Dewa Arak 21 Dendam Tokoh Buangan Bagian 2
Kembali suara tawa Ruksamurka yang keras dan
menggelegar terdengar. Sebuah tawa penuh bernada
kegembiraan. Rupanya kakek berwajah penuh guratan luka ini belum puas dengan pembantaiannya.
Kembali dihampirinya
pondok-pondok lain, kemudian dibakarnya.
Kini Desa Cendawa telah menjadi lautan api. Di sana-sini tampak pondok-pondok
yang terbakar. Beberapa di antaranya telah padam, dan hanya tinggal puing-puing
diselingi asap bau sangit yang membumbung ke atas.
Kekejaman Ruksamurka memang menggiriskan. Setiap
penduduk yang dijumpainya, entah wanita atau laki-laki, tua maupun muda, besar
ataupun kecil, semuanya segera dilemparkan ke dalam api yang berkobar-kobar!
"Manusia terkutuk...!"
Terdengar makian keras begitu Ruksamurka baru saja melemparkan orang terakhir
yang ditemui ke dalam
kobaran api. Tokoh sesat itu langsung memalingkan wajahnya. Sepasang matanya
menatap pemilik suara
dengan pandangan penuh selidik.
Di hadapan kakek berpakaian compang-camping ini
nampak berdiri belasan orang berwajah dan bersikap gagah. Pakaian mereka ratarata putih. Sementara di bagian dada sebelah kiri terdapat gambar seekor burung
gagak dengan benang hitam. Tampaknya mereka adalah murid-murid sebuah perguruan
silat. Ruksamurka menatap sosok-sosok tubuh yang berdiri di hadapannya dengan senjata
terhunus. Sepasang matanya berbinar-binar melihat calon korbannya. Memang
mengerikan sekali watak kakek berpakaian compang-camping ini.
Kegemarannya memang membunuh orang!
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka kembali tertawa terbahak-bahak. Karuan saja hal ini membuat belasan
orang itu yang ternyata murid Perguruan Gagak Putih menjadi marah bukan main.
Ditertawai seorang kakek jembel yang sama sekali tidak dikenal, siapa yang tidak
sewot" "Orang sepertimu memang tidak patut dibiarkan hidup...!"
Seorang murid Perguruan Gagak Putih yang berkumis tebal rupanya tidak kuat lagi
menahan amarahnya. Dia langsung melompat menerjang Ruksamurka dengan
pedang menusuk cepat ke arah dada. Suara bercuitan nyaring mengiringi serangan
itu. Namun Ruksamurka sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan tidak nampak adanya tanda-tanda akan
mengelak atau menangkis. Dadanya seperti dipasang, memberi keleluasaan lawan
untuk menyerang.
Takkk..! Terdengar suara keras seperti ada dua benda keras yang berbenturan ketika ujung
pedang itu mengenai sasarannya. Hebatnya, dada Ruksamurka sama sekali seperti
tidak tersentuh apa-apa. Justru, pedang itulah yang patah-patah.
Laki-laki berkumis tebal dan rekan-rekannya yang melihat kejadian itu terkejut
bukan kepalang. Apalagi, laki-laki berkumis tebal itu. Selain terkejut, dia juga
merasakan sakit pada sekujur tangannya.
Di saat itulah tangan kanan Ruksamurka kembali
terulur. Tappp...! Laki-laki berkumis tebal itu tidak mampu mengelak lagi, sehingga tangan kanannya
tercekal tangan Ruksamurka.
Suara gemeretak keras menandakan remuknya tulang, terdengar ketika jemari
Ruksamurka bergerak meremas.
Laki-laki berkumis tebal melolong kesakitan. Keringat sebesar biji jagung
bermunculan di wajahnya. Rasa sakit yang melandanya memang amat menyiksa.
Baru saja lolong kesakitan itu lenyap, tubuh laki-laki berkumis tebal itu telah
melayang ke arah kobaran api ketika Ruksamurka melontarkannya.
Kembali terdengar jeritan menyayat hati dari mulut laki-laki berkumis tebal itu.
Tepat ketika jeritan itu menghilang, tubuhnya pun lenyap ditelan kobaran api
yang membumbung tinggi menyebarkan hawa panas di sekitarnya.
Murid-murid Perguruan Gagak Putih sama-sama membelalakkan mata melihat kejadian yang menimpa seorang rekan mereka. Dan memang,
mereka semua tak sempat berbuat sesuatu karena kejadian itu berlangsung begitu
cepat. Dan tahu-tahu, laki-laki berkumis tebal itu telah tenggelam dalam kobaran
api! Mereka tersadar kembali begitu mendengar tawa meng-gelagar dari Ruksamurka.
Semula, tidak ada yang aneh pada tawa itu. Tapi sesaat kemudian, baru tampak
keanehannya. Suara itu perlahan-lahan mulai membesar, sampai
akhirnya menggelegar mirip guntur. Seiring semakin mem-besarnya tawa itu, muridmurid Perguruan Gagak Putih mulai merasakan akibatnya.
Murid-murid Perguruan Gagak Putih merasakan teliga mereka mendengung dan sakit
bukan main. Bahkan dada pun terasa sesak. Tanpa dapat dicegah, lutut mereka
mulai goyah. Sadar kalau Ruksamurka menyerang mereka dengan
suara tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam, murid-murid Perguruan Gagak
Putih segera mengerahkan tenaga dalam untuk melawan. Mereka juga menutup teliga
untuk mencegah masuknya serangan suara itu.
Tapi, ternyata semua yang dilakukan sama sekali tidak ada gunanya. Suara tawa
Ruksamurka tetap menyerang, sehingga tubuh murid Perguruan Gagak Putih mulai
roboh satu persatu. Dari mulut, hidung, dan telinga mereka mengalir darah segar.
Tak lama kemudian tak ada lagi satu pun murid
Perguruan Gagak Putih yang tertinggal. Semuanya tewas dalam keadaan mengerikan.
Ruksamurka tersenyum puas melihat mayat-mayat
korbannya. Sepasang matanya beredar ke sekelilingnya.
Dugaannya, barangkali saja masih ada orang yang belum mendapat giliran untuk
pergi ke alam baka.
Tapi begitu diyakini tidak ada lagi orang yang tertinggal, kakek berpakaian
compang-camping ini terus melangkah masuk ke dalam desa. Setiap pondok utuh yang
dilihatnya, langsung dibakar. Dan setiap penduduk yang dijumpai langsung
dibantai! *** 5 Ruksamurka menghentikan langkah kakinya begitu melihat sesosok tubuh berdiri
tegak menghadang jalan sekitar lima tombak di hadapannya. Di tangannya nampak
sebatang pedang terhunus.
Kakek tinggi besar itu sama sekali tidak mempedulikannya. Seperti tidak ada apa
pun di hadapannya, langkahnya segera diteruskan.
"Berhenti, Manusia Biadab...!"
Penghadang itu berseru keras. Nada kemarahan yang amat sangat terdengar di
dalamnya. Jelas, penghadang itu tengah dilanda amarah yang menggelegak hingga ke
ubun-ubun. Terdengar suara gemeretak keras dari mulut Ruksamurka. Kakek berpakaian compang-camping ini memang marah bukan main. Dan
bentakan itulah yang menyebab-kannya. Kontan tepasang matanya menatap tajam ke
arah sekujur wajah dan tubuh penghadangnya.
Penghadang itu ternyata seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun dan
berpakaian putih. Ada gambar seekor burung gagak yang disulam dari benang hitam
pada bagian dada kiri pakaiannya. Sikapnya yang gagah semakin terlihat gagah
dengan adanya kumis dan cambang bauk lebat yang menghias wajahnya.
Setelah merasa cukup memperhatikan penghadangnya, Ruksamurka terus saja
melangkah maju. Tidak dipeduli-kannya seruan laki-laki bercambang bauk lebat
itu. "Manusia biadab...! Kau harus bayar nyawa murid-muridku yang tewas di tanganmu!"
teriak laki-laki bercambang bauk lebat yang ternyata Ketua Perguruan Gagak
Putih. Nada suaranya keras, penuh hawa kemarahan.
"Kalau aku tidak mampu mengalahkanmu, lebih baik nama Laksana kubuang!"
Setelah berkata demikian, Ketua Perguruan Gagak Putih yang ternyata bernama Ki
Laksana ini melompat
menerjang. Pedang di tangan kanannya meluncur deras ke arah dada Ruksamurka.
Singgg...! Suara berdesing nyaring terdengar mengiringi serangan itu. Menilik dari
desingannya, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung pada
serangan itu. Ruksamurka hanya mendengus. Tidak tampak sama
sekali kalau kakek berpakaian compang-camping ini akan mengelak. Baru setelah
tusukan pedang itu menyambar dekat, tangan kanannya terulur. Pelan saja, seperti
tanpa pengerahan tenaga.
Tappp...! Bagaikan menangkap sebatang singkong, Ruksamurka
menangkap bilah pedang lawan yang tajam. Bahkan
sebenarnya bukan hanya menangkap, tapi juga mencengkeramnya. Sepasang mata Ki Laksana terbelalak begitu melihat bilah pedangnya hancur jadi
serbuk begitu kakek berpakaian compang-camping itu meremas pedangnya.
Padahal, pedang itu tidak bisa dianggap sembarangan, karena memang sebatang
pedang pusaka. Bisa dibayangkan, betapa hebatnya tenaga dalam lawan yang mampu
meremas pedang tanpa terluka sama sekali. Dan hal ini tentu saja membuat Ketua
Perguruan Gagak Putih itu terperanjat.
Ki Laksana tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam perasaan terkejut. Kini dia
tahu, kakek berwatak telengas itu adalah seorang lawan yang amat tangguh. Bukti
nyata di hadapannya telah menjadi saksi kelihaiannya.
Maka buru-buru laki-laki bercambang bauk lebat ini melompat ke belakang. Namun
Ruksamurka sama sekali tidak mengejarnya, dan hanya memutar-mutarkan kedua
tangannya di depan dada dengan arah gerakan dari luar ke dalam.
Ketua Perguruan Gagak Putih ini kaget bukan main
begitu merasakan adanya tenaga amat kuat yang
menariknya ke depan. Ki Laksana tahu jika bertahan tidak akan ada gunanya.
Jelas, tenaga lawan jauh di atasnya.
Bahkan bila mencoba terus bertahan hanya akan men-celakakan diri sendiri.
Itulah sebabnya Ki Laksana segera membanting tubuh ke tanah. Dan memang, setelah
berada di tanah, tidak ada kekuatan aneh yang menyedotnya ke depan. Jelas,
kekuatan yang menarik itu ternyata mendatar. Dan hanya menunjukkan pengaruhnya,
bila lawan berada dalam
keadaan tidak terlalu rendah.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Ki Laksana untuk menyelamatkan nyawanya.
Begitu tubuhnya telah berada di tanah, laki-laki bercambang bauk lebat ini
langsung menggulingkan tubuhnya.
Dan begitu merasa telah berada di tempat aman. Ki Laksana baru menghentikan
gulingannya. Tubuhnya
kemudian melenting ke atas. Dengan wajah pucat, Ketua Perguruan Gagak Putih ini
menatap sekujur tubuh Ruksamurka penuh selidik.
Ki Laksana dulu adalah seorang tokoh hitam yang cukup terkenal. Tapi akhirnya
dia sadar, lalu mendirikan sebuah perguruan yang diberi nama Perguruan Gagak
Putih. Sebuah nama yang aneh, karena burung gagak umumnya berwarna hitam. Tapi, Ki
Laksana sengaja memberinya nama demikian. Dia memang mempunyai maksud dengan
nama itu. Burung gagak melambangkan dirinya yang dulu.
Dan tambahan putih di belakang kata gagak, menunjukkan kalau dirinya telah
tobat. Sebagai seorang tokoh terkenal, Ki Laksana tentu saja cukup mengenal ilmu-ilmu
dahsyat tempo dulu berikut pemiliknya. Dan salah satu ilmu yang dikenalnya
adalah yang mempunyal akibat seperti dirasakan kali ini. Ilmu itu bernama
'Tarikan Pusaran Air Laut'.
Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut' memang merupakan
sebuah ilmu dahsyat dan menggiriskan. Tapi ilmu itu tidak membuat dunia
persilatan gempar. Si pemilik ilmu itulah yang membuat tokoh-tokoh persilatan
ngeri. Dialah Ruksamurka, seorang manusia yang lebih tepat disebut iblis.
Kini Ki Laksana merasakan tanda-tanda kalau lawan menggunakan ilmu itu. Tentu
saja hal itu membuatnya terkejut bukan kepalang, Ruksamurka-kah orang yang
dihadapinya" Bukankah kakek yang mengerikan itu telah lama lenyap"
Perasaan ngeri yang hebat mulai menjalari hati Ki Laksana begitu melihat tandatanda adanya kebenaran kalau tokoh yang berdiri di hadapannya adalah Ruksamurka.
Siapa lagi tokoh yang begitu kejam membantai seisi desa tanpa kenal ampun,
kecuali Ruksamurka"
Ruksamurka menggeram melihat lawan berhasil mengelakkan diri dari daya sedot ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut'.
Hal ini benar-benar membuat penasaran hatinya. Ki Laksana telah berhasil
menemukan kelemahan ilmunya, maka orang ini harus cepat-cepat dimusnahkan.
Setelah mengambil keputusan demikian, Ruksamurka
tidak menunggu datangnya serangan lagi. Kakek berpakaian compang-camping ini
malah melompat menyerang. Tangan kanannya dengan sikap jari-jari tangan mengepal, meluncur deras ke
arah dada Ketua Perguruan Gagak Putih.
Wusss...! Deru angin keras terdengar mengiringi tibanya serangan, sehingga membuat Ki
Laksana terperanjat. Apalagi tatkala merasakan kecepatan serangan itu. Hembusan
anginnya saja sudah membuat tubuhnya hampir terjengkang. Untung dia buru-buru
mengerahkan tenaga dalam untuk mem-beratkan tubuhnya.
Pada saat yang sama, Ki Laksana lalu menusukkan
pedangnya yang tinggal separuh ke arah dada kiri
Ruksamurka. Luar biasa! Ketua Perguruan Gagak Putih ini rupanya berniat mengadu
nyawa. Memang setelah mempunyai dugaan kuat kalau lawannya adalah Ruksamurka, Ki Laksana tidak bisa berharap terlalu banyak. Dia tahu
dirinya bukan tandingan tokoh sesat yang menggiriskan itu. Maka, laki-laki
bercambang bauk lebat ini memutuskan untuk mengadu nyawa.
Itulah sebabnya Ki Laksana sama sekali tidak mengelakkan serangan pukulan
Ruksamurka, tapi sebaliknya malah melancarkan serangan pula. Dan karena lakilaki bercambang bauk lebat ini menggunakan senjata, dengan sendirinya jangkauan
serangannya jadi lebih jauh. Dan sebelum serangan kakek berpakaian compangcamping itu tiba, tusukan pedangnya akan lebih dulu menghunjam lawan.
Memang apa yang diperhitungkan Ki Laksana tidak
meleset. Tusukan pedangnya lebih dulu tiba sebelum serangan pukulan Ruksamurka.
Tapi, ternyata pedangnya membalik begitu mengenai tubuh Ruksamurka. Seakan-akan
bukan kulit manusia yang tertusuk, tapi lempengan baja yang amat kuat. Dan saat
itulah pukulan Ruksamurka menghantam dadanya.
Takkk...! Bukkk...!
Semua kejadian itu berlangsung demikian cepat. Tahu-tahu, tubuh Ki Laksana telah
tertempar jauh ke belakang diiringi jeritan menyayat hati. Dari mulut, hidung,
dan telinganya mengalir darah segar. Ketua Perguruan Gagak Putih ini tewas
seketika dengan seluruh isi dada remuk.
Pukulan Ruksamurka memang keras bukan main, karena telak mengenai sasarannya.
Brukkk...! Suara berdebuk keras terdengar begitu tubuh Ki
Laksana yang telah menjadi mayat jatuh ke tanah. Tak kurang dari tujuh tombak
tubuh Ketua Perguruan Gagak Putih itu terlempar jatuh. Dan mulai dari tempat
terkena pukulan sampal tempat jatuhnya, darah berceceran.
Tanpa mempedulikan mayat Ki Laksana lagi, Ruksamurka segera bergerak meninggalkan tempat itu. Kakek berpakaian compang-camping
ini melangkah masuk jauh ke dalam desa.
*** "Tidak salahkah penglihatanku...?" gumam seorang pemuda berambut putih
keperakan. Pakaiannya ungu, dengan guci arak tersampir di punggung. Sepasang
matanya menatap jauh ke depan.
Nun jauh di hadapan pemuda berpakaian ungu itu,
nampak asap tebal dan hitam membumbung tinggi. Begitu banyak dan bergumpalgumpal. Pemuda berambut putih keperakan yang tak lain Arya Buana alias Dewa Arak itu
menyipitkan sepasang mata untuk lebih memperjelas penglihatannya.
"Tidak salah lagi. Pasti ada kebakaran hebat di sana...."
gumam Arya lagi.
Setelah menduga demikian, Dewa Arak langsung
melesat ke arah asal asap bergulung-gulung itu. Cepat bukan main gerakannya. Hal
ini tidak aneh, karena ilmu meringankan tubuh pemuda berambut putih keperakan
itu telah tinggi. Dan saat itu karena ingin buru-buru mengetahui kejadian di
depan, dia telah mengerahkan seluruh kemampuannya.
Dewa Arak 21 Dendam Tokoh Buangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semakin lama, jarak antara Dewa Arak dengan asal
asap yang membumbung tinggi itu semakin dekat. Dan dengan sendirinya, semakin
jelas terlihat penyebab munculnya asap hitam yang begitu menggumpal bergulunggulung. Sepasang mata Dewa Arak terbelalak begitu melihat penyebab munculnya asap.
Hampir dia tidak mempercayai pandangan matanya. Tampak pondok-pondok di Desa
Cendawa terbakar hebat.
Melihat hal ini, Arya semakin mempercepat larinya. Tak lama kemudian, batas
tembok Desa Cendawa telah
terlihat. Dan Dewa Arak terus berlari memasuki desa.
Terdengar suara gemeretak dari mulut Arya begitu
melihat pemandangan mengenaskan di hadapannya.
Pondok-pondok terbakar hebat di sana-sini. Beberapa di antaranya telah menjadi
puing-puing yang masih mengeluarkan asap. Berkernyit dahi Arya begitu mencium
bau sangit daging terbakar.
Rasa penasaran mendorong Arya untuk menghampiri
satu pondok yang sudah menjadi puing-puing. Sesaat lamanya sepasang mata pemuda
berambut putih keperakan ini menatap ke arah puing-puing itu, kemudian kedua tangannya diputarputarkan di depan dada.
Wusss...! Dari kedua tangan yang berputaran itu berhembus angin keras yang membuat
tumpukan puing-puing berpentalan tak tentu arah. Seketika, sekitar tempat itu
terselimut arang debu.
Arya menggerakkan tangannya sekali lagi. Kali ini tidak berputar di depan dada,
tapi hanya mendorong. Pelan saja kelihatannya, tapi akibatnya debu yang menutupi
pandangan itu terusir pergi.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat begitu melihat
pemandangan yang di balik tumpukan puing tadi. Tampak beberapa bagian tulangbelulang manusia yang rupanya tidak ikut habis terbakar.
Sekali lihat saja, Arya tahu kalau mayat manusia yang ikut terbakar bersama
pondok itu tidak hanya satu saja.
Dewa Arak menemukan beberapa tengkorak kepala
manusia. Di antaranya malah ada yang merupakan
tengkorak bayi.
"Biadab...!"
Geraman bernada kemarahan terdengar dari mulut
Dewa Arak melihat pemandangan mengenaskan di
hadapannya. Untuk beberapa saat lamanya Arya tercenung diam. Raut wajahnya
tampak kaku karena kemarahan yang membakar hatinya.
Dengan langkah lesu dan dada sesak terbakar amarah, Dewa Arak melangkah
meninggalkan pondok itu. Benaknya sibuk menduga-duga, siapa pelaku perbuatan
keji ini. Benarkah semua ini perbuatan Ruksamurka, tokoh sesat yang berhasil bebas dari
kurungan" Belum berapa jauh melangkah, pandangan Arya tertumbuk pada beberapa sosok tubuh yang tergeletak
menghadang jalan. Menilik dari keadaan tubuh yang sama sekali tidak bergerakgerak, Arya bisa memastikan kalau semua sosok tubuh itu telah tidak bernyawa
lagi. Meskipun begitu, Dewa Arak segera menghampiri.
Hanya dalam sekejapan saja, dia sudah berada di hadapan sosok-sosok tubuh yang
tergolek. Arya menghitung jumlah mayat itu dengan matanya.
Sebelas orang. Menilik dari pakaian dan lambang yang tertera pada dada sebelah
kiri, bisa diperkirakan kalau mayat-mayat itu berasal dari satu perguruan.
Pakaian mereka berwarna putih, dan ada sulaman bergambar
burung gagak pada bagian dada sebelah kiri. Memang, mereka adalah murid-murid
Perguruan Gagak Putih yang tewas oleh Ruksamurka.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat melihat mayat-mayat itu. Sekali lihat saja, dia
tahu kalau sebelas sosok itu tewas karena serangan tenaga dalam yang dipancarkan
dari suara tawa.
Dengan raut wajah yang semakin lesu, dan kemarahan yang semakin bergolak, Dewa
Arak melangkah meninggalkan mayat-mayat itu. Tidak seperti biasanya, pemuda
berambut putih keperakan ini tidak menguburnya.
Masalahnya, ia tahu kalau korban pembantaian masih akan ditemukan lagi.
Dugaan Arya memang benar. Masih banyak mayat yang ditemukannya di sepanjang
perjalanan. Sebagian besar tidak bisa dikenali lagi, karena telah hancur
terbakar. Hanya beberapa gelintir saja yang ditemukan mayatnya.
Yang jelas, seluruh isi desa itu telah habis. Tak ada seorang pun yang tersisa.
Di sana-sini masih tampak terlihat kobaran api yang membumbung tinggi ke
angkasa. "Keji...!"
Kembali sebuah umpatan keluar dari mulut Dewa Arak melihat tidak ada satu
makhluk pun yang masih hidup.
Jangankan manusia, atau binatang. Persawahan pun
sudah tidak tampak lagi. Semua telah musnah terbakar jadi abu. Desa Cendawa
benar-benar telah menjadi desa neraka.
"Siapa pun pelaku semua ini..., aku tidak akan bisa mengampuninya lagi," desis
Dewa Arak. Ada nada ancaman yang hebat dalam suara itu.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak bergegas meninggalkan tempat itu. Tujuannya sudah jelas mencari jejak pembunuh biadab itu.
Kemarahan Arya semakin bergolak. Dan tekadnya untuk membasmi pembunuh biadab itu
semakin besar ketika di sepanjang perjalanan selalu dijumpai mayat korban pembunuhan. Setiap desa yang dilalui pemuda berambut putih keperakan tidak pernah
utuh. Rupanya Ruksamurka benar-benar hendak membinasakan seluruh penghuni bumi
ini. *** 6 "Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Sudah berhari-hari lamanya mengikuti jejak
Ruksamurka, tapi tetap belum menemukan pembunuh keji itu. Yang selalu
dijumpainya hanya bekas-bekas yang ditimbulkan oleh kebiadaban kakek berwajah
penuh guratan itu.
Bahkan setelah melewati sebuah desa yang telah habis porak-poranda, Dewa Arak
kehilangan jejak Ruksamurka.
Rupanya dia telah salah memilih jalan. Dan kini Arya telah tiba di tembok batas
Desa Berung. "Rupanya aku keliru memilih jalan," gumam Arya ketika telah melangkahkan kaki
memasuki mulut desa.
Desa Berung ternyata berbeda dengan desa-desa yang dijumpai sebelumnya. Di sini
tidak ditemui mayat berserakan, dan juga tidak terlihat pondok-pondok yang
terbakar. Jelas, Ruksamurka belum tiba kemari.
Arya mengedarkan pandangan berkeliling
"Ataukah pembunuh keji itu belum tiba di sini?" gumam pemuda berambut putih
keperakan itu kembali. "Tapi, rasanya mustahil. Aku saja yang berada di
belakangnya telah tiba di sini. Ya! Past aku telah keliru memilih jalan."
Dengan benak dipenuhi berbagai macam pertanyaan
itu, Arya kembali melanjutkan perjalanan. Sepasang mata pemuda berambut putih
keperakan itu seperti menatap sekelilingnya, tapi pikirannya melayang ke manamana. Meskipun demikian, dahi Arya tetap berkernyit. Dirasakannya ada kelainan di Desa
Berung. Desa ini terlihat sepi, tidak nampak seorang pun penduduk yang nampak
"Aneh...!" desis Dewa Arak pelan. "Ke mana perginya penduduk desa ini?"
Mendadak Arya tersentak. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya denting
senjata beradu. Menilik dari suara nya yang terdengar sayup-sayup, bisa
diperkirakan kalau asal suara itu cukup jauh dari tempatnya.
Arya lebih mempertajam lagi pendengarannya untuk
menangkap denting suara itu agar dapat mengetahui sumbernya. Sesaat kemudian
Arya telah berhasil mem-perkirakannya.
Dewa Arak tak mau membuang-buang waktu lagi. Cepat tubuhnya berkelebat menuju
asal suara itu. Hebat bukan main gerakannya. Hanya sekali langkah saja, pemuda
berambut putih keperakan itu telah berada dalam jarak sekitar dua belas tombak
dari tempat semula.
Arya mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Sebuah dugaan yang kuat, telah membuatnya bertindak
seperti itu. Denting senjata beradu itu kemungkinan besar adalah sebuah
pertarungan. Bahkan bukan mustahil kalau orang yang tengah bertarung adalah pembunuh biadab
itu. Apalagi, Arya yang memang sudah bertekad bulat untuk segera mengenyahkan
Ruksamurka. Maka dia berusaha secepatnya tiba di
tempat pertarungan, dan tidak ingin kehilangan jejak lagi.
Semakin lama dentang senjata beradu itu terdengar semakin keras. Hal ini semakin
menggembirakan hati Dewa Arak. Ini membuktikan kalau dia tidak salah arah.
Kini bukan hanya dentang senjata beradu saja yang terdengar, tapi juga teriakanteriakan penuh kemarahan, bercampur kesakitan, dan diselingi lolong kematian.
Tak lama kemudian, pandang mata Dewa Arak tertumbuk pada sebuah bangunan besar, tapi sederhana.
Bangunan itu terkurung pagar kayu bulat yang tinggi.
Sekali lihat saja, Arya tahu kalau bangunan itu adalah sebuah perguruan sllat.
Dan memang, dugaannya tidak salah, karena di bagian atas pintu gerbang yang daun
pintunya telah roboh itu terpampang sebuah papan tebal dan berukir yang
bertuliskan huruf-huruf indah. Bunyinya,
"Perguruan Tangan Besi".
Karena gerbang sudah tidak mempunyai pintu lagi,
meskipun Dewa Arak masih berada dalam jarak belasan tombak, tapi bisa melihat
apa yang terjadi di halaman depan yang luas itu. Tampak di sana terjadi sebuah
pertarungan mati-matian, antara orang-orang berseragam kuning muda melawan
orang-orang berwajah dan bersikap kasar.
Sesaat kemudian, Dewa Arak telah berada di halaman perguruan itu. Dia tidak
langsung mencampuri pertarungan, melainkan memperhatikan sekelilingnya sesaat.
Arya mengernyitkan alisnya melihat banyaknya orang berseragam kuning yang tewas.
Di bagian dada kiri mereka terdapat gambar telapak tangan terbuka. Tak kurang
dari delapan orang yang tergolek di tanah.
Kini Dewa Arak mengalihkan perhatian pada jalannya pertarungan. Tampak orangorang berseragam kuning yang rata-rata bersikap dan berwatak gagah itu terus
mengada-kan perlawanan sengit. Tak terlihat kegentaran sedikit pun, sekali pun
sebagian kawan-kawan mereka telah tewas.
Arya menghitung jumlah orang berseragam kuning itu.
Ada empat belas orang, dan rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi. Tapi
meskipun begitu, terlihat jelas kalau mereka tetap tidak mampu menghadapi lawan.
Padahal, lawan yang dihadapi hanya dua orang.
Orang pertama berpakaian terbuat dari kulit binatang.
Tubuhnya terlalu tinggi dan terlalu kurus, sehingga lebih mirip batang bambu.
Kulit wajahnya kuning. Kumis dan jenggot yang kasar dan jarang-jarang tampak
menghias wajahnya. Dengan senjata sebuah pedang yang panjangnya satu setengah
kali pedang biasa, lawan-lawan berusaha dirobohkannya.
Sedangkan orang kedua, bertubuh begitu pendek. Di samping itu tubuhnya pun
sangat gemuk dan gendut.
Sehingga, lebih mirip bola daripada manusia. Pakaiannya berupa rompi berwarna
merah. Senjatanya yang berupa sebuah golok besar bermata bergerigi tampak telah
ber-lepotan darah. Jelas kalau golok itu telah banyak meminta korban.
Setelah memperhatikan sesaat, Arya tahu bila pertarungan dibiarkan terus dapat dipastikan orang-orang berseragam kuning akan
tewas semua di tangan lawannya.
Kedua orang lawan itu amat tangguh, terutama sekali per-mainan senjata mereka.
Dugaan Dewa Arak memang benar. Meskipun satu
orang berwajah dan bersikap kasar itu menghadapi tujuh orang berseragam kuning,
namun sama sekali tidak
tampak terdesak. Bahkan sebaliknya mampu menguasai keadaan.
Sekali lihat saja, Dewa Arak telah bisa menilai pihak yang harus dibantunya.
Menilik dari sikap dan seragam yang dikenakan, Arya tahu kalau orang berpakaian
kuning itu murid-murid Perguruan Tangan Besi. Hanya yang menjadi tanda tanya
baginya, ke manakah ketua perguruan itu"
Mengapa tidak membantu murid-muridnya yang telah
berada di ambang maut"
"Akh...!"
Salah seorang murid Perguruan Tangan Besi yang berkulit hitam memekik tertahan
ketika golok laki-laki bertubuh pendek gemuk menyerempet bahunya. Kontan
tubuhnya terhuyung ke belakang.
Sambil tertawa menyeramkan, laki-laki berompi merah itu melesat memburu. Golok
besar dan bergerigi di tangannya ditusukkan cepat ke arah perut.
Laki-laki berkulit hitam itu terperanjat melihat maut tengah memburu ke arahnya.
Tibanya serangan susulan itu membuatnya gugup bukan main, sehingga tidak mampu
berbuat sesuatu untuk mengelak.
Bukan hanya laki-laki berkulit hitam itu saja yang terkejut. Rekan-rekannya pun
kaget bukan main, karena tidak mampu berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya.
Serangan itu tiba begitu mendadak.
Di saat gawat bagi keselamatan laki-laki berkulit hitam itu, Dewa Arak melesat
cepat memapaknya. Nyawa murid Perguruan Tangan Besi itu memang harus
diselamatkan. Tinggg..! Suara berdenting nyaring seperti beradunya dua benda logam terdengar ketika
golok bergerigi itu disentil jari telunjuk Arya. Walaupun hanya sentilan saja,
tapi karena dilakukan oleh seorang tokoh tinggi seperti Dewa Arak, akibatnya pun
hebat. Laki-laki bertubuh pendek gemuk terperanjat ketika goloknya menyeleweng ke
samping. Tangan yang menggenggam senjata seketika bergetar hebat seiring
berdirinya sesosok bayangan ungu di depannya.
"Siapa kau..."!" teriak laki-laki berompi merah ini keras penuh kemarahan
"Mengapa mencampuri urusan kami"!"
"Aku Arya," sebut Dewa Arak pelan.
"Arya...," laki-laki bertubuh pendek gemuk itu mengerutkan alisnya. Nada suara
maupun sikapnya
menunjukkan kalau tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Jadi... kau ini... Dewa Arak..."!"
"Begitulah orang-orang persilatan menjulukiku...," sahut Arya kalem. Datar saja
suaranya. Tidak ada nada ke-banggaan atau kesombongan yang tersirat di dalamnya.
"Ah...!"
Terdengar jerit keterkejutan dari laki-laki yang bertubuh tinggi kurus bagai
bambu. Rupanya walau dalam keadaan sedang bertarung, dia masih mampu
memperhatikan sekitarnya. Dan sekali bergerak saja, tubuhnya telah berhasil keluar dari
kepungan tujuh orang lawan. Laki-laki tinggi kurus itu kemudian berdiri di
sebelah rekannya.
Tujuh orang murid Perguruan Tangan Besi sama sekali tidak mengejarnya. Mereka
diam memperhatikan, seperti juga rekan mereka yang menghadapi laki-laki bertubuh
pendek gemuk itu. Mereka ingin melihat, apa yang dilakukan Dewa Arak! Memang,
julukan itu telah lama terdengar.
"Kami berdua memang telah lama mendengar nama besarmu, Dewa Arak. Dan sudah lama
pula kami berniat mencoba kelihaianmu. Aku, si Katak Api. Sedangkan kawanku
berjuluk Codot Hutan Larangan," kata laki-laki bertubuh pendek gemuk
memperkenalkan diri, sekaligus menantang.
"Bersiaplah, Dewa Arak...!"
Kali ini laki-laki bertubuh tinggj kurus yang ternyata berjuluk Codot Hutan
Larangan itu yang ganti berbicara.
Suaranya terdengar melengking nyaring.
Setelah berkata demikian, laki-laki berpakaian dari kulit binatang itu langsung
melompat menerjang. Pedang
panjang di tangannya disabetkan ke arah leher Dewa Arak.
Singgg...! Suara desing nyaring terdengar mengiringi tibanya serangan pedang itu.
Belum juga serangan itu tiba di sasaran, si Katak Api juga telah melancarkan
serangan. Golok laki-laki bertubuh pendek gemuk ini meluncur cepat ke arah
perut. Menghadapi kedua serangan yang tiba berbarengan itu, Dewa Arak sama sekali tidak
gugup. Sekali lihat saja sudah btsa diketahui kekuatan tenaga dalam lawan. Maka
Dewa Arak 21 Dendam Tokoh Buangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemuda berambut putih keperakan ini bersikap tenang saja, tidak nampak akan
mengelakkan serangan atau mengeluarkan senjata untuk menangkis.
Baru ketika kedua serangan itu menyambar dekat,
tangan Arya bergerak ke atas untuk menangkis serangan yang membabat leher.
Sementara tangan yang kiri ditetakkan menangkis golok si Katak Api dengan arah
gerakan dari dalam ke luar.
Takkk, takkk...!
Suara berderak keras seperti dua batang logam berbenturan, terdengar begitu
sepasang tangan Dewa Arak menangkis kedua senjata yang mengancam keselamatan
nyawanya. Akibatnya hebat sekali! Tubuh si Katak Api dan Codot Hutan Larangan sama-sama
terhuyung ke belakang.
Keduanya merasakan tangan yang menggenggam senjata seperti lumpuh seketika.
Sebelum sempat berbuat sesuatu, kedua tangan Dewa Arak telah meluncur ke arah
mereka. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga, sebelum kedua tokoh sesat itu
sadar, senjata-senjata itu telah berpindah ke tangan Dewa Arak. Rupanya, Arya
telah menotok lumpuh sikut kedua orang itu.
Kontan wajah kedua orang itu memucat. Dari tindakan ini saja, sudah bisa
diketahui kalau tingkat kepandaian Dewa Arak amat jauh di atas mereka. Perasaan
gentar yang amat sangat seketika menyelinap di hati kedua orang itu. Tindakan
Arya ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Pemuda berambut putih
keperakan itu langsung memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada. Dan dari
kedua tangan yang berputaran, seketika berhembus angin keras, sehingga membuat
tubuh si Katak Api dan Codot Hutan Larangan terhumbalang ke belakang dan jatuh
bergulingan di tanah.
Meskipun telah menjadi pecundang, namun si Katak Api dan Codot Hutan Larangan
mampu membuktikan kalau
bukanlah tokoh sembarangan. Cepat-cepat kekuatan yang membuat tubuh mereka
terguling-guling dipatahkan, kemudian bergerak bangkit. Lalu, lari tunggang
langgang meninggalkan tempat itu.
Melihat hal ini, murid-murid Perguruan Tangan Besi tidak tinggal diam. Cepat
mereka bergerak mengejar.
Namun Arya tidak mau ikut campur lagi. Dibiarkan saja kedua belah pihak itu
menyelesaikan urusannya sendiri.
Tapi, rupanya tidak semua murid Perguruan Tangan Besi mengejar lawan. Ada dua
orang yang masih berdiri di situ.
Malah keduanya bergerak menghampiri Dewa Arak.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap salah satu dari kedua orang
itu, yang berkulit hitam.
Lukanya kini telah terbalut.
"Ah! Bukankah sudah merupakan kewajiban kita untuk saling tolong-menolong?"
kelit Arya buru-buru. "Lagi pula, tampaknya kedua orang itu bukan orang baikbaik." "Apa yang kau katakan itu tidak salah, Dewa Arak,"
sambut laki-laki berkulit hitam. "Kedua orang itu adalah orang-orang jahat yang
telah dikalahkan guru kami, tapi berhasil meloloskan diri. Sudah lama mereka
hendak membalas dendam, tapi mereka gentar. Jadi, mereka menunggu saat yang
tepat untuk melaksanakan niat itu, selagi guru kami tidak ada."
"Kalau saja guru kami berada di tempat, kedua orang itu tak akan mungkin berani
datang kemari," jelas orang satunya lagi. Laki-laki itu banyak mempunyai tahi
lalat di pipinya.
"Memang, sejak Ruksamurka muncul kembali, tokoh-tokoh golongan hitam lebih
berani berbuat kejahatan,"
sambung laki-laki berkulit hitam.
"Kalau boleh kutahu, ke mana guru kalian pergi?" tanya Arya hati-hati.
"Bergabung dengan tokoh-tokoh aliran putih lain mengejar Ruksamurka," sahut
laki-laki yang wajahnya penuh tahi lalat.
"Aku juga tengah mengikuti jejaknya. Tapi sayang..., kehilangan jejak," sambut
Dewa Arak cepat.
"Ambil jalan pintas saja, Dewa Arak," usul laki-laki berkulit hitam.
"Aku belum mengerti maksudmu, Kang?"
"Begini, Dewa Arak. Dari guru, aku tahu kalau setiap menjelang bulan purnama,
Ruksamurka kembali ke tempat tinggalnya di Gunung Lenteng. Entah apa yang
dilakukan di sana. Guruku pun tidak mengetahui. Jadi, tunggu saja di sana, Dewa
Arak." Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini dia mengerti, mengapa Ruksamurka tidak
menuju Desa Berung. Bulan purnama tinggal dua hari lagi. Karena kakek itu hendak
menuju Gunung Lenteng, maka sudah pasti melewati Desa Lenteng. Jadi, Desa
Lenteng yang kali ini akan menjadi Desa Neraka!
"Kalau begitu, aku harus segera menuju ke sana...!"
ucap Arya mengambil keputusan.
"Memang lebih baik begitu, Dewa Arak," dukung laki-laki berwajah penuh tahi
lalat. "Kita pergi bersama-sama saja," usul laki-laki berkulit hitam.
Arya terperanjat
"Heh..."! Jadi... kalian pun ingin menuju ke puncak Gunung Lenteng?"
Laki-laki berkulit hitam menggelengkan kepala. "Kami ingin melihat rekan-rekan
kami yang tadi mengejar si Katak Api dan Codot Hutan Larangan. Kebetulan arahnya
sama dengan arah yang akan kau tempuh "
Dewa Arak menganggukkan kepala pertanda mengerti, lalu bergerak menuju Gunung
Lenteng diikuti kedua orang murid Perguruan Tangan Besi.
Dengan adanya dua orang berseragam kuning bersamanya, terpaksa Arya tidak bisa mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki.
Pemuda berpakaian ungu itu hanya mengerahkan
sebagian kecil dari ilmu meringankan tubuhnya, agar kedua orang itu tidak
tertinggal jauh.
Belum jauh ketiga orang ini bergerak, pandangan
mereka tertumbuk pada serombongan orang berseragam kuning yang tengah menuju ke
arah yang berlawanan.
Dewa Arak dan kedua orang murid Perguruan Tangan
Besi yang bersarnanya, mengerutkan alis begitu melihat rombongan itu. Semula
sewaktu mengajar, jumlah mereka dua belas orang. Tapi kini hanya tinggal enam
orang! "Apa yang terjadi, Sakri?" tanya laki-laki berkulit hitam seraya menatap wajah
salah seorang dari rombongan, tatkala jarak mereka telah dekat.
"Mana kawan-kawan yang lain?" laki-laki yang wajahnya penuh tahi lalat bertanya
pula, sebelum Sakri tempat menjawab pertanyaan yang diajukan laki-laki berkulit
hitam. "Mereka semua telah tewas," pelan dan tanpa semangat jawaban Sakri.
"Tewas"!" kedua orang murid Perguruan Tangan Besi yang berjalan bersama Dewa
Arak membelalakkan
sepasang matanya. Jelas, mereka merasa kaget bukan kepalang.
Sakri menganggukkan kepala.
Tapi kematian mereka tidak sia-sia, Kang, Si Katak Api dan Codot Hutan Larangan
berhasil kami tewaskan.
Sungguh tidak disangka dalam keadaan terluka, mereka masih sanggup menewaskan
enam orang rekan kita."
"Lalu mayat mereka...?" tanya laki-laki berkulit hitam lagi.
"Sudah kami kuburkan, Kang." sahut Sakri. Sementara murid-murid Perguruan Tangan
Besi yang bersamanya menganggukkan kepala. Mereka semua rupanya merasa terpukul
sekali atas kematian rekan-rekan mereka.
"Kalau begitu..., mari kembali ke perguruan. Kita urus mayat rekan-rekan kita
yang lain," ajak laki-laki berkulit hitam.
"Kalau begitu aku pergi dulu, Kang." Dewa Arak yang tahu kalau tidak ada gunanya
lagi berada di situ segera pamit. "Aku harus cepat-cepat mengejar Ruksamurka
sebelum semuanya terlambat"
Tanpa menunggu jawaban, Dewa Arak segera melesat
cepat bagai kilat. Sehingga dalam beberapa saat saja, tubuhnya sudah berupa
titik yang semakin lama semakin mengecil dan akhirnya lenyap ditelan kejauhan.
"Luar biasa...!" laki-laki berkulit hitam berseru memuji seraya menggelenggelengkan kepala. Memang, dia
merasa kagum bukan main melihat kesaktian Dewa Arak.
"Usianya masih begitu muda. Tapi kepandaiannya..., luar biasa! Berita yang
tersiar di dunia persilatan rupanya tidak berlebihan," salah seorang murid
Perguruan Tangan Besi yang berhidung melengkung menggumam penuh kagum.
Bukan hanya kedua orang itu saja yang merasa kagum melihat kesaktian Dewa Arak.
Bahkan juga rekan-rekan mereka yang lainnya. Mereka semuanya menatap Arya hingga
lenyap di kejauhan.
Baru setelah tubuh Dewa Arak tidak terlihat lagi, mereka semuanya melangkah
kembali ke Perguruan Tangan Besi.
*** 7 "Ruksamurka...! Berhenti kau...!"
Bentakan keras menggelegar memaksa seorang kakek
berpakaian compang-camping yang tengah berlari menghentikan langkahnya.
Kakek yang ternyata memang Ruksamurka itu menoleh ke samping kanan, arah
bentakan itu berasal. Wajah kakek berpakaian compang-camping ini terlihat tenang
saja, meskipun tahu kalau orang yang mengucapkan bentakan itu adalah seorang
lawan tangguh. Ini terbukti dari bentakan yang mengandung getaran kuat tadi.
Dalam jarak sekitar sepuluh tombak di samping kanan Ruksamurka, berdiri tiga
sosok tubuh yang rata-rata berusia lanjut. Dan begitu melihat orang yang
dibentak berhenti, ketiga sosok tubuh itu melangkah menghampiri.
Ruksamurka membalikkan tubuhnya, menghadap ke
arah tiga sosok tubuh itu. Dia kini berdiri diam menunggu.
Sepasang matanya menatap ke arah tiga orang itu. seperti meremehkan.
"Siapa di antara kalian yang tadi menyuruhku berhenti..."!" tanya Ruksamurka
begitu tiga sosok tubuh itu menghentikan langkahnya dalam jarak sekitar tiga
tombak di depannya.
Sepasang mata Ruksamurka menatap berganti-ganti
wajah ketiga orang itu. Ada ancaman hebat yang terkandung dalam pertanyaan itu.
Tapi sampai lelah Ruksamurka menunggu, tidak juga terdengar adanya sahutan dari
mulut ketiga orang itu.
Terdengar suara gemeretak dari mulut Ruksamurka.
Jelas, kakek berwajah penuh gurat luka ini dilanda kemarahan menggelegak. Dan
itu memang benar!
Ruksamurka memang paling pantang dibentak orang. Apalagi kalau ucapannya tidak
dianggap. Maka, kemarahannya makin menggelegak sampai ke ubun-ubun.
"Groaaah...! Sungguh tidak kusangka kalau kalian ber-tiga tidak ubahnya seperti
anjing. Di belakang meng-gonggong, tapi begitu berada di depan diam tutup mulut!
Pengecut..! Akan kurobek mulut kalian semua...!"
"Tutup mulutmu, Ruksamurka...!" sergah salah seorang dari tiga penghadang itu.
Dia adalah seorang kakek bertubuh sedang. Kumis dan jenggot tampak menghias
wajahnya. Tubuhnya yang masih terlihat kekar terbungkus sebuah pakaian berwarna
kuning yang di bagian dada kiri tersulam gambar telapak tangan.
Dialah Ketua Perguruan Tangan Besi Ki Galing namanya.
"Hm...," Ruksamurka menggeram hebat. Sepasang matanya menatap bengis ke arah Ki
Galing. "Jadi, kau rupanya yang tadi membentakku, Tikus Pengecut"!"
"Aku yang tadi menyuruhmu berhenti, Ruksamurka! Lalu, kau mau apa"!" selak
seorang yang berbadan lebar tapi kurus. Sehingga badannya terlihat tipis.
Apalagi dia memang bertelanjang dada. Kulitnya hitam kecoklatan, pertanda sering
terbakar matahari. Ada sebuah caping yang menutup kepalanya.
Ruksamurka mengawasi laki-laki bercaping sejenak, kemudian beralih pada sebuah
cangkul yang tergenggam di tangan kanan laki-laki bertelanjang dada itu.
"Siapa kau, Kunyuk"!" tanya kakek berpakaian compang-camping kasar. "Sebutkan
namamu, sebelum mati penasaran di tanganku!"
"Aku sudah lupa namaku! Tapi orang persilatan menjulukiku. Petani Tangan
Seratus!" "Sebentar lagi kau akan dijuluki Petani Tanpa Tangan dan Kaki!" dengus
Ruksamurka. Setelah berkata demikian, Ruksamurka siap mengeluarkan ilmu andalannya. Ilmu
'Tarikan Pusaran Air Laut'.
Ruksamurka memutar-mutarkan kedua tangannya di
depan dada. Seketika itu juga angin keras yang mempunyai daya sedot luar biasa
berhembus. "Awas...! Itu pasti ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut...!"
Salah seorang lagi, seorang kakek bertubuh kurus
kering seperti cecak mati, berseru keras seraya melempar tubuhnya ke belakang.
Kemudian dia bersalto beberapa kali di udara.
Bukan hanya kakek kurus kering itu saja yang melompat menghindar. Petani Tangan
Seratus dan juga Ki Galing pun melompat ke belakang begitu merasakan adanya
angin keras yang berusaha menarik tubuh mereka ke depan.
Mesikipun begitu, tak urung mereka merasakan juga akibat serangan itu. Saat
mendarat di tanah, sikap kaki mereka tidak tetap. Terhuyung sana-sini.
Bagaikan seekor binatang buas yang terluka, Ruksamurka meraung. Kedua tangannya
dengan jari-jari terbuka lurus bergerak cepat mencari sasaran.
Hebatnya, setiap serangan kakek ini selalu mengandung hal yang membingungkan
lawan. Terkadang sebelum
serangan itu tiba, ada kekuatan membetot luar biasa. Tapi tak jarang, serangan
itu juga didahului sebuah kekuatan tolak yang luar biasa kuatnya.
Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan kakek kurus kering yang ternyata bernama
Eyang Boneng adalah tokoh aliran putih tingkat atas. Maka tentu saja kepandaian
mereka telah tinggi. Meskipun begitu, tetap saja mereka tidak berani menghadapi
Ruksamurka satu persatu.
Memang ketiga orang sakti ini telah mengetahui
kelihaian tokoh sesat yang menggiriskan itu. Belasan tahun yang lalu, kakek
berpakaian compang-camping ini meraja-lela tanpa ada seorang pun yang mampu
menandinginya. Melihat Ruksamurka mengeluarkan ilmu andalan, ketiga orang sakti itu pun
mengeluarkan ilmu andalan masing-masing. Petani Tangan Seratus mengeluarkan
'Ilmu Tangan Seratus'. Sementara Ki Galing dengan 'Ilmu Tangan Besi'.
Sedangkan Eyang Boneng dengan 'Ilmu Tinju Angin'.
Sukar dibayangkan, betapa dahsyatnya pertarungan
antara keempat tokoh sakti itu. Suara menderu, mencicit, dan mengaung, diiringi
suara meletup-letup terdengar menyemaraki pertarungan.
Bukan hanya itu saja. Angin pukulan dan tendangan yang nyasar membuat tanah di
sekitar pertarungan
terbongkar. Batu-batu besar maupun kecil berpentalan tak tentu arah, terbawa
hembusan angin keras yang bertiup di sekitar tempat itu. Bahkan beberapa batang
pohon besar yang tumbuh di sekitarnya pun tumbang akibat terkena serangan
nyasar. Pada jurus-jurus permulaan hingga jurus keempat puluh, Ruksamurka kewalahan
bukan main menghadapi keroyokan ketiga orang lawannya ini. Memang kalau melawan
satu persatu, tidak begitu sulit bagi kakek berpakaian compang-camping ini untuk
mengalahkan mereka. Tapi karena lawan menghadapinya secara keroyokan, dia
merasa sulit menaklukkan ketiga orang itu.
Memang ketiga orang tokoh sakti aliran putih itu seperti tidak terdiri dari tiga
orang dengan tiga pikiran, tapi tiga orang dengan satu pikiran. Petani Tangan
Seratus, Ki Galing, dan Eyang Boneng bisa saling mengisi dan bantu-membantu.
Serangan mereka susul-menyusul tanpa henti seperti gelombang laut. Sebaliknya,
begitu salah seorang mengalami desakan, dua orang rekannya selalu berada di
sisinya untuk membantu.
Karena kerjasama ketiga tokoh ini begitu kompak,
Ruksamurka mengalami kesulitan menghadapi mereka.
Selama beberapa puluh jurus, kakek berpakaian compang-camping ini hanya mengelak
dan menangkis. Dan hanya sesekali saja melancarkan serangan.
Begitu pertarungan melewati jurus keempat puluh lima, Ruksamurka baru bisa
memperbaiki keadaan. Perkem-bangan ilmu lawan-lawannya mulai bisa dikenalnya.
Dan dengan sendirinya, sedikit demi sedikit keadaan mulai bisa diimbangi.
Pada jurus keenam puluh lima, pertarungan mulai
berlangsung imbang. Ruksamurka kini tidak hanya
mengelak dan menangkis, tapi juga balas menyerang dahsyat.
Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan Eyang Boneng mengeluh dalam hati begitu
melihat Ruksamurka berhasil menata diri. Bahkan kini mampu mengimbangi.
Meskipun begitu, ketiga orang tokoh sakti itu tidak putus asa. Mereka tetap
mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk merobohkan lawan.
Hingga seratus jurus pertarungan masih berlangsung seimbang. Tidak tampak ada
tanda-tanda yang akan
terdesak. Sebenarnya berkali-kali Ruksamurka berhasil mendesak lawan. Tapi karena
Dewa Arak 21 Dendam Tokoh Buangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kerjasama yang kompak dari ketiga orang itu, desakan kakek berpakaian compangcamping cepat diurungkan.
Beberapa kali hal yang aneh terjadi, karena kekhasan ilmu yang dimiliki
Ruksamurka. Ilmu yang bernama 'Tarikan Pusaran Air Laut' itu sebenarnya
mempunyai daya kekuatan menarik yang amat kuat. Tapi berkat kecerdikan-nya, ilmu
itu tidak hanya berisi daya sedot saja, tapi juga daya tolak Jadi setiap
serangan yang dilakukannya selalu mengandung daya sedot atau daya tolak yang
amat kuat. Hal seperti itulah yang menimbulkan keanehan. Sering-kali terlihat ketiga orang
lawan Ruksamurka tertarik ke depan, atau terdorong ke belakang setiap kali
serangan dilancarkan.
Dan berkat kedahsyatan ilmu itulah, perlahan namun pasti Ruksamurka berhasil
mendesak ketiga orang
lawannya. Bahkan menginjak jurus keseratus lima puluh, berhasil memecah belah
kerjasama ketiga orang itu.
Dengan berhasil dilumpuhkannya kerjasama Ki Galing, Eyang Boneng, dan Petani
Tangan Seratus, Ruksamurka mulai berhasil mendesak lawan.
Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan Eyang Boneng menggertakkan gigi begitu
mengetahui Ruksamurka berhasil memecah belah kerjasama mereka. Ketiganya sadar,
kalau dibiarkan keadaan akan sangat berbahaya.
Srattt..! Sinar terang berkeredep ketika Ki Galing menghunus pedangnya. Langsung
dilancarkannya serangan tusukan bertubi-tubi begitu pedang itu terhunus.
Berbareng dengan serangan pedang Ki Galing, Petani Tangan Seratus dan Eyang
Boneng pun mengeluarkan
senjata andalan masing-masing.
Petani Tangan Seratus segera menjumput cangkulnya yang sejak tadi tergetetak di
tanah. Sedangkan Eyang Boneng langsung mengeluarkan sepasang tongkat pendek yang
panjangnya hanya setengah tombak. Dan begitu pedang di tangan Ki Galing
meluncur, senjata kedua orang tokoh sakti itu meluncur tiba.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak begitu melihat ketiga orang lawan mengeluarkan
senjata andalan masing-masing. Dan seiring keluarnya suara tawa itu, tubuhnya
melompat ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara.
"Hup...!"
Begitu mendarat di tanah, di tangan kakek ini telah tergenggam sepasang kecer.
Blanggg...! Suara keras seperti ada halilintar menggelegar terdengar ketika sepasang kecer
itu diadu. Jelas kalau Ruksamurka membenturkan kecer ini disertai pengerahan
seluruh tenaga dalam yang dimiliki.
Akibatnya hebat bukan main! Terdengar pekikan tertahan dari mulut Petani Tangan
Seratus, Ki Galing, dan Eyang Boneng.
Getaran suara yang timbul dari beradunya sepasang kecer itu benar-benar
menggiriskan. Ketiga orang tokoh sakti beraliran putih itu merasakan sepasang
telinga mereka berdengung hebat dan sakit bukan main. Bahkan dada pun terasa
sesak! Bukan itu saja. Kedua lutut mereka pun terasa lemas bukan main.
Blanggg,..! Kembali Ruksamurka mengadu sepasang kecernya.
Akibatnya, ketiga orang lawannya kembali memekik. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, mereka melemparkan
senjata yang digenggam. Seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimiliki segera
dikerahkan untuk melawan pengaruh suara kecer itu.
Blanggg...! Sekujur tubuh Petani Tangan Seratus, Ki Galing dan Eyang Boneng menggigil hebat.
Dari mulut telinga, dan hidung mereka kini mengalir darah segar. Ketiga orang
kakek sakti ini jelas-jelas terluka dalam. Memang tenaga dalam mereka masih di
bawah Ruksamurka.
Blanggg...! Ruksamurka yang melihat keadaan ketiga orang
lawannya mulai bisa dilumpuhkan, kembali membenturkan kecernya. Sebagai seorang
tokoh sesat yang penuh
pengalaman, dia tahu kalau keadaan lawan sudah amat gawat. Jadi rasanya tidak
sulit untuk merobohkan mereka.
"Huakh...!"
Hampir berbareng, Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan Eyang Boneng memuntahkan
darah segar dari mulut mereka, kemudian ambruk ke tanah. Sesaat lamanya
tubuh ketiga orang itu menggelepar-gelepar, lalu diam tidak bergerak lagi untuk
selama-lamanya. Mati!
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak begitu melihat ketiga orang lawan diam tidak
bergerak lagi. Beberapa saat lamanya kakek berpakaian compangcamping ini memperhatikan mayat ketiga orang lawannya, baru kemudian melesat
kabur dari situ menuju gunung yang menjulang tinggi agak jauh di hadapannya.
Gunung Lenteng!
Tak lama sepeninggal Ruksamurka, dari kejauhan
melesat cepat sesosok bayangan ungu yang bergerak cepat. Siapa lagi kalau bukan
Dewa Arak! Pemuda
berambut putih keperakan itu dari jauh mendengar suara gemuruh yang memekakkan
telinga. Suara itulah yang menuntunnya ke arah pertarungan Ruksamurka menghadapi
ketiga orang lawannya tadi.
"Celaka...! Aku terlambat..!" keluh Dewa Arak begitu di kejauhan sepasang
matanya melihat tiga sosok tubuh yang tergolek di tanah.
Melihat hal ini, Arya kembali mempercepat larinya.
Sesaat kemudian, tubuhnya sudah berada di dekat ketiga mayat itu.
Begitu melihat tanda telapak tangan di dada kiri kakek berpakaian kuning, Dewa
Arak telah tahu kalau orang itu adalah Ketua Perguruan Tangan Besi. Jadi,
rupanya kedua kakek yang berada di sebelah mayat Ki Galing adalah tokoh
persilatan yang ingin menghentikan kebiadaban Ruksamurka.
Arya menatap ketiga mayat itu dengan pandangan mata penuh penyesalan.
"Maaf..., aku tidak bisa mengurus mayat kalian. Aku harus buru-buru mengejar
Ruksamurka...."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera melesat dari situ untuk mengejar
Ruksamurka. *** 8 "Hup...!"
Dengan lincahnya, Ruksamurka melompat ke sana
kemari. Kedua kakinya menotok batu-batuan. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke
atas dan hinggap di salah satu batu besar yang menonjol. Kemudian, dia menotok
lagi. Begitu seterusnya.
Lincah laksana kera, kakek berpakaian compangcamping ini melesat ke sana kemari. Padahal, medan yang ditempuhnya terhitung
sulit. Tapi berkat ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, tidak sukar baginya
untuk menakluk-kannya.
Tak berapa lama kemudian, Ruksamurka telah berada di puncak Gunung Lenteng.
Kakek itu menatap suasana di sekelilingnya sekilas.
"Ha ha ha...! Lega rasa hatiku. Setelah sekian lamanya terkurung, kini kembali
ke tempat asal. Ha ha ha...!
Tunggulah, Gering Langit! Selesai purnama ini, dendamku akan terbalaskan. Maka
dengan demikian baru hutangmu lunas! Ha ha ha...!"
Sambil berkacak pinggang, Ruksamurka tertawa keras menggelegar, meskipun tanpa
pengerahan tenaga dalam.
Angin yang berhembus kencang membawa suara tawa itu ke tempat-tempat yang jauh.
Setelah puas tertawa-tawa, tokoh sesat berpakaian compang-camping ini lalu
melangkahkan kakinya. Kini ilmu meringankan tubuhnya tidak dikerahkan karena
medan yang ditempuhnya datar.
Setelah puluhan kali melangkah, Ruksamurka berhenti melangkah karena di
hadapannya terbentang jurang yang amat dalam. Jurang itu sukar diukur
kedalamannya. Bahkan dasarnya tak tampak sedikit pun.
Ruksamurka sama sekali tidak bingung melihat hal ini.
Pandangannya tetap tertuju ke seberang. Lebar jurang itu tidak kurang dari tiga
puluh tombak. Jadi merupakan hal yang mustahil untuk bisa melompatinya.
Kakek berpakaian compang-camping itu pun rupanya
memang tidak bermaksud melompati jurang itu. Karena, memang di antara kedua
tempat itu dihubungkan dengan seutas tambang yang merentang jauh sampai ke
seberang sana. Jadi, rupanya itulah jalan satu-satunya menuju ke seberang.
"Hih...!"
Ruksamurka menjejakkan kakinya ke tanah, maka
sesaat kemudian tubuhnya melenting ke atas. Dan....
"Hup...!"
Indah dan manis dilihat, kaki kakek berwajah penuh guratan luka itu hinggap di
tambang. Tampak tambang itu bergetar hebat ketika kaki Ruksamurka mendarat di
atasnya. "Pembunuh biadab...! Berhenti...!"
Tiba-tiba sebuah bentakan keras terdengar ketika
Ruksamurka baru saja berniat melentingkan tubuhnya kembali. Belum lagi lenyap
bentakan itu, sesosok
bayangan ungu telah melesat cepat. Sesaat kemudian, di ujung tambang itu telah
berdiri Dewa Arak.
Wajah Ruksamurka seketika berubah merah dan pucat berganti-ganti. Dia tahu,
kalau pemilik suara yang ternyata seorang pemuda berambut putih keperakan itu
bertindak licik, tubuhnya akan tergelincir ke dasar jurang. Dan sudah tentu akan
tewas seketika.
Dia kini berada hampir di tengah jurang. Kalau Dewa Arak memutuskan tali itu,
tubuhnya akan terlempar ke dalam jurang yang dalamnya sukar untuk diukur itu.
Khawatir Dewa Arak akan bertindak licik, Ruksamurka segera bertindak cepat. Dia
segera bergerak meneruskan perjalanannya untuk mencapai seberang.
"Pengecut..!"
Terdengar suara gemeretak dari mulut Dewa Arak begitu melihat lawan melarikan
diri. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut putih keperakan itu
segera bergerak mengejar. Dia melompat tinggi ke atas, bersalto beberapa kali di
udara. Kemudian bagaikan seekor burung garuda menyambar mangsa, tubuhnya meluruk
cepat ke arah kakek berpakaian compang-camping itu.
Ruksamurka menggeram hebat. Makian Dewa Arak
benar-benar membuat amarahnya meluap. Tanpa pikir panjang lagi, segera tubuhnya
dibalikkan untuk menyambut tubuh Arya dengan tusukan-tusukan jemari tangannya
yang lurus dan menegang kaku.
Dewa Arak terperanjat melihat serangan lawan. Dia memang tidak bermaksud
membokong lawan. Maka
mendapat serangan mendadak itu, dia menjadi gelagapan.
Tapi meskipun begitu, akal sehatnya tidak pernah lenyap.
Maka seluruh tenaga dalam nya segera dikerahkan untuk menangkis.
Prattt...! Suara keras terdengar begitu kedua pasang tangan yang sama-sama mengandung
tenaga dalam tinggi berbenturan.
Seketika itu juga, tubuh Dewa Arak kembali terpental balik ke atas. Kedua
tangannya yang berbenturan dengan
tangan kakek berpakaian compang-camping itu bergetar hebat! Dadanya pun terasa
sesak. Jelas kalau dalam adu tenaga dalam, kakek berwajah penuh guratan tuka itu
masih lebih unggul daripada Dewa Arak.
Tapi keadaan yang dialami Ruksamurka pun sebenarnya berbahaya. Meskipun tidak
ada pengaruh yang berarti akibat benturan tangan Dewa Arak, tapi karena tengah
berada di atas seutas tambang, dia terpeleset ke bawah.
Serasa copot jantung kakek berpakaian compangcamping itu ketika menyadari tubuhnya meluruk ke dalam jurang. Walaupun begitu,
dia tidak gugup. Cepat tangan kanannya diulurkan ke atas, dan....
Tappp...! Tambang itu berhasil ditangkapnya.
Pada saat yang bersamaan. Dewa Arak pun mendaratkan kakinya di tambang.
Baik Ruksamurka maupun Dewa Arak sadar, betapa
berbahayanya bertarung di atas seutas tambang yang di bawahnya mulut jurang siap
menelan mereka bulat-bulat.
Kemungkinan untuk jatuh ke dalam jurang memang bukan merupakan hal yang
mustahil. Itulah sebabnya kedua orang itu tidak ada yang saling melancarkan serangan, dan
kini sama-sama berdiam di tempat masing-masing.
"Hih...!"
Mendadak Ruksamurka menarik tambang itu hingga
bergetar. Dan dengan bantuan tenaga tarikan, tubuhnya melenting ke atas, lalu
mendarat di atas tambang.
Pada saat yang bersamaan, Dewa Arak segera
melompat ke atas. Dan begitu kaki Ruksamurka hinggap di tambang, Dewa Arak pun
mendaratkan kakinya pula.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ruksamurka
segera berlari menuju ke seberang. Seluruh ilmu
meringankan tubuhnya dikerahkan agar bisa berlari di atas tambang seperti
berlari di atas tanah datar biasa.
Kali ini Dewa Arak tidak berani bersikap sembrono, karena menyadari bahaya besar
yang mengancam kalau memaksakan diri menyerang lawan di atas tambang ini.
Maka perbuatannya tidak diulanginya, tapi hanya bergerak di belakang.
Karena kedua tokoh sakti itu mengerahkan ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki, walau tidak bisa secepat seperti tanah datar
karena sulitnya medan. Tak lama kemudian Ruksamurka telah tiba di ujung tambang
lebih dulu. "Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki kakek berpakaian
compang-camping ini menjejak tanah seberang jurang.
Arya terkejut bukan main melihat hal ini. Pada saat itu, tubuhnya masih berjarak
sekitar tiga tombak dari seberang jurang. Dan bila lawan memutuskan tambang itu,
sudah pasti Dewa Arak akan celaka di sana.
Khawatir akan terjadinya hal semacam itu, Dewa Arak segera melenting ke atas.
Dia bersalto beberapa kali di udara, untuk kemudian hinggap di seberang jurang.
Dugaan Arya ternyata meleset. Ruksamurka sama sekali tidak bertindak licik
seperti itu. Bahkan ketika tubuhnya tengah berada di udara dan mudah untuk
diserang, kakek berpakaian compang-camping itu sama sekali tidak melancarkan
serangan. Sehingga, Dewa Arak dapat mendarat di tanah tanpa kesulitan.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak setelah mengamati Arya dari ujung rambut sampai ke
ujung kaki. "Kaukah tokoh yang berjuluk Dewa Arak itu, Anak Ingusan"!" tanya kakek
berpakaian compang-camping dengan suara menggelegar.
Memang dia telah mendengar berita tentang seorang tokoh yang menggemparkan dunia
persilatan. Konon
kabarnya, tokoh itu seorang pemuda berambut putih keperakan. Julukannya, Dewa
Arak. Maka begitu melihat ciri-cirinya. Ruksamurka sudah bisa menerkanya.
"Tidak salah," sahut Arya mantap. "Dan kau pasti Ruksamurka!"
"Hehhh..."!" kakek yang berwalah penuh gurat-gurat luka itu mengernyitkan dahi.
"Dari mana kau tahu namaku, Anak Ingusan...!"
"Kau tidak perlu tahu, Ruksamurka," sahut Dewa Arak cepat "Yang perlu kau
ketahui hanya satu. Kau harus cepat-cepat pergi ke alam baka!"
Arya menjumput guci araknya, kemudian menuangkan
ke mulut. Gluk...gluk... gluk..!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokan Arya. Seketika itu pula, ada hawa hangat yang berputaran di dalam
tubuh Dewa Arak. Kemudian, perlahan-lahan naik ke atas kepala.
"Keparat..!" geram Ruksamurka.
Setelah memaki kalang kabut, kakek berpakaian
compang-camping ini memutar-mutarkan kedua tangan di depan dada.
Dewa Arak terkejut bukan main begitu mendadak ada angin kuat yang menarik
tubuhnya ke depan. Sama sekali keadaannya tengah tidak bersiap dalam menghadapi
hal seperti itu. Maka, tubuhnya pun tertarik ke depan.
Ruksamurka mendengus. Tubuh Arya yang tertarik ke depan itu, disambutnya dengan
tusukan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati. Sungguh sebuah serangan
berbahaya! Suara mendecit nyaring terdengar mengiringi serangan itu.
Keadaan Arya memang berbahaya! Tapi berkat keistimewaan Ilmu 'Belalang Sakti', yang membuatnya mampu bergerak sesulit apa pun
Dewa Arak 21 Dendam Tokoh Buangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan dalam keadaan
bagaimana pun, pemuda berambut putih keperakan ini berhasil mematahkan semua
serangan. Tentu saja gerakan Dewa Arak membuat sepasang mata tokoh sesakti Ruksamurka
terbelalak. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu kemudian melompat ke atas
melewati kepala lawan.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Dewa Arak. Sambil bersalto sekali, kedua
tangannya melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah kepala belakang Ruksamurka.
Berbahaya bukan main serangan itu jangankan kepala
manusia, batu yang paling keras pun akan hancur ber-keping-keping bila terkena
serangan Dewa Arak. Memang Arya telah mengambil keputusan untuk melenyapkan
Ruksamurka selama-lamanya.
Cara Ruksamurka menghadapi serangan itu berbeda
dengan yang selama ini dilihat Dewa Arak.
Dengan kecepatan gerak luar biasa, kakek berpakaian compang-camping itu
membalikkan tubuhnya. Dan secepat tubuhnya berbalik, secepat itu pula kedua
tangannya di-gerakkan menangkis.
Plakkk...! Suara keras akibat benturan seketika terdengar. Apalagi kedua pasang tangan itu
memang telah dialiri tenaga dalam tinggi, sehingga tidak ubahnya seperti
benturan gumpalan baja yang keras.
Tubuh Dewa Arak seketika terpental kembali ke atas.
Bahkan sampai bersalto di udara untuk mematahkan daya lontar itu. Kedua
tangannya dirasakan sakit dan ngilu bukan main. Rasa sesak pun seketika melanda
dadanya. Ruksamurka rupanya tidak mengalami pengaruh akibat benturan itu. Buktinya, kakek
bertubuh tinggi besar ini langsung melancarkan serangan susulan bertubi-tubi
sebelum kedua kaki Arya menyentuh tanah.
Mendadak dan tiba-tiba sekali datangnya serangan itu.
Apalagi dilancarkan pada saat tubuh Dewa Arak tengah berada di udara. Akibatnya,
Dewa Arak begitu kewalahan.
Tapi berkat keistimewaan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, pemuda berambut
putih keperakan itu mampu mengelakkan serangan. Dengan bertumpu pada kedua
tangannya, Arya bersalto di udara. Kemudian, kakinya mendarat beberapa tombak
dari tempat semula.
Ruksamurka menggeram murka melihat serangannya
berhasil dipatahkan. Dengan amarah meluap-luap, kembali dilancarkannya serangan
dahsyat ke arah Dewa Arak. Tapi, kini Arya telah siap. Pemuda berambut putih
keperakan itu pun langsung meladeninya tak kalah dahsyat. Tak pelak lagi,
pertarungan sengit antara kedua orang itu pun berlangsung.
Arya mengeluh dalam hati. Lawan yang dihadapinya kali ini benar-benar lawan luar
biasa! Baru beberapa jurus bertarung, sudah terasa berat tekanan-tekanan yang
dilakukan lawan. Setiap serangan yang dilakukan Ruksamurka mengandung daya sedot
dan daya tolak luar biasa!
Dan hal inilah yang menyulitkannya.
Dewa Arak kinl benar-benar harus menguras seluruh kemampuan yang dimilikinya.
Bahkan ilmu 'Belalang Sakti'
dikerahkan sampai ke puncaknya. Kedua tangan, guci, dan semburan araknya semua
dikeluarkan dalam usahanya menandingi lawan.
Meskipun begitu, tak urung Arya terdesak. Perbedaan tingkat tenaga dalam yang
berselisih cukup jauhlah yang membuatnya terdesak. Pemuda berambut putih
keperakan ini tahu kalau lawan memiliki tenaga dalam jauh di atasnya. Maka,
sedapat mungkin diusahakan untuk
menghindari terjadinya benturan.
Dan itu berarti, Dewa Arak harus lebih sering mengelak.
Sedapat mungkin, Arya berusaha menghindari terjadinya benturan. Bahkan sewaktu
menyerang pun, Dewa Arak segera menarik pulang serangannya ketika kakek
berpakaian compang-camping itu akan menangkis.
Pertarungan yang berlangsung antara kedua tokoh
tingkat tinggi ini memang benar-benar menggiriskan. Angin menderu, mengaung, dan
mencicit tak henti-hentinya terdengar mengiringi pertarungan.
Bukan hanya itu saja akibat yang ditimbulkan. Suasana di sekitar pertarungan
kini porak-poranda. Batu-batu besar dan kecil berpentalan tak tentu arah.
Kepulan debu membumbung tinggi ke udara.
Berkat ilmu meringankan tubuh kedua tokoh yang sama-sama telah mencapai
tingkatan tinggi, pertarungan berlangsung cepat. Dalam waktu stngkat, seratus
jurus telah berlalu.
Ruksamurka marah dan malu bukan main menyadari
hal ini. Dia tahu pasti kalau keadaan lawan tengah terdesak. Tapi ternyata amat
sulit baginya untuk merobohkan.
Ilmu pemuda itu begitu aneh. Dalam keadaan yang sangat terjepit pun, masih mampu
mengelak. Ini benar-benar tidak dimengertinya!
Rasa penasaran membuat kakek berpakaian compangcamping ini semakin meningkatkan serangan. Seluruh kemampuannya dikerahkan
hingga titik yang terakhir.
Ruksamurka bertekad untuk bertarung mati-matian. Akibatnya sudah bisa diduga.
Tekanan-tekanan yang melanda Dewa Arak pun semakin berat. Tapi meskipun begitu,
berkat Ilmu 'Belalang Sakti', terutama sekali dalam Jurus
'Delapan Langkah Belalang', semua serangan lawan masih mampu dielakkan. Tentu
saja, dengan susah payah.
Gluk... gluk... gluk..!
Beberapa kali bila mendapat kesempatan. Dewa Arak segera menenggak araknya. Dan
seiring masuknya arak itu ke tubuhnya, daya tahannya pulih kembali.
Seratus lima puluh jurus telah kembali berlalu. Hasilnya, pertarungan antara
kedua tokoh ini telah berlangsung dua ratus lima puluh Jurus. Dan selama itu,
Ruksamurka senantiasa menghambur-hamburkan tenaga. Jadi, tak aneh bila
kelelahan. Sementara di pihak Dewa Arak sendiri, daya tahannya kembali pulih setelah arak
memasuki perutnya. Dia seperti memperoleh tenaga baru, sehingga tak mengalami
kelelahan sedikit pun.
Napas Ruksamurka mulai terdengar memburu. Tenaga
yang terkandung dalam serangannya sudah mulai
melemah. Sementara Dewa Arak masih tetap seperti
semula. Dan kini ganti Dewa Arak yang mendesak. Pemuda
berambut putih keperakan ini melancarkan serangan-serangan bertubi-tubi dan
cepat. Karuan saja hal itu membuat Ruksamurka pontang-panting.
Pada jurus kedua ratus tujuh puluh sembilan, Arya menyorongkan gucinya ke arah
dada Ruksamurka. Kakek tinggi besar yang telah lelah ini sebisa-btsanya
mengelak. Tapi... Bukkk! "Aaakh...!" terdengar seruan tertahan.
Telak dan keras sekali, guci arak Arya menghantam dadanya. Suara berderak keras
pertanda ada tulang-tulang yang patah terdengar seiring terpentalnya tubuh
Ruksamurka ke belakang. Darah segar seketika memancur deras dari mulut
Dewa Arak tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Pemuda berambut putih keperakan ini langsung melompat memburu seraya melancarkan
tendangan terbang ke arah leher.
Bukkk! "Grookh...!"
Suara menggorok keluar dari tenggorokan Ruksamurka ketika tendangan Arya tepat
menghantam sasaran.
Kembali tubuh kakek berpakaian compang-camping itu terjengkang ke belakang. Dan
yang lebih parah lagi, tulang lehernya ternyata hancur. Keras sekali tubuh
tinggi besar itu terjerembab ke tanah. Nyawa tokoh sesat yang
menggiriskan ini seketika melayang, sebelum menyentuh tanah. Tak ada lagi suara
yang terdengar. Tokoh sesat itu terbang ke akhirat bersama dosa-dosanya.
Arya memandangi mayat Ruksamurka penuh kagum.
Kakek berwajah penuh luka guratan ini benar-benar luar biasa. Dengan bulu
tengkuk meremang, di longoknya guci araknya yang telah kosong tanpa setetes pun
arak lagi. Kalau Ruksamurka tidak terlalu menuruti amarah sehingga menyerang kalang kabut
maka tenaganya tidak akan cepat habis. Dan itu berarti Arya yang akan pergi ke
akhirat! Dengan langkah lesu, Arya meninggalkan tempat itu.
Tugas dari gurunya telah berhasil dipenuhi. Kini, dia bergerak cepat di atas
tambang menuju ke seberang.
Sementara nun jauh di sana, di halaman bangunan
tempat kediaman Arya dulu (Baca serial Dewa Arak dalam episode perdananya,
"Pedang Bintang"), tampak seorang gadis cantik jelita berpakaian putih dan
berambut panjang terurai tengah bersimpuh menekuri sebuah makam. Wajahnya muram
memancarkan kesedihan yang amat sangat.
Gadis itu adalah Melati. Sementara makam di hadapannya adalah milik Ki Julaga.
Memang, putri angkat Raja Bojong Gading ini tidak pergi ke mana-mana saat
pertarungan Ki Julaga melawan Ruksamurka berlangsung.
Gadis itu masih mengintai dari kejauhan. Begitu Ruksamurka telah pergi, baru dia
kembali. Dengan hati hancur, Melati telah menguburkan mayat gurunya. Berhari-hari lamanya
gadis berpakaian putih itu tinggal di situ. Namun tanpa diketahuinya, Dewa Arak
telah berhasil membalaskan dendamnya. Dan tentu saja tanpa pemuda berambut putih
keperakan itu mengetahuinya.
SELESAI Created ebook by fujidenkikagawa & syauqy_arr
Document Outline
*** *** *** *** *** *** *** Perawan Lembah Wilis 11 Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 31
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama