Ceritasilat Novel Online

Penghianat Budiman 2

Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman Bagian 2


nyaris terlupakan.
"Ke mana kepala itu" Ke mana pula raga si Sindarwati?" sambung Soka seperti bertanya pada diri sendiri.
* * * 5 TIDAK ada langkah yang lebih baik kecuali pulang ke pesanggrahan secepatnya, dan memberitahukan kepada Ratu Sedap Malam bahwa seorang gadis
dari pesanggrahan tewas terpenggal lagi. Namun
alangkah terkejutnya Soka Pura dan Mata Bidadari ketika tiba di pesanggrahan, ternyata suasana di sana
sudah menjadi heboh. Kepala Sindarwati sudah ada di
pesanggrahan bersama raganya dalam keadaan terpisah. "Ke mana saja kau"! Kalau sudah bersama gadis cantik selalu melantur terus kerjamu! Kebiasaan!"
omel Raka Pura begitu bertemu dengan adik kembarnya. "Kepalamu bopak!" maki Soka Pura bersungut-sungut. "Aku bukan melantur,
tapi hampir saja mati kena racunnya si Dewa Pancung bersama Mata Bidadari! Kalau
tidak ditolong oleh Dedengkot Iblis kau sudah tak bisa bertemu denganku lagi,
tahu"!"
"Dedengkot Iblis"!" Raka Pura terkejut. "Kau ditolong oleh Dedengkot Iblis"!"
Tentu saja Pendekar Kembar sulung terheranheran mendengar pengakuan adiknya. Hampir saja ia
tak mempercayai kata-kata Soka Pura, karena ia ingat
mereka berdua pernah diserang habis-habisan oleh
Dedengkot Iblis. Jika si Mata Bidadari tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya, mungkin Raka tak
akan pernah percaya bahwa Dedengkot Iblis berbalik
sikap memihaknya.
Soka Pura dan Mata Bidadari semakin terperanjat kaget ketika mereka menemukan seraut wajah
di antara orang-orang yang mengerumuni mayat Sindarwati. Soka Pura sempat beradu pandang dengan
Mata Bidadari sebagai tanda sama-sama merasa heran. "Dia..."!" Mata Bidadari nyaris tak bisa bicara.
Tapi Raka Pura segera tanggap dengan orang yang dimaksud Mata Bidadari itu.
"Ada apa"! Mengapa kalian terheran-heran melihat kakek berjubah hijau itu"!"
"Ap... apakah kau kenal dengannya, Raka?"
tanya Soka Pura.
"Baru saja aku dikenalkan dengannya oleh Nyai
Ratu. Dia adalah kakeknya si gadis yang menjadi korban kali ini. Kudengar Nyai Ratu menyebut namanya:
Bandot Sebrang."
Tentu saja Soka dan Mata Bidadari menjadi
terheran-heran karena tak menyangka bahwa Bandot
Sebrang ternyata kenal baik dengan Ratu Sedap Malam. Rupanya kakek berjubah hijau itu sedang dalam
perjalanan menuju ke pesanggrahan ketika ia memergoki cucunya dibantai oleh si pemuda berpakaian serba biru yang mengaku bernama Surogoto tadi. Mata
Bidadari tampak lebih tegang dan cemas dibanding
Soka, karena gadis itu tadi secara diam-diam menyerang Bandot Sebrang. Ia merasa berdosa, karena ternyata Bandot Sebrang adalah tokoh aliran putih yang
memihak Ratu Sedap Malam.
"Jangan ceritakan apa yang telah kulakukan
padanya tadi, Soka!" bisik Mata Bidadari membuat So-ka Pura nyaris tertawa geli
memandang ketegangan
wajah gadis itu.
"Bagaimana kalau kuceritakan kepada gurumu:
Nyai Sangkal Putung itu?" goda Soka.
"Jangan gila kau! Lihat saja hubungan mereka
itu, tampak akrab sekali. Ternyata guruku adalah sahabat si Bandot Sebrang! Sial! Menyesal sekali tadi aku ikut menyerangnya secara
sembunyi-sembunyi!" gerutu Mata Bidadari.
Ketika mereka sudah diperkenalkan kepada si
Bandot Sebrang, Soka Pura segera ajukan tanya kepada si jubah hijau yang wajahnya berkesan angker itu.
"Apakah... apakah benar Ki Bandot Sebrang
melihat sendiri pemenggalan ini dilakukan oleh pemuda berbaju biru yang bernama Surogoto itu"!"
"Aku melihatnya sendiri dari kejauhan. Tapi
aku datang terlambat!" jawab Bandot Sebrang dengan nada sedih.
"Jadi bukan si Dewa Pancung yang memenggal
kepala Sindarwati ini"!" tanya Mata Bidadari.
Ratu Sedap Malam dan yang lainnya saling
pandang. Nyai Sangkal Putung segera perdengarkan
suaranya kepada Mata Bidadari dan Soka Pura.
"Kau dan Soka pergi terlalu lama, sehingga tak
tahu bahwa Dewa Pancung sudah tewas dengan kepala
terpenggal juga!"
"Ooh..."!" Soka dan Mata Bidadari sama-sama
terkejut. "Siapa yang membunuhnya, Nyai?" tanya Soka.
"Yang membunuhnya adalah kepala Suku Ampar, sedangkan yang menangkapnya adalah kakakmu
sendiri dan Kirana!" jawab Nyai Sangkal Putung.
"Suku Ampar..."!" Soka Pura sempat heran
mendengar Suku Ampar terbawa-bawa dalam kasus
tersebut. Kemudian, Lahar Jalanan menjelaskan seluruh peristiwa penangkapan Dewa Pancung sampai pada kematian si mata-mata cantik: Bintari.
Rangkaian cerita itu disimpulkan oleh Soka Pura, bahwa pada saat ia dan Mata Bidadari diserang
oleh Dewa Pancung, saat itu sebenarnya yang ditemui
Bintari bukan Prapanca, melainkan si Dewa Pancung.
Mungkin setelah lakukan pertemuan dengan Dewa
Pancung untuk memberitahukan keadaan di pesanggrahan yang banyak tamu itu, Bintari bertemu
dengan Prapanca. Mereka segera bentrok, karena Prapanca tak mau layani gairah Bintari, sampai akhirnya
Soka dan Mata Bidadari muncul meleraikan bentrokan
tersebut, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Geger Pantai Rangsang").
Bandot Sebrang berujar kepada Soka, "Aku tidak tahu siapa nama pemuda itu, karena aku baru sekali melihatnya. Yang jelas aku kecewa sekali tak bisa ganti memenggal kepalanya
karena ia mempunyai teman yang tak bisa dilihat. Semacam hantu yang memihaknya, dan menghalangiku saat akan memenggal
kepalanya dengan cambuk ku. Aku segera lari karena
aku terluka berbahaya. Setelah tiba di sini dan menyerahkan jenazah cucuku kepada Ratu, kuobati sendiri
lukaku ini! Tapi aku masih simpan dendam padanya
dan belum puas hatiku jika belum melihat kepalanya
terpenggal."
Bandot Sebrang mendengar ada keributan di
Pantai Rangsang. Ia mengkhawatirkan keselamatan
cucunya: Sindarwati. Karenanya ia bermaksud untuk
datang ke pesanggrahan sang Ratu Sedap Malam untuk ikut menghalau keributan di sana. Tapi ternyata ia justru melihat sendiri
cucunya dipenggal oleh kapak
Surogoto. "Pemuda Itu pasti orangnya Raja Amuk Jagal,"
ujar Raka Pura.
"Hmmm, Jadi si Amuk Jagal yang sengaja bikin
geger di sini?" geram tokoh tua dari Pulau Sebrang itu.
Kemudian Nyai Sangkal Putung segera beberkan semuanya tentang bahaya maut dari Raja Amuk Jagal
yang akan menyerang pesanggrahan Pantai Rangsang.
Mendengar penjelasan itu, Bandot Sebrang
yang berdiri berseberangan dengan Soka Pura segera
berkata dengan nada berang.
"Keparat si Amuk Jagal itu! Esok pagi aku akan
berangkat ke Pulau Kucil untuk bikin perhitungan
sendiri padanya!"
"Itu berbahaya, Bandot Sebrang," ujar Lahar
Jalanan yang juga kenal baik dengan Bandot Sebrang.
"Sekarang si Amuk Jagal mempunyai pusaka Sabuk
Neraka yang cukup dahsyat itu!"
"Omong kosong! Tak mungkin ia memiliki Sabuk Biang Neraka, karena sabuk itu hanya ada pada
dongeng-dongeng masa lalu! Mengapa kau mudah percaya dengan kabar seperti itu, Lahar Jalanan"!"
"Karena orangnya sendiri yang bercerita kepada
anak buahku, Paman Bandot Sebrang!" sela sang Ratu. "Aku tak percaya! Cerita itu sengaja dikarang
oleh orangnya Amuk Jagal untuk menakut-nakuti kita,
Sedap Malam! Siapa yang bilang Amuk Jagal punya
pusaka Sabuk Biang Neraka"!"
"Laksamada...," jawab Ratu Sedap Malam, kemudian menuturkan kembali apa yang pernah dituturkan oleh Umbari.
"Jadi kapan si Raja Amuk Jagal itu akan datang kemari, Nyai Ratu?" tanya Soka Pura yang masih berdiri di samping Mata
Bidadari, sementara Raka berdiri di samping Kirana.
"Umbari tidak sebutkan kapan Raja Amuk Jagal menyerang kemari! Itu repotnya. Jika kita tahu kapan serangan itu akan datang kita dapat persiapkan
diri sedini mungkin!"
"Pada saat kita merasa jenuh bersiap diri, saat
itulah ia akan datang. Tapi semasa kita belum jenuh
bersiap diri, dia tak akan datang!" ujar Lahar Jalanan.
"Dari mana dia tahu kalau kita jenuh bersiap
diri?" "Mungkin saja pemuda yang bernama Laksamada atau Runggana memberitahukan
kapan saat yang bagus untuk menyerang bagi pihak Amuk Jagal!"
jawab Ki Sela Giri, alias si Lahar Jalanan.
"Jika begitu kita harus mencari Laksamada
atau Runggana!" sela Raka Pura. Sang adik kembar
pun menimpali. "Setuju! Aku akan cari dia dan mendesaknya
agar memberi tahu kapan saatnya penyerangan itu tiba!" Mata Bidadari berani bicara kepada Ratu Sedap
Malam, setelah selama ini hanya diam saja menjadi
pendamping gurunya. Rasa gembiranya berdampingan
dengan Pendekar Kembar bungsu membuatnya berani
angkat bicara di depan sang Ratu dan para tamu lainnya. "Nyai Ratu, bisakah kami bertemu dengan Umbari"!" "Untuk apa"!"
"Ia harus antar kami temui si Laksamada itu!"
"Sebaiknya biar aku dan Soka Pura saja yang
menemui Laksamada!" ujar Pendekar Kembar sulung.
Semua diam, saling memandang Pendekar Kembar.
Pada mulanya Umbari merasa keberatan untuk
memberi tahu tempat persembunyian Laksamada dan
Runggana. Ia takut nyawanya melayang jika sampai
Laksamada dan Runggana mengetahui tindakannya.
Tetapi kedua pemuda kembar yang sama-sama tampan itu membujuknya dengan berbagai cara, akhirnya
Umbari menyerah juga. Ia yakin kedua pemuda kembar itu akan melindungi nyawanya dari ancaman maut
Laksamada dan Runggana.
"Aku tidak bisa memberikan petunjuk secara lisan saja. Bahkan digambarkan dalam sebuah denah
pun tak mungkin bisa kalian temukan," ujar Umbari.
"Jadi harus bagaimana?" tanya Raka Pura.
"Aku harus memandu kalian sampai ke tempat
tersebut. Tapi aku hanya akan sampai kaki bukit saja!
Selanjutnya kalian berdua yang menangani mereka!"
"Itu gagasan yang cantik sekali, secantik wajahmu, Umbari," ujar Soka Pura memuji. Sang kakak menyodokkan siku dengan pelan
ke pinggang adiknya.
"Ini bukan saatnya merayu, Soka!" bisik Raka dalam hardikan. Soka Pura hanya
cengar-cengir sambil mengedipkan mata kirinya kepada sang kakak.
Sang kakak hanya bersungut-sungut dengan gerutu
tak jelas. Tanpa pamit kepada Kirana, juga tanpa bilangbilang kepada si Mata Bidadari, Pendekar Kembar akhirnya pergi ke tempat persembunyian Laksamada
dengan dipandu oleh Umbari. Mereka hanya meminta
izin kepada Ratu Sedap Malam dan Ki Sela Giri alias si Lahar Jalanan.
Rupanya Laksamada mempunyai tempat persembunyian di sebuah gua di lereng bukit. Bukit itu
tak jauh dari tebing karang yang di bawahnya terdapat
gua sebagai tempat tinggal si Dedengkot Iblis. Karena
dari kaki bukit tersebut, mereka dapat melihat pantai
dan tebing karang tersebut walau gua di bawah tebing
itu tak terlihat dengan jelas.
Umbari hentikan langkahnya saat Pendekar
Kembar ingin mendaki lereng bukit itu. Berhentinya
langkah Umbari mengundang perhatian Raka dan Soka, sehingga kedua pemuda berperawakan tinggi dan
gagah itu menatap Umbari dengan dahi berkerut.
Soka mendekati Umbari beberapa langkah.
"Mengapa berhenti?"
"Sudah dekat dengan gua tempat mereka bersembunyi!" jawab Umbari dengan wajah memancarkan
kecemasan. "Di mana gua itu berada?"
Umbari menunjuk ke satu arah. "Kau melihat
dua batu besar berjajar sama-sama condong ke timur
itu?" Raka Pura ikut-ikutan memandang ke arah
yang dimaksud, seperti yang dilakukan oleh adiknya.
mereka sama-sama menggumam tanda mengerti arah
yang dimaksud Umbari.
"Di balik kedua batu itu ada gua kecil, namun
bagian dalamnya lebar. Di sanalah mereka bersembunyi selama ini. Tapi...," Umbari hentikan kata sekejap.
"Kau tak usah takut!" ujar Soka. "Aku akan ke sana bersama kakakku, sedangkan
kau tetaplah tinggal di sini. Bersembunyilah dl atas pohon, biar tak
mudah dilihat oleh siapa pun."
"Tak perlu takut, Umbari," timpal Raka.
"Bukan soal takut atau tidak takut," sangkal Umbari. "Tapi lihatlah ke arah


Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pantai itu!"
Dari tempat mereka berdiri memang bisa memandang ke arah pantai berpasir putih. Pendekar
Kembar segera layangkan pandangan matanya ke arah
pantai, mengikuti arah telunjuk Umbari. Ternyata di
sana ada dua orang yang sedang bercakap-cakap dengan serius. Mereka adalah dua pemuda yang usianya
sebaya. Yang satu mengenakan pakaian serba biru
dengan senjata kapak dua mata tergenggam di tangan
kanan. Pemuda yang satunya lagi berpakaian serba hitam, namun tampak rapi. Rambutnya sedikit panjang,
tak sampai sepundak. Mengenakan ikat kepala merah
darah. Bajunya yang berlengan buntung tampak ketat
membentuk kegempalan tubuhnya yang kekar.
"Pemuda itulah yang bertarung dengan Ki Bandot Sebrang!" ujar Soka Pura seperti bicara sendiri.
"Rundukkan kepala kalian!" sergah Umbari saat ia melihat si pemuda berbaju hitam
itu ingin menga-rahkan pandangannya ke tempat mereka berada. Dengan merendahkan badan, berlindung di balik pepohonan, mereka masih bisa melihat keadaan kedua pemuda itu dari tempat tersebut.
"Yang berpakaian biru itu bernama Laksamada!" ujar Umbari.
"Kalau begitu benar juga apa kata Ki Bandot
Sebrang; pemuda itu adalah si Laksamada, yang memenggal cucunya!" bisik Soka Pura.
"Lalu, yang berpakaian hitam dan bersenjata
samurai di punggungnya itu apakah yang bernama
Runggana"!" tanya Raka kepada Umbari.
"Benar! Dialah yang bernama Runggana!"
Sementara si Pendekar Kembar sulung manggut-manggut dan menggumam lirih, Soka Pura perdengarkan suaranya dengan pelan.
"Kalau begitu kita tak perlu repot-repot mencari
tempat persembunyian mereka! Kita hampiri mereka
sekarang juga, Raka!"
"Baik! Bersiaplah, Soka!"
"Tunggu dulu!" sergah Umbari. Tanpa sadar
tangannya menahan lengan Raka yang ingin bangkit.
"Tampaknya ada sesuatu yang ingin mereka lakukan dl sana," sambung Umbari. "Kita lihat dulu apa yang ingin mereka lakukan
itu"!"
"Mungkin mereka ingin lakukan latihan!" bisik Soka Pura.
"Mengapa hanya Laksamada sendiri yang ingin
lakukan gerakan. Kita lihat dulu, Soka!" ujar kakaknya. Pemuda berpakaian serba
biru itu jauhi temannya beberapa langkah. Kemudian dengan menggunakan kapaknya, pemuda tersebut lakukan gerakan cepat, seperti jurus pembuka untuk menyerang seorang
lawan. Namun tiba-tiba kapak berpindah ke tangan kiri, kemudian disentakkan lurus ke atas. Telapak tangan kanan pemuda itu menghantam bagian bawah gagang kapak tersebut. Wuuut, dees...!
Pendekar Kembar dan Umbari sedikit terperanjat begitu melihat sinar merah lurus yang melesat dari pertengahan kedua mata
kapak tersebut. Sinar itu
berbentuk bintang bertangkai panjang yang melesat
bagai ingin menembus langit. Sampai di ketinggian tertentu, sinar merah berbentuk bintang itu menyebar
menjadi butiran-butiran kecil bagai kembang api, diawali dengan letupan kecil yang sangat pelan sekali.
Tuuus...! Zrrraak...!
Pendekar Kembar dan Umbari terkesima sesaat.
Bunga-bunga api yang menyebar di langit itu dan tampak merimbun indah bagai daun-daun pohon yang
membentuk payung.
Tiba-tiba Raka Pura dapatkan kesimpulan yang
sedikit menegangkan hatinya.
"Kurasa ia bukan lakukan latihan, Soka!"
"Lalu, apa yang ia lakukan dengan cara begitu,
sementara di langit tidak ada lawan siapa pun"!"
"Kurasa itu hanya sebuah isyarat untuk seseorang!" "Isyarat..."!" Soka Pura menggumam pelan. Matanya masih memandang ke arah
dua pemuda di pantai yang kini saling memandang ke arah cakrawala.
"Mungkin si Laksamada memberikan isyarat
kepada orang yang ada di tengah lautan. Entah apa arti sinar merah itu, yang jelas ia mencoba berhubungan
dengan seseorang melalui sinar tersebut," Raka menje-laskannya dengan suara
pelan juga. Sinar tersebut telah lenyap, tapi pandangan
mata kedua pemuda di pantai masih diarahkan ke tengah lautan. Seolah-olah mereka menunggu jawaban
dari tengah lautan itu, Sedangkan di tengah lautan tak terlihat seseorang
berdiri di sana, atau sebuah kapal yang sedang berlayar melintasi cakrawala.
"Hei, lihat! Ada sinar hijau yang melesat ke langit di seberang sana!" ujar Umbari bernada tegang.
Sinar hijau yang dimaksud Umbari itu menyerupai sinar merahnya Laksamada tadi. Di angkasa sinar itu mengembang berbintik-bintik mirip kembang
api, indah sekali.
"Balasan...," ujar Raka Pura menggumam lirih.
"Balasan bagaimana maksudmu?" tanya Soka.
"Sinar hijau itu pasti merupakan isyarat balasan yang artinya... kurasa hanya mereka berdua yang
mengetahui artinya!"
Ternyata jauh di seberang lautan sana terdapat
sebuah titik hitam sangat kecil. Titik hitam itu segera disimpulkan oleh
Pendekar Kembar sebagai sebuah
kapal yang letaknya amat jauh. Kapal atau perahu
yang ada di kejauhan sana diduga adalah tempat si
Raja Amuk Jagal dan pengikutnya menunggu aba-aba
untuk bergerak menyerang ke Pantai Rangsang. Pendekar Kembar tak tahu dengan pasti, apakah sinar
merahnya Laksamada itu adalah aba-aba untuk menyerang atau menunda serangan mereka, yang jelas
Pendekar Kembar segera bergegas menuju ke pantai,
temui kedua pemuda tersebut.
"Kau kembali ke pesanggrahan, Umbari!" ujar
Raka sebelum bergerak. "Katakan kepada Ratu Sedap Malam dan yang lainnya agar
menambah kewaspadaan
dan penjagaan diperketat lagi. Ceritakan apa yang kita lihat dari sini dan apa
yang ku simpulkan tadi!"
"Akan kusampaikan pesanmu!" jawab Umbari
tegas, kemudian gadis cantik itu melesat lebih dulu
sebelum Pendekar Kembar bergegas ke pantai.
Setelah merasa yakin gerakan Umbari tidak diketahui oleh Laksamada ataupun Runggana, Pendekar
Kembar pun segera temui kedua pemuda tersebut. Soka Pura tampil lebih dulu, sementara Raka Pura bersembunyi di balik dua pohon kelapa yang tumbuh merapat. "Surogoto!" sapa Soka Pura mengingat Laksamada perkenalkan dirinya secara
baik-baik dengan
nama Surogoto. Laksamada terperanjat melihat kehadiran Soka
Pura, demikian pula halnya dengan Runggana. Tetapi
rasa kaget Laksamada segera dapat ditutupi dengan
tawa ramah yang tampak dipaksakan itu.
"Hei, Soka Pura... hah, hah, hah, hah! Tak kusangka kita bertemu lagi, Soka!" sambil Laksamada mendekat dan menepuk pundak
Soka dengan keakra-ban yang dipaksakan juga. Pada waktu itu, diam-diam
Soka memperhatikan Runggana yang hampir saja tangannya bergerak mencabut samurainya karena merasa
kedatangan tamu tak diundang yang sangat mencurigakan. Tetapi begitu melihat Laksamada bersikap ramah kepada Soka, maka Runggana pun urungkan
niatnya dan ikut-ikutan bersikap ramah walau senyumnya terkesan kaku.
"Soka Pura, perkenalkan ini sahabatku yang
bernama... hmmm... yang bernama Badayun! Heh,
heh, heh, heh... namanya memang lucu. Badayun!"
Runggana sempat kelihatan bingung. Mungkin
ia belum tahu apa maksud Laksamada memperkenalkan diri dengan nada Badayun. Tapi begitu Laksamada
kedipkan mata kepadanya dengan tetap tertawa, maka
Runggana pun berlagak tersipu malu sambil sedikit
bungkukkan badan, membalas sikap hormat yang dilakukan oleh Soka Pura.
"Benar. Namaku memang Badayun!" ujarnya
pelan. "Senang sekali hatiku mendapat seorang sahabat satu lagi, Badayun," ujar
Soka dengan kalem, tak menunjukkan kejanggalan sedikit pun.
"Hei, mengapa kau tak bersama gadismu yang
kemarin" Siapa dia namanya..."!"
"Mata Bidadari!"
"O, ya! Si Mata Bidadari! Ke mana dia" Mengapa tidak bersamamu?"
"Kami berpisah!" jawab Soka sambil masih lebarkan senyumannya.
Laksamada menyahut, "Sayang sekali! Seharusnya gadis secantik dia jangan sampai berpisah darimu Walau hanya sekejap."
Laksamada mendekatkan wajah bernada bisik,
"Kalau dia disambar pemuda lain, kau bisa mati bunuh diri!" kemudian tawanya
menghambur ditimpali
oleh tawa Runggana. Soka Pura ikut-ikutan berlagak
geli dengan tawanya yang tak kalah meriah.
"Surogoto, apa yang kau lakukan di sini"!"
tanya Soka setelah tawa mereka berhenti.
"Hmmm, eeh...."
"Kami sedang mencari seorang teman yang tadi
kami lihat ada di sini!" sahut Runggana ketika Laksamada tampak menggeragap. "Ia
tahu-tahu hilang begi-tu saja tanpa ada jejaknya yang bisa kami ikuti."
"Siapa teman yang kau maksudkan itu, Badayun"!"
"Hmmm... hmmm...." Runggana ganti menggeragap. Laksamada buru-buru menutupi dengan jawabannya. "Sulaksana! Heh, heh, heh... namanya lucu juga, bukan"! Tapi memang itulah nama teman yang sedang kami cari. Sulaksana!"
Tentu saja Soka Pura tahu persis bahwa nama
itu hanya sebuah nama palsu yang dikarang dalam
waktu singkat. Tapi Soka Pura berlagak tidak mengetahui tipuan tersebut.
"Kau sendiri sedang apa di daerah pantai ini,
Soka?" Laksamada ganti bertanya.
"O, aku..."! Aku sama juga dengan kalian, sedang mencari dua orang yang selama ini selalu menghilang di sekitar pantai ini."
"Siapa dua orang yang kau cari itu" Barangkali
aku atau Badayun mengenal nama orang tersebut"!"
"Hmmm... orang yang kucari itu adalah Laksamada dan Runggana!"
"Ooh..."!" Runggana tampak terperanjat kaget, demikian halnya dengan Laksamada.
Namun pemuda berbaju biru itu masih bisa menutupi kekagetan mereka dengan tawa terkesan cengar-cengir hambar itu.
"Ehh, sayang sekali kami merasa asing dengan
kedua nama itu, Soka!" ujar Laksamada dengan cepat.
Lalu ia bicara kepada Runggana.
"Kita belum pernah kenal dengan kedua nama
itu, bukan?"
"Belum! Ya, memang belum!" jawab Runggana.
Kemudian ia bertanya kepada Soka.
"Kalau boleh ku tahu, untuk apa kau mencari
kedua orang tersebut" Apakah mereka sahabatmu?"
"Ya, mereka sahabatku!" jawab Soka tegas. "Mereka adalah mata-mata dari Pulau
Kucil yang ditanamkan oleh Raja Amuk Jagal untuk menciptakan kekacauan di Pulau Rangsang ini!"
Soka Pura sengaja beberkan apa yang diketahuinya, membuat Laksamada dan Runggana menjadi
salah tingkah, serba kikuk dalam bersikap.
"Belakangan ini, setelah Dewa Pancung tewas,
mereka bikin kehebohan sendiri dengan melakukan
pemenggalan kepala terhadap orang-orangnya Ratu
Sedap Malam," tambah Soka dengan kalem. "Tapi mereka belum tahu bahwa Ratu Sedap
Malam tidak sendirian. Banyak pihak yang membela Ratu Sedap Malam, sehingga mau tak mau nyawa Laksamada dan
Runggana terancam modar! Mungkin dalam waktu tak
lama lagi, jika mereka tidak segera tinggalkan Pantai
Rangsang ini, maka mereka akan menjadi bangkai busuk yang terkapar di pantai tanpa ada yang menguburnya. Karena sang Ratu punya rencana akan mengirimkan kepala Laksamada dan Runggana ke Pulau
Kucil sebagai hadiah istimewa bagi Raja Amuk Jagal!
Untuk itu aku mencari mereka dan ingin mengingatkan agar mereka cepat-cepat pergi dari Pulau Rangsang sebelum masing-masing kehilangan kepalanya!"
Sebuah tantangan dilontarkan Soka secara tak
langsung. Kata-kata itu membuat darah Runggana
mendidih dan napas Laksamada menjadi seperti badai.
Mereka menggeram dalam hati. Senyum mereka sangat
kaku. Bahkan Runggana kehilangan senyumnya. Kedua tangan Runggana menggenggam kuat-kuat pertanda menahan amarah yang telah berkobar dalam
dadanya. Laksamada masih berusaha untuk tetap tenang. "Kurasa, Ratu Sedap Malam lupa bahwa mereka bukan anak kecil yang takut dengan gertakan!"
"Apa yang kau katakan itu memang benar, Surogoto! Tapi kabar yang akan kusampaikan kepada
mereka itu bukan semata-mata gertakan, tapi kenyataan! Dengan kabar ini, aku berharap mereka segera
tinggalkan Pantai Rangsang tanpa harus saling bunuh
dengan pihak pesanggrahan sang Ratu. Tapi kalau mereka nekat, yaah... apa boleh buat! Mereka harus rela
korbankan nyawanya. Itu sangat ku sayangkan, Surogoto!" Runggana mulai geregetan sekali. Dengan gigi setengah menggeletuk, ia


Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata kepada Soka Pura.
"Kau belum tahu, Soka... sebenarnya orang
yang kau cari itu sudah mengirim kabar kepada Raja
Amuk Jagal. Kabar itu telah diterima oleh Raja Amuk
Jagal di kapalnya yang sebentar lagi akan mendarat di
Pantai Rangsang ini!"
"Ah, kurasa itu hanya dugaanmu saja, Badayun! Seandainya kau tahu betul akan hal itu, pasti
kau akan ikut melarang mereka mendarat di Pantai
Rangsang, karena Pantai Rangsang ini akan menjadi
kuburan mereka jika mereka nekat mendarat kemari!"
Jawab Soka dengan tetap tenang.
Rupanya Runggana sudah tak tahan lagi membendung gejolak marahnya dalam hati. Telinganya
sangat panas mendengar ucapan Soka yang dianggap
sebuah sindiran meremehkan dirinya. Maka dengan
suara keras, Runggana akhirnya berkata kepada Pendekar Kembar bungsu itu.
"Soka Pura! Terus terang saja, akulah orang
yang bernama Runggana dan dia adalah Laksamada!"
seraya ia menuding pemuda berpakaian biru.
Pernyataan dengan suara keras itu tidak membuat Soka Pura terkejut, tapi hanya tersenyum kecil
sambil memandang ke arah Runggana. Senyum itu
mulai terasa sebagai minyak pembakar amarah bagi
Runggana. Bersamaan dengan ucapan Laksamada,
Runggana pun segera cabut samurainya yang ada di
pinggang. Sreet..! "Maaf, Soka... sekalipun kau pernah selamatkan nyawaku, tapi kenyataannya memang akulah
yang bernama Laksamada! Sedangkan yang bernama
Surogoto adalah kapak pusakaku ini!" sambil Laksamada mengangkat kapaknya.
"Di pihak mana sebenarnya kau berdiri, Soka
Pura"!" gertak Runggana.
Soka menjawab dengan kalem, "Tentu saja aku
di pihak Ratu Sedap Malam, karena dialah penguasa
asli di pantai ini yang akan kalian gulingkan!"
"Keparat!" geram Runggana. "Kalau begitu kau harus berhadapan denganku, Soka
Pura! Heeeaaat...!"
Runggana melompat dengan samurai ditebaskan ke leher Soka. Tetapi Pendekar Kembar bungsu
segera berkelebat ke kiri dengan sangat cepat, bagai
menghilang ditelan bumi. Wuuuz...!
Tahu-tahu ia berada di belakang Laksamada.
Tebasan samurai Runggana ini hanya berhasil merobek udara. Dan begitu Laksamada berpaling ke belakang, ia segera menyerang dengan kapak mautnya ke
arah Soka Pura.
"Heeeaah...!!"
Soka Pura miringkan badan ke kiri ketika kapak itu diayunkan dari atas ke bawah, ingin membelah
pundaknya. Salah satu kaki diangkat ke atas dengan
kokoh, menahan siku si pemegang kapak tersebut.
Dess...! Krak...! Suara tulang retak terdengar bersama jeritan Laksamada yang
kesakitan. "Aaoow...!"
Belum sempat Laksamada bergerak, tangan
Soka Pura segera menghantam secara beruntun ke
arah perut pemuda berbaju biru itu.
Buhk, buhk, buhk...!
Pukulan cepat itu tak dapat dihindari, bahkan
dilihat pun sulit. Akibatnya, pukulan bertenaga dalam
itu membuat Laksamada terlempar ke belakang sejauh
lima langkah dan jatuh terjungkal di samping Runggana. Serta-merta Runggana melompat menyambar Soka
Pura dengan samurai dihujamkan ke arah dada Soka.
Wees...! Wuuuz...! Sekelebat bayangan menerjang Runggana dari
samping. Bruuuss...!
"Aaahk...!" Runggana terlempar dan jatuh berguling-guling dl pasir pantai.
Bayangan yang menerjangnya dari samping itu tak lain adalah si Pendekar
Kembar sulung yang sudah tak sabar lagi dengan basa-basi tadi. "Terlalu bertele-tele kau!" kecam Raka kepada adiknya. Sang adik justru nyengir
dan sentakkan pundaknya. "Aku sudah mencoba dengan cara damai tapi mereka tetap
ngotot, apa boleh buat jika harus terjadi pertumpahan darah di sini!"
"Modar kau, Soka! Rahang Silumaaan...!!" teriak Laksamada yang mulai menggunakan jurus
'Rahang Siluman'-nya.
Kapak itu diayunkan ke depan. Mata kapak sudah memancarkan cahaya biru bening. Salah satu mata kapak melesat memutar ke arah Soka Pura. Wees...!
Soka Pura segera mencabut pedang kristalnya.
Sreet..! Kedatangan mata kapak yang bercahaya biru
bening itu disambut oleh Pedang Tangan Malaikat.
Wees...! Blaaarrr...!
Mata kapak itu pecah seketika, menjadi serbuk
halus yang berjatuhan di pasir pantai. Namun mata
kapak yang satunya lagi segera melayang dengan gerakan memutar seperti piring terbang. Wees...!
Blaaarr...! Mata kapak itu pun hancur kembali disabet
oleh Pedang Tangan Malaikat yang menjadi pusaka si
Pendekar Kembar. Pedang tersebut segera diputar sekelebat begitu selesai hancurkan senjata lawan.
Wik, wik, wik...!
Laksamada terperangah bengong melihat kapaknya hancur menjadi debu. Kemarahannya kian bertambah, membuatnya semakin gusar dan liar.
"Laksamada, ku ingatkan sekali lagi, kau akan
kehilangan nyawa jika masih tetap ingin merebut kekuasaan Ratu Sedap Malam di pantai ini!" ujar Soka sambil acungkan pedangnya ke
arah Laksamada.
"Jahanam kauuu...!!" teriak Laksamada, kemudian ia melepaskan pukulan bersinar kuning dari telapak tangannya. Sinar kuning itu melesat lurus ke dada
Soka Pura tanpa putus sedikit pun. Dengan sigap, Soka Pura menghadangkan pedang kristalnya di depan
dada. Sinar kuning itu menghantam pedang kristal, lalu memantul ke arah pemiliknya sendiri. Clap,
siaaat...! Jegaaar...! Laksamada tak sempat terpekik. Tubuhnya segera hancur terpotong-potong akibat terkena sinarnya
sendiri. Darahnya menyebar ke berbagai arah. Percikan darah itu kenai wajah Runggana yang sedang bertarung melawan Raka Pura. Prrot...!
Runggana terkejut begitu mengetahui terkena
percikan darah dari temannya. Lebih kaget lagi melihat Laksamada hancur
terpotong-potong menjadi beberapa
bagian. "Biadab!" geramnya berang sekali.
Raka Pura sejak tadi belum mencabut pedang
kristalnya. Ia ingin menundukkan lawan tanpa menggunakan senjata.
Kail ini, Runggana menggunakan jurus andalannya yang paling tinggi dari ilmu yang dimilikinya.
"Ku rajang habis tubuhmu, Setan!!" geram
Runggana, kemudian ia menebaskan samurainya ke
sana-sini dengan sangat cepat. Samurai itu memancarkan sinar merah pijar. Gerakannya sangat sukar diikuti oleh pandangan mata. Tebasan samurai itu keluarkan bunyi desing yang mengiris hati.
Zuing, zuing, zuing, zuing...!
"Hiaaah...!" Raka Pura sengaja bersalto ke belakang. Wuuuk...! Dalam sekejap ia
sudah berada di atas
gugusan batu karang setinggi pundak orang dewasa.
Jleeg...! Dari atas sana ia melepaskan jurus mautnya
yang bernama jurus 'Cakar Matahari'. Sinar putih seperti pisau runcing melesat cepat dari tangan Raka
yang membentuk cakar tengkurap. Wuut...! Claaap...!
Blaar...! Praang...!
Samurai itu hancur berkeping-keping dihantam
sinar putihnya Raka. Runggana terbelalak kaget menyadari hal itu.
"Celaka! Mereka bukan tandinganku! Aku harus lari selamatkan diri!" geram hati Runggana.
Serta-merta ia sentakkan tangan kirinya ke depan. Wees...! Dari telapak tangan kiri yang membentuk
cakar tersebut keluar asap abu-abu. Wooss...!
"Asap beracun!" teriak Soka Pura. "Hindari, Ra-ka! Hindari...!"
Dengan satu sentakan kaki, tubuh Raka Pura
telah melesat dari atas batu tersebut. Wuuuz...! Ia sudah jauh dari tempat
semula. Terhindar dari asap beracun. "Dia melarikan diri!" teriak Soka Pura begitu melihat Runggana kabur
dengan cepat. "Aku akan menangkapnya hidup-hidup! Kembalilah ke pesanggrahan!" seru Raka Pura sambil
memburu lawannya yang melarikan diri.
"Tunggu...!" seru Soka Pura ikut berkelebat mengejar Runggana juga. Tapi yang
dikejar ternyata
mempunyai kecepatan lari yang hampir menyamai
dengan kecepatan gerak jurus 'Jalur Badai'-nya Pendekar Kembar. Bedanya, gerakan lari Runggana melesat ke sana-sini secara zig-zag, hingga membingungkan pengejarnya, sedangkan Raka Pura dan adiknya
cenderung bergerak lurus bagaikan anak panah dilepaskan dari busurnya.
"Kalau kita bisa menangkapnya hidup-hidup,
kita bisa korek keterangan lebih banyak tentang rencana kedatangan si Raja Amuk Jagal itu!" ujar Raka Pura kepada adiknya yang
sudah ada di sampingnya.
Sambil tetap mengejar, Soka berseru juga, "Jika
ia lari sebegini membingungkannya, apakah kita bisa
menangkapnya hidup-hidup"! Bagaimana kalau kita
habisi saja dari kejauhan"!"
Raka Pura diam, mempertimbangkan gagasan
adiknya sambil terus mengejar lawannya yang sesekali
kelihatan sesekali lenyap di balik kerimbunan semak.
* * * 6 TUBUH kekar berwajah tampan itu kini terkapar berlumur darah. Dadanya hancur, berlubang sebesar kepala kucing. Mulutnya ternganga dengan mata
mendelik tak berkedip lagi.
Kedua pemuda tampan yang berjuluk Pendekar
Kembar itu sama-sama tertegun pandangi jasad orang
tak bernyawa itu. Mereka sama sekali tak menyangka
akan menyaksikan pemandangan seperti itu. Buronan
yang dikejarnya sempat menghilang beberapa saat. Setelah dicari ke sana-sini, tahu-tahu sang buronan telah menjadi mayat yang jebol
dadanya. "Siapa yang membunuhnya?" Itulah pertanyaan
di dalam batin Raka Pura mau pun Soka Pura. Mereka
sempat memeriksa sekeliling tempat itu, tapi tak ada
seseorang yang dapat dicurigai sebagai pembunuh
Runggana. Timbul dugaan di hati Raka, bahwa ada pihak yang sengaja membunuh Runggana agar pemuda
bernasib malang itu tidak membocorkan rahasia kedatangan Raja Amuk Jagal.
"Berarti Runggana dan Laksamada masih
mempunyai orang lagi. Mungkin juga keberadaan
orang tersebut tidak diketahui oleh mereka berdua,
sehingga Runggana tak menyangka akan mengalami
nasib sedemikian naasnya setelah ia berhasil lolos dari pengejaran kita," ujar
Soka Pura kepada kakaknya.
"Kurasa memang begitu. Siapa orang tersebut,
itu yang perlu kita selidiki!"
"Tak ada waktu untuk menyelidiki!" potong So-ka. "Waktu kita hanya tinggal
sedikit. Yang harus kita lakukan adalah menangkap orang tersebut hidup-hidup!
Sebab aku yakin, Runggana mempunyai rahasia penting yang dijaga agar jangan sampai bocor dari
mulutnya!"
Setelah diam sesaat, Raka pun berkata kepada
adiknya, "Apakah kau mempunyai kecurigaan terhadap seseorang yang pernah kita kenal atau pernah bertemu denganmu"!"
Soka Pura pun diam sebentar, lalu menjawab,
"Kecurigaan ku tipis sekali! hampir-hampir aku tak mempercayai kecurigaan hatiku
sendiri." "Siapa orang yang kau curigai?"
"Umbari!"
Jawaban pendek dan jelas itu tidak membuat
Raka Pura terkejut, karena di dalam hatinya ia juga
menaruh kecurigaan terhadap Umbari. Menurut mereka, hanya Umbari yang mengetahui tempat persembunyian Laksamada dan Runggana. Jika Umbari bukan
orangnya mereka, tak mungkin mereka mempercayai
Umbari untuk mengetahui tempat persembunyian mereka. "Barangkali Laksamada dan Runggana sendiri tidak tahu bahwa Umbari juga
orangnya yang ditugaskan Raja Amuk Jagal untuk membunuh kedua pemuda itu jika rahasia nyaris bocor dari mulut mereka!"
ujar Raka Pura.
"Lebih jelasnya lagi, kita cari dulu si Umbari di sekitar sini sampai ke
pesanggrahan! Kita bisa korek
keterangan dari mulutnya melalui sedikit gertakan
yang menciutkan nyalinya!"
"Apakah kau mampu menyiksa gadis secantik
Umbari?" tanya Raka Pura yang menyangsikan kesanggupan Soka untuk bertindak kejam terhadap gadis cantik mana pun.
"Lihat saja nanti!" jawab Soka sambil sunggingkan senyum berlagak angkuh. Raka
Pura mencibir tak
percaya, namun keduanya segera bergegas mencari
Umbari. "Aku akan mencari di sekitar pantai," ujar Ra-ka. "Kau pulang ke pesanggrahan,
dan cari dia di sana.


Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jika kau temukan dia di pesanggrahan, jaga agar ia
jangan sampai keluar."
"Sampai kapan kau akan mencari di sekitar
pantai?" "Sebelum petang aku akan kembali ke pesanggrahan, bersama Umbari ataupun tanpa Umbari!"
Keputusan itu diambil karena mereka tak menemukan siapa-siapa di dalam hutan tersebut. Soka
Pura setuju dengan gagasan kakaknya. Maka ia pun
segera pulang ke pesanggrahan.
Sebelum ia menemui Ratu Sedap Malan, terlebih dulu ia dihadang oleh si Mata Bidadari yang berwajah cemberut. Rupanya gadis itu sempat merasa berang setelah tahu Pendekar Kembar pergi bersama
Umbari. Hampir saja ia pergi mencari mereka setelah
Ki Sela Giri alias si Lahar Jalanan memberitahukan
hai itu padanya.
Kirana pun ikut jengkel mendengar pengaduan
dari si Mata Bidadari. Tapi Kirana tak sempat berniat
menyusul Raka, karena hari itu sang Ratu kedatangan
tamu lagi; seorang lelaki tua berambut abu-abu dengan jubah putih dan sabuk hitamnya. Ia tak lain adalah ketua Perguruan Tapak Syiwa, gurunya Kirana
sendiri, yaitu si Mulut Guntur.
Pak Tua yang bisa keluarkan suara sekeras geledek itu juga mendengar kabar tentang ancaman
maut yang terjadi di Pantai Rangsang dari mulut seorang muridnya yang bertemu dengan salah seorang
murid Ratu Sedap Malam. Menyadari Kirana, murid
tercantiknya sudah berada di Pantai Rangsang, si Mulut Guntur alias Eyang Wirata itu, segera menyusui ke
pesanggrahan. ia bukan saja mencemaskan muridnya,
tapi juga mencemaskan keselamatan sang Ratu yang
selama ini menjalin hubungan baik dengannya.
Tetapi Soka Pura belum mengetahui kedatangan si Mulut Guntur yang pernah berjasa pada Pendekar Kembar dalam mendapatkan Bambu Gading Mandul itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Tumbal Asmara Buta"). Kehadiran Soka dihadang oleh si Mata Bidadari yang segera
lemparkan pandangan
sinis kepadanya dan lontarkan tuduhan tak senonoh
akibat tumbuhnya rasa cemburu dalam hati Mata Bidadari. "Sudah puaskah kau dan kakakmu berkencan
dengan Umbari"!"
Soka Pura nyengir geli mendengar tuduhan itu.
Ia justru garuk-garuk kepala sambil sembunyikan senyumannya dengan berpaling ke arah lain. Mata Bidadari tetap berdiri tegak di depannya dengan kaki sedikit merenggang dan salah satu tangannya bertolak
pinggang. "Kurang puaskah kau mencumbu ku habishabisan di dalam gua itu?"
"Kurang," jawab Soka Pura dengan konyol.
"Kalau kurang puas, mengapa kau cari kepuasannya pada diri gadis lain"! Apakah Umbari bisa memuaskan kehendakmu"!"
"Entah, ya"!" Soka masih menjawab dengan
konyol juga, padahal ia tahu Mata Bidadari sedang sewot. "Akan kubunuh dia kalau memang cumbuannya lebih unggul dariku!"
Tawa Soka Pura pun meledak panjang. Mata
Bidadari mendengus semakin dongkol terhadap pemuda tampan yang mulai dianggapnya mata keranjang
itu. Tiba-tiba wajah Soka tersentak ke kanan, pipi
kirinya terasa ada yang menamparnya dengan keras.
Plaaak...! "Auh...!" Soka Pura terpelanting ke kanan,
hampir jatuh. "Sialan! Dia mulai gunakan jurus 'Sentuhan
Dewata' untuk menamparku!" gerutu hati Soka Pura, karena ia segera ingat bahwa
hanya dirinya dan si Ma-ta Bidadari yang mempunyai Jurus 'Sentuhan Dewata',
pemberian dari Dedengkot Iblis.
Soka Pura membalas dengan cara membayangkan sedang mengecup bibir Mata Bidadari. Mereka pun
merasa saling berciuman. Mata Bidadari merasa bibirnya sedang dilumat nakal oleh Soka, sehingga gadis itu gelagapan dan kedua
tangannya menepis-nepis bagai
ingin mendorong wajah Soka. Sejenak kemudian,
bayangan mencium gadis itu hilang dari benak Soka.
Pemuda ganteng itu tersenyum memandang si gadis
yang terengah-engah.
"Kurang ajar!" geram Mata Bidadari, sambil melirik ke kanan-kiri, takut adegan
aneh tadi dilihat oleh para murid pesanggrahan yang lalu lalang di sekitar
mereka. "Kau tak perlu menaruh kecurigaan seburuk
itu, Mata Bidadari. Aku dan Raka pergi bersama Umbari untuk mencari Runggana dan Laksamada."
"Mengapa tak mengajakku"!"
"Kau sedang sibuk bicara dengan gurumu: Nyai
Sangkal Putung! Aku tak berani mengganggu pembicaraan kalian."
"Hmmh, alasan saja!"
"Lagi pula, bukankah Umbari sudah pulang lebih awal dari kami"!"
"Dia belum pulang!" sentak Mata Bidadari.
"Jangan mengelabui ku, Soka! Aku bukan anak kemarin sore!"
"Umbari belum pulang"!" Soka justru berkerut dahi dan bernada heran. Kecurigaan
di dalam hatinya
mulai mengembang lebih besar lagi. Ia pun buru-buru
temui Ratu Sedap Malam.
"Soka, tunggu dulu!" sergah Mata Bidadari.
"Jika benar Umbari belum pulang, berarti kecurigaan ku menjadi kenyataan!"
"Apa maksudmu, Soka"!" Mata Bidadari buruburu ikuti langkah si Pendekar Kembar bungsu itu.
Soka Pura menceritakan apa yang telah dialami bersama kakaknya, termasuk kematian Runggana yang
mengerikan itu.
"Kalau terbukti Umbari di pihak lawan, biar ku
tangani sendiri gadis itu!" geram Mata Bidadari sambil menyertai Soka menghadap
sang Ratu. Melihat si Mulut Guntur sudah berada di bangsal paseban, Soka Pura segera haturkan hormatnya
kepada tokoh tua yang disegani itu. Si Mulut Guntur
segera tanyakan tentang Raka.
"Di mana kakakmu, Soka"!" "Dia sedang mencari Umbari, Eyang," Jawab Soka sambil
sempatkan melirik Kirana yang tampak gelisah, seolah-olah pemberitahuan itu ditujukan pula kepada Kirana.
"Ada apa dengan Umbari, Soka"!" tanya Ratu
Sedap Malam dengan kedua alisnya berkernyit pertanda menyimpan kecemasan dalam batinnya. "Apakah ia belum pulang, Nyai Ratu?"
"Setahuku, Umbari belum pulang. Jika ia sudah pulang pasti langsung menghadap
ku. Begitulah peraturan yang berlaku selama ini."
Lahar Jalanan menimpali dengan tanya, "Apakah kalian berpisah dengan Umbari?"
"Kami sengaja menyuruhnya pulang lebih dulu,
karena kami melihat Laksamada dan Runggana mengirim isyarat kepada Raja Amuk Jagal yang agaknya sudah menunggu kabar dari mereka di atas kapalnya...,"
Soka Pura pun segera ceritakan apa yang di alaminya
bersama Pendekar Kembar sulung. Cerita itu membuat
para tamu dan Ratu Sedap Malam tertegun sesaat diliputi ketegangan.
"Apakah maksudmu, Umbari mempunyai tingkat lebih tinggi dari Runggana dan Laksamada?" tanya Nyai Sangkal Putung kepada
Soka. "Setidaknya ia termasuk orang istimewanya Raja Amuk Jagal yang tidak diketahui oleh sesama pihaknya, Nyai."
"Tapi itu baru dugaanmu saja, bukan?" sela
Lahar Jalanan. "Benar, Paman. Ini baru dugaanku dan Raka."
Ratu Sedap Malam berkata, "Akan kuperintahkan orang-orangku untuk mencari Umbari sampai dapat!" "Kalau bisa jangan sampai terbunuh, Nyai Ra-tu!" ujar Soka mengingatkan.
"Kita butuh keterangan dari mulutnya tentang kedatangan si Raja Amuk Jagal
itu!" Mulut Guntur ikut bicara juga. "Jika benar ceri-tamu, bahwa Runggana dan
Laksamada telah mengaku mengirim berita agar kapalnya si Raja Amuk Jagal
mendarat ke pantai, maka perkiraan ku esok sore mereka baru bisa tiba di sini. Perjalanan dari batas cakrawala itu mungkin membutuhkan waktu seharisemalam." Nyai Sangkal Putung menyahut, "Kalau begitu,
siagakan sekarang juga orang-orangmu di sepanjang
Pantai Rangsang, Wulandani!"
"Bukan orang-orangnya yang siaga, tapi kita!"
tukas Lahar Jalanan. "Biarkan orang-orangnya Wulandani mencari Umbari, kita bersiap hadapi kedatangan Raja Amuk Jagal di sepanjang pantai, terutama di
tempat Laksamada kirimkan isyarat sinar merah seperti yang diceritakan Soka Pura tadi!"
"Timbulkan suara ledakan tiga kali jika ada
yang melihat kedatangan kapalnya si Raja Amuk Jagal," sela Mulut Guntur. "Kita segera bersatu dl tempat datangnya kapal
tersebut!"
Nyai Sangkal Putung ajukan usul lagi, "Ada
baiknya kita serang lebih dulu kapal itu sebelum mendekati pantai!"
Soka Pura pun segera berkata kepada sang Ratu, "Nyai, aku akan membantu Raka mencari Umbari.
Tentang gadis itu, biar kami yang menanganinya!"
"Aku ikut!" sergah Mata Bidadari.
"Aku Juga ikut!" timpal Kirana.
SI Mulut Guntur segera berkata kepada muridnya, "Kau boleh ikut dengan Soka, tapi kapan saja kau mendengar suara ledakan
tiga kali berturut-turut, kau
harus segera bergabung dengan kami, Kirana! Setidaknya aku dapat menjaga keselamatanmu jika orangorangnya Raja Amuk Jagal mulai mendarat di Pantai
Rangsang ini!"
Nyai Sangkal Putung pun berkata kepada muridnya, "Mata Bidadari, kau boleh ikut Soka Pura, tapi tak boleh bertindak
gegabah! ikuti saran Soka, karena
aku yakin ia tak ingin kau terluka sedikit pun!"
Soka Pura jadi tak enak hati, seakan isi hatinya
bisa ditebak oleh Nyai Sangkal Putung. Bukan saja
Nyai Sangkal Putung yang mengetahui isi hatinya, namun mereka yang ada di situ pun menjadi tahu bahwa
antara dirinya dengan Mata Bidadari mulai menjalin
hubungan pribadi yang seharusnya tidak perlu diketahui oleh mereka.
Sebenarnya Soka lebih suka pergi sendiri menyusul kakaknya. Tapi kedua gadis yang menaruh
simpati terhadap kakaknya dan dirinya sendiri itu
akan bikin ulah yang menjengkelkan jika mereka ditinggalkan begitu saja. Mau tak mau Soka Pura membiarkan kedua gadis itu ikut bersamanya.
Mereka tidak tahu bahwa Raka Pura sudah
berhasil temukan Umbari. Namun keadaan gadis itu
cukup mengkhawatirkan. Umbari ditemukan dalam
keadaan terkapar penuh luka. Cahaya senja yang kian
menua menampakkan wajahnya yang pucat itu nyaris
seperti wajah mayat.
Tubuh Umbari penuh luka senjata tajam, dan
pukulan bertenaga dalam tinggi yang membuat beberapa bagian tubuhnya memar membiru. Dagunya tampak mau pecah akibat terkena hantaman keras yang
tentu saja dialiri tenaga dalam cukup besar.
"Umbari..."! Umbari, apa yang terjadi"!" tanya Raka dengan sedikit panik. Umbari
tak bisa menjawab.
Bibirnya yang pecah itu hanya bergerak-gerak pelan,
namun tak ada suara yang keluar selain erangan dan
desah kesakitan.
Raka Pura segera mengobatinya dengan jurus
'Sambung Nyawa'-nya. Dalam waktu singkat, gadis itu
akhirnya tertolong juga. Luka-lukanya merapat kembali dan hilang tanpa bekas sedikit pun. Tubuh gadis itu tak lagi merasakan sakit,
bahkan justru merasa segar
kembali. Dalam keadaan sudah sesehat itu, Umbari
baru bisa menjawab pertanyaan Raka tadi.
"Seseorang mengetahui gerak-gerik kita saat kita mengintai Runggana dan Laksamada. Orang itu segera menghadangku dan menghajar ku. Aku kalah ilmu dengannya, lalu aku melarikan diri. Ternyata dia
mengejarku dan membuatku sekarat seperti tadi."
"Siapa orang itu" Apakah kau kenal dengannya?" Umbari gelengkan kepala. "Baru kali ini aku jumpa dengannya. Wajahnya
menyeramkan, seperti
hantu gentayangan. Ia ganas dan liar."
"Kau masih ingat ciri-cirinya?"
"Rambutnya putih panjang dan acak-acakan.
Tubuhnya kurus, wajahnya menyeramkan, matanya
cekung, kukunya panjang-panjang," Umbari diam sebentar berusaha mengingat orang
yang nyaris membuat nyawanya melayang.
Sambungnya lagi, "Ia mengenakan jubah merah
kusam, demikian pula warna celananya yang banyak
robekannya di bagian kaki."
"Siapa dia, ya"!" gumam Raka sambil tertegun membayangkan ciri-ciri tersebut.
"Apakah dia orang Pulau Kucil?" tanya Raka setelah diam beberapa saat.
"Aku tak tahu dia di pihak mana. Yang jelas dia
menyerangku tanpa berkata sepatah pun. Agaknya ia
tak suka aku menunjukkan tempat persembunyian
Runggana dan Laksamada!"
"Aneh. Kenapa ia tidak turun tangan waktu aku
dan Soka bertarung melawan mereka berdua?" gumam


Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raka, seperti bicara pada dirinya sendiri.
* * * 7 ANGIN mulai berhembus kencang. Raka Pura
bergegas dampingi Umbari pulang ke pesanggrahan
Pantai Rangsang. Mereka berusaha mencapai pesanggrahan sebelum alam menjadi petang dan hembusan angin akan menjadi badai yang dapat menumbangkan pepohonan.
"Lewat jalan sini, Raka!" seru Umbari menunjukkan jalan yang harus mereka lewati karena cuaca
semakin buruk, pemandangan menjadi buram. Ia terpaksa bersuara keras untuk imbangi deru angin yang
membisingkan telinga.
"Bukankah jalan lewat pantai lebih mudah"!
Mengapa harus menerabas hutan?"
"Jika angin sekencang ini, maka permukaan air
laut akan naik. Pasir pantai tak akan kelihatan karena terendam air. Badai akan
datang menggulung ombak
lautan sampai ke pantai! Berbahaya jika lewat sana!"
ujar Umbari menjelaskan. Karena penjelasan itu masuk akal, maka Raka ikuti panduan Umbari dengan
menerabas kerimbunan hutan belukar.
Mendung semakin tebal, langit kian gelap. Matahari sama sekali tak bisa tembuskan sinarnya ke
permukaan bumi lagi. Angin telah berubah menjadi
badai kencang. Sebenarnya Raka Pura ingin hentikan badai
dengan jurus penjinak badainya yang bernama 'Gugah
Jinak' itu. Tapi karena hujan pun turun, maka hembusan badai itu dianggap hal yang wajar terjadi. Bukan kiriman dari seorang tokoh sakti. Karenanya, Raka
merasa tak perlu menjinakkan sang badai semasa badai yang hadir tidak menimbulkan bencana besar.
"Kita harus meneduh dulu, Umbari!" seru Raka di sela guyuran hujan deras. "Kalau
kita nekat berjalan dalam guyuran hujan dan badai seperti ini, aku khawatir kau
akan sakit!"
"Di sebelah sana ada gubuk tua, tempat para
pencari kayu beristirahat. Kita ke sana saja!"
Kecurigaan Raka Pura terhadap Umbari sudah
hilang sejak ia menemukan gadis itu dalam keadaan
nyaris mati. Raka berani bertaruh dengan adiknya,
bahwa Umbari sama sekali bukan pembunuh Runggana, seperti dugaan mereka semula. Justru orang yang
menyerang Umbari itulah yang kini diduga oleh Raka
sebagai orang yang membunuh Runggana. Hati si pemuda tampan itu menjadi iba terhadap Umbari, sehingga ia merasa perlu menebus dosanya dengan
memperhatikan dan menjaga Umbari sebaik mungkin.
Gadis itu menggigil ketika mereka berada di
rumah gubuk yang berdinding bambu separo bagian
itu. Hembusan angin menerpa tubuh Umbari yang basah kuyup, sehingga tubuh gadis itu pun menggigil
dengan gigi gemeretuk.
Alam yang telah menjadi gelap masih membuat
Raka dapat melihat bayangan si gadis secara samarsamar. Gadis itu memeluk dirinya sendiri dengan
menggigil dan bersuara terputus-putus.
"Raka, dapatkah kau menolongku?"
"Tentu saja. Apa yang harus kulakukan untuk
menolongmu?"
"Aku dingin sekali. Luar biasa dinginnya. Darahku bagaikan menjadi beku."
"Hmm, eeh... ya, aku juga begitu," Jawab Raka gugup. "Lalu, apa maksudmu?"
"Maukah kau memeluk ku untuk menghangatkan tubuhku"! Aku paling tak tahan hawa dingin,
Raka." "Hmm, hm... eeh... bagaimana, ya?" Raka menjadi salah tingkah dan
kebingungan sendiri.
"Sebentar saja, Raka. Kalau tubuhku sudah
menjadi hangat kembali, lepaskanlah pelukan mu.
Jantung ku akan semakin lemah jika terlalu lama dicekam kedinginan. Oh, tolong aku, Raka. Hangatkan
tubuhku dengan pelukan mu," pinta Umbari tanpa
malu-malu lagi, karena ia merasa benar-benar sangat
terpaksa ajukan permintaan seperti itu.
Raka Pura pun akhirnya memeluk gadis itu
dengan jantung berdebar-debar cukup keras dan cepat. Debaran itu membuat tubuh Raka Pura semakin
menggigil, sehingga mereka berpelukan dalam keadaan
terguncang-guncang.
"Jangan menilai ku terlalu rendah, Raka. Aku
hanya membutuhkan pelukan mu untuk mengatasi
kebiasaan buruk pada jantungku ini. Aku tidak bermaksud nakal padamu, karena aku tahu kau adalah
kekasihnya Kirana, dan Kirana berteman baik padaku.
Aku tak ingin menodai hubungan suci kalian! Bila perlu, setibanya di pesanggrahan aku akan bilang kepada
Kirana dan meminta maaf atas keterpaksaan ini!"
"Ehhm, hmm... sebaiknya tak perlu bicara tentang hal ini kepada Kirana."
"Oh, apakah kau bermaksud mendustainya?"
"Bukan mendustainya, tapi... tapi hanya sekadar menjaga keamanan dalam negeri saja," Raka Pura tertawa sumbang sambil masih
memeluk Umbari.
Sambungnya lagi, "Sekalipun kita bermaksud
jujur, tapi Kirana akan berang padaku jika mendengar
apa yang kita lakukan di sini, Umbari! Jadi sebaiknya, demi keamanan hati
bersama, anggap saja hal ini tak
pernah terjadi. Setuju?"
"Baiklah jika memang begitu maumu!" jawab
Umbari sambil meletakkan kepalanya ke pundak Raka,
wajahnya menempel di leher pemuda tampan itu.
Dalam keadaan di tengah kerimbunan hutan
dan cuaca seburuk itu, rumah gubuk tersebut telah
memberikan perlindungan yang nyaman bagi mereka
berdua. Irama deru hujan mendatangkan rasa kantuk
yang tak disadari, sehingga mereka pun tertidur dalam
keadaan duduk dan saling berpelukan.
Menjelang fajar tiba, hujan telah reda dan badai
pun jinak dengan sendirinya. Raka Pura dan Umbari
berlari-lari menuju ke pesanggrahan. Mereka dikejutkan dengan satu pemandangan yang amat menarik
perhatian. Umbari adalah orang pertama yang melihat
sebuah benda terdampar tak jauh dari pesanggrahan.
"Kapal..."! Lihat itu, Raka! Lihat...! Ada kapal
berlabuh dl pantai dekat pesanggrahan!"
Raka Pura terbelalak tegang melihat sebuah
kapal merapat di pantai dekat pesanggrahan. Kapal itu
tak terlalu besar dengan dua tiang layar di mana salah satu tiang layarnya telah
patah. Kain layar pada tiang yang masih utuh itu telah robek dan tak mengembang.
"Kapal siapa itu?"
"Lihat bagian haluan kapal, ada gambar tengkorak dengan pedang bersilang. Setahuku, itu lambangnya Raja Amuk Jagal," ujar Umbari.
"Celaka!" Raka Pura semakin cemas. Ia segera mencabut pedangnya, demikian pula
Umbari. Mereka mendekati kapal yang berkesan kandas di perairan
pantai. "Sebaiknya kau segera ke pesanggrahan dan beri tahukan kepada Nyai Ratu
serta yang lainnya! Aku
akan memeriksa kapal itu!"
"Sendirian"! Oh, jangan sendiri, Raka! Nanti
kau...." "Aku bisa menjaga diriku sendiri, Umbari! Lakukan saja perintahku
tadi!" "Baiklah. Hati-hati, Raka!"
Umbari segera pergi ke pesanggrahan. Kalau
saja mereka tak terhalang bukit karang yang menjorok
ke laut, maka kapal tersebut dapat terlihat dari gerbang utama pesanggrahan. Tapi karena kapal itu terhalang bukit karang yang tak seberapa tinggi itu, maka penjaga di gerbang utama
tidak melihat munculnya
kapal berwarna hitam itu.
Raka Pura semakin mendekat dengan langkah
sangat hati-hati. Matanya memandang penuh waspada. Pedangnya sudah siap ditebaskan jika sewaktuwaktu datang serangan ke arahnya.
"O, rupanya kapal itu terjepit batu karang hingga tak dapat bergerak"!" gumam hati Raka Pura sambil memperhatikan dua batu
karang besar yang menjepit
bagian buritan kapal.
"Air laut telah surut. Mungkin pada saat air
laut pasang, kapal itu meluncur dengan seenak udelnya sendiri. Dan tak tahu kalau sudah mencapai perairan pantai."
Sementara si Pendekar Kembar sulung mengendap-endap dekati kapal tersebut, suasana dl pesanggrahan menjadi gaduh. Kabar yang dibawa Umbari itulah yang membuat suasana pesanggrahan menjadi heboh. "Kapal dari Pulau Kucil telah merapat di pantai,
Gusti Ratu! Sekarang sedang dalam pengawasan Raka!" Sekalipun matahari mulai memancarkan sinar
paginya, tapi beberapa orang masih tertidur dengan
nyenyak, termasuk Nyai Sangkal Putung. Begitu mendengar suara gaduh, Nyai Sangkal Putung segera melompat dari ranjangnya dan berkelebat keluar hampiri
Ratu Sedap Malam.
"Ada apa, Wulandani"!"
"Raja Amuk Jagal telah mendarat bersama kapalnya!" Lahar Jalanan yang menjawab pertanyaan
tersebut. "Kalau begitu harus segera bertindak!"
"Aku sudah perintahkan kepada orang-orangku
untuk mengepung kapal itu, Nyai!" ujar sang Ratu
sambil bergegas ke arah kapal tersebut.
Mereka yang bergegas ke arah kapal tersebut
sudah siap dengan senjata masing-masing. Tenaga dalam mulai mengalir ke tangan mereka, siap dilepaskan
kapan saja. SI Mulut Guntur dan Bandot Sebrang lebih
dulu berkelebat ke arah kapal tersebut.
Dalam waktu singkat, tempat di mana kapal
berlambang tengkorak dengan pedang bersilang itu
kandas telah dikepung oleh pihak Ratu Sedap Malam
dalam jarak beberapa puluh langkah.
"Jangan biarkan seorang pun yang turun dari
kapal itu lolos tanpa syarat!" ujar Bandot Sebrang kepada para pengepung.
Mereka tak berani langsung dekati kapal itu.
Suasana sepi tanpa suara apa pun membuat mereka
curiga dan waswas. Tak ada seorang pun muncul di
permukaan geladak kapal tersebut. Hal itu menimbulkan ketegangan tersendiri bagi mereka. Mereka hanya
berani mengamati dari jarak jauh sambil mencari di
mana Raka Pura berada.
Raka tak kelihatan sejak kapal sudah terkepung. Hal itu membuat mereka menjadi cemas, bahkan Umbari, si pengkhianat budiman yang sudah terbukti tak bersalah, kini menjadi tak sabar dan ingin
segera melesat dekati kapal tersebut. Namun tangannya segera dicekal oleh sang Ratu hingga langkahnya
tertunda. "Jangan bergerak dulu sebelum Raka muncul
di atas geladak!" ujar sang Ratu yang juga didengar oleh beberapa orang di
dekatnya, termasuk si Mata Bidadari yang baru saja muncul bersama Soka dan Kirana. Ketiga orang yang gagal mencari Raka itu baru
saja tiba di pesanggrahan. Tapi penjaga gerbang memberitahukan tentang kapal tersebut. Maka Soka dan
kedua gadis cantik itu segera menyusul mereka ke
tempat kapal tersebut kandas.
Tentu saja Soka Pura tak bisa menuruti perintah Ratu Sedap Malam. Begitu mendengar kakaknya
memeriksa kapal tersebut dan sampai saat itu belum
tampak batang hidungnya, Soka Pura pun segera berkelebat menyusul sang kakak. Gerakan jurus 'Jalur
Badai' yang amat cepat membuat mereka terperangah
melihat Soka Pura sudah berada di atas geladak kapal.
"Rakaaaa...!!" teriak Soka Pura setelah merasa heran melihat keadaan di atas
kapal sepi-sepi saja.
Sreet...! Pedang kristal pun dicabut oleh Soka
Pura, kemudian ia melangkah pelan-pelan dekati tangga menuju ruang bawah.
Wuuzz...! Tiba-tiba dari ruang bawah melesat
bayangan putih yang hampir saja ditebas dengan pedang kristal oleh Soka Pura. Bayangan putih itu segera bertengger di atas
reruntuhan tiang layar. Jleeg...!
"Setan gendeng kau!" maki Soka Pura setelah
tahu bayangan putih itu adalah kakaknya sendiri.
"Rakaaa...!" seru Kirana, namun gadis itu masih tak bisa ikut naik ke atas kapal
karena lengannya
digenggam kuat-kuat oleh si Mulut Guntur.
Raka Pura tersenyum kalem, sempat menjengkelkan hati adiknya yang tegang dan mencemaskan diri sang kakak itu.
"Hei, Jangan cengar-cengir saja! Apa yang kau
temukan dl ruang bawah sana"! Mengapa kapal ini tak
ada penumpangnya satu pun"!" seru Soka Pura.
"Kapal ini bermuatan mayat!" jawab Raka dengan keras, membuat mereka yang ada di darat terperanjat mendengarnya.
"Jangan bergurau kau, Raka!" seru si Mulut
Guntur. Raka bicara kepada mereka yang di darat.
"Aku hanya menemukan mayat-mayat yang
bertumpuk di ruang bawah! Tak ada satu pun yang hidup. Kalau tak percaya, silakan periksa sendiri!"
Rasa penasaran membuat mereka akhirnya
menyerbu kapal dan memeriksanya. Ternyata semua
awak kapal dalam keadaan tak bernyawa. Mayat mereka tertumpuk di ruang lambung kapal. Pada umumnya


Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka mengalami luka hangus di bagian dada atau
punggung. "Tak salah lagi, mereka adalah orang-orang si
Raja Amuk Jagal!" ujar Nyai Sangka! Putung yang
mengenali tato di lengan para mayat. Tato gambar
tengkorak dengan pedang bersilang adalah lambang
yang selalu dipakai oleh para pengikut Raja Amuk
Jagal. "Siapa yang membunuh mereka dan mengirimkannya kemari"!" tanya si Mulut Guntur.
Bandot Sebrang berujar, "Kurasa seseorang telah membantai habis seluruh awak kapal itu, dan menumpuk mayatnya di ruangan ini. Badai besar semalam telah menghanyutkan kapal ini dan tanpa disengaja telah terdampar kemari."
"Aku sependapat denganmu," ujar Lahar Jalanan. "Sebab jika tanpa didorong oleh badai kencang semalaman, perjalanan kapal
ini akan memakan waktu sehari semalam untuk mencapai kemari. Itu menurut perhitunganku!"
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh seruan si Mata Bidadari kepada Nyai Sangkal Putung.
"Guru, aku menemukan mayat tanpa kepala!"
Mereka bergegas memeriksa mayat yang terpenggal tanpa kepala itu. Mayat tersebut berperawakan tinggi, besar, mengenakan jubah kuning emas dan
perhiasan mewah. Di sampingnya terdapat abu yang
membentuk sabuk selebar satu jengkal dengan panjang sekitar lima jengkal.
"Apakah abu ini adalah abu dari 'Sabuk Biang
Neraka' milik Naga Barong"!" Lahar Jalanan bagai bertanya pada diri sendiri.
"Jika benar begitu," sahut Nyai Sangkal Putung,"... kurasa mayat tanpa kepala ini adalah mayatnya si Amuk Jagal!"
"Ya, aku pun yakin mayat ini adalah mayatnya
si Raja Amuk Jagal. Aku masih ingat dengan kulitnya
yang berwarna hitam keling Ini!" ujar si Mulut Guntur.
"Lalu ke mana kepalanya, Eyang"!" tanya Soka Pura kepada si Mulut Guntur.
Untuk memastikan mayat tanpa kepala itu adalah mayat Raja Amuk Jagal, mereka segera mencari
kepala tersebut. Namun ternyata mereka tidak berhasil
temukan kepala yang terpenggal.
Akhirnya mereka naik ke geladak dengan masih
mencari kepala tersebut dan bertanya-tanya, "Siapa orang yang telah memenggal
kepala Raja Amuk Jagal
itu?" "Sumpah mampus! Bukan aku yang memenggalnya!" ujar Raka Pura ketika
dipandangi adiknya dan si Mata Bidadari.
"Aku pun tidak menganggap kau pemenggalnya! aku hanya...."
Kata-kata Soka terhenti seketika itu juga, karena tiba-tiba mereka melihat sekelebat bayangan melesat dengan cepat. Hampir saja menyambar tubuh Kirana jika gadis itu tidak segera ditarik ke belakang oleh Raka Pura.
Weess...! Bayangan yang berkelebat itu hinggap di atas
tong kayu. Mereka yang ada di geladak terperanjat bukan kepalang, termasuk para tokoh tua yang memihak
Ratu Sedap Malam itu. Orang yang baru datang itu berambut putih dengan wajah angker dan berkuku runcing. Melihat si wajah angker berjubah merah kusam
dengan celana merah robek di bagian kakinya, Umbari
menjadi gemetar dan berdebar-debar. Ia berusaha
mendekati Raka Pura. Dari belakang Raka gadis itu
berbisik dengan suaranya yang bergetar.
"Orang inilah yang menyerangku kemarin sore!"
"Ooo...," Raka Pura menggumam pelan dan
manggut-manggut. "Tenanglah, kau tak perlu takut la-gi selama bersamaku,
Umbari." Wajah-wajah tegang yang memandangi si tokoh
berambut putih acak-acakan itu tak luput dari perasaan ngeri di dalam hati mereka. Bukan saja wajah
angker sang tokoh yang membuat mereka ngeri, namun juga sesuatu yang ditenteng oleh tangan si tokoh
bertubuh kurus bermata cekung itu.
Tangan kiri orang tersebut menggenggam rambut kepala yang telah terpenggal. Kepala itu dikenali
oleh Nyai Sangkal Putung dan beberapa tokoh tua
lainnya sebagai kepalanya si Raja Amuk Jagal. Rupanya orang Inilah yang memenggal kepala Raja Amuk
Jagal dan membunuh para awak kapal tersebut sebelum mereka mencapai Pantai Rangsang.
Hanya beberapa orang yang tak menyimpan
kengerian melihat penampilan tokoh berkulit keriput
itu. Mereka yang tak mempunyai rasa ngeri dan takut
sedikit pun adalah Pendekar Kembar, si Mulut Guntur
dan Mata Bidadari. Bahkan gadis murid Nyai Sangkal
Putung itu segera berkata dengan suara pelan, namun
sangat jelas didengar oleh mereka karena suasana
hening yang tercipta dalam beberapa kejap itu.
"Eyang Dedengkot Iblis..."!"
Melihat Soka Pura dan Mata Bidadari maju dekati tokoh angker yang ternyata adalah si Dedengkot
Iblis, Raka Pura pun segera memisahkan diri dari Kirana dan Umbari. Ia melangkah maju dari arah berlawanan dengan Soka. Ketiga anak muda itu segera
memberi hormat dengan sedikit bungkukkan badan
dan merapatkan tangan di depan dada masing-masing.
"Rupanya kaulah yang memenggal Raja Amuk
Jagal itu, Dedengkot Iblis!" ujar Raka Pura.
Pandangan mata Dedengkot Iblis diarahkan kepada Ratu Sedap Malam yang didampingi oleh si Mulut
Guntur dan Lahar Jalanan. Sang Ratu yang belum
mengenal siapa Dedengkot Iblis sempat merinding menerima tatapan mata dingin itu.
Tiba-tiba Dedengkot Iblis lemparkan kepala
yang ditentengnya itu. Wes, bruuk...! Kepala si Raja
Amuk Jagal jatuh menggelinding dan berhenti tepat di
depan kaki Ratu Sedap Malam. Semua mulut masih
terbungkam bagai terhipnotis. Mereka pandangi sejenak kepala berlumur darah itu, kemudian segera menatap Dedengkot Iblis lagi setelah tokoh angker bekas
penjaga Bambu Gading Mandul itu perdengarkan suaranya yang serak.
"Kau tak perlu meminta bantuan lagi kepada
cucu-cucuku: Pendekar Kembar! Wilayah mu dalam
perlindungan ku, karena cucu-cucuku berada di pihakmu!" Kemudian pandangan mata Dedengkot Iblis di
arahkan kepada Umbari. Gadis itu semakin deg-degan
lagi. "Rupanya kau ada di pihak cucuku; si Raka
Pura! Kusangka kau bersekongkol dengan pemuda
berbaju biru yang tewas di tangan Soka Pura itu, karena aku pernah melihatmu berciuman dengan pemuda
tersebut! Maafkan aku! Untung nasibmu tidak kubuat
seperti Runggana!"
Kini mata cekung itu diarahkan kepada Pendekar Kembar secara bergantian.
"Aku terpaksa ikut campur urusanmu, Soka.
Raja Amuk Jagal bukan tandingan kalian berdua!"
Sebelum Raka maupun Soka ingin ucapkan kata, Dedengkot Iblis sudah pindahkan tatapan matanya
kepada si Mulut Guntur yang dikenalnya sebagai keturunan dari Nyai Prabawinih, mantan istrinya.
"Jika kau ingin bertemu denganku, suruh si
Kembar mengantarkannya, atau si Mata Bidadari. Mereka tahu tempatku yang baru. Bukan lagi di kaki Gunung Mercapada!"
Mulut Guntur hanya anggukkan kepala sedikit
membungkuk pertanda bersikap hormat kepada Dedengkot Iblis. Setelah berkata demikian, tanpa basa-basi lagi
Dedengkot Iblis melesat dengan cepat bagaikan sinar
merah suram yang berkilat di udara. Kejap kemudian
ia lenyap di kerimbunan hutan, tak seorang pun dapat
melihat gerakannya kecuali Pendekar Kembar dan si
Mulut Guntur. Kejap berikutnya barulah mereka bisa bicara
dan saling bergemuruh seperti pasukan lebah lewat.
Mereka sama sekali tak menduga bahwa si Dedengkot
Iblis tokoh hitam yang dikalahkan Pendekar Kembar
itu sudah bertindak lebih dulu dari mereka. Dedengkot
Iblis mengetahui rencana kedatangan Raja Amuk Jagal
berkat mencuri percakapan Laksamada dan Runggana
secara diam-diam. Ia membantai seluruh awak kapal,
termasuk si Raja Amuk Jagal ketika hujan turun dengan lebat tadi malam. Pertarungannya dengan pihak
Raja Amuk Jagal dilakukan di tengah laut, sebelum
kapal itu akhirnya terdampar di Pantai Rangsang.
"Rupanya secara diam-diam selama ini kau dipantau terus oleh Dedengkot Iblis, sehingga ia tak rela jika kekuasaan dan
wilayah mu diusik oleh pihak lain,"
ujar si Mulut Guntur setelah jelaskan kepada sang Ratu siapa sebenarnya Dedengkot Iblis itu.
"Hanya saja, aku tak habis pikir mengapa Pendekar Kembar bisa disebut sebagai cucu-cucunya,"
ujar Nyai Sangkal Putung kepada si Mulut Guntur.
"Apakah Raka dan Soka memang keturunan si Dedengkot Iblis"!"
Mulut Guntur tersenyum geli. "Itu hanya siasat
mereka. Ketika mereka bertarung melawan Dedengkot
Iblis untuk mendapatkan Bambu Gading Mandul, mereka mengaku keturunannya Nyai Prabawinih. Mendengar nama Nyai Prabawinih, Dedengkot Iblis menjadi
takut dan segera melarikan diri. Ia tak berani melawan keturunan dari mantan
istrinya yang dicintai itu. Begitulah cerita Raka kepadaku beberapa waktu yang
lalu." "Ooo... cerdik juga rupanya si kembar itu"!"
gumam Nyai Sangkal Putung, yang lain pun ikut angguk-anggukkan kepala.
Sejak itu, Pantai Rangsang dalam keadaan senantiasa aman dari gangguan siapa pun. Kabar kemunculan Dedengkot Iblis di Pantai Rangsang yang
memenggal kepala Raja Amuk Jagal lambat laun menyebar dan sampai di telinga para tokoh sesat lainnya, sehingga para tokoh sesat
tak ada yang berani mengu-sik kedamaian Ratu Sedap Malam dan para penduduk
di Pantai Rangsang, termasuk desa nelayan tempat di
mana Lahar Jalanan mengasingkan diri menjadi seorang nelayan. SELESAI E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 5 Misteri Elang Hitam Karya Aryani W Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 14

Cari Blog Ini