Ceritasilat Novel Online

Tumbal Tanpa Kepala 3

Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala Bagian 3


yang akan terjadi jika Hantu Laut tahu bahwa Singo Bodong bukanlah Dadung Amuk.
Sedangkan Singo Bodong semakin resah dan
kebingungan, takut disangka oleh Cempaka Ungu bahwa dirinya adalah Dadung Amuk.
"Cempaka Ungu, Sayangku...," kata Hantu Laut sambil masih merangkul Singo
Bodong. "Kenapa kau tidak bilang-bilang padaku bahwa di sini ada Da dung Amuk"!
Dia ini orang yang paling banyak berjasa
terhadapku! Beberapa kali nyawaku diselamatkan oleh Dadung Amuk! Bukankah
begitu, Dadung Amuk"!"
"Hmmm... anu... aku... aku bukan Dadung Amuk!
Aku...." "Lihat, lihat...! Begitu merendahnya dia di depanku, Cempaka! Dia ini orang yang
paling baik padaku, lebih
baik dari saudara kandungku sendiri!"
Cempaka Ungu masih diam saja. Senyumnya dipaksakan mekar, tapi otaknya berputar-putar memikirkan sikap Hantu Laut terhadap Singo Bodong.
Hantu Laut seperti bertemu dengan saudara sendiri yang sudah puluhan tahun tidak
pernah jumpa. Berulangkali ia merangkul Singo Bodong dalam tawanya yang benarbenar tampak gembira.
"Dadung Amuk, kupikir kau telah tewas dalam peristiwa di Pulau T atar! Sebab aku
tahu, lawanmu di sana cukup tangguh! Sudah lama kita tidak saling jumpa, Dadung
Amuk! Aku sering bayangkan wajahmu jika
sedang dalam tekanan perintah dari T apak Baja! Tapi sekarang, tak akan ada lagi
yang berani memerintahku dengan
tekanan keras! T ak
akan ada lagi yang menamparku seperti dulu, seba b T apak Baja telah kubunuh dengan tombak pusaka
ini! Ha ha ha ha...!"
Singo Bodong cengar-cengir
salah tingkah, ia mencoba berkata, "Iyy... iya, aku sudah mendengar tentang kematian T apak Baja."
"Itulah aku yang sekarang, Dadung Amuk!"
"T api aku buk... buk... bukan Dadung Amuk!"
"Omong Kosong! Ha ha ha...! Aku tak bisa kau tipu dengan kepura-puraanmu. Kau
adalah Dadung Amuk!
Kau tidak banyak berubah dan tetap berwatak pura-pura bodoh seperti dulu saja!
Walaupun kau tanpa tambang pusakamu itu, tapi aku tetap bisa mengenali dirimu,
Dadung Amuk! Ha ha ha...! O, ya... kau tidak perlu ikut bekerja seperti mereka!
Kau bukan orang-orang seperti
mereka! Dan... dan kenapa kau bisa jadi selemah ini"
Apa yang telah terjadi pada dirimu, Dadung Amuk"!"
"T idak... tid... tidak ada apa-apa" Sumpah! T idak ada apa-apa!"
"Jujur saja, Dadung Amuk! Aku tahu kau pasti dalam kesulitan! Aku akan ganti
menolongmu, Dadung Amuk!
Aku harus menolongmu, karena belum satu pun jasa baikmu padaku yang sempat
kubalas!" sambil berkata begitu, Hantu Laut menepuk-nepuk pundak Singo
Bodong dengan tetap merangkulkan tangannya ke
pundak itu. Kadang ia meremas-remas pundak Singo Bodong sebagai ungkapan rasa
kagum dan gembira
terhadap orang yang dianggapnya Dadung Amuk itu.
"Dadung Amuk, jika kau ditawan oleh Ratu Pekat, akan kusuruh dia membebaskan
kamu! Dia pasti
menurut padaku, seperti halnya Cempaka Ungu ini!
Se bab mereka bakal menjadi istriku dua-duanya, hua ha ha ha...!"
Singo Bodong hanya cengar-cengir, tak bisa ikut
tertawa sekeras Hantu Laut, sebab hatinya berdebar-debar dalam kegelisahan.
Sebentar-sebentar ia melirik Cempaka Ungu dengan sorot pandangan mata penuh
kecemasan, seakan ia ingin minta pertolongan kepada Cempaka Ungu untuk
memisahkan dirinya dari Hantu Laut.
Cempaka Ungu segera tanggap dengan kecemasan
itu, karenanya ia segera berkata kepada Hantu Laut,
"Hantu Laut, kami tidak tahu kalau Dadung Amuk itu teman baikmu. Sungguh kami
tidak tahu!"
"Sangat baik aku dengannya! Aku banyak berhutang nyawa padanya. Artinya, nyawaku
sering diselamatkan oleh dia! Dia ini orang sakti, sejajar dengan T apak Baja.
Jangan kamu menganggap remeh pada dia, Cempaka
Ungu! Kalau dia sudah mengamuk, bisa habis seluruh penghuni pulau ini. Bisa
hancur dalam sekejap istanamu itu jika ia sudah gunakan tambang mautnya itu!"
"Ya, karena itu kukatakan tadi, kami tidak tahu kalau dia teman baikmu. Se
baiknya izinkan aku membawa dia menghadap
Ibu, dan kubicarakan tentang pembebasannya. Jujur saja, dia masih tawanan kami!"
"Lho, katanya aku bukan tawanan" Katanya...!"
Singo Bodong terhenti dari bicaranya yang bernada ngotot karena tidak mengerti
arah pikiran Cempaka Ungu, dan Cempaka Ungu segera berkata agak keras.
"Diam kau, dan biarkan aku bicara dengan Hantu Laut!"
T api Hantu Laut berkata, "Hei, jangan bentak-bentak dia! Bisa hilang
kesabaranku jika melihat orang yang berjasa banyak padaku kau bentak-bentak!"
"Baiklah. Aku tidak akan membentak-bentaknya lagi.
T api biarkanlah aku membawa dia menghadap Ibu Ratu.
Mungkin kalau sudah kujelaskan kepada Ibu siapa
Dadung Amuk ini, Ibu pasti akan membebaskan dia dan tidak akan menjadi tawanan
kami lagi!"
"Harus begitu! Sudah, ba wa dia ke istana, nanti aku menyusul! Aku akan
mengawasi pekerja-pekerja itu dulu!" kata Hantu Laut. Dan sebelum Singo Bodong
pergi bersama Cempaka Ungu, Hantu Laut sempatkan
diri berkata kepada Singo Bodong.
"Dadung Amuk, katakan saja apa yang harus kubantu agar aku bisa membalas budi
baikmu selama ini! Aku siap membantumu, Dadung Amuk!"
Singo Bodong hanya mengangguk dengan senyum
yang benar-benar kaku. Setelah itu, ia pun melangkah pergi bersama Cempaka Ungu.
T angannya agak ditarik oleh Cempaka Ungu hingga langkahnya menjadi lebih cepat
lagi. Singo Bodong semakin berdebar ketakutan dan ia berkata kepada Cempaka
Ungu, "Berani sumpah segala sumpah, aku bukan Dadung Amuk, Cempaka! Aku Singo Bodong,
seperti yang ditirukan Suto tempo hari! Aku bukan Dadung Amuk, Cempaka! Jangan salah duga!"
"Diam kamu! Justru karena kamu bukan Dadung Amuk, maka kuajak berunding bersama
Ibu." Di depan Ratu Pekat, Cempaka menceritakan peristiwa salah duga itu. Apa yang dikatakan Hantu Laut kepadanya tentang jasa
dan kebaikan Dadung Amuk
juga diceritakan kembali kepada Ratu Pekat.
"Lalu, apa maksudmu menyampaikan berita ini, Cempaka?" tanya Ratu Pekat dengan
tenang. "Bukankah Singo Bodong bisa kita gunakan untuk pelindung kita?"
Berkerutlah dahi Ratu Pekat karena heran mendengar usul anaknya. Lalu dia
bertanya, "Dia tidak punya ilmu apa-apa, mana bisa melindungi kita?"
"Dia harus tetap mengaku Dadung Amuk di depan
Hantu laut!"
"Apa..."! Aku harus mengaku Dadung Amuk"! T idak.
Aku tidak mau mengaku Dadung Amuk!" kata Singo Bodong membantah usulan itu, dan
ia berkata lagi,
"Dadung Amuk orang jahat! Aku bukan orang jahat!"
"Singo Bodong," kata Ratu Pekat memotong ucapannya. "Aku tahu maksud Cempaka. Ini hanya pura-pura saja. Kau mengaku
Dadung Amuk, untuk meredam segala tindakan Hantu Laut yang semena-mena terhadap
kami. Dengan adanya kamu, sebagai Dadung Amuk,
Hantu Laut merasa ada orang yang disegani."
"Betul. Maksudku be gitu, Ibu!" potong Cempaka Ungu bersemangat.
"Ingat kata-kata Hantu Laut tadi, kau dianggap orang paling berjasa dalam
hidupnya. Kau dianggap orang yang sering selamatkan nyawanya dan lebih baik dari
seorang saudara kandung. Dia merasa berhutang budi kepadamu! Bahkan dia siap
membantumu jika kau butuh bantuan apa pun, itu berarti dia akan menuruti segala
perintahmu! Kau disegani oleh Hantu Laut, karena kau tidak pernah memusuhi dia,
dan dia tahu kau dianggap orang berilmu tinggi, sejajar dengan Tapak Baja. Jadi,
dengan adanya kau sebagai Dadung Amuk di sini,
tingkah laku Hantu Laut yang memuakkan itu bisa kau redam!"
"T ap... tapi., tapi saya takut berhadapan dengan dia, Nyai Ratu!"
"Kau harus berani. Kalau selamanya kau menjadi orang penakut, maka jiwamu akan
dijajah oleh orang
lain! Tak ada orang yang bisa menolongmu kecuali dirimu sendiri! Ja di, kau
harus berani berhadapan dengan siapa pun! Ingat, kau punya kekuatan, yaitu wajah
dan potongan tubuh yang mirip Dadung Amuk.
Anggapan keliru itulah yang kau gunakan sebagai
kekuatanmu!"
Cempaka Ungu menambahkan kata, "Di depan dia, kau harus tegas dan kelihatan
berilmu tinggi. Dia tak akan berani melawanmu, karena dia merasa berhutang nyawa
padamu! T unjukkan di depan dia bahwa kau
adalah Dadung Amuk yang dikaguminya. Biasanya
seseorang akan menurut dengan perintah orang yang dikagumi dan disanjungnya!"
Ratu Pekat menambahkan kata lagi, "T api kau juga jangan kelihatan semena-mena
kepadanya, supaya dia tidak
berbalik benci kepadamu.
Justru tampakkan
sikapmu memuji keberhasilannya
dalam memiliki Pusaka T ombak Maut itu, biar dia semakin salut
padamu. T api juga jangan terlalu merendahkan diri di depannya, supaya kau tetap
dihormati olehnya."
"Bagaimana... bagaimana kalau dia tahu bahwa aku bukan Dadung Amuk yang
sebenarnya?"
"T idak mungkin!" sahut
Cempaka Ungu. "Kau
mengaku sebagai Singo Bodong saja dia tetap ngotot dan menganggapmu Dadung
Amuk!" "Ya. Kurasa dia tidak akan mengetahui bahwa kau adalah
bukan Dadung Amuk. Dia tetap akan menganggapmu Dadung Amuk. Lebih bagus lagi kalau kau memakai baju merah dan
jangan dikancingkan. Itu
pakaian yang benar-benar mirip dengan Dadung Amuk!"
"Bila perlu," kata Cempaka Ungu, "Kucarikan kau sebuah tambang dalam tiga
gulungan, bawalah tambang itu lalu, kau gantungkan di pundak kiri."
"Betul! Itu baru persis sekali dengan Dadung Amuk!
Asal lagakmu jangan ragu-ragu dan celingak-celinguk seperti biasanya.
Berlagaklah tegar, perkasa dan berani!"
"Suruh Hantu Laut jangan menempati kamar pribadi Ibu," kata Cempaka Ungu. "Dan
bila kau punya kesempatan, curi tombak itu lalu serahkan pada kami!"
"Betul!" sahut Ratu Pekat lagi semakin bersemangat.
"Curi tombak itu, tapi jangan terburu-buru dan jangan sampai kelihatan gerakgerikmu. Sebab tanpa tombak itu, Hantu Laut bisa kurobohkan dalam waktu yang
amat singkat! Satu jurus pun dia bisa mampus!"
"Ya, memang kelihatannya begitu," gumam Singo Bodong. "T api... bagaimana aku
harus mengatasi rasa takutku sendiri ini...?"
"Aku mendampingimu terus," kata Cempaka Ungu.
"Aku mengawasimu dari kejauhan. Jika terjadi sesuatu, aku maju lebih dulu
melindungimu!"
Dadung Amuk sebenarnya orang kejam, ia pernah
bertemu dengan Suto Sinting dan bertarung beberapa gebrakan. Namun Dadung Amuk
kalah, ia ditugaskan mencari Pendekar Mabuk oleh Siluman T ujuh Nyawa, tapi
ketika bertemu dengan Suto, ia tidak tahu siapa orang yang ditemuinya itu. Suto
mengaku sebagai
Pendekar Mabuk, bahkan yang terakhir kali Suto
mengaku sebagai Pendeta T ibet, yang adalah gur u dari
Siluman T ujuh Nyawa. Dadung Amuk berhasil dikelabuhi Suto. Ketika Dadung Amuk mengaku ditugaskan oleh Siluman T ujuh Nyawa membunuh orang yang bernama Suto Sinting
dan mencari kitab Pusaka Wedar Kesuma, Pendekar Mabuk menyuruh Dadung
Amuk pergi ke Pulau Hantu, dan mengatakan di sanalah adanya Pusaka Kitab Wedar
Kesuma. Maka, Dadung
Amuk pun pergi ke Pulau Hantu. Padahal di sana ada tokoh sesat yang cukup tinggi
ilmunya, yaitu Mawar Hitam (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Utusan Siluman T ujuh Nyawa"). Sampai sekarang belum diketahui bagaimana nasib
Dadung Amuk. Sementara itu, Ratu Pekat dan Cempaka Ungu
mendandani Singo Bodong sehingga mirip betul dengan Dadung Amuk. Mengenakan
pakaian longgar warna
merah, celana hitam, menggantungkan tambang di
pundak kirinya, rambut diikat kain batik model warok yang memang sudah
kesehariannya dipakai Singo
Bodong, ikat pinggang hitam besar, dan mengenakan akar bahar hitam yang juga
sudah kesehariannya
dikenakan Singo Bodong. Semakin yakin Hantu Laut bahwa orang itu adalah Dadung
Amuk. Hanya saja, ia merasa heran, mengapa Dadung Amuk menjadi tawanan ratu.
"Rasa-rasanya tak mungkin kau bisa mengalahkan ilmu dan kesaktian Dadung Amuk,
Ratu Pekat! Bahkan kau bisa membuat dia tunduk dan menurut padamu,


Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungguh hal yang tidak masuk akal bagiku!"
Jawab Ratu Pekat, "Dia datang ke pulau ini dalam
keadaan linglung. Menurut dugaanku, dia telah melangkahi akar Mimang."
"Apa itu akar Mimang?"
"Akar yang jika dilangkahi, bisa membuat orang yang melangkahi lupa akan
dirinya, lupa jalan menuju
pulang." "Ooo...," Hantu Laut
manggut-manggut. "Kalau
begitu dia lupa tentang ilmu-ilmunya?"
"Ya. T api secara gerak naluri, tenaga dalamnya bisa tersalur
keluar dengan sendirinya, dan itu lebih berbahaya, karena tidak pakai ukuran batin! Itulah sebabnya kami menganggap dia
bukan seperti tawanan biasa."
"Bebaskan dia!" kata Hantu Laut.
"Sudah kubebaskan. Sejak aku tahu dia teman baikmu yang banyak menolong kamu,
sering menyelamatkan
kamu, dan kamu punya hutang nyawa kepadanya, aku telah membebaskan dia. T api
dia masih saja tak mau pergi meninggalkan pulau ini."
"Jangan paksa dia untuk pergi! Biarkan dia bertindak atas
kemauannya! Aku sangat menaruh hormat kepadanya!"
"Ya. Aku tahu apa yang kau harapkan. Aku telah laksanakan!"
Hantu Laut semakin bangga melihat penampilan
Singo Bodong yang dianggapnya sudah kembali seperti Dadung Amuk dalam
kesehariannya. Singo Bodong pun jika bertemu dengan Hantu Laut memasang lagak
wibawa dan tegas, walau hatinya penuh kecemasan.
"Kuharap kita bisa susun kekuatan di sini untuk melawan sang ketua dan para
keroconya! Kau setuju, Dadung Amuk?"
"Sangat setuju!"
"Bagus! Ha ha ha...! Kita akan gilas Siluman T ujuh Nyawa menjadi Siluman T ujuh
Potong!" "Ha ha ha ha...!" Singo Bodong paksakan diri tertawa terbahak walaupun tetap
sumbang didengarnya. Lalu, Singo Bodong berkata,
"T api aku kurang setuju jika kau tidur dan menempati kamar pribadi Ratu Pekat!"
"Kenapa" Dia calon istriku!"
"Itu kalau kau bisa memenggal kepala Pendekar Mabuk!"
"Harus bisa! Bila perlu, aku minta bantuanmu untuk melawan dia."
"Kurasa tidak perlu. Kau sudah cukup kuat dan tangguh dengan tombak pusaka itu!
Kau bisa mengatasi orang sakti mana pun tanpa bantuan dariku lagi!"
"Ah, jangan berkata begitu padaku, Dadung Amuk.
Dari dulu kau selalu membangkitkan semangat dan
keberanianku! Aku jadi minder di depanmu, Dadung Amuk!"
"T ak apa. Aku juga hanya sekadar memujimu," jawab Singo Bodong, keceplosan
pengakuan polosnya. T api, segera ia berkata,
"Kuharap kau tidak menempati kamar pribadi Ratu.
Apa kau setuju?"
"Hmmm... baiklah, aku setuju! Lantas di mana aku
harus tidur selama kapalku belum
selesai dalam perbaikan?"
"Banyak kamar di dalam istana ini, dan kau bisa pilih sendiri!"
"Demi persahabatan dan persaudaraan kita, kuturuti keinginanmu, Dadung Amuk.
Tapi, bolehkah aku tahu mengapa kamu melarangku menempati kamar ratu?"
"Karena ratu menyuruhku bilang begitu padamu."
"Jadi, kau diperalat oleh Ratu Pekat?"
"Hmmm... anu... begini... bukan diperalat. Ratu sebenarnya menaruh hati melihat
keperkasaanmu. Tapi dia tidak ingin kehilangan daya tarik terhadapmu jika kamu
masih menempati kamar pribadinya. Jadi, dia ingin agar aku menyampaikan isi
hatinya, bahwa dia tak mau kehilangan rasa tertarik kepadamu. Jika kau tetap
menempati kamar pribadinya, dia akan kecewa dan rasa tertarik padamu berkurang,
bahkan bisa hilang. Dia takut kehilangan hal itu, Hantu Laut! Jadi saranku,
jangan kecewakan dia supaya dia semakin kagum dan tertarik padamu!"
"Ha ha ha ha...! Ya, ya... aku tahu maksudnya! Aku akan turuti saranmu itu!"
Singo Bodong merasa lega, ternyata ia bisa bicara tanpa menimbulkan kecurigaan
Hantu Laut. Lalu, ia berkata lagi sambil duduk di bangku taman samping istana.
"Sebenarnya sudah lama aku ingin melawan sang ketua!"
"O, ya"! Kalau begitu kita memang sangat cocok
bertemu di sini!" Hantu Laut bersemangat dan tampak gembira sekali.
"T api aku merasa ilmuku masih rendah dan belum seimbang untuk melawan Siluman T
ujuh Nyawa! Dia sangat kuat dan tinggi ilmunya!" Singo Bodong berlagak mengeluh.
Sejauh ini, ia selalu diperhatikan oleh sepasang mata, yaitu mata Cempaka Ungu
yang berada di kejauhan atau di balik persembunyian.
Melihat Singo Bodong mengeluh seperti patah
harapan, Hantu Laut segera membangkitkannya lagi dengan menyombongkan pusaka
tersebut, "Jangan merasa lemah, Dadung Amuk! Sekarang aku sudah memiliki pusaka tombak
ini! Siluman T ujuh Nyawa tak akan berkutik melawan kita! Kau lihat
sendiri, Ratu Pekat bisa tunduk padaku karena aku mempunyai tombak pusaka ini!"
"Kau memang tampak lebih perkasa jika memegang tombak itu!"
"Ah, kau pun juga kelihatan masih perkasa dan gagah! Jangan selalu memujiku,
Dadung Amuk!"
Singo Bodong dan Hantu Laut sama-sama memandangi Pusaka T ombak Maut yang selalu ada di tangan Hantu Laut. Singo
Bodong memandangnya
dengan kagum. T ercetus ucapan polosnya sebagai Singo Bodong yang tidak
diketahui Hantu Laut.
"Hebat sekali pusaka ini! Bagaimana bangganya rasa hatiku jika bisa memainkan
jurus dengan menggunakan tombak ini!"
"Mudah saja!" kata Hantu Laut. "Sentakkan tenaga
dalam seringan apa pun bisa menjadi besar jika
disalurkan lewat tombak ini. Kurasa kau bisa memainkan tombak ini. T ak beda dengan tombaktombak lainnya dalam permainan jurusnya. Kau sudah menguasai jurus tombak,
karena kulihat dulu kau mengalahkan Pancar Gunung dengan sebuah tombak
biasa, kau ingat saat kau selamatkan nyawaku dari Pancar Gunung itu, Dadung
Amuk?" "Hmmm... kapan, ya" Oh, ya ya...! Aku ingat," jawab Singo Bodong. "T api gerakan
tombak waktu itu tentunya tidak sama dengan gerakan tombak ini"!"
"Sama saja! Kalau tak percaya, cobalah memainkannya sebentar!"
Hantu Laut menyerahkan tombak itu kepada Singo
Bodong. Wutt...! Hampir saja tombak itu jatuh karena Singo Bodong tak pernah
pegang tombak yang ternyata cukup berat untuk ukuran tangannya. T ombak biasa
pun tak pernah dipegangnya, apalagi tombak pusaka yang tentunya punya bobot
kesaktian tersendiri di dalamnya.
"Coba mainkan beberapa jurus tombakmu! Aku dulu mengagumi kecepatanmu dalam
memainkan tombak!"
"Hmmm... ya... ya....!" Singo Bodong sebenarnya bingung, dia harus memainkan
bagaimana, sebab dia tidak tahu jurus tombak. Karenanya, tombak itu hanya
dipegang-pegang saja, kadang ditentengnya
seperti menenteng tas atau kayu potongan biasa. T ak pantas sekali sebagai orang sakti
yang bersenjatakan tombak.
Sementara itu, Cempaka Ungu yang memperhatikan
dari tempat tersembunyi sudah mulai berdebar-debar
hatinya. Singo Bodong sudah berhasil memegang
tombak itu. T inggal ia ba wa lari atau dilemparkan di suatu tempat, maka
Cempaka Ungu akan mengambilnya.
T api Singo Bodong tidak segera melarikan tombak itu.
Ia bahkan hanya menimbang-nimbang berat tombak di dalam tangannya.
Se dangkan Hantu Laut justru merasa bangga dan
senang melihat Dadung Amuk palsu memegang tombak itu. Seakan ia bisa membagi
rasa bangga kepada orang yang banyak memberi jasa padanya itu.
"Ayolah, mainkan satu-dua jurus tombakmu, Dadung Amuki"
"Aku tak bisa!" Singo Bodong serahkan tombak kembali kepada Hantu Laut.
"Ah, mainkanlah dulu! Aku tak akan mencuri
jurusmu!" Hantu Laut tak mau menerima tombak, bahkan mendesak Singo Bodong untuk
memainkan jurus tombak.
"Lekaslah,
ingin kulihat kegesitanmu menebaskan tombak itu, Dadung Amuk! Aku sangat
bangga pada jurus-jurusmu!"
Dalam hati Cempaka Ungu sudah tak sabar lagi.
"Cepat bawa lari, Goblok! Bawa lari...!" Cempaka Ungu menggeram sendiri di
persembunyiannya. T api Singo Bodong hanya celingak-celinguk dengan hati
berdebar-debar.
* * * 8 KAPAL Neraka masih dalam perbaikan. T iba-tiba
muncul perahu berlayar kuning. Siapa lagi orang di atas perahu berlayar kuning
itu jika bukan Gagak Neraka dan T abib Akhirat. Pandangan mata mereka tertuju
pada Kapal Neraka.
T abib Akhirat berkata kepada Gagak Neraka tanpa palingkan wajah, "Rupanya benar
apa kata tengkorak keropos itu! Kapal Neraka berlabuh di Pulau Beliung!"
"Jadi apa yang dikatakan tengkorak keropos itu memang benar semua" T ermasuk T
apak Baja yang dibunuh Hantu Laut, dan sikap Hantu Laut yang ingin memberontak kepada sang
ketua?" "Ya. Kurasa memang begitu! Sekarang yang kita hadapi bukan Pendekar Mabuk,
melainkan Hantu Laut!
Jika kau ingin balas kekalahanmu tempo hari kepada Pendekar Mabuk, kau harus
kalahkan Hantu Laut itu dulu! Karena Pendekar Mabuk adalah tawanan si Hantu
Laut, menurut pengakuan tengkorak keropos tadi!"
"Hantu Laut..."!" gumam
Gagak Neraka. "Dia memiliki Pusaka T ombak Maut itu!"
"Jangan takut! Kau harus jaga jarak dalam menyerang dia. Jangan terlalu dekat,
karena gerakan tombak itu sangat berbahaya! Bertarunglah dalam jarak jauh saja!"
"Kau sendiri tidak akan ikut menghajar Hantu Laut"'
"T entu saja aku ikut! T api aku ingin kau dulu yang maju, jadi aku bisa
pelajari jurus-jurus kelemahan tombak maut itu!"
Seorang prajurit yang ikut perbaikan kapal itu segera
berlari ke istana untuk memberitahukan kedatangan perahu berlayar kuning.
Prajurit itu mengetahui, bahwa orang yang ada di atas perahu itu pasti orang
suruhan Siluman T ujuh Nyawa, karena ia melihat
gambar tengkorak dan rantai bermata tujuh.
Pada waktu prajurit itu belum tiba di istana, Singo Bodong sudah hampir membawa
lari tombak pusaka
tersebut. Tapi ketika ia didesak terus untuk memainkan satu jurus tombak oleh
Hantu Laut, dan ia kibaskan tombak itu dengan sembarangan, Hantu Laut sempat
terpental dan Singo Bodong pun cepat melepaskan
tombak itu. Karena dari ujung tombak keluar sinar kilat biru yang segera melesat
dan mengenai sebuah pohon.
Pohon itu langsung hancur dari ujung sampai akarnya.
Singo Bodong yang kaget, juga terpental karena ledakan pohon, dan tombaknya
terlepas jatuh.
Bahkan hampir-hampir
kilatan cahaya biru itu
mengenai Cempaka Ungu yang bersembunyi tak jauh
dari pohon yang meledak itu. Karena takutnya, Singo Bodong gemetar dan segera
mengambil tombak itu lalu menyerahkannya kembali kepada Hantu Laut sambil
berkata dalam kepolosan asli Singo Bodong.
"Mmma... maaf, aku tidak sengaja! Sungguh aku tidak sengaja, Hantu Laut! Ak...
aku... aku tidak tahu kalau benda ini bisa keluarkan cahaya biru petir. Maaf...!
Jangan marah padaku...!"
"Ha ha ha ha...!" Hantu Laut tertawa melihat wajah Dadung
Amuk palsu menjadi ketakutan karena kagetnya. "Ini kukembalikan tombakmu. Ak... aku tak bisa menggunakannya!"
Hantu Laut menerima tombak itu sambil masih
tertawa terbahak-bahak. Lalu ia ucapkan kata,
"Dadung Amuk, Dadung Amuk... ternyata kau
sekarang menjadi orang jenaka yang pandai melucu.
Kepura-puraanmu itu sungguh menggelikan hatiku! Kau pandai berlagak dan
bersandiwara, sekarang! Bukan main merendahnya kau di depanku...! Ha ha ha...!"
"T uan Nakhoda!" seru prajurit yang

Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang diharuskan memanggil Hantu Laut dengan sebutan T uan Nakhoda. "Ada perahu
Siluman T ujuh Nyawa merapat ke pantai!"
"Apa warna layarnya?"
"Kuning!"
"Aku tanya apa warnanya! Bukan menyuruhmu untuk kencing!"
"Lha, iya! Warna layarnya kuning, T uan Nakhoda!"
"O, kuning"! Hmmm...!" Hantu Laut berpikir sejenak, lalu menggumam, "Tabib
Akhirat!" Hantu Laut segera bege gas tinggalkan istana sambil membawa
Pusaka Tombak Maut. Sementara itu, Cempaka Ungu segera mendekati Singo Bodong dan
membentak, "Bodoh! Tolol! Goblok...!"
Singo Bodong yang bersosok Dadung Amuk itu
hanya berkedip-kedip matanya sambil mengerutkan
tubuh jika mendapat satu bentakan dari Cempaka Ungu.
"T ombak sudah di tanganmu, mengapa tidak segera
kau bawa lari dan kau serahkan padaku"!"
"Ak... aku... aku takut!"
"Aku ada di rumpun tanaman melati itu!"
"Aku tidak tahu kau di sana! Seharusnya kau berseru dari sana dan mengatakan
bahwa kamu ada di sana, jadi...."
"Sudah, sudah! Dasar manusia dungu!" omel Cempaka Ungu. "Hampir saja sinar biru tadi menghantamku dari ba wah pohon yang hancur itu!
Huhh...! Manusia kelewat
dungu kau ini!" geram
Cempaka Ungu dengan menahan rasa jengkel.
"Ada apa, Cempaka"! Suara ledakan apa itu tadi"!"
Ratu Pekat muncul, lalu Cempaka Ungu mengadukan
hal itu. Ratu Pekat hanya berkata,
"Jangan terlalu menyalahkan Singo Bodong! Dia memang orang bodoh berotak udang
rebus! T api pada kesempatan
lain nanti, kau harus lebih dekat mendampinginya. Jika terlihat dia sudah memegang tombak itu, kau segera serang
Hantu Laut dan robohkan dia dengan jurus andalanmu! Jika dia sudah roboh, tombak
itu bisa kita kuasai!"
"Dia tadi berada terlalu dekat dengan Singo Bodong, jadi aku takut pukulan jarak
jauhku justru mengenai si dungu itu!"
"Sudahlah, tak perlu terlalu jengkel kepada Singo Bodong. T api yang penting
kita sudah mendapatkan kelemahannya. Suatu saat nanti, pasti tombak itu jatuh ke
tangan kita!"
"Kalau begitu, Ibu saja yang mendampingi dia,
supaya Ibu lebih cepat menghantam Hantu Laut jika tombak sudah di tangan Singo!"
"Baiklah, aku yang akan mendampingi Singo Bodong dari kejauhan. Sekarang, di
mana Hantu Laut?"
Singo Bodong menyahut, "Pergi ke pantai, Nyai Ratu. Ada perahu datang berlayar
kuning." "Perahu berlayar kuning" Apakah perahunya Suto?"
gumam Ratu seperti bicara sendiri.
"Saya rasa bukan Suto, Nyai. Sebab tadi saya dengar Hantu Laut menyebutkan satu
nama." "Siapa...?"
"T abib Akhirat!"
"Hah..."!"
Wajah ratu terbelalak kaget, dan kelihatan cemas.
Cempaka Ungu heran melihat perubahan ibunya yang menjadi sangat cemas dan
gelisah itu. Maka, Cempaka Ungu pun ajukan tanya,
"Kenapa Ibu cemas?"
"T idak apa-apa," jawab ratu sambil bergegas pergi.
Cempaka Ungu mengejar dan mendesak, "Siapa
T abib Akhirat itu" Jelaskan aku, Bu!"
Ratu Pekat hentikan langkah, ia pandangi wajah
anaknya itu dengan suatu keraguan yang menggelisahkan. Cempaka Ungu semakin heran dan
penasaran. "Jelaskan padaku, siapa T abib Akhirat itu?"
"Bekas kekasihku."
"Ooo...," Cempaka Ungu manggut-manggut sambil tertawa geli. T api Ratu Pekat
segera berkata,
"Kau lahir dari benihnya!"
"Hah..."!" Cempaka Ungu terkejut, tawanya hilang seketika.
"Dia yang membuahi aku dan akhirnya aku mengandung bayimu. T api antara aku dan dia tidak ada ikatan suami-istri. Dia
pergi entah ke mana, dan tak kutahu kalau dia ternyata bergabung dengan Siluman
T ujuh Nyawa."
"Ja... ja... jadi, dia ayahku, Bu?"
"Ya. Dia ayahmu yang sebenarnya."
"Bukankah kata ibu, ayahku adalah Garuda Paksi, yang sekarang sudah tewas itu"
Bukankah Garuda Paksi juga ayah dari kedua kakakku yang juga sudah tewas itu?"
"Kedua kakakmu memang anak dari Garuda Paksi.
T api kau bukan! Garuda Paksi tidak menyangka kalau aku punya hubungan gelap
dengan Tabib Akhirat, dan dia tidak tahu bahwa bayi yang kukandung itu adalah
benih dari T abib Akhirat!"
"Ap... apakah... apakah T abib Akhirat tahu bahwa aku anaknya?"
"Sewaktu kau berusia
dua bulan, dia pernah melihatmu. Tapi setelah itu dia menghilang lagi dan baru sekarang muncul
kembali!" "Kalau begitu aku harus se gera ke pantai dan menemuinya!"
Wuttt...! Cempaka Ungu cepat melesat pergi dengan satu lompatan bertenaga
ringan. Ratu Pekat berseru memanggilnya,
"Cempaka! T ahan niatmu itu!"
T api Cempaka Ungu tidak menghiraukan seruan
tersebut. Ratu Pekat
pun akhirnya bergegas pergi
mengejar Cempaka Ungu. Singo Bodong sempat tertegun bengong dan tak mengerti apa yang harus dilakukan. T etapi akhirnya ia
pun berlari seperti kerbau takut setan menuju ke pantai, untuk melihat apa yang
terjadi di sana.
Orang-orang yang mengerjakan perbaikan Kapal
Neraka itu berhenti bekerja. Mereka memandangi suatu ketegangan yang terjadi di
ba wah pohon kelapa yang meliuk agak rendah ke pantai. Ketegangan itu terjadi
antara Hantu Laut dan Gagak Neraka. Sedangkan T abib Akhirat dengan dinginnya
berdiri agak jauh dari mereka.
"Aku mendengar kabar kurang enak dari seseorang tentang dirimu, Hantu Laut!"
"Kabar tentang aku beranak"!"
"Kabar kurang enak!" tegas Gagak Neraka.
"O, kabar kurang enak"! Ya, mungkin saja!"
"Kau membunuh Tapak Baja?"
"Betul! Aku yang membunuhnya!"
"Kau mau memberontak kepada sang ketua?"
"Betul! Aku akan membunuh sang ketua!" jawab Hantu Laut tanpa tedeng aling-aling
lagi, artinya secara blak-blakan dia berkata apa adanya.
"Sayang sekali sikapmu berbalik begitu, Hantu Laut!
Padahal aku baru mau usulkan pada ketua untuk
mengangkat kamu menjadi pengawal pribadiku!"
"Aku tak sudi! Mau apa kau"!" tantang Hantu Laut.
"Aku terpaksa menyeretmu agar mendapat hukuman dari sang ketua!"
"Mampukah nyawamu menyeret ragaku"!"
"Habis sudah kesabaranku, Hantu Laut! T erimalah pukulan mautku ini, hiaaat...!"
Gagak Neraka melepaskan pukulan yang mengandung jarum-jarum hitam itu. Wusss...! Jarum-jarum hitam menyembur ke arah
dada Hantu Laut. Tapi dengan kecepatan tinggi pula, Hantu Laut kibaskan
tombaknya miring ke samping, dan sinar biru keluar dari ujung tombak itu.
Clappp, clappp...!
Blarrr...! Satu ledakan menghantam serombongan
jarum hitam. Tapi sinar biru berikutnya menerabas kepulan asap ledakan itu.
Hampir mengenai kepala Gagak Neraka. Untung Gagak Neraka terjengkang jatuh
akibat ledakan itu, sehingga ia lolos dari sinar biru yang kedua.
Dari tempatnya berdiri, T abib Akhirat berseru, "Jauhi dia! Jauh!"
Mendengar seruan T abib Akhirat,
Hantu Laut menduga siasat tarungnya sudah diketahui oleh T abib Akhirat. Maka, sebelum Ga
gak Neraka sempat menjauh, Hantu Laut segera melayang menerjang Gagak Neraka
dengan tombaknya.
Srett...! T rangngng...!
Tombak itu ditahan oleh senjata Gagak Neraka yang berupa piringan bergerigi
setengah lingkaran. Tapi piringan itu pecah dan benturan kedua senjata itu
menimbulkan ledakan, juga memancarkan cahaya merah
membara. Cahaya itu mengenai dada Ga gak Neraka, ia menjadi limbung dalam
berdirinya. Seketika itu pula Hantu Laut sentakkan tombaknya ke depan dan sinar
merah berkelok-kelok melesat dari ujung tombak. T ak sempat dihindari oleh Gagak
Neraka. Jrasss...!
"Aaahg...!"
Gagak Neraka mendelik. Mulutnya keluarkan asap dan lubang telinga serta hidung pun berasap. Gagak Neraka
menggelepar-gelepar di pasir, bau hangus menyebar di udara. Lalu, Ga gak Neraka
berhenti menggelepar ketika T abib Akhirat mendekatinya mau menolong. Rupanya saat itulah saat terakhir Gagak Neraka
hembuskan napasnya, dan setelah itu tak berkutik lagi tanpa secuil nyawa pun.
"Kau benar-benar keterlaluan, Hantu Laut! Kau jahanam busuk! T emanmu sendiri
kau bunuh seperti ini!" geram Tabib Akhirat.
"Apakah kau mau menyusul
nyawanya, Tabib
Akhirat"!"
"Kususulkan
nyawamu lebih dulu, Bangsat! Hiaaat...!"
T abib Akhirat kibaskan kapaknya yang bergagang
panjang sambil melompat
menyerang Hantu Laut.
Wuttt...! Kibasan itu memercikkan serbuk-serbuk hitam bertaburan. Hantu Laut
cepat bersalto ke belakang dua kali. Ia tak berani hadapi serbuk itu, karena ia
tahu serbuk hitam itu racun yang amat berbahaya dan ganas.
T abib Akhirat tak mau kasih kesempatan pada
lawannya untuk menyerang, ia mendesak Hantu Laut dengan
tebasan-tebasan
kapaknya. Setiap kali dibabatkan, kapak itu berbunyi, Wungngng...! Sambil keluarkan serbuk hitam.
Hantu Laut melesat lompat ke belakang. T api T abib Akhirat mengejarnya terus,
hingga satu saat, ia ayunkan kapaknya ke depan dari atas ke bawah, lalu
melesatlah sinar kuning ke arah Hantu Laut, Seharusnya sinar kuning itu bisa
ditangkis dengan sentakan tombak miring yang keluarkan cahaya petir biru, atau
dengan putarkan tombak mengelilingi kepala yang keluarkan cahaya hijau. T api
kesempatan itu tak dimiliki Hantu Laut. Sinar Kuning itu hanya dihindari dan
akhirnya menghantam gugusan batu. Gugusan batu pun pecah menimbulkan dentuman
keras. Blarrr...! Pecahan batu itu ada yang melesat mengenai kepala gundul Hantu Laut. Pletakk...!
Currr...! Darah mengucur keluar dari kepala Hantu Laut. Bahkan tubuh Hantu Laut
sempat berguling-guling di pasir akibat gelombang hentakan daya ledak tadi.
T iba-tiba T abib Akhirat menyerang dengan kapaknya yang diayunkan dari kanan ke
kiri. Sasarannya adalah leher Hantu Laut yang saat itu sedang bergegas untuk
berdiri. "Modar kau sekarang, Jahanam!" geram Tabib Akhirat.
"Ayah...!"
panggil Cempaka Ungu dari arah belakang. Tabib Akhirat palingkan wajah mendengar seruan itu. Di sana ia melihat
Cempaka Ungu berdiri di depan Ratu Pekat. T abib Akhirat tersentak dan cepat


Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teringat tentang hubungan gelapnya dengan Ratu Pekat.
"Ratu Pekat, diakah bayi itu"!"
Dari jauh Ratu Pekat anggukkan kepala. Tabib
Akhirat makin terpukau, terkesima dan terharu melihat benihnya telah tumbuh
sedewa sa itu. T abib Akhirat lupa akan lawannya. Cempaka Ungu berlari ingin
memeluk T abib Akhirat. T api pada waktu itu, Hantu Laut melihat bayangan Tabib
Akhirat jatuh di atas gugusan cadas.
Maka dengan cepat ia lemparkan tombak itu ke cadas tersebut. Wuttt...!
"Jangaaan...!" teriak Cempaka Ungu melihat apa yang dilakukan Hantu Laut. Maka
dengan cepat Cempaka
Ungu berkelebat menutup bayangan T abib Akhirat.
T epat pada waktu itu tombak menancap di gugusan cadas. Jrubbb...!
"Aaahhg...!"
Cempaka mengejang memegangi perutnya. Rupanya
tombak itu menancap tepat di bayangan perut Cempaka Ungu. Perut pun menjadi
bolong dan mengucurkan
darah. "Cempakaaaa...!" teriak Ratu Pekat sambil melesat terbang menuju anaknya.
"Setan!" geram T abib Akhirat, karena ia sendiri terluka di bagian pahanya.
Rupanya saat bayangan Cempaka Ungu jatuh menutup bayangan T abib Akhirat, T abib
sempat melompat ke atas karena takut dilempar tombak secara langsung oleh Hantu
Laut. Bayangan perut Cempaka dan paha T abib Akhirat menjadi satu, dan tertancap
T ombak Maut itu. Karenanya, selain Cempaka Ungu sendiri tertusuk tombak
perutnya, T abib
Akhirat pun tertusuk tombak pahanya. Paha itu berdarah dan menghitam.
Keringat banyak mengucur dari tubuh T abib Akhirat, sementara itu, Cempaka Ungu
segera diba wa lari oleh Ratu Pekat ke istana. Di perjalanan, Cempaka Ungu
berkata, "Ibu, aku tak kuat lagi...!"
"Kuatkan anakku! Kuatkan! Ibu akan sembuhkan kamu dengan batu Galih Bumi...!"
T api alangkah kecewanya Ratu Pekat, karena begitu tiba di istana, sebelum ia
mengambil air yang akan dipakai merendam batu Galih Bumi dan diminumkan
kepada Cempaka Ungu, ternyata gadis itu sudah
menghembuskan napasnya yang terakhir. Ratu Pekat tak dapat berteriak dan
mengucap kata apa pun. Tapi
wajahnya menjadi merah dan nafsu untuk membunuh
Hantu Laut menjadi berkobar besar.
* * * 9 RAT U Pekat segera kembali ke pantai untuk bikin perhitungan dengan Hantu Laut.
T ak ada gentar sedikit pun pada diri Ratu Pekat. Mati pun ia siap demi
menebus kematian anaknya.
Di pantai, ternyata T abib Akhirat merasa tak sanggup bertahan melawan Hantu
Laut. Lukanya makin parah, ia harus sembuhkan lukanya lebih dulu, baru kembali
menghadapi Hantu Laut. Karena itu, ia segera berlari
dengan cepat menuju perahunya, ia sempat berpapasan dengan Singo Bodong yang
menurut dugaannya adalah Dadung Amuk.
"O, kau bersekongkol dengannya sekarang, Dadung Amuk"!"
"Buk... bukan... bukan! Aku...!"
"T unggu pembalasanku!" kata Tabib Akhirat dengan penuh dendam. Lalu, ia cepat
melompat ke perahunya, ia sentakkan kedua tangannya setelah memasang layar, dan
angin kencang keluar dari tangannya mendorong layar perahu itu untuk bergerak
cepat. "Dadung Amuk! Kenapa tidak kau cegah dia tadi!"
sentak Hantu Laut kepada Singo Bodong. Yang disentak hanya gelagapan tak bisa
menjawab. "Bodoh amat! Dia bisa menjadi sumber penyakit bagi kita nantinya!"
Singo Bodong berusaha menguasai kegugupan nya,
dengan senyum kaku yang dipaksakan ia berkata, "Bib...
bib... biarlah! Biar dia ceritakan kehebatanmu di depan Siluman T ujuh Nyawa.
Supaya... supaya Siluman T ujuh Nyawa punya perhitungan tersendiri jika ingin
melabrak kita!"
"O, begitu" Bagus kalau be gitu maksudmu. T api...."
T iba-tiba Hantu Laut terpental bersama bunyi letusan keras.
Duarrr...! Cambuk biru berkelebat menghantam tubuh Hantu
Laut. Untung yang terkena pukulan cambuk itu adalah bagian ujung tombak,
sehingga ledakannya yang besar
hanya membuat Hantu Laut terpental dan bergulingguling. Singo Bodong pun
terkapar dalam jarak empat langkah dari tempatnya. Kepalanya terasa pening
akibat terbentur batu.
T etapi pada waktu itu, Pusaka Tombak Maut terlepas dari tangan Hantu Laut. T
ombak itu jatuh di dekat Singo Bodong. Cepat-cepat Hantu Laut berteriak,
"Dadung Amuk, cepat ambil tombak itu!"
Singo Bodong yang ketakutan segera mengambil
tombak itu. Ratu Pekat merasa lega, tombak sudah ada di tangan Singo Bodong. T
api sayangnya, ketika Hantu Laut memintanya, Singo Bodong menyerahkan dengan
segera karena perasaan takutnya.
"Babi bodoh! Tombak itu diserahkan kembali pada si setan gundul! Dasar bodoh!"
geram Ratu Pekat.
Kemudian Hantu Laut sengaja mendekati Ratu Pekat yang sudah siap melecutkan
tombaknya lagi.
"Ratu Pekat, mengapa kau menyerangku, hah"!"
"Karena kau telah membunuh anakku!" bentak Ratu Pekat dengan murkanya.
"Itu di luar kesadaranku! Aku tidak sengaja! Yang ingin kubunuh adalah T abib
Akhirat! Bukan Cempaka!
Itu kesalahan Cempaka sendiri, mengapa dia melindungi bayangan Tabib Akhirat!"
"Karena dia ingin melindungi nyawa ayahnya!"
bentak Ratu Pekat.
Hantu Laut terbengong sekejap. T api segera ia
tersentak kaget karena tiba-tiba cahaya biru melesat dari kalung batu Galih
Bumi. Zuttt...!
Mau tak mau Hantu Laut
segera menghadapi
lepasnya sinar biru dari batu Galih Bumi itu dengan sinar biru dari ujung
tombaknya. Blarrrr...!
Keduanya sama-sama terpental ke belakang. Lalu
keduanya sama-sama bangkit kembali. Hantu Laut
melompat lebih mendekati Ratu Pekat hingga kini
jaraknya hanya tujuh langkah.
"Ratu Pekat, jangan paksa aku membunuhmu!"
"Kau harus kubunuh jika kau tidak mau membunuhku!"
"Bukankah kau sudah berjanji akan menjadi istriku"
Jangan takut, sebentar lagi kapalku selesai diperbaiki, dan aku akan memburu
tumbal raga Pendekar Mabuk!
Aku akan datang dengan membawa tumbal tanpa kepala, Ratu Pekat! Jangan
bermusuhan denganku!"
"Aku sudah tidak butuh tumbal lagi untuk perkawinan kita! Bukan tumbal Pendekar Mabuk tanpa kepala yang kukehendaki
sekarang, tapi tumbal kepala botakmu itu!"
"Ratu Pekat, sabarlah! Tahan nafsumu! Ini hanya kesalahpahaman saja! Aku tidak
bermaksud membunuh Cempaka! Aku... aku akan segera berangkat mencari tumbal
tanpa kepala dari raga Pendekar Mabuk!
Sekarang juga aku akan berangkat!"
"Aku tidak butuh tumbal lagi!" bentak Ratu Pekat.
"Jika kau masih ingin mengawiniku, carilah tumbal kepalaku! Penggal kepalaku dan
tanam di depan istana, lalu kawinlah dengan ragaku!"
"Ratu... dengarkan dulu kata-kataku...."
"Aku tak butuh kata-katamu! Aku butuh nyawamu untuk menggantikan nyawa putriku!
Hiaaat...!"
Wusss...! T arrr...!
Cambuk melecut dengan pijar biru yang menyalanyala itu. Hantu Laut terpaksa kibaskan tombaknya memutari kepala dan nyala
sinar hijau mengelilinginya.
Cambuk biru itu melecut berulang kali namun tak bisa menembus sinar hijau yang
melingkari tubuh Hantu Laut.
T ar tar tar tar...!
Blarr blarr blarr blarrr...!
Ratu Pekat benar-benar mengamuk. Cambukan mautnya membabi buta. Setiap ledakan akibat benturan cambuk biru dengan sinar
hijau itu membuat tubuh Hantu Laut terdesak mundur satu tindak.
Ratu Pekat kehabisan tenaga karena melecutkan
cambuknya dengan penuh pencurahan tenaga dalamnya, ia merasa perlu berhenti
sebentar. T api Hantu Laut masih putar-putarkan tombaknya dan nyala sinar hijau
masih mengelilingi tubuhnya.
Di luar dugaan, sekelebat bayangan melesat dari arah belakang Hantu Laut,
melompati bagian atas kepalanya.
Brusss...! Ada se suatu yang menyembur dari atas kepala Hantu Laut. Bayangan itu
cepat mendaratkan sepasang kakinya di depan Hantu Laut. Jleggg...!
"Sutooo...!" teriak Ratu Pekat kegirangan.
Hantu Laut tertegun melihat pemuda berbaju coklat tanpa
lengan dan mengenakan celana putih. Di punggungnya tersandang bumbung bambu tempat tuak.
T angan Hantu Laut masih berputar-putar mengelilingi kepalanya.
"Oh, kau rupanya"! Aku ingat kita pernah bertemu di Pulau
Kidung!" kata Hantu Laut. Suto hanya sunggingkan senyum tipis, lalu mengambil bum bung tuak dan menenggaknya tiga
teguk. "Mau apa kau kemari" Mau jadi tumbal tanpa
kepala"!"
"T idak. Aku hanya ingin menahan kekejamanmu!"
"Majulah kalau kau berani! T ombak
ini akan menghantam kepalamu menjadi remuk!"
"T ombak yang mana"!" tanya Pendekar Mabuk dengan senyum makin lebar.
Hantu Laut yang merasa masih memegang tombak
dan diputar-putarkan di kepalanya itu menjadi tersentak kaget setelah ia melihat
ke tangannya, ternyata sudah tidak memegang tombak lagi. Hantu Laut kebingungan
memandang sekeliling dan berkata,
"Mana tombakku tadi" Lho... mana tombakku"!"
T erdengar suara tawa Dewa Racun yang ada di
belakang Hantu Laut. Dewa Racun bahkan berkata,
"Ap... ap... apa yang kau cari, Gundul" Un... un...
undur-undur atau kerang laut"!"
"Diam kau, Bangsat! Aku mencari tombak pusakaku!"
"T ak perlu dicar... car... cari! T ombakmu sudah musnah oleh ilmu 'Sembur
Siluman' milik anak muda tampan itu!"
Hantu Laut cepat palingkan wajah kepada Suto.
"Mana tombak pusakaku tadi, hah"!"
Suto menjawab dengan tenang, "Sudah kumakan!"
Hantu Laut menggeram, merasa panas hatinya karena kehilangan senjata yang
menjadi andalan kekuatannya.
"Dasar Anak Monyet!"
"Suto, minggirlah! Biar aku yang menghadapi dia,"
kata Ratu Pekat. "Akan kuhancurkan sekujur tubuhnya untuk membalas kematian
Cempaka Ungu!"
"Apa..."! Jadi, Cempaka Ungu..."!" Pendekar Mabuk terkejut dan menjadi tertegun
beberapa kejap. Dewa Racun dan Badai Kelabu yang ikut bersama Pendekar Mabuk
dari Pulau Kolam Sabda De wa itu, saling
pandang dengan dahi berkerut mendengar kematian
Cempaka Ungu. Kesempatan itu digunakan oleh Hantu Laut untuk
melarikan diri, karena ia sadar, tanpa tombak pusaka itu kekuatannya tak akan
mampu menandingi Ratu Pekat.
T etapi ketika Suto mendengar seruan Badai Kelabu yang menyapa Hantu Laut,
"Hai, mau lari ke mana kau"!"
Cepat-cepat Pendekar Mabuk kirimkan jurus 'Jari
Guntur'-nya. Jarinya menyentil dan tenaga dalam yang keluar dari sentilan itu
mengenai bawah ketiak Hantu Laut. Tebbb...! Seketika itu pula Hantu Laut diam
tak bergerak. T api ia masih sadarkan diri, dia masih bisa bicara dan bernapas
dengan baik. Bahkan dia masih berusaha untuk bergerak melangkah atau melompat.
T api gerakan itu sia-sia. Ia telah bertotok jalan darahnya dengan menggunakan
jurus 'Jari Guntur'-nya Pendekar
Mabuk. "Suto, lepaskan monyet gundul itu! Biarkan dia bertarung denganku supaya
dendamku atas kematian Cempaka bisa terbalaskan!" kata Ratu Pekat.
"Nyai Ratu, membalas dendam kepada siapa pun itu pekerjaan yang paling mudah. T
api menahan diri untuk tidak menjadi budak dendam, itu pekerjaan yang amat
sulit! T idak semua orang bisa. Nyai. Dan seseorang bisa menjadi hebat jika dia
bisa mengalahkan dendam di dalam hatinya sendiri!"
"Aku tidak bisa!" Nyai Ratu Pekat hampir menangis.
"Nyai harus bisa! Kamu orang kuat, orang berilmu tinggi, dan orang hebat di
Pulau Beliung ini! Mengapa tidak bisa kalahkan dendam sendiri" Nyai pasti bisa
kalahkan nafsu sendiri!"
"Aku tidak bisa!" teriak Ratu Pekat sambil segera melompat dan menerjang Hantu
Laut dengan membabi buta. Dihantamnya Hantu Laut bertubi-tubi, dihajarnya habishabisan orang berkepala gundul itu.
Karena dia tak bisa bergerak apa-apa, maka ia hanya bisa
berteriak meraung-raung kesakitan. Darah mengucur dari beberapa tempat tubuhnya. Hantu Laut menjerit-jerit minta tolong
entah kepada siapa. Ratu Pekat
menghajarnya dengan tangan kosong sambil


Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memekik-mekik melampiaskan dendamnya.
Badai Kelabu mendekati Suto dan berkata, "Hantu Laut akan mati hancur di tangan
Ratu Pekat! Ini tak adil, Suto! Hantu Laut tak bebas bergerak!"
"Biarkan dulu Ratu Pekat
puas melampiaskan
dendamnya. Kujaga dia a gar tak sampai mati!" kata Pendekar Mabuk.
Setelah beberapa saat ratu menghajar habis Hantu Laut hingga tubuh dan wajah
Hantu Laut babak-belur, nyaris rusak semuanya, Pendekar Mabuk pun segera serukan
kata, "Cukup, Nyai!"
Satu sentakan membuat Ratu Pekat hentikan serangan, lalu dia menangis dalam kelelahan dan
curahan rasa duka, mengingat kematian putrinya yang tinggal satu-satunya itu.
Pendekar Mabuk memandang kemunculan Singo
Bodong, ia sempat terkejut, karena Singo Bodong
memakai pakaian dan membawa tambang seperti yang disandang Dadung Amuk. Dewa
Racun pun sempat
terkejut melihatnya. Tapi Singo Bodong segera berkata,
"Aku disuruh Nyai Ratu pakai pakaian ini!"
Suto dan Dewa Racun hembuskan napas kelegaan.
Mereka tahu, orang itu memang Singo Bodong. Lalu, Suto perintahkan Singo Bodong
untuk membawa pergi Ratu Pekat.
"Bawa Ratu ke istana! Badai Kelabu, bantu Singo Bodong bawa ratu ke istana dan
tenangkan dia!"
Ratu Pekat masih menangisi kematian Cempaka
Ungu. Ia dibimbing pelan-pelan oleh Badai Kelabu, dikawal oleh Singo Bodong
berpakaian Dadung Amuk.
Sementara itu, Hantu Laut sempat meratap berseru,
"Dadung Amuk... tolong aku!"
"Aku bukan Dadung Amuk! Kalau aku Dadung
Amuk, kau tidak kubiarkan membawa Pusaka T ombak Maut tadi!" kata Singo Bodong.
Kemudian ia tinggalkan Hantu Laut yang terluka parah baik luar maupun
dalamnya. "Kaukah pendekar yang suka mabuk itu"!" tanya Hantu Laut kepada Suto, dan Suto
hanya mengangguk membenarkan.
"Kau memihak Ratu Pekat"!"
"Kurasa itu lebih baik daripada aku memihakmu!"
"T api... tapi dia ingin menjadikan kamu tumbal istana!"
"T idak mungkin!"
"Aku yang... yang disuruhnya memenggal kepalamu!"
"Itu hanya siasat ratu saja! Karena kau terlalu takabur dengan senjata tombak
pusaka itu! Sekarang, takaburlah kalau kau bisa takabur! Sombonglah kalau kau
bisa sombong!"
Hantu Laut tak bisa bicara, ia sendiri heran, begitu cepat Pendekar Mabuk ini
membuat dirinya sama sekali tak berkutik. Padahal semula ia sangka dirinya akan
menjadi orang yang sulit dikalahkan.
"Kalau aku mau membunuhmu dengan ilmuku,
sekarang juga aku sudah bunuh kamu. Tapi itu takabur!"
kata Suto. "Kalau aku mau sembuhkan kamu, sekarangpun aku bisa sembuhkan kamu!"
"Kenapa kau tidak lakukan"!"
"Cobalah bertanya pada dirimu sendiri, apakah orang jahat seperti kamu pantas
mendapat penyembuhan"
Bukankah lebih baik kau menderita luka-luka separah ini?"
Dewa Racun makin menggoda lagi, "Wah, een...
enn... enaknya matanya yang lebar itu dicolok saja pakai pisau. Pas... pasti
jeritannya akan melengking...!"
Sret...! Dewa Racun mencabut salah satu pisaunya.
Hantu Laut ketakutan dan berseru,
"Jangan! Jangan...! Oh, kumohon jangan kau colok mataku dengan pisau itu! Sakit
sekali!" "T entu saja sak... sak... sakit...! Tapi kala kau lukai orang lain, kau tidak
memikirkan bahwa hal itu
menyakitkan orang tersebut!"
"Ampunilah aku...! Tolonglah aku! Aku tidak akan bersikap seperti yang sudahsudah! Aku telah sadar, bahwa ketinggian ilmu apa pun masih tetap ada yang bisa
mengalahkan dan mengunggulinya...! Tolonglah aku, Pendekar Mabuk! Aku akan
mengabdi padamu jika kau mau menolongku!"
"Aku tidak suka berteman dengan orang keji," kata Pendekar Mabuk.
"Ak... aku... aku tidak akan berbuat keji lagi! Aku...
tobat!" Hantu Laut tundukkan kepala menahan sakit yang luar biasa di sekujur
tubuhnya. Wajah dukanya itu disembunyikan dengan penuh kepasrahan. Suto melihat
kepasrahan itu begitu tulus, kemudian ia berkata,
"Kuberi kau kesempatan untuk memperbaiki tingkah lakumu selama ini! Jika kau tak
mampu perbaiki tingkah lakumu, terpaksa aku tak mau peduli lagi dengan
nyawamu!" "Ba, ba, baaaik... baik! Beri aku kesempatan satu kali ini!"
Pendekar Mabuk pun melepaskan totokannya. T ab...!
Brukk...! Hantu Laut rubuh dengan napas terengah-engah. T ubuh yang penuh luka
itu terkulai di atas pasir pantai.
"Meng... mengapa kau lepaskan dia?" tanya Dewa Racun.
"Pengampunan harus ada! Kesempatan bertobat harus diberikan
kepada orang yang telah
pasrah akan hidupnya!"
"Bagaimana kalau ternyata dia tidak bertobat, tapi semakin gila dari se... se...
se... sekarang"!"
"Dia yang tanggung hukumannya! Entah dari mana hukuman itu datangnya! Yang jelas
dari Dia, tapi melalui siapa, kita tak pernah tahu, Dewa Racun!"
Kemudian Suto menyuruh beberapa prajurit dan
orang-orang yang mengerjakan perbaikan kapal itu untuk menggotong Hantu Laut ke
istana. Suto dan Dewa Racun mengikuti dari belakang sambil Dewa Racun
berkata, "Kita ter... ter... terlambat datang. Tombak pusaka itu sudah banyak merenggut
korban nyawa di sini!"
"Itu pun bukan kehendak kita, Dewa Racun!"
"Yyya... ya, memang bukan kehendak kita! T api, bagaimana jika kita tak jadi
berangkat ke Pulau Serindu malam ini" Apakah itu juga bukan kehendak kita?"
"Kehendak kita hanya sesuatu yang kita usahakan dan bisa berhasil. Itulah
kehendak yang diizinkan oleh Dia.
T api sesuatu yang di luar batas kemampuan kita adalah bukan
kehendak kita! Hanya Dia yang mampu melakukannya. Jika kita malam ini gagal tak jadi berangkat ke Pulau Serindu, itu
karena pertimbangan lain dalam otak kita! Kecuali jika memang ada halangan
datang tiba-tiba, itu baru kehendak Dia yang menahan kita untuk bersabar
sementara waktu."
Dewa Racun manggut-manggut,
lalu bertanya, "Halangan apa misalnya, Suto?"
"Kedatangan kapal
Siluman T ujuh Nyawa dan pertarunganku dengan Siluman T ujuh Nyawa, bisa
menjadi penghalang langkah kita!"
"Ap... apa... apakah kau telah siap menghadapi Siluman T ujuh Nyawa..."!"
"Kapan pun aku selalu siap menundukkan kekejaman siapa pun!" jawab Pendekar
Mabuk dengan mantap dan tegas. Dewa Racun menyukai ketegasan seperti itu. Dia
semakin bangga berteman dengan Suto. T api tiba-tiba terlintas kecemasan dalam
hati Dewa Racun yang segera berkata kepada Suto,
"Suto, bag... bagaimana dengan Singo Bodong tadi?"
"Apa maksudmu?"
"Benarkah dia... dia Singo Bodong" Apakah bukan Dadung Amuk?"
"Bukankah kata dia Nyai Ratu yang menyuruhnya berpakaian seperti Dadung Amuk,
yang tentu saja punya tujuan untuk mengecohkan Hantu Laut tadi?"
"Ya, memmm... memm... memang. T api, bagaimana kalau ternyata Dadung Amuk memang
hadir di pulau ini,
dan dia mengetahui penyamaran Singo Bodong, lalu Singo Bodong dibunuh, sedangkan
dia tampil sebagai Singo Bodong yang berpura-pura menjadi Dadung
Amuk?" Suto diam sebentar, kemudian menggumam lirih,
"Iya. Kalau ternyata itu tadi Dadung Amuk asli, bagaimana nasib Ratu Pekat yang
kusuruh membawanya ke istana"! Kalau begitu... kalau begitu kita susul mereka
cepat-cepat ke istana!"
Pendekar Mabuk melesat lebih dulu ba gaikan anak panah,
lalu Dewa Racun mengikutinya dengan gerakannya yang lincah walau tubuhnya kerdil dan langkahnya pendek. Pendekar
Mabuk diliputi kecemasan hingga tak menghiraukan lagi diri Dewa Racun yang
tertinggal di belakangnya.
SELESAI PENDEKAR MABUK Ikuti kelanjutan kisah ini!!!
serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode: CERMIN PEMBURU NYAWA
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Pendekar Pendekar Negeri Tayli 11 Joko Sableng 43 Karma Manusia Sesat Hamukti Palapa 2

Cari Blog Ini