Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman Bagian 1
1 SUARA kokok ayam dari desa nelayan terdengar sampai di pesanggrahan Pantai Rangsang. Kokok
ayam itu bukan sekadar ayam iseng berkokok, tapi karena sang ayam ingin menyapa salam kepada munculnya mentari di awal fajar.
Penguasa Pantai Rangsang yang dikenal dengan
nama Ratu Sedap Malam, terbangun di awal fajar, karena suara gaduh yang terjadi di pesanggrahannya.
Pesanggrahan itu bagaikan sebuah istana kecil yang
mempunyai bangunan-bangunan bagai suatu perkampungan. Ruang lingkupnya yang sempit, membuat kegaduhan mudah terdengar sampai ke dalam ruang tidur sang Ratu. Seorang pengawal dipanggil agar mendekati
sang Ratu yang menongolkan kepala dari balik pintu.
Tentu saja si gadis yang bertugas sebagai pengawal
pribadi Ratu Sedap Malam itu segera bergegas menemui atasannya. "Muryana, kegaduhan apa yang terjadi sepagi
ini"!" Muryana, si pengawal pribadi, menjawab dengan suara tegas.
"Bintari bunuh diri, Gusti!" "Bintari..."!" sang Ratu terperanjat.
"Benar. Dia bunuh diri di dalam kamar tempat
ia di penjara, Gusti Ratu!"
Sang Ratu yang cantik dan bertubuh seksi bergegas kenakan jubah jingganya, kemudian memeriksa
ke kamar tempat Bintari dipenjara. Ternyata apa yang
di katakan Muryana memang benar. Bintari bunuh diri
dengan membenturkan kepalanya sekeras-kerasnya
pada dinding kamar. Tak perlu diceritakan bagaimana
bentuk kepala yang remuk itu, jelasnya, Bintari akhirnya tewas sebelum sempat sampaikan sesuatu kepada
sang Ratu. "Guss... ti... ad... ada...," lalu nyawanya pun amblas tak berbekas.
Bintari adalah seorang mata-mata yang bekerja
untuk Raja Amuk Jagal. Tokoh aliran hitam yang tersingkir ke Pulau Kucil itu bermaksud menyingkirkan
Ratu Sedap Malam untuk kuasai wilayah Pantai Rangsang. Bintari tertangkap dan diketahui sebagai matamata Raja Amuk Jagal ketika utusan Raja Amuk Jagal
yang bertugas membuat kacau suasana Pantai Rangsang itu tertangkap. Si Dewa Pancung, yang telah berhasil memenggal beberapa kepala anak buah Ratu Sedap Malam, dan kepala mereka dipajang di sepanjang
Pantai Rangsang, telah memberi tahukan secara tak
langsung bahwa Bintari adalah mata-mata untuk pihak Raja Amuk Jagal. Akhirnya, Bintari ditangkap untuk dipidana alias dihukum, namun bukan hukuman
mati. Sedangkan si Dewa Pancung sendiri tewas di
tangan kepala Suku Ampar, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Geger Pantai Rangsang").
Tetapi sebelum sang Ratu memutuskan masa
hukuman bagi Bintari, rupanya gadis itu tak mau dikorek keterangannya tentang kekuatan pihak Raja
Amuk Jagal, atau karena alasan tak kuat menahan rasa malu terhadap pihak Ratu Sedap Malam, maka ia
lakukan mati cepat alias bunuh diri. Dengan begitu,
pihak Ratu Sedap Malam tak bisa mendapatkan keterangan yang di butuhkan tentang Raja Amuk Jagal.
Pada saat Itu, para tamu sang Ratu masih berada di pesanggrahan. Para tamu itu antara lain: Nyai
Sangkal Putung, Si Lahar Jalanan alias Ki Sela Giri,
juga seorang gadis murid si Mulut Guntur yang bernama Kirana, dan Pendekar Kembar sulung yang dikenal dengan nama Raka Pura. Para tamu itu juga terkejut mendengar kabar Bintari lakukan bunuh diri.
Tetapi ketika Raka Pura memeriksa keadaan
mayat Bintari, ia menjadi tertegun dan mempunyai renungan sendiri. Batinnya berkecamuk dalam kebisuan
mulutnya. Pemuda tampan itu segera menyendiri, walau bukan berarti jauh dari mereka yang berkumpul di
bangsal paseban. Sesekali memang si pemuda tampan
itu menanggapi pembicaraan siapa saja, termasuk ungkapan rasa penyesalan Kirana terhadap tindakan
yang dilakukan oleh Bintari. Tapi pemuda berbaju
buntung warna putih seperti warna celananya itu ungkapan rasa sendiri yang belum berani dibeberkan di
depan siapa saja.
"Mengapa kau tampak murung sekali, Raka"
Kau merasa kehilangan pujaan hati?" pancing Kirana yang sebenarnya sudah tahu,
tak mungkin Raka Pura
merasa kehilangan seorang kekasih atas kematian Bintari. Gadis itu tahu, bahwa hati Raka Pura lebih terpikat padanya ketimbang
kepada Bintari. Sebab hubungannya selama ini berjalan dengan baik-baik saja.
Bahkan Raka sesekali menampakkan kemesraannya
yang melambungkan jiwa Kirana.
"Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku setelah
kulihat mayat Bintari."
Kirana berkerut dahi. "Apa maksudmu?"
"Ada yang janggal dari kematian itu."
"Maksudmu, kepala Bintari hancur adalah suatu kejanggalan" Ah, kau ini terlalu berlebihan jika
memikirkan sesuatu, Raka. Bintari tak punya cara lain
untuk bunuh diri kecuali dengan cara membenturkan
kepalanya ke dinding."
"Kurasa dia bukan bunuh diri. Tapi ada seseorang yang membunuhnya."
Kirana terkesip. Bicaranya semakin pelan, takut didengar orang lain.
"Hati-hati bicaramu. Khayalan mu bisa membuat Nyai Ratu menjadi lebih tegang lagi," bisik Kirana.
"Ini bukan khayalan, tapi dugaan yang punya
alasan, Kirana."
"Apa alasanmu menduga begitu?"
"Rahang mayat Bintari tampak membiru, seperti bekas pukulan atau tendangan," bisik Raka Pura makin pelan, membuat Kirana
semakin tegang.
"Coba perhatikan lagi mayat itu. Perhatikan pada rahangnya, Kirana!"
"Aku... aku tadi tak sempat memperhatikan rahangnya." "Kurasa ada seseorang yang sengaja membunuhnya! Entah siapa orangnya."
"Kalau begitu perlu dibicarakan dengan Nyai
Ratu!" bisikan Kirana tetap bernada tegang.
"Aku tak berani bicara, karena takut membuat
suasana menjadi keruh kembali."
"Aku yang akan bicara pada Nyai Ratu!" tegas Kirana, si gadis berlesung pipit
dan bergigi gingsul itu.
Kirana pun akhirnya bicara kepada Ratu Sedap
Malam. Pembicaraan itu semula ingin dilakukan secara empat mata, tapi Kirana takut menyinggung tamutamu lainnya. Akhirnya para tamu dan beberapa pengawal Ratu Sedap Malam pun mendengar apa yang dikatakan Kirana.
"Aku juga melihat luka memar di rahang mayat
Bintari," sahut si Lahar Jalanan yang berusia sekitar tujuh puluh tahun itu.
"Aku sependapat dengan Raka Pura, bahwa ada seseorang yang sengaja membunuh
Bintari." "Apa maksud orang itu membunuh Bintari?" uji Nyai Sangkal Putung yang agak
sangsi dengan pendapat tersebut.
"Mungkin orang itu tak ingin Bintari membeberkan beberapa rahasia di depan kita. Terutama rahasia tentang kekuatan Raja Amuk Jagal!"
"Tepat sekali, Paman!" sahut Raka Pura. "Aku pun mempunyai pendapat seperti itu.
Bintari tertangkap atau tidak tertangkap, Raja Amuk Jagal tetap
akan menyerang Pantai Rangsang. Tentu saja ia mempunyai beberapa rahasia, termasuk rahasia kekuatan
handalnya atau rahasia siasatnya! Orang yang membunuh Bintari tak ingin rahasia itu kita dengar pada
saat Bintari diadili. Maka satu-satunya jalan untuk
menjaga agar rahasia itu tidak bocor, Bintari harus dibunuh!"
"Kalau begitu di sini masih ada mata-matanya
si Amuk Jagal"!" ujar Nyai Sangkal Putung menyimpulkan kata-kata Pendekar Kembar sulung.
"Kurasa memang begitu, Nyai," jawab Raka Pura tanpa ragu-ragu lagi. Ratu Sedap Malam tertegun
mendengar percakapan tersebut. Hatinya berdebardebar dalam kesedihan.
"Tak kusangka pengikut ku banyak yang menjadi seorang pengkhianat. Apa salahku sehingga mereka tega mengkhianatiku?" ujar sang Ratu seperti bicara pada diri sendiri. Nada
duka yang terucap dari mulut sang Ratu membuat para tamu yang mendengarnya
menjadi terharu sekali. Mereka memendam keharuan
itu dengan mulut terbungkam dan membiarkan sang
Ratu mencurahkan keluhan hati.
"Kurasa selama ini aku selalu bersikap baik kepada mereka. Mereka bukan kuanggap sebagai pegawai ku, tapi kuanggap sebagai muridku sendiri, bahkan lebih dari itu, kadang aku merasa mereka itu saudaraku, mengingat aku hidup tanpa seorang saudara
pun...." Wajah cantik Ratu Sedap Malam diselimuti mendung kedukaan yang kian
menebal. Pada saat-saat
seperti itu, Ratu Sedap Malam yang bernama asli Wulandani mulai teringat akan nasibnya yang hidup tanpa sanak saudara.
Wulandani dilahirkan dalam istana sebuah kerajaan yang bernama Purwanagari. Tetapi sejak bayi ia
dibuang oleh ayahnya, karena dianggap anak haram,
hasil hubungan gelap sang permaisuri dengan pemuda
lain, ia dibuang di Pantai Rangsang yang masih menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Purwanagari. Ia diasuh oleh seorang inang yang amat setia kepadanya,
sampai akhirnya sang inang pun meninggal ketika Wulandani berusia empat belas tahun.
Ia pun berpindah asuhan ke tangan Resi Balasuma dan menjadi murid sang Resi. Sedangkan kerajaan milik ayahnya itu kini telah dihancurkan oleh pihak musuh dan dikuasainya. Seluruh keluarga istana
tewas dalam pertempuran tersebut. Resi Balasuma
sendiri kini telah tewas. Praktis hidup Wulandani menjadi sebatang kara. Satu-satunya guru yang masih sering mendengar keluh kesahnya adalah Nyai Sangkal
Putung. Sekalipun Ratu Sedap Malam hanya perdalam
ilmu pengobatan kepada Nyai Sangkal Putung dalam
waktu beberapa bulan saja, namun hubungan Itu selalu dijaganya agar tetap baik, mengingat ia butuh seorang yang dapat dijadikan pengganti guru sekaligus
orang tuanya. Dalam usia tiga puluh lima tahun, Wulandani
sudah berhasil mendirikan sebuah pesanggrahan yang
menyerupai istana kecil itu. Ia menobatkan dirinya sebagai Ratu di Pantai Rangsang, karena merasa Pantai
Rangsang adalah wilayah kekuasaan ayahnya; Raja
Purwanagari. Dengan menobatkan diri sebagai Ratu,
pihak musuh lama Kerajaan Purwanagari tidak bisa
semena-mena menguasai wilayah Pantai Rangsang.
Selama ini Ratu Sedap Malam selalu menjalin
hubungan baik dengan tokoh-tokoh persilatan, seperti
Ki Sela Giri alias si Lahar Jalanan dan yang lainnya.
Bahkan ia juga bersahabat baik dengan Nyai Rempah
Arum serta si Mulut Guntur, gurunya Kirana. Hubungan baik itu membuat mereka tak rela jika ketenangan
pesanggrahan Pantai Rangsang diusik oleh pihak lain,
sehingga Nyai Sangkal Putung dan muridnya; si Mata
Bidadari, juga Lahar Jalanan yang kebetulan waktu itu
berkenalan dengan Pendekar Kembar, merasa perlu
mendampingi Ratu Sedap Malam untuk beberapa saat,
karena ada kabar dari si Mata Bidadari bahwa pesanggrahan Pantai Rangsang akan diserang oleh Raja
Amuk Jagal. Tentu saja jiwa Ratu Sedap Malam terpukul sekali atas munculnya mata-mata di antara para murid
dan pengawalnya. Sekalipun demikian, Ratu Sedap
Malam tidak bermaksud menjatuhkan hukuman mati
untuk Bintari. Sebenarnya ia hanya ingin membuat
Bintari sadar dan melepaskan 'obyek sampingannya'
sebagai mata-mata Raja Amuk Jagal. Tapi ternyata gadis itu telah tewas dengan kesan bunuh diri.
Setelah mendengar penuturan Raka Pura dan
Kirana, sang Ratu pun ingat saat Bintari belum menghembuskan napas terakhirnya. Mata-mata cantik itu
ingin sampaikan sesuatu padanya, namun sang nyawa
keburu pergi tinggalkan raga selama-lamanya.
"Gus... ti... ad... ada...," itulah kalimat yang terngiang di telinga Ratu Sedap
Malam ketika memeriksa keadaan Bintari. Kalimat itu pun ditirukan kembali di depan para tamunya, sehingga Raka Pura, si
Pendekar Kembar sulung, segera angkat bicara menyimpulkannya. "Barangkali maksud Bintari saat itu ingin mengatakan: 'Gusti, ada mata-mata lain yang perlu segera
di cari dan ditangkap'. Kira-kira begitulah yang ingin di sampaikan oleh
Bintari, Nyai Ratu!"
Ratu Sedap Malam diam sesaat, hatinya membenarkan kesimpulan Pendekar Kembar sulung. Tapi
ia pun tak tahu, siapa mata-mata lain yang ada di dalam pesanggrahannya itu. Hanya saja, setelah ia diam
beberapa saat, ia bangkit dari tempat duduknya dan
melangkah dengan mata menerawang.
"Lebih dari setahun yang lalu Bintari kutemukan terdampar di pantai sebelah barat. Ia mengaku sebagai penumpang kapal dari Selat Seberang yang terkena musibah. Kapal itu dirampas oleh para perampok, penumpangnya dibantai. Hanya dia dan Trimira
yang selamat. Kemudian kami menolong mereka, dan
selanjutnya kuanggap sebagai orangku sendiri. Selama
ini Bintari dan Trimira selalu menunjukkan sikap baik
Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padaku, patuh dan penuh pengabdian, sehingga aku
sering terkesan oleh sikap mereka itu."
Lahar Jalanan segera menyahut, "Sebagai apa
Trimira di sini?"
"Karena ternyata Trimira mempunyai ilmu lebih
tinggi dari Bintari, maka ia ku tempatkan sebagai pengawal depan. Ia selalu berhasil menyingkirkan para
tamu yang bermaksud tidak baik pada kami, Paman."
"Apakah kau pernah melihat gelagat yang tak
beres pada diri Trimira?" tanya Nyai Sangka! Putung.
"Tidak, Nyai Guru! Seperti kataku tadi, Trimira
dan Bintari selalu tunjukkan sikap baik di depanku,
dan aku tak pernah mendapat pengaduan dari rekanrekannya tentang hal-hal yang tidak beres dari mereka.
Jadi aku sama sekali tak menduga kalau Bintari ternyata mata-matanya Raja Amuk Jagal."
"Dari mana dia bisa berhubungan dengan pihak
Pulau Kucil itu"!" tanya Lahar Jalanan, yang sepertinya juga ditujukan untuk
dirinya sendiri.
"Barangkali ketika dia dan beberapa orang kuutus untuk mengejar si pencuri pusaka dari pulau ke
pulau itulah ia sempat bertemu dengan Raja Amuk
Jagal. Karena menurut pengakuan Bintari, mereka juga sempat singgah ke Pulau Kucil mencari si pencuri
pusakaku itu."
"Apakah pencuri pusaka itu sudah tertangkap?"
sela Pendekar Kembar sulung.
"Ya. Kami sudah berhasil dapatkan pusaka itu
kembali. Ternyata pencurinya orang Tanah Keramat
yang bernama Panji Doyok."
Hati si pemuda tampan itu sedikit tersentak
kaget, karena ia juga mengenal nama Panji Doyok. Ia
jadi tak enak hati, walau tak mengatakan bahwa ia
kenal dengan keluarga Panji Doyok, termasuk Nyai
Gantari dan si Bunga Dewi; nenek dan adik Panji
Doyok itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Korban Kitab Leluhur).
"Peristiwa itu terjadi sekitar empat bulan yang
lalu," tambah Ratu Sedap Malam.
Nyai Sangkal Putung segera berkata, "Supaya
tak menjadi berlarut-larut, sebaiknya periksalah semua orang-orang tanpa kecuali, termasuk si juru masak itu." Kirana menimpali, "Kurasa itu langkah yang
terbaik, Nyai Ratu! Aku sependapat dengan Nyai Sangkal Putung! Periksa semua orang pesanggrahan sekarang juga, sebelum mata-mata itu akhirnya melarikan
diri atau memakan korban lain."
Ratu Sedap Malam menatap Raka Pura. Pemuda itu manggut-manggut kecil, pertanda mendukung
pendapat Kirana. Kemudian mata sang Ratu pun melirik ke arah Lahar Jalanan. Pak Tua berbaju hijau celana coklat yang tak pernah lepas dari tudung kepalanya
itu segera mengendurkan tali tudung, karena tudung
itu dalam keadaan digantungkan ke punggung.
"Lakukan saja saran itu. Tak ada salahnya kita
mencegah bahaya sedini mungkin," ujar si Lahar Jalanan. Ratu Sedap Malam segera
keluarkan perintah
kepada Muryana yang sejak tadi berdiri jauh di belakang sang Ratu, menjaga keamanan ratu cantik itu.
"Kumpulkan semua orang di halaman samping!" "Baik, Gusti." Muryana pun bergegas pergi, sementara yang tinggal di
paseban sebagai pengawal pribadi sang Ratu adalah gadis bertubuh sintal dengan
mengenakan baju buntung warna coklat tanah dan celana ketatnya yang juga berwarna coklat tanah. Ia adalah wakil Muryana yang bertugas menyelamatkan
nyawa Ratu jika sewaktu-waktu terjadi bahaya.
Gadis itu bernama Umbari. Pendekar Kembar
sulung dan para tamu lainnya mengetahui nama itu
lantaran si gadis segera menghadap sang Ratu dan
namanya disebutkan oleh sang Ratu.
"Ada apa, Umbari"!" sambil sang Ratu kerutkan dahinya pertanda heran melihat
Umbari tahu-tahu
menghadap dan memberi hormat. Badannya sedikit
dibungkukkan, kepala ditundukkan, kedua tangan saling genggam menjadi satu di dada.
"Gusti Ratu, saya mohon ampun, Gusti Ratu!"
"Kenapa kau mohon ampun"! Apa maksudmu,
Umbari!" "Kematian Bintari memang bukan karena bunuh diri! Sayalah yang membunuhnya, Gusti Ratu!"
Bagai petir menyambar tengkuk, Raka Pura tersentak kaget bersama para tamu lainnya, termasuk
sang Ratu sendiri. Pengakuan tegas itu dilontarkan
oleh Umbari dengan suara jelas, seakan menendang
jantung siapa pun yang mendengarnya. Kirana pun
segera bergegas ke belakang Umbari dengan wajah penuh curiga. Umbari justru jatuh berlutut dan semakin tundukkan kepala. "Umbari, apakah kau sadar dengan bicaramu"!"
ujar sang Ratu seperti tak percaya dengan pendengarannya. "Saya sadar, Gusti Ratu! Memang saya yang membunuh Bintari. Kebetulan
semalam saya meng-gantikan tugas Wujati menjaga kamar tahanan Bintari.
Saya masuk dan menghantamnya dua kali hingga kepala Bintari membentur dinding."
"Edan!" gumam Nyai Sangkal Putung yang tampak mulai gusar.
Pengakuan itu dilontarkan dengan polos, dan
sepertinya Umbari siap hadapi hukuman apa pun yang
bakal dijatuhkan oleh sang Ratu. Raka Pura memandang gadis itu tak berkedip, karena merasa salut melihat keberanian Umbari yang melontarkan pengakuannya di depan Ratu dan para tamunya.
"Jika benar kau yang membunuh Bintari, mengapa hal itu kau lakukan, Umbari"!" tanya sang Ratu, dan para tamu pun menunggu
jawaban dari Umbari
dengan hati berdebar-debar. Bahkan Kirana tampak
mulai tegang, sepertinya memendam kegeraman dan
memendam hasrat untuk menghajar Umbari.
* * * 2 RUPANYA Umbari mendengar percakapan sang
Ratu dan para tamunya sejak tadi. Apa yang di dengarnya secara samar-samar itu mendorong hatinya untuk mengakui perbuatannya. Tentu saja Umbari mempunyai alasan tersendiri dan sudah siap hadapi risiko
apa pun. Gadis berambut pirang yang panjangnya sebahu dan menyandang pedang di punggung itu tetap
tundukkan kepala dl depan ratunya. Sesekali ia mengangkat kepala jika sedang menjawab pertanyaan sang
Ratu. Wajah cantiknya yang berhidung bangir dengan
bibir mungil itu tidak menampakkan rasa takut sedikit
pun. Bahkan ia kelihatan tenang saat menjelaskan
alasannya kepada sang Ratu.
"Bintari mata-mata Raja Amuk Jagal, jadi harus
dibunuh! Ia tak layak untuk hidup di dalam pesanggrahan ini, Gusti Ratu!"
"Tapi itu wewenangku, Umbari! Menjatuhkan
hukuman mati atau tidak, itu bukan wewenang mu!"
"Ampun, Gusti! Jika Bintari tidak dibunuh, sekalipun sudah mendapat pengampunan, maka ia akan
kembali berpihak kepada Raja Amuk Jagal, Gusti!"
"Dari mana kau tahu"!"
"Saya adalah orang paling dekat dengannya!"
"Itu bukan alasan, Umbari! Kurasa kau hanya
takut kalau Bintari beberkan rahasia yang dimilikinya, terutama rahasia yang ada
pada Raja Amuk Jagal!"
pancing sang Ratu dengan tuduhan langsung. "Kau
pasti mata-mata mereka, Umbari! Akuilah itu!"
"Benar, Gusti!"
Para tamu tersentak bersama. Pengakuan itu
terucap dengan jelas dan tegas, dengan wajah terangkat menatap sang Ratu. Pengakuan itu justru membuat Ratu Sedap Malam mundur selangkah. Kirana
tampak semakin menggeram, kedua tangannya sudah
menggenggam kuat-kuat. Tapi ketika ia melirik Raka
Pura, si Pendekar Kembar sulung memberi isyarat
dengan kedipan mata dan gerakan tangan halus agar
Kirana jangan bertindak apa pun. Akhirnya Kirana
hanya tarik napas dalam-dalam.
"Tak kusangka kau tega mengkhianatiku, Umbari!" ujar sang Ratu bernada sedih.
"Gusti Ratu, Bintari dan saya menjadi matamata pihak Pulau Kucil sejak tiga bulan yang lalu, sepulangnya Bintari dari mengejar pencuri pusaka itu.
Tetapi saya belum pernah lakukan sesuatu yang bersifat mengkhianati pesanggrahan," ujar Umbari dengan tegas. "Jelaskan maksudmu,
Umbari!" "Bintari berkenalan dengan seorang pemuda
dari Pulau Kucil yang bernama Laksamada! Tujuh hari
setelah Bintari pulang dari mengejar pencuri pusaka
itu. Laksamada datang ke Pantai Rangsang bersama sahabatnya yang bernama Runggana. Kebetulan
pada waktu itu, Bintari mengajak saya untuk berjalanjalan dl pantai, ternyata ia bermaksud perkenalkan si
Laksamada dan Runggana kepada saya."
Sampai di situ, Umbari hentikan ucapannya
sebentar. Ia melirik ke arah Raka Pura. Entah apa
maksudnya, tapi setelah itu ia berkata lagi dengan nada ragu-ragu. "Runggana mempunyai wajah dan potongan tubuh seperti Raka Pura. Ia tampan dan menarik hari."
"Kalau begitu, Raka Pura juga tampan dan menarik hati"!" sela Nyai Sangkal Putung. Umbari tundukkan kepala, menggigit
bibirnya, tak berani menjawab pertanyaan itu. Sementara Kirana menjadi berang,
namun keberangannya tetap hanya bisa ditahan dalam
hati. Raka Pura sunggingkan senyum dikulum sambil
buang muka sebentar.
"Lanjutkan penjelasan mu tadi, Umbari!" perintah sang Ratu. "Terus terang, saya sempat terpikat dengan
Runggana yang bertutur kata lembut dan mengesankan itu. Sedangkan Bintari terpikat kepada Laksamada. Kami berdua sering lakukan pertemuan secara
sembunyi-sembunyi dengan kedua pemuda tersebut.
Bintari melangkah terlalu jauh, sementara saya masih
jaga jarak dengan Runggana."
Ratu Sedap Malam manggut-manggut sambil
tetap pandangi wajah Umbari. Yang lain pun menatap
Umbari dengan mulut terbungkam. Seakan mereka
menyimak betul apa yang dituturkan oleh Umbari.
"Kedua pemuda itulah yang membujuk kami
untuk memihak Raja Amuk Jagal. Mereka mengharapkan agar kami mau menjadi mata-mata Raja Amuk
Jagal untuk yang selalu memberi kabar tentang kelemahan-kelemahan Gusti Ratu dan orang-orang pesanggrahan ini. Secara empat mata dengan Bintari,
saya menolak tawaran itu. Tapi Bintari mendesak saya
terus agar mau sepakat dengannya."
"Mengapa akhirnya Bintari mau menjadi matamata?" "Karena Bintari selalu ingin mendapatkan kepuasan dari Laksamada, yang
menurutnya pandai
memuaskan gairahnya. Padahal Bintari sendiri juga
naksir Prapanca...."
"Adiknya muridku itu"!" sahut Nyai Sangkal
Putung. "Benar, Nyai!" jawab Umbari. "Tapi Prapanca tak pernah mau memberikan
kepuasan kepada Bintari!
Akhirnya Bintari nekat menjadi mata-mata pihak Pulau Kucil agar selalu dapatkan kepuasan dari Laksamada." "Mengapa kau tidak katakan hal itu padaku?"
tanya sang Ratu.
"Tentunya Bintari akan menyuruh Laksamada
dan Runggana untuk membunuh saya jika sampai hal
itu saya sampaikan kepada Ratu. Sejujurnya saja, sejak saat itu saya jadi tidak tertarik lagi dengan Runggana. Tapi saya harus
berlagak tetap tertarik, dan
bahkan saya berpura-pura mendukung tindakan Bintari, menjadi mata-matanya pihak mereka. Dengan begitu, seluruh rencana dan rahasia yang dimiliki Raja
Amuk Jagal dapat saya ketahui juga."
Lahar Jalanan manggut-manggut, pertanda
memahami apa yang dituturkan oleh Umbari. Nyai
Sangkal Putung pun tampak menyimak baik-baik tiap
ucapan gadis itu. Raka Pura diam-diam bergeser hingga ia berada di dekat Kirana.
"Tapi saya tak menyangka kalau Raja Amuk
Jagal kirimkan si Dewa Pancung untuk lakukan kekejaman seperti yang sudah kita lihat itu. Saya pun masih sering melihat Laksamada berkeliaran di sekitar
pesanggrahan kita, menjaga keselamatan Bintari dan
saya. Sebab dalam perjanjian itu, Bintari minta perlindungan sepenuhnya oleh
Laksamada, dan Laksamada
menyanggupinya. Runggana sendiri menyanggupi akan
selamatkan nyawa saya jika sewaktu-waktu saya terancam. Tapi kesanggupan itu tidak saya hiraukan."
"Lalu, mengapa kau bunuh Bintari?"
"Bagaimanapun juga, ia tetap akan menjadi duri dalam tubuh kita, Gusti Ratu! Selama ia masih inginkan kehangatan asmara Laksamada, maka ia tetap
akan berbakti kepada Laksamada. Apa yang diperintahkan pemuda itu akan dituruti oleh Bintari. Hanya
satu yang tidak berani dilakukan oleh Bintari, yaitu
membunuh Gusti Ratu sendiri! Namun sekalipun demikian, saya selalu waspada terhadap segala gerak
Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerik Bintari. Jika sampai ia mulai punya keberanian
untuk membunuh Gusti Ratu, maka sayalah orang
pertama yang akan tewas dibunuhnya!"
Hati sang Ratu tersiram keharuan mendengar
pengakuan itu. Namun keharuan itu tetap saja dipendam dalam hatinya dan dijaga agar tak terlihat oleh
Umbari. "Untuk menghilangkan duri dalam tubuh kita,
Bintari harus dibunuh! Dengan begitu, tak ada lagi
mata-mata di pihak kita yang selalu membocorkan beberapa rahasia penting kepada pihak Raja Amuk Jagal.
Dengan terbunuhnya Bintari, saya bebas bicarakan
beberapa rahasia pihak lawan. Ke mana pun saya pergi, saya tidak akan merasa terancam oleh orang-orang
Pulau Kucil yang sering kunjungi Pantai Rangsang
dengan berbagai macam penyamaran."
"Apakah kau yakin kalau kematian Bintari tidak tercium oleh Laksamada?"
"Laksamada sudah tahu bahwa yang membuat
Bintari diketahui sebagai mata-mata adalah Dewa
Pancung." "Kapan dia mengetahuinya?"
"Pada saat orang-orang Suku Ampar melabrak
kita, lalu kepala sukunya memenggal Dewa Pancung,
saya melihat Laksamada bersembunyi di atas pohon.
Dengan begitu dia tahu, Bintari tertangkap bukan karena saya, tapi karena Dewa Pancung."
"Hmmm...," Nyai Sangkal Putung perdengarkan
gumamnya sambil angguk-anggukkan kepala. "Kalau
begitu, sekarang Laksamada masih ada di sekitar sini?" "Dia memang mempunyai tempat di sekitar
Pantai Rangsang, Nyai! Enam bulan yang lalu dia ibarat ditanam oleh Raja Amuk Jagal dl salah satu tempat
sekitar Pantai Rangsang."
"Kau tahu tempatnya?" tanya Raka Pura.
"Ya, aku tahu!" jawab Umbari sambil sedikit
menengok ke belakang, karena Raka Pura ada di belakangnya. "Kau bisa tunjukkan padaku di mana tempat
tinggal si Laksamada itu?"
"Bisa!" jawab Umbari tegas menyatakan kesanggupannya. "Tunggu dulu," sergah si Lahar Jalanan. "Umbari, kesimpulanku mengatakan bahwa
kau sebenar- nya masih setia pada ratumu ini! Justru kau menjadi
mata-matanya pihak pesanggrahan ini! Tentunya kau
banyak mengetahui rahasia di pihak lawan. Apakah
kau bisa jelaskan rahasia apa yang kau ketahui tentang rencana penyerangan si Raja Amuk Jagal itu?"
"Berdirilah, bicara dengan bebas!" sela sang Ra-tu yang merasa kasihan melihat
Umbari berlutut terus.
Maka Umbari pun berdiri dengan sikapnya yang tetap
menghormat. "Laksamada dan Runggana yakin, pesanggrahan Pantai Rangsang akan berhasil direbut oleh Raja
Amuk Jagal. Sudah lama Raja Amuk Jagal mengincar
tempat ini. Karena menurutnya, tempat ini menyimpan
sesuatu yang amat berharga."
"Apa yang dimaksud sesuatu yang amat berharga itu"!"
"Laksamada tidak katakan. Tapi Runggana
pernah ceritakan pada saya, bahwa beberapa tahun
yang silam, ketika pantai ini belum ditempati dan masih perawan, sebuah kapal bajak laut singgah kemari
dan menanam harta karun di sini! Ketua bajak laut itu
berjuluk si Naga Barong!"
"Hmmm... cerita itu adalah sebuah dongeng.
Ayah ku pernah ceritakan hal itu ketika aku masih berusia empat-lima tahun," ujar Nyai Sangkal Putung.
Umbari berkata lagi, "Naga Barong adalah kakek buyutnya Raja Amuk Jagal. Menurutnya, harta
karun itu sampai sekarang masih terpendam di salah
satu tempat di wilayah Pantai Rangsang. Tapi entah di
sebelah mana. Raja Amuk Jagal ingin mencari harta
karun itu. Tentunya jika Pantai Rangsang masih dikuasai oleh Gusti Ratu, maka ia tak akan bebas mencari
harta karun tersebut. Karenanya, ia perlu menyingkirkan Gusti Ratu dan mengambil alih kekuasaan di Pantai Rangsang ini!"
Semua orang saling beradu pandang ketika
Umbari diam sesaat, suasana hening sebentar. Raka
Pura pun menatap Kirana, dan Kirana balas memandang sambil perdengarkan bisikannya kepada Raka.
"Percayakah kau pada kisah itu?"
Raka Pura sentakkan kedua pundak. "Kita lihat
saja kelanjutannya!"
Nyai Sangkal Putung berkata kepada Lahar Jalanan. "Cerita itu hanya isapan jempol yang dipercaya oleh si Amuk Jagal!"
"Belum tentu!" ujar Lahar Jalanan. "Bagi kita mungkin cerita tersebut memang
layak dianggap sebagai isapan jempol. Tapi bagi keturunan si Naga Barong,
mungkin bukan sebagai isapan jempol, melainkan sebagai kenyataan!"
"Maksud Paman...," ujar sang Ratu. "Amuk Jagal mendapatkan keterangan yang
sangat bisa dipercaya, sehingga ia nekat ingin memburu harta karun
itu?" "Kira-kira begitulah yang dialami si Raja Amuk Jagal! Sebab kalau tidak,
mengapa ia harus repot-repot merebut wilayah mu ini, Nyai Ratu" Mengapa ia tidak
merebut wilayah Lembah Gerhana yang dulu adalah
wilayahnya sendiri" Memang Lembah Gerhana sudah
dikuasai oleh pihak Ratu Rias Rindu. Tapi bukankah
sekarang Ratu Rias Rindu sudah dikabarkan tewas di
tangan Dewa Perintang"! Tentunya si Raja Amuk Jagal
punya kesempatan untuk kuasai Lembah Gerhana
kembali"!"
"Raja Amuk Jagal bukan orang tuli, Sela Giri!"
ujar Nyai Sangkal Putung. "Tentunya Raja Amuk Jagal tahu bahwa saat sebelum Ratu
Rias Rindu mengejar
pusakanya yang bernama Pedang Bulan Madu dan akhirnya tewas di tangan Dewa Perintang, ia sudah menebarkan racun di seluruh Lembah Gerhana. Racun
itu menyatu dengan tanah dan menyebarkan asap beracun, sehingga wilayah itu tak bisa ditempati lagi..
Mana mungkin Raja Amuk Jagal mau kuasai Lembah
Gerhana lagi"!"
Raka Pura diam-diam membatin, "Oooh, jadi
Ratu Rias Rindu akhirnya tewas di tangan Eyang Dewa
Perintang"! Kurasa Soka pun belum tahu hal itu. Karena terakhir aku dan Soka berhadapan dengan Ratu
Rias Rindu, perempuan itu masih bisa larikan diri walau sudah terluka dan tetap dikejar oleh Eyang Dewa
Perintang," sambil Raka mengenang peristiwa itu, (Ba-ca serial Pendekar Kembar
dalam episode: "Pemburu Mahkota Dara").
Sang Ratu berkata lagi kepada Umbari, "Jika
benar di sini ada harta karun terpendam, perkiraan
mereka ada di sebelah mana harta karun tersebut"
Apakah kau mendapatkan keterangan itu juga, Umbari?" "Tidak, Ratu! Seperti yang saya katakan tadi.
Raja Amuk Jagal belum tahu di mana persisnya harta
karun itu dipendam. Tapi menurut Runggana, harta
karun itu bernilai tinggi, dapat dipakai membangun
sebuah istana megah dan tak habis dimakan tujuh turunan!" Sang Ratu angguk-anggukkan kepala kembali.
"Laksamada dan Runggana termasuk ditugaskan mencari perkiraan letak harta karun itu, Gusti!" tambah Umbari.
"Baiklah, itu urusan mereka. Aku belum bisa
percaya apa yang dikatakan Runggana kepadamu,
Umbari. Tapi kau tadi menyebutkan bahwa Raja Amuk
Jagal yakin bahwa ia dapat kuasai Pantai Rangsang
ini. Apakah dia mempunyai kekuatan yang melebihi
kekuatan kita?"
"Menurut pengakuan Laksamada terhadap Bintari, dan Bintari ceritakan kepada saya, kekuatan itu
terletak pada diri Raja Amuk Jagal sendiri, Gusti Ratu.
Karena sekarang Raja Amuk Jagal telah perdalam ilmunya dan mempunyai satu senjata pusaka yang dapat untuk meleburkan seluruh penghuni pesanggrahan ini!" "Pusaka apa itu"!" sergah Raka Pura dengan
bernafsu ingin segera mengetahuinya.
"Ia memiliki Sabuk Biang Neraka!"
"Hhah..."!" Lahar Jalanan dan Nyai Sangkal Putung sama-sama tersentak kaget
dengan wajah terperangah tegang. Rupanya kedua tokoh tua itu tahu persis tentang kehebatan Sabuk Biang Neraka.
"Itu tak mungkin!" bantah Nyai Sangkal Putung. "Sabuk Biang Neraka adalah milik tokoh dalam dongeng masa lalu, yaitu si
Naga Barong! Aku yakin
semua ini hanya bualan si Amuk Jagal sendiri!"
Lahar Jalanan menyahut, "Jika Amuk Jagal
mengaku sebagai cucu buyut dari si Naga Barong, maka tentu saja dia memiliki pusaka warisan buyutnya
yang bernama Sabuk Blang Neraka itu! Atau jika memang ia benar-benar memiliki Sabuk Biang Neraka,
maka ia memang benar-benar buyutnya si Naga Barong!" "Celaka! Tempat ini bisa rata dengan tanah jika benar ia memiliki pusaka
itu!" ujar Nyai Sangkal Putung sambil menggeram dengan tegang.
* * * 3 BUNGA-BUNGA karang yang tumbuh di sekitar
Pantai Rangsang mempunyai bentuk keindahan tersendiri. Dilihat sepintas, pantai itu memang tampak
cantik dan menarik. Bentuk bebatuan karang yang
bertebaran di sana-sini menyerupai taman laut yang
jarang dimiliki pantai lain. Oleh sebab itulah, pantai tersebut dinamakan Pantai
Rangsang, karena merang-sang seseorang untuk mengagumi keindahan alamnya.
Pantai tersebut juga mempunyai hutan yang
berbukit-bukit. Bahkan bukit karang dengan tebingnya
yang curam pun mempunyai keindahan yang bercampur hanya bisa dipandang dari jarak jauh.
Di sela-sela tebing curam itu, terdapat sebuah
gua tempat Pendekar Kembar bungsu dan si Mata Bidadari diselamatkan oleh Dedengkot Iblis dari ancaman maut asap beracun milik almarhum Dewa Pancung, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Geger Pantai Rangsang"). Gua itu berhadapan langsung dengan permukaan air laut.
Tidak setiap orang
bisa mencapai gua tersebut, karena kemiringan tebingnya dan ketinggiannya dapat mendatangkan kematian bagi orang yang coba-coba mendaki atau menuruni tebing tersebut. Gua
tersebut dapat dicapai dari daratan di atasnya
dengan cara menggunakan jurus peringan tubuh yang
cukup tinggi, demikian pula jika ingin mendaki tebing
tersebut. Karena dinding karang tebing itu mempunyai
ketajaman yang bisa merobek kulit buaya, apalagi kulit manusia.
Namun berkat jurus 'Badai Terbang', Soka Pura
alias si Pendekar Kembar bungsu berhasil membawa
gadis cantik bermata sangat indah itu mendaki tebing
curam yang mengerikan itu. Si Mata Bidadari berterus
terang bahwa ia tak sanggup mendaki medan yang
sangat berbahaya itu. Karena sedikit saja kaki tergelin-cir maka ia akan jatuh
dan menjadi sate di atas bebatuan karang runcing.
Tetapi Soka Pura melakukan pendakian itu
dengan menotok si Mata Bidadari lebih dulu. Gadis itu
terkulai lemas karena jalan darahnya terhenti. Kemudian Soka Pura memanggul tubuh si gadis tinggi sekal
itu di pundak kirinya. Wuuuz...! Dengan pergunakan
jurus 'Badai Terbang' yang menyerupai roket meluncur, Soka Pura berhasil hinggap di salah satu batu karang runcing di pertengahan tebing. Sekalipun batu
karang itu seruncing ujung tombak, namun kaki Soka
Pura tidak tertembus keruncingan tersebut, karena ilmu peringan tubuhnya membuat badannya seringan
kapas. Huup, tab, tab, tab...!
Kejap kemudian si Pendekar Kembar bungsu
berhasil mencapai daratan di atas tebing karang tersebut. Gadis cantik berbaju buntung warna merah tua
segera direbahkan di atas rerumputan. Soka Pura lepaskan totokan si Mata Bidadari dengan menyodok
bagian bawah ketiak gadis itu memakai dua jari, seperti paruh seekor burung yang mematuknya. Dees...!
"Setan urap! Lain kali kalau mau menotok ku
bilang-bilang dulu! Jangan main totok seenaknya!"
sentak gadis itu dengan berang, karena Soka tidak
meminta izin lebih dulu ketika ingin menotok dan
membawa si gadis tinggalkan gua tersebut.
"Maaf, aku lupa caranya meminta izin! Kuharap
kau jangan marah, Bidadari ku," sambil senyum Soka yang menawan itu dipamerkan.
Kemarahan gadis itu
pun reda jika melihat senyum si Pendekar Kembar
bungsu. Sekalipun wajah masih cemberut, tapi hati tidak lagi merengut.
"Soka, mengapa kau tak pamit kepada Dedengkot iblis saat mau meninggalkan gua" Aku takut dia
tersinggung dan marah padamu!"
"Seperti kau dengar sendiri kata-katanya kemarin, dia bersedia untuk tidak ikut campur urusan kita, tapi kita diminta tinggal
di gua itu sampai bulan purnama tiba. Mau makan apa kita di gua itu" Bayangkan
saja!" "Mungkin dia punya rencana sendiri untuk ki-ta. Entah rencana apa, yang
jelas bukan rencana jahat!" "Memang. Tapi kita punya urusan akan ter-bengkalai! Bayangkan saja, kalau
kita harus tinggal di dalam gua itu bersamanya sampai malam bulan purnama,
sedangkan malam bulan purnama akan terjadi
sekitar dua belas hari lagi. Lantas berapa korban yang akan berjatuhan dipenggal
oleh si Dewa Pancung, karena orang itu masih bebas berkeliaran memburu
mangsanya!"
Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dedengkot Iblis, tokoh berilmu tinggi yang dulu
menjadi penjaga Bambu Gading Mandul dan pernah
dikalahkan oleh Pendekar Kembar, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Rahasia Dedengkot Iblis"), kini memihak kepada
Pendekar Kembar. Hal itu terjadi
akibat Soka Pura dalam siasatnya ketika bertarung
dengan Dedengkot Iblis mengaku sebagai keturunan
Prabawinih. Sedangkan Prabawinih adalah bekas istri
Dedengkot Iblis yang melarikan diri dan menikah dengan orang lain karena Dedengkot Iblis menjadi murid
si Raja iblis. Kala itu Dedengkot Iblis yang mantan ksatria dari sebuah negeri
itu belum menggunakan nama
julukannya itu.
Soka Pura tahu tingkat ketinggian ilmu Dedengkot Iblis dan cukup paham dengan watak tokoh
sakti itu yang liar dan ganas kepada lawannya. Dikhawatirkan jika Dedengkot Iblis ikut campur urusan Soka, maka akan banyak korban yang menjadi salah sasaran dari jurus-jurus mautnya si Dedengkot Iblis.
Oleh karenanya, Soka Pura berusaha membujuk Dedengkot Iblis agar tak campuri urusannya. Dedengkot Iblis mau turuti permintaan Soka, tapi ia minta Soka tinggal di gua tersebut sampai bulan purnama
tiba. Ia tak jelaskan apa alasannya meminta Soka tinggal di gua karang tersebut, sehingga Soka memilih untuk pergi secara diam-diam dari gua itu dengan membawa si Mata Bidadari, karena memang dia dan si Mata Bidadari ditugaskan oleh Lahar Jalanan untuk
memburu si Dewa Pancung. Soka dan si Mata Bidadari
belum tahu bahwa Dewa Pancung sudah tewas di tangan kepala Suku Ampar.
"Kita pulang dulu ke pesanggrahan saja," usul si Mata Bidadari.
"Tidak lanjutkan mencari Dewa Pancung lagi"!"
"Kita sudah tiga hari tinggal di dalam gua itu.
Guru ku pasti ingin tahu kabar kita. Jangan sampai
kita menjadi bahan kegelisahan mereka."
Soka Pura angkat dua pundaknya pertanda terserah kepada putusan si Mata Bidadari. Gadis cantik
berambut keriting lembut sepanjang bahunya itu langkahkan kaki lebih dulu sebagai bukti ketegasan dalam
bersikap. Soka Pura segera mengikutinya.
"Aku tak menyangka akan jumpa dengan tokoh
seangker Dedengkot Iblis itu," ujar si Mata Bidadari.
"Apakah kau masih takut padanya?"
"Sejak awal melihatnya aku tak punya rasa takut, hawa waswas saja. Tapi setelah tahu dia baik pada kita, rasa waswas itu hilang."
"Beruntung sekali kita bertemu dia. Selain
nyawa kita tak jadi gentayangan, ilmu kita pun bertambah." "Ya, tapi aku tak tahu apakah ilmu pemberian
si Dedengkot Iblis itu tidak dilarang oleh guruku. Jika memang Guru melarangku
memakai ilmu itu, maka
lebih baik ku buang saja ilmu itu. Aku tak berani
membantah ketentuan Guru!"
"Nanti aku yang akan bicara pada Nyai Sangkal
Putung, gurumu! Aku akan berusaha meyakinkan pada gurumu bahwa ilmu itu bukan ilmu hitam. Hitam
dan putih, tergantung pemiliknya. Jika dipakai untuk
kejahatan, maka ilmu yang putih apa pun akan menjadi hitam. Demikian pula sebaliknya, jika kita pakai
untuk kebaikan, maka ilmu itu tetap putih."
"Memang benar apa katamu. Tapi kadang guruku perasaannya terlalu peka. Beliau bisa saja merasa tersinggung jika aku memiliki ilmu dari orang lain."
"Yah, kita coba saja bicara dengan beliau apa
adanya. Aku pun akan bicara pada ayahku, jika ayahku melarang aku menggunakan jurus tersebut, maka
aku tak akan menggunakannya!" ujar Soka Pura sambil terbayang saat berada di dalam gua bersama Dedengkot Iblis. "Senang sekali aku melihat kemesraan kalian.
Aku teringat masa-masa indah bersama Prabawinih,"
ujar Dedengkot Iblis kala itu. Suaranya bernada duka,
karena dalam hatinya mengalami penyesalan besar
atas musibah cintanya sampai ia kehilangan Prabawinih. "Kalian adalah pasangan yang kuanggap serasi.
Soka tampan, seperti aku di masa muda, dan Mata Bidadari cantik, seperti Prabawinih. Kau memang punya
kemiripan dengan Prabawinih!" ungkapnya kepada si Mata Bidadari.
"Keindahan matamu, bentuk rambutmu, perawakan mu yang tinggi sekal begitu, membuat aku seperti berhadapan dengan Prabawinih."
Dedengkot Iblis tarik napas dalam-dalam. Sejengkal duka berusaha disingkirkan dari hatinya. Walau akhirnya hanya terpendam ke dasar hati.
"Kenyataan ini membuatku ingin menitipkan
ilmu pada kalian berdua."
"Ilmu apa itu?" tanya Soka Pura.
"Ilmu ini bukan milik Raja Iblis, tapi milik guruku yang pertama, yang kini tentunya sudah dimakamkan di Pegunungan Tibet. Ilmu ini dinamakan ilmu
'Sentuhan Dewata'."
"Apa kehebatan ilmu itu?"
"Dengan menguasai ilmu 'Sentuhan Dewata'
kalian bisa menyentuh lawan jenis dengan hanya
membayangkan apa yang ingin kalian sentuh. Kalian
juga bisa memukul dan menendang lawan jenis, sesuai
dengan bagian yang kalian pukul dan kalian tendang
dalam khayalan. Syaratnya, hanya bisa dilakukan terhadap lawan jenis saja, dan lawan jenis itu harus bisa tertangkap oleh pandangan
mata. Sejauh apa pun ia
berada, jika masih bisa tertangkap oleh pandangan
mata, maka kalian bisa pergunakan jurus atau ilmu
'Sentuhan Dewata' itu."
"Hebat juga"!" gumam Soka Pura tak sadar. Si Mata Bidadari segera meliriknya,
seakan ia tahu rencana usil dalam benak Soka. Akibatnya pemuda tampan itu tersipu malu sendiri.
"Jika kalian tak bersedia, aku tidak memaksa,"
ujar Dedengkot Iblis dengan suaranya yang serak namun bernada tegas dan penuh wibawa.
"Aku bersedia!" sahut Soka Pura dengan kesan bersemangat sekali. Si Mata
Bidadari melirik kembali
ke arah Soka Pura. Pandangan mata Soka memberikan
isyarat agar si Mata Bidadari memberi pernyataan sepertinya. Maka murid cantik Nyai Sangkal Putung itu
akhirnya anggukkan kepala ketika pandangan mala
cekung Dedengkot Iblis tertuju kepadanya.
"Baik. Aku pun bersedia jika tidak mengandung
akibat buruk bagiku."
"Buruk dan baiknya akibat itu tergantung pada
dirimu sendiri," kata Dedengkot Iblis.
"Sebentar lagi aku pasti akan mati, karena ketuaan usiaku," tambah Dedengkot Iblis. "Banyak ilmu yang bisa kuturunkan, tapi
aku tak akan sempat
mempunyai murid. Beberapa ilmu yang bisa kuturunkan akan ku berikan kepadamu Pendekar Kembar,
termasuk ilmu 'Getaran Senyawa'. Khusus untuk ilmu
'Getaran Senyawa' hanya bisa dimiliki oleh dua orang
yang sejenis; pria dengan pria, atau wanita dengan
wanita. Kebetulan kau adalah pemuda kembar. Ilmu
itu cocok untuk kalian. Panggil kakak kembar mu itu
dan akan kuturunkan ilmu 'Getaran Senyawa' kepada
kalian." "Akan kuberi tahu kakakku nanti. Tapi... sebe-lumnya aku ingin tahu apa
kehebatan ilmu atau jurus
'Getaran Senyawa itu?"
"Kalian dapat bicara melalui batin sejauh apa
pun kalian terpisah. Dengan menahan napas dan
membayangkan kakak kembar mu, kau dapat bicara
dengannya dari gua ini."
"Menarik sekali! Kurasa kakakku akan bersedia
menerima ilmu itu!" ujar Soka Pura dengan berseri-seri. "Hanya ilmu-ilmu
pemberian Guru pertama ku
yang ingin kutitipkan kepada kalian. Ilmu yang ku peroleh dari Paduka Raja Iblis, tak baik kuberikan kepada siapa pun!"
Rupanya sejak tugasnya sebagai penjaga
'Bambu Gading Mandul' sudah berakhir, karena bambu itu sudah ditebang oleh Pendekar Kembar, si Dedengkot Iblis mulai berhasrat untuk kembali pada jati
dirinya yang asli; sebagai seorang ksatria aliran putih.
Ia pun sadar bahwa usianya tak akan lama lagi berakhir. Sang maut akan datang dan ia akan menjadi pengikut Raja Iblis yang abadi jika kematian itu sudah ti-ba. Sisa hidupnya itu
ingin dipergunakan untuk membagi ilmu kesaktiannya kepada orang-orang tertentu,
karena ia merasa tak punya waktu untuk mengangkat
seseorang untuk dijadikan muridnya. Kematian itu bisa datang sewaktu-waktu, sedangkan menurunkan ilmu membutuhkan waktu tersendiri. Ada yang singkat,
ada yang pendek.
Dedengkot Iblis sengaja memilih gua yang terpencil itu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Gua itu akan dijadikan
tempatnya menurunkan ilmu kepada orang yang berkenan di hatinya.
"Barangkali karena alasan itulah maka aku dan
si Mata Bidadari tak diizinkan memasuki lorong gua
yang lebih dalam lagi. Mungkin di sana ia menyimpan
setumpuk pusaka yang akan diwariskan kepada orang
yang terpilih oleh hatinya," ujar Soka Pura dalam hati, sebelum menerima ilmu
'Sentuhan Dewata' itu.
Akhirnya ilmu tersebut diterima oleh Soka Pura
dan si Mata Bidadari hari berikutnya mereka berada di
dalam gua tersebut. Peresapan ilmu itu membutuhkan
tenaga besar, hingga Soka dan si Mata Bidadari seperti terkuras tenaganya dan
menjadi lemah, letih, lesu, dan lelah. Mereka nyaris tak bisa berdiri selama
seharian penuh. Ketika kekuatan mereka sudah pulih kembali
pada esok harinya, tanpa setahu Dedengkot Iblis, mereka mencoba ilmu 'Sentuhan Dewata' itu. Diawali oleh
kenakalan Soka Pura yang memperhatikan si Mata Bidadari secara diam-diam. Waktu itu, si Mata Bidadari
sedang pandangi ombak di tengah lautan jauh yang
bergulung-gulung. Tiba-tiba dalam benak Soka membayangkan sedang mencium tengkuk kepala si Mata
Bidadari, karena rambut gadis itu tersingkap oleh
hembusan angin. Cup...!
Tiba-tiba si Mata Bidadari terkejut dan cepat
berpaling sambil mengusap tengkuknya. Ia merasa seperti sedang dikecup oleh sepasang bibir hangat yang
nakal. Ketika ia tahu Soka Pura berada di belakangnya
sedang menatap dengan tersenyum-senyum, si Mata
Bidadari pun segera ingat tentang ilmu 'Sentuhan Dewata'. Hatinya segera membatin sendiri.
"Hmmm, dia mulai nakal! Mungkin mencoba
ilmu itu. Bagaimana kalau sekarang kubayangkan sedang mencium bibirnya?"
Soka Pura terkejut, bibirnya merasa seperti dilumat dengan nakal oleh sepasang bibir hangat. Lumatan itu sangat jelas dirasakan, sampai timbulkan debar-debar keindahan dalam hatinya.
Dengan mata menjadi sayu, Soka Pura berkhayal membalas lumatan bibir tersebut. Ternyata si
gadis semakin menggeliat. Kedua tangannya dibayangkan sedang merangkul tubuh Soka Pura yang berjarak
enam langkah darinya itu. Ternyata Soka pun merasakan pelukan itu dengan sangat jelas.
Maka mereka pun akhirnya bercumbu dalam
bayangan, namun terasa dalam kenyataan. Sekujur
tubuh si gadis merasa dijamah dengan mesra oleh tangan Soka Pura. Gairah bercinta pun semakin terbakar.
Si gadis sengaja menikmati jamahan tangan dan sapuan lidah hangat yang merayapi sekujur tubuh, hingga menyentuh pusat keindahannya. Si Mata Bidadari
hanya bisa bersandar pada batu tinggi dan mengeluh
mesra dengan keringat dingin mulai bercucuran.
Ia meresapi kemesraan aneh itu dengan memejamkan mata. Jika ia ingin membalas kemesraan itu,
matanya sedikit dipicingkan agar bisa melihat Soka, la-lu bayangan dalam
benaknya membalas kemesraan itu
dengan mencium tubuh Soka dengan usapan tangan
yang juga menjelajahi tubuh kekar itu.
Ternyata kemesraan bayangan itu mampu
membuat si gadis mencapai puncak keindahannya beberapa kali. Ia seperti benar-benar sedang berlayar ke lautan cinta dengan Soka
Pura, sehingga pucuk-pucuk
kenikmatannya dapat diraihnya dengan sejuta keindahan. Si Mata Bidadari pun terkulai lemas. Nafasnya
terengah-engah. Tubuhnya basah oleh keringat. Gerakannya yang tidak sadar membuat pakaiannya menjadi morat-marit sendiri. Ketika ia memandang Soka Pura di seberang sana, pemuda itu pun mengalami hal
serupa. Mereka akhirnya saling sunggingkan senyum.
Si Mata Bidadari tampak malu namun wajahnya berseri-seri dengan mata indahnya yang sayu karena masih
tersimpan sisa kemesraannya.
"Ternyata... Indah sekali, bukan?" bisik Soka Pura saat mendekati gadis itu yang
buru-buru merapi-kan pakaiannya, takut si Dedengkot Iblis tahu-tahu
pulang dari kepergiannya.
"Mungkin lebih indah jika... jika...."
"Jika terjadi dalam kenyataan?" sahut Soka Pu-ra. Si gadis makin tersipu lagi.
"Ah, entahlah! Kau memang nakal, Soka!"
Beberapa saat setelah itu, Dedengkot Iblis benar-benar pulang dari kepergiannya. Rupanya ia pergi
untuk mencarikan makanan buat kedua anak muda
yang keringatnya masih tampak tersisa di sela-sela tubuh mereka. Pandangan mata cekung si tokoh berambut putih acak-acakan itu membuat mereka malu dan
salah tingkah. "Rupanya kalian habis mencoba ilmu 'Sentuhan
Dewata' itu!" ujar Dedengkot Iblis.
Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Soka Pura dan si Mata Bidadari hanya tersenyum dan berusaha untuk tidak menatap mata si jubah merah yang mempunyai tubuh kurus, jangkung
dengan kuku tajamnya yang berwarna hitam itu. Sorot
pandangan mata Dedengkot Iblis yang tanpa senyum
itu membuat mereka menjadi gelisah, ada perasaan
takut karena telah menggunakan ilmu baru mereka
untuk bercumbu. Sekalipun mereka sudah hindari
pandangan mata, tapi si Dedengkot Iblis tetap menatap
mereka dengan kesan angker. Mereka tak tahu apa
maksud pandangan mata tersebut.
* * * 4 KETIKA Soka Pura membayangkan percumbuan dengan si Mata Bidadari itu, tiba-tiba terdengar
suara ledakan yang cukup keras dari arah kedalaman
hutan. Duaaar...!
Langkah pun segera dihentikan, demikian pula
langkah si Mata Bidadari. Mereka saling pandang sejenak dengan wajah sedikit tegang.
"Suara pertarungan siapa itu?" gumam si Mata Bidadari.
"Mungkin Dewa Pancung melawan orang lain!
Kita lihat saja ke sana!"
Mereka pun bergegas hampiri ke arah datangnya ledakan tersebut. Dari balik dua pohon berjajar,
Soka dan si Mata Bidadari memperhatikan sebuah pertarungan yang dilakukan oleh seorang pemuda berwajah tampan, berkumis tipis dengan rambut ikalnya
yang sebahu diikat memakai ikat kepala biru tua.
Pemuda berpakaian serba biru itu sedang
menghadapi lawannya yang jauh lebih tua darinya.
Sang lawan berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih,
sedangkan pemuda itu baru berusia sekitar dua puluh
lima tahun. Sekalipun si pemuda bersenjata kapak
dua mata yang masih terselip di sabuk hitamnya itu
mempunyai tubuh gempal dan kekar seperti Soka Pura, tapi agaknya ia terdesak oleh pukulan jarak jauh si kakek berjubah hijau
lumut yang badannya kurus itu.
Kakek berambut putih pendek dengan ikat kepala hitam itu juga belum mengangkat senjatanya berupa
cambuk hitam yang masih terselip di ikat pinggangnya
yang berwarna merah itu. Namun agaknya pukulanpukulan jarak jauhnya sukar ditahan oleh si pemuda.
"Siapa mereka" Kau kenal dengan mereka?" bisik Soka. Mata Bidadari gelengkan kepala, pertanda tak
mengenal keduanya. Soka sendiri masih merasa asing
kepada mereka yang bertarung itu. Karenanya ia masih belum mau bertindak apa-apa kecuali hanya diam
di tempat dan memperhatikan jurus-jurus si kakek
berjubah hijau lumut itu.
"Agaknya kakek itu dari aliran hitam," bisik si Mata Bidadari.
"Dari mana kau tahu?"
"Wajahnya berkesan angker, menyeramkan.
Matanya yang cekung itu mempunyai ketajaman pandang yang berkesan dingin. Mungkin ia bekas pembunuh berdarah dingin!"
Soka Pura hanya manggut-manggut tipis. Pandangannya berusaha diarahkan ke wajah si kakek
yang berkumis tebal beruban itu. Kedua alisnya yang
juga putih tebal itu membentuk garis naik, sehingga
wajahnya tampak angker. Sementara si pemuda lawannya berkesan simpatik, dan tergolong cukup rupawan. Sayang sekali ia tak bisa hindari sodokan dua
jari si kakek dari jarak lima langkah di depannya. Sodokan dua jari itu keluarkan sinar putih perak yang
berbentuk seperti bintang kecil itu. Claap...!
Pada waktu itu si pemuda sedang bergegas
bangkit dari jatuhnya akibat pukulan tenaga dalam
tanpa sinar yang kenal dadanya tadi. Baru saja ia
mengangkat wajah, sinar putih perak seperti bintang
kecil itu melesat ke arahnya. Wees...! Pemuda itu
menghindar dengan sentakkan wajah ke samping. Tapi
sedikit terlambat, sehingga pipi kanannya terserempet
sinar putih tersebut. Sraaat...!
"Aaaow...!" pemuda itu memekik seketika sambil jatuh terpelanting. Pipinya yang berkulit coklat
koyak dan menjadi hangus, seperti habis disambar besi panas. Ia mengerang kesakitan. Sementara sinar putih yang hanya menyerempet pipinya itu segera menghantam batu di belakangnya. Taarr...! Benturan itu
timbulkan letupan kecil, tapi batu sebesar anak sapi
itu hancur seketika menjadi seperti serpihan kristal.
Pruuul...! "Gila! Sinar putih itu berbahaya sekali"!" gumam hati Soka Pura. "Hampir saja
kepala pemuda itu hancur seperti batu tersebut."
Sebenarnya si pemuda sudah mulai lemah. Karena luka yang mengoyakkan pipi kanannya hingga
menjadi hitam hangus dan berasap itu membutuhkan
tenaga besar untuk menahan rasa sakitnya. Namun
karena sang kakek berjubah hijau lumut masih lepaskan serangannya yang serupa tadi, pemuda tersebut segera cabut senjatanya. Kapak dua mata dihadangkan di depan dadanya yang menjadi sasaran sinar
putih perak berbentuk bintang itu. Claaap...! Wuut...!
Sinar putih tersebut akhirnya menghantam mata kapak yang sudah memancarkan cahaya biru bening.
Blaaarr...! Suara ledakan lebih dahsyat dari yang tadi terdengar menggema memenuhi hutan pantai. Pemuda
itu terlempar ke belakang, terguling-guling sejauh tujuh langkah dari tempatnya tadi. Namun ia hanya
mengerang panjang menahan rasa sakit, karena kapaknya tadi menghantam dadanya sangat kuat, untung bukan bagian yang tajam. Dada itu terasa mau
jebol, karena gelombang ledakan yang menghantam
tadi cukup besar dan keras.
Si pemuda bergegas bangkit, seakan tak mau
menyerah walau sudah mengalami luka parah pada
dua tempat: pipi dan dada. Kapak dua mata itu sekarang dimainkan, menebas ke kanan dan ke kiri.
"Hiah, hiah, hiah, hiah, heeeaah...!"
Pemuda itu lebarkan kaki rendahkan badan.
Kedua tangannya merentang, yang satu mengangkat
kapak di atas kepala, yang satu menggenggam kuat
sedikit ditekuk ke depan. Rupanya ia tunjukkan bahwa dirinya masih sanggup melawan si kakek berjubah
hijau. "Sekarang saatnya ku cabut nyawamu untuk menebus kematian cucuku,
Jahanam!" geram si kakek dengan pandangan mata semakin ganas.
"Aku bukan pembunuh cucumu, Bandot Sebrang! Tapi jika kau mampu cabut nyawaku, aku pun
akan lebih dulu cabut nyawamu!"
"Keparaaaat...!"
Setelah berseru dengan ganas, si kakek yang
rupanya bernama Bandot Sebrang itu layangkan tubuhnya dalam gerakan bersalto cepat. Kedua kakinya
merapat, tubuhnya berguling di udara, dan ketika kakinya menapak ke bumi, kaki itu tetap rapat, lalu berjumpalitan kembali di udara. Gerakan tersebut dilakukan dengan cepat dan berulang-ulang, membuat jaraknya semakin dekat dengan si pemuda.
Wuk, tap, wuk, tap, wuk, tap, wuk, tap.
Pemuda itu justru menerjang maju dengan
lompatan cepat membuat dirinya seperti bayangan
berkelebat. Weeess...! Siaap...! Soka Pura sempat bingung ikuti gerakan si pemuda dengan pandangan mata. Tahu-tahu si pemuda sudah bertukar tempat, ia
berada di tempat si kakek berdiri tadi. Sementara si
kakek berada di tempat berdirinya si pemuda tadi.
Mereka beradu punggung sekejap, kemudian
sama-sama berbalik arah hingga berhadapan lagi. Si
Mata Bidadari terbelalak, demikian pula dengan Soka
Pura, karena begitu Bandot Sebrang berbalik arah, mereka melihat dada Bandot Sebrang terluka lebar oleh
tebasan kapak pada saat si pemuda menerjangnya.
Luka itu cukup panjang, dari pinggang kanan sampai
ke pundak kiri. Luka itu juga berwarna hitam dan makin lama bergerak semakin lebar.
Rupanya kapak itu bukan saja beracun ganas,
namun juga mempunyai hawa pembusuk yang cepat
membuat luka menjadi berbelatung.
Bandot Sebrang masih berdiri tegak, seakan tak
bisa ditumbangkan. Luka yang cepat busuk dan berbelatung itu segera diusap dengan tangan kanannya. Ketika telapak tangan kanan menempel pada luka, asap
putih segera keluar dari tangan tersebut. Usapan tangan bergerak sepanjang luka yang ada. Dalam sekejap,
luka itu lenyap tak tersisa sedikit pun. Bekas yang tersisa hanya pada baju dalam putih yang masih tetap
robek dari perut sampai pundak.
Tentu saja hal itu membuat pemuda itu tercengang. Bahkan si Pendekar Kembar bungsu dan Mata
Bidadari juga tercengang melihat luka itu lenyap dalam satu kali usapan tangan.
"Hebat juga ilmu si Bandot Sebrang itu!" bisik Soka kepada Mata Bidadari. Tapi
gadis itu tak perdengarkan jawaban atau gumam pendek, ia sibuk perhatikan keadaan Bandot Sebrang yang tegar kembali.
Pemuda berpakaian serba biru itu serukan kata. "Boleh juga ilmumu, Bandot Sebrang. Tapi belum tentu bisa hadapi jurusku ini!"
Si pemuda segera ayunkan kapak dua mata itu
ke arah Bandot Sebrang dalam jarak sekitar enam
langkah, sambil ia serukan kata kembali.
"Rahang Siluman...!!"
Wuuusss...! Begitu kapak diayunkan ke depan, salah satu
mata kapak terlepas dari gagangnya dalam keadaan
bercahaya pijar biru. Mata kapak itu melayang terbang
dengan gerakan memutar dengan cepat bagai piringan.
Arahnya ke leher Bandot Sebrang. "Rahang Siluman...!!" Pemuda itu berseru kembali sambil sabetkan
kapaknya. Kini satu mata kapak yang tersisa itu juga
melayang terbang dalam gerakan memutar dengan
memancarkan cahaya biru pijar. Arahnya tetap tertuju
ke leher si Bandot Sebrang. Bedanya, mata kapak yang
kedua bergerak dari kiri, mata kapak pertama bergerak
dari kanan. Wees, wees, wees, wees, wees...!
Rupanya 'Rahang Siluman' adalah nama jurus
yang membuat kedua mata kapak itu memutar cepat
dalam gerak layangnya, hingga menyerupai gumpalan
cahaya biru pijar. Kecepatan geraknya sempat membuat Bandot Sebrang sedikit menggeragap, maka ia segera bersalto mundur dengan lincahnya. Wuk, wuk,
wuk! Jleeg...! Dua mata kapak itu nyaris saling bertabrakan
di depan si Bandot Sebrang. Tapi gerakan melayang
kedua mata kapak itu ternyata berputar arah dan
kembali menuju kepada si Bandot Sebrang.
Dengan cepat Bandot Sebrang mencabut cambuknya. Kemudian cambuk itu dilecutkan secara beruntun ke kanan kiri, timbulkan letupan dan percikkan bunga api yang cukup keras.
Tar, tar, tar, tar, tar, tar!
Gerakan cambuk yang mirip ekor naga itu akhirnya menyabet kedua mata kapak itu secara berturut-turut. Akibatnya timbul ledakan menggelegar dua
kali yang mengguncangkan tanah sekitarnya dan
menggetarkan pohon-pohon sekeliling mereka.
Blegaaar... blegaar...!
Kedua mata kapak itu padam seketika. Warnanya menjadi putih mengkilap kembali. Tapi kedua
mata kapak itu tidak hancur atau gompal sedikit pun.
Bahkan retak pun tidak. Dan anehnya, gerakan mata
kapak yang semestinya terpental ke arah yang berlawanan, ternyata justru dengan cepat dan kembali ke
arah semula. Pemuda itu masih acungkan gagang kapaknya
ke atas kepala. Maka kedua mata kapak itu pun hinggap kembali ke gagangnya seperti semula, seakan gagang kapak itu mempunyai daya magnet tersendiri
yang mampu menyedot kedua mata kapak tersebut.
Trak, trak...! Wuk, wuk, wuk, wuk...!
Pemuda itu mainkan kapaknya kembali dengan
diputar-putar ke samping atau di atas kepala. Ia pun
melangkah ke kiri dengan mata masih memandangi si
Bandot Sebrang. Luka di pipi dan dada tidak dihiraukan. Ia masih kuat menahannya.
Bandot Sebrang sendiri semakin geram melihat
lawannya sulit ditumbangkan. Dengan cepat ia melesat
maju sambil lecutkan cambuknya dalam dua kali sentakan beruntun. Ctar, tar...!
Di luar dugaan, cambuk tersebut mampu melecut dalam gerakan meliuk dari arah semestinya. Akibatnya, kedua lecutan tersebut kenal lengan si pemuda dan merobek pergelangan tangannya.
"Aaow...!" pemuda itu terpekik karena luka
cambuk seperti luka bacokan senjata tajam. Kapaknya
jatuh ke tanah, karena pergelangan tangannya yang
robek mengerikan itu. Ia berusaha menyambar kapaknya dengan sedikit membungkuk, tapi lecutan cambuk
maut si Bandot Sebrang kembali kenal punggungnya
dengan telak. Ctaaarr...! "Aaaaaahk...!" pemuda itu berteriak keras dengan tubuh mengejang sesaat.
Punggungnya robek bagaikan terkena tebasan pedang. Ia pun segera jatuh
Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersungkur sambil mengerang panjang. Brruuk...!
Bandot Sebrang sudah berdiri tiga langkah di
samping kanan pemuda itu.
"Kini saatnya kepalamu menjadi penebus kematian cucuku, Jahanam! Heaaaah...!"
Bandot Sebrang seperti orang tak kenal ampun
lagi. Cambuknya yang mempunyai ketajaman seperti
pedang itu dilecutkan ke leher pemuda tersebut untuk
memenggal kepala si pemuda. Namun baru saja ia
mengangkat cambuknya, tiba-tiba tubuhnya tersentak
ke belakang secara berkali-kali seperti ada yang menendangnya secara beruntun. Bahkan suara dada di
tendang pun terdengar jelas di telinga Soka Pura.
Druk, druk, druk, druk, druk...!
Ploook...! Suara wajah disambar oleh tendangan
keras juga terdengar jelas di telinga Pendekar Kembar
bungsu. Anak muda berpedang kristal di pinggang kanan itu terbelalak dan terheran-heran melihat Bandot
Sebrang terlempar ke samping sejauh empat langkah.
Tentu saja Bandot Sebrang sendiri kebingungan mencari lawan yang menyerangnya secara tiba-tiba itu.
Bahkan ketika ia berusaha untuk bangkit, tibatiba tubuhnya tersentak ke belakang dengan keras
hingga terkapar menyedihkan.
"Aaahk...!" Bandot Sebrang semburkan darah
dari mulutnya. Ia merasa menerima tendangan bertenaga dalam tinggi di dadanya, sehingga darahnya
muncrat dari mulut.
"Celaka! Ada orang yang membantu si jahanam
itu! Tapi di mana dia"!" pikir Bandot Sebrang. Ia segera bangkit untuk mencari
penyerangnya. Tapi ia tidak
temukan siapa pun. Hanya saja, tiba-tiba perutnya
merasa disodok dengan telapak tangan dari bawah ke
atas. Seakan ada orang di depannya dalam jarak satu
langkah kurang. Paak...! Tubuh kakek berjubah hijau
lumut itu tersentak naik, darah pun muncrat kembali
dari mulutnya. Soka Pura yang tertegun bengong melihat nasib
si Bandot Sebrang segera ingat kekuatan ilmu
'Sentuhan Dewata' yang baru diperolehnya bersama si
Mata Bidadari. Dengan cepat wajah Soka berpaling
menatap Mata Bidadari.
"Hei, kaukah yang melakukannya"!"
Mata Bidadari berhenti, tapi pandangannya
masih tertuju kepada si Bandot Sebrang. Kakek itu terlempar kembali merasa ditendang dengan tenaga besar
hingga tubuhnya terpental membentur pohon besar.
Duuuurr...! Pohon itu bergetar, daunnya berjatuhan.
"Hentikan!" sentak Soka sambil mengguncang
pundak Mata Bidadari. "Hentikan tindakanmu, Tolol!"
Wajah gadis itu dipaksakan berpaling ke arahnya. Mata mereka saling bertatap tajam.
"Jangan gunakan ilmu itu untuk campuri urusan mereka, Bodoh!" hardik Soka dalam bisikan.
"Dia ingin membunuh pemuda itu!"
"Itu urusan dia!"
"Tapi pemuda itu tidak membunuh cucu si
Bandot Sebrang! Pemuda itu sudah tak berdaya masih
ingin diserang juga!"
"Itu urusan mereka, Bidadari! Kita belum tahu
persis siapa yang bersalah!"
"Tap... tapi aku tak tega melihat pemuda itu
terluka sebegitu parah dan, oh... lihat! Dia sudah mulai sekarat!"
Tubuh pemuda itu memang menyentaknyentak dalam keadaan tengkurap. Darah mengalir deras dari punggungnya yang koyak lebar itu. Sedangkan
si Bandot Sebrang sudah tak tampak. Rupanya kakek
itu melarikan diri begitu sadar bahwa ia sekarang berhadapan dengan lawan yang tak bisa dilihat oleh mata
normal. Di samping itu, Bandot Sebrang merasa lukanya cukup parah, sehingga ia butuh tempat dan
waktu untuk sembuhkan luka dalam tersebut. Maka ia
lebih baik tinggalkan tempat daripada mati tanpa melihat rupa lawannya.
Luka yang amat parah membuat pemuda itu
hampir saja kehilangan nyawanya. Beruntung sekali di
situ ada Pendekar Kembar bungsu yang mempunyai
jurus penyembuhan bernama 'Sambung Nyawa' itu.
Maka tangan Soka yang sudah memancarkan cahaya
ungu pijar itu ditempelkan ke tengkuk kepala si pemuda malang. Cahaya ungu dari perpaduan antara hawa
murni dengan tenaga inti gaib itu bagaikan meresap ke
dalam tubuh si pemuda. Tubuh tersebut akhirnya juga
memancarkan cahaya ungu pijar bagaikan fosfor. Sekalipun telapak tangan Soka sudah tidak menempel di
tengkuk pemuda itu dan cahaya ungunya sudah padam, namun tubuh tersebut masih memancarkan cahaya ungu pijar sebagai proses penyembuhan lukalukanya. Mata Bidadari berdiri di bawah pohon tak jauh
dari tempat si pemuda tengkurap di tanah. Wajah gadis itu tampak cemas dan menaruh rasa iba melihat
keadaan si pemuda. Soka dekati Mata Bidadari dan
berkata dengan suara sedikit geram.
"Kau naksir pemuda itu, ya"!"
"Hmmm...!" Mata Bidadari mendengus sambil
melengos. Wajahnya berubah menjadi cemberut.
"Tindakanmu menyerang Bandot Sebrang dengan ilmu 'Sentuhan Dewata', seperti orang yang tak rela melihat kekasihnya tewas di pertarungan."
"Jangan picik otakmu!" sentak Mata Bidadari
dengan ketus. "Aku hanya tak tega melihat keadaannya yang sudah parah masih mau
diserang juga! Tak
ada maksud apa pun di balik tindakanku tadi!"
Sambil menunggu proses penyembuhan si pemuda baju biru itu, Soka Pura sengaja menggoda Mata
Bidadari dengan senyum kecurigaan.
"Kukira kau terpikat padanya dan tak ingin ia
tewas di tangan Bandot Sebrang."
"Kau pikir dia lebih menarik daripada dirimu?"
"Apakah tidak begitu?"
"Tidak!" ketus Mata Bidadari. Soka Pura terta-wa dalam gumam pelan. Si gadis
cepat berpaling menatap Soka. "Kuharap jangan punya prasangka seperti itu,
Soka! Kau pikir aku mudah tertarik pada seorang pemuda?" "Buktinya kau tertarik padaku."
"Karena kau nakal dan usil!" Mata Bidadari
mengulum senyum sambil buang pandangan ke arah
lain. "Jadi kau...." Soka Pura tak jadi lanjutkan ucapannya, karena ia segera
melihat si pemuda baju biru
itu mulai menggeliat dan mengerang pelan. Erangan
itu bukan erangan kesakitan, namun erangan seperti
orang baru bangun dari tidur nyenyaknya.
Pemuda tersebut terkejut memandang ke arah
Soka Pura dan Mata Bidadari. Lebih terkejut lagi setelah ia sadari bahwa luka-lukanya sudah merapat dan
pulih seperti sediakala, tanpa bekas apa pun kecuali
lumuran darah. Rasa sakit sama sekali tak dirasakan
lagi. Bahkan tubuhnya merasa segar dan kekuatannya
pulih kembali. Ia juga meraba pipinya, ternyata mulus
kembali tanpa luka bakar seujung jarum pun.
"Ajaib sekali"!" gumam hati pemuda itu. "Siapa yang menolongku" Mereka berdua
itukah yang selamatkan nyawaku dan sembuhkan luka secara ajaib
ini?" Pemuda berambut ikal segera bangkit mengambil kapaknya. Kemudian la sengaja melangkah temui Soka dan Mata Bidadari di bawah pohon teduh.
"Kaliankah yang mengobati lukaku?" tanyanya
dengan sikap ramah dan bersahabat.
"Ya, kami yang selamatkan nyawamu!" Jawab
Soka Pura. Sementara itu, si Mata Bidadari hanya bersikap tenang, sesekali memandang ke arah lain, sesekali tertuju pada pemuda tersebut.
"Jika begitu, kuucapkan terima kasih banyak
kepada kalian atas pertolongan kalian yang telah selamatkan nyawaku dari amukan si Bandot Sebrang tadi!" "Aku melihat pertarungan mu dengan kakek
tua tadi."
"Bandot Sebrang nama orang Itu!" jelas si pemuda. "Ya, aku tahu namanya Bandot
Sebrang, kare-na kau tadi sempat menyebutkannya. Tapi kami belum
tahu namamu, Sobat!"
"Namaku, hmm.... Surogoto. Hmm, ya.... Surogoto itu namaku," Jawab si pemuda agak grogi, karena ekor matanya menangkap
seraut wajah cantik dengan
daya tarik sangat kuat pada mata. Wajah cantik itu
milik si Mata Bidadari yang berdiri di samping Soka
Pura, sedikit ke belakang.
"Namaku sendiri.... Soka Pura, dan ini... pasangan ku: si Mata Bidadari!"
Gadis itu menggerutu lirih, "Pasangan, pasangan...! Apa dikiranya sandal jepit"! Pakai istilah pasangan segala"!".
Soka Pura geli dalam hati, terwujud dalam senyum tipis yang ditahan agar tidak menjadi tawa. Surogoto pun tersenyum walau tak mendengar Jejas gerutuan Mata Bidadari, tapi ia anggukkan kepala sedikit bungkukkan badan sebagai
tanda menghormat dalam
perkenalan tersebut.
"Namaku.... Surogoto, Nona!"
"Masa bodoh!" ucap Mata Bidadari dengan lirih.
hanya Soka yang mendengarnya.
"Kalau boleh ku tahu, kau dari mana dan mau
ke mana, Surogoto"!" tanya Soka Pura alihkan suasa-na menjadi lebih serius
sedikit. "Aku, hmmm... sebenarnya aku tinggal tak jauh
dari sini. Masih termasuk orangnya Ratu Sedap Malam
yang bertugas di tapal batas wilayah utara sana."
"Ooo...!" Soka Pura manggut-manggut.
"Aku baru saja dari pesanggrahan dan ingin
kembali ke tempat jaga ku. Tiba-tiba aku diserang oleh Bandot Sebrang dengan
tuduhan memenggal kepala
cucunya yang bernama: Sindarwati."
"Apakah Sindarwati itu orangnya Ratu Sedap
Malam juga?" tukas Pendekar Kembar bungsu.
"Benar. Sindarwati bergabung dengan pihak
pesanggrahan beberapa bulan yang lalu. Waktu tadi
kutemukan kepala Sindarwati tertancap pada bambu
dan dipajang di pantai. Saat itulah si Bandot Sebrang
muncul dan menyangka diriku yang memenggal kepala
Sindarwati."
"Ooo..."!" Soka manggut-manggut lagi. Tapi
manggut-manggutnya segera dihentikan setelah sadari
apa yang dikatakan Surogoto. Wajah Soka Pura mulai
tegang. "Ja... jadi sekarang ada korban terpenggal la-gi"!" "Benar. Aku tak
sempat memberitahukan kepada Nyai Ratu karena belum-belum sudah diserang
oleh Bandot Sebrang. Jika kau ingin melihatnya, pergilah ke pantai, maka kau akan menemukan kepala Sindarwati. Aku harus segera kembali ke tempat penjagaanku." "Celaka! Pasti si Dewa Pancung lagi pelakunya?" gumam Mata Bidadari dengan tegang. Tanpa
pamit apa pun kepada Surogoto, Mata Bidadari melesat pergi ke arah pantai. Mau tak mau Soka Pura harus segera menyusulnya, setelah lebih dulu pamit kepada Surogoto dan Surogoto pun bergegas pergi ke
arah lain. Mata Bidadari dan Soka Pura menelusuri pantai. Tapi mereka tidak temukan kepala Sindarwati.
Hanya saja, mereka segera menemukan sebatang
bambu hijau yang bagian atasnya runcing dan masih
berlumur darah. Agaknya bambu itulah yang dipakai
untuk menancapkan kepala Sindarwati.
"Masih basah sekali darahnya. Berarti kejadiannya belum lama ini, Soka!" ujar Mata Bidadari sambil memeriksa darah yang
melumuri bambu tersebut. "Ya, darah ini memang masih segar. Berarti
Dewa Pancung ada di sekitar tempat ini! Aku akan
mencarinya, Bidadari."
"Tunggu!" sergah Mata Bidadari. "Bagaimana dengan kepalanya Sindarwati itu"
Bukankah kepala
itu tak ada di bambu ini?"
"O, ya. Benar!" ujar Soka terperangah, seperti baru saja teringat sesuatu yang
Anak Pendekar 23 Pendekar Seribu Diri Karya Aone Panji Tengkorak Darah 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama