Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa Bagian 1
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 TIDAK ada yang lebih indah di siang teduh berangin semilir selain merebah di
bawah sebuah pohon. Melepas lelah dalam buaian angin lembah sungguh merupakan
hal yang menyenangkan bagi Suto Sinting.
Sayup-sayup terdengar suara alunan seruling yang meliuk-liuk bagai meninabobokan
setiap sukma. Suara seruling itu terdengar di kejauhan sana, arahnya sebelah
barat daya. Suto Sinting tersenyum dengan hati penuh bunga-bunga indah. Suara
seruling itu diresapi betul, hingga rohnya bagaikan ikut menari gemulai seirama
nada lengking seruling.
"Luar biasa indahnya. Seakan bumi diisi oleh
kedamaian semata. Baru sekarang aku merasakan
keindahan isi dunia. Ooh... alangkah damai dan bahagianya hatiku siang ini. Biar ada rampok sepuluh pun masih kuanggap damai
dan bahagia. Kenapa begini, ya" Mungkinkah karena alunan suara seruling itu?"
Pendekar Mabuk menenggak tuaknya kembali. Semakin indah saja isi dunia dirasakannya, aroma tuak dan irama seruling bagai
suatu paduan yang jarang dinikmati. Ibaratnya, makan ayam panggang sambil diberi
uang segepok. Jelas itu hal yang teramat indah bagi siapa saja.
Tak heran jika dalam hati Pendekar Mabuk mempunyai rasa penasaran. Rasa ingin tahu siapa peniup seruling itu membuatnya
bangkit, tak jadi hanyut dalam tidurnya. Ia melangkah menuju barat daya sambil
wajahnya berseri-seri dihiasi senyum yang menawan.
Sampai di salah satu lereng berdinding batu, ia berhenti dengan dahi berkerut.
Kepalanya ditelengkan pertanda sedang menyimak suara seruling lembut melenakan
itu. "Kenapa suaranya jadi ada di sebelah utara"! Apakah peniup seruling itu
berpindah tempat" Tapi secepat itukah ia berpindah tempat" Ah, jangan-jangan
kupingku mulai rusak sebelah?"
Semakin lama suara seruling yang didengarnya
semakin melenakan kalbu melayangkan sukma. Alunannya yang meliuk gemulai itu bagaikan menghadirkan sejuta khayalan indah yang memikat hati.
Senyum Suto sejak tadi tiada habisnya.
Hati pun menjadi semakin panasaran. Maka dengan langkah lebih cepat lagi
Pendekar Mabuk pergi ke arah utara. Sasaran utamanya tak lain adalah sumber
suara seruling itu.
Namun ketika tiba di utara, hatinya menjadi terheran-heran, karena suara
seruling itu ada di selatan. Suto Sinting sempat sangsi dengan pendengarannya,
ia segera menyimak baik-baik suara seruling yang melenakan jiwa itu.
"Hmmm... benar juga! Pantulan gema membuat ku salah dengar. Bukan di utara sini,
tapi di selatan sanalah si peniup seruling itu berada. Hmm... mungkin di balik
pohon besar itu!" pikirnya.
Zlappp...! Suto Sinting tak sabar lagi. Ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk mempercepat langkahnya. Dalam sekejap ia
sudah tiba di sebelah selatan lembah.
"Gila"! Sekarang suara seruling itu ada di timur"!"
gumamnya dengan dahi berkerut karena terheran-heran.
Ia diam sebentar, menyimak lantun suara seruling itu.
Hatinya kembali berbunga-bunga, lalu timbul rasa penasaran lebih besar lagi.
Zlappp...! Jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi anak panah itu
digunakan kembali untuk menuju ke timur. Sampai di timur, suara seruling itu
ternyata ada di barat. Jelas sekali datang dari barat.
"Setan pikun!" gerutu Pendekar Mabuk sambil menghembuskan napas kesal, ia
bertolak pinggang seraya geleng-geleng kepala.
"Rupanya ada seseorang yang ingin mempermainkan telingaku!" katanya dalam hati.
"Aku yakin bukan telingaku yang salah, tapi si peniup seruling itu menggunakan
kekuatan tenaga angin. Menyalurkan suara melalui udara dalam kendalian tenaga
dalam sungguh merupakan ilmu langka yang patut mendapat pujian."
Zlapp...! Suto Sinting pindah ke barat dalam sekejap.
Suara seruling ada di selatan. Masih melantunkan irama yang melenakan kalbu.
"Kurang ajar! Dia benar-benar ingin menguji ilmuku.
Hmmm... siapa dia orangnya" Apa dia belum tahu kalau Pendekar Mabuk tak pernah
mau menyerah jika
ditantang hal-hal seperti ini?"
Napas ditarik dalam-dalam. Pendekar Mabuk segera bersiul panjang.
"Suiiiiit...
siuuuut...! Suiiiiut...! siiiiiuuuut... tuituuuuiiit...!"
Wuuurrsss...! Alam menjadi gaduh. Burung-burung yang sedang
bertelur berteriak dengan bahasanya masing-masing, beterbangan lari tunggang
langgang. Binatang-binatang yang bersembunyi dalam semak pun lari pontangpanting sambil menyerukan suara tak jelas. Beberapa kera berlarian sambil
memekik berteriak-teriak bagai habis dibakar ekornya. Suara seruling itu sendiri
juga mengalun tak karuan nadanya. Kadang tersendat, kadang lurus, kadang
terdengar sumbang.
Jurus 'Siulan Peri' pemberian dari bibi gurunya;
Bidadari Jalang, telah digunakan oleh Pendekar Mabuk untuk membalas si peniup
seruling itu. Jurus itu bisa membuat telinga orang maupun hewan menjadi pecah
jika disiulkan agak lama sedikit. Karena siulan tersebut dialiri gelombang
getaran tenaga dalam cukup tinggi.
Zlapp, zlapp, zlapp...!
Pada saat suara seruling itu menjadi sumbang dan tersendat-sendat, Suto Sinting
melesat ke berbagai penjuru
dengan kecepatan melebihi anak panah. Siulannya sudah dihentikan, tapi pendengarannya masih dipasang baik-baik. Ilmu
'Lacak Jantung' yang bisa dipakai untuk mendengarkan detak jantung orang lain
segera digunakan pula. Dengan ilmu 'Lacak Jantung'
itulah Pendekar Mabuk akhirnya menemukan di mana ada orang di sekitar lembah
itu. Wuttt...! Ia berhenti di atas sebuah pohon tanpa menimbulkan suara gemerisik.
Ilmu peringan tubuhnya membuat ia mampu hinggap di dahan pohon besar
berdaun rindang itu tanpa menggoyangkan satu daun pun.
"Hmm... kena kau sekarang!" ujarnya dalam hati dengan tersenyum bangga.
Ia memandang ke bawah, dan di bawah pohon itulah seorang gadis duduk bersila
sambil meniup seruling.
Gadis itu bersila di atas sebuah batu datar. Gadis itu tidak tahu kalau di
atasnya ada orang yang tadi dipermainkan pendengarannya, ia tetap meniup
seruling dengan tenang, mata terbuka, badannya tegak.
Suto Sinting melongok ke bawah sambil senyumsenyum. Gadis berjubah kuning dengan pakaian dalamnya berwarna merah tua itu tampak cantik dalam keadaan rambutnya digulung
dua bagian, kiri dan kanan.
Tapi ada sisa rambut yang terjulur melambai bagaikan pita.
Lantun serulingnya masih berkumandang hening dan meneduhkan hati. Suto Sinting
menikmati alunan seruling itu sambil menggigit-gigit setangkai daun berukuran
kecil. "Dia sangka aku masih kebingungan mencarinya" He, he, he... dia tidak tahu kalau
aku sudah ada di atasnya.
Mainkan saja serulingmu, Nona manis. Jangan berhenti walau sekejap. Kalau perlu
mainkan tanpa napas. He, he, he...!" hati Suto bercanda sendiri.
Tetapi tiba-tiba suara seruling melengking lebih tinggi. Walaupun dimainkan
dalam serangkaian nada yang masih enak didengar, tapi makin lama semakin membuat
jantung berdebar-debar. Suto Sinting menarik napas untuk meredakan debaran
jantungnya. "Gila! Kenapa jantungku jadi berdetak-detak seperti mau berontak"! Wah,
kacau...! Jangan-jangan aku mau mati" Kok badanku jadi lemas dan gemetaran
begini" Lho... lho..."! Malah ngantuk segala"! Ada apa ini"!"
Suara seruling semakin melengking. Rasa kantuk kian membujuk. Kelopak mata
bagaikan tak mau diajak damai untuk memandang keindahan yang ada di
bawahnya. Mulut menguap bagai minta disuap. Kepala pun
terkantuk-kantuk,
nyawa bagaikan melayang. Leess...! Gusrak...! Kraak ..! Brukkk...!
"Aaauuh...!"
Suto Sinting terpekik karena jatuh dari atas pohon.
Pinggangnya terganjal sebatang akar yang menggunduk mirip batu. Rusuknya
bagaikan mau patah. Seketika itu juga rasa kantuk itu hilang. Yang ada hanyalah
rasa sakit, jengkel, dan malu. Tentu saja ia malu karena ia jatuh tepat di depan
gadis peniup seruling itu.
Gadis itu hentikan kerjanya, ia tetap duduk bersila, tapi wajahnya memancarkan
kemenangan. Senyumnya adalah senyum melecehkan nasib Suto yang jatuh dari atas
pohon. "Carilah penginapan kalau mau tidur. Jangan di atas pohon. Nanti seperti
binatang codot," katanya dengan suara lembut dan merdu.
Suto Sinting segera menyadari bahwa rasa kantuk adalah kiriman dari gadis
berwajah mungil itu. Hawa kantuk dan lemas dikirimkan melalui getaran nada
seruling yang melengking tinggi tadi.
Pendekar Mabuk segera bangkit dari jatuhnya, ia meringis canggung, antara
memberi senyuman dan menahan rasa sakit di bagian pinggang dan tulang rusuknya.
Untuk menutupi rasa malunya, Suto segera berkata dengan suara pelan.
"Bagus juga...."
"Suara serulingku maksudmu?"
"Caramu menjatuhkan aku dari atas pohon, bagus juga!"
Gadis berbibir mungil itu tertawa kecil. Tawanya
begitu manis menyayat hati. Matanya yang bundar berbulu lentik itu memandang
Suto dengan berbinar-binar. Seakan di kedua mata itu terdapat genangan telaga
berair bening dan sejuk di badan.
"Aku sengaja mengundangmu kemari," kata gadis itu.
"Mengundangku?" Suto berkerut dahi. "Apakah kau sudah tahu siapa aku?"
Gadis berkulit kuning itu menganggukkan kepala.
"Kau yang bernama Suto Sinting dengan gelar Pendekar Mabuk, bukan?"
"Dari mana kau tahu?"
"Dari ciri-ciri pakaianmu, bumbung tuakmu, dan ketampananmu."
"Kapan kau melihatku?"
"Ketika kau berbaring di bawah pohon sebelah timur tadi."
Suto terbungkam membayangkan saat-saat berbaring tadi. Lalu ia memandang gadis
itu dengan dahi berkerut.
"Aku tidak melihat seorang pun lewat di dekatku."
"Aku tidak lewat di sana, tapi memandangnya dari puncak bukit sebelah utara
itu." Suto pun segera melemparkan pandangannya ke arah utara. Di sana memang ada
sebuah bukit agak tinggi.
Puncaknya tanpa tanaman apa pun kecuali bongkahan batu-batu yang menjulang.
Jaraknya cukup jauh menurut Suto, tapi gadis itu mengatakan,
"Kalau kau kupanggil saat aku di sana, kasihan.
Terlalu jauh dan melelahkan bagimu untuk mendatangiku ke sana."
"Sejauh itu"! Kau bisa melihatku berbaring dalam jarak sejauh itu?"
Gadis cantik itu mengangguk. Kini ia bangkit dan turun dari tempat duduknya.
Seruling dari gading berukir itu diselipkan pada ikat pinggangnya.
"Aku terpaksa memanggilmu dengan cara begini, supaya kau tidak menyepelekan
panggilanku."
"Aku tak mengerti maksudmu, Nona."
"Nanti kau akan mengerti. Yang penting kau pahami, aku tak pernah memanggil
seseorang dengan serulingku.
Tapi karena kau bukan orang sembarangan, maka aku terpaksa memanggilmu dengan
serulingku."
"Dia pikir aku ini ular kobra, dipanggil pakai seruling"!" gerutu Suto dalam
hatinya. Tapi bibirnya mengucapkan kata yang berbeda dengan hatinya.
"Apa perlumu memanggilku dengan cara seperti itu?"
"Kau harus menolongku."
"Harus..."! Itu namanya kau memaksaku."
"Mungkin memang memaksamu."
Gadis itu memandang Suto dengan sikap tengil tapi tidak menyakitkan hati. Justru
berkesan lucu dan menyenangkan. Lagaknya yang seperti gadis angkuh bercampur
manja itu membuat Suto Sinting senang memperhatikannya.
"Siapa namamu. Nona?"
Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Katakan dulu kesanggupanmu menolongku, baru kukatakan siapa namaku."
"Bagaimana aku bisa menolong orang yang belum kukenal namanya?"
"Jika kau melihat seorang nenek tenggelam di sungai, apakah kau akan
membiarkannya?"
"Tentu aku menolongnya." jawab Suto dengan semangat.
"Apakah kau akan menolongnya setelah kau menanyakan namanya?"
Suto tersenyum geli. "Memang tidak mungkin kutanyakan
namanya. Karena keadaannya sangat berbahaya, jadi tak perlu tanya nama, langsung saja kutolong. Setelah itu baru
kutanyakan namanya."
"Jika begitu, apa bedanya dengan diriku" Mengapa kau tidak menolongku lebih dulu
baru menanyakan namaku?"
"Karena kau bukan seorang nenek," jawab Suto mencari kemenangannya.
"Anggap saja aku seorang nenek."
"Tidak ada seorang nenek semuda kamu, secantik kamu, dan senakal kamu!" goda
Suto lagi. Gadis itu sunggingkan senyum tak jelas; entah senyum geli atau senyum
meremehkan godaan itu.
"Baiklah, aku akan menolongmu," kata Suto akhirnya menyerah
daripada berdebat melantur-lantur
menghabiskan waktu.
"Jadi, kau bersedia menolongku?"
"Ya, aku bersedia. Sekarang sebutkan namamu."
"Namaku... Dinada."
Suto berkerut heran, tapi menyunggingkan senyum geli. "Namamu aneh sekali.
Apakah kau orang dari seberang?"
Dinada gelengkan kepala. "Aku orang dari Bukit Kasmaran. Letaknya di sebelah
timur sana."
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil beradu
pandang dengan Dinada. Ada getaran halus di hati Pendekar Mabuk saat pandangan
mata beradu agak lama. Senyum nakal Dinada sengaja dipamerkan, dan senyuman
itulah yang membuat Suto memendam
keresahan, lalu segera buang muka. Ia menenggak tuaknya sesaat. Dinada melangkah
agak menjauh. Kini ia berdiri dengan pundak kiri bersandar pada dinding, kakinya
menyilang santai. Sehelai ilalang dicabutnya sebagai mainan tangan berjari
lentik indah itu.
"Lalu, apa yang harus kulakukan untuk menolongmu?" tanya Suto Sinting.
Dinada baru saja mau menjawab, tapi bibirnya yang sudah merekah itu terhenti
karena suara derap kaki kuda yang datang dari kejauhan. Suto Sinting menelengkan
kepala menyimak suara derap kaki kuda itu.
"Ada yang mau datang kemari," kata Suto pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
Terdengar suara Dinada membuang napas. Suto
Sinting menatapnya dan menemukan keresahan di wajah cantik itu.
"Kita harus pergi dari sini," kata Dinada. Gadis itu mau bergerak pergi, tapi
segera ditahan dengan suara Suto.
"Tunggu...!"
Dinada pun berhenti, tak jadi pergi, ia memandang Suto yang segera bertanya.
"Kenapa harus pergi?"
"Apakah kau tak mendengar suara derap kaki kuda itu?"
"Ya, aku memang mendengar. Apakah kau takut melihat kuda?"
"Bukan kudanya yang membuatku takut, tapi penunggangnya."
"Siapa penunggangnya?"
"Si Raja Hantu. Lekaslah pergi dari sini."
"Nanti dulu. Kau tak perlu takut. Siapa Raja Hantu itu?"
"Pamanku," jawaban pendek itu membuat Suto bertambah heran.
"Aneh. Kenapa kau takut pada pamanmu?" Suto tertawa pelan. Dinada menarik napas
sebentar, wajah cerianya hilang.
"Pamanku orang gila. Dilawan salah, tidak dilawan salah. Jadi sebaiknya
dihindari saja."
"Gila apa" Gila harta, gila jabatan, gila pangkat, gila hormat atau gila
betulan?" "Gila perempuan!" jawab Dinada dengan bibir mungil membentuk kerucut seperti
cemberut. Suto Sinting malah menertawakan. "Bagiku, adalah sebuah kodrat jika lelaki gila
perempuan. Itu hal yang wajar."
"Jika seorang Paman ingin memperistri keponakannya apakah juga hal yang wajar"!"
"Lho..."! Kalau itu memang perlu dihajar. Tapi...
apakah dia ingin memperistrimu?"
"Bahkan dua kali aku nyaris berhasil diperkosanya."
"Wah, kelewatan!"
Suto geleng-geleng kepala. Mulutnya mengeluarkan decak keheranan.
"Makanya kita cepat menyingkir dari sini sebelum ia berhasil melihatku!"
"Mengapa tidak kita hadapi saja"!"
"Ilmunya sangat tinggi! Kau bisa celaka kalau berhadapan dengan Paman Raja
Hantu." "Apakah kau pernah melihat aku mencoba melawannya?"
Gadis cantik berhidung kecil tapi bangir itu kelihatan makin gelisah. Hal itu
disebabkan karena suara derap kaki kuda semakin dekat dan kian jelas.
"Jangan takut, aku akan ada di pihakmu. Aku akan melindungimu."
Pendekar Mabuk justru mendekati gadis itu. Sang gadis jadi salah tingkah. Ingin
lari, tapi mendapat jaminan dari Pendekar Mabuk demikian. Mau diam saja,
khawatir kalau sang pendekar tak mampu mengimbangi ilmu pamannya.
"Sebaiknya aku lari saja tanpa pedulikan pemuda ini!" pikir Dinada. Tapi baru
saja otaknya berpikir demikian, derap kaki kuda telah mendekat. Kuda itu dipacu
dengan cepat. Arahnya jelas menuju ke tempat mereka berada. Dinada merasa sudah
telanjur kepergok, akhirnya tak jadi pergi. Ditambah lagi, Suto mengambil sikap
berdiri di depannya, sehingga Dinada merasa dilindungi oleh tubuh kekar yang
gagah dan berwajah tampan itu.
"Iieeehhhkk...l" kuda itu meringkik karena tali
kekangnya ditarik kuat-kuat. Hewan tersebut berhenti sambil mengangkat kedua
kaki depannya tinggi-tinggi.
Penunggangnya seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahunan. Orang itu
selain bertampang angker dengan mata lebar bertepian merah, juga mempunyai codet
di pipi kanan, ia berkulit hitam, tebal. Badannya tergolong besar.
Dengan rambut panjang sepunggung tak diikat dan jubah hitam berlengan panjang,
ia kelihatan lebih menyeramkan lagi. Celananya merah, tanpa baju.
Badannya penuh bulu, kecuali wajahnya justru kelihatan tanpa kumis dan jenggot.
Tapi alis matanya sangat tebal, bisa dipelintir seperti kumis. Sebuah cambuk
melingkar di pinggang kanannya.
"Dinada...!" sapanya dengan suara keras dan besar, berkesan kasar. Gadis itu
tidak menjawab, ia malahan buang muka dengan wajah cemberut bercampur takut.
"Apakah kau tidak sayang dengan kecantikan dan kemulusan tubuhmu, hah"! Kau
minta dihajar pakai cambuk"! Jawab, Dinada!" bentaknya.
Dinada masih diam. Tidak menunduk tapi juga tidak memandang pamannya. Sikap
berdirinya cenderung memunggungi sang paman. Lelaki berwajah angker mirip
kuburan para jin itu tampak semakin gusar, ia segera turun dari kudanya dan
melangkah mendekati Dinada tanpa mempedulikan keberadaan Suto di situ.
"Jangan-jangan mata orang ini lamur, tak bisa melihat aku ada di sini"!" pikir
Suto Sinting, lalu ia segera bergeser ke kiri menutup langkah orang angker
sebelum orang itu lebih dekat lagi. Sikapnya melindungi Dinada ditonjolkan.
Orang itu pun hentikan langkah dan memandang Suto Sinting dengan penuh nafsu
menghajarnya. "Minggir kau!" hardiknya.
"Apakah kau pamannya Dinada yang bernama Raja Hantu"!" Suto bahkan bertanya
kalem. "Iya! Sudah tahu pakai bertanya segala! Mau apa kau, hah"!"
"Melindungi
Dinada!" jawab Pendekar Mabuk dengan tegas sekali, membuat Raja Hantu terkesiap.
"Anak haram kau! Berani-beraninya bersikap begitu di depanku, Hah"! Apakah
kepalamu belum pernah pecah"!"
"Pecah memang belum. Tapi retak sering, Paman,"
jawab Suto tampak sabar dan tenang sekali. Tentu saja sikap itu membuat Raja
Hantu semakin berang.
Dua jari tangannya mengeras lurus, lalu ditusukkan ke depan, seperti menusuk
udara. Suttt...!
"Heegh...!" Suto Sinting terpekik tertahan. Ulu hatinya seperti disodok memakai
bambu sebesar betis.
Mual dan sakit sekali. Tubuh pemuda berbaju coklat tanpa lengan itu sempat
terbungkuk karena menahan rasa sakit itu.
Rupanya Raja Hantu mengirimkan pukulan tenaga
dalamnya berupa sodokan kuat di ulu hati Suto Sinting.
Bahkan kali ini dua jari yang mengeras itu ditebaskan dari kiri ke kanan,
seperti membabat nyamuk. Wettt...!
"Aauh...!" Suto Sinting mengaduh lagi. Pipinya bagai
ditampar memakai kayu balok. Tulang pipi terasa mau pecah. Suto Sinting sempat
terpelanting ke kiri. Ada bekas memerah di pipi Suto. Hal itu membuat Dinada
menjadi cemas dan salah tingkah.
"Jangan bersikap sekasar itu, Paman!" bentak Dinada.
"Aku akan lebih kasar lagi jika kau tidak mau pulang bersamaku!"
"Tidak! Saya tetap akan di sini!" tegas Dinada.
"Kalau begitu aku berhak menyiksa anak muda itu.
Karena anak muda itulah yang membuat kau betah tinggal di sini!"
"Jangan, Paman...!" sergah Dinada.
Raja Hantu hendak menyodokkan keempat jarinya, mengirimkan sodokan tenaga dalam
dari jarak jauh.
Tetapi Pendekar Mabuk lebih dulu menyentilkan jarinya, melepaskan jurus 'Jari
Guntur'. Tess...! "Huaahhg...!" Raja Hantu terpental ke belakang dan membentur moncong kudanya.
Sang kuda meringkik bagaikan perawan tak mau dicium.
Jurus 'Jari Guntur' adalah mengirimkan sentilan bertenaga kuda dari jarak jauh
yang membuat lawan seperti disepak kuda jantan. Sentilan itu diarahkan di dada
Raja Hantu, sehingga dada orang berwajah angker itu terasa mau pecah, napasnya
sedikit sesak. Kalau tak ada moncong kuda ia akan jatuh terkapar karena sentilan
bertenaga dalam tinggi itu.
"Jahanam iblis kau!!" geram Raja Hantu sambil menegakkan berdirinya.
"Kuhancurkan kepalamu yang
masih bau kencur itu, heeeaah ..!"
Raja Hantu melompat bagaikan terbang. Suto Sinting menggeloyor bagaikan orang
mabuk hendak jatuh, tapi ternyata tangannya menyentak pada batang pohon, membuat
tubuhnya bersalto ke belakang. Wuuttt...!
Ia berjungkir balik di atas kepala Raja Hantu. Dengan cepat kakinya menendang
dalam satu sentakan yang mengejutkan. Desss...! Plokk...!
"Aoww...!" Wajah Raja Hantu menjadi sasaran kaki Pendekar
Mabuk. Akhirnya ia kehilangan keseimbangan, lalu mendarat di tanah dengan posisi jatuh menyamping. Brukk...!
"Bangsaaat...!!" teriaknya semakin berang, ia segera bangkit lalu melepaskan
pukulan bersinar merah ke arah Suto Sinting. Clapp...!
Sinar merah yang keluar dari telapak tangan Raja Hantu ditangkis Suto Sinting
menggunakan bumbung tuaknya.
Dubb ..! Slappp...!
Sinar itu membalik arah dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat dari aslinya.
Raja Hantu terkejut sekali, ia tak dapat menghindar. Namun tangannya segera
berkelebat menangkap sinar merah tersebut.
Wuuttt...! Trubb...!
Sinar merah bagaikan mengumpul dalam genggaman.
Tangan yang menggenggam itu membara bagai memancarkan sinar merah berasap. Suto Sinting sempat terperanjat melihat sinar
tenaga dalam yang cukup besar itu mampu ditangkap oleh tangan Raja Hantu.
Namun sesaat kemudian Raja Hantu berteriak kepanasan. "Heeaaah...!"
Genggamannya dilemparkan ke arah Suto Sinting.
Wuuttt...! Gumpalan asap memancarkan warna merah bara
melesat menghantam Suto. Tetapi Pendekar Mabuk segera melepaskan jurus 'Pecah
Raga'-nya. Sinar hijau melesat dari telapak tangan, diadu dengan gumpalan asap
merah itu. Clapp...!
Blegarrr...! Ledakan dahsyat terjadi mengguncang tanah sekeliling. Raja Hantu terpental sambil mengerang kesakitan karena telapak
tangannya menjadi hangus akibat menangkap sinar merah tadi. Ia dilemparkan oleh
Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gelombang ledakan hingga tubuhnya terjepit batang pohon besar yang tumbuh
bercabang. "Suto, lekas naik!" seru Dinada. Rupanya gadis itu sudah berada di atas kuda dan
siap melarikan diri. Suto masih bingung dan ragu-ragu.
"Lekas naik! Tinggalkan dia!" sentak Dinada dengan tegang. Maka, Suto Sinting
pun melompat ke punggung kuda, dan Dinada membawanya lari.
"Hooii...! Jangan lari, Jahanam!" seru Raja Hantu dalam keadaan terjepit.
Dinada tetap berlari memacu kudanya tanpa menghiraukan seruan pamannya. Suto Sinting hampir jatuh dari punggung kuda. Ia
segera memeluk pinggang Dinada dengan kikuk.
"Mau ke mana kita"!"
"Ke mana saja. Cari tempat yang aman!"
"Mengapa harus lari"! Aku masih sanggup melawannya!"
"Dia pasti akan menggunakan cambuknya!" seru Dinada mengimbangi derap kaki kuda.
"Aku justru ingin mencoba menghadapi senjata cambuk pamanmu itu! Aku ingin tahu
seberapa kekuatan cambuknya!"
"Bisa menyebarkan racun berbahaya. Sekalipun bisa kau hindari tapi racun yang
menyebar tak akan bisa kau hindari. Dan lagi kalau kau kena racun cambuknya,
nyawamu tidak akan lebih dari lima helaan napas.
Dia...." "Awas...!" teriak Suto karena kuda akan lompat ke jurang di depannya. Dinada
berusaha menghentikan kuda, atau membelokkan ke arah lain, tapi kuda tetap
berlari lurus bagaikan ingin menceburkan mereka berdua ke sebuah jurang.
"Celaka! Kuda ini tidak mau dikendalikan lagi!"
Wajah Dinada semakin tegang ketika tepian jurang tinggal beberapa langkah lagi.
* * * 2 DENGAN satu sentakan napas perut, tubuh Pendekar Mabuk melesat lompat dari atas
punggung kuda. Tangannya menyambar gadis di depannya. Wuuttt...!
Mereka berdua melayang di udara. Dinada dalam
pelukan Suto Sinting. Gadis itu dipeluk erat-erat karena khawatir
jatuh terjungkal. Sedangkan sang kuda akhirnya melompat ke jurang tanpa penumpang.
"Iieeehhh...!" jerit sang kuda sebelum masa hidupnya berakhir di dasar jurang.
Jlegg...! Suto Sinting berhasil mendaratkan kakinya di tanah dengan masih
memeluk Dinada. Gadis itu selamat dari bahaya, namun tak bisa selamat dari
pelukan Pendekar Mabuk.
Begitu pelukan dilepas oleh Suto, Dinada segera berbalik menghadap Suto.
Tersenyum kaku, lalu... plok!
Suto ditampar dengan tangan kiri.
"Kurang ajar! Menggunakan kesempatan dalam kesempitan kau, ya"!" gertak Dinada.
Tamparan itu tak seberapa keras, namun cukup
membuat Suto malu. Ia hanya nyengir sambil mengusap-usap pipinya yang kena
tampar. "Kuda itu dikendalikan dari jarak jauh," kata Suto.
"Iya. Tapi kau tak perlu memelukku sedemikian rupa!"
"Habis bagaimana" Kalau aku tidak menyambarmu dengan cara begitu kau ikut terjun
ke jurang bersama kuda itu! Kau akan mati!" Suto agak ngotot. Gadis itu juga
ngotot. "Iya. Memang tak ada cara lain kecuali dengan menyambarku
begitu. Tapi jari tanganmu jangan macam-macam! Tak perlu pakai meremas segala."
"Aku... aku meremas karena memegangi kainmu biar
peganganku kuat."
"Kuat. Kuat...! Hemm...!" Dinada bersungut-sungut sambil melengos. Wajahnya
sempat memerah dadu
karena menahan malu akibat remasan Suto yang
dianggap kurang ajar itu. Sedangkan Suto Sinting pun ikut melengos sambil
nyengir kuda, menahan geli dalam hatinya.
Dalam beberapa waktu mereka sudah tiba di pantai.
Dinada sudah tak berang lagi. Ia sengaja menghentikan langkahnya untuk
beristirahat di bawah pohon yang masih beberapa langkah jaraknya dari pasir
pantai. Di sana ada batang kayu yang tumbang sudah lama. Di batang
kayu itulah Dinada duduk melepaskan kelelahannya. "Mengapa kau tadi tidak menggunakan serulingmu untuk melawan Raja Hantu?" tanya
Pendekar Mabuk setelah menenggak tuaknya dua teguk.
"Justru aku menghindari puncak kemarahannya supaya ia tidak menggunakan cambuknya. Kalau aku menggunakan serulingku, pasti
dia akan menjadi kian marah dan menggunakan cambuknya untuk menyerang kita."
"Apa kehebatan cambuknya?"
"Sudah kukatakan tadi cambuk itu bisa menyebarkan racun berbahaya yang sulit
dihindari. Karena itulah dinamakan Cambuk Bintang Berbisa. Jika ia sudah
menggunakan cambuknya, tak pernah ada lawan yang bisa selamat dari maut."
Pendekar Mabuk menggumam pelan, ia ikut duduk di
batang kayu itu. Bumbung tuaknya dipegang tegak lurus, seperti memegang tongkat
yang ujungnya menempel tanah.
Ombak samudera kelihatan bergulung-gulung di
kejauhan sana. Sekitar tiga puluh langkah dari tempat mereka duduk, pasir pantai
tampak menghampar putih bagaikan permadani berbulu domba. Sambil memandang ke
arah ombak yang memercikkan buih laut, Pendekar Mabuk perdengarkan suaranya.
"Perkara si Raja Hantu itukah yang menjadi masalahmu sehingga kau ingin meminta tolong padaku?"
"Bukan soal dia," jawab Dinada. "Ada persoalan yang lebih berat dari masalah
pamanku." "Tunggu dulu," potong Suto. "Sudah lamakah Raja Hantu mengganggumu dan berniat
mengawinimu?"
"Sudah lebih dari empat purnama."
"Mengapa kau tidak melawannya mati-matian?"
"Aku takut benar-benar mati. Selain Raja Hantu punya ilmu tinggi, dia juga
pengganti orangtuaku. Sejak kecil aku diasuh olehnya. Usia sepuluh tahun aku
berguru. Pulang dari berguru, wataknya sudah berubah demikian. Aku jadi serba
salah, mau kulawan tapi ingat bahwa dia pengganti kedua orang-tuaku yang telah
tiada dan pernah membesarkan diriku. Tidak kulawan, dia mengancam masa depanku.
Aku jadi bingung sendiri."
"Mengapa kau tidak kabur saja?"
"Ke mana pun aku pergi dia selalu mengetahui tempat persembunyianku."
"Apakah dia juga tinggal di Bukit Kasmaran?"
Dinada menggeleng. "Bukit Kasmaran adalah tempat perguruanku."
"Kau tidak minta bantuan gurumu?"
"Guruku telah tiada, ia wafat dua tahun yang lalu."
"Jadi sekarang Bukit Kasmaran dikuasai oleh siapa?"
"Pancasurti yang berjuluk Merak Cabul. Dia kakak seperguruanku."
"Kau tidak bergabung lagi dengan Bukit Kasmaran?"
Dinada memandang dengan mata bundarnya yang
berbulu lentik itu sambil gelengkan kepala. Bibirnya yang mungil indah
menggemaskan itu bergerak-gerak memukau dalam bicaranya.
"Merak Cabul sudah menyimpang dari ajaran perguruan, ia menggunakan perguruan sebagai wadah pemburu cinta, ia mengumpulkan
beberapa pemuda dan membebaskan orang-orang perguruan bercinta di dalam
pesanggrahan. Perguruan Bukit Kasmaran sudah rusak, hidupnya bagai sebuah
perguruan tanpa susila lagi, tempat percabulan tanpa batas. Aku tidak setuju dan
keluar dari Bukit Kasmaran."
Pendekar Mabuk manggut-manggut.
Gumamnya terdengar lirih.
"Apakah tak ada yang bisa mencegah perbuatan si Merak Cabul?"
"Satu-satunya yang bisa melawan dia sebenarnya adalah anak kandung dari mendiang
guruku. Tapi...
orang yang kuanggap saudara sendiri itu ternyata tingkah lakunya juga kurang
beres. Aku terlibat masalah dengannya dan membuatku menjadi muak padanya.
Kalau saja..."
Tiba-tiba mulut berbibir mungil itu dibekap oleh Suto Sinting.
"Ssst...!" bisik Suto dengan wajah sedikit tegang.
Dinada mau marah karena mulutnya dicekal seenaknya oleh Suto. Tetapi ketika
melihat wajah Suto menjadi tegang, Dinada tak jadi marah bahkan ikut tegang
juga. "Aku mendengar suara detak jantung orang lain di sekitar kita," bisik Suto
Sinting. Napasnya terasa menghangat di pipi dan telinga Dinada. Mulut itu pun
segera dilepaskan karena Dinada menggigit kecil kulit telapak tangan Suto.
"Sial!" gerutu Suto sambil mengibaskan tangannya yang digigit.
Wuttt...! Tiba-tiba Dinada lompat ke depan, tubuhnya melayang di udara dan
bersalto satu kali. Suto terperanjat sekejap, namun bertepatan dengan itu sebuah
benda menancap di tempat duduk Dinada. Jrabb...!
Suto makin kaget. Benda itu adalah senjata rahasia berbentuk bunga cempaka dari
logam putih mengkilat.
Ujung-ujung kelopaknya meruncing sedikit kebiruan, menandakan
senjata itu mengandung racun yang berbahaya. Suto ingin mencabut benda itu, tapi Dinada berseru,"
Jangan sentuh!"
Suto menatap Dinada. Sebelum bertanya apa sebabnya benda itu tak boleh disentuh, Dinada sudah menjawab, "Benda itu
mengandung racun yang jika disentuh orang bisa bikin mati penyentuhnya!"
Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki dan tubuhnya pun melesat naik ke atas pohon
itu, hinggap di salah satu dahannya. Wutt....! Bekas tempat duduk Suto terlihat
dua benda yang sama, yang tak diketahui sejak kapan menancap di batang kayu
tempat duduk itu. Hanya Suto Sinting yang bisa merasakan kehadiran benda
tersebut. Kejap berikutnya terdengar suara tawa mengikik seperti tawa kuntilanak
kesurupan. "Hi, hi, hi, hi, hi...!"
Tawa itu tidak datang dari satu arah, tapi berkeliling arah, bagai mengitari
tempat tersebut. Tentu saja hal itu membuat
Dinada dan Suto Sinting memandang berkeliling mencari siapa orang yang tertawa itu.
Wuttt...! Jlegg...!
Dinada langsung menghantamkan pukulannya sambil berbalik arah. Tapi pukulan
segera ditahan, tak jadi dilepaskan. Karena orang yang datang di belakangnya itu
adalah Suto sendiri yang baru turun dari atas pohon.
"Hampir saja kepalamu pecah!" kata Dinada dengan jengkel karena kecele,
menyangka orang lain yang muncul di belakangnya.
Mereka segera adu punggung. Mata mereka masih
memandangi sekeliling karena suara tawa itu terdengar lagi dan berkeliling
mengitari tempat itu.
"Jangan-jangan suara burung terbang?" bisik Suto.
"Dugaanku juga begitu. Suara itu ada bagaikan mengeliling dedaunan pohon."
"Hati-hati saja, kalau bukan seekor burung beo, pasti orang itu berilmu tinggi."
"Mungkinkah burung beo bisa melemparkan senjata rahasia"!" bisik Dinada tanpa
memandang Pendekar Mabuk.
"Bisa saja, asal burung itu dibawa oleh seseorang.
Burungnya tertawa orangnya
melemparkan senjata
rahasia." "Jangan bercanda. Kita dalam bahaya!" hardik Dinada
yang tampak cukup tegang menghadapi gangguan tersebut.
Tiba-tiba datang angin dari hembusan pelan makin lama semakin kencang. Angin
membawa serbuk putih yang bertaburan ke mana-mana. Serbuk putih itu menerpa
dedaunan, batang, ranting, dan tentunya juga menghamburi tubuh mereka.
Namun sebelumnya Dinada sudah berseru lebih dulu,
"Debu Neraka...!!"
Dinada segera mencabut serulingnya dan buru-buru ditiup. Tiupan seruling
berirama aneh itu menghadirkan angin yang bergerak memutar. Angin itu dalam
waktu singkat sudah menjadi semacam topan kecil yang mengelilingi tubuh mereka
berdua, sehingga debu-debu yang akan hinggap di tubuh mereka terlempar ke arah
lain. Bau terbakar mulai menusuk hidung. Pendekar
Mabuk terperangah setelah
Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyadari daun-daun terbakar. Ternyata semua benda yang terkena debu putih itu kini dalam keadaan
menghangus karena terbakar.
Dahan, ranting, bahkan batang pohon mana pun yang terkena debu putih itu menjadi
hangus terbakar.
"Luar biasa! Rupanya debu putih itu mempunyai kekuatan
membakar cukup tinggi. Pantas kalau dinamakan 'Debu Neraka'. Untung saja Dinada mampu mengurung diri dengan hembusan
angin serulingnya hingga tak satu pun debu yang mengenai tubuhku dan tubuhnya,"
kata Suto membatin keheranan.
"Hiih, hih, hih, nih, hih...!" suara tawa mengikik terdengar lagi bagaikan
terbang mengelilingi pepohonan yang sudah mengering hangus dalam waktu singkat
itu. Debu putih itu telah lenyap. Seruling pun dihentikan.
Angin topan yang mengelilingi tubuh mereka juga lenyap. Kini yang tinggal
hanyalah asap putih samar-samar dari batang-batang pohon yang telah gundul
akibat terbakar itu.
"Cepat kita tinggalkan tempat ini!" kata Dinada. Ia lebih dulu bergerak pergi ke
arah pantai. Pendekar Mabuk
mengikutinya sambil mengawasi bagian belakang, takut diserang dengan senjata rahasia seperti tadi.
Namun begitu kaki mereka menapak di pasir pantai, tiba-tiba langkah pun
terhenti. Sesosok tubuh tua dan bongkok menghadang mereka dengan tongkat
hitamnya yang berkepala tombak iblis: seperti garpu dua mata yang masing-masing
ujungnya runcing bagai ujung anak panah. Sosok tua bongkok itu mengenakan jubah
abu-abu dengan rambutnya yang putih dikonde sebagian, sisanya meriap
dipermainkan angin pantai. Tubuhnya kurus, kulitnya keriput, hingga wajahnya
bagaikan kain yang sudah setahun tertindih almari. Matanya kecil, tapi
tajam. Mulutnya berkerut-kerut dengan bibir masuk ke dalam pertanda giginya
sudah habis. Nenek tua bongkok itu tertawa mengikik. Suto
Sinting hanya membatin, "O, rupanya nenek ini yang tadi tertawa berkeliling?"
Dinada menyapa dengan nada sinis. "Rupanya kau yang mengganggu kami tadi, Nini
Kutang Katung"!"
"Iya. Aku yang menaburkan 'Debu Neraka', biar kalian berdua mampus. Hih, hih,
hih, hih...!"
"Mengapa kau menghendaki kematian kami, Nini?"
"Sebenarnya
tidak. Aku hanya sekadar pamer kesaktian, biar kau dan kekasihmu itu tahu bahwa ilmuku cukup tinggi, sehingga
kalian tidak perlu menentang
kehendakku, dan jangan coba-coba melawanku. Hih, hih, hih, hih...!"
Pendekar Mabuk berbisik kepada Dinada. "Siapa orang ini?"
"Nini Kutang Katung."
"Aku baru mendengar namanya. Kalau kata 'kutang'
aku sering mendengar, tapi kalau 'Kutang Katung' baru mendengarnya sekarang."
"Dia penguasa Pulau Sarang Iblis, musuh pamanku; Raja Hantu."
Pendekar Mabuk pun angguk-anggukkan kepala
sambil menggumam lirih.
"Apa maksudmu menemui kami, Nini"!" tanya Dinada.
"Kulihat pusaka itu dititipkan padamu oleh Raja Hantu! Lalu ia lari dari
pertarungan setelah kau
menghilang. Hih, hih, hih... licik sekali kalian. Sekarang saatnya aku meminta
pusaka itu, Mila!"
"Aku tidak membawanya!"
"Omong kosong! Mata tuaku belum terlalu rabun, sehingga masih bisa melihat kau
menangkap pusaka itu dan membawanya lari. Serahkan pusaka itu atau kubakar habis
tubuhmu yang mulus dan menggoda tiap lelaki itu.
Hih, hih, hih, hih...!"
"Sstt...!" desis Suto kepada Dinada. "Mengapa dia memanggilmu 'Mila', bukan
'Dinada'?"
"'Mila' hanya ada di dalam 'nada', bukan" Nah, jadi...
eh, tunggu! Kita sedang menghadapi lawan bahaya, kenapa harus berdebat soal
nama"!"
Dinada segera berkata kepada Nini Kutang Katung,
"Apa pun yang akan kau lakukan aku siap menghadapimu, karena aku memang tidak membawa
pusaka itu, Nini!"
"Bocah gendeng! Itu sama saja kau kepingin mati sekarang juga! Apakah kau tak
bayangkan kalau
kekasihmu itu akan patah hati jika kau mati"!"
"Dia bukan... bukan...," Dinada tak berani lanjutkan ucapannya, ia melirik
pemuda tampan di sampingnya.
Suto Sinting hanya tersenyum tipis dan sedikit angkat bahu, seakan berkata,
"Terserah apa katamu!"
"Aku tidak banyak waktu lagi!" sentak Nini Kutang Katung. Serahkan pusaka Gelang
Naga Dewa itu jika percintaanmu ingin berlangsung dengan lebih mesra lagi!"
"Gelang Naga Dewa"!" gumam Suto Sinting dengan
nada kaget. "Ya. Gelang Naga Dewa!" sahut Nini Kutang Katung yang walaupun tua tapi
kupingnya belum budeg. "Kau pasti melihatnya, Anak muda! Kau tahu di mana Mila
menyimpan pusaka itu"!"
"Ak... Aku...," Suto bingung menjawabnya, ia memandang Dinada, tapi yang dipadang berlagak tidak tahu. Tatapan mata Dinada
tertuju pada Nini Kutang Katung. Nenek itu mendekat dua tindak, bicaranya
tertuju kepada Suto Sinting.
"Pemuda tampan, bujuk gadismu itu agar mau serahkan pusaka Gelang Naga Dewa
ketimbang dia mati sebelum kau cumbu. Hih, hih, hih, hih...!"
"Bicaralah yang sopan, Nini!" hardik Dinada yang wajahnya menjadi merah dadu
karena malu. "Mana pusakaku itu!" tegas sang nenek.
"Pusaka itu tidak ada padaku!" bentak Dinada.
"Bukan aku yang membawanya."
"Lalu siapa menurutmu"!"
"Anak Petir!"
Jawaban itu bukan saja membuat Nini Kutang Katung terkejut, tapi juga membuat
Pendekar Mabuk terperanjat kaget dan memandang Dinada dengan tajam. Karena nama
Anak Petir membuat ingatan Suto melayang ke masalah huru-hara di Tanjung
Samudera beberapa waktu yang lalu. Gelang Naga Dewa juga ada kaitannya dengan
Ratu Dewi Giok, penguasa Negeri Tanjung Samudera itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode:
"Keranda Hitam").
Mata nenek tua itu kian mengecil ketika Dinada menjelaskan bahwa pusaka Gelang
Naga Dewa ada di tangan si Anak Petir. Nini Kutang Katung bagaikan mencari
kejujuran melalui sorot pandangan mata Dinada.
Beberapa saat kemudian, "Aku tak percaya benda itu ada di tangan si Anak Petir!
Kau hanya ingin mengadu domba antara aku dengan si Anak Petir!"
"Terserah kesimpulanmu! Tapi itulah kebenaran yang ada. Kalau kau menghendaki
Gelang Naga Dewa dariku, kau hanya akan membuang-buang waktu saja, Nini!"
"Aku jadi tak sabar membujukmu! Sebaiknya terima saja pelajaran baru dariku ini,
Gadis bodoh! Heeah...!"
Tongkat ditancapkan di pasir, lalu kedua tangan Nini Kutang Katung menyentak ke
depan seperti ingin mencengkram. Dari tiap jarinya melesat sinar bintik-bintik
warna hijau. Sepuluh larik sinar itu menyerang Dinada. Werrss...!
Wutt...! Dinada bagaikan terlempar ke atas karena kakinya menyentak ke bumi.
Tubuhnya melesat tinggi, sehingga kesepuluh sinar dapat dihindarinya.
Hampir saja Suto terkena sinar itu. Untung ia pun segera melesat ke samping dan
berguling ke pasir pantai sambil menggenggam bambu tuaknya. Wuttt...! Dan
sepuluh sinar hijau itu menghantam gugusan batu karang jauh di belakang mereka
berdua. Zrrakkk...! Gugusan batu karang hancur menjadi debu yang
menyebar ke mana-mana. Padahal gugusan batu karang itu besarnya melebihi sebuah
rumah. Begitu terkena
sepuluh sinar hijau menjadi lenyap begitu saja tanpa bunyi ledakan yang
menggelegar. Wess...! Dinada mengibaskan seruling gadingnya.
Dari ujung seruling keluar seberkas sinar merah yang berkelebat bagaikan pita
yang menyabet kepala Nini Kutang Katung.
"Hi, hi, hi, hi...!" nenek bongkok itu hanya tertawa, tangannya berkelebat bagai
menyambar lalat. Ternyata kibasan tangannya itu menghadirkan angin besar yang
membuat sinar itu pecah sebelum menyentuh tubuhya.
Duarrr...! Hembusan angin yang dikeluarkan dari kelebatan tangan Nini Kutang Katung membuat
tubuh Dinada yang baru turun dari lompatannya itu terpental ke belakang dan
jatuh berguling-guling di pasir pantai.
Clapp...! Baru saja Dinada hendak bangkit, seberkas sinar hijau seperti tadi
melesat dari jari telunjuk sang nenek. Sinar itu hendak menghantam tubuh Dinada
yang belum menyadari kedatangan sinar itu.
Pendekar Mabuk tidak mau biarkan gadis itu hancur seperti karang, ia segera
melepaskan jurus 'Turangga Laga' dari dua jari yang dikeraskan. Sentakan dua
jari ke depan mengeluarkan sinar ungu yang menghantam
perjalanan sinar hijaunya Nini Kutang Katung itu.
Zlapp...! Blegarrr...! Ledakan yang menggelegar membahana membuat
Nini Kutang Katung terjengkang ke belakang dan terguling-guling bersama
tongkatnya yang baru saja
dicabut. "Dinada, cari tempat berlindung!" seru Suto Sinting yang mulai menghadang jarak
di depan Nini Kutang Katung. Bumbung tuaknya siap di tangan kanan dengan tali
melilit di telapak tangan kanan:
"Maling kecut! Baru sekarang ada orang bisa membuatku terjungkal! Mau cari liang
kubur kau, hah"!
Heeah...!"
Nini Kutang Katung menyentakkan tongkatnya.
Kedua ujung tongkat yang membentuk anak panah itu terarah ke depan dan
mengeluarkan sinar berkelok-kelok warna biru. Gerakan sinar itu melesat ke sanasini bersimpang siur membingungkan. Suto Sinting tidak berani menangkis dengan
bumbung tuaknya karena gerakan sinar tak menentu arah. Ia hanya bersalto cepat
ke belakang beberapa kali. Wes, wes, wess...!
Zlapp...! Tahu-tahu pemuda tampan itu sudah berada di satu gugusan karang yang
cukup tinggi. Clap, clapp...!
Blegarrr...! Sinar biru tak tentu arah itu tiba-tiba bisa dilumpuhkan oleh datangnya sinar merah yang menyerupai bintang berekor. Akibatnya timbullah ledakan yang cukup dahsyat dan mengguncangkan alam sekitar tempat itu. Suto
Sinting nyaris terpelanting jatuh dari atas gugusan batu karang itu.
"Keparat! Rupanya kau belum jera melawanku, Raja Hantu!"
Suto Sinting dan Dinada terkejut, segera memandang
ke arah pepohonan yang tadi terbakar hangus itu.
Ternyata di sana sudah berdiri seorang lelaki berwajah angker yang tak lain
adalah Raja Hantu.
"Kau lawanku, Nini!" sentak Raja Hantu kemudian ia melesat bagaikan terbang
sambil mencabut cambuknya.
"Dinada, cepat tinggalkan tempat ini selagi mereka bertarung sendiri!" kata Suto
Sinting karena ia khawatir dengan keselamatan gadis cantik itu.
Zlappp...! Dinada disambar Suto dan dibawa lari dengan gunakan jurus 'Gerak
Silmuan'. "Hei, hei... jangan begini! Kau nakal lagi, Suto!"
teriak Dinada yang dikempit oleh Suto dengan satu tangan. Tapi suara itu tidak
dihiraukan oleh Pendekar Mabuk yang tetap berlari dengan kecepatan melebihi anak
panah. * * * 3 SEBUAH gubuk tak bertuan di dalam hutan menjadi tempat peristirahatan mereka
untuk sementara. Di barat langit sudah memerah. Sebentar lagi petang akan
datang. Gubuk tak bertuan yang sebagian dindingnya sudah jebol akan dipakai untuk
bermalam oleh Pendekar Mabuk.
Gadis cantik yang masih memegangi serulingnya itu sengaja menjauhi Pendekar
Mabuk, ia masih jengkel dengan tindakan Suto menyambarnya dan membawa
lari. Bukan langkah penyelamatan Suto yang menjengkelkan hatinya, tapi tangan Suto menyentuh dadanya sewaktu menyambar dan
membawanya lari.
"Mengapa begitu saja marah" Aku toh tidak sengaja,"
kata Suto Sinting sambil menahan geli dalam hatinya.
Dinada masih cemberut. Bicaranya bernada ketus.
Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak sengaja kok sudah dua kali begitu," gerutunya dengan bibir mungilnya
meruncing. "Maafkan aku," kata Pendekar Mabuk. "Aku tidak bermaksud kurang ajar kepadamu.
Lupakanlah hal itu."
"Takkan mungkin bisa kulupakan seumur hidupku."
Pendekar Mabuk hanya terkekeh geli, namun tak
berani keras-keras. Takut gadis itu semakin berang.
"Apa maksudmu tak bisa dilupakan seumur hidup"
Terkesan atau...."
"Pikir sendiri!" potongnya menyentak.
"Aku tak bisa berpikir sebelum kau jelaskan tentang si Anak Petir itu."
Kali ini Dinada mengangkat wajah dan menatap Suto Sinting.
"Apakah kau kenal dengan si Anak Petir?"
"Dia hampir saja membuat namaku hilang karena dianggap sudah mati. Dia yang
membuat negeri Tanjung Samudera diserang para sahabatku, karena Ratu Dewi Giok
dituduh telah membunuhku!"
Dahi gadis itu kian berkerut heran. "Jadi, kau juga mengenal Ratu Dewi Giok?"
"Pemilik pusaka Gelang Naga Dewa itu, bukan"!"
Dinada tertegun memandangi murid si Gila Tuak, ia
tidak menduga kalau murid si Gila Tuak yang ilmunya sinting itu ternyata
mengenal Ratu Dewi Giok.
Bahkan Suto pun bertanya, "Benarkah pusaka Gelang Naga Dewa ada di tangan si
Anak Petir?"
Dinada menarik napas. "Itulah persoalanku yang sebenarnya.
Karena persoalan itu pula aku memanggilmu dengan seruling dan ingin meminta
bantuanmu untuk merebutkan kembali Gelang Naga Dewa dari tangan si Anak Petir."
Kini ganti Suto yang terbengong. "Aku memang sering mendengar nama itu, tapi aku
belum pernah bertemu dengan si Anak Petir. Bagaimana aku bisa merebut gelang
itu?" pikir Suto dalam bengongnya. "Ini persoalan berat. Menurutku lebih berat
dari menangani tingkah laku si Raja Hantu!"
Dinada menceritakan tentang gelang tersebut. "Pamanku, Raja Hantu, berhasil mencuri gelang tersebut dari tangan Ratu Dewi
Giok. Akhirnya ia bukan saja dikejar-kejar oleh orang Tanjung Samudera,
melainkan juga diburu beberapa orang yang menghendaki gelang tersebut, di
antaranya Nini Kutang Katung."
Suto Sinting diam, menyimak cerita tersebut sambil duduk di atas sebuah batu, di
depan Dinada yang dari tadi menyendiri di samping gubuk tersebut.
"Aku memergoki pamanku bertarung dengan Nini Kutang Katung. Paman tahu kalau aku
ada di sekitar tempat pertarungan tersebut. Ketika Paman terdesak, ia
melemparkan sesuatu padaku. Aku segera menangkapnya, dan ternyata Gelang Naga Dewa. Paman
menyuruhku agar lari meninggalkan tempat Aku menurut karena waktu itu dalam keadaan bingung."
"Lalu, bagaimana bisa jatuh ke tangan Anak Petir?"
"Itulah kebodohanku," kata Dinada dengan rasa sesal yang dalam. "Anak Petir
sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Ketika mendiang Guru masih hidup dan
ia masih tinggal di Bukit Kasmaran, Anak Petir sangat sayang kepadaku, dan
mengangkatku sebagai saudara kandung. Sebab ia dilahirkan oleh Ibunya sebagai
anak tunggal...."
"Ibunya itu yang menjadi gurumu?"
"Benar. Nyai Guntur Ayu adalah nama guruku, ibu dari si Anak Petir itu. Tapi
belakangan kudengar jalannya semakin sesat. Aku tak percaya, kupikir hanya
sekadar fitnah dari orang-orang yang tidak suka padanya."
Dinada menarik napas, seperti menekan rasa kebencian yang bercampur dengan penyesalan. Bahkan ia bangkit dan melangkah ke
bawah pohon. Suto Sinting hanya memperhatikan dari tempat duduknya, telinganya
masih menyimak kata-kata gadis cantik itu.
"Aku dihadang oleh perempuan mesum: Untari, dia ingin merebut gelang itu."
"Untari"! Ratu Kelabang Setan itu"!" kata Suto dengan kaget.
"Benar. Dia adalah murid Nini Kutang Katung."
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut sambil mengenang nasibnya ketika terkena
pukulan beracun dari Ratu Kelabang Setan," (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Keranda Hitam").
"Sebelum aku sempat melumpuhkan Untari, Anak Petir datang membantuku, ia
berhasil membuat Untari kabur. Lalu, ia membujukku agar menyerahkan Gelang Naga
Dewa dengan alasan demi keselamatanku. Ia mendesakku agar menitipkan gelang itu
sehingga orang-orang yang menghendaki gelang itu akan terkecoh jika
menggeledahku, ia berjanji akan menyerahkan gelang itu kepada Paman Raja Hantu.
Tapi sampai satu purnama ternyata ia justru menghilang tak tahu di mana
rimbanya. Gelang Naga Dewa tak pernah dikembalikan. Paman marah padaku dan mendesakku
mengembalikan gelang itu. Jika tidak nyawaku akan dipakai sebagai gantinya.
Karena itulah aku ketakutan dan bingung tak mengerti ke mana mencari Anak
Petir." "Jadi rasa takutmu itu bukan karena mau dikawini oleh pamanmu, bukan?"
"Soal itu bisa kuhindari sendiri. Tapi soal gelang itu aku tak bisa
mengatasinya, karena itu memang salahku."
Pendekar Mabuk manggut-manggut.
Sekejap kemudian terdengar suaranya yang lirih namun cukup jelas didengar oleh Dinada.
"Kau merasa bersalah karena kau merasa Gelang Naga
Dewa milik pamanmu. Apakah kau tidak menyadari bahwa pamanmu sendiri mendapatkan gelang dari hasil mencuri, dan
gelang itu bukan hak miliknya sendiri?"
"Aku menyadari hal itu," kata Dinada sambil melangkah mendekati Suto Sinting.
"Aku sudah punya
niat untuk pergi ke Tanjung Samudera dan mengembalikan gelang pusaka itu. Tapi ternyata rintangannya cukup banyak dan aku terbujuk oleh si Anak Petir."
"Kau ingin mengembalikan gelang itu" Mengapa kau punya rencana seperti itu?"
"Karena aku kenal baik dan bersahabat dengan salah satu pengawal Ratu Dewi
Giok." "Siapa...?"
"Bulan Sekuntum!"
"Oh, dia..."!" Suto Sinting manggut-manggut. Ia kenal betul dengan Bulan
Sekuntum dalam peristiwa Keranda Hitam dulu. Dalam hati Suto berkata,
"Berarti gadis ini sebenarnya berhati mulia. Dia bukan orang jahat seperti
pamannya. Kurasa memang sudah sepatutnya aku membantunya. Tapi bagaimana caranya
bertemu dengan si Anak Petir?"
Dinada yang bernama asli Milasi itu duduk di batu samping Pendekar Mabuk. Saat
itu sang pendekar sedang menenggak tuaknya.
"Aku menyesal sekali. Benci pada diriku sendiri,"
gumamnya bernada sedih.
"Apa kedahsyatan pusaka Gelang Naga Dewa itu"
Aku belum pernah mendengarnya."
Dinada pun menjawab dengan jelas, "Siapa pun yang memakai gelang itu, tubuhnya
akan kebal terhadap semua senjata dan semua jenis serangan tenaga dalam."
Pendekar Mabuk tersenyum tipis, pertanda tidak terlalu heran dan kagum dengan
kesaktian seperti itu.
Karena ia sudah sering menjumpai kesaktian seperti itu dan mampu
menumbangkannya. Namun senyum itu
membuat Dinada terhenti bicaranya, ia memandang seakan menunggu tanggapan dari
Suto Sinting. Murid si Gila Tuak hanya angkat bahu dan berkata, "Teruskan...."
Barulah Dinada meneruskan penjelasannya.
"Di samping itu, jika gelang tersebut dipakai dan diusap tiga kali, dapat
digunakan untuk memanggil kemunculan seekor naga terbang."
"Naga terbang"!" Suto baru tertarik dan tampak berubah sikapnya, ia memandang
Dinada dengan dahi berkerut.
"Naga itu akan muncul dari langit dan menemui pemakai gelang tersebut, ia akan
menjadi hamba pemakai gelang tersebut, dan bisa ditunggangi serta membawa
terbang pemakai Gelang Naga Dewa."
"Maksudmu, naga itu bisa terbang di langit membawa orang?"
"Ya. Itu naga siluman. Bahkan disuruh bertarung pun sanggup, dan kabarnya belum
pernah ada yang bisa mengalahkan naga terbang itu."
"Seperti dongeng saja," gumam Suto Sinting dalam renungannya.
"Memang seperti dongeng. Tapi kalau kau kurang percaya kau bisa tanyakan
langsung kepada Ratu Dewi Giok."
"Apakah kau tahu kelemahannya?"
Dinada menggeleng. "Itu pun bisa kau tanyakan kepada Ratu Tanjung Samudera itu."
Dalam lamunannya Suto berkata membatin, "Jika gelang itu ada di tangan Anak
Petir, berarti dia cukup berbahaya. Tingkahnya akan semakin ganas dan sudah
tentu dia akan bikin ulah yang bukan-bukan. Mungkin saja ia sekarang sedang
menyusun rencana untuk menyerang Tanjung Samudera, sebab ia tampaknya sangat
bernafsu untuk menguasai negeri itu."
Renungan itu terputus, karena ekor mata Pendekar Mabuk tiba-tiba menangkap
seberkas sinar merah yang melesat dari balik kerimbunan pohon bambu wulung.
Dengan gerakan cepat Suto Sinting mengangkat bumbung tuaknya dan melintangkannya di depan dada Dinada. Gadis itu terkejut dan
hampir berang karena menyangka Suto mau berkurang ajar lagi.
"Kau memang..."
Baru berkata demikian, Dinada kaget melihat sinar datang menghantamnya. Untung
ada bambu tuaknya Suto. Sinar itu membentur bumbung tuak dan membalik ke arah
semula dengan lebih cepat dan lebih besar lagi.
Wesss...! Duarrr...! Entah berapa pohon bambu yang hancur karena
ledakan tersebut. Sinar merah itu membuat rumpun bambu menjadi berkeping-keping.
Sesosok bayangan melesat dari semak bambu sebelum terjadi ledakan menggelegar
tadi. Jlegg...! Bayangan itu menampakkan diri di depan Suto dan Dinada yang sudah sama-sama
berdiri penuh siaga.
Ternyata yang ingin menghantam Dinada dengan sinar merah tadi adalah seorang
perempuan berwajah cantik jalang. Mengenakan jubah Jingga yang terbuka lepas
bagian depannya. Dada montoknya ditutup dengan kain tipis warna biru muda,
sedangkan bagian bawahnya dililit kain tipis biru muda juga secara asal-asalan,
sehingga jika tertiup angin akan menyingkap dan menampakkan isinya secara samarsamar. Rambutnya meriap, mengenakan ikat kepala dari logam emas berhias batuan
intan. Sebilah pedang lurus runcing tajam dua sisi itu terselip di pinggang
kirinya. "Jahanam kau, Untari!" geram Dinada memaki perempuan itu.
Suto Sinting sempat terkesima sebentar karena ia pernah kenal perempuan
tersebut, yang tak lain adalah Untari alias si Ratu Kelabang Setan. Tokoh mesum
ini pernah terkena jurus 'Anak Rembulan' dan dilumpuhkan oleh Sumbaruni di
pesanggrahannya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Keranda Hitam").
Mata nakal yang menggoda kejantanan setiap pria itu kini terarah kepada Pendekar
Mabuk. Sejak dulu ia memang mengincar Pendekar Mabuk. Hasrat ingin
mencumbu pendekar tampan itu sangat besar. Namun Suto Sinting tetap waspada
sebab ia pernah terkena pukulan racun 'Siksa Neraka' yang membuatnya nyaris
binasa. "Kita jumpa lagi, Pendekar ganteng," ujarnya dalam senyum yang menggoda hati
setiap lelaki. "Tak kusangka kau bisa lolos dari keampuhan
jurusnya Sumbaruni!" kata Suto Sinting bernada kalem.
Dinada menyahut sambil maju di depan Suto dan
menghadap Ratu Kelabang Setan. Matanya memandang tajam penuh tantangan.
"Kusangka kau sudah mampus terkena racun dari si Anak Petir!"
"Untuk apa aku punya guru sesakti Nini Kutang Katung kalau terkena jurus itu
saja tak mampu mengobati"."
tawanya terdengar berkesan menyombongkan diri menjagokan gurunya.
"Sekarang apa maksudmu menyerangku" Kau ingin mengambil Gelang Naga Dewa"!
Ambillah sendiri di tangan si Anak Petir."
"Aku sudah tahu kalau gelang itu ada padanya."
Untari melangkah ke samping bagai mencari kesempatan untuk melepas serangan.
"Percakapan kalian dengan Guru di pantai kuikuti terus. Sayang sekali pamanmu
ikut campur, kalau tidak kau sudah menjadi debu.
Milasi!" "Gurumu tak akan mampu menyentuhku!" Dinada juga menyombongkan diri untuk
membuat hati lawannya panas dan penasaran.
Tapi perempuan berpakaian seronok itu hanya
tersenyum sinis. "Lupakan tentang nasib baikmu saat di pantai tadi. Sekarang kau
perlu menyambut hari naasmu, Dinada. Kalau kau tak mau menjauhi Pendekar Mabuk,
aku akan mengakhiri masa hidupmul" gertak Untari.
Dinada diam. Rupanya ia sempat bingung mengambil keputusan karena agaknya
tantangan Untari menyangkut
masalah Suto Sinting. Pada saat dia mempertimbangkan langkahnya, Suto mendekati
dari belakang dan berbisik,
"Biar kuatasi sendiri perempuan itu!"
"Tidak!" tiba-tiba Dinada berkata tegas. "Aku yang akan melawannya. Aku tak suka
kalau tangannya
Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyentuhmu walau dengan alasan memukul!"
"Kok begitu?"
"Biar!" tegas Dinada dengan nada sewot.
"Uuh, ya sudah. Hadapilah sana," gerutu Suto sambil menjauh.
Dinada berseru kepada lawannya, "Untari, hadapi aku kalau kau ingin mendapatkan
Suto Sinting itu!"
Untari tertawa meremehkan. "Pendekar Sinting"!
Sembarangan saja kau bicara. Pendekar Mabuk tak boleh dipermainkan
namanya seperti itu. Bisa kurobek mulutmu, Milasi!"
"Robeklah kalau kau mampu menjamahku!"
"Berani amat kau bertaruh nyawa demi dia"! Apakah dia kekasihmu?"
"Tergantung!"
sentak Dinada menampakkan ketengilannya. "Kuhabisi masa hidupmu, Milasi! Hiaaah...!"
Wusss...! Untari melompat cepat sambil mencabut pedangnya. Pedang ditebaskan ke
leher Dinada dalam keadaan tubuhnya masih melayang di udara.
Trrang...! Dinada menangkis pedang itu dengan
serulingnya yang dialiri tenaga dalam hingga seperti baja. Gerakan Dinada sangat
lincah sehinga Untari berkali-kali gagal menebaskan pedangnya ke tubuh
Dinada. Namun pada satu kesempatan, Dinada kecolongan.
Ketika ia menghindari sabetan pedang ke arah dadanya, tiba-tiba kaki kiri Untari
menendang ke depan. Wuttt...!
Meleset dari sasaran, tapi itulah langkah maju Untari sehingga tangan kirinya
segera menghentak maju dan tepat kenai rusuk Dinada.
Krakk...! Terdengar seperti ada tulang yang patah.
Dinada terlempar jatuh di bawah pohon, badannya tersandar di sana dalam keadaan
menyeringai menahan rasa sakit. Rupanya pukulan itu bukan sekadar pukulan biasa.
Tenaga dalam yang disalurkan melalui pukulan itu membuat darah meluap naik dan
meleleh keluar melalui mulut Dinada.
Pendekar Mabuk memandang dengan terperanjat dan cemas, ia ingin bergerak maju
menghalangi serangan Untari. Tetapi langkahnya tertahan dengan suara lirih dari
belakangnya. "Biarkan mereka!"
Suto Sinting semakin kaget ketika tahu yang berdiri di belakangnya ternyata
adalah Sumbaruni. Dalam usahanya
mencari Anak Petir yang pernah menghebohkan dunia persilatan dengan ulahnya itu, Sumbaruni
tak sengaja melintasi tempat itu dan
mendengar suara pertarungan, ia penasaran dan segera datang ke tempat itu.
"Dinada dalam bahaya!"
"Biarkan. Itu urusan dia!" ujar Sumbaruni dengan ketus dan bernada cemburu,
sebab ia menyimpan cinta
kepada Suto hanya saja tidak pernah dilayani oleh si pendekar tampan itu.
Untari melepaskan jurus pedang mautnya yang
hampir saja menewaskan Dinada. Untung gadis berseruling itu mampu menangkis setiap tebasan pedang, sehingga ia selamat dari
ancaman maut jurus pedang yang sulit ditembus itu.
Bahkan Dinada berhasil melepaskan pukulan tenaga dalamnya ke arah perut Untari.
Wuttt...! Buhgg...!
Pukulan tanpa sinar itu membuat Untari terpental mundur
dan terhuyung-huyung.
Kesempatan itu digunakan oleh Dinada untuk meniup serulingnya. Suara seruling ditiup dengan
alunan yang melengking tinggi, menghadirkan angin kencang ke arah Ratu Kelabang
Setan. Angin itu tak bisa ditembus dengan gerakan sehingga Untari bagai terpaku
di tempat. Semakin lama kakinya semakin melesak masuk ke dalam tanah.
Rupanya kekuatan tenaga dalam dari tiupan seruling itu membuat tubuh Untari
bagaikan dipantek dan ingin ditenggelamkan ke dalam tanah.
Ketika kakinya telah mulai masuk ke dalam tanah sebatas betis, Ratu Kelabang
Setan memikik keras-keras.
"Hiaaaatt...!"
Pedangnya digunakan untuk bertolak dalam satu
sentakan ke tanah, lalu tubuhnya pun melesat ke atas bagai dijebol dari dalam
tanah, ia bersalto di udara satu kali, kemudian tangannya melepaskan pukulan
jarak jauh yang dinamakan pukulan 'Racun Siksa Kubur' itu.
Clapp...! Sinar biru pun melesat menghantam Dinada
yang sedang meniup seruling.
Jrasss...! Sinar tersebut tepat mengenai pinggang Dinada. Di sisi lain, Suto dan
Sumbaruni terperanjat melihat hal itu, karena mereka tahu Dinada terkena pukulan
beracun yang sangat berbahaya.
"Aahg...!" Tubuh Dinada terkulai lemas. Suto Sinting segera bergerak
menghampirinya dengan menggunakan
'Gerak Siluman'-nya.
Zlapp...! Pada waktu itu Ratu Kelabang Setan ingin melepaskan lagi pukulan yang lebih dahsyat ke arah Dinada. Kemarahannya tak
dapat dibendung lagi, sehingga nafsu menghancurkan Dinada sangat besar.
Melihat keadaan seperti itu, Sumbaruni segera
bertindak karena takut pukulan berikutnya mengenai tubuh
Suto Sinting. Dengan melepaskan pukulan bersinar merah, Sumbaruni sentakkan kaki dan melayang maju ke arah Dinada tapi sasaran pukulannya ke arah Untari.
Clapp...! Tepat pada waktu itu sinar ungu keluar dari telapak tangan Untari, sehingga
kedua sinar itu pun beradu dalam keadaan sangat dekat dengan Untari.
Duarrr...! "Aaahhg...!" Ratu Kelabang Setan terpekik dengan tubuh terlempar ke belakang dan
membentur pohon.
Brukk...! Untari jatuh terkulai dengan dada dan tangan menjadi hangus. Namun ia masih
berusaha bangkit dan menatap
buas kepada Sumbaruni.
"Bangsat! Lagi-lagi kau ikut campur urusanku!"
"Kau memang patut dimusnahkan, Untari! Kaulah yang hampir saja membuat kekasihku
mati karena racun
'Siksa Kubur'-mu itu! Kini terimalah pembalasanku!"
"Iblis kau! Heeeaat...!"
Untari melayang bagaikan terbang, pedangnya keluarkan sinar merah membara. Sumbaruni segera mencabut pedangnya dan digenggam
dengan dua tangan.
Pedang itu pun menyala ungu, seperti pakaian dan jubahnya yang serba ungu.
Trang...! Blegarrr...!
Pedang diadu, ledakan dahsyat terjadi membuat tubuh Untari terpental tinggi.
Ketika tubuh itu melayang turun, Sumbaruni menyambutnya dengan tubuh melompat
naik dan menyabetkan pedangnya. Wesss...!
Crass...! "Aaaaahg...!"
Ratu Kelabang Setan memekik, lengannya terluka parah. Koyak oleh sabetan pedang Sumbaruni. Ketika ia jatuh
dan mengerang kesakitan.
Sumbaruni menghampirinya dengan satu serangan pedang sebagai tindakan untuk menghabisi lawannya.
Wuuttt...! Jrrub...!
Tusukan pedang ke bawah, ternyata masih mampu
dihindari oleh Untari dengan menggelinding ke sisi lain.
Akibatnya pedang Sumbaruni menancap separo bagian ke tanah bekas tempat Untari
terkapar tadi. "Keparat! Masih bisa lolos kau"!" geram Sumbaruni sambil mencabut pedangnya.
Namun ketika ia ingin menyerang Untari lagi,
ternyata Ratu Kelabang Setan sudah melarikan diri dalam keadaan terluka parah.
"Hei, tunggu...! Selesaikan sampai tuntas urusan ini!"
seru Sumbaruni yang segera berkelebat mengejar Untari.
Wesss...! Sumbaruni tak pedulikan lagi keselamatan Dinada.
Nafsunya lebih besar membunuh Untari yang dianggap sebagai perempuan berbahaya
bagi asmara Suto Sinting.
Sementara di pihak lain, Suto Sinting berhasil memaksa Dinada untuk meminum
tuaknya. Dengan
meminum tuak, maka racun 'Siksa Kubur' yang obat penawarnya hanya ada pada
Untari itu bisa lenyap dalam sekejap. Bahkan luka patah pada tulang rusuk Dinada
tidak terasa sakit lagi. Kesaktian tuak Pendekar Mabuk membuat Dinada diam
terbengong dan terheran-heran.
Dinada sadar dari keheranannya setelah Suto Sinting menanyakan, "Masih sakitkah
tubuhmu"!"
Gadis berseruling gading itu segera bangkit berdiri, ia merasakan betul
perubahan badannya, ternyata justru menjadi lebih segar dari sebelumnya.
"Luar biasa tuakmu itu! Pantas kudengar kau disebut oleh sebagian orang dengan
julukan Tabib Darah Tuak."
"Syukurlah kalau sudah sehat! Dulu aku hampir mati terkena racun 'Siksa Kubur'
itu!" Dinada menarik napas. Matanya memandang sekeliling, ia baru sadar bahwa Untari sudah tidak ada di tempat, demikian pula
Sumbaruni. "Perempuan itu tadi kekasihmu?"
Pendekar Mabuk menggeleng sambil tersenyum. "Dia yang beranggapan begitu
padaku." "Kau pasti melayaninya sebab dia cantik."
"Itu dugaanmu!"
"Ah, kau bisa saja bilang...," ucapannya itu terhenti.
Matanya tertuju pada satu arah.
"Ada apa..."!" tanya Suto heran.
"Aku melihat sekelebat bayangan si Anak Petir."
"Hah..."! Di mana dia" Ke mana perginya"!"
"Ikuti aku...!" kata Dinada sambil berkelebat mengejar bayangan yang diyakini sebagai gerakan si Anak Petir itu. Pendekar
Mabuk pun berkelebat
mengikuti Dinada karena ia berhasrat untuk bisa bertemu dengan si Anak Petir dan
bikin perhitungan sendiri.
"Ke mana larinya"!"
"Ke timur!"
Zlapp...! Suto mendului Dinada.
* * * 4 PENGEJARAN malam membuat suasana menjadi
kacau. Kecepatan yang dipakai Pendekar Mabuk pun mengakibatkan Dinada
tertinggal. Semakin jauh semakin gelap, sampai pada akhirnya mereka terpisah.
"Dasar bodoh. Mengapa dia tidak berteriak kalau salah arah" Apa dia sengaja
memisahkan diri?" Pendekar Mabuk menggerutu sambil berusaha mencari Dinada.
Ketika malam semakin kelam, embun mulai datang.
Suto Sinting berhasil menemukan sebuah desa. Lebih beruntung lagi ia dapat
melihat sebuah kedai yang masih buka.
"Kebetulan, tuakku hampir habis. Kuharap kedai itu menjual tuak," pikir Suto
sambil melangkah mendekati kedai tersebut.
"Maaf, Den. Kedai sudah mau tutup. Sudah terlalu malam," kata pemilik kedai yang
berusia sekitar enam puluh tahun. Lelaki kurus berpakain putih lusuh itu
berusaha menolak tamu dengan sopan dan sangat hati-hati.
"Aku hanya ingin menambah tuakku, Pak Tua."
"O, kalau hanya mau tambah tuak saya bisa melayani.
Mari, saya isi bumbung itu. Tapi saya hanya punya tuak Karangkajen, tidak punya
tuak Majalegi."
"Tak apa. Tuak mana saja aku bisa meminumnya."
Pemilik kedai segera mengisi bumbung bambu
dengan tuak persediaannya. Suto Sinting memperhatikan dari balik meja makan, ia
sempat melirik beberapa makanan yang masih belum terjual habis. Di antaranya
pisang goreng, ketan kelapa, jadah goreng, talas rebus, dan beberapa lainnya.
"Sebenarnya perutku lapar, Pak. Kalau Bapak tak keberatan aku ingin makan.
Apakah masih ada nasi jagung dan sayurnya?"
"Hmmm..." pemilik kedai itu menimbang-nimbang sebentar, ia kasihan dan tak tega
menolak melayani tamu yang satu itu. Akhirnya ia hanya bicara.
"Nasi jagungnya sudah dingin, Den. Sayurnya juga dingin."
"Tak apa, Pak Tua. Hidangkan satu piring untukku.
Aku bisa memakannya dengan tempe bacam ini."
Di samping tuak dalam bumbung sudah penuh, Suto juga memesan tuak dalam poci
sebagai minumannya selesai
makan
Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nanti. Pak Tua pemilik kedai menemaninya makan, karena ia terkesan dengan keramahan dan kesopanan Suto dalam bersikap.
"Aden dari mana mau ke mana" Kok malam-malam begini baru mengisi perut?"
"Saya sedang mencari seseorang. Teman saya hilang, terpisah di perjalanan.
Apakah Pak Tua melihat gadis berjubah kuning dengan pakaian dalam merah" Ia
membawa seruling gading."
"Kebetulan sejak siang saya tidak melihat gadis berciri seperti itu, Den," ujar
pemilik kedai. "Di mana Aden terpisah dengan gadis itu?"
"Di hutan sebelah barat sana."
"Wah, jangan-jangan gadis itu menjadi santapan si Loreng."
"Harimau maksudmu, Pak Tua?"
"Bukan. Tapi... hm... perampok ganas yang kerjanya merampok kesucian para gadis.
Dia tinggal di hutan sebelah barat sana, Den. Ia dikenal dengan nama: Dewa
Loreng." Pak Tua itu juga mengungkapkan rasa kagumnya atas keberanian Suto Sinting
melintasi hutan barat pada malam hari. Menurut Pak Tua, jika matahari telah
terbenam, tak seorang pun yang berani melintasi hutan tersebut walaupun hanya
melewati bagian tepi hutan saja.
Percakapan itu terhenti karena tiba-tiba seorang perempuan datang dan langsung
bicara kepada Pak Tua,
"Masih punya sepoci arak"! Aku minta dua poci, Pak Tua."
"Hmm... ehh... tapi kedai ini sudah mau tutup, Den Ayu. Saya sudah mau
istirahat."
"Aku hanya mau minum sebentar! Jangan khawatir, berapa pun harga arak itu akan
kubayar!" "Ehmm... bukan soal harga, tapi... tapi...." Karena mata perempuan itu memandang
tajam kepada Pak Tua, akhirnya Pak Tua ketakutan sendiri. "Tapi baiklah... saya
akan ambilkan pesanan Den Ayu."
Suto Sinting berlagak acuh tak acuh kepada perempuan yang menyandang pedang di punggungnya.
Rambutnya digelung sampai ke atas, tepian kanan-kiri dibiarkan terjulur sebagian
membentuk spiral.
Diam-diam Suto Sinting mengawasi perempuan yang duduknya sejajar dengannya. Tapi
Dendam Sembilan Iblis Tua 2 Joko Sableng Neraka Pulau Biru Perawan Lembah Wilis 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama