Ceritasilat Novel Online

Pengadilan Neraka 3

Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka Bagian 3


Dayang Sepuh. Kepalanya kembali diluruskan ke arah
Pendekar 131 di depan sana yang karena belum bisa
menjabarkan ucapan Gendeng Panuntun terpaksa pusatkan tenaga dalam pada tangan kanannya siapkan
pukulan 'Sundrik Cakra'. Karena pukulan itulah yang
tadi bisa menghadang kiblatan Kembang Darah Setan
meski dia sendiri harus mengalami luka dalam. Namun
paras wajah Joko sedikit cemas, karena dia maklum
kalau telah terluka dalam dan bila kembali terjadi bentrok, mungkin akan
berakibat makin fatal.
Kecemasan Pendekar 131 tampaknya bisa ditangkap oleh pandangan Kiai Laras. Hingga orang yang sosoknya tidak kelihatan ini sunggingkan senyum. Namun saat lain tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan sudah bergerak.
Saat itulah tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat disertai terdengarnya suara orang lain. "Tahan! Jangan lakukan itu!"
Dari sumber terdengarnya suara orang serta berkelebatnya bayangan merah, jelas suara tadi mencegah
berkelebatnya si bayangan merah. Namun si bayangan
merah tidak pedulikan teriakan orang. Dia terus berkelebat ke arah sosok Jubah
Tanpa Jasad. Berjarak sepuluh langkah, si bayangan merah yang masih di atas
udara lepaskan satu pukulan dahsyat ke arah Jubah
Tanpa Jasad! "Sialan! Siapa setan yang berani mati ini"!" teriak
Dayang Sepuh. "Pitaloka!" desis murid Pendeta Sinting dapat mengenali sosok bayangan merah yang tengah berkelebat
karena dia dari arah depan. "Celaka! Apa yang akan dilakukan..."!"
Kiai Laras berpaling begitu telinganya mendengar
deruan angin dari arah samping. Dan begitu tahu apa
yang dilakukan orang, Kembang Darah Setan yang tadi
akan dikelebatkan ke arah Joko ditarik ke samping.
Sosoknya berputar setengah lingkaran. Saat lain Kembang Darah Setan dihantamkan ke arah sosok yang telah lepaskan pukulan ke arahnya!
Wuuttt! Sinar tiga warna berkiblat menghadang gelombang
yang datang. "Pitaloka! Cepat menyingkir!" teriak Joko. Namun
Pitaloka sepertinya tak pedulikan teriakan orang. Malah begitu tahu kiblatan
sinar tiga warna, Pitaloka
kembali sentakkan kedua tangannya. Hingga saat itu
juga dari kedua tangannya melesat lagi dua gelombang menyusuli gelombang pukulan
yang pertama. Terlambat bagi Joko untuk membuat gerakan. Sementara Datuk Wahing hanya bisa perdengarkan bersinan beberapa kali. Gendeng Panuntun gelengkan kepala dan bergumam pelan.
"Jalan hidup manusia sudah ditentukan. Apa pun
yang dilakukan orang tidak bisa menghalangi bila Yang Maha Pencipta sudah
menentukannya!"
Blaarr! Blaarr!
Dua ledakan keras terdengar saat gelombang beruntun dari tangan Pitaloka menghantam kiblatan sinar
tiga warna. Pitaloka perdengarkan seruan tertahan. Sosoknya
mencelat deras ke belakang. Darah sudah tampak mengucur saat sosoknya melayang.
"Pitaloka!" seru satu suara bergetar parau. Lalu satu bayangan merah berkelebat menyongsong tubuh Pitaloka yang masih melayang. Saat lain bayangan merah yang menyongsong sosok Pitaloka menyambar. Lalu melayang turun dengan membopong tubuh Pitaloka.
"Putri Kayangan...," gumam Joko mengenali siapa
sosok bayangan merah yang melayang turun membopong Pitaloka. "Mengapa kau lakukan ini, Pitaloka"! Seharusnya
kau menunggu.... Kau pun harus sadar siapa orang
yang kau hadapi!" kata bayangan merah di samping
sosok Pitaloka yang diletakkan di atas pangkuannya.
Dia adalah seorang gadis cantik jelita mengenakan pakaian warna merah dan bukan
lain adalah Putri Kayangan. Pitaloka gelengkan kepala. "Aku tak bisa menahan
diri melihat jahanam itu.... Beda Kumala.... Kalau nanti kau pulang ke lereng
Gunung Semeru, sampaikan
maafku pada Eyang.... Aku juga minta maaf padamu
karena selama ini telah membuatmu susah...," kata Pitaloka dengan suara
tersendat karena mulutnya telah
dipenuhi kucuran darah hitam.
Beda Kumala alias Putri Kayangan mendekap sosok
Pitaloka. "Pitaloka.... Jangan kau berkata yang tidak-tidak. Kita akan kembali
bersama-sama ke lereng Gunung Semeru...."
"Jangan menghiburku, Beda.... Aku tahu, ajal telah
di depan mataku.... Cuma saja aku masih menyesal....
aku tak bisa mempersatukanmu dengan Pendekar
131...." "Pitaloka.... Jangan kau pikirkan itu dahulu! Kau
telah berbuat banyak padaku! Aku akan salurkan tenaga dalam. Pejamkan matamu...." Putri Kayangan gerakkan tangan untuk membalikkan tubuh Pitaloka.
"Beda.... Percuma saja.... Biarkan aku sejenak memandangmu sebelum kita berpisah...," ujar Pitaloka
seraya tepiskan perlahan kedua tangan Putri Kayangan yang hendak balikkan tubuhnya. Matanya yang
mulai membiru dipaksa mementang besar pandangi
wajah Putri Kayangan.
Putri Kayangan balas memandang dengan mata sudah basah berkaca-kaca. Bahunya pun sudah berguncang-guncang. Lalu kedua tangannya mengambil kedua tangan Pitaloka dan digenggamnya erat-erat. Cucu Nyai Tandak Kembang ini
coba hendak buka suara.
Tapi meski mulutnya sudah terbuka, tidak ada suara
yang terdengar. Malah sesaat kemudian yang terdengar adalah deraian tangis
tatkala Putri Kayangan merasakan hawa dingin menjalari kedua tangannya yang
menggenggam kedua tangan Pitaloka.
Putri Kayangan memandang tajam pada mata Pitaloka. Mata itu memang masih terbuka. Namun tatapannya kosong. Putri Kayangan arahkan pandang matanya pada dada Pitaloka. Saat yang sama salah satu
tangannya digerakkan lepas dari genggaman tangan Pitaloka. Lalu mencekal pergelangan tangan Pitaloka. Kejap lain terdengar jeritan
tinggi! Lalu Putri Kayangan menarik tubuh pitaloka dan didekapnya erat-erat dengan tangis meledak.
Pendekar 131 menghela napas dalam. Sikap Putri
Kayangan sudah membuatnya tahu apa yang dialami
Pitaloka. Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya.
Sementara Gendeng Panuntun mendongak sambil
menghembuskan napas. Rombongan Dayang Sepuh
saling pandang namun kali ini sama kancingkan mulut. "Hem.... Bagaimana sekarang" Orang pemakai Jubah Tanpa Jasad itu masih tangguhi Benda merah
yang katanya dapat menghadapi sudah berada di tanganku. Tapi percuma juga kalau aku tak bisa menggunakannya!" gumam murid Pendeta Sinting lalu berpaling pada Gendeng Panuntun. "Mengapa dia tidak
mau mengatakan terus terang bagaimana caranya
menggunakan benda ini"!"
Joko kerjapkan mata. Saat lain dia berteriak. "Kek!
Kau masih tak mau mengatakan bagaimana caranya"!
Korban telah jatuh.... Harap jangan sembunyikan sesuatu lagi!"
"Sahabat Muda.... Kau tahu dari mana benda itu!"
Gendeng Panuntun menyahut.
"Semua orang tahu! Yang kutanyakan bagaimana
cara menggunakannya!"
"Kau tahu dari mana, mengapa kau susah-susah
bertanya! Kembalikan benda itu seperti saat kau mendapatkannya!"
Entah karena sudah banyak yang dipikir apalagi sudah melihat nasib yang menimpa Pitaloka, murid Pendeta Sinting tak mau berpikir lagi. Dia segera sambuti ucapan Gendeng Panuntun.
"Kek! Anak Pitaloka
mungkin sudah dikubur! Bagaimana aku harus mengembalikannya"!"
"Bruss! Bruss! Kau membuatku heran, Sahabat
Muda! Aku yang sudah tua begini saja kini dapat mengerti apa maksud sahabatku ini. Bagaimana kau yang
masih muda tak dapat menangkap maksudnya"!" Datuk Wahing ambil suara.
"Sudahlah, Kek! Kalau kau tahu, jangan membuatku heran dengan tidak mau mengatakannya padaku!"
kata Joko sudah habis pikir.
"Bruss! Bruss! Kau tahu dari mana benda itu kau
ambil! Sekarang letakkan benda itu di tempat seperti saat kau mengambilnya! Tapi
jangan heran.... Itu hanya dugaanku!"
"Astaga! Mengapa kau bodoh! Benar juga ucapannya!" gumam Joko setelah mendengar ucapan Datuk
Wahing. Saat lain tanpa buka mulut lagi, dia singkapkan pakaiannya! Benda merah yang diambil dari
pusar bayi Pitaloka ditempelkan pada pusarnya!
*** SEMBILAN PENDEKAR 131 rasakan hawa dingin menjalar dari
bagian pusarnya. Lalu menjalar ke seluruh tubuh. Kiai Laras mengawasi dengan
seksama. Setan Liang Makam perlahan-lahan buka kelopak matanya. Karena
semua orang tengah memperhatikan ke arah murid
Pendeta Sinting, semua orang tidak tahu kalau Setan Liang Makam juga tengah buka
matanya dan memandang ke arah Joko. Cucu Nyai Suri Agung ini memang
berusaha tidak membuat gerakan. Dia tetap terkapar
di atas tanah. Walau sudah terluka cukup parah tapi
Setan Liang Makam masih mencari kesempatan untuk
dapat merebut kembali Kembang Darah Setan.
Begitu hawa dingin di sekujur tubuhnya lenyap,
perlahan-lahan murid Pendeta Sinting kerahkan kembali tenaga dalamnya dan dipusatkan pada tangan kanan siapkan pukulan 'Sundrik Cakra'. Ini dilakukan
selain pukulan itu yang tadi bisa menghadang kiblatan sinar tiga warna dari
Kembang Darah Setan, juga untuk berjaga-jaga kalau benda merah yang kini sudah
berada di pusarnya tidak membawa pengaruh.
Kiai Laras angkat tangan kanannya yang memegang
Kembang Darah Setan. Saat lain tangan kirinya juga
diangkat. Walau dia belum tahu untuk apa benda merah yang tadi berada di tangan murid Pendeta Sinting, namun kali ini dia tidak
berani bertindak ayal. Apalagi begitu mendengar ucapan-ucapan Pendekar 131 yang
menyebut-nyebut anak. Entah karena apa, dia tibatiba teringat akan ucapan Kala Marica! Hatinya makin berdebar tatkala tahu
kemunculan Pitaloka.
"Apakah gadis itu hamil dan melahirkan"! Tapi
waktunya belum lama. Tak mungkin hal itu terjadi!"
Kiai Laras menenangkan diri. Tapi debaran dadanya
tak juga bisa ditenangkan. Malah ucapan Kala Marica
seakan terngiang kembali di telinganya!
"Ah, peduli setan! Dia telah mampus! Pitaloka sendiri tak mungkin melahirkan anak! Manusia-manusia
keparat yang ada di sini harus kuhancurkan satu persatu! Dan aku akan jadi penguasa Kampung Setan
tanpa ada yang menghalangi!"
Berpikir begitu, tiba-tiba Kiai Laras berkelebat ke
depan. Joko melihat bergeraknya Jubah Tanpa Jasad.
Dia menunggu sejenak seraya lipat gandakan seluruh
tenaga dalamnya. Begitu Kembang Darah Setan berkelebat, Pendekar 131 segera pula membentak. Saat bersamaan tangan kanannya didorong dengan jari telunjuk, jari manis, dan jari tengahnya ditegakkan. Sedangkan ibu jari dan jari kelingking ditekuk saling bertemu.
Sinar berwarna merah, hitam, dan putih berkiblat
angker. Karena kali ini Kiai Laras kelebatkan Kembang Darah Setan dengan
kerahkan tenaga dalam hampir
seluruhnya, maka kiblatan sinar tiga warna itu selain berkelebat makin cepat,
juga perdengarkan gemuruh
luar biasa dahsyat.
Melihat ganasnya kiblatan sinar, sesaat murid Pendeta Sinting jadi terkesiap dan hampir didera perasaan bingung. Namun karena tak
ada jalan lain, akhirnya
tangan kanannya segera disentakkan.
Wuuttt! Tiga larik sinar kuning mencuat dahsyat. Pendekar
131 terpana. Kalau biasanya hanya tiga sinar kuning
yang melesat kala dia lepaskan pukulan 'Sundrik Cakra', kini begitu larikan sinar kuning melesat, satu kiblatan warna merah
menyusuli dari belakang.
Bummm! Bummm! Kawasan Kampung Setan laksana dilanda gempa
luar biasa dahsyat. Puncak julangan beberapa batu
karang terbongkar semburatkan kepingan. Tanah tempat bertemunya dua pukulan muncrat sampai lima
tombak ke udara dan menebar berkeliling hingga suasana berubah pekat. Sosok Putri Kayangan yang masih
mendekap Pitaloka yang sudah tidak bernyawa lagi
mencelat mental. Namun Putri Kayangan tak hendak
lepaskan dekapannya pada sosok mayat Pitaloka hingga dia tak pedulikan lagi tubuhnya yang melayang deras hendak menghantam tanah!
Namun setengah depa lagi sosok Putri Kayangan
hendak menghujam tanah, satu bayangan putih berkelebat menyambar sosok Putri Kayangan.
"Apa yang kalian lakukan"!" satu suara terdengar.
Putri Kayangan yang masih mendekap erat sosok
mayat Pitaloka buka matanya lalu memandang pada
orang yang telah menyelamatkannya.
"Eyang...." Putri Kayangan bergumam.
Di sebelah kanan Putri Kayangan tegak seorang perempuan berwajah cantik walau usianya tidak muda
lagi. Pada rambutnya terdapat beberapa untaian bunga. Demikian pula pada sela jari kedua tangannya.


Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perempuan ini mengenakan pakaian putih sebatas dada. Dia tidak lain adalah Nyai Tandak Kembang. Nenek Pitaloka dan Putri Kayangan
sendiri. Nyai Tandak Kembang sesaat memperhatikan Putri
Kayangan. Namun begitu pandang matanya beralih pada Pitaloka kontan perempuan dari lereng Gunung
Semeru ini menghambur.
Di lain tempat, begitu terdengar gelegar dahsyat, sosok Setan Liang Makam yang
pura-pura tewas terkapar di atas tanah ikut pula tersapu ke belakang sebelum akhirnya terhenti dengan
menghantam salah satu
lamping julangan batu karang.
Karena tidak mau semua orang tahu kalau dirinya
masih hidup, Setan Liang Makam coba tahan seruannya meski sekujur tubuhnya sakit bukan alang kepalang. Malah beberapa anggota tubuhnya terdengar patah! Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun yang berada
di dekat lamping julangan batu karang sama tersurut
beberapa tindak ke belakang dan akhirnya bersandar
dengan mata sama terpejam.
Rombongan Dayang Sepuh melompat berpelantingan namun karena sudah berjaga-jaga, keempat
orang ini bisa tegak kembali berjajar.
Beberapa saat berlalu. Semua orang yang ada di situ tidak ada yang perdengarkan suara atau membuat
gerakan. Mereka sama diam dengan wajah tegang. Mata mereka coba menerobos pekatnya suasana untuk
melihat apa yang terjadi.
Dan begitu hamburan tanah dan semburatan kepingan batu luruh, semua mata sama melihat ke satu
arah. Tidak jauh dari julangan batu karang di sebelah depan sana, terlihat sosok
Pendekar 131 terkapar dengan pakaian sedikit hangus dan dibercaki warna merah darah. Sosoknya diam tak bergerak-gerak. Di seberang, tampak sosok Jubah
Tanpa Jasad tergeletak diam. Simbahan darah juga membercaki jubah hitam
peninggalan kerabat leluhur Kampung Setan itu. Kembang Darah Setan yang tadi berkelebat kiblatkan sinar tiga warna terhampar lima
langkah di sebelah sosok
Jubah Tanpa Jasad. Namun Kembang Darah Setan itu
kali ini tidak lagi pancarkan sinar seperti sediakala!
Sinar itu laksana redup!
"Dia harus segera diberi pertolongan. Terlambat sedikit, nyawanya akan putus!" Gendeng Panuntun buka
suara dengan wajah dihadapkan pada sosok Pendekar
131. Ucapan Gendeng Panuntun belum selesai, Datuk
Wahing sudah beranjak bangkit lalu berkelebat. Saat
lain orang tua yang kepalanya selalu bergerak pulang balik ke depan ke belakang
ini telah balik ke dekat
Gendeng Panuntun dengan pundak menggendong sosok Pendekar 131.
"Bruss! Brusss! Harap jangan heran kalau aku memintamu yang menolong pemuda ini!" kata Datuk
Wahing lalu meletakkan sosok murid Pendeta Sinting
di hadapan Gendeng Panuntun. Gendeng Panuntun
duduk bersila lalu membalikkan tubuh Joko. Saat bersamaan kedua tangannya mengusap cermin bulat pada depan perutnya. Lalu ditarik pulang dan diletakkan pada punggung Joko.
"Bruss! Aku akan melihat gadis-gadis itu.... Harap
tidak bertanya atau heran. Mungkin ada sesuatu yang
bisa kuperbuat!" kata Datuk Wahing lalu berkelebat ke arah Putri Kayangan dan
Nyai Tandak Kembang yang
tengah sama menangis sesenggukan.
"Hem.... Terlambat!" gumam Datuk Wahing begitu
tegak di dekat Nyai Tandak Kembang. Saat itulah satu sosok tubuh melangkah
mendekati dari belakang. Dia
adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Sepasang ma-ta-nya agak sayu.
"Apakah dia tidak bisa ditolong lagi"!" Bertanya
orang yang mendekati Datuk Wahing.
"Brusss!"
Datuk Wahing bersin namun tidak disambung dengan ucapan. Sebaliknya berpaling lalu kepalanya
menggeleng. Orang di hadapan Datuk Wahing yang ternyata adalah Kigali menghela napas panjang lalu teruskan langkah mendekati Nyai Tandak Kembang.
"Nyai.... Sudahlah.... Mungkin ini jalan hidup yang
harus dialami Pitaloka," kata Kigali.
Nyai Tandak Kembang angkat kepalanya. Memandang silih berganti pada Datuk Wahing dan Kigali. Sepasang matanya telah basah
dan bahunya masih berguncang. "Seandainya aku menyadari sejak semula apa yang
hendak dilakukan, aku tak akan mengizinkan dia pergi...," kata Nyai Tandak Kembang dengan suara tersendat. "Eyang.... Akulah yang salah. Aku tak bisa menahan Pitaloka!" Putri Kayangan angkat pula kepalanya
seraya berucap dan memandang sayu pada Nyai Tandak Kembang. "Tidak ada yang patut disalahkan dalam hal ini...,"
ujar Kigali. "Seandainya aku Pitaloka, pasti aku juga akan melakukan hal yang
sama! Pitaloka berpikir
mungkin inilah jalan yang harus dilakukan untuk
mengakhiri penderitaannya.... Sekarang dia harus segera kita bawa pergi dari sini! Terserah pada kalian.
Kalian kuburkan di dekat daerah sini atau kalian bawa serta ke lereng Gunung
Semeru...."
"Bagaimanapun juga dia adalah cucuku. Aku tak
mau jauh darinya meski dia telah tiada.... Aku akan
membawanya ke lereng Gunung Semeru." Nyai Tandak
Kembang berkata.
Selagi orang tengah berbincang-bincang dan Gendeng Panuntun berusaha memulihkan keadaan Pendekar 131, Setan Liang Makam buka kelopak matanya.
Dia sejenak edarkan pandang matanya berkeliling menyiasati keadaan. Saat lain sepasang matanya telah
tertuju pada sosok Jubah Tanpa Jasad dan Kembang
Darah Setan yang tergeletak di atas tanah.
"Aneh.... Kembang Darah Setan tidak bersinar lagi.... Ah. Itu bukan persoalan! Yang jelas inilah kesempatanku untuk
mendapatkannya kembali! Jahanam di
balik jubah hitam itu tampaknya sudah mampus!"
Setan Liang Makam kerahkan segenap sisa tenaga
luar dan dalamnya. Saat berikutnya dia bergerak bangkit. Saat lain berkelebat ke
arah Kembang Darah Setan. "Jerangkong setan itu belum mampus!" Tiba-tiba
Dayang Sepuh berteriak melihat gerakan Setan Liang
Makam. Rombongan Dayang Sepuh serta-merta sama
arahkan pandang matanya ke arah kelebatan Setan
Liang Makam. Sementara Nyai Tandak Kembang dan
Kigali serta Putri Kayangan tidak ambil peduli, dengan teriakan Dayang Sepuh.
Namun rombongan Dayang Sepuh tidak ada yang
membuat gerakan untuk menghadang Setan Liang
Makam karena mereka sadar sudah sangat terlambat
untuk lakukan hadangan. Hingga keempat orang ini
akhirnya hanya bisa diam menyaksikan.
Dua jengkal lagi tangan Setan Liang Maka dapat
menyambar Kembang Darah Setan, mendadak lengan
kedua Jubah Tanpa Jasad bergerak.
"Setan! Dia juga belum tewas!" Kembali Dayang Sepuh berseru. Wuuttt! Wuuttt!
Dua gelombang melesat dari kelebatan lengan jubah
hitam. Karena tidak menduga sama sekali, Setan Liang Makam tidak bisa berbuat
banyak. Apalagi jarak antara dirinya dengan Jubah Tanpa Jasad cuma lima langkah. Tapi Setan Liang Makam tak hendak urungkan niat.
Maklum tidak bisa menghadang gelombang yang datang, dia percepat sambaran kedua tangannya ke arah
Kembang Darah Setan.
Usaha Setan Liang Makam tidak sia-sia. Tangan
kanannya sempat memegang Kembang Darah Setan.
Namun belum sampai cucu Nyai Suri Agung ini sempat
angkat tangan kanannya, gelombang yang mencuat
dari kelebatan kedua tangan Kiai Laras sudah dating menerjang.
Setan Liang Makam berseru tertahan. Meski gelombang yang menghantam tidak begitu kuat aliran tenaga dalamnya, namun karena
Setan Liang Makam tidak bi-sa menghadang sama sekali, dan keadaannya sudah
terluka parah, membuat cucu Nyai Suri Agung ini
mencelat mental.
Dalam keadaan begitu rupa, Setan Liang Makam
masih mampu berpikir. Kalau dia tidak berhasil mendapatkan Kembang Darah Setan, orang lain pun tidak
boleh mendapatkannya juga! Maka begitu sosoknya
terpental, tangan kanannya yang memegang Kembang
Darah Setan segera disentakkan ke bawah!
Brakkk! Terdengar derakan keras. Kembang Darah Setan
yang sinarnya telah redup karena bentrok dengan pukulan yang dilancarkan Pendekar 131, pecah berantakan! Sementara sosok Setan Liang Makam terus tersapu sebelum akhirnya terguling di atas tanah dengan
perdengarkan derakan patahnya beberapa tulang! Seruan Setan Liang Makam terputus seketika. Sosoknya
mengejang sebentar sebelum akhirnya terdiam dengan
nyawa melayang!
Kiai Laras mendengus marah melihat Kembang Darah Setan berantakan pecah di atas tanah. Dia sendiri merasa heran bagaimana
senjata mustika dahsyat itu
bisa pecah berantakan.
"Jahanam!" Tiba-tiba Kiai Laras memaki. "Ini pasti
akibat pukulan yang dilancarkan pendekar keparat
itu!" Mata Kiai Laras mencari. Begitu mendapatkan
Pendekar 131 tengah telungkup di dekat Gendeng Panuntun. Kiai Laras cepat kerahkan sisa tenaga dalamnya. Dia masih percaya kalau Jubah Tanpa Jasad yang
dikenakannya masih mampu melapis tubuhnya dari
pukulan orang. Maka tanpa pikir panjang lagi dan tan-pa pikirkan keadaan dirinya
yang terluka dalam, dia segera berkelebat. Berjarak sepuluh langkah, kedua
tangannya dihantamkan pada sosok murid Pendeta
Sinting yang tengah dipulihkan Gendeng Panuntun.
"Setan! Kita harus lakukan sesuatu!" teriak Dayang
Sepuh. Kedua tangannya sudah bergerak. Namun sebelum pukulannya melesat keluar, satu benda hitam
panjang melayang ke udara. Pada bagian ujung belakang benda terlihat satu sosok tubuh mengikuti dengan tangan mengendalikan benda hitam panjang
yang ternyata adalah sebuah kerudung hitam panjang.
Sosok ini bukan lain adalah Dewi Ayu Lambada.
Seett! Setttt! Ujung depan kerudung hitam menyapu. Kiai Laras
terkesima. Namun dia teruskan hantamannya. Dewi
Ayu Lambada gerakkan bagian belakang kerudung.
Kerudung hitam meliuk ganas.
Bettt! Bettt! Ujung depan kerudung menyambar ke arah kedua
tangan Kiai Laras. Kiai Laras kembali terkesiap. Jubah Tanpa Jasad sepertinya
tidak lagi punya kekuatan untuk mementalkan pukulan orang. Hingga tanpa ampun
lagi kedua tangan Kiai Laras tersapu ke samping. Hantaman kedua tangannya tetap
menebarkan gelombang,
namun arahnya sudah jauh melenceng dari sasaran
yang dituju. Kiai Laras jadi kalap. Dia putar tubuh setengah
lingkaran menghadap datangnya kerudung hitam. Namun sebelum orang ini melakukan gerakan, ujung depan selendang telah melilit tubuhnya.
Kiai Laras mendelik. Kedua tangannya yang hendak
lakukan hantaman ditarik pulang lalu bergerak hendak lepaskan lilitan kerudung. Tapi baru saja kedua
tangannya menyentuh kerudung, Dewi Ayu Lambada
sekali lagi gerakkan tangannya yang memegang ujung
belakang kerudung.
Wuutt! Wuuutt! Kerudung hitam meliuk. Sosok Kiai Laras melayang
ke atas. Belum lagi berbuat sesuatu, Dewi Ayu Lambada tarik pulang kerudungnya.
Sosok Kiai Laras terputar di udara. Ketika Dewi Ayu
Lambada sentakkan kerudung, sosok Kiai Laras melayang deras ke bawah sebelum akhirnya menghantam
tanah dengan kepala terlebih dahulu!
Praakk! Darah tampak mengalir meski belum juga kelihatan
dari mana aliran darah itu keluar. Namun bersamaan
dengan mengalirnya darah, sosok Jubah Tanpa Jasad
diam tak bergerak lagi!
Dayang Sepuh, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk segera
berkelebat mendekati Dewi Ayu Lambada yang tegak
delapan langkah di samping Jubah Tanpa Jasad.
"Jangan-jangan setan itu belum mampus!" gumam
Dayang Sepuh. "Nah.... Ini kesempatanmu bermain-main dengan
barang nikmat itu!" kata Iblis Ompong. "Kau raba dan kau main-mainkan.... Kalau
masih sempat bergerak-gerak liar karena sentuhan tangan lembut, berarti setan
itu belum tewas! Jika dingin dan diam tak ada de-nyutan, berarti setan itu sudah
kojor!" "Mulut setan sialan! Siapa mau turuti ucapanmu!"
hardik Dayang Sepuh namun dengan bibir tersenyum
dan tangan kiri rapikan geraian poni rambutnya.
"Ah.... Kau malu-malu kucing! Cepat lakukanlah....
Kesempatan ini jangan disia-siakan! Lagi pula kita belum tahu siapa adanya sosok
di balik jubah hitam itu.
Siapa tahu ternyata dia adalah seorang pemuda gagah
dan tampan! Kau nanti akan menyesal seumur-umur
kalau sia-siakan kesempatan ini! Lihat tangan sahabat di sampingmu itu seperti
sudah tidak sabar! Daripada kedahuluan orang...!"
"Setan Ompong sialan!" Dewi Ayu Lambada membentak. "Tangan siapa yang tidak sabar"! Untuk urusan sentuh-menyentuh begitu aku sudah kenyang!"


Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hem.... Jadi kalian berdua tidak ada yang mau
membuktikan setan itu sudah mampus atau belum"!"
Iblis Ompong bertanya.
"Biar dia saja yang membuktikan! Bukankah dia belum pernah kawin"! Yang berarti pula belum pernah
bermain-main dengan benda nikmat"!"
"Bruss! Brusss! Jangan membuat heran orang dengan bergurau mempermainkan tubuh orang! Buktikan saja dengan pegang pergelangan tangannya! Tapi
jika di antara kalian ada yang ingin buktikan dengan pegang benda lainnya,
silakan saja...." Datuk Wahing perdengarkan suara.
"Dasar orang-orang gila!" rutuk Dayang Sepuh. Lalu
melompat dan dengan hati-hati dia julurkan tangan ke arah salah satu lengan
jubah. Lengan Jubah Tanpa
Jasad diangkat dengan tangan kiri. Lalu tangan kanan meraba-raba. Semua orang
melihat tangan Dayang Sepuh mengapung memegang sesuatu di udara.
Mendadak Dayang Sepuh lepaskan lengan jubah di
tangan kirinya. Saat lain dia melompat ke dekat Dewi Ayu Lambada. Dewi Ayu
Lambada, Iblis Ompong, dan
Dewa Uuk terkesiap. Ketiganya sudah siapkan pukulan melihat ketegangan mimik Dayang Sepuh. Mereka
menunggu dengan pentangkan mata. Namun setelah
agak lama Jubah Tanpa Jasad tidak juga melakukan
gerakan, Iblis Ompong buka mulut.
"Apa yang terjadi" Apa yang kau rasakan"!"
"Setan itu sudah mampus!" jawab Dayang Sepuh.
"Setan!" hampir berbarengan Dewi Ayu Lambada
dan Iblis Ompong memaki. "Kalau tahu orang sudah
mampus mengapa bertindak seolah-olah seperti setan
kalap"!" gerutu Iblis Ompong agak jengkel karena ter-tipu sikap Dayang Sepuh.
Dayang Sepuh tertawa cekikikan. Dewi Ayu Lambada pasang kembali kerudung hitam di atas kepalanya.
Hanya Dewa Uuk yang sedari tadi memandang silih
berganti pada ketiga orang di sampingnya dengan kedua tangan ditadangkan di belakang kedua telinganya.
Dia tidak mendengar apa yang diucapkan orang. Namun begitu melihat Dayang Sepuh tertawa cekikikan,
orang tua bisu dan tuli ini ikut pula perdengarkan suara tawa panjang!
*** SEPULUH "BAGAIMANA, Sahabat Muda" Ada perubahan"!"
Gendeng Panuntun ajukan tanya seraya tarik pulang
kedua tangannya dari punggung Pendekar 131.
Joko rasakan hawa panas yang sejak tadi menyelimuti sekujur tubuh dan aliran darahnya perlahan-lahan lenyap. Dadanya memang masih sesak dan berdenyut nyeri kala dibuat bernapas. Tapi sudah jauh
lebih berkurang daripada saat baru bentrok dengan
Kiai Laras. Dia buka kelopak matanya lalu bergerak
membalik dan duduk dengan takupkan kedua tangan
di depan dada. Matanya kembali dipejamkan. Beberapa
saat kemudian dia buka kembali kelopak matanya.
"Terima kasih, Kek...," kata Joko sambil menjura
hormat. "Simpan dulu ucapan itu, Sahabat Muda. Sekarang
hiburlah gadis baju merah itu. Mungkin setelah ini kalian lama tidak akan
bertemu lagi.... Ucapkan selamat jalan padanya...."
Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi dengan dada
berdebar. "Aneh ucapan kakek ini. Apa arti ucapannya"! Bikin hatiku tidak enak saja!" kata Joko dalam hati lalu berpaling ke arah
Putri Kayangan yang masih mendekap sosok mayat Pitaloka. Joko maklum kalau
yang dimaksud gadis baju merah oleh Gendeng Panuntun adalah Putri Kayangan.
"Kek.... Apa maksud ucapanmu"! Mengapa aku harus mengucapkan selamat jalan padanya"! Aku tahu di
mana dia berada.... Lereng Gunung Semeru. Kalau aku
ingin bertemu bukankah mudah saja bagiku"!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. "Kau memang
tahu di mana gadis itu bertempat tinggal. Namun tidak begitu gampang kau
menemuinya!"
Kini ganti Joko yang gelengkan kepala. "Kurasa Nyai
Tandak Kembang mau mengerti, Keki Dia tak mungkin
menghalangiku untuk bertemu dengan Putri Kayangan!" "Benar! Tapi halangan itu bukan datang dari Nyai
Tandak Kembang. Tapi jarak tempat yang kelak akan
memisahkan kalian berdua!"
"Kek.... Sementara ini aku memang akan pergi. Tapi
tidak jauh. Aku akan mencari Eyang Guru di Jurang
Tlatah Perak. Kurasa jarak antara Jurang Tlatah Perak dan lereng Gunung Semeru
tidak begitu jauh...."
"Itu rencanamu, Sahabat Muda. Tapi kalau Yang
Maha Pembuat Rencana sudah menuliskan rencana
lain, kau tak dapat mengubahnya!"
"Apa maksudmu, Kek"!"
"Aku tak bisa menerangkan lebih jauh. Aku tak
mau mendahului Sang Maha Pembuat Rencana. Aku
hanya bisa mengatakan isyarat! Sebenarnya aku tidak
tega mengatakannya padamu, karena aku tahu bagaimana perasaanmu pada gadis baju merah itu. Namun
terpaksa harus kukatakan agar kau siap sebelum semuanya terjadi.... Dengan begitu, dalam perjalananmu nanti kau tidak diganggu
pikiran yang bukan-bukan!
Kerinduan pada seorang gadis kadangkala membuat
perjalanan tidak mulus dan kau akan melupakan pelajaran yang mungkin nanti akan kau dapatkan dalam
perjalananmu!"
"Aneh.... Dia terus mengatakan aku akan pergi
jauh.... Ke mana"!" gumam Pendekar 131 dalam hati.
"Sudahlah, Sahabat Muda! Waktumu tidak banyak
untuk memikirkan apa yang kelak akan kau lakukan.
Biarlah nanti semua berjalan seperti kehendak dan
rencana-Nya!"
Walau dengan dada dibuncah berbagai pertanyaan
dan dugaan, Joko beranjak juga lalu melangkah ke
arah Putri Kayangan setelah memperhatikan ke arah
sosok Setan Liang Makam dan Jubah Tanpa Jasad.
"Brussl Brusss! Aku heran melihat tampangmu. Ada
yang hendak kau katakan"!" Datuk Wahing sudah
angkat bicara begitu Joko tegak di sampingnya.
"Kek!" bisik Joko pelan. "Kakek Gendeng Panuntun
pernah mengatakan padamu ke mana sebenarnya aku
akan pergi setelah ini"!"
"Bruss! Kau membuatku heran! Bagaimana kau
bertanya hal itu padaku"! Telingaku yang salah dengar atau ucapanmu yang salah
tempat"!"
Belum sampai Joko berucap lagi, dari arah samping
sudah terdengar Nyai Tandak Kembang berkata. "Beda
Kumala.... Kita tinggalkan tempat ini...."
"Biar aku yang membawanya!" Kigali menyahut seraya mendekati Putri Kayangan lalu mengambil sosok
mayat Pitaloka dari dekapan Putri Kayangan.
Putri Kayangan beranjak bangkit lalu hendak melangkah ke arah Nyai Tandak Kembang. Tapi gerakan
kakinya tertahan tatkala dilihatnya murid Pendeta Sinting berada di situ. Sesaat
dia pandangi paras wajah Joko lalu alihkan pandang matanya ke tempat lain.
Nyai Tandak Kembang melirik namun tidak buka suara. "Nyai.... Aku akan bicara sebentar dengan Putri Kayangan!"
Nyai Tandak Kembang tetap kancingkan mulut tidak menyahut. Perempuan dari lereng Gunung Semeru
ini memandang pada Putri Kayangan. Putri Kayangan
rasakan dadanya berdebar keras. Dia menunggu suara
sahutan dari eyangnya. Namun setelah ditunggu agak
lama tidak juga ada suara sahutan, Putri Kayangan
berpaling pada Nyai Tandak Kembang.
"Kalau memang ingin bicara, bicaralah, Anak Muda!
Kami tidak punya waktu banyak!" Nyai Tandak Kembang angkat suara.
Murid Pendeta Sinting tersenyum lega. Lalu melangkah mendekati Putri Kayangan yang juga tersenyum namun malu-malu.
"Bicara dari tempatmu saja, Anak Muda!" Nyai Tandak Kembang kembali angkat bicara membuat langkah
kaki Joko tertahan.
"Ah.... Bagaimana aku harus mengatakannya kalau
di depan orang banyak begini"! Sebenarnya aku akan
menjelaskan persoalan Saraswati.... Tapi rasanya tak enak kalau mengatakannya di
sini! Hem...." Pendekar
131 membatin. Entah karena tak tahu apa yang harus dikatakan,
akhirnya Joko buka mulut.
"Putri.... Aku minta maaf karena peristiwa beberapa
saat yang lalu. Aku juga minta maaf karena tak bisa
menyelamatkan Pitaloka...."
Putri Kayangan gelengkan kepala dengan tatapan
sayu. Dia teringat akan peristiwa di dekat Bukit Kalingga. Dadanya sesak. Terbayang kembali di pelupuk
matanya bagaimana Pendekar 131 tengah berpelukan
dan jalan berangkulan dengan Saraswati.
"Hanya itu yang hendak kau bicarakan"!" Nyai Tandak Kembang membuyarkan lamunan Putri Kayangan.
Joko gelagapan. Belum sempat dia berkata, Nyai
Tandak Kembang sudah mendekati Putri Kayangan
dan berkata. "Kita harus segera kembali, Beda...." Nyai Tandak
Kembang sudah bergerak bersamaan dengan selesainya ucapan. Kigali anggukkan kepala pada Putri Kayangan dan
Pendekar 131, lalu mendekati Datuk Wahing dan berbisik. "Galaga.... Mudah-mudahan kita nanti bisa bertemu
lagi. Banyak hal sebenarnya yang ingin kubicarakan
denganmu. Tapi aku harus mengantarkan Nyai Tandak
Kembang dan Pitaloka ke lereng Gunung Semeru...."
"Bruss! Brusss! Aku tak heran dengan ucapanmu.
Waktu kita masih banyak! Kalau ada kesempatan, aku
akan mengunjungimu ke lereng Gunung Semeru! Pesanku.... Jika sahabat muda ini nanti datang ke lereng Gunung Semeru, jaga dia
baik-baik. Awasi semua gerak-geriknya! Jangan beri dia kesempatan untuk berdua-duaan tanpa penjaga dengan gadis baju merah
itu!" Joko dan Putri Kayangan sama berubah paras. Kigali tersenyum lalu melangkah menyusul Nyai Tandak
Kembang yang tegak menunggu di depan sana.
"Putri.... Setelah dari sini nanti, aku akan menemui eyang guruku. Setelah itu
aku akan menyusulmu ke
lereng Gunung Semeru. Aku ingin membicarakan urusan kejadian beberapa saat yang lalu...."
"Rasanya tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Pendekar 131! Lihat.... Mereka berdua telah menunggu!
Mungkin kau harus bicara dulu dengan mereka!" selesai berkata, Putri Kayangan arahkan pandang matanya ke salah satu julangan batu karang.
Joko dan Datuk Wahing ikuti arah pandangan Putri
Kayangan. Datuk Wahing perdengarkan bersinan beberapa kali. Sementara murid Pendeta Sinting mendelik tak berkesip.
Di depan sana, di salah satu julangan batu karang,
tampak tegak dua orang gadis. Mereka berdiri berjarak lima belas langkah dan
sama arahkan pandangannya
pada Pendekar 131.
"Saraswati.... Dewi Seribu Bunga!" gumam murid
Pendeta Sinting mengenali siapa adanya kedua gadis
yang tegak di depan sana.
"Putri.... Tunggu!" tahan Joko begitu matanya menangkap gerakan Putri Kayangan yang sudah melangkah menyusul Kigali. Namun Putri Kayangan seakan
tidak mendengarkan ucapan orang. Malah dia mempercepat langkah!
"Brusss! Brusss! Jangan berbuat mengherankan,
Anak Muda! Ucapannya benar. Kau harus bicara dahulu dengan kedua gadis cantik di depan sana itu! Perasaan cemburu seorang
perempuan tidak bisa begitu
saja kau lenyapkan dengan ucapan! Kau harus berbuat sesuatu untuk meyakinkannya meski rasanya
kau sulit untuk melakukannya! Karena kau juga tertarik dengan kedua gadis cantik yang menunggu itu!"
Datuk Wahing berkata seraya mencekal lengan murid
Pendeta Sinting yang sesaat tadi hendak mengejar Putri Kayangan. Pendekar 131 angkat bahu lalu melangkah ke arah
dua orang gadis di depan sana yang ternyata bukan
lain adalah Saraswati dan Dewi Seribu Bunga.
Namun baru saja mendapat tiga langkah, mendadak
Dewi Seribu Bunga sudah putar diri. Tanpa berkata
apa-apa gadis cantik murid Dewi Es ini berkelebat.
"Dewi! Tunggu!" teriak murid Pendeta Sinting. Namun seperti halnya Putri Kayangan, Dewi Seribu Bunga tidak pedulikan teriakan orang. Dia malah mempercepat kelebatannya sebelum akhirnya lenyap di depan sana. Joko urungkan niat mengejar karena tidak enak sama Saraswati yang masih tegak memperhatikan. Murid
Pendeta Sinting alihkan pandangannya pada Saraswati. Dia sudah buka mulut. Tapi sebelum suaranya terdengar, tiba-tiba Saraswati balikkan tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu.
"Saraswati...!" Pendekar 131 berteriak memanggil.
Tapi Saraswati terus berkelebat dan menghilang.
Terdengar riuh rendah suara tawa. Lalu diseling suara. "Makanya.... Jadi pemuda jangan terlalu banyak
membagi hati! Akhirnya kau tak mendapatkan satu
pun!" Yang angkat suara ternyata iblis Ompong.
"Dasar gadis-gadis setan tolol! Pemuda setan begitu
rupa masih juga diharap. Seharusnya mereka bikin
perhitungan agar dia tidak berani lagi bertindak macam-macam!" Dayang Sepuh menyahut.
"Aku menyesal sekarang! Tahu kalau setan itu
punya banyak gadis, tentu aku tak mau susah-susah
sampai ke sini!" Dewi Ayu Lambada ikut angkat bicara.


Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah.... Itu urusan dia sendiri! Kalau sudah
tahu begini akibatnya pasti dia nanti akan berpikir la-gi! Sekarang masih ada
yang harus kita lakukan! Kurasa Jubah Tanpa Jasad itu masih dikenakan orang!
Bukankah selama ini kita hanya bisa menduga-duga
siapa adanya orang di balik jubah itu"!" Gendeng Panuntun berkata.
Semua orang di tempat itu serentak sama alihkan
pandang mata masing-masing pada sosok Jubah Tanpa Jasad yang tergeletak di atas tanah. Hampir bersamaan mereka semua
berlompatan mendekati Jubah
Tanpa Jasad. Hanya Gendeng Panuntun yang tetap tegak di tempatnya dengan kepala sedikit ditengadahkan. *** SEBELAS BIAR aku yang membuka jubah setan itu!" Dayang
Sepuh sudah berkata begitu injakkan kaki di dekat sosok Jubah Tanpa Jasad.
"Hem.... Begitu gadis-gadis cantik sudah sama pergi, kau tampaknya tidak malu-malu lagi!" Iblis Ompong berujar.
Dayang Sepuh berpaling dengan mata mendelik.
"Setan sialan! Mengapa harus malu-malu kalau hanya
membuka jubah setan ini"!"
Mendadak Iblis Ompong tertawa bergerai. Lalu dekatkan kepalanya pada telinga Datuk Wahing dan berbisik pelan. "Dia tidak tahu...."
Datuk Wahing kerutkan dahi namun dia anggukkan
kepala. Lalu perdengarkan bersinan tiga kali dan berucap.
"Aku jadi heran. Apa benar..."!"
Iblis Ompong sentakkan kepalanya ke arah telinga
Dewa Uuk yang tegak di sebelah kirinya. Lalu berteriak keras-keras.
"Kau dengar"! Teman kita itu berani-beraninya mau
membuka jubah sakti! Ha.... Ha.... Ha...!"
Dewa Uuk tadangkan tangan di belakang daun telinganya. Lalu buka suara.
"Uuukk! Uuukkk! Uuukkk!" Tangan satunya tampak digerakkan ke samping bolak-balik memberi isyarat agar Dayang Sepuh tidak melakukan niatnya.
"Setan! Apa yang kalian bicarakan"! Mengapa kalian
tidak senang kalau aku buka jubah setan itu"!"
"Ah.... Kau salah sangka! Justru aku dan temanteman akan sangat senang mendengar kau tawarkan
diri untuk membuka jubah itu! Mungkin inilah pengalaman pertamamu.... Hik.... Hik.... Hi...! Silakan saja buka! Tapi tunggu
dahulu! Aku dan teman-teman akan
berpaling agar kau nanti sedikit lama bisa menikmatinya!" Habis berkata begitu, Iblis Ompong balikkan tubuh
setelah memberi isyarat pada Datuk Wahing dan Dewa
Uuk. Iblis Ompong juga kedipkan matanya pada Pendekar 131. Murid Pendeta Sinting sesaat tak tahu apa maksud isyarat Iblis
Ompong. Namun begitu Datuk
Wahing dan dewa Uuk balikkan tubuh, Joko ikutikutan pula putar diri.
Kini tinggal Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada
yang tegak menghadap Jubah Tanpa Jasad. Kedua nenek ini saling pandang sejenak. Namun jelas paras wajah Dayang Sepuh
membayangkan kebimbangan.
"Setan! Ada apa sebenarnya dengan jubah ini,
hah"!" Dayang Sepuh membentak.
"Kau pura-pura tanya atau memang tidak tahu"!"
Iblis Ompong balik bertanya.
Pendekar 131 yang tegak di depan Iblis Ompong
berpaling ke arah orang tua tak bergigi itu dan berbisik. "Kek.... Sebenarnya
ada apa"!"
Iblis Ompong dorongkan tangannya pada dagu murid Pendeta Sinting hingga kepala Joko kembali lurus ke depan. Iblis Ompong
berbisik. "Biasanya.... Kalau orang mengenakan jubah sakti,
maka dia tidak boleh mengenakan rangkapan pakaian
lagi!" "Jadi di balik jubah itu dia bugil"!" tanya Joko.
"Benar! Di balik itu dia pasti bugil! Dayang Sepuh
itu pasti hanya berpura-pura tidak tahu persoalan. Sebenarnya dia ingin lihat
sesuatu! Kau tahu bukan"
Nenek setan itu belum pernah kawin hingga jadi nenek-nenek begitu!"
Joko angguk-anggukkan kepala dengan coba menahan tawa. Namun karena tak kuasa menahan tawa,
bahunya tampak berguncang-guncang. Saat lain mulutnya perdengarkan tawa perlahan-lahan.
Dayang Sepuh melompat ke depan Pendekar 131.
Tangan kanannya diangkat. Lalu perdengarkan bentakan garang. "Apa yang kau tertawakan"! Lekas jawab atau mulutmu akan mendapat tamparan!"
Joko bukannya putuskan tawa tertahannya. Sebaliknya suara tawanya meledak seketika.
"Setan!" maki Dayang Sepuh. Tangan kanannya bergerak. "Tunggu, Nek!" tahan Joko seraya putuskan golakan
tawanya. Dayang Sepuh tahan gerakan tangan kanannya dua jengkal di depan wajah murid Pendeta Sinting.
"Aku tak akan bertanya lagi! Lekas buka mulut!"
"Kau benar mau membuka jubah hitam itu"!" tanya
Joko. "Kau tadi sudah dengar ucapanku!"
"Kau memang tidak tahu persoalannya"!"
"Kalau kau balik bertanya, tanganku akan menampar mukamu!"
"Menurut apa yang kuketahui, biasanya kalau seseorang mengenakan jubah sakti, maka orang itu tidak mengenakan apa-apa lagi!
Entah benar atau tidak apa
yang kudengar itu, aku sendiri tak pernah membuktikan! Tapi kalau kau ingin membuktikan, semua orang
di sini tentu akan merasa maklum...."
Dayang Sepuh kerutkan kening. Lalu melompat
mendekati Dewi Ayu Lambada dan berkata pelan. "Kau
pernah dengar urusan begitu itu"!"
"Baru kali ini aku mendengarnya! Tapi lebih baik
kau buktikan sendiri! Siapa tahu dia adalah pemuda
tampan! Kalau kau malu juga padaku, aku akan berbalik seperti mereka!"
"Setan! Aku ini kau anggap apa, hah"!"
"Bagaimana, Nek"! Sudah kau buka"!" Iblis Ompong
ajukan tanya tatkala suara Dayang Sepuh tidak terdengar lagi. "Aku bukan perempuan setan yang ingin lihat barang-barang menjijikkan begitu rupa!"
"Jadi kau batalkan niatmu"!" tanya Iblis Ompong
sambil putar tubuh. Datuk Wahing, Dewa Uuk, dan
Pendekar 131 ikut-ikutan balikkan tubuh.
Dayang Sepuh memberengut tanpa menyahut, iblis
Ompong berpaling pada Joko.
"Anak muda! Kulihat pakaianmu sudah tak pantas
lagi dikenakan! Lebih baik kau yang melepasnya dan
mengenakan jubah hitam itu!"
Tapi, Kek...."
"Sudahlah! Lepas saja jubah hitam itu! Kalau nenek-nenek ini masih pentang mata di sini, itu urusan mereka!"
Perlahan Joko melangkah mendekati sosok Jubah
Tanpa Jasad. Lalu jongkok sembari angkat kepalanya
memandang silih berganti pada Dayang Sepuh dan
Dewi Ayu Lambada.
Pendekar 131 tersenyum. Kedua tangannya menjulur ke arah kancing-kancing Jubah Tanpa Jasad. Karena takut kebenaran ucapan orang, Dewi Ayu Lambada segera balikkan tubuh dengan cekikikan. Dayang
Sepuh mendengus. Lalu ikut putar diri.
Pendekar 131 cepat melepas kancing-kancing pada
Jubah Tanpa Jasad. Dia bisa merasakan sosok tubuh
seseorang meski sosok itu belum bisa dilihatnya.
Begitu Jubah Tanpa Jasad lepas dari sosok orang,
maka murid Pendeta Sinting, Dewa Uuk, dan Iblis Ompong sama pentangkan mata. Datuk Wahing bersinbersin beberapa kali.
"Rupanya memang dia!" gumam Joko. Kini begitu
Jubah Tanpa Jasad lepas, semua orang bisa melihat
sosok orang yang tadi mengenakan jubah. Dia adalah
seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih. Pakaian yang dikenakan
hangus. Pada mulutnya terlihat
darah agak mengering. Karena Joko pernah bertemu
Kiai Laras, maka dia segera bisa mengenali sosok di
hadapannya yang tadi mengenakan Jubah Tanpa Jasad, la bukan lain memang Kiai Laras.
"Kenakan jubah itu!" Iblis Ompong angkat suara.
Joko bergerak bangkit dengan tangan kanan memegang Jubah Tanpa Jasad. Dia tampak ragu-ragu. Saat
itulah Gendeng Panuntun berkata dari tempatnya tegak. "Kenakan saja.... Mungkin jubah itu sekarang sudah lenyap kesaktiannya! Kalau tidak, mana mungkin
dia bisa terhantam pukulan sahabat Setan Liang Makam"!"
Meski masih ragu-ragu, akhirnya Joko mengenakan
juga jubah hitam di tangannya. Ucapan Gendeng Panuntun ternyata benar. Walau kini murid Pendeta
Sinting telah mengenakan Jubah Tanpa Jasad, namun
sosoknya masih terlihat.
"Aneh.... Bagaimana ini" Kalau benar-benar kesaktiannya sudah hilang, tentu Kiai Laras sudah bisa terlihat wujudnya meski jubah
ini belum kulepas!" Joko
membatin. Dia sebenarnya hendak mengutarakan apa
yang ada dalam benaknya. Namun belum sampai dia
berucap, Gendeng Panuntun sudah angkat bicara.
"Kau jangan lupa.... Di tubuhmu sekarang ada benda merah yang bisa menghadang kedahsyatan jubah
serta Kembang Darah Setan!"
Mendengar ucapan Gendeng Panuntun, Joko teringat akan benda merah yang diletakkan pada pusarnya. Dia cepat selinapkan tangan kanannya. Namun
dia tersentak. Dia tak merasakan benda itu berada lagi di pusarnya. Dia segera
singkapkan pakaiannya. Benda merah yang beberapa hari lalu diambilnya dari pusar bayi Pitaloka memang sudah lenyap dari pusarnya.
Karena masih khawatir benda itu jatuh tanpa disadari, murid Pendeta Sinting
merogohkan tangannya ke bawah.
"Masih ada"!" tanya Iblis Ompong.
"Tidak ada, Kek! Lenyap!" jawab Joko.
"Yang benar! Dari sini aku masih melihat tonjolannya! Coba sedikit ke bawah lagi!"
Tangan Joko terus bergerak ke bawah. "Benar, Kek!
Tidak ada!"
"Celaka! Kau akan menyesal seumur-umur kalau
ucapanmu benar!"
"Benar, Kek! Aku tidak berdusta! Aku tidak bisa menemukannya lagi!" kata Joko.
"Setan, apamu yang lenyap"!" tanya Dayang Sepuh
tanpa berani berpaling karena khawatir orang yang ta-di mengenakan Jubah Tanpa
Jasad benar-benar bugil.
"Aku dengar tonjol-tonjolan. Tonjolan apamu yang
hilang"!" Dewi Ayu Lambada menyahut.
"Bendanya lenyap! Padahal benda itu sangat berarti
bagi seorang laki-laki!"
"Aduh.... Kasihan! Bagaimana bisa terjadi begitu"!"
ujar Dayang Sepuh.
"Aku tak tahu pasti bagaimana bisa terjadi begitu!
Yang jelas menurut dia bendanya lenyap tak berbekas!" kata Iblis Omong. "Tapi mataku tidak buta! Aku masih bisa melihat
tonjolannya!"
"Aku jadi ingin melihatnya!" kata Dayang Sepuh.
"Apa mayat setan yang tadi mengenakan jubah itu sudah....!" "Ternyata dia tidak bugil, Nek!" Joko sudah menyahut sebelum Dayang Sepuh meneruskan ucapannya.
"Dasar kalian setan semua!" kata Dayang Sepuh lalu perlahan-lahan membalik. Entah karena masih khawatir ditipu orang, nenek berambut poni ini tutupi wajahnya dengan kedua telapak
tangan. Anehnya jari-jari tangannya dibuka lebar-lebar!
Sementara Dewi Ayu Lambada juga terdengar mengomel. Lalu putar diri. Sama seperti halnya Dayang
Sepuh, karena khawatir ditipu orang, nenek ini tutupi wajahnya dengan kerudung
hitamnya! Begitu melihat sosok yang terhampar di atas tanah
masih mengenakan pakaian, Dayang Sepuh segera turunkan telapak tangannya. Dewi Ayu Lambada sentakkan kerudung hitamnya. Lalu kedua nenek ini pentangkan mata memperhatikan sosok mayat di bawah.
"Setan Laras!" desis Dayang Sepuh mengenali
orang. "Namanya Kiai Laras, Nek! Bukan Setan Laras!" ujar
Pendekar 131. Dayang Sepuh angkat kepalanya ke samping menghadap murid Pendeta Sinting. Bukan memandang pada raut wajahnya, melainkan pada bagian bawah Joko.
Saat itu tangan Joko masih masuk ke balik pakaiannya dan meraba-raba mencari benda merah. Dewi Ayu
Lambada ikut-ikutan perhatikan bagian bawah tubuh
Joko. "Ah.... Setan itu menipu kita!" kata Dayang Sepuh.
"Aku masih melihat bendanya!"
"Betul! Aku juga masih bisa merasakan!" Dewi Ayu
Lambada menyahut.
"Hem.... Jadi mataku memang tidak menipu!" Iblis
Ompong menimpali.
"Kalian ada-ada saja! Aku mengatakan terus terang! Banda itu lenyap!"
"Yang kau raba-raba itu apa kalau lenyap"!" bentak
Dayang Sepuh. "Ini benda sakti, Nek! Maksudku.... Yang lenyap itu


Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benda merah yang kuambil dari anaknya Pitaloka!"
"Setan! Mengapa kau tidak dari tadi mengatakan
kalau yang lenyap itu benda merah! Kukira yang lenyap benda saktimu!" ujar Dayang Sepuh lalu tertawa
cekikikan. "Ah.... Kau juga bikin aku ikut deg-degan saja! Kukira yang hilang tak berbekas adalah tonjolan benda
mu itu!" Dewi Ayu Lambada mengomel lalu ikut tertawa. Pendekar 131 cepat tarik pulang tangannya keluar.
Paras wajahnya berubah merah padam. Apalagi tatkala
melihat Dewi Ayu Lambada dan Dayang Sepuh tertawa
seraya terus memperhatikan bagian bawah tubuhnya!
"Sahabat Muda...." Mendadak Gendeng Panuntun
angkat suara. "Panggilanmu kurasa sudah dekat! Kau
harus segera angkat kaki dari sini!" Sambil berucap
begitu, Gendeng Panuntun berkelebat lalu tegak tidak jauh dari murid Pendeta
Sinting. "Panggilan apa, Kek"!"
"Aku tak tahu. Aku hanya dapat merasakan! Pergilah kau ke Pesisir Laut Utara. Mungkin di sana nanti kau akan mendapat
jawabannya!"
"Tapi, Kek. Aku ingin bertemu dahulu dengan Eyang Guru!"
"Jangan sia-siakan panggilan, Sahabat Muda! Aku
nanti bisa memberi keterangan pada gurumu! Hanya
saja.... Untuk kali ini kau harus berjuang sendirian!
Selamat jalan!"
"Kek! Aku tak mengerti maksudmu!"
"Kau tak akan mengerti sebelum kau sampai Pesisir
Laut Utara! Berangkatlah sekarang juga!"
"Hem.... Ucapannya belum kumengerti benar! Namun aku bisa menebak! Pasti ada sesuatu yang harus
kuselesaikan! Ah.... Terpaksa keinginanku menemui
Putri Kayangan di lereng Gunung Semeru harus tertunda...," kata Joko dalam hati. Lalu anggukkan kepala pada semua orang di tempat itu.
"Terima kasih atas bantuan kalian selama ini. Sekarang aku harus pergi...."
Pendekar 131 balikkan tubuh. Lalu melangkah meninggalkan kawasan Kampung Setan. Begitu hendak
berkelebat di depan sana, Joko sempat berpaling ke
belakang. Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada tampak lambaikan tangannya. Bahkan karena terhalang sosok Iblis Ompong dan Datuk Wahing, kedua nenek ini berjingkat agar supaya lambaian tangannya terlihat oleh Pendekar 131. Pendekar 131
Joko Sableng membalas
lambaian tangan Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada. Lalu putar diri dan berkelebat.
"Ayo kita pulang!" kata Dewi Ayu Lambada seraya
menarik lengan Dewa Uuk yang juga adalah adik kandungnya. "Selamat jalan, Sahabat.... Mudah-mudahan kita
nanti bisa bertemu lagi!" kata Gendeng Panuntun.
"Aku tak berharap bisa bertemu lagi! Urusan dengan kalian bisa membuat kepalaku pusing!" timpal
Dewi Ayu Lambada lalu melangkah sambil terus menggandeng lengan adiknya.
"Uuuukkk! Uuuukkk! Uuukkk!" Dewa Uuk buka
mulut sambil lambaikan tangannya pada Dayang Sepuh dan Iblis Ompong. Lalu letakkan jari telunjuknya menyilang di depan
keningnya. Saat lain menunjuk
pada Dewi Ayu Lambada.
"Dari dulu aku sudah tahu kalau kakakmu itu setengah sinting!" Dayang Sepuh bergumam. Lalu berkelebat. Disusul kemudian oleh Iblis Ompong, Datuk
Wahing, dan Gendeng Panuntun.
Di lain tempat, Pendekar 131 terus berkelebat seraya menduga-duga. Namun sejauh ini dia tidak bisa
menduga dengan tepat apa yang hendak ditemuinya.
Hal ini membuat dia penasaran dan makin mempercepat larinya. Setelah melakukan perjalanan dua hari tiga malam,
akhirnya Pendekar 131 memasuki kawasan Laut Utara. Karena saat itu matahari tepat berada di puncaknya, murid Pendeta Sinting
mencari tempat berlindung di gugusan batu karang. Namun setelah lama menunggu,
dia tidak juga melihat siapa-siapa.
"Hem.... Apa maksud Kakek Gendeng Panuntun
memerintahkan aku datang ke sini" Melihat gulungan
ombak"! Atau dia sengaja agar aku pergi terlebih dahu-lu karena mereka hendak
membicarakan sesuatu"!
Akan kutunggu sampai hari hampir gelap. Jika tidak
ada apa-apa, aku akan menuju Jurang Tlatah Perak....
Lalu mengunjungi Putri Kayangan di lereng Gunung
Semeru!" Tanpa terasa saat itu juga muncul bayangan
Putri Kayangan.
Namun samar-samar bayangan Putri Kayangan lenyap. Di matanya kini terlihat sebuah perahu terayun-ayun gulungan ombak ke arah
pesisir. Joko gelengkan
kepala lalu kucek-kucek matanya dengan punggung
tangan. "Ini bukan bayangan! Ini nyata! Aku melihat perahu
terayun-ayun ombak!"
Pendekar 131 Joko Sableng bergerak bangkit. Matanya dipentang besar-besar perhatikan perahu yang terus bergerak-gerak timbul tenggelam dibuncah gulungan tombak. Murid Pendeta Sinting kernyitkan kening
dengan mata makin dibeliakkan. Perahu itu tiba-tiba
meluncur deras menuju pesisir seakan dikemudikan
seseorang. Padahal Joko jelas tidak melihat siapasiapa di atas perahu!
SELESAI Segera menyusul:
WASIAT AGUNG DARI TIBET
Scanned by Clickers
Edited by Adnan Sutekad
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 13 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya 5

Cari Blog Ini