Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bloon 2

Pendekar Bloon Karya S D Liong Bagian 2


karena takut kalau peti itu dibuka, Hiang Hiang niocu pasti
akan mengetahui bahwa yang berada dalam peti itu bukan jek
nazah Kim Thian-cong tetapi sebuah orang-orangan terbuat
daripada kayu. Mau tak mau para ketua partai persilatan itu
gelisah bukan main. "Tetapi ah, sayang sekali, "kedengaran Hiang Hiang niocu
menghela napas, "keparat Bu-ing-kui Jadi telah mendahului
menghancurkan mayat Thian-cong dengan pukulan Tanpabayangan.
Terang aku tak dapat mencincang tubuh yang
sudah hancur itu .... "
Hui Gong taysu dan kawan-kawan terperanjat sekali.
Mereka tak mengira kalau jenazah Kim Thian-cong yang
berada dalam peti itu sudah hancur. Mereka percaya apa yang
diucapkan Hiang Hiang niocu Tetapi diam-diam merekapun
girang karena lebih dulu telah menyembunyikan jenazah Kim
Thian-cong dilain tempat.
"Karena jenazah Kim tayhiap sudah hancur, kiranya niocu
tentu suka menghentikan maksud niocu untuk
mencincangnya." "Tetap!" sahut Hiang Hiang niocu dengan nada mantap,
"setiap nazar harus dihimpaskan. Walaupun hanya scgores
dua gores tetapi akan tetap kukerat mayat Thian-cong ..."
Dalam pada berkata-kata itu iapun terus meangkah maju
menghampiri peti jenazah. Para ketua partai persilatan itu
tegang bukan kepalang Bila hendak mencegah, terang
mereka bukan tanding wanita sakti itu. Apalagi para ketua
partai persilatan itu masing-masing telah kehabisan tenagamurni
akibat menahan pukulan Bu-kek-coan-jit-hun daril
durjana Thian-sat-cu tadi. Namun kalau membiarkan saja,
tentulah rahasia tentang mayat dalam peti itu akan terbongkar
. . . Tiba-Tiba terdengar lengking seorang gadis : "Tunggu
dulu, niocu ....!" Ternyata yang berseru itu adalah Liok Sianli, murid
perempuan dari Kim Thian-cong
Hiang Hiang niocu tertegun, tegurnya: "Mau apa engkau?"
"Niocu beberapa hari sebelum suhu menutup mata. beliau
telah menyerahkan sebuah sampul kepadaku. Pesan beliau,
apabila nanti dalam pemakaman terdapat tetamu wanita
cantik yang mengaku sebagai kekasih suhu, supaya sampul
surat ini diberikan kepadanya. Apakah sampul itu dapat
kuterimakan, kepada niocu "' ia mengakhiri kata dengan
mengeluarkan sebuah sampul warna kuning muda.
Hiang Hiang niocu terkesiap. Cepat ia ulurkan tangan :
"Berikan kepadaku !"
Setelah menyambuti sampul surat, Hianp, Hiang niocupun
segera membukanya, Membaca . . .
Sekalian ketua partai persilatan hening serentak. Mereka
memandang Hiang Hiang niocu dengan penuh perhatian.
"Ah, Thian-cong . . . , " tiba-tiba Hiang Hiang niocu
mendesah panjang. Ia tegak seperti patung, terlongonglongong
dengan kerut wajah hampa Sedemikian kehilangan
semangat wanita itu hingga surat dalam sampul kuning itu
terlepas dari tangannya dan bertebaran jatuh kelantai.
Rupanya saat itu pengemis sakti Hoa Sin sudah selesai
menenangkan darahnya yang bergejolak. Karena suasana
amat sepi sekali maka hamburan surat itupun dapat ditangkap
telinganya. Dan secara kebetulan sekali, surat itu melayang
jatuh ke atas pangkuannya. Secepat kilat ia membuka mala,
mengambil surat dan membaca. Hanya dalam sekejab mata
saja ia sudah mengerti isi surat itu.
Serentak berbangkitlah ketua partai Pengemis lalu tertawa :
"Ha. ha, sekarang nyata bahwa dugaanku tadi memang benar.
Kim tayhiap jelas terminum ..."
"Jahanam, jangan banyak mulut!" tiba-tiba Hiang Hiang
memaki dan taburkan tangannya. Sebuah benda tipis sebesar
bunga melati tetapi berwarna merah, melayang kearah
pengemis itu. Itulah senjata rahasia Ang-lian-cu atau Biji
Teratai merah. Tiada seorang lawan yang pernah lolos apabila
Hiang Hiang niocu menaburnya dengan Ang-lian-ca.
Pengemis sakti Hoa Sin terkejut sekali. Karena tak
menyangka akan gerakan Hiang Hiangl niocu yang sedemikian
cepat sekali. Apalagi jaraknya amat dekat, hanya beberapa
belas langkah. Betapapun sakti pengemis tua itu, namun
Hiang Hiang niocu lebih sakti.
Cret . . . surat yang tengah dipegang pengemis Hoa Sin
tertabur hancur, masih Ang-lian-cu itu melanda dadanya, tring
. . . terdengar dering macam keping baja tertimpah palu besi.
Tubuh pengemis sakti Hoa Sin terjungkal kebelakang tapi
secepat itu ia sudah berjumpalitan melonjak bangun.
Hiang Hiang niocu heran bahwa pengemis usil mulut itu
masih hidup. Demikianpun para ke partai persilatan. Tetapi
cepat mereka mengerti apa sebabnya. Bunyi mendering tajam
tadi, jelas dari kepingan baja. Dengan begitu dapat ditarik
kesimpulan bahwa pengemis saksi Hoa Sin mengenakan
papan baja pada dadanya. Dan teringat pula para ketua partai
persilatan apa sebab tadi pengemis sakti itu begitu ngotot
hendak menahan pukulan maut Bu kek-coan-jit-hun momok
Thian-sat-cu. Dan nyatanya berkat lindungan keping baja itu,
selamatlah ketua partai Pengemis itu.
Malu karena ang-lian-cunya tak mampu mencabut nyawa
sipengemis sakti; Hiang Hiang niocu terus hendak lepaskan
pukulan. Tetapi secepat itu Hui Gong taysu mencegah : .
"Omitohud, harap niocu suka bermurah hati kepadanya. Hoa
pangcu itu memang suka usil mulut tetapi dia bukan orang
yang jahat." Beda sikap Hiang Hiang niocu ketika baru datang dengan
saat itu setelah membaca surat Kim Thian-cong. Rupanya ada
sesuatu dalam surat itu sehingga Hiang Hiang niocu berobah
ramah hati. "Paderi Siau-lim-si," katanya kepada Hui Gong, "agar
jangan menumpahkan darah karena aku tak dapat
mengendalikan kemarahan, harap engkau suruh dia pergi,
jangan menyebalkan mataku. Kalau dia membangkang,
terpaksa aku harus turun tangan !"
Karena Hoa Sin itu terus menerus mengganggu, Hui Gong
taysu kuatir Hiang Hiang niocu akan marah dan benar-benar
akan membunuh ketua Partai Pengemis itu. Maka ia
menghampiri ketua Partai Pengemis itu lalu dengan pelahan ia
memintanya agar suka menyingkir dulu untuk menjaga hal-hal
yang tak diinginkan. "Baiklah, taysu, kalau Hiang Hiang niocu sebal melihat
tampangku, akupun akan menyingkir," kata pengemis sakti
Hoa Sin tertawa-tawa sambil ayunkan langkah keruang
belakang, tinggalkan surat dalam sampul kuning yang sudah
hancur terkena senjata rahasia Ang-lian-cu.
Kemudian Hiang Hiang niocu meminta dupa dan
bersembahyang dimuka peti jenazah : "Thian-cong, maafkan
aku. Ternyata engkaupun amat menderita seperti aku . . .
Engkaupun telah berusaha mati-matian untuk mencari aku
tetapi tak berhasil sehingga engkau menganggap aku sudah
mati dalami pembasmian markas Pek-lian-kau . . . Thiancong,!
sebenarnya saat ini juga aku ingin mati didepan peti
jenazahmu, untuk menebus kesalahanku, agar aku segera
berkumpul lagi dengan engkau dialam baka . . . ah, Thiancong,
hanya engkaulah pria satu-satunya yang benar-benar
mengisi hatiku . . Thian cong, terpaksa aku belum dapat
menyusul engkau karena aku masih ingin menyelesaikan tugas
kewajibanku yang terakhir. Dan tugas itu demi untuk
kepentinganmu dan kepentinganku. Ya, Thian cong, berilah
aku kekuatan lahir dan batin agar dalam sisa hidupku yang
terakhir ini aku berhasi mencari puteramu. Akan kuberinya
keterangan si apa ayahnya dan akan kusuruh iya berlutut
dide pan makammu . . . . "
Sekalian ketua partai persilatan mendengarkan doa Hiang
Hiang niocu dengan penuh rasa haru dan belasungkawa.
Mereka duga isi surat Kim Thian-cong itu tentu suatu
penjelasan kepada Hiang Hiang niocu.
Beberapa saat kemudian tampak Hiang Hiang niocu dan
ketujuh anakmuridnya berbangkit lalu wanita itu menghadap
kearah Hui Gong taysu. "Taysu," katanya dalam nada rawan, "akan ditanam
dimanakah jenazah Thian-cong nanti ?"
Ketika ketua partai Siau-lim-pay itu menerangkan bahwa
Kim Thian-cong sudah meninggalkan pesan agar jenazahnya
dikubur dipuncak Giok-li-nia disamping makam isterinya, Hiang
Hiang niocu terkait : "Ah. dia sudah beristeri ?"
"Ya, tetapi isterinya sudah mendahului meninggal lima
tahun yang lalu," kata Hui Gong.
"Adakah dia berputera ?"
"Ya, seorang Tetapi putera Kim tayhiap itu nakal dan malas
sehingga karena jengkel, Kim tayhiap telah mengusirnya,"
kata Hui Gong yang kemudian juga memperkenalkan Tio
Goan-pa, Liok Sian-li serta Kwik Ing yang sedang bertugas
dibelakang. "Siapakah nama anak itu dan berapakah kita-kita umurnya
sekarang ?" "Namanya Kim Yu-yong. sudah berumur 15-16 tahun tetapi
masih ketolol-tololan seperti unak kecil."
"Baiklah taysu," kata Hiang Hiang niocu," saut ini fajar
sudah menjelang tiba. Aku tak dapat linggal lama disini. Aku
masih harus menyelesaikan hcberapa urusan penting sehingga
terpaksa tak dapat hadir dalam pemakaman Thian-cong.
Kelak dalam usahaku mencari puteraku yang hilang itu,
akupun akan mencari putera Kim Thian-cong si Yu-yong yang
blo'on itu. Taysu dan sekalian ketua partai persilatan.
Walaupun aku bukan isteri Thian-cong yang resmi, tetapi aku
adalah ibu dari seorang putera Kim Thian-cong. Maka
terimalah hormatku sebagai pernyataan terima atas bantuan
saudara-saudara dalam mengurus jenazah a-yah dari puteraku
itu ... " Hui Gong taysu dan para ketua partai per silatan melonjak
kaget ketika Hiang Hiang niocu membungkuk tubuh memberi
hormat kepada mereka. Tersipu-sipu mereka membalas
hormat ke pada wanita itu.
"Omitohud." serta merta Hui Gong berseri "harap niocu
jangan berlaku keliwat menghormat Pin-ni dan sekalian ketua
partai persilatan merasa telah berhutang budi kepada Kim
tayhiap yang dalam masa-masa yang gawat, telah
menyelamatkan kaum persilatan di Tiong-goan dari
kehancuran dan mempersatukannya kembali. Apa yang kami
lakukan terhadap Kim tayhiap saat ini masih jauh artinya dari
apa yang Kim tayhiap telah diberikan kepada kami . "
"Baik, taysu. Selamat tinggal, aku hendak pergi," kata Hiang
Hiang niocu seraya ayun langkah mengajak anakmuridnya
keluar. "Niocu, tunggu dulu," tiba-tiba Ang Bin tosu ketua Bu-tongpay
berseru gopoh. Hiang Hiang niocu hentikan langkah,
berpaling. "Niocu" kata ketua partai Bu-tong-pay sambil memberi
hormat, "kami merasa telah berhutang budi besar kepada Kim
tayhiap. Maka apapun yang dapat kami lakukan tentu akan
kami lakukan untuk membalas budi Kim tayhiap. Siapakah
nama dan bagaimanakah ciri-ciri dari putera niocu yang hilang
itu " Siapa tahu, kalau Tuhan memberi jalan kepada kami
untuk membalas budi kepada Kim tayhiap, mungkin kami akan
menemukan putera Kim tayhiap dengan niocu itu."
Sejenak merenung Hiang Hiang niocupun menjawab :
"Waktu direbut Pek Lian lojin, bayi itu baru berumur tiga
bulan. Pada dada sebelah kiri terdapat tanda hitam sebesar
buah kelengkeng. Dan kunamakan anak itu Sin-lui yang
artinya tunas baru."
Demikian Hiang Hiang niocu lalu tinggalkan puncak Giok-linia
dengan membawa kenangan yang tak mudah dilupakan.
Saat itu fajar sudah tiba. Ternyata pembicaraan Hiang
Hiang niocu dengan para ketua partai persilatan itu telah
memakan waktu hampir setengah malam. Dan diwaktu Hiang
Hiang niocu bicara menururkan kisah jalinan hidupnya
bersama Kini Thian-cong, tak ada seorang tetamu yang berani
mengganggu peti jenazah. Hari itu peti jenazah Kim Thian-cong, ditanam dipuncak
Giok-li-nia disamping makam isterinya. Kemudian para wakilwakil
perguruan maupun partai persilatan dan perorangan,
berbondong-bondong tinggalkan puncak Giok-li-nia pulang
kembali ketempat masing-masing
Yang masih tinggal hanialah Hui Gong taysu dan keenam
ketua partai persilatan yang memikul tugas mengurus
pemakaman itu. Karena semalam suntuk tak tidur dan pagi
harinya melangsungkan pemakaman, mereka letih juga.
Setelah siang hari beristirahat, malam mereka baru berkumpul
di paseban Wisma Perdamaian.
"Ah, syukurlah pemakaman telah berlangsung lancar.
Memang apa yang kita kuatirkan, hampir menjadi kenyataan
semua. Untunglah karena terjadi hal-hal yang tak terduga,
maka muzibah itu dapat teratasi," kata Hui Gong taysu sambil
menarik napas |onggar. "Tetapi kurasa dalam peristiwa semalam, tidak seluruhnya
hanya terjadi karena hal yang tali terduga. Sebagian memang
kita atur sedemikian rupa sehingga tepatlah apa yang
kuperhitungkan 'dengan racun mengobati racun' atau 'bahaya
untuk menolah bahaya' ," kata pengemis sakti Hoa Sin.
"Hoa pangcu, apakah maksud ucapanmu ?" Hui Gong
meminta penjelasan. Ketua partai Pengemis itu tertawa : "Taysu siapakah yang
paling berbahaya diantara tetamu semalam tadi ?"
"Thian-sat-cu," jawab Hui Gong taysu. "Dan yang paling
sakti kepandaiannya Hiang Hiang niocu."
Pengemis sakti Hoa Sin tertawa: "Benar, dan bukankah
Hiang Hiang niocu telah menolak bahaya baik dari Thian-satcu
maupun dari semua tokoh yang hendak mengganggu peti
jenazah Kim tayhiap?"
"O, itukah sebabnya mengapa Hoa pangcu selalu menyela
dan menukas pembicaraan Hiang Hiang niocu "' tiba-tiba Ang
Bin tojin berseru. "Benar, totiang," sahut Hoa Sin, "memang sengaja
kupancing kemarahannya agar mau adu mulut dengan aku
sampai berkepanjangan. Dengan demkian dapatkah kita
'tahan' dia terus menerus di depan meja sembahyangan
hingga fajar. Beradanya Hiang Hiang niocu didepan meja


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sembahyang,akan merupakan momok. Tak ada seorang
persilatan musuh-musuh Kim tayhiap yang berani maju
menghampiri ki-muka peti. Dan amanlah. Siasat itu
kusesuaikan degan siasat 'dengan racun mengobati racun'
atau 'menggunakan bahaya untuk menolak bahaya'."
"Ai, ai, sicu benar-benar cerdik seperti kancil, licin bagai
belut," Hui Gong taysu tertawa memuji ketua partai Pengemis.
Demikian para ketua partai persilatan yang lain, pun ikut
memuji. Kemudian keenam ketua partai persilatan itu makan malam
bersama. Sehabis makan barulah Hia Gong mengajak mereka
menuju ke kamar rahasia menjenguk keadaan jenazah Kim
Thian-cong yang di simpan disitu dijaga muridnya nomor dua
Kwik Ing dan wakil perguruan Hoa-san-pay si Naga-tidur Pang
To-tik. Kamar rahasia terletak dibawah tanah- Sebenarnya sebuah
guha, lalu dibangun oleh Kim Thian-cong menjadi sebuah
kamar, rahasia dimana ia biasa menggunakannya sebagai
tempat semedhi. Ia' menyadari bahwa selama aktif dalam
pergolakan dunia persilatan, ia banyak mengikat persahabatan
dan permusuhan. Oleh karena itu demi penjagaan dan
pengamanan, ia mendirikan kamar rahasia dari guha dibawah
tanah itu. Memang tempatnya rapat dan sukar diketahui
orang. Goan-pa dan Sian-li mengikuti rombongan ketua partai
persilatan yang tengah menuju ke ka mar rahasia gurunya.
Begitu masuk kedalam kamar itu, mereka agak heran
karena tak melihat Pang To-tik. Sedang Kwik Ing duduk
dilantai bersandar pada dinding dan pejamkan mata. Karena
melihat keadaan dalam kamar itu tak ada sesuatu yang patut
menimbulkan kecurigaan, para ketua partai persilatan itupun
longgar perasaannya. Pang To-tik mungkin sedang ada
keperluan keluar dan Kwik Ing karena lelah mungkin tertidur.
Lampu yang menerangi kamar itupun masih memancar
terang. Peti yang berisi jenazah yang sesungguhnya dari Kim
Thian-congpun masih terletak ditempat semula. Sedikitpun tak
ada tanda-tanda terjadi suatu perobahan.
Goan-pa hendak membangunkan sutenya, Kwik Ing, yang
tidur bersandar dinding. Tetapi dicegah Hui Gong: "Jangan,
biarlah Kwik sicu tidur, dia tentu amat letih "
Demikian enam ketua partai persilatan dan dua anakmurid
Kim Thian-cong berkerumun dike-dua samping peti. Hui Gong
taysu minta agar Go-an-pa suka membuka penutup peti.
"Mengapa taysu ?" tanya Goan-pa, "apakah kita perlu
melihat jenazah suhu lagi ?"
"Ya, kurasa demikian," sahut Hui Gong, "a-gar hati kita
lebih tenteram." "Tetapi kurasa kurang perlu," kata-kata Ceng Sian suthay
rahib ketua Kun-lun-pay "peti ini tak mengunjuk tanda-tanda
yang mencurigakan. Sebaiknya jenazah Kim tayhiap jangan
dibuka. Makin berada di tempat yang tertutup rapat, makin
daya tahan pembalsemannya lebih bagus. Bila ditempat yang
terbuka, hawa dan angin dapat mengganggu ketahanannya."
Ang Bin tojin ketua Bu-tong-pay, Sugong In ketua Kongtongpaypun mendukung pernyataan Ooan-pa dan Ceng Sian
suthay. Apa boleh buat, Hui Gong taysu terpaksa mengalah.
Karena keadaan kamar rahasia tampak aman, para ketua
partai persilatanpun hendak kembali ke paseban Wisma
Perdamaian. Baru berjalan beberapa langkah, sekonyong-konyong
sesosok tubuh melesat masuk dengan tegang.
"Pang sicu !" seru Hui Gong taysu demi melihat pendatang
itu Pang To-tik, wakil Hoa-san-pay yang ditugaskan menjaga
kamar rahasia disitu. Dia tampak menghunus pedang dengan
wajah membe-ringas, "mengapa sicu menghunus pedang "
Dari manakah sicu tadi ?"
Pang To-tik tak cepat menjawab melainkan mengerling
mata memandang kesekeliling. Demi di lihatnya Kwik Ing
seperti tidur bersandar didinding dan kain hitam yang
menutup peti tempat jenazah Kim Thian-cong masih seperti
sediakala, ketegangan wajahnyapun menyurut
"Taysu, apakah taysu sekalian sudah lama berkunjung
kemari " Dan apakah tak ada sesuatu yang terjadi dalam
kamar ini "' Pang To-tik tidak menjawab melainkan malah
balas mengajukan pertanyaan.
Hui Gong kerutkan kening: "Pin-ni dan sekalian ketua partai
persilatan baru saja datang dan tak melihat suatu apa dalam
kamar ini. Tetapi mengapa sicu tampak begitu tegang ?"
Pang To-tik menghela napas untuk mengendorkan
ketegangan uratsyarafnya. lalu menjawab "Aku baru saja
mengejar seseorang yang hendak masuk kemari. Dia lari
melintasi dua puncak dan menghilang ke dalam hutan.
Walaupun sampai lama ku cari, namun tak dapat
kuketemukan lalu aku beri gegas lari pulang . . . eh, aneh,"
tiba-tiba ia berpaling memandang kearah Kwik Ing yang masih
meram. "Apakah sejak taysu sekalian datang, dia beluid juga
bangun ?" "Belum, memang pin-ni yang melarang jangan
dibangunkan. Dia tentu lelah," ujar Hui Gong.
"Aneh," seru Pang To-tik, "tadi sewaktu musuh datang
menganggu kemari, dia masih terjaga. Dan ketika aku
mengejar orang itu. pun sebelumnya sudah kupesan supaya
dia hati-hati menjaga peti. Belum setengah jam aku pergi,
mengapa dia sudah tidur selelap itu," kata Pang Tp-tik seraya
menghampiri ketempat Kwik Ing. Dipandangnya pemuda itu
dengan seksama. Serentak timbullah lasa curiga dalam hati si
Naga-tidur Pang To-tik. la memperhatikan dada dan tubuh
pemuda itu tak bergoncang sebagai orang tidur.
Cepat ia mendekati dan merabah hidung Kwik Ing :
"Celaka, dia sudah mati !" serentak ia berteriak keras sekali.
"Apa ..."!" hampir serempak para ketua partai persilatan itu
berseru dan berhamburan loncat menghampiri. Hui Gong
cepat mencekal pergelangan tangan pemuda itu dan :
"Omitohud....." ia berseru berat, "Kwik sicu memang sudah tak
bernyawa ..." Ketua partai Siau-lim-pay cepat memeriksa tubuh Kwik Ing
tetapi ia tak menemukan suatu luka pada tubuhnya.
"Hm, dia terkena pukulan tenaga-dalam sakti yang dapat
memutuskan urat-urat jantungnya" akhirnya Hui Gong
memberi kesimpulan. "Bu ing-sin-ciang !" seru Ang Bin tojin. Bu-ing-sin-ciang
artinya PukuIan-sakti-tanpa-bayang-an.
"Adakah Bu-ing-kui yang melakukan?" sambut Hong Hong
tojin ketua Go-bi-pay. "Mungkin," sahut Hui Gong. "Mungkin juga Hong-sat-koayceng
sipaderi lhama aneh dari Mongolia yang memiliki pukulan
Hong-sat-ciang (pukulan Pasir-kuning). Mengapa dia tak
muncul di paseban Wisma Perdamaian karena mungkin dia
menyelundup kemari ?" seru pengemis sakti Hoa Sin.
Ucapan ketua Partai Pengemis itu menimbul kan keraguan
pada para ketua partai persilatan Kedua orang itu, Bu-ing-kui
atau Setan-tanpa-bayangan dan paderi lhama Pasir-kuning,
mempunyai kesaktian dan kemungkinan yang sama dalam
pembunuhan terhadap Kwik Ing.
"Baik si Bu-ing-kui atau lhama Pasir-kuning atau lain orang
tetapi yang jelas Pang To-tik itulah yang bertanggung jawab
akan kematian Kwik sicu", tiba-tiba rahib Ceng Sian suthay
berseru, "sehingga seorang cianpwe mengapa begitu mudah
terpancing musuh dan meninggalkan Kwik sicu seorang diri
sehingga dapat dibinasakan oleh gerombolan musuh ?"
Hui Gong taysu. Ang Bin tojin, Hong Hong tojin. Sugong ln
dan Ceng Sian suthay mencurahkan pandang mata kearah
wakil dari Hoa-san-pay. Seolah-olah hendak menuntut pertanggungan jawab dari
tokoh Hoa-san-pay itu. Rupanya Pang To-tik menyadari itu. Diapun seorang jantan,
serunya : "Baik, akulah yang bertanggung jawab akan
kematian Kwik Ing. Tetapi kumohon taysu dan totiang sekalian
dapat memberi waktu agar aku sempat untuk mencari sipembunuh.
Apabila gagal, Pang To-tik akan menyerahkan diri
kepada taysu sekalian untuk menerima hukuman !"
"Ah, mengapa Pang sicu sedemikian bersungguh," kata Hui
Gong taysu, "kami hanya ingin
meminta penjelasan tentang
kematian Kwik sicu. Sama sekali tak menuntut Pang sicu
harus mengganti jiwanya."
"Jelas Kwik Ing telah
dibunuh dengan pukulan tenaga-sakti. Dua pukulan
sakti Bu-ing-sin-ciang dan
Hong-sat-ciang, dapat kita
curigai. Selain itu kita harus
mencari pula tokoh-tokoh persilatan siapa yang memiliki
ilmu pukulan-sakti setingkat
itu Setelah itu baru kita bertindak menyelidiki mereka ...."
"Hai," sekonyong-konyong pengemis sakti Hoa Sin menjerit
seperti dipagut ular, "jenazah Kim tayhiap . . . . "
Cepat ia loncat kesamping peti lalu membuka penutupnya
dan menjeritlah ketua Partai Pengemis itu senyaringnyaringnya
: "Astaga '. Jenazah Kim tayhiap lenyap.....!"
Apabila saat itu petir berbunyi, tidaklah para ketua partai
persilatan sampai begitu terkejut seperti waktu mendengar
teriakan pengemis Hoa Sin. Rasa kejut itu cepat berobah
menjadi perobah an warna muka yang pucat ketika mereka
melongok kedalam peti. Pucat lesilah wajah para ketua partai
persilatan ketika melihat peti itu kosong melompong, jenazah
Kim Thian-cong hilang . . . !
Mereka saling berpandangan, saling bertukar pancaran
mata bertanya, namun hanya kerut dahi yang mengernyut
lipatan dalam-dalam saja yang tampak pada wajah para ketua
partai persilatan. Lipatan ! kerut dahi yang memantulkan
rasa heran dan kehilangan faham.
"Adakah peti ini benar peti yang kita gunakan untuk tempat
jenazah Kim tayhiap?" kata Hong Hong tojin ketua Go-bi-pay
seraya memeriksa peti. "Ya,"jawab Hui Gong taysu, "maksud toheng?"
"Pinto kuatirkan, penjahat itu menukar peti yang berisi
jenazah Kim tayhiap dengan sebuah peti yang kosong," kata
Hong Hong tojin. "Tidak," jawab Hui Gong, "penjahat itu hanya mengambil
jenazah Kim tayhiap saja" Ketua partai Siau-lim-si itu segera
alihkan pandang kepada Pang To-tik si Naga-tidur wakil dari
Hoa-kan-pay. Demikianpun pandang mata dari para ketua
partai persilatan sermpak mencurah kepadanya.
Tampak wajah si Naga-tidur Pang To-tik pucat seperti
mayat Ia tahu bahwa para ketua partai persilatan itu
menuntut pertanggungan jawab kepadanya. Ia tak takut soal
itu, tetapi ia merasa telah melakukan suatu kesalahan besar
sehingga menyebabkan timbulnya dua musibah besar: jenazah
Ki Thian-cong hilang dan muridnya yang kedua Kwi Ing tewas.
Namun apa yang terjadi telah terjadi. Sebagai seorang
ksatrya ia harus berani bertanggun jawab, baik atas nama
perguruan Hoa-san-pay ma upun atas nama peribadinya.
"Taysu dan totiang sekalian ..."
"Kutahu Pang sicu hendak mengatakan apa," cepat Hui
Gong taysu menukas, "hal itu sudah terjadi. Yang penting
bukan pernyataan dan ikrar, tetapi usaha-usaha untuk segera
mencari jenazah Kim tayhiap. Sebelumnya, maukah Pang sicu
menceritakaa, apa yang sicu alami sejak menjaga kamar
rahasia ini ?" "Hari pertama dan seterusnya, tidak terjadi suatu apa.
Rupanya penjahat itu memang cermat dan tak mau buru-buru
tangan turun. Dia hendak menunggu setelah perhatian kami
lengah. Dan terus terang, aku sendiripun mulai berkurang
keteganganku. Kuanggap musuh-musuh Kim tayhiap tentu tak
tahu akan rahasia peti jenazah yang kita taruh depan meja
sembahyang itu. Mereka tentu menui peti itu benar-benar
terisi jenazah Kim tayhiap, PM To-tik mulai menuturkan apa
yang dialaminya. "Tiba-tiba tadi dua jam lalu, terjadi suatu peristiwa yang tak
terduga-duga. Pintu tiba-tiba diketuk orang. Cepat kubuka dan
ternyata seorang bujang lelaki setengah tua. Dia. mengatakan
disuruh Hui Gong taysu untuk memanggil kami, berdua ke
paseban, diajak makan malam bersama. Hampir saja aku
menurut tetapi tiba-tiba terkilas sesuatu dalam pikiranku.
Kuanggap tindakan taysu itu aneh. Demi menjaga rahasia
tempat peti jenazah Kim tayhiap, tidak seorangpun
diperbolehkan datang kesini kecuali Hui Gong taysu sendiri
Dan ini telah kita mufakatkan lebih dulu."
"Benar," Hui Gong taysu mengiakan, "memang tiap hari,
pin-ni sendiri yang datang mengantar makanan untuk sicu
berdua." "Tetapi bujang itu cerdik sekali. Rupanya ia tahu kalau aku
curiga. Maka cepat ia menerangkan bahwa pagi tadi jenazah
Kim tayhiap telah selesai dimakamkan. Taysu menganggap
sudah tak berbahaya maka suruh dia yang mengundang aku.
Walaupun alasan itu baik namun aku tak mau begitu percaja
terus menghapus kecurigaanku. Kuberi isyarat supaya Kwik
Ing datang. Kwik Ing cepat dapat mengatakan bahwa
bujang itu bukan bujang Kim layhiap. Tiba-Tiba bujang itu
menghantam aku, terus loncat melarikan diri. Karena tak
menduga dan jaraknya begitu dekat, bahuku kena terpukul
sehingga aku tersurut mundur. Setelah itu kupesan Kwik
Ing supaya hati-hati dan akupun segera mengejarnya.
Penjahat itu gesit sekali dan memiliki ilmu meringankan tubuh
yang hebat. Walaupun sudah melintasi dua puncak gunung,
tetapi tak dapat mengejar, kemudian tiba-tiba ia masuk ke
dalam hutan dan menghilang. Setelah mencari sampai
beberapa saat, akupun segera kembali dan dapatkan taysu
sekalian berada disini ..."
"Dan Kwik Ing terbunuh dan jenazah Kim tayhiap hilang,
bukankah begitu ?" tiba-tiba Ceng Sian suthay melengking
dengan nada sinis. Sejak perta ma kali tiba, Ceng Sian suthay
nampaknya kurang senang dengan Pang To-tik. Pang To-tiklah
yangj mengusulkan supaya jenazah Kim Thian-cong di
sembunyikan dan peti yang ditaruh dimuka paseban itu diisi
dengan mayat dari kayu. Ceng Sian suthay tak setuju tetapi
karena kalah suara, terpaksa ia diam saja.


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikianpun setelah terjadi hilangnya mayi Kim Thian-cong
saat itu, Ceng Sian suthay ngunjuk sikap yang curiga terhadap
Pang To Entah ada ganjelan apakah antara Ceng Sian thay
dengan Pang To-tik atau partai Kun-lun-pay dengan partai
Hoa-san-pay. Mungkin kedua partai persilatan mempunyai
dendam permusuhan. Pang To-tik merah mukanya. Ia kerling mata kearah rahib
itu, sahutnya : "Memang begitulah. Bila suthay hendak
menghukum. Orang Pang siap menerima dengan rela hati."
"Ih," dengus rahib ketua perguruan Hoa san-pay itu.
"hukuman pasti diberikan kepada orang yang bersalah Kalau
engkau merasa dan tak terbukti bersalah, mengapa engkau
minta dihukum ?" "Kalau suthay mencurigai diriku, silahkan suthay memeriksa
dan mengajukan pertanyaan ?" kata Pang To-tik.
"Hm, kalau engkau meminta, baiklah," kata Ceng Sian
suthay, "akan kuminta engkau menjawab beberapa
pertanyaanku. Pada waktu hendak mengejar musuh, apakah
tak terlintas dalam pikiranmu bahwa engkau mungkin akan
terjebak dalam perangkap musuh yang disebut 'memancing
harimau tinggalkan sarang'. Begitu engkau pergi mayat Kim
Tayhiap tentu akan disergap oleh komplotan penjahat itu ?"
"Tidak ..." "Mengapa "' desak Ceng Sian suthay. "Karena pikiranku
hanya tertumpah untuk Membekuk penjahat itu !"
"Dan berhasilkah engkau meringkusnya ?"
"Tidak." "Mengapa ?" "Karena dia menghilang kedalam rimba lebat."
"Setelah penjahat itu lenyap, apakah engkau segera
kembali ke kamar rahasia ini ?"
"Tidak." "Mengapa ?" "Karena hatiku panas dan aku terus masuk ke dalam hutan
untuk mencarinya sampai beberapa lama"
"O, karena engkau anggap kamar rahasia ini cukup aman ?"
"Bukan begitu, tetapi saat itu pikiranku benar-benar
dirangsang oieh kemarahan untuk meringku penjahat itu,"
bantah Pang To-tik, '"O, cukup," kata Ceng Sian suthay mengakhiri pertanyaan.
"Ah, didalam menghadapi peristiwa hilangnya jenazah Kim
tayhiap, kita ibarat 'mendayung dalam satu perahu'.
Hendaknya bersatu hati dan seragam langkah. Hindari curigamencurigai
diantara sesa ma kawan." kata Hui Gong taysu.
Kemudian memutuskan, "yang kita hadapi saat ini ialah dua
buah masalah. Pertama, mencari putera Kim tayhiap dan
kedua mencari jenazah Kim tayhiap."
"Benar," sambut Sugong In ketua Kong-tong pay, "kuminta
peristiwa hilangnya jenazah Kim tayhiap ini supaya
dirahasiakan jangan sampai teruwar. Agar penjahat itu tak
ketakutan dan tak mau unjuk diri."
"Ya. benar," seru Ang Bin tojin ketua Bu tong-pay, "dan
juga menjaga gengsi kita ketua partai persilatan agar jangan
dicemohkan orang karena tak mampu menjaga sebuah
jenazah saja." Demikian Hui Gong taysu lalu membagi tugas. Tugas
mencari si blo'on Yu-yong. diserahkan kepada perguruan yang
luas pengaruhnya ialah pengemis-sakti Hoa Sin dari Partai
Pengemis, Cian Sian suthay dari perguruan Kun-lun-pay dan
Su gong In dari Kong-tong-pay. Sedang tugas untuk vnencari
jenazah Kim Thian-cong, dilakukan oleh Hui Gong taysu dari
partai Siau-lim-si, Ang Bin tojin dari partai Bu-tong-pay, Hong
Hong tojin dari partai Go-bi-pay dan Pang To-tik wakil dari
Hoa-sah-pay yang bertanggung jawab atas hilangnya jenazah
itu. Masing-Masing partai akan bekerja secara berpencaran dan
nanti tiga bulan lagi, supaya berkumpul di Wisma Perdamaian
untuk memberi laporan. "Bagaimana misalnya ada salah seorang dari kita yang
dapat menemukan jejak pencuri jenazah Kim tayhiap ?" tanya
Hong Hong tojin. "Bawa langsung ke Wisma Perdamaian, jaga baik-baik
sampai kawan-kawan yang lain datang semua, "kala Hui Gong
taysu. 'Tetapi bagaimana kalau dalam usaha merebut jenazah Kim
tayhiap itu kita mengalami kesukaran karena gerombolan
pencuri itu lebih kuat?" lunya Hong Hong tojin pula.
"Kirim orang atau merpati untuk memberita-hu ke markas
perguruan masing-masing, agar murid-murid perguruan yang
bersangkutan itu dapat cepat memberi berita kepada suhu
masing-masing," kata Hui Gong pula.
Demikian setelah mengurus penguburan KwiK Ing, para
ketua partai persilatan itupun kembali ke markas kediaman
masing-masing. Tio Goan-pa dan Liok Sian-li tetap tinggal dipuncak Gjok-linia.
-oo0dw0oo- Si Blo'on Halimun pagi yang menyelubungi barisan puncak gunung
yang terpisah satu sama lain dengan jurang yang curam,
pelahan-pelahan mulai berarak menipis karena jeri akan
kehadiran mentari pagi. Disalah sebuah puncak gunung itu,
terdapati sebuah guha yang letaknya tersembunyi. Didalam
guha itu samar-samar tampak dua sosok tubuh membujur
ditanah. Yang satu, seorang jejaka tanggung berumur 16 tahun.
Romannya cakap, kulit bersih seperti seorang wanita jelita.
Tetapi potongan rambutnya agak nyentrik. Bagian belakang
gondrong, bagian muka masih disisakan sekepal rambut yang
terus hinggap diatas jidatnya. Sepintas pandang mirip dengan
jambul atau tengger ayam yang habis kalah bersabung ....
Pakaiannya dari kain cita kasar yang sudah kumal dan dia
masih tidur pulas diatas lantai cadas. Tangannya kiri mencekal
sebuah kerangka pedang yang isinya sudah kosong.
Sedang sosok tubuh yang lain, seorang lelaki setengah tua,
berpakaian putih dan rebah dengan tubuh tengkurap. Pakaian
putih yang dipakainya berhias warna merah. Bukan warna dari
kain tetapi warna darah yang menghambur dari sebatang
pedang yang tertanam pada punggungnya. Ya, lelaki setengah
tua itu sudah mati dengan punggung tertusuk sebatang
pedang hingga tangkai pedang itu saja yang masih tampak ....
Guha sunyi senyap dan sinar mentari pun mulai menyinari
kedalam guha. Menimpah wajah anak muda yang masih tidur
pulas. Beberapa saat kemudian, anak muda itupun membuka
mata. Pertama-tama yang tertumbuk pada pandang matanya
ialah dinding karang guha yang berlekuk-lekuk penuh pakis.
Kemudian sebuah lubang besar yang menghadap kearah alam
terbuka. Serentak bangunlah pemuda itu dengan rasa kejut yang tak
terhingga. la heran mengapa dirinya seperti berada dalam
sebuah guha. Dan ketika menggerakkan tangan kanan, ia
makin bertambah heran lagi. Sebuah kerangka pedang berada
di tangannya. "Hai . ... kerangka pedang siapakah ini ?" serunya, "aku tak
punya barang semacam ini. Siapa yang memberikan kepadaku
. . . . ?" Ia memandang pula bajunya dan matanya-terbelalak lebarlebar.
Lengan bajunya, ya lengan Bajunya berlumuran darah
merah. Gila, pikirnya. "Hai, apakah aku terluka ?" serunya seraya mengamatamati
sekujur tubuhnya. Tetapi tak ada suatu luka apapun dan
memang ia tak pernah merasa sakit. '"Aneh, benar-benar aneh
. . dari mana ini" Aku tak terluka mengapa baju dan tanganku
berdarah . . Ia berusaha untuk menggali ingatannya. Tetapi
aneh, ya, benar-benar aneh sekali. Mengapa pikirannya terasa
kosong melompong " Mengapa ia tak dapat mengingat apaapa
lagi " Ia duduk numprah lagi ketanah dan masih mencoba untuk
mengerjakan otaknya yang beku. Tetapi benar-benar ia tak
mampu mengingat segala apa.
"Ah, mungkin aku sedang bermimpi," katanya lalu digigitnya
lidahnya sendiri, "aduh .." ia menjerit kesakitan, "mengapa
masih terasa sakit. Kalau begitu aku ini bukan ngimpi tapi
terjaga. Ia masih tak percaya, tangannya diayun menampar
mukanya sendiri, plak . . Aduh, mak . kembali ia menjerit
keras karena tamparan membuat matanya berkunaugkunang,
kepala pusing tujuh keliling.
Masih belum puas, ia mencubit lagi pahati sendiri, idihh . .
lagi-lagi ia menjerit tinggi ketika paha yang dicubitnya itu
membegap meninggalkan tanda matang biru.
"Ah, sudahlah, minta ampun . .. aku memang melek, tidak
ngimpi, "akhirnya ia mengoceh minta ampun pada dirinya
sendiri. Lalu mulai ia mengajukan bertanya pada dia sendiri:
"Hm, setan, kalau memang aku melek, berarti aku masih
hidup. Dan orang hidup harus dapat bicara. Ya, engkau harus
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini," katanya kepada
diri sendiri. "Dimanakah aku" Apakah nama tempat ini?"
". . entah . . , " ia gelengkan kepala. 'Mengapa aku berada
disini ?" ". . entah . . - ,"
'Eh, bodoh aku ini," gumamnya,
"siapa namaku?"
"Namaku . . namaku . . eh, entahlah . . "
'Lho, engkau anak orang atau anak khewan?"
"Hah, bagaimana engkau tak kenal pada dirimu sendiri.
Engkau kan anak orang?" katanya menjawab pertanyaan yang
diajukan pada dirinya sendiri,
"Lalu siapa nama orangtuaku ?"
"Nama orangtua . . en . . tah . . celaka, mengrapa aku tak
tahu nama orangtuaku!" plak, plak, ia menampar kepalanya
supaya otaknya mau bekerja. Tetapi tetap macet. Ia lupa
segala apa. "Apa engkau gila ?"
"Gila " Mungkin, eh , . . gila itu bagaimana. ya " Mengapa
aku tak pernah merasa gila " Apakah perasaan orang gila itu
seperti yang kualami saat ini " Entah, entah ..."
"Dari manakah asalmu ?" tanyanya pula.
"Aku" ... ih, aneh, aneh . . dari mana aku ya" Ih, tak
tahulah karena tahu-tahu aku sudah ada disini . , . , "
jawabnya sendiri pula. 'Nama tak tahu, orangtua tak tahu.
tempat tak tahu. Habis aku ini orang apa " Kalau bermimpi,
mengapa lidahku masih sakit kugigit. Kalau melek mengapa
akiu tak ingat apa-apa. Kalau mati, mengapa bisa bicara.
Kalau hidup mengapa, pikiranku hilang " Oh . i . "
Bluk, ia jatuhkan diri ketanah dan menangis: "Huh, hu, hu.
hu . .. bagaimana aku ini .. 'Memang tiada suatu penderitaan
yang lebih menyiksa daripada kehilangan diri sendiri. Melek
tetapi tak tahu apa-apa. Hidup tetapi tak ingat apa-apa
Bernyawa tapi tak punya pikiran.
Tiba-Tiba matanya tertumbuk lagi pada orangtua yang
masih tidur ditanah itu. Ia berhenti menangis lalu merangkak
menghampiri ketempat orang itu Ketika melihat keadaan
orang itu, serentak menjeritlah ia sekuat-kuainya : "Hai, dia
sudah mati Memang setelah dekat, baru ia mengetahui bahwa tongkat
yang terpaku pada punggungnya itu ternyata tangkai pedang.
Karena masih tampak sisa batang pedangnya.
"Siapakah orang tua itu ?" serunya, "mengapa dia mati
ditusuk pedang " Siapa yang menusuknya ?"
Ia menghambur pertanyaan pada dirinya sendiri tetapi
iapun tak dapat menjawab sendiri.
Tiba-Tiba ia merasa tangan kirinya masih mencekal
kerangka pedang yang kosong. Menjerit la ia senyaringnyaringnya
: "Hai ! Apakah pedang yang menancap pada
punggungnya berasal dari kerangka ini " Celaka ..." tiba-tiba ia
melonjak lagi, "kalau begitu .... kalau begitu .. aku yang
membunuhnya " Oh, tidak, tidak! Aku bukan pembunuh ! Aku
tak pernah melakukan pemnubuhan kepada orang tua itu !
Aku tak tahu siapa dia,!"
Ia coba mencabut pedang itu. Tetapi hatinya merasa ngeri
ketika melihat darah mengucur deras Dilepaskannya lagi.
"Mengapa aku membunuhnya" Huss . . aku tidak
membunuhnya!" ia membantah pertanyaannya sendiri.
'Tetapi pedang itu berasal dari kerangka yang engkau
pegang, tentu engkaulah yang membunuh!" ia menuduh
dirinya lagi. "Jangan gila-gilaan engkau, bung! Apakah engkau merasa
pernah melihat orang itu sebelumnya" Huh, jangan takut
dituduh membunuh, engkau kan benar-benar tidak membunuh
. . . ," katanya membuat pembelaan sendiri.
Ia makin bingung dan bingung. Ia ingin marah tetapi
dengan siapa ia harus menumpahkan kemarahannya. Ingin
menangis, eh, bukankah tadi ia itulah menangis seperti anak
kecil " Ingin tertawa, eh, gila . Masakan dalam keadaan
seperti saat itu kau masih dapat tertawa " lalu bagaimana ia
harus bertindak " Duduk salah, berdiripun salah. Siapa dirinya ia tak tahu
sendiri. Siapa namanya, juga tak tahu. Dari mana asalnya dan
mengapa berada disitu, aduhai . . mengapa kepalanya macet .
. Huh!" karena jengkel ia terus loncat ayunkan tubuhnya
keatas, duk, aduh . . . kepalanya terbentur langit guha karang
dan terpelantinglah ia jatuh ketanah lagi.
Guha itu tingginya tiga meter. Biasanya tak mungkin ia
dapat melonjak keatas sedemikian tingginya. Dan memang tak
pernah berlonjakan. Tetapi saat itu ia dapat mencapai
ketinggian yang begitu tinggi Seharusnya ia merasa aneh
mengapa dirinya mendadak bisa begitu. Tetapi karena otak
nya hampa, ia tak menyadari hal itu . . .
Karena membentur langit guha, kepalanya rasa pusing.
Setelah berdiam diri beberapa saat ia mengeliarkan pandang,
mata lagi. Secara kebetulan pandang matanya tertumbuk pada
tangkai pedang yang menancap di punggung orang tua itu.
"Eh, ada tulisannya . . . ," ia menghampir merapatkan muka
dan membaca : Wan-ong-kiam . . . , "ho apakah artinya Wanongkiam" O, benar, benar. Karena pedang itu berasal dari
kerangka yang berada ditanganku ini, tentulah Wan-ong-kiam
itu nama dari yang empunya, aku . . hola . . !" berteriak
kegirangan, "sekarang tahulah siapa namaku. Ya, namaku
tentu Wan-ong-kiam, ha, ha"


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnya arti daripada Wan-ong-kiam ialah Pedang
Penasaran. Tetapi karena otak anak itu sudah macet, dia tak
menyadari hal itu Tiba-Tiba dari luar guha terdengar suara orang bercakapcakap.
Yang seorang nadanya seperti a-nak perempuan.
"Hati-Hati, sumoay semalam habis hujan lebat, padas tentu
licin. Kerahkan seluruh gin-kangmu agar jangan sampai
tergelincir kebawah jurang;" seru seorang pemuda.
"Baik, suko," sahut kawannya yang bernada anak
perempuan. Rupanya kedua orang itu suko dan sumoay atau
kakak dan adik seperguruan.
Terdengar angin menderu dan sesosok tubuh melayang
ketepi seberang, dipuncak gunung yang terdapat guha itu.
"Bagus, sumoay, gerakanmu sungguh indah. Tak kecewa
engkau diberi nama suhu 'burung Walet-kuning dari Hoa-san',"
sipemuda berseru memuji. "Ai, jangan menyanjung setinggi langit. Suko, lekaslah
engkau melayang kemari," seru si dara. Terdengar deru angin
meniup dan kembali diseberang karang bertambah dengan
seorang pemuda. "Bagus sekali, suko. Bukan hanya melompat biasa tetapi
engkau dapat melompat sambil berjumpalitan diudara. Kalau
suhu mengasih nama si Rajawali-bermata-biru kepadamu, itu
memang tepat-sekali," kata dara itu pula.
"Ho, apakah biji mataku ini benar-benar biru, sumoay ?"
kata pemuda itu sambil rentangkan kedua matanya lebar-lebar
kemuka si dara. "Hi, hi, hik," si dara tertawa geli, "memang berwarna biru.
Engkau malu " Salah. Seharusnya engkau bangga karena
mempunyai sepasang mata yang berwarna biru."
"Mengapa sebabnya ?"
"Sebab didunia ini jarang orang yang mempunyai mata biru.
Maka engkau harus menepuk-dada karena hanya engkaulah
satu-satunya orang yang memiliki mata biru . . . ," kembali si
dara tertawa mengikik. "Budak kurang ajar, engkau berani mengerjai aku ?"
pemuda itu tahu kalau diolok-olok, lalu mengangkat tangan
hendak menampar. Tetapi secepat itu si darapun sudah loncat
lari. Pemudi itupun mengejarnya.
Rupanya kedua suko dan sumoay itu amat akrab sehingga
dimana tempat, bahkan di tepi jurang puncak gunung yang
tinggi, mereka masih bergurau saling berolok.
Dara itu mengenakan baju kuning, bertubuh kecil langsing.
Wajahnya sesegar bunga mekar pagi hari, berseri cerah dan
periang. Umurnya sekitar 15 tahun. Yang paling menonjol,
adalah sepasang matanya yang lebar bundar berpagar
bulumata yang lebat hitam.
Sedang pemuda itu bertubuh tegap, wajah cakap dan mata
yang berkilat tajam. Umur sekitar -sekitar 0 tahun. Tiada yang
tercelah pada pemuda itu kecuali sepasang alisnya yang
menjungkat keatas, memantulkan sifat yang kejam.
"Hai, sumoay, berhentilah," serunya kepada si dara yang
masih melesat-lesat di antara jajaran batu karang untuk
menghindari kejaran suko-nya.
"Apa engkau tak marah lagi ?" seru sinona"Sudahlah. jangan bertingkah seperti anak kekecil. Lihat,
matahari sudah makin menjulang, suhu tentu sudah bangun.
Mari kita cepat menjenguknya !"
Dara yang disebut Walet-kuning dari Hoasan itu menurut.
Memang demikian pekerjaan keduanya. Tiap pagi naik
kepuncak dan menjenguk suhunya yang berada dalam guha
itu. Kini derap langkah kedua muda mudi itu makin dekat dan
makin jelas. Anakmuda yang berada dalam guha dan merasa
dirinya bernama Wan-ong-kiam itu makin terkejut gelisah
"Ah, bagaimana kalau kedua pendatang itu tahu aku berada
disini " Orang tua yang mati itu kemungkinan besar tentulah
suhu mereka. Kalau mereka mendapatkan suhunya sudah mati
dan yang ada disini hanya aku, bukankah mereka akan
menuduh aku yang memmbunuh suhunya ..." ^
Namun guha itu hanya mempunyai sebuah pintu. Jika ia
menerobos keluar dari pintu, tentu akan kesompokan dengan
kedua muda mudi itu. Ia meneliti pula keadaan guha. "Ah,
kemana aku harus bersembunyi . . . ?" belum selesai ia
bertanya pada diri sendiri, tiba-tiba di pintu guha muncullah
dua orang muda mudi. "Suhu . . . !" serentak
terdengarlah sigadis menjerit kaget
demi melihat keadaan orangtua
yang teah bergelimangan darah itu.
Keduanya menerobos masuk menghampiri mayat itu. Sejenak kemudian, pemuda itu
mengangkat muka dan menjerit
kaget: "Hai, siapakah engkau!"
Serentak pemuda itu berbangkit,
menghunus pedang lalu loncat menyerang : "Bangsat, tentu
kau yang membunuh suhuku . . . !"
Pemuda yang berada dalam guha itu, terkejut, Sesaat ia tak
dapat berbuat apa-apa kecuali hanya terlongong-longong saja
.... -ooo0dw0ooo- Jilid 3 Siapa diriku " Pemuda yang kehilangan pikirannya itu memang kasihan
sekali. Ia tidur, bangun dan mendapatkan dirinya dalam
keadaan yang serba aneh. Berada dalam sebuah guha yang
tak diketahui namanya, mencekal kerangka pedang dan
berteman dengan seorang mayat yang berlumuran darah dan
punggungnya berhias pedang Lalu muncul dua o-rang muda
mudi. Si pemudi menubruk tubuh mayat itu dan si pemuda
terus loncat menyerang dia . . .
Pemuda blo'on itu masih terlongong-longong-Tetapi ketika
sinar ujung pedang memancar menyilaukan matanya, tiba-tiba
ia menyadari kalau dirinya terancam maut. Walaupun
pikirannya hampa, tetapi ia masih mempunyai naluri. Naluri
sebagai manusia yang akan berusaha menyelamatkan diri
apabila terancam bahaya. Cepat ia gerakkan kerangka pedang untuk menangkis
seraya loncat menghindar kesamping. Tring, ujung pedang si
Rajawali-mata-biru tersiak dan pemuda yang hendak
dibunuhnya itupun dapat meloloskan diri.
"Ho, kiranya engkau hebat juga !" seru si Rajawali-matabiru
seraya berputar tubuh menghadaJ kearah pemuda blo'on
itu. "Aku tidak membunuh orang itu!" teriak pemuda blo'on itu.
Karena tangkisan kerangka pedang tadi dapat menyiakkan
ujung pedangnya, si Rajawali-mata-biru terkejut. Diam-Diam
ia menduga kalau pemuda itu tentu hebat ilmu silatnya. Maka
ia hentikan serangannya dan hendak menyelidiki dulu
siapakah pemuda pembunuh suhunya itu.
"Siapa engkau !" bentaknya
"Aku " Entah, aku sendiri tak tahu . . . "
"jangan gila-gilaan, katakan namamu!" bentak si Rajawalimatabiru makin geram. "Nama" Aku sendiri tak tahu siapa namaku"
"Apa engkau gila ?"
"Tidak, eh, ya . .eh, apakah maksudnya gila ?"
Walaupun mendongkol tetapi si Rajawali mata-biru terpaksa
menerangkan : "Gila ialah pikirannva tidak waras."
"O . . ," desus pemuda blo'on, "apakah kalau orang tak tahu
namanya sendiri itu juga orang gila ?"
?"Ya, gila yang paling gila "
'"O, kalau begitu aku ini tentu gila," teriak pemuda blo'on
itu." "Hm, kalau engkau tetap hendak mempermainkan aku,
tentu kupotong lehermu!" si Rajawali-mata-biru deliki mata.
"Idih . . . , " pemuda blo'on itu mendesis seram, "jangan
memandang aku begitu rupa i"
"Engkau takut " Mengapa ?"
"Matamu biru, seperti ..."
"Seperti apa " "Seperti . . . seperti, eh. mengapa aku tak ingat " seperti
apa, aku sendiri tak tahu."
"Tutup mulutmu !" bentak si Rajawali-mata-biru, "siapa
nama suhumu "-"
"Suhu " Apa suhu itu ?" kembali pemuda blo'on itu
mengerut dahi. "Suhu ialah guru yang mengajarkan engkau ilmu silat."
"O" desus pemuda blo'on,, "eh, ilmusilat" Tetapi aku tak
mengerti ilmusilat. Apakah ilmusilat?"
Hampir meledak perut si Rajawali-mata-biru karena
mendengar ocehan si blo'on yang kegila-gilaan itu. Namun
karena ia perlu mengetahui nama perguruannya agar kelak
dapat meminta pertanggungan jawab kepada ketua
perguruannya itu, terpaksa ia tahankan kemarahannya.
"Tadi aku menusukmu dan engkau dapat menangkis lalu
menghindar. Gerakanmu itu disebut ilmu silat, ilmu untuk bela
diri, pun untuk berkelahi. Bukankah engkau pandai ilmusilat ?"
"Ha, ha, ha, ha ... " tiba-tiba blo'on tertawa gelak-gelak,
"kalau gerakan begitu disebut ilmusilat, aku memang bisa.
Tetapi gerakanku tadi hanya untuk menyingkir dari ujung
pedangmu. Aku tak mengert kalau gerakan itu disebut
ilmusilat". "Jangan ngoceh, lekas katakan siapa suhumu?"
"Entah, aku tak punya suhu."
"Eh, bung, engkau ini orang atau setan!" tiba-tiba si dara
Walet-kuning menghampiri dan mendamprat!
"Entahlah. Aku sendiri juga bingung. Sungguh mati, aku
memang tak tahuapa-apa. Pikiranku kosong melompong ..."
"Mengapa engkau membunuh suhuku?" tukas si Waletkuning
pula. "Aduh, ampun nona," si blo'on mengelus dada, "aku benarbenar
tak membunuh suhumu. Aku sendiri tak mengerti
mengapa aku berada disini."
"Dari mana engkau sebelumnya."
"Eh . . , " si blo'on garuk-garuk kepala, "ya, benar dari
mana saja aku sebelum berada disini Ah, celaka, mengapa aku
tak ingat apa-apa lagi . ."
"Kalau bukan engkau yang membunuh, mengapa kerangka
pedang itu berada dalam tangan dan pedangnya tertancap
dipunggung suhuku" desak Walet-kuning
"Hai, sekarang aku tahu namaku" bukan jawab pertanyaan
tetapi blo'on itu malah berteriak semaunya sendiri.
"Siapa ?" seru dara itu yang tanpa disadari ikut terhanyut
dalam gelombang ke-blo'onan.
"Wan-ong-kiam !"
Walet-kuning terkejut, hampir tertawa tetapi cepat
menyengir : "Jangan gila-gilaan ! Engkau tahu apa artinya
Wan-ong-kiam itu ?" Pemuda blo'on gelengkan kepala.
"Wan-ong itu artinya penasaran dan kiam Itu pedang.
Apakah maksudmu memakai nama itu?"
"Entahlah aku tak tahu. Aku menemukan Wan-ong-kiam
dan nama itu terus kupakai. Aku tak peduli apa arti nya.
Pedang Penasaran atau Pedang Huntung, itu bu'an soal.
Engkau boleh panggil begitu atau kalau keberatan, panggil
saja Wan-ong atau Ong-kiam atau apa saja yang engkau
senangi ..." Si dara tak mau melayani ocehan pemuda blo'on yang
makin tak keruan itu. la menuding dan membentaknya dengan
marah: "Engkau pembunuh suhu..."
Belum nona itu menyelesaikan kata-kata, pemuda bloon
sudah menukas : "Tidak . . . !"
"Bangsat, serahkan jiwamu !" tiba-tiba Si Rajawali matabiru
loncat menyerangnya lagi. Selama su-moaynya sedang
bicara dengan pemuda blo'on, dia menghampiri dan
memeriksa mayat suhunya. Ktlika memeriksa tanaman
mustika Liong-si-jau telah lenyap, ia makin terkejut Tepat
pada, saat itu ia mendengar pemuda blo'on mengatakan
bernama Wan-ong-kiam. Pada hal iapun membaca tulisan
pada pedang yang menancap dipunggung suhunya itu
berbunyi Wan-ong-kiam. Ya, jelaslah kalau pemuda blo'on itu
yang membunuh suhunya Maka cepat ia loncat
menyerangnya. Karena ketakutan pemuda blo'on itu loncat kesamping,
maksudnya hendak menghindar. Tetapi entah bagaimana
gerak loncatannya itu sedemikian pesat sehingga ia tak dapat
menguasai diri dan membentur karang, duk . . .
"Aduh . . ," ia jatuh terduduk, menjerit kesakitan seraya
mendekap dahinya yang berdarah. Ia heran mengapa
tubuhnya terasa ringan sekali la
hendak lompat kesamping selangkah dua langkah, mengapa tahu-tahu tubuhnya
melayang empat lima langkah
sehingga membentur dinding
guha. Tengah dia masih terlongong
keheranan, tiba-tiba Rajawalimatabiru kembali menyerangnya "Bangsat, engkau membunuh suhuku karena
hendak mencuri rumput mustika Liong-si-jau !"
Saat itu pemuda blo'on masih berjongkok duduk Ketika
ujung pedang Rajawali-mata-biru menyerang, ia tak sempat
menghindar lagi. Cepat ia mengangkat kerangka pedang untuk
menangkis. Kreek, uh . . karena kali ini Rajawali-mata-biru
menyerang dengan sekuat tenaga, kerangka pedang pemuda
blo'on terdampar kebelakang dan orangnya pun jatuh
terjerembab kebelakang juga.
Apabila seorang sedang duduk berjongkok lalu tiba-tiba
didorong kebelakang, dia tentu jatuh terjerembab. Jatuh
dengan kepala rubuh kebawah tetapi kaki menjulang keatas.
Demikian pula dengan pemuda blo'on itu. Karena dihantam
pedang sekuat-kuatnya oleh Rajawali-mata-biru, pemuda
blo'on itupun terpelanting, kepalanya rubuh kebelakang tetapi
kedua kakinya menjulang keatas. Plak . . secara tak disengaja,
kedua kakinya tepat menghantam perut Rajawali-mata-biru itu
terlemparlah tubuh Rajawali-mata-biru dan sampai beberapa


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meter jauhnya. Duk, kepalanya terbentur dinding karang dan
terus terkulai jatuh tak sadarkan diri ....
"Suko' si dara Walet-kuning menjerit kaget dan loncat
menghampiri. Ternyata belakang kepala sukonya berdarah
dan tulang punggungnya patah Sukonya pingsan.
Walet-kuning diam-diam terkejut. Sukonya memiliki ilmu
lwekang yang tinggi. Serangan yang dilancarkan tadipun
menggunakan jurus istimewa dari perguruannya. Tetapi hanya
dalam satu gebrak saja, sukonya dapat ditendang mencelat
begitu rupa sehingga tak ingat diri. Ah, pemuda pembunuh iti
tentu seorang yang hebat ilmu kepandaiannya.
Tetapi pada lain kejab, si dara Walet-kuning mengertek gigi.
Suhunya telah dibunuh, kini sukonyapun dirubuhkan. Tak
peduli musuh bagaimana saktinya, ia harus melakukan
pembalasan. Serentak dara itu melonjak bangun, mencabut
pedang dan menghampiri ketempat pemuda blo'on yang
masih duduk numprah ditanah. Wajah dara Walet-kuning yang
cerah, saat itu tampak memberingas seperti macan betina
yang kehilangan anak . . .
Pemuda blo'on itu terbeliak, serunya : "Hai, nona, engkau .
. . engkau hendak, mengapa ?"
"Mencincang tubuhmu, bangsat !" teriak nona itu dengan
mata berapi-api, "engkau membunuh suhuku. melukai sukoku
dan mencuri bunga rumput Liong-si-jau yang berumur seribu
tahun !" "Berhenti !" pemuda blo'on itu memekik keras ketika
melihat si dara hendak menyerangnya, "nanti dulu. Kalau
engkau hendak membunuh aku. tunggu dulu aku bicara. Jika
memang aku bersalah, bunuh sajalah. Tetapi kalau tidak,
engkau tak boleh main bunuh. Apalagi engkau seorang anak
perempuan ..." "Ngaco !" bentak Walet-kuning, "lekas bilang "
"Mengapa engkau menuduh aku membunuh suhumu ?"
"Tanganmu berlumuran darah, engkau mencekal kerangka
pedang yang sudah kosong, pedangnya tertancap dipunggung
suhu. Anak kecilpun tentu akan mengatakan kalau engkau
yang membunuhnya. Kalau bukan engkau, habis siapa "
bukankah disini tiada lain orang lagi kecuali engkau ?"
"Benar, benar, apa yang engkau katakan itu memang
benar," seru pemuda blo'on, "tetapi akupun benar-benar tak
membunuh, tak mencuri rumput Itu. Coha pikirkan. Mengapa
aku harus membunuh suhumu, aku tak kenal siapa dia. Dan
akupun tak mencuri rumput itu. Bahkan melihat bagaimansl
macamnya rumput itupun aku belum tahu. Bagaimana engkau
menuduh aku mencurinya !"
"Blo'on yang pintar bersilat lidah atau tukang bersilat lidah
yang blo'on, engkau ini hai !" si dara deliki mata, "seribu katakata
.... "Eh, tunggu dulu nona," tiba-tiba anakmuda itu berseru,
"engkau bilang Blo'on, apakah blo'on itu ?"
"Blo'on ialah manusia seperti engkau Tolol, tidak tolol
sesungguhnya. Bodoh, tidak bodoh sesungguhnya. Gila, tidak,
waraspun buka Jelasnya manusia yang serba setengah.
Setengah tolol, setengah goblok, setengah gila, setengah
waras !" "O, kalau begitu aku ini manusia setengah" kata pemuda
itu, "hai, benar, benar. Aku memang blo'on ini. Kalau tidak,
masakan punya kepala tapi tak berisi otak. Punya otak tetapi
macet. Punya diri tetapi tak kenal. Ya, aku memang manusia
yang kehilangan diri. Tidak tahu siapa diriku ini . . .,"
"Jangan ngoceh !" tiba-tiba dara itu terus menusukkan
pedangnya. Tetapi karena ketakutan pemuda blo'on itu
menjerit keras dan menghindar samping.
Diluar dugaan, jeritan pemuda blo'on itu menghamburkan
tenaga yang hebat dan kumandangnyapun lebih dahsyat dari
harimau mengaum. Si dara Walet-kuning terkejut sekali
sehingga tusukannyapun sampai mencong kesamping. Tetapi
pemuda itu sendiripun kaget. Ia terlongong-longong heran
mengapa tiba-tiba ia memiliki nada suara yang sedemikian
dahsyatnya. "Tunggu !" teriaknya pula ketika melihat si Walet-kuning
hendak menyerang lagi, "aku belum habis bicara, mengapa
engkau sudah hendak membunuh aku ?"
Si dara Walet-kuning tertegun. Diam-Diam ia makin
menyadari bahwa pemuda yang tampaknya blo'on itu
sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Bukti
yang jelas sukonya dapat ditendang rubuh. Dan suara
gemborannya tadi, benar-benar hampir membuat jantungnya
copot. Baiklah, ia hendak menunggu penjelasan pemuda itu
baru nanti mengambil tindakan.
"Lekas !" bentaknya.
"Ya, ya, aku bilang," katanya, "nona, aku ingin tanya
kepadamu, boleh ?" "Hm," dengus si dara.
"Apakah engkau ingat semua perjalanan hidup mu selama
ini. sejak kecil sampai sekarang ?"
Walet-kuning kerutkan dahi. Ada hubungan apa pertanyaan
itu diajukan kepalanya. Namun ia ingin tahu juga : "Ya,"
sahutnya ringkas. "Apakah engkau percaya bahwa seorang itu dapat
kehilangan ingatannya sama sekali ?"
"Itu orang gila !"
"Nona, apakah engkau anggap aku ini orang gila ?"
"Hm, bukan gila tetapi menggila atau pura-pura gila !"
"Terima kasih," kata pemuda blo'on, "tetapi aku sebenarnya
tidak pura-pura gila, hanya otakku kosong. Aku tak ingat apaapa
lagi. Bahkan diriku, namakupun aku tak tahu. Benar,
nona, hendaknya engkau mau percaya omonganku ini . . . "
Walet-kuning menatap pemuda itu. Seorang pemuda yang
berwajah cakap sekali. Bukan memiliki tampang pembunuh
dan pembohong. Tetap gerak geriknya memang seperti anak
blo'on. '"Nona, tolonglah engkau memberitahu kepadaku.
Bagaimana cara atau obatnya untuk memulihkan otakku ?"
"Mudah." "Apa ?" "Makan otak naga !"
"Hai. benarkah " Dimana aku dapat memperoleh otak naga
itu ?"' "Engkau tahu apa naga itu?" tanya Walet-kuning
"Tidak." "Naga itu ular besar yang tinggal dalam laut Suka makan
orang." "idih . , " pemuda blo'on mengungkap kedua bahu karena
merasa ngeri, "lalu bukankah aku juga akan dimakannya kalau
hendak mengambil otaknya"
"Tentu," sahut sinona, "kalau engkau dapat mengalahkan
naga itu, barulah engkau dapat mengambil otaknya "
"Bagaimana cara membunuh naga itu ?"
"Terserah engkau sendiri."
Jejaka blo'on itu garuk-garuk kepala, tiba-tiba ia bertanya
pula : "Tetapi benarkah otak naga itu dapat menyembuhkan
otakku yang hilang "'
"Ya." "Di mana tempat naga itu ?"
"Laut Hitam " "Letaknya ?" "Jauh sekali dari sini. Engkau terus berjalan ketimur saja.
Tanya pada orang, nanti tentu sampai," kata Walet-kuning.
Sebenarnya nona itu hanya omong sekenanya saja..la
sendiri tak tahu apakah otak naga itu dapat menyembuhkan
penyakit si blo'on itu atau tidak. Pun ia tak tahu apakah ada
laut yang bernama Laut Hitam. Dan kalau ada, iapun tak tahu
apakah dilaut itu ada naganya. Sebenarnya ia hanya hendak
mempermainkan jejaka itu saja.
"Terima kasih, nona," tiba-tiba Walet-kuning terkejut ketika
pemuda Wo'on itu terus berputar tubuh hendak angkat kaki.
"Hai, hendak kemana engkau !" cepat Walet-kuning
lintangkan pedang menghadang si Wo'on.
"Ke Laut Hitam."
"Ngaco !" bentak Walet-kuning, "engkau belum
membereskan persoalan disini. Belum
mempertanggungjawabkan perbuatanmu membunuh suhu,
melukai suko dan mencuri rumput mustika !"
"Akan kupertanggung-jawabkan semuanya itu Tetapi aku
minta tempo." "Minta tempo ?"
"Ya, aku hendak mencari otak naga. Setelah otakku
sembuh, baru aku akan kemari untuk memberi
pertanggungan-jawab kepadamu."
"Bohong !" bentak Walet-kuning, "apa engkau kira aku ini
anak kecil yang mudah engkau kelabuhi. Begitu engkau pergi
dari sini, tak mungkin engkau akan kembali lagi."
"Nona, aku seorang lelaki," katanya sambil tegapkan tubuh
busungkan dada dan mengangkat kepala, "apa yang
kukatakan tentu akan kutepati. Berani berbuat tentu berani
bertanggung jawab" "Tidak !" bentak Walet-kuning lalu menusukkan pedangnya
keperut pemuda blo'on itu.
"Ih ... " si blo'on mengerutkan perut dan ujung pedang
Waiet-kuning mengenai dinding karang.
Walet-kuning benar-benar terkejut. Jarak ujung
pedangnya dengan perut si blo'on dekat sekali Tetapi ia heran
mengapa sedemikian gesit anak blo'on itu menggerakkan
perutnya. Dan karena ia menggunakan sekuat tenaga untuk
menusuk, ujung pedangnya sampai masuk kedalam dinding
hingga sampai setengah bagian.
Walet-kuning berusaha hendak mencabutnya. Melihat itu si
blo'on hendak membantu. Ia ulurkan tangannya. Tetapi
gerakan blo'on telah salah ditafsirkan oleh Walet-kuning. Ia
mengira pemuda iiu hendak menutuk lengannya. Cepat ia
lepaskan pedang dan loncat kebelakang.
"Eh, mengapa engkau?" si blo'on terlongong heran
memandang nona itu. "Tutup mulutmu !" bentak Walet-kuning seraya
memukulnya. Kini karena tak membawa pedang, ia gunakan
tangan kosong untuk menyerang.
"Tahan " teriak blo'on seraya menyingkir ke samping,
"mengapa engkau hendak memukul aku?"
"Tanpa pedang akupun sanggup untuk menghancurkan
kepalamu !" "Nanti dulu, nona," blo'on berseru gopoh, 'aku toh sudah
mengatakan bahwa saat ini otakku hilang. Aku tak ingat apaapa
lagi. Biar kucari otak saja dulu. Setelah otakku kembali,
baru aku datang kesini lagi. Percaialah, nona, aku tentu
pegang janji !" "Tidak ! Engkau tentu menipu aku ."
"Oh, nona manis . . , " tiba-tiba si blo'on berlutut. "mengapa
engkau tak mau percaya kepada keteranganku. Aku benarbenar
menderita penyakit yang aneh Pikiranku serasa kosong,
otakku hampa. Ini sungguh, kalau engkau tak percaya . . hu,
hu, hu. . . , " tiba-tiba blo'on menangis. Ia jengkel sekali
karena sinona tak mau percaya omongannya kalau dia sakit
otak. Karena tak dapat melampiaskan kejengkelannya, iapun
menangis. Betapapun halnya, Walet-kuning itu seorang anak
perempuan. Walaupun ia marah dan benci sekali kepada
pemuda yang dianggap membunuh suhunya, namun
perasaannya sebagai seorang dara tetap terketuk. Untuk
sementara terpaksa ia tahan kemarahannya.
"Hai, engkau anak laki atau anak perempuan ?" tegurnya.
"Laki-Laki." "Mengapa menangis seperti anak perempuan" "
"Jengkel, ya karena hatiku jengkel sekali tetapi tak tahu
kepada siapa aku harus menumpah kan kejengkelanku.
Daripada jengkel terhadap orang biarlah kutumpahkan dengan
jalan menangis saja."
"O, ada gunanya jugakah tangis itu ?"
"Tentu, tentu," sahut si blo'on, "menangis itu dapat
melonggarkan dada yang sesak karena sedih jengkel, marah
dan dendam ..." "Kurang ajar !" tiba-tiba nona itu mendamprat terus
ayunkan tangan menampar muka blo'on,"ternyata engkau
pandai memberi penjelasan kepada orang. Mengapa bilang
kalau ingatanmu sudah hilang ?"
Plak, karena tak menyangka, pipi si blo'on kena tertampar.
Hidungnyapun mengucur darah. Tiba-Tiba ia songsongkan
pipinya yang sebelah: "Nih, tamparlah yang kanan juga."
"Mengapa?" mau tak mau si dara tertegun.
"Supaya imbang, jangan begap sebelah "
"Baik," kata Walet-kuning lalu ayunkan tangannya lagi. Plak
. . . Pipi kiri pemuda itu membegap merah. Dia hanya
menyeringai, tidak mengaduh kesakitan. Lalu bertanya :
"Sudah puaskah engkau sekarang ?"
"Bagaimana bisa puas kalau engkau belum mengganti jiwa
suhuku yang engkau bunuh itu !" lengking si Walet-kuning.
"O, sayang, aku tak dapat memuaskan keinginanmu.
Karena aku tak merasa membunuhnya. Andaikata
membunuhnya, pun bukan atas kesadaran pikiranku. Soal ini
kuminta waktu. Setelah otakku yang lumpuh ini sembuh,
barulah nanti kita bicara lagi, "habis berkata pemuda blo'on
itupun terus lanjutkan langkah lagi.
"Jangan main gila," bentak si Walet-kuning seraya
menyerang dengan THay-san-gui-ting atau Gunung Thay-san
menindih puncak. Kedua tangannva menghantam ubun-ubun
kepala pemuda itu. Pemuda blo'on terpaksa menghindar dan si Waletkuningpun
makin menyerang gencar. Demikian keduanya
segera terlibat perkelahian yang seru. Namun betapapun
Walet-kuning berkeras hendak merubuhkan lawan tetapi si
blo'on tetap dapat menghindar. Nona itu diam-diam terkejut
melihat kesaktian pemuda blo'on. Tetapi pemuda itupun juga
heran sendiri. Ia merasa gerakkan tubuhnya amat ringan
sekali, seolah tumbuh sayap.
Beberapa jurus telah berlangsung, tiba-tiba Walet-kuning
gencarkan serangannya. Ia benar-benar penasaran kalau tak
dapat merubuhkan lawan. Bahkan dalam suatu kesempatan, ia
menyapu kaki si blo'on dan rubuhlah pemuda itu terbanting
ketanah. Kerangka pedang yang berada ditangan kirinnya


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbentur dinding karang dan mencelat. Saat itu si Waletkuning
terus mengangkat tangan hendak menyusuli
menghantam kepala si blo'on. Crek.. tiba-tiba kerangka
pedang yang mencelat itu mengenai jalan darah jiok-ti-hiat
siku lengannya. Seketika tinju sinona yang tengah mengacung
diatas itu berhenti. Dan terjadilah suatu pemandangan yang
lucu. Walet-kuning berdiri tegak seperti patung tangan kanannya
diangkat keatas kepala seperti hendak menghantam. Tetapi
nona itu tak dapat bergerak lagi. Seperti sebuah patung.
Pemuda blo'on meringis kesakitan. Pantatnya menghantam
karang yang keras. Sejenak kemudian ia berbangkit dan
menghampiri sinona : "Hm, galak ya engkau ini ! Masakan
anak perempuan berani menjegal anak laki. Hayo, jegallah aku
sekali lagi ... " la sosongkan tubuh kehadapan dara itu. Tetapi sampai
beberapa jenak tak juga nona itu menggerakkan kakinya
"Ho, mengapa tak mau ?" si blo'on mengangkat muka, "O,
engkau hendak memukul " Bukankah tadi engkau sudah dua
kali memberi tamparan kepadaku " Apa masih belum puas "
Baik, baik, pukullah kepala !"
Ia songsongkan kepalanya kemuka menunggu pukulan
tetapi sampai beberapa jenak, belum juga si dara memukul.
Cepat ia memandangnya : "Lho, mengapa engkau diam saja?"
Bukan kepalang geram si Walet-kuning. Wajahnya merah
padam : "Bedebah, jangan keliwat menghina si Walet-kuning.
Kalau mau bunuh, bunuhlah aku !"
Pemuda blo'on membelalakkan matanya lebar-lebar : "Apa"
Bukankah engkau hendak memukul aku" Mengapa engkau
minta aku membunuhmu?"
Karena jalan darah lengannya tertutuk kerangka pedang, si
Walet-kuning tak dapat berkutik. Sekalipun karena jatuh,
kerangka pedang itu mencelat dan secara tak sengaja
kebetulan mengenai jalan darah sinona, namun nona itu
mengira kalau gerakan itu memang sengaja dilakukan oleh
pemuda blo'on. Ia anggap pemuda blo'on itu memang hendak
mempermainkannya. "Hm, jangan gila-giiaan. Bunuh saja aku daripada engkau
bikin malu begini !"
"Bikin malu " Mengapa aku membikin malu kepadamu ?"
makin heranlah pemuda blo'on itu.
"Jahanam, engkau menutuk jalandarah siku lenganku
sehingga aku tak dapat bergerak, mengapa masih berlagak
pilon ?" damprat si dara.
"Heh, heh, heh," tiba-tiba pemuda blo'on tertawa geli,
"lucu, lucu sekali engkau ini. Menjamahpun tidak, mengapa
engkau bilang aku menutuk siku lenganmu !"
"Engkau timpuk dengan kerangka pedang, tolol!"karena
geramnya nona itu sampai hampir muntah
"O, ya, ya sudah," kata pemuda blo'on. Sebenarnya ia tak
tahu apa sebab kerangka pedang yang mencelat dari
tangannya itu dapat menyebabkan sinona tak dapat berkutik.
Tapi karena kuatir dara itu marah, terpaksa ia mengiakan saja
"lalu bagaimana sekarang ?"
"Bunuhlah aku !" teriak Walet-kuning.
"Bunuh" Huh, ngeri dong, "si blo'on mengerenyut dahi,
"aku tak pernah membunuh. Jangarkan membunuh orang,
ayampun aku ngeri. Suruh apa saja aku mau asal jangan
engkau suruh bonuh."
"Kalau engkau tak mau membunuh, mengapa tak engkau
buka jalandarahku yang engkau tutuk ini?" seru si dara.
"Membuka jalandarahmu" Ya, baiklah," kata blo'on tetapi
pada lain saat ia cepat berteriak! "hai. bagaimana caranya "
Dimana jalandarahmu itu ?"
"Jangan berlagak pilon. jalandarah jiok-ti-hiat dilenganku
ini." teriak dara yang mengira pemuda blo'on itu memang
sengaja hendak memperolok dirinya.
Sudah beberapa kali ia berusaha menyalurkan tenagadalam
membuka jalandarahnya yang tertuuk itu. Tetapi
walaupun ia telah berusaha sekuat tenaga namun tetap gagal.
Jalandarahnya yang tertutuk itu seolah-olah macet. DiamDiam ia makin terkejut dan makin percaya bahwa pemuda
yang umpaknya blo'on itu ternyata memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi. Bahwa beberapa kali pemuda itu berlagak tak tahu,
tentulah sengaja hendak mempermainkan dirinya. Maka
karena geram, marah, jengkel, dan putus asa bercampur aduk
dalam hati, nona itu menangis . . .
"Hai," pemuda blo'on melonjak kaget, "mengapa engkau
menangis ?" Tetapi nona itu tak mau mempedulikan. Ia pejamkan mata
tak sudi melihatnya. Si blo'on makin bingung dan kelabakan. Ia tak tahu apa
sebab nona itu tiba-tiba menangis. Dan diperhatikannya pula
nona itu masih tetap mengacungkan tangannya kanan keatas
seperti hendak memukul. Dan yang lebih aneh pula, nona itu
diam saja tak bergerak "Nona, mengapa engkau " Engkau mengatakan aku
menutuk jalandarahmu, tetapi aku sungguh tak merasa
melakukan hal itu. Sudahlah jangan menangis, katakanlah apa
yang engkau hendak suruh aku melakukan ?"
Tetapi si Walet-kuning sudah keliwat jengkel. Ia tak mau
menggubrisnya lagi dan tetap menangis terus.
"Nona, kalau engkau tak mau berhenti menangis, aku
hendak pergi saja mencari otak naga. Engkau jangan pergi
kemana-mana dulu, setelah mendapatkan obat itu, aku tentu
segera datang kesini lagi ..."
Serentak nona itu terus membuka mata dan berteriak :
"Hai, tolol, tunggu ! Hendak kemana engkau ?"
"Cari otak naga. Bukankah engkau katakan hanya otak naga
yang dapat menyembuhkan otakku yang hilang itu ?"
Dada Walet-kuning benar-benar mau meledak, ia hanya
berolok-olok tetapi ternyata pemuda tolol itu benar-benar
percaya. Dan celakanya kalau dia pergi siapa yang akan
menolong membuka jalandarahnya yang tertutuk itu " Pergi
ke Laut Hitam bukan sejam dua jam sehari dua hari atau
sebulan duu bulan, tetapi mungkin sampai beberapa tahun.
"Engkau gila!" teriaknya, "Laut hitam itu jauh sekali, kalau
engkau kesana mungkin sampai setahun dua tahun baru
datang kesini. Dan aku bagaimana . . ."
"Silahkan engkau pulang dan tiap hari datanglah kemari
untuk menengok apakah aku sudah kembali," kata si blo"on
seenaknya saja. "Hai, tolol, apakah engkau sungguh-sungguh tak tahu?"
teriaknya. "Tahu apa ?" "Karena siku lenganku tertutuk, aku tak dapat
menggerakkan tubuhku?"
Blo'on melonjak seperti terpagut ular : "Hai, jadi engkau tak
dapat bergerak " Apakah engkau mau jadi patung ?"
Walet-kuning benar-benar mau muntah darah karena
marahnya mendengar ocehan si blo'on yang tak keruan itu :
"Ya, sudahlah, pergilah engkau biar aku jadi patung disini."
Akhirnya karena jengkel sinona menjerit.
Blo'on melongo, garuk-garuk kepala dan berseru : "Ai, ai
serba salah. Kuminta engkau suruh aku melakukan apa,
engkau diam saja. Aku pergi, engkau marah-marah. Habis
bagaimana ?" Tetapi nona itu diam saja. Ia pejamkan mata tak sudi
melihat cecongor si blo'on.
"Nona, beritahu kepadaku, bagaimana cara untuk membuka
jalan darahmu itu r"
Walet-kuning tetap membisu.
"Nona, engkau salah faham," bujuk si blo'on, "aku benarbenar
tak mencelakai mu, pun sungguh tak mengerti tentang
ilmu menutuk jalandarah engkau lurus percaya seperti engkau
harus percaya pula bahwa aku bukan pembunuh suhumu . . .
Si dara tetap diam. "Hai, mengapa diajak bicara diam saja?" si blo'on garukgaruk
kepala, "apakah dia benar sudah jadi patung yang tak
dapat bicara?" Diam-Diam diawasinya nona itu. Dari atas kepala sampai ke
ujung kaki. Diam-Diam ia mendapat kesan bahwa dara itu
cantik. Tetapi ia heran mengapa tangannya mengacung
keatas seperti hendak meninju. Lalu timbul pertanyaan lagi
dalam hatinya, apakah yang menyebabkan tangannya terus
saja mengacung keatas itu "
"Ah, biarlah kuperiksanya," akhirnya ia memutuskan lalu
berkisar maju. Didapatinya lengan dara itu tak terluka sama
sekali. Aneh, mengapa tak mau menurunkan saja. Ia
memberanikan diri untuk memegang lengan si dara, dicobanya
untuk menurunkan. Uh. uh . . ia mendesus. Mengapa tangan
itu kaku sekali " la lepaskan cekalannya lalu mengangkat tangannya sendiri
keatas menirukan gaya nona itu Digerak-gerakkannya
tangannya sendiri turun naik beberapa kali, katanya : "Ah,
begini mudah sekali, mengapa dia tak mampu " Asal sikunya
digerakkan, tangan tentu akan turun ..."
Dengan mendapat pikiran semacam itu, dipegangnya siku
lengan dara itu lalu dipijatnya dan...
"Hai, dapat bergerak . . . !"
Tetapi belum habis ia berseru, tiba-tiba tangan si dara
bergerak mendorong dadanya. Uh . . bluk , si blo'on terdorong
jatuh ketanah, Ternyata pada waktu pergelangan siku lengan nona itu
dipijat si blo'on serentak terbukalah jalandarahnya yang
tertutuk. Dan serentak itu juga ia menghantam si blo'on
sehingga terpelanting jatuh.
"Hai, aku sudah menolongmu, mengapa engkau malah
memukul aku?" si blo'on menegur. Tetapi Walet-kuning tak
peduli. Dengan gemas ia menendang pemuda itu dan
menghajarnya. Untuk menghindarkan diri, blo'onpun terpaksa
berguling-guling ditanah. Tetapi nona itu tak mau memberi
ampun lagi. Ia merasa telah dipermainkan maka saat itu ia
hendak membalas sepuas-puasnya.
Karena berguling-guling di tanah, pakaian pemuda blo'on
kotor semua, begitu pula kulit mukanya bergurat-gurat lantai
batu yang tak rata. Karena sakit lama kelamaan timbul pikiran
si blo'on untuk menghentikan amukan dara itu. Pada saat tinju
Walet-kuning melayang, si blo'onpun cepat menyambar. Nona
itu terkejut, bahkan si blo'on sendiri juga. Ia tak kira kalau
gerak tangannya begitu cepat sekali diluar kehendaknya. Cret,
tangan sinona dapat dicengkeramnya dan menjeritlah dara itu
kesakitan : "Ih . . ."
Walet-kuning hendak meronta tetapi ia rasakan tenaganya
merana. Cengkeiaman si blo'on telah melunglaikan sendi-sendi
uratnya. "Mengapa engkau menghajar aku?" tegur pemuda blo'on
itu. Walet-kuning tahu bahwa ia berhadapan dergan seorang
anakmuda yang aneh. Tolol tetapi sakti. Apabila ia berkeras
kepala, kemungkinan pemuda itu marah, tentulah akan
meremas tangannya. Mati ia tak takut tetapi kematian itu
berarti kematian yang sia-sia. Ia tak dapat membalaskan sakit
hati suhunya yang dibunuh pemuda itu. Maka lebih baik untuk
sementara ia menggunakan siasat lunak, membawanya ke
markas agar diadili oleh para tetua partai perkumpulannya.
"Engkau hendak menghancurkan tanganku ?" lengking si
dara menantang. "Tidak," sahut si blo'on, "mana aku mampu?"
"Kalau tidak mengapa engkau memegang tanganku" Cis,
tak malu. anak laki pegang-pegang tangan anak perempuan,
hayo lepaskan!" bentak Walet-kuj ning.
"Ya, akan kulepas tetapi bagaimana kalau engkau memukul
aku lagi ?" "Hm ..." "Maukah engkau berjanji takkan memukul aku" tanya si
blo'on. "Tergantung pada engkau. Kalau engkau memberi
keterangan yang jujur, aku tentu tak marah."
"Ya, ya, baiklah, "si blo'on girang dan segera lepaskan
cekalannya. Lalu bertanya : "Nah sekarang tanialah."
"Engkau membunuh suhuku ?"
"Tidak !" "Sungguh ?" "Sungguh mati, nona. Aku berani disumpah."
"Tetapi yang ada disini hanya engkau. Punggung suhu
tertikam pedang dan kerangka pedang itu berada ditangahmu.
Tanganmupun berlumuran darah. Bagaimana engkau masih
berani menyangkal?" "Mengapa tak berani" Kalau aku membunuh tentu aku
mengaku membunuh. Tetapi aku tak merasa melakukan hal
itu. Aku berada disini, memegang kerangka pedang dan
tanganku berlumuran darah, itu tak kuketahui semua. Aku
sendiri juga heran tetapi aku tak dapat mengingat apa yang
telah terjadi pada diriku. Bahkan namaku dan siapa diriku,
akupun tak tahu. Otakku seperti hilang."
"Bohong !" Serta merta pemuda blo'on itu berlutut di-hadapan Waletkuning.
Dengan mata berlinang-linang dan suara terharu ia
berkata: "Nona manis, kalau engkau kasihan padaku, berilah
aku obat agar otakku sembuh. Tetapi kalau engkau tak
kasihan, tak apa. Tetapi kuminta engkau mau percaya pada
keteranganku. Setidak-tidaknya untuk sementara waktu ini
sampai aku sudah sembuh, sudah dapat mengingat segala
apa. Maukah ?" Melihat wajah si blo'on yang cakap dan bersih, timbullah
kesan Walet-kuning bahwa pemuda itu seorang yang jujur.
Adakah pemuda itu benar kehilangan daya ingatannya "
Sejenak merenung, akhirnya ia memutuskan untuk
mengajaknya ke markas perguruannya dan menghadapkan
kepada beberapa tokoh yang berwewenang.
"Baik, tetapi engkau harus mau kubawa ke markas
perguruanku. Disana ada beberapa cianpwe yang akan
memeriksamu. Kalau engkau memang tak bersalah engkau
tentu dibebaskan dan akupun bersedia mengantar engkau
mencari otak naga itu."
"Benar?" "Ya." "Baik, baik," teriak pemuda blo'on itu tetapi tiba-tiba ia


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerutkan dahi, apakah 'cianpwe' itu" Dia manusia atau
binatang?" Si dara mau marah karena merasa hendak dipermainkan
tetapi demi melihat kesungguhan wajah pemuda itu, diamdiam
ia kasihan juga. Dari marah ia menjadi geli.
"Cianpwe itu adalah orang tua, dalam kalangan persilatan
ialah orangtua yang tinggi ilmu kepandaiannya," menerangkan
si dara. "O." desuh si blo'on "mari kita pergi."
"Tunggu," seru si dara ketika melihat begitu omong, terus
saja si blo'on ayunkan langkah," bagaimana dengan mayat
suhuku ?" "Ah, kurasa biar disini, jangan dipindah-pindah agar
memudahkan cianpwe-cianpwe itu memeriksa keadaannya."
"Dan suko ?" "Apa itu suko ?" tanya si blo'on.
"Eh, engkau ini bagaimana, sudah hampir satu setengah
hari aku berteriak menyebut suko, mengapa engkau belum
tahu juga" Itu," ia menuding ke arah Rajawali-mata-biru yang
masih menggeletak pingsan, "suko-ku ialah engkoh
seperguruanku, mengerti ?"
"Ya, ya," kata si blo'on, maksudmu bagaimana?"
"Dia terluka dan pingsan, harus kita bawa pulang.""Ya, benar." "Lalu siapa yang membawa ?" tanya si dara.
"Lha siapa ya?" blo'on balas bertanya, "bagaimana kalau
engkau ?" "Gila" desuh Walet-kuning, "aku seorang gadis bagaimana
disuruh memanggul seorang anak laki Dan lagi aku tentu tak
mampu membawanya melompati jurang karang ?"
"Mengapa tak dapat ?"
"Ih, apa engkau mampu"
Blo'on belum melihat betapa keadaan jurang karang yang
memisahkan puncak disitu dengan puncak diseberang. Demi
untuk menyenangkan hati si dara ia membusungkan dada :
"Anak laki-laki harus mampu dan tentu bisa melompati
jurang." "Bagus " seru Walet-kuning, "sekaiang engkau panggul
sukoku itu dan marilah kita keluar."
Kali ini si blo'on sangat mendengar kata. Ia mengangkat
tubuh Rajawah-mata-biru lalu dipanggulnya. Ia heran
mengapa tubuh pemuda yang masih pingsan itu terasa ringan
sekali. Tak berapa lama setelah melalui beberapa gunduk karang
mereka tiba disebuah tepi karang yang buntung. Si dara
berhenti. "Nah, kita harus melompati jurang pemisah ini untuk
mencapai tepi karang diseberang," katanya seraya menunjuk
kekarang seberang, "kemudian? kita menuruni karang itu,
melintasi sebuah hutan dan baru tiba di markas perguruanku."
Si blo'on memandang kebawah. Demi melihat betapa dalam
jurang itu. hingga dasarnya sampai tak kelihatan, blo'on
mendesis kaget : "Aduh . . ngeri aku !"
"Ngeri " Kenapa ?" tanya Walet-kuning. "Jurang ini ternyata
dalam sekali. Kalau jatuh bukankah tubuhku hancur lebur ?"
"Benar," sahut si dara, "tetapi engkau memmiliki ilmu
meringankan tubuh yang hebat. Tak mungkin akan terjatuh."
"Benar . . eh, apa katamu" Ilmu meringakan tubuh" Apakah
ilmu meringankan tubuh itu?"
"Dalam istilah persilatan ilmu meringankan tubuh itu disebut
ginkang. Seorang yang ginkangnya tinggi dapat melayang di
udara sampai beberapa meter tingginya. Engkau tentu bisa,
bukan?" "O, begitu," kata si blo'on, "tetapi aku tak bisa !"
Walet-kuning sudah muak mendengar kegilaan si blo'on. Ia
anggap pemuda itu memang suka berolok-berolok saja tetapi
sebenarnya memiliki ilmu kepadaian yang sakti. Maka ia tak
mempedulikannya lagi. "Sekarang engkau atau aku yang lompat ke sana lebih
dulu?" tanya Walet-kuning.
"Tetapi aku tak dapat. Ih . . ngeri," kembali ia mengeluh
ketika melongok kebawah. "Kutunggu diseberang sana," Walet-kuning terus enjot
tubuhnya melambung keudara. Dan pada lain kejab, dara
itupun sudah berdiri ditepi puncak yang terpisah tiga empat
tombak dari puncak tempat blo'on berdiri.
"Hayo, lekas engkau. Dan jangan lupa panggullah suko-ku
!" seru si dara Si blo'on terlongong-longong. Bagaimana mungkin ia dapat
melintasi jurang yang lebarnya tiga empat tombak. Apalagi
disuruh memanggul seorang yang terluka.
"Aku tidak bisa, nona! Sungguh mati sampai tujuh kali
akupun bersedia kalau aKu bohong. Aku memang tak mampu
!" teriak si blo'on.
"Lekas . . . !" teriak Walet-kuning pula yang sudah tak mau
mempedulikan ocehannya. Ia anggap pemuda blo'on itu tentu
dapat. "Tidak " balas blo'on tak kalah kerasnya, "apakah engkau
hendak suruh aku mati dibawah dasar jurangini" O, betapa
kejam engkau ini, nona."
Walet-kuning termenung. Kalau ia memaki, sia-sia sajaPemuda blo'on itu sudah kebal dimaki. Lebih baik ia cari siasat
agar pemuda itu bangkit semangatnya.
"Hai, blo'on, kalau engkau takut, letakkan suko-ku ditanah
dan pergilah engkau. Walaupun aku seorang anak perempuan
tetapi tak sudi kalah dengan anak lelaki semacam engkau.
Mentang-Mentang berani buka bacot, menepuk dada sebagai
anak laki-laki, tetapi nyatanya,
cis . . melompati sebuah jurang begini saja tak berani.
Berani berjanji tetapi tak malu
menjilat ludah !" "Ludah siapa yang kujilat ?"
teriak blo'on. "Ludahmu sendiri! Bukankah
engkau tadi berjanji mau menggendong suko pulang ke
markas" Mengapa sekarang
nyalimu mengkeret ?"
"Hai, anak perempuan,jangan engkau terlalu menghina
padaku. Engkau kira aku tak berani melompati jurang ini "
Lihatlah saja nanti !" tiba-tiba blo'on berteriak lalu pasang
kuda-kuda. Setelah menahan napas ia terus enjot kakinya
mengantar tubuhnya melayang keudara, melintasi mulut
jurang yag menganga beberapa meter itu.
Blo'on hanya dirangsang panasnya hati mendengar ejekan
Walet-kuning. Ia tak menyadari bahwa loncatan itu adalah
loncatan maut. Apabila gagal, pasti ia akan melayang turun
kedasar jurang yang dalamnya beberapa ratus meter.
"Uh, ternyata mudah saja," pikirnya ketika melayang diatas
mulut jurang. Dan ia tak merasakan suatu beban apa-apa
walaupun menggendong tubuh Rajawali mata-biru yang masih
pingsan. Tetapi ketika hampir mencapai tepi karang, tiba-tiba ia
menunduk kepala dan : "Hai, tolongng...!" ia menjerit sekuatkuatnya
dan tubuhnyapun segera meluncur kebawah jurang.
Rasa kejut dan takut yang hebat telah menghentikan darah
dalam tubuh anak itu sehingga tubuhnya berat dan meluncur
kebawah. "Hai, awas, tubuhmu tentu hancur lebur" teriak Waletkuning.
Teriakan si dara itu membuat blo'on gelagapan.
Seketika ia kencangkan urat-urat, mengempos semangat
dan bergeliatan meronta-ronta. Tubuhnya yang sudah
meluncur turun itu melambung keatas lagi. Dan sekali blo'on
ayunkan tubuh makaiapun melayang ketepi karang, tak
berapa jauh dari tempat Walet-kuning.
"Ah . . . ," Walet-kuning menghela napas longgar,
"mengapa engkau tiba-tiba menjerit lagi ?"
"Ai, ngeri sekali melihat jurang yang begitu dalam." kata
blo'on, "eh, apakah aku masih hidup ?"
"Ya." "Aneh," kata blo'on garuk-garuk kepala, "mengapa aku
dapat melompati jurang yang begitu lebar dengan
menggendong orang ?"
"Ginkangmu hebat sekali," seru Walet-kuning
"O, begitu ?" tanya blo'on, "mengapa aku tak merasa ?"
Walet-kuning tahu makin digubris, pemuda itu maikin
menjadi-jadi blo'onnya. Maka cepat ia mengajaknya berangkat
menuju ke markas perguruan"Berapa jauhnya ?" tanya blo'on.
"Lebih kurang dua tigapuluh li," sahut si dara.
"Apakah nama perguruanmu ?"
"Hea-san-pay " "Siapakah nama gurumu itu?" tanya blo'on pula
"Kam Sian-hong."
"Bagus sekali nama itu, sayang orangnya sudah... ?"
"Engkau bunuh!" Walet-kuning menukas geram
"Ah, engkau rupanya tak percaya kalau aku merasa
membunuh suhumu." "Hm, nanti didepan keempat tiang-lo Hoa-san-pay baru
dapat kita ketahui engkau bohong atau tidak."
"Siapakah empat tiang-lo itu " Manusia atau bukan ?" tanya
blo'on. Walet-kuning deliki mata dan membentak: "Jangan kurang
ajar ! Keempat tiang-lo itu adalah empat orang tetua atau
tokoh angkatan tua dari Hoa-san-pay. Walaupun mereka
bukan ketua, tapi kedudukan mereka amat tinggi. Setiap ada
persoalan, suhu tentu minta pendapat mereka."
"O, kalau begitu tentu sudah tua renta sekali ?"
"Yang paling muda sendiri sudah berumur delpanpuluh
tahun. Yang tua hampir seratus tahun."
"Siapa nama mereka ?" tanya blo'on.
"Tertua bernama Naga-besi Pui Kian. Kedua Garuda-emas
Lim Cong, ketiga ialah Beruang-sakti Han Tiong dan keempat,
Naga-besi Pui Kiat".
"Uh, seram benar," kata blo'on, "lalu siapa lagi?"
"Masih banyak. Tak perlu kusebutkan narma-narmanya
"Dan engkau sendiri?"
"Walet-kuning Ui Hong-ing."
"Sukomu?" "Beruang-mata-biru Ong Gwan."
"Lalu ..." "Engkau ?" tukas si dara Hong-ing.
"Wan-ong-kiam."
Mau tak mau Hong-ing tertawa juga. Jelai nama itu adalah
tulisan pada pedang yang tertancap dipunggung suhunya.
"Wan-ong-kiam itu nama pedang, bukan nama orang",
serunya. "Habis, aku tak ingat namaku lagi."
"Mau kuberi nama?" tanya Hong-ing.
"Ya, mau." "Bagaimana kalau Blo'on?"
"Apa artinya blo'on?"
"Bego." "Apa artinya bego itu ?" desak si blo'on.
"Goblok, tolol, kocluk seperti engkau!"
"O, bagus, bagus. Ya, namaku si Bloon sajalah," seru
pemuda itu gembira. Hong-ing benar-benar seperti dikili-kili hatinya Muak-Muak
geli. Masakan diberi nama blo'on malah begtu gembira sekali.
"Engkau tak malu dipanggil Blo'on'" tanyanya
"Malu" Mengapa harus malu" Nama itu hanya untuk
mengenal dan membedakan. Kalau orang menertawakan
nama itu, bukanlah salahku. Tetapi salah orang yang
memberi." "Aku?" tanya si dara Hong-ing.
"Ya, tetapi jangan kuatir. Blo'on itu bukan nama yang jahat,
bukan pula nama yang jelek. A-ku berterima kasih kepadamu
untuk pemberian nama itu. Bukankah didunia ini hanya aku
seorang yang mempunyai nama Blo'on ?"
Saat itu mereka sudah menuruni tanjakan karang dan
tengah menjelang melintasi sebuah hutan pohon siong.
Sekonyong-konyong muncul tiga jenis binatang. Seekor anjing
kuning sebesar anak kerbau, seekor monyet hitam dan seekor
burung rajawali. Ketiga binatang itu menyongsong Blo'on.
Anjing kuning terus menjilat-jilat kaki Blo'on. Monyet hitam
loncat duduk diatas bahu dan burung rajawali hinggap
dikepala si Blo'on Karena sedang mendukung Rajawali-matabiru
Ong Gwan yang pingsan, terpaksa si Blo'on memegangi
tubuh Ong Gwan supaya tidak jatuh hingga ia tak dapat
berbuat apa-apa ketika ketiga binatang itu menyerbunya.
Mata Blo'on berkicup-kicup. Rasanya ia pernah melihat
ketiga binatang itu tetapi ia lupa sama sekali dimana dan
kapan pernah berjumpa. "Hai, apakah binatang peliharaanmu ?" tanya Hong-ing.
"Bukan, aku tak kenal mereka !"
"Kalau begitu, biar kuhalaunya agar jangan
mengganggumu," seru Hong-ing.
Dara itu kuatir si Blo'on tak tahan diganggu monyet dan
burung la lu lepaskan pegangan tangannya. Sukonya tentu
kan terlepas jatuh."
"Jangan, biarkan saja . . ," cepat-cepat si Blo'on mencegah
tetapi terlambat. Hong-ing sudah lebih dulu menghantam
simonyet hitam Duk . . . "Aduh . . '" Blo'on menjerit karena bahunya dihantam Honging.
Memang ketika tinju sida berayun, monyet hitam itu
sudah loncat ke udar lalu duduk lagi di bahu si Blo'on. Tinju
Hong-in mendapat bahu si Blo'on.
Hong-ing terkejut. Ia heran mengapa monyet itu
sedemikian gesit gerakannya. Kali ini ia hendak memukul
burung rajawali yang hinggap di kepala si Blo'on.
"Plak . . . aduh !" kembali si Blo'on menjerit "budak
perempuan setan, mengapa engkau memukul kepalaku !"
Hong-ing tertegun sekali. Ia seorang dara yang tinggi
ilmusilatnya. Pukulannya itupun dilancarkan cepat sekali.
Tetapi ternyata burung rajawali itupun amat tangkas. Begitu
tinju si dara melayang, burung itu segera terbang ke udara
dan hinggap pula di atas kepala Blo'on.
"Hai, budak perempuan, jangan gila-gilaan Kalau memukuli
kepalaku, sukomu tentu kulepaskan !"


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si dara hanya menyeringai. Tanpa berkata apa-pa ia
menendang anjing kuning yang selalu melibat kaki si Blo'on
hingga mengganggu jalannya. Plak....
"Aduh . . " si Bloon menjerit dan rubuh. Anjing kuning
lompat kesamping, lutut si Blo'on termakan tendang Hong-ing
dan rubuhlah pemuda itu. "Anak perempuan," Blo'on geleng-geleng kepala, "tak jadi
saja !" Hong-ing tercengang : "Apa yang tak jadi?"
"Nama itu, ya nama Blo'on yang engkau berikan kepadaku.
kukembalikan kepadamu saja. Pakailah sendiri karena ternyata
engkau ini seorang gadis yang blo"on "
Hong-ing tahu apa yang dimaksudkan pemuda itu.
Merahlah mukanya. Tiga kali ia menyerang tiga binatang,
tetapi selalu luput. Diam-Diam ia heran. Sesaat kemudian
penasaran. Masakan dia kalah dengan binatang saja !
"Uh, siapa yang blo'on" Aku hendak mengusir binatang
yang mengganggumu itu, mengapa engkau marah?"
"Apakah begitu caranya mengusir. Binatang tidak pergi, aku
yang menjadi korbanmu !"
"Jangan ngoceh ! Lihat kuusirnya !" Walet-kuning mulai lagi
untuk menyerang. Tetapi sejak si Blo'on jatuh, rajawali, kera
dan anjing kuning sudah bersatu tegak disamping pemuda itu.
Monyet menunggang punggung anjing, burung rajawali
hinggap di kepala si monyet.
Waktu Hong-ing menyerang, ketiga binatang itupun
serempak menyongsong. Anjing menggigit kaki si dara,
monyet loncat ke bahu dan rajawali menyambar kepala.
"Ih . . ," Hong-ing terkejut dan loncat menghindar ke
samping. Namun ketika binatang itupun kembali lagi berdiri di
samping si Blo'on. Hong-ing heran, serunya : "Hai, Blo'on, binatang itu tentu
peliharaanmu. Kalau tidak masakan selalu melekat engkau
saja. Dan merekapun tahu juga berkelahi."
"Aku sendiri juga heran," seru Blo'on, "aku tak kenal
dengan mereka tetapi mengapa mereka menjaga aku ?" tibatiba
ia berpaling kepada binatang itu, tegurnya: "Hai, engkau,
aku tak kenal kepada kamu, hayo, enyahlah !"
Tetapi ketiga binatang itu malah ribut. Anjing menyalak,
monyet bercuit-cuit dan rajawali-pun bersuit nyaring. Seolaholah
tertawa-tawa mendengar si Blo'on bicara.
"Pergi . . . !" si Blo'on bangkit dan berteriak keras mengusir.
Tetapi tetap ketiga binatang itu diam saja. Karena jengkel, si
Blo'on menendang-Ketiga binatang itu hanya menyingkir
beberapa langkah saja, tetap tak mau pergi. Demikian tiap kali
si Blo'on memburu, memburu, mereka nyingkir tetapi berhenti
lagi. "Kubantu engkau mengusir mereka !" teriak Hong-ing terus
lari hendak menyerang. Tetapi ketiga binatang itupun
serempak menyerang si dara.
Kalau si Blo'on yang menghalau, mereka hanya menyingkir.
Tetapi kalau Hong-ing yang mengusir mereka serempak
menyerang. Akhirnya karena kewalahan, Hong-ing berseru: "Sudahlah,
jangan hiraukan ketiga binatang itu. Mari kita lanjutkan
perjalanan lagi !" Tak berapa lama merekapun tiba disebuah lembah. Sebuah
bangunan yang luasnya hampir menduduki seluruh lembah,
dipagari dengan dinding batu. Sepintas pandang menyerupai
sebuah markas tentara. Begitu Walet-kuning Hong-ing masuk bersama seorang
pemuda yang memanggul seorang yang terluka, beberapa
anakmurid Hoa-san-pay segera mengerumuninya. Mereka
adalah murid-murid tingkat kedua dan ketiga. Murid tingkat
kesatu hanya lima orang. Ialah Ang Hin-liong, kedua Ko Sengtik,
ketiga Tian Hui-beng, keempat si Rajawali-mata-biru Ong
Gwan dan kelima Walet-kuning Ui Hong"Mengapa Ong suko ?" tanya mereka.
"Lekas bawa suko kedalam " seru Hong-ing. berapa murid
Hoa-san-pay segera menghampiri ketempat Blo'on dan
mengangkutnya kedalam. Seorang pemuda baju biru menjurahdihadapan Ulo'on;
"Terima kasih atas pertolongan saudara membawa suko kami
yang terluka ..." "Hai, Gui sute, engkau salah ! Dialah yang melukai suko!"
teriak Walet-kuning Hong-ing ketika melihat Gui Tik, murid
tingkat kedua dari Hoa -san-pay menghaturkan terima kasih
kepada Blo'on. "Hai ?" Gui Tik yang sedang membungkukkan tubuh
berhenti setengah jalan dan cepat-cepat menegakkan diri lagi,
"dia yang melukai suko ?"
"Jagalah baik-baik, jangan sampai dia lolos ! Aku hendak
memberi laporan kepada keempat Tiang-lo!" kata Hong-ing
terus melesat masuk kedalam gedung
Mendengar keterangan Hong-ing, beberapa murid Hoa-sanpaypun
segera maju mengepun Blo'on. Blo'on diam saja.
"Hm, besar sekali nyalimu, bung, berani melukai suko kami
!"' dengus Gui Tik. Blo'on hanya kicup-kicupkan mata tetapi tak menjawab.
"Siapa namamu !" bentak Gui Tik.
Blo'on tak mau menjawab, la mengusap peluh yang
membasahi mukanya. Tiba-Tiba jarinya membentur lubang
hidung dan seketika iapun berbangkis "Hajingngng . . . !"
"Bangsat'" Gui Tik tiba-tiba menjerit dan memaki Karena
hanya terpisah dua tiga langkah dengan-Blo'on, Gui Tik
tertabur cairan ingus dari hidung si Blo'on. Rupanya kuat
sekali semburan hidung Blo'on itu sehingga mata Gui Tik
terasa sakit seperti ditabur butir-butir pasir.
Gui Tik mencabut pedang dan maju menghampiri lalu
mengangkat pedang: "Bilang, siapa nama mu?"
Blo'on mengangkat muka. Saat itu ia menghadap ke barat
dan justeru matahari sudah berada disebelah barat. Karena
muka menengadah, lubang hidungnyapun terlimpah sinar
matahari. Seketika pula ia berbangkis lagi, hajingngng ....
Gui Tik menjerit dan menyurut mundur dua tiga angkah
sambil mendekap mukanya. Melihat itu beberapa murid yang
mengepung serentak hendak menyerbu. Tetapi melihat si
Blo'on berdiri tegak sambil menyikapkan kedua tangannya
kedada, murid-murid Hoa-san-pay itu berhenti. Sebagai murid
perguruan silat merekapun pernah mendengar petuah
suhunya bahwa orang yang memiliki kepandaian tinggi tentu
tenang sekali sikapnya. Blo'on bersikap tenang karena sudah paserah asib. Tetapi
sikap itu diartikan oleh murid-murid Hoa-san-pay sebagai sikap
seorang yang berisi. Apalagi jelas mereka mendengar
keterangan dari Hong-ig, bahwa Blo'onlah yang melukai
Rajawali-mata-biru tetapi tetap berani datang ke markas situ.
Kalau tidak mempunyai kepandaian sakti masakan dia berani
bertindak begitu " Bukankah Hoa-san-pay itu sebuah
perguruan silat yang cukup ditakuti dan di indahkan kaum
persilatan " "Bayar jiwa suko kami !" teriak Gui Tik seraya maju hendak
menusuk. "Jangan sute," tiba-tiba seorang pemuda bertul buh tinggi
kurus berseru mencegah, "ingat pesan Hong-ing su-ci. Kita
disuruh menjaga, bukan disuruh menyerangnya !"
"Tetapi dia ..."
"Dia tidak melarikan diri," tukas pemuda tinggi kurus pula.
"maka kitapun harus mengindahkan pesan Hong-ing suci.
Tunggu saja nanti keempat Tiang-lo yang membereskannya.
Kalau kita bertindak sendiri tentu akan menerima hukuman
karena dianggap lancang !"
Yang berkata itu Li Cong-bun, juga murid Hoa-san-pay
tingkat kedua, suheng atau kakak seperguruan dari Gui Tik.
Gui Tik terpaksa menahan diri. Ia tak berani melanggar
peringatan sukonya yang memang tepat.
"Saudara," kata Cong-bun dengan nada ramah kepada
Blo'on, "mengapa saudara melukai suko kami " Apakah
urusannya?" Blo'on tetap membisu. "Apakah saudara tak tahu kalau Hoa-san-pay itu sumber
pencetak jago-jago silat yang Iihay ?"
Blo'on masih diam. "Apakah kedatangan saudara ke markas Hol san-pay ini
hendak menyerahkan diri atau hendak menantang kami?"
masih Cong-bun bertanya sabaj
Blo'on diam. "Mengapa saudara tak menjawab" Apakah benar-benar
saudara memandang rendah kepada murid-murid Hoa-sanpay
?" nada Cong-bun mulai kurang puas.
Blo'on tak mau bicara. "Hm, rupanya saudara memang bermaksud begitu. Baik,
hayo, cabutlah senjatamu dan mari kita main-main barang
beberapa jurus saja ! " tantang Cong-bUn yang sudah hilang
sabarnya. Namun Blo'on tetap diam. Paling-Paling hanya hidungnya
yang menyeringai. "Apakah engkau bisu, bung !" teriak Cong-bun makin
sengit. Blo'on tetap diam. "Hai, engkau memang bisu ! Celaka, mengapa seorang bisu
seperti engkau berani melukai murid Hoa-san-pay !" seru
Cong-bun seraya maju menghampiri dan siap hendak
memukul. Tetapi sekonyong-konyong dari dalam gedung
muncul berpuluh-puluh orang. Cong-bun hentikan tangannya.
Empat orang kakek tua berjalan dengan langkah goyang
gontai, diiring oleh tiga orang pemuda. Dibelakang pemuda itu
diiring oleh beberapa puluh murid-murid Hoa-san-pay.
Rombongan anakmurid Hoa-san-pay yang mengepung
segera memberi jalan kepada rombongan kakek tua itu.
Keempat kakek tua itu ialah yang disebut empat Tiang-lo
dari Hoa-san-pay. Sedang ketiga pemuda tegap dibelakangnya
itu ialah Ang Hin-liong, fci Seng dan Tian Hui-beng, murid
tingkat pertama dari Hoa-san-pay dan suheng dari Rajawalimatabiru serta Walet-kuning. Sedangkan keempat kakek tua itu ialah keempat Tiang-lo.
Yang paling tua sendiri Naga-besi Pui Ki, lalu Beruang-sakti
Han Tiong, Kilin-emas Lim-Ping dan Serigala- bergigi-perak
Bok Jiang. Mereka berhenti di hadapan si Blo'on.
"Anakmuda, siapakah engkau ?" Naga-besi Pui Kian yang
paling tua mulai menegur.
"Lo-cianpwe menanyakan diriku atau namaku ?" Blo'on
balas bertanya dengan menyebut locianpwe atau orangtua
yang terhormat. "Dirimu." "Diriku " Diriku ya aku ini," sahut Blo'on seraya menepuknepuk
dadanya. Jawaban itu membuat sekalian murid Hoal san-pay gempar.
Dihadapan keempat Tiang-lo, masakan pemuda itu berani
bersikap sekurangajar begitu
"Jangan kurang ajar!"bentak salah seorang dari kakek itu
ialah Serigala-bergigi-perak Bok Jiangl "engkau tahu siapa
yang engkau hadapi ini "'
"Tahu," jawab Blo'on.
"Siapa ?" Seru Serigala-gigi-perak pula.
"Empat orang kakek tua renta !"
Jawaban Blo'on itu disambut dengan suara rang
menggeram penuh kemarahan dari murid-murid Hoa san-pay
Apabila keempat Tiang-lo itu mengizinkan, ingin sekali mereka
meremuk pemuda kurang ajar
"Tahu nama kami?" masih Serigala-gigi-perak melanjutkan
pertanyaan. Belum ada tanda-tanda ia marah. Mungkin dia
hendak menjaga gengsi sebagai seorang cianpwe, tak boleh
merendahkan diri berbantah dengan seorang anakmuda.
"Belum," sahut Blo'on, "tahu saja baru sekarang masakan
sudah kenal namanya." Keempat Tiang-lo terkesiap.
"Ketahuilah, kami berempat ini adalah Tiang-lo dari Hoasanpay ..." "O," sambut Blo'on tenang-tenang "Dan yang bertanya
kepadamu tadi ialah Tiang-lo yang peitama ialah Naga-besi Pui
Kian...." "O," kembali Blo'on mendesuh kaget. Lalu berseru girang,
"bagus, sungguh kebetulan sekali. Aku tak pergi jauh-jauh ke
Laut Hitam. Ternyata disini juga terdapat naga !"
Sudah tentu keempat Tiang-lo dan murid-murid Hoa-sanpay
terlongong-longong heran. Mereka tak tahu apa sebab
anakmuda itu tiba-tiba saja begitu girang.
"Apa katamu ?" tegur Serigala-gigi-perak.
"Lo-cianpwe, aku menderita sakit yang aneh. hakku hilang
sehingga aku tak ingat apa-apa lagi. Menurut keterangan anak
perempuan yang membawa aku kemari tadi, penyakitku itu
hanya dapat disembuhkan dengan makan otak naga. Kalau disini
ada Naga-besi, bukankah aku dapat meminta otaknya
untuk mengobati otakku itu ?"
"Jahanam! Berani sekali engkau menghina Tianglo kami !"
tiba-tiba seorang pemuda berteriak terus ! loncat kemuka
hendak menyerang Blo'on. "Hin-liong. jangan !" serigala-gigi-perak cepat mencegah
tindakan Hin-liong murid pertama dari Hoa-san-pay. Dan
pemuda itupun hentikan langkahnya.
"Otakmu hilang" Bagaimana engkau tahu kalau otakmu
hilang?" tanya Serigala-gigi-perak.
"Aku tak ingat apa-apa, tak dapat berpikir. Bukankah
karena otakku hilang ?"
Serigala-gigi-perak mendapat kesan bahwa pemuda itu
memang tak waras pikirannya. Namun untuk lebih mendapat
kepastian, ia harus mengajukan beberapa pertanyaan lagi.
"Siapa namamu ?"
"Nama dulu atau nama sekarang ?"
"Eh, apakah engkau mempunyai dua nama?".
"Tentulah begitu."
"Siapa namamu yang dulu dan sekarang," masih Serigalagigiperak bersikap sabar. "Namaku yang dulu, aku tak ingat lagi. Namaku yang
sekarang ialah Blo'on."
"Blo'on " Siapa yang memberi nama itu ?"
"Anak perempuan yang membawaku kemari itul"
"Oh," dengus Serigala-gigi-perak, "engkau merima
mendapat nama itu ?"
"Ya, nama itu bagus sekali."


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rupanya Serigala-gigi-perak menyadari bahwa dia terlalu
banyak yang mengajukan pertanyaan. maka diapun segera
berkata: "Blo'on, sekarang Pui suheng hendak bertanya
kepadamu. Engkau harus menjawab yang benar."
"Ya," sahut Blo'on.
Setelah dipersilahkan Serigala-gigi-perak, maka Naga-besi
Pui kian mulai mengajukan pertanyaan lagi: "Hai, anakmuda,
engkau dari perguruan mana"
"Justeru itulah yang hendak kutanyakan kepada cianpwe
sekalian." jawab Blo'on.
"Bertanya bagaimana?" Naga-besi kerutkan kening.
"Seperti yang telah kukatakan tadi, aku menderita suatu
penyakit yang aneh otakku hilang, aku tak ingat apa-apa lagi.
Bahkan siapa diriku, namaku asal usulku, aku tak mengerti.
Maka aku hendak minta tulung kepada cianpwe dan sekalian
saudara-saudara disini untuk memberitahu siapa diriku ini."
"Aneh," gumam Naga-besi Pui Kian, "kalau engkau tak
kenal dirimu sendiri bagaimana orang lain dapat
mengenalmu?" "Bukan begitu," sahut Blo'on, "kemungkinan diantara
cianpwe dan saudara-saudara disini pernah melihat aku dan
tahu siapakah diriku ini ?"
"Hm," dengus Naga-sakti Pui Kian lalu mengeliarkan
pandang mata kearah murid-murid Hoa-san-pay: "Siapakah
diantara kamu yang pernah melihat anak ini"
Murid-Murid Hoa-san-pay mencurahkan pandang maka
kepada Blo'on lalu saling berpandangan dan telengkan kepala
kemudian menyatakan tak kenal.
"Nah, tidak ada murid Hoa-san-pay yang kenal padamu.
Sekarang engkau harus berusaha untuk mengenal dirimu
sendiri !" seru Naga-besi Pu kian.
"Tidak bisa !" bantah Blo'on, "sebelum otak ku kembali,
mana aku bisa mengingat semua peristiwa yang lampau ?"
"Ngaco !" bentak Naga-besi Pui Kian.
"Eh, engkau tak percaya " Begini saja, aku membutuhkan
bantuanmu. Kalau engkau meluluskan, aku tentu dapat
memberi keterangan yang jelas."
"Bantuan apa ?"
"Tadi cianpwe yang itu," Blo'on menunjuk kepada Serigalagigiperak, "mengatakan kalau engkau bergelar Naga-besi.
Aku membutuhkan otak naga untuk menyembuhkan
penyakitku itu. Boleh kah aku meminta otak itu dari engkau.
Ya, sedikit sajalah sudah cukup ..."
"Bangsat, jangan kurang ajar!" Hin-liong cepat hendak maju
menghajar. Tetapi dicegah oleh Naga-besi Pui Kian.
"Ya, akan kuberi. Tetapi lebih dulu engkau harus
menerangkan mengapa engkau membunul Kam Sian-hong
kaucu, ketua Hoa-san-pay?" Naga-besi.
"Aku tak membunuhnya !"
"Bohong ! Coba engkau ingat-ingat lagi !" Naga-besi Pui
Kian. "Tidak bisa, aku tidak ingat apa-apa lagi otakku macet.
Mungkin aku membunuhnya, mungkin tidak ..."
"Bukan mungkin lagi tetapi memang engkau telah
membunuhnya. Sarung pedang dan darah di tanganmu itu,
bukti yang jelas !" "Eh, bagaimana engkau tahu " Apakah engkau melihatnya
sendiri" Apakah engkau sudah menyaksikan mayat itu ?"
"Hong-ing telah memberi laporan kepadaku," kata Nagabesi
Pui Kian. Tetapi pada lain saat ia pun menyadari bahwa
sebelum memeriksa mayat Kam Sian-hong, ia memang belum
mendapat gam baran jelas dan belum dapat menarik
kesimpulan yang tepat. "Gui Tik, Cong-bun, pergi ke guha dan ambillah jenazah
suhumu kemari," Naga-besi segera memberi perintah kepada
kedua murid tingkat kedua itu.
Gui Tik dan Cong-bun bergegas melakukan perintah.
"Hm, walaupun kusuruh mengangkut jenazah itu kemari
tetapi bukan berarti bahwa engkau bebas dari tuduhan.
Karena bagaimanapun juga, tetap engkau yang
membunuhnya!" kata Naga-besi pada Blo'on.
"Aneh, aku tak kenal padanya, mengapa aku hurus
membunuhnya ?" seru Blo'on.
"Sudah jelas, engkau tentu hendak merebut rumput Liongsijau yang berumur seribu tahun itu. Rumput yang jarang
terdapat di dunia !"
"Tidak! Aku tak tahu rumput apa itu, bagai mana aku
hendak merebutnya. Buat apa?" bantah Blo'on.
Naga-besi Pui Kian tertawa mengejek : "Memang pencuri
tentu tak mau mengaku kalau tidak digebuk ..."
"Tetapi aku bukan pencuri ! Waktu aku bangun kulihat
sesosok mayat. Aku sendiri heran mengapa tahu-tahu aku
berada di guha itu."
"Baik," kata Naga-besi Pui Kian, "akan kubuktikan engkau
benar mencuri rumput mustika itu atau tidak."
"O, bagus, bagus, enkau bijaksana !" teriak Blo'on girang
"Jangan terburu bergirang dulu," seru Naga besi, "engkau
dengarkan dulu cara yang hendak kulakukan untuk menguji
engkau. Ialah begini, kalau engkau dapat menahan
seranganku sampai tiga jurus, berarti engkau mencuri rumput
mustika itu." "Kalau tidak dapat menahan seranganmu" tanya Blo'on
"Engkau harus mati !"
"O, bagus sekali cara itu . . eh, tidak, tidak Aku rugi, bisa
menahan, dianggap pencuri. Kalau tidak bisa, harus mati.
Cara apa itu?" teriak Blo'on tak puas.
"Cara untuk menebus kematian seorang ketua seorang
ketua perguruan silat yang terbunuh secara licik !"
"Tidak adil !" teriak Blo'on.
"Memang seorang pembunuh selalu menuduh hakim tidak
adil," Naga-besi Pui Kian mendengus, "tetapi hutang jiwa
harus bayar jiwa. Jika engkau dibunuh, engkau masih untung
karena jiwa seorang ketua perguruan silat sebesar Hoa-sanpay
hanya ditukari dengan jiwa seorang pemuda kerucuk."
"Kalau aku memang yang membunuh, tentu dengan rela
kuserahkan jiwaku untuk dibunuh. Te tapi aku tak tahu dan
tak ingat apa-apa lagi. Biarlah aku menemukan diriku yang
hilang ini lebih dahulu, baru nanti aku akan datang kemari
untuk membuat penyelesaian."
"Hm, enak saja engkau omong," dengus Naga-besi pula",
seolah-olah engkau dapat berbuat sekehendak hatimu."
"Aku merasa tak bersalah, kalaupun bersalah juga aku tak
ingat apa-apa lagi. Aku datang kemari bukan hendak
menyerahkan diri tetapi hendak mencari pengenal diriku.
Karena kamu tak ada yang kenal padaku, percuma aku berada
disini. Aku segera angkat kaki saja ..." habis berkata Blo'on
terus ayunkan langkah. "Hm . . hayo, maju biar kutabas tubuhmu!" seru anak-anak
murid Hoa-san-pay yang menghadang jaan, seraya lintangkan
senjata. Tiba-Tiba serangkum angin tajam bergelombang
mendampar punggung si Blo'on sehingga karena gugup anak
itupun hentakkan kaki dan melayangkan tubuhnya ke udara.
Beberapa anakmurid Hoa-san-pay yang hendak
menghadang itu, terkejut sekali ketika Blo'on melayang
melampau atas kepala mereka. Tetapi Blo'on sendiri juga
heran mengapa ia rasakan tubuhnya amat ringan sekali.
Begitu melayang turun ketanah, Blo'on terus hendak
melarikan diri tetapi alangkah kejutnya ketika seorang kakek
sudah menghadang dihadapan. Dan ketika memandang
kemuka ternyata kakek itu adalah Beruang-sakti Han Tiong,
tianglo kedua dari Hoa-san-pay. Kakek itu digelari Beruangsakti
karena waktu mudanya seorang yang bertubuh tinggi
besar, sekujur tubuhnya penuh bulu lebat. Dan yang istimewa,
kedua tangannya lebih panjang dari tangan orang biasa,
hingga mencapai lutut. Dengan ciri-ciri itulah maka orang
persilatan memberinya gelaran si Beruang-sakti.
Istana Pulau Es 13 Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An Lentera Maut 11

Cari Blog Ini