Ceritasilat Novel Online

Pembalasan Rikma Rembyak 1

Pendekar Naga Geni 16 Pembalasan Rikma Rembyak Bagian 1


1 KINI, DESA MIJEN telah sepi kembali setelah tiga
hari yang lalu diramaikan oleh kemeriahan pesta perkawinan dari Endang Seruni
dan Lawunggana.
Waktu itu Desa Mijen seperti mandi cahaya oleh puluhan lampu dian minyak ataupun obor-obor yang dipasang di setiap pojok desa dan jalan-jalan yang menuju ke rumah Ki Lurah Mijen.
Pertunjukan Wayang
kulit turut meramaikan malam itu.
Orang-orang pada berdatangan mengunjungi pesta
tersebut dari segenap pelosok desa dan dari daerah
luarpun tak terhitung banyaknya. Seperti akan runtuh rumah-rumah pedesaan oleh
keriuhan dan keramaian
tetabuhan gamelan yang mengiringi pertunjukan Wayang kulit dalam ceritera Gatutkaca Krama.
Malam itu adalah malam yang paling bahagia buat
pengantin berdua, Endang Seruni dan Lawunggana telah disatukan dalam ikatan perkawinan yang suci sebagai suami-istri yang bakal membina keluarga baru.
Inipun merupakan tugas baru pula yang tak kalah beratnya seperti ketika mereka menghadapi Ki Bango
Wadas serta gerombolan Bido Teles.
Ki Surotani, ayah kandung dari Endang Seruni, hadir pula pada pesta perkawinan itu, membuat perkawinan kedua pengantin menjadi
pertemuan yang mengharukan. Betapa gembiranya Ki Surotani ketika ia bertemu
kembali dengan putrinya yang dahulu telah disangkanya tewas ternyata masih hidup. Endang Seruni tidak lain adalah Pandan Sari, yakni adik kandung dari Pandan Arum.
Dan lebih menggembirakan lagi, bila Ki Surotani segera mengenal kembali sahabat lamanya yang kini telah menjadi Lurah Desa Mijen dan sebagai ayah angkat Pandan Sari selama itu.
Demikianlah, hari ini tampak adanya kesibukan halaman depan kelurahan. Beberapa ekor kuda telah disiapkan untuk suatu
perjalanan. Ki Lurah Mijen dengan istri, Lawunggana, Endang
Seruni, Pendekar Bayangan, para jagabaya telah selesai berjabat tangan dengan
Mahesa Wulung, Pandan
Arum, Ki Surotani dan juga Gagak Cemani. Mereka berempat akan segera meninggalkan desa ini untuk menempuh perjalanan mereka menuju ke Asemarang.
Sedang Nyi Surotani untuk beberapa hari masih
akan tinggal di Desa Mijen ini, karena ia masih sangat rindu kepada Endang
Seruni dan kelak ia akan kembali ke Asemarang dengan diantar oleh Endang Seruni
serta Lawunggana.
Ketika Pandan Arum berpamitan kepada Endang
Seruni, tiba-tiba memeluklah si pengantin baru ini kepadanya dibarengi isakan
tangis yang tertahan-tahan.
Sebagai seorang kakak, Pandan Arum dapat memaklumi akan keharuan Endang Seruni tadi. Bukankah sebagai seorang adik, Endang Seruni telah mendahuluinya dalam perkawinan.
"Kita akan bertemu lagi, Seruni. Dan ibu pun masih
tinggal di sini untuk sementara. Berbahagialah. Kami selalu berdoa untuk kalian
berdua," kata Pandan Arum sambil mencium pipi adiknya dan membelai rambut-nya.
"Terima kasih, Yunda. Terima kasih," ujar Endang
Seruni seraya membalas mencium pipi kakaknya,
hingga untuk sesaat keheningan dan keharuan mencekam suasana. Lebih-lebih ketika Pandan Arum dan rombongannya
telah berpacu meninggalkan halaman kelurahan menuju ke arah selatan, Endang Seruni tak dapat lagi
menahan tangisnya hingga Lawunggana terpaksa merangkul istrinya ini untuk dihiburnya.
Dalam pada itu, rombongan Ki Surotani telah semakin jauh dan sebentar itu pula mereka telah keluar da-ri gerbang Desa Mijen di
sebelah selatan. Debupun
naik ke atas, berkepulan oleh derapan kaki-kaki kuda yang melaju bagai angin.
*** Di tempat lain, dalam sebuah hutan kecil yang tak
jauh dari pantai, tampaklah seorang pemuda dengan
terengah-engah kepucatan, mengendap-endap di antara semak-semak. Sebentar-sebentar ia berhenti sambil mengawasi tempat-tempat di
sekitarnya dengan pandangan penuh curiga.
Tampaknya ia membawa sesuatu yang penting
ataupun berharga, kentara dari sikapnya yang sebentar merabakan tangannya pada ikat pinggangnya berhati-hati. Dan karena sikapnya itu pula, maka beberapa pasang mata yang tersembul dari celah dedaunan semak, senantiasa mengawasi gerakan
si pemuda tadi dengan
sorot mata yang setajam mata serigala-serigala kelapa-ran.
"Hmmm, itulah orangnya yang aku ikuti sejak ia
mendarat di pantai tadi, Kakang Gombong!" bisik seorang beralis tebal kepada
temannya. "Memang patut kita curigai orang itu!" jawab orang
yang bernama Gombong dan berperawakan kekar dengan mata yang sipit. Pada ikat pinggangnya yang berwarna merah, tergantung
sebilah pedang lebar bersarung kayu hitam, seperti kebanyakan yang dipakai
oleh prajurit Demak.
"Adi Balur dan Salung, kalian berdua memang bermata tajam. Aku bangga dan senang atas pekerjaanmu
yang bagus ini, dan pemimpin kita pun akan senang
pula bila mendengar laporanku nanti," ujar Gombong
sambil tersenyum lebar.
"Akh, betulkah itu, Kakang?" sela si Balur
"Heh, heh. Kalian tak percaya" Kalian berdua ada
harapan untuk naik pangkat! Heh, heh...," Gombong
berkata pula. "Eeh, terima kasih, Kakang. Terima kasih!" kata Salung dengan terbata-bata saking gembiranya. "Sebaiknya kita sergap cepat-cepat
orang itu!"
"Heh, heh. Kalian sudah tak sabar lagi rupanya,"
Gombong berkata seraya menatap kedua teman itu,
sementara beberapa orang temannya yang lain telah
bersiap-siap pula. "Yah, sekarang adalah saatnya!
Tangkap segera orang itu!"
Maka selesai Gombong berseru, berloncatanlah sosok-sosok tubuh manusia dari balik semak belukar
dan langsung mencegat si pemuda yang telah diincarnya itu. "Berhenti! Jangan melawan!" bentak Gombong dengan lantangnya, hingga si pemuda yang telah melihat dengan kagetnya orang-orang
yang bermunculan itu,
menjadi lebih kaget lagi. Maka secepat kilat ia memba-likkan diri ke belakang
untuk mengambil langkah seri-bu dengan segera.
"Horaaah! Akan minggat kemana kowe, haaah"!" sebuah bentakan menggeledek tahu-tahu telah menghadang si pemuda tersebut dan seketika tahulah ia, bah-wa dirinya telah terkepung!
"Ooh!" desis si pemuda seraya mendekapkan lebih
erat kedua belah tangannya ke atas ikat pinggangnya.
Hal ini membuat Gombong dan kawan-kawannya semakin tertarik dan curiga kepada pemuda tadi.
"Heei, bocah! Apa yang kau sembunyikan di dalam
ikat pinggangmu itu"!" seru Gombong lantang.
"Ess, tidak ada apa-apa," ujar si pemuda setengah
ketakutan. Tapi ketika ia melihat ikat pinggang dan pedang yang dipakai oleh
Gombong, hatinya menjadi
agak tenang sedikit. "Akh, Bapak dari prajurit kawal"!"
tanya si pemuda.
"Nah, kau sudah tahu siapa aku sebenarnya!" sahut
Gombong serta-merta. "Jika begitu, kau harus terus
terang kepadaku!" Gombong kelihatan tidak sabar dan kentara dari sikapnya yang
sebentar mengusap hulu
pedangnya. "Memang ada sesuatu yang akan kuutarakan kepada Bapak, sebab kebetulan sekali bahwa Andika
adalah prajurit kawal di daerah ini," ujar pemuda tadi.
"Mmmm, apakah yang akan kau katakan?"
"Aku mempunyai sebuah pesan yang harus kusampaikan kepada seorang tamtama Demak!" ujar si pemuda. "Huhh, sebuah pesan?" ulang Gombong agak terkejut. "Itu mudah. Nanti aku antarkan untuk menemui
tamtama tadi ke Demak. Engkau turut bersama saya
ke sana!" "Terima kasih, Bapak," ujar si pemuda dengan lega.
"Tapi bolehkah aku tahu, dari mana engkau datang?" bertanya si Gombong lagi.
"Aku baru saja lolos dari Pulau Mondoliko," berkata si pemuda tanpa kuatir apaapa, karena ia telah bertemu dengan seorang prajurit kawal dari Demak. "Dan
karenanya, saya harus cepat-cepat menyampaikan pesan tadi kepada seorang tamtama
Demak!" Gombong menjadi tercengang dan memandang wajah teman-teman lain yang juga ikut terperanjat oleh tutur kata dari si pemuda
tersebut. Sementara itu pula Balur dan Salung mengerdipkan mata kepada Si
Gombong. "Kalau begitu serahkan saja pesan itu kepada kami
sekarang, agar segera kami sampaikan kepada tamtama Demak!" berkata Gombong seraya mengulurkan
tangannya ke arah si pemuda.
Oleh sikap tersebut yang tampaknya sangat tergesagesa, si pemuda agak tertegun beberapa saat dan kemudian berkata dengan ragu-ragu. "Maaf, Bapak. Permintaan Andika kurang kupahami. Bukankah Bapak
tadi berkata hanya akan mengantarkan saja" Tetapi
mengapa pesan itu harus kuserahkan kepada Bapak?"
Gombong mengerutkan dahinya sebagai pertanda
bahwa hatinya mulai jengkel oleh ujar si pemuda tadi.
"Hmmm, kau tak melihat bahwa aku pun seorang prajurit kawal dari Demak?"
"Benar, Bapak. Namun pesan tertulis yang aku bawa ini harus kuserahkan sendiri kepada tamtama Demak." "Heeh. Apa bedanya" Pokoknya surat tersebut kan
sampai kepada kami!" berkata Gombong setengah
membentak. "Sayang, pesan yang aku bawa ini sangat pentingnya dan tak berani aku menyerahkannya kepada sembarangan orang, selain kepada tamtama Demak. Begitulah permintaan si pemberi pesan tertulis ini kepadaku!"
"Kurang ajar!" desis Gombong seraya melototkan
matanya. "Jadi engkau menggolongkanku sebagai
orang sembarangan"!" Gombong tampak semakin marah dan berseru kepada teman-teman lainnya. "Akan
kita apakan bocah ingusan ini?"
"Kita hajar saja sampai benjol dan bengkak-bengkak! Barulah pesan itu kita rampas!" seru Balur disertai tertawa lebar, hingga
giginya yang besar-besar dan agak kehitaman itu terlihat dengan kesan menyeramkan. "Ooh, tidak. Andika semua tak boleh memaksaku
demikian!" berkata si pemuda seraya melangkah ke
samping untuk lari. Tetapi sekali lagi ia dibuat terkejut bila sebuah ujung
pedang yang runcing dan tajam telah tertuju ke arah hidungnya! Ternyata Balur
telah mengancam dengan pedangnya.
"Kau minta dipaksa agar pesan itu segera kau serahkan kepada kami, ha"!" Gombong berseru.
"Meskipun kalian mengancam, aku tak akan menyerahkannya! Pesan tersebut lebih berharga dari nya-waku!" berkata si pemuda
tadi tanpa merasa takut, sebab kini ia tak melihat kemungkinan dapat lolos dari
kepungan orang-orang ini. Dan ia bertekad lebih baik hancur bersama pesan
tertulis itu daripada ia menyerahkannya kepada orang yang tidak berhak!
"Keparat! Copot lehermu, sekarang!" teriak Balur
sambil menebaskan pedangnya dengan nafsu amarah
yang berkobar, menggelegak laksana air bah tak tertahan oleh bendungan.
Tringng! Wessss!
Pedang tersebut mendesis ke arah leher si pemuda
yang sebentar lagi pasti terpenggal putus bila ia tidak cepat-cepat mengendap ke
bawah dengan gerakan gesit. Dengan begitu maka mata pedang tersebut cuma
sempat menebas beberapa lembar rambut si pemuda
yang masih bisa menyelamatkan lehernya itu.
Malahan saking kerasnya daya tebasan pedangnya
itu, si Balur hampir saja jatuh tersungkur ke depan bi-la ia terlambat memutar
gerakan tubuhnya ke samping. "Gila," desis Gombong dengan terbelalak. "Pandai
juga tikus cengeng ini menyelamatkan lehernya! Ayo, Balur! Jangan mau
dipermainkan bocah itu!"
Keruan saja si Balur menjadi naik darah. Sebagai
seorang jagoan bermain pedang, ia telah dibikin terke-coh oleh lawannya dalam
jurus awal. Maka sekali lagi
ia menyabetkan pedangnya ke samping ke arah dada si pemuda.
"Uuuuh," si pemuda ini mengelak seraya melangkah
surut ke belakang untuk menghindarkan dirinya, namun di saat itu pula si Balur telah melayangkan kepalan tangan kirinya ke dagu si pemuda.
Praaak! Kepala si pemuda terdongak ke atas ketika pukulan
tangan kiri si Balur melanda dagunya dengan jitu. Beberapa bintang berputarputar terlihat oleh pandangan mata si pemuda, berbareng rasa sakit pada dagunya
yang terasa bagai dipukul oleh pecahan batu gunung.
Seketika tubuhnya terhuyung ke samping. Akan tetapi dalam waktu yang singkat
tadi si pemuda sempat
menggerakkan kakinya untuk mengait kaki lawannya
dan berbareng dirinya jatuh, si Balur terpelanting pula ke tanah oleh serangan
si pemuda yang tanpa terduga sebelumnya.
Balur mengumpat-umpat setengah mati oleh kejadian tadi. Sementara itu pula, si pemuda dengan sigapnya bangkit kembali untuk melarikan diri karena ia melihat kepungan yang
lowong akibat jatuhnya si Balur. Sayangnya sekali ini si pemuda kurang mujur.
Sebab semenjak tadi Gombong selalu bersiaga dan begitu ia melihat si pemuda
hendak melarikan diri, secepat kilat ia telah mendahuluinya dengan tendangan
kaki yang mengarah ke lambung si pemuda.
Tendangan kaki tersebut memang dapat dilihat oleh
si pemuda dan iapun telah bersiaga untuk mengelak.
Hanya saja ia masih sedikit pusing, apalagi tendangan itu datangnya sangat


Pendekar Naga Geni 16 Pembalasan Rikma Rembyak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat, sehingga tanpa ampun lagi tendangan si Gombong melanda dirinya dengan
dahsyat. Bruuuk! "Aaakhh!"
Si pemuda jatuh menggelinding ke tanah sambil
megap-megap menahan sakit pada lambungnya.
Melihat pemuda itu roboh, Balur menjadi beringas.
Secepat kilat ia menubruknya dan menindih dengan
tubuhnya. Seketika itu pula tak berdayalah si pemuda tadi, tak ubahnya seekor
ikan yang telah kehilangan air, tinggal menanti ajal saja.
Dalam penglihatannya yang telah kabur, si pemuda
dapat melihat bahwa lawannya telah mengangkat tinggi-tinggi senjata pedangnya untuk segera dihunjamkan ke dalam dadanya.
Bagaikan telah terbang semangatnya, si pemuda
menjadi cemas seluruh sendi-sendi tulangnya dan ter-bayanglah olehnya, bahwa
sebentar lagi pasti dadanya akan tertembus oleh pedang orang itu dan ia akan
berteriak sekeras-kerasnya.
Yah, mungkin adalah teriakan yang terakhir yang
akan dilontarkan sehebat-hebatnya sebagai pertanda
kalau hidupnya akan segera berakhir.
"Aaaarghh!"
Terdengarlah teriakan dahsyat dan memekakkan telinga memenuhi hutan kecil ini. Akan tetapi..., ternyata bukan berasal dari
mulut si pemuda!
Bahkan si pemuda itu sendiri menjadi terkejut, sebab semula ia telah bersiap untuk berteriak, namun
kini teriakan itu bukan keluar dari mulutnya sendiri.
Tetapi yah sukar dipercaya barangkali! Teriakan tadi adalah keluar dari mulut
lawannya itu, yang telah siap membunuhnya!
Malahan si pemuda inipun menjadi lebih kaget lagi,
apabila pandangan matanya yang kembali normal itu
dapat melihat tangan kanan si Balur yang menggenggam pedang tahu-tahu melepaskan pedangnya serta
terpelanting jatuh ke tanah. Sementara pada punggung
telapak tangan si Balur sebelah tadi menancaplah sebilah daun ilalang yang
menembusnya laksana sebilah pisau tajam!
Balur segera bangkit sambil melolong-lolong kesakitan disertai perasaan ngeri pada hatinya bila ia menatap pada telapak tangan
kanannya. Segera terbayanglah olehnya, bahwa perbuatan itu adalah perbuatan
seseorang yang memiliki tenaga dalam sempurna dan
hebat yang telah melemparkan sebilah daun ilalang
tersebut sampai dapat menembus telapak tangannya.
Gombong, Salung, serta beberapa orang lainnyapun
ikut terkejut pula dan serentak mereka menoleh ke selatan, bila dari arah itu
terdengarlah orang tertawa menggelegas dengan lirihnya.
Demikian mereka menatap ke arah suara itu tadi,
begitu pula mereka tersentak kaget bagai disambar petir di siang bolong, karena
di arah sana itu tampaklah empat ekor kuda berhenti dengan masing-masing penunggangnya masih berada di atas punggung kuda.
Dua orang penunggang kuda yang di depan hampir
sama gagahnya. Yang seorang berkumis melintang,
dengan berjubah kain pada punggungnya, sedang pada
tangannya masih menimang dua lembar daun ilalang
di bagian ujung yang runcing. Di sebelah orang yang berkumis melintang ini,
tampaklah seorang berpakaian sederhana. Bajunya yang berwarna kebiruan setengah
terbuka sehingga sebentuk mata kalung yang dipakainya tersembul keluar dengan bentuk lingkaran cakra
dengan empat jari-jari mata angin! Kumisnya yang hitam kecil dan ikat kepalanya
yang berwarna biru agak ungu menambah kegagahan orang kedua ini.
Yah, itulah mereka, si Gagak Cemani dan Mahesa
Wulung! Dan yang berada di belakangnya tidak lain
adalah Ki Surotani dan Pandan Arum! Mereka dalam
perjalanan ke Asemarang.
Yang paling terkejut pertama-tama adalah si Gombong itu sendiri. Terutama ketika ia menatap Mahesa Wulung serta permata kalung
yang dipakainya itu! Tak salah lagi bahwa yang berada di hadapannya itu adalah
seorang perwira tamtama dari Demak! Dan pada
saat yang sama pula, Mahesa Wulungpun tertegun pula menatap si Gombong yang berpedang lebar dan berikat pinggang merah seperti yang biasa dipakai oleh seorang prajurit kawal dari
Demak! Di dalam hati, Mahesa Wulung merasa keheranan,
mengapa seorang prajurit kawal serta beberapa orang tersebut tengah menghajar
seorang pemuda. Bahkan
mereka hampir membunuh si pemuda itu bila tidak
keburu dicegah oleh si Gagak Cemani.
"Hai, Kisanak!" Seru Mahesa Wulung. "Mengapa kalian berlaku sekejam itu kepada anak muda tersebut?"
Tergagap si Gombong untuk menjawab pertanyaan
tadi dan sesaat kemudian iapun lekas-lekas berkata,
"Anak muda ini adalah seorang penjahat yang kami
jumpai dan ia melawan ketika akan kami tangkap!"
"Benar, Tuan!" sahut Salung pula dengan nada yang
meyakinkan seraya menunjuk kepada si pemuda yang
kini tengah tertatih-tatih untuk berdiri. "Dia membawa sebuah pesan yang sangat
mencurigakan!"
"Sebuah pesan"!" ulang Mahesa Wulung dengan heran dan menyebabkan ia tertarik karenanya. "Hai anak muda, pesan dari manakah
dan siapa nama Anda"!"
"Nama saya Pakerti, Tuan," jawab si pemuda sambil
mengawasi permata kalung yang tersembul dari balik
baju Mahesa Wulung. "Pesan yang saya bawa, datang
dari Pulau Mondoliko!"
"Ah, benarkah kata-katamu itu, Pakerti"!" ujar Mahesa Wulung. "Dan kepada siapa pesan itu ditujukan"!"
"Maaf, Tuan," kata Pakerti kemudian. "Aku melihat
permata kalung kepunyaan Andika itu, maka jelaslah
bahwa Andika adalah seorang wira tamtama dari Demak. Dan kepada Andikalah pesan tadi akan saya
sampaikan"
"Mengapa harus kepada saya?" tanya Mahesa Wulung. "Yah, begitulah maksud pesan tadi, Tuan. Ia harus
sampai kepada seorang tamtama Demak. Dan karena
Tuanlah tamtama yang pertama saya jumpai, maka
kepada Tuanlah pesan tadi akan kuserahkan," Pakerti berkata seraya melangkah
mendekati Mahesa Wulung.
"Mmm, baiklah. Untuk itu aku tak berkeberatan."
Pakerti segera mengambil sesuatu dari balik ikat
pinggangnya, dan tampaklah kemudian sepotong tabung bambu kecil tersumbat terpegang pada jarijarinya. "Nah, terimalah pesan ini, Tuan," ujar Pakerti seraya menyampaikan tabung bambu kecil tadi kepada
Mahesa Wulung yang masih duduk di atas punggung
kudanya sambil mengangguk hormat.
Dengan cekatan tapi juga hati-hati, Mahesa Wulung
menyambut benda itu dan segera melepas sumbat
yang menutup lobang tabung bambu tersebut. Kemudian ia mengetuk-ngetukkan tabung bambu tadi ke
atas telapak tangan kiri dan sejurus kemudian keluarlah segulung kertas kecil.
Mahesa Wulung segera membukanya dan membaca
beberapa tulisan yang tergores pada kertas kecil dengan manggut-manggut serta
menatap wajah Pakerti
beberapa kali. Sementara itu Gombong dan kawan-kawannya saling berpandangan ketika Mahesa Wulung membaca
pesan tertulis pada kertas kecil tadi.
"Baiklah. Aku telah menerima pesan ini. Tapi Anda
harus ikut aku ke Demak, sebab ada beberapa pertanyaan yang ingin kusampaikan kepadamu!" ujar Mahesa Wulung. "Terima kasih, Tuan. Dengan senang hati saya akan
mengikuti Andika!" berkata Pakerti dengan wajah cerah dan perasaan aman, sebab berarti ia akan terhindar dari kemungkinan akan
kemarahan orang-orang
itu. Memang begitulah. Rupanya Mahesa Wulungpun telah memperhitungkan kemungkinan akan bahaya-bahaya yang bakal dialami Pakerti bila ia begitu saja meninggalkan si pemuda di
tempat ini pula.
"Marilah kita berangkat ke Demak sekarang!" berkata Mahesa Wulung seraya menolong Pakerti naik ke
atas punggung kudanya dan kemudian duduk di belakangnya. Begitulah keduanya kini telah duduk di atas satu punggung kuda.
Si Gombong melihat semua ini dengan hati yang geram, tapi ia tak berani gegabah memperlihatkan kema-rahannya di hadapan wira
tamtama dari Demak ini.
Apalagi bahwa nama Mahesa Wulung sangat dikenalnya, baik tentang kesaktian maupun pangkatnya. Oleh sebab itu ia cuma mengutukngutuk sendiri di dalam
hati dan untunglah ia dapat menahan diri sambil berkata hormat, "Harap dimaafkan
tindakan kami, Tuan.
Saya si Gombong dan kawan bertindak begitu karena
menjaga kewaspadaan semata-mata."
"Lupakan saja kejadian tadi, Kisanak Gombong,"
jawab Mahesa Wulung dibarengi senyumnya yang ramah. "Malah karenanya, saya berasa senang bahwa
Andika telah menjalankan tugas dengan sebaikbaiknya." "Terima kasih, Tuan," Gombong berkata serta melirik ke arah Balur yang terluka dan kawan-kawan lainnya yang telah menanti,
kemudian berkata pula. "Kami mohon permisi meninggalkan Tuan-tuan sekarang!"
"Silakan, Gombong. Dan obatilah temanmu yang
terluka itu," ujar Mahesa Wulung kepada mereka dan
sesaat lagi, si Gombong dan kawan-kawannya telah
berjalan ke arah timur dan lenyaplah mereka di balik pepohonan rimbun.
Di saat itu pula, Mahesa Wulung, Gagak Cemani,
Pandan Arum, Ki Surotani serta Pakerti telah mulai
melarikan kudanya ke arah barat daya.
"Adimas Mahesa Wulung," begitu kata Gagak Cemani ketika ia telah berpacu di samping Mahesa Wulung. "Aku terpaksa melukai orang tadi. Harap Andika tidak menjadi gusar
karenanya."
"Tidak, Kakang Cemani," kata Mahesa Wulung. "Sudah sepatutnya Andika berbuat demikian. Jika tidak, pasti Pakerti ini telah
mengalami cedera. Bukankah begitu, Pakerti?" berkata Mahesa Wulung seraya
menoleh ke belakang, kepada Pakerti yang membonceng di
punggung kudanya.
"Benar, Tuan," sahut Pakerti. "Hampir saja nyawaku melayang jika Tuan Gagak Cemani tidak lekas bertindak. Mereka tadi telah sedemikian nekadnya untuk merampas pesan tertulis yang
telah saya bawa tadi.
Apakah mereka telah salah sangka terhadapku,
Tuan?" "Bisa juga demikian, Pakerti. Tapi aku belum yakin," kata Mahesa Wulung.
"Yang bernama Gombong tadi, memang berciri sebagai prajurit kawal dari Demak!" sambung Gagak
Cemani pula. "Tapi benarkah bahwa ia seorang prajurit yang sesungguhnya" Maksud
saya apakah Adimas pernah mengenalnya?"
"Jika tidak keliru, memang aku pernah melihatnya
beberapa waktu yang lalu di pinggiran kota Demak. Ia adalah seorang prajurit
kawal yang baru," jawab Mahesa Wulung.
"Dan teman-temannya itu," kata Gagak Cemani pula, "agak mencurigakan. Demikianlah perasaanku!"
"Memang benar, Kakang Cemani," sambut Mahesa
Wulung. "Sebagai seorang prajurit kawal, ia telah ber-kawan dengan orang-orang
kasar. Entah siapa mereka
itu, aku tak mengenalnya. Dan apa maksud mereka
bersama-sama dengan si Gombong itu?"
Pertanyaan tersebut diam-diam tertanam pula di
dalam dada Pakerti sejak tadi, ketika ia dicegat oleh Gombong dan kawankawannya. "Tuan Tamtama, apakah surat yang aku bawa tadi cukup berharga bagi
Andika?" "Sangat penting, Pakerti. Karenanya, aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Anda!" berkata Mahesa Wulung. "Si pengirim namanya
adalah Jagal Wesi. Kenalkah engkau kepadanya?"
"Dialah yang telah menolongku lari dari Pulau Mondoliko itu, Tuan. Dengan begitu maka loloslah saya da-ri maut dan kematian yang
dijatuhkan oleh iblis Rikma Rembyak," ujar Pakerti.
"Hmm, jadi yang menolongmu adalah Jagal Wesi.
Tapi Jagal Wesi itu sendiri adalah anak buah dari gerombolan Pulau Mondoliko,
dan berarti pula anak
buah si Rikma Rembyak!"
"Begitulah, Tuan," sambung Pakerti. "Tetapi aku
yakin bahwa Jagal Wesi adalah orang baik-baik!"
"Baiklah, Pakerti. Soal ini akan kita bicarakan lebih lanjut nanti. Kita akan
segera singgah di Demak dan engkau akan tinggal di sana serta aku titipkan pada
seorang sahabat. Sedang kami berempat akan terus ke Asemarang untuk mengantarkan
Bapak Surotani ke
sana. Setelah itu kami akan kembali ke Demak dan ki-ta lanjutkan lagi urusan
dari pesan tertulis si Jagal Wesi ini," begitu kata Mahesa Wulung kepada
Pakerti. Keempat kuda itu menderap pada jalan berbatubatu yang menuju ke arah kota Demak. Beberapa kali
mereka mulai berpapasan dengan orang berjalan kaki
membawa dagangan, maupun gerobak-gerobak pedati
lembu yang mengangkut kayu bakar ataupun barangbarang lainnya.
Itulah pertanda bahwa mereka telah lebih dekat
dengan kota Demak, kota yang menjadi pusat pemerintahan di daerah yang maha luas itu. Beberapa rumah
penduduk dan warung-warung terlihat sudah.
Breeng! Breeng! Breeng!
Terdengarlah bunyi tembor perunggu yang ditabuh
orang dari tepi jalan tak jauh dari sebuah warung.
Karenanya, perhatian Mahesa Wulung dan rombongannya menjadi tertarik oleh beberapa orang yang
berkerumun, dari mana suara tadi berasal. Semakin
lekat dari gerombolan orang yang berkerumun tadi terdengarlah suara keras,
"Saudara-saudara, inilah cangkul-cangkul hasil buatanku yang sangat kukuh dan
bagus. Belilah beramai-ramai! Murah harganya! Nah,
apakah Anda membutuhkan pisau dapur, parang
ataupun sabit" Semua tersedia!"
Demikianlah suara itu terlontar dari mulut si pedagang cangkul yang menawarkan barang dagangannya.
Wajahnya agak persegi dihiasi oleh kumis lebat dan


Pendekar Naga Geni 16 Pembalasan Rikma Rembyak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepasang mata yang tajam berkilauan dan agak hijau
seperti seolah-olah bukan mata manusia layaknya.
"Saudara-saudara, belilah barang daganganku ini!
Apakah Anda ingin melihat barang buatanku ini" Nah, lihatlah! Ini dia, akan
segera kutunjukkan kepada An-da semua betapa tajam dan sempurnanya!" ujar si wajah persegi seraya mengobat-abitkan sebilah parang di tangannya. Angin siang
bertiup dengan membawa beberapa daun kering layu yang tertanggal dari ranting
pohon dan di saat beberapa lembar lewat di depan si wajah persegi, tiba-tiba
terdengarlah suara....
Wuuuuk! Wuuuk! Tiga buah daun layu, masing-masing terbelah menjadi dua bagian akibat tebasan parang si wajah persegi. "Nah, Saudara-saudara! Apakah Anda masih sangsi
akan ketajaman parang buatanku ini?" ujar si wajah
persegi. Beberapa orang sangat tertarik dan membeli beberapa barang dagangan si wajah persegi tadi. Sungguh pandai orang ini memikat
para pembeli. "Heh, heh, terima kasih! Terima kasih!" seru si wajah persegi dengan gembiranya. "Dan kini terlihatlah lanjutan dari kesempurnaan
parang ini!" Si wajah persegi lalu memutar parang tadi di depannya dan
terdengarlah bunyi mengaung seperti sekawanan lebah yang
beterbangan. Nguuungngng! Baik Gagak Cemani, Mahesa Wulung, Pandan Arum
serta Ki Surotani dan Pakerti yang telah dekat dengan orang-orang berkerumun di
tepi jalan itu, menjadi kagum dan heran oleh pameran si wajah persegi tersebut. Mereka memperlambat kudanya sehingga kini kuda-kuda tersebut cuma berjalan kecil-kecil, sementara kelima orang yang berada
di punggungnya, menyaksikan parang bersuara tadi dengan tak habis herannya.
Di saat mereka semakin dekat, terjadilah sebuah
kehebatan yang tidak tersangka-sangka datangnya.
Parang yang lagi berputar dengan mengaung tadi tiba-tiba disambar oleh sebutir
batu yang melesat dari belakang para penonton dengan kecepatan yang tak dapat ditangkap oleh mata.
Akibatnya, parang tadi terpental lepas dari tangan si wajah persegi yang
kemudian langsung meluncur ke
arah leher Gagak Cemani dengan kecepatan dahsyat
dan luar biasa!
Beberapa orang segera menjerit ngeri bercampur
kaget, termasuk Pandan Arum, Ki Surotani, Mahesa
Wulung dan Pakerti.
Adapun Gagak Cemani sendiri hampir tak dapat
melihat parang yang meluncur dari arah depan yang
lurus menuju ke lehernya. Oleh sebab itulah ia tertegun, ketika orang-orang pada berteriak ke arahnya yang maunya memperingatkan
akan bahaya yang bakal tiba.
Dalam saat itu pula Mahesa Wulung yang berkuda
di samping Gagak Cemani, lebih dapat melihat jelas
akan sebuah parang yang melesat ke arah sahabatnya
itu. Cepat ia bersiaga. Sebagai seorang sahabat, Mahesa Wulung tak mungkin
membiarkan Gagak Cemani akan
mendapat cedera, terlebih lagi oleh serangan-serangan gelap yang demikian itu.
Maka secepatnya Mahesa Wulung melolos sesuatu
dari ikat pinggangnya dan sekaligus dilecutkan ke arah parang yang lagi melesat
ke arah sahabatnya.
Duaaarrr! Pletaak!
Bunyi lecutan seperti mercon terdengar mengejutkan setiap orang, ketika ujung cambuk Naga Geni di tangan Mahesa Wulung tepat
menyambar parang tersebut dan akibatnya pula, parang tadi patah menjadi dua
bagian dengan asap berkepul seperti habis di-panggang.
Bersama potongan-potongan parang itu tercampak
jatuh di tanah, dari belakang para penonton yang ber-gerombol di situ,
melesatlah sesosok bayangan manusia dengan gesitnya ke arah selatan, melarikan diri.
Melihat itu, Mahesa Wulung yang bermata tajam segera dapat menangkap gerakan si bayangan tadi dan
iapun segera pula meloncat dari punggung kudanya
untuk mengejar si bayangan ke arah selatan. Hampir
saja oleh gerakan Mahesa Wulung yang tiba-tiba ini, Pakerti yang berada di
belakang akan jatuh ke samping. Untungnya ia lekas-lekas berpegang pada pelana
kuda. Di waktu itu juga, Gagak Cemani menjadi marah
dan melesatlah si pendekar berjubah ini dari kudanya langsung menyerang si wajah
persegi, yakni si peda-gang cangkul yang tadi memamerkan permainan parangnya. "Keparat! Kau pengecut! Menyerangku secara gelap.
Sekarang terimalah hukumanmu, bangsat!" teriak Gagak Cemani sambil melancarkan pukulan tangannya
ke arah si wajah persegi.
"Aaaah, tunggu dulu... aku tak bermaksud...," desah si wajah persegi seraya mengelak dengan gesitnya terhadap pukulan tangan si
Gagak Cemani. Wuuut! Sesaat si pendekar berjubah ini kagum bahwa si
wajah persegi mampu mengelakkan serangannya.
Akan tetapi Gagak Cemani secepat kilat melancarkan
tendangan kakinya yang tepat melabrak pinggang si
wajah persegi. Bruuuk! "Uugh!"
Si wajah persegi terguling roboh ke tanah, namun
kembali dengan gerakan lincah ia menggelindingkan
tubuhnya ke samping dan begitu bangkit ia telah menyambar sebilah pacul dan menyabetkan ke arah Gagak Cemani. Sriiing... Tjraaasss! Tak! Taaak!
Terdengar bunyi ganjil berturut-turut dan tahutahu, pacul di tangan si wajah persegi terputus menjadi tiga bagian, sehingga si
wajah persegi melongo keheranan. Yang tampak kemudian, Gagak Cemani itu
memasukkan kembali golok hitamnya ke dalam sarungnya seraya tertawa menggelegas.
"Sekarang kau boleh menunjukkan semua permainan senjatamu di hadapan Gagak Cemani ini, penyerang gelap yang terkutuk!" seru Gagak Cemani dengan menunjuk ke arah muka si
wajah persegi. "Saudara memang hebat!" ujar si wajah persegi kepada Gagak Cemani. "Tetapi Anda jangan mendakwa
Wisamala dengan semena-mena untuk berbuat serendah itu! Aku bukan penyerang gelap! Aku tak sengaja melepaskan parang tersebut
dari tanganku!"
"Hmmm, aku tidak akan percaya begitu saja terhadap kata-katamu itu. Yang terang, parangmu tadi
hampir menembus leherku!" ujar Gagak Cemani. "Dan
untuk itu, kau harus mendapat sedikit pelajaran dari Gagak Cemani! Hyat!"
Dengan kecepatan kilat, Gagak Cemani melancarkan pukulan dahsyat disertai loncatan ke arah Wisamala. Si wajah persegi itu dengan gugup menyilangkan kedua tangannya ke depan
ketika pukulan Gagak Cemani melanda dirinya dan menangkisnya.
Duuuk! Wisamala terpental ke belakang jungkir balik dengan nafas terengah-engah dan di saat itu pula Gagak Cemani terus mengejar tubuh
lawan yang sedang
menggelinding. Tanpa memberi kesempatan, si pendekar berjubah menggenjotkan kakinya ke arah tubuh
Wisamala. "Heittt!"
Braaak! Dalam saat berbahaya, Wisamala masih sempat
menggenjotkan kakinya ke tanah disusul tubuhnya
melenting ke udara menghindari genjotan kaki Gagak
Cemani. Meskipun meleset, genjotan kaki Gagak Cemani menimpa sebuah batu besar dan akibatnya batu tersebut hancur berkeping-keping.
Keruan saja Wisamala terperanjat, dan sekaligus ia
sadar bahwa lawannya yang berjubah itu adalah pendekar yang sakti. Itulah sebabnya maka Wisamala segera bersiaga dengan sepenuhnya dan ketika Gagak
Cemani menyerang kembali, ia telah siap dan menyambutnya. *** Sementara itu, di sebelah selatan, Mahesa Wulung
dengan loncatan-loncatan panjang mengejar si bayangan yang tengah melarikan diri. Ternyata orang ini mampu berlari dengan
cepatnya. Kejar-mengejar terjadi dengan sengitnya. Dan anehnya, si bayangan tadi berlari sambil tertawa terkekeh-kekeh, membuat Mahesa
Wulung semakin marah.
Cambuk Naga Geni yang berada di tangannya segera
dicambukkan ke arah depan dan terdengarlah letupanletupan menggelegar disertai hempasan udara panas
yang hebat. Si bayangan terperanjat dan kemudian ia melesat
ke atas dahan pohon dan hinggap di situ. Akan tetapi, ujung cambuk Naga Geni
terus mengejarnya dan menyambar dahan tadi.
Duaaar! Kraakk!
Dahan pohon tadi semplak dan ambruk berkepi-ngan menjadi arang, sedang batang
pohonnya seketika condong ke samping dan kayunya kering!
Si bayangan mendesis kaget sambil melesat ke samping dan berpindah ke dahan pohon di sebelahnya,
disertai tertawanya.
"Ha, ha, ha, kau memang hebat, sobat!" teriak si
bayangan. "Tapi sayang aku tak bisa melayanimu bermain-main lebih banyak. Akulah si Dobleh Kelana, dan
sampaikan salamku buat Gagak Cemani! Sampai, bertemu lagi!" demikian ujar si Dobleh Kelana yang berbi-bir tebal dan kemudian ia
melesat kembali ke pohon di sebelahnya, untuk selanjutnya kabur ke arah selatan.
Melihat lawannya kabur, Mahesa Wulung menggeram jengkel tapi ia tak berbuat apa-apa dan membiarkan Dobleh Kelana itu lenyap
di balik pohon-pohon besar, sebab di saat ini ia masih mempunyai persoalan yang
lebih penting! Mahesa Wulung sadar, bahwa Dobleh Kelapa itulah
yang mengganggu permainan parang si wajah persegi,
sehingga parang tersebut sampai terlepas dan menyambar Gagak Cemani! Dengan sentilan sebutir batu
yang sempat dilihat oleh Mahesa Wulung, Dobleh Kelana telah berhasil membentur lepas parang tadi!
Kini secepat kilat Mahesa Wulung menyimpan cambuknya kembali dan memutar tubuhnya ke samping,
dan selanjutnya ia melesat ke arah utara kembali, ke arah peristiwa tadi telah
terjadi. Sejak semula Mahesa Wulung telah cemas akan terjadinya salah sangka dalam diri Gagak Cemani. Dan
rupanya saja hal inilah yang dikehendaki oleh si Dobleh Kelana yang licik dan
penuh siasat itu.
Ternyata dugaan tadi tidak meleset! Ketika Mahesa
Wulung tiba di tempat semula, tampaklah olehnya
bahwa Gagak Cemani telah bertempur hebat melawan
si wajah persegi atau si Wisamala itu!
Pertarungan dahsyat terjadi di situ, sedang semua
orang di sekitarnya saling melongo dan kagum melihat kejadian tadi. Wisamala
kelihatan terdesak lama-kelamaan. Betapapun ia bertahan sekuat mungkin
namun gerakan Gagak Cemani bertambah gesit dan
tangkas. Sekali-sekali pendekar berjubah ini menerjang bagaikan amukan seekor banteng dan lain kali ia menukik dari atas laksana
seekor garuda yang menerkam korbannya. Beruntunglah kiranya, bahwa Wisamala masih
mempunyai tenaga dan dapat mengatur nafasnya sehingga ia masih sempat menghindar ke sana-kemari
apabila serangan Gagak Cemani itu datang kepadanya.
Sesaat kemudian, sebuah dupakan tumit Gagak Cemani sempat menyelonong dan membentur dada Wisamala, sehingga wajah persegi ini terhuyung mundur
sambil terbatuk-batuk dengan dada sesak.
Wisamala meringis kesakitan. Pada sudut mulutnya
terlihatlah darah segar meleleh ke bawah. Tiba-tiba mata Wisamala yang berkilat
kehijauan itu menatap
tajam ke arah Gagak Cemani dibarengi mulutnya berteriak lantang.
"Gagak Cemani! Sudah kukatakan bahwa aku tak
bermaksud buruk terhadapmu! Tapi kau masih berkeras kepala. Sekarang lihatlah ini!" Wisamala tampak menggosok-gosokkan kedua
telapak tangannya dan ke-luarlah asap mengepul.
Gagak Cemani sangat kaget melihat asap yang keluar dari celah kedua telapak tangan Wisamala yang
tengah digosok-gosokkan itu. Begitu pula Mahesa Wulung yang baru tiba di tempat itu serta orang-orang lainnya, ikut terkejut
menyaksikan perbuatan Wisamala tadi.
"Lihatlah, sobat! Aku terpaksa mengeluarkan ajiku
Hagni Kurda ini, disebabkan oleh sikapmu yang keras kepala dan mendakwaku dengan
ngawur!" demikian
seru Wisamala kepada Gagak Cemani. "Dan jangan salahkan, jika engkau cedera karenanya!"
Habis berkata demikian, Wisamala melirik ke sebuah pohon melinjo yang tumbuh tidak jauh dari Gagak Cemani berdiri dan kemudian iapun berseru lantang. "Gagak Cemani! Tataplah pohon melinjo di sebelah itu! Haaaisss!"
Kedua telapak tangan Wisamala yang berasap tibatiba dihempaskan ke arah pohon melinjo tadi, yang
berjarak kurang lebih sepuluh tombak! Dan seketika
itu juga menyemburlah udara panas yang keluar dari
kedua telapak tangan Wisamala dan dengan dahsyatnya menerjang pohon melinjo tersebut.
Gagak Cemani yang berdiri tidak jauh dari pohon
tadi dapat merasakan udara panas yang menyambar,
dan lebih terkejut lagi bila pendekar berjubah ini menyaksikan akibat ilmu Hagni
Kurda yang dilontarkan
oleh Wisamala. Burung-burung beterbangan dengan
mencicit takut.
Wuuuut! Wessstt!
Udara panas, sepanas kobaran api seketika melanda pohon melinjo yang bernasib malang dan sejurus
kemudian, daun-daunnya mulai layu sedang buahnya
berontokan jatuh, disusul batang pohon itu tumbang
dengan asap mengepul!
Maka terbukalah kesadaran Gagak Cemani, bahwa
lawannya itu memiliki ilmu yang tinggi yang pasti akan membahayakan dirinya.
Oleh sebab itu, Gagak Cemanipun diam-diam mempersiapkan ilmunya untuk


Pendekar Naga Geni 16 Pembalasan Rikma Rembyak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi.
"Wisamala! Ilmu yang kau pamerkan tadi cukup hebat. Aku kagum karenanya! Tapi itu bukan berarti
bahwa aku menjadi takut menghadapimu!" ujar Gagak
Cemani. "Kau mulai takut, sobat"!" teriak Wisamala setengah mengejek dengan hidung nyengir-nyengir dan
mata meriyip-riyip separuh terpejam bernada merendahkan lawannya.
"Baiklah, Wisamala," kata Gagak Cemani pula. "Kau
telah menunjukkan ilmumu yang hebat. Sekarang
engkaupun harus melihat sedikit permainanku ini!"
Sambil berkata si Gagak Cemani yang sejak tadi telah bersiaga, secepatnya mengarahkan tenaga dalamnya. Sementara itu, beberapa ekor burung terbang melintas di atas arena
pertandingan. "Wisamala! Kau lihat tiga ekor burung gelatik yang
terbang itu" Saksikanlah mereka, dan inilah Bayu Kikis!"
Daaaahhh! Si Gagak Cemani tiba-tiba mendorongkan ujung telapak tangan kanannya ke atas ke arah tiga ekor burung gelatik tadi dan akibatnya sungguh-sungguh hebat! Ternyata dorongan ujung telapak tangan Gagak
Cemani telah memancarkan hawa dingin sedingin es
atau sedingin udara di puncak gunung. Begitu tiga
ekor burung gelatik tadi terlanda oleh hawa dingin, maka seketika bekulah
darahnya dan ketiganya jatuh
tercampak di atas tanah dengan sayap masih mengembang dan tubuh kaku yang seperti patung! Ketika ketiganya jatuh,
terdengarlah bunyi berdentang, seperti bunyi tiga benda logam yang terjatuh.
"Uuuh!" desak Wisamala terperanjat! Dengan mata
yang melotot seperti tak percaya ia menyaksikan ketiga burung gelatik itu rontok
di tanah, tidak jauh dari kakinya berdiri.
Wisamala mencoba memungut salah satu bangkai
burung gelatik tadi. Tapi begitu tangannya memungut dan mengangkatnya, seketika
itu pula ia mencampak-kan bangkai gelatik itu kembali sambil mengibas-ngibaskan
tangannya yang terasa dingin dan beku!
"Heh, heh, heh," terdengar Gagak Cemani tertawa
menggelegas kegelian melihat tingkah si Wisamala.
"Gelatik itu telah menjadi patung beku, sobat!"
"Kurang ajar!" dengus Wisamala marah. "Kau mempermainkan aku! Kau menantangku untuk mengadu
ilmumu tadi"!"
"Terserah jika sobat mengartikannya demikian! Aku
telah bersedia," jawab Gagak Cemani tenang.
Mendengar jawaban lawannya, darah Wisamala seperti menggelegak dan naik ke kepalanya. Kemarahannya meledak, seperti lahar gunung berapi yang mendesak keluar!
"Keparat!" teriak Wisamala. "Bersedialah untuk
menjelang kematianmu, Gagak sombong!"
"Heh, heh, heh," tawa si Gagak Cemani. "Sejak tadi
aku telah bersiaga dan mulailah sekarang!"
Masing-masing selesai berkata dan keduanya telah
mengerahkan ilmu dan kekuatan tenaga dalamnya,
sedang orang-orang yang menyaksikannya menjadi
cemas dan ketakutan. Beberapa penonton menyingkir
mundur, sebab mereka takut kalau-kalau akibat benturan kedua ilmu dahsyat tadi akan menimbulkan
bencana bagi dirinya.
"Haaiit!" Daahhh!
Terdengar seruan keras berbareng ketika Wisamala
menghempaskan kedua telapak tangannya ke depan
ke arah Gagak Cemani, sementara pendekar muda berjubah inipun mendorongkan ujung telapak tangannya
ke depan untuk menyambut serangan Wisamala.
Tanpa diduga, Mahesa Wulung yang sejak tadi diam-diam menyaksikan pertandingan tadi, telah mempersiapkan diri. Ia tak ingin bila di antara mereka menderita cedera karena
kesalahan yang berdasarkan
salah paham dan salah duga semata-mata.
"Tahan!" teriak Mahesa Wulung sambil melanjutkan
pukulan jarak jauh yang dilandasi ilmu simpanannya
- Lebur Waja, ke depan, untuk memotong lontaran ilmu Hagni Kurda dan Bayu Kikis sebelum keduanya
bertemu dan saling membentur.
"Heeiiittt!" Blaaarr!
Ledakan dahsyat seperti ratusan petir bersamasama meledak terdengar menggelegar di sekitar tempat itu. Pekik dan jerit
ketakutan terdengar dari mulut pa-ra penonton, sementara empat ekor kuda dari
rombon- gan Mahesa Wulung yang berhenti di situ meringkikringkik dan mendongakkan kepalanya ke atas dengan
paniknya. Sedang Gagak Cemani dan Wisamala sendiri tak kalah kagetnya. Seketika keduanya tergetar surut beberapa langkah akibat benturan
ketiga ilmu tenaga dalam yang dahsyat tadi.
"Maafkan, Kakang Gagak Cemani. Aku terpaksa
mencampuri pertandingan kalian. Sebab sebenarnya
Kisanak Wisamala ini tidak bersalah!" seru Mahesa
Wulung seraya meloncat mendekati Gagak Cemani.
"Haah! Tidak bersalah, kata Adimas Wulung"!" ujar
Gagak Cemani setengah berseru saking herannya. "Bagaimana Adimas Wulung bisa berkata demikian"!"
"Sabarlah, Kakang Gagak Cemani," Ujar Mahesa
Wulung. "Ketika Kakang menyerbu Kisanak Wisamala,
aku dapat melihat sesosok bayangan manusia berkelebat lari ke arah selatan. Aku segera mengejarnya dan ternyata orang inilah yang
menyampok parang dari Kisanak Wisamala sehingga parang tadi terlepas dan
meluncur ke arah Kakang Cemani!"
Mendengar keterangan Mahesa Wulung, si pendekar
berjubah ini terperanjat bukan kepalang dan mendesahlah si Gagak Cemani. "Huh" Siapa yang berbuat
kurang ajar seperti itu"!"
"Dia tidak lain adalah si Dobleh Kelana, ketua dari Setan Enam Serangkai dari
Gunung Kendeng!" kata
Mahesa Wulung. "He, jadi si setan licik itu pula yang mencoba mengadu-domba!" seru Gagak
Cemani. "Aakh, jika begitu
Kisanak Wisamala itu tidak bersalah!"
Di saat itu, Wisamala yang masih berdiri tegak di
tempatnya, menatap ke arah Mahesa Wulung dan Gagak Cemani dengan perasaan penuh tanda tanya. Bahkan ia telah bersiaga jika seandainya kedua orang itu menyerang dirinya, ia akan
bertahan sampai ke titik darah yang penghabisan.
Wisamala masih merasakan darah yang meleleh di
sudut mulutnya akibat pukulan Gagak Cemani beberapa saat yang lalu. Kini hatinya menjadi tambah berdebar-debar ketika Gagak
Cemani dan Mahesa Wulung
melangkah ke arahnya dengan perlahan-lahan.
"Huh, kalian berdua mau mengeroyokku"!" ujar Wisamala sambil bersiaga memasang kuda-kudanya.
"Sabarlah, Kisanak," sapa Mahesa Wulung dengan
nada ramah. "Aku tahu bahwa Andika tidak sengaja
melontarkan parang tadi kepada Kakang Gagak Cemani. Memang ada orang jahil yang mengganggu permainan parangmu!"
"Hmm, sudah sejak tadi aku katakan hal itu. Tetapi
sayang ia terlalu keras kepala sehingga hampir saja terjadi hal-hal yang tidak
kita inginkan!" ujar Wisamala seraya menghapus darah di sudut mulutnya dengan
lengan baju luriknya.
"Aku minta maaf, sobat!" berkata Gagak Cemani dengan nada menyesal. "Memang aku terburu nafsu, menuduhmu yang bukan-bukan."
Mendengar pernyataan maaf dari Gagak Cemani
yang tulus ikhlas tadi, Wisamala mengangguk pelahan.
Betapapun hatinya masih panas membara, namun hati
kecilnyapun telah pula menerima pernyataan maaf si
pendekar berjubah. Bahkan hati kecilnya juga mengaku salah, karena ia telah menyerang Gagak Cemani
dengan ilmunya Hagni Kurda yang terbilang dahsyat
itu. Untung saja tidak ada korban yang jatuh.
Tetapi dengan munculnya Mahesa Wulung yang telah sanggup menggagalkan benturan ilmunya terhadap
ilmu Bayu Kikis si Gagak Cemani, mau tak mau Wisamala memujinya.
"Akupun minta maaf, Kisanak," berkata Wisamala
menyambut ucapan Gagak Cemani tadi. "Manusia lumrah membuat kesalahan. Namun aku ingin tahu tentang si penyerang gelap itu. Ternyata tenaga dalamnya cukup hebat. Dengan
sentilan batu saja, ia telah
mampu menyampok lepas parang itu dari tanganku!"
"Hmm, memang dia musuh lamaku. Selama ini aku
selalu berusaha memburunya dan ternyata dia telah
keluyuran sampai di tempat ini!" ujar Gagak Cemani.
"Dan perbuatannya memang sengaja untuk mencelakakan aku serta mengadu domba kita!"
Sekali lagi Wisamala manggut-manggut oleh keterangan dari Gagak Cemani yang telah menjelaskan siapa sebenarnya Dobleh Kelana, si
penyerang gelap itu.
"Kisanak Wisamala," Gagak Cemani berkata seraya
mengeluarkan sebuah slepen atau dompet yang terbuat dari tikar anyaman. "Anda
telah terkena gempur kakiku beberapa saat yang lalu. Nah silakan Anda me-nelan
obat ini, agar dadamu menjadi segar kembali."
Wisamala menerima sepotong obat yang berbentuk
bulat gepeng sambil mengucap terima kasih, serta me-nelannya sekali. Maka
terasalah rasa pedas-pedas segar yang mengalir ke tenggorokan bersama aliran
nafas dan sampai ke paru-paru. Hingga akhirnya dadanya
yang semula sesak, kini menjadi lapang kembali.
"Eh, ke manakah tujuan Anda dengan berkuda itu?"
tanya Wisamala.
"Saya sedang mengantar sahabat-sahabat kami ke
Asemarang," jawab Gagak Cemani. "Dan inilah salah
satu di antara sahabat saya yang bernama Mahesa
Wulung, seorang wira tamtama Demak."
"Oh, jadi... jadi Andalah yang bernama Mahesa Wulung"!" seru Wisamala dengan tergagap saking gugup
yang bercampur rasa kagum. "Nama Andika sering ditakuti dan menjadi momok bagi orang-orang gerombolan hitam."
"Ah, Kisanak terlalu berlebih-lebihan menyebut diri-ku," ujar Mahesa Wulung
merendahkan diri. "Sebaliknya aku merasa kagum oleh ilmu Kisanak yang bernama Hagni Kurda tadi. Dari tempat manakah Anda
datang?" Mendengar pujian Mahesa Wulung tadi, Wisamala
sedikit tampak tersipu-sipu sambil berkata, "Oh, ilmu tadi kurang sempurna dan
aku menyesal karena telah
menggunakannya dalam bertanding melawan Kisanak
Gagak Cemani. Habis, aku merasa sedikit kewalahan
dalam menghadapinya, dan ilmu itulah satu-satunya
yang dapat kugunakan untuk melindungi tubuhku."
Wisamala berhenti sejenak. "Tentang asalku, aku datang dari Alas Mentaok!"
"Ohh, Anda terlalu jauh datang dari daerah selatan
sana! Dan Kisanak berdagang cangkul-cangkul ini?"
tanya Mahesa Wulung.
"Yah, begitulah. Untuk menyambung hidupku, aku
terpaksa berdagang barang-barang ini," kata Wisamala. "Dan... eh maaf! Ijinkanlah aku mengumpulkan
barang-barang daganganku yang berserakan ini. Sudah kelewat siang dan aku harus segera kembali ke
pondokanku."
"Kisanak Wisamala," sapa Mahesa Wulung. "Sebenarnya kami masih ingin mengobrol lebih banyak bersama Anda. Tapi kamipun tengah menempuh perjalanan ke Asemarang, maka rupanya kita terus segera
berpisah di sini. Di lain waktu, pasti kita akan bertemu pula."
"Oo, tentu. Aku pun merasa senang dapat berkenalan dengan Andika berdua," sahut Wisamala pula.
"Mudah-mudahan perjalanan Anda membawa kebahagiaan dan aku ucapkan selamat jalan. Sampai bertemu lagi."
Wisamala telah selesai mengemasi barang dagangannya. Sesudah mereka bertiga bersalaman, Mahesa
Wulung serta Gagak Cemani segera kembali ke kudanya, sedang Wisamala telah bergegas melangkah ke
utara untuk pulang ke rumah pondokannya.
Mahesa Wulung berempat sebentar saja telah tiba di
dalam kota Demak. Ia cuma singgah beberapa saat untuk membeli bekal makanan serta menitipkan Pakerti
ke sebuah perumahan prajurit dari kota ini. Setelah itu, berangkatlah mereka ke
arah barat menempuh jalan besar yang menuju ke daerah Asemarang.
Matahari telah semakin jauh bergeser ke arah barat
dan bayangan sore perlahan-lahan mulai meraba langit timur seperti mengejar sang matahari yang sebentar-sebentar tersaput awan
mendung. *** 2 KETIKA Mahesa Wulung berempat melewati gerbang
kota Asemarang, malam telah tiba. Mereka melambatkan lari kudanya sambil menikmati pemandangan
malam kota pelabuhan.
Beberapa warung masih dibuka serta menjual barang makanannya sampai larut malam nanti. Beberapa
gerobak lembu tampak berhenti di depan warung tadi
sementara orang-orangnya tengah mengisi perutnya di dalam. Rumah-rumah penduduk
pun masih terbuka
pintunya dan dian lampu minyak bergoyang apinya,
menyorotkan cahaya keluar rumah. Anak-anak kecil
saling berkejaran di halaman bermain-main dengan
riangnya bermandikan cahaya rembulan yang mengambang amat indahnya di langit cerah.
Mahesa Wulung tersenyum melihat semua itu, dan
sekilas terbayang masa kecilnya yang penuh kegembiraan seperti bocah-bocah itu. Namun ketika Mahesa
Wulung berempat tiba di jantung kota dan akan membelokkan kudanya ke selatan, mereka menjadi terperanjat, sebab tampaklah oleh mereka orang-orang yang berduyun-duyun berjalan ke
arah pelabuhan dengan
tergesa-gesa. Sedang dari mulut mereka terdengarlah gumam dan bisik-bisik


Pendekar Naga Geni 16 Pembalasan Rikma Rembyak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengiringi wajah mereka yang
kecemasan. Melihat hal yang terasa ganjil bagi dirinya, Mahesa Wulung cepat-cepat
menghentikan kudanya diikuti
oleh Gagak Cemani, Ki Surotani dan Pandan Arum.
"Apakah yang terjadi, Kisanak?" bertanyalah Mahesa Wulung kepada seorang tua yang kebetulan lewat di depannya.
"Ooo, kata orang, ada sebuah perahu yang mendapat kecelakaan di laut dan kini perahu tadi ditemukan oleh perahu lain serta
kemudian diseretnya ke pelabuhan. Sekarang ia ada di pelabuhan."
"Kecelakaan?" ulang Mahesa Wulung. "Ah, itu kan
biasa terjadi, Kisanak. Tapi... mengapakah orang-orang ini berduyun-duyun ke
sana" Agaknya ada sesuatu
yang aneh."
"Memang, kecelakaan bisa saja terjadi. Akan tetapi
kalau semua penumpang itu dikabarkan mati di geladak perahu, bukankah itu sesuatu yang aneh untuk
kita" Orang-orang pada mengira bahwa mereka telah
dibunuh oleh setan-setan penjaga laut!"
"Ooh!" desis Mahesa Wulung berempat dengan berbareng. Hatinya tiba-tiba saja berdesir oleh keterangan orang tua tadi, sebab ia
lalu teringat dengan pengala-mannya beberapa waktu yang lalu, ketika bersamasama anak buahnya ia mengejar dan menghancurkan
Kapal Hantu di lautan utara.
"Saya juga akan ke sana, Tuan," ujar orang tadi seraya meminta diri untuk melanjutkan perjalanannya.
"Terima kasih atas keterangan Kisanak tadi," kata
Mahesa Wulung sambil menatap ke utara ke arah
orang-orang yang berduyun ke pelabuhan.
"Kakang Gagak Cemani," ujar Mahesa Wulung pula,
"apakah Andika tidak tertarik dengan ceritera tadi"!"
"Cukup menarik," sambut Gagak Cemani. "Terutama keterangan yang mengatakan bahwa para korban
berada di geladak perahu itulah, yang membuat hatiku tertarik!"
"Tepat seperti perkiraanku, Kakang," sambung Mahesa Wulung lagi. "Bagaimanakah kalau kita menengok ke sana sebentar saja?"
"Itu bagus! Tapi bagaimana dengan Bapak Surotani
dan Adi Pandan Arum?" kata Gagak Cemani seraya
menoleh ke arah mereka berdua. "Apakah Andika berdua juga ingin singgah di sana?"
"Kami juga akan ikut ke sana," ujar Pandan Arum
serta Ki Surotani berbareng. "Kami perlu juga mengetahui apakah yang telah
terjadi pada mereka."
"Kalau begitu marilah kita lekas berangkat," ajak
Mahesa Wulung serta menarik tali kekang kudanya, diikuti oleh Gagak Cemani,
Pandan Arum dan Ki Surotani. Jak! Jaaak!
Keempatnya telah memacukan kudanya ke arah pelabuhan dengan melewati orang-orang yang berduyunduyun ke arah yang sama. Semuanya tampak bergegas
ke arah sana, seperti rombongan semut yang telah
mencium adanya gula.
Panggung berlentera telah tampak, demikian pula
tiang-tiang layar dari perahu-perahu yang berlabuh di
situ kelihatan bertonjolan menjulang ke atas dengan indahnya.
Agak di sebelah tepi, terlihatlah sebuah perahu dagang kecil yang biasa bermuatan enam orang, tertambat pada sebuah tonggak kayu di situ, dengan puluhan orang yang berkerumun
menontonnya. Namun mereka
cuma berdiri di daratan saja, sebab perahu tadi dijaga oleh prajurit-prajurit
pengawal pelabuhan yang mela-rang mereka untuk menyentuh perahu tadi. Beberapa
obor dan lampu telah dipasang di tempat itu.
Yang berada di geladak perahu tersebut cuma tiga
orang saja, yakni petugas-petugas khusus yang lagi
memeriksa perahu tadi dengan seksama.
Para pemeriksa tadi tampak menggeleng-gelengkan
kepala seperti mencoba mengerti, apakah yang sesungguhnya telah terjadi pada awak perahu ini"
Mahesa Wulung berempat telah tiba di tempat itu.
Bersama Gagak Cemani ia turun dari punggung kudanya, sedang Pandan Arum dan ayahnya tetap berada
di atas kuda tak jauh dari penonton lainnya.
Dengan langkah tergopoh kedua pendekar itu mendekati tangga naik perahu yang dijaga oleh empat
orang prajurit kawal yang berperisai dan bertombak.
"Eh, Kisanak. Jangan terlalu dekat dengan perahu
ini," sapa salah seorang dari keempat prajurit tadi kepada Mahesa Wulung dan
Gagak Cemani. "Maaf, selain
pasukan kawal pelabuhan, dilarang terlalu mendekat, apalagi sampai naik ke atas
perahu ini."
"Mengapa demikian?" ujar Mahesa Wulung seraya
tersenyum dengan ramahnya. "Apakah kami tidak boleh melihat para korban yang terdapat dalam perahu
ini?" "Itu dilarang oleh pemimpin kami," jawab prajurit
tadi. "Sebelum ada keterangan dan selesainya pemeriksaan oleh pemimpin kami itu, tak seorangpun diijinkan naik ke atas perahu ini!"
"Hmm, terima kasih," ujar Mahesa Wulung. "Anda
bekerja cermat sekali. Tapi bolehkah kami bertemu pe-mimpinmu itu?"
"Heei, rupanya Kisanak berdua sangat berminat sekali terhadap korban-korban ini. Siapa Anda" Jelaskanlah pula apa kepentingan Kisanak berdua, agar kami tak menaruh curiga
terhadap Anda!" begitulah
kata si prajurit kawal tadi.
Namun mendadak saja si prajurit ini menjadi melongo setengah pucat, ketika tiba-tiba Mahesa Wulung menyodorkan permata kalung
yang diraihnya dari balik bajunya, ke depan si prajurit.
"Ooh, Tuan...," desah si prajurit tadi begitu matanya menatap permata kalung
yang berbentuk cakra berada
di tangan Mahesa Wulung itu. "Maaf Tuan perwira,
kami tak mengenal Tuan...," ujar si prajurit dengan gugup. "Jika begitu, silakan
Tuan berdua naik ke atas.
Kami tak berkeberatan sama sekali!"
"Heei..., lhooo! Bukankah Tuan adalah Wira Laut
Mahesa Wulung dari Demak?" terdengar seruan dari
atas perahu membuat Mahesa Wulung, Gagak Cemani
dan keempat prajurit kawal tadi mendongak ke atas,
ke arah suara tadi.
"Waakh! Bapak Kerpu dan Tambakan! Selamat. Kita
bertemu lagi di sini!" Seru Mahesa Wulung ketika ia melihat dua orang yang
menyambutnya dari atas tangga perahu, yang tidak lain adalah Ki Kerpu dan Tambakan. Dua sahabat lamanya yang tinggal di bandar
Asemarang sebagai pemimpin kawal dari prajurit-prajurit di situ. "Yah, kita bertemu lagi, Tuan. Seperti pertemuan ki-ta beberapa tahun yang lalu
ketika bersama-sama
membasmi gerombolan Alas Roban," ujar Ki Kerpu dengan tersenyum lebar dan ramah sekali.
Sebentar kemudian, mereka telah berada kembali di
atas geladak perahu dan tampaklah oleh mata Mahesa
Wulung dan Gagak Cemani, keenam korban yang
menggeletak tak bernyawa.
"Sukar untuk kami jelaskan, gerangan apakah yang
telah menyebabkan kematian mereka," ujar Ki Kerpu
seraya menunjuk korban-korban itu. "Apakah Tuan
melihat sesuatu yang aneh pada tubuh mereka?"
"Biru hangus dan kering!" seru Mahesa Wulung dengan suara bergetar saking kagetnya. "Akh, sungguh
mengerikan dan malang sekali nasib orang-orang ini!"
"Dapatkah kiranya Tuan mengetahui sebab-sebab
dari kematian orang-orang ini"!" kembali Ki Kerpu bertanya.
"Yah! Aku pernah melihati korban-korban yang semacam ini," kata Mahesa Wulung. "Persis seperti korban-korban dari kejahatan
Kapal Hantu."
"Kapal Hantu"!" desis Ki Kerpu. "Tapi... Tapi bukankah menurut laporan yang aku terima dari Demak,
bahwa Kapal Hantu tersebut telah dihancurkan oleh
armada Demak?"
"Itu benar, Bapak!" sahut Mahesa Wulung. "Hanya
saja aku agak kuatir, bahwa sekarang Ki Rikma Rembyak mulai mengadakan pembalasan dendam atas kehancuran Kapal Hantu tadi."
"Hemmm, jika rekaan Tuan tadi benar-benar terjadi,
maka pastilah armada Demak akan dibuat sibuk kembali oleh tugasnya. Demikian pula Tuan Mahesa Wulung." "Bapak Kerpu," ujar Mahesa Wulung pula. "Peristiwa ini akan kuperhatikan sepenuhnya. Tentang penjelasan Andika kepada para penduduk di sini, terserah kepada kebijaksanaanmu. Yang
penting, usahakanlah
agar mereka tidak menjadi panik karenanya. Sebab hal itu akan mempengaruhi
mereka, terutama dalam segi
perdagangan dan pelayaran di daerah ini."
"Terima kasih, Tuan," berkata Ki Kerpu. "Kami akan
berusaha sebaik mungkin dan semoga seperti yang
Tuan harapkan. Dan eh... hendak ke manakah Tuan
berdua sekarang?"
"Kami hendak berkunjung ke Kampung Sekayu,
Bapak. Kini, baiklah kami meminta diri sekali," kata Mahesa Wulung.
Segera Mahesa Wulung dan Gagak Cemani menuruni tangga perahu setelah keduanya berpamit kepada Ki Kerpu Tambakan serta
kedua orang petugas lainnya.
Ki Kerpu mengantarkan mereka sampai ke bawah
dan sekali lagi mengucapkan terima kasihnya atas
kunjungan tadi. Sesaat kemudian Mahesa Wulung berempat telah berpacu kembali ke arah selatan.
Sambil berpacu hati Mahesa Wulung selalu bertanya-tanya akan peristiwa yang mengerikan tersebut.
Mungkinkah Ki Rikma Rembyak telah menciptakan
kembali Kapal Hantu untuk membalas dendam" Namun selama ini ia belum pernah mendengar laporan
tentang munculnya kapal yang semacam itu lagi. Kecemasan satu-satunya yang bisa dihubungkan dengan
peristiwa tadi, adalah isi pesan tertulis yang telah di-serahkan oleh Pakerti
kepadanya. Tanpa terasa, mereka berempat telah memasuki
gerbang Kampung Sekayu yang ditandai oleh dua buah
pohon asem tua yang saling bertautan. Kampung tadi
merupakan desa kecil yang bertanah subur.
Begitulah, mereka sampai di tujuannya malam itu.
Dan sesudah membasuh muka dan kaki serta kemudian mohon ala kadarnya, mereka berempat masuk ke
bilik tidurnya masing-masing.
Keempatnya segera tertidur pulas. Apalagi setelah
mereka berkuda dengan menempuh jarak yang sepanjang dan sejauh itu, badan mereka telah terasa penat-penat pegal.
Itulah sebabnya begitu mereka merebahkan tubuhnya di atas balai-balai beralas tikar pandan, seketika itu tertidurlah mereka
dengan nyenyak dan baru ter-bangun pada keesokan paginya.
*** Telah dua hari Mahesa Wulung dan Gagak Cemani
tinggal di rumah Ki Surotani. Kepada Gagak Cemani
tamunya yang baru itu, Ki Surotani selalu mengajak
dan membawanya ke tetangga-tetangga di sekitarnya
untuk diperkenalkan kepada mereka.
Dalam pada itu Mahesa Wulung selalu tinggal di
rumah untuk menemani kekasihnya, si Pandan Arum,
serta pula mempelajari isi surat tertulis yang dibawa oleh Pakerti dari Pulau
Mondoliko. Sore itu tampaklah Pandan Arum duduk termenung
di pekarangan rumah. Bunga-bunga bermekaran dengan indahnya menyebar bau semerbak harum, menyegarkan perasaan dan kegembiraan hidup.
Namun sore itu Pandan Arum termenung berdiam
diri, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu hatinya, dan itulah sebabnya maka ia terperanjat ketika Mahesa Wulung menyapa
serta memegang kedua pun-daknya dari sebelah belakang.
"Adi Pandan Arum," sapa Mahesa Wulung, "engkau
melamunkan sesuatu?"
"Betul, Kakang Wulung," lirih sekali Pandan Arum
menjawab kekasihnya. "Aku melamunkan diriku, Kakang." "Mengapa, Adi?"
"Adikku si Pandan Sari telah kawin, mendahului
aku," ujar Pandan Arum. "Sedang aku" Aah, mungkin
masih lama. Barangkali setahun lagi, dua tiga tahun
lagi atau mungkin pula sepuluh tahun lagi barulah ki-ta kawin. Sedang aku telah
pula merindukan berumah
tangga, mendidik anak-anak kita dengan penuh kasih
sayang." "Aku tahu perasaanmu, Adi," berkata Mahesa Wulung sambil mengusap pundak Pandan Arum dengan
penuh kemesraan. "Bersabarlah, Adi. Apakah Adi masih menyangsikan cintaku kepadamu?"
"Oh, tentang cintamu, aku percaya sepenuhnya Kakang," kata Pandan Arum seraya menunduk. "Tapi,
bukankah kita selalu dikejar oleh hari, dikejar oleh waktu yang setiap kali akan
menambah jumlah umur
kita?" "Aku juga memikirkan hal itu, Adi. Namun Adi tentunya tahu bahwa tugas-tugas yang berat senantiasa
menumpuk di atas pundak kita, sebagai beban yang
harus diselesaikan. Darma Ksatria! Demikianlah pedoman yang telah terpatri di dalam hatiku, Adi. Dan menjadi Wira Tamtama Laut
seperti kakang ini, tentunya tak akan berpangku tangan melihat kejahatan
tumbuh dan merajalela di mana-mana. Maaf, Adi
Arum. Jangan Adi berprasangka bahwa aku bermaksud mengecewakanmu. Memanglah kalau dipikir, kejahatan akan selalu ada, meskipun hanya kecil bentuknya. Kebaikan dan keburukan selalu kita jumpai,
dan begitulah namanya irama hidup, Adi. Menindas
keburukan adalah tugas kita dan juga tugas setiap
manusia di marcapada. Semua itu kita lakukan karena kita mengingini hidup yang
tentram dan sejahtera.
Jauh dari malapetaka dan keburukan-keburukan."
Mahesa Wulung berhenti sejenak dan menghela napas.
"Aakh, terlalu bertele-tele menceramahimu, Adi. Maafkan."
"Oo, tidak mengapa, Kakang Wulung! Tidak meng

Pendekar Naga Geni 16 Pembalasan Rikma Rembyak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa! Aku senang mendengarnya," seru Pandan Arum
seraya menyandarkan kepalanya ke dada Mahesa Wulung yang bidang itu.
"Aku selalu memikirkan apa yang Adi pikirkan. Hanya saja, kakang tidak senang untuk mengambil suatu keputusan dengan tergesagesa dan serampangan. Sebab perkawinan adalah sesuatu yang suci dan menyangkut hidup kita. Kapan, waktu hari dan tempatnya, baiklah kita pikirkan dengan tenang dan lanjut."
"Ookh aku selalu menambah beban di hatimu, Kakang Wulung," desah Pandan Arum. "Dan saya kira,
saat ini memang belum saatnya yang tepat untuk memikirkan hal itu. Juga saya tak mau ketinggalan untuk mendampingi Kakang Wulung
dalam melaksanakan
tugas-tugas yang berat sekalipun!"
"Terima kasih, Adi Pandan Arum. Kakang merasa
gembira mendengar pengertian yang mendalam pada
dirimu. Dan ketahuilah Adi, sekarang ini selagi kita berada di tempat ini,
bahaya yang mahabesar tengah
mengancam di depan hidung kita. Bahaya tersebut bisa menimbulkan bencana yang dahsyat bagi kita semua!" "Aduh. Apakah bahaya itu, Kakang?" seru Pandan
Arum dengan kagetnya.
"Engkau masih ingat sewaktu kita singgah di bandar pelabuhan Asemarang dua hari yang lalu?" tanya
Mahesa Wulung. "Mmm, aku ingat, Kakang! Bukankah malam itu kita lihat orang berduyun-duyun menuju ke pelabuhan
dan kita pun singgah di sana?"
"Nah, memang di situlah aku telah melihat adanya
bahaya. Ternyata, ketika aku dan Kakang Gagak Cemani ikut memeriksa para korban yang menggeletak di geladak perahu, dapatlah
kami saksikan bahwa tubuh
keenam korban itu kering dan hangus kebiru-biruan,
persis seperti korban-korban dari kejahatan Kapal
Hantu." "Wah, sungguh mengerikan tentu," desah Pandan
Arum. "Jadi itulah bahaya yang Kakang Wulung sebutkan?" "Itu hanya sebagian saja, Adi," sambung Mahesa
Wulung pula. "Kau tentu ingat pula sepucuk pesan tertulis yang aku terima dari
Pakerti" Di dalamnya tertulis sebuah pesan yang menyebutkan bahwa Ki Rikma
Rembyak telah mendirikan sebuah benteng di Pulau
Mondoliko serta merencanakan sebuah senjata ampuh
yang sanggup menghancurkan sebuah desa dari jarak
jauh! Pesan ini dikirim dari seorang yang bernama
Jagal Wesi, yang tinggal di pulau itu juga."
"Jadi pesan tersebut dikirim dari sana"!" ujar Pandan Arum keheranan. "Apakah itu bukan sebuah jebakan bagi kita, barangkali?"
"Hmm, bisa juga. Tapi Jagal Wesi itulah yang telah
membebaskan dan meloloskan Pakerti dari Pulau Mondoliko, ketika ia akan dijatuhi hukuman mati oleh Ki Rikma Rembyak!"
"Eeng, jika demikian," desah Pandan Arum dengan
berpikir-pikir sejenak, "kita boleh mempercayai pesan dari Jagal Wesi tadi. Tapi
apakah hubungan korban-korban pada perahu tadi dengan Pulau Mondoliko?"
"Menurut keterangan Bapak Ki Kerpu, perahu tadi
ditemukan terkatung-katung di sebelah barat Pulau
Mondoliko oleh sebuah perahu lain dan kemudian menyeretnya ke bandar Asemarang ini."
"Akh, makin jelaslah persoalannya!" ujar Pandan
Arum. "Ki Rikma Rembyak mulai kembali melancarkan
serangannya dan mungkin pula dimaksudkan sebagai
pembalasan atas kehancuran Kapal Hantunya!"
"Begitulah seperti dugaanku semula!" sambung Mahesa Wulung. "Memang kiranya itulah pembalasan
Rikma Rembyak!"
"Kakang Wulung, aku lalu teringat akan nasib malang yang telah dialami oleh mendiang paman Empu
Baskara yang kini masih terkubur di dasar Jurang Ma-ti oleh perbuatan Rikma
Rembyak!" gumam Pandan
Arum dengan nada haru. "Dan rahasia panah Braja
Kencar milik Paman sampai sekarang masih di tangan
si keparat Rikma Rembyak itu."
"Yah, sayang sekali, memang sampai sekarang kita
belum berhasil merebut kembali rahasia panah Braja
Kencar itu! Namun kini telah jelas bahwa Ki Rikma
Rembyak telah memusatkan kekuatannya di Pulau
Mondoliko dan tentunya pula di sana pulalah benda
itu disimpannya!" berkata Mahesa Wulung. "Dan satusatunya jalan ialah menyerbunya ke sana!"
"Itu benar, Kakang," sahut Pandan Arum. "Akan tetapi dengan kekuatan apakah kita menyerbu ke sana"
Dengan kekuatan beberapa kapal dari armada Demak
atau dengan diam-diam kita menyelundup ke sana"!"
Mahesa Wulung tampak berdiam sejenak untuk memikirkan perkataan Pandan Arum tadi. "Hal itu harus kita rencana masak-masak
dengan para pemimpin di
Demak, dan kapan hal itu bisa dilaksanakan, aku belum tahu. Yang terang saja di Pulau Mondoliko itu telah ada seseorang yang
berpihak pada kebenaran, yak-ni di Jagal Wesi itu tadi. Dan tidak mustahil ia
bersedia membantu kita nanti!"
Percakapan mereka terhenti sesaat oleh dua ekor
burung ketilang yang berkejar-kejaran di sela-sela
daun pohon sawo di depan mereka dengan mesranya.
Rupanya, kedua burung itu adalah ketilang jantan dan betina yang lagi dimabuk
asmara, membuat Pandan
Arum dan Mahesa Wulung tersenyum penuh arti dengan sedikit kesipu-sipuan.
"Besok kita akan kembali ke Demak, Adi," ujar Mahesa Wulung memecah kesepian yang sesaat itu. "Dan
kita harus mendapatkan keterangan lebih banyak dari Pakerti sebelum kita
mengambil langkah-langkah lebih lanjut."
Mahesa Wulung menyelesaikan kata-katanya itu seraya membungkuk memungut sebutir batu sebesar telur ayam, sehingga Pandan Arum keheran-heranan
menatap kelakuan kekasihnya. Dan ketika ia hendak
berkata, tiba-tiba saja Mahesa Wulung mendesis,
memperingatkannya agar berdiam diri.
"Sssttt... tenanglah!"
Karenanya, Pandan Arum semakin keheranan dibuatnya dan kini tampaklah bahwa kekasihnya itu menimang-nimang batu tersebut di tangannya.
Sesaat Pandan Arum menjadi cemberut oleh sikap
kekasihnya, dan ketika ia sekali lagi ingin bertanya kepadanya, mendadak saja
Mahesa Wulung mengibaskan tangannya yang memegang batu tadi ke atas,
ke arah kerimbunan pohon sawo di samping mereka,
dibarengi seruan pendek. "Heeeiittt! Ayo turun!"
Batu tersebut melesat dengan kecepatan tinggi, merupakan seleret sinar kelabu dalam pandangan yang
hampir sukar ditangkap mata.
Taaak! Suara benturan terdengar diiringi oleh jeritan melengking menyertai sesosok bayangan tubuh manusia
melayang turun dari atas pohon sawo dengan suara
mengaduh. Pandan Arum seketika berteriak kaget dan kembali
ia dibuat kagum oleh sesosok bayangan yang melayang jatuh ke tanah. Tentunya
orang ini akan cedera atau patah tulangnya, namun begitu si bayangan tadi hampir
menyentuh tanah, maka dengan gesitnya ia menjejakkan kakinya ke tanah lebih dulu. Dengan begitu
maka tubuhnya kembali melenting dan secepat kilat
kabur ke arah barat, dibarengi teriak kutukan bernada
mengancam. "Keparat! Kalian memang bertelinga tajam. Hari ini aku mengaku kalah, tapi tunggu hari-hari yang akan datang!"
"Pengecut busuk! Kau ngacir melarikan diri setelah
ketahuan!" seru Mahesa Wulung seraya melesat untuk
mengejar si pengintai tadi.
Begitu pula si Pandan Arum tak mau ketinggalan
melihat Mahesa Wulung mengejar musuhnya, sehingga
dengan cepat pula ia meloncat mengikuti kekasihnya.
Akan tetapi semua itu tidak banyak gunanya, sebab
ternyata bayangan tadi mempunyai ilmu lari yang sangat hebat. Dalam sekejap saja lenyaplah orang itu di balik semak-semak yang
telah dirambah oleh bayangan senja.
Mahesa Wulung dan Pandan Arum segera menghentikan larinya begitu melihat buronannya telah kabur dan lenyap.
"Ia telah kabur!" desah Mahesa Wulung sambil memeriksa permukaan tanah di dekatnya yang tadi telah dilewati lari oleh si
pengintai. "Sayang sekali."
"Ilmu larinya cukup hebat, Kakang," sambung Pandan Arum. "Siapakah dia kiranya?"
"Memang cukup hebat!" sahut Mahesa Wulung pula. "Tapi lihatlah ini," berkata begitu si pendekar ini menunjuk ke atas tanah.
"Tetes-tetes darah! Pasti lemparan batuku telah mengenainya! Nah, jangan kau ceritakan kejadian ini kepada siapa-siapa!"
"Akh, peristiwanya makin menarik, Kakang!" kata
Pandan Arum. "Menilik teriak ancamannya, orang tadi pasti berasal dari pihak
lawan!" "Wah, aku lalu teringat dengan si Pakerti. Tiba-tiba saja aku mencemaskan
keselamatannya!" desah Mahesa Wulung dengan suara kecemasan.
"Mengapa, Kakang?"
"Bukankah tadi aku telah menyebut-nyebut nama si
Pakerti" Dan tidak mustahillah bila pengintai tadi telah mendengarnya!"
"Oh, sungguh mencemaskan," sahut Pandan Arum.
"Jika orang tadi ternyata dari pihak lawan, pastilah ji-wa dan keselamatan si
Pakerti akan terancam bahaya
dalam setiap saat! Mudah-mudahan saja hal itu tidak terjadi!"
"Yah, mudah-mudahan saja begitu," sambung Mahesa Wulung. "Marilah kita kembali ke rumah, Adi."
Demikianlah, mereka segera pulang dan malam pun
tiba dengan tenangnya, seperti juga ia lenyap dengan perlahan-lahan pada
keesokan harinya.
*** 3 KI SUROTANI kini telah tenang hatinya. Pandan Sari yang dahulu telah disangkanya tewas dan lenyap,
kini telah dijumpainya kembali dalam keadaan segarbugar serta menjadi istri dari Lawunggana.
Demikian pula ia telah menerima hartanya kembali
yang telah sekian lama tersimpan di daerah Tanjung
Bugel secara rahasia. Begitulah sesungguhnya suka
dan duka saling mengisi kehidupan kita, dan Ki Surotani yang bijaksana itu
Tiga Iblis Pulau Berhala 2 Dewi Ular 41 Terjebak Bencana Gaib Rahasia Peti Wasiat 2

Cari Blog Ini