam Mo-li yang dicarinya. Diapun melihat hutan yang pohon-po-honnya tumbuh teratur, bukan seperti hutan biasa dan dia dapat menduga bahwa hutan ini adalah hu-tan buatan, maka dia harus bersikap hati-hati se-kali.
Dia memasuki daerah itu dari bagian yang be-lum pernah didatangi orang, dan jebakan-jebakan di sini berbeda sifatnya dengan yang pernah menje-bak orang-orang Cin-sa-pang, walaupun ada pula persamaannya. Ketika Hong Beng memasuki hutan pertama, dia melihat pohon-pohon besar dan tem-pat itu nampak gelap akan tetapi seperti tak pernah ada bahaya apapun. Dengan santai namun cukup waspada Hong Beng melangkah di antara pohon--pohon besar itu, melalui lorong yang agaknya, mem-bawanya ke tengah hutan, menuju ke rumah yang pernah dilihat gentengnya tadi. Akan tetapi setelah melewati belasan pohon, tiba-tiba lorong itu ter-henti dan tertutup oleh pohon besar yang memenuhi jalan. Hong Beng melihat bahwa di belakang pohon itu penuh semak-semak belukar berarti bahwa lo-rong itu memang berhenti sampai di situ saja! Ten-tu saja dia menjadi penasaran. Melanjutkan perja-lanan melalui lorong itu tak mungkin lagi karena semak-semak belukar di belakang pohon itu penuh dengan duri. Pasti ada jalan lain, pikirnya. Dengan hati-hati Hong Beng lalu meloncat ke atas pohon, dengan maksud untuk mencari jalan dengan meng-intai dari atas pohon.
Akan tetapi, baru saja dia melihat-lihat ke ka-nan kiri, tiba-tiba hampir dia berteriak kesakitan dan tangannya menggaruk ke arah betis kirinya yang tiba-tiba terasa gatal dan panas sekali. Kiranya ada seekor semut, merah yang besar sekali merayap dan menggigit betisnya.
Sekali tepuk, semut itupun mati, akan tetapi rasa gatal pada betisnya itu sema-kin menghebat,
"Aduhh....! Aduhh....!" Hong Beng berseru ketika merasa betapa paha dan pun-daknya juga terasa gatal panas digigit semut! Cepat dia meloncat turun dari atas pohon, melepaskan pa-kaiannya bagian luar dan sibuklah dia membunuhi belasan ekor semut merah yang sudah merayap ke dalam pakaiannya. Untung baru tiga tempat saja tergigit, di betis, paha dan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
672 pundak. Akan tetapi se-mut itu memiliki racun yang ampuh dan berbeda dengan semut-semut lain. Bekas gigitannya nam-pak membengkak merah dan rasanya gatal dan panas bukan main.
Hong Beng cepat mengeluarkan obat anti racun yang selalu dibawanya, buatan suhunya, dan obat berupa minyak itu setelah digosokkan pada bekas gigitan seketika nyerinya hilang.
Diapun me-ngenakan lagi pakaiannya setelah mengebut-nge-butkannya sampai bersih. Sambil memandang ke atas pohon, diam-diam dia bergidik. Entah berapa banyaknya semua-semut itu berada di sana, pikir-nya. Dia masih belum menyangka bahwa semut-semut itu merupakan jebakan yang sengaja diatur oleh Sin-kiam Mo-li. Semut-semut itu didatang-kannya dari lain tempat, dibiarkan hidup berkem-bang biak di pohon-pohon besar itu untuk mencegah musuh melakukan pengintaian dari atas pohon. Tentu saja tidak semua pohon menjadi tempat ting-gal semut-semut merah beracun ini, hanya pohon di bagian hutan itu saja, karena pohon-pohonnya memang pohon yang disukai semut-semut itu.
Terpaksa Hong Beng kembali lagi, akan tetapi betapa herannya ketika dia mendapat kenyataan bahwa jalan yang dilaluinya sekarang nampaknya seperti bukan lorong yang dimasukinya tadi! Entah apanya yang berubah, akan tetapi lain sama sekali. Ketika ada jalan simpang empat, dia mengambil ja-lan ke kanan karena jalan ini yang nampaknya paling rapi dan bersih, memasuki taman rumput yang indah dan di sebelah sana nampak lagi hutan kecil dengan sebuah telaga kecil di tengahnya. Hong Beng bersi-kap hati-hati sekali. Dia berjalan di atas lapangan rumput sambil mengerahkan gin-kangnya sehingga ketika tiba-tiba rumput yang diinjaknya ambles ke bawah dan ternyata di bawah rumput itu terdapat lubang jebakan berupa sumur dan rumput itu hanya tumbuh di atas sumur dengan saling berkaitan akar saja! Untung bahwa sejak tadi Hong Beng bersikap waspada. Begitu kakinya merasa menginjak tempat kosong, cepat dia memindahkan tenaga dan berat tubuh ke kaki belakang sehingga dia mampu mena-rik kembali kaki depan. Dengan sebuah ranting yang dipungutnya di tepi jalan, dia mengorek rum-put di depannya dan terbukalah lubang jebakan itu yang lebarnya satu setengah meter persegi! Ketika dia menjenguk ke bawah, dia bergidik ngeri melihat benda bergerak-gerak di dasar sumur. Ular-ular sedang menanti jatuhnya korban di bawah sana!
"Jahanam keji!" Dia menggerutu dan melan-jutkan langkahnya, mengitari sumur itu, akan tetapi kini setiap langkahnya dilakukan dengan lebih hati-hati dan waspada lagi. Dia melewati dua lagi sumur jebakan yang tertutup rumput, dan pada sumur ter-akhir, bahkan ketika dia mengorek rumput membu-ka lubang, terdengar suara berdesing dan dari dalam lubang itu, mungkin alatnya dipasang di bawah rumput menyambar tiga batang anak panah ke atas.
Kalau dia kurang hati-hati, tentu luput terjeblos sukar untuk terhindar dari sambaran anak panah beracun!
Kembali dia memasuki hutan dengan pohon yang besar besar dan kini cuaca di dalam hutan agak gelap karena memang matahari sudah condong ke barat dan sinarnya yang tidak begitu kuat agak-nya tidak mampu menerobos daun-daun yang lem-bab. Ketika dia melangkah lagi, dia tidak melihat bahwa di depan kakinya terdapat sehelai tali hitam yang tingginya dua jengkal sehingga kalau ada orang lewat, bagaimanapun juga kakinya tentu akan ter-sangkut tali. Demikian pula dengan Hong Beng. Dia sudah waspada, namun dalam cuaca yang mulai remang-remang di dalam hutan lebat itu, bagaimana dia mampu melihat tali di bawah yang berwarna hitam dengan latar belakang tanah hitam dan rum-put hijau tua" Tahu-tahu, kakinya tersangkut dan dari atas turun menimpa batu yang besar sekali! Kiranya tali itu kalau ditarik, mengakibatkan jatuh-nya sebuah batu yang besarnya seperut kerbau bun-ting dan kalau menimpa kepala, tentu kepala itu akan remuk dan tubuh akan ikut menjadi gepeng!Namun Hong Beng tidak menjadi gugup. Dengan cekatan, dia melompat ke depan dan batu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
673 itu jatuh dengan mengeluarkan suara keras sekali ke atas tanah, membuat tanah tergetar dan pohon-pohon bergoyang-goyang. Dan agaknya jatuhnya batu ini menimbulkan akibat lain dan mengerjakan alat-alat rahasia yang dipasang di situ karena tiba-tiba saja dari atas pohon-pohon di sekeliling Hong Beng ju-ga berjatuhan batu yang besar-besar! Kini Hong Beng tidak berani meloncat lagi. Meloncat tanpa mengetahui apa yang akan diinjaknya di tempat lain, amat berbahaya, maka diapun memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, lutut ditekuk dan diapun siap menanti datangnya hujan batu.
"Darrrr!" Sebongkah batu besar yang menimpa kepalanya, dihantamnya dengan tangan terbuka dan batu itupun pecah dan terlempar jauh. Masih ada lagi beberapa buah batu yang menghantamnya, na-mun semua dapat ditangkis oleh Hong Beng sehing-ga terlempar ke kanan kiri sedangkan tubuhnya se-dikitpun tidak terguncang, hanya kedua kakinya yang ambles ke dalam tanah sampai ke pergelangan kaki saking beratnya batu yang menimpa dirinya tadi!
Setelah tidak ada lagi batu besar yang melayang turun, Hong Beng melanjutkan langkahnya dengan gagah, sedikitpun tidak merasa takut atau gentar walaupun dia tetap berhati-hati, sepasang matanya melirik ke kanan kiri, seluruh urat syarafnya siap siaga. Sementara itu, pergerakan jebakan-jebakan rahasia tadi tentu saja sudah diketahui oleh penghu-ni lembah itu dan diam-diam, tiga orang pelayan cantik sudah mengintai dan mengikuti semua gerak-gerik yang dilakukan Hong Beng.
Ketika melihat seorang pemuda yang demikian tampan dan gagah, Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio menjadi bengong terpesona. Apa lagi ketika me-reka menyaksikan betapa dengan tenaganya Hong Beng menghadapi dan mengatasi semua jebakan yang dilaluinya, mereka bertiga memandang semakin ka-gum. Tiga orang gadis cantik ini baru berusia duapu-luh lima tahun kurang lebih, dan mereka hidup di tempat terasing itu, maka tentu saja kadang-kadang mereka merasa kesepian dan butuh akan kehadiran seorang pria di samping mereka. Kadang-kadang Sin-kiam Mo-li membawa pulang seorang pemuda tampan dan kalau sudah bosan, sebelum dibunuh pemuda itu diberikan kepada mereka bertiga. Ka-dang-kadang mereka bertigapun diperkenankan mencari hiburan di dusun-dusun di bawah pegu-nungan. Akan tetapi yang mereka dapatkan hanya-lah pemuda-pemuda dusun yang bodoh dan kasar. Maka, begitu melihat seorang pemuda yang demiki-an ganteng seperti Hong Beng, tentu saja mereka terpesona. Apa lagi melihat kegagahan pemuda itu.
"Eh, kenapa kalian bengong saja" Kalau dibi-arkan, bisa rusak semua alat jebakan rahasia kita dan kita akan mendapat hukuman dan marah be-sar," kata Ang Nio kepada kedua orang temannya.
"Hayo kita serang dia!" kata Pek Nio.
"Akan tetapi jangan dibunuh, sayang kalau dibunuh...." kata Hek Nio sambil menarik napas panjang.
"Tolol, apa kaukira kamipun tidak dapat meli-hat kehebatan seorang pria" Akan tetapi jangan harap, Hek Nio. Pria seperti ini tentu takkan dile-watkan saja oleh majikan kita!" kata Pek Nio.
"Sudahlah, kalau kelak kita memperoleh sisanya- pun masih untung!" kata Ang Nio sambil meloncat keluar. "Hayo serbu!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
674 Hong Beng menjadi terkejut, akan tetapi tidak gugup ketika tiba-tiba nampak tiga sosok bayang-an berloncatan keluar dari balik batang pohon dan dia telah dihadang oleh tiga orang gadis yang cantik. Pakaian mereka menarik perhatiannya. Seorang berpakaian serba merah, ke dua serba putih dan ke tiga serba hitam. Akan tetapi, mengenakan pakaian warna apapun, mereka itu nampak anggun dan cantik.
Betapapun juga, Hong Beng adalah seorang pe-muda yang sudah terbiasa bersikap sopan, apa lagi terhadap wanita. Dia merasa betapa dia telah me-langgar wilayah orang lain, memasuki tempat orang tanpa ijin, maka dengan agak kikuk diapun menjura dengan hormat karena dia tidak tahu siapa adanya tiga orang gadis ini.
"Maafkan aku," katanya lembut. "Bukan mak-sudku untuk memasuki tempat orang tanpa ijin, akan tetapi sesungguhnya aku ingin bertemu dengan Sin-kiam Mo-li. Benarkah ia bertempat tinggal di dae-rah ini" Dan siapakah nona bertiga?"
Tiga orang gadis itu saling pandang dan terse-nyum manis. Biasanya, mereka ini bersikap galak, akan tetapi menghadapi seorang pemuda tampan dan gagah, mendadak saja sikap dingin mereka mencair dan berubah hangat dan genit.
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 1 Pedang Medali Naga Karya Batara Kemelut Di Majapahit 9

Cari Blog Ini