Ceritasilat Novel Online

Ratu Cendana Sutera 2

Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera Bagian 2


berikutnya," sambil mereka saling bertatap pandang.
"Bisakah kau menolong menarikkannya, Kanda?"
sambil gadis itu sunggingkan senyum menggoda.
"Jangan panggil aku Kanda. Aku malu mendapat
panggilan semesra itu. Panggil saja namaku: Suto."
"Suto Sinting, bukan?"
"Benar. Tapi... sayang sekali kakekmu tidak mau percaya."
"Itulah yang membuatku sedih, ia terpengaruh oleh cerita palsu si Ratu Cendana
Sutera tentang Pendekar Mabuk yang mencuri kitab pusaka. Sudah kubilang, itu
tidak mungkin. Tapi dia masih ngotot, dan aku tak
berani membantahnya lagi. Karenanya saat ia pergi
mencari Pendekar Mabuk, kuikuti dari belakang agar
jika terjadi sesuatu aku bisa membantunya," gadis itu bicara dalam bisik-bisik,
dan Suto Sinting pun
menimpali dalam bisikan sehingga mereka
membutuhkan jarak cukup dekat, tak ada satu langkah.
"Apakah kau percaya betul bahwa aku Suto Sinting, si Pendekar Mabuk Itu?"
"Sangat percaya, karena aku ingat betul wajahmu saat di Bukit Sendang Keramat
itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan."
"Tapi aku tak membawa bumbung tuak, dan itulah
yang membuat kakekmu tidak percaya."
"Tapi aku percaya, dan biarlah kakek tidak percaya.
Justru kalau dia percaya nanti kau ditangkapnya. Aku tak ingin hal itu terjadi.
Sebab aku tahu, Ratu Cendana Sutera itu sebenarnya bukan orang baik-baik. Dia
licik dan keji. Kakek pun sebenarnya tak suka, tapi karena merasa berhutang
budi, mau tak mau ia bersikap baik
kepada Ratu Cendana Sutera. Kumohon kau jangan
marah kepada kakekku. Jangan lawan ia walau nantinya
dia tahu kau adalah Pendekar Mabuk."
"Jika aku melawannya, apa yang kau lakukan?"
"Entahlah. Yang jelas aku akan sedih. Kau nanti akan celaka, karena kakekku
berilmu tinggi."
Kusir Hantu berhenti dekati mereka dalam jarak tiga
langkah, ia bertolak pinggang sebelah sambil gelenggeleng kepala dan berkata,
"Weeeh... ada orang tua tarung kok malah ngobrol berduaan! Dasar anak muda, tak
kenal masa prihatin
sedikit pun."
Mereka cengar-cengir tersipu, sang Pendekar Mabuk
cepat buang pandangan sembunyikan senyum malunya.
Sang cucu cantik segera berkata, "Kek, mengapa kau tak mau percaya bahwa dia
adalah Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk itu?"
"Ah, itu jelas tak mungkin. Pendekar Mabuk tidak setinggi dia ilmunya. Pepatah
mengatakan: 'Bagaikan
bumi dengan langit', tak mungkin Pendekar Mabuk
menjadi satu dengan dia sebelum ada kiamat datang."
Pematang Hati hempaskan napas membuang rasa
jengkelnya sambil kedua tangannya melemas. Kusir
Hantu segera berkata,
"Aku akan mencarinya ke selatan. Mungkin di sana akan kutemukan Pendekar Mabuk.
Kuharap kau pulang
saja ke Lembah Seram, Cucuku. Karena...."
"Aku akan mengantarkannya pulang," sahut Suto Sinting. .
"Oh, itu gagasan yang bagus!" ujar Kusir Hantu sambil menyeringai lucu. "Tolong
jaga cucuku baikbaik, Nak. Jangan boleh seekor semut pun
menggigitnya."
"Bagaimana jika aku yang menggigitnya?" tanya Suto berseloroh.
"Kau akan kugantung kalau sampai berani menggigit cucuku!"
"Aku akan ikut dalam satu gantungan," sahut sang cucu. Kini sang Kakek
bersungut-sungut sambil
melengos. "Dasar bocah-bocah puber!" gerutunya sambil melangkah, lalu berhenti setelah
tiga langkah dan
berkata, "Aku pergi sekarang, Pematang Hati. Doakan supaya kakek bisa cepat bertemu
dengan Pendekar Mabuk, ya?"
"Sampaikan salamku untuk Pendekar Mabuk palsu,
Kek." Agaknya ucapan terakhir sang cucu tidak
didengarnya. Kusir Hantu segera mencabut cambuknya.
Cambuk pendek dilecutkan ke depan dengan sentakan
pelan. Tarrr...! Asap mengepul bersama percikan bunga api kecil di ujung
lecutannya. Tiba-tiba tubuh Kusir Hantu naik sedikit, kakinya tidak menyentuh
tanah. Kemudian tubuh itu melayang bagai terseret sesuatu
dengan cepat. Wuuusss...! Dalam keadaan berdiri
setengah merendahkan badan, Kusir Hantu pun pergi
seakan menunggang seekor kuda yang tak bisa dilihat
oleh mata telanjang.
Tar, tarr...! Suto Sinting geleng-gelengkan kepala. "Benar-benar
tinggi ilmu kakekmu itu," ujarnya kepada Pematang Hati sambil pandangi kepergian
si Kusir Hantu yang tak
menyentuh tanah itu.
"Memang begitulah keadaan dirinya. Karena itu aku tak boleh mencari guru lain,
sebab seluruh ilmunya
kelak akan diturunkan kepadaku dan kepada adikku; si Manis Mahligai Sukma."
"Sayang sekali dia keras kepala, tetap tak mau percaya bahwa akulah Pendekar
Mabuk yang dicarinya."
"Yahh... sifat kakekku memang begitu. Kalau sudah percaya kepada satu orang,
sulit untuk mempercayai
orang lain. Hanya ada satu orang yang bisa mengubah
apa yang sudah dipercayainya."
"Siapa orang yang kau maksud itu?" '
"Kakaknya sendiri; Eyang Sanupati."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi karena merasa pernah
mendengar nama Sanupati. Lalu, ia bertanya dengan
nada sedikit ragu,
"Maksudmu, Ki Sanupati yang dikenal dengan nama si Tua Bangka itu?"
"Betul!" jawab Pematang Hati dengan bersemangat dan tampak girang. "Kau kenal
dengan beliau?"
Suto Sinting tersenyum geli. "Bukan hanya kenal sepintas, tapi kenal baik! Dulu
aku pernah membantunya dalam perkara sebuah pusaka yang sempat
menggegerkan rimba persilatan," kata Suto menjelaskan, sambil terbayang wajah si
Tua Bangka yang juga
bernada konyol seperti Kusir Hantu tadi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Kapak Setan Kubur").
Suto menjadi geli dalam hatinya setelah tahu si Kusir Hantu adalah adik dari si
Tua Bangka. "Jika kau ingin kakekku percaya tentang dirimu yang sebenarnya, temuilah Eyang
Sanupati, biar beliau yang jelaskan siapa dirimu kepada kakekku." .
"Baik. Tapi aku tak tahu di mana beliau sekarang.
Satu hal lagi yang perlu kau ketahui, yang terpenting bagiku saat ini adalah
mencari bumbung tuakku yang
terpental jatuh pada saat aku lakukan pertarungan
dengan Lantang Suri."
"Oh, kau bertarung dengan Lantang Suri, orangnya Ratu Cendana Sutera itu?"
"Ya, tapi dia telah dikirim ke neraka oleh sahabatku; si Merpati Liar."
"Ooh... kalau begitu, orang-orang Selat Bantai
memang memusuhimu," gumam si gadis sambil
termenung sedih. "Mengapa mereka memusuhimu,
Suto?" "Sebaiknya kujelaskan sambil mencari bumbung
tuakku. Kau setuju, Pematang Hati"!"
Gadis itu buru-buru sunggingkan senyum. "Sangat setuju!" Ia tampak bersemangat,
ceria dan cukup lincah.
Hal itu membuat Suto Sinting merasa lebih bersemangat dalam menyusuri hutan
menuju tempat pertarungannya
dengan Lantang Suri dulu. Suto Sinting pun bersemangat menceritakan perkara
sebenarnya yang membuatnya
diburu oleh Ratu Cendana Sutera.
Hati yang riang, mata yang sering beradu lirikan
cukup mendebarkan, semua itu membuat Suto Sinting
lupa pada kelesuannya yang tak menemukan tuak dalam
beberapa waktu lamanya. Pematang Hati yang cantik
ibarat tuak kedua bagi Suto Sinting.
Sayang sekali langkah mereka dan keceriaan mereka
harus terhenti karena kemunculan seseorang yang
menghadang di pertengahan jalan. Pendekar Mabuk
sedikit terperanjat melihat orang tersebut berdiri
menghadang langkah, dan Pematang Hati kerutkan dahi
karena merasa heran melihat orang itu sengaja berdiri menghadang langkahnya.
* * * 5 TERNYATA bukan hanya satu orang yang
menghadang perjalanan Suto dan Pematang Hati,
melainkan dua orang. Hanya saja, yang satu ada di atas pohon membidikkan anak
panahnya yang siap
dilepaskan ke arah Suto. Mata si Pendekar Mabuk hanya melirik sebentar orang
yang ada di atas pohon, lalu
berlagak tidak melihatnya.
Mereka adalah dua wanita muda berambut sama
panjang, sama-sama dikepang kuda. Yang di atas pohon mengenakan pakaian biru
gelap, dengan sabuk merah
mengikat bajunya yang tanpa lengan itu. Ia mengenakan ikat kepala dari rantai
emas tiruan berbandul batu merah bening sebesar melinjo di tengah keningnya.
Sedangkan yang di bawah pohon mengenakan baju tanpa lengan
berwarna kuning gading, sama dengan warna celananya.
Kepalanya mengenakan ikat dari lempengan logam
perak berhias batu-batuan warna-warni.
Mereka sama-sama punya wajah cantik dan mata
nakal. Tubuh mereka sama-sama sekal dengan belahan
dada seakan sengaja dipamerkan bagian atasnya, tampak menggunduk sekal. Sebuah
pedang terselip di punggung si baju kuning gading itu.
"Mengapa dia menghadang kita?" bisik Pematang Hati.
"Entahlah. Apakah kau kenal dengan mereka?"
"Mereka orang Selat Bantai."
"Juga yang di atas pohon itu?" bisik Suto, dan Pematang Hati melirik ke atas
sebentar lalu menjawab dalam bisikan,
"Ya. Yang di atas kukenal bernama si Bunga
Ranjang, dan yang berbaju kuning di depan kita itu
kukenal bernama Mawar Rimba. Mereka adalah
pengawal-pengawal pribadi Ratu Cendana Sutera yang
hanya ditugaskan keluar istana jika dalam keadaan
sangat terpaksa."
"Kalau begitu, biarlah kuhadapi sendiri mereka. Kau bersiaga saja, jangan sampai
kena sasaran," bisik Suto Sinting kemudian maju selangkah dengan tetap tenang,
walau dalam hatinya sempat mengeluh,
"Sayang sekali tak ada bumbung tuak di tanganku.
Badanku sedikit lemas karena lama tak minum tuak.
Hmmm... tapi biarlah, kucoba hadapi dengan tidak
berpikir tentang tuak dulu!"
Mawar Rimba menyapa lebih dulu karena merasa risi
dikasak-kusuki oleh kedua orang yang dihadangnya.
"Kalau tak salah pandang, kau adalah cucu si Kusir Hantu yang bernama Pematang
Hatil" "Ya, benar! Aku cucunya Kusir Hantu!" jawab Pematang Hati dengan ketus, ia
menampakkan sikap
beraninya, seakan ia ingin perlihatkan sikap memihak kepada Suto Sinting.
Mawar Rimba berkata dengan tenang lagi, "Kalau
begitu kaulah orang yang berhasil menangkap Pendekar Mabuk, si pencuri kitab
pusaka itu, Pematang Hati.
Kakekmu pasti akan bangga padamu."
"Tidak. Pendekar Mabuk bukan pencuri. Aku tak
percaya, karenanya aku tak akan menangkap Pendekar
Mabuk untuk diserahkan kepada ratumu, Mawar
Rimba!" Sungging senyum tipis di bibir elok Mawar Rimba
merupakan senyum sinis yang meremehkan ketegasan
Pematang Hati. Si cucu Kusir Hantu itu tambahkan kata setelah melirik Suto
sebentar, "Mungkin aku akan menangkap pemuda ini untuk
diriku sendiri."
Suto Sinting agak terperanjat dan menggerutu dalam
hatinya, "Gila ini anak. Ngomongnya asal nyeplos saja"!"
Senyum sinis si Mawar Rimba semakin mekar, ia
melangkah ke kiri sedikit sambil ucapkan kata bernada dingin.
"Kau kelewat berani Pematang Hati."
"Kenapa takut?" ujar Pematang Hati dengan tengil.
"Kuingatkan padamu agar jangan coba-coba berusaha
memiliki Pendekar Mabuk! Jika kau masih bertujuan
demikian, maka itu berarti kau berhadapan dengan Ratu Cendana Sutera. Sama saja
kau serahkan nyawa padaku, sebab aku diutus untuk membawa pulang Pendekar
Mabuk ke Istana Selat Bantai!"
Sambil maju dua langkah dan berlagak tengil,
Pematang Hati berkata ketus,
"Enak saja! Yang mendapatkan aku kok yang mau
memiliki Ratu Cendana Sutera"! Apa kau tak bayangkan betapa sulitnya menundukkan
dia?" sambil matanya melirik sekejap ke arah Suto Sinting sebagai ganti
menuding pemuda tampan di sebelah kanannya Itu.
Diam-diam Suto Sinting melirik ke atas pohon,
tampak anak panah geser sedikit, diarahkan kepada
Pematang Hati. "Gawat!" gumam Suto dalam hatinya, ia semakin pertinggi kewaspadaannya.
Mawar Rimba masih bicara kepada Pematang Hati,
dan kali ini nadanya agak keras.
"Pematang Hati! Jangan keraskan kepalamu agar kau tak kehilangan nyawa saat ini
juga!" "Biar saja. Kepalaku memang dari batu!"
"Keparat kau!" geram Mawar Rimba. Tangannya segera bergerak menuding dengan
sentakan cepat.
Wuuutt...! Bukan sinar yang keluar dari tangan yang menuding
ke arah Pematang Hati itu, melainkan anak panah yang ada di atas pohon itu
segera melesat ke dada Pematang Hati.
Zeeeb...! Taabb...! Tangan Suto Sinting berkelebat cepat dan tahu-tahu
anak panah itu sudah terjepit di sela jari-jarinya. Tangan yang kanan segera
lepaskan sentilan yang merupakan
jurus 'Jari Guntur' itu. Teess...! Sentilan mengarah ke atas pohon. Bunga
Ranjang yang sedang memasang anak
panahnya lagi itu tahu-tahu tersentak dan jatuh dari atas pohon. "Aaah...!"
Wuk, wuk...! Untung ia bisa segera kuasai
keseimbangan dengan lakukan salto dua kali, sehingga ketika tiba di tanah
kakinya lebih dulu berpijak dengan setengah berjongkok. Tapi ia terpaksa menahan


Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

napas karena ulu hatinya bagai ditendang oleh tenaga sangat kuat yang tak sempat
dilihat kehadirannya itu. Jurus 'Jari Guntur' memang mempunyai kekuatan tenaga
dalam melebihi tendangan seekor kuda jantan, tak heran jika wajah Bunga Ranjang
menjadi pucat seketika.
Mawar Rimba hanya melirik sebentar ke arah
temannya, kemudian pandangi Suto Sinting dengan
tajam. Suto masih menjepit anak panah itu dan ia
sengaja sunggingkan senyum ramah yang menawan hati
kepada Mawar Rimba. Seakan ia menertawakan
serangan yang disembunyikan di atas pohon tadi.
Klaakk...! Dengan sekali sentakkan jari, anak panah
itu patah. Suto Sinting agak terperanjat ketika tahu bagian yang patah dari anak
panah itu kepulkan asap
biru samar-samar. Hal itu dapat dipastikan bahwa anak panah tersebut mengandung
kekuatan tenaga dalam yang
beracun berbahaya. Suto Sinting segera membuangnya
karena tak mau menghirup asap tersebut.
Tetapi karena angin berhembus ke arah kirinya, maka
asap itu terhirup oleh Pematang Hati secara tak sengaja.
Gadis cantik itu tiba-tiba menggeloyor sambil terbatuk-batuk. Tubuhnya limbung
dan buru-buru ditangkap oleh Suto Sinting yang berwajah tegang seketika.
"Pematang Hati..."! Hei, sadar, sadar...!"
Pematang Hati hentikan batuknya, matanya mulai
sayu, wajahnya mulai membiru, dan dari pori-pori
kulitnya keluarkan bintik-bintik hitam yang berupa
cairan membusuk.
"Celaka! Dia menghirup asap anak panah tadi" Oh...
pasti darahnya telah menjadi busuk seketika!"
Mawar Rimba segera berkata, "Dia akan mati dalam keadaan berlumur darah hitam
yang busuk. Tak ada
seorang pun yang pernah selamat dari ancaman racun
'Asap Kubur'-nya si Bunga Ranjang!"
"Keji kalian!" geram Suto sambil tangan kirinya masih memeluk Pematang Hati.
"Pendekar Mabuk, tinggalkan gadis itu dan ikutlah kami ke Istana Selat Bantai.
Kedatanganmu sangat
dirindukan oleh orang-orang Selat Bantai. Kau sangat dibangga-banggakan sebagai
pahlawan besar bagi kami.
Ikutlah kami, Pendekar Mabuk," bujuk Bunga Ranjang dengan mata sayunya sengaja
memancarkan pandangan
menggoda gairah bercinta.
"Aku tidak sudi menjadi penabur benih keturunan pada kalian! Katakan kepada
ratumu, aku menantang
pertarungan pribadi di Bukit Perawan Laut! Jika dia bisa mengalahkan diriku, aku
akan bersedia memberikan
benihku kepada kalian semua, orang-orang Selat
Bantai!" "Tidak ada waktu lagi untuk berlagak seperti itu, Pendekar Mabuk!" ujar Mawar
Rimba. "Waktunya tak akan lama. Esok malam, kutunggu
kedatangan ratu kalian untuk menentukan apakah
perempuan-perempuan Selat Bantai layak mendapat
keturunan dariku atau tidak!"
"Pendekar Mabuk, jangan paksa kami gunakan
kekerasan!" sentak Mawar Rimba
Tapi Sang Pendekar Mabuk tidak mau hiraukan
seruan itu. Ia bergegas ingin membawa pergi Permatang Hati. Namun tiba-tiba
tangan Mawar Rimba berkelebat
lepaskan pukulan jarak jauh yang memancarkan sinar
hijau lurus ke arah punggung Suto Sinting. Clapp...!
Pendekar Mabuk cepat berbalik dan sentakkan tangan
kanannya hingga keluarlah sinar ungu dari jarinya
sebagai jurus 'Turangga Laga' yang cukup berbahaya itu.
Kedua sinar beradu dan meledaklah di pertengahan
jarak. Blegaarrr...! Pendekar Mabuk terpental sendiri, terpisah dari
Pematang Hati. Gadis itu terlempar ke arah lain hingga tak bisa terjangkau oleh
Pendekar Mabuk.
"Uuhkk...!" Pendekar Mabuk mencoba untuk bangkit, tapi dadanya terasa sesak,
seakan mau jebol. Gelombang ledakan tadi sangat kuat karena jarak ledaknya lebih
dekat ke arahnya ketimbang ke arah Mawar Rimba.
"Uhuk, uhuk...!" Pendekar Mabuk terbatuk-batuk, dan mengeluarkan dahak darah.
"Ooh... panas sekali dadaku, seperti dipanggang api pelebur besi!" keluhnya
dalam hati sambil pegangi dadanya.
Mawar Rimba hanya tersentak tiga langkah ke
belakang, tapi tak sampai terjatuh, ia segera maju untuk lakukan serangan lagi
setelah melihat Pendekar Mabuk masih bisa berdiri. Tapi gerakannya tertahan oleh
tangan Bunga Ranjang yang merentang menghalanginya.
"Apa maksudmu?" hardik Mawar Rimba.
"Jangan serang lagi dia. Kasihan nanti dia sakit!"
"Dia harus kita lumpuhkan dulu, baru kita sembuhkan di istana."
"Tapi... tapi aku tak tega. Dia... dia tak pantas untuk disakiti. Terlalu sayang
jika sampai menderita."
"Aaah...! Minggir kau!"
Tangan itu disingkirkan dengan kasar oleh si Mawar
Rimba, ia segera maju, namun pundaknya dicekal
kembali oleh Bunga Ranjang.
"Mawar, jangan lukai dia!"
"Kau ini apa-apaan, hah"!" bentak Mawar Rimba.
"Aku... aku tak tega melihat dia terluka, Mawar!
Jangan lukai dia lagi. Kasihan dia, Mawar!"
Plakk...! Tamparan keras pun dilayangkan ke wajah
Bunga Ranjang. Wajah itu sampai tersentak kuat ke
samping. Bunga Ranjang menjadi geram. Maka
dihantamnya dada Mawar Rimba dengan pukulan
telapak tangan. Buuhk...!
"Heegh...!" Mawar Rimba tersentak mundur dengan mendelik karena pukulan itu
bertenaga dalam cukup
tinggi. Bekas pukulan mengepulkan asap tipis walau
tidak meninggalkan noda hangus selain hanya warna
biru memar samar-samar.
"Keparat kau, Bunga...! Hiaaah...!"
Tendangan cepat melayang ke arah wajah Bunga
Ranjang. Dengan gerakan lincah Bunga Ranjang
miringkan badan dan merendah sehingga ia luput dari tendangan yang mempunyai
tenaga dalam besar juga itu.
Hembusan angin tendangan itu akhirnya menghantam
sebatang pohon yang tumbuh di belakang Bunga
Ranjang. Duuurrr...! Pohon itu bergetar kuat, daun-daunnya
berguguran. Bahkan kulit pohon itu terkelupas sebagian bagai dihantam dengan
besi besar. Bunga Ranjang tak mau celaka oleh serangan Mawar
Rimba, ia segera menyapu kaki temannya itu dengan
tendangan putar bawah. Wuuut...! Tapi Mawar Rimba
melenting ke atas dan melepaskan pukulan tenaga
dalamnya tanpa sinar ke arah pundak Bunga Ranjang.
Beet...! Brruukkk...! Bunga Ranjang pun jatuh dengan
memekik tertahan sampai tak terdengar suaranya.
Pundaknya seperti dihantam memakai kayu balok
dengan kuat sekali. Hampir saja tulang di pundaknya itu patah seketika.
Melihat dua perempuan cantik yang rata-rata berusia
sekitar dua puluh tiga-dua puluh empat tahun itu
bertarung sendiri, Suto Sinting memanfaatkan
kesempatan untuk larikan diri. Tentu saja ia menyambar Pematang Hati lebih dulu,
wuuuss...! Gadis yang sudah tak berdaya dan semakin banyak ditumbuhi cairan
hitam kental yang busuk itu segera dipanggulnya, lalu
Pendekar Mabuk melesat tinggalkan tempat tersebut
dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman-nya.
Zlaaapp...! Kedua perempuan itu lanjutkan perkelahiannya,
hingga keduanya sama-sama menderita luka yang cukup
berbahaya. Akhirnya mereka sama-sama hentikan
pertarungan setelah Bunga Ranjang berseru,
"Cukup! Lihat, buronan kita telah lenyap!"
"Jahanam!" geram Mawar Rimba memandang ke
arah tempat kosong yang tadi dipakai berdiri Suto
Sinting. "Ini semua gara-gara kau, Bunga!" bentak Mawar Rimba dengan sesekali menarik
napas karena pukulan
Bunga Ranjang membuat ulu hatinya sakit sekali.
"Jangan salahkan diriku! Kau terlalu kasar
membujuknya. Seharusnya pria seperti dia diperlakukan dengan lembut, maka semua
keinginan kita akan
diturutinya, ia akan bertekuk lutut jika kita sedikit manja dan merengek mesra!"
bantah Bunga Ranjang dengan menahan rasa sakit di punggung dan pundak.
"Pria berilmu seperti dia tidak bisa dirayu dengan kemesraan, ia tak suka
perempuan manja dan cengeng,
ia akan tertarik kepada perempuan yang tegar, tegas dan sedikit galak! Bodoh
amat kau ini,Bunga!"
"Kita berdua sama-sama bodoh!" balas Bunga Ranjang.
Mawar Rimba menarik napas dalam-dalam,
sembuhkan luka dengan hawa murninya. Kemudian ia
hembuskan napas itu lepas-lepas.
"Ke mana arah kepergiannya?" tanya Mawar Rimba tanpa memandangi Bunga Ranjang.
"Entah ke mana. Aku tak sempat melihatnya!"
"Sial! Susah-susah mencarinya begitu ditemukan
malahan kita bertarung sendiri"!"
"Kita minta bantuan Nyai Ratu saja untuk mengetahui di mana dia berada."
"Nyai Ratu sudah panik, karena dia tak bisa di lacak dengan Ilmu 'Kelana Iblis',
apa kau tak tahu hal itu"!"
sentak Mawar Rimba. "Karena itulah kita yang
ditugaskan mencari Pendekar Mabuk! Kalau masih bisa dilacak dengan ilmu, 'Kelana
Iblis', Nyai Ratu tidak akan menugaskan kita, tahu"!" '
"Maksudku, kita menghadap Nyai Ratu dan
sampaikan tantangannya tadi. Dia menantang Nyai Ratu untuk pertarungan esok
malam di Bukit Perawan Laut!"
"Nyai Ratu justru bisa penggal kepala kita kalau kita pulang dengan tangan
hampa." "Tak mungkin," sanggah Bunga Ranjang. "Kita datang membawa kabar baik. Aku yakin
Nyai Ratu akan unggul dalam pertarungan nanti!"
"Kalau begitu, kau saja yang menghadap Nyai Ratu dan aku akan mengejarnya!"
perintah Mawar Rimba, akhirnya mereka pun berpisah.
* * * 6 LUKA dalam yang diderita Pendekar Mabuk makin
terasa nyeri, pernapasannya pun sangat sesak, ia terpaksa hentikan langkah dan
menurunkan Pematang Hati dari
pundaknya. Gadis Itu semakin menyebarkan bau busuk,
kulitnya dipenuhi bercak-bercak cairan hitam dari
darahnya yang membusuk. Bau busuk itulah yang
dijadikan bahan lacakan bagi pengejaran Mawar Rimba.
"Oh, sial betul keadaanku ini! Tak ada bumbung tuak, tak bisa diatasi lukanya
Pematang Hati," keluhnya dalam hati sambil susah payah menghela napas.
"Lukaku sendiri terasa makin memberat. Walau aku bisa bertahan sampai beberapa
saat, namun keadaan
Pematang Hati sangat mencemaskan. Nyawanya bisa
hilang jika tak segera terobati. Tadi sudah kucoba
salurkah hawa murniku, namun tak bisa dipakai untuk
menawarkan racun tersebut. Gila! Kalau sampai dia
mati, si Kusir Hantu bisa murka padaku. Uuh...!
Menyesal juga aku dititipi cucu si Kusir Hantu. Kalau tahu akan begini jadinya
lebih baik aku pergi sendiri tanpa gadis ini. Tapi... gadis ini bisa
membangkitkan semangatku. Sayang kalau kutinggalkan begitu saja
dan...." Ucapan batin Pendekar Mabuk terhenti, karena tibatiba ia melihat beberapa orang melintas di sebelah timur,
ingin mendaki bukit tanpa nama itu. Pendekar Mabuk
cepat berdiri dari duduknya, memandang penuh harap ke arah beberapa orang itu.
Hatinya berdebar-debar setelah mengetahui mereka adalah Resi Pakar Pantun dan
rombongannya. "Mereka... mereka ada di sana! Oh, itu dia bumbung tuakku dibawa oleh si Kadal
Ginting! Dan... oh,
rupanya, si Awan Setangkai sudah menjadi besar seperti sediakala"! Apakah...
apakah dia disembuhkan oleh Resi Pakar Pantun" Aku harus segera ke sana! Aku
harus bergabung dengan mereka. Tampaknya di sana juga ada
si Bulan Sekuntum dan...."
Wuuutt, buhkk...!
"Heeeggh...!" Suto Sinting terpental ke depan karena sebuah tendangan kuat
bertenaga tinggi. Tubuhnya
terlempar dan jatuh berguling-guling. Seseorang telah menyerangnya dari
belakang, dan orang itu tak lain
adalah si Mawar Rimba.
"Uuhk, uuhk, hooeek...!" Pendekar Mabuk
memuntahkan darah kental. Tendangan Mawar Rimba
yang mengenai punggungnya itu ternyata membuat luka
dalam yang dideritanya semakin parah.
Dengan pandangan mata mulai berkunang-kunang,
Suto Sinting mencoba tegakkan kepala, ia memang tak
berdiri, karena lututnya bagai tak bertulang lagi. Ia hanya bisa berlutut satu
kaki, Itu pun dilakukan dengan gemetar. Wajah cantik si Mawar Rimba dipandangnya
dalam keadaan buram.
"Oh, dia...?" Suto membatin begitu mengenali siapa
penyerangnya. "Tantanganmu kepada Nyai Ratu hanya sesumbar
tanpa arti, Pendekar Mabuk! Melawanku saja kau tak
mampu, apalagi melawan Nyai Ratu," ujar Mawar
Rimba dengan bertolak pinggang di depan Suto Sinting, memunggungi Pematang Hati
yang dalam keadaan
dibaringkan di bawah pohon.
"Dengan sangat terpaksa aku memperlakukan dirimu seperti ini, karena kau
membangkang bujukan halusku, Pendekar Mabuk! Sekarang kau mau apa lagi, hah" Tak
ada lagi dayamu untuk bertingkah di depanku! Kau
harus kubawa ke Istana Selat Bantai!"
Mawar Rimba hendak lepaskan totokan agar
mempermudah membawa tubuh Suto Sinting. Tapi baru
saja ia membungkuk, tiba-tiba terdengar suara yang
menyapanya dengan keras.
"Jangan sentuh dia!"
Seruan itu cukup mengejutkan Mawar Rimba, ia
segera palingkan pandang kepada si pemilik suara.
Ternyata seorang perempuan cantik bermata dingin dan berhidung mancung.
Rambutnya terurai lepas
sepunggung, tanpa diikat sedikit pun. Ia mengenakan


Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pakaian ketat terusan dari atas ke bawah berwarna biru terang. Lengannya pun
tertutup pakaian ketat itu, hingga karena ketatnya maka bentuk tubuhnya yang
sekal dan montok itu terlihat jelas. Di lengan perempuan cantik berusia sekitar tiga puluh
tahun itu terdapat sepasang pisau kembar, diikat dengan tali karet.
Dari wajah cantiknya yang berkesan sedingin salju
itu, Pendekar Mabuk masih bisa mengenali perempuan
itu sebagai orang yang pernah bekerjasama dengannya
dalam peristiwa gegernya pusaka kuno; Panji-panji
Mayat. Perempuan itu tak lain adalah Merpati Liar, yang mempunyai kekuatan pada
matanya. Rupanya si Mawar Rimba mengenal sosok Merpati
Liar, sehingga dengan ketusnya ia berseru kepada
Merpati Liar, "Perempuan liar..., apa maksudmu melarangku
menyentuhnya"!"
"Tak perlu kau tahu maksudku. Tinggalkan dia dan jangan sekali-kali mencoba
menyentuhnya sebelum kau
mampu mencabut nyawaku, Mawar Rimba!"
"Laknat kau, Merpati Liar! Rupanya kau masih suka ikut campur urusanku, hah"!"
Mawar Rimba melangkah dekati Merpati Liar. Ia segera mencabut pedangnya yang ada
di punggung. Sreettt..!
"Aku tak punya waktu untuk bermain-main. Kucabut nyawamu secepat mungkin,
Merpati Liar!"
Seet, weerrr...!
Merpati Liar kibaskan kepalanya ke kiri. Tiba-tiba
pedang Mawar Rimba terlempar dan menancap di salah
satu batang pohon. Jrrub...! Mawar Rimba sempat
terbengong sesaat, ia segera sadar bahwa Merpati Liar mempunyai kekuatan pada
matanya yang bisa
menggerakkan benda apa pun yang dipandangnya. Jurus
'Kendali Netra' merupakan jurus yang selalu digunakan pertama menghadapi lawan.
Mawar Rimba tenang kembali, ia biarkan pedangnya
menancap di pohon, tapi ia segera mengibaskan kedua tangannya bagaikan menghalau
burung di sawah.
Wuuuss...! Asap beracun menyebar ke mana-mana. Merpati Liar
segera tutup hidung dengan tangan kiri dan lakukan
lompatan ke arah samping, ia sempat berseru kepada
Suto Sinting, "Jangan bernapas!"
Suto Sinting cepat tanggap terhadap seruan tersebut, ia menahan napas sambil
mencoba merangkak dekati
tubuh Pematang Hati yang tak bergerak dari tadi itu.
Ketika sampai di samping Pematang Hati, ia melihat
tubuh Mawar Rimba melayang ke samping dan
membentur pohon dengan kuatnya. Brruuss...!
Terdengar pula pekik tertahan dari si Mawar Rimba
yang pundaknya membentur pohon dengan telak.
"Ouh...!"
Gadis itu cepat gulingkan badan beberapa kali untuk
hindari serangan mata Merpati Liar. Saat gerakan
bergulingan berhenti, tangannya menyentak ke depan
dengan dua jari mengeras lurus dan salah satu kaki
berlutut. Suuttt...! Claaapp...!
Selarik sinar biru melesat dari ujung kedua jari itu.
Sinar biru tersebut menyebar menjadi bunga api yang
menyergap tubuh Merpati Liar. Tetapi kedua jari
Merpati Liar juga segera berkelebat melepas sinar merah yang merupakan jurus
'Aji Brangaspati' itu. Clappp...!
Percikan bunga api diterjang sinar merahnya Merpati
Liar, maka terjadilah sebuah ledakan yang menggelegar
dengan dahsyatnya.
Blegaaarr...! Gelombang hentakan begitu kuatnya, sehingga dua
pohon besar di dekat terjadinya ledakan itu menjadi
tumbang seketika. Gemuruh suara tumbangnya pohon
menggema memenuhi hutan tersebut. Tanah pun
terguncang beberapa saat lamanya, sebagian ada yang
terbelah retak. Sedangkan daun-daun di sekitar tempat itu berhamburan ke manamana. Ledakan keras yang mengguncangkan bumi itu
menjadi pusat perhatian rombongan Resi Pakar Pantun.
Tetapi ada pihak lain yang juga tertarik dengan ledakan dahsyat itu. Maka
beberapa orang pun segera
menghambur berlarian menuju pusat terjadinya ledakan tadi.
Pada saat itu, tubuh Mawar Rimba terpelanting ke
belakang, ia berusaha untuk tidak jatuh, tetapi kekuatan mata dari Merpati Liar
telah membuatnya terangkat dan terlempar ke samping kiri. Wuuuss...!
Tubuh itu menghantam pohon besar yang tadi nyaris
ikut tumbang. Bruukkk...!
"Huaahkk...!" Mawar Rimba terpekik dengan mata terpejam kuat-kuat menahan rasa
sakit. Kerasnya benturan itu membuat tubuh Mawar Rimba
memantul dan jatuh tepat di atas pohon yang patah dan tumbang tadi. Patahan
pohon itu mencuatkan tonggak-tonggak kayu runcing, sehingga ketika tubuh Mawar
Rimba jatuh di atasnya, kayu-kayu runcing itu pun
menembus iga, ulu hati, dada serta bagian bawah
perutnya. Jruusss...!
"Oh..."!" Suto Sinting palingkan wajah dengan memejam, karena ngeri menyaksikan
tubuh Mawar Rimba yang dihujam kayu-kayu runcing itu.
"Heaah..!" Mawar Rimba masih berusaha untuk tetap bangkit walau keadaannya sudah
sangat parah. Sentakan tangannya membuat tubuhnya melesat ke atas dan
terlepas dari kayu-kayu runcing itu. Wuuuss...!
Dalam keadaan melambung di udara dan darah
bercucuran, Mawar Rimba mencoba lakukan serangan
tenaga dalamnya dengan melepaskan sinar kuning besar ke arah Merpati Liar.
Weeess...! Merpati Liar sentakkan ujung jari kakinya, maka
tubuh pun metesat ke samping dengan cepat sekali.
Weeess...! Sinar kuning itu menghantam pepohonan di
sebelah barat. Jlegaarrr...! Lima pohon pecah seketika dihantam
sinar kuning besar itu.
Tetapi sebelum Mawar Rimba mendaratkan kakinya
ke tanah, Merpati Liar telah lakukan serangan lagi
menggunakan kekuatan matanya. Wesss...! Tubuh gadis
berpakaian kuning itu terlempar kembali ke belakang
dengan sangat kuatnya. Bahkan tubuh itu bagai
melambung naik sampai akhirnya menghantam sebatang
pohon yang patah dahannya akibat ledakan pertama tadi.
Jrruubb...! Sisa patahan dahan membentuk kayu runcing sebesar
lengan. Tubuh yang melayang cepat itu akhirnya
tertancap pada kayu runcing tersebut tanpa ampun lagi.
Kayu itu menembus dari punggung sampai ke dada,
sehingga tubuh Mawar Rimba tergantung di sana. Ia tak bisa memekik lagi, hanya
berusaha untuk melepaskan
diri dari kayu runcing tersebut. Namun tenaganya
semakin lemah, darahnya semakin mengucur banyak,
dan akhirnya ia terkulai lemas. Kejap berikutnya ia
tampak hembuskan napas terakhir dalam keadaan tetap tertancap di atas pohon
tersebut. Merpati Liar masih tampak segar ketika seorang
lelaki tua berambut putih pendek, mengenakan pakaian abu-abu muncul di tempat
itu. Tokoh tua yang berusia sekitar tujuh puluh tahun itu segera terperanjat
melihat kematian Mawar Rimba. Lebih terperangah lagi saat
memandangi Suto Sinting yang duduk terkulai di
samping seorang gadis yang terbaring tanpa gerakan
sedikit pun itu.
Tokoh tua bertubuh kurus, dengan gigi depan tinggal
dua itu segera dekati Suto Sinting setelah pandangi
Merpati Liar sesaat, ia bukan menyapa Suto Sinting,
melainkan menyapa gadis yang terbaring karena terkena racun 'Asap Kubur'-nya si
Bunga Ranjang tadi.
"Pematang Hati..."! Oh, kenapa kau, Manis..."!"
Lelaki itu hanya dipandangi oleh Suto Sinting dengan sorot pandangan mata sayu.
Tapi akhirnya Suto pun
menyapa tokoh berpakaian abu-abu yang tak berkumis
dan tak berjenggot itu.
"Tua Bangka... syukurlah kau datang," suara Suto Sinting lemah sekali. Merpati
Liar tampak cemas dan
segera mendekati Pendekar Mabuk.
Tokoh tua itu tak lain adalah kakak si Kusir Hantu
yang sering dipanggil Pematang Hati dengan sebutan
Eyang Sanupati alias si Tua Bangka.
"Apa yang terjadi dengan cucu adikku ini"!" tanyanya kepada Suto Sinting.
"Racun 'Asap Kubur'-nya si Bunga Ranjang terhirup olehnya saat si Bunga Ranjang
dan Mawar Rimba ingin
menangkapku! Uuhkk...!"
"Baringkan tubuhmu, biar kusalurkan hawa
murniku!" ucap Merpati Liar dengan cepat, seakan sangat takut kehilangan nyawa
Suto, "Celaka! Apa yang kukhawatirkan benar-benar
terjadi!" kata Tua Bangka. "Lalu di mana si Kusir Hantu, adikku itu"!"
"Entah! Dia... dia pergi mencari Pendekar Mabuk.
Dia tak percaya kalau aku adalah Pendekar Mabuk. Dia ingin tangkap aku, Tua
Bangka! Tapi dia tak tahu siapa aku. Bodoh sekali adikmu itu."
"Memang dia bodoh!" gerutu Tua Bangka. "Tapi kakaknya tidak bodoh!"
Merpati Liar salurkan hawa murninya melalui telapak
tangan yang ditempelkan ke dada Suto. Telapak tangan itu lama-lama berasap dan
Suto menyeringai karena
dadanya terasa ditekan oleh balok es yang dinginnya
bukan main. "Hei, kalau tak salah kau si Merpati Liar, bukan?"
ujar Tua Bangka, tapi tak mendapat jawaban dari
Merpati Liar maupun dari Suto Sinting, ia berkata lagi kepada Merpati Liar
dengan nada panik.
"Hei, Sembuhkan si Pematang Hati ini lebih dulu!
Lukanya lebih parah dari luka si Suto Sinting!"
Merpati Liar hentikan pengobatan sebentar, kemudian
berkata dengan nada dingin,
"Racun 'Asap Kubur' tak ada obatnya! Yang
mempunyai obat penawar racun itu hanya si Bunga
Ranjang sendiri."
"Memang benar, aku sudah menduga kau akan
berpendapat begitu."
"Mengapa kau masih menyuruhku mengobati gadis
itu?" "Yah kupikir... kupikir setahuku dulu kau pernah bersahabat dengan Ratu Cendana
Sutera. Siapa tahu kau tahu cara melumpuhkan racun 'Asap Kubur' itu!" ujar si
Tua Bangka dengan pandangan mata serba bingung.
"Persahabatan kami putus karena dia mengambil
aliran sesat!" kata Merpati Liar, kemudian lakukan penyembuhan lagi terhadap
diri Pendekar Mabuk.
Dalam keadaan si Tua Bangka cemas itu, tiba-tiba ia
terperanjat melihat kedatangan Resi Pakar Pantun dan rombongan. Bulan Sekuntum
dan Awan Setangkai
sama-sama bergegas hampiri Suto Sinting.
"Suto..."!" mereka menyapa tegang secara bersamaan tanpa disengaja.
"Awan... Awan Setangkai... kau sudah menjadi besar lagi rupanya. Siapa yang
memulihkan keadaanmu,
Awan"!"
"Ak... aku... aku pulih karena kami tadi singgah di sebuah desa. Kami mengisi
bumbung tuakmu dengan
tuak dari kedai yang kami singgahi. Aku haus dan
minum tuak bumbungmu itu, ternyata tuak itu
membuatku berubah bentuk semula. Tidak sekecil
kemarin." "Ooh... tuak" Mana bumbung tuakku" Mana..."!"
Suto Sinting bersemangat, bahkan ia paksakan diri untuk bangkit. Kadal Ginting
segera mendekat dan sodorkan
bumbung tuak itu.
"Ini bumbung tuakmu, Suto! Percayalah, tak ada
seorang pun yang mau percaya bahwa aku adalah
Pendekar Mabuk, walau aku membawa-bawa bumbung
tuakmu," kata Kadal Ginting, lalu kepalanya disodok tangan Resi Pakar Pantun
dari belakang hingga terantuk ke depan.
"Hanya orang gila yang percaya kau Pendekar
Mabuk! Ada-ada saja bicaramu!"
Kadal Ginting menyingkir sambil nyengir.
Pendekar-Mabuk segera menenggak tuaknya
beberapa kali. Ia merasa segar dan tenaganya mulai pulih kembali. Pematang Hati
segera diberi minum tuak itu
dengan cara paksa. Mulut gadis itu dibuka oleh Tua
Bangka, lalu tuak dikucurkan oleh Suto Sinting.
Sebagian tuak tertelan, sebagian lagi meluber ke sekitar wajah Pematang Hati.
Gadis itu tersedak dan terbatuk-batuk. Tapi hal itu
justru membuat Tua Bangka menjadi ceria, karena ia
yakin jika Pematang Hati bisa terbatuk-batuk, berarti tuak sudah tertelan dan
racun 'Asap Kubur' akan dapat ditawarkan.
"Aku mendapat kabar dari Mahligai Sukma, adik si Pematang Hati ini, tentang apa
yang akan dilakukan oleh Kusir Hantu," ujar Tua Bangka. "Aku menjadi cemas
sekali, sebab aku tahu si Kusir Hantu pasti salah sangka dan menjadi bermusuhan
dengan Pendekar Mabuk."
"Kelihatannya memang begitu," ujar Resi Pakar Pantun. "Aku sudah jelaskan duduk
persoalannya, tapi ia tidak mau percaya dengan omonganku, juga tak mau
percaya dengan penjelasan mereka ini."
Merpati Liar diam saja, pandangi si Pematang Hati
yang mulai sadar. Cairan hitam yang keluar dari pori-porinya dan berbau busuk
itu mulai mengering, bagai
meresap atau menguap dihembus angin. Akhirnya gadis
itu menjadi sehat dan bersih, seperti tak pernah
mengalami luka racun apa pun.
Awan Setangkai melirik Merpati Liar. Agaknya
keduanya pernah terjadi permusuhan sebelum Awan
Setangkai berpihak kepada Suto Sinting. Pandangan
mata mereka memancarkan dendam lama, sehingga
Awan Setangkai segera menyapa dengan ketus kepada
Merpati Liar. "Apa lihat-lihat"! Mau teruskan perkara lama"!"
"Kalau aku mau teruskan perkara lama sudah
kuhancurkan tubuhmu waktu kau jumpa denganku
dalam keadaan menjadi kecil," ujar Merpati Liar membatin.
Merpati Liar yang dulu pernah bertarung dengan
Awan Setangkai gara-gara tak diizinkan temui Ratu
Cendana Sutera, kini hanya sunggingkan senyum tipis
dan berkesan dingin sekali. Pada waktu itu, Pematang Hati sedang ceritakan
keadaan kakeknya kepada Eyang


Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sanupati alias si Tua Bangka.
Awan Setangkai melirik lagi kepada Merpati Liar.
Tiba-tiba kepala Merpati Liar mengibas cepat, dan tubuh Awan Setangkai
terpelanting ke belakang, jatuh
berjumpalitan di tanah.
"Setan kau!" bentak Awan Setangkai dengan berang.
Merpati Liar siap lepaskan serangannya lagi. Tapi Resi Pakar Pantun segera
melerai dengan berdiri di
pertengahan jarak mereka.
"Hei, hei... apa-apaan kailan ini" Seperti anak kecil saja!"
"Dia masih ingin teruskan pertarungan lama kami,"
kata Awan Setangkai dengan menuding ketus kepada
Merpati Liar. "Kau yang menghendakinya, dan aku hanya menuruti keinginan batinmu!"
"Majulah kalau kau ingin hancur di tanganku!" sentak Awan Setangkai.
"Ssst... ssstt...!" Tua Bangka ikut melerai. "Kalau mau lanjutkan pertarungan
lama, nanti saja jika urusan ini sudah selesai!"
"Minggir kau, Pak Tua!" sentak Awan Setangkai kepada Tua Bangka, ia ingin
lakukan serangan kepada
Merpati Liar. Tapi sang Pendekar Mabuk cepat berseru dari tempatnya,
"Siapa ingin lakukan pertarungan di sini"! Lawanlah aku dulu. Kalau bisa
tumbangkan aku, kalian boleh adu
kesaktian!"
Suara bernada menghardik itu membuat Awan
Setangkai kendorkan urat tangannya dan bersungutsungut dalam gerutuan tak tentu. Bulan Sekuntum
menepuk-nepuk pundak Awan Setangkai agar
kemarahan gadis itu mereda, sedangkan Kadal Ginting mencoba membujuk Merpati
Liar dengan ucapan tak
jelas dan tak dipedulikan oleh Merpati Liar sendiri. Tapi perempuan cantik
bermata dingin itu segera menyingkir ke samping Pematang Hati.
Cucu si Kusir Hantu itu ajukan tanya kepada Tua
Bangka, "Eyang, sekarang si Mahligai Sukma ada di mana?"
"Mahligai kusuruh mencari kakekmu dan
menyampaikan pesanku agar ia tidak bertindak gegabah sebelum bertemu denganku!"
jawab Tua Bangka agak wibawa, walaupun biasanya bersifat sedikit konyol.
Resi Pakar Pantun segera berkata kepada Tua
Bangka. "Bagaimana kalau kita temui si Cendana Sutera"!
Kita berdua yang menemuinya dan mendesaknya agar
membatalkan niatnya untuk menggunakan Suto Sinting
sebagai pria penabur benih ke turunan itu!"
"Tak perlu," sahut Suto yang tampak lebih gagah dari sebelum meminum tuaknya.
"Aku sudah lontarkan tantangan kepada Ratu
Cendana Sutera. Kami akan bertarung secara pribadi di Bukit Perawan esok malam."
"Gila kau!" gumam Resi Pakar Pantun.
"Bukit Perawan yang mana" Yang di darat atau yang di laut?" tanya Tua Bangka.
"Bukit Perawan Laut!" jawab Suto tegas dan jelas.
"Aku yakin Ratu Cendana Sutera akan datang dan
menyukai tantanganku itu. Sebab jika aku kalah, aku
bersedia menjadi budaknya, dan jika dia yang kalah
maka dia harus batalkan niatnya mengambilku sebagai
pria pembenih!"
"Kalau begitu, biar aku yang maju melawannya!"
sahut Merpati Liar.
"Tidak! Ini urusan pribadiku!" sergah Pendekar Mabuk.
Awan Setangkai menimpali, "Sebaiknya, biarkan aku yang menghadapi ratu-ku
sendiri. Aku tahu bagaimana
cara menumbangkannya!"
"Kuharap kau beristirahat saja, Awan Setangkai. Aku tak ingin melibatkan siapa
pun, karena aku pribadi yang menantang Ratu Cendana Sutera secara pribadi pula!"
"Agaknya pertarungan ini adalah pertarungan
terhormat bagimu, Suto!" ujar Resi Pakar Pantun.
"Setidaknya untuk menunjukkan kepada Ratu
Cendana Sutera, bahwa aku bukanlah seekor babi hutan yang harus dikejar-kejar ke
sana-sini, Resi!"
Kadal Ginting ikut menyahut, "Hebat!" ia acungkan jempolnya.
"Apanya yang hebat"!" sergah sang Resi.
"Watak ksatria Suto mirip saya, Eyang."
"Apanya yang mirip?" Bulan Sekuntum bersungut-sungut dalam gerutuan.
"Setidaknya, aku pernah membawakan bumbung
tuaknya. Jadi antara aku dan Suto punya sedikit
kesamaan, yaitu sama-sama pernah membawa bumbung
sakti itu."
Suto Sinting sunggingkan senyum bersama senyum
yang lain. Ia menepuk pundak Kadal Ginting dan
berkata, "Terima kasih atas jasamu membawakan bumbung
tuakku. Tapi ketahuilah, seandainya bumbung tuak ini tidak kau bawa, ia akan
datang sendiri padaku, karena bumbung ini adalah jelmaan dari Eyang Guru-ku!"
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pedang Guntur Biru").
"Kalau begitu," kata Tua Bangka kembalikan suasana ke masalah semula,"... kau
perlu istirahat dulu, Suto.
Kau butuh tenaga dan kesiapan menghadapi
pertarunganmu dengan Ratu Cendana Sutera esok
malam!" Bulan Sekuntum segera berkata, "Tak jauh dari sini ada sebuah pondok milik
kenalanku; seorang tabib yang pernah gagal mengobati Ratu-ku; Ratu Dewi Giok!
Tapi kami tetap berhubungan baik. Kurasa, beliau bersedia menampung kita untuk
beristirahat, sampai esok malam kita akan antar Suto ke Bukit Perawan Laut."
"Baik. Itu gagasan yang baik!" kata Tua Bangka.
"Kita ke sana sekarang saja, selagi masih ada sisa matahari senja!"
"Aku tak ikut!" cetus Merpati Liar. Semua
memandang Merpati Liar. Sebelum ada yang bertanya
penyebabnya, Merpati Liar berkata lebih dulu,
"Aku akan mencari adikku, si Angin Betina!"
"O, iya...!" Suto Sinting teringat Angin Betina. "Aku berpisah dengannya ketika
aku akan membebaskan
Elang Samudera. Kurasa ia juga sedang mencarimu!"
Suto Sinting sengaja tidak menceritakan tentang
kepergian Angin Betina karena cemburu terhadap si
Payung Serambi, takut membangkitkan kecemburuan di
pihak lain. * * * 7 MALAM itu, Pendekar Mabuk dan rombongan
tinggal di rumah tabib kenalan Bulan Sekuntum yang
dikenal dengan nama Tabib Pualam.
Ia seorang tabib lelaki berusia sekitar tujuh puluh
tahun, berbadan kurus, berjenggot panjang sedada warna abu-abu, sama seperti
rambutnya yang berwarna abu-abu panjang sepundak tanpa ikat kepala. Tabib Pualam
termasuk orang bertubuh jangkung, dan gemar
mengenakan jubah coklat tua.
Ia menerima Suto dengan penuh hormat, bahkan di
depan beberapa orang yang hadir di pondoknya itu,
Tabib Pualam terang-terangan mengatakan,
"Ilmu ketabibanku belum seberapa jika dibandingkan Pendekar Mabuk. Biar masih
muda, tapi keampuhan
tuak saktinya sering menjadi bahan percakapan para
tabib lainnya. Sebab itulah, hari ini aku merasa
mendapat kehormatan besar kedatangan tamu agung
yang dikenal dengan nama Tabib Darah Tuak...."
Suto Sinting sunggingkan senyum ramah namun
tampak tetap rendah hati. Ia berkata kepada Tabib
Pualam, "Bagaimanapun juga ilmuku masih lebih rendah dari ilmu ketabibanmu, Ki Pualam.
Sudah seharusnya akulah yang merasa menaruh hormat setinggi-tingginya kepada Ki
Pualam yang jauh lebih tua, lebih berpengalaman,
dibandingkan diriku. Aku sangat berterima kasih
mendapat kesempatan singgah di kediamanmu yang
teduh dan damai ini, Ki Pualam."
Kadal Ginting menyahut, "Sesama tabib dilarang
saling mencontek ilmu, ya?"
Canda si Kadal Ginting membuat suasana menjadi
semakin akrab. Tabib Pualam menjamu mereka hingga
larut malam. Pada akhirnya, tinggal tiga orang yang
melanjutkan percakapan hangatnya, yaitu Tabib Pualam, Resi Pakar Pantun, dan si
Tua Bangka yang ternyata
juga mengenal si Tabib Pualam sejak muda itu.
Esoknya mereka berangkat ke Bukit Perawan secara
rombongan. Mereka yang mengiringi Suto Sinting
menuju ke medan pertarungan adalah, Resi Pakar
Pantun, Tua Bangka, Awan Setangkai, Bulan Sekuntum,
Pematang Hati dan Kadal Ginting. Tak lupa Tabib
Pualam ikut juga dalam rombongan ini, karena
menurutnya saat itu adalah kesempatan emas baginya,
dapat menyaksikan pertarungan seorang pendekar
kondang yang selama ini menjadi buah bibir para tokoh di rimba persilatan. Tabib
Pualam tak mau menyia-nyiakan kesempatan emasnya itu, sehingga ia ikut dalam
rombongan menuju Bukit Perawan.
Kadal Ginting sempat berseru dalam selorohnya,
"Seperti iring-iringan prajurit kadipaten mau ke medan perang!"
Tapi Resi Pakar Pantun menyahut, "Mending kalau disangka begitu, kalau-disangka
kita mau menguburkan jenazah, bagaimana"!"
Sepanjang perjalanan mereka ditaburi tawa. Tapi
Pendekar Mabuk tidak seriang hati mereka. Ada
keharuan yang terselip di hati pemuda tampan itu
melihat banyaknya orang yang mendukungnya. Dan satu
hal yang membuatnya haru adalah ketiadaan Payung
Serambi di antara mereka. Sebenarnya ia ingin
pertarungan ini disaksikan oleh Payung Serambi, karena secara tak sabar di hati
Suto mulai hadir kerinduan yang meletup-letup terhadap gadis cantik prajurit
pilihan dari Istana Laut Kidul itu.
"Kenapa kau tak seceria biasanya?" tegur Bulan Sekuntum dalam bisikan. Suto
buru-buru sunggingkan
senyum yang dipaksakan.
"Aku memikirkan seseorang," jawabnya polos-polos saja.
"Dyah Sariningrum, maksudmu?"
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam. "Ya...,"
jawabnya pelan karena hatinya segera diliputi
kebimbangan. Hati sang pendekar tampan itu pun
akhirnya berkata,
"Iya, ya... mengapa yang kurindukan adalah Payung Serambi" Mengapa bukan Dyah
Sariningrum, calon
istriku tercinta itu" Aneh...! Aku jadi heran, mengapa sejak aku memakan daun
sirih dari Payung Serambi,
hatiku lebih tertarik kepadanya ketimbang kepada Dyah Sariningrum" Adakah
sesuatu yang berubah dalam
hatiku ini?"
"Suto, apakah kau jadi kawin dengannya?"
"Dengan Payung Serambi, maksudmu?"
"Payung Serambi"!" Bulan Sekuntum terkejut dan berkerut dahi. "Bukankah yang kau
pikirkan Dyah Sariningrum, calon istrimu itu?"
"O, Iya...! Hmmm, eeh, hmm... iya, maksudku
memang Dyah Sariningrum." Suto Sinting tersipu malu karena salah sebut nama
orang yang dipikirkan. Hal itu menimbulkan kecurigaan di hati Bulan Sekuntum.
"Sepertinya aku memang pernah mendengar nama
Payung Serambi, tapi kapan dan di mana" Siapa dia
sebenarnya" Ah, aku lupa tentang nama itu," kata Bulan Sekuntum.
"Lupakan tentang nama itu," kata Suto sambil menepiskan tangannya seakan ingin
membuang bayangan Payung Serambi.
"Lalu..., bagaimana dengan si Pematang Hati?" desak Bulan Sekuntum.
"Pematang Hati"! Oh, aku tak ada hubungan apa-apa dengan si Pematang Hati."
"Betulkah" Tapi semalam saat ia tidur bersamaku,
kudengar ia mengigau memanggil-manggil namamu dan
cekikikan."
"Wah, gawat!" Suto Sinting terperanjat dan menjadi tak enak hati. Bulan Sekuntum
sunggingkan senyum
tipis bersifat mengejek.
Tiba-tiba terdengar suara Pematang Hati dari
belakang, gadis itu semula sedang bicara dengan Awan Setangkai dan agak
tertinggal. "Eyang...! Eyang aku capek! istirahatlah dulu, Eyang!" serunya bernada manja.
Tua Bangka menggerutu, "Kolokan! Dasar cucunya si Kusir Hantu!"
Lalu, Tua Bangka berkata kepada Suto Sinting,
"Bagaimana menurutmu, Suto" Perlukah kita beristirahat dulu sesaat?"
"Demi menuruti keinginan cucu adikmu itu, aku tak keberatan untuk beristirahat
asal jangan lama-lama, Tua Bangka. Sebab perjalanan kita masih jauh dan kita
menempuhnya dengan jalan kaki biasa."
Maka mereka pun beristirahat ketika mereka berada
di kaki sebuah bukit tanpa nama. Kadal Ginting
memanjat pohon kelapa dan memetiknya beberapa buah
kelapa lalu diambil airnya. Tentunya mereka tidak sulit-sulit melubangi buah
kelapa itu. Cukup dengan satu kali sodokan jari tangan si Awan Setangkai, buah
kelapa itu telah berlubang dan airnya bisa diminum.
Suto sengaja tidak meminum air kelapa muda. Ia
lebih baik menenggak tuaknya, karena dengan sering
menenggak tuak ia merasa semakin kuat dan semakin
bersemangat. Sambil menunggu mereka beristirahat,
Suto Sinting lakukan pemanasan gerak bersama Bulan
Sekuntum. Namun Awan Setangkai segera ikut ambil
bagian dalam latihan itu. Awan Setangkai menguji
ketangkasan Pendekar Mabuk dengan lakukan pukulan
cepat secara bertubi-tubi, dan ternyata Pendekar Mabuk mampu menangkis atau
menghindari hingga tak satu pun pukulan dan tendangan Awan Setangkai yang
mengenai tubuh Suto Sinting.
"Bagus," kata Awan Setangkai. "Tapi perlu kau ketahui, mata kanan Ratu Cendana
Sutera lebih awas dan lebih jeli ketimbang yang kiri. Jadi lakukan serangan ke
arah kiri terus. Sebaliknya, tangan kanan sang Ratu
kurang tangkas, tapi tangan kiri lebih tangkas. Sebab sang Ratu termasuk orang
bertangan kidal."
"Terima kasih atas pemberitahuanmu. Aku akan
perhatikan sekali keteranganmu ini, Awan Setangkai."
"Jangan lakukan pertarungan dari jarak jauh, karena sang Ratu mempunyai pukulanpukulan jarak jauh
berbahaya. Jadi, jangan beri kesempatan sedikit pun
baginya untuk lepaskan pukulan jarak jauhnya."
"Baik, akan kulakukan gerakan cepat yang langsung melumpuhkannya."
"Jika ia keluarkan asap dan berubah bentuk, hantam mata kakinya. Semuanya akan
buyar dan untuk
menjelma dalam bentuk lain ia butuh waktu agak lama."
Pendekar Mabuk angguk-anggukkan kepala. Segala
yang dikatakan Awan Setangkai diperhatikan betul oleh Suto, karena ia tak ingin
tumbang dalam pertarungan
nanti. Dapat dibayangkan jika ia kalah melawan Ratu
Cendana Sutera, alangkah capeknya ia menghadapi


Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perempuan-perempuan Selat Bantai.
Perjalanan dilanjutkan lagi. Mereka menuju pantai
menyusuri daerah tersebut, sebab Bukit Perawan Laut
ada di daerah perairan pantai. Bukit itu sebenarnya
sebuah gugusan batu karang tanpa pepohonan yang
cukup besar dengan permukaannya yang datar. Untuk
mencapai Bukit Perawan itu seseorang harus lakukan
lompatan-lompatan cepat dari karang-karang kecil yang satu ke yang satunya lagi.
Karang-karang kecil itu
merupakan jembatan bagi siapa pun yang ingin menuju
ke Bukit Perawan. Mereka yang ingin menuju ke sana
harus mempunyai ilmu peringan tubuh, sebab ujungujung karang kecil itu mempunyai keruncingan yang
dapat menembus telapak kaki manusia.
Mereka tiba di pantai seberang Bukit Perawan ketika
matahari hampir tenggelam. Sang rembulan mulai
tampak di langit timur, bersiap memancarkan sinar
purnamanya ketika sang petang tiba.
Dari pantai tampak Bukit Perawan membentang besar
dengan jelas. Karenanya, Suto Sinting berkata kepada mereka,
"Kalian tetap di sini saja. Biar aku sendirian
menunggu lawanku di atas bukit itu."
Mereka saling menyadari maksud Suto. Demi
menjaga harga diri sang pendekar tampan, mau tak mau mereka tetap di pantai dan
membiarkan Suto Sinting
bergegas ke Bukit Perawan. Lompatan-lompatan yang
dilakukan Suto Sinting tampak ringan dan cepat.
Kakinya bagai tak menyentuh karang-karang kecil.
Dalam sekejap saja Suto sudah ada di puncak bukit datar tersebut, ia mengangkat
tangannya yang menggenggam
sebagai lambaian kependekarannya, mereka membalas
dengan tangan tergenggam pula.
"Hancurkan dia!" teriak Awan Setangkai yang tampak lebih banyak memberi semangat
kepada Suto dalam pertarungan itu.
Petang pun datang, cahaya purnama menyinari bumi.
Permukaan Bukit Perawan menjadi terang, tampak Suto
Sinting berdiri tegak menunggu lawannya. Rambutnya
meriap-riap disapu angin lautan. Bumbung tuaknya
tergantung di pundak, karena sesekali ia menenggak tuak walau seteguk dua teguk.
Claap, buuss...!
Seberkas cahaya kuning terang melesat dan jatuh di
atas Bukit Perawan. Jatuhnya sinar kuning itu
menyemburkan asap tebal yang dalam sekejap menjadi
lenyap. Lalu, tampaklah sesosok tubuh langsing berparas cantik dengan rambut
disanggul sebagian, sisanya jatuh terjuntai bagai ekor kuda. Perempuan cantik
itu mengenakan jubah kuning emas berlengan panjang,
tanpa pakaian dalam lagi kecuali selembar kain tipis warna merah jambu sebagai
penutup dada montoknya
dan bagian bawahnya.
"Cendana Sutera sudah datang!" gumam Tua Bangka.
"Agaknya pertarungan akan segera dimulai."
Wees, wes, wuuut...! Seseorang melompati karangkarang kecil dan dalam sekejap sudah sampai di Bukit
Perawan. Mereka sempat terperanjat, lalu memandang
ke arah pantai bagian barat, ternyata rombongan Ratu Cendana Sutera telah tiba.
"Tapi siapa orang yang menyeberang ke sana itu?"
tanya Tabib Pualam, entah ditujukan kepada siapa.
"Wah, kacau kalau begini!" gumam Tua Bangka seperti menggerutu.
Orang yang melesat bagaikan terbang tadi telah
berada di samping Ratu Cendana Sutera. Ternyata orang berbaju biru dan celana
hitam itu tak lain adalah si Kusir Hantu.
"Maaf, aku terlambat, Cendana Sutera. Anak buahmu baru saja menemukan dan
memberitahukan padaku
tentang panggilanmu ketika senja hampir tiba. Sekarang aku datang memenuhi
panggilanmu."
"Lawan si Pendekar Mabuk itu!" perintah sang Ratu dengan tegas walau bersuara
kecil dan lembut.
Kusir Hantu memandang ke arah Suto, ia terperangah
dan menjadi bingung sendiri.
"Lho, kok ternyata kau sendiri, Nak?"
"Sudah kubilang, akulah Pendekar Mabuk. Tapi kau tak percaya, Pak Tua."
Sang Ratu berkata, "Kau berani melawannya,
Pujasera"! Kalau kau berhasil mengalahkannya, berarti kau benar-benar membalas
budi baikku selama ini.
Lumpuhkan dia, tapi jangan sampai cedera!"
"Pepatah mengatakan: 'Tak ada gading yang tak
retak'. Artinya, tak ada tanding untuk kutolak." Lalu ia memandang Suto Sinting
lagi dan berkata, "Nak, aku
terpaksa melawanmu. Maaf, ya..."!"
"Silakan, Pak Tua!" Suto Sinting tautkan kedua tangan di dada dan sedikit
membungkuk memberi
hormat kepada si Kusir Hantu. Weeess..,! Jleeg...!
Tokoh lain muncul di pertengahan jarak antara Kusir
Hantu dengan Pendekar Mabuk. Tokoh yang baru datang
dan mengejutkan Ratu Cendana Sutera itu tak lain
adalah si Tua Bangka.
"Lho, kau ikut datang juga, Kang?" sapa Kusir Hantu.
"Kau ingin bertarung melawan Pendekar Mabuk itu?"
sambil Tua Bangka menuding Suto. "Aku setuju sekali, tapi dengan syarat, kau
harus melawanku lebih dulu dan harus bisa melenyapkan nyawaku!"
"Kang...," Kusir Hantu menjadi bimbang. "Jangan begitu, Kang. Ini urusan
pribadiku."
"Persetan dengan urusan pribadimu! Kau manusia
berotak bodoh! Kau akan celakai pemuda yang telah
selamatkan nyawa cucumu; si Pematang Hati, dari
ancaman maut racun milik anak buah si Cendana Sutera itu"! Hmmm...! Piciknya
adikku yang satu ini! Menyesal aku punya adik sepicik kau, Pujasera! Kalau tahu
kau akan sepicik dan sebodoh ini, lebih baik dulu ketika kau lahir kusuruh masuk
kembali ke perut Ibu kita!"
"Pepatah mengatakan, Kang...."
"Gigimu itu yang harus kupatah-patahkan!" bentak Tua Bangka.
Kusir Hantu lemas dan menunduk, ia tak berani
melawan kakaknya. Melihat keadaan seperti itu. Ratu
Cendana Sutera tidak banyak bicara lagi, ia langsung
berkelebat bagaikan angin berhembus. Weeess...! Suto Sinting diterjangnya dengan
seberkas cahaya merah
memancar dari sekujur tubuhnya.
Pendekar Mabuk berputar tubuh, wees ..! Bumbung
tuaknya berkelebat menghantam tubuh sang Ratu yang
bercahaya merah. Buuhk...! Blaaarr...!
Ledakan dahsyat terjadi dan menggetarkan Bukit
Perawan. Sang Ratu terpental, lalu jatuh dalam keadaan mengucur darah dari mulut
dan hidungnya. Tapi ia
masih nekat maju tanpa banyak bicara. Agaknya apa
kata Awan Setangkai memang benar, bahwa sang Ratu
jangan diberi kesempatan menyerang karena pukulan
jarak jauhnya sangat berbahaya.
Maka sebelum tangan sang Ratu bergerak, Suto
Sinting lebih dulu lepaskan jurus 'Pecah Raga' yang
berupa sinar hijau dari telapak tangannya. Claap...!
Jlegaar...! Sang Ratu menangkisnya dengan sinar biru yapg
menyala di telapak tangannya Tapi ia terpental dan
kulitnya menjadi terkelupas, darah mengalir dari tiap kupasan kulit tersebut.
Sang Ratu tetap bangkit, ia tak mau menyerah begitu saja,
"Heiaaah...!"
Ratu Cendana Sutera memekik panjang dan lakukan
lompatan cepat bagaikan hembusan badai. Wuuus...!
Suto Sinting menyambutnya dengan lompatan cepat
pula. Zlaaap...!
Tubuh sang Ratu memancarkan cahaya merah dalam
keadaan melayang di udara, dan Suto Sinting segera
bersalto cepat satu kali. Keadaannya menjadi berada di bawah sang Ratu. Maka
telapak tangan kanan Pendekar
Mabuk pun menyentak ke atas menghantam ulu hati
sang Ratu. Bertepatan dengan pukulan itu, melesatlah sinar hijau sekejap sebelum
telapak tangan menyentuh tubuh sang Ratu.
Wuuutt...! Buuhk...!
Weeess...! Tubuh sang Ratu tersentak ke atas lebih
tinggi lagi. Sinar kuning emas yang memancar dari
tubuhnya berubah menjadi sinar hijau bening akibat
jurus pukulan 'Pecah Raga' dari Suto Sinting tadi. Dan sebelum tubuh itu
bergerak melayang turun, tubuh itu sudah pecah lebih dulu. Blaaarrr...!
Ratu Cendana Sutera hancur karena pukulan 'Pecah
Raga' dalam jarak dekat. Darah menghambur ke manamana bagaikan hujan turun dari langit. Sisa bagian
tubuhnya hanya pada bagian kepala dan kaki sebatas
betis saja. Mereka yang memandang kejadian itu samasama menyeringai dan bergidik. Bukit Perawan kini
bersimbah darah, warna putih karang berubah menjadi
merah. Sementara itu sang Pendekar Mabuk berdiri di
sisi lain dalam keadaan tegak, gagah dan tampak
perkasa. Awan Setangkai geleng-geleng kepala sambil
membatin, "Pendekar Mabuk kalau sudah punya niat membunuh lawan, tindakannya
sangat cepat dan
sepertinya tak mau buang-buang waktu. Sang Ratu yang ilmunya lebih tinggi dariku
dapat ditumbangkan dengan cepat. Berarti waktu melawanku dulu ia tidak sungguhsungguh." Orang-orang Selat Bantai segera larikan diri setelah mereka melihat ratunya
hancur dan darahnya membanjir di Bukit Perawan. Awan Setangkai bergegas mengejar
mereka, namun segera disambar lengannya oleh Resi
Pakar Pantun. "Aku tahu maksudmu, tapi jangan lakukan sekarang.
Redakan suasana ini dulu, baru kau gantikan kedudukan Ratu Cendana Sutera. Aku
akan membantumu dalam hal
itu, asal kau meninggalkan jalan sesat yang menjadi
tradisi orang Selat Bantai."
"Akan kutinggalkan noda hitam Selat Bantai, dan kuganti dengan warna putih
sesuai dengan aliran si
Pendekar Mabuk," ujar Awan Setangkai.
Tiga sosok bayangan melesat tinggalkan Bukit
Perawan. Mereka tiba di depan rombongan Resi Pakar
Pantun. Suto Sinting tiba lebih cepat, lalu disusul oleh Tua Bangka dan Kusir
Hantu. "Kakek..."!" sapa Pematang Hati sambil hampari kakeknya lalu memeluknya.
"Hampir saja aku turun tangan mencampuri urusan itu, Kek!"
"Mengapa kau punya niat begitu, cucuku?"
"Karena jika tadi kakek benar-benar bertarung
melawan Pendekar Mabuk, maka akulah yang akan
tampil lebih dulu menghadapimu, Kek!"
"Jika itu kau lakukan, maka aku lebih baik merajang tubuh si Cendana Sutera,
Cucuku! Untung tidak kau
lakukan, karena aku pun bingung bagaimana cara
merajangnya."
Yang lain cekikikan digelitik rasa geli mendengar
ucapan si Kusir Hantu. Suto Sinting segera ditepuk
pundaknya oleh Tua Bangka yang berkata,
"Maafkan kebodohan adikku tadi."
"Semua sudah kulupakan, Ki!" jawab Suto Sinting sambil tersenyum, tapi si Kusir
Hantu segera menyahut,
"Semuanya boleh kau lupakan, tapi cucuku ini jangan sekali-kali kau lupakan.
Baru saja dia berbisik padaku, dia kagum padamu, Nak!"
Suto Sinting hanya palingkan wajah, sembunyikan
senyum salah tingkahnya. Bulan Sekuntum dan Awan
Setangkai hanya sunggingkan senyum berkesan sinis,
namun bukan berarti benci.
"Mereka tak tahu, aku sedang berpikir tentang si Payung Serambi," ujar Pendekar
Mabuk dalam hatinya, lalu pandangan matanya ditujukan ke cakrawala. Cahaya
rembulan yang menyebar ke sana seakan menampilkan
seraut wajah pemilik Istana Laut Kidul, yaitu wajah Ratih Kumala alias si Payung
Serambi. SELESAI Segera menyusul!!!
HULUBALANG IBLIS
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-AbuKeisel/511652568860978
Makam Asmara 8 Joko Sableng 39 Dayang Tiga Purnama Sepasang Pedang Iblis 3

Cari Blog Ini