Jaka Sembung 9 Membabat Kiyai Murtad Bagian 2
sar disusul dengan curahan yang menderas diselingi
guntur yang menggelegar memecahkan kesunyian di
Desa Cilumus yang penduduknya telah memasuki rumahnya masing-masing.
Hujan deras itu tak henti-hentinya sampai matahari lenyap ke permukaan bumi dan alam yang sudah gelap kini menjadi kian pekat. Udara malam yang
dingin kini semakin dingin disertai angin kencang. Genangan air hujan telah
membentuk kubangan dan
membuat tanah menjadi becek.
Dari celah-celah derasnya air hujan serta angin
kencang yang membuat badan menjadi menggigil terlihat Parmin dan sahabatnya yang setia si Burung Beo
sedang berteduh. Kaki serta pakaiannya telah basah
terkena cipratan air hujan.
"Kau kedinginan, Beo" Masuklah berlindung
dalam kain sarung ku." ujar Parmin hampir tak terdengar di sela-sela gemuruh
suara hujan yang semakin deras. Tiba-tiba telinganya mendengar sayu-sayup suara percakapan penghuni rumah tempat ia berteduh.
"Mini, oh. Mini anakku yang malang... Mengapa
sampai terjadi semua ini" Siapa..." Siapa" Katakanlah kepada ibu siapa yang
telah menodai mu?" tanya ibunya dengan lirih melihat
anaknya kini sedang hamil dan perutnya yang kian
membesar. "Oh, ibu... Kang Wangsa... ampunilah aku! Ampunilah aku! Oh, Tuhan kutuklah aku!" ujar Mini dengan tangis terisak penuh
penyesalan. "Katakanlah, Nak...! Katakanlah!" desak ibunya penasaran.
"Kiyai... Kiyai... Subeni!" jawab Mini terputus-putus sambil menutup wajahnya
dengan kedua belah
tangannya dan menangis meraung-raung sangat memilukan hati. "He..." Hah?" sentak ibu dan Wangsa hampir
bersamaan seperti disambar petir mendengar nama
Kiyai Subeni disebut.
"Kiyai Subeni yang menodai mu, Mini" Masya
Allah, Ki Subeni guru ngaji mu itu?" Desak ibunya karena tidak percaya sambil
mengerutkan dahinya dan
terlihat wajahnya semakin tua.
"Kurang ajar! Keji! Murtad! Lagi-lagi perbuatan
Kiyai cabul itu!!" bentak Wangsa sebagai tunangan gadis bernama Mini itu dengan
suara keras. Tangannya
dikepal menahan amarah, membuat Parmin yang berada di luar tersentak kaget.
"Hh!! Hachh!! Sudah berapa perawan yang ia
rusak bedebah! Semua orang mendiamkan tingkah laku keparat itu! Mereka penakut semua! Apa yang ditakutkan" Aku tidak takut!! Akan kubunuh iblis murtad
itu! Persetan dengan ilmu sihir dan guna-guna yang
dimilikinya! Tunggulah ajalmu Kiyai Iblis!!!" bentaknya
keras mencaci maki sepuasnya, disertai loncatan menerjang daun pintu yang terbuat dari bilik bambu dan
ia melompat ke luar.
Di tengah-tengah derasnya hujan dan petir serta guntur yang menggelegar sang tunangan yang malang itu berlari-lari dengan golok telanjang menuju
rumah Kiyai Subeni. Namun di tengah perjalanan ia
dicegat oleh sesosok manusia yang berwajah beringas.
"Berhenti! Mau ke mana, Kunyuk"!" bentak
orang itu keras dengan mata yang menyiratkan nafsu
ingin membunuh.
"Siapa kau"! Heh, Ki Burik, tangan kanan si
Subeni! Bagus! Mampuslah anjingnya dulu!
Hiiyaaaaat!!" bentak Wangsa keras sambil menyabetkan goloknya mengarah pinggang si Burik dengan
cepat, namun dengan sekali menggerakkan tubuhnya
Burik telah melesat ke atas dan lolos dari serangan
Wangsa. Wangsa terus merangsek Ki Burik yang masih
berjumpalitan dengan goloknya yang tajam seperti pisau cukur, tetapi Ki Burik dengan mudah menghindari
serangan-serangan tersebut dan dalam jurus yang ketiga sebuah tendangan berat yang mengandung tenaga
dalam menimpa dada Wangsa.
"Buk!"
"Hkh..." suara tendangan itu disertai pekik tertahan dari Wangsa yang seketika
tubuhnya terjerembab kegenangan air. Ketika tubuh Wangsa hendak
bangkit kembali tiba-tiba dadanya terasa terbongkar
disusul dengan tersemburnya darah segar dan setelah
menggeliat beberapa kali untuk meregang nyawa, tubuh Wangsa tak berkutik lagi... biru mengejang dan
nyawanya lepas entah ke mana. Darah membasahi tubuhnya dan air di sekitarnya menjadi merah karena
darahnya sendiri.
Ki Burik melihat korbannya mati dengan sekali
gebrakan dengan serta merta tertawa terbahak-bahak
sambil berkacak pinggang, tetapi sedetik kemudian
berkelebatlah bayangan Parmin menyerang tubuh Ki
Burik yang sedang tertawa dengan babatan tongkat
besi beraninya disertai tenaga dalam mengarah leher
Ki Burik. Tawa Ki Burik dengan seketika terhenti dan tubuhnya melejit ke belakang menghindari serangan
Parmin. Namun sebelum kakinya menyentuh tanah
kembali Parmin menyerang dengan tendangan kakinya
mengarah selangkangan Ki Burik. Tetapi dengan jeli Ki Burik melentikan tubuhnya
dan menjauhi Parmin
hendak melarikan diri. Namun kembali Parmin menyerang dengan totokan tongkatnya.
"Hek!" suara Ki Burik tertahan dan dengan tubuh sempoyongan ia melompat ke semak
belukar. Seketika terjadilah kejar mengejar yang seru di
bawah siraman hujan yang semakin deras dengan kilat
menyambar dan guntur yang menggelegar.
"Tak salah lagi! Dia tentu orang yang menyuruh
pelayan warung itu untuk meracuni ku!" gumam Parmin dalam hati sambil
mempercepat larinya, tetapi tubuh Ki Burik telah menghilang ditelan kegelapan malam. Tinggallah Parmin seorang diri di atas bubungan
rumah penduduk sambil termangu-mangu dan sesaat
kemudian ia telah kembali ke tempat di mana mayat
Wangsa tergeletak dan dengan perasaan terenyuh dibopongnya mayat Wangsa yang berlumuran darah ke
tempat di mana Parmin tadi berteduh.
Setelah memberitahukan kepada si pemilik rumah, Parmin segera berlalu dari tempat itu dan segera melangkah dengan cepat
menuju ke kediaman Kiyai
Subeni tanpa menghiraukan hujan yang turun dengan
deras membasahi tubuhnya. Sungguh ia sangat menyesal terlambat bertindak sehingga pemuda yang malang itu sudah tewas di tangan seseorang yang berjiwa keji. Sementara itu di
suatu tempat dengan pekarangannya yang luas dipagari batang-batang bambu
setinggi pinggang berdiri sebuah bangunan cukup megah dengan tiang-tiang terbuat dari kayu jati berukir.
Bangunan panggung tersebut memiliki anak tangga
yang terbuat dari kayu jati dan berlantai kayu yang
mengkilap. Di sudut kiri kanan terdapat kendi besar
terbuat dari tanah liat berukir berbentuk burung elang sedang mematuk seekor
ular. Sayup-sayup terdengar alunan suara yang
merdu mengalunkan ayat-ayat suci Al Qur'an seakan
menembus derasnya hujan.
Di ruang dalam terdapat beberapa orang dara
cantik sedang mengaji dengan khusu' dan tertib di bawah bimbingan seorang Kiyai. Dara-dara cantik itu
memakai pakaian kain kebaya dengan kerudung menutupi kepalanya. Di hadapan mereka duduk bersila
sang Kiyai dengan pandangan mata tajam menatap
wajah mereka satu persatu membuat yang dipandang
menundukkan kepala. Orang tersebut yang tak lain
adalah Kiyai Subeni dengan sosok tubuh gemuk serta
pipinya yang tembem membuat hidungnya yang pesek
menjadi semakin pesek. Ia memakai baju koko bersulam benang emas di leher bajunya dan memakai pici
berwarna putih yang dililit dengan sorban putih serta sehelai kain bercorak
kotak-kotak diletakkan di pundak kirinya dan kain sarung yang dipakainya
berwarna putih bergaris hitam.
"Si Zaitun kurang fasih dalam mengucapkan lafalnya! Mulai Jum'at besok kau harus mengaji sendirian sebagai pelajaran tambahan!" tegur Kiyai dengan suara berat namun tegas
dengan mata yang menyiratkan sesuatu.
"Aku tak bisa datang ke mari sendirian, Kiyai!
Biarlah kekurangannya akan kupelajari sendiri di rumah. Ayah dan ibu mungkin bisa memberi petunjuk!"
sanggah Zaitun pelan sambil menundukkan kepalanya. "Jangan bicara sebodoh itu, Zaitun! Ayah dan ibumu telah mempercayakan
semua ini kepadaku!!!"
bentak Kiyai Subeni agak keras dan disambut oleh Zaitun dengan tarikan napas panjang.
"Aku adalah gurumu, guru ngaji kalian! Kalian
sebagai murid harus taat pada perintah dan ucapan
guru! Kalau kalian membandel akan celakalah dan tiada bermanfaat ilmu yang kalian pelajari! Bagaimana
Zaitun! Masihkah kau membantah" Pengajian mu banyak ketinggalan dari kawan-kawanmu!!" bentak Kiyai dengan suara keras
memperingati Zaitun serta murid
yang lainnya. Semua murid yang berada di situ tidak
ada yang berani bersuara apalagi menggerakkan badannya. Semua diam dengan kepala tertunduk. Begitu
pun Zaitun murid yang tercantik itu menjadi lemas
sendi-sendinya.
Apa yang harus diperbuat" Ia tertunduk sayu
di bawah sorotan mata Kiyai Subeni yang bagaikan bisa menembus sampai ke lubuk hatinya dan memancarkan suatu tenaga gaib yang menghanyutkan.
"Bagaimana, Zaitun?" tanya Kiyai Subeni dengan mata memaksa dan sorot mata tajam
menatap Zai- tun. Suasana di ruangan itu menjadi sunyi namun
menegangkan. Akan tetapi ketegangan itu tiba-tiba
terpecah dengan datangnya Ki Burik dengan sekujur
badan yang basah kuyup.
"Ki...! Kiyai! Celaka, Ki! Pendekar Gunung Sembung itu sudah sampai di sini dan sedang mengejarku!" ujar Ki Burik pelan dengan tubuh gemetar.
"Apa, hah?" bentak Kiyai Subeni kaget mendengar nama tersebut sambil menatap
tajam ke arah Ki
Burik. Sementara itu hujan di luar belum juga ada
tanda-tanda reda. Beberapa detik kemudian berkelebatlah tubuh Parmin melompati pagar bambu dan berdiri tegak di tengah pekarangan pesantren milik Kiyai Subeni. "Kiyai Subeni!
Sebagai tamu, aku sangat meng-hargai kekuasaan tuan rumah. Maka aku tak hendak
masuk rumahmu dan memaksa anda untuk keluar.
Tetapi anda pun harus keluar untuk mengulangi penyambutan anda yang telah gagal!!" ucap Parmin keras mengalahkan bunyi hujan
yang semakin deras. Parmin
teringat peristiwa tadi siang di perbatasan Desa Cilumus, di warung itu, di mana
ia hampir saja minum air
teh yang berisi racun dan kiranya Kiyai Subenilah dalangnya. Hujan yang turun terus menerus itu menggigilkan tubuh Parmin dan agaknya Kiyai Subeni tahu
akan hal itu dan sengaja membiarkan penantangnya
berdiri di luar sampai kaku. Tetapi Jaka Sembung
yang telah dididik oleh gurunya yang kedua Begawan
Sokalima di Puncak Ciremai melalui latihan melawan
hawa yang sangat dingin, dengan tenang tetap berdiri
di bawah curahan hujan dan dengan tubuh basah
kuyup. "Aku tahu akal bulus Kiyai murtad ini! Baik!
Aku harus mengejeknya supaya ia keluar!" gumam
Parmin dalam hati.
"Hai, Subeni! Bandot tua bermata keranjang!
Memang enak cuaca dingin begini mengerami muridmu yang cantik-cantik!! Ha... ha... ha... ha!" Tantang Parmin dengan lantang dan
mengandung ejekan yang
sangat pedas. Betul juga dugaan Parmin, karena tiba-tiba
daun pintu bergerak dan sesosok tubuh bulat gempal
melompat ke luar dan langsung menyerang Parmin
yang memang sudah siap-siaga. Kiyai Subeni dengan
cengkeraman mautnya yang disertai tenaga dalam
yang sempurna menimbulkan hawa panas dari telapak
tangannya. Namun Parmin dengan sangat cekatan melayani serangan itu sambil mengerahkan tenaga dalamnya.
Melihat musuhnya tidak memakai senjata, Parmin segera melempar tongkat besi beraninya sambil berjumpalitan menghindari cengkeraman tangan Kiyai Subeni
yang mengarah ke perut.
"Oh, inikah tampang Kiyai yang menghalalkan
maksiat untuk memuaskan nafsu iblisnya"! Manusia
seperti inilah penghuni neraka jahanam yang paling
bawah!!!" ujar Parmin dengan lugasnya sambil bersalto ke belakang guna mengambil
jarak. "Tutup rapat-rapat bacotmu, Monyet gelandangan! Hiiiich...! Mampus!!" bentak Kiyai Subeni sambil menyerang Parmin secara
bertubi-tubi. "Kau menodai kesucian agama! Copotlah kedok
Kiyai mu itu, hai gadungan!!!" bentak Parmin keras dan dengan cepat menyerang Ki
Subeni. Mereka berdua mengeluarkan jurus-jurus maut
dari ilmu silat tinggi sehingga tubuh mereka hanya terlihat seperti gulungan
sinar dan gulungan sinar itu
saling silang satu dengan yang lainnya dengan gerak
yang begitu cepat.
Jaka Sembung 9 Membabat Kiyai Murtad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa saat kemudian gulungan sinar itu berubah langkah dan kini saling menyongsong dengan
kecepatan tinggi. Teriakan mereka hampir bersamaan
memecahkan suara derasnya hujan karena disertai tenaga dalam, sehingga Ki Burik yang menyaksikan jalannya pertempuran itu segera bersemedi mengusir
suara keras yang masuk ke telinganya.
"Buk! Hk!"
Terdengar suara tertahan disusul oleh tubuh
Parmin yang terlempar ke belakang beberapa depa dan
tubuhnya menabrak sebuah pohon besar membuat
ranting dan daun kering berguguran.
Parmin merasa bumi yang dipijaknya berputarputar, kepalanya pening dan dadanya sesak terkena
gedoran tangan Ki Subeni yang mengandung tenaga
dalam. Parmin berusaha untuk bangkit, tetapi pandangan matanya menjadi gelap berkunang-kunang dan
dadanya terasa hendak meledak.
"Hoak!" darah segera keluar dari mulutnya
membasahi genangan air di sekitarnya yang seketika
berubah menjadi merah dan tubuhnya ambruk bermandikan darahnya sendiri.
"Nah kini terimalah ajalmu gembel busuk!!!" teriak Ki Subeni keras dengan
geraman nafsu ingin
membunuh dan tubuhnya melesat cepat dengan kaki
mengarah ke depan dengan pasti hendak menghabisi
riwayat Jaka Sembung.
Pada saat kritis itu tiba-tiba bcrkelebat tiga
bayangan menyambar tubuh Parmin yang sudah tak
berdaya itu. Tanah becek tempat Parmin tergeletak meledak
seperti kena bom, ketika kaki maut Ki Subeni itu berdebam menemui tempat kosong dan melihat tubuh
musuhnya yang sudah tak berdaya itu melesat dibawa
lari oleh tiga dara manis yang kini menyerangnya dengan pedang telanjang mengarah pinggangnya. Mereka
ternyata si Tiga Melati yang selama ini mengikuti perjalanan Parmin.
Dua orang gadis di antaranya yang tak lain
adalah Risma dan Rani segera melesat sambil membopong tubuh Parmin yang terluka parah dan menghilang dikegelapan malam.
"Cepat kita lari! Biarlah Kak Riska meladeni
orang gemuk!" sergah Risma kepada adiknya Rani dan segera lari.
Sementara itu Riska dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya meliuk-liuk ke sana ke mari sambil
sekali-sekali coba menusuk atau membabatkan pedangnya. "Siapa kalian, heh" Kenapa ikut campur?" ujar Ki Subeni dengan kesal sambil
mengirim serangan
maut. "Kami adalah bidadari-bidadari penolong dari kahyangan! Aku tak ingin
lama-lama meladenimu ber-canda, Kiyai gendut!" sergah Riska sambil bersalto
menjauhi Ki Subeni ke semak-semak belukar dan
menghilang di telan kegelapan malam.
"Bebel sial! Awewe jurig!!!" bentak Ki Subeni kesal setelah melihat musuhnya
telah lenyap. Tinggallah Ki Subeni seorang diri dan dengan
wajah kesal memasuki rumahnya dan segera memerintahkan Ki Burik untuk melakukan pengejaran.
"Burik cepat kumpulkan kawan-kawanmu dan
segera bawa ke mari bangsat Sembung itu!!!" ujarnya keras dengan nada kesal.
"Baik, Pak Kiyai!" jawab Ki Burik dan segera meninggalkan tempat itu untuk
mengumpulkan kawan-kawannya. Riska dengan ilmu larinya yang sempurna segera dapat menyusul adik-adiknya yang masih membopong tubuh Parmin di celah-celah hujan yang deras
itu. "Terus ke lembah sebelah Timur itu di sana ada
sebuah goa! Si gemuk gendut itu pasti tak mengejar ki-ta! Ia lebih senang
mengerami murid-muridnya yang
cantik-cantik!" ujar Riska memberi petunjuk kepada adik-adiknya.
Beberapa lama kemudian mereka sampai pada
sebuah goa di balik bukit dan segera tubuh Parmin dibaringkan di lantai batu yang beralas ilalang kering.
Sang waktu terus merambat pada jalurnya
dengan pasti dan hujan diluar telah lama reda.
"Lihat! Dadanya terbakar kena pukulan
'Samber Nyawa' Ki Subeni!" sentak Riska setelah me-meriksa dada Parmin yang
membekas berbentuk telapak tangan Ki Subeni. Dada Parmin hangus membiru
terkena gedoran pukulan Ki Subeni yang amat dahsyat. "Kalian tak perlu cemas Pendekar Gunung
Sembung tidak mati... dia sedang melawan racun pukulan itu dengan tenaga dalamnya. Sebentar lagi tentu bangun." ujar Riska
setelah meraba dada Parmin dan telapak tangannya merasakan ada denyutan
perlahan. Kokok ayam jantan saling bersahut-sahutan
menyambut sang fajar yang tersembul dari balik bukit
dengan sinar emasnya, burung-burung pun bernyanyi
menyambut pagi dengan irama merdu pertanda masih
ada kehidupan. Parmin belum sadarkan diri. Tubuhnya masih
terbaring di atas tumpukan ilalang rumput kering dan
dijaga oleh tiga dara manis yang menamakan dirinya
'si Tiga Melati' dengan sabar.
"Rani! Coba kau carikan air! Air pegunungan
yang dingin cukup membantu pernapasan dan kelancaran peredaran darah dalam tubuhnya, sementara itu
aku membantu dengan mengurutnya!" ujar Riska menyuruh si Bungsu.
"Aku saja yang kau suruh-suruh, coba sekalisekali si Risma itu!" bantah Rani sambil cemberut.
"Sudah! Jalankan perintah! Aku adalah saudaramu yang tertua berhak mengatur dan semua ini demi untuk kepentingan bersama!" bentak Riska tegas sambil melotot matanya.
Matahari telah mulai meninggi sehingga membuat hawa di sekitar goa menjadi hangat dan selang
beberapa lama kemudian Parmin telah sadar dan segera menyandarkan dirinya ke dinding.
"Oh,, terima kasih... kaliankah yang telah menolongku" Riska, Risma dan Rani semoga Tuhan
membalas kebaikan hati kalian!" ujar Parmin pelan sambil mendekap dadanya dan
memijit kepalanya yang
masih agak pusing.
"Mengapa Tuhan yang membalas?" tanya Riska
berpura-pura tidak mengerti apa yang diucapkan Parmin. "Kami ingin kau sendiri yang membalas kebaikan hati kami, kami bertiga
bersedia ikut ke mana kau pergi. Jadikanlah kami bertiga istri-istrimu!" sela
Rani ketus dengan senyum dibuat-buat agar Parmin tergugah hatinya.
"Tidak bisa! Ketahuilah oleh kalian, aku sudah
punya kekasih di Desa Kandang Haur!" jawab Parmin cepat dan mengaku dengan
jujur. "Kekasihmu itu tentu seorang gadis yang cantik
sekali... ya?" ujar Risma sambil menggeser duduknya
agar lebih dekat dengan Parmin.
"Pendekar Gunung Sembung! Biarlah kami
menjadi istrimu atau menjadi selir-selirmu! Bukankah
agama kita mengijinkan seorang laki-laki mempunyai
istri lebih dari satu orang?" ujar Riska sambil tangannya bergelayutan di pundak
Parmin, namun dengan
halus Parmin menepiskannya.
"Itu memang dibenarkan oleh agama, tetapi
dengan syarat: pertama harus bisa membagi rata kasih
sayang, kedua harus berbuat adil dengan nafkah harta
maupun nafkah bathin. Pada kenyataannya manusia
tidak bisa memenuhi syarat-syarat tersebut, tak terkecuali juga aku sendiri!
Sekarang begini, bagaimana jika kita bersahabat saja" Hubungan sebagai kawan
adalah lebih baik, karena tak dikotori oleh rasa cemburu! Dan bagaimana pendapat kalian
untuk menyingkirkan Ki
Subeni?" "Ia ditakuti karena punya anak buah yang memiliki kekuatan ilmu hitam dan ilmu silat yang tinggi!"
ujar Riska memperingatkan.
"Gampang! Kita bakar kemarahan penduduk
desa ini! Kurasa di antara mereka ada yang memiliki
kepandaian silat yang cukup, cuma mereka takut bertindak sendiri-sendiri," potong Rani ketus sambil men-gepalkan tangannya.
"Bagaimana caranya baiklah kuserahkan kepada kalian! Aku sendiri akan mencoba nasib sekali lagi melawan Ki Subeni!"
"Jangan khawatir pendekar! Kami akan membantumu sampai titik darah yang penghabisan!" sergah Risma bersemangat dengan
mata berbinar-binar.
"Ya pendekar, kami akan membakar semangat
penduduk untuk menumpas Kiyai murtad itu!" ujar
Riska lebih bersemangat dan menggebu-gebu.
Parmin yang mendengar semua itu tersenyum
bangga dalam hati. Andai kata para pendekar di seluruh nusantara tercinta ini memiliki semangat seperti si Tiga Melati ini niscaya
penjajah Kumpeni Belanda akan musnah dari bumi pertiwi!
"Nah sekarang kembalilah kalian ke desa! Hindari bentrokan dengan para begundal Ki Subeni! Laksanakan tugas mulia ini, semoga Tuhan bersama kita!"
ujar Parmin pelan namun berwibawa.
Si Tiga Melati dengan langkah pasti meninggalkan Parmin yang memandangi mereka dengan rasa
kagum. Tak lama kemudian ketiga gadis kembar itu
menghilang di balik bukit.
Matahari telah membuat bayangan-bayangan
memanjang, angin pun berhembus sepoi-sepoi menerpa dedaunan membuat daun-daun kering berjatuhan
dan tunas-tunas baru tumbuh menggantikan. Burungburung dengan kicauan-kicauan merdu saling bersahut-sahutan kembali ke sarangnya masing-masing.
Tinggallah Parmin seorang diri di dalam goa.
Namun tak lama kemudian ia pun meninggalkan tempat itu. Parmin terus berjalan melewati bukit bebatuan untuk mencari tempat yang
aman guna penyembuhan
lukanya. Di tengah perjalanannya itu Parmin mendengar suara yang khas dimiliki sahabatnya, si Beo yang
tiba-tiba tampak datang dengan terbang rendah dan
kemudian hinggap di pundak Parmin sebelah kiri dengan lunaknya. "Hm... aku sudah cemas kehilangan kau, Beo!"
ujar Parmin tersenyum gembira dan disambut oleh si
Beo dengan mengibaskan sayapnya yang sebelah kanan mengusap pipi Parmin.
"Kau tentu lapar, Beo! Nah mari kita cari tempat istirahat sambil mencari makanan!" lanjut Parmin
sambil mengelus kepala si Beo dan si Beo pun memejamkan matanya dengan manja.
Kita tinggalkan dahulu Parmin dan sahabatnya
yang setia dan selalu menemaninya dalam suka dan
duka itu. Di suatu senja dengan anginnya yang semilir
membuat awan tipis di udara bergerak berarak-arak
dan pohon-pohon yang tumbuh dengan daun-daunnya
yang lebat dan rindang bergoyang-goyang sehingga
menimbulkan gerak bagai seorang penari yang lemah
gemulai dan meliuk-liuk.
Di suatu tempat, di antara rumah-rumah penduduk Desa Cilumus terlihat dara manis yang menamakan dirinya 'si Tiga Melati' sedang berteriak-teriak keras penuh semangat.
"Haayooo! Haayooo!! Kalian semua keluar, keluar! Kami ingin bicara!" teriak si tiga dara cantik itu bersama-sama dengan
penuh semangat, sehingga sua-ranya berkumandang ke segenap pelosok desa.
Mendengar suara teriakan-teriakan itu semua
penghuni rumah ke luar memenuhi halamannya masing-masing sehingga dalam sekejap mereka sudah berkumpul. "Heii, ayo berkumpul semua! Jangan berdiam
diri saja! Dengarlah baik-baik! Kalian selama ini membiarkan seseorang yang
berkedok Kiyai, tetapi ternyata melakukan praktek-praktek mesum!" ujar Riska
bersemangat dengan suara lantang untuk membakar hati
penduduk Desa Cilumus.
Mereka semua yang mendengar menjadi heran
tercengang-cengang. Tiga orang dara muda belia begitu beraninya dan dengan
terang-terangan menyinggung
seseorang yang selama ini mereka segani dan paling
mereka takuti di Desa Cilumus ini. Pada sore hari ini
mereka menyaksikan sendiri dengan mata kepala mereka masing-masing bagaimana tiga dara manis dengan semangat menggebu menentang dan mencaci maki
orang tersebut.
Dengan semangat yang berapi-api si Tiga Melati
terus membakar semangat penduduk Cilumus yang
mulai tergugah dan menyadari diri.
"Setiap muslim tentu merasa tercoreng oleh
tindakan semena-mena dan menginjak-injak kesucian
agama Islam!" teriak Risma sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi mengepal.
"Orang itu berlagak sebagai Kiyai alim, tetapi
sesungguhnya adalah iblis yang paling murtad!!!" sam-bung Rani tak kalah keras
dengan mata berbinarbinar. "Sudah berapa banyak anak perawan yang di-nodai" Apakah kalian akan terus
membiarkan begitu
saja" Apakah kalian merasa takut dengan kekuatan
sihir Ki Subeni"! Cuiih!! Mari kita angkat senjata! Kita enyahkan iblis itu!!!"
ujar Riska bersemangat sambil mengacungkan goloknya ke atas. Maka dengan cepat
penduduk yang berada di situ berteriak menyambut
himbauan si Tiga Melati.
"Betul! Ayo, kita serbu!!!" teriak seseorang dengan penuh semangat.
"Hancurkan Kiyai cabul itu.!!" ujar si kumis me-lintang sambil menguak kerumunan
dan maju ke depan sehingga si Tiga Melati melihat dengan jelas.
"Kepruk saja kepalanya, kita jadikan perkedel!!!" seru orang yang brewok sambil melemparkan goloknya ke udara dan
disambutnya kembali goloknya
itu dengan sigap sehingga seketika tepuk tangan bergemuruh dari mereka yang menyaksikan demonstrasi
tersebut.
Jaka Sembung 9 Membabat Kiyai Murtad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah tiba saatnya kita menumpas Kiyai iblis
itu!!!" teriak seorang wanita muda dengan suara me-lengking dan wajahnya menjadi
merah padam menahan amarah yang sudah sekian lama terpendam.
Agaknya mungkin ia merupakan salah seorang korban
Kiyai Subeni juga.
"Tuummpaass!! Serbuuuu!! Ganyaaanngg!!" teriak mereka bersahut-sahutan sehingga suasana di
tempat tersebut hiruk pikuk tak menentu, membuat si
Tiga Melati menjadi kerepotan mengaturnya.
"Tenang saudara-saudara!! Teenaangg!!!" teriak si Tiga Melati hampir bersamaan
dengan suara keras
sekali sambil memberi aba-aba dengan tangannya supaya penduduk tenang. Dengan seketika suara yang
hiruk pikuk tersebut menjadi berhenti dan mereka
memperhatikan si Tiga Melati berbicara.
"Tenang saudara-saudara! Belum tiba saatnya
bagi kita untuk menyerang! Tunggulah dalam beberapa
hari ini! Bila pendekar kita Jaka Sembung telah memberi komando untuk menyerang baru kita menyerang!!
Janganlah kalian bertindak sendiri-sendiri! Ingatlah
bersatu kita teguh bercerai kita runtuh!!!" ujar Riska lantang memperingatkan
penduduk yang kini telah
terbakar semangatnya.
Setelah memberikan petunjuk kapan saat memulai pergerakan, si Tiga Melati segera meninggalkan
tempat tersebut untuk menemui Parmin di tempat
yang telah ditentukan.
Di suatu tempat dengan pekarangannya yang
luas terlihat beberapa orang sedang berjaga-jaga di sekitar bangunan yang cukup
besar sambil berbincangbincang menikmati kopi hangat yang telah tersedia.
Udara di sore hari itu cukup sejuk dengan angin bertiup kencang dan awan di udara bergumpalgumpal kehitaman pertanda hujan akan segera turun
dan guntur yang bergemuruh memecahkan kesunyian
menjelang malam yang sebentar lagi tiba.
Para begundal Ki Subeni dengan asyiknya menikmati kopi hangat sambil bermain kartu domino di
teras rumah tersebut dengan tertawa-tawa. Wajahwajah mereka menyeramkan dan bengis dengan mata
yang berbinar-binar.
"Ayo Kupret! Angkat kakimu dari sini, uangmu
sudah habis!" ujar si Brewok dengan bibir mencibir mengejek.
"Sialan! Lagi-lagi aku sial!!!" sentak Kupret kesal sambil berdiri dan
membanting kartu yang dipegangnya ke atas meja dan berlalu diiringi gelak tawa
teman-temannya.
Suasana di luar rumah tersebut sangat kontras
dengan keadaan di ruangan dalam di mana dua sosok
manusia sedang berhadap-hadapan dengan ketegangan masing-masing.
"Rokhimah! Duduknya jangan jauh-jauh, suaramu tidak kedengaran!" perintah Ki Subeni dengan sorot mata tajam memandangi
muridnya yang sedang
membaca ayat suci Al Qur'an.
"Pak Kiyai hari sudah malam dan hujan pun
segera turun! Bolehkan saya pulang?" tanya Rokhimah sambil membetulkan
kerudungnya hingga menutupi
sebagian dahinya.
"Tidak Rokhimah! Kamu jangan takut, setelah
selesai kau boleh pulang dan nanti kau diantar oleh
orang-orangku!" ujar Ki Subeni sambil menggeser duduknya lebih dekat dengan
sorot mata tetap memandang wajah Rokhimah yang menjadi gemetar dan keringat dingin telah membasahi sekujur tubuhnya.
"Te... ta... pi... biarlah dilanjutkan besok sore
saja, Kiyai!" sanggahnya pelan hampir tak terdengar karena menahan takut yang
amat sangat melihat guru
ngajinya kian mendekati dirinya dengan sorot mata
yang mengeluarkan sinar menembus lubuk hatinya.
"Rokhimah...! Rokhimah! Pandanglah ke mari,
Anak manis!!" ujar Ki Subeni pelan namun berwibawa dengan napas yang memburu dan
tangannya telah
membelai pundak Rokhimah.
"Ja... jang..an, Kiyai!!" sergah Rokhimah terputus-putus dan tanpa sadar
memandang mata Kiyai
Subeni yang mengandung magnit itu, dan seketika tubuhnya menjadi lemas tak berdaya. Kemudian tangan
jahil itu mulai beraksi melepas helai demi helai busana yang melekat di tubuh
Rokhimah yang telah terhipno-tis.
Binatang-binatang malam tidak ada yang berani keluar, semuanya berlindung di sarangnya masingmasing hanya suara katak yang bersahut-sahutan
seakan-akan memanggil hujan agar segera turun. Suara katak tersebut membuat irama magis bertalu-talu
dan tak lama kemudian hujan rintik-rintik turun
membasahi bumi, dedaunan serta tanah yang dengan
seketika menjadi basah tergenang air hujan dan membuat suara katak yang berirama itu berhenti selanjutnya berganti suara hujan dengan irama tersendiri.
Udara pun bertambah dingin dan para begundal Ki Subeni yang sedang tertawa-tawa sambil bermain domino seakan-akan mengiringi sang iblis yang
telah merasuki jiwa Kiyai Subeni untuk merusak akhlak manusia yang kurang imannya dan udara yang
dingin itu justru menambah gejolak di dalam tubuh
manusia yang telah dirasuki nafsu iblis tersebut.
Demikian yang terjadi diri Kiyai Subeni yang telah lupa akan dirinya dan nafsu setannya yang telah
terlaksana merenggut mahkota yang termahal dari seorang gadis remaja. Hujan yang rintik-rintik seakanakan tak mau reda mengiringi tangis terisak dari seorang gadis yang bernama Rokhimah, namun apa daya
ia hanyalah makhluk lemah tak berdaya.
Waktu terus berputar membawa irama kehidupan di Desa Cilumus dan sekitarnya. Parmin dengan
sahabatnya, si Burung Beo, berjalan dengan tenang
menyelusuri bukit-bukit kecil yang terdapat di Desa
Cilumus sebelah Timur guna mencari tempat yang
aman untuk mengobati dirinya sendiri yang terkena
pukulan dari Kiyai Subeni.
Parmin mendapatkan sebuah pohon besar dengan daun-daunnya yang tumbuh lebat dan rantingranting yang menjuntai menambah rindangnya pohon
itu. Ia segera bersila di bawahnya dengan posisi tangan berada di kedua belah
pahanya dan matanya terpejam
memusatkan konsentrasi dengan jurus 'Wahyu Taqwa'
suatu ilmu yang amat dahsyat dari jurus silat Gunung
Sembung yang diajarkan oleh gurunya yang pertama
Ki Sapu Angin, tetapi kali ini Parmin mempergunakannya tidak untuk bertempur melawan musuh, melainkan untuk menyembuhkan luka dalamnya.
Parmin menyalurkan hawa murni dari bawah
perutnya dan seketika uap putih mengepul dari ubunubunnya yang jelas terlihat di bawah sinar rembulan
yang masuk di sela-sela dedaunan dan dada Parmin
turun naik mengatur pernafasannya.
Malam pun merambat perlahan namun pasti,
rembulan yang bersinar kini kian condong ke Barat
membuat bayangan-bayangan memanjang dan tubuh
Parmin tetap pada posisinya semula. Binatangbinatang malam telah kembali ke sarangnya dan rembulan pun telah hilang di balik bukit.
Sinar mentari pagi telah tersembul dari ufuk
Timur dan semburat dengan sinar emasnya menerangi
ke seluruh mayapada ini.
Burung-burung bernyanyi bersenda gurau beterbangan kian ke mari serta ayam jantan yang berkokok saling bersahut-sahutan menambah suasana menjadi terasa bergairah dalam menyongsong datangnya
hari baru. Sinar matahari pagi menembus dari sela-sela
dedaunan menyinari wajah Parmin dan seketika membuka matanya sambil menghela napas dalam-dalam
menghirup udara pagi yang menyegarkan.
Embun pagi telah menguap dan Parmin segera
meninggalkan tempat tersebut dengan keadaan tubuhnya yang segar bugar setelah ia bersemadi semalam suntuk. Langkahnya yang pasti menyelusuri tepian sungai itu dengan tujuan kembali ke pesantren
milik Kiyai Subeni.
Parmin berjalan sambil menikmati keindahan
alam di sekitarnya sementara di dekatnya air sungai
mengalir dengan tenangnya. Parmin terus mengayunkan langkahnya, akan tetapi segera berhenti karena
naluri kependekarannya mengatakan ada sesuatu yang
tak beres berada di sekitarnya. Setelah mengamati
keadaan sekitarnya dengan sorot matanya yang tajam
sambil mengerahkan ilmu 'Menyatukan Sukma' ia melangkah dengan penuh kewaspadaan.
Baru saja Parmin melangkahkan kakinya, tibatiba tanah yang di hadapannya meledak seketika seperti terkena dinamit dan dengan segera Parmin bersalto beberapa kali ke belakang.
"Bush! Bush!"
Suara itu menggelegar memecahkan suasana di
pagi hari membuat burung-burung beterbangan dan
tanah yang terkena benda tersebut menjadi berlubang
dan debu-debu pun beterbangan ke sana ke mari.
Dengan cekatan Parmin menghindari setiap serangan
yang mengarah ke tubuhnya dan setiap kali benda itu
mengenai tempat kosong.
Senjata yang menyerang Parmin itu ternyata
berbentuk bundar seperti bola terbuat dari logam keras berduri runcing-runcing dan dikendalikan oleh
rantai yang kuat dan panjang sehingga desiran angin
yang ditimbulkan sangat kuat dan kencang membuat
daun-daun kering beterbangan dan berguguran terkena hempasan anginnya.
Parmin baru ingat akan benda yang menyerangnya yang tak lain adalah kepunyaan seorang dari
negeri Hindustan yang bernama Goga Khan dengan ilmu silat tinggi dan pernah bertarung dengannya beberapa bulan yang lalu, ketika Parmin dalam perjalanan
menuju Desa Cilumus. Ketika itu Goga Khan terkena
golok pendek Parmin yang menggores kulit batok kepalanya dan Goga Khan berjanji akan kembali mencari
Parmin untuk membalas kematian kakaknya.
Kini kembali Parmin menghadapi senjata yang
dahsyat itu dan dimainkan dengan sangat terampil
dan cekatan oleh orang yang berilmu silat tinggi dengan tenaga dalam yang sudah sempurna tingkatnya.
Namun dengan ketenangan yang dimilikinya dan ilmu
silat Gunung Sembung yang sudah menjadi darah dagingnya, ia hadapi senjata maut Goga Khan dengan tenangnya. Sementara itu suara berisik pertarungan telah
membuat makhluk penghuni sungai mulai bermunculan. Belasan ekor buaya mengangakan moncongnya
siap melahap mangsa yang terjerumus ke dalam air.
Tiba-tiba tubuh Parmin meletik ke udara
menghindari senjata maut itu dan kemudian dengan
gerakan yang sangat ringan seperti kapas, tubuhnya
membuat gerakan bersalto beberapa kali dan ia menggunakan punggung buaya-buaya itu sebagai jembatan
penyeberangan. Akibatnya adalah...
"Crot! Crot!"
Suara batok kepala buaya yang pecah terkena
senjata maut itu dan darah pun segera mewarnai air
sungai. Terhindarlah Parmin dari serangan tersebut,
sebaliknya bagi buaya-buaya yang terluka dan berdarah mengundang teman-temannya yang kelaparan dan
dengan seketika tubuh kawannya yang sudah tak berdaya lagi menjadi bahan rebutan untuk dimangsa dan
air pun berubah menjadi merah berbuih-buih dengan
gejolak air yang bergulung-gulung menandai pesta pora binatang yang ganas itu.
Tubuh Parmin yang masih melayang di udara
terus dikejar oleh senjata yang dahsyat itu yang bagaikan mempunyai mata
mengikuti ke mana Parmin bergerak dan selalu senjata itu mengenai tempat kosong
membuat orang yang menyerangnya menjadi semakin
marah. Parmin dengan gesit terus menghindar dengan
penuh perhitungan. Gulungan-gulungan sinar dari putaran senjata maut itu terus mengurung tubuh Parmin
hingga Parmin menjadi terdesak, tetapi dengan ilmu silat tinggi yang diwariskan
oleh gurunya, Ki Sapu Angin sampai saat ini nyawanya masih selamat dan tubuhnya
meletik ke sana ke mari bagaikan seekor udang
menerobos celah-celah sinar tersebut.
Baru saja kakinya menyentuh tepi kali, kembali
bola logam berduri itu menyerangnya bertubi-tubi dan
tubuh Parmin terpaksa kembali melompat tinggi sambil menyabetkan tongkat besi beraninya.
"Trang!"
Suara keras yang ditimbulkan oleh beradunya
dua senjata yang telah diisi dengan tenaga dalam itu
sehingga menimbulkan bunga-bunga api disusul dengan melayangnya tubuh Parmin ke belakang sambil
bersalto dua kali dan mendarat dengan ringan pada
sebuah batu besar dengan mantapnya. Sedangkan
senjata berduri itu terpental kembali menuju ke arah
sang pemilik, dengan cepat mengarah batang leher
tuannya tanpa terkendali.
"Siing!"
Senjata maut itu bagaikan anak panah terlepas
dari busur mengancam nyawanya. Tetapi dengan kejelian matanya Goga Khan dengan cepat menundukkan
kepalanya sehingga senjata mautnya lewat di atas ke
Jaka Sembung 9 Membabat Kiyai Murtad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
palanya sendiri dan menghantam pohon besar sampai
terporak poranda.
Dua puluh jurus, tiga puluh jurus hingga lima
puluh jurus pertempuran itu terlihat masih seimbang
walau telah mengerahkan seluruh kemampuan masing-masing untuk saling menjatuhkan. Desiran angin
yang ditimbulkan oleh senjata maut Goga Khan membuat daun-daun kering serta debu-debu beterbangan
menutupi pandangan mata Parmin.
Parmin alias Jaka Sembung sambil berkelit
memutar tongkatnya dengan cepat sehingga tubuhnya
terlindung dari serangan tersebut. Akan tetapi senjata maut itu terus mencecar
tubuhnya di sela-sela gulungan debu yang menutupi pandangan dengan dahsyatnya membuat Parmin pontang panting.
"Ha.... ha.., ha... ha...ha! Kali ini kau takkan bi-sa menghindari sapu jagatku,
Gembel busuk!!!" bentak Goga Khan keras dengan senyum sinis sambil memutar senjatanya lebih cepat sehingga menimbulkan suara angin ribut membuat ranting dan debu serta daundaun kering beterbangan bagai diserang oleh angin beliung. "Dibandingkan dengan beberapa waktu yang la-lu senjata maut ini sekarang
lebih dahsyat lagi keampuhannya! Angin sambarannya menimbulkan hawa
dingin dan panas!" gumam Parmin kagum dengan sorot mata tajam mengikuti ke mana arah bola logam
berduri itu bergerak.
"Hiiyaaat!!" teriak Parmin keras sambil melompat tinggi menghindari senjata maut
itu yang mengarah ke perutnya sambil bersalto beberapa kali dan
mendarat tepat, tanpa disadari di pinggir batu cadas
dan di bawahnya telah siap menanti moncongmoncong buaya yang kelaparan.
"Ha... ha... ha...! Mau lari ke mana kau, Tikus
busuk?" Terdengar bentakan keras Goga Khan dengan bibir mencibir sinis melihat
lawannya berdiri di mulut jurang dan dengan cepat sekali memutar senjatanya
mengurung Parmin. Hawa panas dan dingin yang ditimbulkan senjata tersebut membuat Parmin segera
mengeluarkan jurus andalannya.
"Senjata mu memang aneh dalam dunia persilatan! Tetapi janganlah kau tertawa dulu, Sobat!" gumam Parmin dalam hati sambil
memasang kuda-kuda dan
memusatkan konsentrasinya membuat jurus andalannya dari ilmu silat Gunung Sembung yang dinamakan
jurus 'Wahyu Taqwa', jurus pilihan antara hidup dan
mati. "Bismillah...!" Tubuh Parmin berkelebat menembus lingkaran berduri yang
amat dahsyat itu langsung mengancam batok kepala yang botak dari pendekar Hindustan itu. Dengan gerakan cepat bagaikan
anak panah melesat dari busur, tubuh Parmin telah
berada tepat di atas kepala Goga Khan yang tak menduga akan datang serangan yang demikian cepatnya.
Sedetik kemudian golok pendek Parmin yang tajamnya
seperti pisau cukur itu membelah batok kepala belakang Goga Khan.
"Sret!"
"Ach!!" Suara tertahan yang keluar dari mulut Goga Khan dengan luka di kepala
dan darah serta
otaknya keluar membasahi punggungnya sehingga darah yang terburai itu mengguyur tubuhnya dan Goga
Khan menjadi bergoyang tak sanggup menguasai keseimbangan tubuhnya. Parmin sambil bersalto beberapa kali dengan ujung tongkat besi beraninya menyontek senjata Goga Khan yang sedang meluncur tak terkendali itu. "Tring!"
Ujung tongkat Parmin menghantam senjata
maut Goga Khan dan kini arahnya menuju tubuh Goga
Khan yang sedang menahan sakit luar biasa dengan
kedua tangannya menutupi luka yang terus mengeluarkan darah segar. Senjata mautnya yang diterpa ujung
tongkat Parmin itu tepat mengenai perutnya dan tubuhnya terpental jauh ke tengah kali dengan isi perut berhamburan keluar dan
tubuh Goga Khan langsung
disambut oleh moncong-moncong buaya yang ganas
dan kelaparan. "Byuur!"
Tubuh Goga Khan tercebur di air kali dan percikan-percikan air kali tersebut seketika berwarna merah akibat darah luka Goga
Khan yang segera mengundang penghuni sungai yang sudah siap menunggu.
Pekikan tertahan itu se-kejap mata lenyap bersama
dengan gemeretaknya taring-taring tajam yang berpuluh-puluh jumlahnya merobek-robek tubuh Goga Khan
yang tinggi besar tanpa mengenai ampun sehingga air
pun berubah menjadi merah.
Dari atas sebuah batu besar Parmin memperhatikan tubuh Goga Khan yang lenyap dalam gumulan
binatang reptil yang mengerikan itu.
"Akhirnya kau menyusul adikmu dengan kematian yang sama!" gumam Parmin dalam hati dan ia teringat kembali beberapa tahun
yang lalu, di sebuah
tempat di mana Parmin pernah bentrok dengan adiknya Goga Khan, dan adiknya pun mati dengan cara
yang dialami kakaknya.
5 Sementara itu si Tiga Melati sedang berlari-lari
di tengah-tengah dataran luas berbatu dalam udara
yang cukup panas sehingga peluh di dahi mereka terlihat jelas berbutir-butir dan sekali-sekali mereka hapus dengan telapak tangan
agar pandangannya tidak
terganggu. Pada sebuah tikungan mereka dihadang oleh
dua orang yang berwajah seram dan bengis dengan
mata yang memancarkan nafsu membunuh. Si Tiga
Melati memperlambat larinya dan berhenti di hadapan
dua orang tersebut dengan pandangan penuh kewaspadaan. "Berhenti!! katakan di mana kau sembunyikan
pendekar Sembung itu, hah"!" bentak salah seorang dari mereka yang bertampang
seram dengan codet sepanjang jari tengah di sebelah pipi kiri dan memiliki
ekspresi wajah yang sangat kaku sehingga di waktu bicara bibirnya seperti tidak bergerak.
Si Tiga Melati mendengar pendekar kesayangannya dicari orang tersebut dengan serta merta menyerang mereka.
"Kau pasti anjing-anjingnya Ki Subeni!! Rasakan ini! Hiiyaatt...!!" teriak Riska sambil menghunus pedangnya dan diikuti
adik-adiknya, Risma dan Rani,
yang secara serempak mencabut pedangnya dan menyerang teman si Codet.
Pedang Riska lurus ke depan mengarah batang
leher si Codet dengan gerakan cepat sekali, tetapi si Codet dengan gesit
miringkan tubuhnya ke samping
dan loloslah serangan pedang Riska. Sementara itu
sambil menjatuhkan dirinya si Codet memberi sebuah
tendangan keras dengan kaki kirinya ke arah lambung
sebelah kanan Riska, namun dengan jeli Riska melihat
gerakan kaki si Codet itu.
"Duk!"
Telapak kaki mereka berbenturan dengan keras
membuat tubuh Riska melayang ke atas sedangkan
tubuh si Codet berguling-guling di tanah merasakan
kesemutan di sekitar kakinya akibat benturan itu.
Akan tetapi belum sempat ia berdiri tiba-tiba tubuh
Riska berbalik dan menukik cepat bagaikan seekor burung Rajawali menerkam anak ayam. Pedang Riska lurus ke depan mengarah tubuh si Codet yang terus bergulingan berusaha menghindari setiap tusukan ujung
pedang Riska, dan pada kesempatan yang baik si Codet menyabetkan goloknya menangkis pedang lawannya. "Triing!"
Suara beradunya senjata mereka menimbulkan
bunga-bunga api. Tubuh Riska terpental ke belakang
sambil mengusap telapak tangannya yang panas akibat benturan itu. Untunglah tidak membuat pedangnya terlepas. Kesempatan yang sekejap itu dipergunakan si Codet untuk berdiri mengatur pernapasan.
Sementara itu dua adik kandungnya, Risma
dan Rani yang di bawah ilmu silat kakaknya bahu
membahu menyerang teman si Codet yang setingkat
lebih atas dari pada ilmu silat mereka berdua. Namun
dengan semangat yang berapi-api mereka berdua masih sanggup melayani serangan kawan si Codet yang
menamakan dirinya 'Kudro Pencabut Nyawa'.
Risma dan Rani dengan mengandalkan kegesitan dan kelincahannya terus jumpalitan ke sana ke
mari menghindari serangan golok yang dilancarkan
dengan bertubi-tubi oleh Kudro Pencabut Nyawa sehingga tubuh mereka seperti gulungan-gulungan sinar
yang saling berkelebat di sekitar lawannya.
Pertarungan Riska dan si Codet telah memasuki jurus yang kedua puluh lima. Namun sampai detik
ini belum ada tanda-tanda di antara mereka yang kalah. Baju mereka telah basah dengan peluh. Riska
dengan semangatnya yang berapi-api serta kelincahan
yang dimilikinya terus mendesak si Codet dengan pedangnya mengarah ke titik kematian di tubuh si Codet.
Memasuki jurus yang ketiga puluh, tiba-tiba
Riska membuat gerakan pedang berputar seperti mata
bor mengarah biji mata si Codet dan tangan kirinya
mengancam batang lehernya, namun dengan cekatan
si Codet menggeser kakinya ke samping. Ternyata pedang Riska yang mengarah biji mata si Codet hanyalah
tipuan belaka dan dengan cepat sekali pedangnya tibatiba berputar arah dan dengan suatu sabetan kilat pedangnya berhasil merobek perut si Codet.
"Ach!" Terdengar jeritan si Codet sambil mendekap lukanya dengan kedua belah
tangan menahan isi
perutnya yang akan berhamburan ke luar, maka seketika melayanglah nyawa si Codet dengan bersimbah
darah. Sementara itu adik kandungnya Risma dan Rani bertarung dengan mati-matian mempertahankan
nyawanya yang terancam oleh sabetan dan tusukan
golok si Kudro Pencabut Nyawa. Akan tetapi dengan
gesit dan cekatan kedua kakak beradik itu selalu dapat menghindari serangan maut itu. Tiba-tiba si Kudro
Pencabut Nyawa mengangkat tinggi-tinggi goloknya
dan menyabet-nyabetkan ke udara sehingga menimbulkan suara angin yang menderu-deru membuat debu-debu beterbangan dan menghalangi pandangan
mata Risma dan Rani yang mendadak menjadi terdesak. Detik berikutnya dengan cepat tubuh Kudro melayang dengan golok mengancam.
"Ciiyaaat...!!" teriak Kudro Pencabut Nyawa dengan keras tubuhnya melayang ke
arah musuhnya yang sudah tak berdaya itu. Namun sedetik sebelum
goloknya menghunjam sasarannya, tiba-tiba berkelebat bayangan orang lain dari arah belakang.
"Seet!"
Sebuah pedang dengan cepat menghantam batang leher si Kudro dan seketika tubuhnya terhenti di udara dan kemudian jatuh
berdebam ke tanah dengan
kepala terpisah dari tubuhnya serta nyawa melayang
entah ke mana. Kiranya yang melakukan itu adalah
Riska. Setelah membersihkan pedangnya dan memasukkannya kembali ke dalam sarungnya, ia menghampiri adik-adiknya untuk segera meninggalkan tempat
tersebut guna menemui Parmin di tempat yang telah
dijanjikan. Sang waktu serasa berputar dengan cepatnya
tanpa kita sadari dan senja pun telah datang dengan
bayangan-bayangan memanjang. Pada suatu tempat
terlihat empat orang sedang menyusun rencana, mereka tak lain adalah Parmin dan si Tiga Melati. Setelah selesai dengan semua
rencana, lalu mereka berpisah.
Hari Jum'at telah datang dan mulai hari itu
Kiyai Subeni lebih tekun mengajar pembacaan Al
Qur'an kepada Zaitun, sementara teman-teman Zaitun
telah pulang semuanya, Zaitun mulai Jum'at itu diharuskan menerima pelajaran tambahan.
Di ruang dalam terlihat Kiyai Subeni sedang
bersila dan di hadapannya duduk Zaitun yang sedang
mengaji. Ruangan itu hanya diterangi oleh tiga buah pelita yang ditaruh di
dinding. "Zaitun suaramu usahakan lebih keras lagi
agar terdengar!" ujar Kiyai Subeni dengan suara yang berwibawa dan sorot matanya
tajam menembus lubuk
hati Zaitun. "Pak Kiyai... hari sudah petang. Bolehkah saya
pulang untuk sembahyang maghrib?" tanya Zaitun pelan hampir tak terdengar dengan
kepala tertunduk.
"Orang menuntut ilmu tak boleh mengenal
waktu! Berilmu adalah bekal untuk beramal! Kalau
kau hendak sholat maghrib, kau kerjakan di sini saja, apa salahnya" Orang tuamu
telah memberi keper-cayaan kepadaku untuk membimbingmu menjadi seorang gadis yang alim dan saleh!"
"Tetapi... biarlah saya lanjutkan besok sore saja Ki Subeni" sergah Zaitun
dengan suara gemetar.
"Zaitun... Zaitun! Pandanglah aku, anak manis
Ki Subeni" ujar Ki Subeni berdecak sambil mendekati Zaitun.
"Jangan, Ki! Jangan...!" sergah Zaitun namun tiba-tiba tanpa disadari tangannya
melempar kerudung
penutup kepalanya dan memejamkan mata. Bersamaan dengan tangan Ki Subeni yang mulai meraba
leher Zaitun serta membuka kancing-kancing kebayanya, dua buah lampu pelita padam seketika sehingga menambah ketegangan di ruangan tersebut.
Sementara itu di tempat lain terlihat si Tiga Melati sedang mengumpulkan penduduk Cilumus dengan
berteriak-teriak keras sekali,
"Haayoo! Haayoo...! Kalian, ke luar semua!!" teriak mereka bertiga bersamaan
dengan lantang.
Jaka Sembung 9 Membabat Kiyai Murtad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Penduduk yang mendengar suara itu lalu berduyun-duyun ke luar dan berkumpul di halaman yang
sangat luas. "Ayo berkumpul semua! Hari ini tiba saatnya
kita angkat senjata! Kita enyahkan iblis laknat itu
sampai ke akar-akarnya!" teriak Riska bersemangat membakar jiwa penduduk
Cilumus. "Hayooo! Kita serbu beramai-ramai! Kita basmi
iblis itu!" teriak Risma dan Rani bersama-sama dengan berapi-api dan disambut
dengan gegap gempita oleh
penduduk kampung Cilumus.
"Hancurkan...! Ayo kita serbu!! Kepruk saja!!
Tumpaass!! Serrbuuuu!" Suara penduduk Cilumus
bersahut-sahutan memecahkan suasana malam yang
telah tiba. Berpuluh-puluh bahkan ratusan penduduk Cilumus tergerak mendengar teriakan-teriakan yang gegap gempita. Dengan senjata-senjata terhunus yang
beraneka ragam, ada yang membawa cangkul, arit, golok, beliung dan tak ketinggalan beberapa obor yang
mereka bawa sebagai alat penerang.
"Allahhu Akbar!! Allahu Akbar!!!" suara penduduk Cilumus bersemangat bergemuruh
ke udara men- gikuti si Tiga Melati menuju pesantren Ki Subeni.
Tiba-tiba di tengah perjalanan, di sebuah dataran luas mereka dihadang oleh tujuh sosok tubuh
dengan wajah seram dan bengis yang keluar dari balik
bebatuan besar.
"Haaiiit...!! kalian mau mampus semua"!" bentak seseorang dari mereka dengan
bengis sambil menghunus pedangnya.
"Grrrt...!! Jika kalian tidak ingin tertumpas
sampai ke anak beranak, jangan coba-coba melangkahkan kaki setapak lagi pun!" hardik seorang dari mereka yang bertubuh jangkung
dan kekar dengan
bertelanjang dada. Ia dijuluki si 'Raksasa Penyebar
Maut'. Ketujuh orang yang bertampang sangat mengerikan itu sudah terkenal sebagai tukang pukul Kiyai
Subeni untuk membungkam orang-orang penduduk
Desa Cilumus yang coba-coba menentangnya dan tak
segan-segan untuk menghabisi nyawanya pula.
"Demi kesucian agama Islam dan keagungan
Tuhan! Seerrbuuu!!" teriak Riska keras sekali membangkitkan semangat penduduk
Cilumus dan tubuhnya menerjang si raksasa dengan sabetan-sabetan
yang mematikan ke arah lawannya demikian pula yang
dilakukan adik-adiknya Risma dan Rani serta penduduk Cilumus. "Allahh... hu Akbar!! Allaaa... hh... hu Akbar!!"
pekik histeris berkumandang saling sahut-sahutan
memecahkan kesunyian malam di Desa Cilumus yang
sedang berontak dan dalam sekejap kemudian terjadilah pertempuran massal yang gegap gempita,
Ki Burik dengan tangan mautnya yang mengandung tenaga dalam menyambar orang-orang yang
mendekatinya dan terdengar suara tertahan dengan
batok kepala remuk serta dada yang berlubang. Sudah
belasan orang yang mati di tangan Ki Burik ini. Sedang
si raksasa dengan gada mautnya yang amat dahsyat
itu menghantam orang-orang yang menyerangnya. Tubuh Riska dengan ringannya berkelit menghindari serangan si raksasa itu sehingga yang menjadi sasaranya adalah penduduk Cilumus.
Jerit tangis serta pekik
kematian dari penduduk Cilimus serta darah yang terburai tak membuat yang masih hidup menjadi gentar,
bahkan semakin bersemangat dan maju menggantikan
kawannya yang gugur tanpa merasa takut sambil berteriak histeris membangkitkan semangat kawankawannya dengan senjata terhunus.
Sementara itu suasana ketegangan sedang berlangsung di dalam pesantren Ki Subeni, di mana kini
Zaitun sudah rebah terpaku dengan pasrah dan semua
busananya telah terlepas dan tinggallah tubuh bugil di bawah tatapan mata
serigala yang lapar berteteskan
air liur melihat sang calon korban yang sudah tak berdaya. "Ja... jang... ngan
Ki...!" suara Zaitun lirih me-melas sambil mendekap buah dadanya yang baru
tumbuh mengkal. Tangan Ki Subeni telah menggerayangi sekujur tubuh gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba dinding bilik di belakang
Ki Subeni jebol dan muncul-lah sesosok tubuh yang tak lain si Jaka Sembung.
"Braak!!"
"Subeni! Hentikan perbuatan maksiat mu itu!!"
bentak Parmin keras sambil melancarkan serangan ke
arah pinggang Ki Subeni dengan tendangan yang amat
keras sebelum Ki Subeni sempat membalikkan tubuhnya. "Yaaatt...!!"
"Buk!!"
Tubuh Ki Subeni terpental beberapa depa
menghantam sebuah lemari besar yang berisi jembangan-jembangan antik yang seketika menjadi pecah
berkeping-keping.
Sementara itu Zaitun tersadar dari pengaruh
hipnotis Ki Subeni, dengan tunggang langgang berlari
ke luar sambil meraih kain sarungnya untuk menutupi
dadanya dan berteriak meminta pertolongan.
Ki Subeni dengan gigi gemeretuk menahan marah yang membludak segera bangkit menyerang Parmin dengan cengkeraman tangan yang seketika itu berubah menjadi kemerahan dan mengeluarkan asap
mengepul. "Rak!!"
"Lumaaat!!" bentak Ki Subeni geram dengan
nafsu membunuh. Tetapi dengan cepat Parmin melompat ke samping sehingga tangan maut itu menghantam
dinding kayu sampai hancur berantakan. Setelah
menghindar, Parmin membuat serangan balasan dan
tubuhnya mencelat cepat dengan kaki mengarah lambung Ki Subeni.
"Ciiiyaaatt...!!" teriak Parmin keras.
"Buk!"
Tanpa Parmin ketahui tangan Ki Subeni segera
berubah arah menyerang tubuh Parmin yang masih
melayang dan tepat mengenai dada Parmin sehingga
tubuhnya terpental ke belakang dan dadanya terasa
mau pecah. Darah segar pun ke luar dari mulutnya
Parmin berusaha sekuat tenaga untuk berdiri. Baru
saja Parmin berbalik, Ki Subeni sudah menanti dengan
tombak di tangan dan secepat kilat menyerang Parmin.
"Jep!"
"Yach!!"
Tombak itu menghunjam bahunya, sementara
itu dengan cepat Parmin menyabetkan golok pendeknya sehingga tubuh Ki Subeni terpental ke belakang
dengan dada tergores memanjang dan darah pun keluar dengan derasnya membuat kedudukan menjadi
satu-satu. Dalam keadaan sempoyongan, Parmin berusaha ke luar dengan menabrak pintu untuk menjauhkan dirinya dari Ki Subeni. Tubuh Parmin bergulingguling untuk menghindari lebih jauh lagi sambil berusaha memusatkan konsentrasi dengan jurus 'Hening
Cipta'. Jaka Sembung segera bangkit memasang kudakuda dengan kedua tangan menyilang di dada dan siap
menantikan serangan Ki Subeni.
"Jangan lari, Monyet!!" bentak Ki Subeni geram dengan mata menyala menahan nafsu
yang bergemuruh. Dengan sekali lompatan, tubuh gendut itu melayang cepat ke arah Parmin dengan kaki lurus ke depan dan tangan siap menerkam. Namun dengan cepat
Parmin berkelit ke samping sambil menghunjamkan
tombak tadi dengan tenaga dalam penuh.
"Ach!!" Pekik tertahan Parmin mengoyak suasa-na dan tombak itu menembus
tubuhnya, untuk beberapa saat ia mencoba mencabut tombak tersebut, namun patah menjadi dua bagian mengakibatkan darah
bercucuran dari depan dan belakang tubuhnya yang
terluka. Ia menggeram hebat dengan mata yang memerah penuh dendam dan nafsu membunuh.
"Ki Subeni. Aku mengagumi anda! Dengan darah yang terus mengucur seperti itu anda kelihatan
semakin segar!" ujar Parmin memuji dengan napas ter-senggal.
"Seharusnya anda dengan mudah dapat membunuhku! Ilmu silatku tak ada seujung rambut anda!
Tetapi satu hal yang anda lupa bahwa Tuhan selalu di
pihak yang benar! Sangat kusesalkan bahwa orang berilmu tinggi seperti anda berbuat sesuatu yang terkutuk! Anda telah menghina citra muslimin, anda telah
mengotori ajaran agama dan keagungan Tuhan!!" lanjut Parmin sambil menyandarkan
tubuhnya dan tangan mendekap dadanya yang terluka dalam. Sementara luka di bahunya terus mengucurkan darah.
Kita tinggalkan dua seteru itu dan kini kita
kembali kepada pertempuran massal yang sengit antara antek-antek Ki Subeni melawan rakyat desa Cilumus yang dipimpin si Tiga Melati. Betapa pun gigihnya seekor banteng, lama
kelamaan akan tumbang karena
keroyokan ratusan tikus begitu pun halnya dengan
mereka, antek-antek Ki Subeni itu. Mereka menemui
ajalnya satu per satu di tangan rakyat dengan tubuh
hancur tak berbentuk. Korban rakyat tak terhitung
jumlahnya tetapi orang-orang murtad itu telah tewas
semua dan yang tinggal hanyalah dedengkotnya, Ki
Subeni. "Saudara-saudara! Sebagian harus mengurus jenazah-jenazah kawan-kawan
kita yang gugur! Sebagian lainnya ikut kami membantu pendekar Gunung
Sembung! Risma, Rani, mari jangan terlambat... serrbuuuu...!!" si Tiga Melati berkelebat diikuti rakyat desa Cilumus yang berteriak
histeris menuju kemenangan
yang indah di depan mata.
Angin berhembus kencang menyapu sisa-sisa
mendung dan daun-daun kering berguguran. Suasana
di halaman pesantren sunyi senyap penuh ketegangan
dan dua seteru itu masih berhadap-hadapan. Ki Subeni tegak menyusun sebuah jurus pamungkas dengan
kedua tangannya yang merah membawa sehingga hawa panas menyerang Parmin dan dengan segera Parmin menolak serangan itu. Tubuh Parmin sudah bergetar hebat menahan sakit di dadanya yang terasa remuk. "Ya... Allah! Berilah hamba kekuatan!!" gumam
Parmin dalam hati memohon.
"Ciiaat...!!" teriak Ki Subeni keras dengan kedua belah tangan ke depan terbuka,
mengarah dada dan
perut Parmin. Namun dengan sisa-sisa tenaganya
Parmin berkelit sambil bersalto ke udara beberapa kali menghindari serangan
tangan maut Ki Subeni.
Di saat keadaan Parmin terjepit, tiba-tiba seperti air bah yang datang. Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus orang datang menyerbu Ki Subeni yang dipimpin oleh si Tiga Melati. Ki Subeni terperangah sejenak menyadari dirinya
telah terkepung dan senjatasenjata tajam yang menghunjam ke arah tubuhnya. Ki
Subeni menggeram hebat dan tangan mautnya beraksi
membuat pengeroyok itu terpental dengan dada remuk
dan mati seketika. Namun dengan segera pengeroyok
lainnya datang secara bergelombang membuat Ki Subeni kewalahan dan ia segera mengambil langkah seribu. Darah menetes sepanjang jalan yang dilaluinya
membuat rakyat tidak bisa kehilangan jejak dan terus
mengejarnya. Sekuat-kuatnya tenaga manusia tentu
ada batasnya. Setelah kejar mengejar semalam suntuk
akhirnya sebuah teriakan panjang mengerikan mengakhiri hidup Kiyai cabul itu. Kemarahan rakyat tak
bisa dibendung lagi, membuat tubuh Ki Subeni itu
hancur dirajam tanpa secuil daging pun yang selamat.
"Pendekar Gunung Sembung terluka berat!
Risma dan Rani! Mari kita segera menolongnya!!" sergah Riska khawatir setelah
melihat Parmin yang sempoyongan menahan tubuhnya berdiri.
Seminggu lamanya Parmin dirawat oleh si Tiga
Melati. Penduduk Cilumus menunjukkan simpati yang
besar dan berdoa semoga Parmin lekas sembuh. Memasuki minggu kedua pendekar kita Jaka Sembung telah berangsur-angsur sembuh kembali dan tubuhnya
sehat seperti sedia kala. Dengan demikian tibalah
saatnya Parmin untuk meneruskan perjalanannya, bagaimana pun berat si Tiga Melati yang senantiasa memujanya itu. "Kalian bertiga telah banyak menolongku dan
hendaknya kalian jadikan pegangan bahwa tidak ada
manusia yang luar biasa di atas dunia ini! Janganlah
kalian mendewakan manusia karena tidak ada manusia yang sempurna! Sebagai contoh diriku! Dulu kalian seakan-akan menganggapku
sebagai dewa persilatan
tetapi seperti kalian lihat sendiri kepandaianku dalam ilmu silat tidak ada
seujung rambut pun bila dibandingkan dengan ilmu silat yang dimiliki Ki Subeni!"
ujar Parmin menasehati si Tiga Melati yang berusaha
mengerti. Pada hari yang cerah itu Parmin pamitan kepada seluruh penduduk Cilumus dan si Tiga Melati. Dengan rasa berat hati mereka mengantar Parmin sampai
ke batas desa dan mereka bersyukur bahwa desa mereka sekarang telah bebas dari cengkeraman sebuah
tirani seorang Kiyai cabul. Bersama Jaka Sembung,
mereka telah berhasil membabat Kiyai murtad itu...!
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Penyebar Maut 5 Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Bunga Ceplok Ungu 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama