Ceritasilat Novel Online

Bunga Abadi Gunung Kembaran 3

Pendekar Naga Putih 10 Bunga Abadi Di Gunung Kembaran Bagian 3


Panji benar-benar muak dengan sikap tokoh-tokoh persilatan itu.
"Hm... baiklah! Kalau kalian menginginkan Bunga Abadi ini, ayo, rebutlah dari
tanganku!" ujar Panji sambil menghunus Pedang Sinar Rembulan.
Sringngng! Seberkas sinar putih keperakan
berkilatan dari mata pedang yang
tergenggam di tangan pemuda perkasa itu.
Beberapa orang yang berdekatan dengan Panji terpaksa mundur. Mata mereka tidak
tahan melihat sinar menyilaukan yang dipancarkan Pedang Sinar Rembulan.
"Kakang, kami datang
membantumu...!" seru suara merdu yang dibarengi berkelebatnya sesosok tubuh
ramping berpakaian biru muda. Sosok ramping itu bersalto melewati kepala
pengepung Panji, lalu mendarat dua tombak di sebelahnya.
"Terima kasih, Ayuning. Tapi, biar kuhadapi mereka sendiri. Aku tidak ingin kau
terseret dalam masalah ini!" sahut Panji khawatir. Pemuda itu merasa lega karena
Ayuning benar-benar tidak
menginginkan Bunga Abadi. Namun tetap saja merasa khawatir akan keselamatan
sahabatnya. Lawan-lawan yang bakal mereka hadapi kali ini adalah
tokoh-tokoh berilmu tinggi yang
mempunyai ilmu-ilmu aneh yang sukar dicari tandingannya.
"Tidak, Kakang! Biarpun kau
melarang, aku tetap membantumu. Aku sebal melihat tingkah mereka yang tamak!"
sahut Ayuning seraya menghunus pedangnya.
Sementara kedua muda-mudi berdebat, sesosok bayangan merah melayang dan
mendaratkan kakinya di antara Panji dan Ayuning.
"Aku pun akan membantumu, Kakang!"
ujar bayangan merah yang tidak lain adalah Sundari atau lebih dikenal sebagai
Dewi Tangan Merah.
Belum lagi Panji sempat menyahuti ucapan Dewi Tanga Merah, sesosok
bayangan hitam berkelebat kearah mereka.
"Sundari! Apa kau ingin melawan gurumu?" bentak seorang nenek berpakaian serba
hitam marah. Sambil berkata demikian, nenek itu menarik tangan gadis itu.
"Tidak, Guru! Bukankah Guru selalu berkata kalau kita harus membela
kebenaran dan keadilan. Dan bukankah tindakan orang-orang tamak ini telah
menyimpang dari kebenaran dan keadilan"
Jawablah Guru?" sahut Sundari membantah perintah gurunya.
"Tapi kali ini lain, Sundari!
Orang-orang ini sangat mendambakan Bunga Abadi itu Mereka rela mempertaruhkan
nyawa asal dapat memiliki Bunga Abadi!"
sahut gurunya berang.
"Jadi Guru pun menginginkan Bunga Abadi juga?" tanya Sundari mendesak gurunya.
"Ya! Dan itu kewajibanmu untuk membela kepentinganku!" bentak nenek berpakaian
serba hitam semakin berang melihat kebandelan muridnya.
Sundari memandang wajah gurunya
dengan muka pucat Sungguh tak disangka kalau gurunya setamak tokoh-tokoh
persilatan yang mengepung
Panji. Seketika pikiran gadis itu terpecah antara membela kepentingan gurunya dan
membela keadilan. Beberapa saat lamanya dia mengeluh dan terisak, lalu berlari
meninggalkan tempat itu. Alangkah terpukulnya hati gadis itu melihat sikap
gurunya. "Sundari, tunggu...!" teriak nenek berpakaian serba hitam seraya menyusul
muridnya. Sepeninggal Sundari dan gurunya,
Panji kembali mengalihkan pandangan ke arah puluhan tokoh persilatan yang masih
mengepungnya. "Hm..., Pendekar Naga Putih!
Rupanya kau lebih sayang Bunga Abadi itu ketimbang nyawamu!" bentak laki-laki
gemuk berkepala botak sambil melangkah maju. Tampaknya laki-laki ini sudah tidak
sabar ingin merebut Bunga Abadi.
Tangan kanannya bergerak mencabut senjata andalannya yang berbentuk tongkat
berantai kembar tiga.
Wungngng! Wungngng!
Terdengar suara berdengung terasa ketika tongkat kembar tiga diputar-putar di
atas kepala laki-laki gendut
berkepala botak.
"Tunggu, Datuk Timur! Bukan kau saja yang berkepentingan dengan Bunga Abadi
itu?" bentak nenek berpakaian serba hijau sambil melangkah maju. Sehelai
selendang hijau di tangannya meliuk-liuk ditiup angin.
"Hm..., Nyi Ayu Kedasih pun rupanya tergiur dengan Bunga Abadi" Kalau begitu,
mari kita berlomba mendapatkannya!" sahut laki-laki gendut berkepala botak yang ternyata seorang
datuk sesat dari wilayah Timur.
"Serahkan Bunga Abadi itu!" bentak si berkepala botak seraya menerjang Panji
sambil memutar-mutar senjatanya.
Suara tongkat berantai kembar tiga mendengung memekakkan telinga.
Trangngng! "Uhhh...! Bunga api berpijar ketika Pedang Sinar Rembulan beradu dengan senjata laki-laki
gendut berkepala botak. Tubuh Datuk Timur terjajar mundur beberapa langkah
kebelakang sambil mengeluarkan suara memekik tertahan.
"Bangsat! Pantas kau sombong, Pendekar Naga
Putih! Rupanya kau
memiliki kepandaian tinggi! Tapi jangan kira aku gentar menghadapimu. Nah,
sambutlah seranganku yang kedua ini!"
ucap Datuk Timur. Tubuh gendut itu kembali meturuk dengan disertai sambaran tiga
tongkat berantai yang selalu mencecar ke manapun dia bergerak
Panji tidak takabur.
Lawan tandingnya tidak dapat dipandang remeh.
Sesaat kemudian, kedua tokoh persilatan itu kembali bertarung dengan sengitnya!
Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang memekakkan telinga.
Ctarrr! Ctarrr!
Sehelai selendang berwama hijau
menyambar-nyambar di tengah
pertarungan. Suaranya meledak-ledak dan mematuk-matuk, mengancam tubuh Panji
sehingga pemuda itu terpaksa melesat ke belakang. Selendang maut itu temyata
milik Nyi Ayu Kedasih, yang juga berjuluk Dewi Selendang Maut.
Prattt! Pendekar Naga Putih kewalahan
menghadapi setiap serangan tokoh sakti itu. Walau kedua orang itu tak ada ikatan
perguruan, tapi mereka menyerang Panji didorong oleh kepentingan mereka
masing-masing Nyi Ayu Kedasih terdesak mundur
akibat tangkisan tangan pemuda itu terlalu kuat untuk selendang andalannya.
Nenek itu sendiri keteteran melindungi tubuhnya dengan selendang.
"Huh temyata nama besar Pendekar Naga Putih ini betul-betul bukan omong kosong
belaka saja!" maki Dewi Selendang Maut gusar ketika merasakan tangannya
kesemutan akibat tangkisan tangan pemuda itu.
Panji yang sadar lawannya bukanlah orang-orang sembarangan, bersiap-siap
mengeluarkan tenaga dalamnya, lalu menghirup napas dalam-dalam. Sesaat kemudian,
sinar putih keperakan pun mulai menyelimuti dirinya.
*** 7 "Tenaga Sakti Gerhana Bulan...!"
seru Datuk Timur dan Nyi Ayu Kedasih berbarengan. Kedua tokoh sesat yang sudah
pernah mendengar kedahsyatan tenaga sakti itu melangkah mundur sambil
mempersiapkan jurus-jurus andalannya.
Tongkat Pencabut Nyawa, Ki Bagasti dan tokoh-tokoh lainnya tak mau
ketinggalan. Mereka semakin merapatkan kepungan seraya mencabut senjata
masing-masing. Meskipun di antara pengepung Panji terdapat beberapa tokoh golongan putih, namun
Bunga Abadi yang tiada duanya itu membuat mereka lupa pada kebenaran yang selama
ini mereka junjung tinggi.
"Heaaat...!"
Datuk Timur yang berkepala botak dan bertubuh gendut berteriak lantang. Tokoh
sesat itu melompat sambil mengayunkan senjatanya ke leher Panji.
Menghadapi puluhan tokoh sakti yang tidak mungkin dihadapinya sekaligus, Panji
berusaha mencari jalan keluar untuk meloloskan diri dari kepungan mereka. Pedang
Sinar Rembulan diputamya cepat hingga menciptakan seguhingan sinar yang
melindungi tubuh Pendekar Naga Putih. Begitu sambaran tongkat berujung kembar
tiga tiba mendekat.
Maka.... "Yeaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Panji
menyambut serangan Datuk Timur yang juga dijuluki Tongkat Berantai.
Wukkk! Sebelum dua tenaga raksasa itu
bertemu, tiba-tiba tongkat baja Jiwana sudah lebih dahulu meluncur cepat ke arah
lambung Panji. Melihat kelicikan
tokoh-tokoh ini. Pendekar Naga Putih yang semula bermaksud memapak serangan
Tongkat Berantai terpaksa mengurungkan niatnya. Dengan gerakan yang sukar
diikuti mata, pemuda itu segera
menggeser tubuhnya ke kiri disertai ayunan Pedang Sinar Rembulan.
Singngng! "Aaah...!"
Tongkat Pencabut Nyawa dan Tongkat Berantai yang tidak menyangka akan mendapat
serangan balasan yang demikian tiba-tiba menjadi terkejut. Kedua tokoh sesat
yang sudah mendengar kehebatan tenaga dalam Pendekar Naga Putih
buru-buru menarik pulang senjatanya.
Tapi terlambat...
Trangngng! "Aihhh...!"
Terdengar suara benturan keras
memekakkan telinga ketika Pedang Sinar Rembulan berbenturan sekaligus dengan
tongkat baja Jiwana dan Tongkat Berantai Datuk Timur. Seketika kedua tokoh sesat
itu terpental bagai disentakkao oleh tenaga liar yang amat kuat Keduanya
menggigil, menahan hawa dingin yang merasuk sampai ke tulang.
"Hiahhh!"
Tongkat Pencabut Nyawa yang sudah lebih
dah dapat menguasai rasa
terkejutnya berseru keras. Kedua
tangannya dikibas-kibaskan untuk
mengusir pengaruh hawa dingin yang membuat tubuhnya seperti orang terserang
demam. Begitu pengaruh hawa dingin lenyap, Jiwana kembali memutar-mutar tongkat
baja hingga menimbulkan suara berkesiutan.
Sementara itu Pendekar Naga Putih sudah bert-rung sengit mengimbangi keroyokan
tokoh-tokoh sakti yang sudah mulai tak sabar. Demikian pula Ayuning.
Kini gadis berpakaian bim muda ini sudah terlihat bertarung melawan empat orang
wanita berpakaian hijau. Tubuh gadis cantik itu berkelebat lincah disertai
dengan ayunan pedang yang
menyambar-nyambar ganas.
Wuttt! Wuttt! Dua buah sambaran yang dilancarkan murid Dewa Tanpa Bayangan ini
benar-benar hebat
Kedua lawannya terpaksa harus melempar tubuhnya ke belakang Namun kedua murid Dewi
Selendang Maut mendadak pucat ketika baru saja menjejakkan tanah, ujung pedang
Ayuning sudah mengancam
tenggorokan. Posisi kuda-kuda kedua gadis berpakaian hijau itu sudah tidak
mungkin lagi menghindar atau menangkis sambaran pedang Ayuning. Tiba-tiba....
Trangngng! Trangngng!
Untunglah pada saat yang gawat itu berkelebat dua batang pedang lain memotong
arah luncuran pedang Ayuning.
Seketika tubuh ketiga wanita itu
tergetar mundur akibat benturan yang amat keras! Kini di hadapan Ayuning telah
berdiri empat murid Nyi Ayu Kedasih dengan sikap waspada.
"Siapa kau, Setan Betina! Mengapa kau bela pemuda itu" Apakah kau kekasih
gelapnya?" maki salah seorang wanita berpakaian hijau marah.
"Hei! Dengarlah Manusia-Manusia Rakus! Aku Ratu Iblis yang ditugaskan mencabut
nyawa manusia-manusia tak tahu malu seperti kalian!" sahut Ayuning tak kalah
gertak "Bangsat! Jangan takabur, Setan Betina! Kau pikir mudah mencabut nyawa kami?"
ujar wanita lainnya membelalak marah.
"Hi hi hi... apa susahnya mencabut nyawa wanita-wanrta busuk seperti kalian"
Bagiku hal itu semudah membalik telapak tangan!" ejek Ayuning sambil bertolak
pinggang dan mencibirkan bibirnya.
Bukan main berang keempat murid Dewi Selendang Maut mendengar ejekan Ayuning
Serentak mereka melompat maju dan menerjang membabi buta.
Wuttt! Wuttt! "Aihhh... tidak kena!" ejek Ayuning sambil melompat mundur menghindari dua
tusukan pedang yang mengarah leher dan ulu hati. Kemudian dengan gerakan yang
tidak kalah cepat, Ayuning melancarkan serangan balasan bertubi-tubi mengarah
jalan darah mematikan.
Pertempuran empat lawan satu itu
beriangsung seru. Ayuning yang punya kelebihan dalam hal ilmu meringankan tubuh,
tentu saja memanfaatkan
kelebihannya. Tubuh gadis itu berkelebat kian kemari. Kadang-kadang menyelinap
di antara hujan sabetan pedang, tapi di lain saat tahu-tahu sudah melambung di
atas kepala lawannya.
"Adik Ayuning! Cepat tinggalkan tempat ini! Tak ada gunanya kau layani orangorang culas ini!" teriak Panji yang masih sempat memikirkan keselamatan
sahabatnya pada saat dirinya sendiri menghadapi bahaya!
Setelah berteriak demikian, tubuh Panji kembali berkelebat di sela-sela sambaran
senjata pengepungnya. Meskipun hams terpontang-panting menghindari hujan senjata
pengepungnya, namun Pendekar Naga Putih terus memutar otaknya untuk mencari
peluang meloloskan diri.
"Yeaaaat..!"
Panji berseru keras sambil
menyabetkan pedangnya secara mendatar dengan kecepatan yang menggetarkan!
Suara angin pedang yang merobek udara mengaung tajam!
Wuttt! Trangngng! Trakkk! Tringngng! Tiga pedang yang mencoba menangkis serangan Panji berpatahan seketika.
Belum lagi ketiga pengepungnya itu sempat berbuat sesuatu, pedang Panji kembali
berkelebat! Brettt! Brettt!
"Aaakh...!"
Dua orang pengeroyok yang tak sempat menghindar terguling roboh! Seketika darah
segar bermuncratan dari luka sabetan pedang Pendekar Naga Putih yang merobek
dada. Untunglah nyawa mereka masih diampuni Panji. Pedang pemuda itu hanya
menggores kulit saja.
"Kejar...!" teriak laki-laki gendut berkepala botak yang tidak lain adalah si
Tongkat Berantai. Walaupun tubuhnya gendut, tapi gerakannya gesit seperti
kijang. Beberapa tokoh sakti yang berada di belakang segera mengejar Panji. Dalam
beberapa kali lompatan, empat tokoh yang tadi mengeroyok telah menghadang di
depan Pendekar Naga Putih.
"Minggir kalian! Jangan paksa aku berbuat kejam!" seru Panji yang sudah hampir
hilang kesabarannya.
"Huh! Jangan coba menggertak kami Pendekar Naga Putih! Serahkan dulu Bunga
Abadi, baru kami mau menyingkir!" desak salah seorang dari keempat tokoh itu.
Terdengar suara gemeretak ketika
orang itu mengepalkan tinjunya dengan geram. Dan tanpa membuang-buang waktu
lagi, kepalan orang itu langsung
menyambar dada Pendekar Naga Putih.


Pendekar Naga Putih 10 Bunga Abadi Di Gunung Kembaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wuttt! Panji segera menggeser kakinya ke samping, sehingga pukulan lawan mengenai angin
kosong. Secepat itu juga Panji memutar tubuhnya setengah lingkaran sambil
melepaskan tendangan kilat.
Namun lawan dapat menebak gerakan Pendekar Naga Putih. Bergegas orang itu
menggeser kaki kiri kebelakang sambil menarik tubuhnya. Begitu tendangan pemuda
itu lewat, orang itu langsung melepaskan pukulan susulan ke arah perut Temyata
Panji bukanlah pendekar kemarin sore. Tahu kalau tendangannya luput pemuda itu
pun segera merendahkan kuda-kudanya seraya mengirimkan
tendangan menyamping.
Desss! "Aaargh!"
Lawannya yang sudah telanjur
melangkah maju, tak sempat lagi
menghindari serangan kilat Panji yang menghantam dagu hingga orang itu
terbanting keras ke tanah. Dengan mata merah dia berusaha bangkit sambil
memegang dagu disertai erangan
kesakitan. "Fuihhh...!"
Orang itu meludahkan beberapa benda putih bercampur darah. Rupanya tendangan
yang cukup keras itu telah merontokkan beberapa buah giginya.
Sebelum Panji bertindak lebih jauh, tokoh-tokoh yang lainnya pun sudah pula
berdatangan mengepung. Kini kesempatan untuk lolos kembali tertutup.
"Hi hi hi... mau lari ke mana kau Pendekar Naga Putih" Lebih baik kau serahkan
bunga itu padaku. Dan
kutanggung kau dapat pergi dengan selamat!" bujuk Nyi Ayu Kedasih tersenyum
licik "Jangan dengarkan ucapan nenek gjla itu, Pendekar Naga Putih! Lebih baik kau
berikan padaku. Dan kau kulindungi pergi dari sini," ujar Tongkat Berantai tak
mau kalah. "Hm... dengarlah, Manusia-Manusia Tamak! Kudapatkan Bunga Abadi ini dengan
taruhan nyawa! Kalian pikir aku bodoh bila kuserahkan Bunga Abadi ini begitu
saja kepada orang-orang tamak seperti kalian!" ucap Panji dengan hati yang
semakin gusar melihat tokoh-tokoh persilatan itu masih terus mendesaknya.
"Kalau begitu, bukan hanya bunga itu saja akan kuambil. Tapi, nyawamu juga harus
kucabut" sahut Nyi Ayu Kedasih mengancam.
"Nah seranglah! Jangan hanya pandai mengumbar mulut saja!" tantang Panji.
"Keparati Kau memang harus kuberi pelajaran agar kau tidak besar kepala!"
bentak Nyi Ayu Kedasih yang darahnya mulai mendidih mendengar sindiran Panji.
Wuttt! Ctarrr! Ctarrr!
Ujung selendang sakti meliuk-liuk mematuk dan meledak-ledak disertai kepulan
asap tipis. Kecepatannya tidak dapat dilihat mata biasa. Bila diiihat sepintas,
memang senjata si nenek seperti selendang biasa. Tapi karena dimainkan oleh
tokoh yang sudah memiliki tenaga dalam tinggi, selendang itu berusaha menjadi
senjata maut! Bahkan berkali-kali Panji hampir terpatuk sambaran selendang.
Pada saat yang sama, tongkat
berantai Datuk Timur sudah mengancam Pendekar Naga Putih. Senjata tokoh sesat
itu memancarkan sinar putih keperakan yang menyilaukan mata.
Demikian pula tokoh-tokoh lainnya.
Mereka sudah bertekad merebut Bunga Abadi dengan taruhan nyawa. Pertumpahan
darah di Lereng Gunung Kembaran
nampaknya tidak dapat dihindari lagi.
Pendekar Naga Putih kini sibuk
berusaha menyelamatkan selembar
nyawanya dari keroyokan puluhan
tokoh-tokoh sakti itu. Tubuhnya terus berkelebatan menghindari tanpa sempat
membalas. Belum lagi menghindari
serangan lawan yang satu, serangan yang lain sudah menyusul sehingga kesempatan
untuk membalas makin tertutup.
Bukkk! Desss! "Aaa...!"
Dua buah pukulan mengenai tubuh
Panji dengan telak! Dalam keadaan terdesak, Pendekar Naga Putih, tak dapat lagi
menghindari Tapi pukulan telak dari dua tokoh itu justru berbalik menjadi
malapetaka bagi mereka sendiri!
Tongkat Pencabut Nyawa dan salah
seorang tokoh sesat yang berhasil menyarangkan pukulan di punggung dan dada
Pendekar Naga Putih langsung menjerit kesakitan. Tubuh kedua tokoh itu terpental
bagai disentakkan tenaga liar yang tak tampak! Keduanya
terbanting keras di atas permukaan tanah. Bahkan tongkat baja di tangan Jiwana
pun sampai terpental dari
genggaman. Dua buah pukulan mengenai tubuh Panji dengan telak! Dalam keadaan terdesak,
Pendekar Naga Putih, tak dapat lagi menghindari Tapi pukulan telak dari dua
tokoh itu justru berbalik menjadi malapetaka bagi mereka sendiri!
Puluhan tokoh persilatan yang
mengeroyok Panji kontan berlompatan mundur melihat kedua tokoh itu
berlompatan dan langsung tewas seketika!
Dari mulut, telinga, dan hidung mereka mengalir darah segar.
"Gila! Ilmu apa yang dimiliki pemuda itu...?" seru Ki Bagasti dengan wajah
pucat. Sepasang matanya bagai hendak melompat keluar. Kalau saja tidak
menyaksikan sendiri, tentu dia tidak akan percaya. Bagaimana tidak" Dengan mata
kepala sendiri dilihatnya kalau kedua tokoh itu berhasil menyarangkan pukulan
telak ke tubuh Pendekar Naga Putih. Tapi, justru dua tokoh itulah yang terpental
dan tewas seketika.
"Ilmu setan...!" seru Tongkat Berantai bergetar ngeri.
"Tidak mungkin...!" Nyi Ayu Kedasih pun berteriak kaget melihat kejadian yang
belum pernah disaksikan seumur hidupnya. Nenek sakti ini memang sudah lama
mendengar cerita kesaktian pemuda yang dijulukii Pendekar Naga Putih.
Namun sama sekali tidak menyangka kalau kesaktian pemuda itu sampai begini
dahsyat! Bagaimana mungkin dua orang sakti itu tewas sekaligus hanya karena
pukulannya berbalik menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Pikir nenek sakti itu
tak habis mengerti.
Bukan hanya para tokoh persilatan yang mengeroyok saja yang terkejut setengah
mati, tapi Panji pun
terheran-heran. Pemuda itu sama sekali tidak menyangka kalau tenaga liar yang
mengeram dalam tubuhnya sampai sedahsyat itu. Sekarang Panji baru tahu betapa
besamya tenaga liar dalam dirinya.
Tenaga liar itu baru akan menunjukkan kedahsyatannya apa bila tubuhnya dipukul
orang lain. Semakin tinggi tenaga dalam orang yang menghantamnya, maka semakin
hebat pula daya tolak tenaga liar itu.
Seperti kejadian-kejadian
sebelumnya, maka tenaga liar yang mengeram dalam tubuh Panji mulai
bergolak! Pukulan Tongkat Pencabut Nyawa dan Datuk Timur menyebabkan tenaga
raksasa itu kembali meronta-ronta laksana seekor harimau dibangunkan dari
tidumya. Seiring dengan bangkitnya tenaga
sakti itu, Panji pun kembali didera penderitaan luar biasa. Tubuh anak muda itu
bergetaran bagaikan orang terserang demam. Wajahnya berkerut-kerut menahan rasa
sakit yang menjalari seluruh urat-urat syarafnya. Tenaga liar mulai merontaronta mencari jalan keluar!
Panji yang sudah tidak sanggup
menahan gejolak tenaga sakti yang menyentak-nyentak tenggorokannya
berteriak mengguntur.
"Krrreaaahhh...!"
"Aaah...!"
Beberapa tokoh persilatan yang
tidak kuat menahan getaran tenaga liar yang luar biasa, jatuh bergulingan! Dari
mulut, hidung dan telinga mereka
menyembur darah segar! Tokoh-tokoh persilatan berilmu pas-pasan itu tewas
seketika! Teriakan menggelegar yang keluar dari mulut Panji telah memecahkan
pembuluh-pembuluh darah mereka!
Tentu saja kejadian itu semakin
membuat pengeroyok Panji lainnya
terkejut setengah mati! Wajah mereka semakin pucat bagai tak dialiri darah.
Bebera saat para tokoh persilatan itu hanya dapat berdiri mematung. Bahkan ada
beberapa di antaranya langsung bersila untuk mengerahkan tenaga dalamnya.
Tanpa sadar, Panji yang sudah tidak sanggup lagi menahan gejolak tenaga bar yang
menyentak-nyentak, mendorongkan sepasang telapak tangannya disertai bentakan
keras! "Heaaat..!"
Wusss! Serangkum angin dingin yang
membekukan tubuh berhembus keras
disertai suara bergemuruh. Dan....
Blarrr! "Aaargh...!"
Bumi di sekitar Lembar Gunung
Kembaran bergetar hebat bagaikan
diguncang gempa. Debu dan batu kerikil beterbangan memenuhi angkasa hingga
menghalangi pandangan.
Keempat tokoh persilatan yang tak sempat menghindar berpentalan ke segala
penjuru. Keempat orang malang itu tewas seketika dengan tubuh hampir tak
berbentuk lagi!
Tongkat Berantai, Nyi Ayu Kedasih, Ki Bagasti dan beberapa orang yang memang
sudah waspada sebelumnya berhasil meloloskan diri. Mereka terhindar dari pukulan
maut Panji karena beriindung di batik gulungan sinar senjatanya.
Tokoh-tokoh persilatan yang kini
berjumlah menjadi dua puluh lima orang menjadi gentar menghadapi Panji Wajah
mereka pucat dan bersimbah keringat dingin!
Pendekar Naga Putih terus mengamuk membabi buta. Dia seperti orang
kerasukan setan. Ayuning yang sejak tadi berdiri terpaku terpaksa pula harus
menyingkir. Merinding bulu tengkuk gadis ini melihat kehebatan tenaga liar yang
terus diumbar Panji
Duarrr...! Para tokoh persilatan meleletkan
lidah dengan rasa ngeri melihat akibat yang ditimbulkan pukulan yang nyaris
menyambar mereka. Di tanah tempat para tokoh persilatan berdiri, tercipta lubang
sebesar kubangan kerbau. Tentu saja hal itu membuat pengeroyok Panji semakin
ciut! "Huh! Lebih baik aku pergi daripada mati di tangan pemuda gila itu!" kata salah
seorang pengeroyok seraya melesat meninggalkan tempat itu.
"Ya! Lebih baik kita pergi! Rasanya mustahil kalau kita dapat merebut Bunga
Abadi. Pendekar Naga Putih benar-benar sudah kemasukan setan!" kata pengeroyok
lainnya. Selesai berkata demikian, orang itu lari terbirit-birit hingga lupa memungut
pedangnya yang tadi terlempar ketika menghindari sambaran Panji.
Satu demi satu tokoh persilatan yang sudah merasa gentar mulai meninggalkan
Lembah Gunung Kembaran. Niat mereka yang semula hendak memiliki Bunga Abadi,
mendadak sirna begitu menyaksikan
kesaktian pemilik Bunga Abadi itu.
Sedangkan sembilan tokoh lain,
termasuk Tongkat Berantai, Nyi Ayu Kedasih, dan Ki Bagasti, masih tetap
bertahan. Walau bagaimanapun mereka tetap bersikeras hendak merebut Bunga Abadi
dari tangan Panji. Kesembilan tokoh sakti segera mengelilingi pemuda yang tengah
mengamuk dengan sikap waspada.
"Jangan takut! Kita pancing
Pendekar Naga Putih terus menghamburkan tenaganya! Lama-kelamaan pasti
tenaganya habis terkuras! Nah saat itulah baru kita rebut Bunga Abadi dari
tangannya!" seru Tongkat Berantai yang rupanya cepat membaca situasai.
"Hi hi hi.... Tak kusangka kalau otakmu encer juga, Datuk Timur!" sahut Dewi
Selendang Maut terkekeh gembira menanggapi usul Tongkat Berantai
Sembilan tokoh lainnya
mengangguk-angguk menyetujui usul yang sangat baik itu. Sesaat kemudian, mereka
pun bergerak mengitari Pendekar Naga Putih.
Panji yang hampir lenyap
kesadarannya tidak memperhatikan ucapan pengeroyoknya. Yang memenuhi pikirannya
saat ini adalah bagaimana membuang kekuatan tenaga liar sebanyak-banyaknya agar
kesadarannya pulih kembali.
"Yeaaat..!"
Diiringi teriakan membahana, Panji kembali mendorong sepasang telapak tangan ke
arah dua pengeroyok di sebelah kirinya. Pendekar Naga Putih sudah tidak
mempedulikan lagi ke mana jatuhnya Pedang Pusaka Sinar Rembulan pemberian eyang
gurunya. Blarrr! Krrraaakh! Sebatang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa hancur beserpihan tersambar
angin pukulan nyasar. Dua tokoh yang lolos dari pukulan maut itu sama sama
meleletkan lidah melihat pohon di belakang mereka hancur lebur diterpa pukulan
nyasar Pendekar Naga Putih. Kini keduanya kembali bersiap-siap
menghindari pukulan nyasar lain yang sewaktu-waktu bisa mencuri nyawa mereka.
"Hhh... entah apa jadinya kalau pukulan tadi mengenai tubuhku?" desah salah
seorang di antaranya sambil menarik napas lega.
"Jangan kau pikirkan hal itu, Kisanak! Pokoknya sekarang kita tidak boleh
lengah!" ujar yang seorang lagi mengingatkan bahaya maut bila pikiran mereka
terpecah-pecah.
*** 8 Apa yang diperhitungkan tokoh sakti dari Timur itu memang mulai menjadi
kenyataan. Setelah sekian lama mengumbar pukulan tanpa hasil, Pendekar Naga
Putih pun tampak
mulai melemah. Kini
pukulan-pukulan berikutnya tidak
sedahsyat tadi "Ha ha ha... lihatlah, kawan-kawan!
Pendekar Naga Putih sudah tidak seganas tadi lagi! Tenaga pukulannya sudah jauh
berkurang!" sem Tongkat Berantai tertawa senang.
Panji yang kesadarannya mulai
pulih, terkejut mendengar ucapan
laki-laki gendut berkepala botak itu.
Pemuda itu sadar kalau kini keadaannya kembali terancam! Seluruh urat-urat
tubuhnya yang mulai melemah membuat Panji cemas.
"Heaaat!"
Sambil memekik nyaring kesembilan tokoh persilatan segera menerjang saling
mendahului. Senjata dari berbagai jenis segera menghujani tubuh Pendekar Naga
Putih dari segala arah.
Wukkk! Panji bergegas menundukkan
kepalanya menghindari sambaran tiga tongkat berantai Datuk Timur yang tiba lebih
dahulu. Begitu hantaman tongkat berantainya lolos, tangan kiri tokoh sesat itu
menyambar Bunga Abadi yang tergantung di pinggang Panji. Pendekar Naga Putih
yang dapat membaca gerakan Datuk Timur masih sempat menyelamatkan Bunga Abadi
itu dengan melempar tubuhnya ke belakang.
Wuttt! Sebuah terkaman lain sudah
menyongsong begitu Panji menjejak tanah.
Pemuda sakti itu tidak punya kesempatan lagi untuk menghindar. Kedua belah
tangannya diangkat menangkis tamparan dengan pengerahan seluruh tenaga
dalamnya. Plakkk! "Uhhh...!"
Keduanya terjajar mundur begitu dua pasang telapak tangan beradu di udara dengan
memperdengarkan suara nyaring.
Ternyata meskipun keadaannya sudah lemah, namun pemuda itu masih sanggup memapak
serangan lawan yang mengandung tenaga dalam dahsyat.


Pendekar Naga Putih 10 Bunga Abadi Di Gunung Kembaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selagi Panji berusaha memperbaiki kuda-kudanya, beberapa pengeroyok kembali
menerjang. Sungguh pun begitu gerakan pemuda itu masih cukup gesit menghindari
setiap serangan kesembilan pengeroyok yang berusaha keras
merobohkannya. Sementara di arena lain, Ayuning manjadi cemas melihat Panji
terus didesak lawan-lawannya. Rasa cemas membuat murid Dewa Tanpa Bayangan ini
semakin memperhebat gerakan pedangnya.
Karuan saja keempat murid Nyi Ayu Kedasih yang berpakaian serba hijau menjadi
gugup melihat kecepatan gerak lawannya.
Memasuki jurus ketujuh puluh,
pedang-pedang lawan susul-menyusul mengancam berbagai bagjan tubuh Ayuning.
Cepat gadis itu menggerakkan pedangnya dua kali berturut-turut.
Trangngng! Tringngng!
"Ihhh...!"
Dua wanita berpakaian serba hijau berseru tertahan. Tubuh mereka terjajar mundur
akibat tenaga tangkisan yang amat kuat Ayuning yang tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan emas itu kembali mencecar disertai ayunan pedang
secara mendatar.
Singngng! Brettt! Brettt!
"Aaakh...!"
Tebasan pedang Ayuning yang dialiri tenaga sakti dahsyat tepat merobek perut
kedua lawannya. Darah bermuncratan ke mana-mana dari luka memanjang akibat
sabetan pedang gadis itu. Dua wanita berpakaian serba hijau langsung ambruk dan
tewas seketika.
Melihat temannya tewas, dua gadis lainnya tersentak kaget Keduanya menatap mayat
kedua saudara seperguruannya dengan wajah berubah pucat!
"Bangsat! Kubunuh kau, Iblis Betina! Yeaaat..!" Dua pengeroyok Ayuning
mengayunkan pedangnya dengan kemarahan yang meluap-luap.
Wuttt! Wuttt! "Hi hi hi... tidak kena....'" ejek Ayuning sambil melompat sejauh dua tombak ke
belakang. "Setan! Kuntilanak! Kucincang tubuhmu nanti!" maki kedua wanita itu sejadijadinya. Keduanya mencecar Ayuning secara membabi buta. Ayuning sengaja
memancing kemarahan dua orang lawannya dengan ejekan-ejekan yang memanaskan
perut. Karena dengan semakin kalapnya mereka menyerang, maka akan semakin
mudahlah gadis itu merobohkan mereka.
Karena terus-menerus diejek,
kemarahan mereka meledak-ledak,
Serangan pedang mereka yang tak lagi terarah, sangat menguntungkan Ayuning.
"Heaaat..!"
Pada suatu kesempatan Ayuning
berseru lantang hingga mengejutkan dua orang lawannya. Saat itu juga tubuh
Ayuning melesat disertai sabetan pedang yang menimbulkan suara berdesing tajam.
Singngng! Trangngng! Trangngng!
"Uhhh...!"
Dua serangan Ayuning berturut-turut berhasil dipatahkan oleh dua murid Dewi
Selendang Maut Meskipun demikian, karena tenaga dalam kedua orang lawannya itu
masih dua tingkat berada di bawah murid Dewa Tanpa Bayangan, maka keduanya pun
terdorong beberapa langkah ke belakang Tentu saja Ayuning memperhitungkan hal
itu secara cermat Seketika saja melesat bagai sebuah bayangan hantu yang
menerkam mangsanya.
Brettt! Brettt!
"Aaah...!"
Darah segar bermuncratan begitu
pedang Ayuning merobek lambung dan tenggorokan lawan. Kedua murid Nyi Ayu
Kedasih itu pun langsung roboh ke tanah.
Mereka menggelepar-gelepar sebentar kemudian tewas, menyusul dua orang
saudaranya yang lebih dahulu sudah pergi ke akhirat.
Setelah berhasil merobohkan keempat lawannya, tubuh Ayuning melesat ke arah
Pendekar Naga Putih yang tengah
mati-matian menghindari
serangan-serangan pengeroyoknya.
"Haiiit..!"
Trangngng! Begitu tiba, pedang Ayuning
langsung memotong pedang lawan yang saat itu meluncur deras ke leher Pendekar
Naga Putih. Meskipun berhasil menyelamatkan Panji, tubuh Ayuning terpental
beberapa langkah ke belakang akibat benturan yang sangat keras.
"Siapa kau, Nisanak?" tegur kakek yang tersentak kaget mendapat serangan tibatiba. Kakek yang usia-nya kurang lebih sekitar tujuh puluh tahun melotot gusar
karena gadis itu menggagalkan serangannya yang hampir berhasil tadi.
"Hmh! Tidak periu kau tahu siapa aku, Kakek Tua! Melihat sikap dan penampilanmu,
rasanya kau bukan dari golongan sesat. Siapa kau sebenamya?"
Ayuning balas bertanya sambil bertolak pinggang.
Tentu saja kakek yang bukan lain
adalah Ki Bagasti tertegun mendengar jawaban Ayuning yang sama sekali di luar
dugaan. Sepasang mata tuanya meneliti sekujur tubuh Ayuning, seolah dengan
berbuat begitu dia dapat mengetahui dari golongan mana gadis itu berasal.
"Huh! Dasar kakek mata keranjang!
Mengapa kau malah memandangku seperti itu" Oh, aku tahu sekarang!" ucap Ayuning
sambil tersenyum pahit.
"Rupanya kau kakek tua yang masih suka dengan daun muda ya" Huh! Dasar kakek
tidak tahu diri! Sudah mau masuk lubang kubur masih juga matanya
jelalatan! Menyebalkan!" lanjut Ayuning sambil membuang muka dengan perasaan
jijik Bukan main terkejutnya Ki Bagasti mendengar ucapan gadis galak dan pandai bicara
itu. Seketika wajahnya merah padam menahan malu karena tahu kalau ucapan Ayuning
pasti didengar tokoh-tokoh lain.
"Kurang ajar kau, Gadis Gila!"
teriak Ki Bagasti sambil membanting kaki penuh kegeraman. "Kau kira aku ini
orang tua macam apa" Ketahuilah, orang yang berada di hadapanmu adalah Ki
Bagasti yang terpaksa keluar dari pertapaan untuk mencari Bunga Abadi. Siapakah
kau, Nisanak" Dan mengapa kau menuduhku sekeji itu?" lanjut Ki Bagasti terpaksa
memperkenalkan namanya.
"Kau tidak periu tahu siapa aku, Kakek Tua! Kalau kuberi tahu nanti kau akan
bertanya siapa ibuku, siapa ayahku dan di mana tempat tinggalku dan setelah
mengetahuinya kau akan datang melamarku untuk kau jadikan istrimu yang kedua
puluh! Bukankah begitu, Kakek Tua" Hi hi hi...!" tanpa mempedulikan kemarahan Ki
Bagasti, Ayuning terus saja menyudutkan Ki Bagasti hingga wajahnya menjadi
semakin merah karena menahan kegeraman bercampur rasa malu yang amat sangat Ki Bagasti berdiri mematung.
Sekujur tubuhnya gemetar! Dia
benar-benar kehabisan akal menghadapi gadis cantik yang pandai berbicara ini dan
terpaksa diam menahan amarah yang hampir membuat dadanya pecah.
"Mengapa diam saja, Bandot Tua"
Apakah kau malu karena aku sudah tahu maksud bejatmu?" tanpa rasa takut sedikit
pun Ayuning terus melontarkan ejekan-ejekan kepada Ki Bagasti.
"Kulumat mulutmu yang jahat itu, Gadis Gila!" bentak Ki Bagasti seraya melompat
disertai ayunan pedang yang menimbulkan suara mengaung tajam.
"Eh... eh, mengapa marah-marah, Bandot Tua" Bukankah aku belum tentu menolak
lamaranmu?" seru Ayuning sambil melompat ke belakang, menghindari serangan maut
Ki Bagasti. Sesaat kemudian, kedua orang itu
kembali bertempur hebat! Ayuning yang menyadari kalau kepandaian Ki Bagasti
masih setingkat di atasnya, terpaksa harus menggunakan ilmu meringankan tubuh,
guna mengimbangi kehebatan orang tua itu.
Serangan-serangan Ki Bagasti yang bagaikan air bah akhimya berhasil juga
mendesak Ayuning. Memasuki jurus keempat puluh lima. Ayuning tak dapat lagi
menghindari sebuah tamparan yang
mengarah pelipis.
Plakkk! "Uhhh...!"
Untunglah pada saat yang gawat
Ayuning sempat memiringkan tubuhnya, sehingga tamparan Ki Bagasti hanya
menyerempet bahu kanannya. Tubuh gadis cantik itu berputar beberapa tombak ke
belakang. Dari sela-sela bibirnya mengalir cairan merah kental!
Pada saat yang bersamaan, tubuh
Panji pun terjatuh akibat sambaran pedang salah seorang lawan, tepat di dekat
Ayuning. Pemuda itu menderita luka di dada tersabet pedang musuh.
Sebenamya tenaga liar yang
mengendap di dalam tubuh Panji masih tetap bekerja seperti biasa. Tapi kaena
kondisi Panji sudah sangat lemah, maka tenaga liar itu pun tidak mampu untuk
menggerakkan otot-otot yang memang sudah sangat lemah.
"Kau... kau terluka, Kakang?" desah Ayuning lirih yang juga menyeringai menahan
rasa nyeri di bahu-nya.
"Tidak apa-apa, Ayuning, hanya sedikit terg-res," sahut Panji terengah-engah.
Luka pemuda itu tidak sampai menggoyahkan dadanya. Rupanya Tenaga Liar Gerhana
Bulan masih melindungi bagian dalam tubuh Panji.
"Kakang, mengapa tidak kau gunakan pedang yang di punggungmu?" ujar Ayuning
menunjuk pedang yang tersampir di punggung sahabatnya.
Mendengar ucapan Ayuning, Panji
baru teringat pada pedang yang baru ditemukannya di dekat pohon Bunga Abadi.
Periahan-lahan tangannya meraba pedang yang tersampir di punggungnya.
"Ah, mengapa aku sampai lupa" Untung kau mengingatkan! Ayo, Ayuning! kita coba
bertahan dengan menggunakan pedang ini," kata Panji sambil meloloskan pedang
yang melebihi ukuran pedang biasa.
"Pedang apa itu, Kang" Mengapa demikian besar" Dari mana kau
mendapatkannya?" serentetan pertanyaan meluncur dari mulut gadis itu karena
heran melihat pedang yang melebihi ukuran pedang biasa itu.
"Entahlah, Ayuning" Aku
menemukannya di dalam gua," jawab Panji sambil berusaha bangkit. Perlahan-lahan
pedang itu dicabut dari sarungnya.
Begitu tercabut, pedang itu
diacungkan ke langit, mendadak langit yang semula terang menjadi gelap gulita!
Bahkan bukan itu saja! Kegelapan alam yang secara tiba-tiba itu pun dibarengi
dengan sambaran-sambaran petir yang memekakkan telinga! Dalam sekejap suasana di
sekitar Lembah Gunung
Kembaran berubah menjadi hiruk-pikuk Glarrr!
Kegelapan alam dan sambaran petir yang bersa-hut-sahutan diiringi pula dengan
hembusan angin ribut!
"Aaah...!"
Panji yang menggenggam pedang
bergetar hebat. Kilatan-kilatan petir menyambar dan merasuk ke ujung pedang yang
diacungkan ke angkasa. Dan dari ujung pedang, sinar petir
berpendar-pendar ke segala arah.
Pembahan keadaan itu benar-benar membuat Pendekar Naga Putih menjadi ngeri!
"Aaakh...!"
Pekikan kengerian kembali terlontar dari mulut Panji ketika merasakan tenaga
liar yang mengeram dalam tubunya kembali bergolak hebat Tenaga liar itu akhirnya
bertemu dengan tenaga inti petir yang terus merasuk ke dalam tubuhnya. Panji
memekik dan meraung hebat ketika kedua tenaga liar yang beriainan jenis itu
bergolak semakin hebat!
Beberapa saat kemudian tubuh
Pendekar Naga Putih memancarkan cahaya putih keperakan yang bercampur dengan
cahaya keemasan. Aneh! Meskipun tubuh pemuda itu bergetar demikian hebat namun
sepasang kakinya bagai tertanam di dalam bumi sehingga Panji tetap berdiri tegak
menggenggam pedang yang diacungkan ke langit
Nyi Ayu Kedasih, Ki Bagasti, Tongkat Berantai dan enam tokoh lain memandang
kejadian yang luar biasa itu dengan sepasang mata tak berkedip. Mulut mereka
temganga menyaksikan kejadian yang
bagaikan dalam dongeng.
"Apa... apa..." Bagaimana..?" Datuk Sesat Wilayah Timur yang berjuluk Tongkat
Berantai sampai-sampai tak tahu harus mengatakan apa. Ucapannya pun tak jelas
maknanya. "Gila! Apa... apa yang terjadi dengan pemuda itu...?" desah Nyi Ayu Kedasih
dengan suara menggeletar mirip orang terserang demam!
"Luar biasa...!" desis Ki Bagasti seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Tak lama kemudian, dua buah sinar yang menyelimuti tubuh Panji perlahan menipis
dan kini hanya terdapat pada mata pedangnya. Dan pada saat berikutnya, kedua
berkas sinar itu pun melesat melalui ujung pedang yang masih berada dalam
genggaman Pendekar Naga Putih.
Bersamaan dengan lenyapnya kedua
berkas sinar itu, langit mendadak terang kembali. Tiupan angin keras dan
sambaran petir yang bersahut-sahutan pun lenyap entah ke mana. Bumi di sekitar
tempat itu kembali cerah seperti sediakala.
Seolah-olah peristiwa yang menakjubkan tadi tak pernah terjadi.
Beberapa saat lamanya semua tokoh yang berada di tempat itu termasuk Panji dan
Ayuning hanya berdiri terpaku. Tak seorang pun yang berbicara hingga suasana di
sekitar Lembah Gunung
Kembaran terasa hening dan mencekam.
"Kakang, mari kita tinggalkan tempat ini!" ajak Ayuning ketika tersadar dari
keterpakuannya. Cepat Ayuning menarik tangan Panji
meninggalkan tempat itu sebelum para tokoh persilatan tersadar dari terpesona
yang masih menguasai mereka.
Panji tersentak dari ketegangan
begitu lengan Ayuning menariknya
meninggalkan Lembah Gunung Kembaran.
Tanpa banyak bertanya lagi, pemuda itu segera mengikuti tarikan tangan
sahabatnya. Sembilan tokoh persilatan segera
bangkit dari keterpakuannya ketika mendengar suara Ayuning. Serentak para tokoh
persilatan itu pun bergegas mengejar kedua muda-mudi yang telah melarikan diri
sebelumnya. Namun mereka menjadi kecewa ketika bayangan Panji dan Ayuning sudah
lenyap di balik rerimbunan pepohonan Lereng Gunung Kembaran.
Dengan hati yang diliputi
kekecewaan, sembilan tokoh persilatan itu berpendar meninggalkan Lereng Gunung
Kembaran dengan tangan hampa.
*** "Ayuning, sebaiknya kita berpisah di sini saja. Terima kasih atas
pertolonganmu!" ujar Panji ketika keduanya sudah jauh meninggalkan Kaki Gunung
Kembaran. "Ah, masih perlukah di antara kita terdapat rasa sungkan, Kakang" Kau adalah
sahabat terbaik yang pernah kutemui, sejak aku meninggalkan
pertapaan guruku. Apakah kau tidak menganggapku sebagai sahabat baikmu, Kakang?"
ucap Ayuning memperlihatkan senyum manisnya.
"Tentu Ayuning! Kau memang sahabat yang sangat baik. Dan rasanya sulit sekali
mencari sahabat sepertimu!" sahut Panji juga tersenyum.
"Terima kasih, Kakang, aku senang sekali mendengamya," ujar Ayuning semakin
melebarkan senyumnya.
"Selamat bcrpisah, Ayuning. Jagalah dirimu baik-baik!" ucap Panji terharu begitu
teringat kebaikan gadis itu kepadanya. Setelah berkata demikian, Panji pun
bergegas meninggalkan Ayuning.
"Kakang, tunggu..!" seat Ayuning sambil melompat mengejar Panji.
"Ada apa, Ayuning?" tanya Panji begitu gadis itu tiba di dekatnya.
Ayuning tersenyum sambil
mengulurkan sebatang pedang yang sejak tadi dipegangnya.
"Bukankah ini pedangmu, Kakang?"
"Ah, aku hampir lupa dengan pedang pemberian eyang guruku ini! Di mana kau
menemukannya?" tanya Panji, seraya menerima Pedang Sinar Rembulan dari tangan
Ayuning. "Ketika aku terjatuh akibat pukulan Ki Bagasti, secara tak sengaja tanganku
menyentuh benda ini. Dan ketika aku teringat kalau pedang ini adalah pedang yang
selalu melingkar di pinggangmu, aku pun menyimpannya," jawab Ayuning menjelaskan
mengapa pedang itu sampai di tangannya.
"Sekali lagi teri...."
"Ett... eit... Apakah kau sudah lupa dengan ucapanku tadi" Dasar kakek-kakek
pikun!" protes Ayuning dengan wajah cemberut


Pendekar Naga Putih 10 Bunga Abadi Di Gunung Kembaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, mengapa aku jadi pelupa!" seru Panji memegang keningnya.
"Baiklah, tanpa terima kasih.
Selamat tinggal, Ayuning!"
Tubuh Pendekar Naga Putih langsung berkelebat meninggalkan murid Dewa Tanpa
Bayangan yang memandangi kepergiannya dengan senyum dikulum.
*** Matahari baru saja muncul di ufuk Timur ketika seorang pemuda berjubah putih
berlari cepat mendaki Lereng Bukit Gua Harimau. Pada jubah bagian dadanya
terlihat garis merah melintang. Garis merah itu adalah darah yang telah
mengering. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Panji alias Pendekar Naga Putih.
Dan luka memanjang pada dadanya adalah akibat sabetan pedang salah seorang
pengeroyoknya ketika berusaha
mempertahankan Bunga Abadi yang hendak direbut tokoh-tokoh persilatan.
Peristiwa itu terjadi di Lembah Gunung Kembaran kemarin.
Tak lama kemudian, Pendekar Naga
Putih tiba di sebuah dataran yang cukup luas di Puncak Bukit Gua Harimau. Panji
mengerutkan keningnya ketika melihat dua orang berpakaian perwira kerajaan
tengah berjaga di depan pintu pondok
peninggalan Eyang Tirta Yasa.
"Berhenti! Siapa kau, Kisanak" Dan apa keperluanmu datang ke tempat ini?"
tanya salah seorang dari mereka galak.
"Namaku Panji. Dan tempat ini adalah kediaman guruku. Apakah yang telah terjadi
di sini, Tuan Perwira?" tanya Panji cemas.
"Ah, kalau begitu kaulah yang berjuluk Pendekar Naga Putih! Mari...
mari silakan," seru salah seorang perwira dengan wajah gembira begitu tahu kalau
pemuda yang berdiri di hadapannya adalah Pendekar Naga Putih.
"Kakek, Kenanga... apa... apa yang terjadi?" tanya Panji begitu memasuki pondok.
Perasaan pemuda itu semakin tidak enak ketika melihat ada seorang perwira lagi
yang tengah duduk di hadapan Raja Obat dan Kenanga.
"Panji, syukurlah kau sudah
kembali! Bagaimana" Apakah kau sudah berhasil meridapatkan Bunga Abadi"
Duduklah dulu, nanti kuceritakan!" ujar Raja Obat ketika melihat pemuda itu
kebingungan dengan adanya seorang perwira kerajaan di dalam pondok.
"Sudah, Kek!" jawab Panji sambil menyerahkan kain pengikat kepala yang digunakan
sebagai pembungkus Bunga Abadi.
Raja Obat tidak segera menerima
bungkusan yang disodorkan, melainkan malah tertegun menatap wajah Panji.
Setelah memperhatikan lebih teliti, akhirnya Raja Obat itu bertanya kepada
Panji. "Cucuku, kau... kau sudah sembuh"
Kesinilah, biar kuperiksa tubuhmu?" ucap Raja Obat tiba-tiba sehingga membuat
Kenanga dan perwira kerajaan
terheran-heran Lebih-lebih Panji, pemuda itu
menjadi keheranan ketika mendengar ucapan Raja Obat Namun tanpa berkata sepatah
pun, Panji membiarkan saja tubuhnya diperiksa oleh Raja Obat
"Ah... ah... ajaib! Kau benar-benar sudah sembuh, Cucuku!" seru Raja Obat
tersenyum. Setelah memeriksa dan
mengetuk-ngetuk tubuh Panji, kakek itu merasa yakin kalau Panji memang sudah
benar-benar sembuh dari penyakitnya.
(Untuk mengetahui lebih jelas tentang penyakit yang diderita Pendekar Naga
Putih, ada baiknya pembaca melihat episode: "Raja Iblis dari Utara").
"Benarkah, Eyang?" Kenanga yang sejak tadi hanya mendengarkan dengan jantung
berdebar tegang segera
menghambur ke dalam pelukan Pendekar Naga Putih. Gadis jelita itu menangis
bahagia di dada kekasihnya yang menurut Raja Obat sudah sembuh.
"Ceritakanlah, Cucuku! Apa yang telah kau alami sejak kau meninggalkan Bukit Gua
Harimau," pinta Raja Obat yang kelihatannya tidak sabar ingin segera mendengar
cerita Panji. Secara singkat dan jelas Panji pun menceritakan segala kejadian yang dialaminya
selama mencari Bunga Abadi.
Raja Obat Kenanga dan perwira kerajaan sampai berkali-kali mengeluarkan seruan
kaget dan takjub ketika mendengar apa yang dialami oleh Panji.
"Wah... sungguh luar biasa segala yang kau alami, Saudara Panji! Kalau saja
cerita ini tidak kudengar dari mulutmu sendiri, rasanya aku tak mungkin
percaya!" ujar perwira kerajaan dengan suara yang masih terbawa oleh rasa
takjub. "Betul, Cucuku. Dan setelah
mendengar ceritamu, Eyang yakin kalau sembuhnya penyakit yang kau derita
disebabkan sambaran petir ketika engkau mencabut pedang itu dari sarungnya.
Boleh kulihat pedang itu, Cucuku?" pinta Raja Obat kepada Panji.
"Tentu, tentu, Eyang...," sahut Panji sambil menyerahkan pedang yang
ditemukannya di dekat pohon Bunga Abadi.
Raja Obat meneliti pedang yang
diberikan Panji dengan penuh takjub. Dan begitu meloloskan pedang dari
sarungnya, terdengar seruan takjubnya. Begitu pula halnya dengan Kenanga dan
perwira kerajaan.
"Pedang Pusaka Naga Langit..!" seru Raja Obat begitu mengenali pedang yang
ditemukan Panji.
"Pedang Naga Langit..?" seru Panji, Kenanga dan perwira kerajaan keheranan
karena mereka belum pernah mendengar cerita tentang pedang pusaka itu.
"Ya! Pedang Naga Langit Nantilah akan aku ceritakan asal-usul pedang ini.
Nah, sekarang kau tidak memerlukan Bunga Abadi lagi, Cucuku," ucap Raja Obat
yang lalu menceritakan maksud kedatangan perwira kerajaan ke Bukit Gua Harimau
"Jadi beberapa hari setelah
kepergianku, Eyang dipanggil menghadap Gusti Prabu?" tanya Panji mene-gaskan.
"Betul, Cucuku Saat ini Gusti Prabu tengah menderita sakit berat dan hampir
tidak ada obatnya. Akhirnya aku dengan lancang menjanjikan akan mencarikan obat
yang mujarab untuk kesembuhan sang Prabu. Kurasa kau sudah tahu apa yang
kumaksudkan, Cucuku?" tanya Raja Obat sambil menatap wajah Panji dalam-dalam.
"Tahu, Eyang. Eyang pasti
menjanjikan Bunga Abadi untuk mengobati penyakit, Gusti Prabu!" jawab Panji yang
sudah dapat menebak maksud ucapan Raja Obat
"Nah, syukuriah. Sekarang kau sudah tak memerlukan Bunga Abadi lagi, karena
memang benar-benar sudah sembuh secara ajaib! Bagaimana pendapatmu kalau Eyang
meminta Bunga Abadi untuk obat penyakit, Gusti Prabu?" tanya Raja Obat hatihati. Karena biar bagaimanapun Pendekar Naga Putihlah yang berhak atas Bunga Abadi
itu. "Dengan senang hati aku akan merelakan Bunga Abadi ke tangan Eyang demi
kesembuhan Gusti Prabu. Lagi pula kudengar Gusti Prabu adalah seorang raja yang
adil dan bijaksana," jawab Panji tanpa ragu-ragu. Sejenak pemuda itu mengalihkan
pandangannya ke arah
kekasihnya yang tersenyum mengangguk.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih.
Kau memang benar-benar pendekar sejati yang lebih mementingkan keselamatan orang
banyak ketimbang dirimu sendiri.
Aku akan menyampaikan Bunga Abadi kepada Gusti Prabu. Sekarang kami mohon pamit
dan akan membawa Raja Obat ke istana.
Sekali lagi terimalah hormat dan terima kasihku ini, Pendekar Naga Putih," ujar
perwira kerajaan yang belakangan baru Panji ketahui kalau dia adalah seorang
Putih. "Ah, Tuan Patih terlalu beriebihan.
Apalah artinya pengorbananku bila dibandingkan dengan pengabdian, Tuan Patih,"
ujar Panji membungkuk hormat Kemudian Panji dan Kenanga mengantarkan kepergian
mereka hingga keluar pondok.
"Sampai jumpa, Pendekar Naga Putih, Kenanga!" pamit patih kerajaan sambil
melambaikan tangan ke arah dua orang pendekar muda itu.
"Selamat jalan, Eyang, Gusti Patih!" seru Panji dan Kenanga tersenyum sambil
balas melambaikan tangan.
SELESAI Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel
Tukang Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pendekar Riang 15 Joko Sableng 13 Titah Dari Liang Lahat Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 2

Cari Blog Ini