Ceritasilat Novel Online

Tiga Maha Besar 6

Tiga Maha Besar Karya Khu Lung Bagian 6


perguruan Seng sut hay untuk melakukan barter dengan ilmu
tadi. Iblis tua dari perguruan Seng sut hay adalah seorang
manusia yang rakus, melihat mustika, kedua kalinya ia tahu
bahwa Siang Tang Lay adalah orang wilayah See ih yang
memusuhi umat persilatan didaratan Tionggoan, hal ini sesuai
dengan kehendak hatinya, karena itu barter tersebut disetujui
dan ilmu pekikan pembawa maut pun diturunkan kepadanya.
Ilmu pekikan membawa maut merupakan kepandaian sakti
yang setaraf dengan Ilmu Sam cing hoa it lie dari kalangan
agama Too atau ilmu pekikan singa dari kalangan Buddha
hanya saja kepandaian ini lebih keji dan telengas.
Siang Tang Lay menghimpun tenaga dalamnya dan
membentak dengan ilmu sesat pekikan pembawa maut itu
tujuannya ialah untuk menyerang empat orang musuh
bebuyutan yang sedang bertempur ditengah gelanggang.
Thong-thian Kaucu d?n Pek Siau-thian sekalian yang
sedang bertempur seketika itu juga merasakan gendang
telinganya jadi amat sakit dalam waktu singkat isi perutnya
terbalik ia merasa amat mual dan darah panas seperti mau
keluar. Keempat orang itu adalah jago-jago kawakan yang memiliki
pengalaman sangat luas, setelah berpikir sebentar mereka
segera mengetahui bahwa isi perut sudah terluka terserang
oleh pekikan lawan, dalam waktu singkat keempat orang itu
menunjukkan reaksi yang berbeda-beda.
Pek Siau-thian dan Jin Hian bersama-sama meluncur ke
arah mulut lembah dengan harapan bisa menjebolkan
lingkaran pengepungan, sedangkan Thong-thian Kaucu dan
Ciu It-bong bersama-sama loncat ketengah udara dengan
harapan bisa melewati batok kepala beberapa orang pemuda
itu dan kabur keluar barisan.
Pada saat yang bersamaan, ketika enam orang pemuda itu
mendengar gurunya mengeluarkan pekikan pembawa maut,
bukannya menubruk kedalam arena untuk melukai lawan,
sebaliknya mereka malah mengundurkan diri kesamping
arena, pedang perak ditanaan mereka berputar kencang
melindungi bagian-bagian penting diseluruh tubuhnya.
Semua kejadian itu berlangsung pada saat yang hampir
bersamaan, keempat orang gembong iblis ini sama-sama
cekatannya, begitu merasa isi perutnya sudah terluka mereka
segera berusaha menorobos keluar dari kepungan, sementara
itu kotak emas yang terpental keudara oleh tangkisan pedang
perak pemuda itu baru saja meluncur jatuh kebawah.
Ciu It-bong yang kebetulan berada disampingnya, sewaktu
menyaksikan kotak emas itu berada kurang lebih empat lima
depa disisinya,dengan sebat menyambarnya dan dicekal dalam
genggaman, meskipun tangannya bergerak menyambar kotak
namun gerakan tubuhnya yang sedang meluncur kedepan
meskipun tidak terganggu.
Siapa tahu baru saja kotak emas itu terjatuh kedalam
genggaman Ciu It-bong tiba-tiba terjadilah suatu ledakan yang
maha dahsyat.... "Blaamm....!" percikan cahaya api menyebar keempat
penjuru, asap hitam yang tebal membumbung tinggi
keangkasa, diiringi pecahan logam, daerah sekeliling tempat
itu semuanya terbungkus oleh jilatan api.
Jeritan ngeri yang menyayatkan hati bergema memecahkan
kesunyian, hancuran daging dan percikan darah berceceran
diatas tanah membuat pemandangan disekitar sana sampak
mengerikan sekali. Peristiwa yang berlangsung ditempat itu benar-benar
mengejutkan hati, pemandangannya menyeramkan membuat
bulu kuduk pada bangun berdiri, Ciu It-bong yang membawa
kotak emas itu mati dengan tubuh hancur berantakan,
mayatnya tersayat-sayat dan tidak dapat ditemukan lagi.
Thong-thian Kaucu yang berada disampingnya kehilangan
kaki kirinya sebatas paha, kaki kanannya sebatas lutut,
sepasang kaki imam tua ini hancur tak tertolong lagi.
Sedang Jin Hian kehilangan lengan kanannya sebatas bahu,
yang paling beruntung adalah Pek Siau-thian ia hanya
menderita luka pada punggung dan tengkuknya sementara
keempat anggota badannya masih utuh dan jiwanya sama
sekali tidak terancam. Semua kejadian itu berlangsung dalam sekejap mata, sejak
Siang Tang Lay mengeluarkan pekikan pembawa mautnya,
kemudian empat jago lihay yang sedang bertempur melarikan
diri terbirit-birit, para jago yang berada didalam barak sudah
dibikin terperanjat dan sama-sama bangkit berdiri, menanti
kotak emas itu meledak dan terjadilah peristiwa yang lebih
tragis semua orang semakin tertegun karena kagetnya.
Suasana hening untuk sesaat lamanya, menanti Thongthian
Kaucu , Pek Siau-thian dan Jin Hian roboh terkapar
diatas tanah, suasana jadi kalut. Pek Soh-gieper-tama-tama
yang menangkis sambil menerjang ketengah gelanggang
disusul para jago dari pelbagai golonganpun menerjang
kedalam gelanggang, jeritan dan teriakan bercampur baur
membuat suasana amat riuh.
Hoa Hujin yang menyaksikaa peristiwa itu merasa amat
terperanjat ia segera ulapkan tangannya dan menerjang
masuk kedalam gelanggang lebih dahulu. Ciu Thian-hau, It
sim hweesio, Cu im taysu, Suma Tiang-cing dan sekalian jago
dan golongan lurus dengan cepat membuntuti dari belakang
dan melindungi keselamatan Siang Tang Lay beserta anak
muridnya. Pada waktu yang bersamaan Hing Leng cu, Pia Leng-cu
serta Cing Leng cu dari perkumpulan Thong-thian-kauw
dengan tubuh yang cepat bagaikan sambaran kilat telah
menerjang pula kedalam gelanggang rupanya mereka hendak
membereskan dulu jiwa Siang Tang Lay beserta anak
muridnya tetapi setelah menyaksikan Hoa Hujin sekalian ber
gerak pula kesitu dengan cepat mereka batalkan niatnya itu.
Kutungan lengan, kutungan kaki dan hancuran daging
berceceran diatas tanah, darah segar mengalir bagaikan
sungai, sekali memandang keadaan ditengah gelanggang
benar-benar mengerikan sekali membuat bu lu kuduk semua
orang pada bangun berdiri.
Tiga orang imam tua dari perkumpulan Thong-thian-kauw
tiba dulu ditempat kejadian, Cing Leng cu segera membopong
tubuh Thong-thian Kaucu , Pia Leng-cu menotok seluruh jalan
darah penting disekeliling kakinya yang kutung hingga darah
seketika berhenti mengalir.
Hoa Hujin yang menyaksikan ketepatan dan kehebatan
imam tua itu dalam melepaskan totokan, benar-benar sudah
mencapai puncak kesempurnaan, diam-diam ia merasa
kagum, so-rot matanya segera dialihkan ke arah Siang Tang
Lay. Paras muka jago lihay dari wilayah See ih ini berubah jadi
hijau membesi, sepasang matanya terpejam rapat dan ketika
itu dia sedang mengatur pernapasan.
Melihat keadaan tersebut, dalam hati kecilnya perempuan
itu lantas berpikir, "Ternyata penggunaan ilmu pekikan
pembawa mautnya persis seperti tenaga pukulan sewaktu
dipergunakan pula selembar jiwa sendiri!"
Dalam pada itu, terdengarlah Thong-thian Kaucu berbisik
dengan suara terbata-bata, "Susiok bertiga luka pada
sepasang kaki ku tidak menjadi soal tecu sudah terkena
pekikan pembawa maut dari iblis tua Seng sut hay"
"Aku mengerti" jawab Hiang Leng cu dengan suara berat.
Ia tempelkan telapak tangannya diatas punggung Thongthian
Kaucu kemudian sambil berpaling hardiknya, "Semua
anggota perkumpulan Thong-thian-kauw segera
mengundurkan diri kedalam barak, jaga tata tertib dan jangan
kalut!" Mendengar teriakan itu para anggota perkumpulan Thongthiankauw secara tertib segera mengundurkan diri kedalam
barak, Cing Leng cu sambil membopong Thong-thian Kaucu
pun ikut mengundurkan diri kedalam barak.
Dipihak lain, orang-orang dari perkumpulan Sin-kie-pang
serta Hong-im-hwie masing-masing telah menolong pemimpin
mereka meskipun Jin Hiang kehilangan lengan kanannya dan
punggung Pek Siau-thian penuh luka yang merekah namun
keadaan mereka berdua tidak jauh berbeda dengan keadan
dari Thong-thian Kaucu meskipun luka luar yang diderita
cukup parah namun tidak sampai mempengaruhi keselamatan
jiwa justru luka dalam yang ditimbulkan akibat pekikan
pembawa maut itulah yang mengancam keselamatan mereka.
Kelompok tiga maha besar dalam dunia persilatan ini
adalah perkumpulan-perkumpulan yang mempunyai tata tertib
serta organisasi yang sangat ketat meskipun pemimpin
mereka sudah mendalami musibah yang diluar dugaan,
setelah suasana kacau sebentar keadaanpun menjadi tenang
kembali. Pek Siau-thian seria Jin Hian yang secara beruntun telah
sadar dari pingsannya segera menurunkan perintah untuk
menarik semua anggotanya kembali kedalam barak serta
melakukan perundingan lebih jauh.
Kendatipun begitu, semua anak buah dari Thong-thiankauw,
Hong-im-hwie maupun Sin-kie-pang telah menaruh rasa
benci yang bukan kepalang terhadap diri Siang Tang Lay,
mereka semua merasa gusar dan benci, siapa pun bermaksud
membunuh jago dari wilayah See ih itu untuk melampiskan
rasa dendam tersebut. Dipihak para jago dari kalangan lurus meskipun mereka
merasa gembira dan lega karena pertarungan babak pertama
mereka berhasil rebut kemenangan tapi semua orang pun
tahu bahwa peristiwa itu hanya merupakan suatu permulaan
belaka, pertarungan berdarah yang sesungguhnya masih
berada di belakaang. Maausia-manusia sebangsa Tio Sam-koh sekalian yang
berwatak polos dan terbuka kelihatan gembira dan riang sekali
mereka tertawa terbahak-bahak dengan kerasnya, ada yang
mengatakan sayang karena Pek Siau-thian tidak sampai
mampus, ada yang memaki Ciu It-bong karena serakah hingga
harus menemui ajalnya dalam keadaan mengenaskan
pokoknya suasana amat cerah dan gembira.
Peristiwa besar yang terjadi ditengah gelanggang boleh
dibilang telah menggoncangkan seluruh lembah Cu bo koh
tapi ada sekelompok manusia lain yang tetap tenang dan
bersikap acuh tak acuh, mereka bukan lain adalah gerombolan
makhluk aneh yang menyerupai sukma-sukma gentayangan
itu, yang berdiri tetap berdiri, yang duduk tetap duduk mereka
semua tak ada yang berkutik dari tempat semula, terhadap
kejadian yang berlangsung didepan mata tak seorangpun yang
ambil perduli. Yang lebih hebat lagi adalah bayi yang berada dalam
pelukan setan perempuan itu, sambil menghisap puting susu
perempuan setan itu sang bayi masih tidur dengan
nyenyaknya seolah-olah sama sekali tidak terganggu oleh
suara-suaradiluar barak, Tiba-tiba dari balik barak sebelah timur muncul seorang
pria bermuka putih berjenggot hijau dan berlengan tunggal.
Para jago di empat penjuru sebagian besar kenal dengan
pria berlengan tunggal ini sebagai manusia nomor tiga dalam
perkumpulan Hong-im-hwie yaitu Pat pit siu lo atau malaikat
berlengan delapan Cia Kim.
Semua orang mulai bertanya apa gerangan maksudnya
munculkan diri ditengah arena seorang diri" apa yang hendak
ia lakukan" Sementara itu Malaikat berlengan delapan Cia Kim sudah
tiba dihadapan barak yang dihuni para jago dari kalangan
lurus, dengan alis berkernyit ia berseru ketus, "Bagaimana"
apakah harus menunggu sampai diundang oleh aku orang she
Cia?" Dari dalam barak para jago dengan cepat melayang keluar
sesosok bayangan manusia, dia berlengan tunggal menyoren
pedang dan berwajah penuh cambang, orang itu bukan lain
adalah musuh bebuyutan dari Cia Kim yakni Ciong Lian-khek.
00000O00000 55 MALAIKAT berlengan delapan Cia Kim tertawa dingin tiada
hentinya, dengan suara menyeramkan, ia berkata, "Ciong
Lian-khek dendam permusuhan di antara kita sudah mencapai
tingkat sedalam lautan aku rasa tak usah banyak bicara lagi
tentang soal ini. "Mati hidup antara golongan hitam dan putihpun bakal
ditentukan pada hari ini juga karena itu ada baiknya kalau kita
tentukan da hulu siapakah yang berhak untuk hidup lebih
lanjut diantara kita berdua"
Ciong Lian-khek lintangkan pedangnya didepan dada,
dengan serius ia menjawab.
"Hmm....! engkau masih terhitung seorang lelaki sejati!"
Manusia bercambang ini memang paling segan banyak
bicara, namun setiap patah kata yang diutarakan keluar
mempunyai bobot yang sangat berat.
Haruslah diketahui selama puluhan tahun belakangan ini,
hampir boleh dibilang peraturan dalam dunia persilatan sudah
lenyap tak berbekas, setiap kali terjadi pertempuran maka
seringkali orang mengandalkan jumlah yang lebih besar untuk
rebut kemenangan bahkan seringkali menggunakan cara yang
memalukan untuk rebut kemenangan.
Cia Kim sebagai seorang jago yang menduduki kursi nomor
tiga dalam perkumpulan Hong-im-hwie ternyata bersedia
melakukan duel satu lawan satu, tindakannya ini terhitung
suatu hal yang boleh dibanggakan oleh setiap orang, maka
dari itu pujian dari Ciong Lian-khek tadi menunjukkan bahwa
diapun mengagumi akan sifat lawannya yang jantan.
Terdengar Cia Kim mendengus dingin, sambil menubruk
maju kedepan ia lancarkan sebuah pukulan.
Nama besar Malaikat berlengan delapan betul-betul bukan
nama kosong belaka, setelah telapaknya berkelebat kemuka
maka seketika itu juga lengannya itu berubah jadi tujuh
delapan buah, tujuh delapan buah telapak itu menyerang
secara bersama-sama, masing-masing mengancam tiga bagian
jalan darah penting ditubuh Ciong Lian-khek.
Menyaksikan datangnya ancaman itu, Ciong Lian-khek
segera berpikir dalam hatinya, "Keparat sialan, meskipun
sudah kehilangan sebuah lengan ternyata ilmu silat yang
dimilikinya malah memperoleh kemajuan yang lebih pesat.... ia


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang hebat!" Bayangan telapak berkelebat bagai kabut mana yang
sungguhan mana yang kosong sukar dibedakan lagi, jika ia
ambil tindakan untuk menangkis dan punahkan serangan itu
lebih dahulu maka posisinya masih akan terdesak.
Dalam keadaan begini Ciong Lian-khek segera putar
pedangnya menyongsong datangnya ancaman itu dengan
gunakan jurus Siau Ci lam thian atau sambil tertawa menunjuk
langit selatan, pedangnya langsung menusuk pelipis Cia Kim.
Jurus serangan ini merupakan suatu gerakan menyerang
sambil bertahan, dan penuh mengandung keuntungan bagi
permainan pedangnya, kendatipun pukulan telapak dari Cia
Kim sangat dahsyat namun karena kalah panjang maka diapun
jadi terdesar malahan. Melihat serangannya digagalkan secara mudah, diam-diam
Malaikat berlengan delapan Cia Kim merasa amat gusar,
tubuhnya berkelebat kedepan dan berbalik mengancam rusuk
kiri Ciong Lian-khek, mengikuti gerakan telapak tadi badannya
ikut menerjang kemuka, dengan keras lawan keras ia
berusaha mematahkan pertahanan musuh.
Ciong Lian-khek bukan orang bodoh, ia segera putar
pedang balas menyerang titik kelemahan lawan, jurus demi
jurus dilepaskan secara berantai, serangan dibalas dengan
serangan, semua babatan pedangnya ganas dan keji,
sedikitpun tidak memberi peluang bagi lawannya untuk
menguasai keadaan. Sejak bertemu muka, dua orang yang saling bermusuhan
ini sudah dipengaruhi oleh rasa dendam kesumat, mata
mereka sudah merah membara, karena itu begitu bertempur
maka kedua belah pihak sama-sama mengerahkan segenap
kemampuan yang dimilikinya, bukan saja bertempur mengenai
ilmu silat merekapun mengadu semangat.
Kedua belah pihak sama-sama merupakan orang yang
cemerlang dan punya nama besar dalam dunia persilatan,
karena saling bersumpah untuk tidak hidup berdampingan
membuat pertarungan itu berlangsung jauh lebih seru.
Dalam pada itu, jalan dibelakang barak telah dipenuhi oleh
berkelebatnya bayangan manusia, kurir dari kelompok tiga
besar saling berhubungan satu sama lainnya, rupanya mereka
sedang merundingkan suatu masalah yang besar dan gawat.
Dalam barak yang dihuni para pendekar dari kalangan
luruspun sedang berlangsung perundingan untuk menentukan
siasat dalam menghadapi pertempuran terakhir, meskipun
pertempuran diluar gelanggang berlangsung sengit dan
tegang namun situasi dalam pe-rundingan itu jauh lebih
tegang dan serius. Tiba-tiba terdengar Ciong Lian-khek membenak keras,
dalam sekejap mata desiran pedang menderu-deru, cahaya
tajam berkilauan di angkasa, bayangan senjata berlapis-lapis
dan mengurung Malaikat berlengan delapan Ciu Kim semakin
ketat. Terdengar angin pukulan menderu-deru, tenaga pukulan
yang terpancar keluar dari telapak Malaikat berlengan delapan
Ciu Kim pun segera tiba makin menghebat, pukulan demi
pukulan yang gencar berusaha menembusi kepungan lapisan
pedang yang berlapis hingga menyiarkan suara tajam yang
memekikkan telinga. Ilmu silat memang sukar diukur dengan kata-kata,
sepanjang hidupnya Ciong Lian-khek selalu meyakinkan
permainan pedangnya, sewak tu menemani Hoa Thian-hong
berlatih pedang, secara tidak sadar ia telah melatih pula
kepandaian sendiri secara tekun dan rajin membuat
permainan ilmu pedang Seng too tui hun kiam hoatnya
mencapai puncak kesempurnaan yang tiada taranya, sedang
tenaga dalam yang dimilikipun mendapat kemajuan yang
pesat, hal ini membuat daya serangan yang terpancar dalam
permainan pedangnya betul-betul mengerikan.
Dipihak lain, Malaikat berlengan delapan Cia Kim pun
sepanjang hidupnya selalu tekun mendalami ilmu telapak Siu
lo ciang hoat nya. Inti sari dari ilmu pukulan itu sudah dikuasai
penuh, ditambah pula tenaga dalamnya yang sudah dilatih
selama dua puluh tahun membuat pukulan-pukulannya sangat
terlatih dan sempurna. Oleh karena itulah, kendatipun serangan pedang Seng lo tui
hun kiam hoat dari Ciong Lian-khek amat keji dan telengas
namun selalu gagal untuk menembusi perlahanannya.
Tidak terasi setengah jam sudah lewat. Jua orang itu sudah
bertempur banyak tiga iratus gebrakan lebih.
Pertarungan ini merupakan suatu pertarungan yang amat
sengit, dendam yang telah berlangsung lama, rasa benci yang
sedalam lautan memaksa kedua belah pihak merasa tak puas
sebelum berhasil membinasakan lawannya, oleh sebab itulah
pertarungan berlangsung semakin lama, keadaan makin seru
dan ramai hingga akhirnya kedua bilah pihak sama-sama
mempertaruhkan keselamatan jiwanya untuk berusaha
merubuhkan lawannya. Suana dalam barak tiba-tiba berubah jada sunyi senyap tak
kedengaran sedikit suara pun, semua orang telah mengetahui
bahwa salah satu diantara dua orang yang sedang berempur
sengit itu pasti ada yang bakal mati.
Malaikat berlengan delapan Cia Kim yang terkurung dalam
lapisan cahaya pedang Ciong Lian-khek, kelihatan terdesak
hebat dan berada dibawah angin, karena itu orang-orang dari
perkumpulan Hong-im-hwie merasa jauh lebih tegang dan
serius daripada pihak lain.
Jin Hian yang kehilangan sebuah lenganya baru saja
mendapat perawatan dan menyelesaikan semedinya, setelah
meninjau sebentar situasi dalam gelanggang, dengan dahi
berkerut ia berpaling ke arah Cu Goan Kek yang berada
dibelakananya sambil berkata, "Ji te, engkau segera
menantang perang! berpura-puralah seperti akan
menggantikan kedudukan dari Sim te, jika pihak lawan ada
yang berani menghalangi maka kita akan utus orang uutuk
menghadapi pertarungan itu, seandainya pihak Thong-thiankauw
memberi tanggapan atas kejadian itu maka kita korban
perang massal dan bergerak sesuai dengan rencana yang
telah dipersiapkan" "Siaute terima perintah!" jawab Cu Goan Kek sambil
bangkit berdiri, ia keluar dari barak dan menerjang kedalam
gelanggang. Hoa Hujin yang membayang-bayangi keadaan gelanggang
dari tempat kejauhan, segera berseru dengan suara berat
setelah menyaksikan keadaan tersebut, "Sam te, turun
kegelanggang dan hadang orang itu!"
Sejak tadi Suma Tiang-cing sudah mengharapkan
datangnya perintah, tanpa banyak bicara ia segera terjun
kegelanggang dan menghadang jalan pergi dari Cu Goan Kek.
Ketika Cu Goan Kek melihat orang yang muncul untuk
menghadapi dirinya adalah pedang sembilan nyawa Suma
Tian Cing hatinya terjelos. Tapi rupanya perkuuipilan Hong-imhwie
sudah punya rencana, baru saja pemuda Suma terjunkan
diri dengan cepat Yan-san It-koay pun terjun pula kedalam
gelanggang. Tio Sam-koh yang menyaksikan tindakan musuh jadi naik
pitam ia ketukan tongkat besinya keatas tanah dan siap terjun
kedalam gelanggang, Hoa Hujin segera menarik lengan
bajunya sambil berbisik, "Pihak lawan berjumlah sangat
banyak sedangkan kekuatan kita sedikit sekali bilamana
keadaan tidak terlalu memaksa lebih baik menghemat tenaga"
Sementara pembicaraan itu masih berlangsung, Suma
Tiang-cing telah meloloskan pedangnya dan menyenril senjata
itu dengan sentilan jari, cahaya hijau berkilauan diiringi suara
dentingan yang memekikkan telinga terhadap kehadiran
musuh dari arah depan ia sama sekali tidak memandang
barang sekejappun. Dafri pergelanggan tangannya, Yan-san It-koay melepaskan
pula gelangnya yang bercahaya hitam, dengan tangan
dikepalkan dan menyilang didepan dada ia melirik sekejap ke
arah Cu Goan Kek. Orang kedua dari perkumpulan Hong-im-hwie itu mengerti
apa yang dimaksudkan sahabatnya, ia segera membentak
keras, tubuhnya menerkam kedepan sambil melepaskan satu
pukulan yang maha dahsyat.
Paras muka Suma Tiang-cing menunjukkan sikap menghina
dan pandang rendah musuhnya, sepasang matanya yang
memancarkan cahaya kesombongan menyapu sekejap ke arah
Yan-san It-koay dan Cu Goan Kek dengan ketus, walaupun ia
tahu serangan yang dilancarkan orang she Ciu itu sudah
hampir mengenai ditubuhnya, akan tetapi si anak muda itu
masih tetap berdiri tak berkutik.
Jilid 10 SERANGAN yang dilancarkan Cu Goan Kek itu sebenarnya
adalah suatu serangan kosong, menanti Suma Tiang-cing
menggerakkan tubuhnya maka Yan-san It-koay akan segera
menyergap kedepan sedang ia sendiri bisa melewati hadangan
pemuda Suma itu dan membantu Malaikat berlengan delapan
Cm Kiai yang terancam bahaya.
Tapi Setelah melihat sikap yang angkuh dan jumawa dari
Suma Tiang-cing, seakan-akan ia tak dipandang sebelah
matapun oleh la wannya, hawa arsiran segera berkobar dalam
benaknya, dari jurus itupun ia rubah jadi serangan sunguhan
dan langsung dihantam kemuka.
Suma Tiang-cing tertawa dingin, ia geserkan badannya
kesamping dan berkelit sejauh beberapa depa dari tempat
semula. Cahaya hitam berkelebat lewat, Yan san koay dengan
gelang hitamnya yang berada dalam genggaman laksana
sambaran petir ditonjokkan ke arah batok kepala lawan.
Tenaga dalam yang dimiliki gembong iblis ini jauh lebih
sempurna jika dibandingkan dengan tenaga lweekang dari Cu
Goan Kek, karenanya walaupun serangan itu dilepaskan jauh
lebih lambat namun tiba pada sasaran hampir dalam waktu
yang bersamaan. Gerakan Suma Tiang-cing yang berkelit ke arah samping
justru bagaikan perahu yang mendekat ketepian, dengan
tepat menyongsong datangnya ancaman tersebut.
Terdengar Suma Tiang-cing mendengus dingin, pedang
mustikanya dibalik dan langsung membabat pergelangan
lawan. Cara pemuda ini mainkan pedang menyerupai cara
menggunakan golok, daya tekanannya berat bertenaga tapi
enteng dan lincah sekali membuat musuh sulit untuk menduga
sasarannya. Ia tersohor sebagai jago pedang bernyawa Sembilan yang
merupakan manusia paling sadis dikalangan golongan putih,
kalau tidak bertempur wataknya baik, tapi setelah turun
tangan pasti ada jiwa yang melayang, karena kelihayan dan
kekejiannya banyak gembong iblis yang jeli dan mengalah tiga
bagian kepadanya. Sementara itu jurus serangan yang dipergunakan Yan-san
It-koay sudah hampir mencapai pada akhir gerakan, melihat
seranganan itu jika dilanjutkan niscaya akan kurung ditangan
lawan ia jadi terkejut bercampur marah, sumpahnya,
"Keparat! anjing sialan!"
Sambil putar badan satu lingkaran, dia buyarkan pukulan
itu secara paksa.... "Cuuih!" Suma Tiang-cing meludah dan disemburkan keatas
wajah Yan-san It-koay, pedang mustikanya berputar dan
langsung membacok tubuh Cu Goan Kek.
Orang kedua dari perkumpulan Hong-im-hwie ini rada nafsu
untuk menghadapi pemuda tersebut karena itu setelah
serangannya mengenai sasaran yang kosong ia segera
enjotkan badan dan menyelinap kedepan.
Tiba-tiba desiran angin tajam meluncur dibelakang batok
kepalanya, sewaktu ia berpaling belakang tampaklah
sambaran pedang Suma Tiang-cing sudah tiba didepan mata,
ia amat terperanjat dan tubuhnya buru-buru jatuh
bergelinding keatas tanah untuk mencari selamat.
Mulai pertama Suma Tiang-cing menahan serangan dari
Yan jan It koay lebih dahulu kemudian menyergap Cu Gom
Kek meskipun ia melepaskan dua serangan namun dalam
kenyataan hanya satu jurus serangan.
Mimpipun Cu Goan Kek tidak menyangka kalau Yan-san Itkoay
begitu goblok dan dan tak becusnya sehingga serangan
dari Suma Tiang-cing pun tidak mampu dibendung, dalam
gugupnya ia berusaha sekuat tenaga untuk meloloskan diri
dari arcaman. Cahaya barkelebat lewat pakaian bagian punggung Cu
Goan Kek tersambar robek, sebuah jalur sepanjang dua depa,
darah mengalir keluar dari mulut luka dan membasai tubuhnya
namun Cu Goan Kek masih belum merasakan hal itu.
Yan-san It-koay merasa malu bercampur gusar, ia
menyergap maju kedepan sepasang kepalannya disodok
kemuka menghajar pinggang Suma Tiang-cing memaksa si
anak muda itu harus putar pedangnya untuk menyelamatkan
diri. Setelah secara nyaris berhasil lolos dari bacokan lawan, Cu
Goan Kek merasa gusar sekali, paras mukanya jadi hijau
kepucat-pucatan namun sebagai seorang jago kawakan yang
berotak dingin dan berhati licik, ia segera menggigit bibir
menelan rasa mendongkolnya itu didalam hati, sang badan
masih melanjutkan terjangannya menubruk ke arah Ciong
Lian-khek. Kembali Suma Tiang-cing mendengus dingin, pedangnya
berkelebat menyergap tubuh bagian belakang dari Cu Goan
Kek, memaksa jago kedua dari perkumpulan Hong-im-hwie ini
buru-buru harus berkelit ke arah samping.
Yan-san It-koay adalah seorang jago lihay yang tersohor
karena kebengisan dan keganasanya, berada dihadapan
umum ia kena dipaksa oleh lawannya hingga selalu berada
dibawah angin, hal itu membuat kemarahannya menjadikan ia
kalap, sepasang tinju di lontarkan secara berrantai krdepan, ia
lepaskan pukulan secara membabi buta.
Serangan berantai yang amat gencar ini telah
menggunakan seluruh kekuatan yang dimiliki Yan-san It-koay,
kendatipun Suma Tiang-cing gagah perkasa dan pemberani
tak urung musti menghadapi dengan sepenuh tenaga juga.
Dengan terjadinya peristiwa ini maka Cu Goan Kek pun
berhasil melepaskar diri dari kurungan lawan, tanpa
mengucapkan sepatah katapun ia kirim satu pukulan dahysat


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyergap badan Ciong Lian-khek.
"Sreeet,!!" Ciong Lian-khek putar badan melepaskan satu
babatan pedang, serunya dengan ketus, "Cia Kim, ini hari
adalah saatnya kita berdua untuk menentukan siapa hidup
siapa mati apakah engkau hendak andalkan kekuatan orang
untuk mewujudkan harapanmu?"
Malaikat berlengan delapan Cia Kim tertegun, ia teringat
kembali atasn kata-katanya sebelum terjadi pertarungan itu, ia
pernah ber kata bahwa pada saat itu menang kalah di antara
mereka hendak dilakukan tanpa campur tangan orang lain.
Dangan wajah menyesal bercampur malu, segera
bentaknya dengan keras. "Ji ko harap segera undurkan diri, setelah rasa akhirat
menentukan kematian pada kentongan ketiga, siapakah yang
berani mena han dirinya sampai kentongan kelima?"
Cu Goan Kek tertawa seram.
"Heeh.... heehh.... heehh.... Ji ko justru tak percaya dengan
segala ketahayulan, akan ku bereskan cecunguk ini sekarang
juga" Ciong Lian-khek tertawa sinis.
"Huuh! baiklah, aku akan suruh engkau percaya dengan
segala Ketahayulan!!"
Sreet! sreet! dua serangan berantai di lepaskan dengan
gencar menukas perkataan Cu Goan Kek yang belum sempat
diselesaikan. Malaikat berlengan delapan Cia Kim semakin bertambah
malu dan tiba-tiba ia berteriak keras, "Ji ko kalau engkau tak
segera mengundurkan diri, siaute akan bunuh diri lebih dulu di
hadapanmu!" Cu Goan Kek merasa amat terperanjat, ia segera urungkan
serangannya dan mundur ke belakang dengan hati tercekat.
"Cia Kim" teriak Ciong Lian-khek kemudian dengan suara
lantang, "engkau memang seorang lelaki perkasa yang hebat,
aku Ciong Lian-khek kagum atas kegagahanmu itu!"
Pedangnya dikembangkan dan segera melancarkan satu
tusukan. Malaikat berlengan delapan Cia Kim mendengus dingin, ia
melangkahkan kakinya sambil berputar, sebuah pukulan
balasan segera dilepaskan dengan dahsyat.
Cu Goan Kek yang dipaksa mengundurkan diri dari arena
pertarungan hanya bisa berdiri melongo disisi gelanggang
sambil menyaksiksn dua orang itu melanjutkan kembali
pertarungannya, dalam hati ia segera berpikir, "Baiklah aku
berdiri disini sambil membayanggi pertarungan yang sedang
berlangsung, bila keadaan membahayakan aku baru akan
turun tangan untuk menolong jiwanya, dalam keadaan begitu
aku rasa Ciong Lian-khek tidak akan...."
Belum babis ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya,
tiba-tiba terdengar Yan-san It-koay berteriak keras, "Hati-hati
dengan sergapan dari belakang....!"
Terperanjat hati Cu Goan Kek mendengar teriakan tersebut,
ia segera berpaling kebelakang dan tampaklah seorang kakek
tua berwajah merah, berbadan pendek dan gemuk, sambil
menggoyangkan kipasnya sedang menyelinap kebelakang
tubuhnya tanpa menimbulkan sedikit suarapun.
Ketika menyaksikan lawannya berpaling, kakek gemuk
pendek berwajah merah padam itu tiba-tiba tertawa, kipasnya
diayun kedepan dan mengipasi punggung Cu Goan Kek.
Pakaian bagian punggung dari Cu Goan Kek itu sudah
tersambar robek oleh babatan pedang Suma Tiang-cing tadi
tanpa terasakan olehnya, setelah dikipasi oleh kakak gemuk
itu, pakaiannya segera tersingkap hingga kelihatan kulitnya
yang berdarah. Cu Goan Kek jadi sangat terperanjat, buru-buru ia loncat
keudara dan menyingkir sejauh beberapa tombak dari tempat
semula. Ditengah gelanggang, terdengarlah Ciong Lian-khek
membentak keras, Cia Kim mari kita tentukan siapakah yang
lebih berhak melanjutkan hidup di kolong langit.
Sambil berseru badannya meluncur keangkasa hingga
mencapai ketinggian dua tombak lebih.
Malaikat berlengan delapan Cia Kim tertawa angkuh,
kakinya melayang kepintu Cu bu dan kepalannya disilangkan
didepan dada, kepalanya menengadah keudara sikapnya
angkuh sekali. Ciong Lian-khek mendengus dingin, badannya meluncur
kebawah, pedangnya berputar kencang bagaikan roda, cahaya
tajam menyelimuti daerah seluas satu tombak lebih, dan
mengurung batok kepala Cia Kim.
Terdengar bentakan keras bergeletar di angkasa, dengusan
gusar yang seram mengiringinya lalu terjadilah suatu benturan
yang dahsyat. "Bluum! dengan jurus Lu wang kay hun atau jaring langit
membekuk sukma, bacokan pedang dari Ciong Lian-khek
berhasil menghajar separuh tubuh bagian atas dari Cia Kim
sehingga terluka parah dan darah segar berhamburan di
angkasa. Pada saat yang bersamaan pula, sebuah pukulan maut
yang dilepaskan malaikat berlengan delapan Cia Kim berhasil
pula menghajar telak bahu kiri lawannya, membuat tulang
bahu Ciong Lian-khek hancur berantakan, tubuhnya yang ada
ditengah udarapun berpusing kencang.
Sejak menyaksikan Cia Kim bermaksud adu jiwa, Cu Goan
Kek sudah menyadari bahwa gelagat tidak menguntungkan
rekannya, ia hendak maju menolong tapi usahanya selalu
ditinggalkan oleh kebebasan kipas dari dewa yang suka
pelancongan Cu Thong, hal ini membuat dia panik sekali.
Demikianlah, setelah terjadinya bentrokan yang sama-sama
berakibatkan terlukanya kedua orang itu, para jago dari
perkumpulan Hong-im-hwie sama-sama membentak keras dan
serentak menyerbu masuk kedalam gelanggang pertarungan.
Terdengar Ciong Lian-khek membentak keras, pedangnya
berputar laksana kitiran petir, sekilas cahaya tajam yang
menyilaukan mata meluncur kemuka, dengan gerakan Thay
san ya teng atau tertindih oleh bukit Thay san, pedangnya
membacok kebawah. Jeritan ngeri yang menyayatkan hati bergema memecahkan
kesunyian, batok kepala Malaikat berlengan delapan Cia Kim
terbacok hingga hancur lebur dan terpisah dari tubuhnya.
Dalam pada itu, dewa yang suka pelancongan Cu Thong
ketika melihat para jago dari perkumpulan Hong-im-hwie
bagaikan gulungan air bah menyerbu masuk kedalam
gelanggang pertarungan, ia segera meayadari bahwa
pertempuran massal tak bisa dihindari lagi, kipasnya dengan
cepat disimpan dan telapaknya laksana kilat melepaskan satu
pukulan maut. Pukulan itu menggunakan gerakan menyerang sampai
mati, salah satu serangan ampuh dalam catatan Ci yu ju ciat,
tujuan Cu Thong menggunakan iimu maut itu bukan lain
adalah hendak membunuh lawannya secepat mungkin.
Dada Cu Goan Kek termakan telak oleh pukulan maut itu, ia
menjerit kesakitan, darah segar menyembar keluar dari
mulutnya dan binasalah jago nomor dua dari perkumpulan
Hong-im-hwie ini. Pertempuran itu benar-benar berlangsung amat seru dan
mengerikan, belum cepat mayat Cia Kim dan Cu Goan Kek
roboh terkapar diatas tanah, pertarungan massal yang amat
serupun sudah berlangsung.
Delapan puluh orang jago lihay dari perkumpulan Hong im
Hwae bersama-sama terjun kedalam geianggang pertarungan,
yang masih tinggal dalam barak hanya Jin Hian yang baru saja
kehilangan lengan kiri nya serta nenek buta yang belum
sembuh dari luka dalamnya.
Sebaliknya dari pihak pendekar kalangan lurus, mulai dari
Hoa Hujin hingga kebawah sebagian besar ikut terjun dalam
pertarungan massal itu, kini yang masih berpeluk tangan
hanya Siang Tang Lay yang cacad dan menderita luka parah,
keempat orang muridnya yang melindungi keselamatan sang
guru, Biau-nia Sam-sian setia Chin Wan-hong.
Dilam sekejap mata, jeritan-jeritan ngeri berkumandang
silih berganti, meskipun dari pihak kalangan lurus hanya
berjumlah dua puluh dua orang tapi sebagian besar
merupakan jago-jago lihay yang berhasil lolos dalam
pertempuran berdarah dipertemuan Pak beng hwee, lagi pula
mereka semua telah bersepakat untuk membunuh pihak lawan
dengan serangan kilat, oleh karena itu begitu terjadi
pertempuran seru, perkumpulan Hong-im-hwie yang
merupakan kelompok paling lemah diantara Tiga maha besar
dalam dunia persilatan segera mengalami gempuran hebat
yang mengakibatkan rontoknya kekuatan tersebut.
Jin Hian yang menyaksikan anak buahnya banyak yang
roboh bergelimpangan diatas tanah jadi tercekat dan sedih
sekali, ia segera menjerit kalap, "Thian Ik-cu! Pek Siau-thian!
aku orang she Jin...."
Belum habis ia berkata, dari barak sebelah kiri
berkumdanglah suara bentakan keras dari Hian Leng cu, "Pek
pangcu, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk turun
tangan" Dia ayun pedang mustikanya dan terjun kedalam
gelanggang lebih dahulu. Dalam sekejap mata, hawa pedang membumbung tinggi
keangkasa, ratusan orang, anggota perkumpulan Thong-thiankauw
mengikuti dibelakang Hian Leng cu, Pia Leng-cu dan
Cing Leng cu terjun kedalam gelanggang pertarungan massal.
Luka yang diderita Pek Siau-thian paling ringan, luka itu
sudah selesai dibalut. Saat itu sambil memegang tanda
perintah Hong-lui-leng yang memancarkan cahaya keemasan
ia berdiri diatas sebuah meja, matanya yang jeli mengamati
situasi dalam gelanggang, namun ia tetap tidak buka suara
untuk mengirim kekuatannya.
Terdengar malaikat pertama Sim Kiam d ri Liong-bun
Siang-sat membentak dengan suara keras, "Saudara-saudara
dari perkumpulan Hong-im-hwie, cepat menghindar kesayap
kanan!" "Hmmm! mau menghindar kemanapun tidak mungkin bisa!"
sahut Cu Thong dewa yang suka pelancongan dengan suara
dingin. Weeeess....! ia lepaskan pukulan dahsyat ke depan.
Tatkala menyaksikan datangnya pukulan telapak yang
merah membara bagaikan baja yang membara, Malaikat
pertama Sim Kian merasa amat teperanjat, ujarnya, "Ilmu
sesat apakah yang dilatih oleh kakek tua bermuka merah ini"
nampaknya mengerikan sekali"
Setelah berhasil lolos dari ancaman musuh, ilmu lay in sin
jiau nya segera dikerahkan menembusi angkasa dan
menyergap kemuka. Tiba-tiba terdengar Hoa Hujin membentak dengan suara
dalam. "Giok Liong! Bong Pay! segera belok kesayap kanan dan
sambut kedatangan para jago dari perkumpulan Hong-imhwie!"
Para jago dan perkumpulan Hong-im-hwie pada waktu itu
sudah berbelok kesayap kanan, para imam dan sekte agama
Thong-thian-kauw bagaikan air bah segera menerjang masuk
kegelanggang, ratusan bilah pedang berkilauan di angkasa
membuat suasana bertambah mengerikan.
Chin Giok-liong serta Bong Pay sekalian menyadari bahwa
kekuatan mereka masih belum mampu untuk membendung
serangan tersebut, mendengar perintah dari Hoa Hujin dengan
cepat mereka menyingkir kesayap kanan dan menghadapi
orang-orang dari perkumpulan Hong-im-hwie.
Tiba-tiba dengusan dingin bergema diudara, seorang pria
berbadan bagaikan beruk melayang masuk kedalam
gelanggang, sekilas cahaya hitam kontan meluncur kedepan.
Hian Leng cu mengerutkan dahinya, ia segera membentak,
"Yang datang apakah Ciu Thian-hau dari gunung Huan san?"
Pedangnya berkilat, sebuah serangan balasan segera
dilepaskan. "Traaanng....! Traaang....! Traang....! beberapa kali
benturan nyaring mengakibatkan percikan bunga api
berterbangan di angkasa, begitu bertemu muka kedua orang
itu sudah terlibat dalam suatu pertarungan yang amat seru.
Ciu Thian-hau dari gunung Huan San mendengus dingin,
golok tipisnya yang berkilauan tajam secara beruntun
melepaskan belasan jurus serangan berantai, namun
kesemuanya berhasil dipunahkan oleh Hian Leng cu, dari
pihak golongan pendekar, ilmu silat yang dimiliki Ciu Thianhau
hanya sedikit dibawah Hoa Hujin, sebaliknya Hian Leng-cu
adalah jago yang berilmu paling tinggi dari pihak lawan,
karena iti meskipun orang she Ciu itu sudah menyerang
dengan segala kemampuannya namun tetap gagal untuk
merebut posisi yang lebih menguntungkan.
Dalam pada itu, It sim hweesio Ti Kiam Hui telah memutar
senjata sian cang nya untuk bergebrak melawan Pia Leng-cu,
sedangkan Hoa Hujin menghadapi Ceng Leng cu, enam orang
terbagi dalam tiga kelompok bertempur dengan serunya.
Karena keenam orang itu merupakan jago-jago yang
berkepandaian paling lihay, maka sekalipun terjadi
pertempuran massal namun tak seorang manusiapun yang
mampu terjun dalam pertarungan diantara enam orang tadi,
Hian Leng cu, Pia Leng-cu dan Cing Leng cu dari pihak
Thong-thian-kauw telah membendung kekuatan dan pihak
pendekar yang berilmu paling tinggi, dengan terjadinya
pertarungan tersebut maka daya tekanan terhadap pihak
perkumpulan Hong-im-hwie pun jauh berkurang.
Pada waktu itu, malaikat pertama Sim Kian dari Liong-bun
Siang-sat bettempur seru melawan dewa yang suka
pelancongan Cu Thong, malaikat kedua Sim Ciu melawan Cu
Im taysu, Yan-san It-koay bertempur melawan jago pedang
bernyawa sembilan Suma Tiang-cing, sedangkan Thian Seng
cu dan Cing Si cu dari perkumpulau Thong-thian-kauw
bertempur melawan Tio Sam-koh, sisanya terlibat dalam
pertempuran massal. Bentakan keras bergeletar bagaikan guntur, kedua belah
pihak saling bertempur dengan serunya, tapi disebabkan
jumlah anak murid dari perkumpulan Thong-thian-kauw
sangat banyak, dari pihak Hong-im-hwie masih terdapat
belasan orang jago, ditambah pula tiga puluh orang pengawal
pribadi golok emas, maka kendatipun dalam pertempu ran
seru itu pihak pendekar berhasil membunuh banyak musuh,
namun keadaan mereka kemungkinan terancam maut.


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepanjang pertarungan itu berlangsung, kelompok makhluk
aneh yang menyerupai sukma-sukma gentayangan itu masih
tetap duduk tenang dalam barak, kehadiran mereka
mendatangkan firasat yang jelek bagi setiap orang disana.
Siang Tang Lay yang selama ini mengikuti terus jalannya
pertarungan itu, mendadak berbisik kepada seorang muridnya
yang bera da disamping. "Kalian berputarlah ke arah tenggara dan serbu kedalam
gelang-gang, sergap jalan mundur pihak Hong-im-hwie dan
usahakan untuk membasmi mereka semua dan muka bumi!"
Keenam orang pemuda itu menunjukkan sikap keberatan,
mereka segera memberi hormat s"ambil berseru, "Suhu....!"
Siapa yans berani membangkang perintah ku" bintaik Siang
Tang Lay dengan mata melotot.
Enam orang pemuda iiu tak berani banyak bicara lagi,
mereka segera memberi hormat dan terjun kedalam
gelanggang. Meskipun usia beberapa orang itu masih muda namun ilmu
silat mereka sudah mendapat warisan langsung dari Siang
Tang Lay, tenaga dalam yang mereka milikipun sudah
mencapai kesempurnaan, karena itu setelah mereka berenam
terjun kegelanggang lewat arah tenggara dan menyergap
jalan mundur dari tiga puluh orang pengawal pribadi golok
emas, dalam waktu singkat para jago dari perkumpulan Hongimhwie sudah keteler hebat dan mendekati ambang
kehancuran. Pengawal pribadi golek emas mempunyai keahlian dalam
bertempur secara bersamaan sebaliknya keenam orang murid
dari Siang Tang Lay ini paham dengan ilmu barisan Lak liong
si thian kian tin, begitu terjadi bentrokan langsung, dalam
sekejap mata ada delapan sembi lan orang pengawal pribadi
golok emas roboh binasa ditangan mereka.
Jin Hian yang menyaksikan jalannya pertarungan itu dari
dalam barak jadi panik sekali, ia tahu jika pertarungan ini
dilanjutkan lebih jauh, massa pihak pendekar pasti akan
berhasil merebut posisi yang menguntungkan, sedang
perkumpulan Hong-im-hwie akan hancur berantakan dan
tergeser namanya dari dunia persilatan.
Ia jadi marah bercampur dendam, tiba-tiba sorot matanya
dialihkan ke arah Pek Siau-thian yang berada dalam barak
diseberang, dengan suara menguntur teriaknya, "Tua bangka
she Pek, lihatlah apakah ini?"
"Apa?" bentak Pek Siau-thian sambil berpaling.
Jin Hian angkat tangannya, sebilah pedang kecil yang
memancarkan cahaya keemasan segera muncul didepan mata.
Pek Siau-thian merasakan jantungnya bergentar keras,
teriaknya tanpa Sadar, "Aaaah! pedang emas"
"Heehh.... heeh.... heehh.... sedikitpun tidak salah, inilah
pedang emas," jawab Jin Hian sambil tertawa dingin.
Ia sambit pedang itu kedepan, sekilas cahaya emas
berkelebat ketengah udara, setelah membentuk satu lingkaran
busur, pedang emas itu langsung ketengah gelanggang
dimana pertempuran massal sedang berlangsung.
"Haahhh.... haahhh.... haahhh.... bagus sekali tua bangka
she Jin rupanya engkau sengaja menciptakan berita yang
mengatakan pedang emas itu dicuri orang, rupanya engkaui
sedang berbohong!" Tampaklah pedang emas yang berbentuk kecil itu berputar
diudara lalu rontok kebawah dan tepat berada dialas kepala
Cu Im taysu. Siang Tang Lay yang berada dibawah barak buru-buru
membentak keras, "Taysu, cepat rampas pedang emas itu!"
Cu Im taysu tersenyum, pikirnya, "Dalam keadaan situasi
semacam ini, apa gunanya benda yang tak berfaedah itu?"
Ssmentata ia masih sangsi, tiba-tiba sesosok bayangan
manusia berkelebat menembusi angKasa dan menyambar
pedang emas itu. Cu Im taysu dapat melihat bahwa orang yang menyambar
pedang emas itu bukan lain adalah Thian Sengcu dari
perkumpulan Thong-thian-kauw, senjata sekop peraknya
segera ditusuk ke arah tubuhnya.
Thian Sengcu tertawa tergelak, badannya melentak dan
bergeser dua depa ke arah samping, setelah lolos dan tusukan
sekop lawan, pedangnya segera diayun kemuka menotok
ujung senjata sekop, sementara tangan kirinya melanjutkan
gerakan untuk merampas pedang emas itu.
Malaikat kedua Sim Ciu yang sedang bertempur melawan
Cu Im taysu ketika menyaksikan senjata sekop lawan berputar
menyerang Thian Seng cu, ia tak mau membuang kesempatan
yang sangat baik itu dengan begitu saa tetapi sebelum
serangan dilepaskan tiba-tiba dilihatnya pedang emas itu
sudah hampir didapatkan oleh Thian Seng cu.
Sebagai seorang yang tamak akan harta, dengan cepat dia
urungkan serangannya untuk menghajar Cu Im taysu, diamdiam
ilmu Tay in tin jiau nya dikerahkan dan menghantam
lambung Thian Seng cu secara diam-diam.
Thian Seng cu yang menutulkan pedangnya pada ujung
sekop Cu Im taysu sebenarnya berhasil meminjam tenaga
pantulan itu untuk merebut pedang emas dan melayang
keluar dari gelanggang, siapa tahu baru saja ujung pedangnya
berhasil menutul diujung sekop mendadak lambungnya terasa
sakit bagaikan tertusuk, hawa murninya buyar dan tubuhnya
toboh keatas tanah. Sekalipun begitu, imam tua tadi bukanlah seorang manusia
tolol setelah menyadari bahwa ia terbokong lawan, pedangnya
segera diayunkan menghantam pedang emas tadi sambil
berseru. "Susiok, sambutlah pedang itu!"
Cu Im taysu hanya pusatkan perhatiannya untuk
membunuh musuh, ia sama sekali tak pikirkan pedang emas
itu didalam hati, karena kuatir malaikat kedua Sim Ciu
menyergap dirinya, dengan cepat sekop peraknya di babat
keatas tubuh Thian Seng cu yang baru saja rontok dari udara.
Serangan sekop perak itu dilepaskan dengan kecepatan
bagaikan sambaran petir, dahsyatnya luar biasa.
"Ploook....!" dengan telak bacokan itu bersarang diatas
pinggang Thian Seng cu membuat imam tua itu menjerit
ngeri, mutah d rah segar dan binasa seketika itu juga.
Malaikat kedua Sim cu yang menyaksikan usahanya sia-sia
belaka jadi gusar melihat mayat dari Thian Sang cu meluncur
dihadapan mukanya, ia segera lancarkan satu tendangan kilat
yang membuat mayat tadi mencelat kembali ke arah Cu Im
taysu, bersamaan itu pula badannya maju kedepan
meneruskan sergapannya. Pedang emas yang dipukul oleh Thian seng cu dengan
pertaruhan nyawa itu segera mencelat kembali diudara dan
meluncur ke arah Cing Leng cu.
Pada waktu itu Cing Leng cu yang sedang bertempur
melawan Hoa Hujin sedang kebat kebit hatinya karena kejut
bercampur keder, dalam keadaan begitu tak sempat baginya
untuk pecahkan perhatian mengurusi soal pedang emas
tersebut. Ketika dilihatnya pedang emas itu meluncur datang, ia
putar badan sambil bergeser kesamping kemudian melayang
ke arah depan meneruskan pertarungan lebih jauh.
Hoa Hujin, Ciu Thian-hau, It Sim hweesio, Hiang Leng cu
sekalian berada disekitar tempat itu, Hoa Hujin sekalian yang
berniat untuk membalas dendam sama sekali tak mau
pecahkan perhatian karena soal pedang emas itu.
Hian Leng cu dan Pia Leng-cu sendiri juga merupakan
siluman-siluman tua yang berpengala-man, mereka tahu
bahwa soal pedang emas masih merupakan suatu tanda tanya
yang belum terjawab, merebutnya dalam keadaan dan saat
seperti ini sama sekali tak ada gunanya, bahkan malahan akan
mendatangkan pembunuhan bagi diri mereka, karena itulah
meskipun pedang emas tadi menyambar lewat dari sisi
beberapa orang berkepandaian tinggi itu, namun tak ada
seorang manusiapun yang mau mempedulikan, mereka tetap
mengerahkan kepandaian masing-masing untuk bertempur
sengit melawan musuhnya. Pedang emas itu setelah meluncur sejauh beberapa
tombak, daya luncurnya makin lemah dan akhirnya roboh
keatas tanah, Chin Pek-cuan yang kebetulan berada
disampingnya dengan cepat menyambar senjata tadi dan
dicekalnya dalam tangan. Dari Ciu Thian-hau ia sempat mempelajari suatu ilmu
langkah yang luar biasa sekali hebatnya dalam sekali bergerak
tahu-tahu tubuhnya sudah terlepas dan kurungan senjata
lawan dan berhasil merampas pedang emas itu.
Suara hentikan nyaring berkumandaog dari empat penjuru,
ber puluh-puluh orang musuh serentak menyerang ke
arahnya. Semua peristiwa itu berlangsung dalam sekejap mata, Pek
Siau-thian yang berdiri diatas meja ketika menyaksikan
pedang emas itu sudah terjatuh ketansan Chin Pek-cuan, ia
segera membisikan sesuatu kesisi telinga Cukat racun Yau sut,
panji Hong lui kie dikibarkan dan bentaknya, "Pelindung
hukum panji kuning mengikuti Kunsu untuk turun menuju
kegelanggang!!" Cukat racun Yau Sut menyingkap badannya dan cabut
keluar sebilah pedang pendek, eriaknya, "Pelindung hukum
panji kuning, ikutilah aku!"
Suara sahutan bersema gegap gempita, seratus orang
pelindung hukum panji kuring dengan mengikuti dibelakang
Yau Sut, bagaikan gulungan air bah segera terjun kedalam
gelanggang. Dengan dipimpin oleh Cukat racun Yau Sut, sepasukan jago
lihay itu bergerak menuju ke arah tenggara, kelompok
pelindung hukum panji kuning ini merupakan jago pilihan yang
berkepandian silat amat tangguh, terjangan mereka kedalam
gelanggarg kali ini benar-benar dahsyat dan mengerikan
sekali. Malaikat pertama Sim Kian selain bertempur melawan dewa
yang suka pelancongan Cu Thong, itupun bertugas mengatur
anak buahnya serta memberi petunjuk kepada anggota
perkumpulan Hong-im-hwie untuk melakukan perbuatan,
ketika menyaksikan para anggota perkumpulan Sin-kie-pang
menyerang lewat arah belakang, ia jadi gusar sekali se-hingga
hampir saja hendak mrunkan perintah untuk beradu kekuatan
dingan pihak perkumpulan Sin-kie-pang.
Tapi ia tahu Hao Goan Siu mati ditangan mereka berdua,
perselishan dan dendam kesumat yang terjadi antara pihak
Hong-im-hwie dengan kaum pendekar sudah terlalu dalam
hingga sukar diselesaikan maka sambil menahan rasa dongkol
dihati ia membentak keras, "Saudara-saudara dari
perkumpulan Hong-im-hwie semuanya bergeser kesamping
kiri!" Mendapat perintah tersebut, semua jago dari perkumpulan
Hong-im-hwie siap bergeser kesamping kiri dan memberikan
musuh yang ada disayap kanan kepada pihak perkumpulan
Sin-kie-pang. Siapa tahu dari pihak perkumpulan Sin-kie-pang sudah
mempunyai rencana sendiri, mereka bermaksud menggunakan
kesempatan hari ini untuk melenyapkan kekuatan dari
perkumpulan Hong-im-hwie.
Tampaklah Cukat racun Yau Sut kembali ulapkan
tangannya, ratusan orang jago dari kelompok panji kuning
tiba-tiba menyebarkan diri dan menerobos kebelakang barisan
pihak Hong-im-hwie, hal ini membuat pasukan dan pihak
Hong-im-hwie segera terjepit ditengah kepungan, meskipun
mereka ayun senjata sambil berteriak keras namun tak
seorangpun diantara mereka yang secara langsung kontak
senjata dengan pihak pendekar.
Diantara perkumpulan Sin-kie-pang, Hong-im-hwie dan
Thong-thian-kauw bila membicarakan tentang soal ilmu silat
maka ilmu silat Hian Leng ki, Pia Leng-cu serta Cing Leng cu
dari perkumpulan Thong-thian-kauw lah yang paling tinggi,
berbicara tentang banyaknya anggota dan pergalamannya
panglima perang maka perkumpulan Sin-kie-pang yang nomor
satu. Dalam pertempuran yang terjadi pada saat ini, tiga orang
imam tua dari perkumpulan Thong-thian-kauw telah
berhadapan dengan para pendekar berilmu tinggi sedangkan
Hong-im-hwie bertanggung jawab dalam serbuan pertama
maka bila dibicarakan sesungguhnya, maka posisi pihak Sinkiepang lah yang paling menguntungkan.
Jin Hian yang menyaksikan peristiwa tersebut dengan cepat
memahami siasat keji dari Pek Siau-thian, ia jadi mendendam
dan bencinya luar biasa namun jago tersebut hanya bisa
menggertak gigi belaka tanpa mampu berbuat apa-apa lagi,
sebab seluruh kekuatan perkumpulan Hong-im-hwie telah
terjun sedalam arena dan ia tidak memiliki kekuatan lagi
Ketika ia berpaling ke arah pihak perkumpulan Sin-kiepang,
tampaklah para Tong cu nya, para Hiangcu, serta
pelindung hukum yang berjumlah hampir melebihi tiga ratus
orang masih utuh berkumpul dibelakang Pek Siau-thian,
kekuatan sebesar itu masih mencerminkan suatu kekuatan
yang maha besar. Tiba-tiba Bong Pay membentak keras, sepasang telapaknya
didorong kemuka secara berbareng, Seng Sam Hau itu
hweesio yang gemar makan daging dan minum arak dari
perkumpulan Hong-im-hwie segera terhajar telak dadanya
oleh pukulan itu, ia muntah darah segar dan mundur
kebelakang dengan sempoyongan, akhirnya sepasang kakinya
jadi lemas dan roboh tercengang keatas tanah.
Dalam perkumpulan Hong-im-hwie, Seng Sam Hau
menduduki kursi nomor lima, dia adalah seorang hweesio
yang gemar minum arak, main perempuan dan suka
membunuh orang, hal ini Bong Pay sebagai seorang pemuda
yang masih cetek pengalamannya ternyata mampu
membinasakan hweesio tadi.
Hal ini mencerminkan bahwa para jago dari perkumpulan
Hong-im-hwie rata-rata sudah pecah nyali dan patah
semangat. Terdengar dua kali bentakan gusar berkumandang datang,
dua orang pengawal pribadi golok emas menyerbu kedepan
menggunakan kesempatan tersebut, Bong Pay yang baru saja
melepaskan serangan belum sempat berdiri tegak ketika
bacokan golok dari pria yang ada disamping kiri telah
menyambar tiba.

Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak bisa dihindari lagi, bahu kiri Bong Pay termakan oleh
bacokan itu sehingga darah segar memancarkan keluar
dengan deras nya, hampir saja badannya roboh keatas tanah.
Chin Giok-liong yang kebutalan berada disekitar sana,
dengan cepat menerjang maju, pedangnya dibacok kemuka
berulang kali memaksa dua orang pengawal pribadi golok
emas itu buru-buru mengundurkan diri.
Terdengar dewa yang suka pelancongan Cu Thong
berteriak keras, "Anak Pay dan Giok Liong segera mundur
kekiri dan mendekat dengan paman Yap!"
Dari ayahnya Chin Giok-liong berhasil mempelajari pula
ilmu langkah Lian Ngo heng mi sian poh hoat atau ilmu
langkah dewa pemabok yang diperoleh dari Ciu Thian-hau,
dalam pertempuran massal tersebut ternyata ilmu langkah itu
mendatangkan faedah yang amat besar bagi dirinya, ia bisa
berkelebat kekanan atau menerobos kekiri dengan leluasa.
Ketika mendengar perintah dari Cu Thong, ia segera putar
pedang mendesak mundur musuh yang ada didepan mata
serta melindungi Bong Pay bergeser kekiri. Tiba-tiba terdengar
Hoa Hujin berseru dengan suara berat, "Tiong Liau,
bertempurlah dengan mantap dan sabar, jangan terlalu rakus
dengan pahala. Sementara itu suasana dalam gelanggang pertempuran
kalut sekali, suara betrokan senjata dan bentakan gusar amat
memekikan telinga, namun seruan dari Hoa Hujin yang
disertai dengan tenaga dalam amat sempurna itu ternyata
berhasil didengar oleh setiap orang dengan amat nyaring, hal
ini mengakibatkan semua orang terperanjat dan kesadaran
otak merekapun pulih kembali.
Tiga harimau dari keluarga Tiong sejak mendapat pelajaran
dari Hoa Thian-hong, mereka bertiga selalu melatih dasar
tenaga dalam aliran perkampungan Liok Soat Sanceng, ilmu
telapak yang mereka pelajari adalah ilmu pukulan Kun-siu-citauw
dari Ciu It-bong, kemudian atas warisan dari Lun tok sian
ci merekapun berhasil mempelajari barisan Sam seng bu kek
tin, ilmu kerja sama yang luar biasa ini sangat hapal sekali
mereka gunakan. Pada saat ini suami istri dan anak tiga orang yang harus
bekerja sama menghadapi serbuan para jago dari
perkumpulan Thong-thian-kauw segera menarik keuntungan
yang sangat besar, hanya sayang watak mereka bertiga amat
benci pada kejahatan dan tidak takut mati, setelah terjadi
pertarungan pasti ada diantara mereka yang berusaha
merncari pahala dengan pertaruhan jiwa, karena itu seringkali
mereka harus menghadapi banyak mara bahaya yang
mengancam keselamatan mereka.
Dan kini kembali Tiong Liau berusaha hendak menerjang
maju seorang diri, ketika mendengar teguran dari Hoa Hujin
buru-buru ia mundur kembali kebelakang.
Pertarungan massal yang berlangsung kali ini merupakan
suatu pertarungan massal paling besar yang terjadi dalam
dunia persilatan setelah diadakannya pertemuan Pak beng
hwee, dan merupakan satu-satunya pertarungan sengit yang
pernah terjadi setelah dunia persilatan menjadi tenang selama
belasan tahun. Para jago yang terlibat dalam pertmpuran itu, baik dari
pihak Sin-kie-pang, Hong-im-hwie, Thong-thian-kauw serta
golongan pen dekar mencapai jumlah hampir tiga ratus orang
banyaknya meskipun keempat belah pihak sama-sama
mempunyai pemimpin, tapi berhubung ilmu silat yang jauh
berbeda maka, tak lama setelah terjadi pertempuran itu sua
sana berubah jadi sangat kalut, orang yang memiiki ilmu silat
agak rendah semuanya terdesak dalam keadaan yang sangat
berbabaya dan setiap saat jiwa mereka terancam
Pasukan perkumpulan Sin-kie-pang dibawah pimpinan
Cukat racun Yau sut yang bertahan dilingkaran luar selalu
melancarkan serangan bila ada kesempatan, meski pun tidak
memperlihatkan kekuatan sepenuhnya namun dibawah
perlawanan pihak Hong-im-hwie yang semakin kalap dan
makin nekad karena posisi mereka makin terjepit, pihak
pendekar merasakan daya tekanan yang menekan mereka
kian lama kian bertambah besar hingga hampir saja tak
mampu mempertahankan diri.
Hoa Hujin yang diam-diam memperhatikan situasi dalam
gelanggang mulai merasa amat gelisah, ia menyadari bahwa
kekuatan pihaknya amat sedikit sedang jumlah musuh besar
sekali, jika pertarungan dengan sistim prajurit lawan prajurit,
panglima lawan panglima semacam ini dibiarkan berlangsung
lebih lanjut maka akhirnya seluruh pasukan akan musnah
ditempat itu. Perempuan itupun tahu, untuk menolong keadaan seperti
ini, maka satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah
menggunakan kekuaatan yang paling hebat dipihaknya untuk
menyerang kekuatan menengah pihak lawan dengan kekuatan
menengah pihaknya menyerang kekuatan paling bawah pihak
musuh, meskipun akhirnya kedua belah pihak akan samasama
musnah namun jumlah musuh yang bisa mereka
lenyapkan akan jauh lebih banyak.
Setelah berpikir sampai disitu, ia segera menggertak gigi
dan memperketat serangannya menghajar Cing Leng cu.
Setelah Hoa Hujin ambil keputusan untuk membinasakan
musuhnya, Cing Leng cu tak mampu mempertahankan diri
lagi, dalam waktu singkat pedang mustikanya berputar dengan
kencang dan menghindar terus tiada hentinya, sementara
mulutnya membentak penuh kemarahan, keadaan dari imam
tua tersebut bagaikan seekor binatang yang masuk
perangkap. Hian Leng cu yang menyaksikan peristiwa itu jadi amat
terperanjat, dengan cepat ia lancarkan beberapa buah
serangan berantai kemudian berusaha untuk menerjang ke
arah Leng cu. Terdengar Ciu Thian-hau membentak keras, golok tipisnya
melancarkan serangan ampuh secara bertubi-tubi dengan
jurus yu hun hoan im atau sukma gentayangan irama
pembetot, kiu ci coan lay atau sembilan irama menusuk hati
serta Cu thian kui im atau malaikat langit bayangan setan ia
gencet Hian Leng cu untuk tetap bertahan diposisi semula.
Angin pukulan berhawa dingin yang menusuk tulang,
segulung demi segulung memancar keluar mengikuti putiran
telapak kirinya. Ciu Thian-hau segera memutar pula telapak kirinya untuk
memunahkan pukulan-pukulan beracun dari lawannya.
Tapi berhubung tenaga dalamnya masih rendah, hawa
dingin itu sempat pula menerobos masuk kedalam tubuhnya
membuat ia kedinginan dan sukar bertahan.
Terdengar Siang Tang Lay berteriak keras, "Hoa Hujin,
jangan terlalu terburu nafsu!"
Baru saja perkataan itu diutarakan, nafsu membunuh telah
menyelimuti seluruh wajah Hoa Hujin, ia maju kedepan sambil
melepaskan satu pukulan yang maha dahsyat ke arah tubuh
Cing Leng cu. Pukulan yang dilepaskan dengan kecepatan bagaikan
sambaran kitat ini tak sempatditangkis oleh Cing Leng cu
dengan pedang nya, dalam keadaan apa boleh buat terpaksa
imam tua itu ayun pula telapak kirinya untuk menerima
datangnya arcaman tersebut dengan keras lawan keras.
"Blaaamm....!" suatu bentrokan yang memekikan telinga
terjadi ditengah gelanggang, tubuh Cing Leng cu mencelat
kebelakang dan roboh terkapar keatas tanah, darah segar
memancar keluar dari mulutnya setinggi empat lima depa,
sebelum tubuhnya mencium tanah selembar jiwanya telah
melayang tinggalkan raganya.
Paras muka Hoa Hujin berubah jadi pucat pias bagaikan
mayat, dengan tubuh sempoyongan ia menerjang ke arah
Hian Leng cu. Melihat datangnya terjangan itu, Hian Leng cu jadi amat
terperanjat, pedang mustikanya diputar kencang melindungi
seluruh badan, sementara kakinya selangkah demi selangkah
tanpa sadar mundur ke arah belakang,
"Ciu heng!" bentak Hoa Hujin dengan suara keras,"
serahkan imam tua ini kepadaku!"
Ciu Thong Haud ari gunung Huansan menyadari bahwa dia
masih bukan tandingan dari Hian Leng cu, mendengar seruan
tersebut sambil mengepos tenaga ia segera tekan hawa racun
dalam tubuhnya keluar tubuh, sementara tubuhnya berputar
kesamping dan menyerbu ke arah kiri.
00000000000 56 MESKIPUN Ciu Thian-hau bukan tandingan dari Hian Ling
cu, namun jika dibandingkan dengan jago-jago lainnya maka
keadaan jago tersebut ibaratnya harimau di tengah kawanan
kambing, di mana golok tipisnya berkelebat jeritan ngeri
bergema memecahkan kesunyian, dalam sekejap mata Siang
Kiat dari perkumpulan Hong-im-hwie serta lima orang
pengawal golok emas telah menemui ajalnya diujung golok
jago ini. Tiba-tiba terdengar Pia Leng-cu membentak keras,
pedangnya diangkat keatas dan menusuk ke arah dada It sim
hweesio. Menghadapi tusukan tersebut, buru-buru It sim hweesio
mengundurkan diri kebelakang dan berusaha melepaskan diri
dari kejaran senjata lawan....
Kendatipun begitu pedang lawan masih sempat bersarang
diatas dadanya sedalam empat cun dan melukai paru-parunya
meskipun tidak sempat mencabut selembar jiwanya namun
cukup memberikan luka yang berarti.
Pada saat yang bersamaan sekelompok para pendekar
kembali ada seorang mati ditangan musuh, Chin Giok-liong
yang termakan oleh babatan pedang Ngo Ing toojin dari
perkumpulan Thong-thian-kauw hampir saja mengorbankan
lengan kanannya. Pertarungan yang sedang berlangsung pada saat ini benarbenar
suatu penarungan yang sengit dan mendebarkan hati,
seluruh bumi bergoncang dan mayat bergelimpangan dimanamana.
Sekelompok makhluk aneh dalam barak yang selama ini
membungkam terus hingga detik itu belum menunjukkan
sikap apapun, Thian Ik-cu dari perkumpulan Thong-thiankauw
yang baru saja kehilangan kakinya kendatipun
seandainya pertarungan itu mendapat kemenangan total iapun
tak akan bisa bergembira.
Jin Hian paling sedih diantara beberapa orang itu, ia
saksikan anggota perkumpulannya yang bertempur kian lama
kian sedikit banyak diantaranya sudah terluka dan menemui
ajalnya hal ini membuat ia ja di putus asa dan semangat
tempurnya lenyap tak berbekas, ia hanya bisa menyaksikan
pertarungan berakhir dengan kematihan bagi pihak
perkumpulannya. Diantara kelompok-kelompok besar, Pek Siau-thian lah
yang paling bangga memiliki kekuatan yang paling besar,
rencana yang paling sempurna serta tata susunan ketentaraan
paling terbaik hingga saat itu meskipun pelbagai pihak sudah
banyak yang mampus dan terluka parah, hanya perkumpulan
Sin-kie-pang yang belum menderita kerugian barang
sedikitpun, secara diam-diam ia sudah dapat merasakan jika
selesai berperang maka kemungkinan besar seluruh kolong
langit akan jatuh ketangan perkumpulan Sin-kie-pang.
Dalam barak para pendekar yang masih ketinggalan hanya
Siang Tang Lay, Biau-nia Sam-sian serta Chin Wan-hong, lima
orang berhubung ilmu silat yang dimiliki Chin Wan-hong
terlalu cetek, Hoa Hujin tidak memperkenankan gadis itu turun
serta dalam pertempuran itu sedangkan Kiu-tok Sianci dengan
umat persilatan didataran Tionggoan belum pernah terikat
perselisihan apapun apa bila keadaannya tidak terlalu
memaksa, Hoa Hujin merasa segan untuk menarik Biau-nia
Sam-sian terjun dalam kancah pertempuran itu, maka untuk
sementara waktu ia perintahkan tiga dewi dari wilayah Biau itu
untuk tetap tinggal dibarak.
Siang Tang Lay ada maksud untuk terjun kedalam
gelanggang tapi sayang keadaan tidak mengijinkan dia untuk
berbuat demikian. Chin Wan-hong yang berotak cerdik dan seksama
menghadapi setiap masalah sewaktu menyaksikan Hoa Hujin
berhasil membinasakan musuh namun Siang Tang Lay bukan
saja tidak menunjukkan watak gembira sebaliknya malah
murung dan sedih, diam-diam dalam hati kecilnya timbul
kecurigaan, setelah bersabar beberapa saat akhirnya ia
bertanya, "Siang loocianpwee ilmu pukulan yang dimiliki Hoa
Hujin begitu lihay dan hebatnya mengapa ia tak mau melukai
beberapa orang musuh lagi?"
Siang Tang Lay menghela napas panjang.
"Aaai....! ilmu pukulan yang dilatih hujin adalah sejenis ilmu
pukulan Thian lui ciang yang keras dengan sejenis ilmu
pukulan Hek sat ciang yang sangat beracun, dua jenis ilmu
pukulan itu jika digabungkan menj di satu maka keadaannya
menyerupai air dalam guci, bila digunakan setetes berarti akan
berkurang setetes, jika seluruh tenaganya habis dipergunakan
maka keadaannya bagaikan lentera kehabisan minyak dan
akbatnya jiwa sendiripun tak dapat dipertahankan"
Mendengar penjelasan itu Chin Wan-hong merasa amat
terperanjat kembali ia bertanya lebih jauh.
"Berapa lama tenaga pukuian itu baru akan habis
digunakan?" "Tentang soal ini sulit untuk dikatakan, tapi tenaga
pukulannya sebesar apa yang telah digunakan untuk
menghadapi Cing Leng imam busuk itu mungkin tinggal sekali
dua kali lagi, setelah itu tenaga dalamnya akan musnah sama
sekali" Baik Chin Wan-hong maupun Biau-nia Sam-sian yang
mendengar keterangan itu sama-sama merasa amat
terperanjat. Setelah duduk termangu-mangu untuk beberapa waktu
lamanya, tiba-tiba Chin Wan-hong berpaling ke arah Lan-hoa
Siancu sambil berkata, "Toa Suci, jangan biarkan tenaga
dalamnya punah sama sekali"
"Aku sendiripun ingin mewakili hujin untuk menghadapi
lawan-lawannya" sahut Lin hoa siancu dengan dahi berkerut,
"tapi ilmu si lat yang dimiliki dua orang imam tua itu terlalu
tinggi, kami tak mampu untuk mendekati tubuhnya"
Tiba-tiba terdengar Chin Pek-cuan membentak, dengan
penuh kegusaran, begitu keras suaranya sehingga memotong


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

percakapan mereka. Dengan cepat mereka alihkan sorot mata nya ketengah
gelanggang, ternyata secara tiba-tiba Cukat racun Yau Sut
telah terjun pula kedalam gelanggang pertarungan dan
menghadang jalan pergi Chin Pek-cuan.
Dalam pertarungan itu tentu saja Chin Pek-cuan bukan
tandingannya, ditambah pula anak murid perkumpulan Thongthiankauw menyerang dari empat penjuru, hal ini membuat ia
jadi kalang kabut dan terjerumus dalam keadaan yang sangat
berbahaya. Cbin Wan Hong amat menguatirkan keselamatan ayahnya,
melihat kejadian itu dengan gelisah ia berteriak, "Oooh....! toa
suci...." Lan hoi siancu ulapkan tangannya, kemudian berseru, "Li
hoa, Ci wi, ikutilah aku!"
Tubuhnya dengan cepat bergerak menuju ketengah
gelanggang. Li-hoa Siancu dan Ci-wi Siancu membuntuti dari belakang,
ketiga orang itu langsung menyerbu ke arah garis belakang
perkumpulan Sin-kie-pang.
Meskipur tiga dewi dari wilayah Biau seringkali berkelana
dalam dunia persilatan namun mereka belum pernah
menjumpai pertarungan sehebat ini menghadapi medan
pertempuran yang luas sedikit banyak hati mereka merasa
gugup juga dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Terdengar Pek Siau-thian berteriak dari kejauhan, "Hati-hati
perempuan suku Biau itu melepaskan racun!!"
"Ehmm! benar juga perkataannya itu" pikir Lan-hoa Siancu
dalam hati, ia segera membentak nyaring, "Yang takut mati
harap menyingkir, yang berani silahkan maju kedepan!"
Sepasang telapaknya diayun berulang kali, selapis senjata
rahasia bubuk pemabok yang tak berwujud dan berbau segera
tersebar ke luar. Sejak menyaksikan munculnya tiga orang gadis suku Biau
itu, para jago dari perkumpulan Sio Kie pang sudah
menunjukkan perasaan waspada, buru-buru mereka tutup
pernafasan dan melancarkan pukulan kedepan.
Angin pukulan yang maha dahsyat bergabung jadi satu
menyambut datangnya sarangan dari Biau-nia Sam-sian hal ini
memaksa ketiga orang gadis itu terpaksa harus
mengundurkan diri dari arena.
Chin Pek-cuan yang menghadapi serangan dan empat
penjuru mala tak kuat mempertahankan diri, hatinya amat
gusar, dengan cepat pedang emas itu disambitkan ke arah
Ngo ing Cinjin dari perkumpulan Thong-thian-kauw sambil
membentak keras, "Nih!! kuhadiahkan kepadamu!!"
Cukat racun Yau Sut tersenyum, ia jangkau lengannya
mencengkeram pedang emas itu.
Dengan gerakan tubuhnya yang cekatan dan lincah, dalam
sekali berkelebat gagang pedang itu berhasil ditangkap
olehnya. Ngo ing Cinjin yang menyaksikan pedang emas yang
sedang melayang ke arahnya tiba-tiba dirampas oleh Cukat
racun Yau Sut ditengah jalan, hawa amarahnya segera
berkobar, pedang berbentuk aneh dalam genggamannya
segera disapu keluar membacok tubuh pedang emas itu.
Cukat racun Yau Sut mendengus dingin, pikirnya didalam
hati. "Hmm kalau aku tidak memberi sedikit pelajaran kepada
kamu semua, kalian hidung kerbau sialan pasti tak akan tahu
sampai dimanakah kelihayan dari Yau ya mu ini...."
Ingatan tersebut dengan cepat berkelebat dalam benaknya,
menanti pedang berbentuk aneh dari Ngo ing Cinjin sudah
hampir membacok diatas padang emas tersebut, kelima
jarinya baru berputar kencang dan menyongsong datangnya
bacokan tadi dengan ujung pedang emas yang tajam.
Criiiing....! ditengah benturan nyaring senjata berbentuk
aneh dari Ngo ing toojin yang membentuk pedang emas itu
seketika kutung jadi dua bagian.
Ngo in toojin bertambah marah, dengan putungan
pedangnya ia menerjang maju makin kedepan diiringi
dengusan nyaring ia lancarkan sebuah tusukan kedepan.
"Bangsat! rupanya sudah bosan hidup!" bentak Cu kat
racun Yau Sut dengan gusar.
Pedang emas diputar kebawah....
Criiing! kutungan pedang berbentuk aneh dari Ngo ing
toojin itu kembali tersayat hingga tinggal lima enam cun saja
panjangnya.... Kegusaran Ngo ing toojin mendekati kalap, ia sambit
kutungan pedang itu ke arah wajah Yau Sut sementara
tubuhnya ikut menerjang kedepan pukulan berantai dilepaskan
sicara bertubi-tubi mengurung seluruh tubuh lawan.
Para anggota perkumpulan Thong-thian-kauw yang berada
disekitar tempat itu ketika menyaksikan Ngo ing toojin
bertempur melawan Yau Sut merekapun ikut-ikutan berganti
haluan dan arahkan serangan gencar mereka ke arah pasukan
dari perkumpulan Sin-kie-pang.
Cukat racun Yau Sut tertawa dingin, badannya berputar
kencang, dengan jurus hang sau cian kim atau menyapu rata
selaksa prajurit, pedang emasnya diayun kemuka menyambut
datangnya serbuan tersebut,
"Triiing! triiing!" benturan-benturan nyaring berkumandang
memenuhi angkasa, senjata-senjata yang dimiliki para
anggota perkumpulan Thong-thian-kauw sama-sama tertebas
kutung jadi beberapa bagian oleh ketajiman pedanj e-mas itu.
Sementara dalam hati kecilnya, Cukat beracun ini berpikir,
"Meskipun pedang kecil ini sangat tajam namun tak lebih
hanya merupakan sebilah senjata mustika, kalau dipergunakan
tetap terasa ngotot dan menggunakan banyak tenaga,
sedikitpun tak mirip apa yang tersiar dalam dunia persilatan
apalagi cahaya yang terpancar keluar sama sekali tidak
menyolok, aneh benar! kenapa bisa begitu?"
Tiba-tiba terasa desiran angin tajam yang memekikan
telinga, diiringi daya tekanan yang maha berat menyergap
datang dari belakang tubuhnya.
Ketika ia berpaling kebelakang, tampaklah Chin Pek-cuan
tanpa menimbulkan sedikit suarapun telah menyusup
kebelakang tubuhnya sambil melepaskan satu pukulan
dahsyat. Jelas anak murid perkumpulan Thong-thian-kauw tidak ada
menghalangi usaha Cing Pek Cuan untuk melancarkan
serangan maut kea rah Cukat racun Yau Sut.
Diam-diam orang she Yau ini menyumpah dalam hati
kecilnya, "Tua bangka sialan" engkau benar-benar tak tahu
diri...." Pedang emasnya dikebas ke arah depan, dan diapun
segera melancarkan sebuah serangan balasan.
Diantara sekelompok mmusia yana sedang bertarung ini,
ilmu silat yang dimiliki Cukat racun Yau Sut jauh lebih tinggi
daripada yang lain, sekarang sambil putar pedang emasnya
untuk menghadapi serangan gencar dan pihak lawan, secara
diam-diam iapun mengawasi keadaan disekeliling tempat itu.
Mendadak ia temukan kurang lebih satu tombak disebelah
kanannya, terlihatlah seorang kakek tua baju hitam sedang
bertempur sengit melawan orang-orang dari perkumpulan
Hong-im-hwie, senjata yang dipergunakan adalah sebilah
pedang mustika. Terhadap pedang emas yang berada dalam cekatannya ini
ia sudah timbul perasaan curiga, dalam benaknya segera
timbul ingatan untuk mencoba ketajaman senjata tersebut,
maka ia menggeserkan tubuhnya mendekati kakek tua baju
hitam itu. "Traang! tiba-tiba terdengar bentrokan nyaring ditengah
arena senjata sian ciang dari It sim hweesio saling membentur
dengan senjata pusaka dari Pia Leng-cu sehingga kutung jadi
dua bagian. Menggunakan kesempatan yang sangat baik ini, Pia Lengcu
menerjang lebih kedepan, pedang mustikanya membentuk
berjuta-juta ti tik bintang dan secara beruntun menyerang
tubuh It sim hweesio. Dalam sekejap mati padri itu terkena lima tusukan kilat
mengakibatkan darah segar mengucur keluar dari mulut-mulut
lukanya. Ditengah kancah pertempuran massal ini, semua orang
bertempur dengan saling berdesakan, tiada banyak tempat
ruang yang dapat dipergunakan untuk menghindarkan diri,
setelah menderita luka parah dan senjatanya kutung, maka It
sim hweesio sudah tiada kekuatan untuk melepaskan
serangan balasan lagi, kelihatannya ia bakal mampus diujung
pedang Pia Leng-cu. Chin Thian Hau dari gunung Hang San yang kebetulan
berada didekatnya, ketika menyaksikan kejadian itu segera
membentak keras, sebuah pukulan dahsyat dilepaskan
menghantam tubuh seorang imam berusia penengahan yang
berada dihadapannya, isi perut imam tersebut kontan terpukul
hancur dan mayatnya mencelat ke arah tubuh Pia Leng-cu.
Tangan kiri Pia Leng-cu sepera ditebas kemuka
menyingkirkan mayat imam berusia pertengahan yang
menerjang ke arahnya itu, kemudian pedangnya disapu
kedepan membabat pinggang It sim hweesio.
"Lihat golok" bentak Ciu Thian-hau.
Cahaya tajam berkilauan di angkasa, sambaran goiok itu
dengan cepatnya telah meluncur tiba.
Buru-buru Pia Leng-cu putar pedang menangkis datangnya
ancaman tersebut, It sim hweesio segera merebut pedang
seorang imam dan ikut menyerang dari arah samping, dengan
begitu Pia Leng-cu harus menghadapi serangan gabungan dari
Ciu Chian Hau serta It sim hweesio.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras yang diiringi
suara dentingan nyaring berkumandang memecahkan
kesunyian. Rupanya Suara Tiang Cing yang selama ini tak mampu
merebut kemenangan lama kelamaan jadi mendongkol juga,
hingga menimbulkan sifat kejinya sebagai seorang pendekar
pedang berjiwa sembilan, pedangnya segera diputar bagaikan
hembusan angin puyuh, telapak kirinya melepaskan pukulanpukulan
maut yang memaksa Yan-san It-koay terpaksa harus
menyambut setiap pukulan dengan pukulan dan sedang
bacokan pedang dengan tangkisan gelang.
Setelah melakukan bentrokan-bentrokan kekerasan
sebanyak dua puluh jurusan, sekujur tubuh dari dua orang itu
sudah berubah jadi lemas dan kehabisan tenaga, napasnya
terengah-engah bagaikan kerbau, namun Suma Tiang-cing
sama sekali tak ada minat untuk hentikan pertarungan.
babatan pedang ditangan kanan, pukulan dahsyat ditangan
kiri masih saja dilepaskan terus tanpa berhenti.
Yan-san It-koay yang tak mampu menyelesaikan
pertarungan itu terpaksa harus memutar tangan kirinya untuk
menyambut tusukan pedang dengan gelang hitam, sementara
lengan kanannya melepasken satu pukulan ke arah dada
Suma Tiang-cing. Maksudnya jika Scma Tiang Cing memunahkan pukulannya
itu, maka ia bisa menggunakan kesempatan tersebut untnk
ganti jurus dan melepaskan diri dari kurungan manusia ganas
ini, siapa tahu pertarungan dengan cara beradu jiwa ini justru
sangat penuju dengan maksud hati Suma Tiang-cing bahkan
boleh dibilang ibaratnya Pucuk dicinta ulam tiba.
Gelang dan pedang saling beradu keras, tubuh kedua orang
ini sama-sama bergetar seras sehingga melejit samping,
gerakan pukulan yang dilepaskan tiba-tiba makin cepat
meluncur kedepan dan Blaaam! pukulan dari Suma Tiang-cing
dengan telak bersarang di atas dada Yan-san It-koay,
sebaliknya pukulan yang dilepaskan Yan-san It-koay bersarang
dibawah ketiak Suma Tiang-cing.
Isi perut kedua orang itu sama-sama menderita luka parah,
mereka memuntahkan darah segar dan roboh terjengkang
kebelakang, Suma Tiang-cing yang terkena pukulan persis
dibawah ketiaknya mengakibatkan lima batang tulang
rusuknya patah, jika dibandingkan luka yang dia derita jauh
lebih berat dan parah. Yan-san It-koay yang roboh kebalakang hampir saja
menumbuk diatas tubuh dewa yang suka pelancongan Cu
Thong, namun kakek gemuk pendek itu tidak ambil perduli,
sepasang kakinya berputar dan tubuhnya segera berkelebat
kesampmg menyongsong kedatangan malaikat pertama Sim
Kian. Ilmu silat yang dimiliki Malaikat pertama Sim Kian seimbang
dengan kepandaian dari Cu Thong, dua orang itu telah
bertempur sebanyak tiga ratus jurus lebih tanpa seorangpun
berhasil merebut kemenangan.
Sewaktu malaikat pertama Sim Kian melihat tubuh Yan-san
It-koay tiba-tiba roboh terjengkang kebelakang, tanpa berpikir
panjang lagi ujung bajunya segera dikebas kedepan dan
menanan punggungnya sehingga rekannya itu tidak sampai
mencium tanah. Cu Thong yang melihat kejadian itu tak mau sia-siakan
kesempatan bagus itu dengan begitu saja, pukulun gencar dan
serangan jari bagaikan hembusan angin puyuh dilepaskan
secara berantai. Dalam pada itu, Suma Tiang-cing yang terjengkang
kebelakang segera menumbuk tubuh seorang pengawal golok
emas sehingga membuat orang itu ikut roboh dan persis jatuh
dikaki seorang murid dari Siang Tang Lay.
Murid dari Siang Tang Lay itu membentak keras,
pedangnya berkelebat secepat kilat, percikan darah segar
berhamburan di angkaka dan batok kepala pengawal golok
emas yang naas itu segera berpisah dengan tubuhnya.
Setelah sempoyongan mundur dua langkah kebelakang,
Suma Tiang-cing berhasil mempertahankan tubuhnya, ia
merasakan bawah kakinya sakit sekali hingga tak tahan ia
muntah darah kembali. Tapi dengan wataknya ysng keras kepala dan berangasan,
ia tak sudi menyudahi pertarungan tersebut sampai disitu saja,
setelah mengatur napas sebentar, ia seseri membentak keras
dan sekali lagi menerjang ke arah Yan-san It-koay.
Meskipun luka dalam yang diderita Yan-san It-koay lebih
ringan, namun ia sudah patah semangat, ketika menyaksikan
datangnya terjang maut dari Sama Tiang Cing yang berwajah
menyeringai seram, hatinya bergidik dan pecah nyali, terbiritbirit
ia menyingkir kesamping.

Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bajingan keparat, engkau akan kabur ke mana?" bentak
Sama Tiang Cing dengan gusar.
Pedang mustikanya dikebas kedepan, selapis cahaya tajam
yang amat menyilaukan mata dengan cepatnya mengurung
seluruh batok kepalanya. Terdengarlah jeritan ngeri yang menyayatkan hati
berkumandang memenuhi angkasa, ketika Suma ang Cing
mengebaskan pedang mustikanya ke arah depan, terbanglah
semangat Yan-san It-koay untuk menghada pinya hingga
paras mukanya berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, tak
ampun lagi lengan kirinya sebatas sebatas sikut terputus
hilang, darah dan hancuran daging bercampur jadi satu
membuat keadaan betul-betul mengerikan sekali.
Sepasang mata Suma Tiang-cing telah berubah jadi merah
darah, tiba-tiba ia membentak keras dengan suara yang
dahsyat bagaikan guntur, pedang mustikanya kembali
berkelebat kedepan membacok batok kepalanya.
Sskujur badan Yan-san It-koay bergetar keras ketika
mendengar suara bentakan yang kerad bagaikan guntur
membelah bumi itu, kesadaran otaknya berangsur menurun,
terasa cahaya tajam berkelebat lewat dan tahu-tahu batok
kepalanya sudah terbelah jadi dua.
Pertempuran itu benar-benar merupakan suatu
pertempuran berdarah yang sangat mendebarkan hati, seluruh
orang yang berada di sekitar tempat jtu merasakan hatinya
bergetar keras, sisa laskar perkumpulan Thong-thian-kauw
dan Hong-im-hwie yang menyaksikan kejadian itu merasakan
nyalinya pecah dan bulu kuduknya bangun berdiri, mereka
mulai mengamati keadaan disekelilingnya dan berusaha
menjauhi Suma Tiang-cing yang dianggapnya sebagai
malaikat elmaut. Dengan semakin menipisnya kekuatan dari pihak Thongthiankauw dan Hong-im-hwie, kekuatan dan daya pengaruh
pihak Sin-kie-pang kelihatan semakin besar dan mengerikan.
Tatkala para pendekar saling bentrok deng an laskar
perkumpulan Sin-kie-pang, mereka merasakan daya tekanan
yang menggempur mereka begitu besarnya hingga sukar
ditahan, dari dua puluh dua orang laskar kaum pendekar yang
terjun kedalam gelanggang ada empat orang diantaranya
telah menemui ajalnya dan lima orang menderita luka pa rah.
Pada waktu itu Hoa Hujin berduel melawan Hian leng cu,
Ciu Thian-hong dan It sim hweesio yang menderita luka
bersama-sama menghadapi Pia Leng-cu, Cu Thong bertempur
sengit melawan malaikat kedua Sim Ciu sedangkan sisanya
bertempur melawan sisa laskar dari golongan Thong-thiankauw
serta Hong-im-hwie. Keadaan mereka semua nampak sangat berbahaya dan
gawat sekali, seandainya keenam orang murid Siang Tang Lay
tidak memberikan pertolongan yang besar, mungkin sedari
tadi mereka semua sudah musnah di tangan musuh.
Biau-nia Sam-sian masih tetap bertahan di luar garis
pertahanan oleh pukulan gabungan para jago lihay dari
perkumpulan Sin-kie-pang, kendatipun mereka telah berusaha
dengan sepenuh tenaga tapi usaha itu selalu mengalami
kegagalan. Barisan pelindung hukum panji kuning dari perkumpulan
Sin-kie-pang ini bukan saja berjumlah sangat banyak, berilmu
tinggi dan sangat teratur bahkan mereka mempunyai sistim
bertahan dan menyerang yang disiplin, serbuan mereka dikala
pasukan pendekar telah lelah dan kehabisan tenaga ini
ibaratnya gulungan ombak ditengah samudra yang
menghempit sampan kecil. Pek Siau-thian yang selama ini berdiam diatas meja sambil
mengawasi medan pertempuran sudah mengetahui bahwa
waktunya sudah tiba, dalam hati segera pikirnya, "Sekarang
kekuatan laskar perkumpulan Hong-im-hwie sudah mengalami
kehancuran dan kemusnahan, pihak Thong-thian-kauw bukan
merupakan suatu ancaman yang serius lagi sedangkan
sekelompok manusia setan itu kendatipun mencurigakan sekali
rasanya kehebatan mereka juga tak akan berkelebihan, dunia
persilatan sejak kini akan menjadi daerah kekuasaan
perkumpulanku.... Berpikir sampai disini, paras mukanya segera berubah dan
dihiasi senyuman penuh ke-banggaan dan kesadisan, ia
melirik sekejap sekeliling tempat itu kemudian angkat tinggi
tanda perintah Hong Im leng tersebut.
Delapan orang pria baju hitam yang berada dikedua belah
sisinya segera membunyikan teronpet secara berbareng.
Begitu bunyi terompet berkumandang di angkasa, ditengah
gelanggang segera berkumandanglah suara bentakan yang
gegap gempita, ratusan orang pasukan panji kuning dari
perkumpilan Sin-kie-pang bagaikan kesurupan serentak
menyerbu kedalam gelanggang dan menyapu setiap orang
yang dihadapinya. Dipihak lain, Poan thian jiu atau Tangan sakti pembalik
langit Ho Ke Sian beserta keenam orang Tongcu lainnya
dengan memimpin masing-masing laskar menyumbat seluruh
mulut lembah sehingga siapapun jangan harap bisa keluar
masuk dengan leluasa, rupanya sebelum mendapat
persetujuan dari Pek Siau-thian, setiap orang tak mungkin
dapat meninggalkan lembah Cu-bu-kok.
Dalam pada itu, pertempuran yang berlangsung dalam
gelanggang berlangsung makin sengit, rupanya laskar kaum
pendekar terancam kemusnahan dalam serbuan tersebut.
Lan-hoa Siancu merasa panik dan gelisah sekali, pikirnya
dihati, "Meskipun kami datang kemari untuk melindungi
keselamatan sumoay, tapi setelah berada disini sudah
sepantasnya kalau memberi bantuan kepada mereka semua,
toh kami tak dapat menyaksikan semua orang menemui
ajalnya tanpa ditolong...."
Berpikir sampai disitu, ia segera membentak keras, "Li hoa,
Ci Wi, ikutilah aku!"
Sepasang kakinya menjejak tanah dan membungbung
tinggi keangkasa, kemudian meluncur ke arah tengah
gelanggang. Li-hoa Siancu dan Ci-wi Siancu yang menyaksikan tindakan
kakak seperguruan mereka dengan cepar enjotkan badan pula
menerobos ketengah gelanggang dengan melewati atas
kepala musuh-musuhnya. Jilid 11 BILA berbicara tentang ilmu silat, diantara laskar panji
kuning dari perkumpulan Sin-kie-pang itu banyak diantaranya
yang memiliki ilmu silat jauh diatas tiga dewi dari wilayah
Biau, tentang hal ini Biau-nia Sam-sian sendiripun mengetahui,
jika mereka menerobos masuk kedalam arena berarti mereka
harus menempuh mara bahaya.
Tetapi kepandaian racun dari wilayah Biau sudah amat
tersohor di kolong langit, sedikit banyak para jago dari
perkumpulan Sin kie nang sudah menaruh rasa segan
terhadap ketiga orang gadis itu, karenanya ketika tiga orang
gadis itu berkelebat lewat, semua ang gota perkumpulan Sinkiepang sama-sama menutup pernapasan sambil bergeser
kesamping, pukukan gencar dilepaskan keudara kosong.
Setelah Lan-hoa Siancu melayang diudara, ia lihat
dibawahnya penuh dengan manusia dari perkumpulan Sin-kiepang
hingga sukar untuk mencari tempat untuk berpijak,
dalam keadaan apa boleh buat terpaksa ia membentak keras,
"Kalau kalian masih ingin hidup, ayoh cepat menyingkir dari
situ....!" Ilmu melepaskan racun dari Kiu-tok Sianci memang luar
biasa sekali, Biau-nia Sam-sian telah mendapat warisan
langsung dari gurunya, kemampuan mereka untuk membunuh
orang benar-benar luar biasa sekali.
Baru saja tiga orang itu melayang turun ke atas
permukaan, tujuh delapan orang telah roboh tak sadarkan diri
diatas tanah, dalam sekejap mata para korban mengeluarkan
buih putih dari mulutnya, ada pula yang mukanya berubah jadi
hitam, ada yang merintih sambil berguling, ada pula yang
berkelejit seperti sekarat, hal ini membuat para jago dari
perkumpulan Sin kie Pong jadi ketakutan dan sama-sama
menghindarkan diri. Tetapi setelah orang-orang itu mengundurkan diri sejauh
beberapa tombak, mereka segera lancarkan pukulan kembali
ke arah lawannya, angin pukulan yang maha dahsyat
menggulung tiba dari empat penjuru, hal ini memaksa tiga
dewi dari wilayah Biau tak mampu berdiri terlalu lama dan
terpaksa melayang kembali ketengah udara.
Pertempuran berdarah ini berlangsung dari malam sampai
pagi dan dari pagi sampai malam, banyak korban telah
berjatuhan darah berceceran diseluruh permukaan tanah.
Sisa laskar dari perkumpulan Hong-im-hwie yang masih
hidup bisa dihitung dengan jari, laskar dari perkumpulan
Thong-thian-kauw pun makin surut dan lemah hingga
akhirnya tinggal beberapa gelintir.
Han Leng cu serta Liong-bun Siang-sat sekalian kehilangan
semangat bertempur, namun dibawah desakan dan teteran
Hoa Hujin sekalian, terpaksa mereka harus melakukan
perlawanan dengan sepenuh tenaga.
Lembah Cu-bu-kok telah berubah jadi kuburan massal,
mayat yang bergelimpangan diatas permukaan hancur tak
menjadi rupa apalagi setelah di injak-injak oleh para laskar
yang masih saling baku hantam, keringat bercampur darah
membasahi pakaian para jago yang masih bertempur,
keadaan mereka mengenaskan sekali....
Situasi dalam gelanggang pertarungan kembali mengalami
perubahan, dari kelompok pendekar yang masih tetap
bertahan tinggal Hoa Hujin, Tio Sam-koh, Cu Im taysu, Chin
Pek Lian, Ciu Thian-hau dari gunung Huang-san serta dewa
yang suka melancong Cu Thong, enam orang selain itu masih
ada lagi Biau-nia Sam-sian serta sisa tiga orang murid Siang
Tang Lay yang masih hidup.
Sedang yang lain kebanyakan sudah roboh terkapir diatas
genangan darah, ada yang luka parah dan ada pula yang telah
menemui ajalnya Ditengah sengitnya pertempuran suara terompet kembali
bergema di angkasa, mendengar tanda rahasia, Cukat racun
Yau Sut sekalian segera membentak keras dan menggerakkan
senjata mereka tidak ambil perduli apakah lawannya dari
pihak Thong-thian-kauw, Hong-im-hwie atau kaum pendekar,
setiap orang diserang dan dibunuh secara kalap.
Perubahan yang berlangsung secara mendadak dan sama
sekali diluar dugaan ini sangat mengejutkan dan
menggusarkan hati para laskar dari perkumpulan Thong-thiankauw
serta Ho Im Hwee, mereka jadi kelabakan, gelagapan
dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Thian Ik-cu naik pitam, ditengah kobarnya api amarah dan
perasaan dendam, ia segera menurunkan perintah kepada
seluruh anggota perkumpulannya yang masih tersisa diluar
gelanggang untuk menyerbu kedalam arena pertarungan, tapi
imam-imam muda yang sama sekali tak berpengalaman itu
bukan tandingan diri pasukan panji kuning, tidak selang
beberapa saat semua pasukan, berhasil ditumpas habis.
Jin Hian pun merasa sangat mendongkol, dia memaki dan
menyumpah, saking marahnya hawa murninya sampai
menyumbat tenggorokan membuat ia tak mampu
mengucapkan sepatah katapun.
Nenek dewa bermata buta yang terluka parah hanya dapat
duduk termanggu diatas tempat duduknya tanpa berkutik,
setelah mengetahui bahwa perkumpulan Hong-im-hwie
berhasil ditumpas habis, ia jadi kecewa dan putus asa hingga
selama ini mulutnya membungkam terus.
Darah mengucur keluar derasnya dari mulut luka lengan kiri
Jin Hian yang kutung, ia tidak memiliki kemampuan untuk
bertempur lagi, hawa murninya saat itu berjalan terbalik,
keadaannya bagaikan orang menderita jalan api menuju
neraka namun tak seorangpun yang menggubris atau
memberi pertolongan kepadanya.
Dalam kancah pertarungan yang kalut itulah Hoa Hujin
dengan menghimpun sisa tenaganya berbasil menghajar Hian
Leng cu hingga isi perutnya hancur dan menemui ajalnya.
Pada saat yang bersamaan sebuah pukulan danysat dari
Cukat racun Yau Sut berhasil mampir punggung malaikat
pertama Sim Kian hingga gembong iblis itu maju
sempoyongan. Menggunakan kesempatan itulah Cu Im taysu segera putar
senjata sekopnya dan menusuk dada Sim Kian hingga tembus.
Tiba-tiba dari atas tebing sebelah kanan berkumandang
datang suara seorang perempuan dengan suara yang amat
nyaring, "Sau Tha turutkan perintah dan hentikan
pertempuran!" Mendengar seruan itu sekujur badan Pek Siau-thian
gemetar keras, ia masih ingat Sau Tha adalah nama kecilnya
yang jarang diketahui orang, di kolong langit dewasa ini hanya
satu orang yang menyebut dirinya dengan nama itu, dan dia
bukan lain adalah istrinya yang selama ini dirindukan namun
hidup berpisah dengan dirinya.
Terdengar Pek Soh-gie berteriak sambil menangis, "Ibu....!"
Pek Siau-thian pun tak mampu menahan golakan perasaan
hatinya, ia ikut memanggil, "Hong Bwee!"
Dari tengah udara melayang turun seorang tokoh berbadan
ramping berwajah cantik, ditangan kanan Too koh itu
menegang sebuah Hud tim sedangkan tangan kirinya
mencengkam seorang gadis cantik, dia bukan lain adalah putri
bungsu Pek Siau-thian yaitu Pek Kun Gei.
Dengan rasa kejut bercampur girang, Pek Soh-gie segera
lari kedepan dan memeluk Pek Kun-gie erat-erat, teriaknya,
"Moay-moay, kami mengira engkau telah mati!"
Paras muka Pek Kun-gie yang cantik kelihatan kurus dan
layu, butiran air mata mengembang dalam kelopak matanya,
bibir yang kecil mungil kelihatan berkemak kemik, namun tak
sepatah katapun yang me-luncur keluar.
Tokoh cantik itu bukan lain adalah istri Pek Siau-thian yang
telah hidup berpisah selama banyak tahun, Kho Hong-bwee
adanya. Sudah belasan tahun lamanya Pek Siau-thian tak pernah
berjumpa dengan istrinya ini, sekarang setelah berhadapan
muka dengan istrinya yang tetap cantik itu, ia tak dapat
menguasai pergolakan emosi didalam hatinya, hampir saja ia
menubruk kedalam arena memeluk istrinya dan menangis
sepuas puasnya.

Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar Kho Hong-bwee berkata dengan serius.
"Sau Tha! cepar turunkan perintah dan tarik kembali
pasukanmu, aku ada persoalan yang hendak dirundingkan
denganmu!" Pek Siau-thian terperangah.
"Ada urusan apa....!"
Ia merasakan pikirannya kalut tekali, bicara sampai disitu ia
segera membungkam dan segera angkat tinggi-tinggi tanda
perintah Hong-lui-leng-nya sambil membentak, "Hentikan
penarungan dan tarik semua pasukan!"
Suara terompet berbunyi nyarirg, ratusan orang pasukan
panji Kuning yang sedang bertempur segera menarik kembali
serangannya dan mengundurkan diri diri gelanggang
pertarungan. Waktu datang cepat bagaikan ombak, waktu surutpun
cepat tak terkirakan, memenandakan betapa tertib dan
disipliannya organisasi perkumpulan Sin-kie-pang.
Dalam Sekejap mata, dalam lembah Cu bu koh hanya
tersisa pandangan yang mengenaskan, sehabis pertempuran
massal, hawa pem bunuhan telah lenyap dan seluruh
gelanggang diliputi keheningan dan kesepian yang mengerikan
dan memilukan hati. Ditengah darah yang berceceran diseluruh permukaan
tanah, mayat bergelimpangan dimana-mana, kutungan badan
berserakan disana-sini, di malam yang sunyi dan cahaya
bintang yang redup, kuntungan senjata yang memenuhi
permukaan memantulkan cahaya yang menyilaukan mata.
Angin malam berhembus sepoi-sepoi, bau amis darah
tersebar mengikuti tiupan angin, diantara mayat yang
bergemlimpaugan bergema, serentetan suara rintihan yang
lemah dan lirih, rintihan tersebut sahut bersahutan dan
memperdengarkan nada penderitaan dan siksaan.
Bayangan manusia bergerak ditengah kegelapan,
membalikan mayat-mayat dalam gelanggang dan berusaha
mencari rekan-rekan yang terluka parah dan belum putus
nyawa. Dalam keadaan begitu, Hoa Hujin kelihatan lemah sekali,
seakan-akan seseorang yang baru sembuh dari suatu penyakit
yang berat, tenaga dalam yang dimilikinya sudah semakin
lemah ibaratnya lampu lentera yang kehabisan minyak, ia
berdiri sempoyongan ditengah ceceran darah. Chin Wan-hong
segera memburu kesisinya, memayang tubuh perempuan itu
dan perlahan-lahan diajak mundur kedalam barak.
Chin Pek-cuan pertama-tama mencari putranya lebih
dahulu, ia temukan Chin Giok-liong menggeletak ditengah
genangan darah tanpa berkutik, meskipun tubuhnya termakan
oleh lima bacokan golok dan sebuah tusukan pedang, ternyata
jiwanya belum melayang. Air mata bercucuran membasahi wajib Chin Pek-cuan yang
tua berkeriput, ia terharu dan wajahnya menunjukkan rasaa
gembira dan bangga. Ditengah mayat-mayat yang bergelimpangan, Tiga dewi
dari wilayah Biau berhasil temukan Tiga harimau dari keluarga
Tong. Harimau pelarian Tiong Liu masih hidup, sedangkan
istrinya yakni Harimau ompong Tiong loo Poo cu serta putra
Harimau bisu Tiong Long karena lukanya yang terlampau
parah ternyata sudah lama mati.
Cu Im laysu temukan jenasah dari It sim hweesio, sedang
Cui Thian Hau menemukan tubuh Su Tiang Cing, jago pedang
bernyawa sembilan ini benar-benar bernyawa rangkap,
meskipun tulang rusuknya ada lima biji yang patah dan isi
perutnya hampir remuk namun jiwanya belum melayang, lapi
Ciu Thian-hau yang membopong tubuhnya baru saja berjalan
beberapa langkah, tiba-tiba mereka roboh terjengkang keatas
tanah, ternyata jago lihay dari gunung Huang-san ini pun tak
kuat menahan lukanya. Dewa yang suka pelancongan Cu Thong menemukan tubuh
Bong Pay, pemuda yang berjiwa besar ini bertempur sampai
titik darah penghabisan, terakhir kalinya ia kena di hantam
oleh Cukat racun Yau Sut sehingga roboh terjengkang keatas
tanah. Dalam pertarungan massal, pukulan yang dilepaskan Yau
Sut rupanya tidak sepenuh tenaga, sekalipun begitu Bong Pay
tak sanggup menahan diri dan keaadaannya pada saat itu
kelihatan kritis sekali. Ciong Lian-khek, tiga orang murid Siang Tang Lay beserta
jago pedang rambut hijau Yap Su Ciat, beberapa orang jago
mati dalam pertarungan tersebut, hanya Tio Sam-koh seorang
yang sama sekali tidak ciderfa.
Secara beruntun setelah bertempur melawan Thian Seng
cu, Sing Siu cu, Ngi Ing tojin serta dua orang sutenya Thian
Seng cu yakni Thian Keng toojin dan Thian Ing toojin dari
perkumpulan Thong-thian-kauw, sepanjang pertarungan
berlangsung sudah amat banyak musuh yang terbunuh kecuali
badan terasa lelah dan tanaga terhisap habis, pperempuan
lihay itu sama sekali tidak luka atau cidera.
Dengan begitu dia adalah satu-satunya jago dari golongan
pendekar yang paling pemberani dan paling beruntung,
Semua orang bekerja keras menolong mereka yang luka
dan menying-kirkan mereka yang telah mati, semua jago
bekerja dengan mulut membungkam, hal ini membuat
suasana jadi hening dan sepi, kendatipun bayangan manusia
bergerak kesana kemari tiada hentinya.
Dari pihak perkumpulan Thong-thian-kauw kecuali
ketuanya sendiri yaitu Thian Ik-cu yang masih hidup, tinggal
Pia Leng-cu dan enam belas orang imam cilik.
Keenam belas orang imam cilik itu bekerja keras
menggotong yang luka menyingkirkan yang telah mati, pulang
pergi hampir puluhan kali banyaknya namun pekerjaan itu
belum iuga selesai, sementara napas mereka sudah
tersengkal-sengal dan keringat membasahi seluruh badan.
Sebagian besar anak murid perkumpulan Thong-thian-kauw
ini menemui ajalnya dalam serangan kilat yang dilancarkan
oleh jago-jago dari perkumpulan Sin-kie-pang yang dahsyat
ibarat angin musim gugur yang merontokkan daun.
Dari pihak perkumpulan Hong-im-hwie kecuali nenek dewa
bermata buta serta Jin Hian yang tidak ikut terjun kedalam
gelanggang, hanya malaikat kedua Sim Ciu seorang yang
selamat. Jin Hian dan Sim Ciu segera bekerja keras mencari rekanrekannya
yang terluka, setelah bersusah payah akhirnya
kedua orang itu berhasil menemukan sembilan orang yang
belum putus nyawa, dan cepat kesembilan orang itu digotong
kedalam barak dan diberi pertolongan.
Memandang sisa mayat yang bergelimpangan ditengah
gelanggang sebagian besar terdiri dari anggota perkumpulan
mereka, dua orang jago lihay itu jadi putus asa dan segan
untuk mengurusinya lebih jauh.
Diantara para korban yang terluka maupun mati binasa
ternyata tidak terdapat seorangpun anggota perkumpulan Sinkiepang, dalam pertumpahan darah yang benar-benar
mengerikan itu, perkumpulan Thong-thian-kauw serta Hongimhwie yang menggetarkan sungai telaga tertumpas sama
sekali dan sejak detik itu sudah lenyap dari percaturan dunia
persilatan. Posisi segi tiga yang dipertahankan selama puluhan
tahunpun sudah hancur berantakan, sekarang tinggal
perkumpulan Sin-kie-pang yang merajai kolong langit, mulai
detik itu rupanya hanya orang-orang dan perkumpulan Sinkiepang yang akan malang melintang menguasaku seluruh
jaigad, kendatipun masih ada sisa perlawanan dari golongan
pendekar, tetapi kekuatan mereka jika dibandingkan maka
kaum pendekar boleh dibilang sudah ketinggalan jauh,
keadaan mereka ibaratnya telur beradu dengan batu.
"Pasang lentera!" tiba-tiba Pek Siau-thian membentak
keras. Suaranya keras dan lantang hingga menggema diseluruh
lembah, suara itu penuh wibawa dan mengerikan sekali,
seakan-akan diucapkan oleh malaikat sakti yang baru turun
dari kahyangan. Suara langkah kaki manusia bergema diseluruh tempat,
dalam waktu singkat semua lembah sudah bermandikan
cahaya Lampu lentera. Selain beratus-ratus buah lentera, para anggota
perkumpulan Sin-kie-pang memasang pula beratus-ratus buah
obor besar, cahaya api yang berkilauan membuat lembah CuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
bu-kok bagaikan ditengah hari bolong, semua suasana ngeri
dan menyeramkan yang semula menyelimuti lembah itu
segera tersapu lenyap, tinggal suasana gembira dan penuh
keagunggan yang menyala-nyala.
Beratus-ratus orang angota perkumpulan Sin-kie-pang
berbaris rapi disepanjang mulut lembah, mereka berdiri
dengan tegap gagah dan penuh disiplin, sementara sisa laskar
perkumpulan Thong-thian-kauw, Hong-im-hwie dan para
pendekar ditambah dengan kelompok manusia aneh
menyerupai setan masih tetap berdiam diri didalam barak
masing-masing. Seluruh lembah Cu-bu-kok diliputi keheningan dan
kesunyian yang mencekam, begitu sepinya sehingga jarum
yang jatuhpun kedengaran. sorot mata semua orsng samasama
ditunjukan keatas tubuh Pek Siau-thian, mereka ingin
lihat tindakan apakah yang hendak dilakukan olehnya untuk
menyelesaikan persoalan ini.
Angin malam berhembus sepoi-sepoi menyiarkan bau amis
darah yang sangat memuakkan, obor yang menyala besar
memancarkan suara peletak yang membisingkan telinga,
mengacaukan ketegangan dan keheningan yang mencekam
seluruh lembah. Pek Siau-thian berdiri tegak diatas meja dengan muka
merah bercahaya, tangan kanannya mengelus jenggot
sementara tangan kiri nya mercekal tanda perintah Hong-luileng
yang memancarkan cahaya keemasan.
sepasang matanya yang memancarkan cahaya tajam
perlahan-lahan bergeser kekiri dan kekanans.
Setelah memandang sekejap ke arah sisa laskar
perkumpulan Hong-im-hwie, ia mengawasi pula kelompok
manusia aneh yang berbadan seperti setan itu, pikirnya
didalam hati, "Mungkin kelompok manusia ini terdiri dari
manusia-manusia yang telah lama mengasingkan diri dan baru
saja terjun kembali kedalam dunia persilatan, dipandang dari
ketenangannya yang menyerupai bukit karang, seakan-akan
tak pandang sebelah matapun terhadap pertumpahan darah
yang sudah terjadi, bisa dibayangkan kalau pemimpin mereka
pas tilah merupakan seorang jago yang benar-benar luar biasa
sekali. Setelah berhenti sebentar, ia berpikir lebih jauh.
"Kesempurnaan dalam hal ilmu silat yang diutarakan adalah
bukti kenyataan, tak mungkin ilmu itu langsung datang dari
langit, meskipun jumlah kelompok manusia aneh itu ada
seratus orang lebih, jika dianggap sepatuhnya merupakan jago
lihay dan separuhnya lagi jago berkepandaia biasa, itupun
jumlahnya baru beberapa puluh orang belaka, apalagi
manusia super sakti dalam seratus tahun paling banyak satu
dua orang belaka dan itupun kalau aneh dari sini bisa kutarik
kesimpulan bahwa sekalipun kedatangan mereka agak
mendadak toh tak mungkin bisa membendung serbuan kilat
dari jago-jago perkumpulan Sin-kie-pang yang kuhimpun
selama hampir dua puluh ta nun lamanya...."
Setelah berpikir pulang pergi beberapa saat lamanya, ia
merasa bahwa kehadiran kelompok manusia aneh tersebut
bukan merupakan suatu ancaman yang serius.
Sorot matanya segera dialihkan ke arah kelompok para
pendekar. Selama dua hari ini secara beruntun Hoa Hujin telah
membinasakan Bu Liang Sinkun, Hian Leng cu dan Cing Leng
cu tliga orang. Ketiga orang jago lihay itu rata-rata memiliki tenaga dalam
sebesar enam puluh tahun hasil latihan, kehebatan ilmu silat
mereka pun masing-masing memiliki keistimewaannya
masing-masing dan kematangannya telah mencapai p da taraf
tiada kelemahan lagi. Jika Hoa Hujin ingin mencari kemenangan dengan andalkan
jurus serangan, maka walaupun bertempur selama tiga hari
tiga malam jangan harap bisa robohkan tiga orang itu
sekaligus. Perempuan sakti itu berhasil membinasakan tiga orang
lawan tangguhnya, kesemuanya itu mengandalkan tenaga
kekerasan yang disebut siasat satu tenaga menundukkan
sepuluh kumpulan, dengan hawa murni yang sargat kuat,
sangat beracun dan sangat bebat hingga tiada tandingan ia
cabut nyawa ketiga orang itu dengan kekerasan.
Tapi setelah tiga orang itu mati, seluruh tenaga dalam yang
dilatih Hoa Hujin dengan susah payah dalam gua kunopun
ludas tak berbekas, kini ia tinggal bawah dasar yang tak
berguna, bukan saja ilmu silatnya punah bahkan luka dalam
yang ia deritapun kambuh lagi, tubuhnya jauh lebih lemah dari
orang lain dan tentu saja tak mungkin bisa bergebrak lagi
melawan orang lain. Kecuali Hoa Hujin seorang, tak ada manusia lain yang
ditakuti oleh Pek Siau-thian lagi, sorot matanya segera
dialihkan kesisi kiri. Tiba-tiba ia ingat bahwa istrinya yang cantik dan kini sudah
menjadi pendeta masih berdiri serius dihadapannya, kehadiran
perempuan itu telah menghalangi daya pandangannya.
Pek Siau-thian segera mendehem ringan, setelah
menenangkan hatinya, ia memberi hormat dan berkata sambil
tersenyum, "Hujin harap beristirahatlah kesamping, setelah
kuselesaikan semua masalah di sini segera kutemani engkau
untuk bercakap-cakap"
Kho Hong-bwee mendengus, lalu berkata dengan nada
tawar, "Ini hari engkau berhasil rebut kemenangan total,
seharusnya hatimu sudah merasa sangat puas bukan" masih
ada persoalan apa lagi yang hendak kau selesaikan sendiri?"
Walaupun perempuan itu sudah berusia setengah baya,
tapi berhubung tenaga dalam yang dilatih olehnya mempunyai
daya untuk awet muda, maka walaupun sekarang sudah lanjut
usia dan mengenakan pakaian pendeta yang longgar, akan
tetapi sama sekali tidak mengurangi kecantikan wajahnya
sebagai perempuan yang paling cantik sekolong langit dimasa


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

silam. Sementara itu Pek Siau-thian terperangah, kemudian sambil
memberi hormat, katanya, "Hujin, engkau sudah lama
meninggalkan kedamaian dunia, aku rasa pekerjaan yang
kulakukan ini pasti akan menjemukan hati mu, menurut
penglihatanku alangkah baiknya kalau hujin jangan turut
campur dalam urusan dunia persilatan."
Kho Hong-bwee mengernyiikan sepasang alisnya, dengan
sorot mata yang tajam ia melirik sekejap ke arah suaminya,
kemudian menjawab dengan suara dingin, "Sudah belasan
tahun lamanya kita tak pernah berjumpa muka, dalam
pertemuan kali ini ternyata engkau lebih memberatkan segala
tata cara yang tetek bengek, aku rasa tindakanmu ini
disebabkan karena kau berada dihadapan anak buahmu
sehingga berharap agar aku suka memberi muka kepada mu
daripada mengurangi wibawa dan gengsimu, bukan begitu
maksudmu?" Paras muka Pek Siau-thian berubah hebat tapi hanya
sebentar saja ia telah jadi tenang kembali seperti sedia kala,
sambil tersenyum ia berkata, "Meskipun Sau Tha adalah
manusia persilatan yang kasar sedang hujin adalah seorang
manusia terpelajar yang menguasai segala bentuk tata
kesopanan tapi sejak kita menikah sekalipun pernah terjadi
sedikit kesalah pahaman namun selama ini kita saling hormat
menghormati sejak kapan Sau tha bersikap kurang hormat
kepadamu?" Sau tha adalah nama kecil dari Pek Siau-thian yang cuma
diketahui oleh Kho Hong-bwee seorang.
Terdengar perempuan cantik itu berseru, "Kalau memang
begitu aku ingin menanyakan beberapa persoalan kepadamu!"
"Apa yang ingin hujin tanyakan" asal Sau tha mengerti
pasti akan kuterangkan hingga jelas!"
"Siapakah yang mendirikan perkumpulan Sin-kie-pang ini?"
Pek Siau-thian tertawa. "Kita suami istri yang bekerja sama untuk mendirikan
perkumpulan ini" "Jadi kalau begitu dalam masalah besar yang menyangkut
persoalan perkumpulan, aku punya hak untuk ikut
membicarakannya bukan?"
Pek Siau-thian agak tersipu-sipu dengan paras merah
padam ia tertawa dan mengangguk.
"Tentu saja kita sudah bersumpah untuk sehidup semati,
ada rejeki dinikmati bersama ada bencana ditanggulangi
berbareng" Kho Hong-bwee segera ulapkan tamannya mencegah pria
itu berbicara lebih jauh, selanya, "Pembicaraan diatas
pembaringan lebih baik tak usah diungkap lagi dalam saat
seperti ini aku hanya ingin tahu bagaimana caramu untuk
menyelesaikaa persoalan yang terjadi pada saat ini?"
Pek Siau-thian tersenyum.
"Usaha dan perjuangan kita setengah abad lamanya bukan
cuma bertujuan untuk menangkan pertarungan yang terjadi
pada saat ini kita mempunyai tujuan jauh lebih kedepan...."
Sesudah berhenti sebentar, ia melanjutkan, "Apakah
engkau masih ingat" ketika kita mendirikan perkumpulan Sinkiepang, kita telah berjanji untuk merajai seluruh kolong
langit, menggalang babak baru dalam dunia persilatan,
membuat suatu karya yang besar serta melaksanakan
kebaikan dan kebajikan bagi seluruh umat manusia....?"
Sekali lagi Kho Hong-bwee ulapkan tangannya, dia
menukas, "Waktu itu kita masih muda dan tak tahu urusan
ucapan yang takabur dan tak tahu diri seperti itu tak pantas
Pahlawan Dan Kaisar 4 Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana Pemberontakan Taipeng 2

Cari Blog Ini