Ceritasilat Novel Online

Darah Dan Asmara 2

Pendekar Rajawali Sakti 41 Darah Dan Asmara Bagian 2


Kedua benda itu langsung menembus dada Ki Anta.
"Aaa...!" Ki Anta berteriak keras melengking tinggi Hanya sebentar laki-laki
setengah baya itu
mampu berdiri tegak, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Darah merembes keluar
dari dadanya yang bolong tertembus dua benda berwarna keperakan.
Pada saat itu, dari dalam rumah keluar seorang gadis yang ternyata Mega, putri
Kepala Desa Parakan
itu. "Ayah...!" jerit Mega terkejut melihat ayahnya menggelepar di tanah meregang
nyawa. "Mega, lari...!" seru Ki Anta memperingatkan.
Laki-laki tua itu mencoba bangkit berdiri. Namun sebelum bisa bangkit, sosok
tubuh berbaju hitam itu
sudah lebih cepat melesat. Seketika, dilontarkan satu
pukulan keras, langsung ke kepala Ki Anta.
"Aaa...!" sekali lagi Ki Anta menjerit melengking tinggi.
"Ayah...!" teriak Mega.
Gadis itu langsung berlari memburu ayahnya. Tapi sebelum sampai, orang berbaju
hitam itu sudah
lebih cepat lagi melesat dan langsung menyambarnya.
"Oh, aaakh...!" Mega memekik terkejut.
Tapi jeritan Mega hanya sampai di situ saja.
Ternyata orang itu sudah menggerakkan tangannya untuk menotok jalan darah gadis
itu, sehingga membuat Mega jatuh lemas seketika. Orang itu memanggul tubuh ramping di
pundaknya. Sebentar
dipandangi mayat Ki Anta yang bergelimang darah.
Kepalanya hancur tak berbentuk lagi.
"Hup!"
Hanya sekali lesatan saja, orang berbaju hitam itu udah lenyap bagai ditelan
bumi. Kejadiannya begitu
cepat, tanpa disaksikan seorang pun. Suasana kembali sunyi, hanya deru angin
saja yang masih
terdengar, disertai bergemeretaknya rumah-rumah yang bergetar tertiup angin
kencang. Sementara
malam terus merayap semakin larut Angin terus berhembus kencang menyebarkan
udara dingin yang
menggigilkan. *** Di sebuah tempat yang tidak jauh letaknya di sebelah Selatan Desa Parakan, Mega
terbaring di sebuah
dipan kayu beralaskan kain berwarna biru muda. Gadis itu tampak tertidur pulas.
Tidak jauh di sampingnya, berdiri seorang berbaju hitam yang seluruh kepalanya terselubung
kain hitam pula.
Hanya bagian matanya saja yang terlihat.
Orang berpakaian serba hitam itu menggerakkan jari tangannya ke dada Mega bagian
atas. Sebentar kemudian, gadis itu mulai mengeluh lirih, dan kepalanya menggeleng lemah.
Pelahan-lahan kelopak
matanya mulai terbuka.
"Ah...!" Mega terpekik kaget begitu tersadar.
Gadis itu mencoba bangkit, namun seluruh
tubuhnya terasa sulit digerakkan. Hanya bagian kepalanya saja yang bisa
digerakkan. Mega
memandangi orang berbaju hitam yang seluruh kepalanya terselubung kain hitam
itu. Dia berdiri tidak
seberapa jauh dari pembaringan yang ditiduri Mega.
"Siapa kau" Di mana aku...?"" tanya Mega seraya memandangi berkeliling.
"Kau ada di tempat pribadiku, Mega," sahut orang itu. Suaranya terdengar begitu
berat seperti dibuatbuat.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Mega mem beranikan diri.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Mega. Aku hanya melakukan menurut perintah,"
sahut orang itu lagi.
"Perintah" Siapa yang memerintahkanmu?"
"Sayang sekali, aku tidak boleh mengatakannya padamu. Dan aku sudah bersumpah
untuk merahasiakannya. "
"Kau membunuh ayahku, dan sekarang men culikku. Apa maksudmu sebenarnya...?" agak kasar nada suara Mega.
"Maaf, aku harus segera pergi. Kau aman di sini.
Hm.... Sebentar lagi pengaruh totokan di tubuhmu lenyap, dan kau bisa bebas
bergerak. Tapi, jangan
coba-coba lari dari sini," tegas orang berselubung hitam itu setengah mengancam.
Setelah berkata demikian, dia bergegas berbalik dan melangkah meninggalkan
ruangan ini. "Hei, tunggu...!" seru Mega.
Tapi orang itu acuh saja, dan langsung keluar dan menutup pintu kamar ini.
Terdengar suara pintu
dikunci dari luar. Dan Mega sadar kalau kamar ini sudah terkunci. Matanya
beredar berkeliling.
Sebuah ruangan yang cukup indah dan besar, tapi tak ada sebuah jendela pun di
ruangan ini. Hanya
sebuah pelita dan perapian yang selalu menyala membuat ruangan ini terasa hangat
dan terang. Mega
memandangi pintu yang hanya satu-satunya di ruangan ini. Tampaknya pintu itu
terbuat dari kayu jati
yang tebal dan kokoh.
Mega mencoba menggerakkan tubuhnya, dan
merasakan kalau dirinya kali ini bisa bergerak kembali. Bergegas tubuhnya
menggelinjang bangkit
berdiri, langsung turun dari pembaringan. Gadis itu melangkah cepat menghampiri
pintu. Dia mencoba untuk membuka, tapi pintu ini benar-benar terkunci.
"Hhh...!" Mega menghembuskan napas berat.
Gadis itu menyandarkan punggungnya ke dinding di samping pintu. Kembali
diedarkan pandangannya
berkeliling. Tak ada yang bisa dilakukannya di sini.
Ruangan ini benar-benar tertutup, tak ada celah untuk bisa meloloskan diri.
Mega kembali menghampiri pembaringan, lalu duduk di tepinya. Matanya kembali
beredar, mengamati setiap sudut ruangan ini, hingga ke atapnya. Dan begitu memandang ke
atas, tahulah kini
bahwa ruangan ini merupakan sebuah gua batu.
Gadis itu menghembuskan napas panjang. Disadari kalau tidak ada peluang sedikit
pun untuk bisa meloloskan diri.
Kreeek...! Mega mengangkat kepalanya ketika mendengar suara derik pintu. Matanya langsung
menatap ke arah
pintu yang terbuka pelahan-lahan. Tak berapa lama kemudian, muncul seorang lakilaki tua bertubuh
kurus kering. Pakaiannya lusuh, dan warnanya sudah memudar. Dia membawa sebuah
baki yang penuh
berisi makanan, minuman, dan buah. Ditutupnya pintu kembali sebelum melangkah
menghampiri meja yang terletak di samping pembaringan. Seperti tidak melihat ada orang di
ruangan ini, diletakkannya baki penuh berisi makanan itu di atas meja, sementara Mega hanya
memperhatikan saja. "Tunggu dulu...!" sentak Mega ketika laki-laki tua itu hendak meninggalkan kamar
ini. Laki-laki tua itu mengurungkan langkahnya.
Tubuhnya berbalik, menghadap pada Mega yang masih tetap duduk di tepi
pembaringan. Sinar mata
yang cekung itu begitu sayu, seperti tak memiliki gairah sama sekali. Laki-laki
tua ini benar-benar
kumuh, tak lebih dari seorang gembel jalanan.
"Siapa namamu, Ki?" tanya Mega.
"Jamat," sahut laki-laki tua itu. Suaranya pelan dan sedikit bergetar.
"Kau tahu, apa nama tempat ini?" tanya Mega langsung.
"Maaf, aku harus pergi. Silakan Gusti Ayu menikmati hidangan itu," ucap Ki Jamat
buru-buru. "He, tunggu dulu...!" sentak Mega.
Gadis itu langsung melompat bangkit. Setengah berlari, dihadangnya Ki Jamat yang
sudah berbalik dan melangkah hendak keluar dari kamar ini. Ki Jamat berhenti melangkah.
"Maaf, Gusti Ayu. Jangan paksa hamba untuk
banyak bicara. Hamba hanya bertugas untuk melayani kebutuhan Gusti Ayu. Maafkan
hamba, Gusti Ayu...," ucap Ki Jamat bernada penuh permohonan.
Setelah berkata demikian, Ki Jamat kembali berjalan mendekati pintu. Ketika
pintu itu diketuk,
seketika terbuka. Ki Jamat bergegas keluar, dan pintu kembali tertutup. Mega
hanya bisa memandangi
saja. Kini baru jelas kalau di depan pintu ada penjaganya.
Mega berjalan mondar-mandir di ruangan ini.
Dicobanya untuk bisa memahami semua peristiwa yang dialami, hingga sampai ke
ruangan yang sama
sekali asing. Tapi sedemikian keras mencoba untuk memahami, tetap saja sulit
dimengerti. Dia tidak tahu. siapa orang yang menculik dan membunuh ayahnya. Apalagi, untuk
mengetahui apa maksudnya orang itu menculiknya. Sedangkan dari suaranya, sama sekali tidak bisa
dikenali. Seluruh
kepala dan wajahnya terselubung kain hitam, kecuali matanya saja yang terlihat.
"Hhh.... Apakah ini ada hubungannya dengan ancaman Ki Puliga...?" desah Mega
bertanya-tanya sendiri dengan suara setengah bergumam.
Gadis itu teringat akan kedatangan Ki Puliga ke rumahnya kemarin. Terangterangan si Iblis Gunung
Parakan itu meminta agar secepatnya menikahkan Mega dengan anaknya. Tapi Ki Anta
tegas-tegas menolak. Bahkan terang-terangan mengatakan kalau tidak akan sudi punya menantu
keturunan manusia iblis seperti Ki Puliga.
Penolakan Ki Anta membuat si Iblis Gunung Parakan jadi berang, bahkan
mengeluarkan kata-kata
ancaman akan membunuh kepala desa itu dan akan menculik putrinya. Hanya saja,
Mega bukan untuk
dikawinkan dengan anaknya, melainkan untuk dijadikan budak agar seumur hidupnya
menderita. Mengingat itu semua, Mega jadi bergidik. Sungguh sikap ayahnya sangat disesali
karena terlihat kasar
saat menolak lamaran Ki Puliga.
"Tapi..., apakah Ki Puliga akan melakukan ini semua...?" gumam Mega kembali
bertanya-tanya di
dalam hatinya. *** Saat itu, di Puncak Gunung Parakan yang selalu berkabut, tampak Partanu tengah
duduk menyendiri di
bawah pohon. Sejak pagi tadi pemuda itu berada di sana, menghadap ke arah Desa
Parakan yang berada di kaki gunung ini. Sudah begitu lama Partanu tidak pernah bertemu Mega
lagi. Hatinya begitu
rindu. Namun kala mengingat Mega berpelukan dengan seorang pemuda lain, kecemburuan dan
sakit hati membuatnya harus bisa meredam kerinduannya.
Partanu menghembuskan napas panjang saat
telinganya mendengar langkah kaki menghampiri.
Sedikit ujung matanya melirik. Tampak seorang laki-laki setengah baya
berperawakan tinggi besar
dan berotot, datang menghampiri. Bajunya warna hijau tua dengan sebilah golok
bergagang hitam
terselip di pinggang.
Laki-laki yang tak lain Ki Puliga itu duduk di samping anaknya.
"Kau masih memikirkan gadis itu, Partanu?" tebak Ki Puliga langsung.
"Entahlah...," sahut Partanu mendesah. "Tapi aku benar-benar mencintainya, Ayah."
"Lupakan saja gadis itu, Partanu. Kau bisa
mendapatkan gadis-gadis yang lebih cantik. Tidak ada persoalan bagimu untuk
memperoleh gadisgadis cantik di dunia ini, Partanu."
Partanu hanya diam saja.
"Kau harus ingat, kalau dia sudah meng khianatimu. Jadi tidak sepatutnya kalau kau masih mencintainya. Dengar, Partanu.
Aku tidak ingin
melihatmu terus larut dalam kesedihan. Kau bukan pemuda cengeng yang mudah larut
hanya karena seorang gadis. Aku akan lebih senang jika kau suka melupakannya. Bahkan kalau
mungkin, kau bunuh
pemuda itu, gadis itu, dan seluruh keluarganya,"
tegas Ki Puliga membangkitkan semangat anaknya yang telah layu.
"Mungkin Ayah bisa melakukannya, tapi aku tidak bisa menyakiti Mega," tegas
Partanu. Ki Puliga tersenyum. Ditepuknya pundak pemuda itu. Sedangkan Partanu memandangi
tajam ayahnya. Terasa ada sesuatu yang disembunyikan si Iblis Gunung Parakan ini. Tidak mudah
ayahnya tersenyum
semanis ini. Kalaupun ayahnya tersenyum, tentu ada yang disembunyikan.
"Apa yang telah Ayah lakukan pada Mega,"
Partanu langsung menebak.
"'Tidak, aku tidak melakukan apa-apa. Tapi...,"
sahut Ki Puliga.
"Tapi apa...?" desak Partanu disertai hati berdebar.
"Aku telah menemui sainganmu. Tapi, aku tidak yakin apakah dia masih hidup atau
sudah mati sekarang," Ki Puliga memberitahu pertarungannya dengan Pendekar Rajawali Sakti.
"Anak muda itu
memang tangguh. Bahkan hampir saja aku kalah.
Pantas saja kau kehilangan golok kesayanganmu, Partanu."
"Ayah bertarung dengan si keparat itu..."!" Partanu seperti tidak percaya.
"Ya," sahut Ki Puliga. "'Tapi sayang, saat nyawanya akan kuhabisi, seseorang
telah menolongnya, dan
cepat membawanya pergi. Aku tidak sempat
mengetahui, apalagi mengenalnya."
"Kalau begitu, aku harus menemui Mega!" sentak Partanu cepat, dan langsung
bangkit berdiri.
"Untuk apa...?" tanya Ki Puliga ringan.
"Untuk membawanya ke sini, Ayah. Mega pasti mau kuajak ke sini. Dia pernah
bilang kalau bersedia
pergi asal bersamaku ke mana saja."
"Itu dulu, Partanu. Sekarang mungkin tidak lagi."
"Kenapa Ayah berkata begitu?"
"Karena dia sudah memilih pemuda lain. Lagi pula, ayahnya tidak akan
membiarkannya begitu saja.
Aku sudah mencoba melamarnya secara baik-baik, tapi ditolaknya dengan kasar."


Pendekar Rajawali Sakti 41 Darah Dan Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kapan Ayah melamarnya?" tanya Partanu yang memang tidak tahu.
"Kemarin, sehari setelah aku bertarung dengan sainganmu."
"Aku akan menculiknya, Ayah!" tegas Partanu.
"Ha ha ha...!" Ki Puliga hanya tertawa saja. Partanu merasakan ada nada ejekan
pada suara ayahnya,
tapi tidak dipedulikannya. Dengan cepat sekali ditinggalkannya laki-laki
setengah baya itu. Ayunan
kakinya begitu cepat menuruni Lereng Gunung Parakan ini. Sementara Ki Puliga
hanya memandanginya saja dengan bibir menyunggingkan senyuman.
Pada saat bayangan tubuh Partanu sudah tidak terlihat lagi, datang dua orang
laki-laki tinggi tegap
berwajah kasar. Mereka langsung menghampiri Ki
Puliga, dan membungkukkan tubuhnya setelah dekat.
"Rakat, Badir, bagaimana pekerjaanmu?" tanya Ki Puliga langsung.
Iblis Gunung Parakan itu memandangi dua orang yang masing-masing mengenakan baju
warna merah dan hitam bercampur merah. Rakat dan Badir menjura lagi memberi hormat. Mereka
masing-masing menyandang senjata yang berlainan. Rakat memakai baju warna merah menyala. Di
pinggangnya penuh pisau, bahkan sampai ke dada. Julukannya adalah si Pisau Terbang, karena
keahliannya memang melemparkan pisau. Sedangkan Badir mengenakan pakaian berwarna hitam campur
merah. Sebuah golok besar yang ujung gagangnya berkepala tengkorak, tersandang di pundaknya.
Tangan kanannya
memegangi gagang golok yang besar dan berkilat itu. Selain bernama Badir, dia
dikenal berjuluk si
Golok Setan. Mereka adalah orang-orang kepercayaan Ki Puliga.
"Kami sudah menyelidiki seluruh Lereng Gunung Parakan ini, Ki. Tapi tidak
menemukan ada tandatanda di mana Rangga berada sekarang," lapor Badir.
"Sudah kami sebar sebagian anak buah untuk menyelidiki seluruh desa di sekitar
Kaki Gunung Parakan ini, Ki," sambung Rakat.
"Apa kalian sudah mencari sampai ke luar wilayah Gunung Parakan ini?" tanya Ki
Puliga. "Sudah. Bahkan sampai ke perbatasan kerajaan,"
sahut Rakat "Hm..., pasti dia ada di suatu tempat. Dia tidak akan pergi jauh dalam keadaan
terluka. Hm..., tapi
orang itu...," Ki Puliga menggumam pelan, seperti bicara untuk dirinya sendiri.
"Ada sesuatu yang hendak kusampaikan, Ki,"
celetuk Badir. "Katakan," sahut Ki Puliga.
"Ada sesuatu yang terjadi di Desa Parakan. Ki Anta didapati tewas terbunuh
semalam, dan anak
gadisnya menghilang," lapor Badir.
"Ha ha ha...," tiba-tiba saja Ki Puliga tertawa terbahak-bahak mendengar laporan
itu. Hal ini membuat Badir dan Rakat jadi saling berpandangan tidak mengerti. Mereka
buru-buru menjura
memberi hormat saat suara tawa si Iblis Gunung Parakan itu berhenti.
"Apa lagi yang kau dengar dari sana?" tanya Ki Puliga.
"Mereka menuduh kita yang melakukannya, Ki,"
sahut Rakat "Keparat..!" geram Ki Puliga. "Rupanya mereka sudah bosan hidup, berani menuduh
sembarangan!"
"Benar, Ki. Sudah saatnya mereka diberi
peringatan. Selama ini Partai Iblis Gunung Parakan selalu memberi hati, sehingga
mereka semakin berani dan kurang ajar," sambut Badir penuh semangat
"Akan kuberi pelajaran pada mereka...!" desis Ki Puliga menggeram. "Badir! Kau
selidiki, siapa saja
yang berani melontarkan tuduhan itu. Secepatnya kau laporkan padaku!"
"Baik, Ki," sahut Badir seraya menjura memberi hormat.
"Dan kau, Rakat. Buat keonaran, tapi jangan sampai ada korban jatuh. Mengerti...?"
"Siap menjalankan perintah, Ki," sahut Rakat
"Ingat! Satu nyawa penduduk, berarti satu nyawa anggotamu. Kau harus ingat itu,
Rakat!" "Mengerti, Ki."
"Berangkatlah sekarang!"
Kedua orang itu menjura memberi hormat sekali lagi, kemudian bergegas pergi. Ki
Puliga tersenyumsenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Kemudian terdengar suara tawanya yang pecah menggelegar.
*** 6 Apakah Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tewas di tangan si Iblis Gunung
Parakan" Kalau tidak, di
manakah pendekar yang selalu mengenakan baju rompi putih itu berada"
Rangga sebenarnya berada tidak jauh dari Gunung Parakan. Tepatnya di Bukit
Langgang. Saat itu
Rangga tengah duduk bersemadi di sebuah ruangan yang tidak begitu besar, namun
tertutup rapat sehingga tidak ada sedikit pun cahaya matahari yang bisa menerobos masuk. Hanya
sebuah pelita kecil yang menerangi ruangan itu, berada tepat di depan Rangga.
Sedangkan tepat di depan pintu ruangan itu, duduk dua orang laki-laki. Yang
seorang masih begitu
muda, dan berusia sekitar lima belas tahun.
Sedangkan seorang lagi sudah setengah baya.
Tubuhnya yang kecoklatan dan tidak mengenakan baju, terlihat berkilat oleh
keringat. Otot-otot
bersembulan keluar, membuat tubuhnya semakin terlihat tegap, meskipun usianya
sudah berkepala
lima. "Paman, apakah Kakang Rangga akan sembuh
lagi?" tanya pemuda belasan tahun yang tak lain adalah Carika.
"Rangga seorang pendekar tangguh, sehingga pasti bisa memulihkan kekuatannya
kembali," sahut
Paman Sentanu. "'Tapi, sudah tiga hari dia mengurung diri di dalam kamar. Aku khawatir,
Paman...," Carika tidak
bisa membendung kecemasannya.
"Tenanglah. Kalau sampai besok belum juga keluar, aku akan melihatnya ke dalam.
Luka-lukanya memang cukup parah, tapi tidak mungkin akan merenggut jiwanya. Daya tahan
tubuhnya sungguh luar
biasa. Belum pernah aku melihat orang yang begitu perkasa."
"Tapi, Paman. Dia juga manusia biasa. Buktinya, dia sampai terluka parah
begitu." "Kau benar, Carika. Setinggi apa pun tingkat kepandaian seorang pendekar, dia
masih manusia biasa
yang tidak luput dari penderitaan dan kematian.
Ah, sudahlah.... tidak perlu kau cemaskan. Aku yakin, dia pasti bisa mengatasi
keadaannya," Paman
Sentanu mencoba menenangkan hati keponakannya itu.
Namun demikian, Carika masih tetap saja merasa khawatir, karena Rangga belum
juga keluar dari
kamar semadinya. Sebuah kamar khusus yang berada paling belakang dari pondok
ini. Beberapa kali
pemuda tanggung itu menarik napas panjang setiap kali memandang pintu yang masih
saja tertutup rapat. Waktu terus berjalan. Carika merasakan sang waktu berjalan begitu lambat.
Hatinya semakin gelisah
saja manakala matahari sudah condong ke Barat, tapi Rangga belum juga keluar
dari kamar semadinya. Sejak kemarin, pemuda tanggung itu tidak meninggalkan tempatnya.
Bahkan makan dan
tidur di situ, sambil menunggu Pendekar Rajawali Sakti yang tengah bersemadi
memulihkan kekuatan
tubuhnya kembali.
Sementara itu Paman Sentanu sudah sejak tadi pergi ke samping pondok. Dia
meneruskan pekerjaannya membelah kayu bakar yang sudah
menipis persediaannya. Suara ayunan kapak membelah kayu begitu keras terdengar,
seakan-akan merupakan pertanda bagi perjalanan sang waktu.
"Paman...!" seru Carika tiba-tiba. Paman Sentanu yang baru saja mengayunkan
kapaknya, langsung
melompat berlari. Kapaknya dibuang begitu saja. Dan setibanya di bagian
belakang, tampak Carika
tengah memeluk Rangga yang berdiri di depan pintu kamar semadi. Paman Sentanu
buru-buru menghampiri, dan Carika langsung melepaskan pelukannya. Rangga tersenyum seraya
menganggukkan kepalanya sedikit pada laki-laki setengah baya itu. Paman Sentanu
membalasnya dengan anggukan kepala juga.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Paman Sentanu.
"Sudah membaik," sahut Rangga. "Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku,
Paman." "Ah, sudahlah. Aku hanya bisa melakukan apa yang bisa kulakukan," Paman Sentanu
merendah. Mereka semua kemudian menuju ruangan depan pondok ini, kemudian duduk melingkar
di atas tikar daun pandan. Memang tidak ada kursi ataupun meja di ruangan ini.
"Carika, sebaiknya kau siapkan makan untuk Rangga," kata Paman Sentanu.
"Oh, iya.... Sudah tiga hari Kakang tidak makan.
Sebentar, kusiapkan makanan yang tedezat
buatanku," sahut Carika langsung beranjak pergi dari ruangan ini.
Rangga hanya tersenyum saja melihat kejenakaan pemuda tanggung itu.
"Rangga, bagaimana kau bisa bentrok dengan si Iblis Gunung Parakan?" tanya Paman
Sentanu setelah
Carika menghilang dari ruangan depan ini.
"Aku sendiri tidak tahu, Paman. Tiba-tiba saja dia
muncul menghadangku," sahut Rangga kembali mengingat-ingat semua kejadian selama
berada di sekitar Gunung Parakan, terutama di Desa Parakan yang terletak di kaki gunung
itu. "Hm.... Kudengar kau pernah bentrok dengan Partanu. Benar...?" agak bergumam suara
Paman Sentanu. "Ah, pasti Carika melebih-lebihkan," Rangga langsung sudah bisa menebak.
"Anak itu memang selalu melebih-lebihkan, tapi tidak seluruhnya kupercayai. Itu
sebabnya, kenapa
aku ingin kau sendiri yang bercerita," pinta Paman Sentanu.
"Hanya salah paham saja, Paman," jelas Rangga.
Tanpa diminta dua kali, Rangga kemudian
menceritakan pertemuannya dengan Mega secara tidak sengaja. Kemudian
bentrokannya dengan
Partanu, anak si Iblis Gunung Parakan. Semua diceritakan Rangga tanpa ada yang
dikurangi sedikit
pun. Sedangkan Paman Sentanu mendengarkan penuh perhatian.
Paman Sentanu masih diam membisu meskipun Rangga sudah menyelesaikan ceritanya.
Untuk beberapa saat, mereka hanya berdiam diri saja.
Pelahan Paman Sentanu mengangkat kepalanya, langsung menatap bola mata Pendekar
Rajawali Sakti yang duduk di depannya.
"Meskipun kau hanya memandangnya sebagai
kesalahpahaman belaka, tapi persoalan itu akan berbuntut panjang, Rangga," jelas
Paman Sentanu pelan, seperti bergumam terdengarnya.
"Mungkin...," desah Rangga kurang yakin.
"Rangga, ada sesuatu yang hendak kusampaikan padamu," kali ini suara Paman
Sentanu terdengar
agak berbisik. "Sesuatu..." Tentang apa, Paman?" tanya Rangga dengan kening berkerut dalam.
"Ki Anta dan putrinya," sahut Paman Sentanu.
"Maksud, Paman...?" seketika Rangga merasakan darahnya jadi lebih cepat mengalir
begitu mendengar nama Ki Anta dan Mega disebut.
"Ki Anta sudah tewas terbunuh, sedangkan Mega menghilang entah ke mana."
Rangga hampir tidak percaya mendengarnya.
Dipandanginya Paman Sentanu dalam-dalam, seakan akan ingin mencari kebenaran di
dalam sorot mata laki-laki setengah baya itu. Namun saat mendapatkan kesungguhan dalam raut
wajahnya, Rangga
mau tidak mau harus mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
"Itulah yang kukatakan. Persoalan ini akan berbuntut panjang, Rangga," kata
Paman Sentanu lagi.
Masih terdengar pelan suaranya.
"Dari mana kau dengar berita itu, Paman?" tanya Rangga jadi serius.
"Seorang pemburu yang kebetulan lewat sini. Dia berasal dari Desa Parakan, jadi
banyak mengetahui
tentang situasi desa sekarang ini. Terlebih lagi setelah Ki Anta tewas terbunuh.
Dia sendiri membawa
keluarganya meninggalkan desa itu, dan sekarang menetap di seberang lembah
sana," jelas Paman
Sentanu. Rangga jadi terdiam membisu. Sungguh tidak disangka kalau persoalan itu jadi
panjang, bahkan
sekarang sudah meminta korban nyawa.
*** Pagi-pagi sekali Rangga sudah bersiap hendak meninggalkan Lereng Bukit Langgang.
Kesehatan tubuhnya sudah benar-benar pulih seperti sediakala.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengayunkan kakinya keluar dari dalam pondok.
Hatinya tertegun ketika
melihat Paman Sentanu dan Carika sudah menunggu di depan pintu.
"Jadi pergi hari ini, Rangga?" tanya Paman Sentanu.
"Ya, sepertinya aku harus menghadapi Puliga lagi,"
sahut Rangga. "Aku tidak bisa melarangmu, Rangga. Hati-hatilah.
Kepandaian Puliga sangat tinggi, di samping licik. Dan yang paling penting,
jangan sampai terpancing,"
Paman Sentanu memperingatkan.
Rangga hanya tersenyum saja. Semalam Pendekar Rajawali Sakti memang sudah
mengetahui tentang
si Iblis Gunung Parakan itu dari Paman Sentanu.
Sungguh Rangga tidak menyangka kalau sebenarnya Paman Sentanu sendiri punya
persoalan pribadi
dengan si Iblis Gunung Parakan itu. Istrinya tewas dibunuh setelah sebelumnya
diperkosa. Dan Paman
Sentanu mencoba membalas dendam, tapi ilmu yang dimilikinya masih di bawah Ki
Puliga. Itulah sebabnya, mengapa Paman Sentanu


Pendekar Rajawali Sakti 41 Darah Dan Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyepi di Bukit Langgang ini. Di samping menunggu kesempatan balas dendam, dia
juga memperdalam ilmu olah kanuragan dan kesaktiannya. Tapi setelah bertahun-tahun
memperdalam ilmunya, tetap saja tidak mampu menghadapi si Iblis Gunung Parakan itu.
Pada pertarungannya yang terakhir, hampir saja Paman Sentanu tewas kalau saja
tidak ditolong seorang tua berilmu tinggi. Sayang sekali, orang tua
itu tidak berumur panjang. Tapi berkat orang tua itu, Paman Sentanu sedikit demi
sedikit bisa menghilangkan perasaan dendam di hatinya.
"Aku pergi dulu," pamit Rangga. Setelah berbasa-basi sebentar, Pendekar Rajawali
Sakti itu bergegas
pergi. Sementara Paman Sentanu dan Carika hanya memandangi saja kepergiannya.
Mereka masih berdiri di depan pintu rumahnya sampai Rangga benar-benar tidak terlihat lagi.
"Ayo, Carika. Hari ini kau harus berlatih tenaga dalam," kata Paman Sentanu.
"Ada apa?"
"Apakah dengan ilmu kesaktian yang kupelajari nanti bisa seperti Kakang Rangga?"
tanya Carika. "Tergantung kesungguhanmu dalam mempelajari ilmu-ilmu olah kanuragan dan
kesaktian," sahut
Paman Sentanu. "Harus berapa lama belajarnya?" tanya Carika lagi
"Jika kau rajin dan bersungguh-sungguh, aku rasa tidak akan lama."
"Aku akan berlatih bersungguh-sungguh, Paman."
"Kalau begitu, sekarang kau harus berlatih tenaga dalam. Karena, tenaga dalam
sangat penting untuk
bisa menguasai segala jenis ilmu olah kanuragan dan ilmu kesaktian. Tanpa tenaga
dalam, semua yang
kau pelajari tidak akan ada gunanya."
"Segala macam ilmu, Paman...?"
"Benar, segala macam ilmu."
"Berarti, aku juga bisa mempelajari ilmu-ilmu yang dimiliki Kakang Rangga?"
"Tentu. Tapi untuk sekarang ini, kau harus menguasai lebih dahulu ilmu yang aku
miliki. Ah, sudahlah. Nanti kau akan kuberi sedikit pengetahuan tentang ilmu olah kanuragan
dan ilmu-ilmu kesaktian. Di samping itu, kau juga harus mengetahui perkembangan dunia persilatan agar
tidak tertinggal.
Sebab, dunia persilatan terus berkembang dengan banyak bermunculannya ilmu baru
yang lebih tinggi
dan dahsyat. Kau harus mengikuti perkembangannya jika tidak ingin tertinggal."
Carika hanya menganggukkan kepalanya saja.
Hatinya bertekad untuk berlatih sungguh-sungguh.
Yaaah..., kalau saja sejak dulu berlatih ilmu olah kanuragan, tentu dia bisa
menyelamatkan ibunya
dari kematian. Carika menyesali dirinya yang malas berlatih waktu itu. Yang
jelas, sekarang tekadnya
telah bulat untuk berlatih sungguh-sungguh.
"Ayo, Paman. Kita mulai sekarang. Aku ingin bisa menyamaimu," ajak Carika
bersemangat "Bukan hanya menyamai, tapi harus lebih dariku."
"Mana mungkin, Paman..." Umurku jauh lebih muda dari Paman, mana mungkin bisa
menandingi Paman." "Usia bukan ukuran untuk tinggi rendahnya suatu ilmu olah kanuragan dan
kesaktian. Kau lihat
sendiri, Rangga lebih muda usianya dariku. Tapi ilmu yang dimilikinya beberapa
tingkat di atasku."
"Apakah itu mungkin, Paman?"
"Kenapa tidak" Kau ingat bungkusan kain putih yang kau serahkan padaku...?"
Carika mengangguk.
"Bungkusan kain putih itu berisi kitab dan senjata pusaka peninggalan kakekmu.
Kitab itu berisi ilmuilmu yang sangat tinggi tingkatannya. Jauh lebih tinggi
dari yang kumiliki. Carika, kelak aku akan
menyerahkan pusaka itu padamu setelah kau bisa menguasai seluruh ilmu yang
kumiliki. Dan kau
harus bisa menguasai seluruh ilmu yang tertulis dalam kitab
itu. Kau mengerti...?"
"Mengerti, Paman."
"Ayo, kita mulai berlatih. Kau harus mampu menguasai tenaga dalam agar sempurna.
Dengan demikian, kau akan bisa menguasai ilmu-ilmu yang ada dalam kitab pusaka itu."
Tanpa membantah sedikit pun, Carika mengikuti pamannya yang berjalan ke samping
rumah. Ayunan langkah kakinya begitu ringan dan riang. Dia ingin sekali menguasai ilmu olah
kanuragan dan ilmu
kesaktian agar kelak bisa melanglang buana membasmi keangkaramurkaan.
*** Sementara itu, Rangga sudah sampai di Kaki Gunung Parakan. Pendekar Rajawali
Sakti berdiri tegak
di atas sebuah tebing batu yang cukup tinggi.
Dari atas tebing batu ini, Desa Parakan bisa terlihat dengan leluasa.
Tampak jelas sekali, suasana desa itu demikian sunyi, tidak seperti pertama kali
Rangga menginjakkan kakinya di sana. Desa Parakan kini bagaikan sebuah desa mati yang
tidak berpenghuni.
Sepanjang jalan sepi lengang, tak terlihat seorang pun berada di luar rumah.
Hanya ayam dan anjinganjing liar saja yang berkeliaran di antara rumah-rumah
penduduk yang kelihatan sunyi bagai tak
berpenghuni. Rangga mengayunkan kakinya menuruni tebing batu ini. Dengan mempergunakan ilmu
meringankan tubuh, mudah dan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menuruni tebing batu yang
sedikit curam itu.
Sebentar saja dia sudah sampai di bawah tebing,
dan terus berjalan menuju Desa Parakan yang kelihatan sunyi.
Semakin dekat ke desa itu, semakin terasa kesunyian yang mencekam. Pendekar
Rajawali Sakti itu
merasakan adanya hawa maut yang menyelimuti seluruh angkasa desa itu. Dan
perasaan Rangga
langsung terbukti ketika baru saja menginjakkan kakinya di batas desa yang
langsung berbatasan
dengan hutan di Kaki Gunung Parakan ini.
"Ha ha ha...!"
Rangga langsung menghentikan ayunan langkahnya ketika tiba-tiba mendengar suara
tawa keras menggelegar terbahak-bahak. Suara itu seperti datang dari segala penjuru mata
angin. Rangga langsung bisa menebak kalau tawa itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam
yang cukup tinggi. "Hm...," Rangga bergumam saat telinganya mulai terasa sakit akibat suara tawa yang
mengandung pengerahan tenaga dalam itu.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu menarik napas dalam-dalam, kemudian menahan
napasnya selama mungkin. Lalu...
"Yeaaah...!"
Suara tawa itu berhenti seketika saat Rangga berteriak keras. Akibat teriakan
yang disertai penyaluran
tenaga dalam itu, adalah getaran dahsyat, sehingga pohon dan bebatuan
berguncang. Bumi yang
dipijak terasa bergetar bagai terjadi gempa.
Daun-daun pohon berguguran layu, beterbangan terbawa tiupan angin yang sedikit
kencang. Srak! Srak...! Saat itu juga, bermunculan manusia berpakaian serba hitam dari balik gerumbul
semak dan atas pohon. Sebentar saja, di sekeliling Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri
sekitar sepuluh orang yang
semuanya memegang senjata golok bergagang hitam dari tanduk kerbau.
"Serang...!" tiba-tiba terdengar teriakan keras memberi perintah.
"He..., tunggu!" sentak Rangga terkejut "Siapa kalian?"
Tapi pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ada yang menjawab, karena
sepuluh orang berpakaian serba hitam itu sudah cepat dan serentak menyerang. Beberapa buah
golok berkelebatan di
sekitar tubuh Rangga, sehingga membuatnya harus berlompatan sambil meliukkan
tubuh menghindari
serangan golok yang datang secara beruntun dan gencar itu.
Mereka sama sekali tidak memberi kesempatan pada Rangga untuk bisa membalas.
Pendekar Rajawali
Sakti diserang secara bergantian dan cepat sekali. Terkadang tiga orang serentak
menyerang maju,
disusul yang lainnya. Rangga kelihatan kelabakan juga, karena mereka rata-rata
memiliki kemampuan
yang cukup tinggi. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu cepat menguasai keadaan
dirinya yang sangat
tidak menguntungkan ini.
"Yeaaah...!"
Tepat ketika sebuah golok menyambar ke arah dada, dengan cepat sekali Rangga
menarik tubuhnya ke
belakang. Dan secepat itu pula, tangannya bergerak bagaikan kilat menepak
pergelangan tangan lawan.
Plak! "Akh...!" orang itu memekik keras.
Tring! Goloknya terlepas jatuh ke tanah yang agak berbatu. Dan sebelum lawan sempat
menyadari apa yang
terjadi, Rangga cepat memutar tangan orang itu, dan membalikkan tubuhnya,
sehingga membelakangi.
Pada saat yang sama, dari arah depan datang satu serangan lagi. Sebuah golok
terhunus datang sangat
cepat, dan tidak bisa terbendung lagi arusnya.
Hingga.... Crab! "Aaa...!" orang yang dipelintir tangannya itu menjerit keras ketika golok temannya
menghunjam ke dadanya. "Hih...!"
Rangga mendorong tubuh yang berlumuran darah itu, hingga terjajar ke depan.
Orang yang berada di
depannya jadi terkejut. Dilepaskan goloknya yang tertancap di dada temannya
sendiri. Dan sebelum
bisa menyadari apa yang terjadi, Rangga sudah melompat cepat bagaikan kilat
"Hiyaaa...!"
Seketika itu juga Rangga melepaskan satu
tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi yang sudah mencapai
taraf kesempurnaan.
Serangan kaki Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bisa terbendung lagi, tepat
menghantam kepala orang
itu. Prak! "Aaa...!" kembali terdengar jeritan melengking menyayat
Orang berbaju hitam itu melintir sambil
memegangi kepalanya yang pecah terhantam
tendangan Pendekar Rajawali Sakti. Darah langsung bercucuran membasahi seluruh
tubuhnya. Hanya
beberapa saat dia masih mampu berdiri, kemudian ambruk tak berkutik lagi. Dua
orang tewas dalam
waktu singkat, membuat delapan orang lainnya jadi terpana. Sesaat mereka jadi
berhenti menyerang.
*** 7 Kesempatan yang hanya sesaat ini, dimanfaatkan Pendekar Rajawali Sakti untuk
keluar dari kepungan.
Pemuda berbaju rompi putih itu melesat cepat bagaikan kilat, dan tahu-tahu sudah
berada di luar kepungan. Delapan orang itu langsung tersadar.
Mereka cepat berbalik, dan seketika berlompatan menyerang kembali.
"Tunggu...!" bentak Rangga keras menggelegar.
Bentakan itu begitu keras karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Akibatnya delapan orang
berbaju hitam itu berhenti bergerak seketika.
"Aku tidak tahu siapa kalian. Kenapa menyerang-ku?" tanya Rangga.
"Mereka semua anak buahku!"
Rangga langsung berpaling ke kiri ketika
mendengar jawaban dari arah kiri. Entah kapan dan dari mana datangnya, tahu-tahu
tidak jauh dari
tempat itu sudah berdiri seorang pemuda berwajah cukup tampan. Pemuda itu
mengenakan baju kulit
binatang. Tampak sebilah pedang panjang tergantung di pinggang. Dia juga
memegang sebuah tombak
yang ujungnya berkeluk runcing dan berwarna keemasan.
Mata tombak itu seperti sebilah keris.
Rangga langsung mengenali pemuda berbaju kulit binatang itu. Dia adalah Partanu,
putra Ki Puliga, si
Iblis Gunung Parakan. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak perlu lagi meminta
penjelasan, karena
sudah tahu maksud Partanu. Sudah pasti anak muda itu ingin membalas kekalahannya
waktu itu. "Tidak kusangka, ternyata kau masih hidup, Rangga," dingin sekali nada suara
Partanu. Kakinya
melangkah beberapa tindak mendekati. Pemuda itu berhenti setelah jaraknya
tinggal satu batang
tombak lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan delapan orang berbaju hitam, kini berada di belakang Partanu. Mereka
masih menghunus
golok, siap menerima perintah dari putra si Iblis Gunung Parakan itu. Rangga
sendiri menggeser
kakinya ke kanan dua tindak. Pandangannya tajam merayapi orang-orang yang berada
di depannya. "Sekarang saatnya kau harus mampus, penculik busuk!" desis Partanu menggeram.
"Penculik..." Apa maksudmu?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Aku tidak ada waktu berdebat denganmu,
Rangga. Sebelum kau mati, tunjukkan, di mana Mega kau sembunyikan"!" bentak
Partanu menggeram. Rangga langsung mengerti arti tuduhan Partanu tadi. Tapi Pendekar Rajawali Sakti
jadi memiliki pertanyaan. Jika bukan Partanu yang menculik Mega, lalu siapa lagi..." Sedangkan
Paman Sentanu mengatakan, kalau Mega diculik Ki Puliga, ayah pemuda berbaju kulit binatang
itu. Dan kalau memang benar Ki Puliga yang menculik, mengapa anaknya tidak tahu..."
Rangga masih bertanya-tanya dalam hati. Namun sebelum pertanyaan itu terjawab,


Pendekar Rajawali Sakti 41 Darah Dan Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendadak saja Partanu sudah berteriak memberi perintah pada orang-orangnya untuk menyerang.
"Bunuh dia...!"
Seketika itu juga, delapan orang berpakaian serba hitam, berlompatan menyerang
Pendekar Rajawali
Sakti sambil berteriak keras. Golok mereka
berkelebatan, langsung mengurung ruang gerak Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Hiyaaa...!"
Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Disadarinya kalau orang-orang ini tidak
bisa lagi diajak damai.
Serangan-serangan yang dilancarkan sungguh dahsyat Sedikit kelengahan saja bisa
berakibat fatal
yang amat sangat Dan Rangga tidak ingin mati konyol. Dia sudah berusaha untuk
mencari jalan damai,
tapi mereka tampaknya lebih senang menyelesaikan dengan jalan kekerasan. Ini
tentu saja dengan
resiko, di antara mereka semua ada yang tewas. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu
lebih memilih hidup
daripada mati terancang. Semua orang pasti akan memilih hal yang sama.
"Uts...!"
Rangga merundukkan kepalanya ketika sebuah golok menyambar ke arah kepala. Pada
saat yang sama,
dikibaskan tangannya menyodok salah seorang yang berada dekat di samping kanan.
Sodokan yang cepat dan bertenaga dalam tinggi itu, tidak bisa terhindarkan lagi.
"Hughk...!"
Orang itu mengeluh keras. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat itu,
Rangga cepat mengibaskan tangannya, sebelum orang itu jauh dari jangkauan.
"Aaakh..."
Satu jeritan panjang melengking tinggi, terdengar menyayat. Seketika itu juga
orang itu terpental ke
belakang dan keras sekali ambruk ke tanah. Sebentar dia menggeliat, lalu diam
tak bernyawa lagi.
Kibasan tangan Rangga tepat menghantam dadanya hingga remuk. Tampak dari
mulutnya mengeluarkan darah
kental. "Yeaaah...!"
Mendapat satu kesempatan baik, Rangga cepat memutar tubuhnya. Dan seketika,
dikerahkan jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang terkenal sangat dahsyat. Meskipun Pendekar
Rajawali Sakti itu
hanya mengerahkan pada tingkatan yang ketiga, tapi hasilnya sungguh luar biasa.
Mereka yang berada
dekat dengannya, tidak bisa lagi mengelak. Jeritan-jeritan melengking mulai
terdengar saling susul.
Setiap pukulan yang dilontarkan Rangga, berakibat fatal sekali. Tak ada yang
bisa membendung
pukulan keras bertenaga dalam sempurna itu.
*** Satu persatu, Rangga dapat merobohkan lawan-lawannya. Hingga pada akhirnya,
mereka tinggal tiga
orang saja. Pada saat itu, Partanu sudah melompat terjun ke dalam pertempuran.
Dengan senjata tombak di tangan, pemuda itu terus mencecar Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan
tiga orang yang
tersisa dari sepuluh orang berpakaian serba hitam, tidak berarti lagi bagi
Pendekar Rajawali Sakti.
Bahkan pada satu kesempatan, Rangga berhasil memasukkan pukulan keras pada salah
seorang, disusul satu tendangan menggeledek untuk seorang lagi.
Dua kali jeritan melengking terdengar menyayat.
Dua orang itu terpental ke belakang dan ambruk bergelimpangan di tanah. Seketika
mereka tewas tanpa mampu berkutik lagi. Sedangkan seorang lagi langsung bergetar hatinya. Dia
mencoba kabur, namun Partanu bisa melihat tindakan anak buahnya
itu. "Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras, Partanu melompat ke arah orang yang mencoba melarikan
diri itu. Seketika
dilemparkan tombaknya, dan langsung menancap di punggung orang berbaju hitam itu
hingga tembus ke perutnya. Jeritan melengking tinggi kembali terdengar menyayat. Dan sebelum
orang itu ambruk ke
tanah, Partanu sudah mencabut tombaknya.
"Hih!"
Rangga yang melihat kekejaman anak muda itu, jadi mendidih darahnya. Hanya
manusia berhati iblis
saja yang tega membunuh anak buahnya sendiri di saat menyadari tidak mampu lagi
menghadapi lawan. Dan ini dilakukan Partanu dengan hati dingin.
Pelahan Partanu memutar tubuhnya, berhadapan kembali dengan Pendekar Rajawali
Sakti. Tampak jelas pada raut wajah Rangga, kalau dirinya begitu muak melihat sorot mata
Partanu yang begitu
dingin mencerminkan kekejaman. Sebaik apa pun Partanu, watak-watak ayahnya pasti
akan menurun, meskipun hanya sedikit. Dan sifat kekejaman ayahnya kini mulai memancar jelas
pada wajah pemuda
berbaju kulit binatang itu.
"Kau memang tangguh, Rangga. Tapi jangan
berbangga dulu bisa mengalahkan sepuluh anak buahku!" desis Partanu dingin.
"Aku tidak membunuh, tapi mereka sendiri yang mempercepat kematiannya," bantah
Rangga. "Phuih! Kau dan aku, atau siapa saja tidak lebih busuk! Aku tidak berdebat. Aku
hanya ingin di antara
kita ada yang mati! Atau kita sama-sama mati agar tidak ada yang bisa memiliki
Mega!" dengus
Partanu menggeram.
"Kau salah besar kalau menuduhku telah merebut Mega, Partanu. Sama sekali aku
tidak ada hubungan
dengan kekasihmu itu," kilah Rangga.
"Jangan mungkir lagi dariku, Rangga! Kau boleh merasa menang karena Mega
sekarang berada
bersamamu. Tapi itu hanya sebentar saja, karena sebentar lagi kau akan mampus!"
"Hm.... Kau mencoba memutarbalikkan kenyataan, Partanu."
"Jangan banyak omong! Ayo kita buktikan, siapa di antara kita yang lebih pantas
mendapatkan Mega!" bentak Partanu geram.
"Sungguh memalukan! Bertarung hanya karena seorang gadis," desis Rangga tidak
senang. "Setan...! Mampus kau, hiyaaat..!"
Partanu langsung melompat cepat bagai kilat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Serangannya sungguh cepat luar biasa. Sedangkan kibasan tombaknya menimbulkan suara angin
menderu bagai topan. Rangga langsung menggeser kakinya ke samping seraya meliukkan tubuhnya
menghindari tebasan tombak Partanu. Namun pemuda berbaju kulit binatang itu sudah tidak bisa
lagi mengendalikan amarahnya.
Partanu gencar sekali menyerang. Jurus-jurus yang dikeluarkan sungguh cepat dan
dahsyat. Dalam hati, Rangga mengakui kehebatan Partanu dalam
memainkan tombak. Ujung tombaknya seperti hidup dan memiliki mata saja, dan
mampu bergerak cepat mengincar setiap bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang sangat
mematikan. Wuk! Partanu menusukkan ujung tombaknya ke arah dada Rangga yang kelihatan lowong.
Namun begitu ujung tombak hampir mencapai dada, Rangga cepat sekali menarik dadanya ke
samping dengan sedikit memiringkan tubuh. Maka ujung tombak itu lewat di depan dadanya. Pada
saat yang tepat,
Rangga menghentakkan tangannya ke arah batang tombak itu. Sentakan Pendekar
Rajawali Sakti itu
sungguh cepat luar biasa, sehingga Partanu terlambat menarik tombaknya pulang.
"Yeaaah...!"
Trak! Partanu mendelik begitu melihat tombaknya patah terpukul tangan kiri Pendekar
Rajawali Sakti.
Sambil mendengus menyemburkan ludahnya, Partanu
membuang sisa patahan tombaknya ke arah Rangga.
Lemparan Partanu begitu kuat, karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Wus! "Uts...!"
Rangga cepat memiringkan tubuhnya ke kanan, maka potongan tombak itu lewat di
samping tubuhnya.
Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu menarik pulang tubuhnya, Partanu sudah
kembali menyerang
sambil mencabut pedang yang seluruhnya berwarna keemasan.
"Hiyaaat..!" teriak Partanu.
Sret! Bet! "Hup...!"
Cepat Rangga melompat ke belakang, membuat tebasan pedang Partanu hanya
menyambar angin
kosong saja. Namun pemuda berbaju kulit binatang itu sudah kembali melompat
menerjang. Sepertinya dia benar-benar tidak ingin memberi kesempatan pada lawan untuk bisa
membalas menyerang. Pedangnya berkelebat cepat mengurung ruang gerak Pendekar Rajawali Sakti. Begitu
cepatnya, sehingga yang teriihat hanya kelebatan cahaya kuning keemasan di sekitar tubuh
pemuda berbaju rompi putih itu.
Serangan-serangan Partanu yang begitu cepat dan dahsyat, membuat Rangga sedikit
kerepotan juga.
Namun karena mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Pendekar Rajawali
Sakti itu mampu
mengatasi. Hanya saja sialnya, dia sama sekali tidak bisa membalas serangan yang
dilancarkan Partanu. Karena memang, jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' tidak diperuntukkan untuk
menyerang lawan,
melainkan hanya untuk menghindar sambil mempelajari kepandaian lawan. Meskipun
ada satu dua serangan balasan, namun tidak berarti sama sekali.
"Keluarkan senjatamu, Keparat!" bentak Partanu tanpa menghentikan serangan
sedikit pun. Namun tidak mudah bagi Rangga untuk
mengeluarkan senjata pusakanya, karena untuk keluar dari serangan ini saja
terasa sulit "Ha ha ha...!" Partanu tertawa terbahak-bahak mengira Rangga sudah begitu terdesak
dan tidak mampu lagi balas menyerang.
Melihat posisi Rangga yang kelihatannya semakin terdesak, Partanu semakin
meningkatkan seranganserangannya. Hal ini membuat Rangga jadi tak mampu lagi
menahan diri. Malah beberapa kali ujung
pedang Partanu hampir merobek kulit tubuhnya. Dan tentu saja Pendekar Rajawali
Sakti tidak ingin
mati dalam keadaan seperti ini, tanpa bisa membalas menyerang.
"Huh! Aku tidak peduli apakah kau kekasih Mega!
Kau sudah keterlaluan, Partanu...!" dengus Rangga
dalam hati. Wut..! Pada saat itu, Partanu mengibaskan pedangnya ke arah kaki. Maka kesempatan ini
tidak disia-siakan
Rangga. Dengan cepat dilentingkan tubuhnya ke udara. Namun rupanya serangan
Partanu hanya pancingan saja. Karena, begitu Rangga berada di udara, tiba-tiba saja Partanu
cepat-cepat memindahkan pedangnya ke tangan kiri. Secepat itu pula, dihentakkan tangan
kanannya ke arah
Pendekar Rajawali Sakti yang masih berjumpalitan di udara.
Set! Slap...! "Heh..."!"
Bukan main terperanjatnya Rangga ketika melihat Partanu bermain curang. Cepat
Rangga memutar tubuhnya di udara, menghindari serbuan senjata rahasia yang dilepaskan Partanu
padanya. "Yeaaah...!"
Sret! Tak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti. Senjata-senjata rahasia
yang dilepaskan
Partanu, memang meluncur deras bagaikan hujan.
Maka, cahaya biru langsung menyemburat
menyilaukan mata begitu Rangga mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari
warangkanya di punggung. Secepat itu pula, Rangga cepat memutar pedangnya melindungi diri dari serbuan
senjata rahasia
lawan. "Hup, hiyaaa...!"
Cepat Rangga meluruk turun, namun terus
memutar-mutar pedangnya cepat bagai baling-baling, membentuk tameng. Bentuk
pedang itu lenyap,
dan tinggal cahaya biru melingkar yang terlihat melindungi
tubuh Rangga dari serangan senjata rahasia. Ringan sekali, Pendekar Rajawali
Sakti itu mendarat di
tanah. "Hiyaaa...!"
Pada saat itu juga, tubuh Rangga melenting kembali. Kali ini Pendekar Rajawali
Sakti meluruk deras
ke arah Partanu dengan pedang masih berputaran cepat Sejenak Partanu terbeliak
kaget. Namun dengan cepat pedangnya dipindahkan ke tangan kanan. Dan seketika itu juga
dikibaskan pedangnya, mencoba menangkis serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti.
Trang! Trek! "Heh..."!"
Sepasang bola mata Partanu semakin terbeliak lebar bagaikan hendak keluar,
begitu melihat

Pendekar Rajawali Sakti 41 Darah Dan Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedangnya terpenggal jadi dua bagian saat membabat pedang Pendekar Rajawali
Sakti. Dan sebelum
pemuda berbaju kulit binatang itu sempat menyadari apa yang terjadi, Rangga
sudah cepat melompat
sambil melontarkan tendangan keras menggeledek.
"Hiyaaat...!"
Deghk! "Akh...!" Partanu menjerit keras. Tendangan Pendekar Rajawali Sakti tepat
menghantam dada,
sehingga membuat Partanu terjajar ke belakang sejauh dua batang tombak. Namun
belum juga Partanu
bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, kembali Rangga sudah melancarkan serangan
cepat luar biasa. Dua pukulan langsung dilontarkan secara beruntun, disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi
sekali. Deghk! Des...!.
"Aaakh...!"
Kembali Partanu memekik keras melengking
tinggi. Lagi-lagi tubuh pemuda berbaju kulit binatang itu terjengkang ke
belakang. Namun sebelum
tubuhnya mencapai tanah, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat bagai
kilat menyambar
tubuh pemuda itu.
"Hey...!" Rangga terkejut.
"Hup...!"
Seketika Rangga melesat cepat bagaikan kilat mengejar bayangan biru yang
menyambar tubuh Partanu
dengan kecepatan luar biasa itu. Namun ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
Pendekar Rajawali
Sakti sudah mencapai taraf kesempurnaan, sehingga masih bisa mengejar orang itu.
"Tunggu...! Yeaaah...!" teriak Rangga keras. "Siapa kau?"
"Sekarang ini dia bukan lawanmu, Pendekar Rajawali Sakti!" terdengar dingin
sekali suara orang itu.
Rangga mengamati orang yang memanggul tubuh Partanu itu. Sama sekali tidak
dikenalinya laki-laki
tua ini. "Apakah kau gurunya Partanu?" tanya Rangga.
"Kalau kau ingin tahu, datanglah ke Lembah Kematian! "
"Heh..."!"
Slap! Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan
tubuhnya ke udara, dan berhasil melewati kepala orang yang membawa Partanu. Dan
tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri tegak menghadang di depan. Orang itu
langsung menghentikan
larinya, namun tiba-tiba saja, tangannya mengibas
cepat. Bet! "Heh..."!"
Bukan main terperanjatnya Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata dari lengan jubah
panjangnya yang
besar dan longgar, orang itu melontarkan puluhan senjata rahasia sekaligus.
"Hup..."
Cepat-cepat Rangga melompat dan berputaran sambil mengibaskan pedangnya beberapa
kali untuk menghalau serangan senjata rahasia itu. Manis sekali Rangga kembali mendarat di
tanah. Tapi Pendekar Rajawali Sakti terkejut bukan main, karena orang yang tidak kelihatan
wajahnya itu sudah
lenyap membawa tubuh Partanu.
"Bedebah...!" geram Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan
pandangannya berkeliling, tapi sama sekali tidak melihat adanya sesosok bayangan
pun di sekitarnya.
Dia mendongak ke atas, kalau-kalau orang itu bersembunyi di atas pohon, tapi
tetap saja tidak ada.
"Huh...!" dengus Rangga kesal. "Lembah
Kematian.... Hm, apakah dia...."
Cring! Pendekar Rajawali Sakti itu tidak melanjutkan dugaannya, dimasukkan pedangnya
kembali ke dalam
warangkanya di punggung, maka cahaya biru langsung lenyap seketika. Sebentar
pemuda berbaju rompi putih itu mengedarkan pandangannya kembali berkeliling, kemudian melangkah
kesal meninggalkan tempat itu. Pendekar Rajawali Sakti kini menuju Desa Parakan.
8 Belum juga Rangga berjalan jauh, tiba-tiba ayunan kakinya terhenti. Telinganya
yang tajam, seketika
mendengar suara langkah kaki terseret. Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melesat
ke atas, lalu hinggap di atas dahan pohon. Pandangannya lurus tak berkedip menatap ke arah
datangnya suara itu.
Tak berapa lama kemudian, muncul seorang laki-laki tua bertubuh kurus mengenakan
baju kumal dan sudah pudar warnanya. Dia membawa keranjang bambu cukup besar. Dua orang lakilaki bersenjata
golok di pinggang, mengikuti dari belakang. Mereka berjalan agak cepat menaiki
Lereng Gunung Parakan ini. "Ayo lebih cepat lagi Ki Jamat. Kau tidak boleh terlambat memberi makan buat
Mega!" bentak
seorang yang berjalan di belakang laki-laki tua kurus itu.
"Uh! Apa kalian tidak tahu kalau yang kubawa ini berat...!" rungut Ki Jamat.
"Huh! Mentang-mentang sudah dipercaya Ki
Puliga, kau sekarang berani bertingkah!" dengus seorang lagi.
Laki-laki tua yang dipanggil Ki Jamat itu tampak bersungut-sungut. Sementara
Rangga yang berada di
atas pohon, bisa mendengar semua percakapan itu.
Darahnya langsung mendidih begitu mendengar nama Mega disebut-sebut. Setelah
berpikir sejenak,
Pendekar Rajawali Sakti itu melesat turun, dan langsung memberi dua pukulan
beruntun ke arah dua
orang yang berjalan di belakang Ki Jamat
"Hiyaaat..!"
Dughk! Beghk! Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, dua orang itu langsung ambruk ke tanah dan
tak berkutik lagi.
Ki Jamat terkejut bukan main. Laki-laki tua itu langsung terpaku dengan lutut
gemetar begitu melihat
di depannya kini sudah berdiri seorang pemuda tampan mengenakan baju rompi
putih. Terlebih lagi
saat melihat dua orang yang menyertainya sudah tergeletak tak bergerak-gerak
lagi. "Aku tidak akan melukaimu, jika kau tunjukkan di mana Mega," kata Rangga, tajam
suaranya. "Oh...," Ki Jamat tergagap.
Seketika itu juga, wajah laki-laki tua kurus itu jadi pucat pasi. Seluruh
tubuhnya gemetaran, sehingga
tidak kuat lagi menahan beban keranjang bambu yang dibawanya. Keranjang bambu
itu jatuh ke tanah.
Semua isinya yang ternyata bahan makanan mentah, berserakan.
"Tidak perlu takut padaku, Ki. Kau hanya kuminta menunjukkan, di mana Mega
disembunyikan. Dan
kau bisa bebas meneruskan perjalananmu kembali,"
kata Rangga mencoba lembut.
"Sss..., siapa kau...?" tanya Ki Jamat masih tergagap.
"Aku Rangga," sahut Rangga.
"Rangga..."!"
Tiba-tiba saja Ki Jamat jatuh terkulai di tanah begitu Rangga menyebutkan
namanya. Seluruh
wajahnya semakin pucat pasi. Keringat sebesar butiran jagung menitik membasahi
wajah dan lehernya. Tubuhnya semakin keras bergemetaran.
"Kau tidak perlu takut padaku, Ki. Aku tidak akan menyakitimu," kata Rangga
meyakinkan. "Tap..., tapi...," suara Ki Jamat terputus.
Rangga mendekati laki-laki tua itu, lalu
membawanya berdiri. Meskipun sikap Pendekar Rajawali Sakti menunjukkan sikap
persahabatan, namun Ki Jamat masih juga ketakutan. Masalahnya, nama Rangga yang kini menjadi
musuh besar majikannya pernah didengarnya. Malah juga sudah mendengar kalau ilmu kesaktian
yang dimiliki pemuda ini tinggi sekali, sehingga Ki Puliga hampir dikalahkan. Tapi karena
kesalahan yang kecil
saja, si Iblis Gunung Parakan itu berhasil membuat Rangga terluka parah. Dan
sekarang pemuda
berbaju rompi putih itu ada di depannya.
"Kau takut pada majikanmu, Ki?" tebak Rangga langsung.
Ki Jamat tidak langsung menjawab. Sebenarnya laki-laki tua kurus itu memang
takut pada Ki Puliga.
Kalau sampai menunjukkan tempat Mega kini berada, sudah dapat dibayangkan kalau
kematian akan cepat merenggutnya. Iblis Gunung Parakan tidak akan segan-segan memenggal kepala
siapa saja yang
mengkhianatinya. Bahkan lawan-lawannya tidak ada yang dibiarkan hidup.
"Dengar, Ki. Aku berjanji akan melindungi keselamatanmu jika kau bersedia
menunjukkan, di mana
Mega sekarang berada," bujuk Rangga.
"Aku..., aku tidak tahu," sahut Ki Jamat tergagap.
"Kau tidak bisa membohongiku, Ki. Kau pasti tahu, di mana Mega berada. Aku
mendengar percakapanmu dengan dua orang itu tadi," desak Rangga.
Ki Jamat jadi serba salah. Diliriknya dua orang yang menyertainya. Dia tidak
tahu, apakah dua orang
itu sudah mati atau hanya pingsan saja.
"Aku hanya membuatnya pingsan, dan mereka akan sadar kembali," kata Rangga
seolah-olah bisa
menebak jalan pikiran laki-laki tua kurus itu.
Ki Jamat merayapi wajah Rangga di depannya, seakan-akan ingin meyakinkan dirinya
sendiri kalau pemuda tampan berbaju rompi putih ini bukanlah manusia kejam seperti majikannya.
Karena semua yang didengarnya mengenai Rangga, mengatakan kalau pemuda ini lebih kejam
daripada Ki Puliga.
Tapi Ki Jamat jadi ragu-ragu juga.
"Baiklah. Tapi kau harus berjanji melindungiku dari kekejaman Ki Puliga dan
orang-orangnya," Ki
Jamat menyerah setelah berpikir cukup lama juga.
"Aku janji," sahut Rangga tersenyum.
*** Rangga mengamati bangunan batu yang
tampaknya hanya terdiri dari satu ruangan saja. Tak ada jendela, hanya sebuah
pintu yang dijaga dua
orang saja. Sementara Ki Jamat menyembunyikan diri di balik batang pohon yang
sangat besar di
samping Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kau harus ke sana sendiri, Rangga," bisik Ki Jamat
"Baik. Kau tunggu saja di sini," sahut Rangga.
Slap! Tanpa menunda-nunda waktu lagi, Pendekar
Rajawali Sakti itu langsung melesat cepat ke arah bangunan batu itu. Dua orang
penjaga pintu seketika
terkejut. Namun sebelum mereka berbuat sesuatu
yang berarti, Rangga sudah memberi dua pukulan beruntun. Maka dua orang itu
langsung ambruk
tanpa sempat bersuara sedikit pun.
Cepat Rangga membuka kunci pintu itu, dan mendorongnya hingga terbuka lebar.
Tampak di dalam
ruangan yang cukup besar dan indah, Mega tengah duduk lesu di tepi pembaringan.
Gadis itu terkejut
begitu melihat Rangga muncul, lalu langsung bangkit berdiri dan berlari
menghampiri. "Kakang...."
"Ayo! Cepatlah, sebelum yang lain datang," kata Rangga.
Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu menarik tangan Mega, dan membawanya berlari
meninggalkan bangunan batu itu. Tapi sebelum jauh berlari, terdengar teriakan keras
menggelegar. "Berhenti...!"
"Kakang...," tercekat suara Mega.
"Kau terus berlari ke sana," perintah Rangga.
"Kau...?"
"Cepatlah, sebelum mereka sampai!" desak
Rangga seraya mendorong tubuh gadis itu.
Pada saat itu terlihat sekitar dua puluh orang berlarian ke arah mereka.
Sebentar Mega memandangi pemuda berbaju rompi putih itu, kemudian berlari ke arah yang
ditunjuk Rangga tadi.
Namun begitu sampai ke dekat pohon, mendadak saja ada yang menarik tangan gadis
itu. "Ah...!" Mega terpekik.
Gadis itu terjatuh. Matanya membeliak begitu melihat yang menarik tangannya
adalah Ki Jamat
"Ssst.., aku akan membawamu keluar dari sini,"
bisik Ki Jamat Mega kelihatan tidak percaya.
"Aku yang membawa Rangga ke sini. Ayo cepat, nanti keburu ketahuan mereka!"
Mega tidak bisa lagi menolak ketika tangannya ditarik laki-laki tua kurus itu.
Mereka kemudian
berlari secepatnya menembus kelebatan Hutan Gunung Parakan ini. Sementara itu,
Rangga masih berdiri tegak menanti kedatangan dua puluh orang yang berlarian ke arahnya. Dan
mereka semua mengenakan baju hitam, bersenjatakan golok yang teracung di atas kepala.
"Kepung...!" terdengar teriakan memerintah.
Sekitar dua puluh orang berpakaian serba hitam itu langsung berlompatan
mengepung Pendekar
Rajawali Sakti. Mereka menggerak-gerakkan goloknya melintang di depan dada.
Sedangkan Rangga
hanya merayapi gerak-gerik orang-orang berpakaian serba hitam Itu dengan sikap
waspada. Dicobanya
untuk mengukur rata-rata kepandaian para pengepungnya ini.
"Ha ha ha...! Kau terlalu berani mendatangi tempatku, Rangga!"
Rangga berpaling begitu mendengar suara keras yang sudah dikenalnya.
Pandangannya langsung
tertumbuk pada seorang laki-laki setengah baya yang mengenakan baju hijau tua.


Pendekar Rajawali Sakti 41 Darah Dan Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tampak sebilah golok bergagang hitam terselip di pinggangnya. Dia diapit dua orang yang
berwajah kasar dan bengis.
"Seharusnya kau tidak perlu datang ke sini, karena hanya akan mengantarkan
nyawamu saja, Rangga,"
kata Ki Puliga mengejek.
"Aku khawatir, kedatanganku justru akan membuat kau terbang ke neraka," balas
Rangga sinis. "Ha ha ha...!" Ki Puliga tertawa terbahak-bahak mendengar balasan Rangga yang
bernada sinis. Sedangkan Rangga hanya diam saja dengan mata bersorot tajam. Orang-orang yang
berada di sekitarnya ikut tertawa, meskipun tidak sekeras tawa si Iblis Gunung Parakan
itu. "Rangga, kuhargai kedatanganmu ke sini. Sebagai rasa hormatku, aku akan
mengajakmu bertarung
sebagai seorang laki-laki jantan!" tantang Ki Puliga lantang dan tegas.
"Dengan senang hati, kuterima tawaranmu,"
sambut Rangga. "Bagus. Ha Ha ha...!"
Iblis Gunung Parakan itu melompat cepat, dan mendarat sekitar lima langkah di
depan Pendekar Rajawali Sakti. Tangannya dikibaskan ke samping, dan semua orang yang berada di
sekeliling tempat
itu langsung bergerak mundur menjauh. Rangga
tersenyum menyaksikan kejantanan laki-laki setengah baya itu. Jarang sekali
seorang tokoh hitam
memiliki jiwa seperti Ki Puliga ini. Dan itu sangat dihargai Pendekar Rajawali
Sakti. "Karena kau tamu di sini, aku beri kesempatan padamu untuk menyerang lebih
dahulu," kata Ki
Puliga. "Terima kasih. Tapi, aku perlu sambutan darimu,"
tolak Rangga halus.
"Ha ha ha...! Kau memang benar-benar seorang ksatria, Rangga. Baik, bersiaplah!
Hiyaaat...!"
"Hup!"
Rangga langsung menggeser kakinya ke samping ketika Ki Puliga melompat menerjang
seraya melontarkan dua pukulan beruntun. Hanya dengan sedikit meliukkan tubuh, Pendekar
Rajawali Sakti itu dapat menghindari serangan si Iblis Gunung Parakan itu. Tapi Rangga sempat
terkejut juga. Karena,
ternyata serangan awal yang dilancarkan Ki Puliga mengandung pengerahan tenaga
dalam yang tinggi
sekali. Jadi, tak heran kalau angin pukulannya membuat tubuh Rangga sedikit
goyah. Cepat Rangga
menggeser kakinya ke belakang, dan langsung kembali bersiap pada saat Ki Puliga
melancarkan serangan berikut
"Hiyaaat..!" Ki Puliga berteriak keras.
Si Iblis Gunung Parakan itu langsung menerjang melontarkan pukulan keras
bertenaga dalam tinggi ke
arah dada. Cepat sekali Rangga menarik tubuhnya ke samping agak miring, maka
pukulan Ki Puliga
lewat di depan dada Pendekar Rajawali Sakti itu. Namun tanpa diduga sama sekali,
si Iblis Gunung
Parakan itu mengibaskan kakinya menyamping ke arah perut
"Hup...!"
Cepat Rangga melentingkan tubuhnya berputar ke belakang, membuat sepakan kaki Ki
Puliga tidak mengenai sasaran. Si Iblis Gunung Parakan itu terus melancarkan seranganserangan dahsyat,
meskipun Rangga selalu bisa menghindari dengan manis sekali.
Tak terasa, laki-laki setengah baya berbaju hijau tua itu sudah menghabiskan
lima jurus dalam waktu
singkat. Tapi sampai saat ini belum ada satu serangan pun yang berhasil mengenai
sasaran. Hal ini
membuatnya jadi berang.
Sret! Ki Puliga tidak bisa lagi menahan geramnya.
Langsung dicabut goloknya. Asap hitam seketika berkepul dari golok yang berwarna
hitam pekat itu.
Buru-buru Rangga melompat mundur sebanyak tiga tindak. Dia sudah pernah
menghadapi si Iblis
Gunung Parakan yang bersenjatakan golok itu. Maka Pendekar Rajawali Sakti tidak mau
melakukan dua kali
kesalahan yang bisa mengakibatkan kerugian besar pada dirinya
Cring! Ki Puliga melompat mundur dua tindak begitu Rangga mencabut pedang pusakanya.
Tampak pedang itu memancarkan cahaya biru berkilauan menyilaukan mata. Sementara orangorang yang berada di sekelilingnya juga langsung terkejut.
Mereka kontan merasakan matanya jadi pedih, tak sanggup menentang sinar biru
yang berkilauan itu.
"Hm...!" Ki Puliga menggumam kecil.
Bet! Wuk! Laki-laki setengah baya yang mengenakan baju warna hijau tua itu langsung cepat
mengecutkan goloknya. Dan seketika itu juga asap yang mengepul, semakin banyak. Bahkan kini
bercampur asap merah. Rangga segera memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan, dan telapak tangan kirinya
menempel pada mata pedang. Lalu dengan cepat ditarik tubuhnya ke kanan, seraya mengebutkan
pedangnya ke depan.
Gerakan itu menandakan kalau Rangga sedang mempersiapkan jurus 'Pedang Pemecah
Sukma'. Satu jurus andalan yang jarang sekali digunakan kalau tidak mendapatkan lawan yang
tangguh. "Hiyaaat...!" sambil berteriak nyaring, Ki Puliga melompat menerjang dengan
kecepatan bagai kilat.
Wut! "Yeaaah...!"
Swing! Secepat itu pula tubuh Rangga melenting sambil mengibaskan pedang, tepat saat si
Iblis Gunung Parakan itu juga membabatkan goloknya. Tak dapat dihindari lagi, seketika dua
senjata sakti beradu
keras di udara.
Glarrr! Satu ledakan keras menggelegar, membuat
jantung siapa saja yang mendengarnya akan terasa bagai pecah. Tampak dua orang
itu sama-sama terpental ke belakang, namun dengan manis sekali mendarat di tanah. Ki Puliga
langsung cepat menggerakkan kakinya menyusur tanah sambil berteriak keras melengking tinggi.
"Hiyaaat...!"
"Hup!"
Cepat sekali Rangga mengegoskan tubuhnya
menghindari sodokan ujung golok yang mengepulkan asap beracun itu. Pada saat
yang bersamaan,
Pendekar Rajawali Sakti itu cepat mengibaskan pedangnya ke arah kaki. Ki Puliga
langsung melompat
seraya menarik goloknya kembali. Namun sebelum mendarat, Rangga sudah memberi
serangan dengan mengibaskan cepat pedangnya beberapa kali. Hal ini membuat Ki Puliga agak
kelabakan juga meng-hindarinya. Beberapa kali pedang Pendekar Rajawali Sakti itu ditangkis
dengan goloknya.
Jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang dimainkan Pendekar Rajawali Sakti memang
dahsyat sekali.
Gerakannya begitu cepat, dan kibasan pedangnya berbahaya sekali. Begitu
cepatnya, sehingga yang
terlihat hanya kelebatan cahaya biru dan putih yang mengurung tubuh si Iblis
Gunung Parakan. Namun
Ki Puliga juga bergerak cepat seraya mengecutkan goloknya. Akibatnya, asap hitam
semakin menggumpal, seakan-akan melindungi dirinya dari incaran maut Pedang Rajawali
Sakti. "Uh...!" tiba-tiba saja Ki Puliga mengeluh mendengus kencang.
Si Iblis Gunung Parakan itu mencoba melompat keluar dari arena pertarungan, tapi
Rangga tidak membiarkannya. Dia cepat memburunya dengan pedang yang berkelebatan cepat
mengarah ke bagianbagian tubuh lawan yang mematikan. Jelas sekali, kalau
gerakan-gerakan yang dilakukan si Iblis
Gunung Parakan itu mulai tidak beraturan. Entah kenapa, perhatian laki-laki
setengah baya itu jadi
pecah. Memang tanpa disadarinya, semua yang terjadi pada dirinya akibat pengaruh
dari jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Setan! Yeaaah...!" tiba-tiba saja Iblis Gunung Parakan berteriak keras.
Cepat-cepat dikebutkan goloknya, tepat di saat ujung pedang Pendekar Rajawali
Sakti hampir menghunjam dadanya. Begitu senjata mereka beradu, secepat itu pula Ki Puliga
melompat ke belakang sejauh satu batang tombak. Dia langsung membuat gerakan-gerakan cepat
untuk menguasai
kembali keseimbangan jiwanya yang hampir terpecah belah.
"Phuih...!" dengus Ki Puliga geram.
Kembali dibuatnya gerakan-gerakan cepat.
Goloknya berkelebatan mengelilingi tubuhnya.
Seketika, seluruh tubuh laki-laki setengah baya itu berselimut asap hitam agak
kemerahan. Rangga
yang menyaksikan itu semua, langsung menempelkan telapak tangannya pada mata
pedang. Pelahan
digosok mata pedang itu. Kini mereka sama-sama mempersiapkan satu ajian
pamungkas yang paling
dahsyat. *** "Hiyaaat..!" Ki Puliga berteriak keras sambil melompat cepat bagaikan kilat.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaah...!" teriak Rangga menggelegar.
Tepat pada saat golok Ki Puliga membabat ke arah dada, Rangga cepat sekali
menangkisnya dengan
pedang yang melintang di depan dada.
Trang! Glarrr! "Hih!"
Ki Puliga mencoba menarik goloknya, namun jadi terkejut setengah mati. Ternyata
goloknya menempel kuat pada pedang yang bersinar biru itu. Ki Puliga mengerahkan seluruh
kekuatan tenaga
dalamnya untuk melepaskan goloknya. Namun semakin
berusaha keras, goloknya semakin erat menempel.
"Setan...!" dengus Ki Puliga menggeram.
Si Iblis Gunung Parakan itu semakin geram bercampur rasa keheranan yang amat
sangat. Karena saat
mencoba melepaskan pegangannya pada
tangkai golok, telapak tangannya bagai terpatri kuat, tak bisa dilepaskan lagi.
Kemudian darahnya
terasa cepat mengalir. Ki Puliga terkejut bukan main. Baru disadari kalau
kekuatannya mulai mengalir
keluar. Dan dia tidak punya kesempatan lagi untuk mengerahkan ajian yang digunakannya
sewaktu melawan
Rangga dulu. "Hih...!"
Buru-buru si Iblis Gunung Parakan itu menahan aliran kekuatannya. Tapi semakin
mencoba bertahan,
semakin kuat saja tenaganya tersedot tanpa bisa dikendalikan lagi. Saat itu
juga, terlihat cahaya biru
menggumpal menjalar menyelubungi tangan si Iblis Gunung Parakan itu. Dan terus
menjalar pelahan,
namun pasti. "Uh! Ilmu apa yang digunakannya...?" dengus Ki Puliga bertanya-tanya di dalam
hati. Semakin kuat Iblis Gunung Parakan itu membuat perlawanan, semakin cepat cahaya
biru menjalar menyelimuti dirinya. Bahkan semakin kuat pula tenaganya tersedot keluar.
Keringat mulai membanjiri seluruh tubuhnya. Dan Ki Puliga merasa lebih dari separuh kekuatannya
sudah tersedot.
"Ughk! Aaakh...!" Ki Puliga mulai menggeliat dan berteriak-teriak.
Namun Rangga semakin kokoh. Memang,
Pendekar Rajawali Sakti telah mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma' pada tahapan
terakhir, sehingga
membuat seluruh tubuhnya membiru dan bersinar terang. Daya tahan yang dimiliki
Ki Puliga, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bisa lagi menahan arus kekuatan aji
'Cakra Buana Sukma'. "Aaakh...!" Ki Puliga kembali memekik keras.
Seluruh tubuh si Ibhs Gunung Parakan itu
menggeletar hebat. Sementara itu, dua orang pembantu utamanya menjadi geram
menyaksikan pemimpinnya berkelojotan meregang nyawa. Tanpa berpikir panjang lagi, mereka
berlompatan sambil
mencabut goloknya, langsung dibabatkan ke tubuh Rangga. Tapi keajaiban seketika
terjadi. Pada saat
golok mereka menghantam tubuh Pendekar Rajawali Sakti, tubuh dua orang itu
terpental deras diiringi
pekikan keras melengking tinggi.
"Aaa...!"
"Aaa...!"
Rakat dan Badir, langsung menggelepar di tanah.
Tampak seluruh tubuh mereka membiru. Dari mulut, hidung, dan telinga mengucurkan
darah kental kehitaman. Tak berapa lama kemudian, dua
pembantu utama si Iblis Gunung Parakan itu diam tak bernyawa lagi. Sedangkan
Rangga masih tetap
berdiri tegak tak bergeming sedikit pun. Dia hanya melirik sedikit pada dua
orang yang menggeletak
tak bernyawa lagi.
"Hih! Yeaaah...!" tiba-tiba saja Rangga berteriak keras.
Seketika itu juga pedangnya ditarik, dan dengan cepat sekali dikibaskannya ke
leher Ki Puliga.


Pendekar Rajawali Sakti 41 Darah Dan Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tebasan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat dan tiba-tiba, tak mampu
dihindari lagi. Hingga...
Cras! "Aaa...!"
Sebentar Ki Puliga masih mampu berdiri tegak, kemudian ambruk dengan kepala
terpisah dari leher.
Darah langsung menyembur dari leher yang buntung tanpa kepala lagi. Sebentar Ki
Puliga masih mampu bergerak, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang.
Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah mundur beberapa tindak. Pandangannya beredar pada semua
orang yang berada di sekitarnya. Tiba-tiba saja, mereka semua membuang senjata
dan menjatuhkan
diri berlutut Pada saat itu, terdengar suara-suara langkah kaki orang banyak disertai
teriakan-teriakan keras
membahana. Tak berapa lama kemudian, muncul para penduduk Desa Parakan. Mereka
tampak terkejut begitu melihat mayat si Iblis Gunung Parakan dan dua orang pembantu
utamanya tewas tergeletak berlumuran darah. Juga tampak sekitar dua puluh orang lebih berpakaian serba
hitam tengah berlutut
dengan kepala tertunduk di depan Rangga. Di antara para penduduk desa itu,
terlihat Mega dan Ki
Jamat. Gadis itu bergegas berlari menghampiri Rangga.
"Kakang...," desah Mega seraya memeluk
Pendekar Rajawali Sakti itu.
Rangga menepuk-nepuk punggung gadis itu, dan melepaskan pelukannya dengan halus.
Dipandangnya Ki Jamat yang tersenyum-senyum. Sinar mata laki-laki tua itu tampak memancarkan
kegairahan hidup
lagi, tidak seperti pertama kali Rangga melihatnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu membalas tersenyum dan menganggukkan kepalanya
sedikit "Ayo, tangkap mereka semua...!" seru Ki Jamat memberi perintah.
Dan para penduduk Desa Parakan, langsung
bergerak. Mereka mengikat tangan orang-orang berbaju hitam itu dengan tambang,
lalu menggiringnya menuruni Gunung Parakan ini. Sorak-sorai terdengar gegap gempita,
seakan-akan hendak meruntuhkan gunung ini. Penduduk Desa Parakan itu benar-benar bergembira
karena Ibhs Gunung Parakan telah musnah. Mereka jadi melupakan Rangga yang hanya memandangi
disertai senyum di bibir, didampingi Mega.
"Kakang, apakah kau tidak melihat Kakang
Partanu?" tanya Mega.
Rangga menoleh, menatap gadis itu. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya
kuat-kuat. Sukar
untuk menjelaskan pada gadis ini, karena dia sendiri tidak tahu, di mana Partanu
kini berada. Apakah
masih hidup atau sudah tewas. Karena luka yang diderita pemuda itu cukup parah
akibat pertarungannya melawan Pendekar Rajawali Sakti.
"Nanti akan kujelaskan," kata Rangga agak mendesah.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengajak Mega meninggalkan tempat ini. Mega masih
belum puas, dan
terus mendesak Rangga agar mengatakan keberadaan Partanu. Dan Rangga semakin iba
melihat gadis ini. Cintanya begitu besar, sehingga tidak peduli kalau ayahnya tewas oleh orang
tua kekasihnya itu.
Dia juga tidak peduli kalau pernah dikurung si Iblis Gunung Parakan, ayah dari
Partanu. Rangga tak punya pilihan lain lagi. Diceritakannya semuanya tentang Partanu.
Dari mulai pertarungannya, hingga pemuda itu lenyap dibawa seorang laki-laki tua dari
Lembah Kematian.
Terdengar suara isak pelahan dari gadis itu. Tapi, rupanya Mega mencoba untuk
bertahan agar tidak
larut. "Maafkan aku, Mega. Aku sudah berusaha, tapi rupanya takdir memang menentukan
lain," ucap
Rangga menyesal.
"Tidak, Kakang. Kau tidak perlu meminta maaf.
Mungkin memang belum jodoh," sergah Mega agak tersendat.
"Jika Hyang Widi menghendaki, aku yakin kau akan dipertemukan kembali dengan
Partanu," hibur
Rangga. "Apakah itu mungkin, Kakang?"
"Ya! Semuanya bisa saja terjadi tanpa kita ketahui sebelumnya. Aku sendiri yakin
kalau Partanu masih hidup. Tapi entah di mana sekarang," sahut Rangga.
"Kakang! Kalau kau bertemu Kakang Partanu, katakan kalau aku masih menunggu di
Desa Parakan. Kau bersedia, bukan?" pinta Mega berharap.
"Tentu," sahut Rangga untuk menyenangkan hati gadis itu.
"Terima kasih, Kakang."
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B137228
Pendekar Pedang Kail Emas 4 Boma Gendeng 1 Suka Suka Cinta Duel 2 Jago Pedang 4

Cari Blog Ini