Pendekar Rajawali Sakti 42 Kembang Karang Hawu Bagian 1
Ebook by syauqy_arr
1 Glarrr! Ledakan menggelegar terdengar dahsyat, me-mecah kesunyian pagi di Puncak Gunung
Karang Hawu. Tampak debu mengepul, membumbung tinggi ke angkasa sehingga
membentuk seperti sebuah jamur raksasa. Seluruh badan gunung yang selalu
terselimut kabut tebal itu bergetar hebat, bagaikan hendak runtuh oleh ledakan
dahsyat tadi. Terlihat sesosok tubuh ramping yang terbungkus baju warna hijau daun, tengah
berdiri tegak sambil memandangi jamur raksasa dari kepulan debu dan pecahan
bebatuan. Kedua tangannya terentang lurus ke depan, dengan telapak terbuka dan
jari-jari tangan menyatu rapat. Pelahan-lahan sepasang tangan ber-kulit kuning
langsat dan lentik itu bergerak turun.
Di antara selimut kabut, jelas terlihat kalau sosok tubuh ramping itu ternyata
milik seorang gadis berwajah cantik bagai bidadari. Kulitnya yang kuning
langsat, cocok sekali dengan bajunya yang berwarna hijau daun dan sangat ketat.
Mau tak mau, bentuk tubuhnya yang ramping dan indah itu seperti terpetakan di
balik bajunya itu.
"Hm...," gadis itu bergumam perlahan.
Perlahan tubuhnya diputar. Pandangan matanya langsung tertumbuk pada seorang
laki-laki tua ber-tubuh bungkuk yang mengenakan baju jubah panjang berwarna
kusam. Sebatang tongkat tak beraturan bentuknya, tergenggam di tangan, untuk
menyangga tubuhnya yang terbungkuk.
"Sejak kapan kau berada di sini, Orang Tua?"
terdengar ketus sekali nada suara gadis itu.
"Tampaknya kau tidak suka melihat kehadiranku, Rara Ayu Ningrum...," ujar lakilaki tua itu kalem.
"Heh..."! Dari mana kau tahu namaku...?" sentak gadis yang dipanggil Rara Ayu
Ningrum, terkejut.
Orang tua berjubah kusam itu hanya tertawa terkekeh saja. Tubuhnya yang bungkuk
nampak ter-guncang-guncang menahan tawa terkekehnya.
Sedangkan gadis cantik berbaju hijau daun yang bernama Rara Ayu Ningrum itu
semakin tajam memandangi orang tua di depannya.
"Siapa kau, Orang Tua"! Apa keperluanmu berada di sini"!" tanya Rara Ayu
Ningrum. Nada suaranya ketus penuh kecurigaan.
"He he he.... Aku hanya orang tua hina yang tidak berarti bagimu, Rara Ayu
Ningrum," sahut orang tua itu diiringi tawanya yang terkekeh.
"Aku tanya namamu!" bentak Rara Ayu Ningrum kesal.
"Untuk apa kau ingin tahu namaku?"
"Baik. Jika kau tidak ingin menyebutkan nama, aku ingin tahu, untuk apa kau
datang ke sini...?" desis Rara Ayu Ningrum gusar.
"He he he...," laki-laki tua itu hanya terkekeh saja.
"Kau benar-benar menyebalkan...!" desis Rara Ayu Ningrum setengah menggeram.
Bet! Rara Ayu Ningrum mengebutkan tangan, langsung bersiap hendak menyerang laki-laki
tua yang telah membuatnya gusar setengah mati. Kedua tangannya sudah terkepal di
depan dada. Sementara sorot matanya tajam menusuk langsung ke bola mata orang
tua berjubah kumal di depannya.
"Eee.... Sabar, Nini. Kendalikan amarahmu...,"
cepat-cepat orang tua itu mencoba meredakan kemarahan Rara Ayu Ningrum.
"Sebutkan namamu, dan ava keperluanmu datang ke sini. Atau terpaksa kau kukirim
ke neraka...!" desis Rara Ayu Ningrum dingin menggetarkan.
"Kau tidak bisa memaksaku, Nini," sergah orang tua itu.
"0.... Rupanya kau keras kepala juga.... Baik, terimalah seranganku ini!
Hiyaaat...!"
"Eh, sabar...!
" Jts!"
Namun serangan Rara Ayu Ningrum tidak bisa ditarik kembali. Sambil berteriak
keras menggelegar, gadis berbaju hijau daun itu secepat kilat inelompat seraya
mengirimkan dua pukulan beruntun ke arah dada laki-laki tua berjubah kumal itu.
Serangan Rara Ayu Ningrum membuat laki-laki tua itu terperanjat sesaat.
Untungnya cepat sekali tubuhnya meliuk, menghindari serangan yang dilancarkan
gadis itu. Secepat itu pula, laki-laki tua itu melompat ke belakang sejauh tiga
tindak. Namun Rara Ayu Ningrum tak ingin melepaskannya begitu saja.
Kembali dirangseknya lawan dengan lontaran pukulan yang dahsyat dan mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi.
*** Beberapa kali orang tua berbaju kumal itu harus bergulingan di tanah berumput
yang basah, menghindari serangan-serangan Rara Ayu Ningrum. Sudah-lebih sepuluh
jurus, namun gadis berbaju hijau daun itu belum juga berhasil menyarangkan satu
pukulan pun ke tubuh lawan. Meskipun kelihatannya rapuh, laki-laki tua itu ternyata
tangguh juga. "Cukup, Rara Ayu...!" bentak orang tua itu tiba-tiba.
Dan secepat itu pula tubuhnya melenting ke belakang sejauh dua batang tombak.
Manis sekali orang tua itu mendarat di tanah. Sedangkan Rara Ayu Ningrum
terpaksa menghentikan serangannya. Gadis Itu sendiri sebenarnya kagum pada
ketangkasan orang tua ini. Dia bisa melesat ke belakang dengan manis sekali
selagi mendapat serangan gencar. Tidak sembarang orang bisa melakukan hal
demikian. "Tidak ada gunanya meneruskan pertarungan ini,"
tegas orang tua itu.
"Kenapa..." Kau takut menghadapiku...?" dengus Rara Ayu Ningrum sinis.
"Jangan salah paham, Rara Ayu. Kalau aku mau, mudah sekali aku bisa
menjatuhkanmu," orang tua itu jadi sengit juga.
"0..."! Mengapa tidak kau lakukan?"
Sebenarnya Rara Ayu Ningrum terkejut juga mendengar perkataan orang tua itu
tadi. Hatinya memang mengakui kalau orang tua itu bisa saja melawan.
Namun, Rara Ayu bisa mengetahui kalau orang tua yang tidak dikenalnya ini sama
sekali tidak memberi perlawanan berarti. Dan sudah lebih dari sepuluh jurus
dikeluarkan, namun tak satu pun yang berhasil.
Rara Ayu Ningrum menyadari kalau orang tua ini tidak bisa dianggap enteng. Tapi
kegentarannya tidak akan ditampakkan begitu saja.
"Dengar, Rara Ayu. Kedatanganku ke sini tidak bermaksud bermusuhan denganmu,"
kata laki-laki tua itu lagi.
"Terlambat. Kau sudah membuatku kesal," desis Rara Ayu Ningrum.
"Maafkan. Tapi aku memang tidak bisa memperkenalkan diri padamu," ujar orang tua
itu. "Kalau begitu, enyahlah dari sini!" bentak Rara Ayu Ningrum masih merasa kesal.
Orang tua berbaju kumal itu menggelenggelengkan kepalanya.
"Kalau kau tidak mau pergi, aku yang akan pergi!"
Rara Ayu Ningrum langsung saja melesat cepat sekali, meninggalkan tempat itu.
"He...! Tunggu...!" sentak orang tua itu terkejut.
Namun bayangan tubuh Rara Ayu Ningrum sudah tidak terlihat lagi. Cepat sekali
lesatannya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan.
"Huh...! Bengal juga dia," dengus orang tua itu.
Kembali kepalanya menggeleng-geleng, kemudian kakinya terayun melangkah cepat
meninggalkan Puncak Gunung Karang Hawu yang selalu terselimut kabut tebal. Namun
belum begitu jauh berjalan, mendadak saja ayunan langkahnya terhenti ketika
tiba-tiba terdengar tawa kering mengikik.
"Hik hik hik...!"
"Hm...," orang tua itu menggumam seraya menolehkan kepalanya ke kiri dan ke
kanan. Suara tawa itu jelas sekali terdengar, seakan-akan begitu dekat sumbernya, namun
sukar untuk ditentukan arahnya. Karena, suara tawa itu terdengar menggema.
Seolah-olah datang dari segala penjuru mata angin saja layaknya.
"Memalukan...! Nama besar Malaikat Jari Delapan, begitu mudah tunduk di depan
bocah kemarin sore...!" terdengar suara kering yang agak serak, setelah suara
tawa berhenti. "Apakah dirimu, Setan Putih..."!" agak keras suara prang tua berjubah kumal itu.
"Hik hik hik...! Ternyata kau masih juga mengenali-ku, Malaikat Jari Delapan. "
Orang tua berbaju kumal itu memutar tubuhnya.
Dan kini di depannya sudah berdiri seorang perempuan tua yang usianya mungkin
sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Seluruh rambutnya sudah memutih. Dia
mengenakan baju panjang yang longgar, berwarna putih bersih. Tampik seekor ular
belang hitam dan kuning melilit tangan kanannya.
Sedangkan tangan kiri membelai-belai halus kepala ular itu.
"Apa keperluanmu sehingga datang ke sini, Setan Putih?" tanya laki-laki tua
berjubah kumal yang ternyata berjuluk Malaikat Jari Delapan.
Dan memang, kalau diperhatikan baik-baik, kedua tangannya tidak memiliki jari
kelingking. Sehingga, jumlah jari tangannya hanya ada delapan. Itulah sebabnya,
mengapa dia dijuluki Malaikat Jari Delapan. Dan sampai sekarang, tak ada yang
bisa mengetahui lagi, siapa nama sebenarnya.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu, Malaikat Jari Delapan," dengus perempuan
tua yang dipanggil Setan Putih.
"Hm.... Kita selalu saja bertemu dalam suasana yang tidak mengenakkan," suara
Malaikat Jari Delapan terdengar setengah bergumam.
"Karena kau selalu mencampuri urusanku!" sentak Setan Putih.
"Aku baru dua hari di sini. Jadi mana mungkin tahu tentang urusanmu di sini,
Setan Putih. Belum-belum sudah menuduhku!" ada ketidaksenangan dalam suara
Malaikat Jari Delapan.
"Kedatanganmulah yang membuatku harus mem-peringatkanmu!" desis Setan Putih
dingin. "O ... Jadi kau merasa terganggu atas kedatangan-ku?"
"Tidak perlu kukatakan lagi, Malaikat Jari Delapan," masih terdengar dingin nada
suara Setan Putih.
Malaikat Jari Delapan hanya terdiam disertai senyuman tipis yang tersungging di
bibir bernada sinis. Meskipun tidak diucapkan, tapi sudah bisa dipahami maksud
perempuan tua ini. Dan hal ini membuat Malaikat Jari Delapan jadi penasaran.
Timbul rasa keingintahuannya dengan apa yang sedang dilakukan Setan Putih di
gunung yang jarang dijamah manusia ini.
Malaikat Jari Delapan juga sudah bisa menebak pekerjaan yang sedang dilakukan si
Setan Putih di tempat yang sunyi ini. Meskipun belum tahu pasti, namun dari
beberapa pertemuan antara mereka, Malaikat Jari Delapan sudah mengetahui watak
dan tingkah laku perempuan tua itu. Laki-laki tua bungkuk itu merasa yakin kalau
Setan Putih sedang melakukan sesuatu yang tidak boleh diketahuinya.
"Kekacauan apa lagi yang akan kau buat di tempat ini, Setan Putih?" tanya
Malaikat Jari Delapan.
"Hik hik hik...," Setan Putih hanya mengikik saja.
*** "Itu bukan urusanmu!" dengus Setan Putih.
"Selama kau masih membuat kekacauan, itu selalu menjadi urusanku, Setan Putih,"
tegas Malaikat Jari Delapan.
"Phuih! Kau selalu raja mencari perkara, Malaikat Jari Delapan! Rasanya semakin
muak saja melihat tampangmu. Huh...! Memang sudah seharusnya kau
tinggal di neraka...!" suara Setan Putih terdengar, mendesis tajam.
Begitu suaranya hilang, perempuan tua itu cepat mengebutkan tangan kanannya.
Seketika itu juga, ular belang hitam dan kuning yang melingkar di tangan
kanannya melesat cepat ke arah dada Malaikat Jari Delapan.
"Uts... !"
Malaikat Jari Delapan cepat mengegoskan tubuhnya ke kanan, maka ular belang itu
lewat sedikit di depan dadanya yang agak miring. Namun sebelum laki-laki tua
berjubah kumal itu bisa menarik tubuhnya kembali, mendadak saja si Setan Putih
sudah melontarkan satu pukulan menggeledek bertenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa... !"
Wus! Angin pukulan perempuan tua itu sungguh keras, sehingga menimbulkan suara
menderu bagai badai.
Saat Itu, tak ada pilihan lagi bagi Malaikat Jari Delapann untuk bisa
menghindarl diri dari serangan
'itu. Maka segera dikempos tenaga dalamnya.
Secepat kilat tangannya dihentakkan ke depan.
Plak! Dua pukulan bertenaga dalam tinggi, beradu pada satu titik. Akibatnya, dua orang
tua itu terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak. Namun masing-masing
bisa mendarat mulus sekali, dan kembali bersiap melakukan pertarungan lagi.
Rupanya tenaga dalam yang dimiliki satu sama lain seimbang tingkatannya. Jadi
tak heran kalau mereka rnasih mampu berdiri tegak.
"Hosss...!"
"Heh..."!"
Malaikat Jari Delapan terkejut bukan main ketika secara tiba-tiba dari arah
samping kanannya melesat cepat seekor ular belang hitam dan kuning. Ular itu
meluncur deras bagaikan sebatang anak panah lepas dari busur.
"Yeaaah...!"
Malaikat Jari Delapan segera menghentakkan tangan sambil memutar tubuhnya. Namun
laki-laki tua itu jadi terkejut bukan main. Ternyata ular itu meliukkan badan,
sehingga pukulan yang dilepaskan Malaikat Jari Delapan tidak menemui sasaran
yang tepat. Tanpa diduga sama sekali, ular belang itu terus meluruk sambil meliukkan
tubuhnya yang berada di udara. Hal ini membuat Malaikat Jari Delapan terkejut
bukan main. Buru-buru tubuhnya melenting, berputar ke belakang beberapa kali.
Namun begitu kakinya menjejak tanah, dari arah lain sudah datang serangan cepat
dan menggeledek.
"Hiyaaa... !"
Bet! "Ikh...I"
Malaikat Jari Delapan cepat-cepat menjatuhkan tubuhnya, lalu bergulingan di
tanah beberapa kali ketika sebuah pukulan keras yang dahsyat dan tiba-tiba
mengarah ke kepalanya. Pada saat itu, ular belang hitam dan kuning sudah cepat
menyusur tanah mengejar Malaikat Jari Delapan yang terus bergulingan di tanah.
"Hup...!"
Malaikat Jari Delapan bergegas melompat bangkit.
Tubuhnya melenting ke udara, lalu hinggap di sebuah cabang pohon yang cukup
tinggi. Matanya menatap tajam Setan Putih yang pukulannya salah sasaran
sehingga menghantam tanah sampai terbongkar membentuk lubang yang cukup besar
juga. Padahal di situlah terakhir kali si Malaikat Jari Delapan bergulingan.
Memang-sungguh luar biasa pukulan itu.
"Gila...! llmu yang dimilikinya semakin dahsyat,"
desis Malaikat Jari Delapan.
Laki-laki tua itu memang tidak menyangka akan mendapatkan serangan yang begitu
gencar, dahsyat luar biasa. Hampir saja serangan yang dilancarkan si Setan Putih
dan ular belang peliharaannya tidak mampu dibendungnya.
"Turun kau, Keparat...!" bentak Setan Putih dengan kepala terdongak dan mata
memerah tajam menatap Malaikat Jari Delapan yang bertengger di dahan pohon yang
cukup tinggi juga.
"Maaf, Setan Putih. Kali ini aku tidak punya selera untuk bertarung denganmu,"
kata Malaikat Jari Delapan.
Setelah berkata demikian, Malaikat Jari Delapan melesat cepat bagaikan kilat.
Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap
tak terlihat lagi.
"Monyet! Keparat...!" Setan Putih memaki-maki sendiri.
Dipungutnya ular belang hitam dan kuning yang berada di samping kakinya.
Kemudian ular itu dibelitkan kembali ke tangan kanannya.
"Manusia keparat itu harus mampus, Belang.
Dialah satu-satunya yang selalu menghalangi kita,"
ujar Setan Putih lagi.
*** 2 Malam sudah demikian larut. Kegelapan menyelimuti seluruh mayapada di sekitar
Gunung Karang Hawu.
Cahaya bulan yang redup, seakan-akan tak kuasa menerangi alam ini. Di bawah
siraman keredupan cahaya bulan, terlihat dua ekor kuda berjalan perlahan-lahan
menyusuri Lereng Gunung Karang Hawu. Dua orang penunggangnya tidak hentihentinya berbicara. Begitu banyak yang dibicarakan, seakan-akan tidak pernah
habis. Mereka adalah seorang pemuda berwajah tampan, mengenakan baju warna putih tanpa
lengan. Sebilah pedang bergagang kepala burung, tersampir di punggung. Dia
menunggang kuda hitam yang tinggi dan tegap. Sedangkan seorang lagi, gadis
Pendekar Rajawali Sakti 42 Kembang Karang Hawu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbaju biru muda. Wajahnya cantik sekali, bagai bidadari dari kahyangan.
Sebatang pedang bergagang kepala naga juga tersampir di punggungnya. Tampak
sekali kalau gadis itulah yang lebih banyak berbicara.
"Kelihatannya tidak ada sebuah perkampungan pun di sekitar sini, Kakang," tegas
gadis itu seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Sebaiknya kita bermalam di sini saja, Pandan,"
ujar pemuda itu.
"Terlalu riskan, Kakang. Perasaanku tidak enak, dan seperti akan ada sesuatu di
sekitar tempat ini,"
sahut gadis itu yang dipanggil dengan nama Pandan.
Gadis itu memang Pandan Wangi, yanq lebih dikenal berjuluk si Kipas Maut.
Sedangkan pemuda yang berkuda di sebelahnya adalah Rangga yanq bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Mereka terus mengarahkan kudanya agar tetap
berjalan perlahan.
"Kau selalu saja berperasaan begitu jika memasuki daerah baru," sergah Rangga.
Suaranya terdengar setengah bergumam, seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri.
"Sudah sepantasnya begitu, Kakang. Kita tidak pernah tahu daerah apa yang
dimasuki. Kewaspada-an itu perlu, Kakang," kilah Pandan Wangi tidak mau kalah.
"Memang. Asal, jangan terlalu dipaksakan. Bisa-bisa kita malah selalu mencurigai
setiap orang, dan takut memasuki daerah yang belum dikenal."
"Apa aku ada tampang seperti itu...?"
"Mungkin."
"Konyol...," dengus Pandan Wangi memberengut.
Rangga hanya tersenyum saja. Diliriknya sedikit Pandan Wangi yang tampak semakin
cantik jika memberengut seperti itu. Dan Rangga memang mengakui kalau Pandan
Wangi sangat cantik. Rasanya tidak ada seorang gadis pun yang bisa menandingi
kecantikannya. "Ada apa senyum-senyum?" tegur Pandan Wangi.
"Tidak...," sahut Rangga semakin lebar senyumnya.
"Kau menertawakan aku, ya...?"
"Tidak..."
"Bohong!" sentak Pandan Wangi semakin memberengut manja.
Dan Rangga semakin lebar senyumnya. Sungguh, senang melihat Pandan Wangi
memberengut begitu.
Memang benar kata orang. Jika ingin melihat kecantikan seorang gadis yang
sesungguhnya, pandanglah di saat gadis itu sedang marah. Dan Rangga mengakui
kebenarannya. Makanya Pendekar
Rajawali Sakti selalu senang bila melihat Pandan Wangi memberengut seperti itu.
"Kau cantik sekali, Pandan," bisik Rangga tidak bisa lagi menahan hatinya yang
ingin memuji gadis ini.
"Konyol...," dengus Pandan Wangi seraya mencibirkan bibirnya.
Rangga terpaksa menelan ludahnya yang terasa getir melihat keindahan bibir yang
mencibir itu. "Aku berkata jujur, Pandan. Kau memang cantik sekali," tegas Rangga serius.
"Sudah, ah! Aku tidak suka dirayu," sentak Pandan Wangi jengah.
Padahal, berani sumpah kalau gadis itu merasa senang mendapatkan pujian Pendekar
Rajawali Sakti.
Jarang sekali Rangga melontarkan pujian tulus yang keluar dari hatinya yang
paling dalam. Hal ini dapat dipahami, karena mereka juga jarang bertemu.
Apalagi bersama-sama seperti ini.
Mereka menghentikan kudanya setelah menemu-kan sungai kecil yang berair jernih.
Hampir bersamaan mereka melompat turun dari punggung kuda masing-masing. Pandan
Wangi langsung menuju sungai itu, kemudian membasuh muka dan lengan-nya.
Sementara Rangga mengumpulkan ranting kering yang ada di sekitar situ untuk
dibuat api unggun. Kini kegelapan mulai terusik oleh cahaya api.
Namun mendadak saja....
"Kakang...!" jerit Pandan Wangi tiba-tiba.
Seketika Rangga melompat begitu mendengar jeritan Pandan Wangi yang berdiri di
tepi sungai. Hanya sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berada di samping
Pandan Wangi. "Ada apa?" tanya Rangga.
"Itu...," Pandan Wangi menunjuk ke tengah sungai.
Dalam keremangan cahaya api, Rangga bisa melihat sesosok tubuh tersangkut batu
di tengah sungai. Tampaknya seorang laki-laki mengenakan baju kuning gading,
dengan warangka pedang tersampir di pinggangnya. Padahal, sosok tubuh itu sudah
sejak tadi tersangkut di situ. Mungkin karena hatinya tengah berbunga-bunga,
Pandan Wangi tidak menyadorinya.
"Hup...!" bergegas Rangga melompat masuk ke dalam sungai itu.
Ternyata air sungai ini memang tidak dalam dan hanya sebatas lutut saja.
Pendekar Rajawali Sakti mengambil tubuh yang tersangkut itu, kemudian kembali
melesat ke tepi. Indah sekali gerakannya.
Tanpa mendapatkan hambatan sama sekali, pemuda berbaju rompi putih itu sudah
berada di samping Pandan Wangi kembali. Kemudian kakinya bergegas melangkah
mendekati api unggun. Hati-hati sekali Pendekar Rajawali Sakti meletakkan tubuh
laki-laki berbaju kuning gading itu di dekat api unggun yang dibuatnya tadi.
Sementara Pandan Wangi berada di sampingnya.
"Bagaimana, Kakang?" tanya Pandan Wangi setelah Rangga memeriksa laki-laki itu.
"Masih hidup. Tapi, dia mendapat luka dalam yang cukup parah," sahut Rangga.
"Apa bisa diselamatkan, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Mungkin," sahut Rangga setengah mendesah.
"Kita coba, Kakang. Barangkali saja masih bisa diselamatkan," tegas Pandan
Wangi. Kembali Rangga memeriksa seluruh tubuh laki-laki yang tidak sadarkan diri itu.
Sementara Pandan
Wangi hanya memperhatikan saja di samping Pendekar Rajawali Sakti. Tampak,
Rangga memberi beberapa totokanan di sekitar dada laki-laki yang kelihatan masih
muda itu. Kemudian ditempelkannya kedua telapak tangan di dada pemuda itu.
Pandan Wangi terus memperhatikan semua yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti
sehingga sedikit pun matanya tidak berkedip. Gadis itu tahu kalau Rangga sedang
mengerahkan hawa murni setelah membuka beberapa jalan darah, serta menutup
aliran darah lain di beberapa tempat Apa yang dilakukan Rangga, tidak asing lagi
bagi Pandan Wangi. Semua tokoh rimba persilatan bisa melakukan hal seperti itu.
Namun itu pun tergantung tinggi rendahnya tingkatan ilmu yang dimiliki.
"Huh...!" Rangga menghembuskan napasnya begitu telapak tangannya terlepas dari
dada pemuda yang terbaring di depannya.
Pandan Wangi memperhatikan wajah Pendekar Rajawali Sakti itu. Tampak keringat
mengucur deras, seakan-akan Rangga baru saja melakukan pekerjaan yang berat
sekali. Pandan Wangi mengambil saputangan, lalu menyeka keringat yang membanjiri
wajah Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih," ucap Rangga seraya berpaling menatap gadis di sebelahnya.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja, kemudian menyimpan kembali saputangannya di
balik ikat pinggang yang terbuat dari kulit binatang dan ber-lapiskan emas serta
bermanik-manik batu permata.
Ikat pinggang ini adalah hadiah pertama yang diberikan Rangga padanya.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Pandan Wangi.
"Tunggu saja sampai besok pagi," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian memberi beberapa totokan lagi di tubuh pemuda
yang mengenakan baju warna kuning gading itu. Kemudian duduknya bergeser, lalu
bersandar pada pohon.
Pandan Wangi melirik Pendekar Rajawali Sakti sebentar di belakangnya, kemudian
mendekati dan duduk merapat di sampingnya. Rangga melingkarkan tangannya di
pinggang gadis yang ramping itu.
Pandan Wangi semakin manja, dan semakin merapatkan tubuhnya, seakan-akan hendak
mencari kehangatan dari Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Kau pasti lelah dan mengantuk sekali. Tidurlah, Pandan. Biar aku yang menjaga
rnalam ini," ujar Rangga agak berbisik di telinga gadis itu.
"Aku belum ngantuk," sahut Pandan Wangi perlahan.
"Seharian kau berkuda. Kau pasti lelah, Pandan."
"Kau juga, Kakang," Pandan Wangi tidak mau kalah.
Rangga menghembuskan napas panjang. Sedangkan Pandan Wangi hanya memperhatikan
wajah tampan itu. Wajah mereka begitu dekat, sehingga desah napas satu sama lain
saling menerpa kulit wajah, dan terasa hangat sekali. Rangga merengkuh kepala
gadis itu dan diletakkan di dadanya.
Kemudian tangannya dilingkarkan ke tubuh gadis itu.
Sementara Pandan Wangi yang semakin manja, langsung balas memeluk dengan mesra.
Tak ada lagi yang mengeluarkan kata-kata. Tak ada yang memejamkan mata. Mereka
terjaga bersama pikirannya masing-masing. Entah apa yang dipikirkan saat ini,
yang jelas Pandan Wangi seperti tidak ingin melepaskan Pendekar Rajawali Sakti
kali ini. Gadis itu ingin agar malam ini terus berada dalam
dekapan Rangga. Begitu hangat dan mesra sekali.
Meskipun tak ada yang mengucapkan kata-kata sedikit pun juga, namun sudah terasa
betapa hangatnya cinta mereka berdua.
*** Rangga membangunkan Pandan Wangi yang tertidur dalam pelukannya. Dia sendiri juga sempat tertidur, meskipun hanya
sebentar saja. Pendekar Rajawali Sakti menatap pemuda berbaju kuning gading yang
kini tengah duduk bersemadi. Pandan Wangi bergegas bangun dan melepaskan
pelukannya ketika melihat pemuda yang ditolong semalam tengah duduk bersemadi
tidak jauh di depannya.
Tak berapa lama kemudian pemuda itu membuka matanya pelahan-lahan. Pandangannya
langsung tertuju pada Rangga dan Pandan Wangi yang duduk ber-dampingan di bawah
pohon. Seonggok bara yang masih mengepulkan asap, menjadi pemisah di antara
mereka. "Bagaimana keadaanmu, Kisanak" Apakah mulai membaik?" Rangga lebih dahulu
membuka suara. "Mendingan," sahut pemuda itu. "Apakah Kisanak dan Nini yang menolongku?"
"Hanya kebetulan saja kami melihatmu tersangkut di batu sungai," sahut Rangga
merendah. "Oh..., terima kasih. Rupanya Hyang Widi belum berkenan mencabut nyawaku," desah
pemuda itu. Untuk beberapa saat mereka berdiam diri.
Sementara tara Pandan Wangi menggeser duduknya agak menjauh dari Pendekar
Rajawali Sakti. Meskipun di hati mereka terpatri perasaan cinta yang dalam,
namun hal Itu tidak pernah ditunjukkan di
depan orang lain. Dan mereka merasa kecolongan, karena pemuda itu melihat mereka
berdua tidur berpelukan. Ada rasa malu terselip di hati si Kipas Maut itu.
"Boleh aku tahu, mengapa Kisanak sampai terluka dalam cukup parah dan tersangkut
di batu sungai...?"
tanya Rangga. Nada suaranya terdengar lembut dan sopan sekali.
Pemuda berbaju kuning gading itu tidak langsung menjawab. Ditariknya napas
dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat sambil mendongakkan kepalanya. Namun
tiba-tiba saja tangan kanannya bergerak cepat memungut batu kerikil, lalu
menjentik-kannya ke atas.
Rangga dan Pandan Wangi langsung mendongak.
Pada saat itu, seekor burung ayaman yang sedang terbang di atas mereka mendadak
saja meluncur jatuh, tepat di depan pemuda berbaju kuning gading itu. Memang
cukup besar juga. Pemuda itu memungutnya disertai senyuman di bibir.
"Aku rasa cukup untuk mengganjal perut kita bertiga," katanya.
Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan sejenak. Kemudian, Pandan Wangi
bangkit berdiri dan mengambil burung ayaman dari tangan pernuda itu. Dia
mendekati bara yang masih mengepulkan asap. Dengan menambah sedikit ranting, api
unggun sudah kembali berkobar. Pandan Wangi menyiangi burung ayaman yang pecah
kepalanya terlempar kerikil tadi. Sementara Rangga menghampiri pemuda berbaju
kuning gading yang memang belum dikenalnya.
"Namaku Dipa Pangga," pemuda itu memperkenalkan diri sebelum Rangga
rnenanyakannya.
"Aku Rangga, dan itu Pandan Wangi," Rangga juga memperkenalkan dirinya dan
Pandan Wangi. "Nampaknya kalian seperti pengelana," tebak pemuda berbaju kuning gading yang
menamakan didnya Dipa Pangga.
"Kami memang pengembara," sahut Rangga jadi lupa pada pertanyaannya yang belum
terjawab tadi. "Ke mana tujuan kalian?" tanya Dipa Pangga lagi.
Rangga hanya mengangkat bahunya saja.
Pendekar Rajawali Sakti memang tidak tahu tujuan-nya yang pasti. Mereka
mengembara mengelilingi rimba persilatan dengan satu tujuan. Menegakkan keadilan
dan kebenaran! Sementara Dipa Pangga rnenyunggingkan senyumannya yang manis.
Pemuda itu seperti membodohi dirlnya sendiri dengan pertanyaan yang tolol tadi.
Sudah tentu jika sedang mengembara, Rangga dan Pandan Wangi tidak akan mempunyal
tujuan tetap. Seperti pada umumnya pendekar-pendekar lain yang juga selalu
mengembara dari satu tempat ke tempat lain.
"Oh, ya. Kau pasti ingin tahu, kenapa aku -bisa terluka," ujar Dipa Pangga
setelah beberapa saat berdiam diri.
Lagi-lagi Rangga mengangkat bahunya sedikit sambil menaikkan alisnya. Tadi hal
itu memang sudah ditanya, namun belum memperoleh jawaban.
Sekarang Dipa Pangga sendiri yang mengingatkan dirinya untuk menjawab pertanyaan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku sedang mengantarkan barang, tiba-tiba segerombolan perampok menghadangku.
Pemimpin-nya berhasil melukai dan membuangku ke sungai,"
tutur Dipa Pangga, singkat.
"Di tempat ini?" tanya Rangga.
"Benar," sahut Dipa Pangga.
Pandangan Rangga beredar ke sekeliling. Rasanya sejak semalam dia berada di
tempat ini, tidak ada tanda-tanda bekas terjadinya pertempuran. Bahkan satu
mayat atau bercak darah sekali pun, tidak terlihat sama sekali. Pendekar
Rajawali Sakti agak tidak percaya pada cerita Dipa Pangga. Tapi dia tidak ingin
mendesak pemuda berbaju kuning gading ini untuk menceritakan kejadian yang
sesungguhnya. "Kau pasti tidak percaya. Tapi itulah yang sesungguhnya terjadi padaku," tegas
Dipa Pangga, seperti mengetahui ketidakpercayaan Pendekar Rajawali Sakti.
Lagi-lagi Rangga mengangkat sedikit bahunya.
Pendekar Rajawali Sakti memang tidak percaya dengan cerita Dipa Pangga barusan.
Namun apa pun yang dikatakan pemuda itu, Rangga tidak ambil peduli. Dan yang
pasti, jika Dipa Pangga berbohong, tentu punya alasan tersendiri.
"Mereka mungkin menghanyutkan mayat-mayat temanku ke sungai," jelas Dipa Pangga
lagi. "Mungkin juga," desah Rangga enggan.
"Gerombolan perampok itu memang sudah terkenal, dan menguasai seluruh Gunung
Karang Hawu ini. Aku sendiri sebenarnya enggan membawa barang melewati gunung
ini. Tapi aku tidak bisa menolak tugas yang sudah menjadi kewajibanku,"
keluh Dipa Pangga lagi.
"Barang apa yang kau bawa?" tanya Rangga.
"Upeti untuk raja," sahut Dipa Pangga.
"Kau bekerja di istana?" tanya Rangga lagi.
"Tidak. Aku hanya sebagai pengantar barang dari Kadipaten Sangu ke Istana
Randukara. Setiap tahun aku selalu mengantarkan upeti itu, tapi baru kali ini
melewati Gunung Karang Hawu."
"Biasanya kau lewat mana?"
"Kadipaten Antal Jati. Tapi, suasana di sana sedang tidak memungkinkan untuk
dilewati. Kadipatan Antal Jali tengah melakukan pem-berontakan, dan ingin memisahkan dirl
dari Kerajaan Randukara. Jadi, aku terpaksa memutar lewat gunung ini."
"Lantas, ke mana tujuanmu selanjutnya?" Tanya Rangga lagi.
"Secepatnya kejadian ini harus kulaporkan pada Gusti Prabu Sarajingga," sahut
Dipa Pangga. Rangga terdiam.
"Oh, ya. Kau dan temanmu kuharap sudi menjadi saksi di istana. Tolonglah bantu
aku sekali lagi, Kisanak," pinta Dipa Pangga berharap.
"Aku tanyakan dulu pada Pandan Wangi," sahut Rangga tidak langsung memutuskan.
"Kalau kau tidak sudi memberi kesaksian, aku harus merelakan kepalaku dipenggal.
Hukuman itu sudah menjadi keputusan tetap bagi siapa saja yang menghilangkan
upeti. Kecuali, ada saksi yang mengatakan kalau upeti itu telah dibegal di
tengah jalan. Paling tidak, aku harus mendapatkan upeti itu kembali dalam
keadaan utuh," jelas Dipa Pangga bernada mendesak.
"Itu bisa kumengerti, tapi aku tidak bisa memutus-kannya sendiri," kilah Rangga.
"Aku sangat berterima kasih sekali jika kau bersedia menolongku sekali lagi
saja," lagi-lagi Dipa Pangga berharap.
"Akan kuusahakan," sahut Rangga.
"Terima kasih."
Pendekar Rajawali Sakti 42 Kembang Karang Hawu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rangga menepuk pundak pemuda berbaju kuning
gading itu, kemudian bangkit berdiri dan menghampiri Pandan Wangi yang sedang
asyik memanggang burung ayaman yang cukup besar. Gadis itu melirik sedikit pada
Pendekar Rajawali Sakti yang sudah berada di dekatnya.
"Pembicaraan tadi sudah kudengar semua.
Terserah kau saja, Kakang," kata Pandan Wangi mendahului sebelum Rangga sempat
membuka suaranya.
"Kau sendiri?" tanya Rangga.
"Terserah. Aku sih, tinggal ikut saja," sahut Pandan Wangi.
Rangga melirik Dipa Pangga yang kini berdiri di tepi sungai. Agak jauh jarak
mereka, sehingga tidak mungkin terdengar pemuda berbaju kuning gading itu.
Kecuali, jika dia punya ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Ilmu itu memang mudah,
dan bisa dikuasai tokoh mana pun dalam rimba persilatan. Hanya tingkatannya saja
yang membedakan.
"Sudahlah, Kakang. Putuskan saja. Aku bisa mengerti kalau kau tidak pernah
rnenyetujui dengan adanya segala macam upeti. Tapi ini bukan di Karang Setra,
Kakang. Setiap kerajaan ada peraturannya sendiri," desah Pandan Wangi bisa
merasakan apa yang sedang dirasakan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kalau aku tidak membantunya, dia pasti mati dipenggal, Pandan. Sedangkan aku
sendiri, paling enggan berurusan dengan raja-raja yang selalu memaksa rakyat
untuk membayar upeti, " tegas Rangga pelan.
"Menurutku, kita tinggal memberi kesaksian saja.
Setelah itu, kita bisa pergi dan tidak akan berurusan lagi," ujar Pandan Wangi
mengemukakan pendapat.
"Segala urusan yang menyangkut kerajaan, tidak
akan selesai begitu saja, Pandan."
"Aku tahu, Kakang. Mudah-mudahan tidak ada persoalan macam-macam. Kalaupun ada,
kita bisa pergi begitu saja tanpa ada seorang pun yang bisa melarang. "
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya disertai senyuman tipis. Kadang-kadang
Pandan Wangi suka memberi usul yang bernada konyol juga. Tapi Pendekar Rajawali
Sakti mengakui kalau gadis ini cerdas sekall, meskipun terkadang cetusannya
seperti terlahir begitu saja tanpa dipikirkan lebih dahulu. Memang kalau tidak
begitu, bukan Pandan Wangi namanya.
"Baiklah. Kita membantunya sekali lagi saja.
Setelah itu, harus cepat pergi dan tidak peduli dengan kelanjutannya," Rangga
akhirnya memutuskan.
Dan memang, meskipun agak konyol, tapi Rangga sering juga melaksanakan cetusan
yang disampaikan Pandan Wangi. Kali ini juga, Pendekar Rajawali Sakti melihat
kebenarannya. Maka, diputuskan kalau dirinya akan membantu Dipa Pangga agar
terhindar dari hukuman penggal kepala. Rangga kemudian menghampiri Dipa Pangga
yang masih tetap berdiri di tepi sungai dengan pandangan lurus ke depan.
*** 3 Kotaraja Randukara cukup ramai juga. Kota ini cukup padat dan besar. Tidak heran
kalau udara terasa panas menyengat kulit, meskipun keadaan mendung.
Tampak awan tebal agak menghitam menyelimuti angkasa di atas Kerajaan Randukara
ini. Keadaan alam yang nampaknya tidak bersahabat, tidak mengganggu kesibukan
orang-orang yang menghuni Kotaraja Randukara ini. Mereka tetap dengan kesibukannya sendiri-sendiri.
Hari ini memang hari pasaran. Jadi, hampir seluruh rakyat Kerajaan Randukara
tumpah ruah ke kota ini.
Sepanjang jalan dipadati manusia. Juga kedai-kedai makan dan minum serta rumahrumah penginapan, tak sepi pengunjung. Begitu padatnya, sehingga untuk melangkah
saja sudah begitu sulit. Memang pada hari-hari pasaran begini, tak ada lagi
tempat yang lapang. Seluruh pelosok kotaraja bagai tak mampu lagi menampung
luapan penduduk.
Di antara sedan banyak orang, terlihat tiga anak muda menunggang kuda. Mereka
adalah Rangga, Pandan Wangi, dan Dipa Pangga. Pemuda berbaju kuning gading itu
memperoleh kudanya lagi dalam perjalanan ke Kotaraja Randukara ini. Agak sukar
juga bagi mereka untuk mengendalikan kuda agar lebih cepat lagi. Karena, jalan
yang dilalui, seperti jalan semut.
"Apakah setiap hari keadaannya selalu begini?"
tanya Pandan Wangi yang baru pertama kali melihat sebuah kota begitu padat dan
ramai. "Tentu saja tidak, Pandan. Ini adalah hari pasaran, dan hanya satu kali dalam
tiga purnama," jelas Dipa Pangga.
"Dan setiap hari pasaran selalu seperti ini?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Biasanya lebih ramai lagi, Pandan."
"Berapa lama hal ini berlangsung?"
"Tujuh hari. "
Pandan Wangi melirik Rangga yang berkuda di sampingnya. Sedangkan Pendekar
Rajawali Sakti seperti tidak mendengar percakapan tad'i.
Pandangannya tetap lurus ke depan. Pandan Wangi tahu kalau kekasihnya ini hanya
berpura-pura tidak mendengar saja. Juga, gadis itu tahu kalau Rangga tidak
senang jika diminta untuk tinggal beberapa hari saja, menikmati keramaian yang
jarang terjadi ini.
"Biasanya pada saat seperti ini, Gusti Prabu Sarajingga mengadakan perlombaan
adu ketangkasan. Beliau juga akan memilih tamtama-tamtama baru dari adu
ketangkasan itu. Bahkan tidak jarang mengambil satu atau dua orang panglima
perang dari kalangan mana saja untuk memperkuat barisap prajuritnya," kembali
Dipa Pangga memberi keterangan tentang keadaan di kotaraja ini.
"Pasti menarik sekali," sambut Pandan Wangi seraya melirik Rangga.
"Memang menarik. Karena mereka yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, akan
berlomba meraih jabatan tinggi yang langsung diangkat Gusti Prabu.
Hanya saja sukar sekali untuk mendapatkan jabatan panglima karena harus
mengalahkan paling tidak tiga orang panglima yang memiliki kepandaian tinggi
sekali," jelas Dipa Pangga lagi.
Lagi-lagi Pandan Wangi melirik Rangga, namun
tetap saja tidak dipedulikan. Pendekar Rajawali Sakti tetap berpura-pura tidak
mendengarkan percakapan itu. Namun Pandan Wangi sudah menduga kalau Rangga pasti
tidak menginginkannya agar tidak banyak bertanya. Hal ini bisa diketahui gadis
itu dari lirikan Pendekar Rajawali Sakti yang hanya sekilas, namun terasa tajam
dan menusuk sekali.
Pandan Wangi yang memang senang membuat kesal orang, jadi timbul keisengannya.
Gadis itu jadi tersenyum-senyum sendiri. Beberapa kali matanya melirik Rangga
yang semakin tidak senang saja. Tidak itu saja, bahkan malah semakin banyak
bertanya tentang keadaan di Kerajaan Randukara ini, sampal kepada seluk-beluk
istananya. Dengan senang hati, Dipa Pangga menjelaskan semuanya tanpa ada yang
ditutupi. Bahkan diakuinya sendiri kalau dirinya terpilih menjadi pengantar
barang upeti juga dari hasil pertandingan pada hari-hari pasaran seperti ini.
Dan semua jabatan itu selalu ditentukan oleh tinggi rendahnya ilmu olah
kanuragan yang dimiliki.
Hal ini membuat Pandan Wangi semakin tertarik saja.
Tapi tidak demikian halnya dengan Pendekar Rajawali Sakti. Ketidaksenangan
Rangga, malah membuat si Kipas Maut itu semakin menjadi-jadi. Hal ini memang
disengaja karena merasa punya kesempatan yang sangat jarang didapatkan.
"Apa selama ini ada wanita yang ikut, Dipa Pangga?" tanya Pandan Wangi seraya
melirik Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak ada," sahut Dipa Pangga.
"Kenapa?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Setiap kali, memang ada peserta wanita yang ikut, tapi mereka tidak ada yang
mainpu melampaui ujian.
Gusti Prabu sendiri tidak pernah memilih wanita
untuk menduduki satu jabatan penting. Biasanya, ujian yang diberikan berat
sekali. Lebih berat dari laki-lakinya," jelas Dipa Pangga lagi.
"Kenapa begitu?" tanya Pandan Wangi.
Dipa Pangga tidak sempat menjawab, karena mereka sudah berada di depan pintu
gerbang Istana Randukara. Dua orang prajurit penjaga bergegas membuka pintu
gerbang begitu Dipa Pangga menunjukkan sesuatu yang dikalungkan di lehemya.
Mereka pun menggebah kudanya melewati pintu gerbang itu.
*** Rangga bangkit berdiri diikuti Pandan Wangi saat melihat seorang prajurit
menghampiri mereka.
Prajurit berpangkat tamtama itu membungkukkan sedikit tubuhnya setelah tiba di
depan kedua pendekar muda itu. Mereka memang diminta untuk menunggu di ruangan
depan istana, sedangkan Dipa Pangga lebih dahulu masuk ke dalam.
"Gusti Prabu meminta Kisanak dan Nini menemui-nya," ujar prajurit itu, penuh
rasa hormat. "Di mana?" tanya Rangga.
"Mari, hamba tunjukkan," sahut prajurat itu.
Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan sejenak, kemudian sama-sama
mengayunkan kaki mengikuti prajurit yang sudah lebih dahulu berjalan di depan.
Mereka melewati bangsal utama. Ada beberapa orang di rungan itu, dan tampaknya
adalah para pembesar istana. Juga, ada beberapa orang berpakaian panglima perang
serta beberapa prajurit yang menjaga pintu serta jendela. Mereka memandangi
Rangga dan Pandan Wangi yang
berjalan mengikuti prajurit.
Kedua pendekar muda itu terus berjalan
menyurusi lorong, mengikuti prajurit yang berjalan di depan. Setelah melalui
lorong yang cukup panjang dan memiliki beberapa cabang serta belokan, akhimya
mereka sampai di sebuah ruangan yang cukup besar dan tertata indah. DI dalam
ruangan ini, telah menunggu Dipa Pangga yang duduk bersila di depan seorang
laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Dia mengenakan baju indah dari
bahan sutra halus bersulamkan benang-benang emas. Duduknya di sebuah kursi kecil
berbantal beludru merah menyala.
"Silakan mengambil tempat yang enak," ujar lakilaki berbaju indah itu
mempersilakan. "Terima kasih," ucap Rangga seraya duduk di samping Dipa Pangga.
Pandan Wangi ikut duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun tidak
diperkenalkan, namun mereka sudah tahu kalau laki-laki yang duduk di kursi kecil
adalah Prabu Sarajingga. Tak ada lagi orang lain di ruangan ini, selain mereka
berempat. Bahkan seorang prajurit pun tak terlihat di sini. Rangga sempat
memperhatikan keadaan ruangan yang cukup besar dan indah ini.
"Aku sudah mendengar tentang kalian berdua dari Dipa Pangga. Aku pribadi
mengucapkan terima kasih karena kalian telah menyelamatkan Dipa Pangga,"
ucap Prabu Sarajingga. Suaranya terdengar agak berat dan penuh kewibawaan.
"Kami hanya kebetulan saja lewat, Gusti Prabu,"
sahut Rangga merendah.
"Sebenarnya aku sangat kehilangan sekali, karena ada sesuatu yang berharga ikut
hilang," lanjut Prabu
Sarajingga. Rangga melirik Pandan Wangi. Sedangkan yang ditirik hanya menundukkan kepalanya
saja. Gadis itu tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti memintanya untuk tidak
berbicara kalau tidak diminta. Kali ini Pandan Wangi tidak berani melepaskan
pikiran isengnya. Disadari, sekali saja melontarkan kata-kata iseng, akan
berakibat tidak baik bagi mereka berdua.
"Untuk itu, jika kalian berdua tidak berkeberatan, aku meminta kalian mencari
gerombolan perampok itu dan mengembalikan barang-barang yang dirampas dari Dipa
Pangga," sambung Prabu Sarajingga.
"Maaf, Gusti Prabu. Bukannya hendak menolak, tapi kami masih punya urusan lain
yang harus diselesaikan," tolak Rangga, halus.
Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti melirik Pandan Wangi. Dan yang dilirik tetap
saja tertunduk. Namun dari sudut ekor matanya, gadis itu tahu kalau Pendekar
Rajawali Sakti menyesalinya karena telah banyak bicara tadi sebelum sampai di
istana ini pada Dipa Pangga.
"Sayang sekali. Jika diizinkan, aku akan memerintahkan pembesar-pembesarku untuk
menyelesaikan persoalan kalian. Tapi yang jelas, persoalan ini lebih penting
dari yang kalian duga. Mereka semakin merajalela, dan tidak peduli kalau yang
dihadang adalah utusan pribadiku," jelas Prabu Sarajingga.
Nada bicaranya agak menyesali penolakan Rangga.
"Apakah mereka begitu kuat, Gusti Prabu?" tanya Pandan Wangi yang tidak bisa
menahan diri.' Saat itu juga Rangga mendelikkan matanya pada Pandan Wangi. Dan gadis itu buruburu menundukkan kepalanya. Sungguh disesali kalau dirinya telah asal bicara
saja. Padahal Rangga tadi sempat membisikinya untuk diam saja. Dan beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti
memperingatkan untuk diam lewat lirikan mata yang agak tajam. Namun, si Kipas
Maut itu memang sukar mengendalikan diri jika mendengar sesuatu yang membuat
darahnya langsung bergolak mendidih.
"Sudah beberapa kali panglimaku mencoba menghancurkan mereka, tapi sampai saat
ini belum juga ada yang berhasil. Mereka terlalu kuat. Terlebih lagi, sekarang
ini mereka mendapatkan pemimpin baru yang berkemampuan sangat tinggi," jelas
Prabu Sarajingga kemudian.
Hampir saja Pandan Wangi membuka suara lagi.
Untung Rangga cepat menekan ujung jari kakinya.
Gadis itu sempat meringis kesakitan, dan langsung terdiam.
"Maaf, Gusti Prabu. Sebenarnya kami ingin sekali membantu, tapi persoalan kami
sendiri harus cepat diselesaikan. Hamba berjanji, jika sudah selesai akan
membantu menyelesaikan persoalan ini," ujar Rangga cepat-cepat.
"Yaaah.... Aku memang tidak bisa memaksa. Tapi kuharap kalian bisa secepatnya
kembali lagi ke sini.
Istanaku ini terbuka kapan saja untuk kalian berdua,"
kata Prabu Sarajingga agak mendesah.
"Kalau begitu, kami mohon diri," pamit Rangga.
"Silakan," Prabu Sarajingga mempersilakan dengan merentangkan sedikit tangannya
ke depan. Rangga memberi penghormatan dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung,
diikuti Pandan Wangi. Mereka kemudian bangkit berdiri.
"Dipa Pangga, antarkan mereka sampai ke pintu gerbang," perintah Prabu
Sarajingga. "Hamba, Gusti Prabu," sahut Dipa Pangga penuh
hormat. Dipa Pangga bergegas bangkit berdiri dan memberikan sembah dengan
merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Kemudian Rangga dan Pandan Wangi
keluar dari ruangan ini. Mereka berjalan tanpa tergesa-gesa. Sedangkan Prabu
Sarajingga tanpa berkedip memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm.... Aku yakin kalau dia Pendekar Rajawali Sakti...," gumam Prabu Sarajingga
pelan. Saat itu Rangga dan Pandan Wangi yang diantar Dipa Pangga sudah menghilang di
balik pintu. Tak lama kemudian, dari pintu lain muncul dua orang lakilaki
berusia sekitar tiga puluhan tahun yang kemudian langsung memberi hormat pada
Prabu Sarajingga. Masing-masing mengenakan pakaian yang sama bentuknya, dan
hanya warna saja yang berbeda. Mereka juga menyandang pedang yang tersampir di
pinggang. "Jalak Ireng, Banteng Giri...."
"Hamba Gusti Prabu," sahut kedua orang itu bersamaan.
"lkuti kedua tamuku tadi, dan laporkan semua yang dilakukannya padaku. Cari
keterangan, siapa mereka sebenarnya," perintah Prabu Sarajingga.
"Hamba, Gusti Prabu."
Kedua orang yang bernama Jalak Ireng dan Banteng Giri kembali memberi sembah
dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung.
Kemudian, mereka bergegas melangkah keluar dari ruangan itu. Prabu Sarajingga
masih tetap duduk, dan keningnya terlihat agak berkerut dalam. Namun mendadak
saja bibirnya tersenyum ketika seorang gadis berwajah cantik mengenakan baju
warna hijau daun muncul darl pintu lain.
Gadis itu berdiri saja di ambang pintu. Dan Prabu Sarajingga bangkit berdiri
dari duduknya. Penguasa Kerajaan Randukara itu berjalan menghampiri disertai
senyuman lebar.
"Ada yang kau perlukan, Anakku?" tanya Prabu Sarajingga setelah dekat dengan
gadis itu. "Ada. Tapi tidak di sini," sahut gadis itu seraya membalikkan tubuhnya dan
berjalan menjauhi ruangan itu.
Prabu Sarajingga mengikuti. Ditutupnya pintu yang memisahkan ruangan untuk
menerima tamu khusus itu dengan ruangan-ruangan lain. Ruangan itu memang tidak
memiliki jendela, tapi dikelilingi delapan buah pintu yang serupa bentuknya.
Hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui kegunaan setiap pintu ruangan
itu. Dan ruangan yang cukup besar itu kembali sunyi sepi, tak ada seorang pun yang
terlihat. Namun setelah Prabu Sarajingga lenyap ditelan satu pintu, dari pintu
lain muncul sekitar sepuluh orang berpakaian prajurit dan bersenjatakan tombak
dan pedang. Mereka mengelilingi ruangan itu dan mengambil tempat untuk menjaga
Pendekar Rajawali Sakti 42 Kembang Karang Hawu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ruangan yang kosong ini. Memang, itu adalah suatu ruangan khusus, sehingga
membutuhkan sepuluh prajurit berpangkat tamtama untuk menjaga.
*** Rangga baru menggebah kudanya agar berlari cepat setelah melewati gerbang
perbatasan Kotaraja Randukara. Pandan Wangi yang selalu menyertainya juga segera
menggebah kudanya agar tetap berada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Debu
mengepul ke angkasa tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat.
Sebenarnya kalau Rangga menggebah kudanya lebih cepat lagi, Pandan Wangi tak
mungkin bisa mengejar.
Karena, kuda tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu bukan binatang sembarangan.
Kuda itu adalah hadiah Dewa Bayu, sehingga kuda itu juga dinamakan Dewa Bayu.
"Kenapa cepat-cepat, Kakang?" tanya Pandan Wangi, agak keras suaranya.
Rangga tidak menjawab, dan terus saja menggebah kudanya agar berlarl kencang.
Pandan Wangi tetap berusaha berada di samping Pendekar Rajawali Sakti, meskipun
kuda yang ditungganginya nampak kewalahan. Namun Pandan Wangi tidak peduli.
Kudanya terus digebah cepat untuk mengimbangi lari kuda hitam itu.
"Kau marah padaku, Kakang...?" kembali Pandan Wangi bertanya dengan suara keras.
Tetap saja Rangga tidak menyahut.
Pandan Wangi tahu kalau Rangga marah karena kelancangannya yang tidak mau
menuruti kata-kata pemuda berbaju rompi putih itu. Dia menyesal karena tidak
mematuhi permintaan Rangga tadi di depan Prabu Sarajingga.
"Maafkan aku, Kakang... !" seru Pandan Wangi masih dengan suara keras.
Tetap saja Rangga tidak mempedulikannya.
Sementara kuda hitam yang ditungganginya semakin cepat beriari. Sedangkan kuda
putih yang ditunggangi Pandan Wangi mulai tertinggal.
"Kakang, tunggu...!" teriak Pandan Wangi keras.
Kali ini Rangga berpaling ke belakang. Dan nampak kalau lari kudanya
diperlambat. Pandan Wangi terus cepat menggebah kudanya, sehingga
kembali berada di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalau kau tetap marah, aku akan berhenti!"
rungut Pandan Wangi ikut ngambek.
"Jangan banyak omong! Terus gebah kudamu...!"
bentak Rangga, agak kasar suaranya.
"Heh..."!" Pandan Wangi terkejut mendengar bentakan yang bernada kasar itu.
Belum pernah Rangga berlaku kasar seperti ini sebelumnya. Namun Pandan Wangi
tidak punya kesempatan untuk mencari penjelasan, karena kembali tertinggal. Si
Kipas Maut kembali menggebah kudanya agar bisa berada di samping kuda yang
ditunggangi Pendekar Rajawali Sakti.
Namun mendadak saja Rangga menghentikan lari kudanya, dan secepat itu pula
melompat turun.
Begitu kakinya menjejak tanah, Pendekar Rajawali Sakti kembali melentingkan
tubuhnya, dan langsung menyambar Pandan Wangi yang masih berada di punggung
kuda. "Bawa dia menjauh, Dewa Bayu!" seru Rangga memerintahkan kudanya.
Kuda hitam yang dipanggil Dewa Bayu itu meringkik keras sekali, kemudian
menggiring kuda putih menjauhi tempat itu. Sementara Rangga yang mengepit
pinggang Pandan Wangi sudah kembali melenting ke angkasa, lalu hinggap di cabang
pohon yang cukup tinggi dan berdaun lebat.
"Apa-apaan kau ini, Kakang..."!" sentak Pandan Wangi begitu Rangga melepaskan
tangannya dari pinggangnya.
"Diam...!" desis Rangga.
"Ap...!"
Pandan Wangi tak bisa lagi bersuara ketika Rangga dengan cepat membekap
mulutnya. Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda yang dipacu cepat. Pelahan-lahan Rangga
melepaskan bekapan-nya pada mulut Pandan Wangi. Dan gadis itu tidak bersuara
lagi. Matanya langsung terarah pada debu yang mengepul semakin dekat.
Tak berapa lama kemudian, tampak dua ekor kuda dipacu cepat menuju ke arah pohon
yang cukup lebat daunnya, tempat Rangga dan Pandan Wangi bertengger di situ. Dua
orang penunggang kuda menggebah cepat kudanya. Mereka berusia rata-rata sekitar
tiga puluh tahunan lebih, dan masing-masing menyandang pedang yang tersampir di
pinggang. "Hiyaaa...!" tiba-tiba saja Rangga melompat turun.
Pendekar Rajawali Sakti langsung meluruk ke arah dua orang penunggang kuda itu.
Cepat sekali gerakannya, sehingga kedua orang penunggangnya tidak sempat
berbuat,sesuatu. Dan mendadak saja mereka terpental jatuh, lalu beberapa kali
bergulingan di tanah. Pada saat itu, Rangga sudah menjejakkan kakinya di tanah
dengan mulus sekali.
Sedangkan dua ekor kuda yang masih berlari kencang, tak mempedulikan
penunggangnya yang terjatuh.
"Bangun...!" bentak Rangga keras.
Kedua orang yang mengenakan baju berpotongan sama berwarna merah dan hijau itu,
bangkit berdiri sambil meringis memegangi dadanya. Rupanya, tadi Rangga memberi
pukulan lumayan keras ke dada mereka berdua. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti
tidak mengerahkan kekuatan tenaga dalam, sehingga kedua orang itu tidak
mengalami cidera sedikit pun juga. Namun demikian, rongga dada mereka terasa
sesak juga akibat terkena pukulan Pendekar Rajawali Sakti.
"Untuk apa kalian membuntutiku"!" tanya Rangga agak membentak.
"Kami hanya menjalankan perintah," sahut orang yang mengenakan baju warna hijau.
"Perintah siapa?" tanya Rangga lagi.
Kedua orang itu tidak menjawab, dan hanya saling berpandangan sejenak. Kemudian
mereka kembali menatap Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu dari atas pohon,
meluncur Pandan Wangi. Gadis itu langsung mendarat di samping kanan Rangga.
"Jawab pertanyaanku! Siapa yang memberi perintah pada kalian untuk
membuntutiku?" bentak Rangga lagi.
Namun sebelum kedua orang itu menjawab pertanyaan Rangga, mendadak saja sebuah
bayangan berkelebat cepat bagai kilat. Bayangan hijau itu langsung meluruk ke
arah dua orang yang masih terdiam, belum menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali
Sakti tadi. Tapi, rupanya kedua orang itu memiliki ketangkasan yang lumayan
juga. Mereka cepat melompat mundur, sehingga terjangan bayangan hijau itu tidak
sempat menghajarnya.
Dan sebelum kedua orang laki-laki itu bisa menguasai keseimbangan tubuh, kemball
bayangan hijau itu berbalik cepat dan langsung melesat ke acah mereka. Tapi pada
saat itu juga, Rangga bertindak cepat. Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat
bagai kilat, lalu memberikan satu dorongan kuat disertai pengerahan tenaga dalam
yang tidak penuh.
Deghk! "Ikh... !"
*** Bayangan hijau itu terpental balik dan berputaran di udara, lalu manis sekali
mendarat di tanah.
Sementara Rangga sudah lebih dahulu menjejakkan kakinya di tanah, sehingga satu
batang tombak di samping dua orang yang membuntutinya tadi.
Nampak, di depan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang gadis yang
mengenakan baju warna hijau yang wajahnya sebagian tertutup cadar agak tipis
berwarna hijau. Hanya bagian matanya saja yang masih terlihat, dan nampak indah
dan bening. "Siapa kau"!" sentak Rangga bertanya.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Kedua orang ini harus mati sekarang juga!"
sahut wanita berbaju hijau itu.
"Hei... !"
Namun sebelum keterkejutan Rangga hilang, wanita bercadar itu sudah melesat
cepat menyerang dua orang yang berada di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Gerakannya sungguh cepat luar biasa, sehingga tidak sempat disadari Rangga lebih
dahulu. Tahu -tahu sudah terdengar suara jeritan panjang dan menyayat, bersamaan dengan
terdengarnya den-tingan senjata beradu.
Tampak laki-laki yang mengenakan baju hijau terhuyung-huyung sambil mendekap
dada yang mengucurkan darah. Sedangkan seorang lain yang mengenakan baju warna
merah, tengah sibuk menghindari gempuran wanita berbaju hijau bercadar.
"Hiyaaat...!"
Seketika itu juga Rangga melompat sambil memberi satu pukulan keras ke arah
wanita yang tiba-tiba saja datang mencampuri urusannya. Namun pukulan Pendekar
Rajawali Sakti tidak mengenai sasaran.
Karena, manis sekali wanita itu mengegoskan tubuhnya, menghindari serangan yang
dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan tubuhnya melenting berputaran beberapa
kali ke belakang.
"Tunggu giliranmu, Pendekar Rajawali Sakti!"
bentak wanita itu berang begitu kakinya menjejak tanah.
"Hei...! Siapa kau ini sebenarnya" Dari mana kau tahu namaku?" Rangga jadi
terkejut bukan main.
"Aku tidak akan berkata dua kali, Pendekar Rajawali Sakti," dingin sekali nada
suara wanita itu.
"Menyingkirlah kau," ujar Rangga pada laki-laki berbaju merah yang berada agak
ke belakang darinya.
"Huh! Baiklah..., hari ini kau boleh bernapas lega Jalak Ireng. Tapi, ingatlah.
Kau tidak akan bisa kembali ke Istana Randukara," tegas wanita itu dingin,
kemudian kembali menatap Rangga. "Dan kau, Pendekar Sakti...! Jangan harap bisa
keluar dari wilayah ini dengan selamat."
Setelah berkata demikian, wanita berbaju hijau dan bercadar itu langsung
bergerak cepat. Tubuhnya melesat bagai kilat. Dalam sekejapan mata saja,
bayangannya sudah lenyap tak terlihat lagi.
"Hm...," gumam Rangga perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya, menghadap laki-laki berbaju merah yang
kini tengah menyangga temannya yang terluka. Darah terus mengalir dari dada yang
terbelah cukup panjang dan lebar.
"Benar kalian dari Istana Randukara?" tanya Rangga seraya menghampirl orang yang
menguntit-nya tadi.
"Benar. Maafkan kami, Kisanak," sahut laki-laki
berbaju merah yang namanya tadi disebut sebagai Jalak Ireng.
Rangga memeriksa luka di dada orang yang mengenakan baju hijau, kemudian
memberikan beberapa totokan di sekitar luka itu. Darah seketika berhenti
mengalir. Tapi laki-laki berbaju hijau yang juga dihiasi kumis tipis di atas
bibimya itu sudah tidak sadarkan diri lagi.
"Baringkan dia di tempat yang teduh," kata Rangga.
Jalak Ireng membawa temannya yang terluka dan tidak sadarkan diri itu. Kemudian,
dibaringkannya di bawah sebatang pohon rindang, sehingga matahari tidak bisa
langsung menyinarinya. Saat itu Pandan Wangi bergegas memeriksa luka laki-laki
berbaju hijau itu, kemudian mengambil sebuah kantung kulit dari balik sabuknya.
Dari kantung kulit itu ditaburkan bubuk berwarna kuning pada luka di dada yang
menganga cukup besar.
"Hanya luka luar, dan tidak begitu parah," jelas Pandan Wangi yang sudah berdiri
di samping Rangga.
Sedangkan Jalak Ireng masih duduk di samping temannya yang terbaring tidak
sadarkan diri lagi.
Dipandanginya Rangga dan Pandan Wangi ber-gantian.
"Hanya tiga hari lukanya pasti kering," kata Pandan Wangi memberitahu.
"Maaf, kami tidak bermaksud jahat. Kalian kami buntuti karena hanya menjalankan
perintah saja,"
jelas Jalak Ireng.
"Siapa yang memerintahkanmu, Kisanak?" tanya Rangga dengan nada suara yang tidak
lagi kasar. "Gusti Prabu Sarajingga," sahut Jalak Ireng.
"Untuk apa?" tanya Rangga lagi.
"Kami hanya diperintahkan untuk membuntuti saja, dan mencari keterangan siapa
sebenarnya Kisanak dan Nini ini."
"Hm...," Rangga mengerutkan keningnya.
"Kenapa Prabu Sarajingga ingin mengetahui tentang kami?" tanya Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu, tapi Gusti Prabu menduga kalau Kisanak adalah Pendekar Rajawali
Sakti. " "Kalau memang benar, lalu apa kemauan rajamu itu?" tanya Rangga lagi.
"Maaf, aku tidak tahu. Aku dan temanku ini hanya menjalankan perintah saja.
Hanya itu saja yang diketahui, Kisanak."
"Aneh...," gumam Pandan Wangi. "Pasti ada sesuatu yang tidak beres, Kakang."
Rangga tidak menyahuti. Nampaknya Pendekar Rajawali Sakti sedang berpikir keras.
Hal ini bisa diketahui dari kerutan yang dalam di keningnya.
Sedangkan Pandan Wangi sendiri jadi tidak mengerti akan sikap Prabu Sarajingga
yang ingin mengetahui tentang Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak. Kau tahu, siapa wanita yang menyerang-mu tadi?" tanya Rangga setelah
berdiam diri cukup lama juga.
"Perempuan itu dijuluki Kembang Karang Hawu,"
sahut Jalak Ireng.
"Kembang Karang Hawu...?" kembali Rangga mengerutkan keningnya hingga matanya
jadi menyipit. Sedangkan Pandan Wangi juga agak terkejut mendengar wanita berbaju hijau tadi
temyata Kembang Karang Hawu. Dia pernah mendengar nama itu, karena Prabu
Sarajingga pernah menyebut-nyebut nama itu. Dan Raja Randukara itu mengatakan
kalau Kembang Karang Hawu sekarang ini yang memimpin gerombolan begal di sekitar
Gunung Karang Hawu, yang sangat ditakuti di seluruh wilayah Kerajaan Randukara
ini. Tapi yang menjadi beban pikiran Rangga dan Pandan Wangi, untuk apa wanita itu
menyerang dua orang yang tengah menjalankan perintah rajanya"
Dan tampaknya wanita yang dijuluki Kembang Karang Hawu itu juga tidak menyukai
kehadiran Pendekar Rajawali Sakti di wilayah kerajaan ini. Saat itu juga,
berbagai macam pertanyaan mengalir keluar dalam benak Pendekar Rajawali Sakti
maupun si Kipas Maut.
*** 4 Rangga duduk mencangkung di atas sebongkah batu yang tidak begitu besar.
Sedangkan di depannya, Pandan Wangi berdiri saja sambil membenahi pelana
kudanya. Sejak Jalak Ireng pergi membawa temannya yang terluka, Pendekar
Rajawali Sakti belum juga membuka suara sedikit pun. Dan Pandan Wangi sendiri
sepertinya tidak mau mengusik. Gadis itu lebih memilih menyibukkan dirinya
dengan memeriksa pelana kuda dan membetulkannya agar kelihatan lebih rapi dan
kuat. "Sampai kapan akan terus duduk melamun, Kakang...?" Pandan Wangi tidak tahan
juga melihat Rangga seperti itu terus-menerus.
"Hhh...!" Rangga menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari batu yang didudukinya, kemudian
menghampiri kudanya yang berada di sebelah kuda putih milik Pandan Wangi. Tanpa
bicara sedikit pun, Rangga melompat naik ke punggung kudanya. Dipandangnya
Pandan Wangi yang masih tetap berdiri sambil memandang-nya juga di samping
kudanya. "Kita kembali ke kota, Pandan," kata Rangga, agak mendesah suaranya.
"Heh...! Kenapa cepat sekali kau berubah..."!"
Pandan Wangi terkejut.
"Jangan mengolok, Pandan. Ini bukan saatnya bercanda!" sentak Rangga.
"Siapa yang bercanda" Aku hanya terkejut dengan
perubahanmu yang mendadak itu. Tadinya kau ingin cepat-cepat meninggalkan
kerajaan ini, tapi mendadak saja malah ingin kembali lagi ke sana."
"Sudah jangan mengomel. Ayo naik...!"
"Untuk apa kembali lagi ke sana?" tanya Pandan Wangi seraya melompat naik ke
punggung kudanya.
"Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres di sana," sahut Rangga sambil
menghentakkan tali kekang kudanya.
"Maksudmu?" tanya Pandan Wangi ingin tahu. Dia juga menjalankan kudanya pelahan
di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak tahu. Tapi, kejadian tadi membuatku jadi penasaran," sahut Rangga.
"Ooo..., kau ingin mengetahui maksud Prabu Sarajingga, begitu?" Pandan Wangi
langsung menebak.
"Bukan itu saja, Pandan. Aku telah menduga kalau ada hubungan antara Prabu
Sarajingga dengan si Kembang Karang Hawu. "
"Jangan berprasangka buruk, Kakang. Tidak baik mempunyai dugaan buruk pada orang
lain." "Bukannya berprasangka buruk. Aku hanya merasakan adanya satu kejanggalan.
Rasanya tidak mungkin bila si Kembang Karang Hawu menyerang dua orang dari
Istana Randukara tanpa alasan pasti.
Dan lagi, dari mana dia tahu tentang diriku" Sedangkan Jalak Ireng mengatakan
Pendekar Rajawali Sakti 42 Kembang Karang Hawu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalau Prabu Sarajingga menduga kalau aku ini Pendekar Rajawali Sakti. Aku ingin
tahu apa keinginannya kalau sudah tahu bahwa aku ini memang Pendekar Rajawali
Sakti," Rangga mencoba menjelaskan apa yang mengganjal pikirannya sejak tadi.
"Lantas, apa yang akan kau lakukan, Kakang?"
tanya Pandan Wangi ingin tahu.
Rangga tidak langsung menjawab. Memang, Pendekar Rajawali Sakti sendiri belum
tahu, apa yang akan dilakukannya di Kotaraja Randukara nanti. Satu rencana pun
belum dipunyai. Sementara kuda yang mereka tunggangi, terus berjalan pelahan
menuju Kotaraja Randukara yang sudah terlihat di depan sana. Sebuah kota yang
ramai karena hari pasaran yang selalu terjadi setiap tiga purnama sekali.
*** Plak! Satu tamparan keras menyebabkan Jalak Ireng terpental melintir hingga terjatuh
di lantai yang keras dan dingin. Pipi kirinya langsung memerah, ber-gambar lima
jari tangan. Jalak Ireng langsung duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk dalam,
dan sedikit pun tidak mengeluarkan suara mengaduh.
"Bodoh! Dasar otak kerbau! Baru segitu saja sudah tidak becus!" bentak Prabu
Sarajingga berang.
Wajahnya memerah, dan matanya berkilat berapi-api menahan kemarahan yang meluap.
Sedangkan Jalak Ireng tetap duduk bersimpuh sambil menundukkan kepalanya dalamdalam. Untuk mengangkat kepala saja, terasa berat sekali. Apalagi mengeluarkan
suara. Rasanya tidak sanggup memandang wajah Prabu Sarajingga yang sedang
diliputi kemarahan besar atas kegagalan Jalak Ireng.
"Seharusnya kau mati daripada kembali lagi ke sini, Jalak Ireng," desis Prabu
Sarajingga dingin.
"Ampun, Gusti. Titah sudah hamba laksanakan sebaik-baiknya. Tapi, mendadak saja
Kembang Karang Hawu muncul dan langsung saja menyerang hamba, Gusti," jelas
Jalak Ireng dengan suara
bergetar. "Lagi-lagi itu yang kau katakan!" dengus Prabu Sarajingga.
"Tapi hamba sudah mengetahui kalau pemuda itu memang Pendekar Rajawali Sakti,
Gusti," tegas Jalak Ireng lagi.
"Apa jaminanmu, Jalak Ireng?"
"Kembang Karang Hawu memanggilnya demikian, Gusti. Bahkan pemuda itu juga
mengakui dirinya bergelar Pendekar Rajawali Sakti," sahut Jalak Ireng.
"Lalu, apakah kau tahu maksud kedatangannya ke sini?" tanya Prabu Sarajingga
lagi. "Tidak, Gusti," sahut Jalak Ireng.
"Itulah kebodohanmu, Jalak Ireng! Kau kuperintah-kan bukan hanya mencari tahu
pemuda itu, tapi juga mengorek maksud kedatangannya ke sini. Mengerti?"
bentak Prabu Sarajingga keras.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," ucap Jalak Ireng pelan.
"Huh!" Prabu Sarajingga mendengus keras.
Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun dan masih kelihatan gagah itu
menghenyakkan tubuhnya di kursi kecil berbantalkan beludru merah darah.
Sedangkan Jalak Ireng masih tetap duduk bersimpuh di lantai dengan kepala
tertunduk dalam.
"Dengar, Jalak Ireng. Aku tidak mau tahu bagaimana caranya, yang penting kau
harus bisa mengetahui maksud kedatangan pemuda itu ke sini.
Mengerti..."!" keras sekali suara Prabu Sarajingga.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Jalak Ireng seraya memberi sembah dengan merapatkan
kedua telapak tangannya di depan hidung.
"Kau berangkat sekarang juga, dan jangan kembali sebelum memperoleh keterangan
itu. " "Hamba mohon diri, Gusti."
Prabu Sarajingga hanya mendengus saja. Jalak lreng kembali memberi sembah,
kemudian bangkit berdiri dan berjalan keluar ruangan yang besar dan indah ini.
Namun Jalak Ireng terkejut ketika pintu dibuka, di sana sudah menunggu Dipa
Pangga. Bergegas Jalak lreng menutup pintu itu, dan langsung merapatkan kedua
telapak tangannya di depan hidung dengan tubuh sedikit membungkuk.
"Ikut aku, Jalak Ireng," kata Dipa Pangga.
"Hamba, Raden," sahut Jalak Ireng hormat.
Mereka kemudian berjalan cepat menyusuri lorong yang tidak begitu panjang. Dipa
Pangga membuka sebuah pintu yang berada di ujung lorong ini.
Kemudian kakinya melangkah masuk ke dalam ruangan yang tidak seberapa besar. Di
situ terdapat sebuah pembaringan kayu kecil serta sebuah meja kecil dan dua
kursi di sampingnya. Jalak Ireng bergegas masuk dan menutup pintunya kembali.
Sikapnya begitu hormat pada Dipa Pangga. Dia duduk bersila di lantai, tepat saat
Dipa Pangga duduk pada salah satu kursi di samping meja yang membelakangi
jendela besar dan terbuka lebar.
"Ada apa Raden meminta hamba ke sini?" tanya Jalak Ireng.
"Kau harus menjawab jujur, Jalak Ireng," tegas Dipa Pangga.
"Hamba, Raden," Jalak Ireng merapatkan kedua tangannya di depan hidung memberi
sembah. , "Apa yang diperintahkan Paman padamu?" tanya Dipa Pangga Ingin tahu.
Jalak Ireng terkejut, meskipun sudah menduga kalau pemuda ini akan bertanya
seperti itu. Tidak
mudah baginya untuk menjawab terus terang.
Karena, tugas yang diberikan padanya rahasia sekali, meskipun Prabu Sarajingga
tidak mengatakan terus terang. Tapi Jalak Ireng sudah tahu, kalau Prabu
Sarajingga memberi suatu tugas di dalam ruangan khusus, itu berarti tugas
rahasia yang seorang pun tidak boleh mengetahuinya. Termasuk anggota keluarga
istana. "Kuminta kau tidak menutup-nutupinya, Jalak Ireng. Ingat! Paman Sarajingga hanya
sementara menduduki tahta selama aku belum mempunyai istri.
Itulah yang diamanatkan mendiang Ayahanda Prabu sebelum mangkat. Jadi aku wajib
mengetahui segala yang diperintahkan Paman Sarajingga. Aku tidak ingin ada
kekacauan terselubung di dalam istana ini. Kau harus bisa mengerti itu, Jalak
Ireng," tegas Dipa Pangga.
"Hamba mengerti, Raden. Tapi...," ucapan Jalak Ireng terputus.
"Tapi apa?" desak Dipa Pangga.
"Hamba takut kalau Gusti Prabu akan murka."
"Paman Sarajingga tidak akan tahu selama kau bisa tutup mulut. Dan aku tidak
akan mengatakan apa pun," selak Dipa Pangga tegas sekali.
Beberapa saat Jalak Ireng terdiam berpikir keras, kemudian mengatakan tugas yang
harus diemban-nya. Tugas rahasia yang diberikan langsung oleh Penguasa Kerajaan
Randukara ini. Sedangkan Dipa Pangga mendengarkan penuh perhatian. Pemuda itu
tidak berbicara sedikit pun meski Jalak Ireng telah menyelesaikan penuturannya.
Tangan Dipa Pangga memberi isyarat saja agar Jalak Ireng meninggalkan kamar ini.
Setelah member sembah, Jalak Ireng bergegas keluar dari situ.
Sedangkan Dipa Pangga masih duduk di kursi.
Pandangannya kosong dan lurus ke depan. Dipa Pangga baru mengangkat kepalanya
ketika mendengar suara ketukan di pintu.
"Masuk...!" seru Dipa Pangga tidak terlalu keras.
Pintu kamar terkuak pelahan, kemudian muncul seorang gadis yang cantik sekali.
Bajunya ketat berwarna hijau. Dengan langkah gemulai, gadis itu melangkah masuk
tanpa mempedulikan pintu yang terbuka. Dipa Pangga bangkit berdiri dan melangkah
menghampiri pintu, lalu menutup rapat-rapat.
Sedangkan gadis cantik berbaju hijau itu menghenyakkan tubuhnya di kursi yang
tadi diduduki Dipa Pangga. Sementara Dipa Pangga sendiri kemudian duduk di tepi
pembaringan. "Ada sesuatu yang ingin disampaikan, Adik Ningrum?" tanya Dipa Pangga lembut.
"Tidak.... Hanya ingin ngobrol denganmu saja, Kakang," sahut gadis itu yang
dipanggil Ningrum.
Gadis berbaju hijau daun itu memang Rara Ayu Ningrum, putri bungsu Prabu
Sarajingga. Sedangkan seorang kakak laki-lakinya kini sedang menuntut ilmu di
Padepokan Walet Putih. Letaknya tidak jauh dari Kotaraja Randukara ini. Tepatnya
di Bukit Salak, sebelah Selatan kotaraja ini.
"Kau datang tidak disuruh ayahmu, bukan?" nada suara Dipa Pangga mengandung
kecurigaan. "Jangan memandangku buruk begitu, Kakang," ujar Rara Ayu Ningrum.
Dipa Pangga hanya tersenyum saja. Namun senyuman itu sangat tipis dan hambar.
Rara Ayu Ningrum melepaskan ikatan pedangnya dan meletakkan di meja yang berada
di sampingnya. Sikapnya seperti tidak mempedulikan sorot mata Dipa Pangga
dengan senyumnya yang mengandung kesinisan.
"Aku memang dekat dengan ayah, Kakang. Tapi itu tidak berarti selalu bisa
menerima segala sikap dan tindakannya. Aku sudah mengatakan hal ini padamu lebih
dari seribu kali. Tapi, mengapa masih saja memandangku sinis, Kakang?" ujar Rara
Ayu Ningrum, agak dalam nada suaranya.
Dipa Pangga hanya mengangkat pundaknya saja.
"Kedatanganku ke sini bukan untuk berdebat.
Yang jelas, ada yang ingin kukatakan padamu, dan ini rahasia sekali. Aku juga
tidak tahu, kenapa hal ini harus kukatakan padamu," kata Rara Ayu Ningrum lagi.
Tidak peduli dengan sikap sinis yang diberikan Dipa Pangga padanya.
"Rahasia apa?" tanya Dipa Pangga tanpa menanggapi serius.
"Tentang ayah, aku, kau, dan kakakku. Bahkan menyangkut keutuhan negeri ini,
Kakang." "Ah! Kau ini tahu apa, Ningrum...?"
"Aku tahu semuanya, Kakang. Bahkan tahu kalau ayah mencurigai kedatangan
Pendekar Rajawali Sakti bukan hanya sekadar lewat saja. Tapi, memang sengaja kau
undang ke sini," dengus Rara Ayu Ningrum agak keras, karena Dipa Pangga hanya
menanggapinya bagai angin lalu saja.
"Heh...! Kau ini bicara apa, Ningrum..." Siapa itu Pendekar Rajawali Sakti?"
Dipa Pangga terkejut tidak mengerti.
"Orang yang menolongmu dari kematian di Gunung Karang Hawu."
"Apa..."!" Dipa Pangga benar-benar terkejut.
Pemuda itu sampai terlompat dari pembaringan yang didudukinya. Matanya tajam
memandang gadis cantik yang duduk di depannya, seakan-akan hendak
mencari kesungguhan dari ucapan gadis ini tadi.
"Aku pergi dulu, Kakang," kata Rara Ayu Ningrum seraya bangkit berdiri.
"Eh, tunggu dulu...!" cegah Dipa Pangga cepat.
"Percuma saja, Kakang. Toh kau tidak akan menanggapi. Kau pasti akan menyangka
aku hanya mencari perhatian dan memperburuk kedudukanmu saja," tegas Rara Ayu
Ningrum. "Tidak! Aku akan sungguh-sungguh menanggapinya. Katakan, apa saja yang kau
ketahui selama ini,"
selak Dipa Pangga sambil memasang wajah sungguh-sungguh.
"Sungguh...?" Rara Ayu Ningrum seperti mempermainkan.
"Jangan main-main, Ningrum...!" dengus Dipa Pangga.
"Siapa yang main-main'" Kau sendiri yang tidak pernah sudi menanggapi sungguhsungguh. "
"Maaf, Ningrum. Aku tidak tahu kalau kau bukan gadis kecil yang manja dan hanya
bisa bermain dan mempermainkan orang saja. "
"Sudah! Kalau begitu aku tidak jadi."
"Baik.... Baik.., aku tidak akan mengatakan kau gadis mania lagi. Aku janji...,
tapi apa saja yang diketahui selama ini harus kau katakan."
Rara Ayu Ningrum mencibirkan bibirnya.
Sementara Dipa Pangga sempat juga menelan ludahnya, membasahi tenggorokan yang
mendadak saja jadi terasa kering. Gadis ini memang cantik sekali.
Kalau saja bukan putri pamannya, pasti sudah dipersunting untuk dijadikan istri
yang kelak akan menjadi permaisuri, mendampinginya memerintah kerajaan yang
besar dan megah ini. Tapi sayang, Rara Ayu Ningrum adalah putri pamannya, adik
dari ayahnya sendiri.
"Ayo katakan, Ningrum," pinta Dipa Pangga seraya menghilangkan pikiran kotor
yahg mendadak saja timbul di kepalanya tadi.
"Baik. Tapi, tidak di sini," sahut Rara Ayu Ningrum.
"Di mana?"
"Di kaputren saja. Biar tidak ada yang curiga."
Dipa Pangga mengangkat bahunya. Memang tidak enak berada berdua di dalam kamar
seperti ini, karena mereka hanya saudara sepupu. Tanpa bicara lagi, mereka
kemudian berjalan meninggalkan kamar ini.
*** Sementara itu di perbatasan Kotaraja Randukara, Pendekar Rajawali Sakti dan
Pandan Wangi dihadang sekitar lima puluh prajurit bersenjata lengkap.
Mereka dipimpin seorang panglima perang yang menggunakan senjata golok besar dan
panjang. Namanya Panglima Narakin. Dia memang seorang panglima pilihan Prabu Sarajingga
yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Terutama jurus 'Pedang Maut' yang
menjadi andalannya.
"Kenapa kami tidak boleh masuk?" tanya Rangga agak heran juga.
"Kalian tidak tercatat sebagai penduduk di kerajaan ini. Jadi, kami tidak bisa
mengizinkan kalian menetap lama di sini," tegas Panglima Narakin.
"Dengar, Panglima. Kami baru saja menyelamatkan seorang pengantar barang pribadi
Prabu Sarajingga. Dan kami ingin bertemu dia lagi," selak Pandan Wangi, agak
gusar nada suaranya.
Kalau saja Rangga tidak menyabarkan, mungkin Pandan Wangi sudah menerjang
panglima yang angkuh itu. Seluruh aliran darah si Kipas Maut memang sudah
bergolak mendidih, dan hampir tidak bisa mengendalikan diri. Namun sekuat daya, Pandan Wangi masih bisa
bertahan melihat tingkah panglima yang angkuh itu.
"Ha ha ha...! Kalian mulai mengoceh tidak karuan!"
Panglima Narakin tertawa terbahak-bahak.
"He... ! Kau seorang panglima, kenapa tidak tahu kalau pengirim barang pzibadi
rajamu hampir mati...?"
sentak Pandan Wangi semakin gusar.
"Sudahlah. Sebaiknya, kalian pergi saja jauh-jauh dari sini. Gusti Prabu
Sarajingga tidak memiliki pengantar barang pribadi. Tidak ada gunanya membual,"
sinis sekali nada suara Panglima Narakin.
Pandan Wangi mendelik geram. Diliriknya Pendekar Rajawali Sakti yang berada di
sampingnya. Mereka masih berada di atas punggung kuda masing-masing. Sementara itu Rangga
tampak mulai geram, karena merasa dipermainkan. Hal ini terlihat jelas dari raut
wajahnya yang memerah dan gerahamnya bergemeletuk keras.
"Ayo, Pandan. Kita pergi," ajak Rangga seraya memutar kudanya.
"Tapi, Kakang...."
Rangga cepat mengerdipkan matanya, maka Pandan Wangi tidak membantah lagi.
Segera kudanya diputar mengikuti Pendekar Rajawali Sakti itu. Sesaat kemudian,
dua ekor kuda itu sudah berpacu cepat meninggalkan kepulan debu yang membumbung
Tumbal Perkawinan 1 Pendekar Naga Putih 28 Laba Laba Hitam Malaikat Penggali Kubur 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama